Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian* Young Hun Koh**
Ⅰ. Pendahuluan ‘Perantauan’ merupakan salah sebuah isi cerita pokok dalam novel umumnya, dan kalau dalam genre panji pula, ia menjadi cerita utama. Motif utama untuk merantau atau berkelana dalam kebanyakan cerita panji baik Melayu maupun Jawa – dapat dikatakan berpunca dari keputusasaan wiranya, Raden Inu1, putra Ratu Kuripan yang kehilangan kekasihnya, tunangannya atau kadang-kadang istrinya, Raden Galuh Cendera Kirana, putri Ratu Daha atau Kediri. Dengan demikian terjadilah perjalanan yang panjang dengan pelbagai peristiwa, perpisahan, peperangan dan
* This work was supported by Hankuk University of Foreign Studies Research Fund of 2011. ** Professor of Malay-Indonesian Literature, Hankuk University of Foreign Studies. 1 Cerita-cerita dalam Daur Panji banyak digunakan dalam berbagai pertunjukan tradisional. Di Jawa, Cerita Panji digunakan dalam pertunjukan Wayang Gedog. Di Bali (di mana cerita ini dikenal sebagai “Malat”), pertunjukan Arja juga memakai lakon ini. Kisah ini juga menjadi bagian tradisi dari Suku Banjar di Kalimantan Selatan meskipun kini mulai kurang dikenal oleh masyarakat. Di Thailand terdapat seni pertunjukan klasik yang disebut “Inao” (Bahasa Thai:อิเหนา) yang berasal dari nama “Inu”/”Ino”. Begitu pula di Kamboja di mana lakon ini dikenal dengan nama “Eynao”.
168 東南亞硏究 21 권 1 호
penyamaran, hingga akhirnya mereka bertemu kembali, kenalmengenal dan hidup berbahagia untuk selamanya. Ternyata motif-motif tersebut telah digabungkan oleh pengarangnya sehingga menjadi sebuah kerangka cerita yang unik dan dapat dianggap sebagai pola cerita panji yang autentik(Zalilah Syarif dan Jamilah Haji Ahmad 1993: 209). Dalam karya-karya novel Pramoedya juga terdapat kisahkisah perantauan tokoh-tokoh termasuk tokoh utamanya. Mereka merantau untuk tujuan masing-masing. Dalam pada itu, Pramoedya memaparkan pesannya sendiri melalui penceritaan dalam karya sastranya. Mengingat gejala kesusastraan justru merupakan gejala sosial-budaya, dapat dikatakan bahwa gejala ini sebenarnya adalah kesadaran yang beraksi terhadap realitasnya dengan mencerminkan realitas masyarakat tertentu. Seorang pengarang sebenarnya berminat juga kepada berbagai gejala masyarakat dan dia mengumpulkannya dalam karya-karya sastranya sendiri. Dalam konteks ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa mengkaji seorang pengarang sesungguhnya bermaksud mengikuti tanggapan diri pengarangnya yang terpancar dalam karyanya terhadap gejala masyarakat. Kalau ditinjau dari segi ini, cerita perantauan tokoh-tokoh dalam karya-karya yang dihasilkan oleh Pramoedya dapat dikatakan adalah perantauan Pramoedya sendiri. Seperti tokoh utama lazimnya yang merantau untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah yang dihadapinya dalam cerita Panji, tokoh-tokoh yang muncul dalam karya-karya novel Pramoedya juga bepergian untuk mencapai matlamat yang sama. Hardo dalam Perburuan(1950) masuk ke gua Sampur selama enam bulan karena dia diburu oleh tentara Jepang. Tidak sedikit
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 169
tokoh yang muncul dalam Arus Balik(1995) termasuk Wiranggaleng dan Idayu merantau juga untuk berperang melawan kuasa luar, atau mencari kekasihnya. Arok dalam Arok Dedes(1997) merantau untuk mensukseskan kudeta yang direkayasa olehnya. Minke dalam tetralogi Bumi Manusia(1980) pula merantau ke pelosok tanah airnya untuk mengetahui keadaan bangsanya dengan betul dan memperluas gerakan Syarikat Islamiah yang bersifat gerakan nasionalisme. Gadis Pantai dalam Gadia Pantai(1987) merantau karena dia dijual oleh ayahnya kepada Bendoro. Midah dalam Midah-Si Manis Bergigi Emas(1955) merantau juga supaya hasratnya yang ingin menjadi penyanyi keroncong itu dapat dikabulkan. Sifat perantauan ini dapat dianggap unsur yang penting dalam dunia pengkaryaan novel Pramoedya. Dalam pada itu, Pramoedya memaparkan hasratnya yang bertujuan mengurangi perselisihan antara dunia kenyataan dan dunia impian.
Ⅱ. Perantauan Tokoh-Tokoh dalam Novel Pramoedya 1. Hardo dalam Perburuan: kekalahan dan pemberontakan Raden Hardo, Karmin dan Dipo memimpin pemberontakan melawan Jepang di daerah Blora, Jawa Tengah. Raden Hardo adalah Shodanco PETA(Pembela Tanah Air)2. Pemberontakan itu 2
Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepun) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepun di
170 東南亞硏究 21 권 1 호
gagal karena pengkhianatan Karmin. Oleh sekitar 4,000 orang penduduk dan tentara Jepang, para pemberontak diburu-buru. Di daerah Cadas Plantungan Hardo terluka oleh tusukan bayonet tentara Jepang di lengan kanannya. Luka itulah akhirnya menjadi tanda yang tak bisa dihapus. Hardo melarikan diri ke Gua Sampur yang angker selama enam bulan lamanya. Mulai saat itu, nasib Hardo menjadi sengsara, karena dia diburu-buru oleh pihak Jepang. Hardo merupakan seorang pemberontak sahaja bagi tentara Jepang yang sedang menjajah tanah Jawa. Cerita ini diilhamkan oleh pemberontakan di bawah pimpinan Supriadi terhadap Jepang di Blitar, Jawa Timur, pada 14 Februari 1945, enam bulan sebelum merdeka. 3 Sikap pemberontakan terhadap kuasa penjajahan ini amat berkesan kepada Pramoedya yang senantiasa merasakan ‘inferiority complex’, karena, menurut Pramoedya, bangsa Indonesia belum pernah menang di medan perang yang berlawanan dengan kuasa asing. Dalam novel Perburuan Pramoedya berusaha untuk mengatasi perasaan ‘inferiority complex’ dengan memaparkan aspek pemberontakan tokoh-tokoh yang memainkan peranan masing-masing.
3
medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahawa hal ini merupakan strategi Jepun untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahawa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Ben Anderson menyifatkan pemberontakan ini sebagai serangan tunggal yang paling serius terhadap kuasa Jepun selama penjajahan.(Lihat Ben Anderson, 1961, Some Aspects of Indonesian Politics under the Japanese Occupation: 1944-1945, hlm. 47.).
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 171
Terlebih dahulu Hardo merantau untuk bergabung dengan PETA. Setelah menjadi shodanco, dia merantau juga karena dikejar oleh pihak kuasa Jepang. Tokoh utama Hardo yang digambarkan sebagai anggota pasukan PETA yang didorong oleh semangat patriotism akhirnya memberontak terhadap kuasa penjajahan Jepang. Tujuannya adalah ikut mempercepat proses runtuhnya Jepang di Indonesia, dan lebih khusus lagi, di Blora. Akibat rencana pemberontakan itu, ayah Hardo akhirnya dipecat dari jabatan Wedana Karangjati oleh penguasa Jepang. Malah, ibunya meninggal dunia setelah diperintahkan untuk ikut mengepung anak kandungnya sendiri. Karmin, kawan seperjuangan Hardo, ternyata kemudian mengkhianati perjuangannya. Maka, Hardo dan kawan-kawannya tidak dapat melaksanakan rencana pemberontakan mereka. Jadi, Hardo menyamar sebagai pengemis dan hidup sebagai pertapa di dalam gua Sampur. “Oleh renungan selama hidup bertapa itu, diperoleh nilai-nilai baru, dan dapat ia memahami tindakan Karmin. Ia dapat memaafkan perbuatan teman itu.”(B. Rangkuti 1963: 94). Perantauan Hardo dalam karya novel ini dapat dikatakan bertujuan untuk mencari kebebasan. Sebenarnya ketika Hardo bertemu dengan ayahnya di dalam sebuah gubuk yang terletak di tengah padang jagung, ia sengaja berpura-pura tidak mengenal ayah kandungnya sendiri. Tentu Hardo tidak mau ayahnya mengenal anak kandung yang sedang dikejar-kejar pihak tentara Jepang. Hal demikian mengganggu Hardo yang bepergian mencari kebebasan. Dalam karya ini, Pramoedya memaparkan juga konflik manusia dengan dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, masalah ini bersumber dari konflik antara kedua ego. Adanya jarak yang
172 東南亞硏究 21 권 1 호
begitu jauh antara dunia nyata dan dunia impian itulah yang menyebabkan terjadinya konflik. Dapat dikatakan bahwa Hardo dan ayahnya mengejar kebebasan yang berbeda. Hardo mengejar kebebasan yang berdimensi lebih luas, yaitu kebebasan untuk bangsanya, manusianya. “Tetapi ayah Hardo - seorang yang mengalami musibah dan harus menghadapi segala macam kesukaran yang diakibatkan oleh segala macam kekecewaan, baik dari segi kemanusiaan maupun dari segi sosial, dan ia coba melupakan penderitaannya dengan berjudi - telah membuat pilihan yang salah. Perbuatannya itu merupakan satu “pembebasan ke bawah”, sedangkan manusia membuat “pembebasan ke atas”, berjuang untuk mencapai perikemanusiaan(Teeuw 1978: 232). Memang, manusia adalah misteri yang sangat kompleks. Apa yang dipaparkan Pramoedya dalam Perburuan adalah usaha untuk memahami manusia dalam kehidupannya. Aspek ini ditampilkan melalui dialog antar-tokoh-tokohnya, terutama dialog antara Hardo dan ayahnya, Muhammad Kasim. Dalam pada itu, Pramoedya berusaha juga menggambarkan usaha pengejaran pada kebebasan. Masa kegelapan yang disebabkan oleh kekuasaan penjajah tidak dapat menjamin kebebasan yang sempurna. Dalam pada itu, Pramoedya membuat watak utama Hardo merantau supaya menemukan keadaan yang sepi, di mana kelewatan waktunya terhenti.
