PERGESERAN SUBSEKTOR PERDAGANGAN ECERAN DARI TRADISIONAL KE MODERN DI INDONESIA
OLEH WIDI HARTATI H14102040
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
WIDI HARTATI. Pergeseran Subsektor Perdagangan Eceran Dari Tradisional Ke Modern di Indonesia (dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO).
Perdagangan, hotel dan restoran merupakan salah satu sektor yang berperan penting sebagai penggerak dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal ini terlihat dari laju pertumbuhan serta kontribusinya terhadap struktur Produk Domestik Bruto (PDB) dan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja. Sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki subsektor yang juga berperan penting dalam perekonomian nasional yaitu perdagangan besar dan eceran yang memiliki kontribusi terhadap PDB yang lebih besar dibandingkan dengan subsektor hotel dan restoran. Perdagangan juga berperan penting sebagai penghubung antara sektor produksi dan konsumsi. Bila dikaitkan dengan konsumsi masyarakat, maka subsektor yang lebih berperan adalah perdagangan eceran karena berhubungan langsung atau melayani langsung kebutuhan konsumen akhir. Transaksi dalam perdagangan eceran umumnya membutuhkan sarana berupa pasar. Sejalan dengan perkembangan ekonomi dewasa ini, pasar dalam arti fisik telah banyak mengalami perubahan sehingga saat ini dikenal dua bentuk pasar yaitu pasar tradisional dan modern. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengkaji pergeseran sarana perdagangan eceran dari tradisional ke modern di Indonesia dengan indikator jumlah pasar dan omzet penjualan serta (2) mengkaji kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dalam perdagangan eceran tradisional dan modern di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder berupa jumlah pasar tradisional dan modern tahun 1995, 2000 dan 2005 serta data omzet penjualan tahun 1999-2003 yang diperoleh dari instansi terkait seperti Departemen Perdagangan, Badan Pusat Statisitik, Perpustakaan Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB serta beberapa literatur lain yang relevan dengan penelitian ini. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran perdagangan eceran baik di tingkat nasional maupun propinsi dengan indikator jumlah pasar pada kurun waktu 1995 dan 2000 serta 2000 dan 2005, yang diketahui dari jumlah pasar tradisional yang cenderung mengalami penurunan sedangkan jumlah pasar modern cenderung meningkat. Selain itu laju pertumbuhan jumlah pasar tradisional juga cenderung bernilai negatif sedangkan pasar modern cenderung positif. Pada kurun waktu 2000 dan 2005 laju pertumbuhan pasar modern sudah mulai berkurang. Pergeseran dengan indikator omzet dilihat dari omzet penjualan kedua pasar yang terus mengalami peningkatan dalam periode 1999-2003, namun peningkatan omzet pasar tradisional lebih lambat dan lebih rendah dibandingkan dengan pasar modern. Laju pertumbuhan omzet juga mencerminkan pergeseran yang dilihat dari pertumbuhan omzet pasar tradisional pada periode 2001-2002 menurun sementara di pasar modern seperti hypermarket mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumen lebih tertarik untuk berbelanja di pasar
modern daripada di pasar tradisional. Perkembangan jumlah pasar modern di Indonesia didorong oleh adanya faktor internal berupa keunggulan pasar modern serta faktor eksternal berupa kondisi demografis Indonesia. Persaingan bisnis ritel yang semakin ketat antara pasar tradisional dengan pasar modern, mendorong pemerintah untuk menyiasati keadaan ini dengan mengeluarkan beberapa peraturan seperti Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.145/MPP/Kep/5/97 dan Menteri Dalam Negeri No. 57 tahun 1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan, Surat Keputusan (SK) Menperindag No.420/MPP/Kep/10/1997 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan serta SK Menperindag No. 261/MPP/Kep/7/1997 tentang Pembentukan Tim Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan. Bila dihubungkan dengan penelitian ini, maka peraturan-peraturan tersebut cukup efektif dalam mengurangi pertumbuhan jumlah pasar modern pada kurun waktu 2000 dan 2005, tetapi kurang efektif dalam meningkatkan pertumbuhan jumlah pasar tradisional karena masih adanya beberapa kendala seperti batasan mengenai perdagangan eceran dan grosir belum jelas serta kendala dari pemerintah daerah. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disarankan pengkajian lebih lanjut mengenai pasar baik tradisional maupun modern. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan pasar modern cukup pesat dibandingkan dengan pasar tradisional, maka program pemerintah berupa kemitraan antara pengusaha di pasar modern dan tradisional harus direalisasikan agar pengusaha di pasar tradisional tetap bertahan. Salah satu bentuk kemitraan yang dapat dijalankan oleh pengusaha di pasar tradisional adalah dengan mulai berperan sebagai supplier ataupun wholeseller. Selain itu program kerjasama dengan pihak swasta juga harus ditingkatkan untuk memperbaiki kondisi fisik pasar tradisional. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menyempurnakan penelitian ini antara lain dengan menambahkan data yang lebih spesifik yang belum didapatkan oleh penulis dalam penelitian ini, seperti data jumlah omzet pasar tradisional dan modern per propinsi serta data tenaga kerja di pasar tradisional dan modern. Penelitian selanjutnya juga dapat mengeksplorasi perdagangan eceran secara lebih mendalam dengan melihat peranan pasar baik tradisional maupun modern terhadap pembangunan daerah baik propinsi, kota maupun kabupaten yang dilihat dari kontribusi pasar tradisional dan modern terhadap Pendapatan Asli Daerah serta dampak sosial ekonomi dari pembangunan pasar modern bagi masyarakat.
PERGESERAN SUBSEKTOR PERDAGANGAN ECERAN DARI TRADISIONAL KE MODERN DI INDONESIA
Oleh WIDI HARTATI H14102040
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa
:
Widi Hartati
Nomor Registrasi Pokok
:
H14102040
Departemen
:
Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Pergeseran Subsektor Perdagangan Eceran Dari Tradisional ke Modern di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS. NIP. 131 578 814
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2006
Widi Hartati H14102040
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Widi Hartati lahir pada tanggal 12 Januari 1984 di Jakarta. Penulis anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Suyanto dan Ibu Elies. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah taman kanak-kanak pada TK Tahta Syajar pada tahun 1990, kemudian melanjutkan ke SDN Keranji III dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTP Tridaya Sakti dan lulus pada tahun 1999, kemudian melanjutkan ke SMU Negeri 1 Tambun dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Hipotesa FEM IPB Periode 2003-2004.
^tÜçt |Ç| ~â ÑxÜáxÅut{~tÇ âÇàâ~ ÉÜtÇz@ÉÜtÇz àxÜv|Çàt çtÇz àxÄt{ ÅxÇwâ~âÇz~â
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas Kehadirat Allah SWT dengan Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Pergeseran Subsektor Perdagangan Eceran Dari Tradisional Ke Modern di Indonesia”. Sarana perdagangan eceran berupa pasar baik pasar tradisional maupun modern dipilih penulis sebagai bahan penelitian karena perkembangan kedua pasar ini di Indonesia cukup menarik untuk dikaji. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1.
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan, arahan serta bimbingan selama penyusunan skripsi ini.
2.
Sahara, SP, M.Si selaku dosen penguji utama, terimakasih atas saran dan perbaikannya.
3.
Alla Asmara S.Pt, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan Departemen Ilmu Ekonomi, terimakasih atas perbaikan mengenai tata cara penulisan skripsi ini.
4.
Staf Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan RI atas masukan yang diberikan kepada penulis.
5.
Orang tua serta adik penulis (Wirda dan Witri), terimakasih atas doanya.
6.
Seluruh mahasiswa Ilmu Ekonomi angkatan 39, terimakasih atas motivasi dan dukungannya.
7.
Keluarga besar GIRMA, terimakasih atas kebersamaannya. Penulis sadar bahwa skripsi ini baru merupakan langkah awal dalam
mengkaji subsektor perdagangan eceran. Penulis berharap agar penelitian selanjutnya mampu melengkapi kekurangan yang ada dalam karya penulis ini.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri serta bagi pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2006
Widi Hartati H14102040
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………...
iii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….......
iv
I.
PENDAHULUAN ………………………………………………………
1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………
1
1.2. Perumusan Masalah ……………………………………………….
4
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………….
6
1.4. Manfaat Penelitian ………………………………………………...
6
1.5. Ruang Lingkup ..................………………………………………...
7
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ………......
8
2.1. Tinjauan Pustaka ………………………………………………….
8
2.1.1. Konsep Perdagangan ………………………………………..
8
2.1.2. Perdagangan Dalam Negeri………………………………….
9
II.
2.1.3. Beberapa Definisi Pasar........................................................... 10 2.1.4. Peran Perdagangan Eceran dalam Perekonomian Masyarakat
14
2.2. Penelitian Terdahulu ...........……………………………………......
16
2.3. Kerangka Pemikiran ………………………………………………
18
III. GAMBARAN UMUM PASAR TRADISIONAL DAN MODERN........
20
IV. METODE PENELITIAN ………………………………………….........
28
4.1. Waktu Penelitian…………………………………………………… 28 4.2. Jenis dan Sumber Data …………………………………………….
28
4.3. Metode Analisis ……….…………………………………………
28
4.4. Definisi Operasional.......................................................................... 30 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………
31
5.1. Pergeseran Perdagangan Eceran di Indonesia……………………… 31 5.1.1. Pergeseran dengan Indikator Jumlah Pasar.............................
31
5.1.2. Pergeseran dengan Indikator Omzet Penjualan...................... 36 5.2. Pergeseran Tenaga Kerja di Sektor Perdagangan............................. 39
5.3. Faktor Pendorong Perkembangan Pasar Modern di Indonesia......................................................................................
41
5.4. Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Perdagangan Eceran..............
50
5.4.1. Kebijakan Penataan Pasar dan Pertokoan ...............................
52
5.4.2. Kemitraan ...............................................................................
55
5.5. Beberapa Keterbatasan dalam Penelitian Ini.....................................
63
VI. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………….......
65
6.1. Kesimpulan ………………………………………………………..
65
6.2. Saran ………………………………………………………………
66
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………......
68
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Kontribusi dan Pertumbuhan Setiap Lapangan Usaha Terhadap PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2001-2004......... 1 1.2. Jumlah dan Distribusi Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Indonesia tahun 2001-2004..................................................................... 2 2.1. Pangsa Penjualan Barang Kebutuhan Sehari-hari di Pasar Tradisional dan Modern.............................................................................. 17 2.2. Rasio Keinginan Masyarakat Berbelanja di Pasar Tradisional dan Di Pasar Modern (Studi Kasus: Negara-negara Asia Pasifik).................... 18 3.1. Perkembangan Jumlah Hypermarket di Indonesia.Tahun 1998-2003......... 23 3.2. Perkembangan Omzet Penjualan Pasar Tradisional Di Indonesia Tahun 1998-2003........................................................................................ 25 3.3. Perkembangan Omzet Penjualan Supermarket dan Minimarket di Indonesia Tahun 1998-2003..................................................................... 25 3.4. Perkembangan Omzet Hypermarket di Indonesia. Tahun 1998-2003......... 26 5.1. Perkembangan dan Pertumbuhan Jumlah Pasar Modern dan Tradisional di Propinsi dan Indonesia Periode 1995 dan 2000………. 32 5.2. Perkembangan dan Pertumbuhan Jumlah Pasar Modern dan Tradisional di Propinsi dan Indonesia Periode 2000 dan 2005……….. 34 5.3. Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Perdagangan Menurut Status Pekerjaan Utama................................................................................. 39
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual................................................................ 19 3.1. Perkembangan Jumlah Pasar Tradisional di Indonesia Periode 1994-2005.....................................................................................
21
3.2. Perkembangan Jumlah Pasar Modern di Indonesia Periode 1994-2005...................................................................................... 21 5.1. Pertumbuhan Omzet Pasar Tradisional dan Modern di Indonesia Tahun 1999-2003........................................................................................ 36 5.2. Proyeksi Jumlah Omzet di Pasar Tradisional dan Modern Tahun 2005-2008........................................................................................ 37 5.3. Proyeksi Pertumbuhan Omzet di Pasar Tradisional dan Modern Tahun 2005-2008…………........................................................................ 38 5.4. Persentase Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan di Sektor Perdagangan Tahun 1999............................................................. 40 5.5. Persentase Tenaga Kerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Sektor Perdagangan Tahun 2004............................................................ 40 5.6. Perkembangan Jumlah Penduduk di Indonesia Periode 1971-2004...................................................................................... 45 5.7. Perkembangan Jumlah Rumah Tangga di Indonesia Periode 1980-2004 ..................................................................................... 46 5.8. Perkembangan Jumlah Wanita Bekerja (PNS) di Indonesia Tahun 1995-2004........................................................................................ 47 5.9. Perkembangan Tingkat Pendapatan Perkapita di Indonesia Tahun 1994-2003........................................................................................ 48
1
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan salah satu sektor yang
berperan penting sebagai penggerak dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal ini terlihat dari peranannya terhadap struktur Produk Domestik Bruto (PDB) dan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja (Tabel 1.1 dan Tabel 1.2). Tabel 1.1. Kontribusi dan Pertumbuhan Setiap Lapangan Usaha Terhadap PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2001-2004 Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan
Perdagangan, Hotel dan Restoran Perdagangan Besar dan Eceran* Hotel* Restoran* Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDB
2001 15,64 (4,08) 11,66 (0,33) 27,60 (3,30) 0,63 (7,92) 5,55 (4,58) 16,24 (4,38) 13,34 (4,09) 0,67 (7,39) 2,22 (5,20) 4,87 (8,10) 8,53 (6,60) 9,28 (3,24) (3,83)
Sumber : BPS, 2004. Keterangan : Angka dalam kurung merupakan pertumbuhan (%). * : Subsektor dari sektor Perdagangan, hotel dan restoran.
