Farabi ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264 Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 Halaman 104 - 121 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam Oleh: Arfan Nusi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo Email:
[email protected] Abstract Existentialism philosophy of looking at things based on the existence or how humans are in the world . Etymologically derived from the word existentialism copies, meaning outside, andand a meaningful existence stand or place , so widespread existence can be interpreted as a stand alone as himself as well as out of him .In general meaning , humans in existence it was aware that he was there and everything is determined by the existence he admits. Islam is not a religion of one-dimensional. Nor is religion based solely on human institutions and limited to the relationship between man and God. Up to understand it is not enough just to a single method .Rather it requires human freedom in view of other methods. Departing from these freedoms least epistemology format Islamic studies as a form of independence awoke thinking.Because, for freedom of thought is a study which occupies an important position . Islam in this case have a clear concept , universal and tested . Islam's relationship with the independence of thinking. Filsafat eksistensialisme memandang segala sesuatu berdasarkan eksistensinya atau bagaimana manusia berada dalam dunia. Secara etimologi eksistensialisme berasal dari kata eks yang artinya luar, dan sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaanya di tentukan oleh akunya. Islam bukan merupakan agama satu dimensi. Bukan pula agama yang semata-mata berdasarkan institusi manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dan Tuhan saja. Hingga untuk memahaminya tidak cukup hanya dengan sebuah metode saja. Melainkan membutuhkan kebebasan manusia dalam melihat metode yang lain. Berangkat dari kebebasan tersebut setidaknya format epistemologi kajian Islam terbangun sebagai wujud kemerdekaan berfikir. Sebab, selama ini kemerdekaan berfikir merupakan kajian yang menempati posisi penting. Islam dalam hal ini memiliki konsep yang jelas, universal dan teruji. Hubungan Islam dengan
104
Arfan Nusi
kemerdekaan berfikir berlangsung dalam bentuk yang khas. Islam memberi tempat dan al-Qur'an sebagai sumber ajaran menegakkan kemerdekaan berfikir. Keywords: Existensialism; Islamic Studies; Freedom of Thought
Pendahuluan Kajian ilmu pengetahuan1 yang berkembang sekarang ini banyak berhutang budi terhadap logika filsafat yang pernah memuncaki perjalanan kehidupan manusia. Dalam catatan sejarah kemunculan filsafat di masa Yunani kuno dapat dikatakan sebagai langkah awal untuk membebaskan akal manusia dari kungkungan mistis yang membelenggu potensi-potensi rasional manusia. Ketika akal rasional manusia menemukan momentum dalam konteks kultural kemanusiaan maka otomatis manusia tersebut telah merdeka. Merdeka dalam arti ia dapat menggunakan akal rasional untuk menciptakan kreasi dalam rangka mendukung kelangsungan kehidupannya. Thales mencoba keluar dari penjara mistis, ia bisa dikatakan orang pertama yang menggunakan pikiran gelisahnya terhadap alam semesta yang membentang di depan mata kepalanya. Kegelisahan Thales itu berawal dari sebuah pertanyaan, what is the nature of the word stuff (apa sebenarnya bahan alam semesta ini)? Jika pertanyaan itu diajukan Thales di zaman sekarang, maka dipastikan akan mendapatkan cibiran bahwa pertanyaan tersebut sudah kuno. Karena seluruh ilmu pengetahuan telah mapan dan dapat menjawab sesuai perspektifnya. Tetapi pertanyaan Thales tersebut diajukan pada tahun 624 SM. Tahun dimana manusia belum mampu berfikir secara rasional. Tetapi pertanyaan itu di zaman Thales telah menggegerkan seperangkat masyarakat kala itu. Pertanyaan itu dianggap sudah modern di zamannya bahkan telah melampaui historisitas kehidupan manusia waktu itu. Di sisi lain pertanyaan itu menjadi batu loncatan kemunculan ilmu logika atau filsafat di kemudian hari.
