PERANAN VEGETASI RIPARIAN DALAM MEMPERTAHANKAN KUALITAS AIR SUNGAI CISADANE
RATNA SIAHAAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Peranan Vegetasi Riparian dalam Mempertahankan Kualitas Air Sungai Cisadane adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Bogor, Januari 2012 Ratna Siahaan NRP P062040051
ABSTRACT
RATNA SIAHAAN. The Role of Riparian Vegetation in Maintaining Water Quality of Cisadane River. Under supervised by ANDRY INDRAWAN, DEDI SOEDHARMA, dan LILIK B. PRASETYO. Cisadane River is a main river of Cisadane Watershed. The changing of landcover/landuse and decreasing of riparian vegetation can threaten function and value of Cisadane River. The aim of this research was to analysis the role of riparian vegetation in maintaining water quality of Cisadane River. Image Processing and GIS techniques were to analysis landuse/landcover. Vegetation analysis method was applied to analysis structure and composition of riparian vegetation. Measuring water quality factors was to analysis the quality of Cisadane River. Results showed that DAS Cisadane was 155,149.39 ha. The type of landuse i.e. primary forest (7,332.67 ha; 4.73%), secondary forest (3,4718.58 ha; 22.38%), plantation (6,261.59 ha; 4.04%), mixed garden (24,439.49 ha; 15.75%), shrubs (14,511.34 ha; 9.35%), bare land (25,863.08 ha; 16.67%), built area (16,467.87 ha; 10.61%), rice field (20,919.83 ha; 13.48%), ponds (1,858.08 ha; 1.20%), and water bodies (2,776.87 ha;1.79%). Cisadane River used for domestic, irrigation, transportation, food source, and financial source. The highest composition of riparian vegetation was Poaceae (43.27%) dan Asteraceae (28.60%). The highest species density were Digitaria longiflora (15.51%), Wedelia trilobata (11.80%), and Digitaria violances (9.68%). Index H’ from up stream, middle and down i.e. 3.17; 3.10, and 1.48, respectively. Based on Index H’ of macrozoobenthos, the water quality were i.e. good (Station 1), quite good (Station 2-5), moderate (Station 6), and not good (Station 7-9). Based on DO, water quality i.e. moderately polluted (Station 1-6) and heavily polluted (Station 7-9). The roles of riparian vegetation in maintaining water quality were by increasing biodiversity of macrozoobentos, clearness, pH and by decreasing TSS, temperature, TP, and TN. Key words: riparian vegetation, Cisadane River, water quality, macrozoobenthos
RINGKASAN
RATNA SIAHAAN. Peranan Vegetasi Riparian dalam Mempertahankan Kualitas Air Sungai Cisadane. Dibimbing oleh ANDRY INDRAWAN, DEDI SOEDHARMA, dan LILIK B.PRASETYO. Sungai merupakan ekosistem yang sangat penting bagi manusia. Sungai Cisadane melintasi Provinsi Jawa Barat dan Banten. Sungai ini memiliki fungsi dan nilai yang sangat tinggi bagi kehidupan manusia dan hidupan liar. Kegiatan manusia yang telah memanfaatkan hutan di Daerah Aliran Sungai/DAS Cisadane sebagai lahan permukiman, pertanian, industri dan infrastruktur telah mengubah penutupan lahan di DAS Cisadane. Perubahan penutupan lahan tersebut dapat mengancam fungsi dan nilai ekosistem Sungai Cisadane. Fungsi dan nilai sungai dapat dipertahankan jika vegetasi riparian berfungsi dengan baik. Vegetasi riparian dilaporkan memiliki banyak fungsi antara lain mempertahankan kualitas air sungai (Petts 1990; Chang 2006). Gangguan terhadap riparian menjadi penyebab utama terjadinya penurunan struktur dan fungsi sungai (Gordon et al. 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Tujuan tersebut dicapai melalui tahapan sebagai berikut: menganalisis penutupan/pemanfaatan lahan Sungai Cisadane;mengidentifikasi manfaat Sungai Cisadane bagi penduduk; menganalisis struktur dan komposisi vegetasi riparian Sungai Cisadane; menganalisis kualitas air sungai (biofisikokimia); dan menganalisis peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Penelitian dilakukan di sembilan (9) titik di sepanjang Sungai Cisadane dari hulu hingga hilir yang melintasi Provinsi Jawa Barat dan Banten pada Juni 2010 hingga November 2011. Analisis data tutupan lahan dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing, Fakultas Kehutanan IPB. Analisis vegetasi dilakukan di Laboratorium Ekologi, Fakultas Kehutanan IPB. Pengukuran faktor fisik dan kimia air permukaan sungai dilakukan di Lab. Proling, IPB. Sementara untuk makrozoobentos pengamatan dilakukan di Lab. Biomikro 1, IPB dan Lab.Anatomi, FKH-IPB. Metode pengumpulan data disesuaikan untuk masing-masing tahapan penelitian. Data yang dikumpulkan untuk penutupan/penggunaan lahan DAS Cisadane berupa data primer dan sekunder. Data primer spasial yaitu citra Landat tahun 2009. Data sekunder yaitu data sungai dan administrasi. Informasi manfaat Sungai Cisadane bagi penduduk diperoleh dengan pengamatan secara langsung di lapangan dan melalui wawancara. Data manfaat sungai diperoleh juga dari pustaka. Selanjutnya untuk struktur dan komposisi vegetasi riparian dilakukan analisis vegetasi pada semua tingkatan pohon (semai, tiang, pancang, dan pohon) dan tumbuhan bawah (paku, liana, herba, semak belukar, dan rumput) dengan metode garis berpetak. Lokasi pencuplikan vegetasi
riparian berada di sepanjang tepian sungai yaitu dari tepi sungai (bankfull widh) hingga daratan atas (upland) yang dipengaruhi limpasan air Sungai Cisadane pada saat banjir (high level). Sementara itu untuk kualitas air Sungai Cisadane, pengambilan sampel air dilakukan secara komposit. Data faktor fisik air yaitu kecerahan, kecepatan arus, suhu, dan Total Suspended Solids/TSS. Data faktor kimia air yaitu pH, Biochemical Oxygen Demand/BOD, Chemical Oxygen Demand/COD, Dissolved Oxygen/DO, Total Nitrogen/TN, dan Total Fosfat/TP. Data biologi air yaitu makrozoobentos. Sampel makrozoobentos dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel air dengan menggunakan jala surber untuk substrat batuan dan Eckman Grabb untuk substrat berlumpur. DAS Cisadane memiliki luas sekitar 155.149,39 ha. Tutupan lahan di DAS Cisadane yaitu hutan primer (7.332,67 ha; 4,73%), hutan sekunder (3.4718,58 ha; 22,38%), perkebunan (6.261,59 ha; 4,04%), kebun campuran (24.439,49 ha; 15,75%), semak belukar (14.511,34 ha; 9,35%), lahan terbuka (25.863,08 ha; 16,67%), lahan terbangun (16.467,87 ha; 10,61%), sawah (20.919,83 ha; 13,48%), tambak (1.858,08 ha; 1,20%), dan badan air (2.776,87 ha; 1,79%). Tepian Sungai Cisadane di bagian hulu (Stasiun 1-2) dan tengah (Stasiun 4-6) dapat dikategorikan sebagai lansekap semi alami. Lansekap urban ditemukan di stasiun yang terletak di pusat kota seperti Kota Bogor (Stasiun 3) dan Serpong (Stasiun 7-9). Sungai Cisadane memiliki multi-fungsi yaitu air bersih untuk kebutuhan domestik, pertanian, prasarana transportasi, sumber pangan, dan sumber pencaharian. Vegetasi riparian Sungai Cisadane beranekaragam mulai dari rumput hingga pohon yang ditanam oleh masyarakat setempat. Komposisi vegetasi riparian terbesar yaitu Poaceae (43,27%) dan Asteraceae (28,60%). Keanekaragaman hayati vegetasi riparian semakin menurun ke hilir. Indeks H’ di hulu (Stasiun 1-3), tengah (Stasiun 4-6) dan hilir (Stasiun 7-9) yaitu 3,17; 3,10, dan 1,48. Kualitas air Sungai Cisadane dari hulu ke hilir semakin menurun. Berdasarkan Indeks H’, kualitas air yang baik/tercemar sangat ringan di hulu (Stasiun 1-2), cukup baik/tercemar ringan (Stasiun 3-5), sedang/tercemar sedang (Stasiun 6), dan buruk/tercemar berat di hilir (Stasiun 7-9). Berdasarkan DO, kualitas air Sungai Cisadane telah tercemar ringan di hulu – tengah (Stasiun 1-6), dan tercemar berat di hilir (Stasiun 7-9). Keanekaragaman makrozoobentos dipengaruhi oleh pH, DO, kecerahan, kecepatan arus, TSS, suhu,TP, dan TN. Keanekaragaman vegetasi riparian sangat mempengaruhi kualitas air sungai. Faktor kualitas yang dipengaruhi oleh vegetasi riparian yaitu keanekaragaman makrozoobentos. Penurunan keanekaragaman vegetasi dapat meningkatkan TSS, suhu, TP dan TN. Kualitas air Sungai Cisadane dipengaruhi oleh vegetasi, lebar vegetasi riaprian dan aktivitas di DAS Cisadane. Keanekaragaman vegetasi yang tinggi disertai lebar yang cukup dan aktivitas yang tidak besar di DAS Cisadane akan berpengaruh besar pada kualitas air Sungai Cisadane. Untuk di perkotaan dengan tingkat industri tidak tinggi seperti di Stasiun 3, lebar vegetasi riparian sungai yang hanya sekitar 10-15 m masih cukup dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Namun, lebar vegetasi riparian yang besar sekitar 100 m (Stasiun 7-8) tidak akan berpengaruh dalam mempertahankan kualitas air
Sungai Cisadane jika limbah berupa limbah anorganik yang langsung dibuang ke Sungai Cisadane. Kata kunci: vegetasi riparian, Sungai Cisadane, kualitas air, makrozoobentos
©Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
PERANAN VEGETASI RIPARIAN DALAM MEMPERTAHANKAN KUALITAS AIR SUNGAI CISADANE
RATNA SIAHAAN
Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : 1 Dr. Ir. Istomo, MS Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor 2 Dr. Ir. Etty Riani, MS Departemen Manajamen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Penguji pada Ujian Terbuka: 1 Dr. Ir. Drs. Hasan Sudrajat, MM Ditjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi, Kementerian Perindustrian
2 Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS - Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor - Ketua Program Studi Pengeloaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
PRAKATA
Penelitian tentang peranan vegetasi riparian di Indonesia dalam mempertahankan kualitas air sungai belum pernah dilakukan.
Penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Pelaksanaannya meliputi empat (4) tahapan penelitian yaitu penutupan/penggunaan lahan DAS Cisadane dengan data primer spasial yaitu citra Landat tahun 2009, identifikasi manfaat Sungai Cisadane, analisis vegetasi riparian untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi riparian, analisis kualitas air dengan mengamati faktor fisikokimia air dan makrozoobentos. Bagian dari disertasi ini yang berjudul “Keanekaragaman Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas Air Sungai Cisadane Jawa Barat Banten” telah disetujui untuk diterbitkan di Jurnal Bios Logos pada Vol.2 No.1 pada Februari 2012. Bagian lain dengan judul “Kualitas Air Sungai Cisadane Jawa Barat -Banten” telah disetujui oleh editor redaksi Jurnal Ilmiah Sains MIPA Unsrat untuk diterbitkan pada Vol 11 No.2 pada halaman 268-273. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada komisi pembimbing atas bimbingan, arahan, bantuan dan kerjasama dalam pelaksanaan penelitian ini yakni Ketua Komisi: Prof.
Dr.
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS (Fahutan IPB), Ir.
Dedi
Soedharma,
DEA
Prof. Dr. Ir. Lilik B.Prasetyo, MSc. (Fahutan IPB).
(FPIK
IPB)
dan
Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Prof. Dr. Christer Nillson dari Umeå University, Swedia atas bantuan selama sandwich-like untuk penelitian ini di Swedia. Terimakasih
untuk
Ketua
Program
Studi
PSL,
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Sekretaris PSL untuk mahasiswa S3, Dr. Ir. Widiatmaka, DAA serta seluruh staf pengajar dan pegawai di PSL yang telah memberikan banyak hal kepada saya baik itu ilmu maupun dorongan agar saya dapat menyelesaikan studi di PSL. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dirjen Dikti, Departemen Pedidikan Nasional
atas beasiswa BPPS selama studi S3 di IPB dan atas
kesempatan mengikuti Program Sandwich-like tahun 2008 di Umeå University
Swedia. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pemda Sulut atas bantuan dana yang telah diberikan. Keberhasilan studi juga berkaitan dengan kerja sama yang baik dengan unit –unit di IPB. Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh staf Laboratorium Fisik Remote Sensing, Fahutan IPB, Laboratorium Ekologi, Fahutan IPB, Laboratorium Proling IPB, Laboratorium Biomikro 1 IPB, Laboratorium Anatomi, FKH IPB, dan Perpustakaan Pusat IPB. Ucapan terima kasih yang tulus bagi keluargaku tercinta, keluarga besar W.M. Siahaan – H.Hutabarat yaitu kepada kakak, adik, keponakan dan ipar yang selalu mendukung tanpa kenal lelah baik dalam berbagai bentuk dorongan, semangat, materi, dan juga doa. Disertasi ini sulit diselesaikan tanpa bantuan dan cinta yang telah kalian berikan kepadaku. Ucapan terima kasih juga buat teman-teman yang telah membantu di lapangan
yaitu
Yohanis
Marentek,
M.Si,
Djefri
Makarawung,
Jusmy
Putuhena,M.Si, Dedi, Wawan, dan pak Asep. Terima kasih sebesar-besarnya untuk penduduk di lokasi penelitian yang telah dengan ringan tangan memberikan bantuan selama mengambil data di lapangan. Terima kasih untuk Dr. Ir. Nurhaidah Sinaga, MSi yang telah banyak membantu di lapangan, khususnya dalam identifikasi tumbuhan. Juga, atas kemurahan hati menyediakan tempat bagi saya selama menyelesaikan Disertasi ini. Analisis statistik menjadi lebih mudah atas bantuan Dariani Matualage, M.Si. Terimakasih
buat
adik
Hasriani
yang
telah
menyelamatkanku
atas
ketidakmampuan menampilkan presentasi yang baik. Juga buat adik Deba Supriyanto yang memberikan trik untuk mengolah grafik. Bantuan semangat dan kerjasama yang tak henti yang ditunjukan oleh teman-teman kuliah di Program studi PSL terutama dari Dr. Debby Pattimahu, Dr. Dwi Dinariana, Dr. Zakyah, Dr. Hutwan, Dr. Muklas dan Kodim. Juga buat teman-teman
seperjuangan
di
Asrama
Samratulangi
khususnya
di
Sempur Kaler 94 yang berandil besar dalam mendorong keberhasilan studi saya. Terima kasih atas dorongan semangat yang tiada henti yang diberikan oleh teman-teman dari pengurus Dewan Mahasiswa Pascasarjana IPB 2010-2011 dan teman-teman mahasiswa Pascasarjana IPB lainnya. Ucapan terimakasih untuk
semua teman-teman, sanak saudara dan tetangga yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas doa, dorongan dan bantuan yang telah diberikan selama saya studi di IPB. Tentunya masih ada kekurangan yang terdapat dalam Disertasi ini. Semoga Disertasi ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2012 Ratna Siahaan
RIWAYAT HIDUP
Ratna Siahaan dilahirkan di Medan pada 24 Mei 1967 dari pasangan Washington Siahaan (alm) dan Heramin Hutabarad (alm) sebagai anak kesepuluh dari tiga belas bersaudara. Sejak tamat SMA di Medan, penulis menyelesaikan pendidikan Strata S1 di Universitas Indonesia, Jurusan Biologi tahun 1992. Pendidikan Strata 2 diselesaikan di Institut Tehnologi Bandung, Program Studi Biologi, Minat Pengelolaan Sumberdaya Hayati dan Lingkungan Hidup/PSDH-LH tahun 2000. Kemudian melanjutkan Strata 3 di Institut Pertanian Bogor, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada tahun 2004. Sejak tahun 2004 hingga kini, penulis
bekerja
sebagai staf pengajar
Jurusan Biologi, Fakultas MIPA di Universitas Sama Ratulangi Manado.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………….
xix
I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang ........................................................................
1
1.2
Kerangka pemikiran ................................................................
2
1.3
Perumusan Masalah ................................................................
3
1.4
Tujuan Penelitian ....................................................................
3
1.5
Manfaat Penelitian ..................................................................
5
1.6
Novelty/kebaruan .....................................................................
5
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Defenisi Riparia …...... ……………………………………..
7
2.2
Fungsi dan Nilai Riparia…………………………………….
10
2.3
Daerah Aliran Sungai (DAS)...................................................
14
2.4
Tinjauan Umum Lokasi Penelitian .........................................
16
2.4.1 Letak, Topografi dan Jenis Tanah…………………….
16
2.4.2 Iklim…………………………………………………..
17
2.4.3 Hidrologi……………………………………………...
17
Penelitian sebelumnya tentang DAS/Sungai Cisadane dan Riparia di Indonesia…………………………………………
17
2.5
III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Tempat dan waktu Penelitian .................................................
19
3.2
Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cisadane………………
20
3.3
Manfaat Sungai Cisadane…………………………………...
22
3.4
Vegetasi Riparian Sungai Cisadane………………………….
22
3.5
Kualitas Air Sungai Cisadane………………………………..
25
3.6
Peranan Vegetasi Riparian dalam Mempertahankan Kualitas Air Sungai Cisadane…………………………………………
28
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cisadane .......................
29
xiv
4.2
Pemanfaatan Sungai Cisadane………………………………
32
4.3
Struktur dan Komposisi Vegetasi Riparian…………………..
36
4.4
Kualitas Air Sungai Cisadane……..........................................
46
4.4.1 Faktor Fisikokimia……………………………………..
46
4.4.2 Faktor Biologi………………………………………….
57
Peranan Vegetasi Riparian dalam Mempertahankan Kualitas Air Sungai Cisadane………………………………………….
65
4.5
V SIMPULAN DAN SARAN 5.1
Simpulan .................................................................................
71
5.2
Saran.......................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………..
75
LAMPIRAN……………………………………………………….
85
xv
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Tujuan, jenis data, alat dan bahan, metode pengambilan data, dan analisis serta hasil …….........................................................
21
2.
Alat dan bahan analisis vegetasi………………………………...
23
3.
Parameter dan metode analisis data biofisikokimia Sungai Cisadane ……………………………. …………………………
26
4.
Luas dan persentase tutupan lahan tiap Sub-DAS Cisadane……
31
5.
Kerapatan vegetasi riparian di Stasiun 1-8…..…………...........
37
6.
Kerapatan jenis (indidu/ha) vegetasi riparian di Stasiun 1-9
38
7.
Analisis Vegetasi Riparian di Stasiun 1-8………………….......
45
8.
Kualitas Air Sungai Cisadane…………………………………...
47
9
Klasifikasi Kualitas Air menurut Miller (2007)..........................
53
10
Kepadatan, Kekayaan Taksa dan Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Cisadane pada musim Kemarau (K) & Hujan (H) 2011…………………………….............................
58
11
Nilai koefisien, akar ciri dan proporsi keragaman hasil AKU …………………………………………………………………..
66
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pemikiran penelitian....................................................
4
2.
Hubungan antara vegetasi riparian dan komunitas perairan sungai …………………………………………………………...
12
3.
Lokasi penelitian ……………………………………………….
19
4.
Lay out metode garis berpetak untuk analisis vegetasi riparian..
23
5.
Peta tutupan lahan DAS Cisadane ………………………….......
29
6.
Persentase tutupan tiap Kelas DAS Cisadane ………………….
30
7.
Lansekap semi alami di Sungai. Cisadane bagian hulu dan tengah...........................................................................................
31
8.
Lansekap urban di Sungai Cisadane bagian hilir..........................
32
9.
MCK di Sungai Cisadane bagian hulu……………………….....
32
10.
Menangkap ikan di Sungai Cisadane..........................................
34
11.
Mencari cacing sutra (Oligochaeta) di Sungai Cisadane hilir, Serpong........................................................................................
35
12.
Menambang pasir di Sungai Cisadane tengah, Sindur.................
35
13.
Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 1…………………….
40
14.
Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 2……........................
40
15.
Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 3………..................
41
16.
Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 4................................
42
17.
Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 5..................................
42
18.
Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 6…………………..
43
19.
Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 7 dan 8………………
44
20.
Indeks keragaman vegetasi riparian (H’) dari hulu-hilir………………………………………………………
45
Kecepatan Arus Air Sungai Cisadane pada musim kemarau (K) dan hujan (H)……………………………………………………
46
TTS Sungai Cisadane pada musim pada musim kemarau (K) dan hujan (H)……………………………………………………
50
Kekeruhan Sungai Cisadane setelah Hujan pada November 2011……………………………………………………………..
50
Nilai DO air Sungai Cisadane pada musim kemarau (K) dan hujan (H)……………………………………...............................
53
Nilai BOD
55
21. 22. 23. 24. 25.
air Sungai pada musim kemarau (K) dan
xvii
hujan (H)………………………………………………………... 26.
Nilai COD air Sungai Cisadane pada musim kemarau (K) dan hujan (H)………………………………………………………...
55
Nilai Total N Sungai Cisadane pada musim kemarau (K) dan hujan (H)………………………………………………………...
56
Nilai Total P Sungai Cisadane pada musim kemarau (K) dan hujan (H)………………………………………………………...
57
Kepadatan dan kekayaan taksa makrozoobentos Sungai Cisadane…………………………………………………………
60
30.
Gastropoda di Sungai Cisadane…………………………………
61
31.
Makrozoobentos dari Ephemenoptera di Sungai Cisadane……..
61
32.
Larva Chironomidae di Sungai Cisadane……………………….
62
33.
Lintah air Hirudinae di Sungai Cisadane…..……………………
63
34.
Oligochaeta di Sungai Cisadane…………………………..…….
63
35.
Indeks keanekaragaman makrozoobentos (H”) di Sungai Cisadena…………………………………………………………
65
Hasil Uji Biplot………………………………………………….
67
27. 28. 29.
36.
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Nama vegetasi riparian di Stasiun 1-8…………………………..
85
2.
Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 1…………….....
87
3.
Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 2………………
88
4.
Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 3……………….
89
5.
Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 4………………
90
6.
Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 5………………
91
7.
Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 6………………
92
8.
Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 7………………
93
9.
Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 8………………..
94
10.
Hasil uji Korelasi Spearman pada kualitas air Sungai Cisadane…………………………………………………………
95
xix
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup termasuk manusia. Namun, bahan-bahan pencemar dari kegiatan manusia yang masuk ke sungai telah menurunkan kualitas air sungai. Hal ini dapat menganggu kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, kualitas air dari ekosistem perairan tawar termasuk sungai merupakan salah satu sasaran biodiversitas 2010 yang dipilih oleh Convention on Biological Diversity (CBD) (Mace dan Baillie 2007). Sungai Cisadane melintasi Provinsi Jawa Barat dan Banten. Sungai ini memiliki fungsi dan nilai yang sangat tinggi bagi kehidupan manusia dan hidupan liar. Sungai dipergunakan manusia sebagai sumber air untuk kebutuhan pertanian, rumah tangga dan industri. Sungai ini juga menjadi habitat bagi berbagai hidupan liar. Namun, berbagai kegiatan manusia dapat menyebabkan penurunan kualitas air Sungai Cisadane. Kualitas air sungai harus terus dilakukan dan ditingkatkan untuk mempertahankan keberlanjutan nilai dan fungsi sungai bagi semua makhluk hidup. Bahan-bahan pencemar yang berasal dari daratan terbawa oleh air limpasan (runoff) menuju sungai. Pencemar tersebut dapat secara efektif dikendalikan oleh vegetasi
riparian
yang
bertindak
sebagai
penyaring/penjerap
pencemar
(Tourbier 1994). Ekosistem riparian adalah ekosistem peralihan (ecotone) yang berada di antara ekosistem akuatik sungai dan teresterial/daratan (Wenger 1999). Ekosistem yang berada di tepian sungai ini ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan yang telah beradaptasi untuk hidup di tempat yang seringkali tergenang air sungai terutama saat hujan turun (Mitsch dan Gosselink 1993). Vegetasi yang tumbuh di ekosistem riparian tersebut dinamakan vegetasi riparian. Vegetasi riparian menurut pakar dapat menjaga kualitas air sungai, mengatur suhu air (Mitsch dan Gosselink 1993; Bailey 1995), dan mengendalikan erosi tebing sungai (Jones et al. 1999). Vegetasi riparian berperan penting dalam menjaga produktivitas perikanan sungai. Vegetasi riparian dapat mencegah terjadinya sedimentasi di sungai yang sangat menguntungkan hewan-hewan
2
seperti ikan yang menyukai dasar sungai tidak berlumpur (Jones et al. 1999). Vegetasi riparian juga dapat menjadi pemasok serasah (energi) ke sungai yang sangat diperlukan dalam produktivitas perikanan sungai (Allan 1995; Johnson et al. 1995). Vegetasi riparian juga sebagai habitat hidupan liar teresterial (Mitsch dan Gosselink 1993), tempat bagi hewan-hewan untuk mencari perlindungan, kawin dan memijah (Mitsch dan Gosselink 1993; Sparks 1995; Jones et al. 1999). Riparian memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting namun riparian mengalami
ancaman
akibat
kegiatan
manusia
yang
memanfaatkannya.
