PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK TERHADAP PUBLIK FIGUR MELALUI MEDIA SOSIAL DAN MEDIA MASSA
(Jurnal)
Oleh NURUN NAZMI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
1
ABSTRAK PERBANDINGAN KETENTUAN PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK TERHADAP PUBLIK FIGUR OLEH HATERS MELALUI MEDIA SOSIAL DAN MEDIA MASSA Oleh Nurun Nazmi, Gunawan Jatmiko, Dona Raisa Monica (
[email protected]) Ketentuan Pidana pencemaran nama baik terhadap publik figur oleh haters melalui media sosial dan media massa diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang. Perbedaan ketentuan pidana pencemaran nama baik terhadap publik figur oleh haters dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Di dalam KUHP pencemaran nama baik atau penghinaan diatur didalam Pasal 310 dan 311 sedangkan di dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan peraturan khusus dari KUHP sebagaimana asas hukum lex spesialis derogate legi lex generalis diaturnya mengenai pencemaran nama baik di dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-undang ITE menyatakan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ancaman Hukuman Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Massa dan Media Sosial, adapun ancaman pidana bagi mereka yang memenuhi unsur dalam Pasal 27 ayat (3) adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Mengenai keterkaitan antara Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan pasal-pasal dalam KUHP tentang penghinaan atau pencemaran nama baik, khususnya dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.
2
ABSTRACT COMPARISON OF CRIMINAL DEFAMATION AGAINST PUBLIC FIGUR BY HATERS THROUGH SOCIAL MEDIA AND MASS MEDIA By Nurun Nazmi, Gunawan Jatmiko, Dona Raisa Monica (
[email protected])
Provisions Criminal defamation against a public figure by haters via social media and mass media provided for in Article 27 paragraph (3) UU ITE can not be separated from the legal norms staple in Article 310 and Article 311 of the Criminal Code as a genus delict which entails a complaint (klacht) to be prosecuted, must also be treated to a prohibited act. Differences provisions of criminal defamation against a public figure by haters in Act No. 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions with the Code of Penal (Penal Code), Inside the Criminal Code of defamation or insult regulated under Articles 310 and 311 while in the law on Information and Electronic Transactions that are specific regulations of the Criminal Code as the legal principle of lex specialist derogate legi lex generalis arranged on defamation in Article 27 paragraph (3) of the Act ITE declare any person intentionally and without rights to distribute and / or transmitting and / or make the inaccessibility of Electronic Information and / or Electronic Documents which have a charge of insult and / or defamation. The threat of criminal punishment Defamation Through Mass Media and Social Media, as for criminal sanctions for those who meet the elements in Article 27 paragraph (3) is liable to a maximum imprisonment of 6 (six) years and / or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah). Regarding the relationship between Article 27 paragraph (3) UU ITE with articles of the Criminal Code on defamation or libel, in particular in Article 310 and Article 311 of the Criminal Code Keywords : Defamation,Social Media, Mass Media
0
PENDAHULUAN Tuntutan masyarakat di negara demokrasi terhadap keterbukaan informasi semakin besar. Pada masa sekarang kemajuan teknologi informasi, media elektronika dan globalisasi terjadi hampir disemua bidang kehidupan. Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya internet dapat dioperasikan dengan menggunakan media elektronik seperti komputer. Komputer merupakan salah satu penyebab munculnya perubahan sosial pada masyarakat, yaitu mengubah perilakunya dalam berinteraksi dengan manusia lainnya, yang terus menjalar kebagian lain dari sisi kehidupan manusia, sehingga muncul adanya norma baru, nilai-nilai baru, dan sebagainya.1 Melalui internet pertukaran informasi dapat dilakukan secara cepat, tepat serta dengan biaya yang murah. Oleh karena itulah internet dapat menjadi media yang memudahkan seseorang untuk melakukan berbagai jenis tindak pidana yang berbasiskan teknologi informasi (cybercrime) seperti, tindak pidana pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, pembobolan rekening, dan sebagainya. Delik pencemaran nama baik bersifat subjektif, yaitu penilaian terhadap pencemaran nama baik tergantung pada pihak yang diserang nama baiknya. Pencemaran nama baik hanya dapat diproses oleh polisi apabila ada pengaduan dari pihak yang merasa dicemarkan nama 1
Dikdik M. Arif mansyur, dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, ,PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm 3.
