PERKEMBANGAN DAN KEMAJUAN KONSTRUKSI GEDUNG TINGGI DAN BESMEN DALAM Ir. Davy Sukamta
1
PENDAHULUAN
Sejak masa tahun 1970-an dimana stabilitas politik mulai terbentuk dan perekonomian Indonesia bertambah pesat, pembangunan gedung-gedung tinggi mulai bermunculan di Jakarta. Selain Hotel Indonesia yang dibangun Jepang sebagai kompensasi penjajahannya, bermunculan pula gedung tinggi lainnya seperti Wisma Nusantara (30 lantai), Wisma Antara, Hongkong Bank, Hotel Mandarin, Hotel Hilton, Ratu Plaza, dll. Gambar 1 menunjukan bundaran Hotel Indonesia dengan Hotel Mandarin yang dibangun pada era ini.
Gambar 1 Kebanyakan gedung-gedung tinggi dibangun sepanjang poros Thamrin-Sudirman, ditunjang dengan infrastruktur Jakarta yang terus ditata ke arah yang lebih baik. Patut dicatat bahwa pada masa tersebut, gedung-gedung tinggi dibangun oleh pihak swasta dan umumnya menggunakan tenaga ahli asing yang bekerja sama dengan pihak lokal. Porsi pekerjaan pihak lokal umumnya sedikit. Hanya gedung kantor Gubernur DKI di Jl. Merdeka Selatan (24 lantai) dan Wisma Pertamina yang merupakan gedung tinggi yang dibangun pemerintah. Sejalan dengan perkembangan waktu, alih teknologi berhasil memberdayakan para ahli Indonesia di bidang dunia konstruksi. Dewasa ini para kontraktor lokal sudah menguasai pasar hampir sepenuhnya. Para ahli struktur lokal-pun berhasil mengikuti jejak tersebut. Hanya di bidang arsitektur peran asing masih dominan hingga saat ini, dan belum terlihat akan tergeserkan. Tulisan ini mengupas perkembangan dan kemajuan gedung tingkat tinggi, mulai dari material konstruksi, sistem struktur, fundasi dan metode pelaksanaan. Kondisi yang ada dewasa ini disoroti, termasuk sisi kelemahan yang ada yang perlu diperbaiki.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
1
2
MATERIAL STRUKTUR
Ditunjang dengan tersedianya bahan dasar untuk konstruksi beton, maka kebanyakan gedung tinggi di Indonesia dibuat dengan konstruksi beton bertulang. Teknologi beton berkembang pesat. Dari mutu K-175 sampai K-225 di masa awal, secara bertahap mutu beton komersil yang ada di pasaran meningkat menjadi 25-35 MPa dimasa tahun 1980-an. Perusahaan pemasok beton ready mix tumbuh pesat, dan ada pula yang bekerja sama dengan pihak asing. Proyek Amartapura (52 lantai – selesai tahun 1997) memicu kebutuhan beton mutu tinggi berkinerja baik. Amartapura merupakan gedung pertama di Indonesia yang menembus angka 50 dalam jumlah lapisnya. Beton mutu tinggi diperlukan untuk mendapatkan kekakuan struktur yang baik dan dimensi kolom yang pantas. Beton 60 MPa dikembangkan sejak awal perencanaan, dipantau hasil produksinya selama beberapa saat, dan digunakan setelah mendapat kepastian mutu tersebut dapat dipasok ke lapangan secara pasti. Hasil uji sampel-sampel yang diambil menunjukkan bahwa keruntuhan benda uji silinder terjadi pada bagian cement paste, bukan pada kehancuran agregat-nya (gambar 2), hal mana menunjukkan bahwa agregat lokal (Jawa Barat) dapat digunakan untuk beton bermutu lebih tinggi lagi. Sejak saat itu, mutu beton 40 MPa – 50 MPa seringkali digunakan di pasaran.
Gambar 2 Mutu besi beton juga berkembang, dari jenis U-22 dan U-24 (FY=220 MPa – 240 MPa) di tahun 1970an hingga mencapai BJTS-40 (FY=400 MPa) yang banyak digunakan di pasaran dewasa ini. Beberapa pabrik besi beton berusaha mempromosikan jenis BJTS50 dengan tegangan leleh karakteristik senilai FY=500 MPa, dengan menggunakan teknik quenched and tempered, hal mana menghasilkan permukaan luar besi beton yang keras dan sisi dalam yang lebih lunak. HAKI senantiasa menentang pemakaian BJTS-50 untuk elemen penahan gempa sejalan dengan larangan yang tercantum dalam peraturan konstruksi beton di Indonesia, SNI 03-2847-2002, hal mana juga diterapkan dalam ACI 318. Konstruksi baja belum umum digunakan untuk gedung tinggi di Indonesia. Pabrik baja dalam negeri hanya mampu memproduksi profil baja berukuran relatif kecil, sehingga profil-profil kompak untuk kolom harus didatangkan dari luar negeri. Keahlian para konsultan maupun kontraktor spesialis sangat terbatas. Hanya beberapa perusahaan saja yang mempunyai kemampuan melakukan perancangan struktur baja dengan baik, melakukan pendetailan sambungan, membuat shop drawing, melakukan pekerjaan fabrikasi dan pemasangan, maupun melakukan pengelasan dengan kualitas tinggi. HalSeminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
2
hal di atas tadi ikut membatasi perkembangan konstruksi baja di Indonesia.