2002 15,47 (3,23) 11,28 (1,00) 27,85 (5,29) 0,66 (8,94) 5,61 (5,48) 16,16 (3,90) 13,26 (3,69) 0,67 (4,83) 2,23 (4,87) 5,06 (8,39) 8,69 (6,37) 9,23 (3,75) (4,38)
2003 2004 15,39 15,23 (4,34) (4,06) 10,66 9,67 (-0,89) (-4,61) 27,97 28,25 (5,33) (6,19) 0,66 0,67 (5,88) (5,91) 5,70 5,87 (6,67) (8,17) 16,23 16,33 (5,30) (5,80) 13,32 13,37 (5,42) (5,51) 0,68 0,71 (5,53) (11,00) 2,23 2,24 (4,50) (5,97) 5,38 5,77 (11,56) (12,70) 8,87 9,09 (7,02) (7,72) 9,14 9,12 (3,87) (4,91) (4,88) (5,13)
2
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran cenderung memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PDB bila dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya pada periode 2001-2004 kecuali pada tahun 2002 yang mengalami penurunan. Pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran juga cenderung mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2002 mengalami penurunan. Nilai kontribusi maupun pertumbuhan yang menurun pada tahun 2002 diduga dipengaruhi oleh menurunnya daya beli masyarakat dan kondisi politik yang kurang kondusif seperti terjadinya peristiwa bom Bali. Sektor perdagangan, hotel dan restoran juga memiliki pertumbuhan yang senantiasa lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB dalam periode 2001-2004. Tabel 1.2. Jumlah dan Distribusi Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun 2001-2004 Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Lain-lain*
2001 39,74 (43,76) 0 0 12,09 (13,31) 0 0 3,84 (4,23) 17,47 (19,24) 4,45 (4,90) 1,13 (1,24) 11,00 (12,11) 1,10 (1,21)
2002 40,63 (44,33) 0,63 (0,69) 12,11 (13,21) 0,18 (0,20) 4,27 (4,66) 17,80 (19,42) 4,67 (5,10) 0,99 (1,08) 10,36 (11,30)
2003 43,04 (46,37) 0,73 (0,79) 11,49 (12,38) 0,15 (0,16) 4,05 (4,36) 17,25 (18,59) 4,94 (5,32) 1,31 (1,41) 9,84 (10,60)
2004 40,60 (43,32) 1,03 (1,10) 11,07 (11,81) 0,23 (0,25) 4,54 (4,84) 19,12 (20,40) 5,48 (5,85) 1,12 (1,20) 10,52 (11,22)
0
0
0
Sumber : BPS, 2004. Keterangan : Jumlah tenaga kerja dalam Juta Jiwa. Angka dalam kurung menunjukkan persentase penyerapan tenaga kerja. * : Sektor pertambangan, penggalian dan sektor listrik, gas dan air.
3
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa sektor yang memberikan kontribusi terbesar dalam penyerapan tenaga kerja adalah sektor pertanian dilihat dari nilai persentase penyerapan tenaga kerja yang paling besar. Sektor perdagangan, hotel dan restoran menempati urutan kedua setelah pertanian. Persentase penyerapan tenaga kerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran cenderung meningkat kecuali pada tahun 2003 mengalami penurunan yang diduga akibat berkurangnya aktivitas terutama di subsektor hotel dan restoran sebagai dampak adanya peristiwa bom Bali tahun 2002. Salah satu subsektor dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang juga berperan penting dalam perekonomian adalah subsektor perdagangan besar dan eceran. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi perdagangan besar dan eceran terhadap PDB yang lebih dominan bila dibandingkan dengan subsektor hotel dan restoran (Tabel 1.1). Perdagangan merupakan salah satu sektor dalam sistem perekonomian nasional yang berperan dalam menjembatani sektor produksi dengan konsumsi baik antar sektor maupun secara regional. Dari dua bentuk perdagangan yaitu perdagangan besar dan eceran, perdagangan eceran merupakan bentuk perdagangan yang langsung memenuhi kebutuhan hidup atau konsumsi orang banyak. Perdagangan eceran di Indonesia merupakan kegiatan yang berkembang pesat, terutama karena didukung oleh masih tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Selain itu, perdagangan eceran juga melibatkan pelaku usaha yang sangat besar jumlahnya setelah sektor pertanian. Hal tersebut terjadi karena bidang kegiatan perdagangan eceran tidak memerlukan persyaratan teknis yang rumit
4
dibandingkan bidang kegiatan ekonomi lainnya seperti di sektor industri, pertanian dan lainnya, sehingga sektor perdagangan eceran berperan dalam menyerap banyak tenaga kerja (Departemen Perdagangan, 2005). Untuk perekonomian negara berkembang, perdagangan eceran merupakan katup pengaman bagi penyediaan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997, perdagangan eceran menjadi sektor tumpuan untuk mengatasi pengangguran dan pemutusan hubungan kerja, bahkan banyak diantara perusahaan sektor produksi yang stagnan beralih ke sektor jasa distribusi (Departemen Perdagangan, 2005). Kegiatan perdagangan eceran sendiri dilakukan melalui transaksi jual beli di pasar. Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi dewasa ini, citra pasar dalam arti fisik telah banyak mengalami pembenahan dan peningkatan sehingga menjadi lebih menarik. Pasar dalam kehidupan modern tidak hanya dihubungkan dengan transaksi jual beli barang atau jasa tetapi juga berhubungan dengan gaya hidup masyarakat sehingga berkembanglah pasar modern disamping pasar yang sebelumnya telah ada yaitu pasar tradisional. Melihat peranan sektor perdagangan eceran dan perkembangan pasar yang menjadi sarananya cukup pesat, subsektor perdagangan eceran dipilih sebagai bahan penelitian.
1.2.
Perumusan Masalah Peningkatan jumlah penduduk terutama di daerah perkotaan, membaiknya
tingkat pendidikan serta kesejahteraan merupakan beberapa faktor yang telah mendorong terjadinya perubahan selera dan pola hidup dalam masyarakat. Sejalan
5
dengan hal itu, maka diperlukan peningkatan sarana dan prasarana yang dapat mendukung pola hidup masyarakat tersebut. Peningkatan sarana dan prasarana antara lain dilakukan melalui pembangunan di berbagai sektor salah satunya adalah pembangunan di sektor perdagangan termasuk sektor perdagangan eceran yang pada umumnya ditandai dengan pembangunan sarana perdagangan eceran baik berupa pasar tradisional maupun pasar modern. Perkembangan pasar modern yang semakin pesat telah mempengaruhi struktur perdagangan eceran yang pada awalnya hanya didominasi oleh pasar tradisional. Bila dilihat dalam kenyataan saat ini, pembangunan pasar modern semakin marak dan cenderung telah menggeser peranan pasar tradisional karena sebagian masyarakat terutama masyarakat perkotaan lebih banyak memenuhi kebutuhan rumah tangga dari pasar modern. Masyarakat lebih memilih untuk berbelanja di pasar modern karena pasar modern memiliki keunggulan dibandingkan dengan pasar tradisional antara lain suasana pasar yang bersih, nyaman dan aman serta harga yang seringkali lebih murah dibandingkan dengan pasar tradisional. Pertumbuhan pesat pasar modern belakangan ini, perlu memperhatikan kelangsungan pasar tradisional yang selama ini masih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah baik sebagai tempat berbelanja maupun untuk berusaha. Untuk itu, perlu adanya suatu kebijakan dari pemerintah yang dapat menyelaraskan antara kepentingan pengusaha pasar modern dengan pengusaha pasar tradisional.
6
Secara ringkas, permasalahan yang akan dibahas adalah : 1.
Bagaimana pergeseran sarana perdagangan eceran dari tradisional ke modern di Indonesia ?
2.
Kebijakan apa yang diterapkan oleh pemerintah dalam bidang perdagangan eceran tradisional dan modern di Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini antara lain :
1.
Mengkaji pergeseran sarana perdagangan eceran dari tradisional ke modern di Indonesia.
2.
Mengkaji kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah dalam sektor perdagangan eceran tradisional dan modern.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.
Bagi penulis sendiri berguna khususnya untuk melatih kemampuan berfikir kritis dan tanggap terhadap permasalahan yang terjadi di daerah dan di masyarakat.
2.
Untuk menambah wawasan bagi para pembaca dalam memberikan gambaran mengenai kondisi perdagangan eceran di Indonesia saat ini sehingga akan muncul kritik yang membangun dan dapat dipergunakan untuk menyempurnakan tulisan ini serta untuk kelangsungan pembangunan sektor perdagangan eceran itu sendiri.
7
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian ini hanya akan melihat pergeseran subsektor perdagangan eceran
dari sarana perdagangan berupa pasar, baik pasar tradisional maupun modern. Indikator yang digunakan untuk melihat pergeseran adalah data jumlah pasar tradisional dan modern pada tahun 1995, 2000 dan 2005 serta data omzet penjualan pasar tradisional, supermarket dan hypermarket pada periode 19992003.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1. Konsep Perdagangan Kegiatan pembangunan pada dasarnya adalah kegiatan yang dilaksanakan di segala sektor yang ditujukan untuk mencapai sasaran tertentu di masa depan. Salah satu sasaran dari pembangunan adalah peningkatan produksi yang tidak mungkin terjadi tanpa dukungan perdagangan yang merupakan sektor jasa untuk menunjang kegiatan pembangunan, baik ditinjau dari aspek dalam negeri maupun aspek internasional. Perdagangan diartikan sebagai kegiatan jual beli barang dan jasa yang dilakukan secara terus menerus dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan jasa disertai imbalan atau kompensasi, tanpa mengubah bentuk barang atau jasa dari produsen kepada konsumen yang dilakukan oleh pedagang yaitu perorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan perniagaan atau perdagangan secara terus menerus dengan tujuan memperoleh laba (Departemen Perdagangan, 2005). Kegiatan sektor perdagangan terdiri dari dua subsektor, yaitu sub sektor perdagangan luar negeri yang terdiri dari perdagangan ekspor dan impor serta sub sektor perdagangan dalam negeri yang terdiri dari perdagangan partai besar, perdagangan eceran dan perdagangan informal sedangkan pedagang dapat digolongkan menjadi dua yaitu pedagang yang membeli barang dari produsen (dalam partai besar) disebut pedagang besar/grosir atau whole seller dan pedagang yang membeli barang dagangan dari pedagang besar (dalam partai kecil) yang
9
disebut pedagang kecil atau retailer. Pedagang yang terakhirlah yang langsung berhadapan dengan konsumen (Hidayat dalam Sukaesih, 1994). Dalam ekonomi makro maupun ekonomi pembangunan, istilah ekspor atau impor adalah perdagangan yang dilakukan dengan luar negeri atau antar negara, sedangkan dalam ekonomi regional perdagangan ekspor dan impor berarti perdagangan yang dilakukan dengan luar wilayah atau daerah termasuk perdagangan dengan luar negeri (Tarigan, 2005). 2.1.2. Perdagangan Dalam Negeri Kegiatan perdagangan dalam negeri dapat dilaksanakan oleh perusahaan penanaman modal yang seluruhya dimiliki oleh Warga Negara Asing atau badan hukum asing atau oleh perusahaan patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia. Lembaga usaha perdagangan dalam negeri umumnya terdiri dari pedagang besar, pedagang pengecer dan pedagang informal (BKPM, 1997). 1.
Pedagang Besar (Wholesaler) Pedagagang besar (Wholesaler) adalah perorangan atau badan usaha yang
bertindak atas namanya sendiri atau atas nama pihak lain yang menunjuknya untuk menjalankan kegiatan dengan cara membeli, menyimpan, menjual barang dalam partai besar secara tidak langsung kepada konsumen akhir. Untuk melakukan penjualan kepada konsumen akhir harus menunjuk perusahaan nasional sebagai agen. Termasuk pedagang besar adalah distributor utama, perkulakan (grosir), sub distributor, pemasok besar, dealer besar, agen tunggal pemegang merek, eksportir dan importir.
10
2.
Pedagang Pengecer (Retailer) Pedagang pengecer (retailer) adalah perorangan atau badan usaha yang
kegiatan pokoknya melakukan penjualan secara langsung kepada konsumen akhir dalam partai kecil. Kegiatan perdagangan eceran umumnya dilakukan di suatu tempat yang dikenal dengan pasar yaitu tempat bertemunya pihak penjual dan pembeli untuk melakanakan transaksi di mana proses jual beli terbentuk. 3.
Pedagang Informal Pedagang informal adalah perorangan yang tidak memiliki badan usaha
yang melakukan kegiatan perdagangan barang dan atau jasa dalam skala kecil yang dijalankan oleh pengusahanya sendiri berdasarkan azas kekeluargaan. 2.1.3. Beberapa Definisi Pasar Pasar dalam pengertian sederhana dan sempit diartikan sebagai tempat terjadinya transaksi jual beli (penjualan dan pembelian) yang dilakukan oleh penjual dan pembeli yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Pasar dalam pengertian ekonomi adalah pertemuan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand), yaitu ada yang menawarkan barang dan ada yang menginginkannya dengan harga yang disepakati kedua belah pihak. Pasar dalam pengertian fisik adalah tempat bertemunya pedagang (penjual) dan pembeli (konsumen). Oleh karena itu pasar mempunyai kedudukan dan peran penting bagi masyarakat luas dan bagi sektor perdagangan. Bagi sektor perdagangan, pasar merupakan tempat pedagang berusaha, sebagai sarana distribusi barang bagi produsen dan petani, tempat memonitor perkembangan harga dan stok barang beserta lapangan kerja bagi masyarakat luas (Sukaesih, 1994).
11
Definisi lain menyebutkan bahwa pasar dapat dibedakan antara pasar langsung dan pasar tidak langsung. Pasar langsung diartikan sebagai pertemuan antara penjual dan pembeli di satu tempat yang bernegosiasi sehingga mencapai kesepakatan dalam bentuk jual beli atau tukar menukar. Dari definisi ini, ada empat poin penting yang menonjol dan menandakan terbentuknya pasar: pertama, ada penjual dan pembeli; kedua, mereka bertemu di sebuah tempat tertentu; ketiga, terjadi kesepakatan diantara penjual dan pembeli sehingga terjadi jual beli atau tukar menukar; dan keempat, antara penjual dan pembeli kedudukannya sederajat. Dalam sejarah ekonomi, pasar seperti ini disebut sebagai pasar tradisional. Tetapi, ada juga pasar di mana pembeli dan penjual bertemu tapi tidak terjadi transaksi yang didasarkan pada proses tawar menawar seperti di supermarket atau hypermarket. Dalam kasus lainnya, ada pasar di mana pembeli dan penjual tidak harus bertemu di satu tempat, juga tidak harus terjadi tawar menawar. Contohnya adalah pasar e-commerce (jual beli melalui internet). Pasar seperti inilah yang disebut sebagai pasar tidak langsung. Selain melalui internet, pasar tidak langsung juga dapat dilihat pada perdagangan di bursa saham, pasar uang maupun pasar valuta asing (Pontoh, 2005). Pasar tidak selalu diartikan sebagai suatu tempat terjadinya jual beli antara penjual dan pembeli. Pasar dalam konsep pemasaran diartikan sebagai kumpulan orang yang memiliki demand terhadap suatu barang ataupun jasa. Demand merupakan pengembangan lebih lanjut dari needs dan wants. Needs adalah kebutuhan manusia yaitu segala sesuatu yang harus dipenuhi oleh manusia karena kodratnya sebagai makhluk hidup. Contohnya adalah manusia membutuhkan
12
makan karena adanya rasa lapar, inilah dasar utamanya. Kemudian needs tersebut akan berubah menjadi wants atau keinginan jika needs tersebut dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat, budaya dan selera pribadi. Dari satu needs bisa muncul berbagai macam wants. Sebagai contoh dari needs akan makanan maka tersedia berbagai macam pilihan tempat makan untuk memenuhi needs tersebut. Perubahan dari needs menjadi wants belumlah cukup, karena wants harus dilanjutkan kepada tahap demand atau permintaan. Untuk merubah wants menjadi demands prasyarat utamanya adalah daya beli atau purchasing power. Secara mendasar pasar dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu pasar konsumen dan pasar bisnis. Beda secara mendasar dari kedua pasar ini adalah bahwa para pembeli pada pasar konsumen adalah para pengguna langsung atau end user sedangkan pada pasar bisnis pembelinya merupakan non end user dan merupakan intermediary artinya pembeli tersebut membeli barang untuk dijual kembali (Sutikno, 2001). Menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 23/MPP/Kep/1/1998 Tentang Lembaga-lembaga Usaha Perdagangan, pasar didefinisikan sebagai tempat bertemunya pihak penjual dan pihak pembeli untuk melaksanakan transaksi di mana proses jual beli terbentuk, yang menurut kelas mutu pelayanan, dapat digolongkan menjadi pasar tradisional dan pasar modern (Departemen Perdagangan, 2006). 1.
