PERIODE PROTO SEJARAH
A. Manusia Purba dan Perkembangannya Menurut para ahli, keberadaan makhluk hidup di muka bumi ini diperkirakan sudah ada sejak enam juta tahun yang lalu. Adapun mahluk manusia sebagai salah satu dari mahluk hidup, diperkirakan baru muncul pertama kali di muka bumi sekitar tiga juta tahun yang lalu, yaitu pada suatu zaman yang disebut zaman geologi Plestosen. Zaman Plestosen ini berlangsung cukup lama, yaitu kira-kira antara tiga juta sampai sepuluh ribu tahun yang lalu. Pada zaman Plestosen ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan di muka bumi pada masa itu. Peristiwa-peristiwa itu antara lain adalah meluasnya es ke sebagian muka bumi, perubahan iklim, munculnya daratan-daratan baru, letusan-letusan gunung berapi, dan timbul tenggelamnya daratan karena turun naiknya air laut. Tantangan alam dan perjuangan hidup yang keras harus dihadapi oleh manusia masaitu.Akibatnya
manusia
mengalami
perubahan
fisik
dan
akal
budinya
untuk
menyesuaikan dengan tantangan tersebut. Pada mulanya, untuk mempertahankan dan melangsungkan kehidupannya, manusia menciptakan alat-alat yang masih sederhana dari batu, tulang, atau kayu untuk berburu hewan, mengumpulkan buah-buahan, daun-daunan dan lain-lain. Pada tahap berikutnya ketika manusia sudah tinggal sementara di gua-gua dan kemudian disusul dengan tinggal menetap di sebuah rumah, mereka mulai menjinakkan hewan dan bercocok tanam. Perubahan dari hidup mengembara ke hidup menetap ini juga diikuti dengan perkembangan pembuatan alat-alat dan perkembangan budayanya. Perkembangan pembuatan alat-alat mulai dari yang masih sederhana sampai yang lebih maju dapat dilihat dari bentuk, bahan, serta penggunaannya yang semakin bervariasi. Begitu juga akal budi manusia mengalami perkembangan sesuai dengan daya nalar dan kemampuan mereka memahami lingkungannya. Sekitar lima juta tahun yang lalu, para ahli memperkirakan bahwa dimuka bumi ini telah ada mahluk yang kemudian disebut Australopithecus. Australopithecus yang secara harfiah berarti "kera dari selatan", diduga sudah dapat berjalan dengan dua kaki, sekalipun belum dapat berdiri tegak secara sempurna. Tinggi badan mahluk ini kira-kira 125 cm dan beratnya 25 kg. Dugaan-dugaan tersebut di atas semuanya berdasarkan pada temuan-temuan fosil di Afrika Selatan pada tahun 1925 yang ditemukan pertama kali oleh Profesor Raymond Dart. Berdasarkan penemuan-penemuan itu kemudian mahluk Australopithecus diklasifikasikan menjadi lima yaitu Australopithecus africanus, robustus, boisei, habilis, dan afarensis. Makhluk ini diperkirakan hidup di wilayah Afrika Selatan dan di Afrika bagian Timur. Mereka
Universitas Gadjah Mada
1
sudah menggunakan alat-alat dari batu berbentuk sangat sederhana seperti kapak penetak dan alat-alat serpih. Makhluk lain yang diperkirakan lebih muda dibanding dengan Australopithecus adalah Pithecanthropus. Para ahli memberi nama Pithecanthropus atau secara harfiah berarti "manusia-kera" berdasarkan pada ciri-ciri fisik mahluk tersebut. Mahluk ini sudah muncul sejak masa Plestosen Awal atau kira-kira 2 juta tahun SM dan diperkirakan hidup sampai 200 ribu tahun SM. Tinggi tubuh Pithecanthropus diperkirakan sama dengan manusia sekarang atau kira-kira tingginya 160 sampai 180 cm. Volume otaknya antara 750 sampai 1300 cc dan diperkirakan sudah dapat berdiri tegak. Untuk perbandingan, volume otak manusia sekarang lebih dari 1000cc sedangkan volume otak kera yang tertinggi hanya 600cc. Fosil Pithecanthropus ini ditemukan di beberapa tempat seperti di Cina, Tanzania, Kenya, Aljazair, Jerman Barat dan Jerman Timur, Perancis, Yunani, Hongaria dan Indonsia Dari beberapa tempat ini yang terbanyak ditemukan fosilnya adalah di Cina dan Indonesia. Di Indonsia, makhluk Pithecanthropus yang dianggap paling tua adalah Pithecanthropus Modjokertensis.
Dari
temuan-temuan fosil
di
Mojokerto
dan
Sangiran
para
ahli
berkesimpulan bahwa mahluk ini sudah berdiri tegap dan diperkirakan hidup 1,9 juta tahun sampai 250.000 tahun yang SM. Jenis lain dari mahluk Pithecanthropus yang ditemukan di daerah Ngawi dan Sragen oleh Dr. E. Du Bois adalah Pithecanthropus erectus. Nama erectus yang artinya berdiri, diberikan berdasarkan temuan fosil terutama tulang paha. Tinggi badan mahluk ini diperkirakan 160 sampai 180 cm dan berat badannya sekitar 80 sampai 100kg. Mahluk ini hidup sekitar 1.000.000 sampai 500.000 tahun yang lalu. Volume otaknya sekitar 750 sampai 1000 cc. Adapun jenis mahluk Pithecanthropus yang diperkirakan hidup pada antara 900.000 sampai 100.000 tahun SM adalah Pithecanthropus Soloensis. Fosil mahluk ini juga ditemukan di daerah Sragen. Volume otak mahluk ini berkisar antara 1000 sampai 1300 cc. Tinggi badan diperkirakan antara 165 sampai 180 cm. yang lalu. Fosil
mahluk
lain
yang
dianggap
paling
primitif
diberi
nama
Meganthropus
Palaeojavanicus. Mahluk ini diperkirakan perawakannya sudah tegap dan usianya lebih tua dari Pithecanthropus. Masih terbatasnya temuan fosil mahluk ini maka belum diketahui kedudukannya dalam evolusi manusia dan hubungannya dengan Pithecanthropus. Mahluk ini diperkirakan hidup antara 2,5 sampai 1.25 juta SM. Mahluk lain yang diperkirakan lebih sempurna dari Pithecanthropus adalah yang dikelompokkan dalam genus Homo. Jenis Homo yang dianggap tertua adalah Homo Neanderthalensis yang sudah ada di muka bumi sekitar 250000 tahun yang lalu. Homo Neanderthalensis ini banyak mendiami daerah Eropa, Asia Barat, dan Afrika Utara. Kemampuan bertutur kata dari Homo Neanderthalensis diduga belum begitu berkembang. Universitas Gadjah Mada
2
Volume otaknya bervariasi antara 1000 sampai 2000 cc. Tinggi badan mahluk ini berkisar antara 130 sampai 210 cm dengan berat badan antara 30 sampai 150 kg. Jenis lain dari Homo tersebut adalah Homo Sapiens yang sudah muncul di muka bumi sekitar 40000 tahun yang lalu. Homo Sapiens ini sudah menyebar di hampir semua benua. Diduga Homo Sapiens ini sudah bertutur kata, sekalipun masih disertai dengan bahasa isyarat. Populasinya sudah tersebar luas di Asia Tenggara seperti di Niah di Serawak (malaysia), di Palawan (Filipina), di Cina Selatan, dan di Australia, yang diperkirakan hidup sekitar 30000 tahun yang lalu. Temuan fosil dari Wajak, Tulungagung, Jawa Timur, merupakan mahluk Homo Sapiens atau secara harfiah berarti mahluk manusia bijaksana. Manusia Wajak ini mempunyai tinggi badan sekitar 173 cm dan mempunyai ciri-ciri ras Monggolid dan Australomelanesid. Manusia Wajak diperkirakan hidup antara 40000 sampai 25000 tahun yang lalu. Di lingkungan Homo sapiens kemudian dikenal sekurang-kurangnya lima ras pokok yang hidup sampai sekarang. Ketiga ras yang tersebar luas adalah ras Monggolid, Kaukasid, dan Negrid sedangkan dua ras lagi yang persebarannya terbatas adalah ras Khosanid dan Australomelanesid. Adapun dari kelima ras itu yang mendiami Indonsia adalah ras Monggoloid dan Australomelanesid. Berdasarkan temuan rangka manusia yang tersebar di beberapa daerah di Indonsia dapat diketahui
persebaran
unsur
Australomelanesid
dan
Monggolid.