1
Ilmu pengetahuan yang dimaksud itu adalah, ilmu Biologi, Fisika, Kimia, Astronomi, Kedokteran dan lain-lain. Sebenarnya ilmu pengetahuan yang disebut di atas itu adalah bagian dari filsafat, tapi seiring perkembangan zaman, ilmu pengetahuan tersebut berdiri secara mandiri dan tidak lagi bergabung dengan filsafat. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
105
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
Seiring perkembangan waktu filsafat menjadi ramai dikaji oleh masyarakat dunia dan Yunani sebagai pusat Ilmu Filsafat, pesona filsafat pun menembus batas-batas teritorial geografis. Filsafat pun menggelinding dibawa arus perjalanan waktu, hingga puncaknya berada di tangan Socrates, Plato dan Aristoteles. Di tangan tiga orang filosof itu filsafat tampak menjadi seksi. Daya tarik Ilmu Filsafat dari ketiga filosof itu diakui telah membangun proyek ilmu pengtahuan, sehingga mendapatkan identitas.2 Hal ini menandai bahwa kemerdekaan manusia atas kungkungan penyempitan akal rasional dari alam benar-benar dibuktikan oleh Ilmu Filsafat. Perkembangan filsafat selajutnya melahirkan aliran keilmuan tersendiri, salah satunya adalah filsafat eksistensialisme. Penggagas filsafat eksistensialisme adalah Kierkegaard, Martin Heidegger, Camus, Paul Sartre dan Karl Jaspers. Eksistensialisme muncul karena dilatarbelakangi adanya ketidakpuasan beberapa filsuf yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani ketika itu seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal dan primitif. Selain itu, aliran ini lahir karena adanya kesadaran beberapa filsuf bahwa manusia mulai terbelenggu dalam aktifitas teknologi yang membuat mereka kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia atau makhluk yang berinteraksi dengan alam dan lingkungan sekitar bukan hanya dengan semua serba instant.3 Adapun pendapat lain mengatakan bahwa lahirnya aliran eksistensialisme karena adanya krisis yang terjadi atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia.4 Secara sederhana makna eksistensialisme yaitu membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Dari sisi filsafat eksistensialis ini, epistemologi kajian Islam menemukan ruang berbenah diri. Manusia menurut Muhammad Iqbal sebagaimana dikutip Ishrat Hasan Enver, sebagai makhluk eksistensial dituntut untuk memenuhi
2
Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan (Bandung: Teraju, 2002), h. 2. 3 Endang Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2009), h. 98. 4 Vincent Martin, Filsafat Eksistensialisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 23.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
106
Arfan Nusi
eksistensi dirinya, bersifat aktif, dinamis, dan kuat.5 Manusia tidak seharusnya pasif, statis, bahkan menarik diri dari kepentingan duniawi dan tunduk secara buta pada ajaran tertentu. Materialisme Barat Modern telah menghilangkan metafisika dan mengakibatkan timbulnya krisis eksistensial manusia, alienasi, dan dehumanisasi.6 Eksistensialisme menuntun manusia berfikir progresif, inklusif dan universal agar manusia benar-benar merdeka dalam berfikir. Bahkan, agama Islam diturunkan ke muka bumi sebagai faktor pembebas bukan mengungkung kebebasan eksistensi kemanusiaan. Dengan telaah yang cukup mendalam, artikel ini mencoba mendeskripsikan filsafat eksistensialisme dan relevansinya dengan Islamic Studies saat ini. Pengertian Eksistensialisme Eksistensialisme adalah aliran yang memandang segala sesuatu berdasarkan eksistensinya atau bagaimana manusia berada dalam dunia. Secara etimologi eksistensialisme berasal dari kata “eks” yang artinya “luar”, dan “sistensi” yang berarti “berdiri atau menempatkan”, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai “berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya.” Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaanya ditentukan oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya.7 Menurut pengertian terminologi adalah “suatu aliran dalam Ilmu Filsafat yang menekankan segala sesuatu terhadap manusia dan segala sesuatu yang mengiringinya dan dipandang bahwa manusia adalah makhluk yang harus selalu aktif dengan sesuatu yang ada di sekelilingnya serta mengkaji cara kerja manusia ketika berada di dunia dengan kesadaran.”8 Pendapat lain mengatakan eksistensialisme merupakan aliran yang menekankan pada manusia yang bertanggungjawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam yang benar dan yang 5
Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, Terj. Fauzi Arifin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. viii. 6 Ibid., h. ix. 7 Muzairi, Filsafat Umum (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 143. 8 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 217. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
107
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
tidak. Sebenarnya bukan tidak mengetahui tentang yang benar dan tidak, namun seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran filsafati itu relatif, dan masing-masing bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Sehingga dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.9 Eksistensialisme sangat berhubungan dengan pendidikan karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. Eksistensialisme merupakan keadaan tertentu yang lebih khusus dari sesuatu. Apapun yang bereksistesi tentu nyata ada. Sesuatu dikatakan bereksistensi jika sesuatu itu bersifat publik yang artinya objek itu sendiri harus dialami oleh banyak orang yang melakukan pengamatan.10 Seperti juga halnya, perasaan yang tertekan tidak bereksistensi, meskipun perasaan itu nyata ada dan terjadi dalam diri. Apa yang bersifat publik kiranya selalu menempati ruang dan terjadi dalam waktu. Oleh karena itu eksistensi sering dikatakan berkenaan dengan objek-objek yang merupakan kenyataan dalam ruang dan waktu.11 Eksistensialisme berarti filsafat mengenai aku, mengenai bagaimana aku hidup. Dengan demikian eksistensialisme adalah filsafat subjektif mengenai diri sendiri. Manusia disini di pandang sebagai makhluk yang harus aktif. Eksistensialisme di definisikan sebagai usaha untuk memfilsafatkan sesuatu dari sudut pandang pelakunya. Dan memberi perhatian terhadap masalah manusia modern.12 Ciri-ciri aliran eksistensialisme yaitu: 1. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya idealisme Hegel. 2. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualisme terhadap konsep – konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkret.
