PERANAN KEBIJAKAN PUBLIK, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KOMPETENSI SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PENGEMBANGAN PRODUK PERIKANAN PRIMA
ABDUL ROKHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Peranan Kebijakan Publik, Orientasi
Kewirausahaan
dan
Kompetensi
Sumberdaya
Manusia
dalam
Pengembangan Produk Perikanan Prima” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini. Bogor, Maret 2008
Abdul Rokhman C 561020054
RINGKASAN ABDUL ROKHMAN. Peranan Kebijakan Publik, Orientasi Kewirausahaan dan Kompetensi Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan Produk Perikanan Prima. Dibimbing oleh JOHN HALUAN selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta ARI PURBAYANTO dan VICTOR PH. NIKIJULUW sebagai anggota. Pembangunan industri pengolahan ikan di Indonesia mendapat momentum baru dengan lahirnya Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan ditetapkannya Revitalisasi Pertanian dalam Agenda Pembangunan Nasional 20042009. Salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk mengakselerasi pembangunan industri pengolahan ikan adalah pengembangan produk perikanan prima, yaitu produk perikanan yang mempunyai jaminan mutu dan keamanan tinggi, berdaya saing tinggi dan bernilai tambah tinggi. Keberhasilan pengembangan produk perikanan prima ditentukan oleh tiga faktor, yaitu : (1) kebijakan publik, (2) orientasi kewirausahaan, dan (3) kompetensi sumberdaya manusia. Sehubungan dengan itu, dilakukan penelitian untuk menganalisis peranan ketiga faktor tersebut serta interaksinya satu sama lain dalam pengembangan produk perikanan prima. Penelitian ini menggunakan metoda survei terhadap 69 unit pengolahan ikan beku yang berada di Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Metoda analisis data yang digunakan adalah Structural Equation Modeling (SEM), dengan menggunakan piranti lunak Program AMOS 5 Second Order Full Version. Dari konstruksi yang menggambarkan hubungan antara kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia dengan produk perikanan prima, ditentukan empat peubah utama, yaitu : produk perikanan prima (Y), kebijakan publik (X1), orientasi kewirausahaan (X2), dan kompetensi sumberdaya manusia (X3). Produk perikanan prima adalah peubah dependen yang dipengaruhi oleh tiga peubah lainnya. Peubah ini ditentukan dengan menggunakan tiga peubah terukur, yakni : (1) mutu dan keamanan produk, (2) nilai tambah, dan (3) daya saing. Indikator mutu dan keamanan produk adalah rata-rata rasio (%) kasus penahanan/penolakan ekspor oleh US-FDA, Jepang dan negara lain serta RASFF (Rapid Allert System for Food and Feed) oleh Uni Eropa terhadap seluruh frekuensi ekspor selama periode 2002-2006. Indikator nilai tambah adalah rata-rata persentase (%) nilai tambah dari setiap produk yang dihasilkan. Sementara itu, indikator daya saing adalah rata-rata Indeks RCA (Revealed Comparative Advantages), yakni perbandingan pangsa suatu produk yg dihasilkan oleh suatu unit pengolahan ikan terhadap pangsa ekspor produk tersebut dari seluruh dunia selama periode 2002-2006. Kebijakan publik merupakan peubah bebas yang dikonstruksi oleh 16 peubah terukur, meliputi : empat peubah indikator kualitas kebijakan, tiga peubah indikator strategi pelaksanaan, enam peubah indikator faktor pendukung, dan tiga peubah indikator kepatuhan. Orientasi kewirausahaan juga merupakan peubah bebas,
dibentuk oleh delapan peubah terukur, yaitu : tiga peubah indikator proactiveness, tiga peubah indikator innovativeness, dan dua peubah indikator risk taking. Kompetensi sumberdaya manusia merupakan peubah bebas ketiga yang dikonstruksi oleh sembilan peubah terukur, meliputi : dua peubah indikator pengetahuan, dua peubah indikator ketrampilan, dan lima peubah indikator motivasi kerja. Guna memperoleh gambaran mengenai kondisi kini industri pengolahan ikan, dilakukan juga analisis mengenai tingkat utilisasi, pengembangan produk, pemasaran dan penyerapan tenaga kerja. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat utilisasi unit pengolahan ikan (UPI) beku di Pulau Jawa rata-rata adalah 56,47% dari kapasitas terpasang, karena pasokan bahan baku semakin terbatas. Disamping itu, secara umum UPI beku di Pulau Jawa belum melakukan pengembangan produk, karena masih mengolah produk-produk konvensional seperti udang beku blok dan ikan utuh beku yang nilai tambahnya rendah. Diversifikasi pemasaran ekspor juga belum berkembang, karena sebagian besar masih ditujukan ke pasar tertentu saja (Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa) dan jenis produknya masih didominasi produk berbasis udang dan tuna. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri pengolahan ikan beku merupakan bidang usaha yang padat karya karena menyerap tenaga kerja yang cukup banyak (315 orang per UPI atau 43 orang per satu ton bahan baku). Hasil analisis dengan menggunakan SEM menunjukkan bahwa peubah mutu dan keamanan produk, peubah nilai tambah dan peubah daya saing berbeda nyata pada taraf 1%, sehingga ketiga peubah tersebut dapat ditetapkan sebagai kriteria produk perikanan prima. Hasil analisis SEM juga menunjukkan bahwa kriteria yang paling kuat adalah daya saing, diikuti nilai tambah dan yang terakhir adalah mutu dan keamanan produk. Daya saing menjadi kriteria yang paling kuat karena merupakan ukuran keunggulan suatu produk dalam meraih pangsa pasar dari konsumen dunia, sehingga menjadi faktor penarik bagi kriteria lainnya. Nilai tambah menempati urutan kedua karena merupakan salah satu kunci sukses dalam berkompetisi dan menjadi faktor penarik bagi peningkatan mutu dan keamanan produk. Sementara itu, mutu dan keamanan produk menjadi kriteria produk perikanan prima paling lemah karena merupakan faktor penunjang bagi dua kriteria lainnya. Hasil analisis SEM juga menunjukkan bahwa peubah kebijakan publik, peubah orientasi kewirausahaan dan peubah kompetensi sumberdaya manusia berbeda nyata pada taraf 1% sehingga ketiga peubah tersebut dapat ditetapkan sebagai faktor penentu produk perikanan prima. Masing-masing faktor mempunyai peranan yang berbeda tingkatannya, yang paling kuat adalah orientasi kewirausahaan, selanjutnya kebijakan publik dan yang paling lemah adalah kompetensi sumberdaya manusia. Orientasi kewirausahaan menjadi faktor yang paling besar peranannya karena jaminan mutu dan keamanan produk, nilai tambah serta daya saing tidak akan dicapai tanpa adanya sikap proaktif, inovatif dan pengambilan resiko. Kebijakan publik menjadi faktor penentu kedua karena efektivitas pelaksanaan kebijakan publik sangat ditentukan oleh orientasi kewirausahaan. Sementara itu, kompetensi sumberdaya manusia menjadi faktor penentu ketiga karena kompetensi sumberdaya manusia tidak akan meningkat tanpa adanya orientasi kewirausahaan dan dukungan kebijakan publik.
Dari hasil dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima diketahui bahwa pada faktor kebijakan publik, dukungan sumberdaya manusia memiliki pengaruh yang paling kuat. Hal ini karena sumberdaya manusia tidak hanya sekedar sebagai obyek kebijakan, tetapi berperan juga sebagai subyek kebijakan sehingga ketersediaan sumberdaya manusia secara memadai merupakan faktor terpenting yang menentukan kinerja kebijakan. Pada faktor orientasi kewirausahaan, tindakan kompetitif merupakan aspek yang paling kuat pengaruhnya karena persaingan dalam bisnis pengolahan ikan sangat ketat. Pada faktor kompetensi sumberdaya manusia, rencana karier bagi karyawan mempunyai pengaruh yang paling kuat, karena seseorang memerlukan kepastian tentang apa yang akan didapat ketika berprestasi. Korelasi antara faktor orientasi kewirausahaan dengan faktor kompetensi sumberdaya manusia mempunyai pengaruh yang paling kuat terhadap produk perikanan prima. Hal ini dimungkinkan karena kombinasi antara sikap proaktif, inovatif dan keberanian mengambil resiko yang melekat pada pihak manajemen dengan pengetahuan, ketrampilan dan motivasi kerja karyawan merupakan kunci dihasilkannya produk perikanan prima. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, opsi kebijakan yang perlu ditempuh oleh pemerintah dalam kaitannya dengan kriteria produk perikanan prima menurut urutan prioritasnya adalah : (1) peningkatan daya saing, (2) pengembangan produk bernilai tambah tinggi, dan (3) peningkatan jaminan mutu dan keamanan produk. Kebijakan peningkatan daya saing yang perlu ditempuh antara lain adalah : stabilisasi harga bahan baku, penetapan sistem pengupahan yang proporsional, penetapan suku bunga yang kompetitif dengan negara lain, dan pengaturan distribusi margin yang adil bagi seluruh pelaku bisnis perikanan. Sementara itu, kebijakan yang perlu ditempuh dalam rangka pengembangan produk, antara lain adalah : fasilitasi perluasan akses pasar, pengembangan pasar domestik, diseminasi teknologi pengolahan value added products, dan pengembangan klaster industri perikanan. Adapun kebijakan peningkatan jaminan mutu dan keamanan produk yang perlu ditempuh antara lain adalah fasilitasi penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) sebagai corporate culture pada perusahaan pengolahan ikan. Kebijakan yang terkait dengan faktor penentu produk perikanan prima berdasarkan urutan prioritasnya adalah : (1) pengembangan orientasi kewirausahaan, (2) peningkatan efektivitas pelaksanaan kebijakan di bidang mutu dan keamanan produk melalui penyempurnaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002, dan (3) peningkatan kualitas kompetensi sumberdaya manusia. Kebijakan pengembangan orientasi kewirausahaan antara lain dapat ditempuh melalui pemberian insentif bagi perusahaan yang proaktif dan inovatif, serta fasilitasi manajemen resiko bisnis. Peningkatan efektivitas kebijakan di bidang mutu dan keamanan produk dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas kebijakan itu sendiri, strategi pelaksanaan, faktor-faktor pendukung maupun kepatuhan para aktor utamanya. Sementara itu, kebijakan peningkatan kualitas kompetensi sumberdaya manusia diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan motivasi kerja karyawan.
ABSTRACT ABDUL ROKHMAN. Role of Public Policy, Entrepreneurial Orientation, and Human Resource Competency in Development of Prime Fishery Products. Supervised by JOHN HALUAN, ARI PURBAYANTO and VICTOR PH. NIKIJULUW. Development of fish processing industry in Indonesia has reached a new momentum since the release of the act number 31/2004 on fisheries and the adoption of agriculture revitalization in National Development Agenda (RPJM) 2004-2009. The strategy that can be carried out to accelerate the development of fish processing industry is development of prime fishery products, which have high quality and safety, high competitiveness, and high added value. The objectives of this research were : (1) to analyze current status of fish processing industry, (2) to construct model on role of public policy, entrepreneurial orientation, and human resource competency in development of prime fishery products, (3) to analyze some factors that play important role in the development of prime fishery products, i.e. public policy, entrepreneurial orientation, and human resource competency, (4) to formulate public policies that should be issued to develop fish processing industry. The research samples were 69 frozen fish processing plants located in Banten Province, Jakarta Province, West Java Province, Central Java Province, and East Java Province. The research applied survey method and data were analyzed using Structural Equation Modeling (SEM). The result of this research showed that criteria of prime fishery products with strongly influence were competitiveness, followed by added value, and quality and safety assurance. All determinant factors of prime fishery products were significantly playing an important role. The leading roles were entrepreneurial orientation, followed by public policy, and human resource competency. Correlation between those factors was also playing an important role to the prime fishery products. In relation to the criteria of prime fishery products, public policies should be issued are: (1) increasing product competitiveness, (2) development of value added products, and (3) improvement of quality and safety assurance. While, public policies should be issued related to the determinant factors of prime fishery products are: (1) development of entrepreneurial orientation, (2) revision of Ministerial Decree No. Kep 01/Men/2002, and (3) improvement of human resource competency. Keywords: prime fishery products, quality and safety assurance, added value, competitiveness, SEM (Structural Equation Modeling)
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber pengutipan dan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERANAN KEBIJAKAN PUBLIK, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KOMPETENSI SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PENGEMBANGAN PRODUK PERIKANAN PRIMA
ABDUL ROKHMAN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Disertasi Nama Mahasiswa NRP Program Studi
: Peranan Kebijakan Publik, Orientasi Kewirausahaan dan Kompetensi Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan Produk Perikanan Prima : Abdul Rokhman : C 561020054 : Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Victor PH. Nikijuluw, M.Sc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Tanggal Ujian : 25 Maret 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus: ……………………
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Nopember 1962 di Pekalongan, Jawa Tengah, putra ke dua dari sembilan bersaudara dari Bapak KH. Misbah Malibari dan Ibu Hj. Ulfah Misbah. Pada tahun 1988 penulis menikah dengan Fitri Desfandiari dan dikaruniai empat orang putra, yaitu Abi Adiyat Fitrachman (19 tahun), Yusya’ Alif Fitrachman (14 tahun), Naufal Aqiel Fitrachman (8 tahun) dan Thariq Afif Fitrachman (4 tahun). Pendidikan dasar sampai dengan menengah penulis selesaikan di Pekalongan. Pada tahun 1982-1985 penulis mengikuti kuliah pada Pendidikan dan Pelatihan Ahli Usaha Perikanan Jakarta (sekarang Sekolah Tinggi Perikanan), Jurusan Pemanfaatan Hasil Perikanan. Selanjutnya, pada bulan Desember 1985 penulis mulai bekerja pada Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Pada tahun 1990-1991, penulis mendapat kesempatan tugas belajar pada Program Diploma IV Pendidikan dan Pelatihan Ahli Usaha Perikanan Jakarta, Jurusan Pemanfaatan Hasil Perikanan. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan S2 Program Studi Bisnis dan Manajemen pada Sekolah Tinggi Manajemen LABORA Jakarta dan memperoleh gelar MM (Magister Manajemen) pada tahun 1997. Selanjutnya, pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan S3 Program Studi Teknologi Kelautan, Sub Program Studi Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak bulan Juli 2007 sampai sekarang penulis diperbantukan pada PT Perikanan Nusantara (Persero) sebagai Direktur Produksi. Selama berkarier sebagai pegawai negeri sipil pada Departemen Kelautan dan Perikanan (d/h. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian), penulis mengikuti berbagai pelatihan dan seminar, antara lain: (1) International Symposium of Seaweed, KobeJapan, March 26-31, 2007 (2) The Tenth Session of the FAO-Sub Committee on Fish Trade, Santiago de Compostela, Spain, 30 May – 02 June 2006; (3) Pelatihan (ToT) Konsultan Keuangan/Pendamping UMKM Mitra Bank Sektor Kelautan dan
Perikanan, Bogor, 4-9 Desember 2003; (4) Pelatihan Pemeriksaan Fisik Kapal Perikanan, Semarang, 14-17 Juli 2002; (5) Course in Food Safety Auditing (AQIS Training Services), Bogor, 20-29 Maret 2000; (6) Seminar on Quality Control in Fish Processing, Tokyo-Japan, 14-22 April 1999; (7) Workshop on Toward Designing Certification System for Marine Products, Jakarta, 30-31 Maret 1999; (8) Workshop on HACCP Audit Procedures for Fish Inspectors, Denpasar, 29 September-3 October 1997; (9) The Train-the-Trainer Course for HACCP Trainers, Hanoi-Vietnam, 17-28 March 1997; (10) Training on Inspection of the Implementation of HACCP-Based Integrated Quality Management Program (IQMP) of Fish Products, Surabaya, 20-24 January 1997; (11) Asean Fisheries Federation (AFF) 8th Council Meeting and Business Conference, Kuala Lumpur-Malaysia, 16-18 September 1996; (12) Workshop on Production of Battered and Breaded Fish Products from Minced Fish and Surimi, Singapore, 19-25 February 1995; (13) Course on English for Academic Purposes, Jakarta, 29 June-18 December 1992; (14) Workshop on Media Graphics and Publications, Bangkok-Thailand, 11-28 July 1988.
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas perkenan-Nya disertasi dengan judul “Peranan Kebijakan Publik, Orientasi Kewirausahaan dan Kompetensi Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan Produk Perikanan Prima” ini dapat diselesaikan. Penelitian yang dilakukan dalam rangka penulisan disertasi ini menggunakan metoda survei terhadap 69 unit pengolahan ikan beku yang berada di Pulau Jawa dan data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM). Hasil yang diperoleh dari penelitian itu adalah data dan informasi mengenai kondisi kini industri pengolahan ikan beku di Pulau Jawa, gambaran model pengembangan produk perikanan prima, opsi kebijakan pengembangan produk perikanan prima, dan implikasi hasil penelitian. Bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada Buletin PSP Volume XVI No. 2 Agustus 2007, halaman 246-259, dengan judul “Peranan Kebijakan Publik, Orientasi
Kewirausahaan
dan
Kompetensi
Sumberdaya
Manusia
dalam
Pengembangan Produk Perikanan Prima”. Buletin tersebut diterbitkan oleh Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc serta Dr. Ir. Victor PH. Nikijuluw, M.Sc selaku anggota Komisi Pembimbing, yang dengan ikhlas telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sejak penelitian sampai dengan penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Bambang Sayaka, M.Sc; Nur Sokib, S.St.Pi; Budi Yuwono, S.St.Pi; Zaenal Muttaqin, A.Pi, M.Si dan Muhammad Siddik, S.St.Pi yang telah membantu dalam pengumpulan dan pengolahan data, serta semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian disertasi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan merupakan sumbangan pemikiran bagi pembangunan perikanan di Indonesia. Bogor, Maret 2008
Abdul Rokhman
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ………………………………………………….......................... i DAFTAR TABEL …………………………………………………................. iv DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... vi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………............ vii DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………......... viii 1 PENDAHULUAN …………………………………………………............ 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………… 1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah .................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 1.6 Kerangka Pikir Penelitian .................................................................. 1.7 Hipotesa Penelitian …………………………………………………..
1 1 5 7 7 8 10 15
2 TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………... 2.1 Batasan/Definisi Pengolahan Ikan ....................................................... 2.2 Produk Perikanan Prima ...................................................................... 2.2.1 Batasan/definisi produk perikanan prima ............................................. 2.2.2 Peranan produk perikanan prima dalam pembangunan perikanan ..... 2.2.3 Faktor-faktor yg berpengaruh terhadap produk perikanan prima ....... 2.3 Kebijakan Publik ................................................................................. 2.3.1 Pengertian kebijakan publik ................................................................ 2.3.2 Kebijakan publik yang berkaitan dengan produk perikanan prima ..... 2.3.3 Evaluasi kebijakan publik ................................................................... 2.3.4 Kebijakan publik dan produk perikanan prima ................................... 2.4 Orientasi Kewirausahaan .................................................................... 2.4.1 Pengertian kewirausahaan ................................................................... 2.4.2 Pengertian orientasi kewirausahaan .................................................... 2.4.3 Orientasi kewirausahaan dan produk perikanan prima ....................... 2.5 Kompetensi Sumberdaya Manusia ..................................................... 2.5.1 Pengertian kompetensi sumberdaya manusia ...................................... 2.5.2 Kompetensi sumberdaya manusia dan produk perikanan prima ......... 2.6 Pemodelan Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling-SEM)..
17 17 17 17 19 19 33 33 36 38 42 43 43 45 47 48 48 51 52
3 METODOLOGI PENELITIAN ……………………………....................... 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 3.2 Kerangka Analisis ............................................................................... 3.3 Metoda Analisis .................................................................................. 3.4 Pengumpulan Data ..............................................................................
58 58 58 61 68
ii
3.4.1 Sampel penelitian ................................................................................ 3.4.2 Metoda pengumpulan data ………………………………………….. 3.5 Hipotesa Analisis ................................................................................
68 69 75
4 PEMBANGUNAN PERIKANAN DI WILAYAH PENELITIAN ............. 4.1 Program Pembangunan Perikanan ………………………………...... 4.1.1 Provinsi Banten ................................................................................... 4.1.2 Provinsi DKI Jakarta ........................................................................... 4.1.3 Provinsi Jawa Barat ............................................................................. 4.1.4 Provinsi Jawa Tengah ......................................................................... 4.1.5 Provinsi DI Yogyakarta ....................................................................... 4.1.6 Provinsi Jawa Timur .......................................................................... 4.2 Potensi Bahan Baku Industri Pengolahan Ikan ................................... 4.3 Struktur Industri Pengolahan Ikan ......................................................
81 81 81 83 84 85 87 89 90 93
5 HASIL PENELITIAN .................................................................................. 5.1 Kondisi Kini Unit Pengolahan Ikan Beku ............................................. 5.1.1 Produksi dan tingkat utilisasi ............................................................... 5.1.2 Diversifikasi dan nilai pambah produk ............................................... 5.1.3 Pemasaran produk ............................................................................... 5.1.4 Penyerapan tenaga kerja ...................................................................... 5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produk Perikanan Prima ............. 5.2.1 Hasil analisis kriteria produk perikanan prima ................................... 5.2.2 Faktor-faktor penentu produk perikanan prima .................................. 5.2.3 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima ................................................................................................... 5.2.4 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima .... 5.2.5 Hasil pengujian hipotesis ....................................................................
99 99 99 103 110 114 116 116 116 117
6 PEMBAHASAN .......................................................................................... 6.1 Kondisi Kini Unit Pengolahan Ikan Beku ............................................. 6.1.1 Tingkat utilisasi ................................................................................... 6.1.2 Pengembangan produk ........................................................................ 6.1.3 Pemasaran produk ............................................................................... 6.1.4 Penyerapan tenaga kerja ...................................................................... 6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produk Perikanan Prima ............. 6.2.1 Hasil analisis kriteria produk perikanan prima ................................... 6.2.2 Faktor-faktor penentu produk perikanan prima .................................. 6.2.3 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima ................................................................................................... 6.2.4 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima .... 6.3 Opsi Kebijakan Pengembangan Produk Perikanan Prima .................. 6.3.1 Kebijakan yang terkait dengan kriteria produk perikanan prima ......... 6.3.2 Kebijakan faktor penentu produk perikanan prima ............................. 6.4 Implikasi Hasil Penelitian ...................................................................
124 124 124 129 133 136 137 138 140 144
119 119
155 156 156 158 161
iii
6.4.1 Implikasi bagi pemerintah ................................................................... 6.4.2 Implikasi bagi pelaku usaha (perusahaan) pengolahan ikan ............... 6.4.3 Implikasi bagi stakeholders perikanan lainnya dan masyarakat luas .....
161 162 163
7 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 7.1 Kesimpulan .......................................................................................... 7.2 Saran .....................................................................................................
165 165 166
DAFTAR PUSTAKA
......................................................................................
168
LAMPIRAN .......................................................................................................
178
DAFTAR TABEL Halaman 1
Nilai tambah beberapa produk perikanan di Argentina .........................................
28
2
Biaya produksi pengolahan hake loins with sauce
................................................
29
3
Nilai tambah pengolahan hake loins with sauce
...................................................
29
4
Kriteria evaluasi kebijakan publik
........................................................................
40
5
Tahapan pelaksanaan penelitian
……………………………..…….....................
58
6
Definisi operasional peubah utama .........................................................................
59
7
Distribusi sampel penelitian dan kondisi unit pengolahan ikan beku lainnya .........
68
8
Profil responden penelitian
...................................................................................
70
9
Hipotesa analisis
...................................................................................................
76
10 Produksi perikanan di Pulau Jawa, 2001-2005
.....................................................
91
................................................
93
12 Perhitungan nilai kumulatif parameter skala usaha pengolahan hasil perikanan .....
95
13 Jumlah unit pengolahan ikan skala kecil di Pulau Jawa, 2004 ................................
96
14 Jumlah unit pengolahan ikan skala sedang dan besar di Pulau Jawa, 2005 …........
97
15 Jumlah unit pengolahan ikan di Pulau Jawa ..........................................................
98
16 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa, 2006 .......
100
17 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan udang beku di Pulau Jawa, 2006 .....
101
18 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan tuna beku di Pulau Jawa, 2006 .......
102
19 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan multi komoditas di Pulau Jawa,
103
11 Potensi lahan perikanan budidaya di Pulau Jawa
2006
.......................................................................................................................
20 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan binatang kulit keras (Crustaceans), 2006
106
......................................................................................................................
21 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan hewan lunak (Molluscs), 2006 …....
107
22 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan ikan tuna dan sejenisnya, 2006 …....
118
23 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan ikan kakap merah dan ikan nila,
109
2006
......................................................................................................................
v
24 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan ikan lainnya, 2006 ............................
110
25 Perkembangan ekspor unit pengolahan ikan sampel penelitian, 2002-2006 ….......
112
26 Penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan ikan beku di Pulau Jawa, 2006.
115
27 Hasil analisis kriteria produk perikanan prima
.....................................................
116
28 Faktor-faktor penentu produk perikanan prima
....................................................
117
29 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima
...........
118
....................
119
......................................................................................
120
30 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima 31 Hasil pengujian hipotesis
32 Produksi perikanan laut di Pulau Jawa, 2001-2005
..............................................
128
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pikir penelitian
..........................................................................
16
2
Alat manajemen mutu dan keamanan makanan : pendekatan terintegrasi ....
21
3
Mutu dan keamanan makanan : pendekatan terintegrasi ................................
22
4
Rantai nilai produk perikanan ........................................................................
26
5
Siklus kebijakan publik ..................................................................................
36
6
Keterkaitan antar faktor dalam implementasi kebijakan publik ....................
41
7
Hubungan antara orientasi kewirausahaan dan kewirausahaan ....................
46
8
Faktor model ..................................................................................................
54
9
Analisis jalur atau struktural model
.............................................................
54
10 Structural equation modelling .......................................................................
55
11 Model peranan kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi
62
sumberdaya manusia dalam pengembangan Produk Perikanan Prima 12 Volume ekspor unit pengolahan sampel penelitian, 2002-2006 13 Nilai ekspor unit pengolahan sampel penelitian, 2002-2006
........
………...... 113 ……………... 114
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Delapan produk olahan udang
........................................................................ 179
2
Tiga produk olahan lobster dan kepiting
3
Empat produk olahan cumi-cumi, sotong dan gurita
4
Delapan produk olahan ikan tuna dan sejenisnya
5
Lima produk olahan ikan kakap merah dan ikan nila
6
Dua belas produk olahan ikan lainnya
............................................................ 184
7
Data peubah produk perikanan prima
............................................................. 186
8
Data peubah kebijakan publik .......................................................................... 188
9
Data peubah orientasi kewirausahaan
........................................................ 180 ...................................... 181 ........................................... 182 ..................................... 183
............................................................. 190
10 Data peubah kompetensi sumberdaya manusia
.............................................. 192
DAFTAR SINGKATAN
AMOS
= Analysis of Moment Structures
BSE
= Bovine Spongiform Encephalopathy
CAC
= Codex Alimentarius Commission
DKP
= Departemen Kelautan dan Perikanan
DWT
= Dressed Without Tail
EC
= European Commission
EO
= Entrepreneurial Orientation
GHP
= Good Handling Practices
GMP
= Good Manufacturing Practices
HACCP
= Hazard Analysis Critical Control Point
IQF
= Individual Quick Frozing
PD
= Peeled & Devined
PDTO
= Peeled & Deveined Tail-on
PMMT
= Program Manajemen Mutu Terpadu
PTO
= Peeled Tail-on
PUD
= Peeled Undevined
QA
= Quality Assurance
QC
= Quality Control
QM
= Quality Management
RASFF
= Rapid Allert System for Food and Feed
RCA
= Revealed Comparative Advantage
SEM
= Structural Equation Modeling
SNI
= Standar Nasional Indonesia
SPS
= Sanitary and Phytosanitary
SSOP
= Sanitation Standard Operating Procedures
TQM
= Total Quality Management
UPI
= Unit Pengolahan Ikan
ix
US-FDA = United State-Food and Drug Administration VAP
= Value Added Products
WGGS
= Whole, Gilled, Gutted and Scaled
WTO
= World Trade Organization
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Revisi Undang-Undang Perikanan Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan menjadi Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan memberi arah baru dalam pengelolaan perikanan, karena tujuan pengelolaan perikanan telah ditetapkan secara lebih tegas dan terperinci. Dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 dinyatakan bahwa “pengelolaan perikanan dilaksanakan dengan tujuan : (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil; (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (3) mendorong perluasan kesempatan kerja; (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; (5) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan; (6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; (7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; (8) mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal; dan (9) menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang”. Berdasarkan tujuan tersebut di atas, pengelolaan perikanan tidak hanya menyangkut manajemen sumberdaya ikan di laut tetapi juga di perairan lainnya, tidak hanya menyangkut kegiatan penangkapan ikan saja tetapi juga pembudidayaan ikan, tidak hanya mencakup aspek produksi dan pengelolaan tetapi termasuk aspek pengolahan dan pemasaran ikan (Nikijuluw, 2005). Penegasan mengenai masuknya aspek pengolahan dan pemasaran dalam pengelolaan perikanan tertuang dalam pasal 25 Undang-Undang No. 31/2004, dimana dinyatakan secara eksplisit bahwa “usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran”. Dengan demikian, pembangunan perikanan harus dilakukan secara holistik dari hulu sampai hilir dan masing-masing komponen/ elemen harus mendapat perhatian secara seimbang dan proporsional. Sejalan dengan perubahan arah pengelolaan perikanan tersebut di atas, dalam Agenda Pembangunan Nasional 2004-2009, pemerintah menetapkan bahwa salah satu prioritas dan arah pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
2
rakyat Indonesia adalah Revitalisasi Pertanian dalam arti luas, yang diarahkan untuk mendorong pengamanan ketahanan pangan, peningkatan daya saing, diversifikasi, peningkatan produktivitas dan nilai tambah produk pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan kehutanan untuk peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan. Hal ini mengandung makna bahwa upaya-upaya ke arah peningkatan pasca panen (pengolahan dan pemasaran) harus dilakukan secara lebih intensif dan mendapat prioritas tinggi dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan, sektor pertanian, dan sektor kehutanan, karena usaha pengolahan dan pemasaran mempunyai peranan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan, peningkatan daya saing, diversifikasi, peningkatan produktivitas, dan nilai tambah. Amanat konstitusi dan kebijakan pembangunan nasional di atas merupakan momentum baru pembangunan industri pengolahan ikan di Indonesia, karena selama ini industri tersebut dapat dikatakan kurang mendapat perhatian yang semestinya. Dari sisi pembangunan perikanan, perhatian lebih banyak dicurahkan kepada pengelolaan sumberdaya ikan dan upaya peningkatan produksi perikanan, baik dari hasil penangkapan maupun pembudidayaan. Sementara itu, dalam sektor industri, pengolahan ikan merupakan bidang usaha yang marjinal karena kontribusinya terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sektor itu tergolong sangat kecil, sehingga kurang mendapat prioritas dalam pengembangannya. Hal ini tercermin dari ketiadaan kebijakan makro yang diformulasi secara khusus untuk menumbuh-kembangkan industri pengolahan ikan di dalam negeri. Dampaknya, industri tersebut berkembang secara lamban, tanpa arah yang jelas dan diliputi berbagai permasalahan inherent seperti kualitas kompetensi sumberdaya manusia yang rendah, kelemahan kelembagaan dan keburukan manajemen. Kondisi ini menyebabkan industri pengolahan ikan di Indonesia relatif tertinggal bila dibandingkan dengan industri serupa di negara tetangga terutama Thailand, Singapura dan Filipina. Gambaran mengenai kelambanan perkembangan industri pengolahan ikan antara lain dapat dilihat dari perlakuan terhadap produksi perikanan tangkap yang diolah secara tradisional (meliputi pengeringan/pengasinan, pemindangan, peragian dan pengolahan lainnya) yang sampai dengan tahun 2005 masih mencapai 55,88%
3
dari total produksi ikan yang diolah, yakni sebesar 1.999.351 ton (Ditjen Perikanan Tangkap, 2007). Padahal pengolahan ikan secara modern yang berbasis teknologi refrigerasi telah diterapkan di Indonesia sejak dekade 1960-an oleh beberapa perusahaan perikanan PMA Jepang. Gambaran lainnya adalah dominasi produk primer (primary products) yang nilai tambahnya rendah (seperti frozen whole tuna, frozen whole skipjack dan block frozen shrimp) dalam struktur ekspor hasil perikanan Indonesia. Produk-produk tersebut pada umumnya merupakan bahan baku industri pengolahan lanjutan di negara tujuan ekspor, guna memenuhi kecenderungan pasar yang menghendaki produk-produk siap saji/makan (ready to serve/eat products) seperti breaded shrimp dan ikan kaleng (canned tuna). Bertitik tolak dari kondisi di atas, maka perlu dilakukan akselerasi dalam pengembangan industri pengolahan ikan agar dapat mengejar ketertinggalannya dengan negara lain. Hal ini karena pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa industri pengolahan ikan mempunyai peranan yang cukup strategis dalam meningkatkan kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian nasional, baik dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan negara maupun penerimaan devisa. Disamping itu, industri pengolahan ikan mempunyai efek pengganda (multiplier effect) yang besar, baik kaitan ke belakang maupun kaitan ke depan sehingga mampu mendorong pertumbuhan bidang usaha lain dalam sektor perikanan itu sendiri maupun bidang usaha dalam sektor terkait. Salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk mempercepat pembangunan industri pengolahan ikan adalah pengembangan “Produk Perikanan Prima”. Pada saat ini diskripsi atau terminologi mengenai produk perikanan prima belum dibakukan. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan produk perikanan prima adalah produk perikanan yang mempunyai jaminan mutu dan keamanan yang tinggi, berdaya saing tinggi dan memberikan nilai tambah tinggi. Justifikasi mengenai pentingnya jaminan mutu dan keamanan produk adalah dalam rangka merespon tuntutan konsumen akan hal itu yang semakin meningkat dewasa ini, sebagai konsekuensi meningkatnya peradaban masyarakat dunia. Sementara itu, daya saing yang tinggi diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan akses pasar
4
domestik dan internasional yang semakin kompetitif, sehubungan dengan munculnya pesaing-pesaing baru dalam perdagangan global, seperti Vietnam dan RRC, serta terbentuknya beberapa kawasan perdagangan bebas, seperti AFTA (Asean Free Trade Area), NAFTA (North America Free Trade Area) dan Uni Eropa, serta adanya beberapa Free Trade Agreement. Produk bernilai tambah tinggi diperlukan untuk meningkatkan marjin pendapatan pelaku usaha guna mengembangkan dan menjamin keberlangsungan berusaha, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja industri pengolahan ikan. Disamping itu, dalam skala yang lebih makro, pengembangan produk bernilai tambah tinggi diperlukan dalam rangka meningkatkan manfaat ekonomi dan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Berlandaskan teori dan hasil penelitian terdahulu yang akan diuraikan pada sub bab selanjutnya, keberhasilan pengembangan produk perikanan prima ditentukan oleh tiga faktor, yaitu : (1) kebijakan publik (public policy) yang berkaitan dengan industri pengolahan ikan, (2) orientasi kewirausahaan (entrepreneurial orientation) perusahaan pengolahan ikan, dan (3) kompetensi sumberdaya manusia (human resources competency) yang terlibat dalam proses pengolahan ikan. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis secara mendalam peranan masing-masing faktor tersebut dan interaksinya satu sama lain dalam pengembangan produk perikanan prima. Data dan informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan kualitas kebijakan publik yang terkait dengan pengembangan produk perikanan prima. Pilihan terhadap industri pembekuan ikan sebagai obyek penelitian didasarkan pertimbangan bahwa pada tahun 2005, 61,2% dari seluruh unit pengolahan ikan skala menengah-besar di Indonesia yakni sebanyak 775 unit, merupakan unit pengolahan ikan beku. Sementara itu, pilihan terhadap Pulau Jawa yang mencakup Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur sebagai lokus penelitian didasarkan pertimbangan bahwa 39,9% dari unit pengolahan ikan beku berada di wilayah tersebut. Dengan demikian, data dan informasi yang diperoleh dari kasus-kasus di wilayah tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi peningkatan kualitas kebijakan di tingkat nasional.
5
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah Sampai saat ini performa produk perikanan Indonesia dapat dikatakan tertinggal bila dibandingkan dengan produk perikanan yang dihasilkan oleh negaranegara produsen perikanan utama. Bahkan di tingkat ASEAN, performa produk perikanan Indonesia masih kalah dengan produk yang dihasilkan oleh Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Di saat produk perikanan dari negara-negara tersebut telah beragam, bernilai tambah tinggi dan terjamin kualitas serta keamanannya, produk perikanan Indonesia masih diwarnai oleh produk olahan tradisional, produk primer yang masih merupakan bahan baku proses pengolahan lanjutan, serta produk yang kualitas dan keamanannya masih diragukan. Heruwati (2003) mengemukakan bahwa teknologi pengolahan tradisional yang masih mendominasi seluruh kegiatan pengolahan ikan di Indonesia lebih merupakan upaya penyelamatan atau pengawetan ikan daripada pengolahan (processing). Pengolahan tradisional dapat dikatakan tidak memberikan nilai tambah, hanya mengurangi kerugian yang mungkin terjadi. Hal ini memberi indikasi bahwa usaha pengolahan ikan belum memberi nilai tambah yang besar bagi ekonomi perikanan. Sementara itu, isu penggunaan bahan berbahaya seperti formalin, borax, dan zat pewarna tekstil dalam pengolahan ikan yang muncul ke permukaan akhirakhir ini, serta berbagai kasus penahanan/penolakan ekspor hasil perikanan asal Indonesia oleh beberapa negara pengimpor merupakan cerminan bahwa sistem jaminan mutu dan keamanan produk perikanan di Indonesia belum efektif. Bertitik tolak dari kondisi di atas, perlu adanya kebijakan publik yang dapat mendorong stakeholders perikanan untuk berperan secara aktif dalam setiap upaya peningkatan jaminan mutu dan keamanan produk, penciptaan nilai tambah dan peningkatan daya saing. Selama ini, berbagai perangkat kebijakan publik, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan, prosedur, standar maupun program dan kegiatan, yang ditujukan untuk mendorong dihasilkannya produk perikanan prima telah banyak dikeluarkan dan dilaksanakan. Dari berbagai kebijakan publik tersebut, kebijakan yang spesifik ditujukan untuk mendorong penerapan konsepsi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), yakni sistem jaminan mutu dan keamanan
6
produk yang diberlakukan secara internasional, adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Dengan melihat performa produk perikanan yang dicapai sampai saat ini, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik tersebut dan seberapa besar peranannya dalam pengembangan produk perikanan prima. Dari hasil evaluasi itu diharapkan dapat diperoleh bahan masukan guna peningkatan kualitas kebijakan dimaksud, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan performa produk perikanan yang dihasilkan. Sementara itu, sebagaimana diuraikan di atas, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia juga merupakan kunci keberhasilan dalam pengembangan produk perikanan prima. Namun sejauh ini, orientasi kewirausahaan pelaku usaha pengolahan ikan dan kompetensi sumberdaya manusia yang terlibat dalam proses pengolahan ikan belum diketahui secara mendalam. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengungkap hal itu serta peranannya dalam pengembangan produk perikanan prima. Dari identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Performa produk perikanan saat ini, ditinjau dari aspek mutu dan keamanan, nilai tambah dan daya saingnya di pasar global belum diketahui secara mendalam; 2) Pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan perlu dievaluasi, karena jaminan mutu dan keamanan produk perikanan yang dicapai saat ini relatif masih rendah; 3) Orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan dan kualitas kompetensi sumberdaya manusia yang terlibat dalam proses pengolahan ikan belum diketahui secara mendalam; 4) Peranan kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia dalam pengembangan produk perikanan prima belum diketahui secara pasti;
7
5) Sampai saat ini, belum ada model pengembangan produk perikanan prima dengan menggunakan peubah kebijakan publik, orientasi kewirausahaan, dan kompetensi sumberdaya manusia. Penelitian mengenai peranan faktor kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia secara bersama terhadap produk perikanan prima, belum banyak dilakukan dan dipublikasikan. Penelitian-penelitian terdahulu yang terkait pada umumnya parsial, misalnya kajian daya saing produk perikanan Indonesia di pasar internasional (Ditjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, 2004), dan penelitian mengenai nilai tambah produk perikanan di negara berkembang (Zugarramurdi, 2003).
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1) Menganalisis kondisi kini industri pengolahan ikan, ditinjau dari tingkat utilitas, pengembangan produk, pemasaran produk dan penyerapan tenaga kerja; 2) Membangun kerangka konseptual atau model peranan kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia dalam pengembangan produk perikanan prima; 3) Menganalisis pengaruh kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia terhadap produk perikanan prima; 4) Merumuskan opsi kebijakan pembangunan industri pengolahan ikan yang perlu ditempuh oleh pemerintah melalui pengembangan produk perikanan prima.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1) Menyediakan informasi bagi pelaku usaha pengolahan ikan mengenai langkahlangkah yang perlu dilakukan untuk menghasilkan produk perikanan prima; 2) Menyediakan informasi bagi stakeholders perikanan dan masyarakat luas mengenai peran serta yang dapat dilakukan dalam mendukung dihasilkannya produk perikanan prima;
8
3) Menyediakan opsi kebijakan publik yang perlu ditempuh oleh pemerintah dalam rangka pembangunan industri pengolahan ikan melalui pengembangan produk perikanan prima; 4) Sebagai referensi pembanding untuk penelitian serupa di kemudian hari.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian mengenai Peranan Kebijakan Publik, Orientasi Kewirausahaan dan Kompetensi Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan Produk Perikanan Prima merupakan topik yang cukup luas dimensinya. Oleh karena itu, agar penelitian dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan tujuan yang ditetapkan maka ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa hal sebagai berikut : 1) Faktor-faktor penentu produk perikanan prima ditetapkan ada tiga, yaitu: (1) kebijakan publik, (2) orientasi kewirausahaan, dan (3) kompetensi sumberdaya manusia. Bahan baku sebagai salah satu faktor penentu industri pengolahan ikan tidak diikutkan sebagai faktor penentu produk perikanan prima karena penelitian ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang perlu ditempuh pada industri pengolahan ikan agar produk perikanan prima dapat dihasilkan. Oleh karena itu, titik tolaknya adalah sejak bahan baku diterima (incoming raw material) oleh unit pengolahan ikan, sehingga pasokan bahan baku diasumsikan tidak mengalami perubahan, baik dari sisi kualitas, kuantitas, kontinuitas maupun harga. 2) Kebijakan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Keputusan tersebut secara umum ditujukan sebagai salah satu upaya untuk mencapai tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna dan sekaligus melindungi masyarakat konsumen dari hal-hal yang merugikan dan membahayakan kesehatan, praktekpraktek yang bersifat penipuan dan pemalsuan dari produsen, membina produsen serta untuk meningkatkan daya saing produk perikanan.
9
3) Orientasi kewirausahaan dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu proses, praktik dan aktivitas pengambilan keputusan yang menghasilkan suatu terobosan baru. Dimensi dari orientasi kewirausahaan mencakup : proaktif (proactiveness), inovatif (innovativeness) dan pengambilan resiko (risk taking). 4) Kompetensi sumberdaya manusia dalam penelitian ini diartikan sebagai karakteristik yang mendasari seseorang yang memungkinkan orang tersebut menunjukkan kinerja superior dalam suatu pekerjaan, tugas atau situasi. Dari enam tingkatan kompetensi yaitu ketrampilan (skill), pengetahuan (knowledge), konsep diri (self-concept atau social role), gambaran diri (self image), ciri atau sifat (trait) dan motif (motive), hanya aspek pengetahuan, ketrampilan dan motivasi kerja yang dianalisis. Hal ini karena pengetahuan dan ketrampilan relatif lebih nampak sebagai karakteristik seseorang, sehingga lebih mudah dinilai dan dikembangkan. Sementara itu, motivasi kerja meskipun berada pada pusat kepribadian seseorang, tetapi relatif mudah ditingkatkan. 5) Produk perikanan prima yang dimaksud dalam penelitian ini adalah produk yang berasal dari sumberdaya ikan dan diolah sedemikian rupa sehingga nilainya bertambah serta mempunyai performa yang sangat baik sehingga dapat ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Dengan demikian, produk perikanan prima setidak-tidaknya memenuhi tiga kriteria, yakni memiliki jaminan mutu dan keamanan tinggi, bernilai tambah tinggi dan berdaya saing tinggi. 6) Lingkup analisis dan pembahasan dalam penelitian ini adalah kondisi kini industri pengolahan ikan, faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima, opsi kebijakan pengembangan produk perikanan prima, dan implikasi hasil penelitian. Analisis SEM (Structural Equation Modeling) dilakukan untuk mendapatkan gambaran model yang berisikan faktor-faktor yang berpengaruh atau mempunyai peranan dalam pengembangan produk perikanan prima. 7) Lingkup kawasan penelitian ini adalah enam provinsi di Pulau Jawa, yaitu Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Berdasarkan lingkup kawasan ini dilakukan proses deduksi dalam rangka
10
formulasi opsi kebijakan pengembangan produk perikanan prima pada level nasional.