Pemanfaatan tepian sungai sebagai lahan permukiman, pertanian, industri, transportasi dan komunikasi (Malanson 1995) turut menghancurkan riparian. Selain itu, kegiatan pembangunan fisik seperti normalisasi sungai, pembuatan talud, bendungan, tanggul, sudet, dan penguatan tebing sungai dengan beton dan kanal (Maryono 2005) juga melenyapkan riparian. Kegiatan normalisasi sungai yang memindahkan arus sungai yang berkelok-kelok hingga menjadi arus lurus, menyebabkan deforestasi vegetasi riparian (Johnson et al. 1995). Petts (1996) menyebutkan hilangnya vegetasi riparian menjadi faktor utama penurunan dan kepunahan fauna akuatik. Fungsi dan nilai riparia yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan akuatik dan teresterial telah menumbuhkan upaya untuk mengembalikan (merestorasi) riparian yang hilang atau rusak. Upaya memulihkan riparian tersebut didahului dengan mengkaji vegetasi riparian yang ada di sepanjang sungai. Penelitian ini akan difokuskan pada kajian vegetasi riparian di sepanjang Sungai Cisadane. Selain itu, penelitian juga menganalisis dampak tidak langsung dari vegetasi riparian terhadap terhadap kualitas air Sungai Cisadane. 1.2 Kerangka Pemikiran Kegiatan manusia yang telah memanfaatkan hutan teresterial dan riparian di sepanjang Sungai Cisadane sebagai lahan permukiman, pertanian, industri, dan infrastruktur telah mengubah penutupan lahan dan menghilangkan vegetasi riparian Sungai Cisadane. tersebut
dapat
Perubahan penutupan lahan dan vegetasi riparian
mengancam
fungsi
ekologis
vegetasi
riparian
dalam
mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Jika ini terjadi maka akan
3
menurunkan fungsi dan nilai Sungai Cisadane bagi masyarakat dan hidupan liar. Kajian tentang peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane dilakukan melalui kajian faktor tutupan lahan di Daerah Aliran Sungai/DAS Cisadane, vegetasi riparian kualitas air sungai dan manfaat sungai bagi masyarakat. Hasil kajian diharapkan dapat memberikan arahan bagi pengelolaan Sungai Cisadane dengan menekankan pada peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Kerangka pemikiran dalam menganalisis peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh masyarakat dapat dilihat pada Gambar 1. 1.3 Perumusan Masalah Peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air sungai telah dilaporkan oleh sejumlah peneliti. Namun, di Indonesia, penelitian tentang peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air sungai belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ditekankan pada bagaimana peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air di Indonesia dengan Sungai Cisadane sebagai studi kasus penelitian. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian dimaksudkan untuk menganalisis peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Tujuan penelitian ini akan dicapai melalui tahapan berikut yaitu: a. Menganalisis penutupan/pemanfaatan lahan Sungai Cisadane; b. Mengidentifikasi manfaat Sungai Cisadane bagi penduduk; c. Menganalisis struktur dan komposisi vegetasi riparian Sungai Cisadane; d. Menganalisis kualitas air sungai (biofisikokimia); dan e. Menganalisis peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane.
4
Tekanan: permukiman, pertanian, industri, infrastruktur dll.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane
Vegetasi riparian gangguan
Fungsi ekologis vegetasi riparian: mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane
Penurunan Kualitas Air Sungai Cisadane -
Fungsi ekologis sungai Nilai air sungai
Kajian peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane
Tutupan lahan DAS Cisadane
vegetasi riparian: struktur komposisi
Kualitas air S.Cisadane -fisikokimia -makrozoobentos
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
Manfaat Sungai Cisadane
5
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian bermanfaat bagi: a. Ilmu pengetahuan sebab memberikan kajian ilmiah tentang peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane; b. Pemerintah sebagai rujukan rujukan dalam upaya pengelolaan berkelanjutan Sungai Cisadane dan riparian Sungai Cisadane; dan c. Masyarakat sebab dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat akan vegetasi riparian dan pentingnya menyelamatkan Sungai Cisadane dan riparian Sungai Cisadane. 1.6 Novelty (Kebaruan) Kebaruan dari penelitian berupa pemahaman lanjut tentang peranan vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Riparia Riparia berasal dari bahasa Latin riparius. Menurut Kamus Webster, riparia artinya “milik tepi sungai”. Istilah riparia secara umum menggantikan bahasa Latin tersebut. Riparia biasanya menggambarkan komunitas biotik yang menghuni
tepian
sungai,
kolam,
danau
dan
lahan
basah
lainnya
(Naiman et al. 2000; Naiman et al. 2005). Naiman et al. (2005) menggunakan istilah “riparian” sebagai kata sifat dan
istilah “riparia” sebagai kata benda
tunggal atau majemuk. Istilah riparia untuk menekankan pada perpaduan biotik dari zona transisi
akuatik-teresterial yang berasosiasi dengan air mengalir.
Definisi lain tentang riparia juga telah disebutkan oleh berbagai peneliti. Definisi memang bervariasi tetapi pada dasarnya tetap menyebutkan bahwa riparia adalah ekosistem peralihan antara ekosistem akuatik dan teresterial. Ekosistem peralihan antara daratan dan perairan ini disebut ekoton (Odum 1971; Petts 1990). Peneliti menggunakan beberapa istilah yang merujuk ke riparia yaitu hutan riparian (Gosselink et al. 1980), riparian rheophyt (Steenis 1981), koridor sungai (river-corridor) (House dan Sangster 1991), ekosistem riparian (Mitsch dan Gosselink 1993), lahan basah riparian (Hanson et al. 1994), zona riparian (riparian zone) (Malanson 1995), area riparian (Ilhardt et al. 2000), tepian sungai (river-margin) (Jansson et al.2000), dan riparian buffer (Turner et al. 2001). Riparia terletak mulai dari zona banjir tetap di dekat sungai hingga ke daratan mesik (Gosselink et al. 1980; Huffman dan Forsythe 1981). Daratan mesik adalah tepian sungai yang lembab akibat kadangkala terkena banjir pada waktu singkat atau saat hujan deras (Langdon et al. 1981). Malanson (1995) mendefinisikan zona riparian sebagai ekosistem yang dipengaruhi sungai. Turner et al. (2001) mendefinisikan riparian buffer adalah area vegetasi yang relatif tidak terganggu di sepanjang sungai atau danau, mempengaruhi transport nutrien dan sedimen dari area urban-pertanian daratan atas ke ekosistem akuatik. Menurut Naiman et al. (2005), zona riparian adalah area semiteresterial transisional/peralihan yang secara reguler dipengaruhi oleh air tawar, biasanya meluap dari tepian badan perairan ke tepian komunitas daratan atas (upland).
8
Secara umum, Mitsch dan Gosselink (1993) mendefinisikan ekosistem riparian adalah daratan yang berada di dekat sungai atau badan air lainnya yang paling tidak secara periodik dipengaruhi oleh banjir. Ekosistem riparian ditemukan di mana ada sungai yang pada saat tertentu terkena menyebabkan banjir luapan melampaui badan/saluran sungai. Riparia dapat berupa lembah aluvial yang besar dengan lebar puluhan kilometer di daerah basah atau vegetasi tepian sungai dengan lebar sempit di daerah kering. Ilhardt et al. (2000) mencoba memberikan definisi fungsional dari area riparian. Mereka berpendapat bahwa dalam area riparian ada tiga hal yaitu mencakup air atau feature yang mengandung air atau mentransportkan air, riparian adalah ekoton, riparian memiliki lebar yang sangat bervariasi. Berdasarkan hal tersebut, definisi fungsional dari area riparian adalah ekoton 3-dimensional dari interaksi ekosistem teresterial dan akuatik, yang meluas menuju groundwater, ke atas menuju kanopi, melintasi dataran banjir, ke atas mendekati lereng yang mendrainasi ke air, secara lateral ke ekosistem teresterial dan sepanjang badan air pada lebar yang bervariasi. Ekosistem riparian memiliki karakter khas yang membedakannya dengan ekosistem daratan atas (upland). Karakteristik riparian yaitu air yang melimpah dan kaya akan tanah aluvial (Brinson et al.1981). Ekosistem riparian menurut Brinson et al. (1981) memiliki tiga karakter umum yang membedakannya dengan ekosistem yaitu: a. Ekosistem riparian secara umum memiliki suatu bentuk linear sebagai akibat dari proksimitasnya ke sungai. b. Energi dan materi yang berasal dari sekitar lansekap bergabung (converge) dan menuju ekosistem riparian dalam jumlah yang jauh lebih banyak daripada ekosistem lahan basah lainnya. Oleh karena itu, sistem riparian adalah sistem terbuka. c. Ekosistem riparian secara fungsional berhubungan dengan sungai bagian hulu dan bagian hilir dan secara lateral berhubungan dengan ekosistem lereng atas (daratan) dan lereng bawah (akuatik). Naiman et al. (2005) berpendapat bahwa zona riparian adalah sistem multidimensi yang dibentuk oleh beberapa prinsip dasar yaitu:
9
a. Gradien saturasi air ditentukan oleh topografi, materi geologi dan hidrodinamika. b. Proses biofisik diarahkan oleh saturasi air dinamik dan gradien energi. c. Entitas permukaan/surface dan subsurface menyediakan umpan balik yang mengendalikan energi organik dan fluks materi. d. Komunitas biotik distrukturkan dan diatur dalam ruang dan waktu sepanjang gradien dalam tiga dimensi: longitudinal, lateral dan vertikal. Walaupun demikian, zona riparian tidak mudah didelineasi secara tepat karena heterogenitas biofisik yang berhubungan dengan koridor sungai. Lebar zona riparian yang sesungguhnya berhubungan dengan ukuran sungai, posisi sungai dalam jaringan drainase, regime hidrologis dan konfigurasi fisik lokal. Oleh karena itu, delineasi zona riparian tergantung pada pemilihan karakteristik lingkungan yang berpengaruh kuat pada komunitas tumbuhan atau atribut lain yang mudah dikenali. Secara umum, delineasi zona riparian melalui pengukuran spasial dari tumbuhan herba yang telah beradaptasi dengan tanah lembab, produksi sumberdaya hara untuk sistem akuatik, geomorfologi lokal dan identifikasi area yang menunjukkan kekerapan erosi sedimen atau sedimentasi (Naiman et al. 2005). Malanson (1995) juga menyebutkan bahwa karakteristik zona riparian sangat bervariasi. Karakter ekoton dari riparia kadang jelas karena gradien pendek namun kadang sulit dibedakan sebab gradien yang lebar. Karakter lahan basah yang dimiliki riparia juga bervariasi. Beberapa riparia yang dekat dengan sungai tidak berupa lahan basah, tidak dipengaruhi banjir saat tertentu dan tidak memiliki air muka tanah yang tinggi. Oleh karena itu, penentuan zona riparian dapat dilakukan dengan memperhatikan bentuk topografi dan regim hidrologis untuk menguji gradien air muka tanah. Definisi operasional tentang zona riparian pada penelitian ini mengikuti definisi Huffman
yang dan
telah Forsythe
dikemukan (1981);
oleh Mitsch
Gosselink dan
et
Gosselink
al.
(1980);
(1993)
dan
Naiman et al. (2005). Zona riparian adalah daratan yang berada di dekat Sungai Cisadane yang secara periodik dipengaruhi oleh banjir. Tumbuhan yang
10
dipengaruhi banjir menjadi karakteristik lingkungan dalam mendelineasi zona riparian. Menurut Kepres
No.32/1990 tentang pengelolaan kawasan lindung,
sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kanan kiri sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan fungsi sungai. Lebar sempadan sungai berbeda-beda tergantung pada lebar sungai dan lokasi sungai. Pasal 16 menetapkan lebar sempadan sungai besar di luar pemukiman (≥ 100 m), anak sungai besar (≥ 50 m) dan di daerah permukiman berupa jalan inspeksi (10-15m) (Anonim 1990). Pemerintah melalui PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pada Pasal 56 ayat 2 telah menetapkan batas sempadan sungai yang bertanggul paling sedikit 5 meter dari kaki tanggul sebelah luar. Lebar sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar permukiman paling sedikit 100 meter dari tepi sungai. Lebar sempadan anak sungai tidak bertanggul di luar permukiman paling sedikit 50 meter dari tepi sungai (Anonim 2008). Lebar sempadan sungai tiap daerah tidak sama dan dapat berubah. Pemerintah Tangerang melalui Perda No.8/1994 telah menetapkan lebar sempadan Sungai Cisadane yaitu 20 m dihitung dari tepi sungai (Anonim 1994). Pemerintah Jawa Barat, sesuai dengan Perda No.2/2006 tentang Sempadan Sungai Jawa Barat, menetapkan lebar sempadan sungai di perkotaan maksimum hanya sebesar 5 meter dari tanggul terluar sebab di perkotaan banyak terjadi konflik (Bapeda Jabar 2007).
2.2 Fungsi dan Nilai Riparia Riparia memiliki karakteristik fungsional ganda sebagai akibat lingkungan fisik yang unik. Secara umum mudah dikenali bahwa produktivitas ekosistem riparian tinggi akibat konvergensi energi dan materi yang melintasi riparian dalam jumlah yang besar (Mitsch dan Gosselink 1993). Gordon et al. (2004) menyebutkan bahwa sungai memiliki 2 nilai. Nilai yang dimiliki ekosistem sungai juga dimiliki oleh ekosistem riparian. Nilai riparia tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu:
11
1. Nilai ulitarian
Nilai pemanfataan konsumtif
Nilai pemanfaatan produktif
Nilai jasa
Nilai pendidikan dan penelitian
Nilai budaya, spiritual, eksperensial dan eksistensi
Nilai estetika, rekreasi dan wisata
2. Nilai intrinsik
Etika ekosentris
Etika biosentris Nilai intrinsik ditekankan pada nilai dari spesies dan komunitas yang tidak
tergantung pada perspektif manusia. Nilai ulitarian tergantung pada pendapat dan kebutuhan manusia. Nilai ekosentris mengacu pada keutuhan komunitas biologis misalnya keterwakilan, keanekaragaman, kelangkaan dan kealamian. Nilai biosentris menekankan akan adanya nilai pada setiap individu organisma. Manusia perlu menghargai setiap bentuk kehidupan di lingkungan alami (Gordon et al. 2004). FAO (1998) menyebutkan bahwa riparia memiliki empat (4) fungsi utama yaitu mengendalikan kualitas air, melindungi habitat sungai, memberikan naungan dan
serasah
organik,
konservasi
alami
dan
sebagai
tempat
rekreasi.
Malanson (1995) menyebutkan bahwa riparian memiliki nilai ekonomi baik langsung maupun tidak langsung yaitu sumber kayu, mencegah banjir, mengisi kembali akuifer, sumber air permukaan dan produktivitas perikanan. Nilai sosial yang dimiliki riparian yaitu tempat rekreasi, penelitian, pendidikan dan estetika/keindahan. Fungsi vegetasi riparian sangat
besar bagi keberlangsungan kehidupan
organisma teresterial dan akuatik. Vegetasi riparian penting sebagai habitat ikan, pendukung rantai makanan, habitat hidupan liar, mempertahankan suhu, stabilisasi tepian sungai, perlindungan kualitas air, mempertahankan morfologi sungai dan mengendalikan banjir (Chang 2006). Gangguan terhadap riparian menjadi penyebab
utama
(Gordon et al. 2004).
terjadinya
penurunan
struktur
dan
fungsi
sungai
12
Knight dan Bottoff (1984) yang diacu oleh Mitsch dan Gosselink (1993) mencoba memberikan berbagai fungsi vegetasi riparian (Gambar 2). Vegetasi riparian berperan sebagai habitat teresterial bagi hewan dewasa untuk mencari makan, istirahat dan bersembunyi. Helaian daun berguna sebagai tempat meletakkan telur. Vegetasi riparian dapat menaungi sungai sehingga suhu air dan produktivitas primer dapat dipertahankan. Vegetasi riparian juga sebagai pemasok serasah (energi) bagi sungai. Serasah yang masuk bersama dengan produsen primer akan menjadi makanan bagi invertebrata sungai. Vegetasi riparian juga mempertahankan kualitas dan kuantitas air sungai. Pengendalian suhu air sungai bersama dengan kualitas dan kuantitas air sungai akan mempertahankan laju pertumbuhan dan daur hidup invertebrata akuatik. Sungai yang memiliki makanan bagi invertebrata akuatik dan cocok dalam menunjang pertumbuhan dan daur hidup invertebrata akuatik merupakan habitat yang baik bagi invertebrata akuatik.
Vegetasi Riparian
Penyedia habitat teresterial
Pemasok serasah (energi) ke sungai
Penaung sungai
Pengendali produksi primer
Tempat cari makan, istirahat dan bersembunyi
Tempat letakkan telur pada daun
Makanan bagi invertebrata akuatik
Pemelihara kualitas dan kuantitas air
Pengendali suhu sungai
Ruang dan kualitas habitat invertebrata akuatik
Laju pertumbuhan dan daur hidup invertebrata akuatik
Gambar 2 Hubungan antara vegetasi riparian dan komunitas perairan sungai. (Sumber: Knight dan Bottorff 1984 diacu oleh Mitsch WJ dan Gosselink JG 1993)
Riparia tidak hanya memiliki nilai ekologis namun juga ekonomi dan sosial. Petts (1990) menyebutkan riparian memiliki sembilan (9) nilai yaitu: 1. Kualitas air. Riparia berperan sebagai penyaring untuk menjaga kualitas air sungai.
13
2. Suhu air. Vegetasi riparian memberikan naungan sehingga dapat mengatur fluktuasi air sungai. 3. Keseimbangan autotrof dan heterotrof. Vegetasi riparian dapat mengatur suhu air dan cahaya yang masuk ke sungai yang diperlukan dalam produksi primer. Riparia juga berperan dalam penyediaan materi organik ke sungai yang diperlukan oleh organisma heterotrof. 4. Stabilisasi
morfologi
sungai.
Vegetasi
riparian
berperan
dapat
mempertahankan stabilitas tepian sungai. 5. Habitat perairan. Vegetasi riparian sebagai habitat bagi hidupan liar seperti invertebrata dan pisces. 6. Produksi perikanan. Vegetasi riparian sebagai pemasok senyawa organik yang diperlukan dalam rantai makanan ikan. 7. Habitat hidupan liar yang penting. Vegetasi riparian banyak dihuni oleh berbagai macam burung. 8. Sumber kayu. Vegetasi riparian berupa pohon sebagai penghasil kayu yang bernilai ekonomi. 9. Rekreasi dan amenity. Hutan riparian terletak antara daratan dan sungai sehingga dapat berfungsi sebagai buffer/penyangga. Kondisi sungai berhubungan dengan kondisi riparia sebagai penyangga (Leavitt 1998). Hal ini disebabkan hutan riparian dapat mengendalikan
transport
sedimen
dan
bahan-bahan
kimia
ke
sungai
(Lawrence at al.1984; Waring dan Schlesinger 1985; Castelle et al.1994). Sedimen
tersebut
akan
dideposisikan
di
zona
riparian
(Waring dan Schlesinger 1985). Hutan riparian juga berperan sebagai penyangga buangan nutrien dari agroekosistem (Lawrence at al.1984) seperti unsur N (Jacobs dan Gilliam 1985). Peranan hutan riparian tersebut tetap dapat berjalan walau hutan riparian berupa jalur hijau yang sempit (Bren 1993). Unsur nitrogen masuk ke sungai melalui aliran air bawah tanah (ground water flow) akan difilter oleh hutan riparian (Mayer et al. 2005). Hutan riparian juga akan mereduksi erosi tebing (Waring dan Schlesinger 1985; Castelle et al. 1994; Jones et al.1999) melalui akar dari pohon-pohon besar yang dapat mengikat tanah (Waring dan Schlesinger 1985). Riparia juga berfungsi
14
mengurangi kecepatan arus sebab vegetasi riparian, berupa pohon dan semak, mampu mengurangi aliran air (Waring dan Schlesinger 1985). Vegetasi riparian juga berperan dalam perikanan (Waring dan Schlesinger 1985; Allan 1995; Johnson et al. 1995). Hutan riparian penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati. Riparia merupakan ekoton yang terletak antara daratan dan sungai. Oleh karena itu, riparia memiliki ciri yang unik sebagai akibat interaksi yang kuat antara kedua ekosistem tersebut (Castelle et al. 1994). Keanekaragaman habitat di riparia akan mengarah ke diferensiasi niche/relung (Gosselink et al. 1980) yang menyebabkan terbentuknya keanakeragaman jenis baik tumbuhan dan hewan di riparia (Castelle et al. 1994). Pohon riparian baik sebagai habitat bagi invertebrata seperti serangga (Haslam 1997). Perubahan pohon riparian baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi hidupan liar (Petts 1990). Pohon riparian yang hilang telah mengurangi keanekaragaman ikan yang berada di sungai (Haslam 1997). Bahkan menurut Jones et al (1999), meskipun 95% suatu DAS berupa hutan namun jika ada gangguan pada riparia maka hal ini akan dapat mempengaruhi biota sungai seperti ikan. Oleh karena itu, Gordon et al. (2004) menyarankan perlunya mempertahankan dan memperbaiki riparia agar terjadi peningkatan populasi ikan sungai. 2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah dengan batas pemisah topografi, baik punggung bukit maupun lapisan kedap, yang menerima, menyimpan, menampung dan mengalirkan semua air yang jatuh di atasnya dalam suatu aliran sungai baik berupa air permukaan, air bawah permukaan maupun air tanah dalam, dari hulu menuju muara sungai melalui tempat-tempat tertentu ke laut lepas (Lumeno 1986). Menurut UU No.7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah tofografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (Anonim 2004).
15
Secara longitudinal, DAS dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu hulu, tengah dan hilir (Lorenz 2003). DAS bagian hulu merupakan tempat sumber air yang mengalir dari celah-celah gunung (Isdiyana 1996). Tampang alur sungai berbentuk huruf V. Kecepatan arus besar namun debit air kecil. Alur sungai memiliki sedimen berukuran besar. Sedimen yang berukuran kecil akan dihanyutkan ke hilir. Kecepatan arus sungai yang tinggi sehingga memiliki daya gerus dan kapasitas transport sedimen yang besar (Mulyanto 2007). Oleh sebab itu, DAS hulu biasanya merupakan sumber erosi atau daerah produksi sedimen (Isdiyana 1996). Sungai di bagian hulu memiliki karakteristik yaitu arus deras yang menyebabkan terjadinya erosi, air dangkal, volume air kecil, dasar sungai berbatu-batu, suhu air rendah, stenothermal (kisaran suhu sempit), oligotrofik, kaya oksigen. Jenis hewan dan tumbuhan di sungai bagian hulu telah beradaptasi dengan kondisi arus sungai yang deras seperti hewan bentik Lymnaea dan Simulium (Hawkes 1975). DAS bagian tengah merupakan peralihan antara hulu dan hilir. DAS bagian tengah merupakan tempat mentransfer air dan bahan sedimen dari bagian hulu ke hilir. Di bagian tengah, sering terjadi tikungan-tikungan sungai (meander) yang kadang-kadang berpindah-pindah akibat adanya proses penggerusan dan pengendapan (Isdiyana 1996). Air sungai bagian tengah masih kaya oksigen, kisaran suhu air lebih lebar. Kecepatan arus telah berkurang menjadi arus sedang yang memungkinkan vegetasi tumbuh dan material dasar sungai lebih halus. Hewan bentik yang telah beradaptasi dengan kondisi tersebut misalnya Ephemera dan Chironomus (Hawkes 1975). DAS bagian hilir biasanya merupakan daerah datar atau daerah endapan alluvial. Alur sungai di hilir cukup landai sehingga kecepatan arus rendah (Isdiyana 1996). Tampang alur sungai berbentuk U atau trapesium. Air sungai memiliki daya gerus rendah dan membawa sedimen yang besar yang memudahkan proses sedimentasi (Mulyanto 2007). Sedimentasi di daerah muara menyebabkan terjadinya sungai berjalin (braiding) dan pembentukan delta-delta (Isdiyana 1996). Sungai bagian hilir memiliki volume air yang tinggi, air dalam, kecepatan arus lambat, kisaran suhu lebar, suhu air tinggi, kadar oksigen rendah,
16
air keruh, dan terjadi sedimentasi yang menyebabkan dasar sungai berlumpur. Hewan bentik yang hidup di zona ini misal Tubifex dan Nais (Hawkes 1975). 2.4 Tinjauan Umum Lokasi Penelitian 2.4.1 Letak, Topografi dan Jenis Tanah Sungai Cisadane mengalir melintasi dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Banten.