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 173
2. Wianggaleng dalam Arus Balik: membendung arus Balik Novel ini menceritakan kedatangan Portugis di Bumi Nusantara dengan latar surutnya pengaruh Majapahit dan naiknya pamor Kesultanan Demak. Sebagaimana yang diketahui, novel sejarah bermaksud novel yang mengambil tokoh-tokoh dan peristiwa bersejarah, dan latar belakang masa serta waktu silam yang lebih awal daripada waktu penulisan novel bersangkutan. Novel sejarah dibagikan ke dua jenis : pertama, yang mengambil latar belakang dan peristiwa bersejarah, tetapi penulis sendiri mencipta tokohtokoh tertentu yang sesuai dengan zaman itu; kedua, yang mengambil tokoh-tokoh yang benar-benar wujud dalam sejarah dan mengubahsuaikannya dengan latar belakang peristiwaperistiwa bersejarah. Sejarah merupakan satu fakta, atau sesuatu yang dapat dibuktikan dengan fakta. Sejarawan mau tidak mau terikat kepada fakta-fakta yang pernah terjadi: dia tidak bebas dalam penggarapan bahan-bahan sejarah itu. Tetapi, seorang penulis novel sejarah dapat lebih bebas mencipta ceritanya sendiri. Dalam konteks ini, A. Teeuw menegaskan bahwa penulis novel sejarah menekankan pemberian makna pada keberadaan manusia, lewat cerita, peristiwa, yang barangkali tidak benar secara fakta tetapi yang masuk akal secara maknawi(Teeuw 1989: 243). Tokoh utama dalam novel ini, yaitu Wiranggaleng, merupakan seorang pemuda desa yang ikut berjuang dalam invasi ke Malaka yang dipimpin oleh Pati Unus. Arus Balik memperlihatkan usaha Pramoedya mengembalikan ingatan terhadap kehebatan Nusantara terutamanya kerajaan Majapahit. Juga, tentang kejatuhan Madjapahit dan Malaka di tangan Portugis yang antara lainnya
174 東南亞硏究 21 권 1 호
disebabkan oleh pertentangan pribadi dari dalam. Kehidupan serta kezaliman pemerintah juga menjadi agenda yang diketengahkan dalam novel sejarah ini. Novel ini mengambil latar belakang abad ke-15 dan abad ke-16. Ia telah digarap teliti dengan imaginasi seorang master dalam penulisan kreatif. Sebagai karya novel yang berdasarkan fakta sejarah, Pramoedya mengetengahkan pelbagai cerita yang terkandung dalam sejarah. Ini termasuklah cita-cita besar pemimpin Majapahit dan pembesarnya. Mereka sebenarnya berhasil menguasai maritim sebelum berlakunya ‘arus balik’(Koh Young Hun 2003: 9). Walaupun tema atau persoalan novel ini kelihatan rencam, sehingga membawa ke zaman Parameswara dan kebangkitan kuasa Majapahit pada tahun 1292, tetepi hakikatnya tetap dipusatkan kepada satu tema pokok, yaitu perselisihan manusia untuk mendapatkan dan mengekalkan politik mereka dengan menggunakan cara apa saja, seperti teori politik Machiavelli itu hidup subur dalam zaman apa pun. Pihak yang terkait dalam perselisihan itu merangkumi banyak pihak yang berkepentingan, seperti penguasa negeri, patih, syahbandar dan panglima perang, termasuk kaum penjajah seperti Peranggi yang datang dari ‘atas angin’ bersenjatakan armada perang dan meriam untuk meluaskan jajahan takluk di kepulauan Nusantara(Koh Young Hun 2003: 10). Wiranggaleng yang berasal dari desa Awis Krambil merantau untuk mencoba mendamaikan persengketaan dan ikut memerangi Peranggi di Malaka bagi menghalang arus penjajahan kuasa Barat.4 Sebagai sebuah karya novel sejarah yang mengungkapkan 4
Walaupun tema atau persoalan novel ini kelihatan rencam, sehingga membawa ke zaman Parameswara dan kebangkitan kuasa Majapahit pada tahun 1292, tetepi hakikatnya tetap dipusatkan kepada satu tema
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 175
gerak hidup manusia dalam pelbagai dimensinya, tokoh penting dalam novel ini juga tidak terlepas dari kegilaan cinta tiga segi. Idayu, seorang penari handal dari Awis Krambil, menjadi rebutan antara Adipati Tuban yang sudah memiliki beberapa selir dengan Galeng. Malah kecantikan Idayu yang tiada tolak bandingannya di Tuban itu, turut menyeret Sayid Habibullah Almasawa, Ishak Indrajit dan Pada dalam kehangatan nafsu cinta berahi. Dalam persoalan politik, kejatuhan Majapahit pasca-Gadjah Mada, memecahkan negeri atau wilayah yang menjadi gabungannya. Tuban, Demak, Blambangan, Padjajaran, Semarang dan beberapa negeri lain mulai mendirikan pemerintahan sendiri dengan sultan, bupati atau adipati secara autokrasi. Negeri bersangkutan senantiasa bermusuhan, saling prejudis dan mau menjatuhkan antara satu sama lain, demi memperluas kekayaan serta kekuasaan penguasa. Dua kerajaan yang paling menonjol dalam permusuhan itu ialah Tuban dan Demak. Konflik dalaman dan luaran dua negeri banyak difokuskan pengarang dalam novel sejarah ini. Adipati Tuban yang masih dengan kepercayaan yang diwarisi ajaran Hindu-Buddha, adalah seorang tirani yang berkuasa penuh ke atas rakyat jelatanya. Di sebalik sikap maha dewanya, Adipati Tuban mempunyai visi politik tersendiri untuk memastikan kemakmuran Tuban dan dirinya sendiri. Dia menjadikan Tuban kota pelabuhan bebas yang disinggahi kapal dagang dari Arab, India dan Cina(Koh Young Hun 2003: 12).
pokok, yaitu perselisihan manusia untuk mendapatkan dan mengekalkan politik mereka dengan menggunakan cara apa saja, seperti teori politik Machiavelli itu hidup subur dalam zaman apa pun.
176 東南亞硏究 21 권 1 호
Pramoedya berpendapat bahwa kekalahan pribumi berasal dari kelemahan sendiri. Salah satu kelemahannya adalah perselisihan dasar lama dengan dasar baru. Dia menjelaskan bahwa Sang Adipati menghendaki dasar-dasar yang lama tidak berubah, ragu-ragu terhadap yang baru, sedangkan yang baru terusmenerus mendesak. Yang lama dengan segala keuntungan dan keamanannya tidak bisa dipertahankan sambil menerima keuntungan tambahan dari yang baru, dan itu yang Gusti Adipati tidak bisa terima. Mereka masih dapat mengingat betapa mengirimkan gugusan pasukan laut ke Jepara dengan waktu yang sengaja ditidaktepatkan. Penyerangan atas Malaka gagal, hancur, kalah. Mereka semua mendapatkan malu. Apa pun yang telah diperbuat oleh Demak terhadap Tuban, Adipati Unus Jepara benar. Sang Adipati melepaskan gugusan Tuban untuk memberikan pukulan berlipat atas Demak, tetapi Tuban sendiri yang rugi. Malaka tidak jatuh, Peranggi tetap berdiri, dan Bandar Tuban seperti bandar-bandar lain di seluruh Jawa. Pramoedya menegaskan nilai budaya sepi ing pamrih dalam novel ini. 5 Dalam konteks ini, pada bagian akhir novel ini, Wiranggaleng setelah melaksanakan tugasnya, mengambil keputusan untuk bertapa dan tidak menjadi raja Majapahit. Dari segi pribadinya, dia berjuang selama ini bukan untuk kepentingan diri sendiri. Dia juga tidak gila kuasa, sebaliknya mau meneruskan kesinambungan cita-cita membentuk semula Nusantara.
5
Soetrisno menjelaskan bahwa ‘pamrih’ berasal dari tiga napsu, yaitu selalu mau menjadi orang yang pertama(nepsu menange dhewe), menganggap diri selalu betul(nepsu benere dhewe), dan hanya butuhe dhewe). memperhatikan kebutuhannya sendiri(nepsu (Soetrisno 1977: 26).