1.6 Kerangka Pikir Penelitian Ikan
merupakan
komoditas
bahan
pangan
yang
strategis
karena
permintaannya menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, namun disisi lain kemampuan pasok dari negara produsen ikan utama semakin berkurang. Peningkatan permintaan tersebut disebabkan oleh bertambahnya penduduk dunia, meningkatnya usia harapan hidup (aging generation), manusia yang semakin sibuk (people on the run), selera makan yang semakin mengglobal (food to become more international) dan ketakutan manusia untuk mengkonsumsi daging unggas/ternak akibat merebaknya wabah penyakit antrax, flu burung dan sapi gila, seperti yang terjadi di beberapa negara akhir-akhir ini. Fenomena ini menjadikan ikan sebagai satu pilihan utama, karena ikan dan produk olahannya merupakan “healthful food” (dicirikan oleh kandungan protein yang tinggi, kadar asam lemak omega-3 yang tinggi dan kolesterol yang rendah), dapat disajikan dalam waktu yang cepat serta diterima
secara
global
tanpa
memperhatikan
umur,
agama
dan
bahkan
kewarganegaraan. Sungguhpun demikian, ikan merupakan bahan pangan yang rentan terhadap cemaran fisik, kimia dan biologis serta secara alami sangat mudah mengalami kerusakan (most perishable food) karena proses kimiawi maupun mikrobiologis. Akibatnya, dibalik keunggulannya seperti yang disebut di atas, ikan juga mengandung potensi bahaya (hazard) bagi kesehatan dan keamanan konsumen. Resiko bahaya tersebut akan semakin besar apabila penanganan/pengolahan ikan dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik dan benar. Oleh karena itu, penanganan/pengolahan ikan harus dilakukan secara cepat, cermat, tepat dan hati-hati dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku, agar potensi bahaya tersebut dapat direduksi atau bahkan dieliminasi. Disamping sebagai bahan pangan, ikan juga merupakan sumberdaya alam yang menjadi sumber penghidupan bagi berjuta-juta umat manusia dan sebagai
11
sumber pendapatan negara. Oleh karena itu, eksploitasi sumberdaya ikan harus memberi manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya, baik bagi para pelaku usahanya maupun bagi negara. Manfaat ekonomi sumberdaya ikan ditentukan oleh nilai (value) dari produk perikanan yang dihasilkan, semakin tinggi nilai suatu produk maka akan semakin tinggi pula manfaat ekonomi yang diperoleh. Nilai suatu produk dapat diukur dari kemauan konsumen untuk membayar (willingness to pay), dimana konsumen akan membayar lebih mahal bagi produk yang memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Kotler (1995) mengemukakan bahwa kebutuhan adalah keadaan merasa tidak memiliki kepuasan dasar, sedangkan keinginan adalah hasrat akan pemuas tertentu dari kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumen terhadap ikan yang paling utama adalah sebagai sumber protein, sedangkan keinginannya bervariasi tergantung dari latar belakang ekonomi, sosial dan budaya konsumen yang bersangkutan. Dengan demikian, untuk mendapatkan nilai yang tinggi dari suatu produk perikanan maka fungsi ikan sebagai sumber protein harus benar-benar dijaga atau dengan kata lain kandungan proteinnya tidak boleh mengalami penurunan. Disamping itu, ikan yang telah ditangkap/dipanen harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi preferensi konsumen yang dituju. Kecenderungan pilihan konsumen terhadap ikan yang utama adalah bentuk hidup, segar/dingin atau produk olahan prima, sehingga mereka bersedia membayar lebih mahal dibanding bentuk produk lainnya. Namun karena bentuk hidup dan segar/dingin mempunyai kendala teknis dalam distribusi, maka jangkauan pemasarannya terbatas. Oleh karena itu, pilihan konsumen lebih banyak kepada produk olahan prima. Hal ini menjadikan pengolahan ikan mempunyai peranan penting dalam menentukan nilai ikan, yang pada gilirannya akan menentukan tingkat manfaat ekonomi sumberdaya ikan. Guna mendapatkan manfaat ekonomi yang tinggi, pengolahan ikan harus diorientasikan untuk menghasilkan produk yang nilai jualnya tinggi. Sementara itu, sampai saat ini produk perikanan Indonesia masih didominasi oleh produk olahan tradisional dan produk primer yang nilai jualnya relatif rendah.
12
Disamping itu, sistem jaminan mutu dan keamanan produk perikanan dapat dikatakan belum efektif. Hal ini terlihat dari maraknya penggunaan bahan berbahaya seperti formalin, borax, dan zat pewarna tekstil dalam pengolahan ikan, serta masih terjadinya berbagai kasus penahanan/penolakan ekspor hasil perikanan asal Indonesia oleh beberapa negara pengimpor. Dengan asumsi bahwa biaya tidak menjadi faktor pembatas (constraint factor), dalam proses pengolahan ikan setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi produk yang dihasilkan, yakni : (1) kebijakan publik yang berkaitan dengan industri pengolahan ikan, (2) orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan, dan (3) kompetensi sumberdaya manusia yang terlibat dalam proses pengolahan ikan. Hal ini didasarkan kepada teori atau hasil penelitian terdahulu, yaitu : 1) The economic theory of regulation Berdasarkan teori yang dijelaskan secara terperinci oleh Buchanan & Tullock (1962), Stigler (1971), dan Posner (1974) ini, regulasi adalah hasil dari aksi kelompok penekan (pressure group) dan menghasilkan alat-alat hukum dan kebijakan untuk mendukung kegiatan bisnis, dan untuk melindungi konsumen, pekerja serta lingkungan (Salvatore, 2001). Dengan demikian, kinerja dunia bisnis sangat ditentukan oleh kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah. 2) The theory of economic development Teori ini digagas oleh Schumpeter (1911) dan kemudian dikembangkan dalam bukunya yang berjudul “business cycles” (1939). Schumpeter memasukkan konsepsi kewirausahaan (entrepreneurship) dalam ilmu ekonomi melalui gagasannya bahwa wirausahawan (entrepreneur) adalah inovator, yang menciptakan suatu kombinasi baru (new combination), yaitu produk baru, metoda produksi, sumber-sumber penawaran atau kombinasi industrial. Kombinasi baru tersebut akan menyebabkan perekonomian kehilangan keseimbangan, melalui suatu proses yang disebut “creative destruction” (Schumpeter, 1939 dalam Rachmadi, 2005). Oleh karena itu, Schumpeter memberi peran entrepreneur sebagai sumber perubahan ekonomi (source of economic change).
13
Dalam prespektif organisasi, Schumpeter (1942) dalam Sembhi (2002) menyajikan beberapa alasan kenapa suatu perusahaan harus meningkatkan aktivitas kewirausahaannya. Pertama, semakin banyak sumber aktivitas kewirausahaan dalam suatu perusahaan, maka semakin banyak kesempatan yang tercipta bagi perusahaan tersebut. Kedua, aktivitas ekonomi yang digerakkan oleh kewirausahaan akan meningkatkan pendapatan - tidak ada penurunan pendapatan yang
ditimbulkan
oleh
aktivitas
kewirausahaan
atau
inovasi.
Ketiga,
kewirausahaan korporasi merupakan kunci kesuksesan ekonomi jangka panjang dari suatu perusahaan. 3) Testing for competence rather than for intelligence Metodologi pengukuran kinerja sumberdaya manusia berbasis kompetensi dipelopori oleh McClelland melalui penelitiannya yang dipublikasikan dalam artikel berjudul ”Testing for Competence Rather Than for Intelligence” (Cooper et al., 1998). McClelland (1973) mengindentifikasi aspek-aspek kinerja yang tidak dapat diatributkan sebagai intelegensia atau tingkat pengetahuan dan ketrampilan pekerja. Dalam perkembangannya, kompetensi tidak hanya menunjuk kepada individu seseorang akan tetapi juga menunjuk kepada organisasi. Dari hasil penelitiannya, Lado & Wilson (1994) dalam Cooper et al. (1998) menemukan kaitan yang kuat antara kompetensi individu dan kompetensi organisasi, serta merupakan cara terbaik untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Pada sektor swasta, keunggulan tersebut dicerminkan oleh marjin keuntungan atau pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan dengan yang dicapai oleh kompetitor. Masing-masing faktor sebagaimana disebutkan di atas, mempunyai peranan yang berbeda dalam mempengaruhi performa produk dan bisa bersinergi satu sama lain yang saling memperkuat atau bersifat antagonis yang saling melemahkan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis secara komprehensif dan mendalam mengenai peranan masing-masing faktor dimaksud dan interaksinya satu sama lain dalam mempengaruhi produk perikanan prima.
14
Model analisis yang umum digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah pemodelan persamaan struktural (structural equation modeling) atau yang biasa disingkat SEM. Analisis tersebut menyangkut hubungan kausal antar peubah dalam proses pengolahan ikan, yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap produk perikanan prima. Peubah-peubah yang mempunyai hubungan langsung dengan produk perikanan prima adalah peubah yang tidak dapat diukur secara langsung (latent variable), yakni kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia. Sedangkan peubah-peubah yang mempunyai hubungan tidak langsung dengan produk perikanan prima adalah peubah yang membentuk latent variable. Dengan demikian, untuk mendapatkan input analisis SEM diperlukan analisis terhadap pelaksanaan kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia dengan menggunakan peubahpeubah yang dapat diukur secara langsung. Analisis kebijakan publik dilakukan untuk mengevaluasi (monitoring) implementasi kebijakan publik yang digulirkan guna mendorong dihasilkannya produk perikanan prima, terutama Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Analisis ini menggunakan 16 peubah terukur, meliputi : empat peubah indikator kualitas kebijakan, tiga peubah indikator strategi pelaksanan, lima peubah indikator faktor pendukung (supporting factors), dan tiga peubah indikator kepatuhan (compliance) (Dunn, 2000; Abidin, 2006). Sementara itu, analisis orientasi kewirausahaan diperlukan untuk mengetahui proses, praktek dan aktivitas pengambilan keputusan pada perusahaan pengolahan ikan, dalam menghasilkan produk perikanan prima. Analisis ini menggunakan delapan peubah terukur, meliputi : tiga peubah indikator proaktif (proactiveness), tiga peubah indikator inovatif (innovativeness), dan dua peubah indikator keberanian mengambil resiko (risk taking) (Miller, 1983 dalam Sembhi, 2002). Analisis kompetensi sumberdaya manusia dilakukan untuk mengetahui tingkat kompetensi sumberdaya manusia (karyawan) yang terlibat langsung dalam proses pengolahan ikan, terutama dalam mendukung dihasilkannya produk perikanan
15
prima. Analisis ini menggunakan sembilan peubah terukur, meliputi : dua peubah indikator pengetahuan, dua peubah indikator ketrampilan dan lima peubah indikator motivasi kerja (Srimulyo, 1999; Shermon, 2004). Diskripsi mengenai peubah terukur dari setiap indikator pada faktor kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia sebagaimana disebutkan di atas diuraikan pada bab-bab selanjutnya. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh data dan informasi yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan berbagai opsi kebijakan dalam pengembangan produk perikanan prima. Skala prioritas dari berbagai opsi kebijakan ditentukan berdasarkan tingkat pengaruh masing-masing faktor yang diperoleh dari hasil analisis dengan menggunakan SEM. Apabila berbagai opsi kebijakan yang dirumuskan dapat dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten, diharapkan industri pengolahan ikan akan menghasilkan produk perikanan prima. Dampaknya industri pengolahan ikan akan berkembang yang pada gilirannya akan meningkatkan manfaat ekonomi sumberdaya ikan; pendapatan devisa negara; kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan; penyerapan tenaga kerja; serta menunjang pembangunan daerah. Kerangka pikir penelitian seperti diuraikan di atas disajikan pada Gambar 1.
1.7 Hipotesa Penelitian Bertitik tolak dari berbagai persoalan sebagaimana diuraikan dalam latar belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian serta kerangka pikir penelitian, maka hipotesa penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Semakin baik pelaksanaan kebijakan publik (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan), maka akan semakin besar peran kebijakan publik dalam pengembangan produk perikanan prima. 2) Semakin tinggi tingkat orientasi kewirausahaan suatu perusahaan pengolahan ikan, maka akan semakin besar peran orientasi kewirausahaan dalam pengembangan produk perikanan prima.
16
Kondisi Sekarang 1. Ikan merupakan komoditas bahan pangan strategis 2. Ikan mengandung potensi bahaya (hazard) bagi kesehatan dan keamanan konsumen. 3. Pilihan konsumen lebih banyak kepada produk olahan prima 4. Produk perikanan Indonesia didominasi produk olahan tradisional dan produk primer 5. Sistem jaminan mutu dan keamanan produk belum efektif
Kriteria Produk Perikanan Prima 1. Jaminan mutu dan
keamanan tinggi 2. Nilai tambah tinggi 3. Daya saing tinggi
Faktor Penentu Kebijakan publik yang berkaitan dengan industri pengolahan ikan
Opsi kebijakan pengembangan produk perikanan prima
Orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan Kompetensi SDM yang terlibat dalam proses pengolahan ikan
Akibat 1. Nilai tambah ekonomi pada pengolahan ikan masih rendah 2. Malpraktik penggunaan bahan berbahaya (formalin, borax, zat pewarna tekstil dsb) cukup marak 3. Kasus penahanan/penolakan ekspor hasil perikanan asal Indonesia masih terjadi 4. Daya saing produk perikanan Indonesia di pasar global masih rendah
Kondisi yang Diharapkan
1. Industri pengolahan ikan menghasilkan produk perikanan prima 2. Industri pengolahan ikan berkembang 3. Manfaat ekonomi sumberdaya ikan meningkat 4. Pendapatan devisa meningkat 5. Kesejahteraan meningkat 6. Penyerapan tenaga kerja meningkat 7. Daerah berkembang
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.
3) Semakin tinggi kompetensi karyawan yang terlibat langsung dalam proses produksi pada suatu unit pengolahan ikan, maka akan semakin besar peran kompetensi sumberdaya manusia dalam pengembangan produk perikanan prima. Hipotesa yang dikemukakan di atas dikonstruksi dari tiga kelompok peubah bebas (independen) yang diduga mempengaruhi pengembangan produk perikanan prima, yaitu kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia. Guna mempermudah pengujian hipotesa, pada uraian mengenai metodologi penelitian pada bab selanjutnya, tiga kelompok peubah bebas tersebut akan didekomposisi menjadi peubah-peubah yang lebih terukur.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Batasan/Definisi Pengolahan Ikan Dalam penjelasan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengolahan ikan adalah serangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia. Sementara itu, menurut FAO (Food and Agriculture Organization), pengolahan ikan adalah penerimaan dan preparasi ikan, termasuk pembersihan, pemasakan, pengalengan, pengasapan, penggaraman, pengeringan atau pembekuan (http://www.fao.org/fi/glossary/default.asp diakses tanggal 30 Maret 2006). Berdasarkan definisi tersebut di atas, pengolahan ikan dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir, melalui proses penerimaan dan preparasi, termasuk pembersihan, pemasakan, pengalengan, pengasapan, penggaraman, pengeringan atau pembekuan. Adapun tempat yang digunakan untuk mengolah ikan baik yang dimiliki oleh perorangan maupun badan usaha, menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan, disebut Unit Pengolahan Ikan.
2.2
Produk Perikanan Prima
2.2.1 Batasan/definisi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), produk dapat diartikan sebagai barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu. Sedangkan Kotler (1995) mengemukakan bahwa produk adalah sesuatu yang dapat ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan. Pentingnya suatu produk fisik bukan terletak pada kepemilikannya, tetapi pada jasa yang dapat diberikannya. Seseorang membeli mobil bukan untuk dilihat saja, tetapi untuk jasa transportasinya. Demikian juga
18
seseorang membeli oven microwave bukan untuk dikagumi, melainkan untuk memasak. Jadi produk fisik sebenarnya adalah sarana untuk memberi jasa kepada konsumen. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia pula, perikanan diartikan sebagai segala
sesuatu
yang
berhubungan
dengan
penangkapan,
pemiaraan
dan
pembudidayaan ikan. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Adapun arti kata prima menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah sangat baik, utama atau yang pertama. Dengan mengacu berbagai definisi di atas, maka produk perikanan prima dapat didiskripsikan sebagai produk yang berasal dari sumberdaya ikan dan diolah sedemikian rupa sehingga nilainya bertambah serta mempunyai performa yang sangat baik sehingga dapat ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Dengan demikian, produk perikanan prima setidak-tidaknya memenuhi tiga kriteria, yakni bermutu tinggi dan aman dikonsumsi, bernilai tambah tinggi dan berdaya saing tinggi. Produk perikanan yang bermutu tinggi dapat didefinisikan sebagai produk perikanan yang mencirikan standar kesehatan tertentu dan mutu yang mencakup penampilan, rasa, kuantitas serta standar baku lainnya yang telah ditetapkan untuk keperluan konsumen. Produk bermutu tinggi diperoleh melalui proses pengolahan yang tepat, cepat dan berkelanjutan hingga produk itu bisa sampai di tangan konsumen dengan mutu sebaik-baiknya. Sedangkan produk perikanan yang aman untuk dikonsumsi memiliki ciri-ciri : memenuhi standar kesehatan yang berlaku, tidak memberikan efek yang merugikan baik langsung maupun tak langsung baik kepada pengguna langsung maupun kepada lingkungan, memenuhi kriteria sosial dan budaya yang berlaku, dan mutunya selalu terjaga. Produk perikanan yang bernilai tambah tinggi dapat diartikan sebagai komoditas hasil perikanan yang telah mengalami perlakuan sedemikian rupa sehingga
19
nilainya bertambah tinggi. Heruwati (2003) mengemukakan bahwa perubahan bentuk produk dari ikan utuh (gelondongan) menjadi bentuk yang telah disiangi (dressed), potongan, fillet atau cincang terbukti dapat memberikan nilai tambah hingga 250 %, belum terhitung nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan limbah. Sedangkan produk perikanan yang berdaya saing tinggi dapat diartikan sebagai produk perikanan yang mempunyai keunggulan tinggi, baik keunggulan komparatif (comparative advantages) maupun keunggulan kompetitif (competitif advantages), dibandingkan dengan produk yang dihasilkan oleh produsen/negara lain. 2.2.2 Peranan produk perikanan prima dalam pembangunan perikanan Simanjuntak (2001) mengemukakan ada tiga hal pokok yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pembangunan perikanan di Indonesia, yaitu mempertahankan keberlanjutan, meningkatkan pendapatan nelayan dan petani ikan (termasuk industri yang menangani komoditas ikan), serta menghasilkan pemasukan negara. Berdasarkan batasan tersebut, pengembangan produk perikanan prima merupakan salah satu strategi yang tepat dalam mendukung akselerasi pembangunan perikanan. Hal ini karena pengembangan produk perikanan prima merupakan satu mata rantai penghubung
antara
kegiatan
produksi
primer,
baik
penangkapan
maupun
pembudidayaan, dengan kegiatan pemasaran. Oleh karena itu, kegiatan tersebut mempunyai kedudukan yang strategis karena nilai tambah ekonomis yang diperoleh dari kegiatan ini dapat memacu pengembangan industri primer, dan pada akhirnya juga akan meningkatkan pangsa pasar dan perolehan devisa (Heruwati, 2003). Lebih
lanjut
Heruwati
(2003)
mengemukakan
ada
enam
peranan
pengembangan produk dalam pembangunan perikanan, yakni : pendorong optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan, penghasil nilai tambah, perluasan pangsa pasar, penyediaan peluang kerja, peluang bagi perolehan hak kekayaan intelektual (HaKI) termasuk paten, dan peningkatan pendapatan negara. 2.2.3 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produk perikanan prima Seperti diuraikan di atas bahwa produk perikanan prima setidak-tidaknya harus memenuhi tiga kriteria, yakni bermutu tinggi, aman dikonsumsi, bernilai
20
tambah tinggi dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu, untuk mengetahui faktorfaktor yang berpengaruh terhadap produk perikanan prima maka berikut ini akan diuraikan hal-hal yang terkait dengan : (1) sistem manajemen mutu dan keamanan produk perikanan (seafood safety and quality management system), (2) produk perikanan bernilai tambah (value added seafood product), dan (3) daya saing produk perikanan (competitiveness of seafood products). 2.2.3.1 Sistem manajemen mutu dan keamanan produk perikanan Dewasa ini isu mengenai mutu dan keamanan produk perikanan makin mengemuka dalam industri dan pemasaran hasil perikanan dunia, karena kesadaran konsumen akan hal itu semakin meningkat. Pemberitaan media yang ekstensif mengenai
isu
keamanan
pangan,
seperti
isu
BSE
(bovine
spongiform
encephalopathy), GMF (genetically modified foods), keberadaan residu pestisida dan dioxin dalam makanan, pencemaran mikroba (seperti Salmonella) dan penggunaan antibiotika dalam budidaya bahan pangan menambah kekhawatiran konsumen tentang apa yang mereka makan (Huss et al., 2004). Kondisi ini mendorong berkembangnya sistem mutu dan keamanan pangan, dari pengendalian mutu tradisional (traditional quality control) ke sistem dan metoda jaminan mutu dan keamanan modern (modern safety and quality assurance methods and system). Lebih lanjut Huss & Ryder (2004) dalam Huss et al. (2004) mengemukakan bahwa program pengendalian mutu tradisional dilakukan melalui pengendalian higieni secara efektif. Konfirmasi terhadap keamanan produk dan identifikasi potensi masalah dilakukan melalui pengujian produk akhir (end-product testing). Adapun pengendalian higieni dilakukan melalui inspeksi fasilitas dan operasional pengolahan, untuk memastikan bahwa proses pengolahan sesuai dengan kaidah praktik higieni yang baik (Good Hygienic Practices - GHP) dan praktik pengolahan yang baik (Good Manufacturing Practices – GMP). Kelemahan pendekatan ini terletak pada pengujian produk akhir, karena : (1) memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk pengadaan peralatan laboratorium, pelatihan personil dan operasional laboratorium, termasuk biaya hilangnya produk karena untuk sampel pengujian; (2) hasil yang diperoleh bersifat retrospektif, sehingga seluruh biaya dan pengeluaran sudah terjadi ketika
21
bahaya (hazards) teridentifikasi dalam pengujian produk akhir; (3) memerlukan waktu beberapa hari untuk mengetahui hasil pengujian; dan (4) kesempatan untuk menemukan bahaya akan bervariasi dan seringkali rendah. Bertitik tolak dari kelemahan tersebut di atas, pada saat ini berkembang sistem dan metoda jaminan mutu dan keamanan modern. Dalam sistem tersebut dikenal beberapa istilah yang digunakan dalam manajemen mutu dan keamanan pangan, yaitu: Good Hygienic Practices (GHP)/Good Manufacturing Practices (GMP) atau Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Prerequisite Programmes, Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), Quality Control (QC), Quality Assurance (QA)/Quality Management (QM) – ISO Standards, Quality Systems, dan Total Quality Management. GHP atau GMP telah bertahun-tahun digunakan sebagai alat dalam pengendalian mutu tradisional. Konsepsi ini masih esensial dalam sistem pengendalian mutu modern, dengan menyediakan kondisi lingkungan dan operasional dasar untuk menghasilkan produk yang aman sehingga menjadi prasyarat atau fondasi penerapan HACCP dalam seluruh program manajemen keamanan pangan (Gambar 3). Penerapan konsepsi ini sekarang telah menjadi persyaratan dalam proses produksi makanan di beberapa negara, terutama dalam hal pemantauan sanitasi.
Food Safety Management
Generic requirements
Quality Assurance Quality Management (e.g. ISO 9000)
Long term Managerial Strategy (e.g. TQM)
All quality elements Specific requirements
GMP/GHP Food Safety Assurance Plan = SSOP or Prerequisites (Products/Process Specific) (always applied) = HACCP Plan
Quality System
Gambar 2 Alat manajemen mutu dan keamanan makanan : pendekatan terintegrasi (modifikasi dari Jouve et al., 1998 dalam Huss et al., 2004).
22
Pada saat ini GHP atau GMP sering juga disebut sebagai prerequisite requirement (persyaratan kelayakan dasar). Menurut Codex Alimentarius Commission (2000), prerequisite requirement dalam manajemen mutu dan keamanan produk perikanan harus mencakup : persyaratan kapal penangkap ikan, persyaratan fasilitas unit pengolahan, disain dan konstruksi peralatan dan perlengkapan, program pengendalian higieni, kesehatan dan higieni personil, prosedur penarikan (recall) dan penelusuran (traceability), pelatihan personil, pengendalian pemasok, spesifikasi bahan tambahan, pengendalian bahan kimia, dan kondisi penerimaan, penyimpanan serta pengangkutan bahan baku dan produk.
Basic Requirements
GHP
Requirements
Food Safety Assurance
Cultural and Managerial Approach
Quality Assurance
Principles of HACCP
Food Safety Assurance Plan (HACCP Plan)
ISO 9000
eg. TQM
Quality System
Gambar 3 Mutu dan keamanan makanan : pendekatan terintegrasi (Jouve et al., 1998 dalam Huss et al., 2004). Sementara itu, menurut US-FDA’s Seafood HACCP Regulation (FDA, 1995 dalam Huss et al., 2004), para pengolah hasil perikanan harus mempunyai SSOP yang tertulis. Prosedur tersebut ekivalen dengan GHP dan merupakan bagian integral dari regulasi penerapan HAACP, tetapi bukan merupakan Program HACCP. SSOP setidak-tidaknya harus mencakup : keamanan air dan es; kondisi dan kebersihan dari permukaan yang kontak dengan makanan; pencegahan kontaminasi silang antara obyek yang tidak saniter dengan makanan; perawatan fasilitas untuk higieni personil; perlindungan terhadap makanan dan permukaan yang kontak dengan makanan dari
23
bahan berbahaya; pelabelan yang sesuai, penyimpanan dan penggunaan bahan beracun; pengendalian kondisi kesehatan karyawan; dan pengendalian pest. Di Uni Eropa, prerequisite requirements termasuk dalam legislasi horizontal seperti Hygiene Directive (EC, 1993 dalam Huss et al., 2004) dan legislasi vertikal spesifik komoditas seperti persyaratan khusus untuk pengolahan ikan (EC, 1993 dalam Huss et al., 2004). Menurut ketentuan Uni Eropa, SSOP harus memuat : kondisi lingkungan Unit Pengolahan Ikan, fasilitas Unit Pengolahan Ikan serta prosedur dan kondisi operasional (GHP). Prerequisite programme merupakan titik awal bagi perusahaan dalam mengimplementasikan HACCP. Pengalaman beberapa perusahaan menunjukkan bahwa apabila suatu perusahaan berhasil menerapkan GHP/GMP/SSOP dengan baik, maka perusahaan yang bersangkutan tidak akan menemui kesulitan dalam menerapkan program HACCP. HACCP
merupakan
pendekatan
sistematis
dalam
mengidentifikasi,
mengevaluasi dan mengendalikan bahaya (hazards) yang signifikan terhadap keamanan pangan (CAC, 2001). Penerapan HACCP memberikan jaminan keamanan pangan melalui pendekatan yang dibangun di atas fondasi yang disediakan oleh GMP/SSOP/GHP. Hal ini dilakukan melalui identifikasi titik dalam proses produksi pangan yang memerlukan pemantauan dan pengendalian secara terus menerus untuk memastikan bahwa proses masih dalam batas yang ditentukan. HACCP terdiri atas tujuh prinsip dasar sebagaimana disebutkan oleh CAC (2001) dan NACMCF (1997) adalah : analisis bahaya, identifikasi titik pengendalian kritis, penetapan batas kritis, penentuan prosedur pemantauan, penentuan tindakan koreksi, penentuan prosedur verifikasi, dan penentuan prosedur dokumentasi dan pencatatan. Pada saat ini, penerapan konsepsi HACCP pada industri makanan (termasuk produk perikanan) telah diwajibkan oleh sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada dan lain sebagainya. Di Indonesia, regulasi yang mengatur mengenai hal itu adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Menurut Jouve et al. (1998) dalam Huss et al. (2004), quality control (pengendalian mutu) dapat didefinisikan sebagai aktivitas dan teknik operasional
24
yang digunakan untuk memenuhi persyaratan mutu. Dalam kaitannya dengan sistem jaminan mutu, QC dilakukan melalui pemantauan (monitoring) dan jika diperlukan memodifikasi sistem produksi untuk mencapai mutu yang ditetapkan. Dengan demikian, QC dapat menjadi bagian dari sistem HACCP, terutama dalam konteks pemantauan titik pengendalian kritis (CCP) dalam HACCP Plan. Huss et al. (2004) mengatakan bahwa QA/QM dapat didefinisikan sebagai semua fungsi dan aktivitas yang berkaitan dengan kesuksesan dalam mencapai mutu dalam suatu perusahaan. Dalam keseluruhan sistem, hal ini akan mencakup aspek teknis, manajerial dan lingkungan. Standar QA/QM yang umum diketahui adalah ISO 9000, sedangkan untuk manajemen lingkungan adalah ISO 14000. Istilah QM sering digunakan secara bolak balik dengan QA, karena keduanya mempunyai pengertian yang sama. Dalam industri perikanan, istilah QM digunakan utamanya dalam pengelolaan aspek teknis dari mutu dalam suatu perusahaan. TQM adalah suatu pendekatan manajemen organisasi (organization’s management) yang difokuskan terhadap mutu dan berdasarkan partisipasi seluruh anggota organisasi tersebut, dan ditujukan untuk keberhasilan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan dan manfaat untuk anggota organisasi dan masyarakat (Jouve et al., 1998 dalam Huss et al. (2004).
Dengan demikian, TQM mencerminkan
pendekatan budaya organisasi dan secara bersama-sama dengan sistem mutu (quality system) menanamkan filosofi, budaya dan disiplin yang diperlukan untuk membangun komitmen semua orang dalam organisasi dalam rangka mencapai semua tujuan organisasi yang berhubungan dengan mutu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat ini sistem manajemen mutu dan keamanan produk perikanan yang diakui secara internasional dan telah menjadi persyaratan di beberapa negara adalah HACCP. Dalam implementasinya, penerapan HACCP harus menggunakan fondasi GHP/GMP atau SSOP atau Prerequisite Programmes yang baik. Dengan kata lain suatu perusahaan harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang terkait dengan penerapan GHP/GMP atau SSOP atau Prerequisite Programmes sebelum menerapkan HACCP.
25
Dalam kaitannya dengan implementasi HACCP pada industri perikanan, Huss et al. (2004) mengatakan bahwa tanggung jawab untuk menghasilkan makanan yang aman ada di tangan produsen. Tanggung jawab tersebut adalah memastikan bahwa pengembangan dan penerapan HACCP Plan dilakukan secara tepat. Dengan demikian, pimpinan suatu perusahaan harus memahami dan mendukung penerapan HACCP dalam unit pengolahan ikan yang dikelolanya. Oleh karena itu, mereka perlu memahami manfaat, biaya dan sumberdaya yang diperlukan. Hal lain yang tidak kalah penting dalam penerapan HACCP adalah pelatihan personil kunci, baik personil yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut Huss et al. (2004) mengatakan bahwa dalam pengembangan HACCP Plan diperlukan persetujuan dari manajemen senior, karena seringkali diperlukan perbaikan atau penggantian/perubahan terhadap konstruksi atau tata letak fasilitas dan perlengkapan yang digunakan dalam proses pengolahan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan biaya dan akan menjadi masalah ketika terdapat keterbatasan anggaran, karena modifikasi apapun yang diperlukan untuk menjamin keamanan pangan harus dilakukan dengan segera. Meskipun implementasi HACCP merupakan tanggung jawab perusahaan perikanan, pemerintah juga mempunyai peranan yang penting. Peranan tersebut setidak-tidaknya dalam tiga hal, yaitu sebagai fasilitator, enforcers atau pelatih (Motarjemi & Schothorst, 1999). Sebagai fasilitator, pemerintah dapat membantu perusahaan perikanan dalam memahami tujuan dan cakupan HACCP, serta menyediakan tenaga ahli dalam menyusun HACCP Plan atau verifikasinya. Sebagai enforcers, pemerintah bertugas mengevaluasi implementasi atau penerapan tujuh prinsip HACCP. Sedangkan sebagai pelatih, pemerintah menyelenggarakan pelatihan dan berpartisipasi dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh sektor industri. Dari uraian di atas, terlihat bahwa dalam penerapan HACCP diperlukan komitmen yang kuat dari pihak manajemen (termasuk pemilik perusahaan), kompetensi yang memadai dari personil yang terlibat serta didukung kebijakan pemerintah yang kondusif.
26
2.2.3.2 Produk perikanan bernilai tambah Berdasarkan teori daya saing modern, suatu negara yang menciptakan nilai melalui produktivitas tenaga kerja, diferensiasi produk dan penambahan nilai-nilai lokal akan dapat menciptakan kesejahteraan dan lebih sukses dalam berkompetisi (Zugarramurdi, 2003). Sementara itu, Anderson & Hall (2006) mengatakan bahwa penciptaan nilai produk mampu meningkatkan pendapatan pada sektor agribisnis. Suatu kenyataan menunjukkan bahwa penciptaan nilai tambah pada komoditas agribisnis akan menghasilkan nilai penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan nilai jual komoditas yang langsung dari kebun/lahan lainnya. Lebih lanjut menurut Anderson & Hall (2006), nilai tambah (value added) berarti penambahan nilai terhadap bahan baku dengan mengantarkannya, setidaktidaknya, kepada tahap produksi selanjutnya. Adapun penambahan nilai (value adding) ditafsirkan secara sempit sebagai pengolahan lanjutan dari komoditas primer (Zugarramurdi, 2003). Penambahan nilai dapat dilakukan pada setiap rantai nilai (value chain), mulai dari penangkapan/pemanenan sampai ke konsumen (Gambar 4).
Penangkapan/ Pemanenen
Pengolahan Primer
Pengolahan Sekunder
Grosir
Eceran
Konsumen Penangkapan/Pemanenen
Pengolahan
Gambar 4 Rantai nilai produk perikanan (Guomundsson, 2003). Anderson & Hall (2006) mengemukakan bahwa nilai (value) biasanya diciptakan melalui focusing terhadap manfaat yang berhubungan dengan jasa dari suatu produk, yang muncul dari : •
Mutu, apakah produk dapat memenuhi harapan konsumen ?
•
Fungsi, apakah produk menyediakan fungsi sesuai yang kebutuhan akan produk tersebut ?
27 •
Bentuk, apakah produk dalam suatu bentuk yang berguna ?
•
Tempat, apakah produk berada dalam tempat yang baik ?
•
Waktu, apakah produk berada dalam waktu yang tepat ?
•
Mudah didapat, apakah produk mudah didapat oleh konsumen ? Setiap produk harus mempunyai satu atau lebih kriteria di atas untuk
menghasilkan nilai tambah. Sementara itu, menurut Dzung (2003), penambahan nilai untuk produk perikanan yang dapat dilakukan oleh negara-negara berkembang adalah: 1) Penambahan nilai pada pembudidayaan, dilakukan melalui : penerapan budidaya yang bertanggung jawab (responsible aquaculture) dalam rangka environmental value addition, penerapan organic farming dalam rangka ecological value addition, pengentasan kemiskinan dalam rangka social value addition, pengembangan species baru, dan penurunan biaya produksi; 2) Penambahan nilai pada rantai pasca panen, dilakukan melalui : perbaikan teknologi penangkapan/pemanenan dan pasca panen, penurunan losses dengan mempertahankan
rantai
dingin,
penurunan
kompetisi
internal
melalui
pengorganisasian yang lebih baik pada pemasaran bahan baku, dan penguatan peran pedagang perantara terhadap tanggung jawab publik; 3) Penambahan nilai pada pengolahan dan pengemasan, dilakukan melalui : menjaga ikan tetap hidup atau segar dan menghindari double freezing, pengelolaan produksi yang lebih bersih dan lingkungan yang lebih baik, diversifikasi pengemasan dengan menggunakan teknologi maju, pemanfaatan yang lebih baik terhadap bahan baku untuk produk samping, dan modernisasi produk tradisional; 4) Penambahan nilai melalui penjualan kepada ceruk pasar (niche markets), dilakukan melalui : ekspor ikan hidup atau segar, produk perikanan organik, pelabelan yang menarik, pengembangan pasar global untuk produk tradisional melalui pariwisata, dan pengembangan pasar untuk produk eksotik; 5) Penambahan nilai melalui integrasi vertikal, dilakukan melalui : pendekatan “from pond to table” untuk mutu, kebersihan dan keamanan, penerapan sistem penelusuran produk (traceability), penurunan resiko bagi nelayan/pembudidaya
28
dan pengolah, penurunan biaya produksi, dan penurunan kompetisi internal dalam pasar bahan baku; 6) Penambahan nilai melalui integrasi secara regional dan internasional, dilakukan melalui kerjasama antar negara produsen. Pada industri pengolahan ikan, penambahan nilai akan semakin tinggi apabila mengarah kepada produk-produk yang siap saji atau siap makan (ready to serve/ready to eat products). Studi yang dilakukan oleh INFOPESCA Project di Argentina menunjukkan bahwa nilai tambah yang diperoleh dari produk primer seperti shrimp blocks dan salted anchovy, lebih rendah dibanding produk-produk siap saji seperti tempura squid rings, breaded shrimp dan lain-lain (Tabel 1). Hal ini karena didorong perubahan pola hidup masyarakat modern yang cenderung sibuk, sehingga bersedia membayar lebih mahal bagi produk-produk yang lebih siap untuk dikonsumsi. Fenomena ini telah mendorong negara-negara produsen produk perikanan untuk lebih intensif mengembangkan value added products (VAP). Tabel 1 Nilai tambah beberapa produk perikanan di Argentina No. Produk 1 Tempura squid rings 2 Squid tube blocks 3 Hake loins with sauce 4 Hake portions with sauce 5 IQF hake fillets 6 Interleaved hake fillets 7 Breaded shrimp 8 Shrimp blocks 9 American tuna salad 10 Mediterranean tuna salad 11 Pate 12 Tuna in oil 13 Marinated anchovy 14 Salted anchovy 15 Anchovy paste Sumber : Zugarramurdi (2003)
Nilai Tambah (%) 48,88 42,42 47,53 48,93 36,49 31,80 43,52 18,82 33,36 35,75 32,61 23,72 49,80 26,13 34,57
Dengan menggunakan contoh produk hake loins with sauce, penghitungan nilai tambah dilakukan melalui dua tahap, yaitu mengevaluasi biaya produksi (Tabel
29
2) dan selanjutnya menghitung nilai tambah yang diperoleh berdasarkan persentase dari penjualan (Tabel 3). Tabel 2 Biaya produksi pengolahan hake loins with sauce No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Item
Raw material Total ingredients Packaging Total labor Supervision Laboratory Electric energy Water Fuel oil Total utilities Maintenance Total variable costs 12 Depreciation 13 Property taxes and insurance 14 Investment cost 15 Administration and management costs 16 Sale and distribution costs Fixed costs Production costs, without financing costs Sumber : Zugarramurdi (2003)
US $ /Kg 0,854 0,105 0,449 0,311 0,031 0,012 0,022 0,010 0,00002 0,032 0,020 1,814 0,049 0,010 0,059 0,125 0,145 0,329 2,143
Tabel 3 Nilai tambah pengolahan hake loins with sauce No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Item
Total labor Supervision Laboratory Administration and management costs Depreciation Property taxes and insurance Maintenance Sale and distribution costs Net profits Value added, % of selling price Selling price Sumber : Zugarramurdi (2003)
Cost (US $/Kg) 0,31 0,03 0,01 0,12 0,05 0,01 0,01 0,07 0,76 2,90
% Selling Price 10,74 1,07 0,43 4,29 1,70 0,34 0,34 2,50 26,11 47,53
30
Menurut Zugarramurdi (2003), jika suatu negara berkembang ingin mengembangkan value added products, maka harus memperluas akses pasar ke negara-negara importir utama. Hal itu tidak hanya ke negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa, tetapi juga ke negara-negara berkembang. Disamping itu, terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi, antara lain : produktivitas; pengembangan pasar domestik; inovasi teknologi; investasi untuk
pelatihan teknis; pembiayaan; skala ekonomi; kebutuhan untuk mengembangkan cluster dan
rantai nilai; peningkatan modal kerja; tarif yang tinggi; dukungan
pemerintah; implementasi HACCP, traceability dan kesepakatan WTO-SPS; serta karakteristik khusus sektor perikanan.
Pada level perusahaan, kunci sukses pengembangan value added products menurut Anderson & Hall (2006) terletak pada strategi bisnis yang ditempuh, yaitu menyangkut rencana mengenai : •
Operasi - alur bisnis, pengendalian mutu dan biaya;
•
Personil - kebutuhan, ketrampilan dan pelatihan;
•
Penjualan - termasuk tujuan yang menantang tetapi realistik;
•
Manajemen - evaluasi kekuatan, kelemahan dan sumberdaya; dan
•
Investasi dan finansial - perencanan arus kas. Uraian di atas mengambarkan bahwa nilai tambah produk hanya akan dicapai
oleh perusahaan yang mempunyai karakter kewirausahaan yang memadai, personil yang berkompeten dan didukung oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang pro bisnis. 2.2.4.3 Daya saing produk perikanan Porter (1990) mengatakan bahwa konsepsi daya saing yang dapat diterapkan pada tingkat nasional adalah produktivitas, yang definisinya adalah nilai luaran (output) yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Bank Dunia menyatakan hal yang relatif sama, dimana daya saing mengacu kepada besaran serta laju perubahan nilai per unit input yang dicapai oleh perusahaan (Abdullah et al., 2002). Definisi yang lain dikemukakan oleh World Economic Forum, yaitu lembaga yang secara rutin menerbitkan “Global Competitiveness Report”, yang menyatakan bahwa daya
31
saing nasional adalah “kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan”. Sementara itu, Institute of Management Development dengan publikasinya yang berjudul “World Competitiveness Yearbook” sebagaimana dikutip Abdullah et al. (2002), mendefinisikan daya saing nasional sebagai “kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan agresivitas, globality dan proximity, serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut ke dalam suatu model ekonomi dan sosial”. Dengan kata lain, daya saing nasional adalah suatu konsep yang mengukur dan membandingkan seberapa baik suatu negara dalam menyediakan suatu iklim tertentu yang kondusif untuk mempertahankan daya saing domestik maupun global kepada perusahaan-perusahaan yang berada di wilayahnya. Pada tingkat yang lebih mikro, Institute for Trade & Commercial Diplomacy (www.itcdonline.com/introduction/glossary
diakses
tanggal
1
April
2006),
mendefisinikan daya saing sebagai “kemampuan suatu negara atau perusahaan untuk menjual barang atau jasa yang kompetitif dalam perdagangan internasional”. Dari berbagai definisi di atas tidak ditemukan kesamaan yang sempurna, oleh karena itu pada saatnya nanti diperlukan konsensus para ahli untuk menemukan definisi yang dapat diterima semua pihak. Dengan mengacu kepada diskripsi produk perikanan prima, definisi yang dikemukan oleh Institute for Trade & Commercial Diplomacy nampaknya lebih tepat untuk mengukur daya saing produk perikanan di pasar global. Dengan menggunakan definisi tersebut, pengertian kompetitif yang digunakan terhadap barang yang diperdagangkan secara internasional, menunjuk kepada produk dari suatu negara atau perusahaan yang unggul dalam meraih pangsa secara signifikan dari konsumen dunia dibanding produk dari sumber lain, karena harga yang lebih rendah, mutu yang lebih tinggi, karakteristik penampilan yang superior, pemasaran yang lebih efektif (dalam hubungannya dengan pelayanan yang lebih baik, misalnya dalam hal pengiriman atau garansi perbaikan) atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
32
Beberapa aspek daya saing dalam perdagangan internasional, dapat dikategorikan sebagai berikut : 1) Daya saing harga (price competitiveness) Daya saing ini ditentukan oleh interaksi dari empat faktor yang menentukan persaingan harga di pasar dunia, yaitu : (1) biaya-biaya input riil (harga bahan baku, tingkat upah dan biaya modal atau cost of capital), (2) produktivitas, (3) marjin keuntungan (profit margins), dan (4) nilai tukar (exchange rate). Perusahaan pada umumnya mempunyai beberapa cara untuk mengendalikan faktor pertama sampai ke tiga, tetapi tidak dapat mengendalikan nilai tukar. Kebijakan fiskal dan moneter yang ditempuh pemerintah bisa berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap faktor pertama dan keempat, sedangkan industri hanya bisa mempengaruhi faktor kedua dan ketiga. Perubahan faktor-faktor persaingan tidak selalu terjadi secara bersamaan (serempak), perubahan pada faktor tertentu dapat diimbangi dengan pergerakan dalam arah yang berlawanan oleh faktor yang lain. 2) Daya saing teknologi (technological competitiveness) Daya saing ini menunjukkan kemampuan dalam menyediakan kapabilitas teknis terkemuka, karakteristik kinerja yang superior, kehematan energi atau ketahanan uji dari produk yang dihasilkan. Daya saing teknologi kadang-kadang lebih penting dibanding daya saing harga, terutama dalam industri teknologi maju seperti peralatan telekomunikasi dan luar angkasa. 3) Daya saing komersial (commercial competitiveness) Daya saing ini merefleksikan kekuatan, kreativitas dan efektivitas dari aktivitas kewirausahaan perusahaan, termasuk pemasaran dan distribusi serta ketepatan pelayanan yang meningkatkan nilai pembeli. Sebagai bagian dari aspek-aspek fundamental daya saing seperti tersebut di atas, perusahaan dan pemerintah kadang-kadang mencoba untuk memanipulasi hasil persaingan dengan menggunakan tindakan-tindakan untuk mempengaruhi kinerja kompetitifnya di pasar internasional atau menggunakan praktik perdagangan yang tidak adil (unfair trade practices). Tindakan tersebut bisa legal (seperti lobi antar
33
pemerintah atau promosi ekspor) atau tidak legal (seperti penyuapan), dan beberapa tindakan yang dikemas dalam bentuk kesepakatan multilateral. Lebih lanjut menurut Institute for Trade & Commercial Diplomacy, kinerja daya saing (competitive performance) merupakan hasil yang dapat diukur dari daya saing, yaitu outcome (hasil) dari suatu upaya yang dilakukan suatu negara atau perusahaan dalam penjualan barang/jasa yang kompetitif pada perdagangan internasional. Ukuran yang biasa digunakan untuk mengukur kinerja daya saing adalah : •
Pangsa pasar (market share), yaitu pangsa terhadap total penjualan dari seluruh sumber pada suatu negara tertentu, atau pangsa terhadap total ekspor dunia dari suatu produk utama;
•
Neraca perdagangan (trade balances), yaitu rasio antara ekspor dan impor; dan
•
RCA (Revealed Comparative Advantage), yaitu perbandingan pangsa ekspor suatu produk suatu negara/perusahaan terhadap pangsa ekspor produk tersebut dari seluruh dunia. Uraian di atas menggambarkan secara jelas peran pemerintah dalam
meningkatkan daya saing, baik pada level nasional maupun level perusahaan. Disamping itu, daya saing merupakan hasil dari suatu kekuatan, kreativitas dan efektivitas dari kewirausahaan perusahaan.
2.3
Kebijakan Publik
2.3.1
Pengertian kebijakan publik Definisi mengenai kebijakan publik, baik dalam arti luas maupun sempit,
telah banyak disajikan dalam berbagai literatur. Young & Quinn (2002) dalam Suharto (2005) memberikan definisi kebijakan publik dalam arti luas, yakni “apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu”. Sedangkan menurut Dunn (2000), “kebijakan publik merupakan pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau
34
kantor pemerintah”. Definisi yang lain dikemukakan oleh Anderson (1976) dalam Sutopo & Sugiyanto (2001) yang mengatakan bahwa “kebijakan publik adalah kebijakankebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah”. Untuk lebih memahami berbagai definisi kebijakan publik, Young & Quinn (2002) dalam Suharto (2005) menjelaskan beberapa konsep kunci yang termuat dalam kebijakan publik, yaitu : 1) Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis dan finansial untuk melakukannya; 2) Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan yang berkembang di masyarakat; 3) Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukan sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri atas beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak; 4) Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial. Namun, kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dan karenanya tidak memerlukan tindakan tertentu; 5) Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang aktor. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkahlangkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan yang telah dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh sebuah badan pemerintah maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pemerintah.
