PERKEMBANGAN ORGANISASI MILITER DI JAWA TIMUR 1945-1949 Ari Sapto*) Abstract The military in East Java has its own characteristics compared to that of other provinces. Thus, this paper aims to describe the development process of East Java military, especially during 1945-1949. The study found that the recruitment sources and togetherness became the dominant factor giving rise to differences in the characteristics. In the midst of the pressure and shock, East Java military tried to maintain its characteristics and independence. In this effort, the East Java military realized that it is actually a part of the Indonesian National Army (TNI). Keywords: military development, East Java, recruitment process Abstrak Militer Jawa Timur memiliki karakteristik tersendiri bila dibandingkan dengan militer dari provinsi lain. Realitas ini dapat dipahami bila diketahui proses pertumbuhannya. Sumber rekruitmen dan pengalaman kebersamaan menjadi faktor dominan yang memunculkan perbedaan karakteristik itu. Di tengah tekanan dan guncangan, militer Jawa Timur berusaha mempertahankan karakteristik dan indepensinya. Dalam upaya itu, militer Jawa Timur senantiasa memiliki kesadaran bahwa dirinya sejatinya bagian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) Kata kunci: perkembangan militer, Jawa Timur, proses rekruitmen PENGANTAR Menurut Notosusanto (1985:8) sumber rekruitmen TNI (Tentara Nasional Indonesia) berasal dari tiga katagori, yaitu orang-orang yang pernah mendapat pendidikan atau latihan militer Belanda, orang-orang yang pernah mendapat pendidikan atau latihan militer Jepang, dan orang-orang yang tidak pernah menerima pendidikan atau latihan militer profesional. Peneliti lain lebih tegas menyatakan personil TNI berasal dari Peta (Pembela Tanah Air), KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger), dan laskar (Sundhaussen, 1988:21-22). Satu *)
golongan lagi perlu mendapat perhatian dan pengakuan sebagai penyumbang personil dalam tubuh tentara, yaitu pelajar dan mahasiswa (Padmodiwiryo, 1995). Latar keanggotaan seperti ini pada akhirnya menciptakan faksi-faksi di tubuh organisasi tentara. Konflik-konflik yang menyangkut militer nantinya sedikit banyak terkait keberadaan faksi-faksi ini. Di Jawa Timur mayoritas personil TNI berasal dari Peta dan laskar. Sampai dengan menjelang pengakuan kedaulatan, mantan anggota KNIL hampir tidak ada. Justru mantan serdadu Jepang yang tidak ingin kembali ke tanah airnya dan
Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. E-mail:
[email protected]
167
Perkembangan Organisasi Militer di Jawa Timur 1945-1949
kemudian berjuang di pihak Republik memiliki kesatuan tersendiri dalam organisasi militer Jawa Timur. Akan tetapi, setelah terbentuknya RIS anggotaanggota KNIL dan Barisan Cakra dilebur dalam TNI, sementara bekas tentara Jepang terdepak, menjadi korban demobilisasi. Seperti diketahui, sebagai tindak lanjut KMB (Konferensi Meja Bundar), KNIL dan Barisan Cakra diintegrasikan dalam TNI. Dengan demikian, wajah militer Jawa Timur diwarnai anggota-anggota yang berlatar belakang Peta, laskar, pelajar dan mahasiswa, KNIL dan Barisan Cakra. Tulisan ini berusaha menjawab permasalahan, seperti apakah postur kesatuan militer di Jawa Timur yang tumbuh dan berkembang selama revolusi? Jawaban tentang persoalan ini sebagian akan memberikan sumbangan pemahaman terhadap realitas mengenai karakteristik militer Jawa Timur yang tampak memegang teguh ideologi kerakyatan. PEMBELA TANAH AIR: PEMBERI KONTRIBUSI DOMINAN Bagi perwira-perwira militer Jepang, keterlibatan penduduk pribumi dalam ketentaraan berlatar belakang ganda. Notosusanto (1979:58-60) mencatat bahwa perwira-perwira operasi melihat adanya kekurangan tenaga manusia, sedangkan perwira-perwira intelejen mempunyai gagasan yang lebih bersifat politis. Gagasan para perwira intelejen ini pada pokoknya adalah untuk memberikan suatu jaminan kepada rakyat yang diduduki negerinya. Diharapkan rakyat akan berjuang sepenuh hati berdampingan dengan angkatan perang
Jepang untuk apa yang dianggap kepentingan bersama, yaitu pembentukan lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, bebas dari dominasi Barat. Rakyat di tanah jajahan akan ”diberi kemerdekaan”, di bawah kepemimpinan Jepang. Untuk merdeka, tanah jajahan harus mempunyai tentara, baik sebagai lambang kemerdekaan, maupun sebagai alat untuk mempertahankan kemerdekaan. Tentara Peta dibentuk oleh seksi khusus dari bagian Intelejen Tentara Keenambelas di Jawa-Madura. Sebelum perintah pembentukan Peta dikeluarkan, bagian intelejen telah melatih pemudapemuda Indonesia untuk tugas intelejen. Latihan akhirnya berkembang dalam Seinen Doyo (pelatihan pemuda) di Ta n g e r a n g ( P o e s p o n e g o r o d a n Notosusanto, 1984:34). Sejak semula Peta dimaksudkan sebagai salah satu sayap Barisan Asia Timur Raya, dan yang akan menjadi tulang punggung kemerdekaan Indonesia di kemudian hari. Seperti dinyatakan dalam pidato Saiko Shikikan yang diucapkan ketika Perang Pasifik semakin menghebat dan pemerintah penjajahan Jepang memerlukan bantuan rakyat Indonesia (Warta Malangshu, 17 Oktober 2604/1944) Peta dirancang sebagai pasukan gerilya bantuan yang didesentralisasikan untuk disebarkan jika terjadi serangan Sekutu ke Pulau Jawa. Dengan jelas dinyatakan bahwa pasukan baru ini akan ditempatkan di daerah asalnya dan akan digunakan semata-mata untuk pertahanan setempat. Keterlibatan orang-orang dalam Peta dan kemudian penempatan dalam wilayah-wilayah yang menjadi tanggung jawab pertahanannya, memberikan pengalaman emosional dan rasa tanggung
