Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian Eksistensialisme Religius Menurut Emmanuel Levinas Tennie Marlim & Dr. Vincentius Y. Jolasa, Ph. D1 Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
ABSTRAK Nama
:
Program Studi : Judul
Tennie Marlim Filsafat
: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” : Kajian Eksistensialisme Religius Menurut Emmanuel Levinas
Skripsi ini merupakan analisis tentang pemikiran etika Emmanuel Levinas, seorang tokoh yang memberikan pandangan berbeda tentang relasi antar manusia. Dasar dari konsep etika Levinas adalah pejumpaan dengan wajah Yang Lain. Wajah yang dimaksud oleh Levinas bukan merupakan bentuk fisik dimana terdapat mata, hidung, dan telinga, melainkan cara dimana Yang Lain menampakan dirinya melampaui kemampuan subjek untuk mentematisasinya. Penampakan akan wajah oleh Levinas disebut sebagai sebuah epifani, yaitu manifestasi tiba-tiba atas makna realitas tertentu. Wajah selalu menolak usaha penyerapan oleh pemikiran untuk dijadikan isi. Oleh karena itulah, wajah membawa kita melampaui Ada. Wajah adalah personifikasi sebagai yang miskin, janda, yatim piatu, dan orang asing. Semua figur itu menyiratkan fakta tentang suatu kejadian etis. Subjek menjadi pengganti untuk Yang Lain tanpa memikirkan dampak pada dirinya sendiri. Hal ini merupakan sebuah tanggung jawab murni yang lahir dari perjumpaan dengan wajah Yang Lain. Pemikiran Levinas ini mendobrak relasi subjek – objek, menjadi subjek – subjek. Kata kunci : wajah Yang Lain, asimetris, subjek – subjek, epifani, pengganti, tanggung jawab
1
Tennie Marlim adalah mahasiswa program studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan Dewan Penguji dalam sidang skripsi tanggal 15 Juli 2013. Vincentius Y. Jolasa adalah Dosen Program Studi Filsafat yang memberikan bimbingan kepada Tennie Marlim dalam menulis skripsi yang berjudul “Perjumpaan dengan Wajah Yang Lain: Kajian Eksistensialisme Religius Menurut Emmanuel Levinas”. Tulisan ini merupakan Ringkasan dari skripsi yang dimaksud.
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
ABSTRACT
Name
:
Tennie Marlim
Major
:
Philosophy
Title
: Encounter with “The Other’s Face”: The Study of Religious Eksistensialism According to Emmanuel Levinas.
This thesis analyses the ethics thinking of Emmanuel Levinas, a philosopher who gave a different view about human relationship. The base of Levinas’ ethics is the encounter with The Other’s face. The meaning of The Other’s face is not the physical forms of eyes, nose, and ears, but a way in which The Other shows itself beyond the capability of a subject to characterize it. The discovery of the face, by Levinas is called an epiphany, that is the sudden manifestation of a particular meaning of reality. The face always rejects the attempt of absorptution by thought to become content. Because of that, the face brings us to go beyond being. The face is the personification of the poor, widows, orphans and strangers. All those figures hint us to an ethical occurrence. Subject becomes the substitution for The Others without thingking of the consequences onto itself. This is a responsibility that comes from encounter with The Other’s face. Levinas thought broke the subject-object relation, to become subject-subject relation. Key words : The Other’s face, asimetric, subject-subject, epiphany, substitution, responsibility
A. Pendahuluan Permasalahan kemanusiaan selalu menjadi isu yang menarik untuk dibicarakan. Begitu banyak nilai-nilai kemanusiaan yang dicetuskan oleh berbagai pemikir pada jaman yang berbeda. Nilai-nilai ini bukan hanya mampu mempengaruhi kelangsungan hidup umat manusia, namun juga mampu melahirkan sesuatu yang selalu hidup dalam setiap pemikiran, kajian, dan tindakan praktis dari masa ke masa. Nilai-nilai kemanusiaan selalu diidamkan oleh setiap manusia dalam menciptakan sebuah tatanan teratur, dinamis, dan progresif. Sebuah tatanan kehidupan yang pada dasarnya menekankan pada perdamaian dan keadilan. Keberadaan nilai kemanusiaan ini diharapakan bukan saja sebagai gambaran kondisi ideal kehidupan, namun juga dapat diwujudkan ke dalam bentuk yang lebih nyata dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Namun demikian, pada kenyataannya kondisi ideal kehidupan manusia yang dicitacitakan selama ini masih jauh dari harapan. Hal ini antara lain dikarenakan terbentuknya pihak-pihak yang ingin menguasai (superior) dan pihak-pihak lain yang diposisikan sebagai pihak yang dikuasai (imferior). Pada kondisi seperti ini, tindakan eksploitasi manusia
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
terhadap manusia lainnya kemudian dilegalkan oleh salah satu pihak. Kehidupan umat manusia seolah dibentuk dalam isu-isu ketidaksederajatan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Emmanuel Levinas adalah seorang filsuf yang beranggapan bahwa etika merupakan filsafat awal. Etika adalah kekuatan positif yang melebihi kekuatan dari epistemologi dan ontologi sebagai tujuan dan dasar filsafat. Dalam etika tradisional, terdapat banyak tuntutan untuk berpartisipasi dalam proses pemberian tanggung jawab. Berpartisipasi berarti bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan atau dikatakan. Hal ini menjadi penting ketika kita harus bertanggung jawab terhadap adanya Yang Lain. Yang Lain adalah subyek sebagaimana diri kita yang harus bertanggung jawab. Bagi Emmanuel Levinas, tanggung jawab dalam pengertian tradisional berhubungan dengan “menjawab” (EI, 1985: 98-99). Meski agak terbatas, seorang dikatakan bertanggung jawab kepada orang lain jika ia mau merespon atau memberi jawaban kepada orang lain. Ini lebih dari pada satu pemaknaan yang digoreskan dalam sesuatu yang dikatakan. Wajah2 atau Yang Lain adalah seruan etis yang jadi gugatan terhadap otonomiku sebagai subjek sehingga aku menjadi imperative dan harus keluar dan terbuka dengan dunia di luar diriku. Dalam fenomenologinya, Levinas hendak mengemukakan bahwa setiap manusia berfilsafat tidak ditujukan untuk memikirkan sesuatu melainkan lebih dari pada itu kita mengamati apa yang menunjukkan diri dan apa yang terjadi ketika kita bersama orang lain. Kerangka “subjek-objek” didobraknya dan mengarahkan setiap manusia ke dalam relasi “subjek-subjek”. Pengandaian ini membuka cakrawala baru melihat munculnya orang lain di hadapan kita.
