PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN INDONESIA DI ERA REFORMASI Muhammad Muhtarom Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Pabelan Tromol Pos I Kartasura, Surakarta 57102
Abstrak Pada era reformasi, lembaga yang paling mendapat perhatian dalam rangka menegakkan supremasi hukum adalah lembaga peradilan. Sebagai salah satu ciri negara hukum, lembaga peradilan itu haruslah bebas dan tidak memihak. Peradilan harus independent serta impartial (tidak memihak). Pera-dilan yang bebas pada hakikatnya berkaitan dengan keinginan untuk memper-oleh putusan yang seadiladilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Tugas dan fungsi pengadilan tidak sekedar menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum dalam masyarakat. Untuk itu perlu reformasi sistem peradilan menyangkut penataan kelembagaannya (institu-tional reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental (legal substance reform). Dalam tulisan ini pembahasan lebih dititik beratkan pada sistem peradilan sebagai cara untuk melakukan penegakan hukum, yaitu meliputi substansi hukum lembaga peradilan dan struktur sistem peradilan. Kata Kunci: lembaga peradilan, penegakan hukum.
Pendahuluan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia secara konstitusional diamanatkan dalam Bab IX Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahka-
mah Agung dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi merupakan wujud dari Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan Kehakiman yang mer-
Ishraqi, Vol. IV Nomor 2, Juli-Desember 2008
145
deka mengandung makna, bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman tersebut baik yang bersifat fungsional maupun institusional tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh kekuasaan manapun. Hal tersebut juga ditegaskan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan ketentuan yang terdapat dalam Bab IX Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman, antara lain dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dan beberapa peraturan perundangundangan lainnya yang merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuanketentuan tersebut. Era reformasi yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1998 salah satu penyebabnya adalah pengaruh perubahan nilai terhadap perilaku politik, ekonomi dan hukum. Oleh karena itu reformasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu politik, ekonomi dan hukum. Reformasi di bidang hukum berusaha untuk menegakkan kembali supremasi hukum. Dilihat dari sejarahnya supremasi hukum adalah suatu doktrin hukum yang timbul dan berkembang di negara-negara Eropa Barat sejak dimaklumatkannya 146
Dictatus Papae oleh Paus Gregorius VII pada tahun 1075, pada suatu abad ketika vitalitas ajaran agama Kristen memasuki puncaknya. Manifesto Paus ini berisi tidak kurang dari 27 (dua puluh tujuh) butir yang disusun dan dimaklumatkan secara sepihak. Isi maklumat itu menyatakan bahwa Paus (yang juga uskup di Roma) ialah satu-satunya pemegang kekuasaan hukum yang tertinggi dan universal atas segala urusan (baik yang rohani maupun yang sekuler) di kawasan imperium Barat atas orang-orang Kristen dan atas para padri, dan bukan para penguasa dunia, baik yang raja maupun yang kaisar. Pada masa itu kondisi yang terjadi adalah negara dunia yang dipimpin oleh kaisar mengembangkan ahli-ahlinya sendiri yang membangun sistem hukum berdasarkan asas-asas hukum Romawi, sedangkan gereja di bawah kepemimpinan Paus mengembangkan sistem hukumnya sendiri atas dasar ajaran Yesus Kristus yang selanjutnya dikenal dengan nama Kanonik. Dari sejarah ini diketahui adanya suatu pengakuan akan peran hukum sebagai dasar kehidupan bernegara yang selanjutnya menjadi sesuatu yang sangat bermakna. Dalam Penjelasan tentang UndangUndang Dasar 1945 tentang Sistem Pemerintahan ditegaskan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa negara (termasuk di dalamnya Pemerintah dan Lembaga-Lembaga Negara yang lain) dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi hukum,
Muhammad Muhtarom, Perkembangan Lembaga ...: 145-159