168
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 12, No.2 Juli-Desember 2012 : 92 -209 jawab mengenai kewilayahan ini di kemudian hari (Anderson, 1988:40). Saiko Shikikan, Letnan Jenderal Kumakici Harada, memutuskan agar pembentukan tentara Peta dibuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah merupakan usul dari bangsa Indonesia sendiri. Untuk itu dicarilah pribadi yang cocok dan seseorang yang dianggap bersimpati kepada Jepang. Pilihan jatuh pada pribadi Gatot Mangkoeprodjo. Untuk menimbulkan kesan inisiatif berasal dari rakyat jajahan, Gatot Mangkoepradjo disarankan mengajukan permohonan kepada Gunseikan supaya dibentuk sebuah tentara yang anggotanya terdiri atas orang-orang Indonesia (Notosusanto, 1979:69-73; Abdurrachman, 1996:53; Lubis, dkk., 2005:85). Permohonannya kemudian dikabulkan dengan dikeluarkan sebuah peraturan yang disebut Osamu Seirei No. 44 pada tanggal 3 Oktober 1943 (Hatta, 1996: 5-6; Abdurrachman, 1996: 53-54; Lubis, dkk., 2005: 89-91). Peraturan ini menetapkan dibentuknya tentara Peta secara formal. Perhatian rakyat terhadap Peta ternyata sangat besar, terutama dari pemuda-pemuda yang telah dan sedang mendapat pendidikan sekolah menengah. Akan tetapi, yang dipilih untuk dilatih sebagai komandan batalyon (daidanco) dan komandan kompi ( chudanco ) kebanyakan tokoh masyarakat, tokoh pergerakan, berumur agak tua, yang menurut pandangan tentara Jepang mempunyai pengaruh dan wibawa (Sundhausen, 1988:3). Golongan masyarakat yang sering dipilih adalah guru-guru setempat, pegawai-pegawai pemerintah, atau tokoh-tokoh agama
169
Islam (Anderson, 1988:41). Menurut Notosusanto (1979:80-82) bahwa latar belakang status sosial para perwira Peta, 2/3 berasal dari golongan priyayi dan 1/3 berasal dari orang kecil. Dari segi pendidikan memperlihatkan bahwa bagian terbesar perwira Peta mempunyai pendidikan menengah pertama. Secara struktural di Jawa terdapat 66 daidan (batalyon) tentara Peta. Setiap daidan mempunyai 4 chudan (kompi) yang masing-masing terdiri atas 3 shodan (seksi atau peleton). Setiap shodan terdiri dari 4 budan (regu). Di samping itu, terdapat pula sebuah kelompok staf yang terdiri dari seorang eisei (dokter), seorang heiki (perwiwa peralatan), seorang keiri (perwira keuangan), dan seorang fukan (ajudan) (Notosusanto, 1979: 99; Kartidjo, 1994). Tentara Peta disusun paling tinggi sampai tingkat batalyon (daidan) saja. Setiap batalyon beranggotakan sekitar 500-600 orang. Hal ini disesuaikan dengan bentuk pertempuran gerilya (Anderson, 1988:41). Satu budan biasanya mempunyai 10 anggota dengan seorang komandan (Notosusanto, 1979: 99), dengan demikian setiap shodan mempunyai anggota kurang lebih 44 orang. Sebuah chodan mempunyai anggota 132 orang, dan sebuah daidan (termasuk anggota staf) mempunyai kurang lebih 535 orang anggota (termasuk komandan shodan, chudan, dan daidan). Dengan demikian, jumlah seluruh anggota Peta di Jawa kurang lebih 35.310 anggota. Di Jawa Timur terdapat 28 daidan, sehingga paling tidak terdapat 14.980 orang anggota Peta. Peta diorganisasikan berdasar daerah, sehingga anak buah seorang komandan biasanya berasal dari
Perkembangan Organisasi Militer di Jawa Timur 1945-1949
daerahnya sendiri. DARI BADAN KEAMANAN RAKYAT (BKR) KE TENTARA KEAMANAN RAKYAT (TKR) Perhatian Republik terhadap dimensi eksternal menyebabkan keterlambatan menyusun organisasi tentara. Hari-hari awal setelah Proklamasi Kemerdekaan, Republik tidak mempunyai kekuatan yang dapat melindungi dirinya dari kemungkinan adanya gangguan. Gangguan yang berasal dari luar maupun dari dalam. Setelah Peta dilucuti dan dibubarkan (Kartidjo, 1994), republik yang masih muda ini tidak mempunyai pasukan bersenjata untuk mempertahankan diri terhadap musuh dari luar dan dari dalam. Dalam keadaan seperti itu, penegakan hukum dan kewibawaan pemerintah sulit untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, pemerintah perlu menciptakan sebuah pasukan bersenjata yang dengannya dapat menegakkan kekuasaan di dalam negeri. Sukarno-Hatta tidak memanfaatkan kesatuan militer dan semi-militer yang telah ada pada masa penjajahan Jepang. Keraguan Sukarno-Hatta untuk segera menyusun organisasi tentara didasari p e r t i m b a n g a n d a n h a r a p a n bi s a meyakinkan Sekutu bahwa Republik bukan negara ciptaan Jepang. Hal ini berarti Sukarno-Hatta bukan kolaborator Jepang seperti dituduhkan pihak Belanda. Alasan lain, pemimpin Republik percaya pemenang perang yang baru berakhir adalah negara-negara demokratis yang tampaknya menaruh simpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia (Cribb, 1991:59-60; Said, 1993: 11; Notosusanto, 1979:142). Sementara itu,