baiknya. Pencemaran nama baik melalui media elektronik diatur Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 ayat (3) yang menyebutkan: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah berusaha untuk memberikan perlindungan atas hak-hak individu maupun institusi, dimana penggunaan setiap informasi melalui media yang menyangkut data pribadi seseorang atau institusi harus dilakukan atas persetujuan orang/institusi yang bersangkutan. Berdasarkan uraian diatas menulis menyimpulkan permasalahan sebagai berikut RUMUSAN MASALAH Apakah yang membedakan ketentuan pidana pencemaran nama baik terhadap public figure oleh hatters melalui media social dan media massa ? METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yakni penulisan karya ilmiah yang didasarkan pada studi kepustakaan dan mencari konsep-konsep, pendapat-pendapat ataupun penemuan yang berhubungan dengan permasalahan.
1
B. Jenis dan Sumber Data
C. Prosedur Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data ini merupakan data yang diperoleh dari penelitian kepustakaaan. Dalam penulisan data yang digunakan diperoleh melalui penelitian kepustakaan yaitu bahan hukum primer bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier.
1.
Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan cara membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisa lebih lanjut
2.
Studi Lapangan Studi lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan. Teknik wawancara dilakukan secara langsung dan terbuka kepada narasumber.
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatanukum mengikat bagi individu atau masyarakat yang dapat membantu dalam penulisan. Data primer terdiri dari : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakukan Peraturan Hukum Pidana di Seluruh Indonesia (KUHP) c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 2. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai baham hukum primer, seperti karya ilmiah, jurnal, makalah, artikel, dan karya tulis dari kalangan hukum lainya. 3. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan informasi, petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia.
D. Prosedur Pengolahan Data Data yang diperoleh selama pelaksanaan pene;itian selanjutnya diolah dengan tahapan yaitu : seleksi data, klasifikasi data, sistematika data. E. Analisis Data Bahan hukum yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yakni uraian yang dilakukan terhadap data yang terkumpul dengan menggunakan kalimat- kalimat atau uraian-uraian yang menyeluruh terhadap fakta-fakta yang ada sehubungan dengan perbandingan ketentuan pidana pencemaran nama baik terhadap publik figur oleh haters melalui mediSemua hasil Penelitian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang
2
terkait, setelah itu dirumuskan dalam bentuk uraian kalimat dan akhirnya dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahanpermasalahan di dalam penelitiana sosial dan media massa. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbandingan Ketentuan Pidana Pencemaran Nama Baik Terhadap Publik figur oleh Haters Melalui Media Sosial dan Media Massa Dalam UU ITE, ketentuan penghinaan dan pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3). Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU ITE, delik-delik tersebut dapat dilaporkan kepada Penyidik Polri atau kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Informasi dan Transaksi Elektronik (“PPNS ITE”) Kementerian Komunikasi dan Informatika. Laporan kepada PPNS ITE juga dapat disampaikan melalui email:
[email protected]. Sanksi dapat dijatuhkan apabila pelaku memenuhi seluruh unsur dan telah melalui proses peradilan pidana. Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah sebagai berikut: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Hasil wawancara dengan Rachmad Dahoeri menyatakan bahwa banyak pihak menganggap Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik biasa. Pemahaman ini keliru dari dua hal, yaitu dari segi esensi delik penghinaan dan dari sisi historis. Secara esensi penghinaan, pencemaran nama baik merupakan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, sehingga nama baik orang tersebut tercemar atau rusak. Dalam menentukan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subyektif tentang konten atau bagian mana dari informasi atau dokumen elektronik yang dirasa telah menyerang kehormatan atau nama baiknya. Konstitusi memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada orang lain. Orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban. Sedangkan, konteks berperan untuk memberikan nilai obyektif terhadap konten. Pemahaman akan konteks mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan pelaku, maksud dan tujuan pelaku dalam mendiseminasi informasi, serta kepentingan-kepentingan yang ada di dalam pendiseminasian (penyebarluasan) konten. Oleh karena itu, untuk memahami konteks, mungkin diperlukan pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.