9
Ibid., h. 218. Louis O.Katsof, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), h. 20. 11 Ibid., h. 21. 12 Tafsir, Filsafat Umum..., h. 218. 10
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
108
Arfan Nusi
3. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi serta gerakan masa. 4. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan totaliter baik gerakan fasis, komunis yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa. 5. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek manusia di dunia. 6. Eksistensialisme menentukan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.13 Sejarah Eksistensialisme Eksistensialisme pertama kali dirumuskan oleh ahli filsafat Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Akar metodelogi eksistensialisme ini berasal dari fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).14 Eksistensialisme muncul dari 2 orang ahli filsafat, yaitu Soren Kierkegaard dan Neitzsche. Kierkegaard seorang filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertannyaan mengenai pertannyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu?” Ia juga menerima prinsip Socrates yang mengatakan bahwa pengetahuan akan diri adalah pengetahuan akan Tuhan. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensialisme (manusia melupakan individualitasnya), sehingga manusia bisa menjadi manusia yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan dan komitmen pribadi dalam kehidupan.15 Neitzsche, juga filsuf Jerman (1844-1900), yang tujuan filsafatnya menjawab pertanyaan “Bagaimana menjadi manusia unggul?”. Menurut Neitzsche jawabannya adalah manusia bisa menjadi manusia unggul jika mempunyai keberaniaan untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.16
13 14
Zuhaifini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 31. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat II (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h.
65 15 Basuki As'adi dan Miftakul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010), h. 29-30. 16 St. Sunardi, Nietzsche (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 34.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
109
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
Kedua tokoh di atas muncul karena adanya perang dunia pertama dan situasi Eropa pada saat itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab pandangan tentang manusia seperti yang sudah dijelaskan di atas. Di samping itu penyebab munculnya filsafat eksistensialisme ini yaitu adanya reaksi terhadap filsafat materialisme Karl Marx yang berpedoman bahwa eksistensi manusia bukan sesuatu yang primer dan idealisme Hegel yang bertolak bahwa eksistensi manusia sebagai yang konkret dan subjektif karena mereka hanya memandang manusia menurut materi atau ide dalam rumusan dan sistem-sistem umum (kolektivitas sosial). Pengaruh lahirnya filsafat eksistensialisme berasal dari filsafat hidup Henri Bergson dan metafisika modern. Filsafat ini muncul pada paruh pertengahan abad ke-20. Tokoh-tokoh Eksistensialisme yaitun Soren Aabye Kiekegaard, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Frederidch Nietzshe. Berikut sekelumit biografi dan pemikiran tokoh-tokoh Eksistensialisme: Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard, merupakan pedagang grosir yang menjual kain, pakaian, dan makanan. Setelah mengenyam pendidikan di sekolah putra yang prestisius di Borgerdydskolen, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Kopenhagen. Di sini pria yang bernama lengkap Soren Aabye Kierkegaard ini mempelajari filsafat dan teologi. Sejumlah tokoh seperti F.C. Sibbern, Poul Martin Moller, dan H.L. Martensen menjadi gurunya di sana. Karya-karya Kierkegaard dapat dikelompokkan dalam dua periode. Periode pertama ditulis antara 1841 dan 1845. Sebagian besar bernuansa filosofis dan estetis, beberapa ditulis dalam nama samaran, Johannes Climacus. Karya-karya dalam periode ini ialah The Conceptof Irony with Constant Reference to Socrates (1841), Either/Or (1843), Fear and Trembling (1842), The Conceptof Dread (1844), Stageson Life's Way (1844), Philosophical Fragments (1844), Concluding Unscientific Postscript to the Philosophical Fragments (1846).17
17
Tafsir, Filsafat Umum..., h. 219.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
110
Arfan Nusi