Rumusan masalah 1. Apakah yang dimaksud oleh Levinas tentang konsep etika? 2. Apakah yang dimaksud Levinas akan etika sebagai filsafat pertama yang selaras dengan pemahaman tanggung jawab etis terhadap Yang Lain? 3. Bagaimanakah aplikasi serta pengaruh pemikiran Levinas terhadap permasalahan kemanusiaan dalam usaha menciptakan keadilan dan perdamaian dalam kehidupan manusia?
Tujuan penulisan 2
Wajah yang dimaksudkan disini adalah bukan bentuk fisik bagian tubuh manusia, namun melampaui pemahaman itu yang akan dijelaskan pada bab 2.
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
1. Menjelaskan konsep pemikiran etika Emmanuel Levinas. 2. Menjelaskan inti dari pemikiran Levinas mengenai etika sebagai filsafat pertama. 3. Melihat hubungan antara pemikiran etika Levinas dengan permasalahan kemanusiaan dalam usaha menciptakan keadilan dan perdamaian dalam kehidupan.
B. Tinjauan Teoritis Emmanuel Levinas melengkapi pemikiran Heidegger dengan tanggung jawab terhadap orang lain (The Other). Pemikirannya merupakan reaksi atas pemikiran modern yang mengedepankan prinsip universalitas sehingga masa itu jatuh pada egologi. Ia mengkritik pemikiran Descartes tentang cogito yang berkesadaran pada dirinya sehingga menjadikan nuansa modern sebagai egologi. Cogito ergo sum itu harusnya diganti dengan Respondeo ergo sum bahwa aku bertanggung jawab, jadi aku ada. (Bertens, 2006: 327) Selain itu, kondisi jaman saat ia hidup yaitu pembantaian kemanusiaan terbesar oleh Nazi Jerman dan hampir seluruh keluarganya dibunuh sehingga melatarbelakangi pembentukan pemikiran etika khas Levinas. Levinas adalah seorang fenomenolog. Ia terpengaruh oleh fenomenologi Husserl dalam hal metode analisis lived experience (pengalaman fenomenologi di dalam horizon keseharian subjek). Ini merupakan kebenaran universal atas semua pengalaman. Pengalaman manusia tidak lagi dilihat sebagai pure cogito, melainkan sebagai sesuatu yang menjamah dunia nyata. Metode fenomenologi memungkinkan kesadaran menjadi reflektif, berfungsi untuk mengenali intensionalitas yang dapat mengarahkan objek sehingga memiliki keberartiannya. Bagi Levinas, sebagai counter terhadap Husserlian, mengarah pada intensional non-representasi yaitu pertemuan dengan manusia lain, sehingga konsep baru fenomenologi (visible) yang menekankan pada metafisika (beyond-visible) menjadikannya gerbang menuju konsep etika. Tulisan Levinas mengenai The Theory of Intuition dalam ranah pikiran Husserlian dipengaruhi oleh Sein und Zeit karya Heidegger. Heidegger mengkritik ego transendental-nya Husserl karena sebelumnya Husserl telah mengkritik Cartesian Meditation. Menurut Heidegger, intensionalitas itu menghadirkan eksistensi yang bergerak dalam keberartiannya. Intensionalitas bukan mengetahui tujuan manusia akibat perbuatan dan mengetahui tentang akhir hidupnya melainkan eksistensi yang menandakan ia berada pada kecemasan dan nothingness. Namun, selanjutnya ia tidak setuju pada Heidegger di mana filsafatnya masih menjadikan situasi egologi pada saat ia mensubordinatkan relasi antara Yang Lain pada relasi Being. Bila Heidegger memusatkan proyeknya pada ekistensialisme, Levinas lebih mengarahkan proyeknya dalam responsibilitas untuk yang Lain. Salah satu inspirasinya
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
mengenai responsibilitas datang dari sastrawan Dostoyevski mengenai tanggung jawab terhadap yang Lain di dalam novelnya yang berjudul Brother Karamazov bahwa “Kita semua bertanggung jawab atas semua orang, tetapi Aku lebih bertanggung jawab daripada orang lain.” (Sean, 1989: 2-4)
C. Metode Penelitian Penulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan. Data-data berupa teori maupun teks bacaan diteliti dari sudut pandang filosofis. Di dalam penelitiannya maka digunakan sebuah metode filosofis yaitu hermeneutika. Hermeneutika merupakan sarana penting dalam menginterpretasi teks-teks di dalam buku Emmanuel Levinas. Metode fenomenologi digunakan oleh peneliti sebagai live experience dan uji coba teori dalam perbandingan. Hal ini ditempuh untuk mengkritisi kembali teori apakah relevan atau tidak dengan realitas keseharian. Selain itu, penulis menggunakan metode dialektika. Metode dialektika digunakan untuk membantu kerangka berpikir sistematis sehingga mendapatkan sintesis berupa pernyataan tesis dan berguna di dalam merumuskan pemikiran kritis reflektif sebagai relevansinya di dalam kehidupan keseharian
D. Pembahasan Pengungkapan makna being sebagai being-for-the-other menjadi premis sekaligus konklusi dari filsafat Levinas. Hal ini akan menjadi jelas jika kita mengikuti logika, bukan hanya kronologi dari pemikirannya, jalan pemikirannya dari analisis ontologis subjek egois, yang terpaku dengan dirinya sendiri, melalui solipsistic subjektivitas ditebus dengan keterbukaan terhadap waktu dan infinity, untuk memilih etika yang unik yaitu menjadi eksis bagi “Yang Lain”. (EN, 1999: xii) Ini merupakan sebuah persitiwa luar biasa dimana manusia menjadi being yang sesungguhnya. Pada salah satu bukunya Levinas mengatakan bahwa “Yang Lain” merupakan “very force and fact of the human”. (RB, 2001: 113) Perhatian yang terbuka terhadap “Yang Lain” mencakup juga seluruh kebutuhan material. “It is a matter eventually, of nourishing him, of clothing him.” (RB, 2001: 52) Levinas menggunakan istilah substitusi untuk menjelaskan keadaan dimana kita dapat merasakan penderitaan Yang Lain dalam diri kita. Menurutnya, tanggung jawab kita terhadap Yang Lain sama dengan kesetiaan kita terhadap diri sendiri. (LR, 1989: 83) Pemahaman Levinas atas etika bukan merupakan kondisi psikologis dimana rasa kasihan menduduki peranan besar. (OB, 1981: 125) Etika menurutnya bukan pertimbangan emosi, dimana tanggung jawab untuk orang lain merupakan hasil pilihan kita atas kebebasan yang kita miliki, tetapi merupakan