Unsur
-unsur
Australomelanosid antara lain masih melekat pada rangka manusia di Anyer Lor (Jawa Barat) dan di daerah Banyuwangi. Sementara itu, perpaduan unsur Australomelanesid dan Monggolid dijumpai pada rangka manusia di Gilimanuk (Bali). Unsur Monggolid dijumpai pada rangka manusia di Sumba Timur, Bumi (jawa Barat), Sangiran (Jawa Timur), Muncar (Jawa Timur), Ulu Leang (Sulawesi), Gua Alo dan Liang Bua ( Flores), dan di Lewoleba, Ulu Babo, Gilinae (Timor).
B. Kemampuan membuat perkakas dan Penguasaan Teknologi Pada kehidupan berburu dan meramu pada tahap awal, penguasaan manusia terhadap teknologi masih sangat sederhana. Biasanya alat yang mereka ciptakan berkaitan erat dengan kebutuhan dasar manusia pada saat itu. Tujuan utama pembuatan alat-alat sekedar untuk mempermudah memperoleh bahan makanan yang menjadi kebutuhan pokoknya. Oleh karena itu, alat-alat yang dibuat baik itu dari bahan batu, kayu, maupun tulangtulang hewan masih sangat sederhana dalam bentuk maupun cara pembuatannya. Hasil budaya fisik pada saat itu yang berupa alat-alat dari batu oleh para ahli dianggap sebagai tahap awal dari manusia mengusai satu bentuk teknologi sederhana yang disebut
Universitas Gadjah Mada
3
teknologi paleolitik. Di Indonsia, alat-alat yang terbuat dari batu dengan berbagai bentuk itu dikelompokkan dalam dua tradisi yaitu tradisi kapak perimbas dan tradisi alat serpih. Berdasarkan ciri-ciri tertentu yaitu dari bentuk dan teknik pembuatannya, alat-alat yang terbuat dari batu itu dapat digolongkan menjadi empat: (1) kapak perimbas; (2) kapak penetak; (3) pahat genggam: dan (4) kapak genggam awal. Perlu diingat bahwa penggolongan tersebut bukan berdasarkan pada fungsinya. Kapak perimbas mempunyai ciri-ciri antara lain tajamannya berbentuk cembung atau lurus dengan memangkas satu sisi pinggiran batu (monofacial) dan kulit batu masih melekat dipermukaan. Termasuk dalam jenis kapak perimbas adalah scroper atau alat pengikis dan chapper atau alat pemotong. Kapak penetak atau chopping-tool mempunyai ciri-ciri tajamannya dibentuk liku-liku dengan cara penyerpihan yang dilakukan berselang-seling pada kedua sisi tajamannya. Pahat genggam atau hand adzes mempunyai ciri-ciri tajamannya berbentuk terjal mulai dari permukaan atas batu sampai pinggirannya dan dibuat juga dengan cara penyerpihan. Kapak genggam awal atau proto-hand-axe mempunyai ciri-ciri bentuknya meruncing dan kulit batu masih melekat pada pangkal alatnya serta tajamannya dibentuk melalui pemangkasan pada satu permukaan batu. Dari empat jenis utama itu masih terdapat jenis jenis lain dengan bentuk dan variasinya sendiri. Hal itu terlihat misalnya jenis kapak perimbas tipe setrika, tipe kurakura, dan tipe serut samping seperti yang ditemukan di daerah Punung Pacitan. Sementara itu, alat-alat serpih (flake) yang paling umum dan banyak ditemukan, mempunyai ciri-ciri kerucut pukulnya menonjol dan dataran pukulnya lebar dan rata. Alat-alat serpih dengan ciri-ciri seperti itu kemudian digolongkan ke dalam jenis "alat serpih sederhana". Temuan-temuan di Indonsia memang banyak variasinya bahkan terdapat beberapa alat serpih yang menunjukkan teknik pembuatannya yang lebih maju.
1.Kapak Perimbas Perkakas-perkakas batu yang digunakan pada masa berburu dan meramu tingkat awal ini ditemukan tersebar di beberapa tempat, terutama di daerah daerah yang banyak mengandung bahan batuan yang cocok untuk pembuatan alat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tradisi kapak perimbas pada masa itu sudah digunakan di hampir seluruh Indonesia. Dari 2000 buah alat batu yang ditemukan di Kali Baksoko, kabupaten Pacitan, kemudian ditentukan sebagai unsur kompleks kapak perimbas dengan sebutan budaya Pacitan. Da semua jenis kapak batu itu umumnya berbentuk besar dan cara pembuatannya kasar. Kulit batu masih melekat pada permukaan alat dan tajamannya berliku atau bergerigi. Sementara itu, satu jenis lain yang juga penting selain kapak
Universitas Gadjah Mada
4
perimbas adalah kapak genggam. Kapak genggam ini pada umumnya dibuat secara kasar tetapi terdapat beberapa buah yang diserpih secara teliti dan lebih halus berbentuk bulat atau lonjong. Daerah penyebaran kapak perimbas ini adalah di daerah Punung, Gombong, Jampangkulon, dan Parigi (Jawa). Di Sumatra ditemukan di daerah Tambangsawah, Lahat, dan Kalianda. Di Kalimantan ditemukan di Awangbangkal. Di Sulawesi ditemukan di daerah Cabbenge. Di Bali ditemukan di daerah Sembiran dan Trunyan. Di Sumbawa ditemukan di daerah Batutring. Di Flores ditemukan di daerah Wangka, Soa, Maumere, dan Mangeruda. Di Timor di temukan di daerah Atambua dan Ngoelbaki. Dilihat dari cam pembuatannya, alat-alat batu yang digunakan pada masa berburu dan meramu tingkat awal digolongkan menjadi dua. Pertama, yang disebut tradisi batu inti, pembuatan alat dilakukan dengan cara pemangkasan segumpal batu atau kerakal untuk memperoleh satu bentuk alat misalnya kapak perimbas, kapak genggam, atau kapak penetak. Kedua, yang disebut tradisi serpih yaitu alat-alat batu yang dibuat dari serpihan atau pecahan-pecahan batu.
2. Alat-alat serpih Alat-alat serpih ini terkadang ditemukan bersama-sama dengan kapak perimbas atau alatalat batu lainnya dan ditemukan secara terpisah, tergantung dari bahan-bahan yang tersedia di lokasi tersebut. Di beberapa tempat seperti di Sangiran (Jawa Timur) atau di Sagadat (Timor) alat-alat serpih menjadi unsur pokok dalam perkembangan budaya masyarakat waktu itu. Tradisi alat-alat serpih yang berkembang pada masa berburu dan meramu tingkat awal bentuk alat-alatnya masih sederhana. Pada masa berikutnya, terutama ketika manusia sudah menetap sementara di gua-gua, tradisi alat serpih mengalami perkembangan dan menjadi perkakas utama dalam kehidupan sehari-hari. Bentuknyapun beraneka ragam dan teknik pembuatannya lebih maju dibanding masa sebelumnya. Ketika bahan dasar dari alat serpih yang berupa batuan obsidian mulai digunakan, alat-alat ini mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia. Tradisi alat serpih ini juga persebarannya cukup luas. Di Jawa, misalnya, ditemukan di daerah Punung, Gombong, Jampangkulon, Parigi, Sangiran dan Ngandong. Di Sumatra hanya ditemukan di daerah Lahat. Di Sulawesi juga ditemukan di satu daerah Cabbenge. Di Sumbawa ditemukan di daerah Batutring. Di Flores ditemukan di daerah Wangka, Soa, dan Mangeruda. Di Timor ditemukan di daerah Atambua, Noelbaki, Gassi Liu, dan di Sagadat.