dalam hal ini hukum dasar dan Undangundang sebagai rinciannya dan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Ciri-ciri negara berdasarkan hukum dalam arti materiil adalah sebagai berikut: a. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara b. Diakuinya hak asasi manusia dan dituangkannya dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. c. Adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintahan (asas legalitas) d. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka serta tidak memihak e. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pada era reformasi yang terjadi saat ini, dalam rangka menegakkan supremasi hukum, lembaga yang paling banyak disorot adalah lembaga peradilan. Sebagai salah satu ciri negara hukum, lembaga peradilan itu haruslah bebas dan tidak memihak. Peradilan harus independent serta impartial (tidak memihak). Peradilan yang bebas pada hakikatnya berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Tugas dan fungsi pengadilan tidak sekedar menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum dalam masyarakat (Sulistiyono, 2005: 152-184). Sedangkan asas lebih ditujukan
kepada proses pelayanan agar pencari keadilan terhindar dari ekses-ekses negatif. Dengan kata lain, independensi menyangkut nilai-nilai substansial, sedangkan asas con tante justitie berkaitan dengan nilai-nilai prosedur. Dalam tulisan ini pembahasan lebih dititik beratkan pada sistem peradilan sebagai cara untuk melakukan penegakan hukum. Hal senada dikemukakan oeh Luhut MP. Pangaribuan yang menyebutkan bahwa istilah peradilan dalam persfektif penegakan hukum mengacu pada berjalannya satu mekanisme tertentu dalam satu sistem (yang baku). Berjalannya mekanisme ini digerakkan oleh aparatur penegak hukum (Formal : Polisi, Jaksa, “Advokad” dan Hakim) dalam sistem yang diatur dalam hukum acara. Adanya kecenderungan harmonisasi aparatur dan sistem yang belum pernah disempurnakan membuat adanya peluang untuk intervensi kekuasaan (Pangaribuan: 1). Secara sosiologis ternyata “proses hukum tidak hanya berlangsung di atas rel peraturan dan institusi hukum formal, melainkan cukup intensif digerakkan, dibolehkan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor meta juridis, seperti kekuasaan politik, ekonomi dan kebudayaan (Rahardjo, 1997). Dalam tulisan ini pembahasan lebih dititik beratkan pada sistem peradilan khususnya kondisi yang sedang terjadi saat ini dan kondisi yang dicita-citakan pada masa yang akan datang. Sistem Peradilan itu sendiri meliputi: (1) Struktur, (2) Substansi, dan (3) Kultural. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Ishraqi, Vol. IV Nomor 2, Juli-Desember 2008
147
Dalam melakukan pengamatan ter-hadap berlakunya hukum secara lengkap, Satjipto Rahardjo menyebutkan adanya berbagai unsur yang harus terlibat yaitu (Rahardjo, 1983: 13-14): 1. Peraturan sendiri. 2. Warga negara sebagai sasaran peraturan. 3. Aktivitas birokrasi pelaksana. 4. Kerangka sosial-politik ekonomi budaya yang ada yang turut menentukan bagaimana setiap unsur dalam hukum tersebut di atas menjalankan apa yang menjadi bagiannya. Unsur-unsur yang dikemukakan di atas selanjutnya harus dilihat hubungannya satu sama lain dalam suatu proses interaksi yang dinamis. Dengan menggunakan alat analisa tersebut, maka selanjutnya akan ditemukan berbagai macam kekhasan berlakunya hukum, yaitu “Hukum yang Tidur”, Hukum yang dikesampingkan, Hukum yang lumpuh. Kondisi hukum sebagaimana di uraikan oleh Satjipto Rahardjo di atas saat ini paling banyak terjadi dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia (Ibid). Berdasarkan uraian di atas maka muncul permasalahan bagaimanakah perkembangan aspek substansial dan aspek struktural kelembagaan sistem peradilan di Indonesia sejak masa kemerdekaan sampai sekarang? Perkembangan Substansi Hukum Lembaga Peradilan Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dari berbagai konstitusi yang 148