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
sebuah fenomena pasivitas (pre-contracted passivity), dimana mentakdirkan subjek untuk bertanggung jawab terhadap Yang Lain dan tidak dapat lari darinya. Pada buku The Cambridge Companion to Levinas, Critchley dan Bernasconi mengacu pada ide besar Levinas, dimana banyak pemikir lainnya yang hanya terobsesi pada satu ide. Keterbukaan kita akan ide besar Levinas justru membuat pemahaman kita akan filsafatnya menjadi lebih dalam. Untuk memahami ide besar Levinas, kita akan memulai dengan memahami riwayat Levinas serta tokoh-tokoh yang mempengaruhinya, dan membahas secara singkat beberapa karya besarnya dalam usaha pemahaman akan konsep etikanya. Derrida pada bukunya menuliskan tentang karya besar Levinas,
Totality and Infinity “the infinite insistence of waves on a beach: return and
repetition,
always, of the same wave against the same shore, in which, however, as each return recapitulates itself, it also infinitely renews and enriches itself” (Derrida, 1978: 312). Pemikiran Levinas diibaratkan seperti ombak yang terus menerus muncul, pada pantai yang sama, dengan gerakan yang sama, namun demikian pengulangan tersebut membuat pemikirannya semakin matang dan kaya. Pada Existence and Existents, Levinas berbicara mengenai fenomenologi dimana Husserl dan Heidegger memberikan pengaruh yang cukup besar. Ide Levinas dikembangkan lebih luas pada bukunya Totality and Infinity dimana ia fokus pada pemikirannya tentang Yang Lain, yang akhirnya menghancurkan totalitas dan mengingatkan subjek akan pre-contracted responsibility. Pemahaman yang lebih mendalam akan kita dapatkan pada Otherwise than Being dimana Levinas mengungkapkan istilah substitusi. Pemaparan tentang ide Levinas secara garis besar akan dimulai dari pemahamannya akan subjek, eksisten yang mana terobsesi untuk menjadi bagian dari eksistensi, yang menjadi beban rumit being, dan proses menjadi being-for-the-other yang membebaskannya dari totalitas dan inferioritas. Pemahaman Levinas akan etika berbeda dengan pemikir tradisional lainnya seperti Aristotelian, Kantian, atau Millian. Etika menurut Levinas bukan merupakan sekumpulan aturan, larangan, maupun perintah yang berlaku secara universal. (Davis, 1996: 35) Ia memberikan penjelasan fenomenologi dimana tanggung jawab mendahului semua pemahaman etika tradisional selama ini. Levinas menekankan bahwa etika adalah tentang tanggung jawab terhadap Yang Lain yang tidak dapat dihindari. Pada pengantar telah dijelaskan bahwa relasi yang terjadi bukan hanya subjek yang memiliki tanggung jawab absolute dan tidak dapat menjadikan yang lain sebagai objek, namun juga adanya relasi politik. (OB, 1981: 160) Relasi ini menghadirkan apa yang disebut
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
oleh Levinas sebagai pihak ketiga, yang mengharuskan adanya keadilan, kesetaraan, dan lainlain. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan said dan saying. Pihak ketiga memungkinkan subjek terhenti dari tanggung jawab yang tak terbatas dan subjek masuk ke dalam kesetaraan dan hubungan timbal balik. Bertolak belakang dengan relasi politik, filsafat Levinas mengenai tanggung jawab yang tak terbatas (unconditional responsibility) terlihat sangatlah berlebihan. Namun, dalam wawancaranya3 dengan Philippe Nemo, Levinas menjelaskan bahwa filsafatnya adalah usaha untuk menyuarakan perasaan bersalah dari orang-orang yang selamat dalam peristiwa Holocaust. Fokusnya adalah bukan tentang keacuhan, namun tentang adanya kontribusi subjek secara implicit terhadap kematian orang lain pada peristiwa itu. Kenyataannya bahwa selisih satu nomor seri dapat merebut kesempatan orang lain untuk hidup. Korban-korban yang selamat merupakan simbol yang nyata bahwa kita bertanggung jawab atas tetangga mendahului semua pilihan dan alasan yang ada. Pascal mengungkapkan bahwa subjek menjadi ada di dunia (being in the world) atau “place in the sun” adalah awal mulai dari perampasan seisi dunia. Subjek menyakiti dan membunuh Yang Lain hanya dengan sebuah tindakan sederhana yaitu dengan mengambil tempat. Oleh karena itu, tanggung jawab etis bukan muncul hanya timbul karena adanya penderitaan Yang Lain, namun karena subjek memiliki kapasitas untuk membahayakan dan be for the other. Hal ini memperlihatkan bahwa tanggung jawab sudah tertanam pada subjek bahkan pada keadaan netral dimana ia hanya mempertahankan tampatnya sendiri dan berhadapan dengan Yang Lain, dimana alteritas dan ketakberhinggaannya terekspos. Pada kutipan Dostoyevsky4 yang terkenal mengenai aku yang memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada yang lainnya, Levinas ingin menekan bahwa aku tidak dapat digantikan oleh siapapun. Pada bukunya sendiri ia menuliskan aku bearti jawaban untuk semua orang, “answerable for everyone and everything”. (BPW, 1996: 90) Meskipun aku bukan penyebab dari penderitaan yang dialami, namun aku bertanggung jawab lebih daripada penyebab penderitaan itu. (OB, 1981: 112) Tanggung jawab subjek bahkan melampaui setiap orang yang dikenal, menjamah semua yang bahkan tidak atau belum pernah ditemui, termasuk orang-orang pada masa lalu dan masa depan. (BPW, 1996: 81) Tanggung jawabku tidak terbatas pada reaksi akan sesuatu, maupun aturan tertentu, melampaui semua intensionalitas, karena ini merupakan kondisi konstitutif dari subjektivitas.