3. Alat dari bahan tulang
Universitas Gadjah Mada
5
Pembuatan alat dengan menggunakan bahan tulang dan tanduk agaknya pada masa berburu dan meramu tingkat awal ini masih sangat terbatas. Hal itu terlihat dari temuan alatalat itu yang hanya di dua tempat, yakni di Ngandong dan di Sidorejo. Alat-alat dari tulang ini biasanya digunakan untuk sudip atau mata tombak yang bergerigi di kedua sisinya. Sedangkan alat-alat dari tanduk menjangan, misalnya, kemungkinan digunakan untuk mengorek tanah karena di bagian ujung terdapat runcingan. Pembuatan alat dari tulang dan tanduk ini terus berlanjut ketika manusia sudah menetap sementara di guagua. Bahkan dari beberapa temuaan terdapat alat tanduk yang sudah dihaluskan. Ketika manusia sudah menetap di gua-gua, mereka mempunyai kesempatan untuk mengembangkan daya imajinasinya dan ketrampilan membuat alat-alat. Sekalipun perkembangan imajinasi itu masih berkisar pada pengalaman dan harapan hidup tetapi mereka sudah mencurahkan semua itu dalam bentuk kreativitas yakni berupa goresangoresan di dinding gua. Sementara itu, tehnologi alat-alat keperluan hidup mulai mengalami kemajuan sekalipun masih melanjutkan tradisi alat-alat batu dan tulang. Alatalat batu yang muncul pada masa ini berupa kapak genggam sumatra, kapak pendek, dan serpih bilah. Alat-alat dari tulang, tanduk, dan kerang juga mulai beraneka ragam jenisnya dengan kegunaan yang beragam pula. Dengan digunakannya alat-alat serpih, mata panah, lancipan tebal satu sisi dan lain-lain menunjukkan bahwa sasaran perburuan mereka adalah hewan-hewan kecil. Diduga pada masa itu mereka juga telah menggunakan alat-alat dari bahan kayu terutama bambu yang mudah dibentuk untuk alat-alat yang dapat membantu kegiatan berburu atau meramu makanan. Memang sampai saat ini bukti-bukti mengenai hal itu belum ditemukan di Indonsia tetapi sisa-sisa bambu terbakar ditemukan di Muangthai.
4. Kapak genggam Sumatra Kapak genggam Sumatra atau pebble ditemukan tersebar di pantai timur Sumatra terutama di daerah Lhok Seumawe, Tamiang, Binjai, di bukit-bukit kerang di Aceh dan di Sangiran Jawa Tengah. bahan-bahan yang digunakan biasanya dari batu andesit yang dibuat melalui pemangkasan satu sisi atau dua sisi. Para ahli menganggap bahwa kapak genggam Sumatra ini mengikuti tradisi pembuatan kapak genggam di daratan Asia. Kapak ini biasanya ditemukan bersama dengan tulang binatang, kulit kerang, alat-alat lain. Kapak sejenis kapak genggam Sumatra juga ditemukan di Vietnam, Kamboja, Muangthai, dan Malaysia yang kemudian disebut sebagai kebudayaan Hoa-binh.
5. Alat serpih bilah Tehnik pembuatan alat serpih bilah hampir sama dengan pembuatan alat-alat serpih pada masa sebelumnya, tetapi dengan corak yang bermacam-macam. Pembuatan alat-alat Universitas Gadjah Mada
6
serpih bilah ini agaknya kurang berkembang di Jawa tetapi berkembang pesat di Sulawesi Selatan dan di Nusa Tenggara. Bahan yang digunakan biasanya dari batu kalsedon, batu gampit, andesit, dan batu kecubung. Diantara alat-alat serpih ini ada yang berukuran kecil yang disebut mikrolit.
6. Alat dari tulang binatang Adapun penggunaan alat-alat dari tulang pada masa berburu dan meramu tingkat lanjut lebih meluas di Jawa dan di Bali, terutama di daerah Bojonegoro, Tuban, Besuki dan Sampung. Alat-alat tersebut berupa lancipan, belati, mata kail, sudip, dan alat-alat penggaruk dari kulit kerang. Alat yang berupa sudip biasanya dibuat dari tulang panjang yang dibelah memanjang. dari beberapa temuan terlihat bahwa alat sudip ini sudah digosok halus dan dikeraskan dengan cara dipanaskan di api. Ketika manusia sudah mengembangkan usaha bercocok tanam dan tinggal menetap tuntutan terhadap alat-alat penunjang kehidupannya juga mengalami perkembangan. Fungsi alat tidak lagi hanya untuk berburu atau mengolah tanah tetapi juga untuk keperluankeperluan yang bersifat keagamaan. Bahkan pada masa berikutnya pembuatan bendabenda sudah mulai menampakkan aspek-aspek seni yang sangat indah. Pada masa bercocok tanam ini ditandai dengan berkembangnya kemahairan mengasah alat-alat batu dan pembuatan gerabah. Alat yang diasah adalah kapak batu dan beliung serta mata panah dan mata tombak. Alat-alat batu yang berupa beliung persegi merupakan alat yang paling umum digunakan pada masa itu. Hal itu terlihat dari temuantemuan alat itu yang tersebar di beberapa tempat terutama di kawasan Barat Indonsia.
7. Beliung Persegi Bentuk beliung kebanyakan memanjang dan seluruh permukaanya diasah halus kecuali di bagian pangkal untuk tempat mengikat tangkainya. Cara membuat tajaman dengan mengasah bagian samping untuk memperoleh tajaman miring seperti tajaman pahat sekarang ini. Jenis batu-batuan kalsedon, agat, dan jaspis paling umum digunakan untuk bahan pembuatan beliung. Di beberapa daerah terdapat variasi dari alat beliung ini, seperti belincung yang dibuat dari bahan khusus batu setengah permata, beliung bahu, beliung tangga, beliung atap, beliung biola, dan beliung penarah. Adanya variasi-variasi itu, selain menunjukkan perbedaan bentuk dan cara penggarapannya juga masing-masing alat itu mempunyai fungsi yang berbeda. Persebaran beliung dan beberapa variasinya terdapat di daerah Bengkulu, Palembang, Lampung (Sumatra), Banten, Bogor, Cibadak, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Pekalongan, Banyumas, Semarang, Kedu, Yogyakarta, Wonogiri, Punung, Surabaya, Madura, Malang, Universitas Gadjah Mada
7
Besuki (Jawa), dan di daerah-daerah Kalimantan, Sulawesi, Bali, Solor, Adonara, Ternate, Maluku, Sangihe, dan Talaut. Beberapa tempat seperti Tasikmalaya, Bogor, Punung, dan Palembang menunjukkan tanda-tanda sebagai pusat pembuatan dan perbaikan beliung persegi.
8. Kapak lonjong Pada masa yang hampir bersamaan, di wilayah Indonesia Timur seperti Sulawesi, Maluku, Flores, dan Irian berkembang pembuatan alat batu berupa kapak lonjong. Bentuk kapak lonjong ini, sesuai dengan namanya berbentuk lonjong tetapi pada bagaian tajaman agak runcing dan melebar. Yang membedakan dengan jenis kapak batu lainnya adalah pada tajaman yang berupa tajaman simetris atau dua sisi dan bahan yang digunakan kebanyakan batu kali berwarna kehitam-hitaman. Beberapa alat ini seluruh permukaannya diasah halus. Di luar Indonesia alat sejenis ini ditemukan antara lain di Philipina, Jepang, dan Burma. Selain alat-alat batu serpih yang mengalami perkembangan terutama untuk anak panah juga bahan-bahan dari tulang. Bahan-bahan dari tulang berupa lancipan melengkapi alatalat batu dalam upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fungsi alat pada masa bercocok tanam tidak saja untuk membantu manusia terutama dalam memenuhi kebutuhan material berupa makanan tetapi juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhankebutuhan rohani. Fungsi yang terakhir itu misalnya untuk perhiasan atau pelengkap upacara. Sementara itu, kebutuhan manusia juga semakin meningkat seperti kebutuhan akan pakaian. Hal itu terlihat dari temuan alat batu berupa alat pemukul kulit kayu di Ampah (Kalimantan) dan di Minanga Sipakka dan kalumpang (Sulawesi tengah). Jenis alat pemukul kulit kayu yang ditemukan di Ampahberbentuk persegi panjang dengan ujung pemukul mencuat ke atas seperti tanduk. Adapun yang ditemukan di kalumpang mempunyai bidang pemukul yang berjalur jalur sejajar.
9.
Perhiasan Masyarakat pada masa bercocok tanam ini selain sudah mengenal pakaian dari bahan
kulit juga sudah mengenal perhiasan yang terbuat dari batu dan kulit kerang. Gelang dari batu, misalnya ditemukan di Tasikmalaya, Cirebon, dan Bandung sedangkan dari bahan kulit kerang ditemukan di daerah Surakarta. Perhiasan tersebut mungkin tidak hanya untuk memenuhi tuntutan keindahan saja tetapi juga digunakan untuk alat tukar. Hubungan perdagangan dan adanya kontak-kontak budaya menyebabkan kegiatan masyarakat semakin kompleks dan mendorong munculnya kelompok-kelompok profesi. Situasi semacam itu tidak saja menunjukkan adanya pelapisan masyarakat menurut keahlian dan pekerjaannya tetapi juga mendorong perkembangan teknologi yang mereka kuasai.