3
Secara historis ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), khususnya Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Dalam KUHP diatur dengan tegas bahwa penghinaan merupakan delik aduan. Tidak adanya ketentuan yang tegas bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan kerap dipermasalahkan dalam menerapkan ketentuan ini. Akan tetapi, dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 mengenai konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah ada penegasan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan, dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi Butir [3.17.1] dijelaskan: Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan. Hasil wawancara dengan Noersika Suryawati menyatakan bahwa teknologi yang merupakan produk dari modernitas telah mengalami lompatan yang luar biasa, karena
sedemikian pesatnya, pada gilirannya manusia, yang kreator teknologi itu sendiri kebingungan mengendalikannya, termasuk perkembangan internet. juga membuat dan melahirkan media baru yang disebut bersama sebagai media sosial. Media sosial bisa diartikan sebagai sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Berkembangnya media baru ini seakan berbanding lurus dengan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di dalamnya, salah satunya percemaran nama baik atau penghinaan yang melalui wadah media sosial. Sebagai seorang pengguna media sosial harus lebih waspada dalam mengunggah apa saja pada akun media sosial di internet agar tidak berbuah pelanggaran atau kejahatan. Dampak positifnya dengan adanya aturan ini masyarakat akan lebih berhati-hati dalam melakukan aktifitas di media sosial, karena meraka akan lebih selektif melakukan memposting di akun media sosial sedangkan untuk dampak negatifnya Pencemaran nama baik melalui media massa merupakan salah satu bentuk khusus dari perbuatan melawan hukum. Istilah yang dipakai mengenai bentuk perbuatan melawan hukum ini ada yang mengatakan pencemaran nama baik, namun ada pula yang mengatakan sebagai
4
penghinaan tetapi melalui media cetak seperti Koran, majalah, dln Nama baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang perilaku atau kepribadian seseorang dari sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu dilihatdari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga ukurannyaditentukan berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat tertentu ditempat mana perbuatan tersebut dilakukan dan konteks perbuatannya. Dalam penjelasannya, R. Soesilo mengatakan bahwa tuduhan ini harus dialamatkan kepada orang perorangan, jadi, tidak berlaku apabila yang merasa terhina ini adalah lembaga atau instansi, namun apabila tuduhan itu dimaksudkan untuk kepentingan umum, artinya agar tidak merugikan hak-hak orang banyak atau atas dasar membela diri (berdasarkan pertimbangan hakim), maka sang penuduh tidak dapat dihukum. Efektifitas mengenai aturan ini tentunya harus kita lihat di dalam dua sisi yakni pengaturan dan penegakannya (law enforcement), mungkin dari segi aturan, perumusan Pasal mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik ini sudah cukup bagus dan baik, sedangkan penegakan hukumnya sangat bergantung pada tiap-tiap kasus yang dimana berbeda-beda dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan bagi masyarakat. Seharusnya manusia sebagai pengguna jaringan internet perlu memperhatikan etika dan moral dalam beraktivitas menggunakan jaringan internet, karena tidak menutup kemungkinan manusia dalam menggunakan
jaringan internet tidak memerhatikan etika dan moral sehingga dapat merugikan orang lain. Perbedaan Ketentuan Pidana Pencemaran Nama Baik Terhadap Publik Figur oleh Haters dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Hasil wawancara dengan Rachmad Dahoeri menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar maka pelakunya akan mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan KUHP dari jenis tindak pidana dalam KUHP terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan. Salah satu tindak pidana aduan adalah tindak pidana pencemaran nama baik. Ukuran suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik orang lain masih belum jelas karena banyak faktor yang harus dikaji. Dalam hal pencemaran nama baik atau penghinaan yang hendak dilindungi adalah kewajiban setiap orang untuk menghormati orang lain dari sudut kehormatannya dan nama baiknya dimata orang lain. Hasil wawancara dengan Noersika Suryawati menyatakan bahwa Adanya hubungan antara kehormatan dan nama baik dalam hal pencemaran nama baik tersebut, maka dapat dilihat dahulu
5
pengertiannya masing-masing. Kehormatan adalah perasaan terhormat seseorang dimata masyarakat, dimana setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sebagai anggota masyarakat yang terhormat. Menyerang kehormatan berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang kehormatan seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut lingkungan masyarakat pada tempat perbuatan tersebut dilakukan Pencemaran nama baik terlihat dari 2 macam, yaitu pencemaran nama baik secara lisan, dan pencemaran nama baik secara tertulis. 1. Penghinaan materiil Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum. 2.