Pasar Modern Pasar modern merupakan pasar yang dibangun oleh pemerintah, swasta,
atau koperasi dalam bentuk berupa mall, supermarket, department store dan
13
shopping centre dimana pengelolaannya dilaksanakan secara modern dan mengutamakan pelayanan kenyamanan berbelanja dengan manajemen berada di satu tangan, bermodal relatif kuat dan dilengkapi dengan label harga yang pasti. Pasar modern biasanya dilengkapi dengan sarana hiburan serperti bioskop, mainan anak-anak dan restoran yang merupakan daya tarik tersendiri untuk menarik minat pengunjung. Pasar modern bermula dari toko serba ada (toserba) yang kemudian berkembang menjadi supermarket dengan aset dan omzet lebih besar. Supermarket kemudian berkembang menjadi hypermarket yaitu sebuah toko serba ada dengan skala lebih besar dan ada unsur modal asing didalamnya. Supermarket atau hypermarket memiliki keunggulan dibandingkan dengan pasar tradisional karena harga barang murah, kemasan rapi, jenis barang lengkap, situasi bersih dan nyaman menjadikan hypermarket sebagai one stop shopping. Konsumen pergi ke hypermarket untuk membeli semua kebutuhan dengan gengsi tersendiri. Banyak barang yang tidak dikenal dan bukan menjadi kebutuhan, akhirnya menimbulkan selera konsumen. Supermarket dan hypermarket tidak saja memenuhi kebutuhan konsumen, tetapi juga menciptakan kebutuhan. 2.
Pasar Tradisional Pasar tradisional merupakan pasar yang bentuk bangunannya relatif
sederhana, dengan suasana yang relatif kurang menyenangkan (ruang usaha sempit, sarana parkir kurang memadai, kurang menjaga kebersihan pasar dan penerangan yang kurang baik). Barang yang diperdagangkan adalah kebutuhan sehari-hari, harga barang relatif murah dengan mutu yang kurang diperhatikan dan
14
cara pembeliannya dilakukan dengan tawar menawar. Contoh pasar tradisional adalah pasar Inpres dan pasar lingkungan. Keadaan pasar tradisional kurang berkembang dan cenderung tetap tanpa banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kesan kotor, kumuh, becek masih melekat pada pasar tradisional, harga tidak pasti, adu tawar, barang tidak lengkap menyebabkan pasar tradisional kehilangan pembelinya. Namun pasar tradisional tetap memiliki keunggulan, yaitu dari segi interaksi dan komunikasi sosial di mana terjadi keakraban antara penjual dengan pembeli. Penjual mengenal konsumen dengan baik. Menurut sifat pendistribusinya pasar dapat digolongkan menjadi pasar eceran yaitu pasar tempat dilakukannya usaha perdagangan dalam partai kecil dan pasar perkulakan/grosir yaitu pasar tempat dilakukannya usaha perdagangan partai besar (Departemen Perdagangan, 2006). 2.1.4. Peran Perdagangan Eceran dalam Perekonomian Masyarakat Perdagangan eceran merupakan bentuk perdagangan yang melayani konsumen akhir secara langsung. Bidang usaha dari perdagangan eceran antara lain mencakup kegiatan perdagangan di supermarket, departement store, pertokoan besar, pertokoan biasa, perdagangan eceran di kios, perdagangan keliling, perdagangan pesanan, perdagangan jasa, dan dalam hal perdagangan pengumpulan berhubungan langsung dengan produsen kecil. Salah satu bidang usaha perdagangan eceran yang banyak diminati oleh masyarakat adalah perdagangan di kios, yang umumnya dilakukan di pasar tradisional.
15
Pasar tradisional merupakan pranata ekonomi yang relatif tua dengan fungsi menyalurkan barang-barang kebutuhan sehari-hari khususnya dan kebutuhan hidup lainnya. Peranan ekonomi maupun sosialnya yang telah melembaga merupakan bagian dari dinamika perkembangan suatu masyarakat. Meskipun saat ini tumbuh berbagai pranata baru dan modern tetapi peranan strategis pasar tradisional belum tergantikan karena membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mengubah budaya belanja masyarakat Indonesia. Pasar tradisional berperan sebagai penyangga sistem ekonomi nasional, khususnya sektor perdagangan yang langsung menyediakan kebutuhan konsumen. Pasar tradisional turut berperan dalam penyerapan tenaga kerja, hal ini terlihat dari jumlah pedagang yang terserap dalam pasar tradisional. Sebagai contoh, di Jakarta ada kurang lebih 66 ribu pedagang tertampung di kios-kios resmi pasar tradisional. Sementara itu yang tidak tertampung jumlahnya hampir dua kali lipat (sekitar 100 ribu pedagang) sedangkan di Surabaya dan Bandung jumlah pedagang yang tertampung tidak kurang dari 25 ribu orang dan 13 ribu orang. Pedagang di pasar tradisional termasuk ke dalam kategori pengusaha kecil, di mana usaha kecil itu sendiri merupakan kegiatan ekonomi rakyat sebagai bagian integral dunia usaha yang mempunyai kedudukan, potensi dan peran yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian yang makin seimbang dan pemerataan pembangunan berdasarkan demokrasi ekonomi. Dengan demikian usaha kecil perlu diberdayakan dan diberikan peluang berusaha agar mampu dan sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya untuk mengoptimalkan peran sertanya dalam pembangunan.
16
Kehadiran pasar modern dapat menimbulkan dampak negatif terhadap eksistensi pasar tradisional yang digerakkan oleh para pengusaha kecil , menengah dan koperasi seperti pengurangan pola jam kerja dan pengurangan volume penjualan serta persaingan dalam bentuk lain, sehingga diperlukan bentuk tatanan perekonomian yang memungkinkan berkembangnya potensi ekonomi masyarakat dan terjadinya interaksi yang saling menguntungkan diantara para pelaku ekonomi. Tatanan itu dapat terwujud melalui pola kemitraan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil dan koperasi (Departemen Perdagangan, 2005).
2.2.
Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian mengenai pergeseran pasar dari tradisional ke modern
telah dilakukan, antara lain hasil survei AC Nielsen, pada tahun 2004 yang menyatakan bahwa jumlah pasar tradisional di Indonesia telah mencapai 1,7 juta atau sebesar 73 persen dari keseluruhan pasar yang ada. Sedang sisanya sebanyak 27 persen berupa pasar modern. Namun ternyata laju pertumbuhan pasar modern jauh lebih tinggi dibandingkan pasar tradisional. Pertumbuhan pasar tradisional sebesar 5 persen per tahun sedang pasar modern mencapai 16 persen. Dilihat dari organik pasar modern, minimarket mempunyai pasar sebesar 5 persen dengan laju pertumbuhan sebesar 15 persen sedangkan untuk supermarket pangsa pasarnya mencapai 17 persen dengan tingkat pertumbuhan 7 persen. Sementara hypermarket besar pasarnya 5 persen dengan laju pertumbuhan 25 persen per tahun. Bila dirataratakan tingkat pertumbuhan pasar modern sebesar 16 persen setiap tahunnya. Dengan besar pasar dan tingkat pertumbuhan kedua pasar yang berbeda jauh,
17
maka lambat laun pasar-pasar tradisional akan tergantikan. Besarnya eliminasi dari pasar tradisional menurut perhitungan AC Nielsen setiap tahunnya mencapai 1,5 persen (Nafi, 2004). AC Nielsen Indonesia juga menemukan fakta mengenai penurunan pangsa penjualan barang kebutuhan sehari-hari di pasar tradisional seperti yang terlihat pada Tabel 2.1. Pada tahun 2001 pasar tradisional masih menguasai pangsa sebesar 75,2 persen dari total penjualan barang-barang konsumsi di dalam negeri. Namun sumbangan penjualan pedagang di pasar tradisional mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 67,6 persen pada tahun 2005. Tabel 2.1. Pangsa Penjualan Barang Kebutuhan Sehari-hari di Pasar Tradisional dan Modern Tahun 2001-2005 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Pasar Modern (%) 24,8 25,1 26,3 30,4 32,4
Pasar Tradisional (%) 75,2 74,8 73,7 69,6 67,6
Sumber : Silitonga, 2006.
AC Nielsen Indonesia menaksir nilai belanja produk kebutuhan sehari-hari pada tahun 2004 sebesar 57,24 triliun rupiah dengan rincian pasar modern 18,55 triliun dan pasar tradisional 38,70 triliun. Penelitian lain yang dilakukan oleh AC Nielsen pada tahun 2005 menyebutkan bahwa di negara-negara Asia Pasifik (kecuali Jepang), pada tahun 1999-2004 rasio keinginan masyarakat berbelanja di pasar tradisional cenderung menurun sedangkan di pasar modern meningkat.
18
Tabel 2.2. Rasio Keinginan Masyarakat Berbelanja di Pasar Tradisional dan di Pasar Modern Tahun 1999-2004 (Studi Kasus : Negara-negara Asia Pasifik) Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Pasar Modern (%) 35 37 40 43 44 47
Pasar Tradisional (%) 65 63 60 52 56 53
Sumber : Departemen Perdagangan, 2006.
2.3.
Kerangka Pemikiran Kehidupan masyarakat akan senantiasa mengalami perubahan dan akan
selalu menuju ke tahap yang lebih maju dan lebih modern. Sejalan dengan kehidupan yang semakin maju dan modern, maka akan muncul kebutuhankebutuhan yang lebih kompleks dan lebih banyak jumlahnya sehingga diperlukan pula fasilitas pendukung yang lebih baik dan lebih banyak daripada yang tersedia saat ini. Peningkatan fasilitas ini hanya mungkin terjadi melalui suatu pembangunan yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun swasta. Pembangunan di berbagai sektor akan memberikan kontribusi dalam PDB sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Pembangunan yang dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks ini dilaksanakan di berbagai sektor. Salah satunya adalah di sektor perdagangan berupa pembangunan pasar yang merupakan fasilitas bagi perdagangan eceran yang berkaitan langsung dengan konsumsi masyarakat seperti pembangunan pasar modern yang saat ini marak dilakukan.
19
Perubahan pola hidup masyarakat yang menjadi lebih modern kemudian mempengaruhi pola belanja di mana masyarakat lebih suka berbelanja di pasar modern yang memiliki berbagai keunggulan daripada di pasar tradisional. Perubahan pola belanja dan orientasi pembangunan sarana perdagangan eceran yang lebih mengarah pada pasar modern telah menyebabkan perkembangan pasar modern yang pesat sedangkan pasar tradisional perkembangannya relatif stagnan. Berkembangnya pasar modern di seluruh daerah di Indonesia termasuk di kotakota besar telah mempengaruhi struktur perdagangan eceran antara modern dengan tradisional. Melihat laju pertumbuhan pasar modern yang cukup pesat, maka pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan kebijakan yang bertujuan melindungi pedagang kecil di pasar tradisional agar mampu menghadapi persaingan bisnis ritel saat ini. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Sektor Perdagangan Pertumbuhan Subsektor Perdagangan Eceran
Tradisional
Modern
Perubahan Pola Hidup Masyarakat Stagnan
Berkembang Pesat
Kebijakan KETERKAITAN Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual
20
III. GAMBARAN UMUM PASAR TRADISIONAL DAN MODERN
Perdagangan eceran merupakan subsektor dari sektor perdagangan yang memerlukan pasar dalam menjembatani transaksi yang berlangsung di dalamnya baik dalam bentuk pasar tradisional maupun pasar modern. Pasar tradisional dalam beberapa dekade yang lalu sekitar tahun 1970 masih memegang peranan penting dalam menyediakan kebutuhan masyarakat karena pasar modern belum berkembang. Pemerintah pada saat itu juga masih berperan aktif dalam memelihara
keberadaan
pasar
tradisional.
Hal
ini
dibuktikan
dengan
dikeluarkannya beberapa Instruksi Presiden mengenai pasar tradisional seperti Instruksi Presiden RI No.7 Tahun 1976 tentang Bantuan Kredit Pembangunan dan Pemugaran Pasar atau yang lebih dikenal sebagai Program Inpres Pasar serta Inpres No. 8 tahun 1979 tentang Program Bantuan Kredit Konstruksi Pembangunan dan Pemugaran Pusat Pertokoan, Perbelanjaan dan Perdagangan. Kedua Inpres Pasar tersebut diharapkan dapat mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya atau dengan kata lain distribusi pendapatan dari kegiatan usaha perdagangan dapat menjadi lebih merata secara proporsional terutama dalam pemerataan kesempatan berusaha. Namun pada tahun-tahun berikutnya, program Inpres Pasar tersebut berjalan lambat sehingga perkembangan jumlah pasar tradisional turut melambat. Bahkan dalam satu dekade terakhir yaitu periode 1994-2005 jumlah pasar tradisional cenderung mengalami penurunan. Kondisi ini terlihat dalam Gambar 3.1.
21
9140
10000
JUM LAH
8000
8309 7394
6954
6000 4000
PASAR TRADISIONAL
2000 0 1994
1995
2000
2005
TAHUN
Sumber : Departemen Perdagangan, 2005.
Gambar 3.1. Perkembangan Jumlah Pasar Tradisional di Indonesia Periode 1994-2005 Berbeda dengan kondisi jumlah pasar tradisional yang cenderung menurun, jumlah pasar modern dalam periode 1994-2005 justru mengalami peningkatan. Seperti yang terlihat dalam Gambar 3.2. 1277
1400 1119
1200 925
JUMLAH
1000 800
637
600
PASAR MODERN
400 200 0 1994
1995
2000
2005
TAHUN
Sumber : Departemen Perdagangan, 2005.