pernah berlaku di dalamnya selalu dirumuskan mengenai Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, yaitu: a. Undang-Undang Dasar 1945; b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949; c. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950; d. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dari beberapa peraturan perundangundangan yang menegaskan betapa “mulia” (menegakkan hukum dan keadilan) dan “merdeka”-nya Kekuasaan Kehakiman (bebas dari pengaruh) tersebut, merupakan penegasan bahwa secara konsisten bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai masa reformasi sekarang tetap ingin menerapkan prinsipprinsip dasar yang kokoh sebagai negara hukum, yaitu untuk menegakkan keadilan dan menyelenggarakan Kekuasaan Kehakiman yang bersih dan berwibawa. Namun demikian, sejarah juga mencatat terjadinya berbagai penyimpangan dan pasang surut perjalanan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dari waktu ke waktu, baik yang bersifat administratif maupun yang sifatnya teknis justisi. Sejarah Kekuasaan Kehakiman yang merdeka pernah dikesampingkan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, di mana dalam ketentuan Pasal 19 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa “demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat
Muhammad Muhtarom, Perkembangan Lembaga ...: 145-159
yang sangat mendesak, presiden dapat turut campur dalam soal-soal pengadilan”. Adanya penyelewengan dan intervensi kekuasaan lain pada institusi Kekuasaan Kehakiman yang telah terjadi tersebut baik disadari maupun tidak telah mengakibatkan pelumpuhan secara sistemik atas Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Padahal negara hukum menghendaki suatu lembaga dan prinsip pengadilan yang bebas, namun dalam sejarah perjalanannya pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia masih banyak Adicemari@ oleh intervensi kekuasaan eksekutif di bawah konfigurasi politik, terutama pada era Orde Baru yang otoriter. Hal ini pada akhirnya akan sangat berpengaruh pada terganggunya sistem peradilan secara keseluruhan dan semuanya itu merupakan penyebab perusakan terhadap Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab (Muladi, 2002: 227). Adanya intervensi dan ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga peradilan, adanya sorotan negatif dari sebagian pihak mengenai integritas sebagian hakim dan Hakim Agung, kualitas beberapa putusan lembaga Kekuasaan Kehakiman (peradilan) yang banyak dikritik karena kurang argumentatif, tidak konsisten, dan lain sebagainya hanya menambah jauhnya jarak Kekuasaan Kehakiman dari kondisi ideal yang diharapkan masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut perlu dilakukan adanya reformasi dan pembenahan secara menyeluruh mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan
Kekuasaan Kehakiman, baik yang menyangkut instrument peraturan perundang-undangannya (legal substance), penataan kelembagaan atau organisasinya (legal structure), maupun pandangan berbagai pihak terhadap lembaga Kekuasaan Kehakiman itu sendiri (legal culture). Dengan adanya reformasi dan pembenahan di bidang Kekuasaan Kehakiman tentunya diharapkan akan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembagalembaga peradilan di Indonesia dan mewujudkan peradilan Indonesia yang bersih, berwibawa, serta mengayomi hak dan kewajiban para pencari keadilan di Indonesia. Era reformasi yang mewarnai kehidupan bernegara di Indonesia telah banyak membawa berbagai perubahan, tidak terkecuali reformasi dan perubahan di bidang Kekuasaan Kehakiman. Arus reformasi, keinginan, dan desakan untuk melakukan perubahan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan di bidang Kekuasaan Kehakiman dan amandemen terhadap Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah banyak membawa perubahan dalam pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Sebagai contoh, amandemen terhadap Pasal 24 UUD 1945 yang menyebutkan, bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
Ishraqi, Vol. IV Nomor 2, Juli-Desember 2008
149
sebuah Mahkamah Konstitusi, merupakan salah satu tonggak perjalanan sejarah Kekuasaan Kehakiman terpenting di Indonesia. Disebutkan tonggak sejarah terpenting dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, karena dengan amandemen tersebut lahirlah Kekuasaan Kehakiman yang baru, yaitu Mahkamah Konstitusi yang keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan masyarakat dalam memperjuangkan haknya untuk menggugat adanya undang-undang yang dirasakan merugikan hak konstitusionalnya. Dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi, secara langsung maupun tidak langsung Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dapat dikatakan menganut sistem bifurkasi (bifurcation system) seperti Jerman, Perancis, dan Rusia. Dalam sistem bifurkasi ini Kekuasaan Kehakiman dibagi menjadi dua cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang bermuara pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Di samping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman sebagaimana disebutkan di atas, UUD 1945 juga telah