Penghinaan formil Dalam hal ini tidak dikemukakan apa isi dari penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan cara-cara kasar dan tidak objektif. Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat
dikatakan bahwa kemungkinan tersebut. Ancaman Hukuman Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Massa dan Media Sosial Hasil wawancara dengan Brigpol Rachmad Dahoeri selaku anggota Kepolisian Resor Bandar Lampung menyatakan bahwa sebutan haters setidaknya mulai popular seiring dengan pesatnya penggunaan media sosial. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lainnya. Sebenarnya, haters atau pembenci bukanlah hal baru, terutama bagi mereka yang berstatus public figure. Konsekuensi dari seorang public figure yakni selain akan banyak memiliki pemuja, juga akan memiliki haters. Mulai dari artis, pejabat bahkan seleb media sosial juga umumnya memiliki haters. Menurut Wikipedia, haters mengacu pada seseorang atau grup yang melampiaskan kebenciannya pada seseorang atau suatu kelompok di forum public, terutama di World Wide Web seperti youtube dan lain lain. Hasil wawancara dengan Noersika Suryawati selaku Jaksa di Kejaksaan Tinggi Lampung selaku anggota Kepolisian Resor Bandar Lampung menyatakan bahwa adapun ancaman pidana bagi mereka yang memenuhi unsur dalam Pasal 27 ayat (3) adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Namun sebelumnya, ada hal yang perlu kami sampaikan mengenai keterkaitan antara Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan pasal-pasal dalam KUHP tentang penghinaan
6
atau pencemaran nama baik, khususnya dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Pencemaran Nama Baik di Media Sosial, sebagai delik biasa atau aduan, dalam KUHP diatur dengan tegas bahwa penghinaan merupakan delik aduan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 mengenai konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah menegaskan bahwa pasal tersebut merupakan delik aduan. Ini berarti, perkara dapat diproses hukum jika ada aduan dari pihak yang dihina. Selain itu, dalam artikel tersebut juga dikatakan bahwa dalam menentukan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subyektif tentang konten atau bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama baiknya. Sedangkan, konteks berperan untuk memberikan nilai obyektif terhadap konten. Pemahaman akan konteks mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan pelaku, maksud dan tujuan pelaku dalam mendiseminasi informasi, serta kepentingankepentingan yang ada di dalam pendiseminasian (penyebarluasan, ed.) konten. Oleh karena itu, untuk memahami konteks, mungkin diperlukan pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa: Ketentuan Pidana pencemaran nama baik terhadap publik figur oleh haters melalui media sosial dan media massa diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang. Perbedaan ketentuan pidana pencemaran nama baik terhadap publik figur oleh haters dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Di dalam KUHP pencemaran nama baik atau penghinaan diatur didalam Pasal 310 dan 311 sedangkan di dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan peraturan khusus dari KUHP sebagaimana asas hukum lex spesialis derogate legi lex generalis diaturnya mengenai pencemaran nama baik di dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-undang ITE menyatakan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
7
1. Ancaman Hukuman Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Massa dan Media Sosial, adapun ancaman pidana bagi mereka yang memenuhi unsur dalam Pasal 27 ayat (3) adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Mengenai keterkaitan antara Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan pasal-pasal dalam KUHP tentang penghinaan atau pencemaran nama baik, khususnya dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. B. Saran 1. Untuk menyempurnakan penelitian ini, maka diperlukan studi lanjutan semisal membuat alat ukur yang disepakati untuk mengevaluasi dan menilai pencemaran nama baik dalam pemidanaan khususnya pada tindak pidana pencemaran nama baik yang konsisten dan sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam KUHP, hal ini sangat penting untuk meredam pro-kontra yang terjadi di masyarakat. 2. Kebijakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau tindak pidana Pencemaran nama baik dalam bentuk hukum pidana di Indonesia dan Kitab UndangUndang Hukum Pidana sudah merupakan keharusan mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya sudah sangat memprihatinkan, hendaknya penggunaan dan pelaksanaan UU Informasi dan Transaksi
Elektronik dilakukan secara konfrehensif dan bekerjasama diantara lembaga yang mengaturnya, sehingga tercapai masyarakat yang punya harkat dan martabatnya serta kehormatan terjaga dari fitnah dan lain sebagainya. DAFTAR PUSTAKA Pound, Roscoe. An Introduction to the philosophy of law dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar-Maju Bandung, 2000 Atmasismita, Romli, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cet IV, Alumni Ahaem-Peteheaam, Jakarta 1996 Ali, Mahrus, Dasae-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011 Satjipyo Raharjo, Berhukum dengan Nurani, Kompas, 2001 dalam www.kompas.com, diakses 24 April 2010 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) M, Friedman, Lawrence, Law and Society An Introduction, prentice Hall Inc, New Jersey, 1977, Dalam Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1983 Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010