Gambar 3.2. Perkembangan Jumlah Pasar Modern di Indonesia Periode 1994-2005 Bisnis retail modern mulai bangkit pada tahun 1999 setelah hadirnya hypermarkert Carrefour dan Continent. Selain dalam bentuk hypermarket, pasar modern juga mengalami perkembangan pesat dalam bentuk lain seperti supermarket, perkulakan dan department store.
22
1.
Supermarket dan Minimarket Merupakan sebuah toko yang umumnya menyediakan bahan makanan,
tetapi kegiatannya terus meningkat hingga penyediaan pakaian dan beberapa homewares tertentu. Membaiknya iklim bisnis retail membuat sejumlah pengusaha supermarket mulai menambah jumlah outletnya pada tahun 2000 sampai 2002. Supermarket yang berhasil menambah jumlah outlet dan melakukan ekspansi usaha antara lain adalah Hero dan Indomaret. Pada tahun 1999 jumlah outlet Hero di seluruh Indonesia baru 70 outlet, kemudian pada 2003 total jumlah outletnya menjadi 89. Bukan hanya jumlah outlet yang bertambah tetapi juga penjualan bersih yang mengalami peningkatan dari sebesar Rp. 1,69 triliun menjadi Rp. 2,40 triliun di tahun 2002. Indomaret berhasil melakukan ekspansi dengan mengandalkan konsep mini market dan waralaba (franchise) yang penempatan lokasi usahanya lebih mendekat ke kawasan perumahan sehingga pada tahun 2003 Indomaret telah memiliki outlet sebanyak 740 unit di seluruh Indonesia. 2.
Hypermarket Hypermarket merupakan sebuah toko distribusi self service dengan area
penjualan seluas 5000 m2 atau lebih, menjual variasi barang konsumsi yang lebih luas berisikan gabungan produk makanan dan non makanan dalam berbagai ukuran transaksi atau kuantitas dan dalam berbagai bentuk kemasan. Konsep yang dikembangkan oleh hypermarket adalah one stop shopping. Keunggulan yang menjadi diferensiasinya adalah permodalan, luas ruang outlet, kelengkapan barang, teknologi maupun manajemen sehingga mendapatkan harga
23
yang lebih murah dibanding supermarket lain. Hypermarket yang telah meramaikan bisnis retail di Indonesia antara lain Carrefour dan Giant. Jumlah hypermarket mengalami peningkatan yang cukup pesat sejak kemunculannya pertama kali sekitar tahun 1998-1999 seperti yang terlihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Perkembangan Jumlah Hypermarket Tahun 1998-2003 di Indonesia Tahun Jumlah Hypermarket (unit) 1998 4 1999 6 2000 7 2001 8 2002 10 2003 17 Sumber : Departemen Perdagangan, 2005.
Pertumbuhan (%) 50,00 16,67 14,29 25,00 70,00
Kehadiran hypermarket dalam tatanan bisnis retail modern merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan. Terutama karena hypermarket umumnya dimiliki oleh investor asing, sehingga peran pemerintah sangat diharapkan guna memfasilitasi terjadinya iklim persaingan yang sehat antara pengusaha lokal dan asing dalam bisnis ini. 3.
Perkulakan Perkembangan bisnis supermarket berimbas positif pada bisnis perkulakan.
Hingga saat ini di Indonesia beroperasi lima pusat perkulakan , yaitu PT. Alfa Retailindo, PT. Makro Indonesia, PT. Goro Batara Sakti, PT. Indo Grosir dan The Club Store. Prinsip dari bisnis perkulakan adalah menjual harga secara grosir yang relatif lebih murah, meskipun dapat juga menjual secara eceran. Meskipun keuntungan perkulakan tidak terlalu besar untuk tiap satuan produk, namun karena kuantitas yang dijualnya dalam partai besar maka secara keseluruhan bisnis perkulakan masih mendapatkan keuntungan yang cukup besar.
24
4.
Department Store Merupakan sebuah toko distribusi dengan luas area yang bervariasi,
biasanya berhubungan dengan proses retailing, penyortiran barang konsumsi yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia atau gaya hidup, self service atau pelayanan penjualan biasanya di bawah satu manajemen umum. Sebuah department store boleh meliputi sebuah supermarket yang luasnya tidak lebih dari 2000 m2. Bisnis department store di Indonesia dijalani oleh sejumlah perusahaan seperti Matahari, Ramayana, atau Rimo Department Store sedangkan peritel asing yang memasuki bisnis departement store dalam skala besar antara lain Sogo Department Store, Yaohan dan Seibu. Kehadiran department store asing tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja department store lokal karena segmen pasar antara department store asing dan lokal sudah jelas, di mana department store lokal lebih berkonsentrasi untuk pasar menengah ke bawah sedangkan department store asing lebih memfokuskan pada pasar kelas atas. Persaingan department store ini umumnya terjadi di pusat-pusat perbelanjaan mewah yang dibangun dengan konsep mall, yaitu memadukan aspek berbelanja dengan unsur rekreasi. Selain mengalami perkembangan jumlah pasar yang cenderung menurun, pasar tradisional juga mengalami pertumbuhan yang lambat dan cenderung menurun dalam jumlah omzet penjualan sedangkan pasar modern memiliki pertumbuhan omzet yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasar tradisional. Berikut ini akan disajikan data mengenai omzet penjualan di pasar tradisional dan
25
di pasar modern dalam bentuk supermarket, minimarket dan hypermarket pada Tabel 3.2, 3.3 dan 3.4. Tabel 3.2. Perkembangan Omzet Penjualan Pasar Tradisional Di Indonesia Tahun 1998-2003 Tahun
Omzet penjualan (Miliar Rupiah)
Perubahan Omzet (Miliar Rupiah) 1998 124,88 1999 149,74 24,86 2000 181,50 31,76 2001 223,94 42,44 2002 272,08 48,14 2003 302,80 30,72 Rata-rata pertumbuhan per tahun Sumber : Departemen Perdagangan, 2005.
Pertumbuhan (%)
19,90 21,21 23,38 21,50 11,29 17,11
Jumlah omzet penjualan di pasar tradisional terus mengalami peningkatan
selama periode 1998-2003 namun perubahan peningkatan omzet pada tahun 20022003 mengalami penurunan dan menjadi lebih kecil daripada tahun 2001-2002. Pertumbuhan omzet juga menunjukkan peningkatan sampai tahun 2001 dan setelah itu menurun terus sampai tahun 2003. Tabel 3.3. Perkembangan Omzet Penjualan Supermarket dan Minimarket di Indonesia Tahun 1998-2003 Omzet Penjualan (Miliar Rupiah) Total Supermarket Minimarket 1998 5,32 965 6,28 1999 6,18 1,13 7,32 2000 7,93 2,03 9,96 2001 12,07 1,54 13,62 2002 15,53 2,19 17,72 2003 18,99 2,83 21,81 Rata-rata pertumbuhan per tahun Sumber : Departemen Perdagangan, 2005. Tahun
Perubahan Omzet (Miliar Rp) 0,68 1,03 2,64 3,66 4,10 4,10
Pertumbuhan (%) 12,13 16,44 36,01 36,72 30,11 23,14 25,75
Tabel 3.3. menunjukkan bahwa omzet di supermarket dan minimarket terus mengalami peningkatan begitupula dengan perubahan peningkatannya terus
26
bertambah dalam kurun waktu 1998-2003. Pertumbuhan omzet penjualan rata-rata per tahun supermarket dan minimarket sebesar 25,75 persen. Pertumbuhan omzet per tahun yang cukup besar, merupakan salah satu alasan bagi para pengusaha untuk melakukan ekspansi usaha di bidang ini. Tabel 3.4. Perkembangan Omzet Hypermarket di Indonesia Tahun 1998-2003 Tahun
Omzet hypermarket (Miliar Rupiah)
Perubahan Omzet (Miliar Rupiah) 1998 2,81 1999 3,35 0,54 2000 4,68 1,33 2001 6,16 1,48 2002 8,42 2,26 2003 10,95 2,53 Rata-rata pertumbuhan per tahun Sumber : Departemen Perdagangan, 2005.
Pertumbuhan (%)
19,07 39,85 31,56 36,72 30,11 31,46
Pertumbuhan omzet hypermarket cenderung mengalami peningkatan sejak kemunculannya pada tahun 1998 hingga tahun 2003. Pertumbuhan omzet pertahun dari hypermarket juga cukup tinggi yaitu sebesar 31 persen. Hal ini merupakan salah satu penyebab perkembangan jumlah hypermarket yang cukup pesat di Indonesia. Dilihat dari segi tenaga kerja, saat ini terdapat sekitar 12,6 juta pedagang yang tersebar di 13.450 unit pasar (Kompas online, 2006). Jumlah pedagang ini tergolong cukup besar sehingga bila terjadi pergeseran dari pasar tradisional menjadi modern dikhawatirkan para pedagang di pasar tradisional tidak mampu bersaing sehingga usaha mereka terpaksa akan tutup. Hal ini akan berakibat pada meningkatnya angka pengangguran di Indonesia. Namun survei AC Nielsen menyebutkan bahwa bila terjadi pergeseran dari pasar tradisional menjadi modern hal tersebut tidak terlalu merisaukan. Bila dibangun pasar modern tetap ada
27
kesempatan kerja dan berusaha yang terbuka karena satu hypermarket saja yang dibangun telah mampu menampung sekitar 400 orang pekerja (Nafi, 2004).
28
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1.
Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan Juli 2006.
4.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Jenis data
yang dikumpulkan meliputi : (1) Jumlah pasar tradisional dan modern dalam lingkup propinsi dan nasional tahun 1995, 2000 dan 2005; (2) omzet pasar tradisional dan modern secara nasional periode 1999-2003 serta (3) jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran berdasarkan tingkat pendidikan tahun 1999 dan 2004. Data sekunder tersebut merupakan data yang diperlukan untuk mengkaji pergeseran subsektor perdagangan eceran dari tradisional ke modern. Data sekunder dan informasi diperoleh dari berbagai sumber seperti Departemen Perdagangan, Badan Pusat Statisitik, Perpustakaan LSI IPB serta beberapa literatur lain yang relevan dengan penelitian ini.
4.3.
Metode Analisis Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif
dengan menyajikan data-data yang berkaitan dengan perdagangan eceran baik tradisional maupun modern. Untuk melihat pergeseran perdagangan eceran yang terjadi dalam lingkup propinsi dan nasional digunakan data jumlah pasar modern
29
dan tradisional per propinsi serta nasional yang kemudian akan dilihat laju pertumbuhannya. Perubahan jumlah pasar serta pertumbuhan pasar tradisional dan modern akan dilihat selama dua titik waktu yaitu antara tahun 1995 dan 2000 serta tahun 2000 dan 2005. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam melihat pergeseran sarana perdagangan eceran dari pasar tradisional ke modern. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan adalah sebagai berikut : Laju Pertumbuhan =
Y' − Y ⋅ 100% Y
(1)
dimana : Y’
= jumlah pasar modern atau tradisional pada tahun 2000 atau 2005 (unit)
Y
= jumlah pasar modern atau tradisional pada tahun 1995 atau 2000 (unit) Selain pertumbuhan jumlah pasar, juga akan dikaji mengenai jumlah omzet
serta pertumbuhan omzet pasar tradisional dan modern tahun 1999-2003 agar dapat dibandingkan antara kondisi penjualan di pasar tradisional dan di pasar modern. Penelitian ini difokuskan untuk melihat pergeseran dari pasar tradisional ke modern dari jumlah pasar dan omzet penjualan sedangkan pergeseran dengan indikator tenaga kerja hanya merupakan pelengkap karena data yang digunakan masih bersifat umum yaitu tenaga kerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran bukan data yang spesifik seperti jumlah tenaga kerja di pasar tradisional dan modern. Untuk kebijakan, akan dibahas secara deskriptif kebijakan apa saja yang telah atau akan dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka melindungi pedagang kecil di pasar tradisional agar mampu bertahan dalam persaingan bisnis retail di Indonesia.
30
4.4.
Definisi Operasional
1.
Pasar yang digunakan dalam penelitian merupakan pasar fisik.
2.
Pasar Tradisional merupakan pasar yang bentuk bangunannya relatif sederhana
dengan
sarana
yang
kurang
memadai.
Barang
yang
diperdagangkan adalah kebutuhan sehari-hari, harga barang relatif murah dengan mutu yang kurang diperhatikan dan cara pembeliannya dilakukan dengan tawar menawar. 3.
Pasar modern merupakan merupakan pasar di mana pengelolaannya dilaksanakan secara modern dan mengutamakan pelayanan kenyamanan berbelanja dengan manajemen berada di satu tangan, bermodal relatif kuat dan dilengkapi dengan label harga yang pasti. Pasar modern yang dibahas di sini adalah pasar modern dalam bentuk supermarket, minimarket dan hypermarket.
4.
Pergeseran diartikan sebagai perubahan proporsi antara pasar tradisional dengan pasar modern baik dilihat dari jumlah pasar maupun omzet penjualan.
5.
Pergeseran dengan indikator tenaga kerja merupakan perubahan proporsi antara
tenaga
kerja
berpendidikan
rendah
dengan
tenaga
kerja
berpendidikan menengah dan tinggi di sektor perdagangan, hotel dan restoran. 6.
Data jumlah pasar tradisional dan modern yang disajikan bukan merupakan data time series melainkan data jumlah pasar dalam kurun waktu 5 tahun, yaitu data pada tahun 1995, 2000 dan 2005.
31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Pergeseran Perdagangan Eceran di Indonesia
5.1.1. Pergeseran dengan Indikator Jumlah Pasar Kegiatan perdagangan eceran merupakan salah satu subsektor dari sektor perdagangan yang menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan ini terjadi seiring dengan peningkatan peran sektor perdagangan besar, eceran dan restoran dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pertumbuhan dari sektor perdagangan, hotel dan restoran dalam PDB Indonesia senantiasa positif yang mengindikasikan bahwa kinerja sektor tersebut cukup baik dalam perekonomian. Peningkatan
kegiatan
perdagangan
umumnya
ditunjukkan
oleh
peningkatan pertumbuhan pasar modern yang ditandai dengan berdirinya pasar modern di daerah. Meskipun data PDB belum menunjukkan batasan khususnya tentang pasar modern dan pasar tradisional, namun data perkembangan jumlah pasar modern dan tradisional selama kurun waktu 1995-2005 mengisyaratkan bahwa pasar modern tumbuh pesat dibandingkan dengan pertumbuhan pasar tradisional yang relatif moderat. Pada Tabel 5.1 dan 5.2 akan disajikan data mengenai perkembangan jumlah pasar tradisional dan modern baik secara keseluruhan di Indonesia maupun di seluruh propinsi yang terdapat di Indonesia selama satu dekade terakhir.