3
SISTEM STRUKTUR
Sistem struktur yang umum digunakan untuk gedung-gedung tinggi di Indonesia berkembang sesuai dengan perkembangan pengetahuan para konsultan perancang, bertambah tingginya jumlah lantai gedung, ketersediaan material struktur serta kesiapan para kontraktor lokal dengan metode kerja dan teknik pelaksanaannya. Pada masamasa awal ketinggian gedung bertingkat berkisar antara 12 lantai – 24 lantai. Sistem yang sering diterapkan adalah konstruksi beton dengan rangka terbuka dan shearwall. Masalah interaksi frame-shearwall sering menjadi topik inti dalam perancangan. Sistem lantai yang populer digunakan adalah pelat-balok. Di masa awal gedung bertingkat, sistem lantai seperti joist pernah diterapkan konsultan-konsultan asing. Demikian pula dengan penggunaan sistem post-tensioned. Namun perkembangan selanjutnya tidak mendukung kedua jenis sistem di atas, karena satu dan lain hal. Sistem lantai yang umum diterapkan mulai tahun 2000-an adalah pelat balok konvesional dan sistem flat slab untuk gedung jenis apartemen. Beberapa konsultan dari Australia seringkali memakai band beam seperti di negara mereka, namun dengan konfigurasi core yang kurang memadai, struktur gedung secara keseluruhan seringkali terlalu lentur. Dengan makin tingginya gedung-gedung yang dibangun, khususnya di Jakarta, maka peranan kekakuan gedung menjadi semakin penting. Para konsultan yang menangani perancangan gedung-gedung di atas 40 lantai mulai melihat bahwa gedung yang terlampau lentur, yang tidak mempunyai kekakuan cukup, akan menyebabkan kerusakan lebih besar saat terjadi gempa. Saat terkena angin kencang, pergeseran lateral gedung-gedung tersebut dapat terasa dan membuat penghuni merasa kurang nyaman. Beberapa konsultan telah menaruh perhatian khusus terhadap masalah ini, hal mana tercermin dari sifat dinamis gedung dan fundamental period-nya, serta penggunaan uji terowongan angin terhadap model struktur untuk mengetahui perilaku struktur tersebut. Sehubungan dengan masalah kekakuan struktur ini, maka muncullah sistem lateral lain seperti interaksi core-rangka terbuka, mega-structure (diterapkan pada gedung BDNI tetapi proyek tidak dilanjutkan akibat krisis finansial Asia 1997), core dan outrigger (Amartapura-1997, The Peak-2007 dan St. Moritz-menunggu pelaksanaan). Beberapa gedung tinggi menerapkan mixed steel-concrete sebagai sistem strukturnya. Menara BRI-2, Menara Mulia dan The City Tower menggunakan konsep core beton bertulang, dan rangka terbuka konstruksi baja.
4
PERKEMBANGAN SISTEM FUNDASI
Sejak awal pembangunan gedung tinggi, fundasi dalam dengan tiang bor sudah mendominasi konstruksi-konstruksi di Jakarta. Hal ini disebabkan oleh kondisi lapisan tanah atas yang umumnya berupa lempung lunak, yang tidak mampu menahan beban berat. Pada awal pembangunan gedung tinggi, bored pile dengan diameter 1 m dan 1.2 m seringkali digunakan. Daya dukungnya berkisar antara 250 ton-350 ton. Gedung the Tropic (selesai 1994), 24 lantai dengan 2 besmen, memulai arahan baru dalam nilai daya dukung tiang bor, dimana tiang diameter 1 m dirancang untuk mencapai daya dukung ijin 525 ton. Amartapura (52 lantai, selesai 1997) menggunakan tiang bor Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
3
diameter 1.2 m dengan daya dukung ijin 750 ton. Era baru penggunaan tiang bor berdaya dukung tinggi telah sampai. Saat ini, untuk konstruksi gedung tinggi, rekor daya dukung ijin tiang bor tertinggi yang dipakai pada bangunan gedung dipegang oleh proyek Plaza Indonesia Extension, dengan tiang diameter 1.8 m dan daya dukung ijin mencapai 1500 ton. Pengujian fundasi berkapasitas besar dapat menimbulkan masalah tersendiri. Gambar 3 menunjukkan keadaan lapangan saat melakukan uji tiang di Amartapura, dengan bobot kontra melampaui 1500 ton. Gambar 4 menunjukkan cara baru yang diterapkan untuk pengujian tiang bor di Plaza Indonesia Extension, dengan beban uji 3000 ton. Uji dengan Osterberg cell ini tidak memerlukan bobot kontra.