Sungai
Cisadane
berhulu
di
Gunung
Kendeng
(1.764
m),
Gunung Perbakti (1.699 m) dan Gunung Salak (2.211 m) yang termasuk Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Sungai Cisadane kemudian melintasi kota Bogor dan selanjutnya ke wilayah Tangerang, Provinsi Banten (JICA 2006; BPDASCC 2007; Puslitbang SDA 2006 ). Sungai Cisadane merupakan sungai utama dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane yang terletak di antara 6°.02’-6°.54’ LS dan 106°.17’-107°.00’BT. DAS Cisadane dibatasi oleh sub-DAS Cimanceuri
di
sebelah Barat
dan DAS
Ciliwung di
sebelah
Timur
(Arwindrasti 1997). Anak-anak
Sungai
Cisadane
banyak
diantaranya
yaitu
Cianten,
Cisindangbarang, Ciapus, Cihideung, Cinangneng, Ciampea, Ciaruteun, Cikaniki, Citempuan dan Cisuuk (PUSDI-PSL IPB 1979 diacu oleh Yani et al. 1994). Sungai Cisadane memiliki dua bendungan yaitu Bendung Empang di Bogor dan bendung Pasar Baru di Tangerang. Kedua bendung berfungsi untuk mengairi persawahan di daerah Bogor dan Tangerang (Dirrehab 1981). Sungai Cisadane mengalir melintasi tiga daerah ketinggian. Pertama, DAS Cisadane
bagian
Hulu
merupakan
pegunungan
yang
berketinggian
± 300–3000 m dpl. Tofografi mulai dari datar (0-8), landai (8-15), agak curam (15-45) hingga sangat curam (> 45 ). Kedua, DAS Cisadane bagian Tengah memiliki ketinggian bervariasi antara 100–300 m dpl. Tofografi mulai dari datar, landai, agak curam hingga sangat curam. Ketiga, DAS Cisadane bagian Hilir terletak pada ketinggian 0–100m. Wilayah ini merupakan dataran dengan tofografi datar sampai landai (Arwindrasti 1997). Sepanjang aliran Sungai Cisadane dari hulu hingga hilir berkembang jenis tanah aluvial. Jenis tanah ini terbentuk karena adanya pengendapan yang terangkut oleh aliran sungai (Arwindrasti 1997). Endapan aluvial terdiri atas lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Tekstur tanah aluvial seperti
17
liat (clay), liat berdebu (silty clay), lempung berliat (clay loam), lempung liat berdebu (silty clay loam) (Suhendar 2005). 2.4.2
Iklim Iklim pada kawasan DAS Cisadane menurut klasifikasi iklim Schmidt dan
Ferguson termasuk tipe iklim B. Bulan basah rata-rata selama 9 bulan dan bulan kering rata-rata selama 3 bulan (Dirjen RLPS 2009). Suhu harian yaitu 23,3–31,7°C. Kelembaban udara yaitu 61-89%. Lama penyinaran matahari yaitu 18-85% (Arwindrasti 1997). 2.4.3
Hidrologi Sungai Cisadane melintasi Kota Bogor dan Tangerang sebelum bermuara ke
Laut Jawa. Panjang Sungai Cisadane dari hulu hingga Mauk (Tangerang) yaitu 137,8 Km. Sungai Cisadane mengalir dari hulu hingga Bogor sepanjang 42 Km pada kemiringan lebih dari 10%. Selanjutnya, Sungai Cisadane mengalir melandai dari Bogor sampai Serpong sepanjang 44,5 km pada kemiringan 3,6%. Sungai Cisadane akhirnya mengalir menuju Mauk sepanjang 51,3 km pada kemiringan kurang dari 2,2% (DPMA 1989 diacu oleh Arwindrasti 1997). 2.5 Penelitian Sebelumnya tentang DAS/Sungai Cisadane dan Riparia di Indonesia Berbagai penelitian telah dilakukan di DAS Cisadane maupun di Sungai Cisadane. Penelitian umumnya terdiri atas kualitas air Sungai Cisadane, perubahan penutupan lahan dan hidrologi. Hidrologi DAS Cisadane telah dikaji oleh Arwindrasti (1997) dan senantiasa dipantau oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Departemen Kehutanan. Penelitian tentang kualitas air Sungai Cisadane dilakukan oleh Tontowi dan Rahayu (1996). Aspek pencemaran logam berat di Sungai Cisadane sepanjang tahun 1998 hingga 2002 oleh Anggoro (2004). Kajian struktur komunitas makrozoobentos dan kualitas fisika- kimia air telah diteliti oleh Christianto (2002). Kualitas fisika, kimia dan mikrobiologi air Sungai Cisadane juga telah dikaji oleh Yani et al. (1994). Penelitian aspek estetika sempadan sungai telah diteliti oleh Pribadi (1999) melalui perencanaan greenbelt sepanjang Sungai Mookervart, yang merupakan anak sungai Cisadane di wilayah DKI Jakarta Barat. Rahmafitria (2004)
18
menekankan kajian pada kualitas visual dan lingkungan tepian Sungai Cisadane di Kota Bogor. Aspek lanskap budaya riparian masyarakat di tepian Sungai Musi, Sumatera Selatan telah dikaji oleh Febriani (2004). Kajian tentang aspek perubahan penutupan lahan dan rehabilitasi lahan juga telah dilakukan. Karakteristik DAS Cisadane/Sungai Cisadane bagian hulu telah dikaji oleh Ochtora (2004). Studi tentang pengelolaan penggunaan lahan di bagian hulu DAS Cisadane telah dilakukan oleh Puspaningsih (1997) dan Ahsoni (2008). Sutrihadi (2006) mengkaji tentang upaya penentuan areal yang akan direhabilitasi di DAS Cisadane bagian hulu dengan pendekatan SIG. Riswan (2003) meneliti tentang pola perubahan pemanfaatan lahan di Sungai Cikaniki, DAS Cisadane. Idawaty (1999) meneliti tentang perencanaan lansekap hutan mangrove di muara Sungai Cisadane di Teluk Naga. Penelitian tentang riparia di Indonesia masih sangat sedikit dan sebagian besar pada keanekaragaman vegetasi riparian. Yusuf et al. (2003) meneliti keanekaragaman vegetasi riparian dan perubahan penutupan lahan di tepian sungai di DAS Cisadane di bagian hulu dan tengah. Penelitian yang sama dilakukan oleh Partomihardjo dan Wiriadinata (2002) di muara anak-anak Sungai Cisadane bagian tengah. Wiriadinata dan Setyowati (2003) tertarik untuk mengkaji jenis vegetasi riparian yang dapat ditanam di danau, situ dan rawa di Jabodetabek. Sunanisari et al. (2001) meneliti vegetasi riparian di Rawa Danau, Sumatera Selatan-Lampung. Umar (2006) meneliti pengembangan koridor Sungai Kapuas sebagai kawasan wisata budaya. Sunarhadi et al (2001) mengkaji lebar sempadan mutlak dan penyangga Sungai Brantas berdasarkan proses geomorfik, kemampuan lahan, kestabilan geologis dan pengendalian penggunaan lahan.
19
III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sembilan (9) titik di sepanjang Sungai Cisadane yang melintasi Provinsi Jawa Barat dan Banten (Gambar 3). Penelitian dilakukan pada Juni 2010 hingga November 2011. Tiga lokasi berada di Sungai Cisadane bagian hulu yaitu di Desa Wates Jaya dan Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor dan di Hotel Braja Mustika, Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Tiga Lokasi di Sungai Cisadane bagian tengah yaitu
Gunung Sindur, Kec. Sindur, Kab. Bogor dan Cisauk, Kab. Bogor. Tiga lokasi di Sungai Cisadane bagian hilir yaitu di Legok, Gading Serpong, Kec. Serpong, Kota Tangerang Selatan, dan Jembatan Baru, Kota Tangerang, Provinsi Banten.
9
8 7
6
5 4
3
1 2
Gambar 3 Lokasi penelitian.
1
20
Delineasi riparia ditentukan berdasarkan definisi operasional tentang riparia berdasarkan definisi berbagai ahli sebelumnya (Gosselink et al. 1980; Huffman dan Forsythe 1981; Mitsch dan Gosselink, 1993; Naiman et al. 2005). Zona riparian adalah daratan yang berada di dekat Sungai Cisadane yang secara periodik dipengaruhi oleh banjir. Tumbuhan yang dipengaruhi banjir menjadi karakteristik lingkungan dalam mendelineasi zona riparian sebagaimana dikemukakan Naiman et al. (2005) bahwa tumbuhan dapat menjadi faktor mendelineasi zona riparian karena mudah diamati. Batas banjir ditentukan berdasarkan pengamatan di lapangan dan/atau informasi yang diperoleh dari penduduk yang bermukim di sepanjang tepian Sungai Cisadane. Data ekologi yang akan diperoleh berupa data penutupan lahan (land cover)/pemanfaatan lahan (land use), vegetasi riparian dan kualitas air Sungai Cisadane. Pengambilan data kualitas air sungai dilakukan di lokasi yang sama dengan pengambilan data vegetasi. Ringkasan metode penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. 3.2 Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cisadane Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder dari berbagai instansi. Data primer spasial yaitu citra Landat tahun 2009. Data sekunder yaitu data sungai dan administrasi dari berbagai instansi. a. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang diperlukan yaitu Citra Landsat tahun 2009 pada path 122 dan row 64 dan 65. Data citra path 122 dan row 64 diakuisisi pada 2 Juli 2008, 18 Juli 2008, dan 3 Agustus 2008. Data citra path 122 dan row 65 diakusisi pada 2 Juli 2008, 18 Juli 2008 dan 6 Agustus 2009. Alat lain yaitu seperangkat komputer, software Erdas 8.5, software Arc-View 3.3 dan GPS 60 Garmin. Batas DAS Cisadane diperoleh dari BPDASCC (2009). b. Metode Analisis Data Data citra yang diperoleh diolah dengan melakukan georeferensi, mosaic, cropping, overlay dan klasifikasi. Penutupan/pemanfaatan lahan diketahui dengan klasifikasi tidak terbimbing dan terbimbing (supervised classification) setelah dilakukan pengecekan ke lapangan (ground truth).
19
Tabel 1 Tujuan, jenis data, alat dan bahan, metoda pengambilan data dan analisis data serta hasil No.
Tujuan
Data
1
Penutupan/ Primer: penggunaan DAS Cisadane
2
Manfaat Sungai Primer Cisadane bagi penduduk Vegetasi riparian Primer Sungai Cisadane
3
Alat dan bahan
Metoda pengambilan data Citra Landat tahun 2009; unduh, peta sungai, peta ground truth administrasi, software Erdas 8.5, software ArcView 3.3; GPS 60 Garmin ATK, kamera survai; wawancara singkat Oven dll. Analisis vegetasi dg garis petak
4
Kualitas air Sungai Cisadane
keping Secchi, surber, Eckman Grabb, kamera mikroskop digital, saringan, alat dan bahan titrasi, Minitab 15
5
Peranan vegetasi Primer riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane
Minitab 15
Metoda analisis data
Hasil
georeferensi, mosaic, 10 kelas tutupan cropping, overlay, lahan klasifikasi terbimbing maximum likehood classifier Deskriptif Manfaat sungai bagi penduduk
nama jenis, kelimpahan, kerapatan, indeks R, indeks H’ Sampling air dan nama jenis, makrozoobentos kelimpahan, kepadatan, indeks H’, uji AKU/PCA Deskriptif, AKU/PCA,
Struktur komposisi riparian
dan vegetasi
Kualitas air sungai: dan hubungan antara faktor biologi dan faktor fisikokimia air
uji Peranan riparian
vegetasi
21
22 22 Teknik kemungkinan maksimum (maximum likehood classifier) digunakan pada klasifikasi terbimbing ini. Teknik ini merupakan teknik yang umum digunakan dan menjadi teknik baku dalam melakukan klasifikasi terbimbing. Klasifikasi lahan dilakukan pada skala spasial (Snyder et al. 2003). Lahan diklasikasikan menjadi hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, kebun campuran, semak belukar, lahan terbuka, lahan terbangun, sawah, tambak, dan badan air. Akurasi yang digunakan dalam klasifikasi terbimbing ini yaitu akurasi Kappa. Nilai akurasi dinyatakan dalam persentase akurasi (Jaya 2010). Data citra Landsat 2009 digunakan untuk mengetahui klasifikasi penutupan/pemanfaatan lahan di DAS Cisadane. Analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB.
3.3 Manfaat Sungai Cisadane bagi penduduk Manfaat Sungai Cisadane bagi penduduk diketahui dengan menggunakan metode survei dan wawancara singkat dengan penduduk serta observasi di lapangan. Hasil pengamatan dan wawancara dijabarkan secara deskriptif.
3.4 Vegetasi Riparian Sungai Cisadane Data yang diperoleh yaitu nama jenis, jumlah, kerapatan, indeks kekayaan jenis Margalef (R) dan indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener (H’). a. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang diperlukan seperti oven, sasak, meteran, patok, tali rafia, alat tulis, kantong plastik, label spesimen, gunting tumbuhan, parang, alkohol dan kertas koran (Tabel 2). b. Metode Pengumpulan Data Data struktur dan komposisi vegetasi riparian diperoleh melalui analisis vegetasi. Metode yang digunakan dalam melakukan analisis vegetasi yaitu metode garis berpetak (Soerianegara dan Indrawan 2008). Lokasi pencuplikan vegetasi riparian berada di sepanjang tepian sungai yaitu dari tepi sungai (bankfull widh) hingga daratan atas (upland) yang dipengaruhi limpasan air Sungai Cisadane pada saat banjir (high level). Lokasi dapat di tepian kiri dan/ataupun kanan Sungai Cisadane tergantung pada tepi tipe vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan pada
23
semua tingkatan pohon (semai, tiang, pancang dan pohon) dan tumbuhan bawah (paku, liana, herba, semak belukar dan rumput). Tabel 2 Alat dan bahan analisis vegetasi Alat/Bahan
Kegunaan
Alat: Menenentukan posisi sampling Mengukur kuadrat dan DBH Membuat kuadrat Membuat herbarium kering Memotong vegetasi Mengeringkan spesimen
GPS 60 Garmin Meteran Patok-patok Sasak Gunting, golok/parang Oven Bahan: Alkohol 96% Tali rafia Kantong plastik Label Kertas koran
Mengawetkan spesimen Membuat kuadrat Menyimpan sampel vegetasi Memberi nama spesimen Mengeringkan spesimen
Jalur di tiap tipe vegetasi riparian berupa garis berpetak yang tegak lurus dengan tepi Sungai Cisadane. Jalur di tiap stasiun sebanyak dua jalur dengan jarak jalur 15-20 meter. Jarak antar jalur di Stasiun 1, Stasiun 2, Stasiun 3, Stasiun 6, Stasiun 7 dan Stasiun 8 yaitu 15 m. Jarak antar jalur di Stasiun 4 dan Stasiun 5 yaitu 20 m. Ukuran panjang petak disesuaikan dengan lebar zona vegetasi riparian. Ukuran petak 20 m x 20 m untuk pengamatan pohon (diameter >20 cm), 10 m x 10 m untuk tiang (diameter 10 - 20 cm), 5 m x 5 m untuk pancang (tinggi ≥ 1,5 m, diameter < 10 cm) dan 2 m x 2 m untuk semai (mulai kecambah/anakan hingga tinggi 1,5 m) (Soerianegara dan Indrawan 2008) (Gambar 4). daratan
D
zona riparia
C B A
sungai
Gambar
4
Lay Out metode garis berpetak untuk analisis vegetasi riparian. A (2 m x 2 m), B (5 m x 5 m), C (10 m x 10 m), dan D (20 m x 20 m).
24
Sampel vegetasi riparian dikoleksi dan diawetkan dengan alkohol 96%. Selanjutnya, vegetasi dikeringkan dalam oven pada suhu 40-50ºC selama sekitar 48 jam di Laboratorium Ekologi, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku-buku indentifikasi. c. Metode Analisis Data Struktur vegetasi riparian yang diamati berupa kelimpahan dan kerapatan (Barbour et al. 1999). Komposisi vegetasi riparian ditunjukkan dengan Indeks Kekayaan Jenis Margalef (R) dan Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener (H’). Rumus-rumus yang digunakan yaitu: Kerapatan/densitas Kerapatan adalah banyaknya individu per unit area (Barbour et al. 1999). Kerapatan yaitu: K = 10000 a/b Keterangan: K = Kerapatan vegetasi (ind./ha) a = banyaknya vegetasi (individu) b = luas plot (m2)
Indeks Kekayaan Jenis (Species Richness/R) Kekayaan jenis adalah banyaknya jenis dalam suatu komunitas. Nilai kekayaan jenis dalam suatu komunitas diukur dengan Indeks Margalef (Magurran 1991). Indeks Kekayaan Jenis (R) dengan rumus yaitu: R = (S-1)/ln N Keterangan: R = Nilai Indeks Kekayaan Jenis Margalef S = Jumlah jenis yang ditemukan N = Jumlah total individu
Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) Keanekaragaman jenis diketahui berdasarkan Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dari Shannon-Wiener (Krebs 1972; Magurran 1991) dengan rumus berikut:
25
H’ = - ∑pi log2 pi Keterangan: H’ pi ni N K
= Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener = proporsi kerapatan jenis ke-i = (ni/N) = kerapatan jenis ke-i = kerapatan seluruh jenis = kerapatan= jumlah individu suatu jenis dalam luas plot contoh luas plot contoh
3.5 Kualitas Air Sungai Cisadane Kualitas air yang diamati terdiri atas faktor fisika, kimia dan biologi. Faktor fisika air Sungai Cisadane yaitu kecepatan arus, kecerahan Secchi, Suspended Solids/TSS dan suhu. Faktor kimia air sungai yaitu pH, Dissolved Oxygen/DO, Biochemical Oxygen Demand/BOD, Chemical Oxygen Demand/COD, Total Nitrogen/TN, dan Total Fosfat/TP. Faktor biologi air sungai yaitu nama jenis, jumlah,
kepadatan
dan
Indeks
Keanekaragaman
Shannon-Wiener
(H’)
makrozoobentos. a. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan yaitu keping Secchi/Secchi disc, water sampler 600 ml, jala surber (30 cm x 30 cm), Eckman Grab (25 cm x 25 cm), stopwatch, mikroskop, kamera mikroskop digital, saringan, formalin 4%, reagen Rose Bengal 1 %, termometer Hg, pH meter, botol winkler, alat dan bahan titrasi (Tabel 3). b. Metode Pengumpulan Data Data yang akan diperoleh merupakan data primer. Data primer dengan mengambil sampel makrozoobentos Sungai Cisadane, yang merupakan faktor biologis perairan dan mengukur faktor fisika dan kimia perairan. Pengamatan dan pengambilan sampel air Sungai Cisadane secara komposit dilakukan pada musim kemarau (Agustus dan Oktober 2011) dan hujan (November 2011) bersamaan dengan pengambilan data vegetasi riparian. Pengukuran faktor fisika dan kimia air permukaan sungai dilakukan sesaat baik secara in situ/di lapangan maupun ex situ/di laboratorium. Waktu pengamatan pada pukul 09.00-14.00 WIB. Air diambil lalu dimasukkan ke dalam botol plastik dan dimasukkan ke dalam cool
26
box untuk dibawa ke laboratorium. Parameter in situ misalnya suhu, pH, dan DO. Parameter ex situ yaitu BOD, COD, TN, TP, dan TSS yang dilakukan di Laboratorium Proling, Departemen Manajemen dan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Tabel 3 Parameter dan metode analisis data biofisikokimia Sungai Cisadane Parameter Fisik: Kedalaman Kecepatan arus Kekeruhan Substrat Suhu Kimia: DO BOD COD N total P total TSS Biologis: Makrozoobentos
Metoda/Alat
Satuan
Tongkat/kayu Stop watch, pelampung Keping Secchi Visual Termometer Hg
cm cm/detik Cm
DO meter APHA,ed.21,2005,5210-B APHA,ed.21,2005,5220-D APHA,ed.21,2005,4500-N-C APHA,ed.21,2005,4500-P-E&J APHA,ed.21,2005,2540-D Jala surber, mikroskop
Eckman
Analisis
Grab,
ºC
In situ In situ In situ In situ In situ
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Ex situ Ex situ Ex situ Ex situ Ex situ Ex situ
Individu/m2
Ex situ
Makrozoobentos dipergunakan sebagai bioindikator kualitas air Sungai Cisadane. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel untuk faktor fisika dan kimia air. Sampel makrozoobentos diambil dengan menggunakan surber net (jala surber) untuk substrat sungai berupa batuan dan Eckman Grabb (pengeruk Eckman) untuk substrat berlumpur atau pasir (Fachrul 2007). Pengambilan sampel dilakukan secara komposit. Sampel yang diperoleh disaring dengan menggunakan saringan bertingkat. Sampel hasil saringan dimasukkan ke botol lalu diawetkan dengan larutan formalin 4%. Sampel yang telah disaring diberikan reagen Rose Bengal 1 % untuk diindentifikasi dan difoto di Laboratorium Biomikro 1, Departemen Manajemen dan Sumberdaya Perikanan, IPB. Sampel makrozoobentos yang berukuran kecil difoto di Laboratorium Anatomi, Departemen Anatomi, Histologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.
27
c. Metode Analisis Data Kepadatan makrozoobentos diketahui dari rumus Odum (1971) yaitu: K = 1000 a/b Keterangan: K = Kepadatan makrozoobentos (ind./m2) a = Jumlah makrozoobentos (individu) b = Luas bukaan jala surber atau Eckman Grabb (cm2) Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran suatu perairan seperti Sungai Cisadane. Staub et al. (1970) seperti yang dikutip Wilhm (1975) membagi tingkat pencemaran berdasarkan nilai indeks H’ ke dalam empat tingkat yaitu:
H’ = 3,0 – 4,5 : tercemar sangat ringan
H’ = 2,0 – 3,0 : tercemar ringan
H’ = 1,0 – 2,0 : tercemar sedang
H’ = 0,0 – 1,0 : tercemar berat Kualitas air Sungai Cisadane ditentukan berdasarkan faktor fisika, kimia,
dan biologi Sungai Cisadane yang dianalisis secara deskriptif. Analisis kualitas dengan membandingkan kualitas air terhadap ambang baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah sesuai PP No.82/2001 (Anonim 2001). Hubungan faktor biologi dengan faktor fisikokimia air Sungai Cisadane dari hulu hingga hilir diketahui dari hasil analisis statistik peubah ganda/multivariate. Sebelumnya dilakukan uji multikolinearitas dengan uji Korelasi. Jika tidak ada multikolinearitas maka dilanjutkan dengan Uji Manova (multivariate analysis of variance) (Hair et al. 1998). Jika ada multikoliearitas maka dilanjutkan dengan uji peubah
ganda
Analisis
Komponen
Utama/AKU
(Principal
Component
Analysis/PCA). AKU mengubah sejumlah peubah ke dalam peubah baru buatan yang tidak berkorelasi lagi dan cenderung berdistribusi normal. AKU akan mengurangi banyaknya peubah (Green 1979; Digby dan Kempton 1991, Everitt dan Dunn 1998). Seluruh uji statistik dilakukan dengan program Minitab versi 15.
28
3.6 Peranan Vegetasi Riparian dalam Mempertahankan Kualitas Air Sungai Cisadane Hubungan vegetasi riparian dengan faktor fisika-kimia-biologi air Sungai Cisadane diketahui dengan menggunakan Analisis Komponen Utama yang diolah dengan program Minitab versi 15. Hasil uji statistik akan disampaikan secara deskriptif. Arahan
pengelolaan
Sungai
Cisadane
dengan
mempertimbangkan
penutupan lahan DAS Cisadane, manfaat Sungai Cisadane, struktur dan vegetasi riparian dan kualitas air Sungai Cisadane. Rekomendasi yang diusulkan diolah secara deskriptif dengan mempertimbangkan dokumen-dokumen pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cisadane Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane dari hulu hingga hilir, Teluk Naga memiliki luas sekitar 155.149,39 ha (Gambar 5). DAS Cisadane dibagi menjadi 3 segmen yaitu hulu, tengah dan hilir. DAS Cisadane bagian hulu mulai dari hulu hingga stasiun pengamat air di Batu Beulah mencakup Kecamatan Cijeruk, Caringin, Cigombong, Ciawi, Tamansari, Ciomas, Cisarua- Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Kecamatan Ciampea - Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. DAS Cisadane bagian tengah dari Stasiun Batu Belah, Kecamatan Semplak, Rumpin, Gunung Sindur dan Muncak. DAS Cisadane bagian tengah mulai Kota Serpong, Tangerang Legok, stasiun pengamat air Pasar Baru hingga Teluk Naga, Provinsi Banten.
9
8
7
6
5 4
3
1 2
Gambar 5 Peta tutupan lahan DAS Cisadane.