32
Tabel 5.1. Perkembangan dan Pertumbuhan Jumlah Pasar Modern dan Tradisional di Propinsi dan Indonesia Periode 1995 dan 2000 PROPINSI DI Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Bengkulu DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogya Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sultra Sulsel Bali NTB NTT Maluku Irja Indonesia
1995 I II (unit) (unit) 10 65 49 482 4 381 11 156 2 250 17 434 8 288 31 121 128 453 164 557 84 1448 30 196 135 1085 15 187 32 201 7 477 5 220 50 201 17 209 8 304 26 386 49 428 8 174 9 292 9 72 17 73 925 9140
2000 I II (unit) (unit) 10 157 62 629 6 218 19 158 5 183 17 202 12 288 31 113 128 150 165 441 145 782 152 182 61 1143 15 230 32 222 19 151 29 51 51 222 17 283 10 310 29 1354 49 220 10 167 9 222 5 96 31 135 1119 8309
Perubahan I II (unit) (unit) 0 92 13 147 2 -163 8 2 3 -67 0 -232 4 0 0 -8 0 -303 1 -116 61 -666 122 -14 -74 58 0 43 0 21 12 -326 24 -169 1 21 0 74 2 6 3 968 0 -208 2 -7 0 -70 -4 24 14 62 194 -831
Pertumbuhan (%) I 0,00 26,53 50,00 72,73 150,00 0,00 50,00 0,00 0,00 0,61 72,62 406,67 -54,81 0,00 0,00 171,43 480,00 2,00 0,00 25,00 11,54 0,00 25,00 0,00 -44,44 82,35 20,97
II 141,54 30,50 -42,78 1,28 -26,80 -53,46 0,00 -6,61 -66,89 -20,83 -45,99 -7,14 5,35 22,99 10,45 -68,34 -76,82 10,45 35,41 1,97 250,78 -48,60 -4,02 -23,97 33,33 84,93 -9,09
Sumber : Diolah dari Departemen Perdagangan, 2005. Keterangan: I: Pasar Swalayan Modern II: Pasar Tradisional
Dari Tabel 5.1, diketahui bahwa jumlah pasar tradisional di Indonesia pada dua titik waktu yaitu 1995 dan 2000 mengalami penurunan jumlah sekitar 831 unit dari 9140 unit pada 1995 menjadi 8309 unit pada 2000. Karena terjadi penurunan jumlah pasar tradisional, maka laju pertumbuhannya bernilai negatif yaitu sebesar -9,09 persen. Hal ini bertolak belakang dengan perkembangan jumlah pasar modern di Indonesia yang meningkat sebanyak 194 unit dari 925 unit pada 1995
33
menjadi 1119 unit pada 2000 dan laju pertumbuhannya bernilai positif yaitu sebesar 20,97 persen. Perbedaan yang terjadi mengindikasikan bahwa secara nasional telah terjadi pergeseran struktur perdagangan eceran dari tradisional ke modern. Bila dilihat perkembangan jumlah dan laju pertumbuhan per propinsi, maka dapat dikatakan bahwa hampir seluruh propinsi di Indonesia telah mengalami pergeseran struktur perdagangan eceran dari tradisional ke modern. Hal ini terlihat dari perkembangan jumlah dan laju pertumbuhan pasar modern yang cenderung meningkat dan bernilai positif di beberapa propinsi sementara perkembangan jumlah serta laju pertumbuhan pasar tradisional cenderung mengalami penurunan dan bernilai negatif. Propinsi yang mengalami pergeseran struktur perdagangan eceran yang cukup besar antara lain adalah Jambi, Lampung, Jawa Tengah, DI Yogya, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara. Hal ini terjadi karena pola hidup masyarakat di beberapa propinsi tersebut telah mengalami modernisasi yang didukung oleh meningkatnya pendapatan sehingga terjadi pergeseran pola belanja masyarakatnya. Propinsi yang nampaknya tetap mempertahankan keberadaan pasar tradisionalnya antara lain di Jawa Timur dan Maluku. Jawa Timur mempertahankan keberadaan pasar tradisional karena menganggapa bahwa pasar tradisional memiliki potensi besar sebagai aset wisata kota. Pelajaran ini diambil dari beberapa kota di dunia yang sukses memanfaatkan pasar tradisional untuk menarik turis mancanegara seperti Bangkok, Singapura dan Venezia, yang memiliki prospek bagus sebagai simpul wisata dan bisnis (Lilananda, 1997). Maluku masih mempertahankan pasar tradisional karena pola
34
hidup masyarakat yang masih tradisional dan keadaan perekonomian masyarakat yang belum cukup baik bila dibandingkan dengan propinsi lain. Selanjutnya, akan dilihat perkembangan jumlah dan laju pertumbuhan pada dua titik waktu yaitu tahun 2000 dan 2005. Tabel 5.2. Perkembangan dan Pertumbuhan Jumlah Pasar Modern dan Tradisional di Propinsi dan Indonesia Periode 2000 dan 2005 2000 PROPINSI DI Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Lampung Bengkulu DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogya Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sultra Sulsel Bali NTB NTT Maluku Irja Indonesia
I (unit) 10 62 6 19 5 17 12 31 128 165 145 152 61 15 32 19 29 51 17 10 29 49 10 9 5 31 1119
II (unit) 157 629 218 158 183 202 288 113 150 441 782 182 1143 230 222 151 51 222 283 310 1354 220 167 222 96 135 8309
2005 I (unit) 10 25 6 30 7 15 20 15 124 255 99 78 212 59 27 24 64 34 12 22 39 42 11 10 6 31 1277
II (unit) 157 635 307 213 204 259 292 56 137 539 881 191 921 145 72 213 147 80 243 270 592 220 167 222 96 135 7394
Perubahan I (unit) 0 -37 0 11 2 -2 8 -16 -4 90 -46 -74 151 44 -5 5 35 -17 -5 12 10 -7 1 1 1 0 158
II (unit) 0 6 89 55 21 57 4 -57 -13 98 99 9 -222 -85 -150 62 96 -142 -40 -40 -762 0 0 0 0 0 -915
Pertumbuhan (%)
I 0,00 -59,68 0,00 57,89 40,00 -11,76 66,67 -51,61 -3,13 54,55 -31,72 -48,68 247,54 293,33 -15,63 26,32 120,69 -33,33 -29,41 120,00 34,48 -14,29 10,00 11,11 20,00 0,00 14,12
II 0,00 0,95 40,83 34,81 11,48 28,22 1,39 -50,44 -8,67 22,22 12,66 4,95 -19,42 -36,96 -67,57 41,06 188,24 -63,96 -14,13 -12,90 -56,28 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -11,01
Sumber: Diolah dari Departemen Perdagangan, 2005. Keterangan: I: Pasar Swalayan Modern II: Pasar Tradisional
Dari Tabel 5.2, diketahui bahwa dibandingkan dengan periode 1995 dan 2000, pada periode 2000 dan 2005 laju pertumbuhan pasar modern secara nasional
35
telah berkurang menjadi sebesar 14,12 persen dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 20 persen. Hal ini berkaitan dengan peningkatan jumlah pasar modern yang lebih sedikit dibandingkan dengan periode 1995 dan 2000. Dalam kurun waktu 2000 dan 2005 jumlah pasar modern hanya meningkat sebanyak 158 unit sedangkan pada periode 1995 dan 2000 meningkat sebanyak 194 unit. Penurunan jumlah pasar modern ini tidak diikuti dengan membaiknya laju pertumbuhan pasar tradisional, justru yang terjadi adalah sebaliknya di mana jumlah pasar tradisional di Indonesia semakin berkurang dari 8309 unit pada 1995 dan 2000 menjadi 7394 unit pada 2000 dan 2005. Hal ini membuat pertumbuhan pasar tradisional di Indonesia semakin bernilai negatif yaitu dari -9,09 pada 1999 dan 2000 menjadi -11,01 persen pada 2000 dan 2005. Jika dilihat laju pertumbuhan per propinsi maka perbedaan laju pertumbuhan antara pasar tradisional dan modern telah berkurang, hal ini terlihat dari pertumbuhan pasar tradisional yang positif di beberapa daerah sedangkan pada periode sebelumnya bernilai negatif serta perkembangan jumlah pasar modern di beberapa daerah cenderung mengalami penurunan. Namun pergeseran yang cukup besar masih terjadi di beberapa daerah yang beberapa diantaranya memiliki pertumbuhan pasar tradisional yang positif pada periode sebelumnya, antara lain Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah.
36
5.1.2. Pergeseran dengan Indikator Omzet Penjualan Selain melalui jumlah pasar, pergeseran struktur perdagangan eceran juga dapat dilihat dari perkembangan omzet di pasar tradisional dan di pasar modern. Omzet merupakan total nilai penjualan atau penerimaan barang dan jasa pada periode waktu tertentu. Melalui data omzet dapat diketahui volume penjualan barang di pasar tradisional dan modern. Dilihat dari laju pertumbuhan omzet pasar tradisional dan modern pada periode 1999-2003 baik pasar tradisional maupun modern membukukan kenaikan omzet dan memiliki pertumbuhan omzet yang positif namun laju peningkatan pertumbuhan omzet pasar tradisional cukup lambat bila dibandingkan dengan pasar modern. Laju pertumbuhan omzet pasar tradisional dan modern dapat menunjukkan terjadinya pergeseran dari pasar tradisional ke modern seperti yang terlihat pada Gambar 5.1.
P ertum buhan Om z et (% )
45
39.85
40
36.72 36.01
30 25 20 15
36.72 Pasar Tradisional
35
19.9
21.21 19.07
31.56 23.38
30.11 30.11 21.5
16.44
23.14
11.29
10
Supermarket dan Minimarket Hypermarket
5 0 1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Sumber : Departemen Perdagangan, 2005. Gambar 5.1. Pertumbuhan Omzet Pasar Tradisional dan Modern di Indonesia Tahun 1999-2003
37
Omzet di pasar tradisional cenderung menurun walaupun sempat menunjukkan peningkatan sampai tahun 2001. Setelah itu trendnya terus menurun sampai tahun 2003. Jika melihat trend di pasar modern pada tahun 2002-2003 juga mengalami penurunan, namun hal tersebut lebih disebabkan oleh persoalan makro ekonomi. Tetapi data tahun 2001-2002 menunjukkan bahwa pertumbuhan omzet penjualan di pasar tradisional menurun sementara di pasar modern seperti hypermarket mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumen lebih tertarik untuk berbelanja di pasar modern seperti hypermarket daripada di pasar tradisional (Departemen Perdagangan, 2005). Selain dilihat dari pertumbuhan omzet aktual periode 1999-2003, Departemen Perdagangan juga memiliki data mengenai proyeksi jumlah omzet serta proyeksi pertumbuhan omzet untuk periode 2005-2008. Jumlah omzet di pasar tradisional dan modern diproyeksikan terus mengalami peningkatan seperti
Nilai Proyeksi Omzet (Miliar Rupiah)
yang terlihat pada Gambar 5.2. 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
425.66 364.23
456.37 394.94 Pasar Tradisional Pasar Modern
30.01
34.11 38.21
2005
2006
2007
42.31
2008
Tahun Sumber : Departemen Perdagangan, 2005.
Gambar 5.2. Proyeksi Jumlah Omzet di Pasar Tradisional dan Modern Tahun 2005-2008
38
Sementara itu, untuk pertumbuhan omzet di pasar tradisional dan modern diproyeksikan menurun (Gambar 5.3). Laju pertumbuhan omzet pasar tradisional diproyeksikan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pasar modern yang menandakan bahwa untuk periode ke depan masyarakat diduga akan lebih banyak
Proy e k s i Pe rtim buha n Om ze t (% )
berbelanja di pasar modern daripada di pasar tradisional. 18 16 14
15.82
13.66 12.02
12 10 8
9.21
10.73
8.43
7.78
7.22
Pasar Tradisional Pasar Modern
6 4 2 0 2005
2006
2007
2008
Tahun
Sumber : Departemen Perdagangan, 2005.
Gambar 5.3. Proyeksi Pertumbuhan Omzet di Pasar Tradisional dan Modern Tahun 2005-2008
Walaupun angka proyeksi omzet penjualan untuk periode ke depan seperti yang terlihat dalam Gambar 5.3 hanya sebesar 10,73 persen namun bisnis pasar modern tetap menjanjikan keuntungan yang cukup berarti. Dilihat dari prospek keuntungan yang cukup signifikan, maka pasar modern dalam bentuk supermarket minimarket dan hypermarket akan terus melakukan ekspansi usahanya terutama ke daerah-daerah sehingga jumlahnya akan terus bertambah dalam periode 20042008.
39
5.2.
Pergeseran Tenaga Kerja di Sektor Perdagangan Secara umum, kondisi ketenagakerjaan di sektor perdagangan dapat
dicerminkan dari jumlah tenaga yang terdapat dalam sektor perdagangan, hotel dan restoran. Dilihat dari status pekerjaan utama, usaha kecil di sektor perdagangan merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dalam periode 19992004 dengan persentase sekitar 30 sampai 40 persen seperti yang terlihat dalam Tabel 5.3. Pada tahun 2004, dari total tenaga kerja sebesar 19.119.156 orang, terdapat diantaranya 7.643.230 unit usaha yang berusaha tanpa dibantu orang lain dan 4.092.828 unit usaha yang dibantu anggota rumah tangga atau buruh tidak tetap. Tabel 5.3. Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Perdagangan Menurut Status Pekerjaan Utama Tahun 1999-2004 Status Pekerjaan Utama Berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain Bersaha dengan dibantu anggota rumah tangga/ buruh tidak tetap Berusaha dengan buruh tetap Buruh/karyawan/pegawai Pekerja bebas non pertanian Pekerja tidak dibayar
1999 43,47
2001 41,56
2003 39,42
2004 39,98
23,14 3,11 14,87 0,00 15,41
21,20 3,83 17,41 0,76 15,24
22,82 3,95 17,33 1,29 15,20
21,41 4,15 18,75 1,11 14,61
Sumber : BPS, 1999-2004. Keterangan : Angka penyerapan tenaga kerja dalam bentuk persen.
Pergeseran tenaga kerja yang terjadi di sektor perdagangan antara lain dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja berdasarkan tingkat pendidikannya. Seiring dengan berkembangnya sektor perdagangan yang menjadi lebih modern maka tenaga kerja berpendidikan rendah mulai tergantikan oleh tenaga kerja berpendidikan menengah dan tinggi seperti terlihat pada Gambar 5.4 dan Gambar 5.5.