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 177
Wiranggaleng mengatakan kepada bawahannya, yang ingin menjadikan Wiranggaleng sebagai penggantinya Gadjah Mada, seperti berikut: Telah aku baktikan masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biarpun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. Ya, Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk menyadarkan raja dan sultan sehingga jadi gelombang raksasa, bukan sekadar yang mendesak arus balik dari utara, bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya selama-lamanya. Gadjah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbakimbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gadjah Mada. - - - - Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan semua kuserahkan pada kalian. (Arus Balik: 714).
Sebagai seorang sastrawan yang juga pengamat sejarah bangsanya yang serius, Pramoedya menciptakan tidak lain sebuah karya sastra. Sejarah merupakan harta karun budaya yang dapat digali, ditimba, ditafsirkan dalam kaitan membicarakan masalah masa kini. Sejarah sebenarnya adalah wilayah bagi sastrawan yang serba berkemungkinan. Makanya, sebagai seorang sastrawan, Pramoedya beruntung karena dapat melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan disiplin sejarah yang amat terikat pada fakta, bukti dan ketepatan peristiwa itu. Pramoedya, justru itu,
178 東南亞硏究 21 권 1 호
secara bebas mencipta dan membentuk peristiwa dan tokoh historis mengikut kemauannya. Salah satu pendapat yang digarisbawahi dalam karya ini adalah pentingnya peranan bahasa Melayu. Pramoedya menganggap penggunaan satu bahasa, yaitu bahasa Melayu, penting sekali untuk mempersatu Nusantara ini. Dialog antara Adipati dengan Wiranggaleng memperlihatkannya seperti: “Galeng, kembalikan kejayaan dan kebesaran Majapahit untuk Tuban, untuk negerimu, ini untuk Adipati sesembahmu. Berangkat kau sekarang juga, kau bersama istrimu. Tinggalkan kadipaten. Tinggal kau berdua di gandok kesyahbandaran yang sebelah kiri, gandok Islam. Belajar bahasa Melayu baik-baik. Jadilah pembantu utama Sayid Habibullah Almasawa. - - - - Jangan bicara Jawa, tuan rumah melarang, ayo, mulai sekarang pergunakan Melayu, sekarang ia ucapkan sepatah sepatah. Melayu! Bukankah kau pembantupembantuku? Juara gulat itu mengangguk mengiakan. Melayu! Melayu! Mulai bicara Melayu!”(Arus Balik: 120). Dalam pada itu, Wiranggaleng merantau untuk mengabulkan matlamatnya, antara lain bertarung sampai ke pusat kekuatan Portugis di Malaka, memberi segala-galanya, walau hanya secauk pasir sekalipun – untuk membendung arus utara. Pramoedya berkeberatan terhadap terjadinya arus balik, yaitu arus yang menuju ke utara dengan mendadak membalikkan jurusannya, ke selatan. Hakikat ini digambarkan dalam karya ini sebagai: “sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa berlayar ke utara, ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru.” (Arus Balik: 449). Selain itu Pramoedya
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 179
menganggap laut lebih penting peranannya daripada darat bagi Nusantara. Dia menjelaskan bahwa “bukan hanya tanah, seluruh alam diserahkan oleh Allah pada manusia. Kalau orang tak tahu artinya alam, inilah dia: semua-semua saja kecuali Allah sendiri. Tanah ini, Jawa ini, kecil, lautnya besar. Barang siapa kehilangan air, dia kehilangan tanah, barang siapa kehilangan laut dia kehilangan darat.”(Arus Balik: 449). 3. Arok dalam Arok Dedes: peralihan kuasa Konsep pertama naskah
ini diselesaikan Pramoedya di Pulau Buru pada tanggal 24 Desember 1976. Kemudian diterbitkan oleh Hasta Mitra dengan judul Arok Dedes. Kisah Arok Dedes adalah kisah kudeta pertama dalam sejarah Indonesia. Kudeta unik ini menggambarkan peralihan kekuasaan dari Akuwu Tumapel Tungul Ametung kepada Arok dengan rekayasa kelicikannya yang sangat masuk akal baginya. Novel ini menceritakan pergulatan seseorang untuk mencapai kekuasaan dengan kemampuan pengorganisasian massa seperti yang dilakukan Arok, yang mengelakkan pergantian kekuasaan yang selalu diawali dengan pertumpahan darah. Pramoedya menunjukkan kemampuannya menggambarkan sejarah lewat novel sejarah ini. Dia seakan mengatakan bahwa sejarah harus ditulis dari sisi lain, tidak hanya dari sisi elite saja. Jelas bahwa novel yang dibuat berdasarkan urutan waktu ini memiliki nilai kesejarahan yang cukup memadai dan memberi semangat untuk pembaca. Menurut Kitab Pararaton atau Katuturanira Ken Arok, Arok adalah penjelmaan kembali seorang yang pada waktu hidupnya di
180 東南亞硏究 21 권 1 호
dunia merupakan seorang yang bertingkah laku tidak baik, tetapi karena ia sanggup dijadkan korban unutk dewa penjaga pintu, maka ia kembali ke Wisnubhawana. Arok dilahirkan di desa Pangkur, sebelah timur Gunung Kawi. Ibunya bernama Endok dan nama ayahnya Gajah Para. Pada waktu Endok hendak memgantarkan makanan untuk suaminya yang sedang bekerja di sawah, ia ditemui oleh dewa Brahma di Tegal Lalateng, sehingga akhirnya Endok mengandung. Dewa Brahma kemudian berpesan kepadanya agar ia tidak mengadakan pertemuan lagi dengan suaminya dan bayi yang dikandungnya itu kelak akan menjadi raja di pulau Jawa, bernama Arok. Belum lima hari sejak peristiwa tersebut suaminya meninggal. Setelah tiba saatnya lahirlah bayi Arok, dan kemudian dibuang oleh ibunya di sebuah kuburan. Bayi Arok yang dibuang itu mempunyai keistimewaan memancarkan sinar. Secara kebetulan pada malam harinya datanglah ke tempat tersebut seorang pencuri bernama Lembong. Arok dibawa ke rumahnya dan dijadikan anak angkat. Setelah dewasa ia mengembara di daerah sebelah timur gunung Kawi dengan penuh petualangan sebagai pencuri, perampok, pembunuh dan pemerkosa wanita. Kejahatan Arok semakin meningkat, sehingga ia dikejar-kejar rakyat Tumapel, bahkan atas perintah raja Daha Akuwu Tumapel pun berusaha unutk melenyapnya dari wilayah Daha. Akan tetapi dalam pengejaran Arok selalu dapat meloloskan diri. Kemudian pada suatu saat Arok diaku anak oleh seorang brahmana bernama Dang Hyang Lohgawe, yang sengaja datang dari Jambudwipa ke Jawa untuk mencari Arok. Pramoedya menggunakan cara flash-back untuk menceritakan latar belakang Arok dalam novel ini. Temu ditemukan oleh Ki Lembung sebagai bayi yang dibuang pada tengah malam oleh
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 181
orang tuanya di gerbang sebuah pura desa Randualas. Keluarga Ki Lembung yang membesarkannya tanpa pamrih. Menginjak umur enam tahun ia sudah terbiasa bergaul dengan kerbau, memandikan dan menggembalakan, menggiringnya ke sawah dengan Ki Lembung memikul garu atau luku di belakangnya. Memasuki umur sepuluh tahun ia mulai membantu bertani. Ki Lembung merupakan seorang wanita mandul. Temu tidak ada teman di rumah. Tempat penggembalaan adalah medan ia bermain dengan temantemannya. Pramoedya menggambarkan bahwa kegesitan, kekuatan, kecerdasan dan kekukuhan yang dimiliki Temu menyebabkan ia hampir selalu keluar sebagai pemenang dalam permainan dan perkelahian. Dengan sendirinya sebagai murid dari pengalamannya ia meningkatkan diri di atas mereka menjadi jago dan pemimpin. Temu dilukiskan Pramoedya sebagai seorang pemuda yang dapat memihak kepada orang yang teraniaya. Dalam pengembaraannya untuk pertama kali ia melihat seorang prajurit Tumapel memasuki rumah penduduk dan merampas kambingnya. Seorang bocah menangisi binatang kesayangannya itu. Hatinya memberontak melihat perampasan itu. Dicurinya seekor anak kambing dan diantarkannya kepada bocah itu. Ia mendapatkan kebahagiaan dengan perbuatan itu. Juga sekali peristiwa ia melihat empat orang prajurit menyeret seorang gadis, dibawa masuk ke dalam hutan. Ia mengerahkan semua temannya dan mengikuti prajurit-prajurit itu, mengganggu mereka, sehingga terpaksa melepaskan korban mereka. Pada suatu hari Temu dan anak-anak desa Randualas menyerang kereta Tumapel yang membawa upeti emas. Tetapi penyerangan itu tidak berhasil. Maka, anak-anak itu terpaksa
182 東南亞硏究 21 권 1 호
buyar melarikan diri, melalui jalan-jalan yang tidak dapat ditempuh oleh kuda. Mereka dikejar pasukan Tumapel. Temu memasuki desa Karangserta. Napasnya sudah hampir putus waktu ia tiba di sebuah ladang. Lima orang bapak-beranak dilihatnya sedang mencangkul. Perajurit-perajurit Tumapel bersorak menyuruh penduduk membantu menangkapnya. Memasuki desa ini Temu pasti tertangkap bila mereka dibantu beramai-ramai. Temu melihat sebatang pacul yang berdiri tidak dipergunakan. Cepat ia ambil dan mulai ikut mencangkul. Suara sorak para prajurit semakin mendekat. Bapak dan empat orang anaknya memperhatikannya, mengerti apa yang sedang terjadi, dan meneruskan pekerjaan mereka seakan tiada terjadi sesuatu pun. Para prajurit pengejar itu memasuki ladang dan memeriksa mereka berenam dan bertanya siapa saja semua itu. Bapaknya menjawab bahwa anak-anak ini anak dia sendiri. Para prajurit itu meneruskan pemburuannya dan tidak kembali lagi. Sebenarnya cangkul yang tidak dipergunakannya itu cangkul anak lain yang disuruh bapaknya pergi mengambil air. Sejak itu Temu diambil anak pungutnya Ki Bango Samparan. Ini bermaksd bahwa Temu merantau lagi ke daerah lain. Ayah angkat ini menyayanginya. Bartahun-tahun Temu tinggal pada keluarga itu. Setiap hari ia bekerja bersama dengan saudara-saudaranya. Tiga tahun kemudian Temu meninggalkan ayah angkatnya, karena saudara-saudaranya kecuali Umang cemburu pada kasih bapak mereka kepada Temu, seorang pendatang yang tidak menentu asalnya. Ki Bango Samparan mengirim Temu kepada Bapa Tantripala di desa Kapundungan yang merupakan guru pertama baginya. Sejak bertemu pertama kali, Tantripala jatuh