para pemuda mempunyai alasan lain. Kehadiran kekuatan asing jelas-jelas merupakan sebuah ancaman bagi bayi kemerdekaan. Ketidakjelasan masalah pertahanan dan keamanan mendorong para pemuda mengambil inisiatif mempersenjatai diri dan mengambil langkah-langkah sendiri dalam rangka pe rt a hana n. Da l am wa kt u-w ak t u kemudian terbukti bahwa keterlambatan menyusun langkah-langkah strategis organisasi tentara membawa akibat pemerintah Republik kurang mampu mengendalikan angkatan bersenjatanya (Crouch, 1986:27; Onghokham, 1983:126; Yulianto, 2005:72). Sebagai sebuah bentuk kompromi dengan para pemuda, pemerintah membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Akan tetapi, BKR bukanlah tentara dan bukan dimaksudkan sebagai satu organisasi kemiliteran resmi (Notosusanto, 1983:37; Muhaimin, 1982:24; Singh, 1996:30). BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang. Di dalam undang-undang pembentukannya, fungsi BKR secara samar-samar disebutkan untuk “memelihara keamanan bersamasama dengan rakyat dan badan-badan negara yang bersangkutan” (Kartidjo, 1994; Nasution, 1963:109). BKR di samping masih bersifat kerakyatan dan bukan bersifat kemiliteran, juga BKR baik di pusat maupun di daerah-daerah berada di bawah KNIP dan KNI di daerah. Kedudukan BKR tidak di bawah Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang (UUD 1945 pasal 10), bahkan BKR tidak berada di bawah koordinasi Menteri Pertahanan sebab jabatan itu lowong untuk beberapa lama,
170
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 12, No.2 Juli-Desember 2012 : 92 -209 sebagaimana tidak adanya jabatan Panglima Militer. Mengenai lowongnya jabatan Menteri Pertahanan, Sundhaussen ( 1 9 8 8 : 11 ) m e n u l i s “ k a r e n a a d a kemungkinan bahwa tentara pendukung Jepang akan berkeberatan mengingat bahwa mereka secara resminya masih bertanggung jawab atas pemeliharaan ketertiban umum, maka Sukarno tidak mengangkat seorang Menteri Pertahanan”. Pemerintah Sukarno-Hatta sendiri memang memaksudkan BKR sekedar untuk memelihara ketentraman setempat saja, sesuai dengan strategi politik Sukarno-Hatta yang menitikberatkan segi diplomasi. Pembentukan BKR segera mendapat tanggapan di daerah-daerah. Lebih banyak merupakan hasil prakarsa para pemimpin lokal yang cakap. Biasanya masih muda, memiliki kharisma dan memiliki kemampuan memperoleh senjata (Ricklefs, 1995:320). Di Jawa Timur dengan segera terbentuk BKR di kabupaten-kabupaten dan kota-kota. Sampai dengan terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tanggal 5 Oktober 1945, pemerintah belum sepenuhnya memberikan arah terhadap Angkatan Bersenjata. Pemerintah membuka pendaftaran bagi calon anggota TKR melalui kantor pamongpraja di daerah-daerah ( Berita Indonesia , 7 Nopember 1945). Dalam kenyataannya satuan-satuan TKR adalah kelompokkelompok BKR yang ditransformasikan menjadi tentara. Nasution (1963:154) menyatakan ”sesungguhnya TKR lahir dari revolusi sendiri di atas haribaan rakyat sendiri, tumbuh secara setempat, dengan tiada rancangan, pimpinan dan perlengkapan dari Negara”.
171
Pada tanggal 20 Oktober 1945 oleh Kementerian Keamanan Rakyat diumumkan susunan pusat TKR. Menteri Keamanan Rakyat ad interim: Suljoadikusumo, pimpinan tertinggi TKR: Supriadi, Kepala Staf umum: Urip Sumoharjo (Notosusanto, 1983:41). Pada suatu kunjungan ke Surabaya, Suljoadikusumo ditahan oleh dr. Mustopo. Setelah dibebaskan ia kehilangan m art abat poli tik yang diperoleh sebelumnya. Sejak Suljoadikusumo ditahan, dr. Mustopo mengangkat dirinya sendiri sebagai Menteri Keamanan ad interim (Warta Indonesia, 22 Oktober 1945). Langkah dr. Mustopo mendapat dukungan dan persetujuan dari Jaksa Agung Mr. Gatot (Djiwa Repoeblik, 20 Oktober 1945). Kebutuhan untuk segera menyempurnakan organisasi TKR mendorong para pimpinan tentara berkumpul di Yogyakarta pada bulan November untuk memilih Panglima Besar. Melalui pemilihan yang tidak melibatkan pemerintah, Sudirman terpilih menduduki jabatan itu. Presiden Sukarno pada tanggal 18 Desember 1945 mengumumkan pengangkatannya sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (Madjallah Tentara Keamanan Rakjat, 10 Januari 1946). Segera setelah terpilih, Sudirman harus berhadapan dengan politikus sipil, seperti Amir Syarifuddin, yang ingin menempatkan tentara di bawah kendali pemerintah. Sudirman, seorang mantan perwira Peta, berusaha sekuat tenaga menjaga otonomi militer ketika berhadapan dengan pemerintah. Secara politis Sudirman lebih dekat kepada Tan Malaka. Kedekatan ini tentu membawa persoalan bagi