40
3%
22%
6%
18%
Tidak/belum pernah sekolah
15%
36%
Tidak/belum tamat
SD
SMTP
SMTA
Universitas
Sumber : BPS, 1999. Gambar 5.4. Persentase Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan di Sektor Perdagangan Tahun 1999 Pada tahun 1999, jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan yang berpendidikan rendah (tidak/belum pernah sekolah, tidak/belum tamat SD dan tamat SD) menempati porsi sekitar 57 persen, tenaga kerja berpendidikan menengah sekitar 40 persen sedangkan berpendidikan tinggi sekitar 3 persen. Namun jumlah persentase ini mengalami pergeseran pada tahun 2004.
4%
3%
10%
26%
34% 23%
Tidak/belum pernah sekolah
Tidak/belum tamat SD
SD
SMTP
SMTA
Universitas
Sumber : BPS, 2004. Gambar 5.5. Persentase Tenaga Kerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Sektor Perdagangan Tahun 2004 Pada tahun 2004, jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan yang berpendidikan rendah (tidak/belum pernah sekolah, tidak/belum tamat SD dan tamat SD) menempati porsi sekitar 47 persen, tenaga kerja berpendidikan
41
menengah sekitar 49 persen sedangkan berpendidikan tinggi sekitar 4 persen. Bila dilihat dari masing-masing tingkat pendidikan, persentase jumlah tenaga kerja yang berpendidikan rendah memiliki porsi yang semakin berkurang yakni tenaga kerja yang tidak/belum pernah sekolah memiliki pesentase sebesar 6 persen pada tahun 1999 menjadi hanya 3 persen di tahun 2004 sedangkan tenaga kerja yang tidak/belum tamat SD terserap sebesar 15 persen pada 1999 namun pada 2004 hanya sebesar 10 persen begitupula dengan tenaga kerja berpendidikan SD yang sebelumnya berjumlah 36 persen pada 1999 menjadi 34 persen pada 2004. Berbeda dengan porsi tenaga kerja berpendidikan rendah, tenaga kerja berpendidikan
menengah
daya
serapnya
meningkat
yaitu
tenaga
kerja
berpendidikan SMTP dari 18 persen menjadi 23 persen pada tahun 2004. Untuk SMTA dar 22 persen pada 1999 menjadi 26 persen pada 2004 sedangkan untuk tenaga kerja berpendidikan tinggi dari universitas juga meningkat persentase penyerapannya dari 3 persen pada 1999 menjadi 4 persen pada 2004. Pergeseran persentase tenaga kerja berdasarkan tingkat pendidikan ini cukup beralasan untuk terjadi karena semakin lama sistem perdagangan semakin modern sehingga semakin dibutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi yang cukup tinggi.
5.3.
Faktor Pendorong Perkembangan Pasar Modern di Indonesia Tren yang berkembang dalam bisnis perdagangan eceran saat ini lebih
ditujukan pada pertumbuhan pasar modern. Usaha ritel modern merupakan usaha yang sangat diminati oleh kalangan dunia usaha karena perannya yang sangat strategis, tidak saja menyangkut kepentingan produsen, distributor dan konsumen
42
juga perannya dalam menyerap tenaga kerja. Selain itu perdagangan eceran juga berperan sebagai sarana yang efisien dan efektif dalam pemasaran hasil produksi, sekaligus dapat digunakan untuk mengetahui image dari suatu produk di pasar, termasuk preferensi yang dikehendaki oleh pihak konsumen (Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, 2003). Pergeseran ini merupakan salah satu dampak dari diberlakukannya era perdagangan bebas dan globalisasi. Jumlah pasar tradisional yang cenderung menurun dipengaruhi oleh berkembangnya ritel modern di Indonesia,
faktor
yang
mempengaruhi
perkembangan pasar modern antara lain berkaitan dengan faktor internal seperti ketidakmampuan pasar tradisional untuk mempertahankan keunggulan yang dimiliki sedangkan pasar modern masuk dengan berbagai keunggulan yang tidak dimiliki oleh pasar tradisional seperti harga barang murah, kemasan rapi, jenis barang lengkap, situasi bersih, aman dan nyaman sehingga konsumen beralih ke pasar modern termasuk masyarakat menengah ke bawah yang selama ini menjadi pasar potensial bagi pasar tradisional. Faktor internal perkembangan pasar modern antara lain dilihat dari : 1.
Penurunan Daya Saing Pasar Tradisional Penurunan daya saing pasar tradisional dapat dilihat dari ketidakmampuan
pasar tradisional dalam mempertahankan keunggulan yang dimilikinya selama ini. Ruang bersaing pasar tradisional kini mulai terbatas. Jika selama ini pasar tradisional dianggap unggul dalam memberikan harga relatif rendah untuk banyak komoditas, keunggulan tersebut mulai terkikis saat ini. Keunggulan biaya rendah telah bergeser ke pasar modern. Skala ekonomis pengecer modern yang cukup luas
43
dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok penjualan mereka sehingga mampu menawarkan harga lebih rendah sedangkan pedagang di pasar tradisional umumnya memiliki skala yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Selain dari segi harga, keunggulan pasar tradisional juga didapat dari lokasi. Awalnya masyarakat lebih suka berbelanja ke pasar tradisional karena lokasinya dekat. Seiring dengan ekspansi pasar modern ke berbagai daerah, saat ini telah banyak ditemukan pasar atau toko modern di lokasi-lokasi yang dekat dengan pemukiman sehingga keunggulan lokasipun tidak dapat dijadikan sumber keunggulan yang berkelanjutan. Jika diamati, pasar tradisional yang masih bertahan dan banyak dikunjungi adalah pasar-pasar khusus seperti Pasar Tanah Abang untuk garmen dan Pasar Glodok untuk elektronik karena pasar-pasar tersebut mempunyai citra khusus di mata konsumen dan mampu menawarkan produk dengan harga yang menarik. Pasar tradisional hingga saat ini sebenarnya masih memilki keunggulan dalam penjualan produk kebutuhan sehari-hari, terutama bahan mentah. Untuk komoditas ini pasar tradisional mampu bersaing dengan memberikan harga yang relatif murah dan produk yang segar sedangkan di pasar modern harga kebutuhan pokok lebih mahal karena kualitas dan penyajian yang lebih baik. 2.
Penurunan Segmen Konsumen Pasar Tradisional Pusat perbelanjaan modern merupakan pesaing dan ancaman bagi
keberadaan pasar tradisional, terutama setelah segmen pasar modern memasuki
44
segmen menengah ke bawah. Jika dahulu pasar modern lebih banyak ditujukan untuk penduduk berpendapatan menengah ke atas, kini pasar modern mulai memasuki berbagai segmen yang bervariasi. Menurut laporan First Pasific Davies, sasaran konsumen pasar modern pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok menengah ke atas, kelompok menengah dan kelompok menengah ke bawah. Diperkirakan bahwa kelompok menengah berjumlah sekitar 18 persen sedangkan kelompok menengah ke bawah sebesar 69 persen. Kelompok menengah ke atas adalah kelompok tenaga terampil dan tenaga manajemen yang memiliki pendapatan sangat tinggi untuk dibelanjakan. Kelompok ini merupakan sasaran pusat perbelanjaan seperti Sogo, Metro, Galeria serta sejumlah toko khusus (speciality store) seperti Mark and Spencer. Kelompok menengah merupakan kelompok yang baru tumbuh daya belinya. Kelompok ini umumnya terdiri atas tenaga manager muda dan teknisi terampil, sejumlah mal seperti Mal Puri Indah dan Mega Mal serta beberapa departement store merupakan pusat perbelanjaan yang mengincar kelompok ini. Kelompok terakhir adalah kelompok menengah ke bawah, kelompok ini umumnya memiliki pendidikan lebih baik dan lebih terbuka dengan alternatif belanja dibanding generasi tuanya. Kelompok ini lebih suka berbelanja di pasar modern daripada pasar tradisional. Kelompok ini diduga memiliki potensi pertumbuhan yang kuat. Department store lokal seperti Matahari dan Ramayana merupakan pengecer yang sangat aktif menggarap kelompok ini. Di masa mendatang, generasi muda ini sangat potensial
45
menyebabkan pergeseran kegiatan belanja dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern (Napitupulu, 2006). Selain faktor internal, ada faktor eksternal yang mendorong perkembangan pasar modern antara lain berhubungan dengan kondisi demografis Indonesia yang sangat potensial untuk dijadikan konsumen bagi pasar modern. Menurut Sukaesih (1994) berkembangnya pasar modern di Indonesia didorong oleh beberapa faktor antara lain meningkatnya jumlah penduduk, jumlah rumah tangga, persentase wanita yang bekerja serta pendapatan perkapita masyarakat. Berikut ini akan dideskripsikan empat faktor eksternal yang mendorong perkembangan pasar modern di Indonesia. 1.
Jumlah Penduduk Jumlah penduduk di Indonesia terus mengalami peningkatan dengan laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1,20 persen pada tahun 2004. Jumlah penduduk yang cukup besar merupakan pasar yang potensial untuk dijadikan konsumen pasar modern.
JUMLAH PENDUDUK (JUTA JIWA)
250
205.843 194.754 179.381
200
217.854
147.49 150
119.208 JUMLAH PENDUDUK
100 50 0 1971 1980 1990 1995 2000 2004 TAHUN
Sumber : BPS, 1995-2004.
Gambar 5.6. Perkembangan Jumlah Penduduk di Indonesia Periode 1971-2004
46
2.
Jumlah Rumah Tangga Sama halnya dengan jumlah penduduk, jumlah rumah tangga (keluarga) di
Indonesia terus mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan rumah tangga sebesar 5,56 persen pada tahun 2004. Jumlah rumah tangga di Indonesia tentunya akan terus bertambah sehingga rumah tangga juga merupakan pasar potensial untuk dijadikan konumen bagi pasar modern. Perkembangan jumlah rumah tangga di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.7.
Jumlah Rumah Tangga (Juta Keluarga)
60
52,008
54,898
45,653
50 39,695 40
30,373
JUMLAH RUMAH TANGGA
30 20 10 0 1980
1990
1995
2000
2004
TAHUN
Sumber : BPS, 1995-2004.
Gambar 5.7. Perkembangan Jumlah Rumah Tangga di Indonesia Periode 1980-2004
3.
Jumlah Wanita yang Bekerja Jumlah wanita yang bekerja di Indonesia cukup banyak, untuk dijadikan
sampel, maka digunakan data jumlah wanita yang bekerja pada instansi pemerintah sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di mana pada tahun 2004 mencapai 1.456.651 dengan laju pertumbuhan sebesar 2,53 persen sebagai dampak positif dari kesempatan kerja yang terbuka bagi kaum wanita. Peningkatan jumlah wanita yang bekerja telah meningkatkan besarnya penghasilan yang dapat
47
dibelanjakan dan mendorong peningkatan permintaan akan sarana yang dapat menghemat waktu dan tenaga serta makanan yang mudah disiapkan. Trend ini kemungkinan masih akan berlanjut untuk beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu bagi wanita yang bekerja, seringkali tidak cukup waktu untuk berbelanja ke pasar tradisional tetapi dengan berbelanja ke swalayan hanya dalam waktu singkat
JUMLAH WANITA BEKERJA (JUTA JIWA)
sudah dapat dipenuhi berbagai kebutuhan.
1.50
1.48
1.45 1.40
1.48
1.46
1.44 1.42
JUMLAH WANITA BEKERJA (PNS)
1.37
1.35 1.30 1995
1997
1999
2001
2003
2004
TAHUN
Sumber : BPS, 1995-2004.
Gambar 5.8. Perkembangan Jumlah Wanita Bekerja (PNS) di Indonesia Tahun 1995-2004 Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa peningkatan jumlah wanita yang bekerja merupakan pasar potensial dan membuka peluang berkembangnya pasar modern. Disisi lain untuk menarik minat berbelanja, terutama wanita maka pasar modern banyak melakukan terobosan dan inovasi guna merebut pangsa pasar baik melalui penggunaan iklan, penyediaan fasilitas pelayanan, pemberian potongan harga, bonus dan pengadaan fasilitas rekreasi di lingkungan pasar modern sebagai bagian strategi yang ditempuh untuk menciptakan daya tarik dan dalam kenyataannya strategi ini cukup berhasil untuk menarik minat konsumen berbelanja di pasar modern.
48
4.
Tingkat Pendapatan Jumlah penduduk bukan satu-satunya faktor pertimbangan bagi pendirian
pasar modern, tetapi juga dikaitkan dengan daya beli masyarakat. Pendapatan masyarakat merupakan faktor yang paling dominan sebagai pertimbangan pendirian pasar modern. Secara umum, pendapatan setiap penduduk Indonesia dicerminkan oleh pendapatan nasional perkapita. Pada umumnya sasaran konsumen dari pasar modern adalah masyarakat yang berpenghasilan menengah keatas. Semakin besar pendapatan masyarakat maka pengeluaran masyarakat untuk barang konsumsi (sandang, pangan dan papan) yang seluruhnya dipenuhi oleh pengecer akan semakin besar pula. Oleh karena itu, pengusaha menilai tingkat pendapatan yang tinggi sebagai prospek yang cerah bagi bisnis pasar modern dan
2,3 2,2
2,2 2,1
2,1 2 1,9
2,01 1,97
1,98
1,93
1,86
1,8
1,87
2,06 PENDAPATAN PERKAPITA
1,87
1,7 1,6
19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03
PENDAPATAN PERKAPITA (JUTA RP)
mendorong perkembangan pasar modern.
TAHUN
Sumber : BPS, 1995-2004.