35
Dari beberapa definisi dan konsep kunci di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik dibuat oleh pemerintah berupa tindakan-tindakan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, mempunyai tujuan tertentu dan ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Apabila dilihat dari jenisnya, Anderson (1976) dalam Sutopo & Sugiyanto (2001) mengelompokkan kebijakan publik dalam empat jenis, yaitu: 1) Substantive and prosedural policies. Substantive policy adalah suatu kebijakan dilihat dari substansi masalah yang dihadapi pemerintah (misalnya kebijakan ekonomi dan kebijakan pendidikan). Sedangkan prosedural policy merupakan kebijakan yang dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam perumusannya. 2) Distributive, redistributive and regulatory policies. Distributive policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang pemberian pelayanan/keuntungan kepada individu tertentu, kelompok tertentu atau perusahaan tertentu (misalnya insentif pajak). Redistributive policy merupakan suatu kebijakan yang mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan atau hak (misalnya kebijakan pembebasan lahan untuk pembuatan jalan). Sedangkan regulatory policy adalah kebijakan yang mengatur tentang pembatasan/pelarangan terhadap perbuatan/ tindakan (misalnya kebijakan mengenai larangan merokok di tempat umum). 3) Material policies. Suatu kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian/ penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi penerimanya (misalnya kebijakan pembangunan rumah sederhana). 4) Public goods and private goods policies. Public goods policy merupakan kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang/pelayanan oleh pemerintah kepada masyarakat (misalnya penyediaan jalan umum). Adapun private goods policy adalah kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang/pelayanan oleh pihak swasta untuk kepentingan individu-individu di pasar bebas dengan imbalan tertentu (misalnya kebijakan pentuan tarif tempat hiburan). Kebijakan publik adalah suatu sistem yang terdiri dari elemen input (masalah kebijakan publik), proses (pembuatan kebijakan), output (kebijakan yang dihasilkan) dan dampak (impact). Input kebijakan publik adalah masalah kebijakan publik, yakni
36
tuntutan-tuntutan, keinginan-keinginan masyarakat atau tantangan dan peluang yang diharapkan dapat teratasi melalui suatu kebijakan publik. Sedangkan proses kebijakan publik meliputi tahap perumusan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Proses tersebut merupakan siklus seperti terlihat pada Gambar 5.
Perumusan Kebijakan Implementasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan Monitoring Kebijakan
Gambar 5 Siklus kebijakan publik (Sutopo & Sugiyanto, 2001).
2.3.2
Kebijakan publik yang berkaitan dengan produk perikanan prima Kebijakan publik yang ditujukan untuk mendorong dihasilkannya produk
perikanan prima berupa peraturan perundang-undangan, standar, program dan lain sebagainya. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan produk perikanan prima secara umum hanya menyangkut ketentuan di bidang pembinaan dan pengawasan mutu serta keamanan produk perikanan. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain adalah : UU No. 7/1996 tentang Pangan, UU No. 31/2004 tentang Perikanan, PP No. 102/2000 tentang Standar Nasional Indonesia, PP No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.06/Men/2002 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Mutu Hasil perikanan yang Masuk ke Wilayah RI, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.17/Men/2004 tentang Sistem Sanitasi Kekerangan Indonesia, dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 21/MEN/2004 tentang Pengawasan Mutu Produk Perikanan yg Dipasarkan ke Uni Eropa.
37
Standar Nasional Indonesia (SNI) yang terkait dengan mutu dan keamanan produk serta pengolahan hasil perikanan telah banyak ditetapkan. Sampai dengan tahun 2005, telah ditetapkan 285 SNI dengan rincian : 71 SNI mutu produk, 70 SNI persyaratan bahan baku, 70 SNI penanganan dan pengolahan, tujuh SNI pengemasan produk perikanan, 65 SNI uji laboratorium, satu SNI metoda pengambilan contoh produk perikanan dan satu SNI penerapan HACCP. Sebagian besar SNI tersebut telah wajib diterapkan dan lainnya masih bersifat sukarela. Sungguhpun demikian, tidak ditemukan laporan mengenai pelaksanaan maupun evaluasi penerapan SNI sehingga keragaannya belum diketahui dengan jelas. Program pemerintah (dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan) yang diarahkan secara khusus untuk meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk serta pengembangan pengolahan hasil perikanan adalah : Optimasi Pengolahan dan Distribusi Hasil Perikanan (OPTIHANDIS), Peningkatan Mutu dan Nilai Tambah Hasil Perikanan, Penanganan Mutu Bahan Baku Perikanan serta Peningkatan Mutu dan Pengembangan Pengolahan Hasil Perikanan. Program OPTIHANDIS dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sejak tahun 2002 dan secara umum diarahkan untuk meningkatkan mutu dan nilai tambah hasil perikanan serta memperlancar distribusi pemasaran hasil perikanan melalui sistem rantai dingin pada usaha skala kecil. Program Peningkatan Mutu dan Nilai Tambah Hasil Perikanan juga dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sejak tahun 2002 dan secara umum ditujukan untuk meningkatkan mutu dan keamanan
produk
perikanan
dalam
rangka
perlindungan
konsumen
dan
meningkatkan daya saing di pasar global. Sejalan dengan reorganisasi Departemen Kelautan dan Perikanan (Peraturan Presiden RI No. 10/2005), sejak Agustus 2005 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap tidak melanjutkan program itu karena tidak sesuai lagi dengan tugas dan fungsinya. Program Penanganan Mutu Bahan Baku Perikanan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap mulai tahun 2006 dan diarahkan untuk meningkatkan mutu hasil penangkapan ikan, sehingga akan meningkatkan nilai jual hasil tangkapan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan nelayan.
38
Sementara itu, Program Peningkatan Mutu dan Pengembangan Pengolahan Hasil Perikanan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan mulai tahun 2006, dengan tujuan untuk meningkatkan mutu dan keamanan produk perikanan; meningkatkan produktivitas pengolahan hasil perikanan yang ramah lingkungan; meningkatkan standar bidang pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang sesuai dengan ketentuan internasional; meningkatkan kualitas kompetensi
lembaga
sertifikasi
produk
perikanan;
meningkatkan
kapasitas
kelembagaan dan mendorong pertumbuhan usaha dan investasi di bidang pengolahan hasil perikanan; dan meningkatkan kompetensi sumberdaya manusia di bidang pengolahan hasil perikanan. 2.3.3 Evaluasi kebijakan publik Menurut Abidin (2006), evaluasi kebijakan merupakan langkah terakhir dalam suatu proses kebijakan dan secara lengkap mengandung tiga pengertian, yaitu : (1) evaluasi awal, sejak dari proses perumusan sampai saat sebelum dilaksanakan (exante evaluation); (2) evaluasi dalam proses pelaksanaan atau monitoring; dan (3) evaluasi akhir, yang dilakukan setelah selesai proses pelaksanaan kebijakan (ex-post evaluation). Evaluasi awal dalam proses kebijakan pada umumnya dilakukan untuk mendapatkan tanggapan dari masyarakat sebelum kebijakan dilaksanakan, guna menghindari resistensi dari kelompok sasaran kebijakan tersebut. Sementara itu, monitoring dilaksanakan dalam rangka menggali informasi mengenai kekeliruan atau ketidakcocokan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan kebijakan, sebagai akibat dari kekurangan informasi pada saat formulasi kebijakan atau karena adanya perubahan di lapangan. Dengan demikian, dapat segera dilakukan perbaikan atau penyesuaian terhadap kebijakan yang sedang dilaksanakan, sehingga resiko kegagalan dapat diminimalisir. Lebih lanjut, Abidin (2006) mengatakan bahwa evaluasi akhir (ex-post evaluation) diperlukan untuk mengindentifikasi berbagai kelemahan secara menyeluruh dari suatu kebijakan, baik yang berasal dari kelemahan strategi kebijakan itu sendiri maupun kelemahan dalam pelaksanaan. Tujuan akhir dari evaluasi ini
39
adalah untuk membangun dan menyempurnakan kebijakan, sehingga fakusnya tidak hanya pada suatu tahap dalam proses kebijakan, tetapi pada keseluruhan proses. Dunn (2000) mengemukakan bahwa evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Pertama dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Pendapat serupa disampaikan oleh Wibawa et al. (1993) dalam Wijowijoto (2004), yang menurutnya evaluasi kebijakan memiliki empat fungsi, yakni : 1) Eksplanasi, yaitu memotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini dapat diidentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan; 2) Kepatuhan, yaitu mengetahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan; 3) Audit, yaitu mengetahui apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan; 4) Akunting, yaitu mengetahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut. Dwijowijoto (2004) mengemukakan bahwa evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai
efektivitas
kebijakan
publik
guna
dipertanggung-jawabkan
kepada
konstituennya. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara harapan dengan kenyatan. Istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appaisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya (Dunn, 2000).
40
Secara umum, ada enam kriteria yang digunakan dalam evaluasi kebijakan publik, yaitu : efektivitas (effectiveness), efisiensi (efficiency), kecukupan (adequacy), perataan (equity), responsivitas (responsiveness) dan ketepatan (appropriateness) (Dunn, 2000). Kriteria evaluasi tersebut sama dengan kriteria yang digunakan untuk rekomendasi kebijakan, perbedaan yang utama terletak pada waktu ketika kriteria tersebut diterapkan atau diaplikasikan. Kriteria untuk evaluasi diterapkan secara retrospektif (ex post), sedangkan kriteria untuk rekomendasi diterapkan secara prospektif (ex ante). Tabel 4 menggambarkan penggunaan kriteria evaluasi kebijakan publik. Tabel 4 Kriteria evaluasi kebijakan publik Tipe Kriteria Pertanyaan Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai ? Efisiensi Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan ? Kecukupan
Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah ? Perataan Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda ? Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu ? Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai ? Sumber : Dunn (2000)
Ilustrasi Unit pelayanan Unit biaya Manfaat bersih Rasio biaya manfaat Biaya tetap Efektivitas tetap Kriteria pareto Kriteria Kaldor-Hicks Kriteria Rawls Konsistensi dengan survei warganegara Program pubik harus merata dan efisien
Dalam kaitannya dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.01/Men/2002, evaluasi yang dapat dilakukan adalah melalui monitoring karena kebijakan tersebut saat ini sedang dilaksanakan. Menurut Abidin (2006), proses pelaksanaan kebijakan publik berkaitan dengan empat faktor utama, yaitu faktor utama internal dan faktor utama eksternal. Faktor utama internal meliputi faktor kebijakan yang sedang dilaksanakan dan faktor-faktor pendukung, sedangkan faktor utama eksternal meliputi faktor kondisi lingkungan dan faktor pihak terkait.
41
Faktor-Faktor Utama Internal Kebijakan Publik
Faktor-Faktor Pendukung
Pihak Terkait
Kondisi Lingkungan
Faktor-Faktor Utama Eksternal
Gambar 6 Keterkaitan antar faktor dalam impelementasi kebijakan publik (Abidin, 2006). Faktor yang paling dominan dalam proses pelaksanaan kebijakan adalah kondisi kebijakan itu sendiri, karena tanpa kebijakan tidak ada yang dilaksanakan. Pada tingkat pertama, berhasil tidaknya pelaksanaan suatu kebijakan ditentukan oleh dua hal, yaitu kualitas kebijakan dan ketepatan strategi pelaksanaan (Abidin, 2006). Secara umum suatu kebijakan dianggap berkualitas dan dapat dilaksanakan apabila : 1) Tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai untuk mengadakan kebijakan adalah rasional dan diinginkan (desirable). Rasional dalam arti dapat dipahami dan diterima oleh akal sehat, terutama dilihat dari faktor-faktor pendukung yang tersedia. Sedangkan suatu kebijakan dianggap desirable apabila mendapat dukungan dari banyak pihak, karena kebijakan publik menyangkut kepentingan banyak pihak; 2) Asumsi yang digunakan dalam perumusan kebijakan realistis; dan 3) Informasi yang digunakan sebagai dasar dalam perumusan kebijakan adalah lengkap dan benar. Ketepatan suatu strategi pelaksanaan kebijakan publik ditentukan oleh tiga hal, yaitu : kemampuan menyebarkan aspek-aspek positif dari kebijakan yang dilaksanakan, cukup advokatif dalam hal terjadi perbedaan pandangan, dan antisipatif dalam menghadapi perubahan di lapangan. Faktor utama internal kedua dalam proses pelaksanaan kebijakan adalah sumberdaya yang merupakan faktor pendukung (supporting factors) bagi kebijakan.
42
Faktor pendukung dalam manajemen publik meliputi : sumberdaya manusia, keuangan, logistik, informasi, legitimasi dan partisipasi. Legitimasi atau keabsahan yang dimaksud disini adalah bahwa suatu kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Disamping itu harus mendapat dukungan dari lembaga yang berwenang memberi kepercayaan atau melimpahkan kewenangan. Adapun yang dimaksud partisipasi adalah menyangkut keikutsertaan masyarakat luas dalam pelaksanaan kebijakan. Seperti telah disinggung di atas, faktor lingkungan dalam pelaksanaan kebijakan juga merupakan faktor penentu. Sekalipun pelaksanaan berada pada tingkat operasional, namun proses pelaksanaan kebijakan bergerak dalam empat lapisan lingkungan institusional yakni : konsititusional, kolektif, operasional dan distribusi. Pelaksanaan pada taraf konstitusional terkait dengan peraturan perundang-undangan yang merupakan keputusan politik yang bentuknya ditentukan oleh interaksi antara berbagai institusi politik, kepentingan perorangan, pendapat masyarakat dan pilihan atas dasar konstitusi. Pada taraf kolektif, proses pelaksanaan kebijakan merupakan keputusan bersama berbagai kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Pada taraf operasional, proses pelaksanaan adalah keputusan yang bersifat operasional yang bergerak dalam situsasi yang sudah terbentuk, dan melalui kebijakan tersebut diharapkan dapat menimbulkan perubahan-perubahan kearah yang dikehendaki. Pada taraf terakhir, proses pelaksanaan diharapkan dapat menyebarkan hasil dari suatu kebijakan atau menimbulkan perubahan yang merupakan outcomes dari suatu kebijakan (Abidin, 2006). Disamping evaluasi terhadap faktor-faktor tersebut di atas, aspek yang tidak kalah penting dalam monitoring pelaksanaan kebijakan publik adalah efektivitas (Dunn, 2000). Melalui evaluasi ini dapat diketahui hasil-hasil yang dicapai dari pelaksanaan kebijakan, sehingga apabila ditemukan ketidaksesuaian maka dapat segera dilakukan tindakan perbaikan. 2.3.4 Kebijakan publik dan produk perikanan prima Dengan mengacu kepada tiga kriteria produk perikanan prima, yaitu bermutu tinggi dan aman dikonsumsi, bernilai tambah tinggi dan berdaya saing tinggi,
43
pemerintah mempunyai peranan yang strategis dalam pengembangan produk perikanan prima. Dalam kaitannya dengan implementasi HACCP sebagai sistem jaminan mutu dan keamanan produk perikanan, pemerintah setidak-tidaknya berperan sebagai fasilitator, enforcers atau pelatih (Motarjemi & Schothorst, 1999). Sedangkan dalam rangka peningkatan nilai tambah produk perikanan, pemerintah memainkan peranan dalam berbagai hal, antara lain : perluasan akses pasar, pengembangan pasar domestik, diseminasi teknologi, pengembangan klaster dan lobi di forum internasional untuk mengurangi hambatan perdagangan, baik yang bersifat tariff barrier maupun non tariff barrier (Zugarramurdi, 2003). Adapun peran pemerintah dalam rangka peningkatan daya saing antara lain dalam hal : penentuan standar upah, penentuan nilai tukar, fasilitasi peningkatan teknologi dan kewirausahaan, penanganan unfair trade practices, promosi ekspor, dan lobi internasional. Untuk menyelenggarakan fungsi dan peranan tersebut di atas, pemerintah mengeluarkan berbagai perangkat kebijakan publik, baik dalam kerangka regulasi maupun pelayanan umum (public services). Kinerja berbagai kebijakan publik itu sangat menentukan tingkat keberhasilan dalam pengembangan produk perikanan prima. Semakin baik kinerja kebijakan publik yang diterapkan, maka akan semakin besar tingkat keberhasilan yang dicapai.
2.4 Orientasi Kewirausahaan 2.4.1 Pengertian kewirausahaan Kewirausahaan atau entrepreneurship menurut Harmaizar (2006) adalah “proses penciptaan sesuatu yang baru (kreasi baru) atau mengadakan sesuatu perubahan atas yang lama (inovasi) dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan individu dan masyarakat”. Sedangkan wirausaha atau entrepreneur adalah “orang yang melakukan tindakan tersebut dengan menciptakan suatu gagasan dan merealisasikan gagasan tersebut menjadi kenyataan”. Lumpkin & Dess (1996) dalam Sembhi (2002) mengemukakan bahwa esensi kewirausahaan adalah terobosan baru (new entry). Perusahaan dikatakan memiliki kewirausahaan apabila mampu
44
melakukan terobosan baru, baik berupa terobosan pasar dengan produk/jasa baru, maupun produk/jasa yang sama dengan sebelumnya tetapi di segmen pasar lainnya. Pemahaman mengenai kewirausahaan lebih banyak mengacu permikiran Schumpeter (1950), dimana seorang wirausahawan dikategorikan sebagai orang yang mampu dan mau mengkonversikan ide-ide baru kedalam bentuk inovasi-inovasi baru. Inovasi baru tersebut mendesak produk-produk yang sudah ada di pasar, bahkan mempengaruhi life cycle suatu produk (Rachmadi, 2005). Birkinshaw (2003) dalam Rachmadi (2005) mengemukakan empat pemikiran berkaitan dengan pemahaman kewirausahaan, yaitu : 1) Corporate venturing. Konsepsi ini beranggapan bahwa untuk dapat bertahan, terobosan baru yang dilakukan oleh suatu perusahaan harus terpisah dari bisnis utama. Oleh karena itu, konsepsi ini menekankan kepada rancangan organisasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan sehubungan dengan terobosan baru yang akan dilaksanakan dan bagaimana menyelaraskannya dengan perusahaan induk; 2) Intrapreneurship. Pendekatan ini lebih difokuskan kepada karyawan perorangan yang dipandang memiliki kecenderungan untuk bertindak sebagai seorang wirausaha. Asumsi dasar pendekatan ini adalah bahwa semua perusahaan besar memiliki struktur dan sistem yang mampu menampung berbagai inisiatif, sehingga mendorong individu untuk aktif memanfaatkan sistem tersebut. Dengan demikian, konsepsi intrapreneurship lebih menekankan kepada bagaimana menggali kreativitas karyawan untuk menjawab tantangan yang ada di pasar. 3) Entrepreneurial transformation. Konsepsi ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa perusahaan-perusahaan besar memiliki kemampuan beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi di sekitarnya. Besarnya pengaruh dari proses adaptasi tersebut terhadap corporate entrepreneurship tergantung dari bagaimana perusahaan melakukan penyelarasan antara budaya perusahaan dan sistem yang berlaku dalam organisasi, sehingga dapat mendorong individu untuk bekerja secara proaktif, inovatif dan berani mengambil resiko.
45
4) Bringing the market inside. Konsepsi ini juga berlaku pada tingkat perusahaan dan fokusnya lebih kepada perubahan struktural yang dapat dilakukan untuk mendorong ke arah perilaku kewirausahaan. Penggunaan istilah pasar sebagai metafora untuk menggambarkan pengelolaan dan alokasi sumberdaya maupun sistem manajemen sumberdaya manusia yang menggunakan pola pikir seolaholah ada persaingan di dalamnya (layaknya seperti yang terjadi di pasar). Pengelolaan manajemen internal dengan teknik-teknik yang biasa digunakan di pasar yang kompetitif akan mendorong kompetisi di dalam perusahaan, dengan harapan akan menimbulkan berbagai terobosan baru. 2.4.2 Pengertian orientasi kewirausahaan Sebagaimana disebutkan di atas bahwa esensi kewirausahaan adalah terobosan baru (new entry). Terobosan ke pasar baru atau yang sudah mapan dengan produk/jasa baru atau yang sudah ada, peluncuran usaha baru baik dengan memulai atau sebagai usaha korporat adalah bentuk-bentuk new entry. Suatu gambaran tentang bagaimana suatu terobosan baru (new entry) dibuat disebut orientasi kewirausahaan (Entrepreneurial Orientation-EO). Dengan demikian, EO ditunjukkan oleh suatu proses, praktik dan aktivitas pengambilan keputusan yang menghasilkan suatu terobosan baru (Lumpkin & Dess, 1996). Secara konseptual, kewirausahaan dapat dikatakan sebagai produk dari EO. Model hubungan antara EO dan kewirausahaan disajikan pada Gambar 7. Miller (1983) mengemukakan pendapat bahwa untuk menentukan orientasi kewirausahaan dalam suatu perusahaan dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu proaktif (proactiveness), inovatif (innovativeness) dan keberanian mengambil resiko (risk taking). Pendekatan Miller ini kemudian menjadi dasar penelitian oleh penelitipeneliti lain misalnya Covin & Slevin (1989), yang melakukan penelitian terhadap kinerja perusahaan pada lingkungan dengan tingkat persaingan yang ketat (hostile) maupun yang lebih ramah (benign) (Rachmadi, 2005). Dalam penelitian tersebut, orientasi kewirausahaan dalam suatu perusahaan diukur dengan tingkat proaktif, inovatif dan pengambilan keputusan berdasarkan faktor resiko pada masing-masing perusahaan.
46
Orientasi Kewirausahaan
Kewirausahaan Proses
Terobosan baru (New entry)
Praktik
Aktivitas pengambilan keputusan
Gambar 7 Hubungan antara orientasi kewirausahaan dan kewirausahaan (Sembhi, 2002). Lumpkin & Dess (1996) mendefinisikan proactiveness sebagai suatu kemauan untuk mengintroduksi sesuatu yang baru melalui proses percobaan dan kreativitas yang ditujukan untuk mengembangkan produk/jasa baru atau proses baru. Sedangkan menurut Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary (1991), proactiveness adalah tindakan dalam mengantisipasi permasalahan, kebutuhan atau perubahan yang akan terjadi di masa mendatang. Innovativeness didefinisikan sebagai keinginan dasar untuk beranjak dari teknologi atau proses operasional yang ada untuk bergerak maju menjauhi kondisi sekarang (Kimberly, 1981 dalam Rachmadi, 2005). Inovasi merupakan langkah yang harus dilakukan oleh perusahaan agar dapat bertahan dan unggul dalam persaingan di era globalisasi ini, dimana perubahan terjadi sangat cepat. Perusahaan tidak lagi dapat bertahan dengan strategi yang sama untuk untuk jangka waktu yang lama. Pemahaman mengenai continuity, dimana produk maupun proses produksi dapat bertahan dalam jangka panjang telah diganti dengan discontinuity, yaitu produk maupun proses produksi berubah dengan cepat sehubungan dengan terjadinya pergeseran-pergeseran di pasar sebagai akibat munculnya teknologi baru (Foster & Kaplan, 2001 dalam Rachmadi, 2005). Menurut Lumpkin & Dess (1996), risk taking merupakan ”an intense effort to outperform industry rivals. It is characterized by a combative posture or aggresive
47
response aimed at improving position or overcoming a threat in a competitive market place”. Dari pengertian ini tampak adanya unsur ketidakpastian, sehingga diperlukan proses diagnosa yang cermat agar keputusan untuk berproduksi atau merubah proses sebagai hasil inovasi benar-benar akan meningkatkan nilai perusahaan. 2.4.3 Orientasi kewirausahaan dan produk perikanan prima Pada prinsipnya orientasi kewirausahaan mengedepankan tiga dimensi, yaitu : proaktif, inovatif dan risk taking. Apabila ke tiga komponen itu melekat pada perusahaan pengolahan ikan dan berlangsung secara terus menerus, maka produk perikanan prima akan sangat mudah dicapai. Kebiasaan proaktif yang dikembangkan dalam perusahaan akan menjadikan perusahaan tersebut mendapat informasi lebih awal dibanding pesaing, sehingga perusahaan dapat mengantisipasi keinginan, kebutuhan dan permasalahan konsumen. Disamping itu, perusahaan dapat mengetahui tindakan yang dilakukan pesaing sehingga dapat mengantisipasi melalui beberapa strategi, baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun pemasaran. Informasi penting tersebut dan analisisnya merupakan sumber data untuk melakukan inovasi sehingga daya saing produk yang dihasilkan perusahaan akan meningkat. Sementara itu, inovasi banyak berkaitan dengan pengembangan atau terobosan teknologi, terutama untuk menghasilkan nilai tambah produk dan daya saing yang tinggi. Menurut Sharif (1993) dalam Said et al. (2001), terdapat tiga bentuk utama inovasi dalam pengembangan teknologi, yaitu : inovasi pengembangan proses dan produk, inovasi pengembangan pengetahuan dan keterampilan, dan inovasi pengembangan metode dan sistem organisasi. Dengan demikian, melalui inovasi dapat dilakukan pengembangan produk ke arah value added products, sehingga pertumbuhan perusahaan dapat ditingkatkan. Dalam hubungannya dengan orientasi kewirausahaan, pimpinan perusahaan harus memberi dukungan terhadap munculnya ide-ide baru dari karyawan dan dorongan terhadap munculnya proses operasi yang lebih efektif dalam pencapaian produk perikanan prima. Adapun keberanian mengambil resiko (risk taking) dalam konteks produk perikanan prima adalah keberanian dalam mengalokasikan sumberdaya dan keberanian mengambil keputusan dalam situasi ketidakpastian. Hal itu karena untuk
48
menghasilkan produk perikanan prima, pada tahap awal perusahaan terkadang harus mengeluarkan biaya yang relatif tinggi misalnya perbaikan fasilitas unit pengolahan ikan, menyelenggarakan pelatihan bagi karyawan dan lain-lain.
2.5
Kompetensi Sumberdaya Manusia (SDM)
2.5.1 Pengertian kompetensi SDM Pada saat ini, kompetensi menjadi kata kunci yang umum digunakan seseorang atau lembaga untuk memilih dan selanjutnya mengevaluasi seseorang dikaitkan dengan tugas dan atau bidang keahliannya. Shermon (2005) mengatakan “a competency is an underlying characteristic of a person, which enables him to deliver superior performance in a given job and role”. Berdasarkan definisi tersebut di atas, makna kompetensi mengandung bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang dengan perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Prediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik dapat diukur dari kriteria atau standar yang digunakan. Pada dasarnya, kompetensi memiliki dua arti yang relevan, yaitu pertama ditujukan pada kemampuan dari seseorang untuk melakukan tugas secara efektif dan yang kedua adalah tentang apa yang diperlukan oleh seseorang untuk dapat secara efektif melakukan sesuatu (Shermon, 2005). Kedua arti tersebut memiliki keterkaitan yang erat tetapi berbeda. Arti yang kedua mencakup definisi tentang apa yang penting untuk sukses dalam suatu pekerjaan, sedangkan yang pertama berkenaan dengan tingkatan mana seseorang harus bekerja atau apa yang penting untuk suatu pekerjaan. Kompetensi dibutuhkan oleh seseorang agar dapat melaksanakan tugas secara efektif
dan
sukses.
penugasan/pengalaman
Kompetensi ataupun
diperoleh
bakat
melalui
bawaan
pendidikan,
(talent).
pelatihan,
Kompetensi
bisa
diorientasikan untuk seorang individu maupun sebuah organisasi. Kompetensi dianggap melekat pada sebuah organisasi bila organisasi tersebut memiliki sebuah sistem untuk mengelola kompetensi para individu di dalamnya sehingga organisasi tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan efektif dan sukses.
49
Dalam perkembangan manajemen sumberdaya manusia, belakangan ini muncul istilah manajemen sumberdaya manusia berbasis kompetensi (competencybased human resources management). Istilah tersebut adalah pengelolaan pegawai (karyawan) secara optimal yang prosesnya didasarkan pada informasi tentang kebutuhan kompetensi dalam organisasi dan informasi tentang kompetensi individu. Analisis kompetensi biasanya digunakan untuk pengembangan karier, sedangkan penentuan tingkat kompetensi dibutuhkan untuk mengetahui efektivitas tingkat kinerja yang diharapkan. Shermon (2005) membagi kompetensi dalam enam tingkat, yaitu : (1) ketrampilan (skill), adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan tugas dengan baik, (2) pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu, (3) konsep diri (selfconcept atau social role), yakni sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang dan diekspresikan dalam berkehidupan sehari-hari di masyarakat, (4) gambaran diri (self image), yaitu pandangan seseorang terhadap diri sendirinya sendiri yang merekflesikan identitasnya, (5) ciri atau sifat (trait), adalah karakteristik abadi dari seorang yang membuat orang berperilaku, dan (6) motif (motive), yakni suatu dorongan seseorang untuk berperilaku secara konsisten. Dari ke enam tingkat kompetensi tersebut di atas, skill dan knowledge relatif lebih nampak sebagai karakteristik seseorang. Sementara itu, social role dan self image cenderung sedikit nampak dan dikontrol perilaku dari luar. Sedangkan trait dan motive letaknya lebih dalam pada pusat kepribadian. Oleh karena itu, skill dan knowledge lebih mudah dikembangkan dibanding kompetensi yang lain, misalnya melaui program pendidikan dan pelatihan. Trait dan motive cukup sulit dinilai dan dikembangkan karena berada pada pusat kepribadian sesorang. Sedangkan social role dan self image berada diantara keduanya dan dapat dirubah melalui pelatihan atau terapi. Ketrampilan (skill) menurut Encarta (2006) adalah ”ability to do something well : the ability to do something well, usually gained through training or experience”. Berdasarkan pengertian ini dan dikaitkan dengan pengertian kompetensi sebagaimana dijelaskan di atas, tampak bahwa kompetensi tidak dapat dilepaskan dari
50
keterampilan seseorang. Selanjutnya, dapat pula dijelaskan bahwa kompetensi yang tinggi dapat dicapai dengan keterampilan yang tinggi. Keterampilan yang tinggi dapat dicapai melalui kegiatan pelatihan dan pengalaman. Adapun pengetahuan (knowledge), juga menurut Encarta (2006), adalah “information in mind : general awareness or possession of information, facts, ideas, truths, or principles specific information: clear awareness or explicit information, e.g. of a situation or fact”. Dari penjelasan tersebut tampak bahwa pengetahuan secara bersama-sama dengan keterampilan menentukan kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan secara efektif. Seseorang dikategorikan ahli (expert) apabila memiliki tingkat keterampilan dan pengetahuan yang tinggi mengenai subjek atau bidang tertentu. Pada dataran implementasi, tingkat kompetensi khususnya dari aspek ketrampilan dan pengetahuan akan terkait dengan bidang pekerjaannya. Oleh karena itu, analisis kompetensi terhadap seseorang dapat dilakukan dengan menganalisis ketrampilan dan pengetahuan orang dimaksud dalam bidang pekerjaannnya. Menurut Shermon
(2005),
analisis
tersebut
dapat dilakukan melalui suatu proses
pengidentifikasian sederhana dari keterampilan teknis dan performa penting untuk dapat melakukan pekerjaan dengan baik, yaitu : (1) mengidentifikasi keahlian suatu pekerjaan, mengumpulkan informasi tentang pekerjaan tersebut, (2) mengidentifikasi kegiatan-kegiatan penting dari suatu pekerjaan, dan (3) merinci fungsi-fungsi pekerjaan yang penting Disamping pengetahuan dan ketrampilan, prestasi kerja seseorang akan ditentukan oleh motivasi. Srimulyo (1999) mengemukakan bahwa kinerja atau prestasi kerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : faktor kemampuan, meliputi pengetahuan dan ketrampilan, serta faktor motivasi. Keterampilan dan pengetahuan yang tinggi belum memungkinkan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan dengan baik apabila tidak didukung oleh motivasi yang kuat. Motiv, menurut kamus Encarta 2006, diartikan sebagai alasan untuk melakukan pekerjaan dengan suatu cara yang spesifik. Motiv tersebut yang menyebabkan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau seseorang cenderung atau berkeinginan untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu, kompetensi seseorang akan
51
optimal untuk pencapaian suatu tujuan apabila didasari oleh ketrampilan dan pengetahuan yang tinggi atau luas serta didukung motivasi yang kuat. Lebih lanjut, Herzberg (1987) dalam Usmara (2006) mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua faktor tentang motivasi, yakni faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation. Faktor pemuas merupakan faktor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri sendiri, meliputi : prestasi yang diraih (achievement), pengakuan orang lain (recognition), tanggungjawab (responsibility), peluang untuk maju (advancement), kepuasan kerja dan peluang pengembangan karir (possibility of growth). Sementara itu, faktor pemelihara merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan seseorang untuk memelihara keberadaannya sebagai manusia, meliputi : kompensasi, keamanan dan keselamatan kerja, kondisi kerja, status, prosedur perusahaan/instansi dan kualitas hubungan interpersonal di antara kolega, dengan atasan dan dengan bawahan. 2.5.2 Kompetensi SDM dan produk perikanan prima Sebagaimana diuraikan di atas, kriteria produk perikanan prima adalah bermutu tinggi dan aman dikonsumsi, bernilai tambah tinggi dan berdaya saing tinggi. Berdasarkan ketentuan yang berlaku secara internasional, untuk mencapai produk perikanan yang bermutu tinggi dan aman bagi konsumen, perusahaan perikanan harus menerapkan Program Manajemen Mutu Terpadu berdasarkan konsepsi HACCP. Menurut Huss et al. (2004), salah satu kunci sukses dalam penerapan HACCP adalah traning personil, baik personil yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Hal ini mengandung makna bahwa produk perikanan yang bermutu dan aman tidak akan dapat dicapai apabila SDM yang terlibat tidak mempunyai kompetensi di bidang penerapan HACCP. Sementara itu, Anderson & Hall (2006) mengatakan bahwa kunci sukses pengembangan value added products pada level perusahaan adalah terletak pada strategi bisnis yang ditempuh. Salah satu strategi yang dimaksud adalah menyangkut analisis kebutuhan personil, termasuk ketrampilan dan pelatihan yang dibutuhkan.
52
Hal ini karena pengolahan value added products memerlukan input teknologi dan kreativitas, sehingga personil yang terlibat dalam pengolahan tersebut harus mempunyai kompetensi khusus (tertentu). Dalam kaitannya dengan daya saing, Porter (1990) mengatakan bahwa kata kuncinya adalah produktivitas, yang definisinya adalah nilai luaran (output) yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa produktivitas yang tinggi hanya dapat diperoleh dari tenaga kerja yang mempunyai kompetensi tinggi. Dengan demikian, kompetensi SDM sangat berpengaruh terhadap daya saing.
2.6 Pemodelan Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling-SEM) Ghozali (2001) mengemukakan bahwa hubungan kausal antar peubah dalam pendidikan disamping ada yang sederhana terdapat juga yang rumit. Hubungan kausal yang sederhana adalah hubungan yang langsung, sedangkan yang hubungan kausal yang rumit adalah hubungan yang bukan hanya langsung tetapi juga tidak langsung. Selain itu, banyak peubah yang tidak dapat diukur secara langsung melainkan berupa peubah laten yang harus dibentuk oleh peubah-peubah lain yang dapat diukur. Untuk menganalisis hubungan kausal yang sederhana, dimana hanya terdapat pengaruh langsung dari peubah bebas terhadap peubah terikat dan semua peubah dapat diukur secara langsung maka dapat menggunakan model regresi. Apabila pengaruh dari peubah-peubah bebas terhadap peubah-peubah terikat adalah langsung dan juga tidak langsung maka dapat menggunakan model jalur (path model). Sedangkan apabila peubah-peubah tersebut tidak dapat diukur langsung maka harus membentuk peubah laten dengan menggunakan peubah-peubah indikator yang dapat diukur langsung dengan bantuan model pengukuran (measurement model). Apabila kita ingin menganalisis hubungan kausal antar peubah laten, dapat menggunakan pemodelan persamaan struktural (SEM) yang mencakup model jalur dan model pengukuran. Salah satu metoda yang dapat digunakan untuk menganalisis hubungan kausal seperti di atas adalah Structural Equation Modeling (SEM). Wibowo (2005) mengemukakan bahwa SEM merupakan suatu metode statistika yang menggunakan
53
pendekatan hipotesis testing atau dikenal dengan istilah confirmatory mengandung dua aspek penting, yaitu proses yang dikaji ditampilkan dalam bentuk persamaan struktural (regresi) dan relasi struktural dari persamaan yang dapat dibuat model secara visual, sehingga memudahkan konseptualisasi suatu teori yang akan dikaji. Structural equation modeling mencakup measurement model dan path model. Measurement model menspesifikasikan hubungan antara latent variable dan observed variables yang digunakan untuk mengkonstruksinya. Sedangkan path model menspesifikasikan hubungan sebab akibat antar latent variables, menjelaskan sebab akibat serta mengidentifikasi variasi yang dapat dijelaskan dan yang tidak dapat dijelaskan. Model ini juga menjelaskan kehandalan (reliability) dan keabsahan (validity) dari hubungan tersebut (Mueller, 1996 dalam Ghozali, 2001). Jadi di dalam SEM dapat dilakukan tiga kegiatan secara serempak, yaitu pemeriksaan validitas dan realibilitas instrumen (setara dengan confirmatory factor analysis), pengujian model antar latent variables (setara dengan path model) dan pembuatan model untuk perkiraan (setara dengan structural model atau regression analysis). Ada tiga hal penting yang terlibat pada SEM. Pertama, struktur yang spesifik antara peubah laten eksogen dan endogen harus sudah terstruktur (sudah dapat dihipotesiskan dan atau menggunakan pendekatan confirmatory). Kedua, harus sudah ditetapkan bagaimana untuk mengukur peubah laten eksogen, dan ketiga pengukuran model untuk peubah laten endogen harus sudah dideterminasikan (Wibowo, 2005). Lebih lanjut, Wibowo (2005) mengemukakan bahwa fenomena yang bersifat abstrak akan menjadi kajian selanjutnya disebut sebagai peubah laten atau unobserved variable. Oleh karena itu, secara operasional peubah laten harus dikaitkan dengan suatu peubah lain yang bersifat observed, sehingga peubah yang dapat diamati merupakan indikator dari peubah tersebut atau dengan kata lain peubah indikator adalah suatu peubah yang observed. Untuk menjelaskan kaitan analisis faktor, path analysis dan measurement model dalam SEM, dibuat ilustrasi seperti terlihat pada Gambar 8, 9 dan 10.
54
Pada Gambar 10, lambang berbentuk segi empat berisi peubah manifes atau observed variable atau yang disimbolkan dengan X untuk peubah bebas dan Y untuk peubah terikat. Lambang berbentuk oval berisi peubah laten atau peubah konstruk, yang disimbolkan dengan Ksi (ξ) untuk peubah laten X (peubah eksogen) dan Eta (η) untuk peubah laten Y (peubah endogen). Besarnya pengaruh/relasi/hubungan dari peubah manifes terhadap peubah laten disebut factor loading yang diberi simbol lambda (λ). Sedangkan galat pengukuran pada peubah manifes untuk peubah X disimbolkan delta (δ) dan galat pengukuran pada peubah manifes untuk peubah laten Y diberi simbol epsilon (ε). Simbol gamma (γ) merupakan parameter atau koefisien pengaruh peubah eksogen terhadap peubah endogen.
δ1 δ2 δ3 δ4
X1
λ1 Ksi 1 (ξ1)
X2
λ2
X3
λ3
Y1 Eta 1 (η1) Y2
Ksi 2 (ξ2) X4
ε1
λ4 Gambar 8 Faktor model (Wibowo, 2005).
X1 Y1 X2 Y2 X3
Gambar 9 Analisis jalur atau struktural model (Wibowo, 2005).
ε2
55
δ1 δ2 δ3 δ4
X1
λ1 Ksi 1 (ξ1)
X2
λ2
X3
λ3
Y1
γ Eta 1 (η1)
Y2
Ksi 2 (ξ2) X4
ε1
ε2
λ4 Gambar 10 Structural equation modeling (Wibowo, 2005).
Salah satu paket perangkat lunak komputer yang digunakan untuk mengoperasikan metoda SEM adalah Linear Structural Relationship (LISREL), sehingga metode SEM disebut juga metoda LISREL. Metoda LISREL mengestimasi koefisien-koefisien dari sejumlah persamaan struktural yang linear. Metode ini secara khusus dirancang untuk mengakomodasi bentuk-bentuk recursive dan reciprocal causation, simultaneity, interdependence, latent variables, dan measurement errors. Karenanya, metode ini dapat menganalisis model-model dari bentuk yang relatif paling sederhana seperti multiple regression dan multivariate regression sampai yang semakin rumit seperti path analysis, confirmatory factor analysis, dan full structural equation model (Jöreskog dan Sörbom 1996 dalam Ghozali, 2001). Perangkat lunak komputer lainnya yang sering digunakan dalam SEM adalah Program AMOS (Analysis of Moment Structures) atau dengan kata lain ”Analisis Struktur Rata-Rata dan Struktur Kovarian” (Byrne, 2001). Langkah-langkah pemodelan SEM menurut Wibowo (2005) adalah sebagai berikut : 1) Pengembangan
model
berbasis
konsep
dan
teori, yaitu
prinsipnya
menganalisis hubungan kausal antar peubah eksogen dan endogen, sekaligus memeriksa validitas dan reabilitas instrumen penelitian; 2) Pembentukan path diagram, yang bermanfaat untuk menunjukkan alur hubungan kausal antar peubah eksogen dan endogen. Untuk melihat alur
56
hubungan kausal dibuat beberapa model kemudian diuji dengan menggunaan SEM untuk mendapatkan model yang paling tepat dengan kriteria goodness of fit. 3) Penterjemahan path diagram ke dalam persamaan (model struktural), dengan mengkonversikan path diagram ke dalam model matematika. Sebagai contoh, model matematika untuk Gambar 8 adalah sebagai berikut : X1 = λ1 ξ1 + δ1 X2 = λ2 ξ2 + δ2 X3 = λ3 ξ3 + δ3 X4 = λ4 ξ4 + δ4 Y1 = λ1 η1 + ε1 Y2 = λ2 η2 + ε2 4) Pemilihan matrik input. Data input untuk SEM dapat berupa matriks korelasi atau matriks kovarian. Input data berupa matriks kovarian, bilamana tujuan dari analisis adalah pengujian suatu model yang telah mendapatkan justifikasi teori, sedangkan input data matriks korelasi dapat digunkan bilamana tujuan analisis ingin mendapatkan penjelasan mengenai pola hubungan kausal antar peubah laten; 5) Identifikasi masalah. Permasalahan yang sering muncul di dalam structural model adalah pendugaan parameter, bisa unidentified atau under identified, yang menyebabkan proses pendugaan parameter tidak memperoleh solusi, atau bisa juga overidentified yang mengakibatkan proses pendugaan tidak menghasilkan penduga yang unik dan model tidak bisa dipercaya; 6) Evaluasi kecocokan model (goodness of fit). Untuk mendapatkan model hasil analisis yang valid diperlukan beberapa asumsi yaitu asumsi yang berkaitan dengan model dan asumsi pendugaan parameter serta asumsi pengujian hipotesis. Asumsi untuk model di dalam SEM diantaranya bahwa hubungan antar peubah bersifat linier, model bersifat aditif. Asumsi pendugaan parameter dan pengujian hipotesis diantaranya antar unit pengamatan saling bebas, jumlah sampel cukup besar agar dapat diasumsikan sampel tersebut akan mendekati distribusi normal.
57
Secara garis besar uji kecocokan model dapat dipilah menjadi empat hal, yaitu : pengujian parameter hasil dugaan, uji model keseluruhan, uji model structural, dan uji model pengukuran (validitas dan reabilitas); 7) Interpretasi dan modifikasi model. Bila model sudah baik maka model dapat diinterpretasikan, tetapi bila belum baik maka perlu dilakukan modifikasi model.
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan melalui tahapan persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data. Tahap persiapan dan pengumpulan data dilakukan selama 10 bulan, mulai bulan April 2006 sampai dengan Januari 2007. Pengolahan dan analisis data dilakukan mulai bulan Januari sampai dengan Mei 2007. Kegiatan persiapan, pengolahan dan analisis data dilaksanakan di Jakarta, sedangkan pengumpulan data dilakukan di enam provinsi di Pulau Jawa (Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur). Tabel 5 Tahapan pelaksanaan penelitian No.
Tahapan
1 2 3 4
Persiapan Pengumpulan data Pengolahan data Analisis data
2006 2007 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5
Tempat Jakarta Pulau Jawa*) Jakarta Jakarta
Keterangan : *) meliputi Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. 3.2 Kerangka Analisis Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan teori yang bersifat kualitatif ke dalam perangkat statistik untuk diteliti secara kuantitatif. Dari konstruksi yang menggambarkan hubungan antara kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia dengan produk perikanan prima, ditentukan empat peubah utama, yaitu : produk perikanan prima (Y), kebijakan publik (X1), orientasi kewirausahaan (X2) dan kompetensi sumberdaya manusia (X3). Definisi operasional setiap peubah utama tersebut disajikan pada Tabel 6. Peubah produk perikanan prima (Y) adalah peubah terikat (dependen) yang dipengaruhi oleh tiga peubah lainnya, yaitu kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia. Pada saat ini, ukuran yang digunakan untuk
59
Tabel 6 Definisi operasional peubah utama Peubah Utama Produk perikanan prima (Y)
Definisi Produk perikanan prima dapat didiskripsikan sebagai produk yang berasal dari sumberdaya ikan dan diolah sedemikian rupa sehingga nilainya bertambah serta mempunyai performa yang sangat baik sehingga dapat ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Produk perikanan prima setidak-tidaknya harus memenuhi tiga kriteria, yakni bermutu tinggi dan aman dikonsumsi, bernilai tambah tinggi dan berdaya saing tinggi.
Kebijakan publik (X1)
Dari beberapa definisi dan konsep kunci mengenai kebijakan publik dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik dibuat oleh pemerintah berupa tindakan-tindakan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, mempunyai tujuan tertentu dan ditujukan untuk kepentingan masyarakat (Suharto, 2005). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kebijakan publik adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan.