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 183
kasih padanya. Dalam perguruan Tantripala, Temu tinggalkan semua temannya. Tantripala secara rahasia mengajar tentang atman dan brahman, bagaimana mencapai keadaan nirwikana, bagaimana menjalankan yogya tantri untuk mendapatkan siddhi (kesaktian), diawali dengan sumpah untuk tidak menyampaikan pada siapa pun. Tantripala menjelaskan antara lain: Kaum brahmana dari aliran lama di Jawa pada umumnya menentang Buddha termasuk yogya dan tantri, aku menganggapnya sebagai ilmu yang bisa dipelajari dan dipergunakan. Tetapi aku tak mau bertikai dengan para brahmana lain, maka tak perlu diketahui mereka. Tetapi untukmu, kau, pemuda penuh harapan, boleh jadi kau membutuhkan untuk pesangon hidupmu. Kalau lebih tepat merebut tempat dalam kasta satria. - - - - - Dan kau, Temu, kau bisa jadi satria karena kemampuanmu. Tingkah lakumu bukan lazim pada seorang sudra, tapi satria. Matamu bukan mata satria, tapi brahmana. Kau patut mendapat kelengkapan secukupnya(Arok Dedes: 65).
Novel Arok Dedes menggambarkan bahwa Arok pertama kali bertemu dengan Dedes pada waktu dia mekakukan kemit di jalanan antara belakang gedung pekuwuan Akuwu Tumapel dan kebun buah yang melingkari pura dalam. Arok terpesona oleh kecantikannya. Keadaan ini dilukiskan Pramoedya bahwa "Angin meniup dan kainnya tersingkap memperlihatkan pahanya yang seperti pualam. Arok mengangkat muka dan menatap Dedes. Dengan sendirinya ekagrata ajaran Tantripala bekerja. Cahaya matanya memancarkan gelombang menaklukkan wanita yang di hadapannya itu.”(Arok Dedes: 248).
184 東南亞硏究 21 권 1 호
Walaupun demikian, sebelum masuk pekuwuan Tumapel Arok sudah lama merencanakan membunuh Tunggul Ametung yang melakukan kezaliman terhadap rakyatnya sendiri. Di samping itu, Dang Hyang Lohgawe dan rekan-rekannya mengambil keputusan untuk memasukkan Arok ke pekuwuan supaya dia dapat menggulingkan Tunggul Ametung. Ini bermaksud bahwa Pramoedya menguraikan kecantikan Dedes itu tidak merupakan alasan bagi Arok untuk membunuh Tunggul Ametung. Pemberontakan dan kudeta Arok terhadap Tunggul Ametung dapat dikatakan unik dan penuh rekayasa kelicikan, karena Arok sendiri berhasil menunjukkan kesan bahwa dia tidak terlibat dalam pembunuhan Tunggul Ametung, dan kekuasaannya diakui oleh keluarga Tunggul Ametung dan pihak Kediri. Dalam kaitan ini, Pramoedya menceritakan kisah mempersatukannya Panjalu dan Janggala tanpa pertumpahan darah. Dengan berbuat demikian, Pramoedya bermaksud menekankan peralihan kuasa dengan tidak menetes darah dirinya sendiri. Sangat masuk akal Pramoedya menggambarkan Arok sebagai satria yang tidak langsung membunuh Akuwu, melainkan dengan kelicikannya membuat Kebo Ijo yang melaksanakannya. Pada waktu Arok menjadi Akuwu, dia hendak memperlihatkan sikap yang sehalus mungkin. Ini karena keterkaitan antara kehalusan dan kuasa telah tampak; kuasa adalah penghubung esensial antara manusia secara alami dan sang satria halus dalam mitologi wayang dan etika priayi. Dalam legenda dan sejarah kerakyatan Jawa, satria kecil dan halus hampir selalu mengalahkan raseksa, buta dan orang kasar dari seberang(Anderson 1990: 51). Anderson menjelaskan bahwa kekuasaan adalah konkret dalam tradisi Jawa. Ini adalah rumusan pertama dan terutama dalam
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 185
pemikiran politik Jawa. Kekuasaan adalah sesuatu yang nyata ada, tidak bergantung pada pihak-pihak yang mungkin menggunakannya. Kekuasaan bukanlah suatu postulat teoretis melainkan suatu kenyataan eksistensial. Dalam pemikiran tradisional Jawa tidak ada pemisahan yang tegas antara bendabenda hidup dan tak-hidup, karena semuanya ditopang oleh kekuasaan tak-tampak yang sama. Kedua, kekuasaan adalah homogen. Hal ini mengikuti konsepsi bahwa seluruh kekuasaan sama jenisnya dan berasal dari sumber yang sama. Kekuasaan di tangan satu individu maupun kelompok adalah sama dengan yang berada di tangan individu atau kelompok yang lain. Ketiga, besarnya kekuasaan di dalam semesta adalah konstan. Dalam pandangan Jawa, jagat raya tidaklah berkembang ataupun menyusut. Jumlah total kekuasaan di dalamnya pun selalu tetap. Karena kekuasaan semesta ada, bukan merupakan produk dari organisasi, kekayaan, persenjataan atau apa pun yang lain. Dalam teori politik konsepsi ini sangat penting karena konsentrasi kekuasaan pada satu tempat memerlukan penyusutan yang sepadan dari tempat lain. Keempat, kekuasaan tidaklah mempertanyakan keabsahan. Karena seluruh kekuasaan diturunkan dari sumber tunggal yang homogen, kekuasaan itu sendiri mengatasi pertanyaan baik-buruk. Bagi pemikiran Jawa tidak ada artinya mempertanyakan klaim untuk memerintah membedakan sumber kekuasaan.(Anderson 1990: 22-23). Penceritaan Pramoedya terhadap kudeta Arok dalam novel ini sebenarnya tidak bermaksud untuk mengulangi cerita yang sudah tercantum dalam beberapa kitab lama, melainkan ia ingin membawa masa lampau kepada angkatan muda supaya mereka dapat mengalami hakikat masa silam yang sebenar. Perumpamaan
186 東南亞硏究 21 권 1 호
tentang kenyataan yang sungguh terjadi sebagai kebenaran hulu, yang lewat pengalaman batin dan imajinasi pengarang ditransformasikan menjadi kebenaran hilir karya sastra sangat mempesona. Membaca sastra tidak lain dari membaca kebenaran hilir, kemampuan batin dan daya imajinasi pengarangnya. Dengan demikian Pramoedya memeparkan kecintaannya yang mendalam terhadap tanah airnya. Dalam pada itu, watak utama Arok merantau untuk mencapai beberapa matlamat yang diidamkannya. 4. Minke dalam Bumi Manusia: penyuluhan Bangsa Tetralogi Bumi Manusia dapat dianggap sebagai novel sejarah Indonesia yang mengandung wawasan baru. Dalam karya itu, Pramoedya menyentuh beberapa hal yang belum pernah dibicarakan sastrawan Indonesia lainnya. Ia begitu gamblang memaparkan pandangan mengenai citra pemberontakan atas kekuasaan kolonial, warisan budaya bangsa, gerakan kebangkitan bangsa di Tanah Air, dan peranan wanita dalam peralihan zaman. Namun, seperti karya-karya yang dihasilkan sebelum Pramoedya diasingkan ke Pulau Buru, humanisme tetap merupakan dasar dan latar belakang pemikirannya. Dalam sebagian besar karyanya terdahulu, Pramoedya menceritakan masalah individu manusia yang diilhami oleh peristiwa-peristiwa yang dialaminya sendiri. Dalam tetralogi itu, ia mengolah masalah manusia sebagai warga dunia dan masalah warisan budaya yang berkaitan dengan masa depan bangsa. Kenyataan ini membuktikan bahwa pemikirannya dalam tetralogi itu lebih matang dan lebih luas dari masa sebelumnya. A. Teeuw beranggapan, bahwa karya itu adalah karya yang mempesona, matang dan arif, hasil dari sebuah kajian
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 187
yang mendalam, dan lancar (mulus) dalam struktur. Dikatakannya pula, bahwa karya itu menampilkan kelahiran manusia Indonesia modern melalui penderitaan ganda: perpisahan pahit dengan dunia feodal, tradisi Jawa dan penghinaan konfrontasi terhadap sistem kolonial dalam wajah aslinya yang jahat.6 Tokoh utama dalam tetralogi Bumi Manusia adalah Minke. Tokoh rekaan Pramoedya ini dicipta untuk mengungkapkan kesengsaraan rakyat pribumi dan citra pemberontak terhadap kekuasaan kolonial, warisan budaya yang menjadi hambatan, dan gerakan nasionalisme di Tanah Air. Minke adalah seorang pribumi asli yang lahir dari keluarga priayi yang mendapat pendidikan Eropa di HBS Surabaya. Sebagai seorang anak bupati menurut undang-undang Belanda, Minke memperoleh kesempatan belajar di HBS. Menurut adat, dapat dipastikan, Minke adalah calon bupati, karena jabatan bupati diterima turun-temurun. Keadaan seperti ini, menempatkan Minke pada kedudukan yang dihormati, baik di kalangan masyarakat Jawa, maupun pemerintah kolonial Belanda. Melalui pendidikan dan pergaulan dengan orang-orang yang berpandangan liberal dan rasional, Minke pun berubah menjadi orang yang menyadari keadaan bangsanya dan berusaha mengatasi masalah-masalah yang bersumber dari tradisi budaya. Dalam struktur masyarakat Jawa pada abad ke-19, keadaan Minke dapat diterima karena kedudukan bupati pada mulanya memang digunakan pemerintah kolonial Belanda, berdasarkan kenyataan bahwa bupati dipandang sebagai pemimpin aristokrasi yang disahkan dan diperlukan rakyat. Oleh karena itu, bupati