3
Wawancara dengan Philippe Nemo pada Februari 1981 di Radio France-Culture. “Every one of us is responsible for everyone else in every way, and I most of all” The Brothers Karamazov 4
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
Levinas mengatakan bahwa etika merupakan filsafat awal, dimulai dengan relasi antar wajah (face to face). Sebelum pengetahuan, totalitarian, dan ontology, Yang Lain terlebih dahulu ada atau apa yang Levinas sebut dengan the infinite. Etika menurutnya bukan merupakan seperti yang dipahami oleh filsafat Barat, namun merupakan awal dari filsafat sebagai pencari kebenaran. Dalam pertemuan dengan manusia lain lahir apa yang disebut ‘yang etis’ (the ethical). Yang etis itu terjadi karena pada saat kita mengalami pertemuan dengan manusia lain, kita bukan hanya sekedar bertemu dengan obyek atau pengada lain, tetapi apa yang Levinas sebut sebagai ‘wajah’. Wajah yang dimaksudkan oleh Levinas disini adalah bukan bentuk fisik dari bagian depan tubuh manusia dimana terdapat mata, hidung, dan mulut. Akan tetapi, melampaui bagian fisik manusia. Menurut Levinas, orang tidak dapat melihat dan menyentuh wajah karena wajah “hadir dalam penolakannya untuk ditundukkan”. (TI, 1969: 194) Itulah sebabnya mengapa ia berpendapat bahwa pertemuan sejati dengan orang lain hanya dapat berlangsung melampaui penampilan fisik wajah yang kita temui setiap hari: “Cara terbaik untuk bertemu dengan ‘Yang Lain’ itu justru tidak dengan memperhatikan warna matanya! Ketika orang mengamati warna matanya, orang tidak berada dalam relasi sosial dengan ‘Yang Lain.’ Relasi dengan wajah tentu saja dapat didominasi oleh persepsi, tetapi apa yang khas bagi wajah itu tidak dapat direduksikan kepada persepsi.” (TI, 1969: 85) Bagi Levinas, ‘wajah’ merupakan “cara dalam mana ‘Yang Lain’ (l’Autre) memperlihatkan dirinya, melampaui gagasan mengenai yang lain dalam diri saya.” (TI, 1969: 50) Dengan kata lain, wajah merupakan cara dalam mana ‘Yang Lain’ menampakkan dirinya di hadapan saya yang melampaui kemampuan saya untuk menilai, memahami, dan mentematisasinya. Levinas berpendapat bahwa wajah bermakna pada dirinya sendiri. (EI, 1985: 86) Sering kali kita bertemu orang lain melalui sebuah konteks khusus sehingga penamaan dan penyebutan status orang tersebut akan menjadi masuk akal jika dilihat dalam konteks tersebut. Sebagai contoh, status atau karakter (personnage) seseorang sebagai seorang dosen atau mahasiswa hanya bermakna dalam dunia akademik atau perguruan tinggi. Sebutan atau status lain seperti anak atau cucu dari seseorang, karyawan/wati dari perusahaan tertentu, dan sebagainya juga bersifat relatif terhadap konteks yang ada. Inilah yang Levinas sebut dengan form, pemaknaan akan Yang Lain atas fisik, tingkah laku, nama, kegiatan dan lain-lain. (TI, 1969: 178) Wajah manusia, sebaliknya, tidak pernah berada dalam konteks partikular atau bersifat relatif; ia bermakna dalam dan pada dirinya sendiri. Wajah menghancurkan dan melampaui gambaran plastik yang dimiliki orang terhadapnya; ia “mengekspresikan dirinya sendiri.” (TI, 1969: 51) Oleh karena itu, toi, c’est toi, setiap orang adalah dirinya sendiri, demikian ungkap Levinas; wajah adalah “identitas persis seorang pengada.” Kita dapat
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
mengatakan bahwa wajah itu melampaui gambaran fenomenologi karena tidak ‘terlihat.’ Wajah selalu menolak usaha penyerapan oleh pemikiran untuk dijadikan sebagai isi (content). Karena tidak pernah akan dapat dijadikan isi pemikiran, wajah membawa kita melampaui Ada (Being). Itulah sebabnya mengapa bagi Levinas relasi dengan wajah itu secara langsung bersifat etis. Tidak ada orang yang dapat membunuh wajah. Penampakan akan wajah oleh Levinas disebut sebagai sebuah epifani, yaitu manifestasi tiba-tiba atas esensi atau makna realitas tertentu. Dalam salah satu wawancaranya Levinas berbicara mengenai tiga momen dari epifani wajah. (RB, 2001: 127) Momen pertama terkandung dalam sifat tegak-lurus wajah yang memperlihatkan ketelanjangan dan ketidakberdayaan. Orang tidak dapat melihat wajahnya sendiri kecuali menggunakan alat bantu dan tidak memiliki kontrol atasnya karena selalu terekspos pada tatapan pengadapengada lain. Wajah manusia menempati sebuah posisi yang sedemikian rupa sehingga selalu berada dalam ancaman dan bahaya, termasuk ancaman kematian, karena tidak pernah terlindung. Itulah sebabnya mengapa Levinas sering berbicara mengenai ketelanjangan wajah, ketidakberdayaan di hadapan sebuah ancaman: “Ketelanjangan yang merupakan sebuah panggilan terhadap saya – sebuah permohonan tapi juga perintah – saya sebut wajah.” (RB, 2001: 115) Berhadapan dengan kematian, ketegak-lurusan wajah memperlihatkan mortalitasnya, yakni, kemungkinannya untuk dibunuh. Atas ketidakberdayaan dan mortalitas wajah inilah etika Levinas dibangun. Momen kedua epifani wajah terjadi dalam pertemuan antarwajah dengan ‘Yang Lain.’ Bagi Levinas, relasi antarpribadi tidak terkandung dalam pemikiran mengenai diri dan orang lain secara bersama-sama, yang seringkali mendasari berbagai teori etika, melainkan dalam peristiwa berhadapan (facing). Kesatuan atau kebersamaan sejati itu bukanlah “sebuah kebersamaan sintesis, melainkan kebersamaan dari wajah ke wajah.” (EI, 1985: 77) Kemerhadapan dari ‘Yang Lain,’ atau fakta bahwa ia berhadapan (dengan saya, misalnya), memberikan pengalaman yang tak tereduksikan atas relasi etis. Relasi etis bagi Levinas adalah relasi dalam mana saya terhubung pada wajah orang lain (le visage d’autrui). Pertemuan antarwajah menjadi sumber dan asalmula etika atau ‘yang etis’ melampaui segala usaha untuk merumuskan prinsip-prinsip moral secara universal. Dalam arti ini etika menjadi “bukan sebagai lapisan sekunder, di atas refleksi abstrak atas totalitas dan bahayanya; ia memiliki rentang independen dan awal. Filsafat pertama adalah etika.” (EI, 1985: 77) Momen ketiga epifani wajah adalah bahwa wajah melakukan tuntutan atas diri saya. Wajah orang lain di hadapan saya tidak berdiam diri saja. Ia berbicara, dan ketika ia berbicara, keberadaan saya diinterupsi olehnya: “Wajah menatap saya dan memanggil saya. Ia
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
menuntut saya. Apa yang ia minta? Jangan tinggalkan ia sendirian.” (RB, 2001: 127) (TI, 1969: 66) Fakta bahwa wajah berbicara, menurut Levinas, memungkinkan dan mengawali semua diskursus. Jawaban yang layak atas permintaan untuk tidak ditinggalkan sendirian adalah “Inilah saya” [Me Voici]. (EI, 1985: 97) Hal ini menunjukkan ketersediaan dan kesiapan diri untuk bertanggung jawab terhadap ‘Yang Lain.’ Dalam buku yang lebih matang, Otherwise than Being, Levinas membahas disposisi subyek untuk menjadi sandera (hostage) bagi ‘Yang Lain,’ siap menjadi pengganti baginya. Bagi Levinas, memberi jawaban “Inilah saya” berarti sudah bertemu dengan wajah orang lain. Relasi antar wajah yang terjadi menurut konsep Levinas merupakan relasi yang sifatnya asimetris. Hal ini berarti bahwa apa yang dirasakan orang lain terhadap Aku sesungguhnya bukan menjadi hal penting untuk dipikirkan, Aku tidak peduli akan penghormatan Yang Lain terhadapnya, yang menjadi penting adalah kenyataan bahwa Yang Lain di atas segalanya merupakan tanggung jawab Aku. Pertemuan dengan wajah Yang Lain menghasilkan ekspresi ganda, dimana adanya kelemahan sekaligus keharusan untuk memenuhi sesuatu. Tuntutan yang mengharuskan Aku untuk bertanggung jawab merupakan suatu keterpilihan, dimana Aku tidak mampu untuk menolak dan sifat tanggung jawab tersebut tidak dapat diganggu gugat. Tanggung jawab tersebut tidak dapat dialihkan atapun diberikan kepada orang lain karena tanggung jawab tersebut memilih Aku bukan tindakan Aku yang memilih. Oleh sebab itu, tanggung jawab yang dipaksakan atau bahkan sekedar kita harapkan untuk diberikan oleh orang lain kepada Aku tidak lagi dapat disebut sebagai sebuah tanggung jawab. Inilah yang menjadi poin penting dalam pemikiran Levinas tentang relasi etis yang simetris, Aku dengan keterpilihannya telah tersandra oleh wajah Yang Lain untuk melakukan suatu bentuk tanggung jawab tanpa harus memikirkan keuntungan yang dapat diperoleh oleh dirinya. Dengan kata lain, tanggung jawab tersebut merupakan suatu tanggung jawab murni. Oleh karena pemahaman akan adanya otherness dalam diri orang lain, maka Aku tidak seharusnya berharap untuk dapat menempatkan pemahaman orang lain dalam suatu dimensi yang sama dengan pemahaman kita. Sebagai being dengan keunikan maisng-masing, maka selamanya Yang Lain tidak pernah akan bisa ditematiskan untuk kemudian diperkirakan setiap pemikiran ataupun tindakannya dalam menghadapi suatu hal. Levinas menjelaskan bahwa kita harus terlebih dahulu memahami konsep ‘pihak ketiga’ (the third party – le tiers) yang diperkenalkan Levinas untuk menjelaskan kehadiran orangorang lain dalam pertemuan konkret dua orang. (TI, 1969: 213) Dalam bukunya, ia menjelaskan:
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
“Tetapi kita tidak pernah, saya dan orang lain, sendirian di dunia. Selalu ada yang ketiga: orang-orang yang mengelilingi saya. Mereka juga adalah sesama saya. Siapa yang paling dekat dengan saya? Pertanyaan mengenai keadilan pun tidak dapat dihindari, yang muncul dari kedalaman tanggung jawab terhadap yang unik, dalam mana etika mulai dalam wajah dari yang tidak dapat dibandingkan.” (RB, 2001: 116) Ia mengingatkan kita akan keberadaan dunia di luar kita, selain Aku dan orang lain. Relasi etis yang menuntut tanggung jawab penuh dari sang Aku kepada orang lain, juga menuntut sang Aku untuk bertanggung jawab terhadap banyak orang lain. (EI, 1985: 90)