Orientasi kewirausahaan ( X2)
Lumpkin & Dess (1996) mendefinisikan orientasi kewirausahaan sebagai suatu proses, praktik dan aktivitas pengambilan keputusan yang menghasilkan suatu terobosan baru (new entry). Dimensi orientasi kewirausahaan mencakup proactiveness, innovativeness, dan risk taking (Miller, 1983)
Kompetensi sumberdaya manusia (X3)
Kompetensi merupakan karakteristik yang mendasari seseorang yang memungkinkan orang tersebut menunjukkan kinerja superior dalam suatu pekerjaan, tugas atau situasi (Shermon, 2004)
menentukan produk perikanan prima belum dibakukan. Namun mengacu kepada kriteria produk perikanan prima serta berdasarkan pengalaman dan diskusi dengan berbagai pihak yang berkompeten, maka dalam penelitian ini peubah produk perikanan prima ditentukan dengan menggunakan tiga peubah terukur, yakni : mutu dan keamanan produk (Y1), nilai tambah (Y2), dan daya saing (Y3). Kebijakan publik (X1) merupakan peubah bebas yang dibentuk (dikonstruksi) oleh 16 peubah terukur, yaitu : (1) tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai
60
untuk mengadakan kebijakan adalah rasional (X1.1), (2) tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai untuk mengadakan kebijakan adalah diinginkan (desirable) (X1.2), (3) asumsi yang digunakan dalam perumusan kebijakan adalah realistis (X1.3), (4) informasi yang digunakan sebagai dasar dalam perumusan kebijakan adalah lengkap dan benar (X1.4), (5) mampu menyebarkan aspek-aspek positif dari kebijakan yang dilaksanakan (X1.5), (6) cukup advokatif dalam hal terjadi perbedaan pandangan (X1.6),(7) antisipatif dalam menghadapi perubahan di lapangan (X1.7), (8) sumberdaya manusia yang tersedia mendukung pelaksanaan kebijakan (X1.8), (9) pelaksanaan kebijakan didukung ketersediaan anggaran (X1.9), (10) sarana prasarana (logistik) yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan tersedia secara memadai (X1.10), (11) informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan cukup tersedia (X1.11), (12) kebijakan publik yang dilaksanakan memperoleh legitimati, yakni tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta mendapat dukungan dari lembaga yang berwenang memberi kepercayaan atau melimpahkan kewenangan (X1.12), (13) adanya keikutsertaan (partisipasi) masyarakat luas dalam pelaksanaan kebijakan (X1.13), (14) kepatuhan aparat Pemerintah Pusat (Departemen Kelautan dan Perikanan) terhadap ketentuan dalam kebijakan (X1.14), (15) kepatuhan aparat Pemerintah Daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan) terhadap ketentuan dalam kebijakan (X1.15), dan (16) kepatuhan karyawan perusahaan terhadap ketentuan dalam kebijakan (X1.16). Orientasi kewirausahaan (X2) juga merupakan peubah bebas yang mempunyai peranan terhadap produk perikanan prima. Indikator peubah ini ada delapan, yaitu : (1) tindakan-tindakan kompetitif yang dilakukan oleh perusahaan (X2.1), (2) teknikteknik baru dalam pengolahan ikan dan manajemen mutu yang dikembangkan oleh perusahaan (X2.2), (3) sikap kompetitif yang ditunjukkan perusahaan dalam menghadapi
persaingan
(X2.3),
(4)
kepemimpinan
dalam
penelitian
dan
pengembangan (X2.4), (5) jenis-jenis produk baru yang dihasilkan oleh perusahaan (X2.5), (6) perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap produk (X2.6), (7) kecenderungan berani mengambil resiko yang ditunjukkan oleh perusahaan (X2.7), dan (8) keberanian menghadapi lingkungan bisnis yang kompetitif (X2.8).
61
Kompetensi sumberdaya manusia (X3) merupakan peubah bebas ketiga yang diteliti dalam kaitannya dengan produk perikanan prima, yang dikonstruksi oleh sembilan peubah terukur, yaitu : (1) pengetahuan mengenai sistem manajemen mutu berdasarkan konsepsi HACCP (X3.1), (2) pengetahuan mengenai penerapan teknologi pengolahan produk bernilai tambah tinggi (X3.2), (3) ketrampilan mengenai penerapan sistem manajemen mutu berdasarkan konsepsi HACCP (X3.3.), (4) ketrampilan mengenai penerapan teknologi pengolahan produk bernilai tambah tinggi (X3.4), (5) perusahaan memberikan penghargaan bagi karyawan yang berprestasi, sehingga mendorong karyawan untuk meningkatkan kinerjanya (X3.5), (6) perusahaan memberi kesempatan kepada karyawan untuk berkembang (X3.6), (7) perusahaan memberikan upah/gaji dan fasilitas lain sesuai prestasi kerja (X3.7), (8) perusahaan menetapkan jenjang karier secara jelas (X3.8), dan (9) komunikasi interpersonal di perusahaan berjalan dengan baik (X3.9). Masing-masing peubah bebas dapat berinteraksi satu sama lain dalam mempengaruhi produk perikanan prima. Oleh karena itu dilakukan juga analisis mengenai interaksi setiap peubah bebas dalam mempengaruhi produk perikanan prima. Secara rinci, kerangka analisis penelitian ini disajikan pada Gambar 11.
3.3 Metoda Analisis Metoda analisis data yang digunakan adalah path analysis atau Structural Equation Modeling (SEM), karena penelitian ini melibatkan beberapa peubah sekaligus yang saling berhubungan secara simultan, dimana satu peubah terikat akan menjadi peubah bebas pada hubungan berikutnya. Metoda ini dalam beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya telah terbukti sangat tepat digunakan untuk menganalisis hubungan seperti itu. Wibowo (2005) mengemukakan bahwa SEM merupakan suatu metoda statistika yang menggunakan pendekatan hipotesis testing atau dikenal dengan istilah confirmatory. Metoda ini mengandung dua aspek penting, yaitu proses yang dikaji ditampilkan dalam bentuk persamaan struktural (regresi) dan relasi struktural dari persamaan yang dapat dibuat model secara visual, sehingga memudahkan konseptualisasi suatu teori yang akan dikaji.
62 δ12
X1.12 δ13 δ14 δ15 δ16
X1.13
λ13
X1.14
λ14
X1.15 X1.16
δ11
δ10
X1.11 X1.10 X1.9 λ12
X2.1
λ17
δ18
X2.2
λ18
δ19
X2.3
δ22
λ21
X2.5
λ22
δ24
X2.8
δ25
λ7
λ6
λ5
λ4
λ15 λ16
λ2 λ1
X1.4
δ4
X1.3
δ3
X1.2
δ2
X1.1
δ1
γ4 λ34
γ1
Orientasi Kewirausahaan (X2)
Produk Perikanan Prima (Y)
γ2
γ6
γ3 γ5
X3.2 δ26
Y1
λ35
Y2
Kompetensi SDM (X3)
λ27
λ26
X3.3 δ27
λ28
λ29
X3.4
X3.5
X3.6
X3.7
X3.8
X3.9
δ29
δ30
δ31
δ32
δ33
δ28
λ30
λ31
λ32
ε1
ε2
λ36
Y3
λ24
λ25
X3.1
λ8
X1.5
X1.6
λ23
X2.6 X2.7
X1.7
δ5
δ6
λ3
λ19
X2.4
δ23
X1.8 λ9
λ11 λ10
λ20
δ21
δ7
Kebijakan Publik (X1)
δ17
δ20
δ8
δ9
λ33
Gambar 11 Model peranan kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia dalam pengembangan Produk Perikanan Prima.
ε3
63
SEM mencakup measurement model dan path model. Measurement model menspesifikasikan hubungan antara peubah laten (latent variable) dan peubah terukur (observed variables) yang digunakan untuk mengkonstruksinya. Sedangkan path model menspesifikasikan hubungan sebab akibat antar peubah laten dan menjelaskan sebab akibat serta mengidentifikasi variasi yang dapat dijelaskan dan yang tidak dapat dijelaskan. Dalam analisis SEM, terdapat dua kelompok konstruksi, yaitu : (1) konstruksi eksogen (exogenous constructs), dikenal juga sebagai “source variable” atau “independent variable”, yakni peubah yang tidak diprediksi oleh peubah lain dalam model; dan (2) konstruksi endogen (endogenous constructs), merupakan faktor-faktor yang diprediksi oleh satu atau beberapa konstruk endogen lainnya. Dalam penelitian ini, produk perikanan prima merupakan peubah laten endogen (endogenous latent variable) yang dipengaruhi oleh tiga peubah laten eksogen (exogenous latent variable), yakni kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia. Ketiga peubah laten eksogen tersebut dipengaruhi oleh berbagai peubah eksogen terukur, demikian juga produk perikanan prima ditunjukkan oleh beberapa peubah endogen yang diamati (observed endogenous variables). Paket
perangkat
lunak
komputer
yang
sering
digunakan
untuk
mengoperasikan metoda SEM adalah Linear Structural Relationship (LISREL) dan Program AMOS (Analysis of Moment Structures). Disamping itu, terdapat pula program lainnya yang biasa digunakan untuk menganalisis data dengan metoda SEM yaitu PRELIS dan SIMPLIS (Byrne, 2001). Di Indonesia, penelitian dengan menggunakan metoda SEM sudah cukup banyak dilakukan. Soehadi (2004) menggunakan SEM (AMOS 3,61) untuk menganalisis hubungan antara kemitraan dengan suplier, peubah lingkungan dan kinerja unit usaha dalam industri retail di Indonesia. Penelitian ini dilakukan terhadap 172 unit usaha (firm) retail yang meliputi : toko makanan, department store, toko pakaian, toko olahraga, toko furnitur, toko elektronik, toko optik, toko bahan kimia, toko buku dan lainnya.
64
Sementara itu, Sandjojo (2004) menggunakan SEM (AMOS) untuk mengolah data dalam penelitian mengenai pengaruh lingkungan usaha, sifat wirausaha dan motivasi usaha terhadap pembelajaran wirausaha, kompetensi wirausaha dan pertumbuhan usaha kecil di Jawa Timur. Unit sampel penelitian ini adalah usaha kecil yang bergerak di bidang makanan-minuman, mebel, garmen, tas, dagang, pengrajin, hasil pertanian,
garmen dan bangunan yang tersebar di 13
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. SEM (LISREL 8.54) digunakan oleh Rachmadi (2005) untuk mengolah data dalam penelitiannya mengenai model pengembangan kinerja franchise di Indonesia. Gerai franchise yang menjadi sampel penelitian ini berjumlah 141 gerai, terdiri atas 107 gerai franchise Mc Donald’s dan 34 gerai franchise Rumah Makan Sederhana yang tersebar di berbagai kota di Indonesia, yakni Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Solo, Samarinda, Denpasar, Mataram, Medan, Pekanbaru dan Batam. Atjo (2006) juga menggunakan SEM (LISREL 8.30) dalam penelitiannya mengenai pengaruh pengelolaan terhadap mutu benih dan kinerja budidaya udang windu di Sulawesi Selatan. Penelitian itu ditujukan untuk mengetahui status perbenihan dan pertambakan udang windu di Sulawesi Selatan, serta untuk mengetahui hubungan kausal antara peubah pengelolaan dan peubah lainnya terhadap mutu benih dan kinerja budidaya. Analisis SEM dalam penelitian ini menggunakan software Program AMOS 5 Second Order Full Version. Berdasarkan Gambar 11, model matematis penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Konstruksi persamaan “eksogen peubah laten”
Xij = λj Xi + δj Keterangan : • untuk i = 1 ; j = 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 • untuk i = 2 ; j = 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 • untuk i = 3 ; j = 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
(1)
65 • X1
= peubah eksogen laten “kebijakan publik”
• X2
= peubah eksogen laten “orientasi kewirausahaan”
• X3
= peubah eksogen laten “kompetensi sumberdaya manusia”
• λ
= factor loading
• δ
= galat pengukuran
• X1.1 = peubah pengamatan “rasionalitas tujuan kebijakan” • X1.2 = peubah pengamatan “keinginan masyarakat terhadap tujuan kebijakan” • X1.3 = peubah pengamatan “realistis tidaknya asumsi perumusan kebijakan” • X1.4 = peubah pengamatan “lengkap/benar tidaknya informasi dalam perumusan
kebijakan” • X1.5 = peubah pengamatan “kemampuan penyebaran manfaat kebijakan” • X1.6 = peubah pengamatan “advokatif tidaknya jika terjadi perbedaan pandangan” • X1.7 = peubah pengamatan “antisipatif tidaknya dalam menghadapi perubahan” • X1.8 = peubah pengamatan “dukungan SDM dalam pelaksanaan kebijakan” • X1.9 = peubah pengamatan “dukungan anggaran dalam pelaksanaan kebijakan” • X1.10 = peubah pengamatan “dukungan sarana prasarana dalam pelaksanaan
kebijakan” • X1.11 = peubah pengamatan “dukungan informasi dalam pelaksanaan kebijakan” • X1.12 = peubah pengamatan “legitimasi kebijakan yang dilaksanakan” • X1.13 = peubah pengamatan “partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan” • X1.14 = peubah pengamatan “kepatuhan aparat DKP thp ketentuan dlm kebijakan” • X1.15 = peubah pengamatan “kepatuhan aparat Dinas Perikanan dan Kelautan
terhadap ketentuan dalam kebijakan” • X1.16 = peubah pengamatan “kepatuhan karyawan perusahaan terhadap ketentuan
dalam kebijakan” • X2.1 = peubah pengamatan “tindakan-tindakan kompetitif yang dilakukan oleh
perusahaan” • X2.2 = peubah pengamatan “teknik-teknik baru dalam pengolahan ikan” • X2.3 = peubah pengamatan “sikap kompetitif dalam menghadapi persaingan” • X2.4 = peubah pengamatan “kepemimpinan dalam penelitian dan pengembangan”
66 • X2.5 = peubah pengamatan “jenis-jenis produk baru yang dihasilkan perusahaan” • X2.6 = peubah pengamatan “perubahan-perubahan terhadap produk” • X2.7 = peubah pengamatan “kecenderungan mengambil resiko” • X2.8 = peubah pengamatan “keberanian menghadapi lingkungan bisnis” • X3.1 = peubah pengamatan “pengetahuan mengenai sistem manajemen mutu
berdasarkan konsepsi HACCP” • X3.2 = peubah pengamatan “pengetahuan mengenai teknologi pengolahan produk
bernilai tambah tinggi” • X3.3 = peubah pengamatan “ketrampilan mengenai penerapan sistem manajemen
mutu berdasarkan konsepsi HACCP” • X3.4 = peubah pengamatan “ketrampilan mengenai teknologi pengolahan produk
bernilai tambah tinggi” • X3.5 = peubah pengamatan “perhargaan bagi karyawan yang berprestasi” • X3.6 = peubah pengamatan “kesempatan kepada karyawan untuk berkembang” • X3.7 = peubah pengamatan “upah/gaji dan fasilitas lain bagi karyawan” • X3.8 = peubah pengamatan “jenjang karier” • X3.9 = peubah pengamatan “komunikasi interpersonal pada perusahaan”
Masing-masing data peubah pengamatan tersebut di atas merupakan data rataan dari hasil pengukuran terhadap tiga responden pada setiap sampel penelitian. 2) Konstruksi persamaan “endogen produk perikanan prima”
Yi = λ i Y + εi Keterangan : • i
= 1, 2, 3
• Y
= Produk perikanan prima
• λ
= factor loading
• ε
= galat pengukuran
• Y1
= peubah pengamatan “mutu dan keamanan produk”
• Y2
= peubah pengamatan “nilai tambah produk”
(2)
67 • Y3
= peubah pengamatan “daya saing produk”
3) Konstruksi persamaan kausalitas eksogen vs. endogen
Y = γ1 X1 + γ2 X2 + γ3 X3 + γ4 (X1*X2) + γ5 (X1*X3) + γ6 (X2*X3) + ε
(3)
Keterangan : • Y
= Produk perikanan prima
• X1
= Kebijakan publik
• X2
= Orientasi kewirausahaan
• X3
= Kompetensi sumberdaya manusia
• γ
= koefisieen korelasi
• ε
= galat prediksi (residual) Model matematis tersebut di atas diidentifikasi untuk memastikan bahwa
model yang dispesifikasikan bukan merupakan model yang under-identified model atau unidentified model, karena proses pendugaan parameter tidak memperoleh solusi. Agar proses pendugaan menghasilkan penduga yang unik dan modelnya dapat dipercaya, maka model yang dispesifikasikan harus merupakan just-identified model atau over-identified model. Dalam persamaan simultan terdapat tiga jenis identifikasi, yaitu : 1) Under-identified model atau unidentified model, yakni model dimana jumlah parameter yang diestimasi lebih besar dari jumlah data yang diketahui (peubah terukur); 2) Just identified model, yakni model dimana jumlah parameter yang diestimasi sama dengan jumlah data yang diketahui (peubah terukur); dan 3) Over-identified model, yakni model dimana jumlah parameter yang diestimasi lebih kecil dari jumlah data yang diketahui (peubah terukur). Selain analisis dengan menggunakan SEM, dilakukan juga analisis secara diskriptif, yaitu analisis terhadap kondisi kini industri pengolahan ikan yang meliputi: tingkat utilisasi, pengembangan produk, pemasaran dan penyerapan tenaga kerja.
68
3.4 Pengumpulan Data 3.4.1 Sampel penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap populasi industri pengolahan ikan, dengan mengambil sampel unit pengolahan ikan beku yang ada di Pulau Jawa. Penggunaan sampel unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa sebagai representasi industri pengolahan ikan di Indonesia didasarkan pertimbangan bahwa pada tahun 2005, jumlah unit pengolahan ikan beku mencapai 61,2% dari total unit pengolahan ikan skala besar di Indonesia, yakni sebanyak 775 unit. Dari 474 unit pengolahan ikan beku di seluruh Indonesia, 189 unit (39,9%) diantaranya berada di Pulau Jawa (Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur). Berdasarkan pertimbangan di atas, jumlah unit pengolahan ikan yang direncanakan menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 189 unit. Namun pada saat dilakukan pengambilan data, diperoleh informasi bahwa 93 unit sudah tidak beroperasi, sembilan unit merupakan freezer vessel (kapal penangkap/pengangkut ikan yang dilengkapi mesin pembeku) dan 18 unit tidak bersedia memberikan data. Dengan demikian sampel penelitian ini berjumlah 69 unit pengolahan ikan. Rincian distribusi sampel dan kondisi unit pengolahan ikan lainnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Distribusi sampel penelitian dan kondisi unit pengolahan ikan beku lainnya No 1 2 3 4 5 6
Provinsi Banten Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Total
Aktif Beroperasi Tidak Freezer Bersedia*) Menolak Beroperasi Vessel 1 0 0 0 9 0 10 0 17 6 23 9 11 0 11 0 0 0 1 0 31 12 48 0 69 18 93 9
Jumlah
Keterangan : *) Bersedia memberikan data sehingga ditetapkan menjadi sampel penelitian
1 19 55 22 1 91 189
69
3.4.2 Metoda Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara survei terhadap 69 unit pengolahan ikan beku yang menjadi sampel penelitian. Survei tersebut dilaksanakan dengan menggunakan kuesioner dalam wawancara mendalam (indepth interview), yaitu wawancara terstruktur dengan responden dalam hal ini pimpinan dan karyawan unit pengolahan ikan beku. Adapun responden untuk setiap aspek yang diteliti adalah sebagai berikut : 1) Responden untuk mendapatkan data mengenai peubah produk perikanan prima adalah pimpinan unit pengolahan ikan (direktur/general manager/plant manager/ manager). Jumlah responden setiap unit pengolahan ikan adalah satu orang, sehingga secara keseluruhan berjumlah 69 orang. 2) Responden untuk mendapatkan data mengenai peubah kebijakan publik dan peubah orientasi kewirausahaan adalah orang yang sama, yakni general manager/plant manager/manager/kepala bagian/kepala divisi. Jumlah responden setiap unit pengolahan ikan adalah tiga orang, sehingga jumlah seluruhnya adalah 207 orang. 3) Responden untuk memperoleh data mengenai peubah kompetensi sumberdaya manusia adalah karyawan yang terlibat langsung dalam pengolahan ikan dan dipilih secara acak, namun bekerja pada tahapan proses yang berbeda. Jumlah responden setiap unit pengolahan ikan adalah tiga orang, sehingga secara keseluruhan berjumlah 207 orang. Profil responden dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 8. Pengumpulan data primer juga dilakukan untuk mendapatkan data mengenai kondisi kini unit pengolahan ikan, meliputi : nama dan alamat unit pengolahan ikan, status penanaman modal dan izin usaha, kapasitas dan realisasi produksi, jenis-jenis produk yang dihasilkan, pemasaran produk (dalam dan luar negeri), jumlah karyawan, dan asal bahan baku. Sementara itu, pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka, yaitu penelusuran buku, laporan dan lain sebagainya yang relevan dengan materi penelitian. Data dimaksud antara lain : peraturan perundang-undangan yang terkait
70
Tabel 8 Profil responden penelitian No
Uraian
1
Umur • < 30 tahun • 31 – 40 tahun • 41 – 50 tahun • > 50 tahun Lama Bekerja • < 7 tahun • 8 – 13 tahun • 14 – 19 tahun • > 20 Pendidikan terakhir • > Sarjana/D4 • D3 • SLTA • SLTP • SD Jabatan • Direksi • GM/Plant Manager • Manager • Kabag/Kadiv • Karyawan Biasa
2
3
4
Peubah PPP Jml (org) %
Keterangan : - PPP = Produk perikanan prima - OK = Orientasi kewirausahaan
Peubah KP/OK Jml (org) %
Peubah KS Jml (org) %
18 29 18 4
26,08 42,03 26,09 5,80
60 104 30 13
28,99 50,24 14,50 5,27
109 93 4 1
52,66 44,93 1,93 0,48
43 14 11 1
62,32 20,29 15,94 1,45
131 44 25 7
63,29 21,26 12,08 3,37
145 52 10 0
70,05 25,12 4,83 0,00
52 10 7 0 0
75,36 14,50 10,14 0 0
123 41 43 0 0
59,42 19,80 20,78 0 0
30 4 127 28 18
14,49 1,93 61,35 13,53 8,70
7 11 51 0 0
10,14 15,95 73,91 0,00 0,00
0 13 93 101 0
0 6,28 44,93 48,79 0
0 0 0 0 207
0 0 0 0 100
- KP = Kebijakan publik - KS = Kompetensi sumberdaya manusia
dengan mutu dan keamanan produk perikanan serta pengolahan ikan, statistik perikanan, statistik ekspor hasil perikanan Indonesia, statistik ekspor hasil perikanan dunia, dan rencana strategis pembangunan perikanan. Berikut ini diuraikan metoda pengumpulan data untuk setiap peubah : 3.4.2.1 Pengumpulan data peubah produk perikanan prima Peubah produk perikanan prima ditentukan dengan menggunakan tiga peubah terukur, yakni : mutu dan keamanan produk, nilai tambah dan daya saing. Indikator mutu dan keamanan produk (Y1) adalah rata-rata rasio (%) kasus penahanan/ penolakan ekspor oleh Amerika Serikat, Jepang dan negara lain serta RASFF (Rapid Allert System for Food and Feed) oleh Uni Eropa terhadap seluruh frekuensi ekspor
71
(shipment) dalam lima tahun terakhir (2002-2006). Indikator nilai tambah (Y2) adalah rata-rata persentase (%) nilai tambah dari setiap produk yang dihasilkan. Sementara itu, indikator daya saing (Y3) adalah ratarata Indeks RCA (Revealed Comparative Advantages), yakni perbandingan pangsa suatu produk yg dihasilkan oleh suatu unit pengolahan ikan terhadap pangsa ekspor produk tersebut dari seluruh dunia dalam lima tahun terakhir (2002-2006). Data kasus penahanan/penolakan dan RASFF diambil dari data yang ada di unit pengolahan ikan dan dikonfirmasi dari sumber lain, yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi serta Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Nilai tambah dihitung dengan menggunakan formula yang dikembangkan dari Zugarramurdi (2003) sebagai berikut :
VA =
(P –TC) + IC X 100 % P
(4)
Keterangan : VA = Nilai tambah P
= Harga jual
TC = Unit biaya produksi total IC = Unit biaya tidak langsung Dalam analisis SEM, data nilai tambah dinormalisasi dari percent style menjadi comma style (50% menjadi 0,50; 25% menjadi 0,25; dan seterusnya). Daya saing dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut (Brasili, Epifani & Helg, 1999) :
RCAjit = (Xijt / Xit) / (Wit / Wt)
(5)
Keterangan : RCAjit = indeks daya saing ekspor produk i dari perusahaan j pada tahun t Xijt
= nilai ekspor produk i dari perusahaan j pada tahun t
Xit
= nilai ekspor total produk perikanan dari negara asal perusahaan j (Indonesia) pada tahun t
72
Wit
= nilai ekspor produk i di dunia pada tahun t
Wt
= nilai ekspor total produk perikanan dunia pada tahun t Namun karena data nilai ekspor produk perikanan Indonesia dan data nilai
ekspor produk perikanan dunia tidak tersedia, maka penghitungan indeks RCA menggunakan basis komoditas (bukan produk). 3.4.2.2 Pengumpulan data peubah kebijakan publik Peubah ini merupakan peubah bebas yang dianggap turut mempengaruhi dihasilkannya produk perikanan prima. Dalam penelitian ini, peubah kebijakan publik pada dasarnya adalah hasil evaluasi (monitoring) terhadap pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Abidin (2006) mengatakan bahwa proses pelaksanaan kebijakan publik, termasuk Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan di atas, berkaitan dengan empat faktor utama, yaitu faktor utama internal (meliputi faktor kebijakan yang sedang dilaksanakan dan faktor-faktor pendukung) dan faktor utama eksternal (meliputi faktor kondisi lingkungan dan faktor pihak terkait). Namun karena adanya berbagai keterbatasan, maka penelitian ini difokuskan kepada evaluasi faktor utama internal. Faktor yang paling dominan dalam proses pelaksanaan kebijakan adalah kondisi kebijakan itu sendiri, yaitu kualitas kebijakan dan ketepatan strategi pelaksanaan (Abidin, 2006). Secara umum suatu kebijakan dianggap berkualitas dan dapat dilaksanakan apabila : tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai untuk mengadakan kebijakan adalah rasional dan diinginkan (desirable), asumsi yang digunakan dalam perumusan kebijakan realistis, dan informasi yang digunakan sebagai dasar dalam perumusan kebijakan adalah lengkap dan benar. Ketepatan suatu strategi pelaksanaan kebijakan publik ditentukan oleh tiga hal, yaitu : kemampuan menyebarkan aspek-aspek positif dari kebijakan yang dilaksanakan, cukup advokatif dalam hal terjadi perbedaan pandangan, dan antisipatif dalam menghadapi perubahan di lapangan. Sementara itu, faktor utama internal kedua dalam proses pelaksanaan kebijakan adalah sumberdaya yang merupakan faktor
73
pendukung (supporting factors), meliputi; sumberdaya manusia, keuangan (finansial), logistik, informasi, legitimasi dan partisipasi masyarakat. Disamping evaluasi terhadap faktor-faktor tersebut di atas, aspek yang tidak kalah penting dalam monitoring pelaksanaan kebijakan publik adalah kepatuhan (Dunn, 2000). Oleh karena itu, penelitian ini juga akan mengevaluasi kepatuhan para aktor utama (aparat Departemen Kelautan dan Perikanan, aparat Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi serta karyawan unit pengolahan ikan) terhadap ketentuan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Berdasarkan uraian di atas, kebijakan publik merupakan peubah laten yang dibentuk (dikonstruksi) oleh 16 peubah terukur, meliputi : empat peubah indikator kualitas kebijakan, tiga peubah indikator strategi pelaksanan, lima peubah indikator faktor pendukung, dan tiga peubah indikator kepatuhan. Peubah indikator kualitas kebijakan, strategi pelaksanaan dan faktor pendukung diukur melalui observasi penerimaan responden terhadap pernyataan-pernyataan yang diajukan. Responsi responden dikelompokkan dalam lima skala penilaian (rating scale), yaitu : nilai 5 sangat setuju, nilai 4 setuju, nilai 3 ragu-ragu, nilai 2 tidak setuju dan nilai 1 sangat tidak setuju. Sementara itu, peubah indikator kepatuhan diukur melalui observasi langsung mengenai kesesuaian pelaksanaan ketentuan dalam kebijakan yang telah dilakukan oleh aparat Departemen Kelautan dan Perikanan, aparat Dinas Perikanan dan Kelautan serta karyawan unit pengolahan ikan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan lima skala penilaian, yaitu : nilai 5 untuk terbaik/terbesar/tertinggi dan nilai 1 untuk terjelek/terkecil/terendah. 3.4.2.3 Pengumpulan data peubah orientasi kewirausahaan Orientasi kewirausahaan juga merupakan peubah bebas yang mempunyai peranan terhadap produk perikanan prima. Dimensi orientasi kewirausahaan adalah proaktif (proactiveness), inovatif (innovativeness), dan keberanian mengambil resiko (risk taking) (Miller, 1983). Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan terdahulu, pengukuran orientasi kewirausahaan yang telah terbukti mempunyai
74
reliabilitas dan validitas tinggi adalah instrumen yang dikembangkan oleh Covin & Slevin (1988, 1989). Instrumen tersebut meliputi delapan aspek,
yaitu : (1)
kepemimpinan dalam penelitian dan pengembangan (R & D leadership), (2) jenisjenis produk baru (new product lines), (3) perubahan-perubahan produk (product changes), (4) tindakan-tindakan kompetitif (competitive actions), (5) teknik-teknik baru (new techniques), (6) sikap kompetitif (competitive posture), (7) kecenderungan berani mengambil resiko (risk taking proclivity), dan (8) keberanian menghadapi lingkungan (environmental boldness). Pengumpulan data peubah orientasi kewirausahaan dilakukan melalui observasi penerimaan responden terhadap pernyataan-pernyataan yang diajukan terkait dengan delapan aspek di atas. Responsi responden dikelompokkan dalam lima skala penilaian, yaitu : nilai 5 sangat setuju, nilai 4 setuju, nilai 3 ragu-ragu, nilai 2 tidak setuju dan nilai 1 sangat tidak setuju. 3.4.2.4 Pengumpulan data peubah kompetensi sumberdaya manusia Kompetensi sumberdaya manusia merupakan peubah bebas ketiga yang diteliti dalam kaitannya dengan produk perikanan prima. Shermon (2004) mengemukakan bahwa kompetensi merupakan karakteristik yang mendasari seseorang yang memungkinkan orang tersebut menunjukkan kinerja superior dalam suatu pekerjaan, tugas atau situasi. Kompetensi sumberdaya manusia dapat dibagi dalam dalam enam tingkat, yaitu : ketrampilan (skill), pengetahuan (knowledge), konsep diri (self-concept atau social role), gambaran diri (self image), ciri atau sifat (trait) dan motif (motive). Dari ke enam tingkat kompetensi tersebut, skill dan knowledge relatif lebih nampak sebagai karakteristik seseorang dan lebih mudah dikembangkan dibandingkan dengan tingkat kompetensi yang lain. Sementara itu, Srimulyo (1999) mengemukakan bahwa kinerja atau prestasi kerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : faktor kemampuan, meliputi pengetahuan dan ketrampilan, serta faktor motivasi. Herzberg (1987) dalam Usmara (2006) mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua faktor tentang motivasi,
yakni faktor
pemuas (motivation
factor)
yang
disebut
dengan
satisfier atau intrinsic motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor) yang
75
disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation. Faktor pemuas merupakan faktor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri sendiri, meliputi : prestasi yang diraih (achievement), pengakuan orang lain (recognition), tanggungjawab (responsibility), peluang untuk maju (advancement), dan kepuasan kerja dan peluang pengembangan karir (possibility of growth). Faktor pemelihara merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan seseorang untuk memelihara keberadaannya sebagai manusia, meliputi : kompensasi, keamanan dan keselamatan kerja, kondisi kerja, status, prosedur perusahaan/instansi, dan kualitas hubungan interpersonal di antara kolega, dengan atasan dan dengan bawahan. Bertitik tolak dari uraian di atas, peubah terukur dari kompetensi sumberdaya manusia berkaitan dengan pengetahuan, ketrampilan dan motivasi kerja. Peubah pengetahuan diukur melalui observasi pengetahuan responden terhadap pertanyaanpertanyaan yang diajukan terkait dengan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsepsi HACCP serta teknologi pengolahan ikan, khususnya produk bernilai tambah tinggi. Peubah ketrampilan diukur melalui observasi langsung penerapan PMMT berdasarkan konsepsi HACCP serta teknologi pengolahan ikan, khususnya produk bernilai tambah tinggi yang dilakukan oleh responden. Sementara itu, pengukuran peubah motivasi kerja dilakukan melalui observasi penerimaan responden terhadap pernyataan-pernyataan yang diajukan terkait dengan harapan untuk berprestasi, kesempatan berkembang, upah/gaji, jenjang karier dan komunikasi (Andraeni, 2003). Responsi responden dikelompokkan dalam lima skala penilaian, yaitu : nilai 5 sangat setuju, nilai 4 setuju, nilai 3 ragu-ragu, nilai 2 tidak setuju dan nilai 1 sangat tidak setuju.
3.5 Hipotesa Analisis Penelitian ini pada dasarnya ditujukan untuk mengetahui hubungan kausalitas antara kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia serta interaksi antar ketiga peubah tersebut dengan produk perikanan prima.
76
Berdasarkan landasan teori dan beberapa penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini diajukan beberapa hipotesa sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Hipotesa analisis Kode Peubah H0 1) Kebijakan publik dan produk perikanan prima H1.1 Rasionalitas tujuan Rasionalitas tujuan kebijakan publik menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik H1.2 Keinginan Keinginan masyarakat masyarakat terhadap terhadap tujuan menentukan tujuan kebijakan efektivitas pelaksanaan publik kebijakan publik Realistis tidaknya asumsi H1.3 Realistis tidaknya dalam perumusan asumsi dalam perumusan kebijakan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik publik Lengkap dan benar tidaknya H1.4 Lengkap dan benar informasi dalam perumusan tidaknya informasi menentukan efektivitas dalam perumusan pelaksanaan kebijakan publik kebijakan publik H1.5 Kemampuan Kemampuan penyebaran penyebaran manfaat manfaat menentukan kebijakan publik efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Advokatif tidaknya jika H1.6 Advokatif tidaknya jika terjadi perbedaan terjadi perbedaan pandangan menentukan efektivitas pandangan dalam pelaksanaan kebijakan publik pelaksanaan kebijakan publik Antisipatif tidaknya dalam H1.7 Antisipatif tidaknya menghadapi perubahan di dalam menghadapi lapangan menentukan perubahan di efektivitas pelaksanaan lapangan dalam kebijakan publik pelaksanaan kebijakan publik H1.8 Dukungan SDM Dukungan SDM menentukan dalam pelaksanaan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik kebijakan publik H1.9 Dukungan anggaran Dukungan anggaran dalam pelaksanaan menentukan efektivitas kebijakan publik pelaksanaan kebijakan publik H1.10 Dukungan sarana dan Dukungan saranan dan prasarana dalam prasarana menentukan pelaksanaan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik kebijakan publik
H1 Rasionalitas tujuan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Keinginan masyarakat terhadap tujuan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Realistis tidaknya asumsi dalam perumusan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Lengkap dan benar tidaknya informasi dalam perumusan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Kemampuan penyebaran manfaat tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Advokatif tidaknya jika terjadi perbedaan pandangan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Antisipatif tidaknya dalam menghadapi perubahan di lapangan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Dukungan SDM tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Dukungan anggaran tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Dukungan saranan dan prasarana tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik
77
Tabel 9 Lanjutan Kode Peubah H1.11 Dukungan informasi dalam pelaksanaan kebijakan publik H1.12 Legitimasi kebijakan publik
H0 Dukungan informasi menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Legitimasi menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Partisipasi masyarakat menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik
H1 Dukungan informasi tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Legitimasi tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Partisipasi masyarakat tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik
Kepatuhan aparat DKP menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik
Kepatuhan aparat DKP tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik
Kepatuhan aparat Dinas Perikanan dan Kelautan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik
Kepatuhan aparat Dinas Perikanan dan Kelautan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik
Kepatuhan karyawan unit pengolahan ikan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik
Kepatuhan karyawan unit pengolahan ikan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik
Pelaksanaan kebijakan publik pada unit pengolahan ikan mempunyai pengaruh positif terhadap produk perikanan prima 2) Orientasi kewirausahaan dan produk perikanan prima Tindakan-tindakan H3.1 Tindakan-tindakan kompetitif yang dilakukan kompetitif yang oleh perusahaan menentukan dilakukan oleh tingkat orientasi perusahaan (unit kewirausahaan pengolahan ikan) H3.2 Teknik-teknik baru Teknik-teknik baru dalam dalam pengolahan pengolahan ikan menentukan ikan tingkat orientasi kewirausahaan H3.3 Sikap kompetitif Sikap kompetitif dalam dalam menghadapi menghadapi persaingan persaingan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan
Pelaksanaan kebijakan publik pada unit pengolahan ikan mempunyai pengaruh negatif terhadap produk perikanan prima
H1.13
H1.14
H1.15
H1.16
H2
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan publik Kepatuhan aparat DKP terhadap ketentuan dalam kebijakan publik Kepatuhan aparat Dinas Perikanan dan Kelautan terhadap ketentuan dalam kebijakan publik Kepatuhan karyawan unit pengolahan ikan terhadap ketentuan dalam kebijakan publik Kebijakan publik
Tindakan-tindakan kompetitif yang dilakukan oleh perusahaan tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Teknik-teknik baru dalam pengolahan ikan tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Sikap kompetitif dalam menghadapi persaingan tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan
78
Tabel 9 Lanjutan Kode Peubah H3.4 Kepemimpinan dlm penelitian dan pengembangan)
H0 Kepemimpinan dalam penelitian dan pengembangan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Jenis-jenis produk baru yang dihasilkan perusahaan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Perubahan terhadap produk menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Kecenderungan mengambil resiko menentukan tingkat orientasi kewirausahaan
H1 Kepemimpinan dalam penelitian dan pengembangan tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan H3.5 Jenis-jenis produk Jenis-jenis produk baru yang baru yang dihasilkan dihasilkan perusahaan tidak perusahaan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan H3.6 Perubahan terhadap Perubahan terhadap produk produk tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan H3.7 Kecenderungan Kecenderungan mengambil mengambil resiko resiko tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan H3.8 Keberanian Keberanian menghadapi Keberanian menghadapi menghadapi lingkungan bisnis lingkungan bisnis tidak lingkungan bisnis menentukan tingkat orientasi menentukan tingkat orientasi kewirausahaan kewirausahaan H4 Orientasi Orientasi kewirausahaan Orientasi kewirausahaan kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan perusahaan pengolahan ikan mempunyai pengaruh positif mempunyai pengaruh negatif terhadap produk perikanan terhadap produk perikanan prima prima 3) Kompetensi sumberdaya manusia dan produk perikanan prima Pengetahuan mengenai Pengetahuan mengenai H5.1 Pengetahuan sistem manajemen mutu sistem manajemen mutu mengenai sistem berdasarkan konsepsi berdasarkan konsepsi manajemen mutu HACCP tidak menentukan berdasarkan konsepsi HACCP menentukan kompetensi SDM kompetensi SDM HACCP Pengetahuan mengenai Pengetahuan mengenai H5.2 Pengetahuan teknologi pengolahan produk teknologi peng-olahan mengenai teknologi produk bernilai tambah bernilai tambah tinggi pengolahan produk tinggi tidak menentukan menentukan kompetensi bernilai tambah kompetensi SDM SDM tinggi Ketrampilan mengenai Ketrampilan mengenai H5.3 Ketrampilan mengenai penerapan penerapan sistem manajemen penerapan sistem manajemen mutu berdasarkan konsepsi mutu berdasarkan konsepsi sistem manajemen HACCP tidak menentukan HACCP menentukan mutu berdasarkan kompetensi SDM kompetensi SDM konsepsi HACCP Ketrampilan mengenai Ketrampilan mengenai H5.4 Ketrampilan teknologi pengolahan produk teknologi pengolahan produk mengenai teknologi bernilai tambah tinggi tidak bernilai tambah tinggi pengolahan produk menentukan kompetensi menentukan kompetensi bernilai tambah SDM SDM tinggi
79
Tabel 9 Lanjutan Kode Peubah H5.5 Pemberian penghargaan bagi karyawan yang berprestasi H5.6 Kesempatan karyawan untuk berkembang H5.7 Upah/gaji dan fasilitas lain bagi karyawan H5.8 Jenjang karier
H0 H1 Pemberian penghargaan bagi Pemberian penghargaan bagi karyawan berprestasi tidak karyawan berprestasi menentukan kompetensi menentukan kompetensi SDM SDM Kesempatan karyawan untuk Kesempatan karyawan untuk berkembang menentukan berkembang tidak menentukompetensi SDM kan kompetensi SDM Upah/gaji dan fasilitas lain Upah/gaji dan fasilitas lain bagi karyawan menentukan bagi karyawan tidak menenkompetensi SDM tukan kompetensi SDM Jenjang karier menentukan Jenjang karier tidak menenkompetensi SDM tukan kompetensi SDM H5.9 Komunikasi Komunikasi interpersonal Komunikasi interpersonal interpersonal pada pada perusahaan menentukan pada perusahaan tidak meperusahaan kompetensi SDM nentukan kompetensi SDM H6 Kompetensi SDM Kompetensi SDM pada unit Kompetensi SDM pada unit pengolahan ikan mempunyai pengolahan ikan mempunyai pengaruh positif terhadap pengaruh negatif terhadap produk perikanan prima produk perikanan prima 4) Interaksi kebijakan publik dengan orientasi kewirausahaan dan produk perikanan prima Interaksi kebijakan publik Interaksi kebijakan publik H7 Interaksi kebijakan dengan orientasi dengan orientasi publik dengan kewirausahaan mempunyai kewirausahaan mempunyai orientasi pengaruh negatif terhadap pengaruh positif terhadap kewirausahaan produk perikanan prima produk perikanan prima 5) Interaksi kebijakan publik dengan kompetensi SDM dan produk perikanan prima Interaksi kebijakan publik H8 Interaksi kebijakan Interaksi kebijakan publik dengan kompetensi SDM publik dengan dengan kompetensi SDM kompetensi SDM mempunyai pengaruh positif mempunyai pengaruh negatif terhadap produk perikanan terhadap produk perikanan prima prima 6) Interaksi orientasi kewirausahaan dengan kompetensi SDM dan produk perikanan prima Interaksi orientasi kewirausa- Interaksi orientasi kewirausaH9 Interaksi orientasi haan dengan kompetensi haan dengan kompetensi kewirausahaan SDM mempunyai pengaruh SDM mempunyai pengaruh dengan kompetensi negatif terhadap produk positif terhadap produk SDM perikanan prima perikanan prima 7) Indikator produk perikanan prima H10.1 Kasus penahanan/ Kasus penahanan/penolakan Kasus penahanan/penolakan penolakan dan dan RASSF merupakan dan RASSF bukan RASSF indikator produk perikanan merupakan indikator produk prima perikanan prima H10.2 Nilai tambah produk Nilai tambah produk Nilai tambah produk bukan merupakan indikator produk merupakan indikator produk perikanan prima perikanan prima
80
Tabel 9 Lanjutan Kode Peubah H10.3 Indeks RCA
H0 Indeks RCA merupakan indikator produk perikanan prima
H1 Indeks RCA bukan merupakan indikator produk perikanan prima
4 PEMBANGUNAN PERIKANAN DI WILAYAH PENELITIAN 4.1 Program Pembangunan Perikanan 4.1.1 Provinsi Banten Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten (2007) menyebutkan bahwa visi institusi tersebut untuk periode 2007 – 2012 adalah ”Banten Berwawasan Kelautan dan Perikanan 2012”. Untuk mewujudkan visi tersebut, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten mempunyai misi : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan dan pelaku usaha bidang kelautan dan perikanan lainnya, (2) mewujudkan peran sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi daerah, (3) meningkatkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan untuk menjamin terselenggaranya pembangunan yang berkelanjutan, (4) mengembangkan wawasan dan orientasi pembangunan kelautan dan perikanan, (5) meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik sektor kelautan dan perikanan. Adapun tujuan pembangunan yang ingin adalah : (1) meningkatkan produksi hasil-hasil perikanan, pendapatan nelayan dan pembudidaya ikan, (2) meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparatur, nelayan dan pembudidaya ikan serta menerapkan manajemen usaha profesional di bidang perikanan dan kelautan, (3) menyediakan infrastruktur dan meningkatkan investasi di bidang perikanan dan kelautan, (4) menyiapkan perangkat aturan pengelolaan dan meningkatkan pengawasan, pengendalian serta meningkatkan kepedulian masyarakat guna menjaga kelestarian sumber daya perikanan dan kelautan, (5) mengembangkan teknologi penangkapan ikan, budidaya ikan, pengolahan dan pembinaan mutu hasil perikanan, (6) meningkatkan konsumsi ikan per kapita bagi penduduk Provinsi Banten, dan (7) meningkatkan akses dan perluasan pasar hasil-hasil perikanan. Guna mencapai tujuan tersebut diatas, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten (2007) menetapkan kebijakan dan program-program pembangunan kelautan dan perikanan sebagai berikut :
82
1) Memberdayakan sosial ekonomi dan budaya masyarakat kelautan dan perikanan dan mengembangkan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dan program pengembangan sistem penyuluhan perikanan. 2) Mengembangkan perikanan budidaya yang berdaya saing dan berwawasan lingkungan, melalui program pengembangan budidaya perikanan dan program pengembangan kawasan budidaya laut, air payau dan air tawar. 3) Memperkuat dan mengembangkan usaha perikanan tangkap secara efisien, lestari dan berbasis kerakyatan, melalui program pengembangan perikanan tangkap. 4) Mengembangkan dan memperkokoh industri penanganan dan pengolahan serta pemasaran hasil, melalui program optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi perikanan. 5) Membangun pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat, melalui program pembinaan masyarakat pesisir dan pengembangan pulau-pulau kecil. 6) Meningkatkan pelayanan usaha dan pengendalian perizinan perikanan, melalui program peningkatan pelayanan usaha dan pengendalian perizinan perikanan. 7) Mengembangkan budaya tertib hukum bidang kelautan dan perikanan dalam rangka mencapai efektivitas dan efisiensi, melalui program pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan program peningkatan kesadaran dan penegakan hukum dalam pendayagunaan sumberdaya laut. 8) Meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat pesisir dalam menghadapi bencana alam laut, melalui program peningkatan mitigasi bencana alam laut dan prakiraan iklim laut. 9) Meningkatkan upaya konservasi dan mendorong peran aktif masyarakat dalam rangka konservasi kelautan dan perikanan, melalui program perlindungan dan konservasi sumberdaya alam, program rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumberdaya alam, program pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan di
83
kawasan-kawasan konservasi laut dan hutan, dan program pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. 10) Memberikan apresiasi kepada kelompok masyarakat, pemerintah dan media massa dalam hal pengembangan kelautan dan perikanan, melalui program peningkatan kegiatan budaya kelautan dan wawasan maritim kepada masyarakat. 11) Mendorong peningkatan kinerja aparatur, termasuk aparatur di daerah (kab/kota) untuk mempercepat akselerasi pembangunan kelautan dan perikanan, melalui program peningkatan sarana dan prasarana aparatur, program peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur, dan program peningkatan pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan. 12) Mengembangkan budaya kerja dan pelayanan prima dalam bidang kelautan dan perikanan, melalui program pelayanan administrasi perkantoran dan program peningkatan disiplin aparatur. 4.1.2 Provinsi DKI Jakarta Otoritas manajemen pembangunan perikanan di Provinsi DKI Jakarta adalah Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan. Sejalan dengan visi pembangunan Provinsi DKI Jakarta, yaitu ”terwujudnya Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia yang manusiawi, efisien dan berdaya saing global, dihuni oleh masyarakat yang partisipatif, berakhlak, sejahtera dan berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang aman dan berkelanjutan”, maka visi Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provisi DKI Jakarta adalah ”terwujudnya masyarakat sejahtera melalui pengelolaan sumberdaya peternakan, perikanan dan kelautan yang berwawasan lingkungan secara berkelanjutan” (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta, 2006). Adapun misi yang diemban oleh Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut : (1) mendorong peningkatan ketahanan dan keamanan pangan yang bersumber dari hewan dan ikan, (2) melakukan penataan dalam pengelolaan sumberdaya peternakan, perikanan dan kelautan, dan (3) meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengembangan pembangunan bidang peternakan, perikanan dan kelautan.