Gambar 3
Gambar 4
Pemakaian tiang pancang precast juga cukup populer. Jenis yang menguasai pasaran adalah jenis solid dengan pre-tension atau spun-pile yang juga menerapkan pre-tension. Kelemahan tiang jenis-jenis ini terletak pada rendahnya kapasitas tarik tiang dan masalah pelaksanaan bila gedung mempunyai besmen dalam. Karena ukurannya yang relatif langsing, daya dukung lateral-nya dapat menjadi faktor penentu jumlah tiang, terutama bila tanah lapisan atas-nya cukup lunak seperti yang sering dijumpai di wilayah Jakarta Utara. Masalah sambungan kepala tiang prestress dengan pile-cap seringkali belum mendapat perhatian yang baik. Seringkali detailing konsultan perencana pada hal yang satu ini masih salah. Perlu diingat bahwa pada saat tiang dibobok, gaya pra-tegang juga juga akan hilang pada bagian terbobok tersebut. Daya dukung tiang precast ukuran 45 x 45 cm umumnya berkisar antara 100-140 ton. Untuk spun pile diameter 50 cm mencapai 125-160 ton. Pada beberapa proyek daya dukung tiang pancang dipaksakan sehingga mencapai nilai teoritis yang fantastik. Dalam hal ini konsultan perencana harus mengingat keterbatasan faktor-faktor lapangan seperti vertikalitas tiang, integritas tiang saat mengalami hard driving dan keterbatasan daya dukung lateral yang mungkin menjadi faktor penentu jumlah tiang.
5
KONSTRUKSI BESMEN
Pembangunan besmen menjadi populer seiring dengan bertambahnya jumlah kendaraan dan kebutuhan parkir, mahalnya harga tanah, dan ketersediaan teknologi membuat besmen dalam. Sebelum 1990, umumnya kedalaman besmen terbatas pada satu atau dua lapis saja. Mulai tahun 1990-an, kedalaman kian bertambah hingga mencapai 6 lapis dengan dalam galian 18 m-20 m. Untuk satu atau dua lapis besmen, apabila kondisi sekeliling mendukung, penggalian secara terbuka dapat dilakukan. Dalam hal ini, selain stabilitas lereng, perlu dipertimbangkan pula masalah deformasi yang terjadi dan dewatering serta pengaruhnya Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
4
terhadap lingkungan sekeliling. Penggalian dengan perkuatan lereng yang menggunakan soil nailing mulai diperkenalkan pada proyek Menara BRI Iipada tahun 1994, dengan besmen sebanyak 3 lapis. Soil nailing mendapatkan sambutan terbatas, terutama setelah peristiwa keruntuhan galian di salah satu proyek di kompleks Mega Kuningan. Pembuatan besmen dengan membuat struktur penahan tanah keliling saat ini merupakan cara yang paling umum dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai elemen struktur penahan tanah, seringkali dipakai soldier pile, secant pile atau diaphragm wall. Sebagai sistem penopang, ground anchors sangat populer. Sistem penopang dengan strut dari konstruksi baja jarang digunakan, mengingat biayanya yang mahal dan restriksi pekerjaan yang terjadi akibat adanya strut. Proyek Menara Tempo Scan (sedang dibangun) menerapkan sistem diaphragm wall dengan untuk galian sedalam 17 meter, sedangkan Pondok Indah Mall menggunakan sistem interlocking secant pile untuk galian sedalam 14.25 m, dimana keduanya dengan 3 lapis ground anchors sebagai tie back system. Dalam situasi dimana galian besmen berlokasi sangat dekat dengan bangunan keliling, diperlukan sistem strut yang sangat kaku sehingga deformasi struktur penahan tanah dapat diminimalkan. Disini pelat lantai beton dapat dimanfaatkan sebagai strut, dimana metode kerjanya dibuat secara konstruksi Top-Down. Hotel Grand Mahakam dengan galian 11.75 m merupakan gedung pertama yang dibangun dengan sistem ini. Selesai dibangun tahun 1997, 3 lapis besmen-nya sebagai fasilitas parkir dibangun sangat dekat dengan batas lahan, dimana disekitar lokasi proyek berdiri rumah-rumah dua-tiga lantai dengan fundasi dangkal. Pada pembangunan kantor Bank Mega, besmen-nya berada sejarak 8 m dari gedung Trans TV yang sudah berdiri. Besmen 4 lapis ini dibangun dengan konstruksi top-down, dimana king-post sebagai kolom sementara dibuat dari concrete infill pipe, sedangkan struktur penahan tanah keliling menggunakan sistem interlocking secant pile. Sistem ini mencapai kulminasi saat diterapkan secara Up-Down pada proyek Plaza Indonesia Extension, dimana pembangunan besmen dan struktur atas dilakukan serempak. Saat lantai besmen ke-5 yang merupakan lapis terdalam selesai dicor, struktur atasnya sudah mencapai 10 lantai, hal mana memperpendek masa konstruksi sebanyak 11 bulan. Kedalaman galian pada proyek ini mencapai 16.5 m, dengan lokasi sangat berdekatan dengan gedung Kedutaan Jepang dan Plaza Indonesia/Grand Hyatt.