Pemikiran Kierkegaard yang cukup terkenal adalah ketika ia keberatan kepada Hegel yang meremehkan eksistensi yang konkrit, karena Hegel mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu “aku umum” tetapi sebagai “aku individu” yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Dengan demikian, Kierkegaard memperkenalkan istilah eksistensi dalam suatu arti yang mempunyai peran besar pada abad ke-20. Bereksistensi berarti bertindak. Tidak ada orang lain yang menggantikan tempat seseorang untuk bereksistensi.18 Karl Jaspers lahir di kota Oldenburg, Jerman Utara, pada tahun 1883. Sejak sekolah menengah, ia sudah tertarik pada filsafat, tetapi baru pada usia 38 tahun ia dapat sepenuhnya memenuhi panggilan filosofisnya.19Selama tiga semester ia belajar hukum di Universitas Heidelberg dan Munchen, tetapi ubah haluan dengan memilih studi kedokteran yang dijalankan di Berlin, Gottingen dan Heidelberg. Di Universitas Heidelberg ia mengambil spesialiasi psikiatri. Tetapi ia tetap tertarik dengan filsafat, antara lain melalui Max Weber, ahli ekonomi, sejarawan dan sosiolog terkenal yang dikaguminya. Jaspers menulis buku Allgemeine Psychopathologie (Psikologi umum) pada tahun 1910. Di buku ini, ia tidak melukiskan penyakit-penyakit, tetapi menyoroti manusia yang sakit. Ia menggunakan metode deskripsi fenomenologis Edmund Husserl. Pada 1916 ia menjadi Profesor Psikologi di Heidelberg. Lalu pada 1919 ia menulis buku Psychologie der Weltanschauungen (Psikologi Tentang Pandangan-pandangan Dunia). Di buku ini, ia melukiskan berbagai sikap yang diambil manusia terhadap kehidupan. Dua buku ini ditulis berdasarkan pengalamannya sebagai psikiater dan menunjukkan betapa kentalnya ketertarikan Karl Jaspers pada filsafat.20 Jaspers mencurahkan seluruh perhatiannya pada filsafat mulai tahun 1921, setelah ia menerima gelar profesorat filsafat di Heidelberg. Ada yang tak setuju dengan pemberian gelar ini, sebab ia dianggap bukan filsuf profesional. Namun, setelah menerima gelar penghargaan itu, ia menulis banyak sekali karya, antara lain karya besar yang terdiri dari tiga jilid, Philosophie (1932). Jilid I berjudul Weltori enti 18
Ibid., h. 20. Adian, Menyoal..., h. 177. 20 Ibid., h. 178. 19
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
111
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
er ung (Orientasi Dalam Dunia), jilid II berjudul E xi st enz er hell ung (Penerangan Eksistensi), dan jilid III Met aphy sik (Metafisika).21 Martin Hiedegger. Lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 ± meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun. Merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja yang mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis. Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian dari being. Heidegger berpendapat bahwa ‘Das Wesen des Daseins liegtinseiner Existenz´, “adanya keberadaan itu terletak pada eksistensinya.” Di dalam realitasnya being (sein) tidak sama sebagai being ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai ada dan di dalam ada, dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai pengada. Heidegger menyebut being sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini analisis tentang being biasa disebut sebagai eksistensi manusia (Dasein). Dasein tersusun dari Dans ei n. Da: di sana (there), sein berarti berada (to be/being). Artinya manusia sadar dengan tempatnya.22 Jean-Paul Sartre lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 dan meninggal pada 15 April 1980 pada umur 74 tahun. Ia adalah seorang filsuf dan penulis Perancis yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmenkomitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satusatunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre).23 Eksistensi mendahului esensi, begitulah selalu filosof-filosof eksistensialis berkata, dan cara manusia bereksistensi berbeda dengan cara beradanya benda-benda. Karenanya masalah ada merupakan salah satu tema terpenting dalam tradisi eksistensialisme. Bagi Sartre, manusia menyadari ada-nya dengan meniadakan (mengobjekkan) yang lainnya. Dari Edmund Husserl ia belajar tentang intensionalitas, yakni kesadaran manusia yang tidak pernah timbul dengan sendirinya, namun selalu merupakan 21
Ibid., h. 179. Tafsir, Filsafat Umum..., h. 220. 23 Ibid., h. 221. 22
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
112
Arfan Nusi