Universitas Gadjah Mada
8
Teknologi pembuatan alat mengalami kemajuan pesat apalagi ketika ditemukannya tehnik peleburan, percampuran, penempaan, dan pencetakan logam. Semula jenis-jenis logam seperti besi, tembaga, timah, dan emas dibuat dengan tehnik peleburan sederhana. Kemudian dengan tehnik pencapuran menghasilkan perunggu yang lebih kuat. Dalam hal pencetakan itu dikenal tehnik pencetaan lilin (a cire perdue). Dalam tehnik ini model yang dikehendaki (misalnya mata panah) dibuat dulu dari liiin. Kemudian model dari lilin tersebut dibungkus dengan tanah liat. Setelah dipanaskan lilin akan meleleh dan menghasilkan bentuk cetakan tanah liat berongga. Baru kemudian rongga tersebut diisi dengan cairan logam. Setelah dingin cetakan tanah liat dipecah dan menghasilkan barang cetakan. Selain itu dikenal juga tehnik cetakan setangkup atau bi valve. Bahan cetakan setangkup ini dapat dibuat dari tanah liat atau dari logam. Cetakan setangkup ini dapat digunakan berulangulang. Pembuatan alat dan benda-benda pusaka serta gelang dari bahan besi agaknya terbatas pada daerah-daerah tertentu saja di pulau Jawa. Jenis-jenis benda besi itu berupa mata kapak, mata pisau, mata sabit, mata alat penyiang rumput, mata pedang, mata tombak, dan gelang besi. Temuan-temuan benda-benda perunggu di Indonsia yang mempunyai kemiripan dengan temuan di Dongson. Hal itu menimbulkan dugaan adanya hubungan budaya diantara keduanya. Terlepas dari adanya hubungan itu, perkembangan teknologi pembuatan alat dari bahan logam tidak serta-merta menghapuskan alat-alat dari batu. Gerabah, misalnya, justru mengalami perkembangan baik untuk keperluan sehari-hari atau untuk upacara-upacara penguburan dan keagamaan. (Untuk benda-benda perunggu dan gerabah akan dibicarakan tersendiri dalam sub-bab "Seni" yang dikaitkan dengan perkembangan dan pola-pola seni hias).
10. Pengetahuan tentang Astronomi dan pembuatan perahu Pada masa bercocok tanam dan tinggal menetap, manusia sudah menguasai pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan usaha pertanian mereka. Teknologi pengairan sederhana kemungkinan sudah dikuasai. Begitu juga pengetahuan mengenai iklim dengan memahami tanda-tanda alam untuk mengetahui kapan musim hujan dan musim kemarau atau kapan datangnya angin darat atau angin laut. Pengetahuan mengenai
Universitas Gadjah Mada
9
musim ini sangat penting bagi usaha bercocok tanam mereka dan usaha penangkapan ikan di lautan. Astronomi atau pengetahuan . tentang perbintangan pada masa itu berkaitan erat dengan usaha bercocok tanam dan penangkapan ikan di laut (pelayaran). Nenek moyang kita sudah mengasai pengetahuan mengenai perbintangan. Misalnya untuk menentukan arah mata angin mereka berpedoman pada gugusan bintang seperti bintang mayang dan biduk. Atau untuk mengetahui kapan musim hujan dan musim kemarau mereka berpedoman pada munculnya bintang gubung penceng dan bintang waluku. Melihat alat-alat yang mereka kuasai, terutama kapak, dan terdapatnya buktibukti bahwa mereka sudah mengenal dan menemukan api, kemungkinan mereka sudah mengembangkan transportasi air. Semula bentuk transportasi yang digunakan adalah rakit yang pembuatannya tidak terlalu sulit. Rakit digunakan pertama kali mungkin oleh manusia di pedalaman, selain bahan-bahannya berupa bambu banyak tersedia juga rakit sangat praktis untuk transporatasi sungai. Teknologi pembuatan perahu muncul kemudian ketika manusia dapat menguasai api dan mengembangkan kapak batu bertangkai. Dalam pembuatan perahu dilakukan secara bersama-sama. Untuk memperoleh bentuk perahu, pohon yang sudah ditebang itu dibakar sedikit lalu digunakan kapak untuk membuat lubang cekung. Proses pembuatan satu perahu memakan waktu cukup lama. Dibakar lalu dilubangi, dibakar lagi lalu dilubangi lagi dengan kapak. Cara itu dilakukan berulangulang sampai terbentuk lubang besar di tengah-tengah kayu. Inilah yang kemudian dikenal dengan nama perahu lesung. Perahu bercadik merupakan perkembangan lebih lanjut dari perahu lesung. Perahu ini diperkenalkan pertama kali terutama oleh nenk moyang bangsa Indonesia ketika melakukan perpindahan dari daratan Asia ke Indonesia.
C. Perkembangan dari Masyarakat Berburu dan Meramu sampai Bercocok Tanam Menetap
Ketika manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masih terbatas pada kegiatan berburu binatang dan meramu bahan-bahan makanan, ketergantungan manusia dengan alam dan lingkungannya masih sangat kuat. Diperkirakan kegiatan berburu dan meramu pada tingkat awal di Indonsia dilakukan oleh mahluk Pithecanthropus erectus. Perkiraan itu didasarkan pada kemiripan temuan alat-alat
Universitas Gadjah Mada
10
dari batu dan bentuk fisik antara fosil Pithecanthropus erectus dengan fosil Pithecanthropus Pekinensis yang ditemukan di gua Chou-kou-tien di Cina. Kegiatan berburu dan meramu kemudian masih dilanjutkan oleh manusia Wajak atau Homo sapiens. Tentu saja alat-alat untuk berburu oleh manusia Wajak ini juga semakin berkembang. Usaha perburuan hewan di daratan Cina, menurut para ahli sudah dilakukan pada jaman Plestosen Tengah atau kira-kira 1,5 juta tahun sampai 150 tahun SM yang dilakukan oleh manusia purba Pithecanthropus Pekinensis. Adapun hewanhewan buruan pada masa itu adalah antara lain rusa, kuda, babi hutan, kijang, kerbau, kera, gajah, kuda nil, dan beberapa jenis binatang buas lainnya. Adapun hewan-hewan buruan di Indonsia diperkirakan sama dengan hewan-hewan buruan di daratan Asia. Hal itu disebabkan pada jaman Plestosen telah terjadi perpindahan hewan dari daratan Asia ke Indonesa. Perpindahan hewan itu terjadi ketika terbentuk paparan Sunda di sebelah barat yang menggabungkan pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan dengan daratan di Asia. Begitu juga Paparan Sahul di sebelah timur yang menggabungkan Irian dengan daratan Australia. Adapun jalur perpindahan hewan dari arah barat melalui Burma, Semenanjung Malaka, Sumatra, Jawa sampai ke Nusa Tenggara. Sementara itu ada jalur lain mulai dari Cina Selatan, pilipina sampai ke Sulawesi. Manusia pada masa berburu dan meramu tingkat awal itu hidup secara berkelompok dan tidak tinggal secara menetap. Biasanya mereka berada agak lama di daerah yang mengandung cukup banyak bahan makanan, terutama umbi-umbian dan dedaunan, dekat sumber air, serta dekat dengan tempat-tempat mangkal binatang buruan. Mereka kemudian akan melakukan pengembaraan atau berpindah ke tempat lain. Di tempat sementara ini, kelompok perburu biasanya tersusun dari keluarga kecil dengan jumlah kurang lebih 20 sampai 50 orang. Tugas berburu binatang dilakukan oleh laki-laki sedangkan perempuan bertugas mengumpulkan makanan, mengurus anak, dan mengajari anaknya dalam meramu makanan. Ikatan kelompok pada masa ini sangat penting untuk mendukung berlangsungnya kegiatan bersama. Pada masa berikutnya, terutama pada akhir masa Plestosen atau sekitar 15 ribu tahun SM, cara hidup manusia tidak banyak mengalami perubahan. Berburu dan meramu atau mengumpulkan bahan-bahan makanan masih tents berlanjut. Akan tetapi, mereka sudah mulai bertempat tinggal secara tidak menetap di gua-gua. Mereka akan berpindah ke tempat lain jika persediaan makanan dan binatang
Universitas Gadjah Mada
11
buruan di sekitar gua itu sudah tidak mencukupi lagi atau jika terjadi bencana alam, misalnya dinding gua runtuh akibat gempa bumi. Sementara itu, juga terdapat sekelompok manusia yang hidup goa-goa di tepi pantai dan kehidupannya tergantung pada bahan-bahan makanan yang tersedia di laut. Untuk memperoleh bahan-bahan makanan mereka menggunakan alat-alat yang terbuat dari batu, tulang, tanduk, dan lain-lain. Alat-alat dari tulang dan tanduk misalnya, digunakan untuk mengkorek umbi-umbian dan melepas kulitnya. Alat dari batu seperti kapak genggam digunakan untuk mencukil tanah, memecah kulit kerang, memotong daging atau untuk menguliti bintang. Terdapat tanda-tanda bahwa manusia pada masa ini sudah melakukan upaya penjinakan anjing untuk berburu. Hal itu terlihat dari temuan gigi anjing di gua Cakondo Sulawesi Selatan. Perubahan cara hidup dari mengembara ke menetap sementara di gua-gua membawa pengaruh ke aspek-aspek kehidupan lainnya. Dari hasil-hasil temuan di beberapa tempat di Jawa dan di Sumatra, misalnya, disamping ditemuakan alat-alat yang bervariasi juga ditemukan kerangka manusia yang telah menunjukkan caracara penguburan. Dan temuan-temuan arkeologis di goa-goa di beberapa daerah di Indonesia diketahui bahwa di dalam goa telah diadakan pembagian ruang tersendiri. Pembagian ruang itu diketahui dari konsentrasi temuan yang ada. Misalnya ruang untuk memasak diketahui dari temuan arang yang terkonsentrasi di satu tempat. Begitu juga ruang untuk penguburan diketahui dari temuan tulang manusia yang terkonsenrasi di satu tempat. Adanya kerangka manusia yang telah dikuburkan dan temuan hematit (sejenis tanah merah) menunjukkan bahwa mereka telah memiliki suatu kepercayaan terhadap adanya arwah. Warna merah dianggap sebagai lambang kehidupan. Hasil-hasil temuan berupa lukisan yang dipahatkan di dinding di goa-goa di Sulawesi Selatan, Maluku, dam Irian Jaya menunjukkan bahwa mereka selain telah mengenal seni juga sebagai ungkapan yang mempunyai anti simbolis dan makna tertentu. Misalnya warna merah yang banyak dijumpai dalam lukisan itu menggambarkan warna darah yang dapat memberikan kekuatan dan kehidupan. Kehidupan masyarakat pada masa tersebut yang terdiri dari kelompok-kelompok yang tinggal di gua-gua kemungkinan sudah setingkat dengan kelompok-kelompok masyarakat yang disebut tribes atau kelompok-kelompok suku. Mereka selain sudah mampu mengembangkan teknologi pembuatan alat dari batu juga memanfaatkan tulang-tulang binatang sebagai bahan pembuatan alat.