6
METODE KONSTRUKSI DAN KUALITAS KERJA
Kontraktor nasional yang berkecimpung di bidang gedung tinggi jumlahnya tidak banyak. Pada umumnya para kontraktor nasional ini mempunyai kemampuan untuk membangun gedung tinggi dan besmen dalam, mempunyai peralatan kerja yang baik, berpengalaman dalam menyusun skejul dan metode kerja, mengelola dan mengkoordinasi berbagai bidang yang sering kali dikerjakan sub-kontraktor yang ditunjuk pemilik, serta mampu menghasilkan kualitas yang dituntut dan dipagari oleh spesifikasi. Untuk bagian struktur atas, kelemahan utama kontraktor nasional umumnya terletak pada pengertian tentang detailing konstruksi beton dan tenaga tukang yang tidak dilatih untuk hal-hal teknis, serta lemahnya sistem Quality Assurance. Banyak cacat pekerjaan yang terlihat sepele, tetapi menjadi krusial karena merupakan bagian penting ketahanan struktur terhadap gempa, seperti misalnya detail kait sengkang yang tidak memadai. Demikian juga dengan posisi tulangan atas pelat yang seringkali terpasang lebih bawah dari posisi seharusnya, hal mana tentu mengakibatkan kinerja elemen Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
5
konstruksi beton tersebut berada di bawah nilai yang diharapkan dalam perancangan. Dalam hal ini faktor kepedulian menjadi kata kunci dari hasil pekerjaan konstruksi. Untuk bagian fundasi dan struktur besmen dalam, umumnya para kontraktor nasional sangat mengandalkan kontraktor spesialis dan dokumen perancangan keluaran konsultan. Dewasa ini belum ada kontraktor nasional yang mempunyai keahlian merancang besmen dalam, yang sering kali menuntut sekwen kerja yang harus disesuaikan dengan analisa rancangan. Dengan demikian kapabilitas konsultan perancang menjadi sangat penting. Di lain pihak patut dicatat juga, belum banyak konsultan perancang nasional yang mampu memikirkan metode kerja dan sekwen pembuatan besmen dalam sampai ke detail-detailnya.
7
BAGAIMANA DENGAN KAPABILITAS KONSULTAN NASIONAL?
Di Indonesia, praktek magang belum menjadi suatu keharusan baku bagi para pelaku teknik. Dalam sistem sertifikasi yang dianut HAKI, pelaku teknik baru dapat mengantongi sertifikat keahlian setelah melewati magang dalam kurun waktu tertentu. Praktek magang dapat menjadi kesempatan emas bagi pelaku teknik untuk belajar di bawah bimbingan teknisi ahli pada perusahaan konsultan nasional yang sudah mapan, sehingga apabila yang bersangkutan dikemudian hari berpraktek secara mandiri, dia sudah menguasai dasar-dasar perancangan yang baik termasuk aspek detailing, baik dalam konstruksi beton maupun dalam konstruksi baja. Hal yang sama berlaku pula untuk konsultan pengawas. Namun, dengan banyaknya asosiasi profesi yang berhak menjalankan proses sertifikasi, dengan sistem yang beraneka ragam dan belum mengharuskan praktek magang, maka mendapatkan sertifikat keahlian dapat menjadi soal mudah saja. Tujuan sertifikasi menjadi kabur. Mengapa praktek magang penting? Dengan adanya aktivitas kegempaan yang tinggi di Indonesia, maka ketahanan struktur terhadap gempa sangat bergantung kepada persyaratan detailing yang dituntut oleh peraturan konstruksi tahan gempa. Melihat berbagai persyaratan yang tertuang dalam peraturan yang ada, maka akan sulitlah bagi seorang lulusan baru untuk dapat menguasai begitu banyak hal yang tertuang dalam peraturan konstruksi tahan gempa yang harus digabungkan dengan peraturan konstruksi beton dan konstruksi baja. Dalam banyak hal, sungguh merupakan suatu kenyataan pahit yang harus kita akui bahwa banyak konsultan nasional yang tidak menguasai secara mendalam berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia. Hanya sedikit yang benar-benar mampu menghasilkan struktur gedung tinggi dan besmen dalam yang tahan gempa dan berkualitas baik.