84
Berdasarkan visi dan misi tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta adalah : (1) mendorong penyediaan bahan pangan hewani yang aman, sehat, halal dan cukup bagi masyarakat, (2) meningkatkan pendapatan peternak, pembudidaya ikan dan nelayan, (3) memberdayakan usaha ekonomi kerakyatan, (4) meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan hewan ternak dan ikan serta pencegahan penularan penyakit hewan ke manusia, (5) meningkatkan kualitas lingkungan dan sumberdaya alam, (6) meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan (7) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia aparatur (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta, 2006). Lebih lanjut, Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta (2006) menyebutkan bahwa dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, pembangunan peternakan, perikanan dan kelautan dilaksanakan melalui tiga program, yaitu : (1) program pengembangan produksi peternakan dan perikanan, (2) program penataan distribusi hasil peternakan dan perikanan, dan (3) program pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya laut. 4.1.3 Provinsi Jawa Barat Visi pembangunan perikanan di Provinsi Jawa Barat adalah ”Prima dalam Pelayanan Menuju Perikanan Jawa Barat yang Tangguh 2010”. Visi tersebut akan ditempuh melalui misi sebagai berikut : (1) mendorong peningkatan pendapatan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bernilai ekonomis dengan penerapan teknologi berwawasan lingkungan, (2) meningkatkan ketersediaan produk perikanan yang berkualitas untuk pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat dan bahan baku industri secara berkelanjutan, dan (3) meningkatkan kemampuan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya kelautan (Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, 2005). Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat (2005) juga menyebutkan bahwa berdasarkan visi dan misi tersebut di atas, tujuan pembangunan perikanan dan kelautan adalah : (1) meningkatkan produktivitas pembudidaya ikan dan nelayan yang berorientasi peningkatan mutu dan nilai ekonomis produk, serta meningkatkan
85
kemandirian lembaga ekonomi rakyat bidang perikanan dengan penyediaan akses permodalan usaha dan manajemen pengelolaannya, (2) mendorong penyediaan dan pengkonsumsian gizi ikan yang mudah dan murah dengan pemanfaatan teknologi dan sumberdaya sekitar, dan (3) meningkatkan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang berwawasan lingkungan untuk mendorong berkembangnya bisnis perikanan dan kelautan dengan pelaku utama adalah pembudidaya ikan dan nelayan kecil serta menggali sumber-sumber ekonomi baru di bidang perikanan dengan orientasi peningkatan penerimaan devisa dan pendapatan asli daerah. Adapun sasaran yang hendak dicapai pada tahun 2010 adalah : produksi ikan sebesar 663.788 ton, berasal dari perikanan tangkap sebesar 214.072 ton dan perikanan budidaya sebesar 449.716 ton; ekspor hasil perikanan sebesar 8.647.876 ton; tingkat konsumsi ikan sebesar 26,5 kg per kapita per tahun; terserapnya tenaga kerja di bidang perikanan sebanyak 584.244 RTP; menurunnya tingkat pelanggaran pemanfaatan dan kerusakan sumberdaya perikanan dan kelautan seminimal mungkin; tersedianya data dan informasi perikanan dan kelautan secara akurat sepanjang tahun; dan dijalinnya sinergitas antar SKPD dan stakeholders terkait. Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat (2005) menyebutkan bahwa program yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas adalah : (1) program pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan, (2) program pengembangan agribisnis perikanan, (3) program ketahanan pangan, (4) program pengembangan usaha dan pemanfaatan sumberdaya kelautan, (5) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur; dan (6) program pemantapan pemerintahan dan pembangunan desa. 4.1.4 Provinsi Jawa Tengah Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah (2004) menyebutkan bahwa visi pembangunan perikanan dan kelautan Provinsi Jawa Tengah adalah ”terwujudnya sumberdaya perikanan dan kelautan sebagai sumber utama penghidupan, pendapatan dan kesejahteraan yang berkelanjutan”. Sedangkan misinya adalah : (1) meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan, (2) meningkatkan dan menjaga
86
daya dukung lahan dan kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan, (3) mengembangkan alternatif pengusahaan sumberdaya perikanan dan kelautan, (4) meningkatkan iklim usaha yang kondusif, (5) meningkatkan produksi dan produktivitas perikanan dan kelautan, (6) meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan, (7) meningkatkan dan menguatkan jaringan serta daya tembus pemasaran produk serta jasa kelautan, (8) meningkatkan dan menguatkan sistem informasi perikanan dan kelautan, meliputi distribusi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan serta potensi pasar, (9) memberdayakan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Berdasarkan visi dan misi tersebut di atas, tujuan pembangunan perikanan dan kelautan Provinsi Jawa Tengah untuk periode 2004-2008 adalah : (1) peningkatan produksi perikanan sebagai sektor unggulan, (2) rehabilitasi ekosistem habitat pesisir dan laut, dan restoking jenis sumberdaya ekonomis penting, (3) peningkatan dan penguatan jaringan serta daya tembus pemasaran produk hasil-hasil perikanan, (4) meningkatkan pendapatan petani nelayan melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berwawasan lingkungan, (5) meningkatkan ketahanan pangan melalui penyediaan dan distribusi bahan pangan komoditas perikanan, (6) menghasilkan produk-produk perikanan berdaya saing tinggi untuk mengisi pasar domestik dan ekspor, (7) meningkatkan lapangan kerja dengan produktivitas tinggi dan kesempatan berusaha yang efisien di bidang agribisnis, dan (8) keberdayaan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Lebih lanjut Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah (2004) menyebutkan bahwa sasaran pembangunan perikanan dan kelautan selama periode 2004-2008 adalah : volume produksi perikanan meningkat rata-rata sebesar 1,9% per tahun, yakni dari 394.360,45 ton pada tahun 2004 menjadi 427.349,03 ton pada tahun 2008 sedangkan nilainya diproyeksikan meningkat rata-rata sebesar 7,2% per tahun, yaitu dari Rp. 2.441,6 milyar pada tahun 2004 menjadi Rp. 3.223,4 milyar pada tahun 2008; ekspor hasil perikanan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 7,4% per tahun dalam volume, yakni dari 15.304 ton pada tahun 2004 menjadi 22.036 ton pada tahun 2008, dan 7,5% per tahun dalam nilai, yaitu dari US $ 69,421 juta pada tahun
87
2004 menjadi US $ 92,710 juta pada tahun 2008; pendapatan kotor per KK nelayan tangkap meningkat rata-rata 4,8% per tahun, yaitu dari Rp. 8.551.680,- (2004) menjadi Rp. 10.355.660,- (2008); pendapatan kotor per KK nelayan perairan pedalaman meningkat rata-rata 6,90% per tahun, yakni dari Rp. 3.701.720,- (2004) menjadi Rp. 4.836.010,- (2008); pendapatan kotor per KK pembudidaya tambak meningkat rata-rata 3,10% per tahun, yaitu dari Rp. 31.161.110,- (2004) menjadi Rp. 35.296.580,- (2008); pendapatan kotor per KK pembudidaya kolam meningkat ratarata 4,3 % per tahun, mina padi meningikat 10,6% per tahun dan karamba sebesar 10,3% per tahun; dan konsumsi ikan masyarakat meningkat rata-rata 2,4% per tahun, yaitu dari 12,70 kg per kapita per tahun pada tahun 2004 menjadi 13,93 kg per kapita per tahun pada tahun 2008. Guna mencapai visi, misi, tujuan dan sasaran tersebut di atas, maka ditetapkan enam program pembangunan perikanan dan kelautan, yaitu : (1) penguatan dan pengembangan perikanan tangkap, (2) pembangunan dan pengembangan perikanan budidaya, (3) pengembangan agribisnis, (4) peningkatan SDM aparatur pemerintah daerah, (5) rehabilitasi dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan dan ekosistemnya, serta (6) peningkatan pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan. 4.1.5 Provinsi DI Yogyakarta Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DI Yogyakarta (2004) menyatakan bahwa
visi
institusi
tersebut
adalah”menjadi
fasilitator
dalam
rangka
mengembangkan masyarakat perikanan dan kelautan yang berdaya saing”, dengan misi (1) mewujudkan pelayanan intern dinas dan fasilitasi kepada masyarakat, (2) meningkatkan kualitas SDM yang berjiwa kewirausahaan, (3) mewujudkan peran Dinas Perikanan dan Kelautan dalam mewujudkan masyarakat perikanan dan kelautan yang sejahtera dalam persaingan global, dan (4) mewujudkan pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang optimal dan berkelanjutan untuk
meningkatkan
lingkungan.
kesejahteraan
masyarakat
dengan
melestarikan
fungsi
88
Sesuai visi dan misi tersebut, tujuan yang hendak dicapai oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DI Yogyakarta dalam kurun tahun 2004-2008 adalah : (1) meningkatkan kemampuan, kompetensi dan profesionalisme aparat dinas dan UPTD dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi, (2) mewujudkan masyarakat perikanan dan kelautan yang berkemampuan dalam melakukan usaha yang berdaya saing melalui peran aktif dinas dengan melibatkan seluruh stakeholders, dan (3) meningkatkan pemanfaatan potensi ekonomi lokal guna mendukung pengembangan ekonomi daerah dan meningkatkan daya tarik investasi. Berdasarkan tujuan di atas, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DI Yogyakarta (2004) menyebutkan bahwa sasaran yang ingin dicapai adalah : (1) terlaksananya peningkatan pelayanan intern instansi induk dan UPTD serta peningkatan kualitas SDM, (2) terwujudnya SDM perikanan dan kelautan yang berjiwa kewirausahaan dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan paradigma, (3) terwujudnya sarana dan prasarana yang memadai dan menjamin kelancaran tugas, (4) terwujudnya SDM aparat perikanan dan kelautan yang dinamis di era globalisasi, (5) terwujudnya peningkatan kemampuan masyarakat dalam persaingan global, (6) terwujudnya jejaring/networking yang mantap di bidang perikanan dan kelautan dalam persaingan regional dan global, (7) terwujudnya jejaring/networking antara pemerintah dengan stakeholders yang dapat memperkuat posisi masyarakat, dan (8) terwujudnya penguatan kelembagaan masyarakat pelaku ekonomi. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas, maka ditetapkan program pembangunan perikanan dan kelautan yang meliputi : pelayanan intern instansi induk dan UPTD; transformasi birokrasi bagi aparat pemerintah; peningkatan kualitas sarana dan kelengkapan sarana dan prasarana; rekayasa teknologi; fasilitasi pembudidayaan ikan; optimalisasi penangkapan di laut; pemberdayaan SDM pantai selatan; fasilitasi pengembangan sawah tambak; fasilitasi pembangunan PPI; peningkatan kemampuan nelayan; promosi perikanan dan kelautan; pengembangan kerjasama dengan propinsi, lembaga pendidikan dan dunia usaha; pembinaan dan pemberdayaan petani dan nelayan; penguatan modal usaha kelompok; penerapan dan pengembangan teknologi informasi; peningkatan kualitas kelembagaan dan
89
tatalaksana; pengembangan dan pemantapan kerjasama antar lembaga pemerintah dan non pemerintah dalam dan luar negeri; optimalisasi potensi daerah dan aset milik pemerintah daerah; peningkatan kualitas penerapan anggaran berbasis kinerja; peningkatan kualitas sumberdaya aparatur; peningkatan kapasitas dan kualitas perencanaan program; optimalisasi fungsi pengendalian program; pengembangan teknologi inderaja (remote sensing); pengembangan produk perikanan budidaya dan tangkap; serta peningkatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan. 4.1.6 Provinsi Jawa Timur Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur (2005) menyebutkan bahwa visi pembangunan perikanan dan kelautan Provinsi Jawa Timur adalah ”pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan secara lestari, berdaya saing dan berkeadilan untuk kesejahteraan masyarakat serta memperkokoh persatuan kesatuan”. Sedangkan misinya adalah : (1) memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, (2) memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan, (3) mengembangkan prasarana, sarana, teknologi dan informasi perikanan dan kelautan, (4) mendorong dan memfasilitasi pengembangan iklim usaha yang kondusif, tertib dan aman bagi masyarakat serta dunia usaha, (5) mendorong dan memfasilitasi peningkatan kualitas kelembagaan serta sumberdaya manusia perikanan dan kelautan, dan (6) mewujudkan sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi daerah. Berdasarkan visi dan misi tersebut, tujuan pembangunan perikanan dan kelautan Provinsi Jawa Timur adalah : (1) memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan secara berkelanjutan, (2) meningkatkan penerimaan pendapatan daerah dan devisa negara dari hasil perikanan dan kelautan, (3) meningkatkan produktivitas, kualitas dan kuantitas sumberdaya perikanan dan kelautan, (4) meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan, (5) meningkatkan penyediaan bahan baku dan pemenuhan gizi masyarakat dari hasil perikanan, (6) meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha, (7) menurunkan tingkat pelanggaran pemanfaatan dan perusakan sumberdaya perikanan dan kelautan,
90
(8) menurunkan tingkat konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya perikanan dan kelautan, (9) menyediakan prasarana, teknologi, data dan informasi perikanan dan kelautan, dan (10) meningkatkan kapasitas kelembagaan perikanan dan kelautan. Adapun sasaran kuantitatif pembangunan perikanan dan kelautan tahun 20062008 adalah : produksi perikanan tangkap meningkat rata-rata 4,8% per tahun, yakni dari 371.985,07 ton menjadi 408.449,37 ton; produksi perikanan budidaya meningkat rata-rata 5,5% per tahun, dari 212.108,81 ton menjadi 235.854,01 ton; ekspor hasil perikanan meningkat rata-rata 10% per tahun dalam volume, yaitu dari 297.891,47 ton menjadi 360.680,62 ton dan 10% per tahun dalam nilai, yakni dari US $ 864.313,65 ribu menjadi US $ 1.045.819,51; konsumsi ikan meningkat rata-rata 5% per tahun, dari 18,42 kg per kapita per tahun menjadi 20,31 kg per kapita per tahun; penyerapan tenaga kerja meningkat rata-rata 2% per tahun, dari 474.875 orang menjadi 494.060 orang; dan armada perikanan meningkat rata-rata 5,4% per tahun, dari 58.609 unit menjadi 65.205 unit. Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, ditetapkan empat program pembangunan perikanan dan kelautan, yaitu : (1) peningkatan ketahanan pangan, (2) pengembangan agribisnis, (3) peningkatan kesejahteraan pembudidaya ikan/nelayan, dan (4) pengembangan sumberdaya kelautan (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, 2004).
4.2 Potensi Bahan Baku Industri Pengolahan Ikan Produksi perikanan di Pulau Jawa (meliputi Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur) selama periode 20012005 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 1,80% per tahun, yakni dari 1.467.903 ton pada tahun 2000 menjadi 1.571.232 ton pada tahun 2005 (Tabel 10). Peningkatan tersebut terjadi karena meningkatnya produksi perikanan budidaya yang mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 8,37% per tahun, yaitu dari 495.528 ton pada tahun 2001 menjadi 671.988 ton pada tahun 2005. Sebaliknya, produksi perikanan tangkap mengalami penurunan dengan laju rata-rata sebesar -1,78% per tahun, yakni dari 972.375 pada tahun 2001 menjadi 899.244 pada tahun 2005.
91
Tabel 10 Produksi perikanan di Pulau Jawa, 2001-2005 Satuan : ton No
Provinsi
1
Banten • Perikanan tangkap • Perikanan budidaya DKI Jakarta • Perikanan tangkap • Perikanan budidaya Jawa Barat • Perikanan tangkap • Perikanan budidaya Jawa Tengah • Perikanan tangkap • Perikanan budidaya D.I. Yogyakarta • Perikanan tangkap • Perikanan budidaya Jawa Timur • Perikanan tangkap • Perikanan budidaya Jumlah • Perikanan tangkap • Perikanan budidaya
2
3
4
5
6
2001 129.741 108.905 20.836 108.737 107.136 1.601 399.902 147.042 252.860 376.322 294.345 81.977 6.532 2.214 4.318 446.669 312.733 133.936 1.467.903 972.375 495.528
2002 87.835 65.787 22.048 108.269 106.668 1.601 405.337 157.600 247.737 381.930 301.840 80.090 7.847 2.772 5.075 554.084 411.874 142.210 1.545.302 1.046.541 498.761
Sumber : - Departemen Kelautan dan Perikanan (2006), diolah - Ditjen Perikanan Tangkap (2007), diolah - Ditjen Perikanan Budidaya (2007), diolah
2003 81.889 53.321 28.568 127.054 120.827 6.227 385.466 154.943 230.523 348.229 250.569 97.660 10.502 2.903 7.599 576.945 432.276 144.669 1.530.085 1.014.839 515.246
2004 76.438 54.068 22.370 127.647 123.869 3.778 433.302 168.672 264.630 342.550 260.832 81.718 8.782 2.562 6.220 490.669 336.804 153.865 1.479.388 946.807 532.581
2005 86.556 59.248 27.308 140.906 132.024 8.882 463.284 162.018 301.266 322.039 208.763 113.276 12.159 3.028 9.131 546.288 334.163 212.125 1.571.232 899.244 671.988
Kenaikan Ratarata/tahun (%) (8,12) (11,89) 8,94 6,94 5,48 96,18 3,95 2,60 4,92 (3,74) (7,58) 10,48 19,01 9,09 23,98 6,14 3,45 13,03 1,80 (1,78) 8,37
92
Data di atas menggambarkan bahwa peranan perikanan budidaya dalam struktur produksi perikanan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2001 porsi perikanan budidaya hanya mencapai 33,76% dari total produksi perikanan, maka pada tahun 2005 telah meningkat menjadi 42,77%. Hal ini memberi indikasi bahwa ke depan, industri pengolahan ikan tidak bisa lagi mengandalkan perikanan tangkap dalam memenuhi pasokan bahan bakunya. Oleh karena itu, dalam rangka menjamin keberlangsungan berusaha, industri pengolahan ikan harus melakukan reorientasi untuk menghasilkan produk-produk berbasis perikanan budidaya. Produksi perikanan, baik dari hasil penangkapan maupun pembudidayaan, merupakan potensi bahan baku industri pengolahan ikan. Dengan menggunakan data produksi tahun 2005, yakni sebesar 1.571.232 ton, sesungguhnya potensi bahan baku bagi industri pengolahan ikan yang beroperasi di Pulau Jawa cukup besar. Hal ini karena kapasitas produksi unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian, yakni 69 unit, hanya sekitar 250.000 ton per tahun. Potensi tersebut akan menjadi lebih besar manakala dihitung juga pasokan bahan baku yang berasal dari luar Pulau Jawa. Potensi bahan baku industri pengolahan ikan juga akan makin besar apabila produksi perikanan budidaya lebih ditingkatkan lagi. Hal ini karena potensi lahan perikanan budidaya di Pulau Jawa cukup besar, yaitu seluas 1.256.781 ha dan sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Ditjen Perikanan Budidaya (2004) mengemukakan bahwa sampai dengan tahun 2004, tingkat pemanfaatan lahan budidaya laut secara umum masih sangat kecil yakni di bawah 1%, kecuali Provinsi DKI Jakarta yang telah mencapai 23,79%. Sementara itu, pemanfaatan lahan budidaya air payau di Pulau Jawa telah mencapai di atas 50%, kecuali DI. Yogyakarta yang baru mencapai dibawah 10%. Sedangkan pemanfaatan lahan budidaya air tawar secara umum masih di bawah 30%. Dari sisi perikanan tangkap, peningkatan produksi di wilayah Pantai Utara Jawa nampaknya sulit dilakukan mengingat tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Jawa telah mencapai di atas 100%. Peningkatan produksi dapat dilakukan di wilayah Pantai Selatan Jawa karena masih terdapat surplus dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Samudera Indonesia.
93
Tabel 11 Potensi lahan perikanan budidaya di Pulau Jawa Satuan : ha No
Povinsi
1 2 3 4 5 6
Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Jumlah
Tambak
Kolam
19.511 250 52.069 86.700 32.028 83.200 675 5.700 62.207 92.400 166.740 268.000
Perairan Umum 139 5 401 408 183 1.136
Mina Padi 14.382 735 259.606 132.841 12.145 301.595 721.304
Bdy Jumlah Laut 48.886 82.918 2.001 2.991 23.995 422.771 1.123 249.600 18.520 23.596 479.981 99.601 1.256.781
Sumber : Masterplan Pengembangan Budidaya Air Payau (2005) dalam Departemen Kelautan dan Perikanan (2006) Kendala yang muncul dalam pemanfaatan produksi perikanan sebagai bahan baku industri pengolahan ikan, terutama yang berorientasi ekspor, adalah mutu ikan hasil tangkapan yang secara umum masih rendah. Hal ini menyebabkan potensi bahan baku yang besar sebagaimana disebutkan di atas tidak dapat menjamin pasokan bahan baku bagi industri pengolahan ikan. Oleh karena itu, program dan kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan mutu ikan hasil tangkapan perlu lebih diintensifkan lagi.
4.3 Struktur Industri Pengolahan Ikan Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER. 18/MEN/2006 tentang Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan, usaha pengolahan hasil perikanan dibedakan menjadi : (1) usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro, (2) usaha pengolahan hasil perikanan skala kecil, (3) usaha pengolahan hasil perikanan skala menengah, dan (4) usaha pengolahan hasil perikanan skala besar. Pembedaan skala usaha tersebut ditetapkan berdasarkan beberapa parameter, meliputi : 1) Omset, yaitu total volume produksi hasil olahan dikali harga satuan dalam satu tahun 2) Aset, yaitu kekayaan produktif di luar bangunan dan tanah; 3) Jumlah tenaga kerja, yaitu jumlah karyawan yang terlibat dalam satu UPI selain pemilik, baik tenaga kerja tetap maupun harian/borongan; 4) Status hukum dan perizinan, yaitu legalitas yang diperoleh suatu unit usaha pengolahan ikan, baik badan hukum maupun perizinan usaha lain;
94
5) Penerapan teknologi, yaitu jenis dan tingkatan peralatan produksi yang digunakan oleh unit usaha pengolahan perikanan, dibedakan menjadi : manual yaitu penerapan teknologi proses produksi unit usaha pengolahan ikan yang sebagian besar menggunakan tenaga manusia; semi mekanik yaitu penerapan teknologi proses produksi unit usaha pengolahan ikan yang sebagian menggunakan mesin; dan mekanik yaitu penerapan teknologi proses produksi unit usaha pengolahan ikan yang sebagian besar menggunakan mesin. 6) Teknis dan manajerial, yaitu kemampuan pengelolaan suatu unit usaha dari aspek produksi pengolahan hasil perikanan untuk memenuhi kriteria sertifikasi : •
UPI yang belum memiliki SKP (Sertifikat Kelayakan Pengolahan) adalah UPI yang dalam operasional usaha pengolahan ikan belum atau sudah menerapkan dan memenuhi persyaratan kelayakan dasar tetapi belum dilakukan penilikan oleh petugas pengawas mutu yang ditunjuk oleh competent authority;
•
SKP adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan cq. Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan yang menerangkan bahwa UPI telah memenuhi persyaratan kelayakan dasar;
•
Sertifikat PMMT adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan cq Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku competent authority yang menerangkan bahwa UPI telah memenuhi persyaratan dalam bentuk tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumberdaya organisasi untuk menerapkan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT). Masing-masing parameter di atas diberi bobot, indikator dan skala serta nilai
kumulatif sebagaimana tercantum dalam Tabel 12. Nilai kumulatif untuk masing-masing parameter skala usaha pengolahan hasil perikanan ditetapkan sebagai berikut : 1) Usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 20-44; 2) Usaha pengolahan hasil perikanan skala kecil memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 45-69; 3) Usaha pengolahan hasil perikanan skala menengah memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 70-89;
95
4) Usaha pengolahan hasil perikanan skala besar memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 90-100. Tabel 12 Perhitungan nilai kumulatif parameter skala usaha pengolahan hasil perikanan
Omset
Bobot (B) 25
Asset
20
Parameter
Jumlah tenaga kerja
20
Status hukum dan perizinan
10
Penerapan teknologi
10
Teknis dan manajerial
15
Indikator Parameter • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
< Rp. 100 juta pertahun Rp. 100 juta pertahun > Rp. 1 milyar - 3 milyar pertahun > Rp. 3 milyar - 5 milyar pertahun > Rp. 5 milyar pertahun tidak dipisahkan dengan kekayaan rumah tangga, < Rp. 100 juta Rp. 100 juta – Rp. 1 milyar > Rp. 1 milyar - 5 milyar > Rp. 5 milyar - 10 milyar > Rp. 10 milyar < 10 orang 11 - 19 orang 20 - 49 orang 50 - 100 orang > 100 orang tidak berbadan hukum berbadan hukum berbadan hukum & mempunyai izin manual semi mekanik mekanik belum memiliki SKP memiliki SKP memiliki SKP dan Sertifikat PMMT/HACCP
Skala (S) 1 2 3 4 5 1
Nilai (BxS)/5 5 10 15 20 25 4
2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 3 5 1 3 5 1 3 5
8 12 16 20 4 8 12 16 20 2 6 10 2 6 10 3 9 15
Sampai saat ini, data jumlah unit pengolahan ikan yang dibedakan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut di atas belum ada, sehingga struktur industri pengolahan ikan sesuai kriteria yang tercantum dalam peraturan dimaksud belum diketahui dengan jelas. Sebelum Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan itu diterbitkan, unit pengolahan ikan dibedakan menjadi unit pengolahan ikan skala kecil serta unit pengolahan ikan skala sedang dan besar. Kriteria yang digunakan untuk
96
membedakan kedua skala unit pengolahan tersebut adalah : (1) unit pengolahan ikan skala kecil merupakan unit pengolahan ikan skala rumah tangga, (2) unit pengolahan ikan skala sedang dan besar adalah unit pengolahan ikan skala industri (Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 2006). Pada tahun 2004, jumlah unit pengolahan ikan skala kecil di Pulau Jawa yang mencakup Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur adalah 8.564 unit atau 40,3% dari jumlah unit pengolahan ikan skala kecil di seluruh Indonesia, yakni sebanyak 21.263 unit. Data ini menggambarkan bahwa usaha pengolahan ikan skala kecil masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pada Tabel 13 terlihat bahwa unit pengolahan ikan skala kecil di Pulau Jawa didominasi oleh unit pengolahan ikan kering/asin yang mencapai 39,54%, diikuti unit pengolahan ikan asap (21,60%), unit pengolahan pindang (14,71%), unit pengolahan produk segar (9,84%), unit pengolahan peda (6,63%), unit pengolahan kerupuk (3,59%), unit pengolahan terasi (2,87%) dan unit pengolahan lainnya (1,22%). Jika dilihat per provinsi, terlihat bahwa unit pengolahan ikan skala kecil di Pulau Jawa terkonsentrasi di Jawa Timur yang mencapai 49,50% dari jumlah keseluruhan sebanyak 8.564 unit, diikuti Jawa Tengah (23,81%), Jawa Barat (13,19%), DKI Jakarta (6,10 %), Banten (4,04 %), dan DI Yogyakarta (3,36 %). Tabel 13 Jumlah unit pengolahan ikan skala kecil di Pulau Jawa, 2004 Satuan : Unit No
Provinsi
1 2 3 4 5 6
Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Jumlah Nasional % P. Jawa thd Nasional
Segar 38 52 337 164 0 252 843 2.451 34,4
Kering/ Asap Asin 146 53 226 52 436 257 718 593 121 56 1.739 839 3.386 1.850 7.936 3.777 42,7
48,9
Jenis Olahan Tera- Keru- Olahan PinJumlah Peda si puk lainnya dang 67 25 17 0 0 346 128 0 1 21 42 522 15 0 13 68 4 1.130 467 89 3 0 5 2.039 29 15 0 14 53 288 554 439 212 204 0 4.239 1.260 568 246 307 104 8.564 3.599 1.181 787 847 523 21.101 35,0
48,0
31,2
Sumber : Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 2005
36,2
19,9
40,3
97
Sementara itu, menurut Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2006), jumlah unit pengolahan ikan skala sedang dan besar di Pulau Jawa pada tahun 2005 adalah 319 unit atau 41,16% dari jumlah unit pengolahan ikan skala sedang dan besar di seluruh Indonesia, yakni sebanyak 775 unit. Data ini menggambarkan bahwa usaha pengolahan ikan skala sedang dan besar juga masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pada Tabel 14 terlihat bahwa unit pengolahan ikan skala sedang dan besar di Pulau Jawa didominasi oleh unit pengolahan ikan beku yang mencapai 59,25%, diikuti unit pengolahan produk kering (16,92%), unit pengolahan produk segar (16,30%) dan unit pengolahan ikan kaleng (7,53%). Pada tabel itu juga terlihat bahwa unit pengolahan ikan skala sedang dan besar terkonsentrasi di Jawa Timur dan DKI Jakarta (masingmasing sebesar 40,44% dan 33,54%), diikuti Jawa Tengah (14,73%), Jawa Barat (10,66%), serta Banten dan DI. Yogyakarta (masing-masing 0,31%). Dengan berasumsi bahwa data jumlah unit pengolahan skala kecil tahun 2005 sama dengan tahun 2004, maka terlihat bahwa unit pengolahan ikan di Indonesia masih didominasi oleh usaha skala kecil dengan porsi sebesar 96,46 % dari jumlah total unit pengolahan ikan di Indonesia sebanyak 21.876 unit. Sedangkan unit pengolahan ikan skala sedang dan besar hanya sebesar 3,54 %. Kondisi yang sama terjadi pula di Pulau Jawa, dimana jumlah unit pengolahan skala kecil adalah sebesar 96,40 % dari jumlah keseluruhan di Pulau Jawa, yakni sebanyak 8.883 unit. Sedangkan sisanya (3,60 %) merupakan unit pengolahan skala sedang dan besar (Tabel 15). Tabel 14 Unit pengolahan ikan skala sedang dan besar di Pulau Jawa, 2005 Satuan : unit Pengolah- Pembe- PengalePengeriNo. Provinsi Jumlah an Segar kuan ngan ngan 1 Banten 0 1 0 0 1 2 Jawa Barat 4 19 6 5 34 3 DKI Jakarta 41 55 1 10 107 4 Jawa Tengah 5 22 5 15 47 5 DI Yogyakarta 0 1 0 0 1 6 Jawa Timur 2 91 12 24 129 Jumlah 52 189 24 54 319 Nasional 136 474 58 107 775 % P.Jawa thd nasional 38,23 39,88 41,38 50,47 41,16 Sumber : Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 2006
98
Tabel 15 Jumlah unit pengolahan ikan di Pulau Jawa Satuan : Unit
No
Provinsi
1 2 3 4 5 6
Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Jumlah Nasional % P. Jawa thd nasional
Keterangan : *) data tahun 2004 **) data tahun 2005
Skala kecil*) 346 522 1.130 2.039 288 4.239 8.564 21.101 40,3
Skala sedang dan besar **) 1 34 107 47 1 129 319 775 41,16
Jumlah 347 556 1.237 2.086 289 4.368 8.883 21.876 40,61
5 HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Kini Unit Pengolahan Ikan Beku 5.1.1 Produksi dan tingkat utilisasi Berdasarkan komoditas yang diolah, unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) unit pengolahan ikan yang mengolah satu jenis komoditas tertentu, dan (2) unit pengolahan ikan yang mengolah berbagai jenis komoditas atau multi komoditas. Dari 69 unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian, 25 unit diantaranya hanya mengolah komoditas udang, tujuh unit hanya mengolah tuna dan sejenisnya (swordfish, meka, marlin), satu unit hanya mengolah ikan nila, dua unit hanya mengolah ikan layur, dua unit hanya mengolah kepiting, empat unit mengolah ikan-ikan demersal (beloso, tiga waja, dll) menjadi surimi beku dan 28 unit mengolah berbagai komoditas (kakap merah, cumi, sotong, gurita, ikan nila, patin, tuna, paha kodok, lobster, udang, tuna, dll.). Kapasitas produksi seluruh unit pengolahan ikan tersebut adalah 892,3 ton perhari, namun realisasi produksi yang dicapai pada tahun 2006 rata-rata sebesar 503,9 ton perhari. Dengan demikian, tingkat utilisasi yang dicapai pada tahun itu adalah 56,47%, sehingga terdapat kapasitas terbuang (idle capacity) sebesar 43,53%. Tingkat utilisasi tertinggi dicapai oleh unit pengolahan ikan nila beku yakni 87,10%, diikuti oleh unit pengolahan ikan layur beku (71,43%), unit pengolahan udang beku (63,45%), unit pengolahan tuna beku (51,97%), unit pengolahan multi komoditas (51,04%), unit pengolahan surimi beku (36,58%) dan unit pengolahan kepiting beku (8,57%). Apabila dilihat secara spasial menurut provinsi, terlihat bahwa tingkat utilisasi unit pengolahan ikan beku di Jawa Timur merupakan tertinggi yaitu mencapai 64,27%. DKI Jakarta menempati urutan kedua, yakni 50,05%, disusul Jawa Tengah (44,92%), Jawa Barat (44,07%) dan Banten (41,67%). Informasi yang lebih detail mengenai produksi dan tingkat utilisasi beberapa unit pengolahan ikan tersebut di atas adalah sebagai berikut :
100
Tabel 16 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa, 2006 No
Provinsi
1 2
Banten Jawa Barat
3
4
5
Komoditas yg diolah
Multi komoditas • Udang • Multi komoditas Sub jumlah DKI Jakarta • Udang • Tuna dan sejenisnya • Multi komoditas Sub jumlah Jawa Tengah • Udang • Nila • Multi komoditas • Ikan demersal • Kepiting Sub jumlah Jawa Timur • Udang • Tuna dan sejenisnya • Multi komoditas • Kepiting • Layur Sub jumlah Seluruh • Udang Pulau Jawa • Tuna dan sejenisnya • Multi komoditas • Nila • Kepiting • Layur • Ikan demersal Jumlah
Jumlah UPI (unit) 1 2 7 9 5 5 7 17 3 1 2 4 1 11 15 2 11 1 2 31 25 7 28 1 2 2 4 69
Kapasitas produksi (ton/hari) 6,0 9,0 47,5 56,5 37,0 51,0 99,0 187,0 13,1 31,0 17,0 95,0 0,5 156,6 221,0 12,5 165,7 3,0 84,0 486,2 280,1 63,5 335,2 31,0 3,5 84,0 95,0 892,3
Realisasi produksi (ton/hari) 2,5 4,5 20,4 24,9 20,8 23,8 49,0 93,6 4,8 27,0 3,8 34,8 0,05 70,4 147,7 9,2 95,4 0,3 60,0 312,5 177,7 33,0 171,1 27,0 0,3 60,0 34,8 503,9
Tingkat utilisasi (%) 41,67 50,00 42,95 44,07 56,22 46,67 49,49 50,05 36,26 87,10 22,35 36,58 10,00 44,92 66,82 73,60 57,56 8,33 71,43 64,27 63,45 51,97 51,04 87,10 8,57 71,43 36,58 56,47
Keterangan : • Multi komoditas : kakap merah, cumi, kerapu, sotong, gurita, nila, patin, tuna, paha kodok, dll. • Tuna dan sejenisnya : tuna, swordfish, meka, marlin, dll. 1) Unit pengolahan udang beku Unit pengolahan udang beku di Pulau Jawa yang saat ini masih aktif beroperasi dan bersedia menjadi sampel penelitian berjumlah 25 unit, masing-masing dua unit berada di Jawa Barat, lima unit di DKI Jakarta, tiga unit di Jawa Tengah dan 15 unit di Jawa Timur. Status perusahaan dari unit pengolahan udang beku tersebut
101
adalah sembilan unit berstatus swasta nasional, 11 unit berstatus PMDN (Penanaman Modal dalam Negeri) dan lima unit berstatus PMA (Penanaman Modal Asing). Unit pengolahan udang beku berstatus PMA pada umumnya mengolah produk bernilai tambah tinggi seperti frozen breaded shrimp dan frozen sushi ebi. Berdasarkan ketersediaan sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia, kapasitas produksi 25 unit pengolahan udang beku itu adalah sebesar 280,1 ton perhari. Namun karena kelangkaan bahan baku, realisasi produksi yang dicapai pada tahun 2006 adalah rata-rata sebesar 177,7 ton perhari, sehingga tingkat utilisasi yang dicapai adalah 63,45%. Dengan demikian, pada unit pengolahan udang beku terdapat idle capacity sebesar 36,55%. Tingkat utilisasi tertinggi dicapai oleh unit pengolahan udang beku di Jawa Timur, yakni sebesar 66,82%, diikuti oleh DKI Jakarta (56,22%), Jawa Barat (50%) dan Jawa Tengah (36,26%). Tabel 17 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan udang beku di Pulau Jawa, 2006 No
Provinsi
Jumlah (unit)
1 2
Jawa Barat DKI Jakarta
2 5
3
Jawa Tengah
3
4
Jawa Timur
15
Jumlah
25
Status perusahaan • • • • • • • •
2 SN 3 PMDN 2 PMA 2 SN 1 PMA 5 SN 8 PMDN 2 PMA
Kapasitas produksi (ton/hari) 9,0 37,0
Realisasi produksi (ton/hari) 4,5 20,8
Tingkat utilisasi (%) 50,00 56,22
13,1
4,8
36,26
221,0
147,7
66,82
280,1
177,7
63,45
Keterangan : SN = Swasta Nasional 2) Unit pengolahan tuna beku Unit pengolahan ikan yang khusus mengolah tuna dan sejenisnya berjumlah tujuh unit, masing-masing lima unit berada di DKI Jakarta dan dua unit di Jawa Timur. Empat dari tujuh unit pengolahan ikan tersebut berstatus swasta nasional, satu unit berstatus PMDN dan dua unit berstatus PMA.
102
Pada Tabel 18 terlihat bahwa kapasitas produksi tujuh unit pengolahan tuna beku itu adalah sebesar 63,5 ton perhari, namun realisasi produksi yang dicapai pada tahun 2006 rata-rata hanya 33 ton perhari atau 51,97% dari kapasitas terpasang. Dengan demikian, pada unit pengolahan tuna beku terdapat idle capacity sebesar 48,03%. Tingkat utilisasi yang dicapai oleh unit pengolahan tuna beku di Jawa Timur adalah 73,60%, sedangkan di DKI Jakarta hanya 46,67%. Tabel 18 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan tuna beku di Pulau Jawa, 2006 No
Provinsi
Jumlah (unit)
1
DKI Jakarta
5
2
Jawa Timur
2
Jumlah
7
Status perusahaan • • • • •
3 SN 1 PMDN 1 PMA 1 SN 1 PMA
Kapasitas produksi (ton/hari) 51,0
Realisasi produksi (ton/hari) 23,8
Tingkat utilisasi (%) 46,67
12,5
9,2
73,60
63,5
33,0
51,97
3) Unit pengolahan multi komoditas Unit pengolahan ikan yang mengolah berbagai komoditas atau multi komoditas berkembang pesat belakangan ini. Dari 69 unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian, 28 unit diantaranya mengolah berbagai jenis komoditas seperti kakap merah, cumi-cumi, sotong, gurita, nila, patin, bandeng, lemuru, paha kodok, dll. Distribusi unit pengolahan tersebut adalah satu unit berada di Banten, tujuh unit di Jawa Barat, tujuh unit di DKI Jakarta, dua unit di Jawa Tengah dan 11 unit di Jawa Timur. Pengolahan ikan multi komoditas ternyata juga diminati oleh investor asing, terutama dari Korea Selatan, terlihat dari tiga unit yang berstatus PMA, masingmasing berada di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam kaitannya dengan tingkat utilisasi, terlihat bahwa unit pengolahan ikan di Jawa Timur menduduki peringkat teratas (57,56%), diikuti DKI Jakarta (49,49%), Jawa Barat (42,95%), Banten (41,67%) dan Jawa Tengah (22,35%).
103
Tabel 19 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan multi komoditas di Pulau Jawa, 2006 No
Provinsi
Jumlah (unit)
1 2
Banten Jawa Barat
1 7
3 4
DKI Jakarta Jawa Tengah
7 2
5
Jawa Timur
11
Jumlah
28
Status perusahaan • • • • • • • • • •
1 SN 1 SN 5 PMDN 1 PMA 7 SN 1 PMDN 1 PMA 3 SN 7 PMDN 1 PMA
Kapasitas produksi (ton/hari) 6,0 47,5
Realisasi produksi (ton/hari) 2,5 20,4
Tingkat utilisasi (%) 41,67 42,95
99,0 17,0
49,0 3,8
49,49 22,35
165,7
95,4
57,56
335,2
171,1
51,04
4) Unit pengolahan surimi beku Unit pengolahan ikan yang khusus mengolah ikan-ikan demersal menjadi surimi beku berjumlah empat unit, semuanya berada di Jawa Tengah. Dari empat unit pengolahan tersebut, tiga diantaranya bertatus PMA (Korea Selatan) dan satu unit berstatus swasta nasional. Industri ini mulai berkembang sejak tahun 2003 dan bertambah satu unit setiap tahunnya, hingga berjumlah empat unit pada tahun 2006. Namun sayangnya ke empat unit pengolahan dimaksud berada di lokasi yang hampir berdekatan dan mengandalkan pasokan bahan baku dari lokasi yang sama, yaitu Pantura Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dampaknya persaingan dalam pengadaan bahan baku menjadi ketat dan hal ini menyebabkan tingkat utilisasi yang dicapai hanya sebesar 36,58% dari kapasitas produksi sebesar 95 ton perhari. 5.1.2 Diversifikasi dan nilai tambah produk Sumberdaya ikan yang dimanfaatkan sebagai bahan baku oleh industri pengolahan ikan beku di Pulau Jawa dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : (1) hewan kulit keras (crustaceans), (2) hewan lunak (molluscs), (3) ikan (fishes), dan (4) hewan air lainnya (other aquatic animals). Kelompok hewan kulit keras meliputi beberapa jenis udang (shrimp), udang barong (lobster) dan kepiting (crab).
104
Sedangkan kelompok hewan lunak meliputi cumi-cumi (squid), sotong (cuttlefish) dan gurita (octopus). Kelompok ikan meliputi ikan tuna (yellowfin tuna, bigeye tuna, albacore), setuhuk (marlin), ikan pedang (swordfish), meka, remang (yellow pike eel), kakap merah (red snapper), layur (hairtails), ikan nila (tilapia), kurisi (ornate treadfin bream), ikan leather jacket, ribbonfish, ikan sebelah (indian halibut), lemuru (bali sardinella), tengiri (spanish mackerel), cakalang (skipjack tuna), lemadang (common dolphin fish/oil fish), cucut (shark), bandeng (milkfish), lele (walking catfish), patin (catfish), kuniran (sulphur goatfish), swanggi (purple-spotted) dan ikan-ikan demersal seperti tiga waja, biji nangka dan beloso. Sedangkan dari kelompok hewan air lainnya adalah katak (frog). Berikut ini diuraikan diversifikasi produk dan nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan masing-masing kelompok sumberdaya ikan tersebut di atas : 1) Hewan kulit keras (crustaceans) Seperti telah diuraikan di atas bahwa hewan kulit keras yang diolah oleh unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa terdiri atas beberapa jenis udang (udang windu, udang putih dan udang vanamei), udang barong (lobster) dan kepiting. Berdasarkan cara pembekuannya, produk udang beku dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu udang beku blok (block frozen shrimp) dan udang beku individual (individual quick frozen/IQF shrimp). Pada awalnya, produk udang beku blok hanya ada dua jenis, yaitu block frozen head-less shrimp dan block frozen head-on shrimp. Namun sekarang telah berkembang menjadi delapan jenis produk, meliputi : (1) block frozen head-less shrimp, (2) block frozen head-on shrimp, (3) block frozen peeled & devined (PD) shrimp, (4) block frozen PDTO (peeled & devined tail-on) shrimp, (5) block frozen eazy peeled shrimp, (6) block frozen blancing/cooked shrimp, (7) block frozen peeled undevined (PUD) shrimp, dan (8) block frozen cooked & peeled undevined shrimp. Perkembangan ini merupakan tuntutan pasar internasional, terutama Jepang, yang menghendaki produk dengan bentuk dan perlakuan yang beragam. Sementara itu, pengembangan produk udang beku individual ditujukan untuk memenuhi tren permintaan pasar yang mengarah kepada produk-produk siap
105
saji/dimakan (ready to serve/eat products) yang dikemas dalam bentuk consumer pack. Saat ini produk udang beku individual yang telah berkembang ada tujuh jenis, yaitu : (1) frozen breaded shrimp, (2) IQF peeled & devined shrimp, (3) frozen nobashi ebi, (4) IQF peeled tail-on shrimp, (5) IQF head-less shrimp, (6) semi IQF head-on shrimp, dan (7) IQF cooked shrimp. Pada Tabel 20 terlihat bahwa sebagian besar unit pengolahan ikan mengolah produk konvensional, yakni block frozen head-less shrimp. Produk lain yang sudah cukup berkembang adalah block frozen peeled & devined shrimp, frozen breaded shrimp dan IQF peeled & devined shrimp, yang masing-masing dihasilkan oleh tujuh unit pengolahan ikan. Produk block frozen head-on shrimp diproduksi oleh empat unit pengolahan ikan, sedangkan produk lainnya hanya diproduksi oleh satu sampai tiga unit pengolahan ikan. Pada Tabel 20 juga dapat dilihat bahwa secara umum, nilai tambah produk udang beku individual lebih tinggi bila dibandingkan dengan produk udang beku blok. Lima dari tujuh jenis produk udang beku individual bernilai tambah di atas 30%, sedangkan yang lain yakni produk IQF peeled & devined shrimp bernilai tambah 23,31% dan produk semi IQF head-on shrimp bernilai tambah 22,27%. Jika dilihat secara keseluruhan, tiga jenis produk udang beku yang nilai tambahnya tertinggi adalah frozen breaded shrimp (37,70%), frozen nobashi ebi (36,54%) dan IQF head-less shrimp (35,33%). Sedangkan tiga jenis yang terendah adalah block frozen cooked & peeled undevined shrimp (16,27%), block frozen headless shrimp (16,60%) dan block frozen head-on shrimp (18,41%). Lain halnya dengan komoditas udang yang telah diolah menjadi berbagai macam produk, diversifikasi olahan komoditas lobster dan kepiting dapat dikatakan tidak ada. Sampai saat ini, lobster hanya diolah menjadi produk lobster beku utuh (frozen lobster), sedangkan kepiting diolah menjadi produk frozen soft shell crab dan frozen crab white body meat. Nilai tambah ketiga jenis produk tersebut tergolong tinggi, yakni 52,54% untuk produk frozen lobster; 44,19% untuk produk frozen soft shell crab dan 46,64% untuk produk frozen crab white body meat.