150
mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman, yaitu Komisi Yudisial. Pasal 24B ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sedangkan mengenai organisasi, wewenang, tugas, dan fungsi Komisi Yudisial diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Hal ini memberikan gambaran mengenai politik hukum bangsa Indonesia yang berkeinginan kuat untuk mewujudkan adanya Kekuasaan Kehakiman yang bersih dan bebas dari pengaruh kekuasaan di luar Kekuasaan Kehakiman itu sendiri guna menegakkan keadilan dan kebenaran. Sedangkan untuk mereformasi berbagai perangkat peraturan perundangundangan di bidang Kekuasaan Kehakiman, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat selain telah membentuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Adapun struktur dan kewenangan pokok dari ketiga lembaga tersebut adalah sebagai berikut:
Muhammad Muhtarom, Perkembangan Lembaga ...: 145-159
KEKUASAAN KEHAKIMAN Ps. 24 UUD 1945 & UU No. 4 Th. 2004
MAHKAMAH AGUNG
MAHKAMAH KONSTITUSI
UU No. 14 Th. 1985 Sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Th. 2004
UU No. 24 Th. 2003
Wewenangnya:
Wewenangnya:
• • •
Mengadili pada tingkat kasasi Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang Wewenang lainnya yang
• • • • •
Menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Memutus pembubaran partai politik Memutus perselisihan tentang hasil Pemilu Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD
KOMISI YUDISIAL Pasal 24 B UUD 1945 Undang Undang No. 22 Tahun 2004
Wewenangnya: • Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR (ps 13 huruf a) • Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Ps. 13 huruf b, ps.20 dan 22) berupa : a. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim; b. meminta laporan berkala tentang perilaku hakim; ke badan peradilan terkait c. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim; d. meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik; e. membuat LHP yang berupa rekomendasi kepada MA dan/atau MK. Ishraqi, Vol. IV Nomor 2, Juli-Desember 2008
151
Pada era reformasi juga telah dilakukan berbagai perubahan dan pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan undangundang yang menggantikan UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. 4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Muladi menyebutkan bahwa penegakan hukum pasca reformasi diwujudkan melalui perlindungan hukum terhadap hak-hak sipil, selain upaya mengembalikan fungsi hukum sesuai tatanan nilainilai demokrasi seperti keterbukaan, tanggung jawab, kebebasan, dan keadilan (Muladi:2001). Untuk mencapai hal tersebut, Indonesia memerlukan kondisikondisi awal yang menunjukkan bahwa proses penegakkan hukum tersebut dilaksanakan. Kondisi awal itu antara lain 152
meliputi keberadaan pemerintahan yang terbuka, bertanggung jawab, dan responsif. Ini artinya pemerintahan tersebut harus membuka peluang seluas-luasnya bagi keterbukaan informasi, persamaan hukum, keadilan, kepastian hukum, dan peran serta masyarakat. Dalam rangka membangun sistem peradilan di Indonesia maka hal mendasar yang harus dilakukan saat ini adalah melakukan reformasi hukum secara total. Reformasi hukum dilakukan dengan menitik beratkan pada reorganisasi dan restrukturisasi hukum yang bersifat proaktif, profesional dan aspiratif terhadap baik perkembangan kebutuhan hukum masyarakat nasional maupun internasional (Atsasmita,358). Reorganisasi hukum berorientasi kepada penataan kembali materi hukum dan proses penegakan hukum. Penataan kembali materi hukum ditujukan terhadap seluruh produk hukum kolonial dan peraturan perundang-undangan nasional yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat nasional terutama kebutuhan perkembangan ekonomi, politik dan perlindungan HAM baik yang terjadi pada saat sekarang ini maupun yang diprediksikan berlaku pada masa yang akan datang. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Undangundang Pokok Kekuasaan Kehakiman disebut “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dalam Penje-
Muhammad Muhtarom, Perkembangan Lembaga ...: 145-159