8
ULASAN PROYEK
THE PEAK – JAKARTA The Peak adalah sebuah gedung apartment dengan luas ± 100,000 m2, yang terdiri dari dua menara 50-lantai dan dua menara 30-lantai, dimana seluruh menara ini duduk di atas besmen sedalam 3 lapis. Gedung ini mempunyai ketinggian 218 m diukur dari lantai dasar di luar gedung (atap besmen) ke puncak tertinggi menara.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
6
Dalam perancangan struktur gedung dengan skala ketinggian dan kelangsingan 8:1 seperti the Peak, maka masalah kekakuan (stiffness) dari struktur perlu mendapat perhatian, agar gedung dapat berperilaku baik pada saat diterpa angin keras sehingga penghuni tetap merasa nyaman dan aman. Kriteria pembebanan angin yang digunakan pada The Peak adalah kriteria yang digunakan untuk perancangan gedung Amartapura (52 lantai, selesai 1997), dimana studi dari Lythe, G.R dan Isyumov N., menunjukkan bahwa kecepatan angin per jam rata-rata untuk angin 100 tahunan mencapai 40 m/detik pada ketinggian gradien. Untuk perancangan gempa, digunakan gempa 500 tahun dengan usia gedung 50 tahun dan persentasi kemungkinan terlampaui adalah 10%, sesuai peraturan gempa Indonesia. The Peak menggunakan core beton dan balok outrigger yang diletakkan pada 3 lokasi sepanjang tinggi gedungnya yaitu pada lantai 10 s/d lantai 12, lantai 21 s/d lantai 23 dan lantai 32 s/d lantai 34. Balok-balok outrigger ini menghubungkan core beton dengan kolom-kolom outrigger, dan dengan demikian memanfaatkan seluruh lebar gedung dalam menahan beban lateral sehingga dapat memberikan kekakuan yang diperlukan. Gambar 5 menunjukkan gedung the Peak dan gambar 6 memperlihatkan potongan gedung yang menunjukkan lokasi outrigger. Mutu beton yang dipakai berkisar antara 25 MPa sampai 55 MPa. Struktur dianalisa dengan menggunakan program ETABS. Karakteristik dinamik struktur diberikan dalam Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1 Karakteristik Dinamik Struktur
Studi respons struktur terhadap angin dilakukan melalui uji coba yang dilakukan oleh Rowan Williams Davies & Irwin, Inc dari Kanada. Dalam studi ini digunakan teknik high-frequency force balance yang dilakukan pada model dengan skala 1:300. Untuk mensimulasi kondisi permukaan yang sesungguhnya, seluruh gedung yang ada dalam radius 365 m turut dimodelkan. Dalam perhitungan kekuatan struktur umumnya dipakai angin 50-tahunan, tetapi untuk the Peak yang kelangsingannya mencolok digunakan angin 100-tahunan dengan kecepatan pada tinggi gradien 40 m/detik. Untuk mendapatkan percepatan di lantai puncak digunakan beberapa kriteria yaitu angin 1-tahunan, 5-tahunan dan 10-tahunan. Gambar 7 menunjukkan model force balance dalam laboratorium terowongan angin, sedangkan gambar 8 adalah model rigid body yang dibuat dari plexiglass dan dilengkapi dengan 419 titik tangkap tekanan. Selain kedua uji yang disebut di atas, dilakukan juga uji angin terhadap pejalan kaki. Dalam melakukan uji model, digunakan dua nilai damping ratio struktur, yaitu antara 1.5% dan 2.0%. Hasil uji model force balance menunjukkan beban angin total yang diterima oleh struktur untuk arah x dan y adalah sekitar 479 ton dan 980 ton. Akselerasi puncak yang terjadi masih dalam ambang batas ISO untuk angin 1, 5 dan 10 tahunan. Lihat Tabel 2 dibawah ini. Sedangkan akselerasi angin 10 tahunan mencapai 9.0 – 10.4 millig, di bawah ambang 16.0 milli-g.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
7
Gambar 5
Gambar 6
Tabel 2 Akselerasi pada lantai puncak
Gambar 7
Gambar 8
Perbandingan antara gaya lateral tingkat akibat gempa dan angin sepanjang tinggi gedung dalam dua arah sumbu utamanya diberikan pada Gambar 9 dan Gambar 10. Sedangkan Gambar 11 dan Gambar 12 menunjukkan grafik momen guling yang terjadi sepanjang tinggi gedung. Dari gambar ini dapat dilihat bahwa untuk arah-X gedung nilai momen guling ultimit gempa jauh lebih besar daripada momen guling ultimit Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
8
angin, sedangkan untuk arah-Y justru momen guling ultimit angin lebih besar daripada gempa. Hal ini dapat dijelaskan dengan melihat bentuk persegi panjang gedung.