106
Tabel 20 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan hewan kulit keras (crustaceans), 2006 No
Jenis komoditas/nama produk
Produsen/ UPI (unit)
Nilai tambah rata-rata (%)
1
Udang • Block frozen head-less shrimp 22 16,60 • Block frozen head-on shrimp 4 18,41 • Block frozen PD shrimp 7 24,09 • Block frozen PDTO shrimp 3 18,52 • Block frozen eazy peeled shrimp 2 28,46 • Block frozen blancing/cooked shrimp 1 30,07 • Block frozen PUD shrimp 1 26,08 • Block frozen cooked & PUD shrimp 1 16,27 • Frozen breaded shrimp 7 37,70 • IQF PD shrimp 7 23,31 • Frozen nobashi ebi 2 36,54 • IQF peeled tail-on shrimp 2 30,71 • IQF head-less shrimp 2 35,33 • Semi IQF head-on shrimp 1 22,27 • IQF cooked shrimp 3 32,92 2 Udang barong • Frozen lobster 3 52,54 3 Kepiting • Frozen soft shell crab 1 44,19 • Frozen crab white body meat 1 46,64 Keterangan : - UPI = Unit Pengolahan Ikan - PD = Peeled & devined - PDTO = Peeled & devined tail-on - PUD = Peeled undevined - IQF = Individual Quick Freezing 2) Hewan lunak (molluscs) Usaha pengolahan binatang lunak (cumi-cumi, sotong dan gurita) belum berkembang di Pulau Jawa dan tidak ada unit pengolahan ikan yang secara khusus mengolah komoditas tersebut. Pada saat dilakukan penelitian, hanya satu unit yang mengolah cumi-cumi, dua unit yang mengolah sotong dan dua unit yang mengolah gurita. Padahal potensi sumber bahan bakunya cukup melimpah di Indonesia dan peluang pasar ekspornya masih terbuka. Selama periode 1995-2005, produksi cumi-cumi mengalami peningkatan ratarata sebesar 10,54% per tahun, yakni dari 27.575 ton pada tahun 1995 menjadi 58.433
107
ton pada tahun 2005. Pada periode yang sama, produksi sotong mengalami pertumbuhan rata-rata 13,01% per tahun, yaitu dari 5.939 ton menjadi 16.394 ton. Sedangkan produksi gurita meningkat rata-rata 33,10% per tahun, yakni dari 664 ton menjadi 2.996 ton (Ditjen Perikanan Tangkap, 2007). Sehubungan dengan belum berkembangnya industri pengolahan cumi-cumi, sotong dan gurita, diversifikasi olahan komoditas tersebut juga belum berkembang. Cumi-cumi hanya diolah menjadi produk utuh beku (frozen whole round squid), sotong juga hanya diolah menjadi produk utuh beku (frozen whole round cuttlefish), sedangkan gurita diolah menjadi produk utuh dan produk tanpa kepala (frozen whole round octopus dan frozen whole gutted octopus). Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan produk frozen whole round squid dan frozen whole round cuttlefish tidak besar, yaitu 17,95% dan 24,37%. Sementara itu, nilai tambah kedua produk olahan gurita lebih besar, yakni masing-masing 30,03% dan 35,69%. Tabel 21 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan hewan lunak (molluscs), 2006 No 1 2 3
Jenis komoditas/ nama produk Cumi-cumi • Frozen whole round squid Sotong • Frozen whole round cuttlefish Gurita • Frozen whole round octopus • Frozen whole gutted octopus
Produsen/ UPI (unit)
Nilai tambah rata-rata (%)
1
17,95
2
24,37
1 2
30,03 35,69
3) Ikan (fishes) Dalam uraian ini, ikan (fishes) dikelompokkan menjadi tiga, yaitu ikan tuna dan sejenisnya, ikan kakap merah dan ikan nila, serta ikan lainnya. Industri pengolahan tuna beku di Pulau Jawa telah berkembang cukup lama, yaitu sekitar 25 tahun yang lalu. Pada saat itu, usaha penangkapan tuna dengan long-liner yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta dan di Pelabuhan Benoa Bali berkembang dengan pesat. Namun dalam perkembangannya, beberapa unit
108
pengolahan tuna beku berhenti beroperasi karena tidak memperoleh pasokan bahan baku, sebagai dampak menurunnya pendaratan ikan tuna di dua pelabuhan tersebut. Diversifikasi produk olahan tuna beku sudah cukup berkembang, yakni ada lima jenis, meliputi : frozen whole round tuna, frozen loin tuna, frozen DWT (dressed without tail) tuna, frozen saku tuna, dan frozen steak tuna. Dari hasil penelitian ini terungkap bahwa seluruh unit pengolahan ikan yang mengolah tuna beku menghasilkan produk frozen loin tuna. Pada tabel 22 terlihat bahwa produk olahan tuna beku yang paling tinggi nilai tambahnya adalah frozen saku tuna yakni 35,34%, diikuti oleh frozen steak tuna (34,28%), frozen loin tuna (24,33%), frozen DWT tuna (23,94%), dan frozen whole round tuna (16,69%). Tabel 22 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan ikan tuna dan sejenisnya, 2006 No
Jenis komoditas/nama produk
1
Tuna (yellowfin tuna, bigeye tuna, albacore) • Frozen whole round tuna • Frozen loin tuna • Frozen DWT tuna • Frozen saku tuna • Frozen steak tuna Setuhuk (marlin) • Frozen loin marlin Ikan Pedang (swordfish) • Frozen DWT swordfish • Frozen loin swordfish Meka • Frozen DWT meka Cakalang (skipjack) • Frozen whole round skipjack
2 3
4 5
Produsen/ UPI (unit)
Nilai tambah rata-rata (%)
3 13 1 2 2
16,69 24,33 23,94 35,34 34,28
3
17,36
1 1
9,78 14,76
1
17,08
1
26,70
Diversifikasi produk olahan ikan sejenis tuna (marlin, swordfish dan meka) hampir sama dengan diversifikasi olahan ikan tuna, yakni loin dan DWT. Hal ini karena produk-produk tersebut merupakan subtitusi produk olahan tuna. Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ikan sejenis tuna relatif rendah (dibawah 18%), karena nilai jual produk-produk tersebut juga rendah. Sementara itu, ikan cakalang
109
meskipun hanya diolah dalam bentuk utuh (frozen skipjack whole round) nilai tambahnya mencapai 26,70%. Diversifikasi produk olahan ikan kakap merah dan ikan nila adalah sama, karena perdagangan ikan nila di pasar dunia merupakan substitusi terhadap ikan kakap merah yang produksinya semakin menurun. Saat ini tercatat ada empat jenis produk olahan ikan kakap merah atau nila, yaitu : frozen whole round, frozen fillet dan frozen WGGS (whole, gilled, gutted and scalled). Pada Tabel 23 terlihat bahwa untuk produk yang sama, nilai tambah produk olahan ikan nila lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kakap merah. Jika dilihat per jenis produk, diketahui bahwa produk fillet bernilai tambah paling tinggi, diikuti produk WGGS dan produk utuh. Tabel 23 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan ikan kakap merah dan ikan nila, 2006 No
Jenis komoditas/nama produk
1
Kakap merah • Frozen whole round red snapper • Frozen fillet red snapper • Frozen WGGS red snapper Ikan nila • Frozen whole round tilapia • Frozen fillet tilapia • Frozen WGGS tilapia
2
Produsen/ UPI (unit)
Nilai tambah rata-rata (%)
1 9 2
15,48 26,54 22,30
1 1 1
24,52 32,81 28,38
Sementara itu, diversifikasi olahan komoditas yang dikelompokkan sebagai ikan lainnya hampir tidak ada, karena ikan-ikan tersebut pada umumnya diolah dalam bentuk utuh (Tabel 24). Diversifikasi pengolahan terjadi hanya terhadap jenis-jenis ikan demersal yang diolah menjadi surimi beku, yaitu produk setengah jadi (intermediate product) yang merupakan bahan baku produk-produk jelli ikan (fish jelly products) seperti bakso ikan, fish nugget, fish finger dan sebagainya. Nilai tambah produk olahan jenis-jenis ikan ini sangat beragam, yang tertinggi adalah produk kurisi beku (frozen ornate treadfin bream) yakni 40,11%, sedangkan yang terendah adalah frozen loin oil fish yaitu 8,58%. Perbedaan nilai tambah tidak diketahui secara jelas, namun diperkirakan tergantung dari jenis ikan yang diolah.
110
Tabel 24 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan ikan lainnya, 2006 No
Nama produk
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Frozen whole round hairtail Frozen yellow pike eel Frozen bream Frozen leather jacket Frozen ribbon fish Frozen indian halibut Frozen whole round ornate treadfin bream Frozen bali sardinella Frozen steak spanish mackerel Frozen loin oil fish Frozen steak shark Frozen milkfish Frozen whole round walking catfish Frozen fillet catfish Frozen whole round sulphur goatfish Frozen purple-spotted Frozen surimi
Produsen/ UPI (unit) 12 2 1 1 2 2 1 3 2 1 1 1 1 1 1 1 5
Nilai tambah rata-rata (%) 32,84 35,36 32,01 28,88 20,51 20,19 40,11 35,62 36,24 8,58 19,44 34,50 36,97 21,46 31,58 32,32 26,87
4) Hewan air lainnya Hewan air lainnya yang dimanfaatkan oleh unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa adalah kodok (katak), yang diolah menjadi produk frozen froglegs. Dari empat unit pengolahan ikan yang memproduksi produk tersebut, diperoleh informasi bahwa nilai tambah produk tersebut rata-rata adalah sebesar 33,24%. 5.1.3 Pemasaran produk Seluruh unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa berorientasi pasar ekspor, sehingga hampir seluruh hasil produksinya diekspor ke manca negara. Pemasaran produk ke pasar domestik dilakukan hanya terhadap produk-produk yang tidak memenuhi standar mutu ekspor dan jumlahnya diperkirakan tidak lebih dari 5%. Negara tujuan ekspor yang utama adalah Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun belakangan ini, meskipun dalam jumlah yang masih sangat sedikit, beberapa unit pengolahan ikan telah mulai melakukan diversifikasi pemasaran ke negara/ kawasan potensial, seperti Korea Selatan, RRC, Australia dan Timur Tengah.
111
Selama periode 2002-2006, volume ekspor 69 unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian mengalami peningkatan rata-rata sebesar 24,58% per tahun, yaitu dari 36.105 ton menjadi 67.600 ton. Sedangkan nilainya meningkat ratarata 17,73% per tahun, yakni dari US $ 212,913 juta menjadi US $ 384.367 juta. Peningkatan volume dan nilai ekspor yg cukup besar tersebut ternyata tidak diikuti oleh peningkatan harga rata-rata, yang meningkat hanya sebesar 1,24% per tahun. Jika dilihat per komoditas, peningkatan volume ekspor tertinggi dicapai oleh komoditas hewan lunak (cumi-cumi, sotong dan gurita) yakni 212,33% per tahun, diikuti oleh udang yang meningkat rata-rata 35,08% per tahun, ikan lainnya 20,33% per tahun, tuna dan sejenisnya 7,92% per tahun serta komoditas lainnya 7,39%. Sedangkan menurut nilai, peningkatan ekspor tertinggi juga dicapai oleh komoditas binatang lunak (281,78%), diikuti komoditas ikan lainnya (25,68%), udang (19,77%) dan komoditas lainnya (14,65%). Sementara itu, nilai ekspor komoditas tuna dan sejenisnya mengalami penurunan dengan laju rata-rata sebesar -1,18% per tahun. Jika dilihat pada periode 2005-2006, secara keseluruhan terjadi penurunan ekspor yang cukup besar, yakni 4,79% dalam volume dan 8,78% dalam nilai. Penurunan volume ekspor tertinggi terjadi pada komoditas tuna dan sejenisnya, yakni 32,81%, diikuti komoditas cumi-cumi, sotong dan gurita sebesar 15,33%, dan ikan lainnya sebesar 4,34%. Sedangkan udang dan komoditas lainnya mengalami kenaikan, masingmasing sebesar 0,70% dan 7,11%. Sementara itu, penurunan nilai ekspor tertinggi terjadi pada komoditas tuna dan sejenisnya yakni sebesar 29,40%, diikuti cumi-cumi, sotong dan gurita sebesar 13,30%, udang sebesar 9,72% dan ikan lainnya sebesar 0,78%. Sedangkan nilai ekspor komoditas lainnya meningkat sebesar 74,91%.
Dari sisi tujuan ekspor, terlihat bahwa diversifikasi pemasaran produk olahan udang beku nampaknya belum berkembang, karena tujuan ekspor produk tersebut masih ke pasar tertentu saja yaitu Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Ekspor ke negara lain, yakni RRC dan Hongkong, hanya dilakukan terhadap produk udang utuh beku (frozen head-on shrimp) dan itupun dalam volume yang sangat kecil. Ekspor produk olahan hewan kulit keras (crustaceans) lainnya, yakni lobster beku dan kepiting beku juga ditujukan ke pasar tersebut.
112
Tabel 25 Perkembangan ekspor unit pengolahan ikan sampel penelitian, 2002-2006
No
Komoditas
1
Udang • Volume (ton) • Nilai (US $ 1000) Tuna dan sejenisnya • Volume (ton) • Nilai (US $ 1000) Ikan lainnya • Volume (ton) • Nilai (US $ 1000) Cumi, sotong & gurita • Volume (ton) • Nilai (US $ 1000) Komoditas lainnya • Volume (ton) • Nilai (US $ 1000) Jumlah • Volume (ton) • Nilai (US $ 1000) • Harga rata2 (US$/kg)
2
3
4
5
2002
2003
2004
2005
2006
16.894 23.117 54.213 37.002 37.261 151.922 198.872 298.268 321.855 290.579
Perubahan (%) 2005- 20022006 2006 0,70 -9,72
35,08 19,77
5.153 29.746
4.916 24.988
8.805 36.926
7.924 34.307
5.324 -32,81 24.222 -29,40
7,92 -1,18
11.490 21.817
9.199 26.645
14.932 36.646
21.394 52.705
20.466 52.294
-4,34 -0,78
20,33 25,68
165 372
1.458 4.437
3.112 8.309
2.081 5.152
1.762 -15,33 4.467 -13,30
212,33 281,78
2.404 9.055
1.590 6.569
1.908 6.978
2.601 7.321
2.786 12.805
7,11 74,91
7,39 14,65
36.105 40.280 82.971 71.002 67.600 212.913 261.512 387.126 421.340 384.367 5,90 6,49 4,67 5,93 5,69
-4,79 -8,78 -4,05
24,58 17,73 1,24
Keterangan : • Tuna dan sejenisnya = tuna, swordfish, marlin, meka dan cakalang • Ikan lainnya = kakap merah, nila, remang, layur, kurisi, ikan leather jacket, ribbonfish, ikan sebelah, lemuru, tengiri, lemadang, cucut, bandeng, lele, patin, kuniran dan swanggi • Komoditas lainnya = lobster, paha katak, surimi. Kondisi yang hampir sama juga terjadi dalam pemasaran produk olahan hewan lunak (molluscs), dimana Jepang dan Uni Eropa merupakan tujuan ekspor utama produk olahan cumi-cumi, sotong dan gurita. Selain diekspor kedua negara tersebut, gurita juga diekspor ke Amerika Serikat. Diversifikasi pemasaran yang sudah cukup berkembang terjadi pada ekspor produk olahan ikan tuna dan sejenisnya. Selain diekspor ke Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa, produk ini diekspor pula
113
ke beberapa pasar potensial, yaitu Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Australia, Afrika dan Timur Tengah. Pemasaran ekspor produk olahan ikan kakap merah dan ikan nila pada umumnya hanya ditujukan ke Amerika Serikat dan Uni Eropa, hanya produk kakap merah utuh beku yang diekspor ke negara lain yakni RRC. Sementara itu, pemasaran produk olahan ikan lainnya agak spesifik karena produk olahan dari jenis ikan tertentu diekspor ke negara tertentu pula. Sebagai contoh, produk olahan ikan patin hanya ditujukan ke pasar Amerika Serikat; produk-produk olahan dari beberapa jenis ikan yang selama ini tidak diekspor, seperti cunang-cunang (remang), ikan sebelah, ikan ayam-ayam, kurisi, dan swanggi hanya diekspor ke RRC; dan produk olahan lemuru hanya ditujukan ke pasar Australia. Produk olahan yang cukup terdiversifikasi pasarnya adalah ikan layur beku dan surimi beku. Produk ikan layur beku diekspor ke RRC, Korea Selatan, Jepang dan Australia, sedangkan tujuan ekspor surimi beku adalah Jepang, Singapura, Korea Selatan.
90000 80000
Volume (ton)
70000 Udang
60000
Tuna
50000
Ikan lainnya
40000
Cumi, sotong & gurita
30000
Komoditas lainnya
20000
Total
10000 0 2002
2003
2004
2005
2006
Gambar 12 Volume ekspor unit pengolahan ikan sampel penelitian, 2002-2006.
114
450000 400000 Nilai (US$ Ribu)
350000 Udang
300000
Tuna
250000
Ikan lainnya
200000
Cumi, sotong & gurita
150000
Komoditas lainnya
100000
Total
50000 0 2002
2003
2004
2005
2006
Gambar 13 Nilai ekspor unit pengolahan ikan sampel penelitian, 2002-2006.
5.1.4 Penyerapan tenaga kerja Penyerapan tenaga kerja 69 unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian secara keseluruhan berjumlah 21.698 orang, terdiri atas 6.610 orang lakilaki dan 15.088 orang perempuan. Berdasarkan jenis pekerjaan, terlihat bahwa 90,24% atau 19.581 orang bekerja pada bidang pengolahan, sedangkan sisanya yakni 9,76% atau 2.117 orang bekerja pada bidang administrasi (Tabel 26). Pada tabel itu juga terlihat bahwa secara keseluruhan, setiap unit pengolahan ikan rata-rata menyerap tenaga kerja sebanyak 314 orang, terdiri atas 96 orang laki-laki dan 218 orang perempuan. Dari 315 orang tersebut, 284 orang diantaranya bekerja pada bidang pengolahan dan 31 orang pada bidang administrasi. Apabila dilihat tingkat penyerapan tenaga kerja per satuan produksi, diketahui bahwa untuk mengolah satu ton bahan baku diperlukan input tenaga kerja sebanyak 43 orang, meliputi 30 orang perempuan dan 13 orang laki-laki. Mereka bekerja pada bidang pengolahan sebanyak 39 orang dan pada bidang administrasi sebanyak empat orang. Dengan demikian, apabila seluruh unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian dapat beroperasi sesuai kapasitas terpasang, yaitu 892,3 ton per hari, maka tenaga kerja yang akan diserap diperkirakan mencapai 38.422 orang.
115
Tabel 26 Penyerapan tenaga kerja unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa, 2006
No 1
2
3
4
5
6
7
Komoditas Udang • Rata-rata per UPI • Rata-rata per ton bahan baku Tuna dan sejenisnya • Rata-rata per UPI • Rata-rata per ton bahan baku Multi komoditas • Rata-rata per UPI • Rata-rata per ton bahan baku Nila • Rata-rata per UPI • Rata-rata per ton bahan baku Kepiting • Rata-rata per UPI • Rata-rata per ton bahan baku Layur • Rata-rata per UPI • Rata-rata per ton bahan baku Ikan demersal • Rata-rata per UPI • Rata-rata per ton bahan baku Jumlah • Rata-rata per UPI • Rata-rata per ton bahan baku
Jumlah Produksi Karyawan (orang) UPI (ton/ Laki-laki Perempuan (unit) hari) Adm Jumlah Pengol. Adm Jumlah Pengol. 25 177,78 3.053 439 3.492 7.326 566 7.892 140 122 18 293 23 316 19 17 2 41 3 44 7 33 246 17 263 113 25 138 35 2 37 16 4 20 7 1 8 3 1 4 28 171,06 1.805 472 2.277 5.600 432 6.032 64 17 81 200 15 215 11 3 14 33 3 35 1 27 151 6 157 138 3 141 151 6 157 138 3 141 6 0 6 5 0 5 2 0,35 9 5 14 52 18 70 7 5 2 26 9 35 40 26 14 149 51 200 2 60 169 6 175 383 17 400 85 3 88 192 9 200 3 0 3 6 1 7 4 34,8 164 68 232 372 43 415 41 17 58 93 11 104 5 2 7 11 1 12 69 503,99 5.597 1.013 6.610 13.984 1.104 15.088 81 15 96 203 16 219 11 2 13 28 2 30
Jumlah total 11.384 456 63 401 57 12 8.309 296 49 298 298 11 84 42 240 575 288 10 647 162 18 21.698 315 43
116
Jika dilihat berdasarkan komoditas, unit pengolahan udang beku menyerap tenaga kerja paling banyak yaitu 456 orang per UPI (unit pengolahan ikan). Selanjutnya, berturut-turut unit pengolahan nila beku 298 orang per UPI, unit pengolahan multi komoditas beku 296 orang per UPI, unit pengolahan layur beku 288 orang per UPI, unit pengolahan surimi beku 162 orang per UPI, unit pengolahan tuna beku 57 orang per UPI, dan unit pengolahan kepiting beku 42 orang per UPI. Sementara itu, jika dihitung berdasarkan satuan produksi, diketahui bahwa penyerapan tenaga kerja per satu ton bahan baku masing-masing komoditas adalah : kepiting 240 orang, udang 63 orang, multi komoditas 49 orang, ikan demersal 18 orang, tuna dan sejenisnya 12 orang, nila 11 orang, dan layur 10 orang.
5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produk Perikanan Prima 5.2.1 Hasil analisis kriteria produk perikanan prima Seperti diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa produk perikanan prima didiskripsikan sebagai produk perikanan yang mempunyai tiga kriteria, yaitu : (1) bermutu tinggi dan aman dikonsumsi, (2) bernilai tambah tinggi, dan (3) berdaya saing tinggi. Dari hasil analisis dengan menggunakan SEM sebagaimana disajikan pada Tabel 27, diketahui bahwa seluruh peubah berbeda nyata pada taraf 1 %. Kriteria produk perikanan prima yang paling kuat adalah daya saing, selanjutnya nilai tambah dan yang paling lemah adalah mutu dan keamanan produk. Tabel 27 Hasil analisis kriteria produk perikanan prima, 2006 (n = 69) No. 1 2 3
Kriteria produk perikanan prima Mutu dan keamanan (Y1) Nilai tambah (Y2) Daya saing (Y3)
Koefisien
Nilai t
Keterangan
0,055 0,210 0,355
7,857 30,000 50,714
BN BN BN
Keterangan : BN = Berbeda nyata pada taraf 1% 5.2.2 Faktor-faktor penentu produk perikanan prima Dari hasil analisis SEM diketahui bahwa seluruh faktor penentu produk perikanan prima berbeda nyata pada taraf 1 %. Faktor yang paling besar peranannya
117
adalah orientasi kewirausahaan (entrepreneurial orientation), diikuti oleh kebijakan publik (public policy) dan kompetensi sumberdaya manusia (human resources competency). Tabel 28 Faktor-faktor penentu produk perikanan prima, 2006 (n = 69) Faktor penentu X1 (kebijakan publik) X2 (orientasi kewirausahaan) X3 (kompetensi SDM)
Koefisien 0,385 0,564 0,379
Nilai t 55,000 80,571 54,143
Keterangan BN BN BN
Keterangan : BN = Berbeda nyata pada taraf 1% 5.2.3 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima Hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima menunjukkan bahwa seluruh peubah berbeda nyata pada taraf 1% (Tabel 30). Pada faktor kebijakan publik, dukungan sumberdaya manusia dalam pelaksanaan kebijakan publik memiliki pengaruh yang paling kuat. Aspek-aspek lain berdasarkan urutan pengaruhnya adalah : kelengkapan dan kebenaran informasi dalam perumusan kebijakan, dukungan anggaran dalam pelaksanaan kebijakan, rasionalitas tujuan dan alasan diadakannya kebijakan, legitimasi kebijakan yang digulirkan, kerealistisan asumsi dalam perumusan kebijakan, advokatif tidaknya apabila terjadi perbedaan di lapangan dalam pelaksanaan kebijakan, kepatuhan karyawan perusahaan terhadap ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam kebijakan, ekspektasi masyarakat terhadap tujuan kebijakan, dukungan informasi dalam pelaksanaan kebijakan, dukungan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan kebijakan, sosialisasi tentang manfaat kebijakan kepada masyarakat, antisipatif tidaknya terhadap perubahan dalam pelaksanaan kebijakan, partisipasi publik dalam pelaksanaan kebijakan, kepatuhan aparat Dinas Kelautan dan Perikanan terhadap ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam pelaksanaan kebijakan, dan kepatuhan aparat DKP terhadap ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam pelaksanaan kebijakan. Pada faktor orientasi kewirausahaan, tindakan kompetitif memiliki pengaruh yang paling kuat. Aspek-aspek lain dalam faktor ini berdasarkan urutan pengaruhnya adalah jenis-jenis produk baru, teknik-teknik baru dalam pengolahan ikan, keberanian
118
Tabel 29 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima, 2006 (n = 69) No 1. a b c d e f g h i j k l m n o p 2. a b c d e f g h 3. a b c d e f g h i
Faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima Kebijakan publik (X1) Tujuan atau alasan rasional (X1.1) Tujuan diinginkan masyarakat (X1.2) Asumsi perumusan realistis (X1.3) Informasi perumusan lengkap dan benar (X1.4) Manfaat tersosialisasi kepada masyarakat (X1.5) Advokatif dalam hal terjadi perbedaan (X1.6) Antisipatif terhadap perubahan (X1.7) Dukungan SDM dalam pelaksanaan (X1.8) Dukungan Anggaran dalam pelaksanaan (X1.9) Dukungan sarana & prasarana dlm pelaksanaan (X1.10) Dukungan informasi dalam pelaksanaan (X1.11) Memperoleh legitimasi (X1.12) Partisipasi publik dalam pelaksanaan (X1.13) Kepatuhan aparat DKP thd ketentuan dlm kebijakan X1.14) Kepatuhan aparat Dinas Perikanan dan Kelautan thd ketentuan dalam kebijakan (X1.15) Kepatuhan karyawan perusahaan tdp ketentuan dalam kebijakan (X1.16) Orientasi kewirausahaan (X2) Tindakan kompetitif (X2.1) Teknik-teknik baru dalam pengolahan ikan (X2.2) Sikap kompetitif dalam menghadapi persiangan (X2.3) Kepemimpinan R&D (X2.4) Jenis-jenis produk baru (X2.5) Perubahan produk (X2.6) Kecenderungan risk taker (X2.7) Keberanian menghadapi lingkungan bisnis (X2.8) Kompetensi SDM (X3) Pengetahuan mengenai PMMT/HACCP (X3.1) Pengetahuan mengenai teknologi pengolahan (X3.2) Ketrampilan mengenai PMMT/HACCP (X3.3) Ketrampilan mengenai teknologi pengolahan (X3.4) Perhargaan bagi karyawan (X3.5) Kesempatan berkembang bagi karyawan (X3.6) Gaji/upah bagi karyawan (X3.7) Jenjang karier bagi karyawan (X3.8) Komunikasi antar personil dalam perusahaan (X3.9)
Keterangan : BN = Berbeda nyata pada taraf 1%
Koefisien
Nilai t
Keterangan
0,599 0,513 0,562 0,614 0,488 0,548 0,458 0,750 0,613 0,502 0,506 0,579 0,426 0,261 0,337
85,571 73,286 80,286 87,714 69,714 78,286 65,429 107,143 87,571 71,714 72,286 82,714 60,857 37,286 48,143
BN BN BN BN BN BN BN BN BN BN BN BN BN BN BN
0.545
77,857
BN
0,658 0,607 0,550 0,572 0,624 0,558 0,449 0,604
94,000 86,714 78,571 81,714 89,143 79,714 64,143 86,286
BN BN BN BN BN BN BN BN
0,432 0,446 0,414 0,484 0,807 0,863 0,611 0,912 0,892
61,714 63,714 59,143 69,143 115,286 123,286 87,286 130,286 127,571
BN BN BN BN BN BN BN BN BN
119
menghadapi lingkungan bisnis, kepemimpinan dalam riset dan pengembangan, perubahan produk (product changes), sikap kompetitif dalam menghadapi persaingan, dan yang terakhir adalah kecenderungan mengambil resiko. Sementara itu, pada faktor kompetensi sumberdaya manusia, jenjang karier bagi karyawan mempunyai pengaruh yang paling kuat. Aspek-aspek lain berdasarkan urutan pengaruhnya adalah komunikasi antar personil dalam perusahaan, kesempatan berkembang bagi karyawan, reward bagi karyawan, gaji/upah bagi karyawan, ketrampilan mengenai teknologi pengolahan, pengetahuan mengenai teknologi pengolahan, pengetahuan mengenai HACCP dan yang terakhir adalah ketrampilan mengenai HACCP. 5.2.4 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima Hasil pengujian korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima disajikan pada Tabel 30. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa semua korelasi antar faktor mempunyai pengaruh terhadap produk perikanan prima. Korelasi yang paling kuat adalah antara faktor orientasi kewirausahaan dengan faktor kompetensi sumberdaya manusia. Selanjutnya, korelasi antara faktor kebijakan publik dengan faktor orientasi kewirausahaan dan yang paling lemah adalah korelasi antara faktor kebijakan publik dengan faktor kompetensi sumberdaya manusia. Tabel 30 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima, 2006 (n = 69) Faktor penentu
X1 (Kebijakan publik)
X2 (Orientasi kewirausahaan)
X3 (Kompetensi SDM)
1,000
0,303
0,214
0,303
1,000
0,459
0,214
0,459
1,000
X1 (Kebijakan publik) X2 (Orientasi kewirausahaan) X3 (Kompetensi SDM) 5.2.5 Hasil pengujian hipotesa
Berdasarkan Tabel 27, 28, 29 dan 30 dapat ditarik kesimpulan atas hipotesa yang dikemukakan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 31.
120
Tabel 31 Hasil pengujian hipotesa Kode H1.1 H1.2
H1.3
H1.4
H1.5
H1.6
H1.7
H1.8 H1.9
H1.10 H1.11
H1.12 H1.13
H0 Rasionalitas tujuan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Keinginan masyarakat terhadap tujuan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Realistis tidaknya asumsi dalam perumusan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik
H1 Rasionalitas tujuan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Keinginan masyarakat thp tujuan tdk menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Realistis tidaknya asumsi dalam perumusan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Lengkap dan benar tidaknya Lengkap dan benar tidaknya informasi dalam perumusan informasi dalam perumusan menentukan efektivitas menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik pelaksanaan kebijakan publik Kemampuan penyebaran manfaat Kemampuan penyebaran menentukan efektivitas manfaat tidak menentukan pelaksanaan kebijakan publik efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Advokatif tidaknya jika terjadi Advokatif tidaknya jika terjadi perbedaan pandangan menentukan perbedaan pandangan tidak efektivitas pelaksanaan kebijakan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik publik Antisipatif tidaknya dalam Antisipatif tidaknya dalam menghadapi perubahan di menghadapi perubahan di lapangan tidak menentukan lapangan menentukan efektivitas efektivitas pelaksanaan pelaksanaan kebijakan publik kebijakan publik Dukungan SDM menentukan Dukungan SDM tidak efektivitas pelaksanaan kebijakan menentukan efektivitas publik pelaksanaan kebijakan publik Dukungan anggaran menentukan Dukungan anggaran tidak efektivitas pelaksanaan kebijakan menentukan efektivitas publik pelaksanaan kebijakan publik Dukungan sarana dan prasarana Dukungan sarana prasarana menentukan efektivitas tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik pelaksanaan kebijakan publik Dukungan informasi menentukan Dukungan informasi tidak efektivitas pelaksanaan kebijakan menentukan efektivitas publik pelaksanaan kebijakan publik Legitimasi menentukan efektivitas Legitimasi tidak menentukan pelaksanaan kebijakan publik efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat tidak menentukan efektivitas menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik pelaksanaan kebijakan publik
Hasil pengujian • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak
• H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak
121
Tabel 31 Lanjutan Kode H1.14 H1.15
H1.16
H2
H3.1
H3.2
H3.3
H3.4
H3.5
H3.6 H3.7 H3.8
H0 Kepatuhan aparat DKP menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Kepatuhan aparat Dinas Perikanan dan Kelautan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Kepatuhan karyawan unit pengolahan ikan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Pelaksanaan kebijakan publik pada unit pengolahan ikan mempunyai pengaruh positif terhadap produk perikanan prima Tindakan-tindakan kompetitif yang dilakukan oleh perusahaan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Teknik-teknik baru dalam pengolahan ikan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan
H1 Kepatuhan aparat DKP tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Kepatuhan aparat Dinas Perikanan dan Kelautan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Kepatuhan karyawan unit pengolahan ikan tidak menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan publik Pelaksanaan kebijakan publik pada unit pengolahan ikan mempunyai pengaruh negatif thp produk perikanan prima Tindakan-tindakan kompetitif yang dilakukan oleh perusahaan tdk menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Teknik-teknik baru dalam pengolahan ikan tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Sikap kompetitif dalam Sikap kompetitif dalam menghadapi persaingan tidak menghadapi persaingan menentukan tingkat orientasi menentukan tingkat orientasi kewirausahaan kewirausahaan Kepemimpinan dalam penelitian Kepemimpinan dalam dan pengembangan menentukan penelitian dan pengembangan tingkat orientasi kewirausahaan tidak menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Jenis-jenis produk baru yang Jenis-jenis produk baru yang dihasilkan perusahaan menentukan dihasilkan perusahaan tidak tingkat orientasi kewirausahaan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan Perubahan terhadap produk Perubahan terhadap produk menentukan tingkat orientasi tidak menentukan tingkat kewirausahaan orientasi kewirausahaan Kecenderungan mengambil resiko Kecenderungan mengambil menentukan tingkat orientasi resiko tidak menentukan tingkat kewirausahaan orientasi kewirausahaan Keberanian menghadapi Keberanian menghadapi lingkungan bisnis menentukan lingkungan bisnis tidak tingkat orientasi kewirausahaan menentukan tingkat orientasi kewirausahaan
Hasil pengujian • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak
122
Tabel 31 Lanjutan Kode H4
H5.1
H5.2
H5.3
H5.4
H5.5
H5.6 H5.7 H5.8 H5.9
H6
H7
H0 Orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan mempunyai pengaruh positif terhadap produk perikanan prima Pengetahuan mengenai sistem manajemen mutu berdasarkan konsepsi HACCP menentukan kompetensi SDM Pengetahuan mengenai teknologi pengolahan produk bernilai tambah tinggi menentukan kompetensi SDM Ketrampilan mengenai penerapan sistem manajemen mutu berdasarkan konsepsi HACCP menentukan kompetensi SDM
H1 Orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan mempunyai pengaruh negatif thp produk perikanan prima Pengetahuan mengenai sistem manajemen mutu berdasarkan konsepsi HACCP tidak menentukan kompetensi SDM Pengetahuan mengenai teknologi pengolahan produk bernilai tambah tinggi tidak menentukan kompetensi SDM Ketrampilan mengenai penerapan sistem manajemen mutu berdasarkan konsepsi HACCP tidak menentukan kompetensi SDM Ketrampilan mengenai Ketrampilan mengenai teknologi pengolahan produk bernilai tambah teknologi pengolahan produk bernilai tambah tinggi tidak tinggi menentukan kompetensi menentukan kompetensi SDM SDM Pemberian penghargaan bagi Pemberian penghargaan bagi karyawan yang berprestasi karyawan yang berprestasi tidak menentukan kompetensi SDM menentukan kompetensi SDM Kesempatan karyawan untuk Kesempatan karyawan untuk berkembang menentukan berkembang tidak menentukan kompetensi SDM kompetensi SDM Upah/gaji dan fasilitas lain bagi Upah/gaji dan fasilitas lain bagi karyawan menentukan kompetensi karyawan tidak menentukan SDM kompetensi SDM Jenjang karier menentukan Jenjang karier tidak menentukan kompetensi SDM kompetensi SDM Komunikasi interpersonal pada Komunikasi interpersonal pada perusahaan menentukan perusahaan tidak menentukan kompetensi SDM kompetensi SDM Kompetensi SDM pada unit Kompetensi SDM pada unit pengolahan ikan mempunyai pengolahan ikan mempunyai pengaruh negatif terhadap pengaruh positif terhadap produk produk perikanan prima perikanan prima Interaksi kebijakan publik dengan Interaksi kebijakan publik dengan orientasi kewirausahaan orientasi kewirausahaan mempunyai pengaruh negatif mempunyai pengaruh positif terhadap produk perikanan terhadap produk perikanan prima prima
Hasil pengujian • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak
• H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • • • •
H0 diterima H1 ditolak H0 diterima H1 ditolak
• H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak
123
Tabel 31 Lanjutan Kode H8
H9
H10.1
H0 Interaksi kebijakan publik dengan kompetensi SDM mempunyai pengaruh positif terhadap produk perikanan prima Interaksi orientasi kewirausahaan dengan kompetensi SDM mempunyai pengaruh positif terhadap produk perikanan prima Kasus penahanan/penolakan dan RASSF merupakan indikator produk perikanan prima
H10.2
Nilai tambah produk merupakan indikator produk perikanan prima
H10.3
Indeks RCA merupakan indikator produk perikanan prima
H1 Interaksi kebijakan publik dengan kompetensi SDM mempunyai pengaruh negatif thp produk perikanan prima Interaksi orientasi kewirausahaan dengan kompetensi SDM mempunyai pengaruh negatif thp produk perikanan prima Kasus penahanan/penolakan dan RASSF bukan merupakan indikator produk perikanan prima Nilai tambah produk bukan merupakan indikator produk perikanan prima Indeks RCA bukan merupakan indikator produk perikanan prima
Hasil pengujian • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak • H0 diterima • H1 ditolak
6 PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Kini Unit Pengolahan Ikan Beku 6.1.1 Tingkat utilisasi Seperti telah dikemukakan pada Bab 5 bahwa realisasi produksi seluruh unit pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian rata-rata adalah sebesar 503,9 ton per hari atau 56,47% dari kapasitas terpasang sebesar 892,3 ton per hari. Dengan demikian, terdapat kapasitas terbuang (idle capacity) sebesar 43,53%. Pengertian idle capacity adalah kapasitas produksi terpasang dikurangi kapasitas produksi yang terpakai (Djohar et al., 2003). Faktor utama yang menyebabkan terjadinya idle capacity adalah karena pasokan bahan baku semakin terbatas, sebagai akibat menurunnya produksi beberapa komoditas hasil tangkapan/budidaya dan atau tidak terpenuhinya persyaratan mutu bahan baku yang ditetapkan oleh industri pengolahan ikan. Kondisi ini apabila berlangsung terus maka akan mengancam keberlangsungan operasi unit pengolahan ikan, karena pendapatan yang diperoleh tidak dapat menanggung beban usaha. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pasokan bahan baku dan nilai tambah produk yang dihasilkan oleh unit pengolahan ikan. Faktor utama yang menyebabkan tidak terpenuhinya persyaratan mutu bahan baku adalah praktek penanganan ikan yang kurang baik dan benar yang dilakukan oleh nelayan, pembudidaya ikan, supplier dan lain sebagainya. Hal ini dipengaruhi oleh profitabilitas, resiko usaha, teknis dan pengetahuan, serta sosial budaya pelaku usaha tersebut (Purnomo et al., 2002). Berdasarkan komoditas yang diolah, unit pengolahan ikan nila beku mencapai tingkat utilisasi tertinggi yakni 87,10%. Hal ini karena unit pengolahan ikan yang khusus mengolah ikan nila hanya satu unit, sehingga kompetisi untuk mendapatkan bahan baku relatif tidak ketat. Disamping itu, unit pengolahan tersebut terintegrasi dengan usaha pembudidayaan, sehingga pasokan bahan baku dapat diupayakan secara internal. Kondisi serupa dialami oleh unit pengolahan ikan layur beku yang mencapai
125
tingkat utilisasi sebesar 71,43%, dimana pelaku utamanya hanya dua perusahaan sehingga persaingan dalam memperoleh bahan baku tidak terlalu ketat. Hal lain yang mendukung adalah bahwa ikan layur kurang digemari konsumen dalam negeri, sehingga permintaan pasar domestik relatif kecil. Sementara itu, unit pengolahan udang beku mencapai tingkat utilisasi yang cukup tinggi yakni sebesar 63,45%, karena unit pengolahan tersebut mendapat pasokan bahan baku dari luar Pulau Jawa (seperti Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat). Hal ini terjadi karena udang merupakan komoditas yang tinggi nilainya, sehingga biaya transportasi dari sumber bahan baku ke unit pengolahan dapat dialokasikan dari margin yang diperoleh dari proses pengolahan dan pemasaran. Apabila dilihat per provinsi, unit pengolahan udang beku di Jawa Timur mencapai tingkat utilisasi tertinggi, yakni sebesar 66,82%, diikuti oleh DKI Jakarta (56,22%), Jawa Barat (50%) dan Jawa Tengah (36,26%). Kondisi tersebut terjadi karena unit pengolahan udang beku di Jawa Timur dan DKI Jakarta lebih mampu bersaing dalam pengadaan bahan baku dibandingkan dengan unit pengolahan udang beku di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hal ini terlihat dari adanya pasokan bahan baku dari luar Pulau Jawa, yaitu dari Lampung dan Bangka Belitung bagi unit pengolahan udang beku di DKI Jakarta, serta dari Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat bagi unit pengolahan udang beku di Jawa Timur. Kemampuan bersaing unit pengolahan udang beku di DKI Jakarta dan Jawa Timur dalam memperoleh bahan baku diperoleh dari letak geografis ke dua daerah tersebut yang lebih dekat dengan sumber bahan baku di luar Pulau Jawa, sehingga biaya pengangkutan lebih rendah. Disamping itu, unit pengolahan udang beku di DKI Jakarta dan Jawa Timur pada umumnya telah mengembangkan produk-produk bernilai tambah tinggi (value added products), sehingga margin yang diperoleh juga tinggi. Dengan demikian, daya beli terhadap bahan baku unit pengolahan tersebut bisa lebih tinggi dibandingkan dengan daya beli unit pengolahan yang hanya menghasilkan produk-produk bernilai tambah rendah.