30
Akurasi yang digunakan untuk klasifikasi terbimbing yaitu akurasi Kappa. Nilai akurasi Kappa adalah 96,26%. Nilai akurasi lain untuk akurasi pembuat, pengguna dan umum berturut-turut yaitu 95,96%, 97,10% dan 96,74%. DAS Cisadane diklasifikasikan menjadi 10 kelas yaitu hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, kebun campuran, semak belukar, lahan terbuka, lahan terbangun, sawah, tambak, dan badan air. Hutan yang tersisa pada tahun 2009 hanya sekitar 42.051,25 ha (27,10%). Adapun persentase tutupan tiap kelas (Gambar 6) yaitu hutan primer (7.332,67 ha; 4,73%), hutan sekunder (3.4718,58 ha; 22,38%), perkebunan (6.261,59 ha; 4,04%), kebun campuran (24.439,49 ha; 15,75%), semak belukar (14.511,34 ha; 9,35%), lahan terbuka (25.863,08 sawah
ha;
16,67%),
(20.919,83
ha;
lahan
terbangun
13,48%),
tambak
(16.467,87
(1.858,08
ha;
ha;
10,61%),
1,20%),
dan
badan air (2.776,87 ha; 1,79%). 1,20%
1,79% 4,73%
9,35% 22,38% 13,48%
4,04%
16,67%
Badan Air
1,79%
Hutan Primer
4,73%
Hutan Sekunder
22,38%
Kebun Campuran
15,75%
Lahan Terbangun
10,61%
Lahan Terbuka
16,67%
Perkebunan
4,04%
Sawah
13,48%
Semak Belukar
9,35%
Tambak
1,20%
15,75% 10,61%
Gambar 6 Persentase tutupan lahan DAS Cisadane. Perubahan tutupan lahan di tiap Sub-DAS Cisadane menunjukan lahan hutan (primer dan sekunder) yang cukup luas di hulu semakin berkurang menuju hilir digantikan oleh lahan non hutan. Luas hutan di hulu semula 20,45% menjadi 4,90% di tengah dan hanya 2,76% di hilir (Tabel 4). Jika dilihat persentase tutupan tiap sub-DAS, DAS Cisadane bagian hulu didominasi oleh tutupan lahan berupa hutan sebesar 36,49% dan lahan pertanian berupa kebun campuran, sawah, perkebunan sebesar 29,73%. Luas lahan terbangun hanya 5,55%. DAS Cisadane bagian tengah didominasi oleh lahan
31
pertanian (40,69%). DAS Cisadane bagian hilir didominasi oleh lahan terbangun (25,76%) dan lahan pertanian (35,19%). Hutan di hilir hanya berupa hutan sekunder sebesar 11,91%. Tabel 4. Luas dan persentase tutupan lahan tiap Sub-DAS Cisadane Tutupan Lahan
Luas DAS (ha) Hulu
Badan Air
Tengah
Hilir
226,54
0,26%
0,15%
441,13
1,37%
0,28%
2.109,20
5,86%
7.302,57
8,40%
4,71%
30,10
0,09%
0,02%
-
-
Hutan Sekunder
24.415,46
28,09%
15,74%
6.015,16
18,66%
3,88%
4.287,96
11,91%
2,76%
Kebun Campuran
11.666.87
13,42%
7,52%
8.467,09
26,27%
5,46%
4.305,53
11,96%
2,78%
Lahan Terbangun
4.826,99
5,55%
3,11%
2.368,10
7,35%
1,53%
9.272,78
25,76%
5,98%
14.444,36
16,62%
9,31%
6.441,62
19,99%
4,15%
4.977,10
13,83%
3,21%
3.876,23
4,46%
2,50%
2.325,23
7,21%
1,50%
60,12
0,17%
0,04%
10.299,04
11,85%
6,64%
2.321,23
7,20%
1,50%
8.299,56
23,06%
5,35%
9.850,15
11,33%
6,35%
3.705,85
11,50%
2,39%
955,33
2,65%
0,62%
18,46
0,02%
0,01%
115,57
0,36%
0,07%
1.724,06
4,79%
1,11%
56,03%
32.231,09
20,77%
35.991,63
Hutan Primer
Lahan Terbuka Perkebunan Sawah Semak Belukar Tambak Sub-Total Total
86.926,67 155.149,39
Keterangan: Angka persentase pertama per luas sub-total; persentase kedua per luas total DAS
Tepian Sungai Cisadane menurut klasifikasi Rahmafitria (2004), dapat dikategorikan sebagai lansekap semi alami dan urban. Lansekap semi alami ditemukan di Sungai Cisadane bagian hulu (Stasiun 1-2) dan tengah di pinggiran kota (Stasiun 4-6) dengan penutupan/pemanfaatan tepian berupa sawah, kebun campuran dan semak belukar (Gambar 7a-b).
a. Lansekap semi alami di bagian hulu
b. Lansekap semi alami di bagian tengah
Gambar 7 Lansekap semi alami di Sungai Cisadane bagian hulu dan tengah.
1,36% -
23,20%
32
Lansekap urban dicirikan dengan penutupan/pemanfaatan tepian berupa lahan terbangun seperti permukiman dan industri. Tipe lansekap urban ditemukan di daerah perkotaan seperti Kota Bogor (Gambar 8a) dan Serpong (Gambar 8b).
a. Permukiman di Kota Bogor
b. Industri di Kota Serpong
Gambar 8 Lansekap urban di Sungai Cisadane bagian hilir.
4.2 Pemanfaatan Sungai Cisadane Sungai Cisadane merupakan sungai utama dari DAS Cisadane. Sungai Cisadane memiliki banyak fungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Air sungai dimanfaatkan penduduk sebagai air bersih untuk berbagai kebutuhan domestik seperti air minum, mandi dan cuci. Penduduk yang bermukim di sepanjang sungai menjadikan sungai sebagai tempat untuk MCK (Gambar 9).
Gambar 9 MCK di Sungai Cisadane bagian hulu. Pemanfaatan air sungai untuk MCK menjadi sumber pencemar anorganik, organik dan biologis yang akan menurunkan kualitas air sungai. Kegiatan kakus
33
menyebabkan masuknya organisma patogen seperti bakteri, virus, protozoa dan cacing parasit ke air sungai (Abel 1989; Mason 1991; Mara dan Cairncross 1994). Sehingga, pemanfaatan air sungai untuk mandi dan cuci dapat mengganggu kesehatan penduduk akibat penyakit patogen yang ditularkan melalui air sungai (CPCD 2006). Penyakit yang menular dari air ini disebut water-borne disease (Mason 1991; Effendi 2003). Penyakit yang dapat diderita manusia akibat mandi, mencuci dan berenang di sungai misalnya leptospirosis, demam tifus, kolera (Nemerow 1974; Abel 1989), diare, infeksi cacing, disentri, gastroenteritis (Effendi 2003), poliomielitis dan hepatitis A (Abel 1989). Penduduk umumnya mencuci dengan detergen yang akan mencemari air sungai. Busa detergen dapat menghambat difusi oksigen di udara ke dalam air sungai. Jika hal ini terjadi maka kandungan oksigen terlarut dalam air sungai akan menurun yang pada akhirnya akan mengganggu aktivitas biologis organisma sungai (CPCD 2006). Detergen mengandung unsur Fosfor (P) sehingga detergen menjadi sumber penyebab kenaikan unsur P di air sungai (Abel 1989; Effendi 2003). Tinja yang merupakan hasil metabolisma banyak mengandung amonia total berupa amonia bebas (NH3) dan ion amonium (NH4+). Amonia bebas (NH3) bersifat toksik terhadap organisma akuatik. Ikan lebih peka jika terjadi peningkatan konsentrasi amonia bebas sebab amonia bebas yang terlalu tinggi dapat menghambat pengikatan oksigen oleh darah yang berakibat pada sufokasi (Effendi 2003) atau kematian ikan akibat kekurangan oksigen. Air sungai diandalkan oleh penduduk untuk mengairi sawah mereka. Kegiatan pertanian menggunakan pupuk dan pestisida. Air limpasan akan membawa bahan pencemar ini ke sungai. Pupuk mengandung unsur Nitrogen (N) dan P. Pupuk yang masuk ke air sungai akan meningkatkan konsentrasi N dan P. Kenaikan unsur N dan P yang berlebihan dapat menurunkan kualitas air sungai. Konsentrasi nitrit yang tinggi bersifat toksik bagi organisma akutik dan manusia. Walaupun nitrat tidak bersifat toksik, namun konsentrasi nitrat yang tinggi dalam air minum dapat menyebabkan blue baby syndrome/methemoglobinemia. Nitrat pada bayi akan menurunkan kapasitas darah dalam mengikat oksigen (Effendi 2003).
34
Pestisida masuk ke sungai dibawa oleh air limpasan dari lahan pertanian yang menggunakan pestisida ataupun dari industri. Pestisida ini memiliki efek subletal, bersifat akumuatif dalam individu-individu di dalam rantai makanan. Dampak pestisida bagi organisma berbeda dapat mematikan/toksik tinggi bagi beberapa organisma, menengah ataupun tidak berdampak penting bagi organisma lain (Abel 1989). Sungai Cisadane juga dimanfaatkan sebagai tempat olahraga arung jeram. Bagi penduduk, sungai memudahkan mereka untuk pergi ke tempat lain dengan menggunakan alat-alat transportasi seperti rakit. Kegiatan MCK yang selama ini dilakukan dapat menyebabkan penurunan kualitas air untuk kesehatan manusia. Hal ini tentu selain mengganggu kesehatan juga menurunkan nilai estetika sungai. Penduduk mengambil sumber protein hewani seperti ikan dan udang (Macrobrachium sp.) dari Sungai Cisadane. Alat tangkap yang dipergunakan misalnya pancing dan jaring tebar (Gambar 10a-b). Ikan yang ditemukan di Sungai Cisadane misal ikan betutu (Oxyeleotris marmorata) (Warjono 1990) dan ikan baung (Mystus nemurus) di Sungai Cikaniki, anak Sungai Cisadane (Paryono 2005).
a Menangkap ikan di Sungai Cisadane hilir
b Menebar jala di Sungai Cisadane hulu
Gambar 10 Menangkap ikan di Sungai Cisadane. Di bagian hilir sungai, di daerah Serpong, penduduk menangkap cacing sutra untuk dijual sebagai pakan ikan Arwana (Gambar 11). Cacing sutra ini banyak ditemukan di bagian hilir sebab lingkungan sesuai untuk cacing sutra. Habitat sungai yang memiliki karakter subsrat yang berlumpur (Abel 1989), arus yang lambat dan konsentrasi N dan P yang tinggi
sesuai untuk mendukung
pertumbuhan Oligocaheta seperti cacing sutra Branchiura sp dan Lumbriculus sp.
35
Gambar 11 Mencari cacing sutra (Oligochaeta) di Sungai Cisadane hilir, Serpong Selain sumber air dan pangan, Sungai Cisadane menjadi sumber bahan galian C bagi penduduk. Pada beberapa tempat seperti si Kecamatan Sindur, penduduk menambang pasir dari Sungai Cisadane (Gambar 12). Hasil pasir yang ditambang akan lebih banyak ketika musim hujan saat air sungai membawa pasir dari hulu. Penambangan pasir juga dilakukan di sepanjang tepian sungai yang merupakan zona riparian Sungai Cisadane. Setelah penambangan selesai dilakukan, penduduk membuat lahan bekas galian pasir menjadi sawah atau menjadi kebun.
Gambar 12 Menambang pasir di Sungai Cisadane tengah, Sindur.
36
Kegiatan pertambangan di sempadan sungai meningkatkan sedimentasi dan kekeruhan air sungai, menurunkan DO, meningkatkan suhu air sungai dan mendegradasi riparian (Brown et al. 1998; DID 2009). Penambangan pasir juga berdampak langsung pada substrat sungai. Perubahan substrat sungai ini berakibat pada organisma sungai seperti ikan dan makrozoobentos (Brown et al. 1998). Ikan memiliki kebutuhan habitat yang berbeda di sepanjang tahap hidupnya (Haslam 1990; Chovanec et al. 2003). Ikan sangat jarang menempati habitat yang sama untuk tiap sejarah kehidupannya (FAO 1998). Ikan berlaku sebagai indikator sensitif terhadap perubahan temapat memijah (Chovanec et al. 2003). Jika terjadi perubahan subsrat maka ikan tidak akan dapat meletakkan telurnya yang akan berdampak pada kematian ikan yang menyukai substart tertentu seperti berbatu/berpasir untuk memijah. Organisma sungai yang menyukai subsrat yang berpasir akan hilang digantikan oleh organisma yang dapat hidup di subsrat berlumpur (Brown et al. 1998). Tidak hanya ikan, insekta yang merayap di permukaan subsrat berpasir akan hilang digantikan oleh organisma seperti lintah, Oligochaeta dan Mollusca (Abel 1989). Jika insekta ini hilang maka ikan juga hilang akibat hilangnya makanan ikan tersebut (Haslam 1990; Brown et al. 1998). Penambangan pasir di sungai memberikan dampak postif bagi penduduk sebab penduduk dapat memperoleh uang dari hasil menjual pasir. Namun, pertambangan pasir yang tidak terkendali dapat menurunkan keanekaragaman organisma Sungai Cisadane dan menurunkan produktivitas perikanan. 4.3 Struktur dan Komposisi Vegetasi Riparian Vegetasi riparian adalah vegetasi yang terkena luapan air Sungai Cisadane. Vegetasi riparian yang diamati terletak di daerah hulu (Stasiun 1-3), tengah (Stasiun 4-6) dan hilir (Stasiun 7-8). Vegetasi riparian tidak ditemukan di Stasiun 9 yang terletak di Jembatan Pasar Baru, Tangerang. Vegetasi riparian beranekaragam mulai dari rumput, herba, perdu, hingga tanaman tingkat tiang yang ditanam oleh masyarakat setempat. Jenis vegetasi yang diamati adalah jenis vegetasi riparian di riparia. Steenis (1981) menyebutkan jenis vegetasi ini sebagai riparian rheofhytes yang berbeda dengan tumbuhan rheofit yang ada di atas subsrat badan sungai. Riparian rheofhytes ini berada di tanah aluvial di tepian sungai. Jenis vegetasi riparian yang ditemukan ada sebanyak 50 jenis vegetasi.
37
Jenis yang paling sering ditemukan yaitu Wedelia trilobata dan Digitaria longiflora. Jenis ini ditemukan di 7 stasiun, hampir di tiap stasiun (Lampiran 1). Sebanyak 25 suku vegetasi riparian ditemukan pada Stasiun 1- 8. Suku yang paling banyak ditemukan (Tabel 5) yaitu Poaceae (43,27%) dan Asteraceae (28,60 %). Sisanya oleh bermacam suku dengan kerapatan berkisar 0,01% 6,83%. Kerapatan jenis yang paling tinggi (Tabel 6) yaitu Digitaria longiflora (15,51%), Wedelia trilobata (11,80%) dan Digitaria violances (9,68%). Tabel 5 Kerapatan vegetasi riparian di Stasiun 1- 8 Stasiun No
Familia
1
2
3
4
5
6
7
8
Persen
1
Acanthaceae
-
22.500
2.500
-
-
-
-
-
1,27%
2
Amaranthaceae
-
6.250
40.000
5.000
15.833
-
-
-
6,83%
3
Anacardiaceae
-
-
50
-
-
-
-
-
0,00%
4
Araceae
-
1.250
5.000
6.250
-
-
7.500
-
1,02%
5
Arecaceae
-
-
1.000
-
-
-
-
-
0,05%
6
Asteraceae
100.000
57.500
62.500
147.500
44.167
62.500
20.000
67.500
28,60%
7
Campanulaceae
12.500
-
-
-
-
-
-
-
0,64%
8
Commelinaceae
-
-
-
-
-
7.500
-
-
0,38%
9
Cyperaceae
-
-
-
15.000
2.500
7.500
-
-
0,89%
10
Dryopteridaceae.
-
5.000
13.750
-
-
-
-
-
0,95%
11
Euphorbiaceae.
12.500
-
-
-
833
9.000
-
10.000
1,65%
12
Fabaceae
35.000
-
2.500
-
-
-
-
-
1,91%
13
Lamiaceae
80.000
37.500
-
12.500
-
-
-
-
6,62%
14
Limnocharitaceae
-
-
-
-
8.333
-
-
-
0,42%
15
Malvaceae
5.000
-
-
2.500
5.000
-
-
-
0,64%
16
Melastomataceae
-
-
-
7.500
-
-
-
0,38%
17
Mimosaceae
-
8.750
-
9.400
24.800
-
-
-
2,19%
18
Musaceae
-
400
2.600
-
-
1.000
10.000
12.000
1,32%
19
Myrtaceae
-
400
-
-
-
-
-
-
0,02%
20
Onagraceae
-
-
1.250
-
3.333
-
-
-
0,23%
21
Poaceae
237.500
235.000
70.000
136.250
12.500
41.250
52.500
65.000
43,27%
22
Sapindaceae
-
-
200
-
-
-
-
-
0,01%
23
Solanaceae.
-
-
-
-
833
-
-
-
0,04%
24
Turneraceae
-
1.250
-
5.000
-
-
-
-
0,32%
25
Urticaceae
-
-
-
-
6.667
-
-
-
0,34%
38
38
Tabel 6 Kerapatan jenis (individu/ha) vegetasi riparian di stasiun 1-8 Nama Jenis
Familia
Stasiun 4 5
1
2
3
5.000
12.500
-
80.000
6
7
8
14.167
20.000
-
-
13.1667
7,97%
Total
persen
Ageratum conyzoides L.
Asteraceae
Albizia falcataria L.
Mimosaceae
-
-
-
9.400
24.800
-
-
-
34.200
2,07%
Alternanthera dentata R.E.Fr.
Amaranthaceae
-
-
35.000
5.000
15.833
-
-
-
55.833
3,38%
Amaranthus spinosus L.
Amaranthaceae
-
6.250
5.000
-
-
-
-
-
11.250
0,68%
Asystasia gangetica (L.) T. Anders.
Acanthaceae
-
22.500
2.500
-
-
-
-
-
25000
1,51%
Axonophus compressus (Sw.) P. Beauv.
Poaceae
-
2.500
-
-
-
-
-
2.500
0,15%
Centrosema pubescens Benth.
Fabaceae
35.000
-
2.500
-
-
-
-
-
37.500
2,27%
Cocos nucifera L.
Arecaceae
-
-
1.000
-
-
-
-
-
1.000
0,06%
Colocasia esculenta (L.) Schot.
Araceae
-
1.250
5.000
6.250
-
-
7.500
-
12.500
0,76%
Commelina nudiflora Brn. F.
Commelinaceae
-
-
-
-
7.500
-
-
7.500
0,45%
Cyperus kyllingia Endl.
Cyperaceae
-
-
-
7.500
-
-
-
-
7.500
0,45%
Cyperus odoratus L.
Cyperaceae
-
-
-
5.000
-
-
-
-
5.000
0,30%
Cyperus rotundus L
Cyperaceae
-
-
-
2.500
2.500
-
-
-
5.000
0,30%
Digitaria didactyla Willd.
Poaceae
-
7.500
-
-
-
-
-
-
7.500
0,45%
Digitaria insularis (L.) Mez
Poaceae
-
Digitaria longiflora (Retz.) Pers.
Poaceae
110.000
Digitaria violances Links.
Poaceae
Diplazium esculentum (Retz.)Sw Emilia sonchifolia (L.) DC. ex Wight.
-
20.000
-
-
-
-
20.000
1,21%
77.500
-
22.500
5.000
-
41.250
12.500
65.000
256.250
15,51%
-
-
47.500
105.000
7.500
-
-
-
160.000
9,68%
Dryopteridaceae.
-
3.750
13.750
-
-
-
-
-
17.500
1,06%
Asteraceae
-
-
-
-
3.333
-
-
-
3.333
0,20%
Eupatorium odoratum L.
Asteraceae
15.000
-
-
-
1.667
-
10.000
16.667
1,01%
Euphorbia hirta L.
Euhorbiaceae
12.500
-
-
-
-
-
-
-
12.500
0,76%
Heterogonium sp.
Dryopteridaceae
-
1.250
-
-
-
-
-
-
1.250
0,08%
Hyptis capitata Jacq.
Lamiaceae
-
28.750
-
-
-
-
-
-
28.750
1,74%
Ichnanthus vicinus Merr.
Poaceae
75.000
-
-
3.750
4.167
-
-
-
82.917
5,02%
39
Tabel 6 (lanjutan) Nama Jenis Isotoma longiflora (Wild.) Presl. Leucas sp. Limnocharis flava (L.) Buch. Ludwigia octovalvis (Jacq.) P. H. Raven Mangifera indica L. Manihot esculenta Crantz Medinella sp. Mikania micrantha Kunth. Mimosa pudica L. Musa paradisiaca L. Nephelium lappaceum L. Orthosiphon sp. Paspalum conjugatum Berg. Pennisetum purpureum Schaum Phyllanthus niruri L. Physalis angulata L. Pogonatherum paniceum (Lam.) Hack Psidium guajava L. Sida acuta N. L. Burman Spilanthes sp. Synedrella nodiflora (L.) Gaertn. Turnera subulata J. E. Smith. Urtica sp. Wedelia trilobata (L.) Hitchc Total
Familia Campanulaceae Lamiaceae Limnocharitaceae Onagraceae Anacardiaceae Euphorbiaceae. Melastomataceae Asteraceae Mimosaceae Musaceae Sapindaceae Lamiaceae Poaceae Poaceae Euphorbiaceae Solanaceae. Poaceae Myrtaceae Malvaceae Asteraceae Asteraceae Turneraceae Urticaceae Asteraceae
1 12.500 80.000 10.000 20.000 32.500 5.000 40.000 7.500 22.500
2 8.750 400 8.750 7.500 27.500 112.500 400 1.250 45.000
3 1.250 50 10.000 2.600 200 52.500
Stasiun 4 12.500 7.500 7.500 2.500 2.500 7500 10.000 5.000 42.500
5
8.333 3.333 9.167 833 833 833 5.000 4.167 1.667 6.667 10.000
6
7
8
9.000
10.000 40.000 10.000 -
12.000 10.000 60.000 7.500
20.000 1.000 22.500
Total 12.500 92.500 8.333 4.583 50 9.000 7.500 56.667 8.750 4.000 200 8.750 30.833 60.000 833 833 112.500 400 12.500 51.667 19.167 6.250 6.667 195.000
persen 0,76% 5,60% 0,50% 0,28% 0,00% 0,54% 0,45% 3,43% 0,53% 0,24% 0,01% 0,53% 1,87% 3,63% 0,05% 0,05% 6,81% 0,02% 0,76% 3,13% 1,16% 0,38% 0,40% 11,80%
1.652.600
39
40
Vegetasi riparian di Stasiun 1 didominasi oleh tumbuhan bawah seperti rumput-rumputan dan herba (Lampiran 2). Komposisi vegetasi riparian disusun dari kerapatan vegetasi tiap suku per stasiun. Komposisi vegetasi (Gambar 13) terbesar dari Poaceae (53,07%) lalu Asteraceae (22,35%), Lamiaceae (17,88%), Campanulaceae dan Euphorbiaceae (2,79%) dan terendah Malvaceae (1,12%). 1,12% 17,88% 22,35% 2,79%
Asteraceae
22,35%
Poaceae
53,07%
Campanulaceae 2,79% Euhorbiaceae 2,79%
2,79%
Lamiaceae Malvaceae
17,88% 1,12%
53,07%
Gambar 13 Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 1.
Vegetasi riparian di Stasiun 2 (Lampiran 3) didominasi oleh tumbuhan bawah seperti rumput-rumputan dan herba (Gambar 14). Komposisi vegetasi sebagian besar dari suku Poaceae (61,71%), Asteraceae (15,10%) dan Lamiaceae (9,85%). Suku lain hanya berkisar 0,11 % - 5,91%. 0,33%
2,95% 5.91%
0,33%
Acanthaceae Amaranthaceae 15,10%
Araceae Asteraceae
1,31%
Dryopteridaceae Lamiaceae Mimosaceae
9,85% 61,71%
2,30%
Musaceae Myrtaceae Poaceae
0,11% 0,11%
Turneraceae
Gambar 14 Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 2.
5,91% 2,95% 0,33% 15,10% 1,31% 9,85% 2,30% 0,11% 0,11% 61,71% 0,33%
41
Vegetasi riparian di Stasiun 3 (Lampiran 4) didominasi oleh tumbuhan bawah seperti rumput-rumputan, herba dan paku (Gambar 15).
Komposisi
vegetasi sebagian besar dari suku Poaceae (37,11%), Asteraceae (29,93%) dan Amaranthaceae (19,15%) serta paku dari Dryopteridaceae (6,58%). Suku lain hanya berkisar 0,10 % - 2,39%. buah-buahan
seperti
pisang
Zona riparian juga ditanami tanaman
(Musaceae),
kelapa
(Arecaceae),
mangga
(Anacardiaceae) dan rambutan (Sapindaceae) dalam kerapatan rendah. 1,20% 19,15%
Acanthaceae
37,11%
Amaranthaceae 0,02%
Anacardiaceae Araceae
2,39%
0,48%
0,10% 0,60%
29,93%
1,24% 1,20%
1,20% 19,15% 0,02% 2,39%
Arecaceae
0,48%
Asteraceae
29,93%
Dryopteridaceae.
6,58%
Fabaceae
1,20%
Musaceae
1,24%
Onagraceae
0,60%
Sapindaceae
0,10%
Poaceae
37,11%
658%
Gambar 15 Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 3.
Zona riparian di Stasiun 4 yang lebih ke daratan ditanamani penduduk dengan tanaman sengon Albizia falcataria L. dengan kerapatan 2,41%. Vegetasi riparian kelompok tumbuhan bawah seperti rumput-rumputan dan herba ditemukan di zona riparia yang lebih ke sungai. Komposisi vegetasi riparian (Gambar 16) yang merupakan tumbuhan bawah didominasi oleh suku Asteraceae (48,79%) dan Poaceae (34,99%) dan sisanya dari suku lain (Lampiran 5).
42
1,28%
1,28%
1,61%
34,99%
Amaranthaceae
1,28%
Araceae
1,61%
Asteraceae
48,79%
Cyperaceae
3,85%
Lamiaceae
3,21%
Malvaceae
0,64%
Melastomataceae
1,93%
Mimosaceae
2,41%
Poaceae
34,99%
Turneraceae
1,28%
48,79%
2,41% 1,93% 0,64%
3,21%
3,85%
Gambar 16 Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 4.
Zona riparian di Stasiun 5 hampir sama seperti di Stasiun 4 yaitu tanaman sengon Albizia falcataria L. di bagian atas zona riparia dengan kerapatan 21,35%. Vegetasi riparia kelompok tumbuhan bawah ditemukan di bawah tanaman sengon dan di zona riparia yang lebih ke sungai.
Komposisi vegetasi riparian
(Gambar 17) yang merupakan tumbuhan bawah didominasi oleh suku Asteraceae (34,74%) dan Poaceae (9,83%) (Lampiran 6).
9,83%
12,45%
5,24% 0,66% 2,62%
21,35% 34,74%
3,93%
Amaranthaceae
12,45%
Asteraceae
34,74%
Cyperaceae
1,97%
Euphorbiaceae
0,66%
Limnocharitaceae
6,55%
Malvaceae
3,93%
Mimosaceae
21,35%
Onagraceae
2,62%
Solanaceae.
0,66%
Urticaceae
5,24%
Poaceae
9,83%
1,97%
6,55% 0,66%
Gambar 17 Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 5.