kesadaran akan sesuatu. Begitulah kira-kira titik tolak filsafat Sartre.24 Untuk memperjelas masalah ini, ia menciptakan dua buah istilah; être-ensoi, danêtre-pour-soi. Dengan ini pula ia membedakan cara ber-adanya manusia dengan cara beradanya benda-benda.25 Eksistensi yang mendahului esensi selalu punya kapasitas untuk melampaui dirinya saat ini, dan menyadari ada-nya. Misalnya seorang yang esensinya kita identifikasi sebagai pelajar, ketika ia lulus, maka esensinya sebagai pelajar menjadi tidak relevan lagi. Atau bisa jadi, esok hari ia kedapatan mencuri, maka ia kembali didefinisikan sebagai pencuri. Begitu seterusnya, sampai ia mati. Salah satu keinginan manusia adalah meng-ada sebagaimana keberadaan benda- benda. Mempunyai identitas dan esensi yang pasti. Celakanya, manusia memiliki kesadaran yang tak dimiliki benda-benda, karenanya mustahil bagi manusia untuk mempertahankan esensinya terus menerus. Cara beradanya benda tak punya kaitan dengan cara ber-ada manusia. Sementara manusia sebaliknya, karena sifatnya meniadakan terhadap hal lain, maka ia senantiasa berusaha untuk meniadakan orang dan benda lain.26 Friedrich Nietzsche lahir di Rohen Jerman pada tanggal 15 Oktober tahun 1844, di lingkungan keluarga Kristen yang taat. Ayahnya seorang pendeta Lutheran terkemuka dengan garis kependetaan yang terwaris dari turun temurun dari keluarga ayahnya. Kakeknya adalah pedeta Gereja Lutheran yang menduduki jabatan cukup tinggi, sementara ibunya juga seorang penganut Kristen yang taat.27 Nietzcshe berpendapat bahwa kebenaran adalah hasil konstruksi atau ciptaan manusia sendiri, yang berjiwa bagi mereka untuk melestarikan diri sebagai spesies. Pengetahuan dan kebenaran sebagai perangkat yang efektif untuk mencapai tujuan bukan entitas yang trasenden dari manusia. Kebenaran ilmiah tidak
24
Ibid., h. 222. Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 89. 26 Ibid., h. 90. 27 Sunardi, Nietzsche..., h. 2. 25
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
113
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
mungkin efektif karena hasil konstruksi manusia dan upaya melayani kepentingan dan tujuan tertentu manusia.28 Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam Dalam konsep Filsafat Islam, obyek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri, yaitu ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci yang berisi firman-firman-Nya, dan ayat-ayat Tuhan yang tersirat dan terkandung dalam ciptaan-Nya yaitu alam semesta dan diri manusia sendiri.29 Kajian terhadap kitab suci dan kembali melahirkan ilmu agama, sedangkan kajian terhadap alam semesta, dalam dimensi fisik atau materi, melahirkan ilmu alam dan ilmu pasti, termasuk di dalamnya kajian terhadap manusia dalam kaitannya dengan dimensi fisiknya, akan tetapi kajiannya pada dimensi non fisiknya, yaitu perilaku, watak dan eksistensinya dalam berbagai aspek kehidupan, melahirkan Ilmu Humaniora, sedangkan kajian terhadap ketiga ayat-ayat Tuhan itu yang dilakukan pada tingkatan makna, yang berusaha untuk mencari hakikatnya, melahirkan Ilmu Filsafat.30 Oleh karena itu, wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya bercorak tauhid. Tauhid dalam konsep Islam tidak hanya berkaitan dengan konsep teologi saja, tetapi juga dalam konsep antropologi dan epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya tidak mengenal prinsip dikotomi keilmuan, seperti yang sekarang banyak dilakukan di kalangan umat Islam Indonesia, yang membagi ilmu agama dan ilmu umum, atau syariah dan
28
Ibid., h. 71. Para filosof Muslim sejak al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Razi, Ibnu alRawandi, dll, meski begitu simpatik terhadap filsafat Hellenistik, semuanya menyatakan bahwa yang mereka lakukan dengan filsafat itu adalah untuk mempelajari konsep-konsep al-Qur’an baik menyangkut penciptaan dunia, validitas nubuwat, kebangkitan, dan lainlain. Di pihak lain, para filosof itu juga mempelajari ayat-ayat Tuhan yang terkait dengan eksplorasi ilmiah eksperimental. Lihat Majid Fakhri,”Philoshopy and History,” dalam John S. Badeau & Majid Fakhri, The Genius of Arab Civilization (Canada: MIT. Pres, 1983), h. 58. 30 Sebagai perbandingan, al-Farabi mengklasifikasikan ilmu sebagai berikut: 1. Ilmu Bahasa, 2. Logika (’Ilm al-Manthiq), 3. Ilmu Matematika (‘Ulum al-Ta’lim) terdiri: a) Aritmatika, b) Geometri, c) Optika, d) Ilmu Perbintangan, e) Musik, f) ilmu tentang Berat, g) Ilmu Pembuatan Alat, 4. Fisika atau Ilmu Kealaman, 5. Metafisika; 6. Ilmu Politik terdiri: a) Ilmu Politik, b) Yurisprudensi, c) Teologi Dialektis. Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto, (Bandung : Mizan, 1998), h. 145-148. 29