Gambar 5.9. Perkembangan Tingkat Pendapatan Perkapita di Indonesia Tahun 1994-2003 Pendapatan perkapita masyarakat seperti terlihat pada Gambar 5.9 cenderung mengalami peningkatan kecuali pada tahun 1998 mengalami penurunann akibat terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Pendapatan
49
kembali meningkat pada tahun 1999 seiring dengan mulai membaiknya kondisi perekonomian. Pendapatan masyarakat yang meningkat menyebabkan perubahan pada pola konsumsi masyarakat, yaitu semakin banyak penduduk yang mengkonsumsi makanan non karbohidrat dengan memperhatikan kualitas barang sehingga semakin banyak konsumsi makanan olahan. Perubahan pola konsumsi juga menuntut perubahan cara berbelanja seperti barang berkualitas tinggi, cukup bervariasi dan dengan penampilan yang menarik. Dengan meningkatnya pendapatan, konsumen juga menghendaki tempat belanja yang lebih baik daripada sebelumnya, seperti suasana yang lebih nyaman, bersih dan aman serta rekreatif. Disini faktor pribadi dan hubungan antara pedagang dan konsumen tidak diperhitungkan kecuali hubungan yang bersifat bisnis. Dengan demikian perkembangan pasar modern dalam arti modernisasi pasar akan sejalan dengan pertumbuhan pendapatan masyarakat. Disamping itu, hal-hal lain yang tidak menutup kemungkinan adanya pemekaran pasar modern sebagai akibat dari demonstration effect yang ditimbulkan pasar modern (promosi, diskon) dan kedekatan pasar modern dengan tempat tinggal konsumen kelas menengah ke atas maupun karena gengsi/prestise. Dengan demikian, tingkat pendapatan konsumen merupakan indikator yang diperlukan untuk mengetahui status sosial ekonomi konsumen, sehingga dapat diketahui pula seberapa besar daya belinya (Sukaesih, 1994). Dengan munculnya pasar modern maka akan menambah ketersediaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Meskipun unsur pelayanan tidak diperlukan, namun tenaga kerja yang diserap oleh dunia usaha ini cukup banyak,
50
seperti kasir, karyawan yang mengawasi keluar masuknya barang dari gudang, delivery barang siap jual, petugas kebersihan, keamanan, parkir dan lain sebagainya.
5.4.
Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Perdagangan Eceran Secara umum perkembangan pasar modern yang cukup pesat membawa
dua dampak yaitu dampak yang menguntungkan dan dampak yang kurang menguntungkan. Dampak menguntungkan dari pertumbuhan pasar modern diperoleh konsumen, di mana konsumen akan memiliki keleluasaan dalam memilih tempat untuk berbelanja. Selain itu, dengan munculnya banyak pasar modern maka akan muncul suatu persaingan, di mana dengan adanya persaingan tersebut akan membuat pelayanan menjadi lebih baik dalam rangka menarik konsumen. Perkembangan pesat pasar modern di sisi lain akan memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi pasar atau pedagang di pasar tradisional. Pedagang di pasar tradisional secara umum adalah pedagang-pedagang kecil bukan pengecer besar seperti pedagang di pasar modern. Pusat perbelanjaan modern dianggap pesaing dan akan mengancam keberadaan pedagang di pasar tradisional. Jika dahulu pasar modern lebih banyak ditujukan untuk penduduk berpendapatan menengah keatas, kini segmen pasar modern telah bervariasi dan telah memasuki berbagai segmen pasar termasuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Perkembangan jumlah pasar modern yang cukup pesat terutama dalam satu dekade
51
terakhir telah mendorong pemerintah untuk membuat sebuah peraturan mengenai pasar modern dan pasar tradisional. Secara konsep, pemerintah yang berperan dalam mengalokasikan sumbersumber ekonomi menginginkan adanya sinergi antara pengusaha pasar modern dengan pedagang kecil di pasar tradisional. Karena hal itulah maka pemerintah melalui Departemen Perdagangan menetapkan beberapa keputusan mengenai pasar tradisional dan modern dalam bentuk Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.145/MPP/Kep/5/97 dan Menteri Dalam Negeri No. 57 tahun 1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan, Surat Keputusan (SK) Menperindag
No.420/MPP/Kep/10/1997
tentang
Pedoman
Penataan
dan
Pembinaan Pasar dan Pertokoan serta SK Menperindag No. 261/MPP/Kep/7/1997 tentang Pembentukan Tim Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan. Peraturan-peraturan inilah yang kemudian dijadikan pedoman bagi perkembangan pasar tradisional dan modern. Secara garis besar, kebijakan pemerintah dalam penataan dan pembinaan perpasaran bertujuan untuk : 1.
Mewujudkan sinergi yang saling menguntungkan dan memperkuat antara pengusaha pasar modern dengan pedagang kecil dan menengah koperasi serta pasar tradisional agar dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih cepat sebagai upaya terwujudnya tata perdagangan dan pola distribusi nasional yang mantap, lancar, efektif dan efisien serta berkelanjutan.
52
2.
Memberdayakan pedagang kecil, menengah dan koperasi serta pasar tradisional agar tangguh, maju dan mandiri serta meningkatnya kesejahteraan.
3.
Mewujudkan kemitraan usaha antara pengusaha besar pasar modern dengan pedagang kecil menengah, koperasi serta pasar tradisional di dalam tatanan perdagangan yang efektif dan efisien serta berdaya saing tinggi.
5.4.1. Kebijakan Penataan Pasar dan Pertokoan Berpedoman pada peraturan-peraturan mengenai pasar dan pertokoan, baik modern maupun tradisional maka dalam pembangunan pasar modern maupun pasar tradisional harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu: 1.
Lokasi
a.
Lokasi pembangunan pasar harus berada di lokasi yang sesuai dengan peruntukkan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK) dan Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Kota (RDTRWK) serta harus dilengkapi dengan AMDAL dengan penekanan pada aspek kajian sosial ekonomi.
b.
Pasar yang akan dibangun diatas lahan sebagai akibat perubahan fungsi lahan, harus memperhatikan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.4 Tahun 1996 tentang Pedoman Perubahan Pemanfaatan Lahan Perkotaan, antara lain: 1) Harus mencerminkan pertumbuhan ekonomi. 2) Harus dapat dikendalikan, terutama aspek estetika, arsitektonis bangunan dan nilai sejarah kota.
53
3) Mampu meningkatkan nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat maupun daerah. 4) Tidak mengganggu ketertiban dan keamanan umum. 5) Tidak merugikan bagi Pemerintah Daerah di masa mendatang. 6) Tidak merugikan masyarakat, khususnya koperasi dan pedagang kecil atau golongan ekonomi lemah. 7) Harus berazaskan keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum serta kemitraan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat koperasi dan pengusaha kecil atau golongan ekonomi lemah. 8) Harus sesuai dengan azas penataan ruang dan ditujukan bagi semua kepentingan secara terpadu, berdayaguna, serasi, selaras dan seimbang 9) Harus berupaya agar dalam pemanfaatan lahan yang baru selalu memperhatikan fungsi lahan dan daya dukung lingkungan sekitarnya serta saling menunjang dan berkeserasian secara terpadu. 10) Dalam rangka menciptakan keserasian dan keseimbangan, maka pembangunan pasar modern harus memperhatikan: 1. Lokasi pasar modern dengan pasar tradisional dan koperasi serta pengusaha kecil yang ada. 2. Jangkauan pelayanan Pasar Modern dan Pasar Tradisional 3. Ketertiban dan keindahan kota 4. Pemberdayaan koperasi dan pengusaha kecil.
54
c.
Aspek Sosial Ekonomi Pembangunan pasar modern harus memperhatikan jarak antara pasar modern dengan pasar tradisional dan pasar modern dengan pertokoan, koperasi dan pengusaha kecil sehingga dapat dihindari timbulnya persaingan yang tidak sehat.
d.
Kebutuhan Pembangunan pasar modern harus sesuai dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk, kondisi ekonomi masyarakat, tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pertumbuhan koperasi dan pengusaha kecil.
e.
Perkembangan Kota dan Ekonomi Pembangunan pasar modern di Kabupaten atau kota di luar ibukota propinsi
hanya
diperkenankan
bagi
kabupaten
atau
kota
yang
perkembangan kota dan ekonominya sangat pesat dengan kriteria antara lain sebagai berikut: 1) Laju pertumbuhan penduduk kota diatas laju rata-rata pertumbuhan penduduk perkotaan secara nasional. 2) Laju pertumbuhan ekonomi termasuk kegiatan industri, jasa dan perdagangan melebihi pertumbuhan kegiatan sektor lainnya secara nasional. 3) Kota yang keberadaannya sebagai kota industri, jasa dan perdagangan 4) Merupakan pemukiman skala besar/kota mandiri/kota baru 5) Melakukan kemitraan usaha dengan koperasi dan pengusaha kecil
55
Pertumbuhan pasar tradisional harus tetap didorong untuk tumbuh dan berkembang baik di perkotaan maupun di pedesaan, termasuk untuk meningkatkan kemandirian koperasi dan pengusaha kecil dan menengah agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan dan pertumbuhan pasar modern serta kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat dan berkembang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan perekonomian. 2.
Pembangunan Pasar Pembangunan sarana pasar harus di lokasi dengan peruntukannya menurut
Rencana Tata Ruang Wilayah. Pembangunan pasar modern juga diwajibkan menyertakan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan penekanan pada aspek kajian sosial ekonomi khususnya pembinaan dan pengembangan koperasi dan pengusaha kecil. a.
Lokasi pasar modern harus mempertimbangkan keberadaan koperasi, pengusaha kecil dan menengah serta pasar tradisional
b.
Pembangunan dan pengembangan sarana pasar diprioritaskan bagi koperasi dan pengusaha kecil
c.
Pengusaha besar yang akan membangun sarana pasar, wajib bermitra dengan koperasi dan pengusaha kecil, baik dalam hal kepemilikan, pembangunan, pengelolaan maupun pengembangan.
5.4.2. Kemitraan Kemitraan adalah bentuk kerjasama usaha antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, menengah dan koperasi disertai dengan kegiatan pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha besar atas dasar prinsip saling menguntungkan.
56
Kemitraan tersebut dilakukan dengan pola yang sesuai dengan sifat dan karakteristik usaha yang dimitrakan sehingga akan tercipta suatu sistem atau mekanisme yang dapat menciptakan praktek usaha yang sehat dan kompetitif. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang atau Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau besar dengan syarat kemitraan, maka bidang atau jenis usaha yang terbuka untuk usaha menengah dan besar dengan persyaratan kemitraan dengan usaha kecil adalah melalui berbagai bentuk pola kemitraan yang terdiri dari penyertaan saham, inti plasma dan subkontraktor atau waralaba atau dagang umum. Kebijakan di bidang kemitraan ini diharapkan mampu menopang upaya penataan dan pengembangan pasar tradisional maupun pasar modern dengan didukung oleh infrastruktur lainnya secara sinergi. Arah kebijakan pemerintah dalam pola kemitraan adalah untuk menciptakan iklim berusaha yang kondusif dan peluang usaha yang seluas-luasnya melalui pemberian kesempatan dalam berbagai kegiatan ekonomi bagi para pelaku ekonomi. Peraturan dalam bentuk Keputusan Menteri mengenai penataan dan pembinaan pasar bila dikaitkan dengan hasil penelitian mengenai pergeseran ini cukup berpengaruh karena pada periode 2000 dan 2005 jumlah pembangunan pasar modern telah mulai berkurang dibandingkan dengan periode 1995 dan 2000. Salah satu penyebabnya diduga karena berlakunya peraturan mengenai penataan dan pembinaan pasar walaupun belum sepenuhnya berhasil karena pasar tradisional masih mengalami pertumbuhan yang negatif. Selain itu, dalam
57
perkembangannya
sejalan
dengan
pelaksanaan
otonomi
daerah,
maka
implementasi Keputusan Menteri tentang pedoman penataan dan pembinaan pasar dan pertokoan dianggap sudah tidak aspiratif karena adanya beberapa masalah, antara lain: 1.
Kerjasama kemitraan sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan usaha kecil, menengah, koperasi dan pasar tradisional belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena implementasinya tergantung kepada masing-masing peritel besar.
2.
Tidak adanya kejelasan atau terjadi tumpang tindih antara fungsi perdagangan eceran dengan fungsi grosir atau pedagang besar.
3.
Pembinaan dan penataan pasar dan pertokoan antar daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda.
4.
Pelaksanaan Keputusan Bersama kurang koordinatif sehingga pembinaan dan penataan pasar dan pertokoan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda serta adanya penguasaan lahan yang relatif luas, di tempat strategis oleh ritel skala besar yang diduga dapat mengganggu keberadaan pedagang kecil, menengah, koperasi dan pasar tradisional yang sudah ada sebelumnya.
5.
Pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-undang No.10 Tahun 2004 dalam pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa Peraturan Menteri (PERMEN) tidak termasuk dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yaitu: 1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
58
Undang-undang; 3) Peraturan Pemerintah; 4) Peraturan Presiden dan 5) Peraturan Daerah. Hal ini berdampak kurang diakuinya Peraturan Menteri dalam pembuatan peraturan daerah walaupun Peraturan Menteri diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (ayat (4) Undang-undang No.10 Tahun 2004). Untuk mengatasi masalah perihal Keputusan Menteri yang kurang aspiratif maka pemerintah melalui Departemen Perdagangan saat ini sedang menyiapkan draft kebijakan berupa Peraturan Presiden tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Modern dan Toko Modern sebagai pedoman hukum bagi pembinaan perdagangan eceran secara nasional dengan pokok-pokok pengaturan antara lain: 1.
Pendirian atau pengusahaan pasar modern dan toko modern harus sesuai dengan Rencana Umum dan Tata Ruang Wilayah (RUTRW) dan harus memperhatikan keberadaan pasar tradisional dan usaha kecil yang telah ada sebelumnya serta dilakukan secara terintegrasi dalam pasar modern dengan melibatkan pedagang kecil didalamnya.
2.
Permohonan Izin Prinsip Pendirian Pasar Modern (IP3M) dan Izin Prinsip Pendirian Toko Modern (IP2TM) berada pada Bupati atau Walikota dan khusus untuk pemerintah Propinsi DKI Jakarta berada pada Gubernur dengan melampirkan rencana pendirian dan atau pengusahaan pasar modern dan atau toko modern disertai dokumen pendukung (studi kelayakan dan studi AMDAL) serta rencana kemitraan dengan usaha kecil, menengah dan koperasi.
59
3.
Penerbitan IP3M dan IP2TM setelah mendapat pertimbangan dan rekomendasi dari Tim Penataan Pasar Modern dan Toko Modern (TP2TM) yang dibentuk oleh Bupati atau Walikota atau Gubernur untuk pemerintah Propinsi DKI Jakarta, yang keanggotaannya terdiri dari unsur dinas terkait, asosiasi pengusaha ritel yang diakui oleh pemerintah dan lain-lain yang dianggap perlu.
4.
Setiap penanggungjawab usaha pasar modern dan atau toko modern wajib melaksanakan kemitraan dengan usaha kecil, menengah dan koperasi.
5.
Pelanggaran terhadap Peraturan Presiden ini akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku atau sanksi administratif yang akan ditentukan lebih lanjut oleh Peraturan Menteri.
6.
TP2TM dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya bertanggung jawab kepada Bupati atau Walikota atau Gubernur khusus untuk pemerintah Propinsi DKI Jakarta.
7.
Kewenangan penerbitan Izin Usaha Pasar Modern (IUPM) dan Izin Usaha Toko Modern (IUTM) berada pada menteri. Namun demikian kewenangan menteri dapat diserahkan atau dilimpahkan baik kepada Bupati atau walikota atau Gubernur untuk pemerintah Propinsi DKI Jakarta.