6
A. Teeuw, 1980, “In Indonesische Gevangenschap Geschreven” dalam de Volkskrant, 25 Oktober.
188 東南亞硏究 21 권 1 호
“dimanfaatkan” oleh pihak Belanda. Maka, Minke menolak mentah-mentah untuk dianggap sebagai calon bupati yang akan menggantikan kedudukan ayahnya kelak. Bagaimanapun, untuk memahami tokoh Minke secara menyeluruh, tidaklah cukup jika membandingkannya dengan tokoh R.M. Tirto Adhisoerjo. Perbandingan itu harus dilengkapi pula, setidak-tidaknya, dengan tokoh sejarah lain, yaitu Pramoedya Ananta Toer sendiri. Ketiga tokoh itu membentuk segi tiga yang dinamik dan terkait secara sosial-historis. Ketiganya memiliki sejumlah kemiripan: orang Jawa yang lahir di Blora, hidup berkarier di Betawi, bersikap tegar, pemberani, nasionalis, pembela rakyat kecil, berkali-kali dihukum oleh penguasa, penulis produktif dan lain-lain. Minke dapat dikatakan sebagai tokoh utama yang kontradiktif. Latar belakang keturunan Jawa tradisional sebenarnya mempunyai sifat-sifat khas yang bertentangan dengan latar belakang pendidikan Eropa yang liberal. Maka, Minke adalah pribadi yang berdiri pada titik pertemuan dua latar belakang kebudayaan yang berkonfrontasi itu. Di antara kedua latar belakang budaya tersebut, Minke sendiri merasa risau. Tetapi Minke didorong ke jalan yang tepat dengan pertolongan beberapa orang yang bersikap liberal dan rasional. Di antaranya, pada awal perkembangan novel itu, Nyai Ontosoroh boleh dikatakan adalah orang yang paling mempengaruhi Minke supaya menjadi insan yang bersikap lebih terbuka. Dengan kata lain, Minke membuka mata terhadap kepentingan ilmu pengetahuan Barat melalui percakapan dengan si Nyai. Maka, Nyai Ontosoroh merupakan katalisator untuk menyadarkan apa yang diperlukan Minke. Dengan demikian, pertemuan antara Minke dengan Nyai Ontosoroh amatlah bermakna dalam novel ini.
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 189
Jiwa Minke sangat tersiksa ketika ia hendak melepaskan diri dari adat bangsanya. Dalam pada itu, ibu kandungnya selalu berusaha mengingatkan supaya tidak lupa kepada adat istiadat nenek moyang serta keyakinan diri sebagai keturunan priayi yang terhormat. Desakan seperti ini membuat Minke berhadapan dengan konflik, karena pendidikan sistem Barat telah menyadarkannya bahwa ada tradisi budaya bangsanya yang menjadi halangan bagi kemajuan. Kenyataan ini menunjukkan konflik Minke yang berada di persimpangan antara sosok jati diri yang berdarah daging Jawa dan cita-cita tinggi yang berorientasikan ilmu pengetahuan Barat. Namun, Minke terus berusaha untuk menegakkan jati dirinya sebagai orang Jawa. Dalam tetralogi ini Minke digambarkan sebagai perintis pergerakan nasional di Indonesia. Pengarangnya coba membuat penafsiran baru tentang sejarah nasional Indonesia. Selama ini, Budi Utomo (1908) dianggap sebagai organisasi pribumi yang modern dan pertama serta yang bersemangat nasional. Tetapi, dalam karya ini Syarikat Priayi (1906) dianggap sebagai organisasi modern pribumi yang pertama. Dalam karya Pramoedya itu, Budi Utomo merupakan organisasi priayi di Jawa. Budi Utomo diceritakan sebagai kesinambungan kekuasaan pemerintah kolonial yang lebih banyak menguntungkan kepentingan penjajah daripada kepentingan kaum pribumi yang terjajah. Pramoedya tidak setuju pada pandangan bahwa kesadaran nasional dimulai oleh para calon priayi dan priayi. Penyebabnya adalah karena mereka lebih banyak berperanan sebagai perantaraan golongan menengah bagi tujuan melindungi kepentingan mereka. Sebenarnya ruang lingkup aktivitas Budi Utomo terbatas pada gerakan kultural; itu pun terbatas bagi orang
190 東南亞硏究 21 권 1 호
Jawa dan Madura. Jadi, organisasi ini didirikan tanpa desakan politik yang praktis, seperti menuntut kemerdekaan atau mempersoalkan keabsahan kolonialisme misalnya. Bahasa pengantar yang digunakan Budi Utomo juga bahasa Jawa dan Belanda. Sebaliknya Syarikat Priayi dan Syarikat Dagang Islam (1909) yang sama-sama dirintis oleh tokoh Minke adalah organisasi modern pribumi yang bercorak nasional. Dari segi wawasan dan semangat, Syarikat Priayi lebih maju daripada Budi Utomo. Syarikat Priayi menggunakan bahasa Melayu (induk bahasa Indonesia sekarang), dan keanggotaannya tidak terbatas pada suku Jawa dan Madura saja.7 Kenyataan ini membuktikan, Minke digambarkan sebagai perintis pergerakan nasional yang memihak rakyat pribumi. Dalam tetralogi Bumi Manusia, Minke merantau juga ke Surabaya supaya mengikuti sekolah Belanda HBS, dan kemudian ke Batavia untuk bersekolah STOVIA, yaitu sekoleh kedoktoran. Perantauan Minke dalam novel ini berarti juga karena unsur ini penting untuk penggambaran watak yang berwawasan tinggi. Akhirnya Minke tidak melanjutkan pelajaran di STOVIA, dan kemudian dia berkecimpung dalam gerakan nasional Indonesia. Dengan perkataan lain, Minke berhajat menjadi seorang doktor yang berdimensi tinggi, yang dapat menyembuh kesakitan bangsa. Melalui karyanya itu, Pramoedya berhasil mengungkapkan masalah sosial yang tidak disentuh pengarang novel sejarah
7
Akira Nagazumi juga secara tajam mengemukakan bahwa pada tahap tertentu lahirnya dunia pergerakan bersamaan dengan perkembangan Sarekat Islam. Lihat Akira Nagazumi, 1967. “The Origin and the Earlier Years of Budi Utomo 1908-1918,” disertasi Ph.D. Cornell University, hlm. 324.
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 191
Indonesia yang lain, dan juga telah menyadarkan masyarakat tentang keserakahan kekuasaan penjajah. Tokoh utama Minke memang berhasil digambarkan sebagai tokoh besar dan sekaligus sebagai manusia biasa. Minke dilukiskan sebagai tokoh perintis yang bertungkus lumus dan terlibat sepenuhnya dalam usaha untuk menyadarkan bangsa. Selain itu, pemikiran Minke tentang “manusia merdeka” adalah penemuan penting yang menggerakkannya untuk menghimpun massa dalam sebuah organisasi modern dalam usaha melawan penindasan penjajah dan penindasan kaum pangreh praja (penguasa daerah). Orang-orang demikian adalah para usahawan dan pedagang yang tidak hidup dari gaji pemerintah, tetapi menghidupi diri sendiri dengan kegiatan dan produktivitasnya. Hanya golongan itulah yang mampu berdiri sendiri. Obsesi utama tokoh-tokoh ini adalah penderitaan rakyat, terutama petani. Penderitaan dalam bentuk kemiskinan, penindasan dan kebodohan adalah akibat tekanan penjajah di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial dan juga pangreh praja pribumi. Pramoedya menafsirkan bahwa rakyat yang tertindas, miskin dan bodoh ini tidak akan mampu melepaskan diri dari keadaan itu, kecuali jika bersama-sama menyatukan diri dalam bentuk organisasi modern di mana semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Untuk itu, Pramoedya menekankan pentingnya peranan suratkhabar pribumi sebagai satu sarana yang dapat membangkitkan kesadaran nasional.