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
114
Arfan Nusi
non-syariah,31 yang secara institusional dipisahkan penyelenggaraannya, yang ilmu agama penyelenggaraan pendidikan di bawah Kementrian Agama, dan yang umum penyelenggaraan pendidikannya di bawah Kementerian Pendidikan. Kajian Islam bukan merupakan agama satu dimensi. Bukan pula agama yang semata-mata berdasarkan intuisi manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dan Tuhan saja. Hingga untuk memahaminya tidak cukup hanya dengan sebuah metode saja. Ali Syariati mengatakan, jika hanya melihat Islam dari satu sudut pandang, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup bila ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya adalah al-Qur’an sendiri. al-Qur’an merupakan sebuah kitab yang memiliki banyak dimensi, sebagiannya telah dipelajari oleh sarjana-sarjana ternama sepanjang sejarah. Contohnya, satu dimensi mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra al-Qur’an. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan al-Qur’an yang menjadi bahan pemikiran bagi para filosof serta teolog hari ini. Dimensi al-Qur’an yang belum dikenal adalah dimensi manusiawinya, yang mengandung persoalan historis, sosiologi dan psikologis. Dimensi ini belum banyak dikenal, karena sosiologi, psikologi dan ilmu-ilmu manusia memang jauh lebih muda dibandingkan ilmu-ilmu yang ada.32 M. Amin Abdullah yang menaruh perhatian terhadap Islamic Studies mempertegas kembali bahwa mengkaji Islam tidak hanya sekadar berangkat dari satu perspektif tetapi harus dimulai dari multi perspektif.33 Khazanah kajian Islam menyentuh spektrum yang luas, termasuk di dalamnya eksistensialisme. Di dunia Islam tidak mengenal filsafat eksistensialisme, karena filsafat eksistensialisme ini lahir dari gagasan
31
Dikotomi keilmuan dalam sistem pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, dapat juga dilihat secara politis dari kebijaksanaan pendidikan bisa masa kolonial. Penggabungan sistem pendidikan umum dengan sistem pendidikan Islam tidak terlaksana sebagai akibat konsekuensi logis dari kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang tidak mau ikut campur tangan dalam persoalan Islam. 32 Nur A. Fadhil Lubis, Introductory Reading Islamic Studies (Medan: IAIN Press, 2000), h. 75. 33 M. Amin Abdullah, dkk, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner (Yogyakarta: LEMLIT UIN Sunan Kalijaga, 2006), h. vi. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
115
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
orang Barat. Bahkan Doktrin keagamaan ekslusif menolak perangkat eksistensialisme. Memang sebelumnya telah disinggung di atas bahwa eksistensialisme adalah aliran filsafat yang fahamnya berpusat pada manusia atau individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, karena masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.34 Konsep di atas jika ditarik dalam kajian keislaman, maka setiap individu memiliki kebebasan menafsirkan Islam sesuai ukuran kebenaran dan landasan keilmuan individu masing-masing, sama halnya para ulama, fuqaha, mutakallimun, filosof, dan sufi terdahulu, di mana karya-karya mereka menghiasi khazanah keilmuan Islam. Tetapi tidak jarang di antara keilmuan dan karya tokoh terdahulu tersebut saling menyerang bahkan sampai saling sesat-menyesatkan. Itu artinya, masing-masing individu punya standar kebenaran. Lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya Human is condemned to be free, manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah sejauh mana kebebasan para pengkaji Islam tersebut bebas? atau dalam istilah Orde Baru, apakah eksistensialisme mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Begitu juga interpretasi Islam yang menurut individu benar belum tentu dibenarkan oleh individu yang lain. Di sinilah letak kebenaran yang diperjuangkan setiap orang itu bersifat relatif.35 Namun, menjadi eksistensialis bukan berarti harus menjadi seorang yang lain-dari pada yang lain. Intinya adalah sadar bahwa keberadaan dunia 34 Kutipan artikel tentang “Pemikiran Filsafat Eksistensialisme” dalam http://id.wikipedia.org/ wiki/Eksistensialisme. Di akses pada tanggal 16/6/2016. 35 Muzairi, Eksistensialisme..., h. 33.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