Dengan demikian, relasi antara Aku dan orang lain tidak hanya menyangkut dua pihak semata, tetapi juga mengikutsertakan pihak-pihak lain: “Wajah yang memandang relasi ini menempati dirinya dalam cahaya penuh dari tatanan publik, bahkan kalau saya menarik diri darinya untuk mencari kekhususan relasi privat dengan lawan bicara saya.” (TI, 1969: 212) Namun demikian, bukan bearti bahwa relasi dengan pihak ketiga menyusul setelah relasi Aku dengan individu yang satu. Kedua relasi ini tidak berurutan secara kronologis, melainkan bersifat simultan dan langsung: pihak ketiga sudah ada dalam keprihatinan langsung terhadap individu yang satu: “Orang-orang lain langsung (d’emblee) menjadi konsern saya… Relasi saya dengan orang lain sebagai sesama memberikan makna pada relasi saya dengan semua orang lain.” (OB, 1981: 159) Simon Critchley pada bukunya menuliskan bahwa bagi Levinas komunitas memiliki sturktur ganda, yang memuat kebersamaan di antara mereka yang setara, yang pada saat yang sama berkembang dari momen yang tidak setara dari relasi etis. (Critchley, 1992: 227) Oleh karena itu Levinas tidak menggunakan istilah I-Thou yang digunakan oleh Martin Buber (Margaretha Paulus, 2006: 79), tetapi menggunakan istilah ‘relasi sosial’ (TI, 1969: 109) atau realitas sosial (EN, 1999: 21). Wajah orang lain sejak awal menyangkut sebuah relasi sosial karena tidak ada perbeadaan antara orang yang secara fisik jauh dan dekat. Aku bertanggung jawab terhadap orang-orang lain juga melalui tanggung jawab aku terhadap individu tunggal. Kehadiran pihak ketiga yang sudah menyingkapkan dirinya dalam wajah orang lain menjadi fondasi atas apa yang Levinas sebut sebagai ‘fratenitas manusia’ yang harus diungkapkan melalui institusi-institusi politik. Pada sebuah komunitas politik, etika sebagai tanggung jawab terhadap orang lain tunggal tidak lagi mencukupi. Keadilan juga dipertanyakan sebagai bentuk tanggung jawab kepada semua orang dalam sebuah komunitas politik. Keadilan ini
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
berakar pada tanggung jawab tak terbatas terhadap individu tunggal. Hal ini merupakan kondisi yang memungkinkan adanya keadilan. (OB, 1981: 159) Pemikiran Levinas ini dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi dalam hidupnya yaitu Holocaust, dimana keberlainan dan infinitas dari orang lain dilupakan dan diabaikan sehingga menimbulkan sebuah tragedy kemanusiaan yang sangat besar dan merenggut nyawa jutaan umat manusia. Levinas mengingatkan kita akan kepentingan orang-orang lain dalam sebuah komunitas politik yang sering kali dilupakan oleh pihak-pihak yang hanya mementingkan diri sendiri maupun kelompoknya saja. Ia mengembangkan konsep etika sebagai pertemuan dengan wajah orang lain yang tidak dapat direduksi ke dalam pemahaman komprehensif. Ia memunculkan kembali dimensi transenden dari orang lain yang diabaikan pada strukturstruktur sosial yang ada. Pertemuan antar wajah yang merupakan relasi etis inilah yang menjadi dasar etika politiknya, khususnya melalui konsep keadilan dan pihak ketiga. Levinas mendapat banyak kritikan atas usahanya dalam menghadapkan politik pada moralitas. Beberapa pihak menganggap pemikiran Levinas ini sebagai sebuah usaha yang naif. Namun demikian, keinginan Levinas untuk menempatkan yang etis bukan dimaksudkan untuk politisisme5 ataupun suatu keyakinan akan yang ‘baik’. (TI, 1969: 224) Ia ingin mengembalikan yang politikal, agar tidak terjebak dalam kebutaan yang berujung pada totalitarianisme. Yang etis adalah sesuatu yang menghargai perbedaan yang berkelanjutan, oleh karena itu keberadaan Yang etis dalam politik akan terus memunculkan atribut yang tidak ada sebelumnya, menempatkan politik pada sebuah usaha yang berkelanjutan untuk menyesuaikan dan memperbaharui diri. Dengan demikian, politik yang sudah ada sekarang akan terus dipertanyakan, sebagai sebuah tuntutan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil sebagai sebuah konsep baru dalam politik yang berdasarkan akan keadilan. Negara sebagai salah bentuk tatanan politik harus dapat menerima kritikan, sebab pada dasarnya politik adalah suatu dimensi keadilan sekaligus kritik, sebab ia melegitimasi diri dan juga membiarkan dirinya terus-menerus diinterupsi oleh pemahaman etis akan perbedaan.
E. Kesimpulan Kemanusiaan menjadi topik yang tidak pernah berhenti dibicarakan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan masih banyak tindakan-tindakan yang merusak kemanusiaan itu sendiri. Tindakan tersebut melahirkan permasalahan kemanusiaan yang belum bisa diselesaikan dan selalu terjadi di dalam kehidupan manusia. Perang menjadi salah satu contoh bagaimana 5
Tindak politis yang didasarkan pada kecondongan terhadap satu hal yang semata-mata menjadi ketertarikan khusus, dalam hal ini mendasarkan politik pada moral.