Perkembangan Organisasi Militer di Jawa Timur 1945-1949
pemerintah yang berusaha mendapat dukungan militer dalam kebijakan diplomasi. Pandangan politik Tan Malaka tidak mau berunding sebelum ada pengakuan kedaulatan (Said, 1993:59; Said, 2001:33;Anderson, 1972:364). Berkaitan dengan keberadaan laskar-laskar yang terus bermunculan, Markas Besar TKR mengeluarkan Maklumat tanggal 6 Desember 1945, ditandatangani Kepala Staf Umum, Urip Sumohardjo. Oleh karena nantinya berkaitan dengan pandangan elite di Jawa Timur tentang ideologi kerakyatan, di sini isinya dikutip cukup panjang. Untuk menghilangkan salah paham dan keragu-raguan, yang kini sedang timbul antara Barisanbarisan Rakyat dengan TKR atau sebaliknya, dirasa perlu diterangkan di sini pendirian TKR terhadap Laskar Rakyat itu. (1) TKR adalah sebagian dari masyarakat yang diserahkan kewajiban untuk mempertahankan kesentosaan Republik Indonesia; untuk sanggup memenuhi kewajiban ini sebaiknya tentara dibebaskan dari pekerjaan lain, kecuali pertahanan negeri dan hidupnya ditanggung oleh masyarakat. Jadi tentara bukan merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu kasta yang berdiri di atas masyarakat; tentara tidak lain dan tidak lebih salah satu bagian masyarakat yang m empunyai kewaji ban yang tertentu, seperti bagian-bagian lain, yakni tani, buruh, dll. Juga mempunyai tugas kewajiban yang tertentu. (2) Hak dan kewajiban untuk mempertahankan keamanan ke luar dan ke dalam bukanlah monopoli tentara. Sesungguhnya dalam tiap usaha untuk mempertahankan negara, masyarakat seluruhnya yang berjuang dengan tentaranya, tenaga
produksinya, tenaga pengangkutnya dan kerelaannya untuk berkorban. (3) Tetapi banyak di antara rakyat yang tidak merasa puas untuk melakukan pekerjaannya seharihari saja; di samping pekerjaannya yang biasa, mereka membentuk laskar-laskar, barisan-barisan, gerakan-gerakan perjuangan yang semuanya membuktikan keamanannya turut serta dengan aktif dalam usaha menjamin keselamatan negeri. (4) Hal ini menggembirakan dan memang pembentukan laskar-laskar rakyat telah dianjurkan oleh TKR. Pun sejarah dan kebiasaan internasional mengenai dan mengakui bangkitnya satu bangsa seluruhnya untuk mempertahankan negaranya ( vokskrieg ). Kita tidak dalam keadaan perang, tetapi nyata bahwa apabila kita harus menentang penjajahan kita tidak cukup memajukan tentara saja, rakyat seluruhnya harus berjuang dengan tentara sebagai tulang punggungnya. (5) Tetapi berjuang demikian akan meminta korban yang tidak perlu, apabila tidak diadakan persiapan yang sebaikbaiknya. Persiapan itu mengenai: (a) pembentukan barisan yang b e r d i s i p l i n d a n m e m pu n y a i pimpinan yang rapi; (b) latihan dan persenjataan; ( c ) r e n c a n a perjuangan dan koordinasi di antara semua golongan-golongan yang berjuang. (6) Laskar rakyat tetap organisasi-organisasi rakyat. TKR tidak mencampuri pemilihan pimpinan dan aturan-aturan rumah tangganya. TKR tidak akan melucuti senjata rakyat, malah kalau dapat mempersenjatainya sebagaimana tentara mempersenjatai barisan-barisan rakyat yang mau berjuang untuk m em be l a ke d au l a t a n n eg e ri (Nasution, 1992:216; Anderson, 1988:294-296).
172
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 12, No.2 Juli-Desember 2012 : 92 -209
Unsur kekuatan TKR di daerah disusun menjadi kesatuan dalam bentuk komandemen, divisi, batalyon, dan s et eru s ny a. Di J awa t erdapat 3 komandemen dan 10 divisi, 3 divisi di antaranya terdapat di Jawa Timur. Komandemen I (Jawa Barat) di bawah pimpinan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita, Komandemen II (Jawa Tengah) di bawah pimpinan Jenderal Mayor Suratman, Komandemen III (Jawa Timur) di bawah pimpinan Jenderal Mayor R. Mohammad (Anderson, 1988:270; Yayasan Ex. Brigade IV). Pembentukan komandemen ternyata tidak lancar, karena sebagian divisi tidak mau mengakui panglima komandemennya. Di Jawa Timur, Jenderal Mayor R. Mohammad tidak diakui dan berujung ditahan oleh bawahannya sendiri, Jonosewoyo (Komandan Divisi VII) yang dibantu oleh Sabaruddin (Komandan Polisi TKR Sidordjo) (Moehkardi, 2008:229; Anderson, 1988:270; Moehkardi, 1993:229). Nama, wilayah operasi, nama pimpinan kesatuan dan kedudukan divisi TKR di Jawa Timur sebagai berikut. Divisi VI :meliputi daerah Madiun dan Kediri, di bawah pimpinan Kolonel Soediro, berkedudukan di Kediri. Divisi VII :meliputi daerah Bojonegoro, Surabaya, dan Madura, di bawah pimpinan Jenderal Mayor R.M. Jonosewoyo (kemudian digantikan oleh Kolonel Soengkono), berkedudukan di Mojokerto. Divisi VIII :meliputi daerah Malang dan Besuki, di bawah pimpinan Jenderal Mayor Imam
173