192 東南亞硏究 21 권 1 호
5. Gadis Pantai dalam Gadis Pantai: dijadikan mangsa budaya Jawa
Gadis Pantai merupakan salah sebuah novel yang tidak selesai(unfinished novel), yang dihasilkan oleh Pramoedya. Sebelumnya cerita ini pernah dimuat di Bintang Timur sebagai cerita bersambung. Dua buku lanjutan Gadsi Pantai raib ditelan keganasan kuasa pemerintah Orde Baru Indonesia gara-gara vandalisme dan kepicikan pikir mereka. Novel ini menggambarkan kehidupan seorang gadis kampung nelayan yang berumur empat belas tahun di pantai utara Jawa yang terpilih oleh Bendoro Rembang sebagai istri sementaranya. Tokoh utama, yaitu Gadis Pantai digambarkan sebagai teman seranjang, bukan teman hidup Bendoro, yang menunggu perkawinan dengan wanita priayi yang sederajat dengannya. Novel ini mengisahkan tentang perikehidupan seorang gadis belia yang dilahirkan di sebuah kampung nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten Rembang, yang merupakan kampung halaman ibunya Pramoedya. Gadis Pantai adalah seorang gadis yang manis. Dia cukup manis untuk memikat hati seorang pembesar santri setempat yang bekerja untuk Belanda. Dia diambil sebagai istri sementara oleh pembesar tersebut dan menjadi perempuan yang melayani kebutuhan seks laki-laki sampai kemudian dia memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas dengannya. Gadis Pantai tidur dengan Bendoro, dan membantu mengurus kompleks keresidenan, kandang-kandang, dan bahkan sebuah mesjid. Perkawinan itu memberikan semacam wibawa kepadanya di kampung halamannya karena dia dipandang telah dinaikkan derajatnya. Bendoro, seorang Jawa yang telah
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 193
memilikinya, tega membuangnya, setelah Gadis Pantai melahirkan seorang bayi perempuan (Pramoedya 2003: 6). Kisah ini hasil imajinasi Pramoedya sendiri tentang neneknya dari pihak ibu, yang mandiri dan dicintai cucunya. Walaupun fiksi atau imajinasi, kisah dan tokoh-tokoh Pramoedya selalu berkait atau diangkut dari kenyataan dan pengalaman sejarah sosialbudaya manusia Indonesia. Teeuw juga menjelaskan bahwa berdasarkan tema pokoknya, buku ini dapat disebut novel sosialkritis tentang nasib gadis rakyat biasa yang dihadiahi untung baik menjadi teman ranjang seorang priayi dan melahirkan anak serta tentang kesewenang-wenangan yang terakhir dan ketakberdayaan yang pertama. Namun, kritik tentang pembagian kekuasaan yang tak merata, tentang kemiskinan dan kekayaan, tentang tirani dan korbannya itu, sama sekali tidak disajikan dalam gambar realistis tentang kekayaan sosial(Teeuw 1997: 218). Dalam pada itu, watak Bendoro memperlihatkan citra priayi Jawa yang bersifat feodal. Sebenarnya dia merupakan suatu stereotip priayi yang sangat keras dalam mempertahankan aturan-aturan yang suci, kewibawaan yang tidak boleh diganggu gugat, kekuasaan yang mutlak. Barang siapa berdosa terhadapnya atau melanggar peraturannya tak dapat tidak dihukum keras. Perlawanan, penentangan, protes, tetapi juga penerimaan, pengampunan, kerelaan mustahil. Seorang atau apa pun tidak boleh menembus kesunyian dalam gedung besar Bendoro, mengganggu ketenteramannya, mengancam keamanannya(Teeuw 1997: 219). Dalam novel Gadis Pantai, tokoh Bendoro mewakili golongan priayi Jawa. Sebagaimana disebutkan di atas, Bendoro mengambil
194 東南亞硏究 21 권 1 호
Gadis Pantai untuk dijadikan teman seranjangnya saja. Dan, sesudah Gadis Pantai melahirkan anaknya, dia langsung diusir oleh Bendoro. Teeuw menjelaskan bahwa terdapat pertentangan dalam novel ini antara Bendoro selaku wakil kelas priayi melawan Gadis Pantai sebagai wakil rakyat(wong cilik): kekuasaan melawan ketidakberdayaan. Lambang khas kekuasaan itu ialah keris: pada upacara nikah, Bendoro sendiri tidak hadir, diwakili oleh kerisnya. Pertentangan primer itu sebenarnya bertepatan dengan, atau menjelma lagi dalam pertentangan lain: stratifikasi sosial dalam kota melawan kesamarataan dalam kampung; kota yang merusakkan segala sesuatunya melawan kampung di mana segalanya baik-baik saja(Teeuw 1997: 222-223). Pramoedya menggambarkan Gadis Pantai sebagai tokoh yang tidak berdaya sama sekali dalam menghadapi pertentangan tersebut. Dalam pada itu, misalnya dalam tetralogi Bumi Manusia, Pramoedya mengkritik sikap priayi yang tidak menggubris nasib perempuan, tetapi menunjukkan sikap feodal dan memperhatikan kepentingan dirinya sendiri. Beberapa novel yang terbit semasa Orde Baru menunjukkan suasana yang tidak banyak berbeda, yaitu memaparkan nasib perempuan dalam masyarakat Jawa pada masa pasca-kolonial. Gadis Pantai digambarkan sebagai seorang perempuan yang berpegang teguh kepada kepercayaannya. Walaupun dia terpaksa menikah dengan Bendoro, Gadis Pantai tetap mencurahkan sikap yang tidak feodal lagi. Tingkah lakunya dipaparkan seperti: “Dan ia tak juga dapat mengerti, benarkah ia menjadi jauh lebih bersih karena basuhan air wangi?”(Gadis Pantai: 23); “Jangan mempergunakan sahaya itu mBok.”(Gadis Pantai: 32); “Ia merasai adanya jarak yang begitu jauh, begitu dalam antara
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 195
dirinya dengan wanita yang sebaik itu yang hampir-hampir tak pernah tidur menjaga dan mengurusnya, selalu siap lakukan keinginannya, selalu siap terangkan segala yang ia tak faham, bisa mendongeng begitu memikat tentang Joko Tarub, dan bisa mengusap bahunya begitu sayang bila siap hendak menangis. Hatinya memekik: mengapa aku tak boleh berkawan dengannya? Mengapa ia mesti jadi sahaya bagiku? Siapakah aku? Apa kesalahan dia sampai harus jadi sahayaku?”(Gadis Pantai: 32); “Apakah Bendoro lebih berkuasa daripada laut, sampai bapak melarikan diri? Dua abangnya telah tewas ditelan laut, mereka tidak pernah lari. Bapak pun tak pernah lari. Mengapa dia sekarang lari? Ia sendiri pun tak pernah lari. Mengapa takut pada Bendoro? Mengapa? Bapak lebih kukuh dan kuat dari Bendoro. Bendoro bertubuh tinggi langsing, berwajah pucat, kulitnya terlalu halus, ototnya tak berkembang. Mengapa semua orang takut? Juga diriku?”(Gadis Pantai: 34). Sebagaimana disebutkan tadi, Gadis Pantai hanya menjadi teman seranjang saja bagi Bendoro. Seperti tokoh Sanikem dan Surati yang muncul dalam tetralogi Bumi Manusia, Gadis Pantai juga dijual kepada Bendoro. Hakikat ini menunjukkan bahwa sebagian golongan priayi meremeh-temehkan nasib seorang perempuan yang berasal dari golongan wong cilik. Gadis Pantai harus bersaing dengan Mardinah yang merasa jauh di atas Gadis Pantai yang selalu merasa dihina dan terancam olehnya. Sebenarnya Mardinah dititipkan oleh istri bupati Demak yang sangat jengkel, sebab Bendoro Rembang masih tetap belum kawin dengan yang sederajat; wanita itu memainkan jarumnya lewat Mardinah untuk menyingkirkan Gadis Pantai. Sikap golongan priayi seperti ini digambarkan Pramoedya seperti berikut.
196 東南亞硏究 21 권 1 호
“Mengapa tidak? Di kampung kami pria dan wanita samasama bertemu.” Nampak bujang itu merasa kasihan kepada Gadis Pantai. Pengalaman selama ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan dan kaum Bendoro di daerah Pantai. Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dari karat kebangsawanan yang setingkat. Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan istri dari karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan – itu penghinaan bila menerimanya(Gadis Pantai: 62-63).