126
Dalam rangka menjamin keberlanjutan dan pengembangan usaha, unit pengolahan udang beku harus melakukan ekspansi ke luar Pulau Jawa dalam pengadaan bahan bakunya karena pasokan dari Pulau Jawa sulit diandalkan. Statistik perikanan budidaya menunjukkan bahwa produksi udang tambak di enam provinsi di Pulau Jawa pada tahun 2005 hanya mencapai 61.360 ton, sementara itu kebutuhan bahan baku 25 unit pengolahan udang beku yang masih aktif beroperasi diperkirakan mencapai 84.030 ton per tahun (dengan asumsi kapasitas produksi per hari sebesar 280,1 ton dan hari operasi selama satu tahun adalah 300 hari). Unit pengolahan tuna beku menempati urutan ke empat dengan tingkat utilisasi sebesar 51,97%. Unit pengolahan produk ini hanya ada di Provinsi Jawa Timur dan DKI Jakarta, dengan tingkat utilisasi masing-masing sebesar 73,60% dan 46,67%. Rendahnya tingkat utilisasi unit pengolahan tuna beku di DKI Jakarta karena hanya mengandalkan pasokan bahan baku dari pendaratan tuna di Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta yang dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kecederungan menurun. Sementara itu, unit pengolahan tuna beku di Jawa Timur memperoleh pasokan bahan baku dari beberapa PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) di pantai selatan Jawa, dari Bitung Sulawesi Utara dan bahkan kadang-kadang impor dari Jepang. Peningkatan utilitas unit pengolahan tuna beku nampaknya sulit dilakukan karena selama 10 tahun terakhir ini produksi tuna di Indonesia relatif stagnan. Statistik Perikanan Tangkap menunjukkan bahwa selama periode 1999-2005, produksi ikan madidihang (yellowfin tuna) mengalami kenaikan rata-rata hanya 2,59% per tahun, yakni dari 101.688 ton pada tahun 1995 menjadi 151.926 ton pada tahun 2005 (Ditjen Perikanan Tangkap, 2007). Oleh karena itu, agar mampu bertahan di tengah-tengah kelangkaan bahan baku, unit pengolahan tuna beku harus melakukan reorientasi ke arah pengolahan produk-produk bernilai tambah tinggi seperti steak tuna dan saku tuna, serta ditunjang dengan penerapan sistem manajemen mutu dan keamanan produk secara mantap dan konsisten. Pengolahan berbagai jenis komoditas atau multi komoditas merupakan tren baru dalam industri pengolahan ikan di Indonesia. Perkembangan positif ini dilandasi
127
pemikiran bahwa karena produksi perikanan bersifat musiman, maka dalam rangka menjamin
keberlangsungan
usaha,
industri
pengolahan
ikan
tidak
dapat
mengandalkan pasokan bahan baku dari jenis tertentu saja. Namun demikian, karena tren baru ini telah mendorong hampir setengah dari jumlah unit pengolahan ikan di Pulau Jawa untuk melakukan hal yang sama, maka kompetisi dalam memperebutkan bahan baku juga menjadi ketat. Dampaknya unit pengolahan ikan tersebut belum mampu beroperasi secara optimal, sehingga tingkat utilisasi yang dicapai baru sebesar 51,04%. Dari seluruh unit pengolahan multi komoditas di Pulau Jawa, unit pengolahan yang berada di Provinsi Jawa Timur mencapai tingkat utilisasi tertinggi yakni sebesar 57,56%, diikuti DKI Jakarta (49,49%), Jawa Barat (42,95%), Banten (41,67%) dan Jawa Tengah (22,35%). Data ini makin memperjelas bahwa unit pengolahan ikan di Provinsi Jawa Timur dan DKI Jakarta lebih mampu bersaing dalam pengadaan bahan baku bila dibandingkan dengan unit pengolahan ikan di provinsi lain. Hal ini dimungkinkan karena di dua daerah tersebut telah berkembang produk-produk bernilai tambah tinggi dan secara geografis lebih dekat dengan sumber-sumber bahan baku di luar Pulau Jawa. Tren lain dalam industri pengolahan ikan di Pulau Jawa adalah berkembangnya usaha pengolahan surimi beku, dengan menggunakan bahan baku ikan-ikan demersal yang bernilai ekonomis rendah seperti ikan tiga waja, beloso, julung-julung dan sebagainya. Pada tahun 2006, industri ini beroperasi hanya 36,58% dari kapasitas terpasang, karena pasokan bahan baku mengandalkan dari pendaratan ikan di Pantura yang tingkat kompetisinya sudah sangat ketat. Peningkatan utilitas nampaknya sulit dilakukan apabila unit pengolahan surimi beku hanya mengandalkan pasokan bahan baku dari Pulau Jawa. Statistik perikanan tangkap menunjukkan bahwa selama 2001-2005, produksi perikanan laut di Pulau Jawa mengalami penurunan dengan laju rata-rata sebesar -4,64% per tahun, yakni dari 929.072 ton menjadi 755.650 ton (Tabel 32). Oleh karena itu, unit pengolahan surimi beku harus melakukan ekspansi ke luar Pulau Jawa dalam pengadaan bahan baku. Hal ini dapat dilakukan apabila industri tersebut dapat
128
Tabel 32 Produksi perikanan laut di Pulau Jawa, 2001-2005 No
Provinsi
1 2 3 4 5 6
Banten Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Jumlah
2001 108.109 141.261 107.136 274.809 1.339 296.418 929.072
2002 64.966 150.010 106.668 281.268 1.641 394.586 999.139
2003 52.871 149.158 120.827 236.235 1.775 414.653 975.519
2004
2005
53.535 160.240 123.869 244.389 1.444 320.691 904.168
25.233 141.813 132.024 184.014 1.773 270.793 755.650
Perubahan/ tahun (%) -27,53 0,39 5,48 -8,73 8,71 0,00 -4,64
Sumber : - Departemen Kelautan dan Perikanan (2006), diolah - Ditjen Perikanan Tangkap (2007), diolah meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, sehingga harganya juga meningkat, serta meningkatkan efisiensi. Peningkatan harga jual dan efisiensi diperlukan dalam rangka meningkatkan margin, agar pertambahan biaya transportasi yang timbul dalam pengadaan bahan baku tidak menurunkan tingkat kelayakan bisnis tersebut. Tingkat utilisasi terendah dicapai oleh unit pengolahan kepiting beku, yakni hanya sebesar 8,57%. Hal ini dimungkinkan karena sumberdaya komoditas tersebut semakin langka dan permintaan pasar dalam negeri untuk konsumsi tanpa olahan semakin meningkat. Apabila dilihat secara spasial menurut provinsi dari seluruh unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa, unit pengolahan ikan beku di Jawa Timur mencapai tingkat utilisasi tertinggi yaitu 64,27%, DKI Jakarta menempati urutan kedua yakni 50,05%, diikuti Jawa Tengah 44,92%, Jawa Barat 44,07% dan Banten 41,67%. Kondisi ini terjadi karena unit pengolahan ikan beku di Jawa Timur dan DKI Jakarta mampu memobilisasi bahan baku dari luar Pulau Jawa, sedangkan unit pengolahan ikan beku di provinsi lainnya hanya mengandalkan pasokan dari supplier lokal. Dari uraian di atas terlihat bahwa agar dapat terus beroperasi dan berkembang, unit pengolahan ikan di Pulau Jawa harus berupaya untuk meningkatkan pasokan bahan baku dan atau meningkatkan nilai tambah produk yang dihasilkan. Peningkatan pasokan bahan baku dapat dilakukan melalui out sourcing, baik dari luar pulau maupun luar negeri. Disamping itu, perlu dilakukan perbaikan dalam pengelolaan
129
rantai pasokan (supply chain management - SCM), karena selama ini terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan dalam pengadaan bahan baku. Strategi SCM yang terdiri dari sourcing strategy, supply flow strategy, demand flow strategy, customer service strategy, dan supply chain integration terbukti dapat membangun keunggulan kompetitif (Djohar et al., 2003). Sementara
itu,
peningkatan
nilai
tambah
dapat
dilakukan
melalui
pengembangan produk ke arah produk-produk yang siap saji/siap makan (Zugarramurdi, 2003). Hal itu karena didorong perubahan pola hidup masyarakat modern yang cenderung sibuk, sehingga bersedia membayar lebih mahal bagi produk-produk yang lebih siap untuk dikonsumsi. 6.1.2 Pengembangan produk Industri pengolahan udang beku telah berkembang cukup lama dan tambah marak pada awal dekade tahun 1980-an, yakni pada saat terjadinya booming usaha pembudidayaan udang di Pulau Jawa dan beberapa daerah lain. Pada awal perkembangannya, produk yang dihasilkan oleh unit pengolahan udang beku hanya dua macam yaitu block frozen head-less shrimp dan block frozen head-on shrimp. Namun saat ini telah berkembang menjadi 15 macam produk, yakni delapan macam produk olahan dalam bentuk blok (block frozen head-less shrimp, block frozen headon shrimp, block frozen peeled & devined shrimp, block frozen PDTO (peeled & devined tail-on) shrimp, block frozen eazy peeled shrimp, block frozen blancing/cooked shrimp, block frozen peeled undevined shrimp, dan block frozen cooked & peeled undevined shrimp) dan tujuh macam dalam bentuk individual (frozen breaded shrimp, IQF peeled & devined shrimp, frozen nobashi ebi, IQF peeled tail-on shrimp, IQF head-less shrimp, semi IQF head-on shrimp, dan IQF cooked shrimp). Namun sayangnya keberagaman produk olahan tersebut di atas hanya dihasilkan oleh beberapa unit pengolahan ikan saja, terlihat dari data yang menunjukkan bahwa sebagian besar (88%) unit pengolahan ikan masih mengolah produk konvensional, yakni block frozen head-less shrimp. Hal ini memberi gambaran bahwa secara umum unit pengolahan ikan di Indonesia belum melakukan
130
pengembangan produk, padahal permintaan pasar dunia terhadap traditional block frozen fishery products termasuk block frozen head-less shrimp menunjukkan pertumbuhan yang negatif. Disisi lain, impor value added/prepared and preserved fishery products meningkat 20,5% dalam volume dan 26,0% dalam nilai selama periode 2001-2005 (Ferdouse, 2006). Kondisi ini apabila berlangsung terus maka posisi Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor udang utama di dunia akan terancam, karena kalah bersaing dengan negara produsen udang lainnya. Secara umum, nilai tambah produk udang beku individual lebih tinggi dibandingkan dengan nilai tambah produk udang beku blok, karena produk individual telah mengalami preparasi sedemikan rupa sehingga siap saji/dimakan, serta dikemas dalam bentuk consumer pack sehingga siap dipasarkan secara retail. Sementara itu, produk udang beku blok masih mengalami perlakuan/pengolahan lanjutan di negara pengimpor sebelum dipasarkan. Produk tersebut mengalami proses pelelehan (thawing), preparasi atau tanpa, pengepakan dalam bentuk consumer pack dan pembekuan kembali secara individual. Dengan demikian, nilai tambah dari proses pengolahan terbagi menjadi dua yakni dinikmati oleh eksportir dan importir. Jika dilihat secara keseluruhan, tiga macam produk udang beku yang nilai tambahnya tertinggi adalah frozen breaded shrimp (37,70%), frozen nobashi ebi (36,54%) dan IQF head-less shrimp (35,33 %). Sedangkan tiga jenis yang terendah adalah block frozen cooked & peeled undevined shrimp (16,27%), block frozen headless shrimp (16,60%) dan block frozen head-on shrimp (18,41%). Data ini mengindikasikan bahwa pengolahan udang beku dalam bentuk blok, terutama produk cooked & peeled undevined, head-less dan head-on sudah harus ditinggalkan. Sebaliknya produk yang nilai tambahnya tinggi seperti breaded shrimp dan nobashi ebi perlu dikembangkan secara lebih intensif. Diversifikasi produk olahan komoditas lobster dan kepiting dapat dikatakan tidak ada, karena lobster hanya diolah menjadi produk lobster beku utuh (frozen lobster). Sedangkan kepiting diolah menjadi produk frozen soft shell crab dan frozen crab white body meat. Meskipun demikian, nilai tambah ke tiga jenis produk tersebut tergolong tinggi, yakni 52,54% untuk produk frozen lobster; 44,19% untuk produk
131
frozen soft shell crab dan 46,64% untuk produk frozen crab white body meat. Hal ini karena produk-produk tersebut termasuk langka dan pasarnya terbatas, sehingga termasuk produk eksklusif yang harganya mahal. Pengolahan hewan lunak (cumi-cumi, sotong dan gurita) beku belum berkembang di Indonesia, sehingga produk yang dihasilkan juga belum beragam. Cumi-cumi hanya diolah menjadi produk utuh beku (frozen whole round squid), sotong juga hanya diolah menjadi produk utuh beku (frozen whole round cuttlefish), sedangkan gurita diolah menjadi produk utuh dan produk tanpa kepala (frozen whole round octopus dan frozen whole gutted octopus). Peluang pengembangan produk olahan komoditas ini cukup terbuka, karena di negara tujuan ekspor produk-produk tersebut diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk siap saji/makan seperti calamari (squid ring). Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan produk frozen whole round squid dan frozen whole round cuttlefish tidak besar, yaitu 17,95% dan 24,37%. Sementara itu, nilai tambah ke dua produk olahan gurita lebih besar, yakni masingmasing 30,03% dan 35,69%. Tingginya nilai tambah produk tersebut dimungkinkan karena pasokan produk olahan gurita ke pasar dunia, terutama Jepang, mengalami penurunan yang sangat tajam, yakni dari 103.200 ton pada tahun 1999 menjadi 53.300 ton pada tahun 2004. Dampaknya harga produk gurita di pasar Jepang pada tahun 2004 mencapai US $ 12 per kg, meningkat dua kali lipat dibanding harga pada tahun 2001 (FAO, 2006). Unit pengolahan tuna beku telah menghasilkan produk yang cukup beragam (lima macam produk), yaitu frozen whole round tuna, frozen loin tuna, frozen DWT (dressed without tail) tuna, frozen saku tuna, dan frozen steak tuna. Produk steak tuna mengalami perkembangan yang paling pesat karena permintaan pasar dunia terhadap produk tersebut menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, sebagai dampak makin populernya steak tuna di kalangan generasi muda di negara-negara barat (FAO, 2006). Dari lima macam produk olahan tuna beku, produk frozen saku tuna dan frozen steak tuna memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk lainnya. Data ini memperjelas bahwa bahwa produk yang paling siap
132
dikonsumsi atau tidak memerlukan pengolahan lanjutan merupakan produk yang paling tinggi nilai tambahnya. Diversifikasi produk olahan ikan kakap merah dan ikan nila adalah sama, yakni frozen whole round, frozen fillet dan frozen WGGS (whole, gilled, gutted and scalled). Untuk produk yang sama, nilai tambah produk olahan ikan nila lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kakap merah. Hal ini dimungkinkan karena produsen/ eksportir ikan nila beku tidak banyak, sehingga tingkat kompetisi baik dalam pengadaan bahan baku maupun pemasaran tidak terlalu ketat. Jika dilihat per jenis produk, diketahui bahwa produk fillet bernilai tambah paling tinggi, diikuti produk WGGS dan produk utuh. Hal ini karena dua produk yang disebut terakhir masih memerlukan pengolahan lanjutan sebelum dikonsumsi, sebaliknya produk fillet telah siap disajikan/dimakan. Selain terhadap komoditas yang disebut di atas, diversifikasi pengolahan hampir tidak ada karena produk yang dihasilkan pada umumnya dalam bentuk utuh beku. Nilai tambah produk olahan komoditas-komoditas dimaksud sangat variatif, berkisar antara 8,58% sampai 40,11%. Perbedaan nilai tambah tidak diketahui secara jelas, namun diperkirakan tergantung dari jenis ikan yang diolah dan permintaan pasar. Perkembangan positif terjadi dalam pemanfaatan ikan-ikan demersal yang selama ini termasuk dalam kelompok ikan non ekonomis penting, seperti beloso, tiga waja dan mata goyang. Ikan-ikan tersebut diolah menjadi surimi beku, yaitu produk setengah jadi (intermediate product) yang merupakan bahan baku berbagai produk jelli ikan (fish jelly products) seperti bakso ikan, fish nugget, fish finger, otak-otak dan lain sebagainya serta berbagai produk imitasi seperti imitation crabmeat dan imitation shrimp. Perkembangan ini merupakan terobosan dalam industri pengolahan ikan, karena mampu memberi nilai tambah yang cukup besar yakni 26,87%. Disamping itu, pengolahan surimi beku dapat mendorong berkembangnya industri pengolahan produk-produk lanjutannya. Permintaan produk-produk dimaksud menunjukkan tren yang selalu meningkat, baik di pasar domestik maupun pasar internasional.
133
Uraian di atas menunjukkan bahwa pengembangan produk (products development) dalam industri pengolahan ikan belum berlangsung secara signifikan, karena produk yang dihasilkan pada umumnya masih berbentuk produk primer (primary products). Padahal pengembangan produk mempunyai peranan penting dalam pembangunan perikanan, yakni : mendorong pemanfaatan sumberdaya perikanan, menghasilkan nilai tambah, memperluas pangsa pasar, menyediakan lapangan pekerjaan, memberi peluang bagi perolehan HaKI termasuk paten, dan meningkatkan pendapatan negara (Heruwati, 2003). Bagi perusahaan pengolahan ikan, pengembangan produk merupakan langkah strategis dalam menjamin keberlanjutan dan pertumbuhan perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Wolff & Pett (2006) menunjukkan bahwa pengembangan produk berhubungan secara positif dengan pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya untuk mendorong pelaku bisnis pengolahan ikan agar melakukan reorientasi strategi bisnis ke arah produk-produk sekunder atau tersier. Informasi yang cukup menggembirakan dari hasil penelitian ini adalah bahwa nilai tambah yang dihasilkan oleh industri pengolahan ikan di Indonesia hampir sama dengan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri pengolahan ikan di negara lain. Studi yang dilakukan oleh INFOPESCA Project di Argentina menunjukkan bahwa nilai tambah produk block frozen head-less shrimp dan frozen breaded shrimp masing-masing adalah 18,82% dan 43,52% (Zugarramurdi, 2003). Sementara itu, nilai tambah ke dua produk tersebut di Pulau Jawa (Indonesia) masing-masing adalah 18,41% dan 37,70%. Data ini memberikan indikasi bahwa comparative advantages industri pengolahan ikan di Indonesia hampir sama dengan industri pengolahan ikan di Argentina. 6.1.3 Pemasaran produk Data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh perusahaan pengolahan ikan beku di Pulau Jawa berorientasi pasar ekspor. Selama periode 2002-2006, total ekspor 69 perusahaan sampel penelitian mengalami peningkatan rata-rata sebesar 24,58% per tahun dalam volume dan 17,73% per tahun
134
dalam nilai. Peningkatan yang cukup besar tersebut terutama disebabkan oleh ekspor komoditas cumi-cumi, sotong dan gurita yang meningkat secara dramatis selama periode 2002-2004, yakni rata-rata sebesar 448,54% per tahun dalam volume dan 590,00% per tahun dalam nilai. Hal ini terjadi karena pada periode itu, permintaan komoditas gurita oleh Jepang mengalami peningkatan secara signifikan sehubungan dengan menurunnya pasokan dari negara produsen utama, yakni Maroko (FAO, 2006). Disamping itu, disebabkan oleh meningkatnya kemampuan perusahaanperusahaan pengolahan ikan di Pulau Jawa dalam memobilisasi bahan baku dari luar Pulau Jawa. Fenomena ini sesungguhnya merupakan dilema dalam pengembangan industri pengolahan ikan di Indonesia, karena di satu sisi dapat meningkatkan utilitas unit pengolahan di Pulau Jawa, namun di sisi lain berpotensi sebagai ancaman bagi keberlangsungan bisnis pengolahan ikan di luar Pulau Jawa. Peningkatan total volume dan nilai ekspor yg cukup besar selama periode 2002-2006, ternyata tidak diikuti oleh meningkatnya harga rata-rata karena pada periode yang sama meningkat hanya sebesar 1,24% per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum nilai tambah produk-produk yang diekspor oleh unit pengolahan ikan tidak besar, sehingga memperkuat bukti bahwa pengembangan produk perikanan belum berlangsung sesuai harapan. Kinerja ekspor yang cukup baik sebagaimana disebut di atas ternyata hanya berlangsung pada periode 2002-2005, karena ekspor pada tahun 2006 menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya. Total volume ekspor pada tahun 2006 sebesar 67.600 ton, padahal pada tahun 2005 mencapai 71.002 ton sehingga terjadi penurunan sebesar 4,79%. Sedangkan nilainya turun sebesar 8,78%, yakni dari US $ 421.340 menjadi US $ 384.367. Menurunnya ekspor tersebut terutama dimungkinkan karena adanya ancaman embargo dan pengenaan ketentuan border control oleh Uni Eropa terhadap produk perikanan asal Indonesia, sehubungan dengan maraknya kasus RASFF (Rapid Allert System for Food and Feed). Disamping itu, disebabkan oleh turunnya produksi komoditas tuna dan sejenisnya, sebagai dampak tidak beroperasinya sekitar 50% dari total kapal tuna long-liner yang berpangkalan di
135
Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta dan Pelabuhan Benoa Bali pasca naiknya harga BBM. Sementara itu, apabila dilihat dari strukturnya, kinerja ekspor industri pengolahan ikan beku di Pulau Jawa dapat dikatakan masih mengecewakan, karena : 1) Sampai dengan tahun 2006, udang merupakan komoditas yang sangat dominan karena memberi kontribusi sebesar 75,60% dari total nilai ekspor (US $ 384,37 juta). Kondisi ini sangat membahayakan karena apabila terjadi gejolak dalam pemasaran udang di pasar internasional maka kinerja ekspor secara keseluruhan akan terpuruk; 2) Sebagian besar ekspor masih ditujukan ke pasar tertentu saja, yaitu Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Padahal hambatan perdagangan ke pasar tersebut, baik hambatan teknis maupun non teknis, semakin meningkat sehubungan dengan bergaungnya berbagai isu global seperti isu food safety, traceability, lingkungan, HAM dan lain sebagainya. Hambatan tersebut apabila tidak diatasi secara serius dan komprehensif maka dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan ekspor; 3) Produk yang diekspor pada umumnya masih merupakan produk primer yang nilai tambahnya rendah. Uraian di atas menggambarkan bahwa dalam rangka peningkatan ekspor, diversifikasi komoditas, negara tujuan maupun produk yang diekspor perlu dilakukan secara lebih intensif. Diversifikasi komoditas dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap komoditas udang, sehingga apabila terjadi gejolak di pasar udang dunia maka kinerja ekspor secara keseluruhan tidak terganggu. Disamping itu dimaksudkan untuk mengantisipasi tren pasokan bahan baku udang yang semakin terbatas dan kurang terjamin kontinuitasnya. Diversifikasi negara tujuan ekspor dimaksudkan untuk memperluas akses pasar dan mengurangi kasus-kasus penahanan/penolakan ekspor yang sering terjadi di pasar Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Diversifikasi dimaksud perlu diarahkan ke pasar potensial seperti RRC, Korea Selatan, negara-negara di Timur Tengah, Australia dan lain-lain. Diversifikasi produk perlu dilakukan untuk
136
meningkatkan nilai tambah dan mengantisipasi preferensi konsumen yang berkembang secara dinamis. 6.1.4 Penyerapan tenaga kerja Industri pengolahan ikan beku dapat dikatakan sebagai bidang usaha yang padat karya karena menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, yaitu rata-rata sebanyak 315 orang per unit pengolahan ikan atau 43 orang per satu ton bahan baku. Apabila dilihat berdasarkan komoditas yang diolah, diketahui bahwa unit pengolahan udang beku menyerap tenaga kerja yang paling banyak yaitu 456 orang, diikuti unit pengolahan nilai beku sebanyak 298 orang, unit pengolahan multi komoditas beku sebanyak 296 orang, unit pengolahan layur beku sebanyak 288 orang, unit pengolahan surimi beku sebanyak 162 orang, unit pengolahan tuna beku sebanyak 57 orang dan unit pengolahan kepiting beku sebanyak 42 orang. Jika dihitung per satuan produksi, penyerapan tenaga kerja per ton bahan baku berturut-turut adalah : pengolahan kepiting beku 240 orang, pengolahan udang beku 63 orang, pengolahan multi komoditas beku 49 orang, pengolahan surimi beku 18 orang, pengolahan tuna beku 12 orang, pengolahan nila beku 11 orang dan pengolahan layur beku 10 orang. Perbedaan tingkat penyerapan tenaga kerja tersebut di atas ditentukan oleh realisasi produksi, penerapan teknologi pengolahan dan bentuk produk akhir yang dihasilkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak realisasi produksi yang dicapai maka semakin banyak tenaga kerja yang diserap, semakin rendah teknologi yang diterapkan maka semakin banyak tenaga kerja yang diserap, dan semakin siap produk akhir untuk dikonsumsi maka semakin banyak tenaga kerja yang diserap. Pada pengolahan kepiting beku, produk akhir yang dihasilkan pada umumnya berupa daging kepiting beku, sehingga ada proses pengambilan daging dari cangkang. Proses tersebut tergolong rumit dan sampai saat ini masih dilakukan secara manual. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa tenaga kerja yang diperlukan dalam pengolahan produk tersebut paling banyak. Sementara itu, produk akhir yang
137
dihasilkan oleh unit pengolahan layur beku berupa frozen whole round, sehingga tenaga kerja yang terserap paling sedikit. Dalam kaitannya dengan penerapan teknologi, ada dua opsi yang patut dipertimbangkan oleh pelaku bisnis pengolahan ikan, yakni (1) menerapkan teknologi maju yang mengarah kepada mekanisasi dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah, atau (2) menggunakan teknologi sederhana dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Pilihan terhadap dua opsi tersebut akan membawa implikasi terhadap profitabilitas bisnis yang dijalankan, karena masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Data di atas menggambarkan bahwa keberadaan industri pengolahan ikan dapat membantu mengatasi masalah pengangguran. Oleh karena itu, agar kontribusinya terhadap penyediaan lapangan kerja meningkat, maka perlu dilakukan berbagai upaya agar industri pengolahan ikan dapat beroperasi sesuai kapasitas terpasang. Disamping itu, pengembangan produk kearah value added products perlu digalakkan, karena pengolahan produk-produk tersebut memerlukan proses yang lebih panjang sehingga tenaga kerja yang terserap semakin banyak. Dari penelitian ini juga terungkap bahwa sebagian besar (70%) tenaga kerja yang terserap oleh industri pengolahan ikan adalah kaum perempuan. Dengan demikian, pengembangan industri tersebut dapat memberi kontribusi terhadap peningkatan ekonomi keluarga serta menunjang program pemberdayaan perempuan.
6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produk Perikanan Prima Hasil analisis SEM sebagaimana disajikan pada Bab 5 memberikan gambaran model yang berisikan faktor-faktor yang dominan dalam mempengaruhi produk perikanan prima. Model tersebut apabila dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti lain di kemudian hari, diharapkan dapat dibentuk menjadi model yang layak dan selanjutnya dapat diverifikasi serta disimulasi untuk mendapatkan saran solusi yang optimum. Adapun gambaran model dimaksud dapat diuraikan pada sub bab sebagai berikut.
138
6.2.1 Hasil analisis kriteria produk perikanan prima Hasil analisis dengan menggunakan SEM menunjukkan bahwa peubah mutu dan keamanan produk, peubah nilai tambah dan peubah daya saing berbeda nyata pada taraf 1%. Dengan demikian, ke tiga peubah tersebut dapat ditetapkan sebagai kriteria produk perikanan prima. Hasil analisis SEM juga menunjukkan bahwa kriteria produk perikanan prima yang paling kuat adalah daya saing, diikuti nilai tambah dan yang terakhir adalah mutu dan keamanan produk. Daya saing menjadi kriteria yang paling kuat karena merupakan ukuran keunggulan suatu produk dalam meraih pangsa pasar secara signifikan dari konsumen dunia dibandingkan dengan produk dari negara/perusahaan lain (www.itcdonline. com/introduction/glossary). Pengertian pangsa pasar disini menunjuk kepada nilai ekspor, bukan volume ekspor. Oleh karena itu, agar dapat meraih pangsa pasar yang besar maka nilai ekspor harus ditingkatkan. Peningkatan nilai ekspor dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu melalui peningkatan volume ekspor, peningkatan nilai tambah produk atau kombinasi dari dua cara tersebut. Dengan demikian, nilai tambah produk merupakan salah satu faktor pembentuk daya saing. Aspek lain yang berpengaruh terhadap besar kecilnya pangsa pasar adalah kelancaran ekspor, sehingga segala hambatan perdagangan (trade barrier), baik yang bersifat teknis maupun non teknis harus dapat diatasi. Dalam konteks ini, mutu dan keamanan produk mempunyai peranan yang penting, karena beberapa negara pengimpor sering menggunakan isu tersebut sebagai technical barrier untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Dengan demikian, mutu dan keamanan produk juga merupakan faktor pembentuk daya saing. Uraian di atas menggambarkan bahwa daya saing mempunyai peranan yang paling penting dalam menentukan keprimaan suatu produk perikanan, serta menjadi faktor penarik (pull factor) bagi dua kriteria lainnya. Oleh karena itu, segala upaya perlu ditempuh, baik oleh pemerintah maupun dunia usaha, agar pangsa pasar produk perikanan Indonesia di pasar global semakin meningkat. Upaya tersebut harus dilakukan secara komprehensif, mulai dari lini produksi sampai pemasaran.
139
Nilai tambah menempati urutan ke dua sebagai kriteria produk perikanan prima karena dapat menciptakan kesejahteraan dan salah satu kunci sukses dalam berkompetisi (Zugarramurdi, 2003). Penambahan nilai (value addition) pada produk perikanan menurut Dzung (2003) antara lain dapat dilakukan melalui : (1) penerapan responsible aquaculture dalam rangka environmental value addition, (2) penerapan organic farming dalam rangka ecological value addition, (3) pengentasan kemiskinan dalam rangka social value addition, (4) pengembangan species baru dalam budidaya, (5) perbaikan teknologi penangkapan/pemanenan, (6) penurunan losses, (7) penjualan kepada ceruk pasar (niche markets), (8) pendekatan “from pond to table” untuk mutu, kebersihan dan keamanan produk, (9) penerapan sistem penelusuran produk (traceability), (10) penurunan kompetisi internal dalam pasar bahan baku, (11) dan penurunan biaya produksi. Melihat peranannya yang cukup penting sebagai kriteria produk perikanan prima, dan juga merupakan faktor penarik bagi peningkatan mutu dan keamanan produk, maka upaya-upaya ke arah peningkatan nilai tambah produk perlu lebih digalakkan. Justifikasi lain mengenai pentingnya peningkatan nilai tambah adalah karena merupakan salah satu langkah untuk mengatasi kelangkaan bahan baku yang menyebabkan unit pengolahan ikan mengalami idle capacity. Dengan meningkatnya nilai tambah, unit pengolahan ikan dimungkinkan masih dapat beroperasi meskipun di bawah kapasitas terpasang. Sementara itu, meskipun peranannya sebagai kriteria produk perikanan prima paling lemah, bukan berarti peningkatan mutu dan keamanan produk tidak perlu dilakukan. Pemberitaan media massa yang ekstensif mengenai isu BSE (bovine spongiform encephalopathy), GMF (genetically modified foods), keberadaan residu pestisida dan dioxin dalam makanan, pencemaran mikroba (seperti Salmonella) dan penggunaan antibiotika dalam budidaya bahan pangan menambah kekhawatiran konsumen tentang keamanan produk yang mereka konsumsi (Huss et al., 2004). Kondisi ini mendorong negara-negara pengimpor hasil perikanan untuk menetapkan persyaratan mutu dan keamanan produk yang semakin ketat.
140
Pada saat ini, sistem manajemen mutu dan keamanan produk perikanan yang diakui secara internasional dan telah menjadi persyaratan di beberapa negara adalah Program HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Program tersebut merupakan pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan bahaya (hazards) yang signifikan terhadap keamanan pangan (CAC, 1997). Sejumlah negara yang telah mewajibkan penerapan konsepsi HACCP pada industri makanan (termasuk produk perikanan) adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada dan beberapa negara ASEAN (temasuk Indonesia). Berkaitan dengan hal di atas, maka perlu dilakukan berbagai upaya agar penerapan Program HACCP pada industri perikanan dapat diterapkan secara konsisten. Faktor yang sering menjadi penghambat dalam pengembangan dan penerapan HACCP adalah keterbatasan personil dan biaya. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 29% perusahaan makanan memerlukan tambahan personil atau tambahan peralatan untuk menerapkan HACCP (Timothy et al., 2007). Tambahan personil dan peralatan tersebut terutama diperlukan dalam aktivitas penyusunan HACCP Plan, pemantauan titik pengendalian kritis (monitoring) dan pencatatan (record keeping). Sehubungan dengan itu, agar dapat menerapkan HACCP secara baik, perusahaan pengolahan ikan perlu mengalokasikan personil dan biaya secara memadai. Faktor lain yang juga menjadi penghambat dalam penerapan HACCP adalah persepsi para pelaku usaha, yaitu mimpi buruk birokrasi dalam penerapan HACCP (the bureaucratic nightmare of HACCP) (Taylor & Taylor, 2004). Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan penyederhanaan bikrokrasi dalam penerapan HACCP agar persepsi tersebut tidak ada lagi. 6.2.2 Faktor-faktor penentu produk perikanan prima Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa berdasarkan hasil analisis SEM, peubah kebijakan publik, peubah orientasi kewirausahaan dan peubah kompetensi sumberdaya manusia berbeda nyata pada taraf 1%. Dengan demikian, ke tiga peubah tersebut dapat ditetapkan sebagai faktor penentu produk perikanan prima. Masing-masing faktor mempunyai peranan yang berbeda tingkatannya, yang paling
141
kuat adalah faktor orientasi kewirausahaan, selanjutnya faktor kebijakan publik dan yang paling lemah adalah faktor kompetensi sumberdaya manusia. Orientasi kewirausahaan menjadi faktor penentu yang paling kuat karena merupakan faktor internal yang paling menentukan kinerja perusahaan, termasuk produk yang dihasilkan. Apabila semua dimensi orientasi kewirausahaan, yaitu proactiveness, innovativeness dan risk taking, melekat pada perusahaan pengolahan ikan dan berlangsung secara terus menerus, maka produk perikanan prima akan sangat mudah dihasilkan. Sikap proaktif yang dikembangkan oleh perusahaan akan menjadikan perusahaan tersebut mendapat informasi lebih awal dibanding pesaing, sehingga dapat mengantisipasi keinginan, kebutuhan dan permasalahan konsumen. Informasi tersebut dan analisisnya merupakan sumber data untuk melakukan inovasi sehingga daya saing produk yang dihasilkan akan meningkat. Inovasi banyak berkaitan dengan pengembangan atau terobosan teknologi, terutama untuk menghasilkan nilai tambah dan daya saing yang tinggi. Dalam pengembangan teknologi, terdapat tiga bentuk utama inovasi, yaitu inovasi pengembangan proses dan produk, inovasi pengembangan pengetahuan dan ketrampilan, dan inovasi pengembangan metode dan sistem organisasi (Sharif, 1993). Dengan demikian, melalui inovasi dapat dilakukan pengembangan produk ke arah value added products, sehingga keberlanjutan dan pertumbuhan perusahaan dapat ditingkatkan. Keberanian mengambil resiko (risk taking) adalah keberanian dalam mengalokasikan sumberdaya dan keberanian mengambil keputusan dalam situasi ketidakpastian. Hal itu sangat diperlukan karena untuk menghasilkan produk perikanan prima, pada tahap awal kemungkinan perusahaan harus mengeluarkan biaya yang relatif besar, misalnya perbaikan fasilitas unit pengolahan ikan, menyelenggarakan pelatihan bagi karyawan dan lain-lain. Sementara itu, dampak positif dari pengembangan produk perikanan prima belum tentu diperoleh dalam waktu dekat.
142
Kebijakan publik menempati urutan kedua dalam peranannya terhadap pengembangan produk perikanan prima, karena efektivitas pelaksanaan kebijakan publik pada suatu perusahaan pengolahan ikan sangat ditentukan oleh orientasi kewirausahaan perusahaan yang bersangkutan. Hal ini karena secara internasional disepakati bahwa tanggung jawab untuk menghasilkan makanan yang bermutu dan aman dikonsumsi ada di tangan produsen (Huss et al., 2004). Tanggung jawab tersebut menuntut manajemen suatu perusahaan perikanan untuk memahami dan mendukung penerapan HACCP pada unit pengolahan ikan yang dikelolanya. Oleh karena itu, mereka harus memahami manfaat, biaya dan sumberdaya yang diperlukan dalam penerapan HACCP. Dalam pengembangan HACCP Plan diperlukan persetujuan dari manajemen senior, karena seringkali diperlukan perbaikan atau penggantian/perubahan terhadap konstruksi atau tata letak (lay-out) fasilitas dan perlengkapan yang digunakan dalam proses pengolahan (Huss et al., 2004). Hal ini tentunya dapat menimbulkan biaya dan akan menjadi masalah ketika terdapat keterbatasan anggaran, karena modifikasi apapun yang diperlukan untuk menjamin keamanan pangan harus dilakukan dengan segera. Pemerintah sebagai salah satu komponen dalam pelaksanaan kebijakan publik juga mempunyai peranan yang penting dalam implementasi HACCP, yakni sebagai fasilitator, enforcers atau pelatih (Motarjemi & Schothorst, 1999). Sebagai fasilitator, pemerintah harus membantu perusahaan dalam memahami tujuan dan cakupan HACCP, serta menyediakan tenaga ahli dalam penyusunan HACCP Plan atau verifikasinya. Sebagai enforcers, pemerintah bertugas mengevaluasi implementasi HACCP Plan. Sedangkan sebagai pelatih, pemerintah harus menyelenggarakan pelatihan dan berpartisipasi dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh dunia usaha. Disamping itu, faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan dalam penerapan HACCP yaitu pengetahuan, sikap (attitude) dan perilaku personil dalam perusahaan juga perlu diperhatikan oleh pemerintah (Gilling et al., 2001). Semua fungsi pemerintah tersebut akan terlaksana dengan baik, apabila pihak manajemen perusahaan mempunyai komitmen yang kuat terhadap implementasi
143
HACCP. Komitmen dimaksud tidak akan muncul manakala pihak perusahaan tidak mempunyai sikap proaktif, inovatif dan keberanian mengambil resiko. Kompetensi sumberdaya manusia menjadi faktor penentu ke tiga karena peranannya dalam pengembangan produk perikanan prima dipengaruhi oleh faktor penentu
lainnya.
Orientasi
kewirausahaan
merupakan
faktor
pendorong
berkembangnya kompetensi sumberdaya manusia, karena kompetensi merupakan karakteristik dasar dari seseorang yang memungkinkan orang tersebut mengeluarkan kinerja superior dalam pekerjaannya, sehingga tidak dapat berkembang apabila kondisi lingkungannya tidak kondusif. Kompetensi dibutuhkan oleh seseorang agar dapat melaksanakan tugas secara efektif dan sukses. Hal ini dapat diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, penugasan/pengalaman ataupun bakat bawaan (talent). Sikap proaktif yang dikembangkan oleh perusahaan merupakan wahana untuk pembelajaran dan mengasah talenta bagi karyawan. Demikian juga sikap inovatif, karena untuk dapat melakukan inovasi diperlukan sumberdaya manusia yang mempunyai ketrampilan, pengetahuan dan motivasi kerja yang memadai. Sementara itu, keberanian mengambil resiko (risk taking) akan mendorong perusahaan untuk mengalokasikan sumberdaya manusia yang berkompeten guna melaksanakan strategi bisnis yang ditempuh. Kebijakan publik juga merupakan faktor pendorong meningkatnya kualitas kompetensi sumberdaya manusia, karena melalui kebijakan publik pemerintah menetapkan regulasi dan memberikan pelayanan umum. Dalam kerangka regulasi, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan atau ketentuan yang mau tidak mau harus diadopsi menjadi kebijakan perusahaan. Sebagai contoh, kebijakan tentang penerapan HACCP dalam pengolahan ikan. Kebijakan ini mengharuskan perusahaan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan karyawannya mengenai konsepsi dan penerapan HACCP, sehingga kompetensi karyawan yang bersangkutan juga meningkat. Sementara itu, dalam kerangka pelayanan umum, pemerintah menyediakan program pelatihan, magang dan sejenisnya yang dapat diikuti oleh karyawan
144
perusahaan pengolahan ikan. Berbagai program tersebut tentunya mempunyai andil dalam peningkatan kualitas kompetensi sumberdaya manusia.
6.2.3 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima 6.2.3.1 Kebijakan publik Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa seluruh peubah terukur pada faktor kebijakan publik berbeda nyata pada taraf 1 %, sehingga dapat ditetapkan sebagai indikator efektivitas pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Urutan pengaruh dari seluruh indikator tersebut berdasarkan hasil analisis SEM adalah : (1) dukungan sumberdaya manusia dalam pelaksanaan kebijakan publik, (2) kelengkapan dan kebenaran informasi dalam perumusan kebijakan, (3) dukungan anggaran dalam pelaksanaan kebijakan, (4) rasionalitas tujuan dan alasan diadakannya kebijakan, (5) legitimasi kebijakan yang digulirkan, (6) kerealistisan asumsi dalam perumusan kebijakan, (7) advokatif tidaknya apabila terjadi perbedaan di lapangan dalam pelaksanaan kebijakan, (8) kepatuhan karyawan perusahaan terhadap ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam kebijakan, (9) ekspektasi masyarakat terhadap tujuan kebijakan, (10) dukungan informasi dalam pelaksanaan kebijakan, (11) dukungan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan kebijakan, (12) sosialisasi tentang manfaat kebijakan kepada masyarakat, (13) antisipatif tidaknya terhadap perubahan dalam pelaksanaan kebijakan, (14) partisipasi publik dalam pelaksanaan kebijakan, (15) kepatuhan aparat Dinas Kelautan dan Perikanan terhadap ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam pelaksanaan kebijakan, dan (16) kepatuhan aparat DKP terhadap ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam pelaksanaan kebijakan. Dalam manajemen publik, sumberdaya manusia tidak hanya sekedar obyek kebijakan, akan tetapi berperan juga sebagai subyek kebijakan. Oleh karena itu, ketersediaan sumberdaya manusia secara memadai, baik dalam jumlah maupun kompetensi merupakan faktor terpenting yang menentukan kinerja kebijakan. Dalam kaitannya dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002
145
tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan, sumberdaya manusia yang berasal dari pemerintah diperlukan untuk melaksanakan fungsinya sebagai fasilitator, enforcers atau pelatih dalam pengembangan program HACCP yang dilakukan oleh unit pengolahan ikan serta ketentuan-ketentuan lain yang termuat dalam kebijakan dimaksud (Motarjemi & Schothorst, 1999). Sementara itu, sumberdaya manusia yang berasal dari perusahaan diperlukan untuk melaksanakan semua ketentuan yang tertuang dalam kebijakan tersebut di atas secara konsisten dan konsekuen. Hal ini karena tanggung jawab untuk menghasilkan makanan yang aman ada di tangan produsen (Huss et al., 2004). Bertitik tolak fungsi sumberdaya manusia dalam pelaksanaan kebijakan, maka kasus-kasus penolakan atau penahanan produk perikanan Indonesia oleh negara pengimpor serta maraknya penggunaan bahan berbahaya pada pengolahan ikan dimungkinkan karena kurang memadainya dukungan sumberdaya manusia dalam pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut di atas. Hal itu sejalan dengan hasil penelitian ini, dimana sebagian besar responden ragu-ragu menyatakan setuju terhadap pernyataan bahwa dukungan sumberdaya manusia dalam pelaksanaan kebijakan dimaksud telah memadai. Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa kelengkapan dan kebenaran informasi dalam perumusan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 diragukan oleh responden. Padahal kekurangan dan ketidak akuratan informasi pada saat formulasi kebijakan dapat mengakibatkan kekeliruan atau ketidakcocokan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut (Abidin, 2006). Sebaliknya, kebijakan yang dirumuskan berdasarkan informasi yang lengkap dan benar akan menghasilkan kinerja kebijakan yang baik. Dalam pelaksanaan kebijakan, dukungan anggaran juga memegang peranan yang penting. Anggaran yang dialokasikan, baik oleh pemerintah maupun perusahaan dalam pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 dianggap cukup memadai. Anggaran yang berasal dari pemerintah digunakan untuk kegiatan-kegiatan fasilitasi, inspeksi, pelatihan dan lain sebagainya.
146
Sementara itu, anggaran yang berasal dari perusahaan digunakan untuk pelaksanaan GMP dan pengembangan program HACCP (Huss et al., 2004). Persepsi publik terhadap rasionalitas tujuan dan alasan diadakannya suatu kebijakan juga berdampak terhadap kinerja kebijakan tersebut. Kebijakan yang memberi manfaat bagi kehidupan publik akan dapat terlaksana dengan baik. Hal ini karena pada hakekatnya suatu kebijakan ditujukan untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan publik guna meningkatkan kualitas kehidupan publik itu sendiri (Dwijowijoto, 2004). Dalam kaitannya dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002, tujuan yang ditetapkan adalah untuk mencapai tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna serta sekaligus, melindungi konsumen dari hal-hal yang merugikan dan membahayakan kesehatan, praktek-praktek yang bersifat penipuan dan pemalsuan dari produsen, membina produsen serta untuk meningkatkan daya saing produk perikanan. Tujuan ini oleh perusahaan pengolahan ikan dianggap cukup rasional, namun mereka meragukan apakah tujuan tersebut dapat memberi kontribusi bagi pertumbuhan perusahaan. Legitimasi terhadap kebijakan diperlukan agar dalam pelaksanaan kebijakan tersebut tidak berbenturan dengan kebijakan lain, terutama yang secara hirarki berada di atasnya. Perangkat kebijakan yang terkait dengan pembinaan dan pengawasan mutu serta keamanan produk perikanan antara lain adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 Tentang Standar Nasional Indonesia dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Peraturan perundangan tersebut menjadi konsideran bagi Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002, sehingga muatan-muatan yang terkandung di dalamnya selaras dengan Keputusan Menteri tersebut. Sungguhpun demikian, dalam penelitian ini terungkap bahwa asumsi yang digunakan dalam perumusan kebijakan itu dianggap kurang realistis. Padahal suatu kebijakan dianggap berkualitas dan dapat dilaksanakan apabila asumsi yang
147
digunakan dalam perumusan kebijakan realistis atau tidak mengada-ada. Hal ini barangkali yang menjadi salah satu penyebab belum efektifnya pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002, karena asumsi menentukan tingkat validitas suatu kebijakan (Abidin, 2006). Dalam pelaksanaan kebijakan di atas, aparat pemerintah (pembina/pengawas mutu) dianggap cukup advokatif apabila terjadi perbedaan pandangan di lapangan. Namun sayangnya pendekatan yang dilakukan pada umumnya bersifat regulatif, sehingga perusahaan pengolahan ikan cenderung hanya memenuhi peraturan atau ketentuan yang termuat dalam kebijakan. Padahal yang diperlukan adalah membangun kesadaran akan arti penting adanya kebijakan bagi kelangsungan dan pengembangan bisnisnya. Jouve et al. (1998) dalam Huss et al. (2004) mengatakan bahwa TQM (Total Quality Management) mencerminkan pendekatan budaya organisasi dan secara bersama-sama dengan sistem mutu menanamkan filosofi, budaya dan disiplin yang diperlukan untuk membangun komitmen semua orang dalam organisasi dalam rangka mencapai semua tujuan organisasi yang berhubungan dengan mutu. Bertitik tolak dari pandangan ini, pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002, seharusnya tidak bersifat regulatif karena kebijakan tersebut substansinya merupakan TQM. Secara sekilas, kepatuhan karyawan perusahaan terhadap ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 cukup tinggi. Hanya saja seperti yang diungkapkan di atas, kepatuhan tersebut tidak didasarkan atas kebutuhan adanya kebijakan. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan perubahan pendekatan dalam pelaksanaan kebijakan dimaksud. Hal lain yang sangat penting dalam pelaksanan kebijakan publik adalah bahwa tujuan kebijakan yang digulirkan harus diinginkan (desirable) oleh masyarakat. Suatu kebijakan dianggap diinginkan apabila mendapat dukungan dari banyak pihak, karena kebijakan publik menyangkut kepentingan banyak pihak (Abidin, 2006). Dalam penelitian ini terungkap bahwa tujuan digulirkannya
148
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 tidak sepenuhnya diinginkan oleh perusahaan pengolahan ikan, sehingga perlu dilakukan reformulasi tujuan atau sosialisasinya ditingkatkan. Pelaksanaan atau implementasi kebijakan dalam konteks manajemen berada di dalam kerangka organizing-leading-controlling, sehingga ketika suatu kebijakan sudah dibuat maka tugas selanjutnya adalah mengorganisasikan, melaksanakan kepemimpinan dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan tersebut (Dwijowijoto, 2004). Untuk melaksanakan fungsi dimaksud diperlukan dukungan informasi yang memadai, baik menyangkut sumberdaya organisasi, faktor-faktor penghambat, masalah-masalah yang mungkin timbul dan lain sebagainya. Dukungan informasi dalam pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 sudah cukup memadai, namun apakah informasi tersebut telah dimanfaatkan secara baik untuk melaksanaan fungsi-fungsi tersebut di atas, nampaknya masih patut dipertanyakan. Hal ini karena secara empiris pelaksanaan kebijakan tersebut belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Dukungan sarana dan prasarana juga merupakan aspek yang penting dalam pelaksanaan kebijakan, tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai suatu kebijakan mustahil dapat dilaksanakan Dukungan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 sudah cukup memadai, namun nampaknya kebijakan tersebut belum disesuaikan dengan dukungan sarana dan prasarana yang tersedia sehingga pelaksanaannya sering menghadapi kendala. Hal ini karena inti permasalahan dalam implementasi kebijakan adalah bagaimana kebijakan yang dibuat disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia (Dwijowijoto, 2004). Sosialisasi tentang manfaat kebijakan kepada masyarakat nampaknya belum dilaksanakan secara intensif, sehingga wajar jika tujuan atau alasan diadakannya kebijakan kurang diinginkan oleh masyarakat. Padahal pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan merupakan salah satu syarat dalam melakukan implementasi kebijakan (Dwijowijoto, 2004).