116
Arfan Nusi
merupakan sesuatu yang berada di luar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya di masa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau dalam kajian Islam perlu tampil orang-orang yang ahli dibidang Tafsir, Fiqih, Filsafat, Tasawuf dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah apakah individu yang menjadi ahli di bidangnya atas keinginan orangtua, atau keinginan individu sendiri.36 Basis Kemerdekaan Berfikir dalam Kajian Islam Islam sangat memperhatikan kedudukan akal sebagai instrumen berfikir setiap manusia. Dalam sejarah pemikiran Islam, tema kemerdekaan berfikir merupakan kajian yang menempati posisi penting. Fenomena ini nampaknya didukung oleh sejumlah alasan. Sebagian bahwa Islam adalah agama wahyu, maka perlu bagaimana posisi akal sebagai pusat kerja berfikir, dalam wahyu tersebut. Alasan lain karena berfikir merupakan dimensi intern manusia yang memiliki pengaruh besar. Formula bahwa pemikiran mempengaruhi kehidupan adalah hal yang sangat terkenal dan merupakan dalil yang kebenarannya diterima umum.37 Secara etimologis, kalimat kemerdekaan berfikir terdiri dari dua kata yang masing-masing memiliki kandungan makna yang berbeda. Secara sederhana “kemerdekaan” mengandalkan sebuah situasi tanpa terbelenggu, sepadan dengan kata “ kebebasan”. Sementara “berfikir” adalah proses kerja otak secara biologis yang kemudian menghasilkan output berupa “pemikiran”. Keduanya merupakan hak pasti manusia tetapi dengan pasti pula keduanya menghendaki batasan-batasan dalam proses interaksi.38 Islam dalam hal ini memiliki konsep yang jelas, universal dan teruji. Hubungan Islam dengan kemerdekaan berfikir berlangsung dalam bentuk 36 37
Ibid., 34. Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995),
h. 41. 38 http://wijayadia.blogspot.co.id/2011/01/islam-dan-kemerdekaanberfikir.html. Di akses pada tanggal 16/6/2016
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
117
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
yang khas. Islam memberi tempat dan al-Qur'an sebagai sumber ajaran menegakkan kemerdekaan berfikir, dan juga Islam pada saat yang sama memberi batasan-batasan terhadap penggunaan setiap hasil pemikiran, wilayah kemerdekaannya dan seterusnya. Kemerdekaan berpikir, telah membebaskan kaum Muslim dari kekakuan berpikir yang membekukan otak dan telah melenyapkan kemalasan berpikir dari masyarakat Muslim. Sebagai contoh kemerdekaan berpikir telah melahirkan seorang yang bernama Washil bin Atho’ yang telah berani menentang arus dan berani berijtihad memisahkan diri dari mazhab gurunya Imam Hasan al-Basri. Kemerdekaan berpikir telah memunculkan Abu Huzhail Al’Allaf dan para pemikir-pemikir lainnya yang pada akhirnya mereka melahirkan sebuah aliran atau mazhab baru dalam Islam, yaitu mazhab Mu’tazilah, sebuah mazhab yang berkaitan dengan teologi. Di sini para ahli memandang Islam dengan pikiran rasionalis sehingga mereka berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan makhluk ciptaan Allah.39 Kebebasan berfikir dalam ruang sejarah perjalanan manusia menemukan momentum pada pertengahan abad ke-20 sampai awal abad ke-21. Kehidupan keagamaan menemukan kebangkitannya kembali yang ditandai dengan kemunculan semangat baru berupa paham-paham dan kelompok-kelompok keagamaan baru, di samping paham-paham dan kelompok-kelompok lama yang terus melakukan revitalisasi. Kenyataan ini tentu semakin memperkokoh eksistensialisme religius dalam ruang keberagamaan setiap manusia. Sayangnya, di balik kebangkitan religius muncul berbagai perilaku keagamaan yang mengarah pada kekerasan keagamaan dengan menggunakan kekuatan massa. Kebebasan beragama secara individual dalam kaitan ini bisa terdeterminasi oleh keagamaan kolektif. Oleh karena itu, hubungan antara keberagamaan individual dan keberagamaan kelompok menjadi masalah kontemporer yang krusial. Dalam buku karya Ishrat Hasan Enver menjelaskan bahwa Muhammad Iqbal melihat keberagamaan otentik yang bisa dipahami di balik eksistensialisme religius, hubungan antara keberagamaan individual dan kolektif yang bisa 39 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2011), h. 40
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
118
Arfan Nusi