Gambar 9
Gambar 10
Gambar 11
Gambar 12
THE CITY TOWER - JAKARTA The City Tower adalah sebuah proyek perkantoran yang terletak di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, berdiri pada satu blok tersendiri. Terdiri dari gedung kantor 33 lantai seluas ± 83.000 m2 dengan 5 lapis besmen. Gedung ini mempunyai bentuk yang sangat dinamis dan diperkaya oleh permainan facade bangunan dan mahkota yang menjulang setinggi 30 m dari lantai teratas. Dengan letak core yang berada di sisi belakang gedung, maka sisi muka yang menghadap Jalan M.H. Thamrin mendapatkan pemandangan yang bagus. Namun hal ini mendatangkan tantangan khusus bagi Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
9
perancang struktur : letak core tidak berhimpit dengan pusat massa bangunan, dan bentangan dari core ke kolom-kolom tepi luar mencapai 16m. Untuk menjawab tantangan ini, sistem lateral pada The City Tower menggunakan core beton dan rangka baja komposit. Core beton dibangun dengan sistem jump-form, yang mendahului ereksi struktur baja beberapa lantai di muka. Analisa dinamik 3-dimensi menunjukkan bahwa dua ragam periode getar yang terjadi berupa translasi dengan nilai 3.13 detik dan 2.59 detik, sedangkan moda torsi terjadi pada periode 1.92 detik. Core yang berbentuk tabung tertutup memberi stabilitas yang cukup, mempunyai kekakuan torsi yang sangat baik, serta memberikan kekakuan lentur dan geser yang besar sehingga core dapat maju terus tanpa bergantung pada struktur baja. Tinggi lantai ke lantai The City Tower adalah 3.9 m sebagaimana lazimnya suatu gedung perkantoran. Dengan bentang besar dan terpatok oleh tinggi bersih ruang yang ingin dicapai (2.7m – 2.8m), maka solusi sistem lantai yang diambil adalah dengan menggunakan sistem lantai beton – metal deck dan truss komposit, dengan tinggi struktur 1.0m. Instalasi ME, hidrant dan ducting-ducting disalurkan melalui celah segitiga yang membentuk truss tersebut. Truss menggunakan profil baja WF grade 50, ASTM A572, yang dibelah dua dan dirangkai dengan pipa sebagai batang diagonal. Gambar 13 menunjukkan denah lantai tipikal dan gambar 14 menunjukkan truss yang digunakan.
Gambar 13
Gambar 14
Masalah vibrasi seringkali menjadi hal penting dalam perancangan konstruksi baja berbentang besar, karena itu sistem lantai ini diperiksa juga terhadap lendutan dan vibrasi akibat aksi manusia. Berdasarkan metode Wiss & Parmelee, Murray dan modified Reiher- Meister, maka response rating yang terjadi berturut-turut jatuh dalam kategori barely perceptible, acceptable dan sligthly perceptible. Sedangkan defleksi akibat beban hidup adalah sekitar 16 mm atau L/943. Truss komposit seperti ini mengkombinasikan pemakaian bahan secara effisien pada aplikasi bentang besar serta serempak memberi fleksibilitas untuk mengakomodasi sistem instalasi. Kolom-kolom pada The City Tower dibuat dari pipa baja ASTM grade 36. Pada lantai bawah diameter kolom berkisar antara 1016-1320 mm dengan tebal 12.7-19.0 mm, dan di lantai atas mengecil menjadi diameter 609 mm dengan tebal 9.5 mm. Kolom pipa baja ini berfungsi sebagai kolom sementara pada saat pemasangan kerangka baja dan dirancang untuk menahan tiga lantai struktur dalam keadaan non-komposit. Pipa baja kemudian diisi dengan beton 55 MPa, dan membentuk tabung-isi komposit yang dirancang untuk menahan seluruh beban yang diterimanya setelah terjadi aksi komposit. Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
10
Dalam hal ini fugsi pipa baja menjadi berlipat: sebagai kolom ereksi, sebagai cetakan beton, sebagai tulangan pengekang (confinement) dan sebagai elemen tabung dari kolom komposit. Gambar 15 memperlihatkan keadaan di lapangan pada saat kolom-kolom pipa baja mulai terpasang dimana core beton sudah mendahului beberapa lantai di muka.