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
kekerasan sesama manusia menjadi dilegalkan oleh salah satu pihak demi mencapai tujuan tertentu. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari banyak kekerasan yang dilakukan oleh pihakpihak yang berkuasa kepada pihak-pihak yang dikuasai. Hal ini memperlihatkan bagaimana hubungan subjek – objek pada manusia. Manusia memandang manusia lain sebagai benda (thing) yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pribadinya saja. Bahkan, orang lain dianggap sebagai ancaman atau halangan dalam usahanya mencapai tujuan tertentu, sehingga tindakan memusnahkan manusia lain menjadi sesuatu yang wajar.
Permasalahan kemanusiaan tersebut memperlihatkan adanya ketimpangan dalam hubungan antar sesama manusia. Emmanuel Levinas merupakan seorang filsuf yang memberikan makna yang dalam tentang bagaimana manusia melihat orang lain di sekitarnya, atau ia menyebutnya dengan Yang Lain (the other). Menurutnya, Yang Lain adalah pembuka horizon keberadaan manusia, bahkan pendobrak menuju ketransendenan subjek. Manusia pada hakekatnya terasing antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu dibutuhkan jembatan yaitu berupa pertemuan atau perjumpaan yang melahirkan sebuah relasi etis. Perjumpaan yang dimaksud adalah perjumpaan dengan Yang Lain. Yang Lain dalam konsep Levinas adalah orang lain atau sesama manusia, pribadi yang lain sebagai individu yang unik. Pandangan ini merupakan kritik diri atas roh totaliter yang mengabsolutkan ego dalam sejarah filsafat. Dalam sejarah, Yang Lain selalu didekati sebagai obyek, suatu bagian dalam usaha pencapaian suatu tujuan. Hal itu menggugat keunikan dan alteritas yang lain sebagai Yang Lain, lain dari aku. Yang Lain tidak boleh diperlakukan sebagai ‘benda’. Aku membutuhkan Yang Lain karena keunikannya, bukan sebagai alter ego. Yang Lain dalam pemahaman Levinas tidak pernah bisa dikuasai. Yang Lain sesungguhnya berada di wilayah luar dari subjek. Di hadapan Yang Lain subjek harus tunduk dan tidak dapat menghindar. Pengalaman dasar manusia adalah perjumpaan dengan Yang Lain. Dalam perjumpaan itu, subjek sadar bahwa ia langsung bertanggungjawab total atas keselamatan Yang Lain. Langsung dalam arti bahwa tanggung jawab itu membebani subjek, mendahului komunikasi eksplisit subjek dengan Yang Lain. Pengalaman itu bersifat etis. Menurut Levinas, moralitas adalah pengalaman paling dasar manusia. Ia selanjutnya menunjukan bahwa pengalaman dasar itu pengalaman tanggung jawab subjek terhadap Yang Lain, dimana sinar kesucian Allah ikut terlihat dalam wajah Yang Lain. Levinas dalam analisa eksistensial fenomenologis paling dasariah, menunjukan bahwa pengalaman moral adalah titik tolak segala kesadaran, sikap dan dimensi penghayatan manusia dan bahwa pengalaman dasariah itu sekaligus merupakan kesadaran akan adanya Yang Ilahi di belakangnya.
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
Levinas berfokus pada saat pra-reflektif di mana subjek untuk pertama kali menyadari bahwa ada Yang Lain di hadapannya. Di saat itu, subjek seakan-akan “disandera” oleh wajah Yang Lain, sehingga terikat total oleh tanggung jawab atas keselamatanya. Dalam kesadaran pra-reflektif itu juga termuat panggilan kepada kebaikan, tuntutan primordial untuk bersikap baik dan tidak jahat terhadap Yang Lain. Manusia etis menurut Levinas adalah yang bertanggungjawab terhadap sesamanya.
Ia menunjukan bahwa fenomena perjumpaan wajah ini menjadi dasar untuk memecahkan pertanyaan-pertanyaan dasar filsafat: bahwa ada seorang Engkau, bahwa ada realitas di luar kesadaran subjek. Jadi bahwa pengertian manusia memang sampai pada realitas itu sendiri, bahkan bahwa saya menjadi diri saya hanya karena engkau, bahwa saya ada dan identik dengan saya (karena dalam pengalaman tanggung jawab purba itu saya secara langsung dan tak tergantikan menyadari diri bertanggungjawab atas keselamatan Yang Lain), bahwa sikap yang pertama adalah kebaikan dan bukan kejahatan, dan bahwa Yang Lain maupun kita ada karena adanya Yang Mahabaik. Suatu perbuatan etis tertentu lahir dari respons yang diberikan atas kehadiran Yang Lain. Respons dalam bentuk jawaban, yaitu jawaban atas panggilan Yang Lain. Respons terhadap suatu jawaban mesti dibarengi dengan sikap siap untuk menanggung segala konsekuensi dari jawaban yang diberikan. Sikap menanggung suatu jawaban adalah tanggung jawab. Wajah Yang Lain memberitahukan perintah untuk “jangan membunuh”, ini kelihatan secara pasti mengungkapkan sesuatu yang seharusnya dan tanpa syarat. Wajah memberi perintah kepada setiap subjek untuk bertanggungjawab atas Yang Lain. Wajah itu menyapa kita. Wajah menyatakan diri sebagai visage significant, wajah yang telanjang di mana mempunyai makna; langsung, tanpa penengah, tanpa suatu konteks. Penampilan wajah adalah suatu kejadian etis. Itulah langkah penting dalam pemikiran Levinas. Wajah menyapa saya dan saya tidak boleh acuh tak acuh saja. Ia mewajibkan saya. Ia mengunjungi saya supaya saya membuka hati dan pintu rumah saya. Ia menghimbau saya agar saya mempraktekan keadilan dan kebaikan. Wajah menyatakan diri sebagai “janda dan yatim piatu”. Levinas menggagas sebuah pemikiran etis tentang bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap orang lain sebagai wujud konkret dari perjumpaan manusia melalui wajah ke wajah. Wajah adalah sebuah personifikasi ketakberdayaan yang mengimbau suatu tindakan etis. Levinas menekankan dua hal penting dalam perjumpaan dengan wajah Yang Lain. Pertama, dalam wajah itu, Yang Lain tampak sebagai orang tertentu, orang lain. Orang lain menyatakan