Universitas Gadjah Mada
12
Ada kemungkinan beberapa kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Indonesia pada masa itu sudah melakukan usaha bercocok tanam tingkat sederhana secara berpindah-pindah menurut kesuburan tanah. Hal itu didasarkan pada beberapa temuan di kawasan Asia tenggara. Orang-orang di Asia Tenggara sudah menemukan suatu bentuk pertanian sederhana yaitu pertanian ladang atau perladangan. Di Asia Tenggara sistem perladangan berpindah sudah dilakukan manusia pada masa akhir pletosen atau kira-kira 9000 tahun Sebelum Masehi. Cara manusia bercocok tanam pada sistem perladangan adalah pertama-tama mereka menebang hutan lalu membakar ranting-ranting, daun dan pohonnya. Sesudah dibersihkan baru mereka menanam sejenis umbi-umbian. Setelah masa panen, mereka akan meninggalkan tempat itu dan mencari tempat yang baru dengan cara yang sama, yakni tebang dan bakar. Oleh karena itulah sistem perladangan ini disebut slash and burn yang artinya tebang dan bakar. Jenis manusia yang hidup pada masa akhir Plestosen ini adalah ras manusia Australomelanesid dan Monggoid. Ciri-ciri ras Australomelanesid antara lain berbadan lebih tinggi dibanding ras Monggoloid, tengkoraknya relatif kecil dan dahi agak miring, bentuk tengkoraknya lonjong atau sedang dan bagian belakang tengkoraknya menonjol, lebar mukanya sedang dan rahangnya agak menonjol ke depan. Adapun ciri-ciri ras Monggolid antara lain bentuk badannya tidak selebar ras Australomelanesid dan rata-rata lebih kecil, tengkoraknya bundar dan isi tengkoraknya lebih besar, mukanya lebar dan datar, hidung lebar atau sedang tidak mancung, bagian mulutnya agak menonjol ke depan. Berdasarkan hasil temuan rangka manusia pada masa itu dapat diketahui bahwa kedua ras tersebut sudah menyebar di kepulauan Indonesia. Di wilayah Barat dan wilayah utara Indonesia ciri-ciri ras austromelanesid tampak dominan dan beberapa diantaranya terdapat sedikit campuran Mongolid. Di Jawa juga demikian, ras australomelanesid sangat dominan dan terdapat sedikit campuran monggolid. Di Nusa tenggara terdapat ras australomelanesid dan tidak ditemukan ras mongolid. Sementara itu, di Sulawesi Selatan lebih banyak dihuni ras monggolid. Kehidupan masyarakat menjadi semakin kompleks setelah mereka tidak saja tinggal di gua-gua tetapi juga memanfaatkan lahan-lahan terbuka sebagai tempat tinggal. Dengan bertempat tinggal menetap mereka mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mengembangkan teknologi pembuatan alat dari batu. Perubahan cara hidup dari mengembara ke menetap akhirnya berpengaruh
Universitas Gadjah Mada
13
terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya. Cara hidup berburu dan meramu secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan. Mereka memasuki tahapan baru yaitu bercocok tanam. Masa bercocok tanam ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah perkembangan dan peradaban manusia. Dengan penemuan-penemuan baru mereka dapat menguasai alam, terutama yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup mereka. Berjenisjenis tumbuhtumbuhan mulai dibudidayakan dan bermacam-macam binatang mulai dijinakkan. Akan tetapi pada mulanya cara bercocok tanam masih sederhana dan masih terbatas pada jenis tanaman umbi-umbian dan tanaman jenis padi (Oryza sativa) baru mulai dikenal pada sekitar 4.000 SM. Ada dua pendapat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan munculnya cam bercocok tanam. Pendapat pertama mengatakan bahwa perubahan masyarakat berburu ke masyrakat bercocok tanam disebabkan oleh faktor alam yakni perubahan iklim yang terjadi pada zaman Es (glacial). Adapun pendapat kedua menyatakan bahwa perubahan masyarakat dari berburu ke bercocok tanam karena pertambahan penduduk. Pendapat pertama dikemukakan oleh Gordon Childe dan pendapat kedua dikemukakan oleh J. Braidwood. Dengan dikembangkannya cara bercocok tanam dan bertani berarti banyak hal yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut yang tidak mungkin dapat dipenuhi sendiri. Kondisi inilah yang kemudian mendorong munculnya kelompokkelompok spesialis atau undagi. Misalnya kelompok ahli pembuatan rumah, pembuatan gerabah, ahli pembuat alat-alat logam dan sebagainya. Pada tahapan berikutnya, kegiatan pertanian membutuhkan satu organisasi yang lebih luas yang berfungsi mengelola dan mengatur kegiatan pertanian tersebut. Dari organisasi itu kemudian menumbuhkan organisasi masyarakat yang bersifat chiefdoms atau masyarakat yang sudah berkepemimpinan. Dalam masyarakat yang demikian itu sudah dapat dibedakan antara pemimpin dan yang dipimpin. Pengakuan terhadap pemimpin tidak sekedar karena faktor keturunan tetapi juga dianggap mempunyai kekuatan yang lebih dan berkedudukan tinggi. Para pemimpin tersebut sesudah meninggal, arwahnya tetap dihormati kerena kelebihan yang dimilikinya itu. Untuk menghormati sang arwah kemudian dibangunlah tempat-tempat pemujaan seperti tampak pada, misalnya, peninggalan-peninggalan punden berundak. Selain dapat menunjukkan tempat pemujaan arwah, keberadaan punden berundak juga dapat menjadi bukti adanya masyarakat yang berkepemimpinan. Punden berundak merupakan bangunan tempat melakukan upacara bersama. Dalam melaksanakan
Universitas Gadjah Mada
14
upacara
itu
juga
dipimpin
oleh
seorang
pemimpin
yang
disegani
oleh
masyarakatnya. Ada kemungkinan pada masa bercocok tanam sudah terbentuk desa-desa kecil. Pada mulanya bentuk rumah agak kecil dan bulat dengan atap daun-daunan. Kemudian berkembang bentuk yang lebih besar yang dibangun di atas tiang penyangga. Rumah besar ini bentuknya persegi panjang dan dihuni oleh beberapa keluarga inti. Di bawah tiang penyangga rumah digunakan untuk memelihara temak. Apabila musim panen tiba mereka berpindah sementara di dekat ladang-ladang dengan membangun rumah atau gubuk-gubuk darurat. Binatang-binatang piaraan mereka juga dibawa. Tidak mustahil pada masa itu mereka sudah menggunakan bahasa Untuk keperluan pemuasan jasmani, misalnya, mereka mengadakan kontak-kontak perdagangan dengan kelompok lain. Sekalipun bentuk perdagangan pada waktu itu berupa perdagangan barter, tetapi dalam perdagangan mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tidak dihasilkan di daerah asalnya. Barang-barang dagangan biasanya dibawa sampai jarak jauh melalui darat, sungai atau lautan. Barang-barang yang dipertukarkan tidak hanya berupa hasilhasil pertanian tetapi juga hasil-hasil industri rumah tangga seperti gerabah, perhiasan dan lain-lain, serta ikan, garam, dan hasil-hasil laut lainnya. Adapun untuk pemenuhan kepuasan jasmani dapat kita lihat dari peninggalan-peninggalan yang berupa hasil-hasil seni, baik itu seni lukis, seni kerajinan, maupun seni bangun.