43
Stasiun 6 berada di bagian tengah dari Sungai Cisadane. Zona riparian di Stasiun 6 juga ditanami penduduk dengan tanaman seperti ubi kayu dan pisang (Lampiran 7). Vegetasi riparian dari kelompok tumbuhan bawah ditemukan di zona riparia yang lebih ke sungai. Suku vegetasi riparian (Gambar 18) yang paling banyak ditemukan yaitu Asteraceae (47,17%) dan Poaceae (31,13%). Sisanya dari suku Commelinaceae (5,66%), dan Acanthaceae (8,49%). 6,79%
0,75%
8,49% 47,17%
Asteraceae
47,17%
Commelinaceae
5,66%
Poaceae
31,13%
Acanthaceae
8,49%
Euphorbiaceae.
6,79%
Musaceae
0,75%
31,13%
5,66%
Gambar 18 Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 6.
Stasiun 7 berada di bagian hilir dari Sungai Cisadane. Zona riparian di Stasiun 7 dan 8 ditanami penduduk dengan tanaman pisang (Lampiran 8 dan Lampiran 9). Vegetasi riparian dari kelompok tumbuhan bawah ditemukan di zona riparia yang lebih ke sungai. Suku vegetasi riparian yang paling banyak ditemukan di Stasiun 7 (Gambar 19a) yaitu Poaceae (58,33%) dan Asteraceae
(22,22%).
Sisanya
dari
suku
Araceae
(8,33%).
Suku
Asteraceae (35,16%) dan Poaceae (33,85%) serta Achantaceae (19,53%) paling banyak ditemukan di Stasiun 8 (Gambar 19b). Stasiun 9 berada di tengah Kota Tangerang dan tidak ditemukan vegetasi riparian.
44
11.11%
8.33%
Poaceae
58,33%
Asteraceae
22,22%
Araceae
8,33%
Musacaeae 11,11%
58.33%
22.22%
a. Stasiun 7
6,25% 5,21%
19,53% Achantaceae
19,53%
Poaceae
33,85%
Asteraceae
35,16%
Euphorbiaceae 5,21% Musacaeae
6,25%
35,16%
33,85%
b.Stasiun 8
Gambar 19 Komposisi vegetasi riparian di Stasiun 7 (a) dan Stasiun 8 (b). Keanekaragaman hayati vegetasi riparian semakin ke hilir semakin menurun (Gambar 20). Indeks keanekaragaman (H’) rata-rata vegetasi riparian di daerah hulu (Stasiun 1-3), tengah (Stasiun 4-6) dan hilir (Stasiun 7-9) yaitu 3,17; 3,10; dan 1,48. Stasiun 1- 3 terletak di bagian hulu Sungai Cisadane dengan lebar riparia 7- 15 m memiliki kekayaan jenis yang tinggi yaitu 15-20 jenis vegetasi riparian (Tabel 7).
45
3.70
4.00 3.50
3.34
3.18
3.21
2.99
3.00
2.39
H'
2.50
2.27
2.17
2.00 1.50 1.00 0.50
0.00
0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 20 Indeks Keanekaragaman vegetasi riparian (H’) dari hulu-hilir.
Tabel 7 Analisis vegetasi riparian di Stasiun 1- 9 Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9
N 193 306 187 129 127 148 57 102 0
S 15 20 16 20 19 8 6 6 0
H' 3,34 3.18 2,99 3,70 3,21 2,39 2,27 2,17 0,00
R 2,66 3,32 2,87 3,91 3,72 1,40 1,24 1,08 0,00
Keterangan: N: Jumlah total individu; S: Jumlah jenis yang ditemukan; H’; Indeks Keanekaragaman Jenis; R: Indeks Kekayaan Jenis
Indeks H’ sangat tinggi di Stasiun 4 dan 5 dengan lebar riparia yang sangat lebar sekitar 300-350 m. Kekayaan jenis tumbuhan bawah di kedua stasiun ini tinggi yaitu 19-20. Zona riparia di Stasiun 6 juga cukup lebar sekitar 180 m namun jenis vegetasi riparia dari kelompok tumbuhan bawah tidak banyak sehingga hanya ada 8 jenis vegetasi. Vegetasi riparian di Stasiun 7 dan 8 paling rendah hanya ada 6 jenis meskipun lebar zona cukup lebar sekitar 100 m. Kedua lokasi ini berada di tengah Kota Serpong.
46
4.4 Kualitas Air Sungai Cisadane Kualitas air Sungai Cisadane (Tabel 8) ditentukan oleh berbagai faktor yaitu faktor fisikokimia dan biologi. Faktor fisika yaitu kecepatan arus, kecerahan dan kekeruhan/TSS dan suhu. Faktor kimia yaitu pH, BOD, COD, DO, Total N, dan Total P. Faktor biologi yang digunakan yaitu keanekaragaman makrozoobentos. 4.4.1 Faktor Fisikokimia a. Kecepatan Arus Kecepatan arus sungai berfluktuasi yaitu 0,09 - 1,40 m/detik. Kecepatan arus berfluktuasi namun secara umum semakin ke hilir semakin melambat. Hal ini disebabkan oleh gravitasi, lebar sungai dan material yang dibawa oleh air sungai. Daerah hulu berada di ketinggian yang lebih tinggi dibandingkan tengah dan hilir sehingga air semakin kuat. Juga, lebar sungai yang jauh lebih kecil di bagian hulu menyebabkan arus semakin lebih kuat di daerah hulu. Kecepatan arus sungai sangat cepat yaitu 0,58 - 1,40 m/detik. Kecepatan arus di bagian tengah yaitu 0,13 – 1,0 m/detik. Semakin ke hilir semakin banyak material yang dibawa oleh air sungai. Material ini seperti butiran tanah, pasir dan sampah yang memperlambat kecepatan arus sungai. Kecepatan arus di bagian hilir yaitu 0,09 - 0,27 m/detik. Kecepatan arus pada musim hujan lebih rendah dibandingkan pada musim kemarau meskipun debit air di musim kemarau sangat kecil. Pada November 2011, hujan mulai turun yang menyebabkan sejumlah material tanah terbawa oleh air hujan ke sungai. Air sungai tampak sangat keruh yang menunjukkan air sungai banyak membawa material tanah yang menyebabkan arus sungai sangat lambat (Gambar 21). 1.60 1.40
Kec.arus (m/s)
1.20 1.00 0.80 K 0.60
H
0.40 0.20 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 21 Kecepatan arus Sungai Cisadane pada kemarau (K) dan hujan (H).
47
Tabel 8 Kualitas air Sungai Cisadane Parameter
Satuan
Stasiun ke1
2
3
Baku Mutu
4
5
6
7
8
9
(PP No.82/2001)
bulan ke-
kelas
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
H
1
2
3
4
fisik kecerahan
cm
50
48
52
55
40
7
45
10
43
12
45
20
36
17
40
16
18
-
-
-
-
suhu
°C
25
23
27
26,5
29
27
28
29
30
29
30
27
30
29
30
28
29
-
-
-
-
kec.arus
m/s
1,32
0,85
1,40
0,84
0,8
0,58
1,0
0,68
0,4
0,13
0,36
0,27
0,27
0,19
0,25
0,19
0,17
-
-
-
-
TSS
mg/L
15
3
9
25
8
126
20
164
33
88
114
114
22
172
52
181
56
50
50
400
400
6,0
6,5
6,0
6,5
6,3
6,0
6,3
6,0
6,3
6,0
6,0
6,0
5,0
5,5
5,0
5,5
5,5
6-9
6-9
6-9
5-9
kimia pH BOD
mg/L
4,1
2,1
3,5
2,0
2,8
3,2
6,6
2,6
5,3
2,5
3,8
3,1
3,8
2,8
6,1
2,9
1,9
2
3
6
12
COD
mg/L
23,6
4,0
22,6
4,0
13,2
9,25
39,5
6,75
32,3
6,75
20,4
9,75
18,1
7,75
37,2
7,89
5,75
10
25
50
100
DO
mg/L
5,5
5,9
6,3
6,7
5,7
7,5
5,2
6,1
5,6
5,9
5,7
5,9
3,7
5,5
3,5
4,9
4,3
>6
>4
>3
>0
TN
mg/L
0,065
0,230
0,047
0,044
0,435
0,348
0,622
0,278
0,298
0,302
0,115
0,442
0,268
0,418
0,336
0,402
0,560
10
10
20
20
TP
mg/L
0,269
0,030
0,070
0,054
0,074
0,069
0,097
0,126
0,053
0,117
0,096
0,181
0,076
0,223
0,269
0,301
0,272
0,2
0,2
1
5
Keterangan:K: musim kemarau; H:musim hujan Stasiun 1-3: Sungai Cisadane bagian hulu: Stasiun 4-6: Sungai Cisadane bagian tengah: Stasiun 7-9
47
48
b. Suhu Air Suhu air sungai merupakan faktor pembatas bagi organisma akuatik. Suhu berperan penting pada kehidupan organisma sungai. Sungai menjadi variabel kunci yang berperan dalam membentuk habitat sungai (Macan 1978). Berbagai karakter fisika, kimia dan biologi yang terjadi di air permukaan tergantung pada suhu (Cech 2005). Suhu mempengaruhi hewan sungai secara langsung dan tidak langsung. Peningkatan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan peningkatan proses kimiawi yang berbahaya pada kehidupan organisma akuatik. Suhu tinggi akan mempengaruhi proses fisiologis tumbuhan dan hewan (Macan 1978). Suhu berperan tidak langsung kepada hewan sungai melalui pengaturan DO. Peningkatan suhu akan menurunkan oksigen terlarut/DO di air (Macan 1978; Cech 2005). Tanggap organisma akuatik terhadap suhu berbeda tergantung tingkat toleransi organisma tersebut. Distribusi organisma akuatik dipengaruhi oleh suhu. Organisma yang menyenangi suhu rendah tidak akan hadir di air bersuhu tinggi dan yang menyukai suhu dingin tidak akan dapat hidup di air bersuhu tinggi. Jika suhu air cocok, organisma akan melimpah di sungai tersebut (Macan 1978). Suhu air Sungai Cisadane dari hulu hingga hilir yaitu 23 - 30ºC. Nilai suhu terendah di daerah hulu bagian atas yaitu di Stasiun 1 dan 2 yaitu 23 - 27ºC. Suhu air Cisadane ini masih di dalam kisaran suhu perairan tawar di Indonesia yaitu 21,3 - 31,4ºC seperti yang dikemukakan oleh Macan (1978). c. Kecerahan dan TSS Kekeruhan/TSS air sungai merupakan pengukuran kecerahan relatif. Kecerahan air sungai semakin ke hilir semakin rendah. Kecerahan air sungai dipengaruhi oleh banyaknya materi tersuspensi yang ada di dalam air sungai. Materi ini akan mengurangi masuknya sinar matahari ke air sungai (Effendi 2003; Cech 2005). Semakin ke hilir semakin banyak material yang ada di dalam air sungai yang semakin menurunkan kecerahan air sungai. Jika semakin banyak material di dalam air sungai maka semakin rendah kemampuan sinar matahari menembus air sungai. Hal ini berakibat pada penurunan kecerahan air sungai. Kecerahan air sungai dipengaruhi oleh kekeruhan air sungai. Kekeruhan air sungai ditunjukkan oleh banyaknya material yang tersuspensi di dalam air sungai.
49
Menurut Johnson dan Moldenhauer (1970), sedimen yang masuk ke dalam sungai berupa sedimen tersuspensi. Material halus ini masuk ke sungai dari daratan dibawa oleh aliran permukaan saat hujan turun. Peningkatan TSS, meski tidak toksik, ke dalam sungai dapat mengganggu aktivitas biologis organisma sungai. Kekeruhan akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam sungai dan masuknya oksigen ke dalam sungai. Perilaku dan aktivitas ikan sangat dipengaruhi oleh cahaya (Brown 1975). Jika air sungai keruh maka daya lihat organisma akuatik seperti ikan akan menurun (Abel 1989) dan perpindahan organisma (Haslam 1990). Selain itu, kemampuan organ pernafasan, misal
insang
pada
ikan,
akan
menurun
yang
dapat
berakibat
asphyxiation/kekurangan oksigen pada ikan (Effendi 2003). Peningkatan sedimen di sungai berdampak negatif bagi organisma sungai. Sebagian besar invertebarata dan sebagian ikan membutuhkan substrat yang permiabel/sesuai (Haslam 1990). Sedimen dapat menghilangkan tempat memijah (spawning sites) yang sesuai bagi ikan. Sedimen juga menutupi substrat yang dipergunakan oleh organisma sebagai tempat hidup (misal perifiton) dan tempat berlindung bagi organisma sungai seperti invertebrata sungai (Effendi 2003). Sedimen akan menghilangkan habitat dan makanan organisma akuatik (Haslam 1990). Hal ini akan berakibat pada penurunan keanekaragaman organisma sungai. Peningkatan TSS juga dapat berakibat pada perubahan substrat sungai menjadi berlumpur. Perubahan ini berdampak bagi hilangnya organisma akuatik yang tidak menyukai subsrat berlumpur digantikan oleh oragnisma yang menyukai lumpur seperti lintah, cacing dan hewan bercangkang (Abel 1989). Nilai TSS meski berfluktuasi namun semakin ke hilir nilai TSS semakin tinggi. Nilai TSS di hulu, tengah dan hilir pada musim kemarau berturut-turut yaitu 8-15 mg/L, 20-114 mg/L dan 22-52 mg/L (Gambar 22).
50
200 180 160
TSS (mg/L)
140 120 100
K
80
H
60 40 20 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 22 TSS Sungai Cisadane pada musim kemarau (K) dan hujan (H). Pengukuran pada musim hujan dilakukan saat terjadi hujan di anak-anak Sungai Cisadane namun hujan tidak terjadi di stasiun penelitian. Hal ini ditunjukkan oleh air sungai yang sangat keruh dan sangat lambat mulai Stasiun 3 walaupun di stasiun penelitian tidak turun hujan. Nilai TSS berfluktuasi dipengaruhi oleh peristiwa turunnya hujan dan kegiatan di sekitar Sungai Cisadane. Pada musim hujan, kekeruhan semakin meningkat dengan nilai TSS yang semakin besar akibat turunnya hujan yang membawa partikel padatan tersuspensi. Hal ini
tampak pada air sungai
berwarna coklat keruh
(Gambar 23a-b). Nilai TSS dari hulu, tengah dan hilir menjadi 3-126 mg/L, 114-164 mg/L dan 172-181 mg/L setelah hujan. Namun, selang beberapa hari setelah hujan berhenti, TSS di hilir, Stasiun 9, menurun menjadi 56 mg/L.
a.
Air Sungai di Braja Mustika, Sungai Cisadane hulu
b.Air Sungai di Serpong, Sungai Cisadane hilir
Gambar 23 Kekeruhan air Sungai Cisadane setelah hujan pada November 2011. Kekeruhan air sungai pada musim kemarau secara umum lebih rendah dibandingkan pada musim hujan, kesuali di Stasiun 1. Pada musim kemarau, debit air sungai sangat kecil sehingga konsentrasi material tersuspensi lebih
51
banyak dibandingkan pada musim hujan. Saat turun hujan, air hujan akan meningkatkan debit air sungai sehingga material tersuspensi akan lebih rendah akibat pengenceran dan juga air sungai membawa material ini ke bagian lebih hilir. Stasiun 1 dekat dengan kegiatan MCK penduduk. Tepian Stasiun 1 dimanfaatkan sebagai lahan pertanian berupa sawah.
Kekeruhan air sungai
dipengaruhi oleh kegiatan di badan sungai dan di sekitarnya. Kegiatan ini menyumbang material yang tersuspensi dalam air sungai yang berakibat pada kenaikan TSS. Peningkatan kekeruhan air sungai, pada musim hujan, mulai tampak sejak Stasiun 3 dan semakin meningkat di Stasiun 4 namun menurun di Stasiun 5. Stasiun 3 dan Stasiun 4 tidak mengalami hujan namun air anak sungai Cisadane membawa material tersuspensi dari hulu yang meningkatkan kekeruhan air sungai. Penurunan TSS di Stasiun 5 dapat disebabkan material tersuspensi mulai mengendap dan masuknya air dari anak-anak Sungai Cisadane yang mengencerkan kekeruhan air sungai di Stasiun 5. Peningkatan kekeruhan kembali lagi sejak Stasiun 6 yang dapat disebabkan oleh peningkatan kegiatan di sekitar Sungai. Hal ini menyebabkan nilai TSS air sungai di Stasiun 6 sama baik pada musim kemarau maupun hujan. Pada musim kemarau, secara umum, air sungai tampak jernih dan tidak keruh. Pada musim tersebut, air sungai bagian hulu dan tengah secara umum masih sesuai untuk peruntukan air sungai Kelas 1 dan 2. Namun, pada musim hujan, air sungai menjadi sangat keruh sehingga kurang cocok dimanfaatkan sebagai sumber air baku air minum pada sungai Kelas 1 atau sumber air untuk rekreasi air pada sungai Kelas 2. Air sungai yang sangat keruh tidak baik digunakan sebagai air baku air minum disebabkan bahan kimia toksik dapat berikatan dengan partikel tersuspensi (Cech 2005). Air sungai yang keruh tersebut masih dapat dimanfaatkan untuk pertanian dan peternakan. Nilai TSS masih di bawah 400 mg/L sebagaimana yang dipersyaratkan pada sungai Kelas 3 dan 4. d. pH Indikator utama lain dari kualitas yaitu pH. Umumnya, pH air sungai berkisar antara 4 hingga 9. Kisaran pH yang cocok buat organisma akuatik tidak sama tergantung pada jenis organisma tersebut (Cech 2005). Perubahan pH
52
menjadi hal yang peka bagi sebagian besar biota akuatik (Novotny dan Olem 1994). Perubahan pH yang melebihi batas toleransi organisma akuatik (Novotny dan Olem 1994) atau pH normal bagi organisma akuatik dapat menyebabkan kerusakan fisik terhadap ikan misalnya kerusakan pada kulit, insang dan mata bahkan dapat menyebabkan kematian (Cech 2005). pH mendekati pH netral lebih disukai oleh sebagian besar jenis akuatik (Novotny dan Olem 1994). pH air Sungai Cisadane berfluktuasi yaitu 5 – 6,5. pH air sungai di bagian hulu yaitu 6,0-6,5. Air sungai di bagian tengah memiliki pH yaitu 6 - 6,3. Nilai pH semakin menurun ke arah hilir yaitu 5,0-5,5. Nilai pH air Sungai Cisadane dari hulu hingga hilir masih memenuhi baku mutu air sungai untuk semua kelas. Pada musim hujan, nilai pH cenderung lebih tinggi dibandingkan pH pada musim kemarau. Menurut Novotny dan Olem (1994) dan Sundra (2010), kenaikan pH mungkin disebabkan akumulasi senyawa-senyawa karbonat dan bikarbonat yang menyebabkan air sungai menjadi lebih basa. e. DO Oksigen yang terlarut dalam air sangat dibutuhkan untuk mendukung kehidupan organisma akuatik. Sumber utama oksigen terlarut/dissolved oxygen (DO) di sungai adalah fotosintesis oleh organisma akuatik seperti tumbuhan dan alga (Macan 1978; Novotny dan Olem 1994) dan reareasi atmosfir (Novotny dan Olem 1994). Konsentrasi DO dipengaruhi oleh suhu, tekanan atmosfir
dan
salinitas (Cech 2005). Kebutuhan organisma akuatik terhadap DO berbeda-beda tergantung jenis organisma tersebut. Beberapa organisma tertentu membutuhkan DO yang besar sementara yang lain tidak. Beberapa ikan yang peka akan mengalami cekaman/stress jika DO di bawah 5 mg/L (Cech 2005). Bahkan hanya sedikit jenis ikan yang dapat sintas jika DO di bawah 4 mg/L (Miller 2007). Brown (1975) menyebutkan bahwa konsentrasi DO menjadi salah satu faktor utama yang berperan dalam distribusi ikan termasuk ikan di sungai. Organisma yang lain seperti cacing lebih toleran akan DO yang rendah. Bahkan, walaupun sangat sedikit, beberapa organisma dapat sintas dengan DO hanya 1 mg/L (Cech 2005). Beberapa larva serangga misalnya Tubifera mampu hidup di sungai penuh materi organik dengan kandungan DO rendah (Macan 1978).
53
Secara umum, DO berfluktuasi yang semakin menurun ke arah hilir. Kualitas air Sungai Cisadane dilihat dari DO pada musim kemarau lebih rendah daripada musim hujan. Kisaran DO pada musim kemarau dan hujan berturut-turut yaitu 3,5 - 6,3 mg/L dan 3,9 – 7,5 mg/L (Gambar 24). Berdasarkan baku mutu, kualitas air Sungai Cisadane memenuhi persyaratan sebagai air baku Kelas II dengan DO >4 mg/L. Bahkan, air Sungai Cisadane di bagian hulu (Stasiun II) masih memenuhi persyaratan air minum kelas I dengan DO >6mg/L yaitu 6,3 mg/L pada musim kemarau dan 6,7 mg/L pada musim hujan. 8 7
DO (mg/L)
6 5 4
K
3
H
2 1 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 24 Nilai DO Sungai Cisadane pada musim kemarau (K) dan hujan (H).
Tontowi dan Sofia (2002) menyebutkan bahwa konsentrasi DO dapat menjadi indikator telah terjadi pencemaran oleh bahan organik. Bahkan, konsentrasi DO menjadi parameter yang penting dalam menentukan kualitas air sungai (Novotny dan Olem 1994). Miller (2007) mencoba menghubungkan konsentrasi DO dengan kualitas air pada suhu 20°C. Miller membagi kualitas air menjadi lima (5) kelas yaitu tidak tercemar hingga tercemar parah. Klasifikasi kualitas air Miller (2007) yaitu tidak tercemar, sedikit tercemar, tercemar ringan, tercemar berat, dan tercemar parah (Tabel 9). Tabel 9 Klasifikasi kualitas air menurut Miller (2007) DO (mg/L) 8-9 6,7-8 4,5-6,7 Di bawah 4,5 Di bawah 4
Kualitas air Baik/tidak tercemar/good Sedikit tercemar/slightly polluted Tercemar ringan/moderately polluted Tercemar berat/heavily polluted Tercemar parah/gravely polluted
54
Berdasarkan klasifikasi Miller (2007) di atas, air Sungai Cisadane dari hulu hingga hilir telah dapat dikatakan tercemar dari sedikit tercemar hingga tercemar parah. Kualitas air Sungai Cisadane dari hulu hingga hilir yaitu tercemar ringan (Stasiun 1-6) dan tercemar parah di Stasiun 7-9 yang berada di bagian hilir Secara umum, kualitas air Sungai Cisadane semakin ke hilir semakin menurun dengan tingkat pencemaran semakin tinggi. Sumber pencemaran dari berbagai aktivitas di DAS Cisadane dari rumah tangga, pertanian dan industri. Sungai Cisadane mengalir membelah wilayah pemukiman yang padat penduduk seperti Kota Bogor dan Kota Serpong. Hasil aktivitas manusia yang tidak dimanfaatkan dibuang ke Sungai Cisadane dan anak-anak Sungai Cisadane. Atmodjo (1995) mengatakan tingkat pencemaran paling parah pada sungai yang melewati kota besar. f. BOD Nilai BOD air sungai dapat menunjukkan banyaknya pencemar organik yang ada di dalam air sungai. Bahan pencemar organik yang dapat mempengaruhi konsentrasi DO dalam air sungai adalah bahan organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisma. Banyaknya bahan organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisma/biodegradable
organic
ini
disebut
Biological
Oxygen
Demand/BOD (Novotny dan Olem 1994;Tontowi dan Sofia 2002; PPTSDA 2000). Penguraian bahan organik ini oleh mikroorganisma membutuhkan oksigen terlarut (Novotny dan Olem 1994). Oleh karena itu, semakin banyak bahan organik dalam air sungai maka DO akan semakin rendah. Nilai BOD air Sungai Cisadane berfluktuasi semakin meningkat ke hilir. (Gambar 25) Hal ini tampak saat musim kemarau dengan nilai BOD mencapai 6,1 mg/L di Stasiun 8 (daerah Serpong). Secara umum, nilai BOD lebih tinggi pada musim kemarau dibandingkan musim hujan. Volume air yang sangat rendah akan meningkatkan nilai BOD. Air hujan yang masuk ke sungai dapat mengencerkan pencemar bahan organik sehingga meningkatkan konsentrasi DO.
55
BOD (mg/L)
7 6
K
5
H
4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 25 Nilai BOD Sungai Cisadane pada musim kemarau (K) dan hujan (H). Berdasarkan persyaratan baku mutu PP No.82/2001 (Anonim 2001), air Sungai Cisadane sudah tidak dapat dipergunakan untuk peruntukan Kelas 1 dan 2 karena telah melampaui ambang batas yang ditetapkan yaitu BOD harus lebih rendah dari 2 mg/L untuk Kelas 1 atau lebih rendah dari 3 mg/L untuk Kelas 2. Air Sungai Cisadane masih dapat dipergunakan sebagai sumber air pertanian dan perikanan sesuai Kelas 3 dan 4. g.
COD Nilai COD menjadi parameter menentukan kualitas air sungai. COD atau
Chemical Oxygen Demand adalah banyaknya bahan organik yang dapat dioksidasi. Nilai COD menunjukkan banyaknya bahan organik yang mencemari sungai. Secara umum, nilai COD cenderung meningkat ke hilir. Nilai COD pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan (Gambar 26). Kemarau panjang menurunkan volume air Sungai Cisadane yang meningkatkan konsentrasi bahan organik yang berakibat pada meningkatnya nilai COD. 45 40
COD (mg/L)
35
K
30
H
25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 26 Nilai COD Sungai Cisadane pada musim kemarau (K) dan hujan (H).