Soedjai, berkedudukan di Malang (Nasution, 1992:226; Nasution, 1963:304; Nur Hadi & Soetopo, 1997:38). PENYEMPURNAAN DAN GUNCANGAN Berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 2/S.D./1946 tanggal 7 Januari 1946, TKR diubah namanya menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (singkatannya tetap TKR). Markas Tertinggi Tentara Keselamatan Rakyat mengumumkan bahwa perubahan nama mulai berlaku sejak Selasa, tanggal 8 Januari 1946. Selain perubahan nama organisasi, keputusan lain adalah nama Kementerian Keamanan diganti dengan nam a Kementerian Pertahanan. Sebagai Wakil Menteri Pertahanan diangkat K.R.T. Sugiyono Yosodiningrat, pegawai tinggi pemerintah Kasultanan Yogyakarta (Madjallah Tentara Keamanan Rakjat, 10 Januari 1946; Berita Repoeblik Indonesia, 15 Mei 1946). Baru sekitar tiga minggu berjalan, pada tanggal 25 Januari 1946, pemerintah mengeluarkan maklumat untuk mengubah lagi nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) (Notosusanto, 1983:58). Maklumat ini juga menggariskan penyempurnaan susunan organisasi tentara. Untuk itu, melalui Penetapan Presiden tanggal 23 Februari 194 6 di bent ukl a h Pa ni t i a B es a r Penyelenggara Organisasi Tentara yang beranggotakan 12 orang. Hasil kerja panitia ini, antara lain, tersusunnya 10 divisi TRI, 7 di antaranya berada di JawaMadura (Nasution, 1963:138-139). Dengan adanya perubahan itu maka susunan organisasi militer di Jawa Timur (meliputi juga sebagian Jawa Tengah)
Perkembangan Organisasi Militer di Jawa Timur 1945-1949
sebagai berikut. Divisi V:meliputi daerah karesidenan Pati, Bojonegoro, Madiun bagian barat, Semarang bagian timur. Komandan: J e nde ral M ayor G.P.H. Djatikoesoemo, Kepala Staf: Letkol Soetrisno Soedomo. Divisi VI :meliputi daerah Surabaya, Madura, Kediri. Komandan: Jenderal Mayor Soengkono, Kepala Staf: Letkol Marhadi. Divisi VII :meliputi karesidenan Malang dan Besuki. Komandan: Jenderal Mayor R. Imam Soedjai, Kepala Staf: Letkol Iskandar Soelaiman (Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, 1985: 95; Nasution, 1992: 127-128). Dalam reorganisasi di tubuh militer ini juga diatur penggunaan pangkat. Komandan divisi menyandang pangkat Jenderal Mayor, sedangkan Kepala Staf berpangkat Letnan Kolonel. Pada hari Angkatan Perang tanggal 5 Oktober 1946 yang dipusatkan di Yogyakarta, kepada divisi-divisi diserahkan Panji Divisi dan masing-masing diberi nama. Divisi V bernama Ronggolawe berpusat di Mantingan, kemudian pindah ke Cepu. Divisi VI bernama Narotama berpusat di Kediri. Divisi VII bernama Suropati berpusat di Malang (Nasution, 1992:96). Badan-badan perjuangan dan laskar-laskar yang tidak mau bergabung dalam TRI diberi wadah tersendiri yakni Biro Perjuangan. Dengan demikian terdapat 2 macam wadah kesatuan bersenjata, TRI dan Biro Perjuangan. Hal demikian tidak menguntungkan perjuangan. Untuk mengatasi masalah ini, sejak 3 Juni 1947 TRI diubah menjadi
TNI. Badan-badan perjuangan dan laskarlas kar dimasukkan ke dalamny a (Notosusanto, 1983:44). Deng an demikian berakhir pula nasib Biro Perjuangan. Namun demikian Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin tidak puas dan berinisiatif untuk membentuk TNI Bagian Masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa Amir Syarifuddin menginginkan agar kelompok kiri dapat mengendalikan Angkatan Perang. Dengan adanya perkembangan demikian, sejak 20 Agustus 1947 di Jawa Timur dibentuk Divisi X. Divisi X merupakan gabungan Brigade XVII, Brigade XII, dan Brigade VI/29. Susunan Divisi X sebagai berikut. Jenderal Mayor Koesnandar, sebagai Komandan; Letnan Kolonel Asmanoe, sebagai Kepala Staf; M ay or Di m j a t i , s eb a ga i K ep a l a Siasat/Penyelidik; Mayor Soetojo, sebagai Kepala Organisasi; Mayor Pandojo, sebagai Kepala Perlengkapan (Surat Penetapan No.186/E.III/47. Kementerian Dalam Negeri. no. inv. 143). Sejak bulan April 1948 sebagai hasil reorganisasi dan rasaionalisasi, susunan organisasi militer di Jawa Timur mengalami perubahan. Susunan berikut adalah bentuk proses yang masih berjalan dengan alot. Kesatuan-kesatuan militer di Jawa Timur tidak seluruhnya menerima kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi pemerintah Hatta. Brigade I (Bojonegoro) Komandan : Letkol Soenarto Batalyon I : Mayor Soedono Batalyon II : Mayor Soeprapto Soekowati Batalyon III : Mayor Soedirman Batalyon IV : Mayor Darmintoadji Brigade II (Kediri)
174
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 12, No.2 Juli-Desember 2012 : 92 -209 Komandan Batalyon I Batalyon II Batalyon III Batalyon 116 Yuwono Batalyon 131 Batalyon V Batalyon 101
: Letkol Soerachmad : Mayor Moedjajin : Mayor Harsono : Mayor Banoeredjo : Mayor Bambang : Mayor Soedarsono : Mayor Soenarjadi : Mayor Soenandar