D. Kepercayaan Untuk menyebut suatu agama. yang sering dianut oleh suku-suku bangsa, seperti di Indonesia biasanya menggunakan istilah kepercayaan asli. Dalam kehidupan
keagamaan
di
Indonsia,
kepercayaan
ash
merupakan
bentuk
kerokhanian yang khas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, kepercayaan asli sering disebut "agama asli", "agama suku", atau "agama primitif'. Pada tiap-tiap suku bangsa, kepercayaan ash itu berkembang bebas dan berdiri sendiri, tanpa ada hubungan satu dengan yang lainnya. Munculnya suatu kepercayaan biasanya dilatarbelakangi oleh kesadaran adanya jiwa yang bersifat abstrak. Kemudian dalam fikiran manusia jiwa itu ditranformsikan menjadi mahluk-mahluk halus atau roh halus. Mahluk-mahluk itu diyakini manusia berada di sekeliling tempat tinggal manusia. Dalam kehidupan manusia, mahluk halus itu mendapat perlakukan istimewa dan tempat yang amat penting yang kemudian dijadikan objek-objek pemujaan. Sementara itu, suatu kepercayaan dapat
Universitas Gadjah Mada
15
juga muncul karena getaran jiwa atau emosi, yang muncul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal yang luar biasa sifatnya. Kekuatan itu tidak dapat diterangkan oleh akal, dan berada di atas kekuatan manusia. Kekuatan itu dikenal dengan kekuatan adikodrati. Dengan adanya jiwa dan kekuatan adikodrati itu manusia perlu melakukan tindakantindakan yang berupa upacara-upacara atau ritus. Tindakan-tindakan itu dimaksudkan sebagai upaya manusia untuk mengatasi hal-hal yang tidak dapat diselesaikan oleh naluri atau akalnya. Kepercayaan adanya jiwa tidak terbatas pada diri manusia, tetapi juga pada bendabenda, tumbuh-tumbuhan yang berada disekeliling manusia. Berangkat dari keyakinan itu kemudian timbul kesadaran pada diri manusia bahwa mahluk halus atau roh itu memiliki ujud nyata dan sifat yang mendua yakni sifat yang membawa kebaikan dan sifat yang membawa kejahatan. Dalam perkembangan berikutnya keyakinan itu mendasari munculnya tokoh-tokoh dewa yang mempunyai sifat mendua, sifat yang membawa kebaikan dan sifat yang mendatangkan kejahatan. Kalau kita perhatikan lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding-dinding gua pada masa ketika manusia mulai bertempat tinggal di gua-gua, ternyata lukisanlukisan itu tidak hanya mempunyai nilai estetika tetapi juga mangandung makna etika dan magis. Beberapa ahli menyimpulkan bahwa cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah memiliki arti kekuatan atau simbul kekuatan pelindung dari rohroh jahat. Beberapa lukisan yang terdapat di Irian Jaya mempunyai kaitan dengan upacara penghormatan nenek moyang, meminta hujan dan kesuburan serta untuk memperingati suatu peristiwa yang teramat penting. Adanya keyakinan-keyakinan itulah yang kemudian mendorong berkembangnya beberapa kepercayaan di Indonesia. Diantara kepercayaan itu adalah animisme, dinamisme, dan totemisme. Animisme adalah suatu kepercayaan yang pada awalnya berupa keyakinan bahwa manusia, benda-benda, tumbuh-tumbuhan, dan gejala-gejala alam memiliki kekuatan gaib dan bersifat luar biasa. Keyakinan ini dianggap sebegai kepercayaan yang lebih awal dari animisme, oleh karena itu keyakinan ini disebut praanimisme. Sementara itu animisme lebih menekankan pokok keyakinannya pada adanya roh halus yang dibedakan menjadi roh jahat dan roh baik, serta keyakinan terhadap adanya roh nenek moyang.
Universitas Gadjah Mada
16
Dinamisme adalah suatu kepercayaan dengan keyakinan bahwa semua benda mempunyai kekuatan gaib, seperti gunung, batu, api, dan sebagainya. Bahkan bendabenda buatan manusia diyakini juga mempunyai kekuatan gaib seperti patting, keris, tombak, jimat, dan lain-lain. Sementara itu, totemisme juga merupakan kepercayaan atas dasar keyakinan bahwa binatang-binatang tertentu merupakan nenek moyang suatu masyarakat atau orang-orang tertentu. Binatangbinatang yang dianggap sebagai nenek moyang antara orang yang satu atau masyarakat yang satu dengan yang lainnya berbedabeda. Biasanya binatangbinatang yang dianggap nenek moyang itu tidak boleh diburu "dan dimakan, kecuali untuk keperluan upacara tertentu. Sebelum agama Hindu dan Buddha berkembang, kepercayaan animisme dan dinamisme sebagai kepercayaan ash bangsa Indonesia sudah tumbuh dan berkembang terlebih dulu. Dalam kehidupan keagamaan di Indonsia, kedua kepercayaan itu sudah berakar kuat. Salah satu aspek yang dapat dikaitkan dengan kedua kepercayaan itu adalah berupa peninggalan-peninggalan megalitik. Sesungguhnya proses pembuatan benda-benda megalitik seperti menhir, arca, dolmen, punden berundak, kubur peti batu, dolmen semu atau pandhusa, dan sarkofagus dilandasi dengan keyakinan yang berlaku dalam kepercayaan animisme dan dinamisme, yakni keyakinan bahwa di luar diri manusia ada kekuatan lain. Dilandasi anggapan bahwa menhir atau arca misalnya, sebagai lambang dan tahta kedatangan roh maka kedua jenis peninggalan itu digunakan sebagai sarana pemujaan terhadapa roh nenek moyang. Dolmen dan punden berundak berkaitan dengan aktivitas upacaranya karena dolmen digunakan sebagai tempat sesaji sedangkan punden berundak digunakan untuk tempat upacara. Pendirian punden berundak juga berdasarkan atas arah mata angin yang diyakini kekuatan gaib atau tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat bersemayam roh nenek moyang. Praktek-praktek kepercayaan animisme dan dinamisme itu juga terlihat dalam penyelenggaraan
upacara-upacara
yang
berhubungan
dengan
kematian.
Penyelenggaran upacara kematian dilandasi dengan kepercayaan bahwa suatu kematian itu pada hakekatnya tidak membawa perubahan baik dalam kedudukan, keadaan, dan sifat seseorang. Dengan landasan itu maka penguburan mayat selalu disertai
dengan
bekalbekal
kubur
dan
wadah
mayat
yang
disesuaikan
kedudukannya, agar kedudukan si mati dalam alam arwah sama seperti ketika masih hidup.