Gambar 15 The City Tower berhasil menggabungkan sifat-sifat menguntungkan dari material baja dan beton untuk melahirkan struktur yang relatif ringan, cepat pelaksanaannya, terintegrasi baik dengan kebutuhan arsitektur dan instalasi, memenuhi syarat kekuatan maupun kenyamanan penghuni dan mempunyai stabilitas yang baik terhadap beban lateral. Penerapan dan penempatan masing-masing material berhasil menciptakan struktur yang baik secara teknik dan efisien dari segi biaya, hal mana merupakan idaman perancang struktur yang berdedikasi. PLAZA INDONESIA EXTENSION Proyek Plaza Indonesia II adalah extension dari kompleks Plaza Indonesia dan hotel Grand Hyatt Jakarta. Pengembangan ini terdiri dari dua tower, yaitu tower perkantoran (42 lantai) dengan podium 8 lantai, dan tower hunian yang dinamakan “Keraton”, 48 lantai dengan podium 7 lantai serta 5 lapis besmen dimana kedalaman galiannya mencapai 16.5 meter. Apabila selesai dikerjakan, Keraton akan menjadi gedung tertinggi di Indonesia. Gambar 16 menunjukkan pandangan udara proyek tersebut.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
11
Gambar 16 Kedua tower berikut podium dan besmen-nya dibangun di atas lahan yang sangat terbatas. Bangunan ini berdiri di antara gedung pertokoan Plaza Indonesia, EX Center dan Kedutaan Jepang (Gambar 17). Sehubungan dengan jarak tepi besmen yang dekat dengan bangunan sekeliling, maka untuk pembangunan besmennya dipilih cara topdown construction. Karena masalah jadwal, dipilih juga metode up-down, dimana pada saat pengerjaan besmen selesai, struktur atas akan mencapai lantai 10.
Gambar 17 Bangunan diantara Plaza Indonesia, EX dan Kedutaan Jepang Berdasarkan hasil penyelidikan tanah yang telah dilakukan secara ekstensive, stratifikasi tanah dapat dibagi atas beberapa lapis sebagaimana diuraikan berikut. Lapisan paling atas berupa lapisan soft silty-clay tebal 6m dengan nilai SPT N=3, diikuti dengan 12m lapisan medium to hard clayey-silt (N=10~30), kemudian 12m lapisan medium to stiff silty clay (N=10~16). Berikutnya sedalam 52 m dijumpai lapisal silt-clay, konsistensi sedang sampai keras dengan nilai N berkisar antara 20-30m, dilanjutkan dengan 10m clayey-silt keras dan silty-sand padat (N=25) dan silty-clay keras dengan nilai N = 20~38, sampai akhir pengeboran di kedalaman 120m. Pada perancangan besmen dalam, secara umum ada beberapa hal yang perlu ditinjau oleh perencana. Analisa struktur dinding penahan tanah harus dilakukan terhadap tekanan air pori terdrainase dan bahaya kelongsoran global maupun bahaya heaving, piping dan deformasi yang terjadi pada setiap tahapan pelaksanaan harus ditinjau dengan seksama. Dalam hal besmen dalam, sekwen pekerjaan harus dimodelkan Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
12
dengan benar karena diagram momen lentur dan gaya lintang hasil analisa senantiasa mengacu kepada sekwen ini. Perancangan D-wall disesuaikan dengan sekwen pekerjaan yang diusulkan kontraktor. Karena D-wall sudah terpasang sejak tahun 1997, maka dilakukan pemeriksaan kekuatan penampangnya terhadap momen-momen yang terjadi dengan melakukan analisa sekwensial dan mencari selubung bidang momen dan gaya lintang yang terjadi. Lihat gambar 18. Tebal D-wall adalah 800 mm, panjang total 30 m. Deformasi lateral di muka tanah dirancang agar tidak melampaui 25 mm.