Brigade III (Besuki) Komandan : Letkol Moch. Sroedji Batalyon I : Mayor Syafioedin Batalyon II : Mayor Magenda Batalyon III : Kapten Soedarmin Batalyon Depo : Mayor Darsan Iroe Kompi Bintoro : Kapten Bintoro Brigade IV (Malang) Komandan : LetkolAbd. Rifa'i Batalyon 1 : Mayor Hamid Roesdi Batalyon II : Mayor Soeprapto Batalyon III : MayorAbd. Manan Batalyon IV : Samsoel Islam Batalyon Depot : Kapten Nailun Haman Selain itu, terdapat 28 bekas tentara Jepang yang menggabungkan diri ke pihak Republik.1) Mulanya membentuk wadah yang diberi nama PGI (Pasukan Gerilya
1)
Istimewa). Arief (nama Jepang: T. Yo s h i z u m i ) b e r t i n d a k s e b a g a i pemimpinnya dan wakilnya dipercayakan kepada Abdul Rachman (nama Jepang: T. Ichiki). Secara organisatoris di bawah naungan Brigade Surachmad (Brigade S). Oleh karena Arief menderita sakit, Abdul Rachman menggantikan posisinya. Kesatuan ini mendapat tugas mengadakan gangguan-gangguan terhadap daerah pendudukan musuh dengan taktik gerilya. Dalam suatu pertempuran tanggal 3 Januari 1949 Abdul Rachman gugur. Setelah sempat jatuh moral karena kehilangan pimpinan, akhirnya PGI digabungkan dengan pasukan dari sekolah kadet. Gabungan pasukan ini diberi nama PUS 17 (Pasukan Untung Suropati 17) di bawah komandan Kapten Soekardi (nama Jepang: Sugiyama) dan ditempatkan sebagai pasukan teritorial. Angka 7 dalam tradisi Jepang rupanya kurang memberikan keberuntungan, sehingga namanya kemudian diganti PUS 18.2) Dengan berakhirnya Peristiwa
Terdapat beberapa motivasi bekas tentara Jepang berdiri di pihak Republik. Pertama, simpati tulus terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Kedua, melarikan diri dari camp konsentrasi. Kelompok kedua ini mempunyai alas an berbeda. Melarikan diri dibayangi rasa takut, bahwa nanti akan dituntut di depan Mahkamah militer Sekutu sebagai penjahat-penjahat perang. Alasan lain, melarikan diri karena tidak mau menyerah. Sebagian dari yang tidak mau menyerah melakukan Harakiri. Ketiga, dihinggapi kekecewaan dan ketidakpuasan. Kelompok ketiga ini kebanyakan berasal dari pemuda-pemuda Wamil (Wajib militer) yang mempunyai pendidikan relatif tinggi (Sapto, 1992: 4-6); Nakamura (1988: 3-6) melihat dilemma bekas tentara Jepang dengan mengkaitkan pada kontradiksi antara “teori pembebasan” dan “praktek penjajahan”. Sebagian orang-orang Jepang telah banyak mencari nafkah di Indonesia. Mereka menginginkan Jepang membebaskan bangsa di selatan dari penjajahan. Setelah merdeka Jepang dapat menjalin kerjasama dengan Negara-negara ini. Akan tetapi, ternyata pemerintah militer Jepang justru menerapkan penjajahan (lihat juga Soedjito, 2001). 2) Setelah pengakuan kedaulatan PUS 18 mengalami reorganisasi, dijadikan 2 kompi senapan. Kapten Soekardi dan teman-temannya bekas tentara Jepang dikeluarkan dari formasi resmi dan masuk CTN (Corps Cadangan Nasional). Pada dasarnya sejak dimasukkan dalam CTN keterlibatan bekas tentara Jepang secara militer selesai sudah, walau ada janji untuk memanggil kembali tetapi tidak pernah terwujud (Sapto, 1992:7-8).
175
Perkembangan Organisasi Militer di Jawa Timur 1945-1949
Tabel. 1 Kekuatan Pasukan RI di Jawa Timur dalam ranah Keluarga Karesidenan
Kediri Malang Surabaya Bojonegoro Jumlah
September 1948 31.556 15.001 19.456 10.539 76.552
oktober 1948 23.800 12.100 17.000 7.900 60.800
keseimbangan
- 7.756 - 2.901 - 2.456 - 2.639 - 15.752
Sumber :Anderson (1976:52) Madiun, militer Jawa Timur diadakan reorganisasi, sebab ada kesatuan-kesatuan yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Bila dibandingkan antara sebelum dan sesudah peristiwa Madiun, kekuatan pasukan di Jawa Timur terdapat perubahan yang signifikan. Dalam Peristiwa Madiun militer J a w a Ti m u r k e h i l a n g a n 1 5 . 7 5 2 p ers onil nya. Karesi denan Kediri menderita pengurangan yang paling besar. Anderson (1976:52) memperkirakan faktor penyebabnya adalah konflik komunal yang keras di daerah Blitar selama dan setelah peristiwa Madiun serta penolakan beberapa kesatuan terhadap pasukan kiri. D e n ga n K e p ut us a n M e n t e r i Pertahanan No. A/532/1948 tanggal 25 Oktober 1948, organisasi Angkatan Perang mengalami penataan ulang. Dalam
susunan yang baru ini, Komando Jawa terbagi dalam 4 divisi. Pada masingmasing divisi masih terdapat brigadebrigade. Dalam pembagian seperti ini, kesatuan militer yang berada di Jawa Timur berada dalam wadah Divisi I dengan susunan sebagai berikut (Surat Keputusan Menteri Pertahanan No.A/582/1948, Djokja Documenten, no. inv. 340). Panglima Divisi : Kolonel Soengkono Kepala Staf Divisi: Letkol Dr. Soewondo Kepala Staf I : KaptenAdianto Kepala Staf II : Mayor Kadim Prawirodirdjo Kepala Staf III : Kapten Soebijono Kepala staf IV : Kapten Soenjoto Pa Menengah Terr. : Mayor Tjiptoharsono Sekretaris : Kapten Oesman Soejosoebroto Brigade I (Bojonegoro) Komandan : Letkol Soedirman3)
3)