dikonstruksi dari keberagamaan otentik, dan implikasi-implikasinya bagi keberagamaan kontemporer. Kajian ini dipandang penting karena memiliki nilai kontribusi pada pemecahan persoalan keberagamaan dewasa ini yang terkesan masih belum secara maksimal menyadari bahwa ruang keberagamaan pribadi adalah hal mendasar, pertama dan utama sehingga dari sini keberagamaan setiap orang dimulai. Keberadaannya mendahului determinasi-determinasi keberagamaan dari luar termasuk kelompok-kelompok keagamaan kolektif.40 Memahami eksistensi manusia tidak bisa dilepaskan dari eksistensi Tuhan yang dimengerti sebagai suatu individualitas murni, menurut Muhammad Iqbal, keberadaan Tuhan justru menjamin suatu kebebasan yang sesungguhnya, karena Dia mengajarkan bahwa untuk menjadi diri, manusia dengan selalu mengaktualisasikan individualitasnya. Manusia dipandang bebas manakala individualitasnya diasah dan diteguhkan terus menerus, hingga menjadi kekuatan diri yang tumbuh dari dalam, bukan dari luar atau dari orang lain atau sekelompok orang. Penemuan diri, keduanya sepakat, dihasilkan dari proses perkembangan eksistensial manusia.41 Eksistensi manusia otentik menjadi penting dan ditekankan dalam eksistensialisme religius, dan menjadi dasar ontologisme bagi pembangunan keberagamaan otentik. Penekanan keberagamaan otentik yang dicirikan keberagamaan dari dalam dengan prinsip kebebasan yang terus memberikan ruang keberagamaan pribadi bagi orang lain membawa keduanya pada penolakan esensialisme keberagamaan yang dinilai memasung keberagamaan individu dan menghentikan dinamika keberagamaan. Bagi keduanya, keberagamaan selalu dalam proses pengembangan dan aktualisasi diri, bukan penegasian diri dan penyeragaman keberagamaan. Penutup Filsafat eksistensialisme telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Neo-Eksistensialisme dna Neo-Realisme dan Neo-Positivisme, tidak terkecuali di dalamnya adalah kajian Islam. Di 40
Enver, Metafisika Iqbal..., h. 7. Ibid., h. 8.
41
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
119
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
era sekarang tidak dapat dinafikan bahwa eksistensialisme telah membentuk epistemologi Islam, sehingga eksistensialisme menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam melahirkan kebebasan berfikir dalam kajian Islam. Atas dasar kebebasan berfikir, maka ruang kebebasan dalam menafsirkan agama juga terseret pada ruang bebas, sehingga dalam kajian keislaman tidak sedikit yang melahirkan aliran, mazhab, pola pikir, serta kecenderungan. Inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan berfikir, setiap individu bebas menghiasi khazanah keilmuan Islam sesuai dengan perspektifnya tanpa dibayang-bayang oleh tendensi dari pihak luar. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin, dkk. Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner. Yogyakarta: LEMLIT UIN Sunan Kalijaga, 2006 Adian, Donny Gahral. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Bandung: Teraju, 2001. Anshari, Endang Saefuddin. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2009 As'adi, Basuki dan Ulum, Miftakul. Pengantar Filsafat Pendidikan. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010 Bakar, Osman. Hierarki Ilmu ; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto. Bandung: Mizan, 1998 Enver, Ishrat Hasan. Metafisika Iqbal, terj. Fauzi Arifin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat II Yogyakarta: Kanisius, 1980 Katsof, Louis O. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004 Lubis, Nur A. Fadhil. Introductory Reading Islamic Studies. Medan: IAIN Press, 2000
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
120
Arfan Nusi
Madjid, Nurcholis. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1995 Martin, Vincent. Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Muzairi. Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 _______. Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras, 2009 Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 2011 Sunardi, St. Nietzsche. Yogyakarta: LkiS, 2011 Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009 Zuhaifini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2008 “Pemikiran Filsafat Eksistensialisme” dalam http://id.wikipedia.org/ wiki/Eksistensialisme. http://wijayadia.blogspot.co.id/2011/01/islam-dan-kemerdekaanberfikir.html.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
121