Berbeda dengan tokoh-tokoh yang lain, seperti Hardo dalam
Perburuan, Waranggaleng dalam Arus Balik, Arok dalam Arok Dedes, dan Minke dalam tetralogi Bumi Manusia, gadis Pantai dalam Gadis Pantai terpaksa merantau ke daerah asing, karena dijual kepada Bendoro. Seperti dijelaskan di atas, Gadis Pantai menjadi mangsa nilai negatifnya budaya bangsa Jawa. Tanggapan Gadis Pantai terhadap budaya membeli perempuan memberi kesan yang istimewa. Dapat dikatakan bahwa tanggapan Gadis Pantai adalah tidak lain tanggapan dan pemikiran Pramoedya sendiri terhadap budaya bangsanya. Dalam beberapa karya novelnya termasuk tetralogi Bumi Manusia, Pramoedya mengkritik sikap pseudo-priayi yang menyeleweng dari dimensi umum kepercayaan golongannya. Tokoh Bendoro memberi citra seorang priayi yang negatif, misalnya dia mengambil Gadis Pantai sebagai seorang istri sementara saja. Sebenarnya ada tiga faktor utama yang menjiwai kehidupan priayi, yaitu etiket, seni, dan praktek mistik. Ketiga faktor ini merupakan usaha berurutan dari
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 197
praiyi selagi ia bergerak dari permukaan pengalaman manusia menuju ke dalamnya, dari aspek luar kehidupan ke aspek dalamnya. Di antaranya, etiket, polesan kelakuan antar-orang menjadi adat yang pantas dalam pergaulan, memberikan formalitas kerohanian kepada kelakuan sehari-hari, disiplin rangkap atas pikiran dan badan, mengisyaratkan arti penting yang dalam pada gerak-gerik luar(Geertz 1989: 319). Dalam pada itu, Gadis Pantai menunjukkan sikap yang tegas terhadap ketidakadilan budaya yang sampai menyerahkan anak perempuannya kepada pembesar daerah seperti berikut. “Setelah labih dari dua tahun tinggal di gedung, tahulah aku, kami cuma punya kemiskinan, kehinaan dan ketakutan terutama pada orang kota. Di kampung kami tahu benar tepung udang dibayar sebenggol, padahal mestinya empat sen. Itu tidak layak, tidak adil. Tapi lihatlah diriku ini. Bukan lagi tepung udang. Manusia! Aku tak bisa dipungut begitu saja dari kampung, disimpan di dalam gudang. Kau, kau orang kota, apa yang kau tahu tentang orang kampung?”(Gadis Pantai: 129-130).
Semacam pemberontakan Gadis Pantai dilanjutkan seperti: “Ah, bapak aku cuma ingin diperlakukan seperti dulu. Pukullah aku kalau aku bersalah. Tapi jangan tabarkan hatiku semacam ini. Apa tak cukup penanggunganku di kota? Apa kurang banyak yang kuberikan buat penuhi keinginan orang tua jadi bini priayi? Mengapa sesudah seumur ini bapak sendiri bersikap begitu? Dan emak hampir-hampir tak mau bicara padaku? Apa dosaku?” (Gadis Pantai: 150). Kalau dibandingkan dengan nasib Sanikem yang menjadi Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia, nasib Gadis Pantai juga tidak berbeda sahaja, yaitu nasib yang diserahkan kepada pembesar. Dalam pada itu, Gadis Pantai memberi kesan
198 東南亞硏究 21 권 1 호
penolakan yang lantang terhadap ketidakpatutan sikap kalangan priayi yang mengabaikan tugas sebagai orang tua bagi bayi yang baru lahir. Sikap seperti ini berpunca dari kesadaran Gadis Pantai sendiri. Adegan berikut menunjukkan citra penolakan yang tersebut di atas. “Seribu ampun, sahaya datang buat serahkan anak sahaya ini, anak sahaya sendiri, bukan anak orang lain, Bendoro. Terimalah dia Bendoro.” “Letakkan di ranjang!” “Tidak mungkin, tuan.” “Kau tak dengar perintahku?” “Sahaya ini emak si bayi. Kalau bapaknya pun tak mau, apa pula merawatnya, Bendoro. Sebaiknya sahaya bawa pulang ke kampung.” “Murkailah sahaya ini, Bendoro. Bayi bukan perhiasan, bukan cincin,bukan kalung yang bisa dilemparkan pada setiap orang.” Gadis Pantai mengangkat muka, menantang mata Bendoro. Perlahan-lahan ia berdiri tegak dengan bayi dalam gendongannya. “Ayam pun bisa membela anaknya, Bendoro. Apalagi sahaya ini – seorang manusia, biarpun sahaya tidak pernah mengaji di surau(Gadis Pantai: 224).
Akan tetapi, Gadis Pantai tidak berdaya untuk membawa anaknya ke kampung halamannya. Dia diusirkan oleh Bendoro dengan tangan kosong. Dalam pada itu, terdapat juga pandangan dunia Jawa, yaitu kepercayaan akan takdir yang terkandung bahwa hidup manusia sejak semula dari segi titik-tolak, kemungkinan-kemungkinan perealisasian diri dan pengakhirannya sudah ditetapkan dan tidak ada yang bisa mengelakkan ketetapan itu. Setiap orang mempunyai tempatnya yang spesifik yang sudah ditakdirkan baginya dan daripadanya ia tidak bisa pergi. Melawan
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 199
nasib tidak ada gunanya. Menentang nasib hanya akan mengacaukan kosmos, dan kekacauan itu hanya bisa dinetralisasikan dengan macam-macam pengalaman yang kurang enak bagi semua(Suseno 1988: 135-136). Dalam konteks ini, ayahnya Gadis Pantai menghiburkan anaknya dengan mengatakan bahwa “Nasib kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priayi.”(Gadis Pantai : 226). Dengan demikian, Gadis Pantai merantau kembali untuk melepaskan keadaan yang menekan kehidupannya. 6. Midah dalam Midah - Si Manis Bergigi Emas: mengabulkan hasratnya Tokoh Midah dalam Midah-Si Manis Bergigi Emas juga mendedahkan citra yang istimewa. Midah digambarkan sebagai wanita muda yang terus-menerus menjadi korban ketamakan laki-laki. Nasib Midah tidak banyak berbeda dengan nasib Sanikem dan Gadis Pantai dalam urusan perkawinan. Midah dinikahkan dengan laki-laki pilihan ayahnya, dan syaratnya lakilaki itu berasal dari Cibotak, berharta, dan to’at kepada agama. Setelah tiga bulan perkawinan, Midah lari dari lakinya, Haji Terbus, dengan membawa beban hamil karena tahu Haji Terbus memiliki banyak bini. Ia terseret di tengah rimba jalan kota Jakarta tahun 50-an. Sebagai anggota rombongan pengamen, Midah selalu diganggu oleh teman lelakinya, pertama oleh anak muda, kemudian setelah ia melahirkan anaknya oleh pemimpin rombongan. Kemudian seorang agen polisi mengecewakan Midah karena dia menganggap percintaan antara mereka dapat
200 東南亞硏究 21 권 1 호
dipercayai. Akan tetapi agen polisi itu lebih mementingkan hawa nafsu daripada cinta. Pramoedya menggambarkan Midah sebagai seorang wanita yang begitu kuat untuk bertahan hidup. Pramoedya ingin memaparkan kekuatan seorang wanita berjiwa dan berpribadi kuat melawan ganasnya kehidupan. Midah menunjukkan citra seorang wanita yang nekad berusaha untuk mengabulkan cita-citanya. Midah yang punya bakat menyanyi sanggup melepaskan kenyamanan di rumah dan keluar dari rumah menuju ke Jakarta, kemudian dia mendapat kerja sebagai pengamen keroncong yang disukainya. Musik adalah segala-galanya baginya. Midah menganggapnya seperti: “kebebasan tanpa ikatan apapun jua dalam pengabdian pada keroncong” (Midah-Si Manis Bergigi Emas: 36), “Ah itu musik! Itu lagu! Itu keindahan! Itu kebebasan, keriangan, kebahagiaan-terkurung dalam ketumpulan manusia yang tergilas nafsu-nafsunya” (Midah-Si Manis Bergigi Emas: 29). Selain itu, Midah yang mengandung anak Ahmad terpaksa pulang kepada orang tuanya, tetapi ia menyadari bahwa tidak mungkin ia tinggal di rumah itu sesudah anak haramnya lahir. Ia berangkat lagi ke Jakarta dan memulai karier yang sangat berjaya sebagai penyanyi. Dari sikap Midah yang tidak menyerah diri, dapat diketahui hakikat bahwa Pramoedya hendak menciptakan tokoh yang bangkit dalam suasana yang menderita. Dengan demikian cerita ini dapat juga dibaca sebagai pengaduan atas kekuasaan kaum lelaki serta kesewenang-wenangannya dalam masyarakat Indonesia. Pramoedya dalam karya sastra ini membawa wanita dalam kedudukan sosialnya lemah, yang akhirnya mengatasi masalah yang dihadapinya. Sekaligus menariklah dan unik dalam karya Pramoedya bahwa Midah,
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 201
betapa pun banyaknya yang harus dikorbankan, memperoleh kebebasan dalam kesenian. Motif ini: seni yang membebaskan dan membahagiakan, bahkan memberikan pertahanan final terhadap segala ketidakadilan dan malapetaka, meresap seluruh cerita ini (Teeuw 1997: 202). Bagaimana pun Pramoedya tidak gagal juga untuk menunjukkan budaya priayi yang negatif dalam novel ini. Pramoedya sangat peka terhadap kekalahan bangsanya tang berpunca dari kelemahan warisan budaya bangsa sendiri. Dalam pada itu, dia berpendapat bahwa melepaskan beban sejarah yang tidak bermanfaat adalah salah satu jalan untuk memajukan bangsa yang pernah mempunyai sejarah yang gemilang, karena warisan budaya yang membebani itu membawa penderitaan kultural yang berkepanjangan(Koh Young Hun 2005: 222). Anderson juga mengatakan bahwa “Like Poerbatjaraka, though in a very different style, Pramoedya Ananta Toer was, and is, a rebel against the Javanese culture he imbibed as a child and young man. So far as I know, he has never published a page in the language of his childhood home; but this does not mean that Java and its culture are ever very far from his mind.”(Anderson 1990: 218). Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa Midah dalam Midah-si Manis Bergigi Emas bepergian atau merantau untuk berjuang meraih jati dirinya sebagai seorang wanita.