56
h. Total N Kegiatan pertanian dan peternakan menjadi penyebab masuknya unsur N dan P ke dalam sungai (Novotny dan Olem 1994). Nitrat sebenarnya tidak beracun, namun jika direduksi menjadi nitrit maka nitrit akan menjadi racun di pencernaan/lambung.
Bayi
akan
kena
blue
baby
syndrome
atau
methaemoglobinaemia. Nitrit juga menjadi karsinogenik yang dapat menjadi penyebab tumor (McDonald dan Kay 1988).
Kehadiran unsur N di sungai
haruslah diperhatikan sebab dapat menganggu kesehatan. Kadar Total N/TN air Sungai Cisadane masih jauh dari ambang batas tertinggi yang diperbolehkan untuk semua Kelas seperti yang dipersyaratkan PP No.82/2001. Kadar TN semakin ke hilir semakin meningkat. Jika di hulu sekitar 0,044 – 0,435 mg/L bertambah menjadi 0,115 -0,622 mg/L di bagian tengah dan menjadi 0,26 – 0,806 mg/L di bagian hilir (Gambar 27 ). Nilai TN yang semakin meningkat ke hilir disebabkan semakin banyak pencemar sumber N yang masuk ke Sungai Cisadane. Sumber pencemar dari berbagai aktivitas manusia baik itu di sepanjang Sungai Cisadane maupun di sepanjang anak-anak Sungai Cisadane. Anak-anak Sungai Cisadane bertemu dengan Sungai Cisadane di bagian tengah dan hilir sehingga TN di kedua bagian ini lebih tinggi dibandingkan di bagian hulu. 0.700 0.600
Nt (mg/L)
0.500 0.400 K 0.300 H 0.200 0.100 0.000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 27 Nilai Total N Sungai Cisadane pada kemarau (K) dan hujan (H). Sebagian besar pencemar yang mengandung unsur N berasal dari rumah tangga dan pertanian (Macan 1978). Sumber N misalnya dari pupuk yang dipakai dalam kegiatan pertanian. Sumber N tersebut dibawa oleh aliran permukaan
57
memasuki sungai. Saluran pembuangan yang berasal dari rumah tangga juga menambah masuknya unsur N ke sungai (Goldberg 1970). i. Total Fosfat Unsur P/fosfor yang masuk ke sungai berasal dari pertanian, rumah tangga dan industri. Detergen menjadi sumber P yang utama dari rumah tangga yang masuk ke sungai. Pupuk yang dipakai dalam pertanian menjadi sumber utama P yang masuk ke sungai (Mason 1991). Konsentrasi Total P/TP di dalam air Sungai Cisadane berfluktuasi dengan kecendrungan meningkat semakin ke hilir (Gambar 28). Kosentrasi TP di Sungai Cisadane berfluktuasi berkisar 0,030 - 0,301 mg/L. Konsentrasi TP cenderung meningkat semakin ke hilir. Konsentrasi TP di beberapa stasiun melebihi batas ambang baku mutu Kelas 1 dan 2 sehingga kurang memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai bahan baku air minum.Walaupun demikian, secara keseluruhan air Sungai Cisadane masih dapat dipergunakan untuk pertanian dan perikanan air tawar. 0.350 0.300
Pt (mg/L)
0.250 0.200 0.150
K
0.100
H 0.050 0.000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 28 Nilai Total Fosfat Sungai Cisadane pada kemarau (K) dan hujan (H). 4.4.2
Faktor Biologi Pencemaran yang masuk ke sungai dapat mengganggu keseimbangan
makrozoobentos. Sungai yang tidak tercemar atau sungai sehat menurut Roback (1974) adalah sungai yang mendukung kehidupan organisma akuatik dengan semua tingkat trofik terwakilkan secara proporsional dan tidak ada ketidakseimbangan populasi. Dengan kata lain, sungai yang berkualitas baik akan memiliki keanekaragaman makrozoobentos yang tinggi dan tidak ditemukan taksa yang memiliki kepadatan yang tinggi.
58
58
Tabel 10 Kepadatan, kekayaan taksa (S), dan Indeks Keanekaragaman (H') makrozoobentos di Sungai Cisadane pada musim kemarau (K) dan hujan (H) 2011 Class/Ordo
Familia
Species
Insect Coleoptera
Elmidae Dytiscidae Ptilodactylidae Gyrinidae Tipulidae Chironomidae Chironomidae Chironomidae Chironomidae Baetidae Siphlonuridae Leptophlebiidae Ephemerellidae Heptagenidae Neoephemeridae Neocoridae Pyralidae Perlidae Hydropsychidae Hydropsychidae Hydropsychidae Polycentropodidae Psychomyiidae Carydalidae Potamidae Palaemonidae
Narpus sp. Agabus sp. Ptilodactylidae (Sp.1) Dineutus sp. Antocha sp. Pentaneura sp. Cardiocladius sp. Tanytarsus sp. Polypedilum sp. Baetis sp. Ameletus sp. Paraleptophlebia sp. Ephemerella sp. Heptagenia sp. Neoephemera sp. Pelocoris sp Parapoynx sp. Acroneuria sp. Cheumatopsyche sp. Hydropsyche sp. Leptonema sp. Polycentropus sp. Psychomyiia sp. Carydalus sp. Potamon sp. Macrobrachium sp.
Diptera
Ephemenoptera
Hemiptera Lepidoptera Plecoptera Trichoptera
Crustaceae
S-1
S-2
S-3
S-4
S-5
S-6
S-7
S-8
S-9
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
H
0 0 15 0 37 0 4 22 19 0 0 67 0 0 0 0 0 7 19 11 0 0 15 0 0 0
119 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 4 4 7 0 0 0 0 0 0
470 4 4 0 41 0 4 7 15 52 4 67 22 0 0 0 37 37 19 30 4 0 56 7 0 0
352 0 4 4 4 0 0 0 0 48 100 63 11 0 0 4 37 22 11 52 0 4 44 0 0 0
0 0 0 0 0 8 0 0 75 93 3 19 0 0 3 0 23 0 410 0 0 36 25 0 6 4
111 0 0 0 0 0 0 0 4 156 44 48 0 0 0 0 26 0 2122 7 0 0 0 0 4 0
14 0 0 0 0 11 0 0 125 52 6 67 0 3 3 0 28 0 333 0 17 14 0 3 0 2
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 6 9 0 0 0 0 0 0 0 0 22 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
59
Tabel 10 (lanjutan) Class/Ordo
Familia
Species
Gastropoda
Thiaridae
Thiara sp.
Thiaridae
Melanoides sp.
Thiaridae
S-1
S-2
S-3
S-4
S-5
S-6
S-7
S-8
S-9
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
H
0
0
0
0
0
0
0
0
11
0
7
0
74
59
141
89
0
11
0
0
7
3
15
64
6
52
133
207
26
593
704
1170
815
33
Brotia sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
11
7
0
7
7
15
7
0
Physidae
Physa sp.
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
11
0
7
7
37
22
0
Vivipandae
Bellamya sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15
0
30
22
0
Buccinidae
Anentome sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7
0
7
7
0
Neritidae
Septaria sp.
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Ampularidae
Pomacea sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
22
Pelecypoda
Corbiculidae
Corbicula sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
11
0
0
0
0
7
0
0
Turbelaria
Planaridae
Cura sp.
0
0
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Oligochaeta
Tubificidae
Branchiura sp.
7
0
0
0
6
0
2
0
7
0
0
0
44
30
74
59
89
Lumbriculidae
Lumbriculus sp.
63
0
22
4
5
4
6
0
11
0
7
0
13630
15037
18556
15519
16478
Glossiphonidae
Helobdella sp.
0
0
0
0
31
159
19
0
17
4
7
0
0
0
0
0
0
Glossiphonia sp.
0
0
0
0
88
196
46
0
17
15
4
0
0
0
0
0
0
N
296
137
904
770
840
2896
815
6
152
181
259
26
14378
15844
20037
16541
16622
S
13
5
20
17
18
13
19
1
9
7
8
1
8
6
9
8
3
3,25
0,83
2,78
2,77
2,65
1,58
2,90
0,00
2,82
1.46
1,27
0,00
0,35
0,33
0,47
0,41
0,04
Hirudinae
H'
59
60
Berdasarkan hal ini, kualitas air Sungai Cisadane semakin memburuk ke arah hilir. Indeks H’ menurun dengan cukup tajam dan kekayaan taksa (S) juga menurun namun kepadatan individu cenderung meningkat (Tabel 10). Pencemaran menyebabkan hanya taksa tertentu saja yang dapat hidup di bagian sungai tersebut. Ini ditunjukkan oleh peningkatan individu-invidu dari taksa tertentu (Gambar 29a). Kekayaan taksa (S’) makrozoobentos semakin ke hilir juga semakin menurun (Gambar 20b). Kekayaan taksa tertinggi di Stasiun 2 (S=20) yang berada di hulu dan terendah di Stasiun 9 (S=3) yang berada di hilir. Peningkatan individu dari taksa tertentu akan diiringi dengan penurunan kekayaan taksa di tempat tersebut. 25
20000
20
15000
15
S
N
25000
10000
10
K K
5000
5
H
H 0
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
a.Kepadatan (individu/m2)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
b. Kekayaan taksa (s)
Gambar 29 Kepadatan dan kekayaan taksa makrozoobentos Sungai Cisadane. Taksa yang ditemukan melimpah di Stasiun 7-9 merupakan makrozoobentos dari Filum Mollusca yaitu dari Bangsa/Ordo Gastropoda dan Oligochaeta. Kekayaan taksa sangat miskin di ketiga stasiun. Taksa dari kelompok Insecta dan Crustacae tidak ditemukan. Konsentrasi oksigen terlarut/DO yang rendah dan air yang tidak segar atau “septik” seringkali membatasi organisma hidup (Harman 1974). Hal ini tampak terlihat di ketiga stasiun tersebut dengan DO yang rendah menyebabkan hanya 2 taksa dari Moluska yang hadir. Penurunan DO disebabkan oksigen dibutuhkan untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan organik. Anggota Gastropoda yang melimpah hanya 1 atau 2 jenis yaitu Melanoides dan Thiara (Gambar 30). Harman (1974) menduga penurunan kekayaan taksa hingga hanya ada 1 atau 2 jenis dari Gastropoda disebabkan telah terjadi pencemaran organik.
61
a. Melanoides sp. b. Thiara sp. Gambar 30 Gastropoda di Sungai Cisadane. Larva Ephemenoptera hanya ditemukan di Stasiun 1-5. Taksa ini tidak ditemukan di stasiun menuju hilir. Menurut Roback (1974), larva Ephemenoptera kurang sensitif/peka terhadap pencemaran organik. Walaupun demikian, bahan organik yang tinggi akan menjadi faktor pembatas. Jenis yang banyak ditemukan yaitu Baetis sp (Gambar 31a) dan Paraleptophlebia sp (Gambar 31b).
a. Baetis sp.
b. Paraleptophlebia sp.
Gambar 31 Makrozoobentos dari Ephemenoptera di Sungai Cisadane. Diptera adalah ordo terbesar dari Insecta yang menghuni perairan tawar (Covich et al 1999) sehingga larva Diptera mudah ditemukan di Sungai Cisadane terutama di Stasiun 1-5. Larva terbesar dari Diptera yaitu larva Chironomidae (Sudarso 2002).
Larva Chironomidae seperti Polypedilum sp (Gambar 32a)
banyak ditemukan di Stasiun 1-5. Tanytarsus sp (Gambar 23b) hanya ditemukan di Stasiun 1-2.
62
a. Polypedilum sp.
b. Tanytarsus sp.
Gambar 32 Larva Chironomidae di Sungai Cisadane. Larva Chironomidae telah digunakan sebagai bioindikator kualitas air sungai. Larva ini dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran akibat pencemaran organik. Chironomidae akan melimpah di air sungai dengan pencemaran sedang. Namun, larva Cironomidae akan menurun jika pencemaran meningkat menjadi pencemaran berat (Sudarso 2002). Roback (1974) juga mengatakan larva Chiromidae biasanya toleran terhadap pencemaran organik. Beberapa larva Chironomidae memiliki Hb (haemoglobin) dalam darahnya yang memungkinkan mereka dapat hidup di sungai dengan konsentrasi oksigen terlarut cukup rendah. Kehadiran larva Diptera khususnya Chironomidae menunjukkan telah terjadi pencemaran organik di Sungai Cisadane mulai dari hulu hingga hilir. Ketidakhadiran Larva Diptera di Stasiun lain diduga terjadi pencemaran bahan toksik. Larva Chironomidae dilaporkan tidak tahan atau sensitif terhadap bahan-bahan toksik seperti loam berat dan pestisida . Larva Insecta hanya ditemukan di Stasiun 1-5 yang mendekati hulu. Larva tidak ditemukan di stasiun mendekati hilir. Larva Insecta umumnya dapat hidup di air yang telah tercemar organik namun tidak dapat hidup di air sungai yang tercemar bahan toksik. Misalnya, menurut Roback (1974), Trichoptera toleran terhadap pencemaran organik tapi sensitif terhadap pencemar toksik. Lintah air tawar (Hirudinea) yang ditemukan di Sungai Cisadane ada 2 jenis yaitu Helobdella sp. (Gambar 33a) dan Glossiphonia sp. (Gambar 33b). Sawyer (1974) mengatakan bahwa lintah merupakan makrozoobentos yang melimpah di perairan kaya bahan organik. Hal yang wajar jika lintah ini ditemukan melimpah di Stasiun 3-6. Walaupun demikian, lintah tidak ditemukan
63
Stasiun 1-2 meskipun kedua stasiun ini telah tercemar bahan organik. Hal ini mungkin disebabkan lintah lebih menyukai kecepatan air sungai yang cukup lambat dan dangkal (Sawyer, 1974). Kecepatan rata-rata arus sungai di kedua stasiun ini paling tinggi dibandingkan stasiun lainnya.
a. Helobdella sp.
b. Glossiphonia sp.
Gambar 33 Lintah air Hirudinea di Sungai Cisadane. Lintah juga tidak ditemukan di Stasiun 7-9. Hal ini mungkin disebabkan adanya pencemaran bahan toksik di stasiun tersebut. BPLH Kabupaten Tangerang menyebutkan bahwa belum semua industri di Tangerang memiliki IPAL. Air limbah industri dibuang langsung ke sungai (Haryanti 2010). Limbah ini diduga mengandung senyawa logam toksik dan pestisida digunakan selama proses kegiatan industri. Selain industri, sumber logam berat toksik ini yaitu pertanian, peternakan dan domestik (Abel 1989). Menurut Sawyer (1974), lintah tidak ditemukan di air sungai yang tercemar oleh minyak. Minyak mengandung senyawa logam-logam berat
misalnya timbal yang toksik (Mason 1991).
Stasiun 7-9 berada si daerah hilir yang telah menampung banyak pencemar yang diduga tidak dapat ditoleransi oleh lintah.
a. Branchiura sp. (Tubificidae)
b. Lumbriculus sp. (Lumbriculidae)
Gambar 34 Oligochaeta di Sungai Cisadane.
64
Cacing akutik (Oligochaeta) yang ditemukan di Sungai Cisadane dari 2 suku yaitu Tubificidae dan Lumbriculidae. Branchiura (Tubificidae) (Gambar 34a) dan Lumbriculus (Lumbriculidae) (Gambar 34b) ditemukan sangat melimpah di Stasiun 7-9. Stasiun ini memiliki kecepatan arus yang rendah, DO yang rendah, BOD dan COD yang tinggi serta TSS yang tinggi. Tubificidae dapat hidup di air sungai dengan bahan organik yang tinggi, keruh, berlumpur dan kandungan oksigen terlarut yang rendah. Mereka juga toleran terhadap pestisida namun kurang toleran terhadap ion logam berat (Brinkhurst dan Cook 1974). Cacing Tubificidae dapat hidup melimpah di sungai yang telah tercemar parah dengan kandungan DO yang rendah. Cacing ini memiliki pigmen hemoglobin yang dapat mengikat oksigen. Pigmen ini memungkinkan oksigen dapat diikat meskipun pH rendah seperti di bagian hilir. Tubificidae bahkan dapat hidup di kondisi anerob yang tidak ada okisgen selama beberapa minggu (Mason 1991). Kepadatan Branchiura dan Lumbriculus yang sangat tinggi di stasiun tersebut mengindikasikan adanya pencemaran organik. Keanekaragaman makrozoobenthos yang hidup di Sungai Cisadane dapat menentukan tingkat kualitas air Sungai Cisadane. Secara umum, Indeks Keanekaragaman Hayati (H’) semakin ke hilir semakin menurun (Tabel 10). Indeks H’ lebih tinggi di daerah hulu sekitar 2,24- 3,30. Indeks H’ menurun di Stasiun 3 (H’=2,24) setelah memasuki Kota Bogor. Konsentrasi TN dan TP di Stasiun 3 lebih tinggi dibandingkan di Stasiun 1 dan 2. Peningkatan unsur nitrogen dan fosfor ini akan berdampak pada penurunan DO yang akhirnya berdampak pada penurunan keanekaragaman makrozoobentos.
Indeks H’
kemudian meningkat di Stasiun 4 (H’=3,09) yang berlokasi di Desa Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Indeks H’ kemudian menurun lagi di Stasiun 5 (H’=2,20) di Desa Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Di lokasi ini, penduduk menambang
pasir
dari
Sungai
Cisadane.
Hal
ini
akan
mengganggu
makrozoobentos yang menjadikan Sungai Cisadane sebagai habitat. Indeks H’ selanjutnya semakin menurun ke arah hilir (Gambar 35).
65
3.50
3.25
3.00
2.90
2.78 2.77
2.82
2.65
2.50
H'
2.00 1.58
1.46
1.50
1.27 0.83
1.00
K 0.35 0.33
0.50 0.00
0.47 0.41
H 0.04
0.00
0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Stasiun
Gambar 35 Indeks keanekaragaman (H’) makrozoobentos di Sungai Cisadane. Berdasarkan klasifikasi kualitas air Staub et al. (1970) yang dikemukakan Wilhm (1975), kualitas air Sungai Cisadane dapat digolongkan menjadi 4 golongan. Kualitas air di bagian hulu (Stasiun 1-2) tergolong sangat baik dengan pencemaran sangat ringan (H’: 3,0 – 4,5). Kualitas air Sungai Cisadane di Stasiun 3-5 masih baik dengan pencemaran ringan (H: 2,0 – 3,0). Kualitas air Sungai Cisadane
di
Stasiun
6
tergolong sedang
dengan
pencemaran
sedang
(H: = 1,0 – 2,0). Kualitas air Sungai Cisadane di daerah hilir di Stasiun 7-9 dapat digolongkan tidak baik dengan tingkat pencemaran berat (H’: 0,0 – 1,0).
4.5 Peranan Vegetasi Riparian dalam Mempertahankan Kualitas Air Sungai Cisadane Hasil uji Korelasi dengan Minitab versi 15 menunjukkan adanya multikolinearitas antar peubah (Lampiran 9) sehingga uji peubah ganda yang digunakan selanjutnya yaitu Analisis Komponen Utama (AKU). Hubungan vegetasi riparian dan kualitas air sungai secara visual dapat dilihat melalui AKU. Tabel 11 menunjukan nilai-nilai koefisien untuk KU1 sebagian bernilai positif yang cukup besar
yaitu kecerahan, kecepatan arus, pH, COD, DO,
keanekaragaman bentos, dan keanekaragaman vegetasi. Berdasarkan nilai akar ciri (eigen value) pada KU1 sebesar 6,728 yang bermakna bahwa peranan peubahpeubah penciri tersebut pada KU1 sebesar 56,1%. Nilai-nilai koefisien untuk KU2 sebagian bernilai positif cukup besar yaitu kecerahan, kecepatan arus, dan TP. Berdasarkan nilai akar ciri (eigen value) pada KU2 sebesar 2,522 yang
66
bermakna bahwa peranan peubah-peubah penciri tersebut
pada KU2 sebesar
21,0%. Jika dilihat dari kedua Komponen Utama maka peubah yang dapat menjelaskan perbedaan antar stasiun ada 8 (delapan) peubah yaitu kecepatan arus, pH, BOD, COD, DO, TP, keanekaragaman bentos dan vegetasi. Proporsi kumulatif dari kedua komponen utama tersebut sebesar 77,1% yang berarti bahwa keragaman data peubah asal yang dapat diterangkan oleh kedua komponen utama tersebut sebesar 77,1%. Tabel 11 Nilai koefisien, akar ciri dan proporsi keragaman hasil AKU Peubah KU1 KU2 kecerahan 0,325 0,171 suhu -0,266 -0,343 kecepatan arus 0,355 0,165 pH 0,345 -0,056 BOD 0,037 -0,575 COD 0,230 -0,374 DO 0,338 -0,002 TSS -0,274 -0,242 TN -0,081 -0,404 TP -0,297 0,165 keanekaragaman bentos 0,376 -0,084 keanekaragaman vegetasi 0,313 -0,0310 Akar ciri 6,728 2,522 proporsi keragaman 0,561 0,210 proporsi kumulatif 0,561 0,771 Stasiun-stasiun yang terletak di sebelah kanan (Stasiun 1, 2, 3, dan 4) menampakkan ciri oleh tingginya nilai peubah-peubah tersebut (Gambar 36). Sebaliknya, stasiun-stasiun yang berada di sebelah kiri dicirikan oleh rendahnya nilai peubah-peubah tersebut. Stasiun-stasiun yang terletak di sebelah atas (Stasiun 1, 2, 3, 7 dan 9) dicirikan oleh tingginya nilai peubah-peubah tersebut. Sebaliknya, stasiun-stasiun yang berada di sebelah bawah dicirikan oleh rendahnya nilai peubah-peubah tersebut. Hasil uji peubah ganda dengan menggunakan Analisis Biplot (Gambar 36) menunjukkan bahwa vegetasi riparian mempengaruhi kualitas air sungai. Penurunan keanekaragaman vegetasi riparian di bagian hilir (Stasiun 7-9)
67
meningkatkan suhu, kekeruhan/TSS, TP, dan Total N. Jika keanekaragaman vegetasi riparian meningkat maka keanekaragaman makrozoobentos juga meningkat. Keanekaragaman vegetasi riparian yang tinggi di hulu (Stasiun 1-3) juga meningkatkan kualitas air sungai yang ditampakkan oleh keanekaragaman makrozoobentos yang tinggi, DO yang tinggi, dan kecerahan air sungai yang baik.
0 2
Komponen Utama Kedua (KU2)
S9
S1
1
S2 S3
TP
S7
kecerahan kec.arus
S6
DO pH bentos
0 TSS suhu
S8
COD
TN
-1
0
vegetasi
BOD
-2 S4 S5
-3 -4
-3
-2
-1 0 1 Komponen Utama Pertama (KU1)
2
3
4
Gambar 36 Hasil Uji Biplot. Vegetasi riparian berperan dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Limbah rumahtangga, pertanian dan industri yang langsung dibuang ke Sungai
Cisadane
tidak
dapat
dijerap
oleh
vegetasi
riparian.
Proses
penjerapan/penyaringan pencemar hanya dapat terjadi jika pencemar dari daratan yang dibawa oleh aliran permukaan melalui zona riparia sebelum masuk ke sungai. Mekanisma mempertahankan
yang
terjadi
kualitas
pada
riparia
air
sungai
sehingga telah
berperan dikaji
dalam oleh
Klapproth dan Johnson (2000). Pengambilan nitrat untuk pertumbuhan vegetasi
68
merupakan mekanisma utama dalam perpindahan nitrat dari riparia. Vegetasi, khususnya pohon, mengubah nitrat menjadi nirogen organik di dalam jaringan tumbuhan kemudian menyimpannya ke dalam material tumbuhan di atas permukaan tanah sehingga nitrogen dapat dimineralisasikan dan didenitrifikasi oleh mikroba tanah.