Gambar 18 Selain masalah yang berkaitan dengan pondasi dan geoteknik, ada beberapa hal khusus yang harus dihadapi dalam proyek Plaza Indonesia II ini, antara lain: a. Proyek ini terletak di lokasi bekas lahan parkir yang relatif sempit, dengan ruang kerja yang sangat terbatas. Pada lokasi tersebut sudah berdiri EX-Center, dimana sebagian gedungnya bertumpu pada D-Wall yang ada. b. Besmen berdekatan dengan gedung Plaza Indonesia / Hotel Grand Hyatt, yang mempunyai pondasi soil-supported mat untuk bagian podiumnya. c. Besmen berdekatan dengan gedung Kedutaan Besar Jepang. d. Tender design-construct dilakukan pada tahun 2006, dengan target mulai pekerjaan pada kwartal ke-4 tahun 2006 dan bagian retail (podium block) 7 lantai harus siap dibuka pada akhir tahun 2008. Dengan demikian waktu pelaksanaan menjadi satu parameter yang harus dipertimbangkan dengan seksama. e. Untuk pengujian tiang bor dengan daya dukung ijin 1500ton, cara konvensional sangat berbahaya dan sulit dilakukan mengingat keterbatasan lapangan dan besarnya gaya. Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, maka sistem besmen untuk Plaza Indonesia II dirancang dengan pendekatan-pendekatan sbb: a. Penggunaan lantai beton sebagai strut yang sangat kaku akan mampu mengurangi deformasi lateral D-Wall yang akan terjadi, dan dengan demikian pengaruh galian terhadap bangunan sekitar dapat ditekan sebesar-besarnya. b. Lantai beton yang mulai dicor adalah lantai B-1, kemudian lantai 1 sambil melakukan penggalian ke bawah dengan secara simultan.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
13
c.
d.
Lantai 1 dirancang untuk menerima beban hidup 2 ton/m2, agar dapat menampung bahan bangunan dan dapat digunakan untuk manuver alat-alat berat. Urutan pekerjaan diuraikan pada bagian proses pelaksanaan. Untuk menahan beban sementara yang berat (5 lantai besmen + 10 lantai gedung), digunakan king-post berupa infil steel tube, dengan beton mutu 55 Mpa dan tabung baja yang dibuat dari pelat jenis ASTM Grade 50. King-post ini ditahan oleh bored-pile diameter 1.8 m yang mempunyai daya dukung ijin 1500 ton. Pengujian dilakukan dengan osteberg-cell yang merupakan sacrificial cell yang dipasang di dalam tiang bor, tanpa menggunakan bobot kontra sama sekali.
SsangYong Engineering Construction Co.Ltd. adalah kontraktor utama pada proyek ini, dimana perusahaan Korea tersebut bekerja sama dengan Davy Sukamta & Partners memenangkan tender rancang-bangun untuk struktur bangunan proyek ini. Struktur menara diganti dari struktur konstruksi baja menjadi struktur konstruksi beton, kecuali untuk bagian podium. Akibat penambahan berat sendiri struktur, maka diperlukan fondasi tambahan. Pekerjaan fondasi dimulai pada bulan September 2006 dan selesai pada bulan Desember 2006. Pekerjaan besmen dan 10 lantai kedua menara selesai pada bulan Oktober 2007. Pekerjaan struktur atas selanjutnya relatif dapat dilakukan dengan mudah, dengan kecepatan konstruksi sekitar 1 minggu per lantai. Pada saat pelaksanaan, monitoring terhadap posisi D-Wall dan settlement yang terjadi dimonitor dengan ketat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pergerakan D-Wall umumnya lebih kecil daripada prediksi teoritis, sedangkan penurunan yang terjadi hanya berkisar antara 20mm saja, berbeda secara mencolok dengan prediksi 250-300mm. Hal seperti ini seringkali dijumpai untuk proyek-proyek besar di Jakarta. Pelaksanaan bottom-up memerlukan perancangan yang sangat rinci, mulai dari urutan pekerjaan penggalian, detail dudukan pelat besmen pada king-post, pelaksanaan pengecoran kolom komposit, dan sambungan tulangan balok yang melewati kolom komposit. Urutan pelaksanaan diberikan dalam gambar 19.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
14
Gambar 19 Tahap 1 : Pembuatan dinding beton keliling, tiang-tiang bor dan kolom penyangga Tahap 2 : Penggalian ke bawah, disertai pengecoran besmen-1 Tahap 3 : Konstruksi lantai tingkat bagian atas dibangun, pelaksanaan besmen juga berjalan serempak Tahap 4 : Saat mengerjakan besmen-5, bagian atas sudah mencapai 10 lantai Plaza Indonesia II selesai dibangun pada bulan September 2009.
9
PENUTUP
Tulisan ini dibuat untuk mengulas kemajuan dan perkembangan dunia konstruksi Indonesia dalam bidang gedung tinggi dan besmen dalam, berdasarkan pantauan dan pengalaman pribadi penulis sebagai praktisi dalam bidang konsultan struktur, sebagai pengkaji dokumen perancangan struktur gedung bertingkat, dan sebagai pengamat masalah-masalah perancangan konstruksi gedung tinggi dan besmen dalam.
Makalah ini disampaikan dalam rangka diseminasi informasi melalui Seminar HAKI. Isi makalah sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, dan tidak mewakili pendapat HAKI.
Seminar dan Pameran Haki 2010 - “ Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia”
15