Universitas Gadjah Mada
17
Keyakinan akan adanya dunia arwah terlihat dari arah penempatan kepala mayat yang diarahkan ke tempat asal atau tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Tempat yang biasanya diyakini sebagai tempat roh nenek moyang adalah arah matahari terbit atau terbenam dan tempat-tempat yang tinggi, misalnya gunung dan bukit. Bukti-bukti mengenai hal itu terlihat dari hasil penggalian kuburan-kuburan kuno di beberapa tempat seperti Bali dan Kalimantan, menunjukkan arah kepala mayat selalu kearah timur atau barat atau ke puncak-puncak gnung dan bukit. Bukti-bukti lain yang menunjukkan kepercayaan animisme dan dinamisme pada masa berikutnya, terutama pada masa bercocok tanam adalah peninggalanpeninggan budaya megalitik di beberapa wilayah di Indonesia. Misalnya di Bondowoso ditemukan dolmen semu atau pandhusa, sarkofagus, menhir, area megalitik, dan batu kenong. Jenis temuan berupa dolmen semu dan sarkofagus juga ditemukan di Besuki. Di Bojonegoro dan Tuban ditemukan peti kubur batu yang oleh penduduk setempat dinamakan kubur kalang. Di tempat lain di Jawa tengah juga ditemukan bendabenda megalitik seperti di Rembang ditemukan kursi-kursi batu, di Banyumas dan Purbalingga ditemukan punden berundak. Di Banten dan Bogor (Jawa Barat) juga ditemukan punden berundak sementara di Kuningan ditemukan menhir. Di Pasemah, Sumatra Selatan dan di Sulawesi tengah juga ditemukan menhir. Bahkan di Pasemah juga ditemukan patung nenek moyang. Di Keliki dan Tegalallang, Bali, ditemukan sarkofagus. Ketika agama hindu dan buddha berkembang terutama di Pulau Jawa, agaknya kepercayaan animisme dan dinamisme itu tetap bertahan. Dengan adanya keyakinan seperti munculnya tokoh-tokoh dewa yang merupakan manifestasi dari roh-roh halus menyebabkan menculnya paham dewa raja. Pendewaan raja yang telah meninggal merupakan pembauran antara pemujaan roh leluhur dengan agama hindu dan buddha. Pada hakekatnya sebenarnya kedudukan arca dewa sama seperti kedudukan menhir atau arca-arca jaman megalitik. Percampuran antara kepercayaan asli dengan agama Hindu dan Buddha terlihat jelas pada pola susunan dan bangunan candi. Beberapa candi di Jawa Timur memilik bentuk bangunan berteras dengan bilik pusatnya begeser ke belakang, atau candi utamanya berada di halaman belakang. Candi Jago, misalnya, berbentuk bangunan berteras dengan bilik pusat bergeser ke belakang, sedangkan candicandi di kompleks penataran candi utamanya berada di halaman belakang. Pola berderet ke belakang juga dapat ditemukan pada kompleks candi di lereng
Universitas Gadjah Mada
18
pegunungan Penaggungan dan Gunung Lawu. Bentuk bangunan candi berteras semacam itu merupakan kelanjutan dari pola punden berundak. Brikut ini keterangan mengenai benda-benda megalitik yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat periode pra sejarah. 1. Dolmen Dolmen dibentuk dari sebuah batu besar yang diletakkan di atas batu-batu lain. Digunakan sebagai tempat sesaji. 2. Menhir Bentuk menhir seperti tiang batu atau tugu yang dibuat dari batu monolit. Dibentuk secara tunggal maupun berkelompok dan membentuk lingkaran bujur sangkar atau empat persegi panjang. Kegunaannya sebagai lambang nenek moyang dan sebagai tanda peringatan dan kadang-kadang berfungsi sebagai tolak bala. 3. Bangunan berundak merupakan bangunan yang berbentuk segi empat dan tersusun berundak, makin ke atas makin kecil. Di atas bangunan ini sering terdapat batu berdiri (menhir). Fungsi bangunan ini adalah untuk tempat pemujaan dan kadang-kadang digunakan sebagai kuburan. 4. Patung Patung megalitik dibedakan menjadi dua yakni patung bergaya statis dan bergaya dinamis. Patung-patung biasanya digambarkan kaku, tidak mempunyai kaki, tangan biasanya lures atau menempel di perut. Fungsi dari patung ini untuk penolak bala, lambang kesuburan dan perwujudan nenek moyang. 5. Wadah kubur a. Sarkopagus: Dibuat dari dua buah batu monolit yang dilubangi. Kedua batu itu digunakan sebagi wadah dan tutup. b. Peti batu: dibuat dari lempengan batu yang disusun menjadi bentuk empat persegi panjang. c. Pandhusa: Terbuat dari sebongkah batu yang ditopang oleh beberapa batu tegak sehinga membetuk dinding. d. Kalamba: Bentuknya menyerupai tong batu yang stertutup.
Universitas Gadjah Mada
19
e. Waruga: Kuburan ini berbentuk kubus dengan tutup berbentuk atap rumah.
E. Seni Hasrat untuk mengekspresikan keindahan muncul ketika manusia mulai menetap sementara di gua-gua. Ekspresi keindahan itu dituangkan dalam bentuk seni lukis dengan media dinding-dinding gua atau permukaan batu. Ketika manusia sudah mulai hidup menetap dan bercocok tanam, ekspresi keindahan bertambah variasinya. Seni hias muncul pada hiasan gerabah. Seiring dengan perkembangan teknik tuang logam dan pembuatan gerabah, dalam aspek seni muncul seni lukis dalam bentuk relief dan seni patung. Relief sebenarnya merupakan penegasan dari seni lukis dengan media permukaan batu, seni patung diujudkan dalam bentuk patting menhir atau pattingpatting megalitik (batu besar) lainnya. Aspek lain yang terkandung dalam seni rupa itu adalah nilai-nilai magis-relegius. Oleh karena itu, gaya penampilan seninya juga dipengaruhi latar belakang kepercayaan senimannya. Hal itu jelas pada seni rupa masa pra sejarah ini yang kurang memperhatikan segi anatomis dan proporsi dan lebih ditekankan pad segi simbolisnya. Untuk memperoleh gambaran mengenai seni rupa pada masa pra sejarah berikut ini akan diuraikan hasil-hasil seni rupa seperti seni lukis, seni patung, dan seni kerajinan. Kegiatan seni melukis berupa lukisan di dinding-dinding Goa atau dindingdinding karang sudah dilakukan oleh manusia sejak masa berburu dan meramu. Hal itu terbukti dari temuan-temuan di Prancis, Afrika, India, Thailand, dan Australia. Kegiatan seni lukis di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Bukti mengenai hal itui di temukan di Sulawesi Selatan, Kepulauan maluku, dan di Irian Jaya. Di Leang PattaE, di Sulawesi Selatan, ditemukan lukisan di dinding Gua. Bentuk lukisannya berupa cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah dan sekor babi rusa yang sedang melompat dengan panah menancap di jantungnya. Kebanyakan bentuk lukisan di Gua-Gua di Sulawesi Selatan ini selain berupa cap-cap tangan , baik dengan jari lengkap maupun tidak, dan babi rusa. Sementara itu, di gua-gua di pulau Muna, daerah Sulawesii tengah, bentuk lukisan yang ditemukan beraneka ragam. Ada manusia menunggang kuda, memegang tombak atau pedang, kuda,
Universitas Gadjah Mada
20