Dalam Angkatan Perang RI ada 2 macam pangkat. Acting rank atau pangkat jabatan dan effectieve rank atau pangkat sebenarnya. Acting rank untuk jabatan-jabatan tertentu seperti: Komandan Divisi, acting rank Jenderal Mayor/Kolonel Komandan Brigade, acting rank Letnan kolonel Komandan Batalyon, acting rank Mayor Effectieve rank ditentukan menurut pendidikan, pengalaman dan jasa-jasa. Contoh: seorang perwira menengah dengan effectieve rank Kapten yang diangkat menjadi Komandan Batalyon, maka otomatis mendapat acting rank Mayor (Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, 2003: 232)
176
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 12, No.2 Juli-Desember 2012 : 92 -209 Batalyon 15 Batalyon 16 Batalyon 17
: Mayor CH. Soedono : Mayor Basuki Rachmad : MayorAbdoelah
Brigade II (Kediri) Komandan : Letkol Soerachmad Batalyon 20 : Mayor Moedjajin Batalyon 21 : Mayor Soebiran Batalyon 22 : Mayor Banoeredjo Batalyon 131 : Mayor Soedarsono Batalyon 38 : Mayor Sabaroedin Batalyon 41 : Mayor Soenarijadi Batalyon 35 : Mayor Bambang Joewono Batalyon 119 : Mayor Soenandar Brigade III (Besuki) Komandan : Letkol Moch. Sroedji Batalyon 25 : Mayor Syafiuddin Batalyon 26 : Mayor E.J. Magenda Batalyon 27 : Kapten Soedarmin Batalyon Depot : Mayor Darsan Iroe Kompi Bintoro : Kapten Bintoro Brigade IV (Malang) Komandan : Letkol Dr. Soedjono Batalyon 30 : Mayor Hamid Roesdi Batlyon 31 : Mayor Soeprapto Batalyon 32 : MayorAbdoel Manan Batalyon 33 : Mayor Samsul Islam Batalyon Depot : Kapten Nalun Haman Brigade “AS” (Madiun) Komandan : Mayor Soewido Batalyon 36 : Mayor Soemarsono Batalyon 37 : Mayor Boediono Batalyon 40 : Mayor Soeprapto Soekowati Di samping itu, terdapat kesatuan Djoko Tole di bawah pimpinan Mayor Aboe Djamal. Kesatuan ini merupakan sisa-sisa pasukan yang berhasil mundur ketika Pulau Madura dikuasai Belanda. Ada lagi 2 kompi pasukan, Kompi 45 dipimpin Kapten Sampurno dan Kompi 46 dipimpin Letnan Satu Matosin, merupakan pasukan pengawal Komando
177
Divisi I. Brigade 16 di bawah pimpinan Letkol Warrouw di Kalitapak (G. Kawi). Brigade 17/TRIP di daerah Blitar dipimpin Isman. Di daerah Madiun dan Bojonegoro TRIP dipimpin Ismail Kartasasmita. Tentara Geni Pelajar (TGP) di daerah Kediri, Madiun dan Bojonegoro (Soedjono, 2006:244). Di samping itu masih terdapat pasukan teritorial. Susunan Sub Territorium Militer (STM) di lingkungan Divisi I Jawa Timur sebagai berikut. STM Bojonegoro : Letkol Oemar Djo'i STM Madiun : Letkol Marijadi STM Kediri : Letkol Soerachmad Batalyon H.M. : Mayor H. Machfoed Batalyon Zainal : Mayor Zainal Fanani Batalyon Seno : Mayor Seno STM Surabaya : Letkol Kretarto Batalyon 18 : Mayor Djarot Soebiantoro Batalyon I : Mayor Soetjipto Batalyon 108 :Mayor Darmosoegondo Batalyon 110 : Mayor Isa Idris Batalyon 42 : M a y o r M a n s o e r Solichi STM Malang : Letkol Dr. Soedjono STM Besuki : Mayor Soerodjo STM Madura : Persiapan (Semdam VIII/Brawijaya, 1968:160-161) SIMPULAN Di Jawa Timur kesatuan tentara dikuasai oleh bekas orang-orang Peta yang cenderung menyetujui ideologi kerakyatan. Bekas anggota Peta, pada awal revolusi merasakan ikatan batin dengan laskar-laskar. Keduanya tumbuh dari pengalaman yang sama: sama-sama mengalami bahaya-bahaya dan penderitaan-penderitaan di garis depan. Melihat kenyataan ini, tidak mengherankan bila elite di Jawa Timur
Perkembangan Organisasi Militer di Jawa Timur 1945-1949
memerlukan sebuah formulasi pertahanan yang melibatkan rakyat secara teratur (Sepucuk surat dari seorang pembela tanah air, Kementerian Penerangan, ANRI, no. inv. 409). Akan tetapi, kebutuhan ini tidak mendapat tanggapan memuaskan dari petinggi militer di pusat, bahkan sebaliknya, pemerintah ingin memisahkan tentara dengan laskar melalui program ReRa. Hal ini berarti t er j adi be nt ura n denga n kons e p pertahanan yang dicita-citakan, bahkan membelakangi kebersamaan yang telah dipupuk sejak awal-awal Proklamasi. Usaha menjaga karakteristik dan independensi militer Jawa Timur tidak mampu dipertahankan ketika Pemerintah RI harus menerima sejumlah kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Dampaknya di bidang militer yang segera terlihat adalah diterimanya KNIL dalam organisasi militer Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Ironis, bekas musuh diterima, sementara teman seperjuangan harus rela ke luar dari kesatuan resmi akibat kelanjutan Program Re-Ra.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman. 1996. “Pandangan Rakyat Terhadap Cita-cita Prajurit PETA Ditinjau Dari Segi Pengamatan Sejarah Kotemporer.” Purbo S. Suwondo (Ed). PETA, Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa dan Sumatera 1942-1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Anderson, B.R.O'G.1972. “The idea of Power in Javanese Culture.” Claire