lasan pasal tersebut dinyatakan :”Hakim merupakan perumus dan penggali nilainilai yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masya-rakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Dalam rangka mengemban tugas di atas Mahkamah Agung menjadi sarana vital untuk menyebarkan The sense of justice of the people. Perkembangan Aspek Struktural Sistem Peradilan Dari pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan dalam upaya mereformasi Kekuasaan Kehakiman tersebut, secara kelembagaan juga diperkenalkan pengadilan-pengadilan baru yang bersifat khusus dalam lingkup peradilan di bawah Mahkamah Agung. Pembentukan pengadilan khusus tersebut dimungkinkan dan diamanatkan oleh ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk di dalam lingkup badan peradilan dibawah Mahkamah Agung. Beberapa pengadilan khusus yang telah dibentuk tersebut, antara lain: a. Dalam lingkungan peradilan umum dibentuk badan-badan peradilan lain yang sifatnya khusus: 1. Pengadilan Anak yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor
b.
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 2. Pengadilan Niaga yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan; 3. Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; 4. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 5. Pengadilan Perselisihan Industrial yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial; Pada Peradilan Tata Usaha Negara dikembangkan dan diperkenalkan adanya satu badan baru yaitu Pengadilan Pajak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pangadilan Pajak. Pengadilan Pajak merupakan transformasi atau perwujudan dari Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat
Ishraqi, Vol. IV Nomor 2, Juli-Desember 2008
153
terakhir yang tidak dapat dilakukan upaya hukum banding. Namun dalam hal terdapat pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Pajak, dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali sesuai dengan tata cara yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002. Dalam lingkup Peradilan Agama, sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 18
c.
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pada saat ini telah dicabut dan diganti dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, di bentuk Mahkamah Syar’iyah sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama. Untuk lebih memudahkan memahaMi struktur kekuasaan kehakiman di era reformasi tersebut, maka dapat dilihat bagain berikut ini (Muchsin:2008)
STRUKTUR BADAN PERADILAN Mahkamah Agung Republik Indonesia UU No. 14 Th. 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Th. 2004
Lingkungan Peradilan Umum UU No. 2 Th. 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Th. 2004
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara UU No. 5 Th. 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Th. 2004
Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan Negeri
Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Agama
Lingkungan Peradilan Agama UU No. 7 Th. 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Th. 2006
Lingkungan Peradilan Militer UU No. 31 Th. 1997
Pengadilan Militer Utama
Pengadilan Militer Pertempuran
Pengadilan Militer Tinggi
Adapun struktur lembaga peradilan khusus yang berada di bawah wewenang
154
Pengadilan Militer
Mahkamah Agung dapat dilihat sebagaimana tabel berikut:
Muhammad Muhtarom, Perkembangan Lembaga ...: 145-159
BAGAN LEMBAGA PERADILAN KHUSUS MAHKAMAH AGUNG UU No. 14 / 1985 sebagaimana diubah dengan UU No. 5 / 2004
Lingkungan Peradilan Umum
UU No. 2 / 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 8 / 2004
Pengadilan Anak UU No. 3 / 1997
Lingkungan Peradilan Agama
Lingkungan Peradilan Militer
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
UU No. 7 / 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3/2006
UU No. 31 / 1997
UU No. 5 / 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 9 / 2004
Pengadilan Niaga UU No. 1 / Prp / 1998
Pengadilan Pajak UU No. 14 / 2002
Pengadilan HAM UU No. 26 / 2000
Mahkamah Syari’ah
Pengadilan TIPIKOR UU No. 30 / 2002
Pengadilan Hubungan Industrial UU No. 2 / 2004
Pengadilan Perikanan UU No. 31 / 2004
Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Penunjang dalam Sistem Peradilan Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mandiri lahir dari tuntutan reformasi dan untuk melakukan reformasi lembaga peradilan mempunyai fungsi untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mengawasi hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945. Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial mencakup pengawasan preventif sampai dengan pengawasan yang bersifat