Mekanisma utama perpindahan fosfor dari riparia yaitu
penjerapan/deposisi fosfor dan sedimen. Sebagian fosfor juga dapat dimanfaatkan oleh vegetasi untuk pertumbuhannya. Vegetasi rumput sama baiknya dengan pohon dalam menurunkan fosfor di riparia. Pestisida, dan senyawa kimia organik lainnya, di riparia dapat diuraikan oleh mikroorganisma tanah riparia. Vegetasi rumput dilaporkan dapat memindahkan pestisida dari aliran permukaan yang berasal dari pertanian. Logam-logam yang berasal dari antara lain industri, pertambangan, aliran permukaan perkotaan dan aktivitas transportasi juga dapat dijerap oleh vegetasi riparian. Deposisi sedimen dan pengambilan logam-logam oleh vegetasi berkayu dapat menurunkan konsentrasi logam berat di riparia (Klapproth dan Johnson 2000). Efektivitas vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane dipengaruhi banyak faktor. Di Stasiun 1 dan 2 yang berada di hulu, lebar vegetasi riparian sekitar 5 m memiliki kualitas air sungai sangat baik dengan pencemaran sangat ringan. Stasiun 3, meski di hulu tetapi terletak di tengah kota, memiliki kualitas air sungai tidak berbeda dengan di Stasiun 4-5 yaitu tergolong masih baik dengan pencemaran ringan. Lebar riparian Stasiun 3, 4 dan 5 berturut-turut yaitu 12 m, 250 m dan 300 m. Stasiun 4 dan 5 berada di bagian tengah dan telah menerima sejumlah bahan pencemar namun kualitas air sungai masih baik. Lebar riparian dan aktivitas manusia di sekitar sungai yang tidak sebesar di Stasiun 3 mengindikasikan bahwa faktor lebar dan kondisi lingkungan di sekitar Stasiun 4 dan 5 berpengaruh terhadap kualitas air Sungai Cisadane di Stasiun 4 dan 5. Kualitas air Sungai Cisadane di Stasiun 6 tergolong sedang dengan pencemaran sedang. Stasiun 6 berada di bagian tengah dengan lebar riparian cukup besar sekitar 150 m namun keanekaragaman vegetasi paling rendah (2,39) dibandingkan dengan Stasiun 4 (3,70) dan 5 (3,21) (Tabel 10). Ini
69
mengindikasikan bahwa selain lebar dan kondisi lingkungan sekitar, vegetasi riparian berperan dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Kualitas air Sungai Cisadane di bagian hilir yaitu Stasiun 7-9 tergolong tidak baik atau buruk dengan tingkat pencemaran berat. Lebar riparia di Stasiun 7 dan 8 cukup lebar sekitar 100 m namun tampaknya lebar ini kurang dapat berperan dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Stasiun 7-9 berada di tengah Kota Serpong dan Tangerang dengan aktivitas perkotaan dan industri yang tinggi. Meskipun demikian, vegetasi riparian tetap berperan dalam mempertahankan kualitas air sungai. Ini ditunjukkan oleh Stasiun 9 yang tidak memiliki vegetasi riparian yang hanya memiliki 3 jenis makrozoobentos. Penelitian mengindikasikan jika vegetasi riparian, lebar vegetasi riparian dan aktivitas di DAS Cisadane berperan dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Keanekaragaman vegetasi yang tinggi, lebar yang cukup dan aktivitas yang tidak besar di DAS berpengaruh besar pada kualitas air Sungai Cisadane. Untuk di perkotaan dengan tingkat industri tidak tinggi seperti di Stasiun 3, yang berada di hulu di tengah kota, lebar vegetasi riparian sungai yang hanya sekitar 12 m masih cukup dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Namun, lebar vegetasi riparian sekitar 100 m (Stasiun 7-8) yang berada di hilir di tengah kota tidak berpengaruh dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Meskipun demikian, vegetasi tetap berperan dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane yang ditunjukkan dengan indeks H’ di Stasiun 7 dan 8 yang lebih tinggi dibandingkan di Stasiun 9. Efektivitas riparia dalam mempertahankan kualitas air sungai sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
yaitu hidrologi, tanah dan
vegetasi
(Klapproth dan Johnson 2000). Hasil penelusuran penelitian yang dilakukan oleh Lee et al. (2004) juga menunjukkan perbedaan lebar riparia
dalam
mempertahankan kualitas air sungai. Peneliti melaporkan bahwa lebar zona riparia 30 m tidak mampu mencegah masuknya sedimen ke DAS kecil setelah pembalakan hutan. Namun, peneliti lain mengatakan jika lebar zona riparia yang hanya 9 m cukup efektif mengendalikan sedimen yang masuk ke sungai. Lebar riparia untuk mempertahankan suhu sungai juga bervariasi. Peneliti melaporkan lebar >30 m dapat mempertahankan suhu sungai. Tapi, penelitian lain
70
menyebutkan lebar 10-20 m cukup mampu mempertahankan suhu sungai. Sama halnya dengan faktor lain, lebar zona riparia tidak sama untuk keanekaragaman invertebrata sungai. Lebar zona riparia ≥30 m cukup efektif dalam mempertahankan keanekaragaman invertebrata dalam air sungai. Jika lebar riparia < 30 m maka keanekeragaman invetebrata akuatik akan turun. Efektivitas riparia dalam mempertahankan kualitas air sungai dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain komposisi vegetasi (misalnya pohon atau rumput), karakteristik tanah (misalnya kelembaban, konduktivitas hidraulik dan lereng), aliran air yang memasuki sungai (misalnya aliran permukaan/surface, subsurface, groundwater), musim dan iklim. Lebar zona riparia ditentukan oleh berbagai faktor tersebut. Walaupun
demikian, sebagian besar hasil penelitian
merekomendasikan lebar zona riparia 30 m cukup efektif dalam menjerap hara dan sedimen (Barling dan Moore 1994; Dosskey et al. 1997; Christensen 2000; Mayer et al.2007; Dhondt et al. 2006). Pemerintah telah melakukan upaya pengelolaan DAS Cisadane terpadu (BPDASCC 2010). Visi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam pengelolaan DAS Cisadane terpadu yaitu Cisadane bersih, indah dan bermartabat. Bersih dimaksudkan pencemaran air dapat dikendalikan dan kualitas air sesuai dengan baku mutu. Pada dokumen ini, pemerintah belum mempertimbangkan rehabilitasi vegtasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Upaya vegetatif yang dilakukan pemerintah pada dokumen ini untuk rehabilitasi lahan kritis melalui upaya agroforestry. Lebar dan tipe vegetasi riparia yang efektif dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane belum dapat ditetapkan pada penelitian ini. Penelitian lanjutan yang perlu dilakukan antara lain, mengukur kualitas air dari daratan menuju sungai dan karakteristik tanah. Penelitian hendaknya juga dilakukan di anak-anak Sungai Cisadane sehingga dapat menggambarkan DAS Cisadane.
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane memiliki luas sekitar 155.149,39 ha. Penutupan/pemanfaatan lahan di DAS Cisadane yaitu hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, kebun campuran, semak belukar, lahan terbuka, lahan terbangun, tambak, dan badan air. DAS Cisadane bagian hulu didominasi oleh tutupan lahan berupa hutan dan lahan pertanian berupa kebun campuran, sawah dan perkebunan. DAS Cisadane bagian tengah didominasi oleh lahan pertanian. DAS Cisadane bagian hilir didominasi oleh lahan terbangun dan lahan pertanian. Hutan primer sudah tidak ditemukan di hilir. Tepian Sungai Cisadane di bagian hulu (Stasiun 1-2) dan tengah (Stasiun 4-6) dapat dikategorikan sebagai lansekap semi alami. Lansekap urban ditemukan di stasiun yang terletak di pusat kota seperti Kota Bogor (Stasiun 3) dan Serpong (Stasiun 7-9). Vegetasi riparian Sungai Cisadane beranekaragam mulai dari rumput hingga pohon yang ditanam oleh masyarakat setempat. Suku yang paling banyak ditemukan yaitu Poaceae dan Asteraceae. Kerapatan jenis yang paling tinggi yaitu Digitaria longiflora, Wedelia trilobata dan Digitaria violances. Keanekaragaman hayati vegetasi riparian semakin ke hilir semakin menurun. Kualitas air Sungai Cisadane dari hulu hingga hilir telah tercemar ringan (Stasiun 1-6) dan tercemar berat di Stasiun 7-9 yang berada di bagian hilir. Berdasarkan indeks H’, kualitas air Sungai Cisadane di bagian hulu (Stasiun 1-2) tergolong sangat baik dengan pencemaran sangat ringan. Kualitas air Sungai Cisadane di Stasiun 3-5 masih baik dengan pencemaran ringan. Kualitas air Sungai Cisadane di Stasiun 6 tergolong sedang dengan pencemaran sedang. Kualitas air Sungai Cisadane di daerah hilir di Stasiun 7-9 dapat digolongkan tidak baik dengan tingkat pencemaran berat. Keanekaragaman makrozoobentos dipengaruhi oleh pH, DO, kecerahan, kecepatan arus, TSS, suhu dan TP, TN. Keanekaragaman vegetasi mempengaruhi kualitas air sungai. Penurunan keanekaragaman vegetasi dapat meningkatkan TSS, suhu, TP, TN dan dapat menurunkan keanekaragaman makrozoobentos, pH, DO dan kecerahan.
72
Kualitas air Sungai Cisadane dipengaruhi oleh vegetasi, lebar vegetasi dan aktivitas di DAS Cisadane. Keanekaragaman vegetasi yang tinggi disertasi lebar yang cukup dan aktivitas yang tidak besar di DAS Cisadane akan berpengaruh besar pada kualitas air Sungai Cisadane. Untuk di perkotaan dengan tingkat industri tidak tinggi seperti di Stasiun 3, lebar vegetasi riparian sungai yang hanya sekitar 10 - 15 m masih cukup dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Namun, lebar vegetasi riparian yang besar sekitar 100 m (Stasiun 7 - 8) tidak akan berpengaruh dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane jika limbah berupa limbah anorganik yang langsung dibuang ke Sungai Cisadane.
5.2 Saran Perubahan tutupan lahan di DAS Cisadane dan perubahan vegetasi riparia dapat
menurunkan
kualitas
air
Sungai
Cisadane.
Pemerintah
perlu
mempertimbangkan rehabilitasi vegetasi riparian di sepanjang DAS Cisadane untuk mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane. Upaya rehabilitasi ini belum dimasukkan dalam Rencana Pengelolaan DAS Cisadane Terpadu tahun 2010. Lebar sempadan sungai yang efektif dalam mempertahankan kualitas air sungai perlu dikaji lebih jauh oleh pemerintah melalui sejumlah penelitian. Penetapan lebar ini akan sangat penting bagi pemerintah, masyarakat dan industri dalam upaya menjaga kualitas air sungai. Pemerintah mempertimbangkan
Daerah faktor
sebelum ekologis
menetapkan
lebar
peranan
vegetasi
sempadan
sungai
riparian
dalam
mempertahankan kualitas air sungai selain faktor ekonomi dan sosial. Jika penelitian untuk revisi lebar sempadan sungai belum dilakukan, Pemerintah Daerah tetap mengindahkan lebar sempadan sungai yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kepres 32/1990 dan PP No.26/2008. Bagi pengguna sungai dan sempadan sungai, arahan lebar sempadan sungai yang telah ditetapkan pemerintah melalui Kepres 32/1990 dan PP N0.26/2008 harus menjadi dasar bagi kegiatan pembanguann di sepanjang tepian sungai. Pengguna dilarang mendirikan bangunan dan memanfaatkan sempadan sungai di luar kegiatan konservasi tanah dan air.
73
Penelitian tentang efektivitas vegetasi riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane perlu dilakukan. Penelitian selanjutnya juga perlu dilakukan di bagian hulu yang sangat sedikit terganggu oleh aktivitas manusia dengan jumlah titik-titik pencuplikan penelitian yang lebih banyak untuk tiap anak-anak Sungai Cisadane. Waktu pengamatan berdasarkan siklus tahunan juga perlu dilakukan agar diperoleh hasil yang lebih baik dalam menggambarkan efektivitas riparian dalam mempertahankan kualitas air Sungai Cisadane.
DAFTAR PUSTAKA
Abel PD. 1989. Water Pollution Biology. Chichester: Ellis Horwood Ltd. Ahsoni MA. 2008. Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan di Sub DAS Cisadane Hulu [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Allan JD. 1995. Stream Ecology:Structure and Function of Running Waters. London: Chapman and Hall. Anggoro H. 2004. Pencemaran beberapa unsur logam berat di Sungai Cisadane [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. [Anonim]. 1990. Keputusan Presiden No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jakarta. ................ 1994. Peraturan Daerah Kotamadya DT II Tangerang No.8 tahun 1994 tentang Garis Sempadan dalam Wilayah Kotamadya DT II Tangerang. Tangerang. ................ 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. ................ 2004. Undang-undang R I No.7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Jakarta. ................ 2008. PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. APHA, AWWA, WEF. 2005. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. Ed-21. Washington DC: American Public Health Association. Arwindrasti BK. 1997. Kajian karakteristik hidrologi Daerah Aliran Sungai Cisadane [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Atmodjo PK. 1995. Gambaran dan pencemaran air sungai di Indonesia dan usaha penanggulangannya. Biota.01:4-11. Bailey PB. 1995. Understanding large river-floodplain ecosystems: significant economic advantages and increased biodiversity and stability would result from restoration an impaired systems. BioScience. 45 (3):153-167. [Bapeda Jabar] Badan Perencanaan Daerah Jawa Barat. 2007. Perda Sempadan Sungai Berjalan Efektif. http://www.bapeda-jabar.go.id [6 Maret 2008]. Barbour MG, Burk JH, Pitts WD, Gilliam FS, Shwartz M.W. 1999. Terresterial Plant Ecology. Ed ke-3. Menlo Park: The Benjamin/Cummings. Barling RD, Moore ID. 1994. Role of buffer strips in management of waterway pollution: a review. J Environ Manage 18(4):543-558. [BPDASCC] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum - Ciliwung. 2007. Laporan Monitoring dan Evaluasi Tata Air SPAS tahun 2006. Bogor: BP DAS Citarum-Ciliwung.
76
[BPDASCC] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum - Ciliwung. 2009. Laporan Pekerjaan Penyusunan Peta DAS Sewilayah BP DAS Citarum-Ciliwung tahun 2009. Buku 3: Peta-peta. Bogor: BP DAS Citarum-Ciliwung. [BPDASCC] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung. 2010. Penyusunan Dokumen rencana Pengelolaan DAS Cisadane Terpadu tahun 2010. Buku 1. Laporan Utama. Bogor: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung, Dirjen BPDASPS, Kementerian Kehutanan dan IPB. Bren LJ. 1993. Riparian zone, stream, and floodplain issues: a review. J Hydrol 150: 277-299. Brinkhurst RO, Cook DG. 1974. Aquatic earthworm (Annelida:Oligochaeta). Di dalam: Hart CW, Fuller SLH, editor. Pollution Ecology of Freshwater Invertebrates. London: Academic Press, Inc. hlm 143-156. Brinson MM, Swift BL, Plantico C, Barclay JS. 1981. Riparian Ecosystems: their Ecology and Status. U.S. Fish and Wildl. Service Report FWS/OBS-81/17. Brown VM. 1975. Fishes. Di dalam: Whitton BA, editor. River Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publications.hlm 199-229. Brown AV, Lyttle MM, Brown KB. 1998. Impacts of Gravel Mining on Gravel Bed Streams. Transactions of the American Fisheries Society 127:979–994. http://www.rvcog.org/ftp/Applegate%20Aggregate%20Project/General%20 Gravel%20Mining%20Background%20Information/impacts_of_gravel_min ing. [24022012]. Castelle AJ, Johnson AW, Conolly C. 1994. Wetland and stream buffer size requirements: a review. J Environ Qual 23:878 – 882 Cech TV. 2005. Principles of Water Resources: History, Development, Management, and Policy. Ed ke-2. Hoboken:John Wiley & Sons. Chang M. 2006. Forest Hydrology: an Introduction to Water and Forests. Boca Raton: Taylor & Francis. Christensen D. 2000. Protection of Riparian Ecosystems: a Review of Best Avalaible Science. Port Townsend: Jefferson County Natural Resources Division. Christianto. 2002. Struktur komunitas makrozoobentos serta kualitas fisika-kimia air di Sungai Cisadane, Bogor [skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Chovanec A, Hofer R, Schiemer F. 2003. Fish as bioindicators. Di dalam: Markert BA, Breure AM, Zechmeiser, HG, editor. Bioindicators and Biomonitors: Principles, Concepts and Applications. Oxford: Elsevier Sicence Ltd. hlm.639-676. Covich AP, Palmer MA, Crowl TA. 1999. The role of benthic invertebrate species in freshwater ecosystems. BioScience 49(2):119-127.
77
[CPCD] Central Pollution Control Board.2006. Water Quality Status of Yamuna River (1999 – 2005). Assessment and Development of River Basin Series: ADSORBS/41/2006-07. Parivesh Bhawan: Central Pollution Control Board, Ministry of Environment &and Forests, Government of India. http://www.cpcb.nic.in/newitems/11.pdf.[17 Februari 2012]. Dhondt, K., P.Boeckx, N.E.C.Verhoest, G.Hofman & O.van Cleemput. 2006. Assessment of temporal and spatial variation of nitrat removal in riparian zones. J. Environmental Monitoring and Assessment 116:197-215. [DID] Department of Irrigation and Drainage. 2009. River and Sand Mining Management Guideline. Kuala Lumpur: Department of Irrigation and Drainage, Ministry of Natural Resources and environment. http://www.engr.colostate.edu/~pierre/ce_old/classes/ce717/Sand%20minin g_on_streams.pdf. [24022012]. Digby PGN, Kempton RA. 1991. Multivariate Analysis of Ecological Communities. London: Chapman & Hall. [Dirjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2009. Rencana Tindak: Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada DAS Ciliwung, Cisadane, Angke Pasanggrahan, Sunter dan Kali Bekasi untuk Pengendalian Banjir di Wilayah Jabodetabekjur. Jakarta: Direktorat Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan RI. [Dirrehab] Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. 1981. Laporan Feasibility Study Pengembangan DAS Ciliwung – Cisadane. Vol. I. Jakarta: Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, Dirjen Kehutanan, Departemen Pertanian. Dosskey M, Schultz D, Isenhart T. 1997. Agroforestry Notes: How to Design a Riparian Buffer for Agricultural Land. http://waterhome.brc.tamus.edu/projects/afnote4.htm. [231108]. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta:Penerbit Kanisius. Everitt BS, Dunn G. 1998. Applied Multivariate Data Analysis. London: Edward Arnold. Fachrul MF.2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara. [FAO] Food and Ariculture Organization. 1998. Rehabilitation of River for Fish. Cowx IG, Welcomme RL [editors]. Oxford: Fishing New Books & FAO. Febriani Y. 2004. Studi perkembangan lanskap budaya riparian (riverine cultural landsape) di tepian Sungai Musi, Palembang, Sumatera – Selatan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Goldberg MC. 1970. Sources of Nitrogen in Water Supplies. Di dalam: Willrich TL, Smith GE, editor. Agricultural Practices and Water Qaulity. Ed ke-1. Ames: The Iowa State University Press. hlm 94-124. Gordon et al. 2004. Stream Ecology: an Introduction to Ecologists. Ed ke-2. Chichester: John Wiley & Sons.
78
Gosselink JG, Bayley SE, Conner WH, Turner RE. 1980. Ecological factors in the determination of riparian wetland boundaries. Di dalam: Clark JR, Benforado J, editor. Wetlands of Bottomland Hardwood Forets. New York: Elsevier. hlm 197 – 219. Green RH. 1979. Sampling Design and Statistical Methods for Environmental Biologists. Chichester: John Wiley & Sons. Hair JF, Anderson RE, Tatham RL, Black WC. 1998. Multivariate Data Analysis. Ed ke-5. New Jearsey: Prentice-Hall International, Inc. Hanson GC, Groffman PM, Gold. AJ. 1994. Symptoms of nitrogen saturation in a riparian wetland. Ecological Applications 44(4): 750-756. Harman WN. 1974. Snails (Mollusca:Gastropoda). Di dalam: Hart CW, Fuller SLH, editor. Pollution Ecology of Freshwater Invertebrates. London: Academic Press, Inc. hlm 275-312. Haryanti I. 2010. Pengaruh perubahan tutupan lahan DAS Cisadane Hilir terhadap kualitas air sungai Cisadane Hilir Kabupaten Tangerang, Banten [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Haslam SM. 1990. River Pollution: an Ecological Perspective. London dan New York: Belhaven Press. Haslam SM. 1997. The River Scene: Ecology and Cultural Heritage. Cambridge: Cambridge University Press. Hawkes HA. 1975. River zonation and classification. Di dalam: Whitton BA, editor. River Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publications. hlm 312-374. House MA, Sangster EK. 1991. Public participation in river-corridor management. Di dalam: Haigh MDF, James CP, editor. Water and Environmental Management: Design and Construction of Works. New York: Ellisa Horwood. hlm 271-280. Huffman RT, Forsythe SW. 1981. Bottomland hardwood forest communities and their relation to anaerobis conditions. Di dalam: Clark JR, Benforado J, editor. Wetlands of Bottomland Hardwood Forest. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing Co. hlm 87-196. Idawaty. 1999. Evaluasi kesesuaian lahan dan perencanaan lansekap hutan mangrove di muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ilhardt BL, Verry ES, Palik BJ. 2000. Defining riparian areas. Di dalam: Verry ES, Hornbeck JA, Dolloff CA, editor. Riparian Management in Forest of the Continental United States. Boca Raton: Lewis Publishers. hlm 23-42. Isdiyana. 1996. Kestabilan Alur Sungai. Bandung: Puslitbang Pekerjaan Umum. Jacobs TC, Gilliam JW. 1985. Riparian losses of nitrate from agricultural drainage waters. J.Environ.Qual. 14(4): 472 – 478.
79
Jansson R, Nilsson C, Dynesius M, Andersson E. 2000. Effects of river regulation on river-margin vegetation: a comparison of eight boreal rivers. Ecological Application 10(1):201-224. Jaya INS. 2010. Analisis Citra Digital: Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. [JICA] Japan International Cooperation Agency. 2006. Reconnaissance study of the institutional revitalization project for management of flood, erosion and inner water control in Jabotabek watershed. [Final Report]. Jakarta: JICA & Yachiyo Engineering Co., Ltd. Johnson BL, Richardson WB, Naimo TJ. 1995. Past, present, and future concepts in large river ecology: how rivers function and how human activities influence river processes. BioScience 45 (3): 134-141. Johnson HP, Moldenhauer WC. 1970. Sources of Nitrogen in Water Supplies. Di dalam: Willrich TL, Smith GE, editor. Agricultural Practices and Water Quality. Ed ke-1. Ames: The Iowa State University Press. hlm 3-20. Jones EBD, Helfman GS, Harper JO, Bolstad PV. 1999. Effects of riparian forest removal on fish assemblages in southern appalachian streams. Conservation Biology 13 (6):1454-1465. Klapproth JC, Johnson JE. 2000. Understanding the Science Behind Riparian Forest Buffers: Effects on Water Quality. Blacksburg: Virginia Cooperative Extension.http://www.ext.vt.edu/pubs/forestry/420-151/420-151.pdf. [150307]. Krebs CJ. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Harper and Row. Langdon DG, McClure JP, Hook DD, Crokett JM, Hunt R. 1981. Extent, condition, management, and research needs of bottomland hardwoodcypress forest in the southeastern Unites States. Di dalam: Clark JR, Benforado J, editor. Wetlands of Bottomland Hardwood Forest. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing Co. hlm 71-85. Lawrence R, Todd R, Fadil J, Hendrickson O, Leonard R, Amussen L. 1984. Riparian forest as nutrient filters in agricultural watersheds. Bioscience 34(6):374-377. Leavitt JM. 1998. The functions of riparian buffers in urban watersheds. [Abstrak Tesis]. Seattle Washington: University of Washington. http://water.washington.edu/Theses/leavitt.html. [2 Juli 2008]. Lee P, Smyth C, Boutin S. 2004. Quantitative review of riparian buffer width guidelines from Canada and the United States. J Environmental Management 70: 165–180. Lorenz CM. 2003. Bioindicators for ecosystem management, with special reference to freshwater systems. Di dalam: Markert BA, Breure AM, Zechmeiser, HG, editor. Bioindicators and Biomonitors: Principles, Concepts and Applications. Oxford: Elsevier Sicence ltd. hlm.123-152.
80
Lumeno HH. 1986. Karakteristik Daerah Aliran Sungai Palu, suatu studi kasus DAS Palu di Sulawesi Tengah [tesis]. Ujung Pandang: Jurusan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Fakultas Pasca Sarjana KPK IPB, Universitas Hasanuddin. Macan TT. 1978. Freshwater Ecology. London: Longman Mace GM, Baillie JEM.2007. The 2010 biodiversity indicators: challenges for science and policy. Conservation Biology 21(6):1406-1413. Magurran AE. 1991. Ecological Diversity and Its Measurement. New York: Chapman & Hall. Malanson GP. 1995. Riparian Landscapes. Cambridge: Cambridge University Press. Mara D, Cairncross S. 1994. Pemanfaatan Air limbah dan Ekskreta:Patokan untuk Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Matraman B, penerjemah; Moeljono MPE, editor. Bandung: Penerbit ITB Bandung dan Penerbit Universitas Udayana.Terjemahan dari: Guidelines for the safe use of wastewater and excreta in agriculture and aquaculture. Maryono A. 2005. Menangani Banjir, Kekeringan Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
dan
Lingkungan.
Mason CF. 1991. Biology of Freshwater Pollution. Ed ke-2. London & New York: Longman. Mayer, PM, Reynolds SK, Canfield TJ, McCutchen MD. 2005. Riparian Buffer Width, Vegetative Cover and Nitrogen Removal Effectiveness: a Review of Current Science and Regulations. EPA/600/R-05/118. Cincinnatti: EPA. Mayer PM, Reynolds SK, Canfield TJ, McCutchen MD, Canfield TJ. 2007. Meta analysis of nitrogen removal in riparian buffers. J Environmental Quality 36 (4): 1172-1180. McDonald AT, Kay D. 1998. Water Resources: Issues and Strategies. New York: Longman Scientific & Technical. Miller GT. 2007. Living in the Environment: Principles, Connections, and Solutions. Canada: Thompson Brooks/Cole. Mitsch WJ, Gosselink JG. 1993. Wetlands. Ed ke-2. New York: Van Rostrand Reinhold. Mulyanto HR. 2007. Sungai, Fungsi dan Sifat-sifatnya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Naiman RJ, DeCamps H, McClain ME. 2005. Riparia: Ecology, Conservation, and Management of Streamide Communities. Amsterdam: Elsevier Academic Press. Naiman RJ, Billy RE, Bisson PA. 2000. Riparian ecology and management in the Pasific Coastal Rain Forest. Bioscience 50(11):96-101. Nemerow NL. 1974. Scientific Stream Pollution Analysis. Washington: Scripta Book Co.
81
Novotny V, Olem H. 1994. Water Quality: Prevention, Identification, and Management of Diffuse Pollution. New York: van Nostrand Reinhold. Ochtora D. 2004. Karakteristik Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu (studi kasus Sub DAS Cisadane Hulu, Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi, Institut Pertanian Bogor. Odum EP. 1971. Fundamentals WB Saunders Co.
of
Ecology.