8.
Pasar modern atau toko modern dapat melakukan kegiatan usaha setelah memiliki IUPM atau IUTM.
9.
Toko Modern yang berada di dalam pasar modern tidak diwajibkan memiliki IUPM tetapi wajib memiliki IUTM.
60
Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah memiliki tujuan yang sangat baik. Hanya saja dalam pelaksanaannya di lapangan kelak diperlukan ketegasan dan koordinasi dengan pemerintah-pemerintah di daerah. Sebab, dalam era otonomi ini banyak pemerintah di daerah yang justru mengundang kehadiran pasar modern di wilayahnya. Alasannya adalah demi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengurangi pengangguran. Selain itu, pemerintah pusat maupun daerah harus lebih serius lagi dalam menata dan membina pasar modern. Perusahaanperusahaan pengelola pasar di daerah jangan hanya menjadikan pasar sebagai objek retribusi namun pengelola pasar juga harus memiliki sistem manajemenn perusahaan yang inovatif dan kreatif. Selain melalui bentuk kebijakan, upaya untuk memberdayakan pasar tradisional di tengah persaingan ketat dalam bisnis ritel dilakukan oleh pemerintah melalui perbaikan sarana dan prasarana pasar yang bekerjasama dengan pihak swasta. Kerjasama tersebut antara lain dilakukan pemerintah melalui Departemen Perdagangan. Departemen Perdagangan siap memfasilitasi pihak swasta yang berminat membangun pusat distribusi, yang menjadi pemasok bagi pedagang kecil, sehingga harga jual produk di pasar tradisional menjadi lebih kompetitif. Dengan pendirian pusat distribusi, maka pedagang dapat mengakses langsung ke pihak industri dan mampu menegosiasikan harga. Hal itu selama ini tidak mampu dilakukan oleh pedagang sendiri. Beberapa perusahaan swasta sudah menyatakan minatnya. Namun terkendala dengan ketiadaan lahan yang dijadikan gudang penyimpanan barang.
61
Posisi swasta sebagai pemasok merupakan suatu peluang bisnis yang banyak dilirik, sekalipun penerima pasokan barangnya adalah pedagang di pasar tradisional yang tergolong kelas kecil dan menengah. Sebagai gambaran peluang bisnis itu, jika sebuah pusat distribusi melayani 300 toko di pasar tradisional yang masing-masing beromzet lima juta rupiah per hari, maka transaksi yang dikelola pusat distribusi minimal 1,5 miliar rupiah. Seandainya untung yang bisa diperoleh 2 persen dari transaksi itu, maka pusat distribusi bisa menghasilkan 30 juta rupiah per hari. Ini merupakan peluang bisnis yang banyak dilirik. Namun, niat untuk membangun pusat distribusi masih teganjal oleh adanya kendala keterbatasan lahan. Untuk keperluan memasok sekitar 300 toko di pasar tradisional dibutuhkan lahan pusat distribusi seluas enam sampai tujuh hektar sedangkan dana yang investasi yang dibutuhkan adalah sekitar 50 miliar (Departemen Perdagangan, 2006). Pembangunan pusat distribusi bukan merupakan satu-satunya cara yang ditempuh untuk memberdayakan pasar atau pedagang tradisional. Cara lain yang dilakukan untuk meningkatkan peranan pasar tradisional adalah dengan membangun sebuah pasar tradisional modern seperti yang dilakukan di Bumi Serpong Damai (BSD) atau dengan merenovasi pasar tradisional seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Pasar tradisional modern merupakan sebuah konsep pasar yang baru dikelola oleh BSD. Ciri-ciri khas dari pasar tradisional modern adalah kebersihan tempat berjualan sangat dijaga dengan sistem drainase keamanan terus menerus sepanjang hari, tempat parkir yang teratur baik untuk mobil maupun motor
62
selanjutnya adalah lapak-lapak tempat berjualan bagi para pedagang tradisional yang sudah dikelompokkan (cluster), pemanfaatan bagian luar pasar untuk kafe tenda, manajemen pasar dikelola secara profesional yaitu ada tata tertib tertulis yang yang harus ditaati oleh para pedagang pasar, pembayaran hanya dilakukan melalui kasir sehingga tidak terjadi pungutan-pungutan liar, jumlah SDM yang sedikit karena untuk sistem outsources untuk pengelolaan parkir, keamanan dan kebersihan diserahkan kepada perusahaan yang sangat berkompeten sehingga hasilnya menjadi optimal. Konsep pasar tradisional modern adalah tetap pasar tradisional yang artinya para pembeli dan pedagang dapat tawar menawar harga barang yang dijual (bukan harga tetap). Para pedagang di bagian tengah berjualan dengan konsep tempat lapak dan pedagangnya adalah pedagang tradisional yang berasal dari pasar tradisional sebelumnya yang berada di sekitar BSD. Berbeda dengan konsep pasar tradisional modern yang dikembangkan di BSD, Pemerintah Propinsi (Pemprop) DKI Jakarta berusaha memberdayakan pasar tradisional dengan cara merubah kesan kumuh pasar tradisional. Untuk merubah kesan tersebut, Pemprop DKI melalui PD Pasar Jaya akan merenovasi pasar tradisional menjadi pasar yang lebih modern dan jauh dari kesan kumuh. Peremajaan pasar tradisional merupakan upaya modernisasi pasar yang akan berdampak pada perubahan pandangan masyarakat dari kesan kumuh, bau tidak sedap dan tidak nyaman agar pasar tradisional dapat bersaing dengan supermarket yang berkembang pesat di Jakarta. Pasar yang dijadikan percontohan untuk proyek renovasi adalah Pasar Cibubur Jakarta Timur serta Pasar Tugu di Jakarta Utara.
63
Pasar percontohan tersebut telah memenuhi syarat sebagai pasar yang dibutuhkan masyarakat dengan disediakannya ruangan khusus bagi perokok di tiap lantai, membuat sumur resapan, perlengkapan pemadam kebakaran dan mesin pengolah limbah. Pasar tradisional yang akan direnovasi direncanakan sebanyak 20 unit dari total pasar tradisional sekitar 161 unit, dan diperkirakan memerlukan anggaran sekitar 200 miliar. Renovasi pasar yang akan mengalami peremajaan diutamakan untuk pasar bekas pasar Inpres atau pasar kelas C. Pembangunan pasar Cibubur sendiri menghabiskan biaya sekitar 45,8 miliar sedangkan untuk Pasar Tugu diperkirakan sebesar 10,3 miliar. Harga jual tempat usaha di kedua pasar berkisar antara 6,6 juta rupiah sampai 14,8 juta rupiah per meter persegi untuk jangka waktu 20 tahun. Berarti bila dirata-ratakan setiap bulannya penyewa harus membayar sekitar Rp. 110.000 hingga Rp. 240.000 per tempat usaha.
5.5.
Beberapa Keterbatasan dalam Penelitian Ini Penelitian mengenai pergeseran pasar tradisional ke modern ini masih
memiliki keterbatasan yang diharapkan dapat dilengkapi oleh peneliti selanjutnya. Beberapa keterbatasan itu antara lain: 1.
Data jumlah pasar tradisional dan modern hanya ada dalam kurun waktu 5 tahun mulai tahun 1995, 2000 dan 2005 sedangkan akan lebih baik jika dilihat jumlah pasar tradisional mulai tahun 1980 atau 1970 karena pada saat itu pasar modern belum berkembang sehingga dapat lebih dilihat pergeseran secara nyata. Peneliti selanjutnya dapat melengkapi data jumlah
64
pasar ini dengan mencari literatur lain di berbagai instansi seperti BPS maupun Departemen Perdagangan. 2.
Data omzet penjualan dalam skripsi ini hanya merujuk pada periode 5 tahun yaitu tahun 1999-2003. Peneliti selanjutnya dapat menambah data jumlah omzet ini baik untuk periode ke belakang seperti tahun 1980 atau periode ke depan. Selain itu, data omzet penjualan ini juga dapat ditambah dengan data omzet penjualan pasar tradisional dan modern per propinsi bila memungkinkan.
3.
Data jumlah tenaga kerja dalam penelitian ini masih menggunakan data jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran dikarenakan data jumlah tenaga kerja di pasar baik tradisional maupun modern belum tersedia. Peneliti selanjutnya diharapkan mampu melengkapi data tenaga kerja ini sehingga dapat dilihat dampak pasar modern bagi para pedagang di pasar tradisional.
65
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
1.
Pergeseran dengan indikator jumlah pasar diketahui dari jumlah pasar tradisional yang cenderung mengalami penurunan sedangkan jumlah pasar modern cenderung meningkat selain itu laju pertumbuhan jumlah pasar tradisional juga cenderung bernilai negatif sedangkan pasar modern cenderung positif. Pergeseran dengan indikator omzet dilihat dari omzet penjualan kedua pasar yang terus mengalami peningkatan, namun peningkatan omzet pasar tradisional lebih lambat dan lebih rendah dibandingkan dengan pasar modern dalam periode 1999-2003. Laju pertumbuhan omzet juga mencerminkan pergeseran yang dilihat dari pertumbuhan omzet pasar tradisional pada periode 2001-2002 menurun sementara di pasar modern seperti hypermarket mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumen lebih tertarik untuk berbelanja di pasar modern daripada di pasar tradisional.
2.
Dalam konsep, pemerintah menginginkan sinergi antara pengusaha pasar modern dengan pedagang kecil di pasar tradisional, maka ditetapkan Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan serta Menteri Dalam Negeri No.145/MPP/Kep/5/97 dan No. 57 Tahun 1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan, Surat Keputusan (SK) Menperindag No.420/MPP/Kep/10/1997 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan
Pasar
dan
Pertokoan
serta
SK
Menperindag
No.
66
261/MPP/Kep/7/1997 tentang Pembentukan Tim Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan. Peraturan inilah yang kemudian dijadikan pedoman bagi perkembangan pasar tradisional dan modern. Peraturan tersebut antara lain memuat mengenai kebijakan penataan pasar dan pertokoan serta kebijakan kemitraan antara pasar modern dan pasar tradisional. Bila dihubungkan dengan penelitian ini, maka peraturan mengenai pasar dan pertokoan cukup efektif dalam mengurangi pertumbuhan jumlah pasar modern pada kurun waktu 2000 dan 2005, tetapi kurang efektif dalam meningkatkan pertumbuhan jumlah pasar tradisional karena masih ada beberapa kendala seperti belum jelasnya batasan mengenai perdagangan eceran dan grosir serta kendala dari pemerintah daerah.
6.2.
Saran
1.
Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan pasar modern cukup pesat dibandingkan dengan pasar tradisional, maka program pemerintah berupa kemitraan antara pengusaha di pasar modern dan tradisional harus direalisasikan agar pengusaha di pasar tradisional tetap bertahan. Salah satu bentuk kemitraan yang dapat dijalankan oleh pengusaha di pasar tradisional adalah dengan mulai berperan sebagai supplier ataupun wholeseller. Selain itu kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta dalam rangka penyediaan sarana dan prasarana pasar tradisional yang lebih baik harus lebih ditingkatkan.
67
2.
Penelitian selanjutnya diharapkan mampu menyempurnakan penelitian ini antara lain dengan menambahkan data yang lebih spesifik yang belum didapatkan oleh penulis dalam penelitian ini, seperti data jumlah omzet pasar tradisional dan modern per propinsi serta data tenaga kerja di pasar tradisional dan modern. Selain itu penelitian selanjutnya juga dapat mengeksplorasi perdagangan eceran secara lebih mendalam dengan melihat peranan pasar baik tradisional maupun modern terhadap pembangunan daerah baik propinsi, kota maupun kabupaten yang dilihat dari kontribusi pasar tradisional dan modern terhadap PAD serta dampak sosial ekonomi dari pembangunan pasar modern bagi masyarakat.
68
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 1995. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta-Indonesia. _________________. 1999. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta-Indonesia. _________________. 2001. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta-Indonesia. _________________. 2003. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta-Indonesia. _________________. 2004. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta-Indonesia. _________________. 2006. “Population 15 Years of Age and Over Who Worked by Main Industry 2001, 2002, 2003, 2004 and 2005”. http://www.bps.go.id [5 Agustus 2006]. BKPM. 1997. ”Penjelasan Khusus Sektor Perindustrian dan Perdagangan”. http:// www. bkpm.go.id/en/file/pen-perindag2.doc [5 Februari 2006]. Danang. 2004. ”Hasil Riset AC Nielsen Pasar Modern Terus Geser Peran Pasar Tradisional”[SinarHarapanOnline].http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/ promarketing/2004/0622/prom1.html [6 Juni 2006]. Departemen Perdagangan RI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri. 2005. Kajian Tentang Strategi Pengembangan Retail di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Jakarta. Departemen Perdagangan RI. 2006. ”Pusat Distribusi”.http://www.depdag.go.id [5 Juli 2006]. Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri. 2003. ”Kebijakan Pengembangan Bisnis ritel Modern”. http://www.smecda.com/isi%20Berita/ritel_htm [10 Juli 2006]. Kompas Online. 2006. ”Jangan Biarkan Pasar Bersaing dengan Hipermarket”.http://www.kompas.com/kompascetak/0606/02/metro/26937 47.htm [2 Juni 2006].
69
Lilananda, R.P. 1997. ”Pasar Tradisional di Perkotaan Surabaya”. http://puslit. petra.ac.id./research/research%20papers/architecture/97/pen-ars97-01.htm [10 Agustus 2006]. Nafi,
M. 2004. ”Tren Perkembangan Ritel, Pasar Tradisional Akan Tergusur”[TempointeraktifOnline].http://www.tempointeraktif.com/hg/ekb is/2004/08/19/brk,20040819-57,id.html [19 Agustus 2006].
Napitupulu, A. 2006. “Masa Depan Pasar http://www.jakarta.go.id/pasar/pasar3a.htm [20 Juni 2006].
Tradisional”.
Pikiran Rakyat Online. 2005. ”Keberadaan Hypermarket”. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0205/24/02.htm [24 Februari 2006]. Pontoh, C.H. 2005. “Pasar”. http://coen-husain-pontoh.blogspot.com. [20 Juni 2006]. Silitonga, L. 2006. ”Pemain Modern Tekan Pangsa Pasar Tradisional”. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=5402&coid=2&caid=2& gid=1 [6 Juli 2006]. Sukaesih, H. 1994. “Pasar Swalayan dan Prospeknya”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 2: 68-63. Sutikno, B. 2001. “C2C, B2C, B2B?”. sutikno/kuliah/C2C.doc [11 Juni 2006].
http://www.geocities.com/bayu
Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Edisi revisi. Bumi Aksara, Jakarta.