represif dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan eksistensi dan fungsi yang demikian itu, Komisi Yudisial memegang peranan penting dan strategis dalam upaya mewujudkan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa, sekaligus mereformasi lembaga peradilan dan mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri, tidak berpihak (netral), kompeten, transparan, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran, serta berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Alasan utama bagi terwujudnya
Ishraqi, Vol. IV Nomor 2, Juli-Desember 2008
155
(raison d’atre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum, adalah (Soekotjo Soeparta:2006): (1) Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal, (2) Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah, (3) Dengan adanya Komisi Yuidisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman, (4) Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial), (5) Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, 156
sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik. Sebagai suatu sistem kinerja lembaga peradilan saat ini oleh sebagian orang dianggap tidak bersih dan kurang berwibawa. Timbulnya pandangan yang demikian itu disebabkan oleh banyaknya penyalah-gunaan wewenang di lembaga peradilan. Penyalah-gunaan wewenang di lembaga peradilan makin merusak seluruh sendi peradilan, dan mengakibatkan menurunnya kewibawaan serta kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap lembaga peradilan. Terungkapnya kasus-kasus penyalah-gunaan wewenang oleh hakim dan pejabat peradilan yang dipublikasikan oleh berbagai media akhir-akhir ini merupakan cerminan dari lemahnya integritas moral dan perilaku hakim, termasuk pejabat dan pegawai lembaga peradilan. Keadaan ini tidak saja terjadi di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tetapi juga telah memasuki dan terjadi di lingkungan Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang tertinggi. Ternyata penerapan one roof system sebagai salah satu upaya menciptakan independensi pengadilan dan imparsial hakim melalui proses pemindahan wewenangan manajemen administrasi, personalia, dan keuangan dari eksekutif (Menteri Hukum dan HAM) sebagai amanat undang-undang pokok kekuasaan kehakiman belum dapat meningkatkan integritas moral dan profesionalitas hakim.
Muhammad Muhtarom, Perkembangan Lembaga ...: 145-159
Keadaan yang digambarkan di atas terjadi karena tidak efektifnya pengawasan internal oleh lembaga peradilan. Berkaitan dengan itu, memang dibentuknya Komisi Yudisial disebabkan oleh tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) tadi. Tidak efektifnya pengawasan internal itu disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : (1) Kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) Semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga peradilan tertinggi sampai dengan terendah untuk menindaklanjuti hasil pengawasan. Untuk mendukung langkah-langkah pembaharuan peradilan Komisi Yudisial telah melakukan upaya penguatan ke dalam yaitu corporate building dan penguatan keluar dalam bentuk kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait yaitu pembangunan jaringan untuk mendorong secara konstruktif agar lembaga peradilan mereformasi diri sebagaimana tertuang dalam Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung RI. Langkahlangkah yang dilakukan oleh Komisi Yudisial harus
diartikan sebagai itikad baik dan akselerasi reformasi lembaga peradilan agar terwujudnya lembaga peradilan yang mandiri, tidak berpihak (netral), kompeten, transparan, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran, serta berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Dalam rangka mewujudkan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa itu Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang berwenang melaksanakan fungsi pengawasan terhadap hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi adalah bersifat konsitusional. Wewenang pengawasan oleh Komisi Yudisial itu meliputi pengawasan yang bersifat preventif sampai dengan pengawasan yang bersifat represif sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 24 A ayat (3) dan Pasal 24 B ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu berjalan efektif tentu dapat mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim untuk senantiasa menjalankan wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama kekuasaan kehakiman sesuai dengan kode etik, code of conduct hakim dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di sinilah sesungguhnya letak peranan penting dari Komisi Yudisial dalam upaya mendukung penegakan hukum di Indonesia. Komisi Yudisial dalam menjaga dan