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
diri sebagai yang betul-betul lain dari saya. Konsekuensinya adalah bahwa wajah sebagai wajah tidak dapat dikuasai, dipegang atau diperbudak. Kedua, dalam wajah itu Yang Lain berada sama sekali di luar kita. Ia tidak berbicara tentang bagaimana tanggung jawab moral, apa itu bertindak secara moral atau bagaimana reaksi yang harus diambil ketika orang lain berhadapan dengan kita, melainkan pada apa yang terjadi di saat wajah itu menatap kita. Ketika seoseorang berhadapan dengan orang lain, ia menjadi tidak bebas lagi, tidak bisa bersikap apatis tetapi ia harus bertanggung jawab atasnya. Tanggung jawab itu bersifat total. Total dalam arti bahwa kita tersubstitusi bagi orang itu. Bebannya menjadi beban saya, tanggung jawabnya menjadi tanggung jawab saya. Saya bahkan bertanggung jawab atas kesalahan orang lain: orang itu, dengan segala beban yang ada padanya adalah beban saya. Manifestasi yang lain adalah wajah. Maka, wajah adalah sebuah personifikasi sebagai yang miskin, janda, yatim piatu, orang asing, yang telanjang. Semua figur ini menyiratkan fakta tentang suatu kejadian etis. Epifani wajah adalah suatu kejadian etis. Kejadian yang membuka kemanusiaan, yaitu kemanusiaan yang mengandung di dalam dirinya suatu undangan etis. Undangan yang meminta suatu respon, yaitu respon dalam responsibilité. Pemikiran Levinas tentang perjumpaan wajah merupakan konsep dasarnya tentang etika. Ia menekankan akan tanggung kepada Yang Lain yang lahir dari perjumpaan wajah tersebut. Hal ini menjadi relevan dengan permasalahan kemanusiaan yang marak terjadi sekarang ini. Permasalahan yang timbul karena ketidakpedulian terhadap Yang Lain dan menganggap Yang Lain sebagai objek. Levinas memberikan sebuah cerminan bagi kita manusia dalam menjalin relasi dengan Yang Lain dalam kehidupan demi mencapai suatu tatanan yang harmonis, dengan cinta kasih tulus yang lahir dari pertemuan wajah. Dengan demikian, kehidupan damai yang dicita-citakan manusia selama ini diharapkan dapat terwujud.
F. Kepustakaan Buku Acuan Levinas, Emmanuel. (1969). Totality and Infinity: An Essay on Exteriority. Terj. Alphonso Lingis. London: Kluwer Academic Publisher. ________________(1978). Existence and Existent. London: Kluwer Academic Publisher. ________________(1981). Otherwise Than Being or Beyond Essence. Terj. Alphonso Lingis. The Hague: Martinus Publishers. ________________(1985). Ethics and Infinity: Conversations with Philippe Nemo. Terj. Richard A. Cohen. Pittsburgh, USA: Duquesne University Press. ________________(1987). Collected Philosophical Papers. Terj. Alphonso Lingis. The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers.
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
________________(1993). Outside the Subject. Terj. Michael B. Smith. Stanford: Stanford University Press. ________________(1994). Liberté et commandment. Paris: Fata Morgana. ________________(1996). Is Ontology Fundamnetal? Basic Philosophical Writings. Ed. Adriaan T. Peperzak. Bloomington: Indiana University. ________________(1998). Of God who Comes to Mind. Terj. B. Bergo. Stanford: Stanford University Press. ________________(1998). The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology: Second Edition. Evanston: Northwestern University Press. ________________(1999). Entre Nous: On Thinking of the Other. Terj. Michael B. Smith dan Barbara Harshav. London: The Athlone Press. ________________(2000). God, Death, and Time. Terj. Bettina Bergo. Stanford: Stanford University Press. ________________(2001). Is It Righteous to Be? Interviews with Emmanuel Levinas. Ed. Jill Robins. Stanford: Stanford University Press. Buku Referensi Bertens, K. (2006). Filsafat Barat Kontemporer: Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Critchley, Simon & Robert Bernasconi. (1991). Re-reading Levinas. Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press. Critchley, Simon & Robert Bernasconi. (2004). The Cambridge Companion to Levinas. UK: Cambridge University Prees. Derrida, Jacques. (1999). Adieu to Emmanuel Levinas. Terj. Pascale Anne. Stanford: Stanford University Press. Derrida, Jacques. (1978). Violence and Metaphysics in Writing and Difference. Terj. Alan Bass. London: Routledge. Descartes, René. (1993). Meditation III in Great Books 28. Ed. Adler, M. Chicago: Encyclopedia Britannica, Inc. Dostoyevsky, Fyodor. (1957). The brothers Karamazov. Terj. Constance Garnett. New York: New American Library. Hand, Sean. (1989). The Levinas Reader. Cambridge: Basil Blackwell. Kearney, Richard. (1984). Dialogues with Contemporary Continental Thinkers: The Phenomenological Heritage. Manchester: Manchester University Press. Llewelyn, John. (1995). Emmanuel Levinas: The Genealogy of Ethics. London: Routledge. Mortley, Raoul. (1991). French Philosophers in Conversation. New York: Routledge. Paulus, Margaretha. (2006). Perjumpaan dalam Dimensi Ketuhanan: Kierkegaard dan Buber. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Peperzak, Adriaan. (1995). Ethics as First Philosophy. The Significance of Emmanuel Levinas for Philosophy, Literature and Religion. New York: Routledge.
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
Plato. (1968). The Republic. Terj. A. Bloom. New York: Basic Books Inc. Publishers. Suseno, Franz Magniz. (2000). 12 Tokoh Etika Abad-20. Yogjakarta: Kanisius
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013