Ed
ke-3.
Philadelphia:
Partomihardjo T, Wiriadinata H. 2002. Vegetasi dan flora pinggiran Sungai Cisadane bagian tengah: studi kasus pada beberapa muara anak-anak Sungai Cisadane. Di dalam: Polosakan R et al. Laporan Teknik 2002. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm 307-315. Paryono. 2005. Dampak pencemaran pertambangan emas tanpa izin terhadap ikan baung di Sungai Cikaniki, Kawasan Pongkor, Bogor [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Petts GE. 1990. Forested river corridors: a last resource. Di dalam: Cosgrove D, Petts G, editor. Water, Engineering and Landsape: Water Control and Landscape Transformation in the Modern Period. London: Belhaven Press.hlm 13-34. Petts GE. 1996. Sustaining the ecological integrity of large floodplain rivers. Di dalam: Anderson MG, Walling DE, Bates PD, editor. Floodplain Processes. Chichester: John Wiley and Sons. hlm 535-551. [PPTSDA] Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. 2000. Penelitian Daya Dukung Sungai terhadap Beban Pencemaran Air. Bandung: PPTSDA. Pribadi RM. 1999. Perencanaan greenbelt sepanjang sungai (dengan strategi identifikasi tebal koridor hijau dan manajemen tapak: studi kasus Sungai Mookervart, Jakarta [skripsi]. Bogor: Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [Puslitbang SDA] Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. 2006. Status Mutu Air Sungai di Indonesia. Vol.1. Sungai Cisadane. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum. Puspaningsih N. 1997. Studi perencanaan pengelolaan penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rahmafitria. 2004. Evaluasi lanskap tepian sungai perkotaan melalui pendekatan kualitas visual dan kualitas lingkungan: studi kasus tepian Sungai Cisadane, wilayah Kota Bogor, Jawa Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Riswan S. 2003. Dinamika dan pola perubahan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane sebagai salah satu dasar dalam pengelolaan kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur). Di dalam: Ubaidillah R et al.,
82
editor. Manajemen Bioregional Jabodetabek: Tantangan dan Harapan. Bogor: Pusat Penelitian Biologi – LIPI. hlm 101–114. Roback SS. 1974. Insects (Arthropoda:Insecta). Di dalam: Hart CW, Fuller SLH, editor. Pollution Ecology of Freshwater Invertebrates. London: Academic Press, Inc. hlm 313-376. Sawyer RT. 1974. Leeches (Annelida:Hirudinea). Di dalam: Hart CW, Fuller SLH, editor. Pollution Ecology of Freshwater Invertebrates. London: Academic Press, Inc. hlm 81-142. Snyder CD, Young JA, Villella R, Lemarie DP. 2003. Influences of upland and riparian land use patterns on stream biotic integrity. Landscape Ecology 18: 647-664. Soerianegara I, Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Sparks RE. 1995. Need for ecosystem management of large rivers and their floodplans. BioScience 45 (3):168-182. Sudarso Y.2002. Chironomidae sebagai indikator biologis perairan dan hama potensial. Warta Limnologi 35:4-10. Suhendar D. 2005. Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap ketersediaan sumber daya air di Kota Tangerang [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sunanisari S, Mulyana E, Nomosatryo S. 2001. Komunitas vegetasi riparian. Limnologi Rawa Danau. Hartoto DI, Sulastri, editor. Monografi No.2. Bogor: Pusat Limnologi – LIPI. hlm 77-82. Sunarhadi MA, Utami SR, Sudarto. 2001. Pengeloaan sempadan Sungai Brantas di Kota Malang, Jawa Timur. Biosain 1(3): 84-98. Sundra IK. 2001. Studi kualitas perairan Sungai Nyuling di Karangasem ditinjau dari aspek fisik kima dan mikrobiologi. J Biologi 5 (1):9-20. Sutrihadi. 2006. Penentuan areal prioritas rehabilitasi lahan menggunakan Sistem Informasi Geografis: studi kasus bagian hulu DAS Cisadane [tesis]. Bogor: Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tontowi, Rahayu S. 1996. Potensi pemanfaatan air Sungai Cisadane ditinjau dari aspek kualitas air. Bul Pusair 22:23-29. Tontowi, Sofia Y. 2002. Pemantauan kualitas air yang baik dan efisien, kasus studi Sungai Citarum. Bul Pusair 11 (37):21-33. Tourbier JT. 1994. Open space through stormwater management. J Soil and Water Cons 49 (1):14-21. Turner GM, Gardner RH, O’Neill RV. 2001. Landscape Ecology in Theory and Practice: Pattern and Process. New York: Springer-Verlag. Umar F. 2006. Rencana pengembangan koridor Sungai Kapuas sebagai kawasan interpretasi wisata budaya Kota Pontianak. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
83
Steenis CGGJ van. 1981. Rheophytes of the World: an Account of the FloodResistant Flowering Plants and Ferns and the Theory of Autonomous Evolution. Alphen aan den Rijn: Sijthoff & Noordhoff. Warjono J. 1990. Studi beberapa aspek biologi reproduksi ikan betutu (Oxyeleotris marmorata Bleeker.) di Sungai Cisadane, Kabupaten Tangerang dan di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Waring RH, Schlesinger WH. 1985. Forest Ecosystems: Concepts and Management. San Diego: Academic Press, Inc. Wenger S. 1999. A review of the scientific literature on riparian buffer width, extent and vegetation. Georgia: Institute of Ecology, University of Georgia. http://outreach.ecology.uga.edu/tools/buffers/ut:review.pdf. [15 Mar 2007]. Wilhm JL. 1975. Biological indicator of pollution. Di dalam: Whitton BA, editor. River Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publications.hlm 375-402. Wiriadinata H, Setyowati FM. 2003. Tumbuhan riparian untuk danau, situ dan rawa di Jabodetabek. Di dalam : Ubaidillah R, Maryanto I, editor. Manajemen Bioregional Jabodetabek: Profil dan Strategi Pengelolaan Situ, Rawa dan Danau. Bogor: Puslit Biologi – LIPI. hlm 387 – 396. Yani M, Bey A, Tjiptadi W. 1994. Kajian Kualitas Air DAS Cisadane dan Ciliwung. Laporan Penelitian. Bogor: PPLH-LP, Institut Pertanian Bogor. Yusuf R, Purwaningsih, Sambas EN, Ismail. 2003. Dinamika perubahan ekosistem bagian hulu dan tengah DAS Cisadane. Di dalam: Ubaidillah R et al., editor. Manajemen Bioregional Jabodetabek: Tantangan dan Harapan. Bogor: Pusat Penelitian Biologi – LIPI. hlm 81 – 100.
Lampiran 1 Nama vegetasi riparian di Stasiun 1-8 Nama Jenis
No
Suku
Tingkat pertumbuhan
Sebaran di stasiun
1
Ageratum conyzoides L.
Asteraceae
herba
1,2,4,5,6
2
Albizia falcataria L.
Mimosaceae
tiang
4,5
3
Alternanthera dentata R.E.Fr.
Amaranthaceae
herba
2
4
Amaranthus sp.
Amaranthaceae
Herba
2
5
Amaranthus spinosus L.
Amaranthaceae
herba
3
6
Asystasia gangetica (L.) T. Anders.
Acanthaceae
herba
2,3,6,8
7
Axonophus compressus (Sw.)P.Beauv.
Poaceae
rumput
8
Centrosema pubescens Benth.
Fabaceae
herba
1,3
9
Cocos nucifera L.
Arecaceae
tiang
3
10
Colocasia esculenta (L.) Schot.
Araceae
Herba
2,3,4,7
11
Commelina nudiflora Brn. F.
Commelinaceae
Herba
6
12
Cyperus kyllingia Endl.
Cyperaceae
rumput
4
13
Cyperus odoratus L.
Cyperaceae
Rumput
4
14
Cyperus rotundus L
Cyperaceae
Rumput
4,5
15
Digitaria didactyla Willd.
Poaceae
Rumput
2
16
Digitaria insularis (L.) Mez.
Poaceae
Rumput
4
17
Digitaria longiflora (Retz.) Pers
Poaceae
Rumput
1,2,3,4,6,7,8
18
Digitaria violances Links.
Poaceae
Rumput
3,4,5,
19
Diplazium esculentum (Retz.)Sw
Dryopteridaceae.
Paku
2,3
20
Emilia sonchifolia (L.) DC. ex Wight.
Asteraceae
herba
5
21
Eupatorium odoratum L.
Asteraceae
perdu
1,5,7
22
Euphorbia hirta L.
Euhorbiaceae
herba
1
23
Heterogonium sp.
Dryopteridaceae
paku
2
24
Hyptis capitata Jacq.
Lamiaceae
Herba
2
25
Ichnanthus vicinus Merr.
Poaceae
Rumput
4,5
26
Ichnanthus vicinus (Bailey) Merr.
Poaceae
Rumput
1
27
Isotoma longiflora (Wild.) Presl.
Campanulaceae
herba
1
28
Leucas sp.
Lamiaceae
Herba
1,4
29
Limnocharis flava (L.) Buch.
Limnocharitaceae
herba
5
30
Ludwigia octovalvis (Jacq.) P.H. Raven
Onagraceae
herba
3,5
31
Mangifera indica L.
Anacardiaceae
tiang
3
32
Manihot esculenta Crantz
Euphorbiaceae.
Perdu
6
33
Medinella sp.
Melastomataceae
perdu
4
34
Mikania micrantha Kunth.
Asteraceae
perdu
1,3,4,5,6
35
Mimosa pudica L.
Mimosaceae
herba
2
36
Musa paradisiaca L.
Musacaeae
tiang
2,3,6,7,8
37
Nephelium lappaceum L.
Sapindaceae
tiang
3
38
Orthosiphon sp.
Lamiaceae
herba
2
2
86 Lampiran 1 (Lanjutan) No 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Paspalum conjugatum Berg.
Poaceae
Tkt pertumbuhan Rumput
Pennisetum purpureum Schaum
Poaceae
rumput
1,2,3,7
Phyllanthus niruri L.
Euphorbiaceae
Herba
5,8
Physalis angulata L.
Solanaceae.
Herba
5
Pogonatherum paniceum (Lam.) Hack
Poaceae
Rumput
2
Psidium guajava L.
Myrtaceae
Tiang
2
Sida acuta N. L. Burman
Malvaceae
Perdu
1,4,5
Spilanthes sp.
Asteraceae
Herba
1,4,5
Synedrella nodiflora (L.) Gaertn.
Asteraceae
herba
1,4,5,7,8
Turnera subulata J. E. Smith.
Turneraceae
perdu
2,4
Urtica sp.
Urticaceae
perdu
5
Wedelia trilobata (L.) Hitchc
Asteraceae
perdu
1,2,3,4,5,6,8
Nama Jenis
Suku
Sebaran di stasiun 1,2,4,5
Lampiran 2 Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 1 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Jenis Ageratum conyzoides L. Centrosema pubescens Benth. Digitaria longiflora (Retz.) Pers. Eupatorium odoratum L. Euphorbia hirta L. Ichnanthus vicinus (Bailey) Merr. Isotoma longiflora (Wild.) Presl. Leucas sp. Mikania micrantha Kunth. Paspalum conjugatum Berg. Pennisetum purpureum Schaum Sida acuta N. L. Burman Spilanthes sp. Synedrella nodiflora (L.) Gaertn. Wedelia trilobata (L.) Hitchc N S H'
Suku Asteraceae Fabaceae Poaceae Asteraceae Euhorbiaceae Poaceae Campanulaceae Lamiaceae Asteraceae Poaceae Poaceae Malvaceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae
Jumlah 2 14 44 6 5 30 5 32 4 8 13 2 16 3 9 193 15 3,34
Kerapatan (individu/ha) 5.000 35.000 110.000 15.000 12.500 75.000 12.500 80.000 10.000 20.000 32.500 5.000 40.000 7.500 22.500 482.500
pi
log2pi
0,0104 0,0725 0,2280 0,0311 0,0259 0,1554 0,0259 0,1658 0,0207 0,0415 0,0674 0,0104 0,0829 0,0155 0,0466 1,0000
-6,59 -3,79 -2,13 -5,01 -5,27 -2,69 -5,27 -2,59 -5,59 -4,59 -3,89 -6,59 -3,59 -6,01 -4,42 -68,03
pilog2pi -0,07 -0,27 -0,49 -0,16 -0,14 -0,42 -0,14 -0,43 -0,12 -0,19 -0,26 -0,07 -0,30 -0,09 -0,21 -3,34
87
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Jenis Ageratum conyzoides L. Alternanthera dentata R.E.Fr. Amaranthus sp. Asystasia gangetica (L.) T. Anders. Axonophus compressus (Sw.) P. Beauv. Colocasia esculenta (L.) Schot. Digitaria didactyla Willd. Digitaria longiflora (Retz.) Pers. Diplazium esculentum (Retz.)Sw Heterogonium sp. Hyptis capitata Jacq. Mimosa pudica L. Musa paradisiaca L. Orthosiphon sp. Paspalum conjugatum Berg. Pennisetum purpureum Schaum Pogonatherum paniceum (Lam.) Hack Psidium guajava L. Turnera subulata J. E. Smith. Wedelia trilobata (L.) Hitchc N S H'
Suku Asteraceae Amaranthaceae Amaranthaceae Acanthaceae Poaceae Araceae Poaceae Poaceae Dryopteridaceae. Dryopteridaceae Lamiaceae Mimosaceae Musaceae Lamiaceae Poaceae Poaceae Poaceae Myrtaceae Turneraceae Asteraceae
Jumlah 10 4 5 18 2 1 6 62 3 1 23 7 1 7 6 22 90 1 1 36 306 20 3,18
88
Lampiran 3 Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 2 Kerapatan (individu/ha) 12.500 5.000 6.250 22.500 2.500 1.250 7.500 77.500 3.750 1.250 28.750 8.750 400 8.750 7.500 27.500 112.500 400 1.250 45.000 380800
pi
log2pi
pilog2pi
0,0328 0,0131 0,0164 0,0591 0,0066 0,0033 0,0197 0,2035 0,0098 0,0033 0,0755 0,0230 0.0011 0,0230 0,0197 0,0722 0,2954 0.0011 0,0033 0,1182 1.0000
-4,93 -6,25 -5,93 -4,08 -7,25 -8,25 -5,67 -2,30 -6,67 -8,25 -3,73 -5,44 -9,89 -5,44 -5,67 -3,79 -1,76 -9,89 -8,25 -3,08 -116,52
-0,16 -0,08 -0,10 -0,24 -0,05 -0,03 -0,11 -0,47 -0,07 -0,03 -0,28 -0,13 -0,01 -0,13 -0,11 -0,27 -0,52 -0,01 -0,03 -0,36 -3,18
Lampiran 4 Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 3 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nama Jenis Alternanthera dentate R.E.Fr. Amaranthus spinosus L. Asystasia gangetica (L.) T. Anders. Centrosema pubescens Benth. Cocos nucifera L. Colocasia esculenta (L.) Schot. Digitaria longiflora (Retz.) Pers. Digitaria violances Links. Diplazium esculentum (Retz.)Sw. Ludwigia octovalvis (Jacq.) P. H. Raven Mangifera indica L. Mikania micrantha Kunth. Musa paradisiacal L. Nephelium lappaceum L. Pennisetum purpureum Schaum Wedelia trilobata (L.) Hitchc N S H'
Suku Amaranthaceae Amaranthaceae Acanthaceae Fabaceae Arecaceae Araceae Poaceae Poaceae Dryopteridaceae. Onagraceae Anacardiaceae Asteraceae Musaceae Sapindaceae Poaceae Asteraceae
Jumlah 28 4 2 2 5 4 18 38 11 1 1 8 13 4 6 42 187 16 2,99
Kerapatan (individu/ha) 35.000 5.000 2.500 2.500 1.000 5.000 22.500 47.500 13.750 1.250 50 10.000 2.600 200 7.500 52.500 208.850
pi 0,1676 0,0239 0,0120 0,0120 0,0048 0,0239 0,1077 0,2274 0,0658 0,0060 0,0002 0,0479 0,0124 0,0010 0,0359 0,2514 1,0000
log2pi -2,58 -5,38 -6,38 -6,38 -7,71 -5,38 -3,21 -2,14 -3,92 -7,38 -12,03 -4,38 -6,33 -10,03 -4,80 -1,99 -90,04
pilog2pi -0,43 -0,13 -0,08 -0,08 -0,04 -0,13 -0,35 -0,49 -0,26 -0,04 0,00 -0,21 -0,08 -0,01 -0,17 -0,50 -2,99
89
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Jenis Ageratum conyzoides L. Albizia falcataria L. Alternanthera dentata R.E.Fr. Colocasia esculenta (L.) Schot. Cyperus kyllingia Endl. Cyperus odoratus L. Cyperus rotundus L Digitaria insularis (L.) Mez. Digitaria longiflora (Retz.) Pers. Digitaria violances Links. Ichnanthus vicinus Merr. Leucas sp. Medinella sp. Mikania micrantha Kunth. Paspalum conjugatum Berg. Sida acuta N. L. Burman Spilanthes sp. Synedrella nodiflora (L.) Gaertn. Turnera subulata J. E. Smith. Wedelia trilobata (L.) Hitchc. N S H'
Suku Asteraceae Mimosaceae Amaranthaceae Araceae Cyperaceae Cyperaceae Cyperaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Lamiaceae Melastomataceae Asteraceae Poaceae Malvaceae Asteraceae Asteraceae Turneraceae Asteraceae
Jumlah 64 47 4 5 6 4 2 16 4 84 3 10 6 6 2 2 6 8 4 34 129 20 3,70
Kerapatan (individu/ha) 80.000 9400 5.000 6.250 7.500 5.000 2.500 20.000 5.000 105.000 3.750 12.500 7500 7.500 2.500 2.500 7.500 10.000 5.000 42.500 111900
90
Lampiran 5 Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 4 pi 0,7149 0.0840 0,0447 0,0559 0,0670 0,0447 0,0223 0,1787 0,0447 0,9383 0,0335 0,1117 0.0670 0,0670 0,0223 0,0223 0,0670 0,0894 0,0447 0,3798 1.0000
log2pi -0,48 -3.57 -4,48 -4,16 -3,90 -4,48 -5,48 -2,48 -4,48 -0,09 -4,90 -3,16 -3.90 -3,90 -5,48 -5,48 -3,90 -3,48 -4,48 -1,40 -61.78
pilog2pi -0,35 -0.30 -0,20 -0,23 -0,26 -0,20 -0,12 -0,44 -0,20 -0,09 -0,16 -0,35 -0.26 -0,26 -0,12 -0,12 -0,26 -0,31 -0,20 -0,53 -3.70
Lampiran 6 Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 5 Nama Jenis
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Suku
Kerapatan
Jumlah
pi
log2pi
pilog2pi
Ageratum conyzoides L.
Asteraceae
17
14.167
0,1742
-2,52
-0,44
Albizia falcataria L.
Mimosaceae
62
27.150
0,3339
-1,58
-0,53
Alternanthera dentata R.E.Fr.
Amaranthaceae
19
15.833
0,1947
-2,36
-0,46
Cyperus rotundus L
Cyperaceae
3
2.500
0,0307
-5,02
-0,15
Digitaria violances Links.
Poaceae
9
7.500
0,0922
-3,44
-0,32
Emilia sonchifolia (L.) DC. ex Wight.
Asteraceae
4
3.333
0,0410
-4,61
-0,19
Eupatorium odoratum L.
Asteraceae
2
1.667
0,0205
-5,61
-0,11
Ichnanthus vicinus Merr.
Poaceae
5
4.167
0,0512
-4,29
-0,22
Limnocharis flava (L.) Buch.
Limnocharitaceae
10
8.333
0,1025
-3,29
-0,34
Ludwigia octovalvis (Jacq.) P. H. Raven
Onagraceae
4
3.333
0,0410
-4,61
-0,19
Mikania micrantha Kunth.
Asteraceae
11
9.167
0,1127
-3,15
-0,35
Paspalum conjugatum Berg.
Poaceae
1
833
0,0102
-6,61
-0,07
Phyllanthus niruri L.
Euphorbiaceae
1
833
0,0102
-6,61
-0,07
Physalis angulata L.
Solanaceae.
1
833
0,0102
-6,61
-0,07
Sida acuta N. L. Burman
Malvaceae
6
5.000
0,0615
-4,02
-0,25
Spilanthes sp.
Asteraceae
5
4.167
0,0512
-4,29
-0,22
Synedrella nodiflora (L.) Gaertn.
Asteraceae
2
1.667
0,0205
-5,61
-0,11
Urtica sp.
Urticaceae
8
6.667
0,0820
-3,61
-0,30
Wedelia trilobata (L.) Hitchc N S H'
Asteraceae
12 127 19 3,21
10.000 81.317
0,1230 1,0000
-3,02 -69,21
-0,37 -3,21
91
92
Lampiran 7 Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 6 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Jenis Ageratum conyzoides L. Asystasia gangetica (L.) T. Anders. Commelina nudiflora Brn. F. Digitaria longiflora (Retz.) Pers Manihot esculenta Crantz Mikania micrantha Kunth. Musa paradisiaca L. Wedelia trilobata (L.) Hitchc N S H'
Suku Asteraceae Acanthaceae Commelinaceae Poaceae Euphorbiaceae. Asteraceae Musaceae Asteraceae
Jumlah 16 9 6 33 45 16 5 18 148 8 2,39
Kerapatan (individu/ha) 20.000 11.250 7.500 41.250 9.000 20.000 1.000 22.500 122.500
pi
log2pi
0,1633 0,0918 0,0612 0,3367 0,0735 0,1633 0,0082 0,1837 1,0000
-2,61 -3,44 -4,03 -1,57 -3,77 -2,61 -6,94 -2,44 -16,72
pilog2pi -0,43 -0,32 -0,25 -0,53 -0,28 -0,43 -0,06 -0,45 -2,39
Lampiran 8 Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 7 No 1 2 3 4 5 6
Nama Jenis
Suku
Colocasia esculenta (L.) Schot. Digitaria longiflora (Retz.) Pers Eupatorium odoratum L. Musa paradisiaca L. Pennisetum purpureum Schaum Synedrella nodiflora (L.) Gaertn. N S H'
Araceae Poaceae Asteraceae Musacaeae Poaceae Asteraceae
Jumlah 3 5 4 25 16 4 57 6 2,27
Kerapatan (individu/ha) 7.500 12.500 10.000 10.000 40.000 10.000 90.000
pi
log2pi
0,0833 0,1389 0,1111 0,1111 0,4444 0,1111 1,0000
-3,58 -2,85 -3,17 -3,17 -1,17 -3,17 -17,11
pilog2pi -0,30 -0,40 -0,35 -0,35 -0,52 -0,35 -2,27
93
94
Lampiran 9 Keanekaragaman vegetasi riparian di Stasiun 8 No 1 2 3 4 5 6
Nama Jenis
Suku
Asystasia gangetica (L.) T. Anders. Digitaria longiflora (Retz.) Pers Musa paradisiaca Phyllanthus niruri L. Synedrella nodiflora (L.) Gaertn. Wedelia trilobata (L.) Hitchc N S H'
Acanthaceae Poaceae Musacaeae Euphorbiaceae Asteraceae Asteraceae
Jumlah 15 26 30 4 24 3 102 6 2,17
Kerapatan (individu/ha) 37.500 65.000 12.000 10.000 60.000 7.500 192.000
pi 0,1953 0,3385 0,0625 0,0521 0,3125 0,0391 1,0000
log2pi -2,36 -1,56 -4,00 -4,26 -1,68 -4,68 -18,54
pilog2pi -0,46 -0,53 -0,25 -0,22 -0,52 -0,18 -2,17
Lampiran 10 Hasil uji Korelasi Spearman pada kualitas air Sungai Cisadane kecerahan suhu
suhu
kec.arus
pH
BOD
COD
-0,810 0,008
kec.arus
0,834 0,005
-0,778 0,013
pH
0,587 0,097
-0,515 0,156
0,748 0,020
BOD
-0,078 0,842
0,317 0,406
-0,079 0,839
0,067 0,863
COD
0,526 0,146
-0,252 0,513
0,447 0,228
0,446 0,229
0,766 0,016
DO
0,640 0,064
-0,446 0,228
0,742 0,022
0,906 0,001
-0,053 0,893
0,300 0,433
TSS
-0,590 0,095
0,693 0,039
-0,762 0,017
-0,674 0,047
0,375 0,320
-0,189 0,627
TN
-0,523 0,148
0,525 0,147
-0,468 0,204
0,064 0,870
0,347 0,360
0,103 0,792
TP
-0,458 0,215
0,180 0,643
-0,580 0,102
-0,782 0,013
-0,127 0,745
-0,339 0,372
0,756 0,018
-0,584 0,098
0,861 0,003
0,937 0,000
0,214 0,581
0,645 0,061
bentos
95
96
Lampiran 10 (Lanjutan)
TSS
DO -0,563 0,115
TSS
TN
TN
-0,097 0,805
0,047 0,904
TP
-0,890 0,001
0,459 0,214
-0,132 0,735
0,871 0,002
-0,639 0,064
-0,119 0,760
bentos
Konten sel:
TP
-0,781 0,013
Korelasi Pearson P-Value
Keterangan: angka merah menunjukkan peubah yang saling berkorelasi Contoh: suhu
-0,810 besar korelasi 0,8 besar 0,008 nilai P korelasi nyata jika <0,05 maka ada korelasi suhu dengan kecerahan . Jadi korelasi nyata sebesar 81%. Penurunan kecerahan dapat menaikkan suhu sebab partikel yang tersuspensi dalam air akan menyerap panas sehingga akan meningkatkan suhu air