Ishraqi, Vol. IV Nomor 2, Juli-Desember 2008
157
menegakkan kehormatan hakim, akan memperhatikan apakah putusan yang dibuat sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan yang timbul dari masyarakat. Sedangkan dalam menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim Komisi Yudisial harus mengawasi apakah profesi hakim itu telah dijalankan sesuai etika profesi dan memperoleh pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan menjaga agar para hakim tetap dalam hakekat kemanusiannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela. Kesimpulan Perkembangan pengaturan tentang kekuasaan kehakiman sejak masa orde lama sampai reformasi telah mengalami peningkatan dan penyempurnaan secara substansial dan struktural. Berdasarkan UUD 1945, Amandemen Keempat pengaturan kekuasaan kehakiman secara garis besar adalah sebagai berikut: · Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi · Prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan
·
·
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Urusan organisasi, administrasi dan finansial badan-badan peradilan berada satu atap (One Roof System) di bawah kekuasaan Mahkamah Agung Pembinaan badan peradilan (umum, agama, militer dan tata usaha negara) berada di bawah Mahkamah Agung. Untuk badan peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.
Reformasi sistem peradilan seharusnya tidak hanya menyangkut penataan kelembagaannya (institutional reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental (legal substance reform), tetapi juga harus menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat peradilan serta perilaku hukum masyarakat sebagai keseluruhan (cultural reform). Sistem peradilan yang diharapkan yang akan berlaku di masa datang adalah suatu sistem yang mampu menempatkan hukum kembali ke akar moralitasnya, akar religiusnya dan akar kulturalnya.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. 2001. Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab Dan Solusinya). Jakarta: Penerbit Ghalia. Asshiddiqie, Jimly. 2004. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press. 158
Muhammad Muhtarom, Perkembangan Lembaga ...: 145-159
Asshiddiqie, Jimly. Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan, Azed, Abdul Bari. “Perkembangan Reformasi Kekuasaan Kehakiman”. Makalah disampaikan pada Seminar mengenai yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional. Yogyakarta, 7 September 2006. Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: The Habiebie Center. Muladi. 2001. Penegakkan Hukum Pasca Reformasi. Artikel, Jurnal Keadilan, Vol 1 No. 3, September. Pangaribuan, Luhut. MP, (http: // Hukum On Line. Html). Rahardjo, Satjipto. 1983. Permasalahan Hukum di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni. Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum Dan Perubahan Sosial. Bandung: Penerbit Alumni. Rahardjo, Satjipto. Kompas 30 Mei 1997. Soeparto, Soekotjo. Peran Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Lembaga Peradilan yang Bersih dan Berwibawa. Makalah Seminar Sehari “Penegakan Hukum di Indonesia,” Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tanggal 22 Maret 2006. Sulistiyono, Adi. 2006. Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sulistiyono, Adi. 2005. Menggapai Mutiara Keadilan: Membangun Pengadilan yang Independen dengan Paradigma Moral. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September. Sumantri, Srie. “Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Sebagai Prasarat Negara Hukum Indonesia”. Makalah disampaikan dalam Seminar 50 Tahun Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti, Sri. 2005. Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Ishraqi, Vol. IV Nomor 2, Juli-Desember 2008
159