Holt (Ed.). Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press Anderson, B.R.O'G. 1972. Java in a Time of Revolution, Occupation and Resistance, 1944-1946. Ithaca, New York: Cornell University Press Anderson, B.R.O'G. 1988. Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, 1944-1946. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Anderson, D.C. 1976. “The Military Aspects of the Madiun Affair.” Indonesia, No.21 (April). Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project ANRI, Djogdja Documenten, 1946-1948, Jakarta:ANRI ANRI, Kementerian Dalam Negeri, 1945-1949, Jakarta:ANRI ANRI, Kementerian Penerangan, 19451949, Jakarta:ANRI Arsip Yayasan Eks Brigade IV- Malang Badan Arsip Propinsi Jawa Timur. 1994. Rekaman wawancara: Kartidjo. Surabaya: Badan Arsip Propinsi Jawa Timur Badan Arsip Propinsi Jawa Timur. 2001. Rekaman wawancara: Soedjito. Surabaya: Badan Arsip Propinsi Jawa Timur Berita Indonesia, 1945 Berita Repoeblik Indonesia, 1945, 1946 Cribb, R.B. 1990. Gejolak Revolusi di J akart a, Pe rgul atan An t ar a
178
MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 12, No.2 Juli-Desember 2012 : 92 -209 Otonomi dan Hegenomi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Cribb, R.B. 1991. Gangsters and Revolutionaries, The Jakarta Peoples Militia and the Indonesia Revolution, 1945-1949. Sydney: Allen & Unwin Pty Ltd. Crouch, H. 1986. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan Dinas Sejarah Militer Kodam VII/Diponegoro. 1977. Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya. Semarang: Dinas Sejarah Militer Kodam VII/Diponegoro & C.V. Borobudur Megah Djiwa Repoeblik, 1945 Hadi, N. & Sutopo. 1997. Perjuangan Total Brigade IV Pada Perang Kemerdekaan di Karesidenan Malang. Malang: Penerbit IKIP MALANG Bekerjasama dengan Yayasan Ex Brigade IV/Brawijaya Malang, 1997 Hatta, M. 1996. “Sukarela Membela Tanah Air”, dalam Purbo S. Suwondo (Ed.). PETA, Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa dan Sumatera 1942-1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Lubis, N.H, dkk. 2005. PETA Cikal Bakal TNI. Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Penelitian Universitas Pajajaran Madjallah Tentara Keamanan Rakjat,
179
1945 Moehkardi, R. 1993. Mohamad Dalam Revolusi 1945 Surabaya, Sebuah Biografi. Jakarta: Lima Sekawan Moehkardi, R. 2008. Bunga Rampai Sejarah Indonesia, Dari Borobudur Hingga Revolusi 1945. Yogyakarta: Gama Media M u h a i m i n , Ya h y a A . 1 9 8 2 . Perkembangan Militer Dalam Politik Indonesia 1945-1966 . Yo g y a k a r t a : G a d j a h M a d a University Press. Nakamura, M. 1988. “Jenderal Imamura dan Periode Awal Pendudukan Jepang.” Akira Nagazumi (Ed.). Pemberontakan Indonesia di Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Nasution, A.H. 1963. Tentara Nasional Indonesia, Jilid I. Jakarta/Bandung: Ganaco. Nasution, A.H. 1992. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid 2. Bandung: Disjarah-AD &Angkasa Notosusanto, N. 1979. Tentara Peta. Jakarta: Gramedia Notosusanto, N. 1974. Some Effects of the Guerilla on Armed Forces and Society in Indonesia 1948-1949. Jakarta: Department of Defence and Security, Centre for Armed Forces History Notosusanto, N. 1985. “Angkatan Bersenjata Dalam Percaturan Politik di Indonesia.” Analisa Kekuatan
Perkembangan Organisasi Militer di Jawa Timur 1945-1949
Politik di Indonesia. Pilihan Artikel Prisma. Jakarta: LP3ES Notosusanto, N. (Ed.). 1983. Pejuang dan Prajurit. Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI. Jakarta: Sinar Harapan Onghokham. 1983. Rakyat dan Negara. Jakarta: LP3ES & Sinar Harapan Padmodiwiryo, S. 1995. Memoar Hario Kecik. Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Poesponegoro, M.D. & Nugroho Not osusanto. 1984. Sej arah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka Ricklefs, M.C. 1995. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Sapto, A. 1992. ”Keterlibatan Bekas Tentara Jepang Pada Perang kabupaten di kabupaten Malang, Kajian Awal Berdasar Sumber Lisan.” Makalah, Disampaikan dalam Seminar Jurusan Sejarah. Malang: FPIPS IKIP MALANG Said, S.1993. Genesis of Power, General Sudirman and the Indonesian Military in Politics 1945-1949. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Said, S. 2001. Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Semdam VIII/Brawidjaja. 1968. Sam Karya Bhirawa Anoraga, Sejarah Militer KODAM VIII/BRAWIJAYA. Malang: Semdam VIII/Brawijaya Singh, B. 1996. Dwifungsi ABRI. Asalusul, Aktualisasi dan Implikasinya Bagi Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Soedjono, I. 2006. Yang Berlawanan. Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI. Yogyakarta: Resist Book Sundhaussen, U. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967. Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES Toer, P.A., Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 2003. Kronik Revolusi Indonesia. Jilid IV (1948). Jakarta: KPG Warta Indonesia, 1948, 1949 Warta Malangshu, 2604 (1944) Yulianto, D.P. 2005. Militer dan Kekuasaan. Puncak-puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, Yogyakarta: Narasi, 2005
180