Ⅲ. Kesimpulan Perlu ditegaskan bahwa pemikiran umum dalam pengkaryaan Pramoedya adalah perikemanusiaan. Pramoedya berusaha
202 東南亞硏究 21 권 1 호
mewujudkan misinya lewat pengalaman konkrit seseorang. Satu benang merah yang ditetapkan adalah perikemanusiaan. Sebagian besar karya novel memaparkan pemikiran dasar ini melalui tokoh-tokoh yang diciptakannya. Misalnya, melalui tingkah laku dan tabiat tokoh-tokoh dalam novel Gadis Pantai, Midah-Si Manis Bergigi Emas, Perburuan, Keluarga Gerilya, dan tetralogi Bumi Manusia, dapat diperlihatkan pandangan Pramoedya ini. Jakob Sumardjo pun berpendapat bahwa masalah-masalah yang dikupasnya adalah masalah-masalah dasar manusia: kecintaannya pada keluarga dan bangsa, kebenciannya pada kebatilan sesama, kebahagiaan dan cacat-cacatnya. Semua itu dia tuangkan dalam bentuk fiksi yang padat, kaya dengan pengalaman manusia, menarik dan mengharu biru rasa kemanusiaan kita (Jakob sumardjo 1983: 64). Pramoedya memandang berat terhadap budaya bangsa yang tidak menguntungkan, misalnya sikap golongan priayi yang mengamalkan pentingnya satu jabatan serta penyalahgunaan kekuasaan mereka. Menurut Niel, penyelewengan kekuasaan oleh sejumlah priayi telah demikian berkembang, sehingga terjadilah penderitaan yang luas di kalangan rakyat biasa (Niel 1984: 42). Dalam konteks ini Pramoedya memaparkan besarnya peranan perempuan atas citra-citra perempuan, khususnya perempuan Jawa, dalam berhadapan dengan sistem nilai kalangan priayi yang feodal. Sejak awal Pramoedya beranggapan bahwa perempuan telah menanggung beban yang paling berat atas sistem nilai tersebut. Tokoh Nyai Ontosoroh ditampilkan Pramoedya sebagai tokoh yang melihat beban dan subordinasi itu menjadi energi untuk membangun kekuatan. Gadis Pantai dan Midah dalam novel Gadis Pantai dan Midah-Si Manis Bergigi Emas masing-masing
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 203
memaparkan sikap berjuang atau memberontak terhadap ketidakadilan budaya priayi yang feodal. Pramoedya mengembara dari dunia kekecewaan ke dunia hasrat. Dengan perkataan lain, ia mengkarya novel untuk mengejar impiannya yang menggunung. Baginya dunia kekecewaan adalah dunia kenyataan yang menjadi hambatan, sedangkan dunia hasrat adalah dunia impian yang memberi harapan dan semangat. Kedua dunia bertentangan ini membuat Pramoedya merasa sengsara, dan sekaligus memberinya semangat untuk melawan kesengsaraan itu. Dunia rekaan Pramoedya merupakan satu mimpi yang dijelmakan untuk memenuhi hasratnya, yaitu penjelmaan kemanusiaan, selain dapat memajukan bangsanya dengan menolak warisan budaya yang menjadi hambatan. Dengan demikian pengembaraan Pramoedya yang tersirat dalam karya-karya novelnya dapat dikatakan adalah satu perantauan metafizikal.
204 東南亞硏究 21 권 1 호
Anderson, Benedict R. O’G. 1990. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press. Anderson, Benedict R. O’G. 1982. “Sembah-Sumpah, Politik bahasa dan Kebudayaan jawa”. Prisma 11. November. B. Simorangkir-Simandjuntak. 1961. Kesusastraan Indonesia. Jakarta: Pembangunan Dahma Bernhard. 1988. Sejarah Indonesia Abad Kedua Puluh(terjemahan Abd. Aziz Hitam). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Goenawa Mohamad. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus. Jakob Sumardjo. 1983. Pengantar Novel Indonesia. Jakarta: Karya Unipress. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Niel, Robert van. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia(terjemahan Ny. Zaharah Deliar Noer). Jakarta: Pustaka Jaya. Parnikel, Boris. 1981. “Roman yang ditulis di Pulau Buru” dalam Inostrannya Literatura, No. 8, (terjemahan Koesalah Soebagyo Toer). Pramoedya Ananta Toer. 2003. Midah-Si Manis Bergigi Emas. Jakarta: Lentera Dipantara. Pramoedya Ananta Toer. 2000. Gadis Pantai. Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 1999. Arok Dedes. Jakarta: Hasta Mitra.
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 205
Pramoedya Ananta Toer. 1995. Arus Balik. Kuala Lumpur: Wira Karya. Pramoedya Ananta Toer. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 1980. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra. Pramoedya Ananta Toer. 1950. Perburuan. Jakarta: Balai Pustaka. Sutherland, Heather. 1979. The making of Bureaucratic elite: the
Colonial
Transformation
of
the
Javanese
Priyayi.
Singapore: Heinamann. Teeuw. A. 1997. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Pustaka Jaya. Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya. Umar Kayam. 1975. Sri sumarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
206 東南亞硏究 21 권 1 호
쁘라무디아 아난따 뚜르의 길 떠나기: 이상과 현실의 세계 고 영 훈 (한국외국어대학교)
빤지(Panji)와 같은 말레이 전통문학 장르에서 ‘길 떠나기’는 이 미 정형화된 스토리 형태이다. 즉, 주인공 라덴 이누가 그의 연인 라덴 갈루 쩐드라 끼라나를 찾아 떠나며 어려운 난관을 이겨내고 목적을 달성한다는 것을 내용으로 하는 픽션이다. 소설에서 등장 인물이 특정한 목적을 위하여 길을 떠나는 이야기는 일반화된 이 야기이다. 쁘라무디아의 소설에서도 등장인물들이 특정한 목표를 위하여 길을 떠난다. 『도망자』(1950)의 주인공 하르도는 의용 군의 소대장 디뽀, 까르민과 함께 일본군에 저항하는 반란을 계획 했다가 까르민의 밀고로 계획이 수포로 돌아가자 일본군에게 쫒 기는 신세로 길을 떠나며, 『역류』(1995)의 주인공 위랑갈렝과 은 마자빠힛 왕조 말기에 자바를 위협하는 말라카 주둔 포르투갈 군을 공격하기 위하여 길을 떠난다. 『아록 데데스』(1997)의 주 인공 아록은 자바의 전형적인 쿠데타를 모델로 한 역사소설로 자 신의 손에 피를 묻히지 않고 쿠데타를 성공시키기 위하여 길을 떠나며, 인간의 대지(1980)의 주인공 밍꺼는 자기 민족의 아픔을 잘 이해하기 위하여 지방으로 길을 떠나며<이슬람동맹>을 통하 여 민족운동을 주도한다. 『가디스 빤따이』(1987)의 주인공 가 디스 빤따이는 름방(Rembang)의 군수에게 팔려가기 위해 길을 떠나며, 『금니를 한 어여쁜 미다』(1955)의 주인공 미다는 자신
Perantauan Pramoedya Ananta Toer : Antara Dunia Kenyataan dan Dunia Impian 207
이 원하던 가수가 되기 위하여 길을 떠나 어려운 상황에 직면한 다. 쁘라무디아의 소설에서 길 떠나기는 중요한 소재이다. 이러한 길 떠나기는 쁘라무디아의 메시지를 전하기 위한 수단이다. 쁘라 무디아는 이상과 현실의 세계를 방황한다. 쁘라무디아에게 현실의 세계는 실망의 세계이며 이상의 세계는 민족에게 희망을 주는 세 계이다. 이 두 세계는 쁘라무디아에게 실망과 희망을 동시에 안겨 주는 이율배반적 세계이다. 쁘라무디아의 길 떠나기는 현실과 이 상의 간극을 최소화하기 위하여 떠나는 형이상학적 길 떠나기이 다. 주제어: 쁘라무디아, 길 떠나기, 이상, 현실, 형이상학
▸ 논문접수일 2011. 03. 31 ▸ 논문심사일 2011. 04. 22 ▸ 게재확정일 2011. 05. 13