rusa, anjung, buaya, matahari, perahu layar dan lain-lain. Warna lukisannya lebih didominasi warna cokiat. Di Maluku juga ditemukan lukisan-lukisan di dinding Goa dan batukarang. Warna lukisan merah dan putih. Adapun ujud lukisannya adalah cap tangan, kadal, manusia dengan membawa periasi berwarna merah, lukisan burung dan perahu berwarna putih. Selain itu dijumpai pula lukisan manusia sedang menari dan berkelai, manusia bertopeng, atau lukisan wajah. Di Irian Barat terdapat lukisan di dinding Goa dan Karang. Pada umumnya lukisanlukisan yang ditemukan di Irian Jaya mirip dengan lukisan-lukisan yang ditemukan di pulau Kei daerah Maluku. Bentuknya juga beraneka ragam seperti capcap tangan, orang, ikan, perahu, dan binatang melata, serta cap kaki. Selain itu terdapat juga lukisan yang abstrak seperti garis-garis lengkung, atau garis-garis lingkaran. Seni berupa relief ditemukan. pada dinding kubur megalitik seperti sarkofagus atau pada dolmen. Di Jawa sarkofagus dan dolmen yang meliki relief misalnya yang ditemukan di Tegal Ampel Bondowoso Jawa Timur. Di daerah Tegalallan Bali juga ditemukan sarkofagus yang mempunyai relief. Objek lukisan antara lain berupa manusia, binatang, dan pola-pola geometris. Diantara ketiga objek itu agaknya objek manusia yang paling banyak dilukiskan. Contoh mengenai hal itu adalah relief yang terdapat di sarkofagus yang ditemukan di Bondowoso dan di Bali. Relief yang terdapat di Bondowoso terdiri dari lima manusia dan binatang. Objek lukisan berupa manusia juga terdapat pada tutup dolmen yang ditemukan di desa Tlogosari Bondowoso. Seni patung baik itu patung batu maupun patung dari perunggu umumnya berupa patung manusia dan binatang. Untuk patung batu pada masa itu dibuat dengan teknis pahat sederhana yang pahatannya dilakukan pada bagian-bagian tertentu saja, seperti muka atau tangan. Kesederhanaan itu juga tampak pada penggarapannya yang agak kasar dan terkesan kaku. hal itu dapat difahami karena latar belakang pembuatan patung pada masa itu adalah untuk pemujaan nenek moyang dan patungnya sendiri ditempatkan di dekat kubur. Patung-patung manusia ini ditemukan di Jawa, Sumatra dan Sulawesi. Patung yang ditemukan di Cirebon, Gunung Kidul, dan patting yang ditemukan di Bada Sulawesi
Universitas Gadjah Mada
21
tengah. Patting tersebut biasanya berupa batu besar yang bagian atasnya dipahat sehingga berbentuk muka manusia. Patung-patung batu dengan objek manusia atau binatang ini yang dikenal dengan patting menhir. Patung-patung batu semacam ini bentuknya memang sederhana hanya bagian atas yang mengalami pengerjaan sedangkan bagian bawah dibiarkan polos atau bagian kaki sengaja tidak dipahat. Bagian bawah patting yang berbentuk meruncing itu dimaksudkan untuk mempermudah ditancapkan ke dalam tanah. Sementara itu, seni kerajinan muncul dalam bentuk perhiasan, benda-benda upacara, dan benda-benda keperluan sehari-hari. Bahan yang digunakan untuk kerajinan itu adalah batu, kulit, kerang, tanah liat, perunggu, besi, emas, dan kaca. Da bahan-bahan yang berbeda itu menunjukkan adanya perbedaan tingkat teknologi pembuatannya dan tingkat ketrampilan pembuatnya. Semula teknologi pembuatan dilakukan dengan cara pengurangan. Kemudian berkembang dengan teknologi penambahan dan pencampuran seperti misalnya dalam pembuatan gerabah dan teknik tuang logam. Jenis perhiasan yang dikenal pada masa itu adalah gelang, bandul kalung, dan manikmanik. Adapun benda-benda upacara berupa nekara, kapak perunggu, senjata besi, dan gerabah. Tentu saja semua benda-benda itu tidak hanya mempunyai fungsi estetis dan religius saja tetapi juga beberapa diantaranya dapat berfungsi praktis seperti untuk alat tukar dan alat bantu kegiatan manusia sehari-hari.
1. Gerabah Pada masa bercocok tanam dapat dipastikan semula gerabah digunakan sebagai tempat penyimpanan, tempat memasak, dan kemudian sebagai pelengkap alat upacara. Pada masa itu tehnik pembuatan gerabah masih sederhana kadangkadang tingkat pembakarannya rendah sehingga mudah pecah. Tempat penemuan gerabah cukup banyak antara lain di Kendenglembu (Jawa Timur), Klapadua (jawa Barat), Kalumpang dan Minanga Sipakka (Sulawesi Tengah). Di Kendenglembu ditemukan gerabah polos dan sebagian besar berbentuk periuk dengan bibir periuk melipat keluar. Di Klapadua ditemukan gerabah polos berupa periuk, cawan duduk dan cawan berkaki. Adapun di Kalumpang dan Minanga Sipakka ditemukan gerabah polos dan berhias. Pola hias pada kereweng berupa
Universitas Gadjah Mada
22
pola hias garisgaris sejajar , pola lingkaran. pola segitiga, dan pola belah ketupat. Di sekitar Danau Tua Bandung juga ditemukan gerabah polos dan berhias. Hiasan pada gerabah yang ditemukan di Danau Tua berupa pola hias sisir dan pola hias tali. Pada masa berikutnya yakni pada masa perundagian tehnik pembuatan gerabah semakin maju dengan mengunakan roda putaran, tatap, dan pelandas. Bahkan sampai saat ini di Indonsia terdapat tiga komplek gerabah yang paling menonjol yaitu komplek gerbah Buni, komplek geraah Glimanuk, dan komplek gerabah Kalumpang. Di ketiga komplek gerabah tersebut menurut para ahli mendapat pengaruh tradisi pembuatan gerabah yang berkembang di Asia yakni tradisi gerabah Sa-huynh-Kalamay dan tradisi Bau-Malayu. Gerbah juga sering digunakan untuk bekal kubur. Pada umumnya warna gerabah adalah merah dan kelabu. Benda-benda perhiasan seperti manik-manik sejak manusia hidup di goa-goa sudah umum digunakan yang bahannya di buat dari kerang. tetapi manik-manik dan gelang dari bahan kaca serta gelang, bandul, dan cincin dari perunggu baru digunakan pada masa kemudian. Daerah temuan manik-manik dari bahan kaca di daerah Bali, Jawa, Sumatra Selatan, dan di Timor sedangkan gelang kaca ditemukan di Jawa Barat dan Gilimanuk Bali. Sementara itu, gelang dan cincin perunggu banyak ditemukan di Pasemah Sumatra Selatan.
2. Benda-Benda Perunggu Nekara Nekara sebagai hasil dari seni kerajinan mempunyai bentuk unik dengan pola hias yang kompleks. Bentuk nekara umumnya tersusun dalam tiga bagian. Bagian atas terdiri dari bidang pukul datar dan bagaian bahu dengan pegangan. Bagian tengah merupakan silinder dan bagian bawah berbentuk melebar. Pola hias yang terdapat di nekara ini pada umumnya berbentuk pola hias geometrik dengan beberapa variasinya misalnya pola hias bersusun, pola hias pilin, pola hias topeng, dan lain-lain. Nekara perunggu yang berukuran kecil disebut moko atau mako. Daerah persebaran nekara ini cukup luas. Di Jawa saja ditemukan di beberapa daerah seperti Anyer, Weleri, Wonosobo, Semarang Plawangan, Tuban, lamongan, Banten, dan lain-lain. Di Bali misalnya ditemukan di daerah Pejeng, Bebita, dan Paguyangan. Di Sumatra, Selayar, Sumbawa, dan Irian juga ditemukan beberapa jenis nekara. Hanya saja sampai sekarang belum diketahui dimana tempat pembuatan nekara tersebut.
Universitas Gadjah Mada
23
Kapak Perunggu Benda-benda perunggu lainnya yang termasuk dalam seni kerajinan adalah kapak
perunggu.
Bentuk
kapak
ini
bermacam-macam
yang
kemudian
dikelompokkan menjadi delapan jenis berdasarkan ciri-cirinya, seperti jenis ekor burung seriti, jenis pahat bertangkai, jenis bulan sabit dan lain-lainnya. daerah persebarannya juga luas mulai dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, Selayar, Bali, Flores, Maluku, Timor-Timur sampai Irian Jaya. Diantara semua temuan kapak itu terdapat kapak yang mempunyai pola hias yang sangat indah. Pola hias yang terdapat dalam kapak perunggu yang ditemukan di pulau Roti, misalnya, berbentuk topeng dengan tutup kepala yang menyerupai kipas. Begitu juga kapak jenis candrasa yang ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur memiliki pola hias geometrik pilin, garis-garis dan pola tangga.
Bejana Perunggu Bejana perunggu ini pertama kali ditemukan di Mnedopo Lolo, Kerinci, Sumatra. Kemudian menyusul ditemukan di Asamjara, Sampang, Madura. Fungsi dari bejana ini belum jelas. Motih hias pada bejana ini adalah motif hias tumpal, motif huruf f, motof hias binatang merak dan kijang.
Perhiasan Perunggu Jenis dari perhiasan ini berupa gelang, bandul kalung, dan cincin. Daerah temuan di Pasar Angin, Bogor, dan Buni. Selain polos juga ditemukan dengan pola hias. Umumnya pola hias adalah hiasan geometris, pola hias tumpal garis tanga, pilin dan lingkaran. ada juga bandul kalung yang dihias stiliran bentuk muka yang menyerupai mata besar dan alis tebal.
Patung Perunggu Patung perunggu yang ditemukan di Indonsia biasanya berbentuk manusia dan binatang. Patung perunggu berbentuk manusia menari, misalnya, ditemukan di Bangkinang, Sumatra dan Sulawesi tengah. Adapun patun binatang seperti gajah dan kerbau ditemukan Priangan dan Tuban.
Universitas Gadjah Mada
24