149
Dalam pelaksanaan kebijakan juga diperlukan langkah antisipatif terhadap tantangan perubahan di lapangan. Pemerintah sebagai aktor utama dalam pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 dinilai positif oleh perusahaan pengolahan ikan dalam mengelola perubahan. Hal ini antara lain tercermin dari pelibatan berbagai pihak dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan seringkali berujung pada perlunya diadakan perubahan. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 relatif sudah baik, namun pada umumnya karena dimobilisasi atau diorganisir oleh pemerintah. Partisipasi yang baik adalah yang timbul secara spontan dari masyarakat, karena lebih menjamin efektivitas pelaksanaan kebijakan. Aspek yang paling lemah pengaruhnya pada faktor kebijakan publik adalah kepatuhan aparat pemerintah, baik pusat maupun daerah. Hal ini mengandung makna bahwa aktor yang paling menentukan efektivitas pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 adalah pihak internal perusahaan pengolahan ikan, yakni karyawan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengawasan oleh aparat pemerintah perlu dilakukan secara intensif agar kepatuhan karyawan perusahaan pengolahan ikan terhadap ketentuan dalam kebijakan dapat meningkat. 6.2.3.2 Orientasi kewirausahaan Penelitian ini nampaknya mendukung penelitian sebelumnya karena seluruh peubah terukur pada faktor orientasi kewirausahaan berbeda nyata pada taraf 1%. Peubah tersebut berdasarkan urutan pengaruhnya adalah : (1) tindakan kompetitif, (2) jenis-jenis produk baru, (3) teknik-teknik baru dalam pengolahan ikan, (4) keberanian menghadapi lingkungan bisnis, (5) kepemimpinan dalam riset dan pengembangan, (6) perubahan produk, (7) sikap kompetitif dalam menghadapi persaingan, dan (8) kecenderungan mengambil resiko. Pada saat ini tindakan kompetitif dalam menghadapi pesaing sangat diperlukan karena persaingan dalam bisnis pengolahan ikan, terutama dalam pengadaan bahan baku, sangat ketat. Persaingan tersebut terjadi karena unit
150
pengolahan ikan beku di Pulau Jawa dapat dikatakan sudah jenuh mengingat jumlahnya banyak (189 unit), disisi lain pasokan bahan baku semakin terbatas. Oleh karena itu, perusahaan pengolahan ikan harus menerapkan strategi tertentu baik dalam memperoleh maupun memanfaatkan sumberdaya dalam proses bisnis (Penrose, 1959, 1995 dalam Rachmadi, 2005). Strategi yang umum dilakukan dalam bisnis perikanan adalah peningkatan daya beli terhadap bahan baku melalui efisiensi, peningkatan margin dan mengembangkan kemitraan dengan nelayan, pembudidaya ikan dan atau pemasok (supllier). Dalam penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar perusahaan pengolahan ikan belum melakukan tindakan-tindakan kompetitif sebagaimana disebutkan di atas. Akibatnya sumberdaya yang diperoleh atau dimanfaatkan sangat terbatas, sehingga perusahaan tidak dapat beroperasi secara optimal. Kondisi ini jika berlangsung terus maka perusahaan tidak akan mampu bertahan atau dengan kata lain akan mengalami kemunduran, bahkan berhenti beroperasi. Jenis-jenis produk baru adalah hasil dari suatu inovasi yang dilakukan oleh perusahaan pengolahan ikan. Kebutuhan dan preferensi konsumen atas produk perikanan yang berkembang secara dinamis, menuntut perusahaan untuk melakukan pengembangan produk (product development). Dengan demikian, kemampuan bersaing suatu perusahaan pengolahan ikan salah satunya ditentukan oleh kemampuannya dalam menciptakan produk-produk baru guna menarik dan mempertahankan konsumen (pelanggan). Schumpeter (1942) dalam Rachmadi (2005) berpendapat bahwa aktivitas dari inovasi dapat meningkatkan nilai perusahaan dan mendorong pertumbuhan perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, perusahaan pengolahan ikan akan bertahan dan mengalami pertumbuhan apabila melakukan berbagai bentuk inovasi, termasuk diversifikasi produk Namun sayangnya, dalam penelitian ini terungkap bahwa tidak semua perusahaan melakukan langkah tersebut, terlihat dari produkproduk yang dihasilkan, yakni hanya berupa produk konvensional yang masih merupakan bahan baku bagi proses pengolahan selanjutnya.
151
Teknik-teknik baru (new techniques) yang dikembangkan oleh perusahaan pengolahan ikan merupakan salah satu sikap proaktif dalam mengantisipasi kebutuhan, keinginan konsumen dan permasalahan yang dihadapi konsumen serta antisipasi terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pesaing. Melalui aktivitas ini dapat dihasilkan produk yang memenuhi tuntutan konsumen dan mempunyai daya saing yang tinggi. Disamping itu, perusahaan akan menjadi pionir dalam pengembangan teknologi pengolahan maupun penerapan manajemen mutu. Perusahaan yang mengembangkan teknik-teknik baru pada umumnya adalah perusahaan yang melakukan pengolahan udang dan tuna. Hal ini terlihat dari diversifikasi olahan udang yang telah mencapai 16 jenis produk dan tuna sebanyak lima jenis produk. Sementara itu, perusahaan yang mengolah komoditas lain secara umum hanya mengolah sesuai permintaan pembeli. Dalam penelitian ini terungkap bahwa sebagaian besar perusahaan pengolahan ikan cukup berani dalam menghadapi lingkungan bisnis yang sangat kompetitif. Keberanian dimaksud adalah salah satu sikap dari risk taking, karena perusahaan akan masuk dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Dinamika lingkungan industri yang berkembang secara cepat menuntut perusahaan untuk mengalokasikan sejumlah sumberdaya, sementara itu hasil yang diperoleh belum tentu sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, analisis terhadap lingkungan eksternal (industri) khususnya pesaing, pelanggan dan produk substitusi harus dilakukan secara cermat dan menjadi rujukan utama dalam perancangan bisnis. Melalui analisis tersebut diharapkan setiap keputusan yang diambil benar-benar akan meningkatkan nilai perusahaan. Kepemimpinan dalam riset dan pengembangan (R & D leadership) yang dilakukan oleh perusahaan pengolahan ikan, terutama yang mengolah udang, sudah cukup baik. Hal ini akan menjadikan perusahaan tersebut lebih unggul dibanding perusahaan lain, karena melalui riset dan pengembangan, perusahaan dapat melakukan technological innovativeness dan
product market innovativeness
sehingga mampu memanfaatkan kesempatan-kesempatan baru yang muncul di pasar. Perusahaan tidak akan dapat bertahan apabila menerapkan strategi yang sama untuk
152
untuk jangka waktu yang lama, karena pemahaman continuity (produk maupun proses produksi dapat bertahan dalam jangka panjang) telah diganti dengan discontinuity (produk maupun proses produksi berubah dengan cepat) sehubungan dengan terjadinya pergeseran-pergeseran di pasar sebagai akibat munculnya teknologi baru (Foster & Kaplan, 2001). Perubahan
produk
(product
changes)
adalah
hasil
dari
riset
dan
pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan. Perubahan tersebut diperlukan sebagai respon atas fenomena discontinuity, sebagai implikasi dinamika preferensi konsumen yang berkembang secara cepat. Dalam konteks pengolahan ikan, perubahan produk harus mengarah kepada value added products, karena dapat meningkatkan pertumbuhan perusahaan. Namun sayangnya, perusahaan pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian pada umumnya melakukan perubahan produk setelah ada permintaan pasar, sehingga akses pasarnya terbatas karena telah ada rintangan (barrier). Hal lain yang terungkap dalam penelitian ini adalah bahwa sebagian besar perusahaan pengolahan ikan tidak mempunyai sikap kompetitif (competitive posture). Padahal sikap tersebut harus melekat pada suatu perusahaan guna menghadapi persaingan yang semakin ketat. Dalam konteks orientasi kewirausahaan, sikap kompetitif harus diartikulasikan dalam strategi binis yang akan dijalankan. Huseini (2004) mengemukakan bahwa perusahaan yang menganut pendekatan pasar (market based), strategi bersaingnya adalah bagaimana memproteksi pasar dengan cara membuat rintangan agar pesaing sulit memasuki pasar (barrier to entry). Sementara itu, perusahaan yang menganut aliran resources based meletakkan strategi bersaingnya dengan cara menciptakan inovasi melalui sumberdaya yang dimiliki untuk ditingkatkan kemampuan bersaingnya melalui pemilihan kompetensi inti (core competency) sehingga menjadi penghambat bagi pesaingnya untuk meniru (barrier to imitation). Dengan demikian, kompetensi inti merupakan kunci sukses bagi perusahaan dalam menghadapi persaingan (Maria et al, 2007). Kecenderungan mengambil resiko sebagai salah satu sikap risk taking tetap diperlukan dalam bisnis pengolahan ikan, meskipun mempunyai pengaruh yang
153
paling kecil terhadap faktor orientasi kewirausahaan. Kecenderungan ini kurang nampak dalam perusahaan pengolahan ikan, padahal kegiatan produksi yang menghasilkan produk berisiko tinggi, seringkali berpeluang untuk mendapat keuntungan yang besar. Sebagai contoh, pengolahan produk yang siap dimakan sangat rentan terhadap kontaminasi lingkungan sehingga beresiko ditolak oleh konsumen, namun nilai tambah dari produk-produk seperti itu pada umumnya tinggi. Kondisi di atas dimungkinkan karena sebagian besar pengambil keputusan dalam perusahaan pengolahan ikan bukan pemilik saham perusahaan, sehingga kurang berani mengambil resiko. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hung & Mondejar (2005) menunjukkan bahwa preferensi dalam pengambilan resiko (risk taking) ditentukan oleh status para pengambil keputusan dalam perusahaan. Jika pengambil keputusan adalah seseorang yang memiliki saham dalam perusahaan, maka cenderung lebih berani mengambil resiko. 6.2.3.3 Kompetensi sumberdaya manusia Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa seluruh peubah terukur pada faktor kompetensi sumberdaya manusia berbeda nyata pada taraf 1%, sehingga dapat ditetapkan sebagai indikator peubah laten kompetensi sumberdaya manusia. Urutan pengaruh dari seluruh peubah terukur tersebut adalah : (1) rencana karier bagi karyawan, (2) komunikasi antar personil dalam perusahaan, (3) kesempatan berkembang bagi karyawan, (4) reward bagi karyawan, (5) gaji/upah bagi karyawan, (6) ketrampilan mengenai teknologi pengolahan, (7) pengetahuan mengenai teknologi pengolahan, (8) pengetahuan mengenai HACCP, dan (9) ketrampilan mengenai HACCP. Rencana karier (carrier plan) merupakan salah satu aspek yang mendorong motivasi kerja, karena seseorang memerlukan kepastian tentang apa yang akan didapat ketika berprestasi. Karier pada hakekatnya adalah mencapai jenjang yang lebih tinggi, sehingga seseorang dapat lebih mengaktualisasikan dirinya dalam rangka membangun kredibilitas. Dengan demikian, berprestasi merupakan suatu kebutuhan seseorang dalam bekerja. Murray (1938) dalam Usmara (2006) memberi definisi kebutuhan berprestasi (need for achivement) sebagai kebutuhan untuk menyelesaikan
154
sesuatu yang sulit; untuk menguasai, menggunakan atau mengatur sasaran fisik, makhluk hidup atau gagasan; untuk mengerjakannya secepat dan sebebas mungkin; untuk mengatasi hambatan dan mencapai standar yang tinggi; untuk menandingi dan melampaui orang lain; dan untuk meningkatkan harga diri dengan keberhasilan yang mengasah bakat. Sebagaian besar karyawan unit pengolahan ikan beku menilai bahwa rencana karier yang dikembangkan di masing-masing perusahaan tempat mereka bekerja sudah cukup baik. Hal ini tentunya harus dipertahankan karena akan meningkatkan motivasi kerja. Aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalam membangun motivasi kerja adalah hubungan dan komunikasi antar personil dalam perusahaan. Deeprose (2006) mengatakan bahwa semua peneliti tentang motivasi mengakui kebutuhan manusia akan persahabatan di tempat kerja. Dalam teori Maslow disebutkan bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang. Herzberg (1987) menyebutkan bahwa hubungan dengan manajer, rekan kerja dan bawahan sebagai faktor higieni dan tidak adanya faktor ini menjamin timbulnya ketidakpuasan dalam pekerjaan. Sementara itu, McClelland (1973) mengajukan sebuah teori bahwa kebutuhan primer adalah kebutuhan afiliasi, kebutuhan kekuasaan dan kebutuhan pencapaian. Dalam penelitian ini terungkap bahwa hubungan antar personil, baik secara vertikal maupun horizontal, dalam perusahaan pengolahan ikan beku adalah baik. Hubungan yang baik dan dapat membangkitkan energi dibangun atas dasar kepercayaan, kepedulian, saling menghargai, saling menghormati dan komunikasi yang berlanjut (Deeprose, 2006). Motivasi kerja juga dipengaruhi oleh kesempatan atau peluang bagi seseorang untuk berkembang atau tumbuh. Dalam perusahaan pengolahan ikan yang menjadi obyek penelitian, peluang dimaksud ada meskipun tidak besar. Adapun cara yang biasa dilakukan oleh perusahaan adalah dalam bentuk memberi kesempatan kepada karyawan untuk mengikuti pelatihan, job-training, magang serta pengkayaan pekerjaan/tugas (job enrichment).
155
Penghargaan (reward) yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan merupakan aspek lain yang mempengaruhi motivasi kerja, karena dapat memberikan energi kepada karyawan. Deeprose (2006) menyebutkan ada empat alasan reward dapat membangkitkan energi, yaitu : (a) reward menegaskan kembali perasaan memiliki kompetensi karyawan, (b) reward memperlihatkan bahwa organisasi menghargai karyawan, (c) reward merupakan hadiah yang sangat diinginkan oleh karyawan, dan (d) reward memperlihatkan kepada karyawan apa yang dianggap bernilai oleh perusahaan. Dalam penelitian ini terungkap bahwa pada perusahaan pengolahan ikan, pemberian reward bagi karyawan yang kinerjanya baik telah menjadi perhatian pihak manajemen. Disamping itu, gaji/upah yang diberikan oleh perusahaan dianggap telah sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan. Hal lain yang terungkap dalam penelitian ini adalah bahwa pengetahuan dan ketrampilan karyawan unit pengolahan ikan beku mengenai teknologi pengolahan dan manajeman mutu (HACCP) pada umumnya rendah. Padahal ke dua aspek ini sangat menentukan keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk perikanan prima. Oleh karena itu perlu dilakukan segala upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan karyawan, baik oleh pihak perusahaan maupun pemerintah. Disamping itu, perlu dilakukan evaluasi secara terus menerus terhadap pengetahuan karyawan mengenai HACCP karena hal ini dapat digunakan untuk memprediksi efektivitas penerapan HACCP dalam suatu perusahaan (Carol et al., 2005). 6.2.4 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima Korelasi antar faktor yang paling kuat pengaruhnya terhadap produk perikanan prima adalah korelasi antara faktor orientasi kewirausahaan dengan faktor kompetensi sumberdaya manusia. Selanjutnya, korelasi antara faktor kebijakan publik dengan faktor orientasi kewirausahaan dan yang paling lemah adalah korelasi antara faktor kebijakan publik dengan faktor kompetensi sumberdaya manusia. Korelasi antara faktor orientasi kewirausahaan dengan faktor kompetensi sumberdaya manusia mempunyai pengaruh paling kuat karena ke dua faktor tersebut merupakan faktor internal perusahaan pengolahan ikan. Lumpkin & Dess (1996) mengatakan bahwa orientasi kewirausahaan adalah suatu proses, praktik dan aktivitas
156
pengambilan keputusan yang menghasilkan suatu terobosan baru. Sementara itu, kompetensi sumberdaya manusia merupakan karakteristik yang mendasari seseorang yang memungkinkan orang tersebut menunjukkan kinerja superior dalam suatu pekerjaan, tugas atau situasi (Shermon, 2004). Kata kunci dari ke dua faktor tersebut adalah “terobosan baru” dan “kinerja superior”, keduanya merupakan syarat utama dihasilkannya produk perikanan prima. Korelasi antara faktor kebijakan publik dengan faktor orientasi kewirausahaan menjadi urutan ke dua dalam mempengaruhi produk perikanan prima karena kebijakan publik merupakan faktor eksternal yang berfungsi hanya sebagai pendorong bagi perusahaan pengolahan ikan untuk menghasilkan produk perikanan prima. Disamping itu, kebijakan publik tidak akan efektif manakala perusahaan tidak mempunyai orientasi kewirausahaan yang baik. Sementara itu, korelasi antara faktor kebijakan publik dengan faktor kompetensi sumberdaya manusia mempunyai pengaruh paling lemah terhadap produk perikanan prima karena ke dua faktor tersebut tidak akan berfungsi tanpa adanya orientasi kewirausahaan.
6.3 Opsi Kebijakan Pembangunan Industri Pengolahan Ikan Hasil penelitian sebagaimana diuraikan di atas merupakan dasar untuk menentukan opsi kebijakan pengembangan industri pengolahan ikan yang perlu ditempuh oleh pemerintah guna menghasilkan produk perikanan prima. Opsi kebijakan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kebijakan yang berkaitan dengan kriteria produk perikanan prima, dan kebijakan tentang faktor penentu produk perikanan prima. Bentuk-bentuk kebijakan dimaksud diuraikan sebagai berikut : 6.3.1 Kebijakan yang terkait dengan kriteria produk perikanan prima Seperti telah disebutkan di atas bahwa hasil analisis SEM menunjukkan bahwa daya saing merupakan kriteria produk perikanan prima yang paling menonjol, dibandingkan dengan dua kriteria lainnya, yakni nilai tambah produk serta mutu dan keamanan produk. Oleh karena itu, prioritas utama kebijakan pengembangan industri
157
pengolahan ikan seharusnya adalah peningkatan daya saing produk perikanan di pasar global. Sampai saat ini, kebijakan yang didesain secara khusus untuk meningkatkan daya saing produk perikanan di pasar internasional nampaknya belum ada, padahal Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa salah satu tujuan pengelolaan perikanan adalah meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan, baik dalam kerangka regulasi maupun pelayanan publik, yang komprehensif mengingat aspek daya saing dalam perdagangan internasional menyangkut daya saing harga (price competitiveness), daya saing teknologi (technological competitiveness) dan daya saing komersial (commercial competitiveness). Daya saing harga ditentukan oleh interaksi dari empat faktor yang menentukan persaingan harga di pasar dunia, yaitu biaya-biaya input riil (harga bahan baku, tingkat upah dan biaya modal), produktivitas, marjin keuntungan dan nilai tukar. Daya saing teknologi menunjukkan kemampuan dalam menyediakan kapabilitas teknis, karakteristik kinerja yang superior, kehematan energi dan kualitas produk yang dihasilkan. Sementara itu, daya saing komersial merefleksikan kekuatan, kreativitas dan efektivitas dari aktivitas kewirausahaan, termasuk pemasaran dan distribusi serta ketepatan pelayanan yang meningkatkan nilai pembeli. Berkaitan dengan hal di atas, kebijakan peningkatan daya saing yang dapat ditempuh antara lain adalah : 1. Stabilisasi harga bahan baku melalui introduksi sistim penyangga, guna memperkecil disparitas harga ikan pada saat musim dan pada saat paceklik; 2. Penetapan sistem pengupahan yang proporsional, dalam arti tidak memberatkan dunia usaha, namun tetap memperhatikan kesejahteraan karyawan; 3. Penetapan suku bunga yang kompetitif dengan negara lain; dan 4. Pengaturan distribusi margin yang adil bagi seluruh pelaku bisnis perikanan Sementara itu, kebijakan yang perlu ditempuh dalam rangka peningkatan nilai tambah produk perikanan, antara lain adalah : 1. Fasilitasi perluasan akses pasar, baik domestik maupun ekspor;
158
2. Pengembangan pasar domestik; 3. Diseminasi teknologi pengolahan value added products; 4. Pengembangan klaster industri perikanan; Selain kebijakan yang ditujukan untuk mendorong peningkatan daya saing dan nilai tambah produk, perlu juga dilakukan intervensi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan di bidang peningkatan mutu dan keamanan produk yang telah diterbitkan sebelumnya. Kebijakan dimaksud setidak-tidaknya harus mampu mendorong pelaku bisnis yang terkait dengan pengolahan ikan untuk menerapkan program HACCP secara konsisten dan konsekuen, serta menjadikannya sebagai budaya perusahaan (corporate culture) dan komitmen organisasi. Hal ini karena kinerja perusahaan dipengaruhi oleh corporate culture dan organizational commitment (Rashid et al., 2003). 6.3.2 Kebijakan faktor penentu produk perikanan prima Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan sebelumnya, faktor yang paling berpengaruh terhadap produk perikanan prima adalah orientasi kewirausahaan, diikuti faktor kebijakan publik dan faktor kompetensi sumberdaya manusia. Oleh karena itu, penentuan prioritas kebijakan dalam pengembangan produk perikanan prima seharusnya juga mengikuti urutan tersebut. Sampai
sekarang
kebijakan
yang
dirancang
secara
khusus
untuk
mengembangkan orientasi kewirausahaan pada perusahaan pengolahan ikan nampaknya belum ada. Menurut Kasali (2005), Indonesia kurang memiliki kebijakan yang tepat untuk merangsang berkembangnya kewirausahaan. Beberapa contoh kebijakan yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah adalah kebijakan pembinaan eksportir khususnya yang berasal dari UKM, perlakuan khusus mengenai pajak UKM dan pembinaan keahlian dan spirit kewirausahaan. Jika dikaitkan dengan dimensi orientasi kewirausahaan, yakni proaktif, inovatif dan keberanian mengambil resiko, maka urutan prioritas kebijakan yang perlu ditempuh oleh pemerintah adalah : 1. Pemberian insentif kepada perusahaan yang melakukan tindakan-tindakan kompetitif;
159
2. Pemberian insentif kepada perusahaan yang mengenalkan produk-produk baru; 3. Pemberian insentif kepada perusahaan yang mengenalkan teknologi baru dalam pengolahan ikan; 4. Pemberian insentif kepada perusahaan yang melaksanakan manajemen resiko (risk management) dengan baik; 5. Fasilitasi penyelenggaraan riset dan pengembangan; 6. Fasilitasi pengembangan produk (products development); 7. Fasilitasi penumbuhan sikap kompetitif pada perusahaan; 8. Penyelenggaraan pelatihan risk management. Kebijakan publik mengenai pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan, yakni Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002, perlu disempurnakan karena secara umum dapat dikatakan belum efektif. Penyempurnaan tersebut menyangkut kualitas kebijakan itu sendiri, strategi pelaksanaan, faktor-faktor pendukung maupun kepatuhan para aktor utamanya. Opsi kebijakan yang dapat ditempuh dalam rangka penyempurnaan itu berdasarkan urutan prioritasnya adalah : 1. Peningkatan dukungan sumberdaya manusia, terutama tenaga pembina dan pengawas mutu; 2. Peningkatan kelengkapan dan validitas data yang diperlukan dalam perumusan kebijakan; 3. Peningkatan dukungan anggaran, terutama untuk membangun sense of safety and quality masyarakat yang terkait dalam pengolahan ikan; 4. Rasionalisasi tujuan kebijakan sesuai kebutuhan pelaku usaha pengolahan ikan; 5. Sinkronisasi kebijakan dengan instansi terkait guna meningkatkan legitimasi; 6. Penggunaan asumsi yang lebih realistis dalam perumusan kebijakan; 7. Pembentukan Tim Advokasi guna menghadapi perbedaan di lapangan; 8. Peningkatan penegakan hukum bagi perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan; 9. Penjaringan aspirasi publik agar tujuan kebijakan sesuai dengan keinginan masyarakat; 10. Peningkatan dukungan informasi dalam pelaksanaan kebijakan; 11. Peningkatan dukungan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan kebijakan;
160
12. Peningkatan kegiatan sosialisasi; 13. Pemantauan perkembangan lingkungan strategis guna mengantisipasi perubahan; 14. Peningkatan partisipasi publik dalam pelaksanaan kebijakan; 15. Penguatan kelembagaan pembina dan pengawan mutu di daerah; dan 16. Penguatan kelembagaan pembina dan pengawas mutu di pusat. Dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas kompetensi sumberdaya manusia pada industri pengolahan ikan, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang dapat mendorong peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan motivasi kerja karyawan. Berdasarkan urutan prioritasnya opsi kebijakan yang dapat ditempuh adalah : 1. Fasilitasi pengembangan jenjang karier pada industri pengolahan ikan; 2. Penguatan sistem hubungan dan tata kerja pada perusahaan pengolahan ikan; 3. Pemberian insentif kepada perusahaan yang memberi perhatian kepada pertumbuhan kompetensi karyawan; 4. Introduksi sistem penghargaan (reward) pada industri pengolahan ikan; 5. Penetapan standar penggajian pada industri pengolahan ikan; 6. Peningkatan ketrampilan mengenai teknologi pengolahan value added products; 7. Peningkatan pengetahuan mengenai teknologi pengolahan value added products; 8. Peningkatan pengetahuan mengenai konsepsi HACCP; dan 9. Peningkatan ketrampilan mengenai penerapan HACCP. Berbagai opsi kebijakan tersebut di atas, baik kebijakan yang terkait dengan kriteria produk perikanan prima maupun kebijakan yang terkait dengan faktor penentu produk perikanan prima, merupakan rekomendasi kebijakan yang perlu dianalisis lebih lanjut tingkat kelayakannya oleh peneliti lain di kemudian hari. Kriteria kelayakan yang umum digunakan dalam analisis kebijakan adalah : layak secara politik (political feasibility), layak secara ekonomi (economy feasibility), layak secara keuangan (financial feasibility), layak secara administrasi (administrative feasibility), layak secara teknologi (technological feasibility), dan layak secara sosial budaya (sosio-cultural feasibility). Berdasarkan hasil analisis tersebut, diharapkan
161
dapat diketahui apakah suatu opsi kebijakan betul-betul dapat diterapkan, termasuk prasyarat yang diperlukan dalam penerapan kebijakan dimaksud.
6.4 Implikasi Hasil Penelitian 6.4.1 Implikasi bagi pemerintah Hasil penelitian ini memberi implikasi bahwa pemerintah perlu segera menyusun cetak biru (blue print) pembangunan industri pengolahan ikan, mengingat industri itu berpotensi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi perikanan dan dapat memberi kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian nasional. Namun di sisi lain, saat ini kondisinya dapat dikatakan terpuruk sehingga tertinggal dibandingkan dengan industri yang sama di negara tetangga, terutama Thailand, Filipina dan Singapura. Cetak biru dimaksud berisi sejumlah kebijakan sebagai penjabaran Undangundang No. 31/2004 tentang Perikanan dan Agenda Pembangunan Nasional 20042009, yang dapat mendorong berkembangnya industri pengolahan ikan. Beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam formulasi kebijakan pembangunan industri pengolahan ikan adalah : 1. Arah kebijakan ditujukan untuk menghasilkan produk perikanan prima; 2. Kebijakan yang akan digulirkan harus komprehensif, karena pembangunan industri pengolahan ikan tidak hanya menyangkut aspek ekonomi saja, tetapi bersifat multidimensi; 3. Kebijakan yang ditetapkan harus berwawasan ke depan, karena lingkungan strategis industri pengolahan ikan berubah dengan cepat dan dinamis; 4. Integrasi kebijakan dari pusat sampai daerah, mengingat dalam era otonomi daerah ini, pembangunan lebih banyak dilaksanakan di daerah; 5. Pelibatan para stakeholders agar kebijakan yang ditetapkan merupakan kebijakan yang inspiratif, sehingga mendapat dukungan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaannya. Implikasi yang lain adalah bahwa dalam pengembangan sumberdaya manusia perikanan, pemerintah perlu mendorong lembaga pendidikan dan pelatihan untuk
162
memasukkan materi mengenai kewirausahaan. Hal ini karena dalam pembangunan industri pengolahan ikan dan kemungkinan industri perikanan lainnya, faktor yang paling menentukan keberhasilan pembangunan industri tersebut adalah orientasi kewirausahaan pelaku usahanya. 6.4.2 Implikasi bagi pelaku usaha pengolahan ikan Bagi pelaku usaha (perusahaan) pengolahan ikan, hasil penelitian ini memberi implikasi penting sehubungan dengan signifikannya daya saing, nilai tambah dan mutu serta keamanan produk sebagai kriteria produk perikanan prima, dan signifikannya peranan kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia terhadap produk perikanan prima. Implikasi tersebut berkaitan dengan berbagai aspek dalam manajemen bisnis pengolahan ikan yang perlu dilakukan guna menjamin eksistensi dan pertumbuhan perusahaan, antara lain : 1. Perlunya dilakukan langkah strategis peningkatan pangsa pasar (market share) guna meningkatkan daya saing di pasar global. Langkah ini dapat ditempuh melalui pengembangan produk-produk yang bernilai tambah tinggi, dan peningkatan akses dalam pemasaran ekspor. Pengembangan produk bernilai tambah tinggi perlu dilakukan karena peningkatan pangsa pasar melalui peningkatan volume ekspor sulit dilakukan mengingat pasokan bahan baku semakin terbatas. Sementara itu, peningkatan akses pasar dapat dilakukan melalui penguatan pada pasar yang sudah dikuasai dan ekspansi ke pasar baru yang potensial; 2. Perusahaan pengolahan ikan perlu mengembangkan manajemen mutu dan keamanan produk berdasarkan konsepsi HACCP sebagai corporate culture dan komitmen organisasi. Hal ini karena isu mengenai mutu dan keamanan produk makin mengemuka dalam perdagangan hasil perikanan di pasar global, sehingga berpotensi menjadi penghambat apabila produk yang dihasilkan tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan produk yang ditetapkan oleh importir. 3. Perusahaan pengolahan ikan harus meningkatkan kepatuhannya terhadap ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu
163
Hasil Perikanan, karena kebijakan tersebut subtansinya untuk mendorong penerapan manajemen mutu dan keamanan produk secara konsisten; 4. Perlunya dilakukan peningkatan orientasi kewirausahaan karena produk perikanan prima tidak akan dihasilkan tanpa adanya terobosan baru, baik pada lini produksi maupun pemasaran. Terobosan baru tersebut hanya dapat dilakukan melalui pengembangan sikap proaktif, inovatif dan keberanian mengambil resiko; 5. Perusahaan perlu mengembangkan manajemen sumberdaya manusia berbasis kompetensi, karena kualitas kompetensi karyawan yang bekerja pada industri pengolahan ikan pada umumnya rendah. Strategi pengembangan sumberdaya manusia yang akan dilakukan harus diintregasikan dengan strategi bisnis yang ditempuh, karena hal tersebut akan membawa kesuksesan bagi perusahaan (Singh, 2005). 6.4.3 Implikasi bagi stakeholders perikanan lain dan masyarakat luas Hasil penelitian ini juga memberi implikasi bagi stakeholders perikanan lainnya dan masyarakat luas dalam mendukung pengembangan produk perikanan prima. Implikasi dimaksud antara lain adalah : 1. Nelayan dan pembudidaya ikan sebagai produsen bahan baku bagi industri pengolahan ikan harus menerapkan praktek penangkapan dan pembudidayaan ikan serta penanganan ikan secara baik dan benar, sesuai kaidah-kaidah GFP (good fishing practices), GAP (good aquaculture practices) dan GHP (good handling practices). Hal ini karena secara filosofis, produk akhir yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi hanya dapat dihasilkan dari bahan baku yang bermutu tinggi dan aman. Disamping itu dimaksudkan agar pasokan bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan produk dapat meningkat, sehingga industri pengolahan ikan dapat meningkatkan volume produksi dan pada gilirannya akan meningkatkan pangsa pasar; 2. Pelaku usaha yang bergerak di bidang penampungan dan suplai bahan baku atau yang biasa disebut sebagai “supplier” harus juga menerapkan GHP dan GDP (good distribution practices). Hal ini karena manajemen mutu dan keamanan produk harus dilakukan secara terpadu, dari hulu sampai hilir;
164
3. Masyarakat luas setidak-tidaknya harus berperan aktif dalam menjaga lingkungan dan perairan dari polusi yang dapat berpengaruh terhadap mutu dan keamanan produk.
7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1. Kondisi kini industri pengolahan ikan beku di Pulau Jawa cukup memprihatinkan, karena tingkat utilisasinya rata-rata hanya 56,47% dari kapasitas terpasang, belum melakukan pengembangan produk (products development), serta belum melakukan diversifikasi pemasaran baik dari sisi produk yang diekspor maupun negara tujuan. Meskipun demikian, industri tersebut menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, yakni rata-rata 315 orang per unit pengolahan ikan (UPI) atau 43 orang untuk setiap ton bahan baku. Rendahnya tingkat utilisasi disebabkan oleh kelangkaan pasokan bahan baku, sebagai akibat menurunnya produksi beberapa komoditas utama dan tidak terpenuhinya persyaratan mutu bahan baku yang ditentukan oleh UPI. Sementara itu, faktor utama yang menyebabkan belum dilakukannya pengembangan produk dan diversifikasi pemasaran adalah orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan yang masih rendah, kualitas kompetensi sumberdaya manusia yang belum memadai, dan kebijakan publik yang ada selama ini tidak mampu mendorong pelaku bisnis pengolahan ikan untuk melakukan langkah-langkah tersebut. 2. Model peranan kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia dalam pengembangan produk perikanan prima ditampilkan dalam bentuk hubungan kausalitas, yang menjelaskan bahwa produk perikanan prima sangat dipengaruhi oleh kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia serta interaksi dari masing-masing faktor tersebut. Peranan kebijakan publik ditentukan oleh kualitas kebijakan itu sendiri, strategi pelaksanaan, faktor-faktor pendukung dan kepatuhan para aktor utamanya. Orientasi kewirausahaan direfleksikan oleh kombinasi sikap proaktif, inovatif dan keberanian mengambil resiko dari perusahaan pengolahan ikan dalam menghasilkan suatu terobosan baru (new entry). Sementara itu, kompetensi sumberdaya manusia dicerminkan oleh pengetahuan dan ketrampilan mengenai
166
HACCP dan teknologi pengolahan ikan, serta motivasi kerja karyawan yang bekerja pada unit pengolahan ikan. 3. Daya saing yang diukur dengan menggunakan Indeks RCA (Revealed Comparative Advantages) mempunyai pengaruh paling kuat sebagai kriteria produk perikanan prima. Kriteria berikutnya berdasarkan urutan pengaruhnya adalah nilai tambah produk, serta mutu dan keamanan produk. Sementara itu, orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan merupakan faktor yang paling menentukan dihasilkannya produk perikanan prima. Sedangkan faktor penentu lainnya, yaitu kebijakan publik dan kompetensi sumberdaya manusia, masing-masing menempati urutan kedua dan ketiga dalam mempengaruhi produk perikanan prima. 4. Opsi kebijakan publik yang perlu ditempuh oleh pemerintah terkait dengan kriteria produk perikanan prima berdasarkan urutan prioritasnya adalah : •
Peningkatan daya saing produk perikanan Indonesia di pasar global;
•
Pengembangan produk bernilai tambah tinggi (value added products);
•
Peningkatan mutu dan keamanan produk.
Adapun opsi kebijakan publik terkait dengan faktor penentu produk perikanan prima berdasarkan urutan prioritasnya adalah : •
Pengembangan orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan;
•
Penyempurnaan kebijakan mengenai mutu dan keamanan produk yang telah diterbitkan sebelumnya;
•
Pengembangan manajemen sumberdaya manusia berbasis kompetensi pada industri pengolahan ikan.
7.2 Saran 1. Pembangunan industri pengolahan ikan melalui pengembangan produk perikanan prima perlu mendapat prioritas dalam pembangunan nasional, karena saat ini momentumnya tepat dan dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian nasional.
167
2. Agar industri pengolahan ikan mampu bertahan dalam persaingan yang semakin ketat, dan kemudian tumbuh serta berkembang, pemerintah perlu segera mengeluarkan kebijakan yang secara khusus ditujukan untuk meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia di pasar global. Kebijakan dimaksud antara lain adalah : •
Stabilisasi harga bahan baku melalui introduksi sistim penyangga;
•
Penetapan sistem pengupahan yang proporsional;
•
Penetapan suku bunga yang kompetitif dengan negara lain;
•
Pengaturan distribusi margin yang adil bagi seluruh pelaku bisnis perikanan.
3. Disamping kebijakan tersebut di atas, prioritas kebijakan yang juga perlu segera dikeluarkan
pemerintah
adalah
pengembangan
orientasi
kewirausahaan
perusahaan pengolahan ikan. Kebijakan dimaksud setidak-tidaknya berupa pemberian insentif bagi perusahaan yang proaktif dan inovatif, serta fasilitasi penerapan manajemen resiko. 4. Perusahaan pengolahan ikan perlu segera melakukan reorientasi dalam strategi bisnisnya, yaitu ke arah pengembangan produk perikanan prima. 5. Karena pengembangan produk perikanan prima mempunyai dimensi yang luas dan bersifat sistemik, maka seluruh stakeholders perikanan (pemerintah, nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha perikanan, akademisi dan lain-lain) serta masyarakat luas perlu berpartisipasi secara aktif sesuai ranah masing-masing. 6. Penelitian ini diharapkan menjadi pionir bagi munculnya penelitian-penelitian lanjutan yang akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan mengenai industri pengolahan ikan. Adapun penelitian yang diharapkan dapat dilakukan oleh peneliti lain sebagai kelanjutan penelitian ini, antara lain adalah : (1) verifikasi dan simulasi model pengembangan produk perikanan prima, (2) analisis kelayakan opsi kebijakan yang direkomendasikan dari hasil penelitian ini, dengan menggunakan kriteria layak secara politik, layak secara ekonomi, layak secara keuangan, layak secara administrasi, layak secara teknologi, dan layak secara sosial budaya.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, P.; Alisjahbana, A. S.; Effendi, N. & Boediono. 2002. Daya Saing Daerah : Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. BPFE, Yogyakarta. 354 halaman. Abidin, S.Z., 2006. Analisis Kebijakan Publik. Suara Bebas, Jakarta. 325 halaman. Anderson, D.P. & Hall, C.R. 2006. Adding Value to Agricultural Products. The Texas A&M University System. http://texaserc.tamu.edu. [26 Maret 2006]. Anderson, J. E. 1976. Public Policy Making. Holt, Rinrkart and Winston, New York. Andraeni, N.N.N. 2003. Pengaruh Stres Kerja Terhadap Motivasi Kerja dan Kinerja Karyawan PT. H.M. Sampoerna Tbk Surabaya. Tesis – tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Universitas Aerlangga, Surabaya. Atjo, H. 2006. Pengaruh Pengelolaan Terhadap Mutu Benih dan Kinerja Budidaya Udang Windu, Penaeus monodon Fabr. di Sulawesi Selatan. Disertasi – tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Birkinshaw, J. 2003. The Paradox of Corporate Entrepreneurship. Strategy and Business, Spring. Brasili, A., Epifani P. & Helg R. 1999. On the Dynamics of Trade Patterns. LiucPapers No. 61. Buchanan, J. & Tullock, G. 1962. The Calculus of Consent. University of Michigan Press. Byrne, B.M. 2001. Structural Equation Modeling with AMOS : Basic Concepts, Applications and Programming. Lawrence Erlbaum Associates Publishers, London. 338 pages. CAC (Codex Alimentarius Commission). 2001. Food Hygiene Basic Texts. 2nd ed. Food and Agriculture Organization/World Health Organization, Rome. CAC. 2000.Proposed Draft. Code of Practices for Fish and Fishery Products. Alinorm 01/18. Food and Agriculture Organization/World Health Organization, Rome. Carol, A.W.; Susan, C. P. & Lynda, H. 2005. Post-training Assessment of HACCP Knowledge: Its Use as a Predictor of Effective HACCP Development, Implementation and Maintenance in Food Manufacturing. British Food Journal, Volume 107, Number 10: 743-759.
169
Chobanyan, A. & Leigh, L. 2006. The Competitive Advantages of Nations. International Journal of Emerging Markets, 1 (2), 147. Cooper, S.; Lawrence, E.; Kierstead, J.; Lynch, B. & Luce, S. 1998. Competencies : A Brief Overview of Development and Application to Public and Private Sectors. Public Service Commission of Canada. http://www.psagencyagencefp.gc.ca/research/personnel/comp_overview_e.asp. [6 Nopember 2007] Covin, J.G. & Slevin, D.P. 1989. Strategic Management of Small Firms in Hostile and Benign Environments. Strategic Management Journal, 10: 75-87 Covin, J.G. & Slevin, D.P. 1988. The Influence of Organization Structure on the Utility of an Entrepreneurial Top Management Style. Journal of Management Studies, 25(3): 217-259. Deeprose, D. 2005. Smart Things to Know About Motivation. PT. Alex Media Computindo, Jakarta. 289 halaman. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun 2005. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 314 halaman. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 80 halaman. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten. 2006. Rencana Strategis Tahun 20072011. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, Serang. 75 halaman. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah. 2004. Perencanaan Strategis Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2008. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. 44 halaman Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi D.I Yogyakarta. 2004. Rencana Strategis Tahun 2004-2008. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi D.I. Yogyakarta, Yogyakarta. 37 halaman. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur. 2005. Rencana Strategis 20062008. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, Surabaya. 72 halaman. Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2005. Rencana Strategis 2006-2010. Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, Bandung. 88 halaman. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2006. Rencana Strategis 2006. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 30 halaman.
170
Ditjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran. 2004. Kajian Daya Saing Produk Perikanan Indonesia di Pasar Internasional. Ditjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, Jakarta. 109 halaman. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2006. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan - Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2005. Rencana Strategis Drektorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan 2005-2009. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan - Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 44 halaman. Ditjen Perikanan Budidaya. 2007. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2005. Ditjen Perikanan Budidaya - Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 136 halaman. Ditjen Perikanan Budidaya. 2005. Masterplan Pengembangan Budidaya Air Payau. Ditjen Perikanan Budidaya - Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Ditjen Perikanan Budidaya. 2004. Rencana Strategis Pembangunan Perikanan Budidaya 2005-2009. Ditjen Perikanan Budidaya - Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Ditjen Perikanan Tangkap. 2007. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2005. Ditjen Perikanan Tangkap - Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 134 halaman. Djohar, S.; Tanjung H. & Cahyadi, E. R. 2003. Building a Competitive Advantage on CPO Through Supply Chain Management : a Case Study in PT. Eka Dura Indonesia, Astra Agro Lestari, Riau. Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol 1 No. 1: 20-32. Dunn, W.N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 687 halaman. Dwijowijoto, R.N. 2004. Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. PT. Alex Media Komputindo, Jakarta. 320 halaman. Dzung, N.H. 2003. Value Addition by Utilizing Comparative Advantages of Developing Countries. FAO – INFOPESCA Expert Consultation on International Fish Trade, Rio de Janeiro. http://www.fao.org/documents/ show_cdr.asp?url_file=/docrep/007/y5767e/y5767e0n.htm. [25 Maret 2006].
171
EC (European Commission). 1993. Council Directive 93/43/EEC of 14 June 1993 on the Hygiene of Foodstuff. Official Journal of the European Communities L 175, 19/97/1993 : 0001-0011. Encarta. http://encarta.msn.com/dictionary.html. [30 Maret 2006]. FAO. Glossary. http://www.fao.org./fi/glossary/default.asp. [30 Maret 2006]. FDA (US Food and Drug Administration). 1995. Procedures for the Safe and Sanitary Processing and Importing of Fish and Fishery Products; Final Rule. Code of Federal Regulations, Parts 123 and 1240. Volume 60, No. 242 : 65095-65202. Ferdouse, F. 2006. Global Fishery Trade & Bangladesh. http://www.globefish. org/index.php?id=3097. [21 April 2007]. Foster, B. & Seeker, K.R. 2001. Pembinaan untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan. Penerbit PPM, Jakarta. 112 halaman. Foster, R.N. & Kaplan, S. 2001. Creative Destruction : Why Companies That Built to Last Underperforms the Market and How to Successfully Transform Them. Currency/Doubleday. New Work. Ghozali, A. 2001. Tinjauan Metodologi Structural Equation Modeling dan Penerapannya dalam Pendidikan. http://www.depdiknas.go.id/jurnal/25/ abbasgozali.htm. [23 Pebruari 2006]. Gilling, S.J.; Taylor, E. A.; Kane, K. & Taylor, J. Z. 2001. Successful Hazard Analysis Critical Control Point Implementation in the United Kingdom: Understanding the Barriers through the Use of a Behavioral Adherence Model. Journal of Food Protection, Volume 64, Issue 5: 710–715. Guomundsson, E. 2003. Revenue Distribution Through the Seafood Value Chain. FAO – INFOPESCA Expert Consultation on International Fish Trade, Rio de Janeiro. http://www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_file=/docrep/007/ y5767e/y5767e0n.htm. [25 Maret 2006]. Harmaizar, Z. 2006. Menggali Potensi Wirausaha. CV. Dian Anugerah Prakasa, Jakarta. 428 halaman. Heruwati, E.S. 2003. Pengembangan Produk Pascapanen Sebagai Salah Satu Strategi dalam Akselerasi Pembangunan Perikanan. Makalah pada buku Menggapai Cita-Cita Luhur : Perikanan Sebagai Sektor Andalan Nasional. Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI) bekerjasama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 337 halaman.
172
Herzberg, F. 1987. One More Time : How Do You Motivate Employee?. Harvard Business Review. Hung, H. & Mondejar, R. 2005. Corporate Directors and Entrepreneurial Innovation. Journal of Entrepreneurship, Vol. 14, No. 2: 117-129. Huseini, M. 2004. Globalisasi dan Strategi Pemasaran Indonesia : Pendekatan Resources-Based. Value Marketing – Paradigma Baru Pemasaran. Quantum Bisnis & Manajemen, Jakarta. Halaman 54-82. Huss, H.H., Ababouch, L. & Gram, L. 2004. Assessment and Management of Seafood Safety and Quality. FAO Fisheries Technical Paper No. 444. FAO, Rome. 230 pages. Huss, H.H. & Ryder, J. 2004. Traditional Quality Control. Assessment and Management of Seafood Safety and Quality. FAO Fisheries Technical Paper No. 444. FAO, Rome. 230 pages. Institute for Trade & Commercial Diplomacy. Glossary. http://www.itcdonline.com/ introduction/glossary. [1 April 2006]. Intan, A.H.; Sa’id, E. G. & Saptono, I. T. 2003. Strategi Pengembangan Industri Pengolahan Sabut Kelapa Nasional. Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol 1 No. 1: 42-54. Jouve, J. L.; Stringer, M. F. & Baird-Parker, A. C. 1998. Food Safety Management Tools. ILSI Europe Risk Analysis in Microbiology. Brussel, Belgium. Jöreskog, K. & Sörbom, D. 1996. Lisrel 8: User’s Reference Guide. Chicago, Illinois: Scientific Software International. Kasali, R. 2005. Membangun Kewirausahaan di Indonesia. Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia No. 05 Th. XXXIV: 9-15. Kimberly, J. R. 1981. Managerial Innovation in P.C. Nystrom and W.H. Starbuck. Handbook of Organizational Design, Vol. 1. Oxford University Press, New York. Kotler, P. 1995. Manajemen Pemasaran : Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian. Salemba Empat – Prentice Hall, Jakarta. 908 halaman. Kuncoro, J.D. 2006. Kompetensi Konsep Baru. http://www.suaramerdeka.com/ harian/0508/ 22/opi04.htm. [21 Mei 2006].
173
Lado, A. & Wilson, M. 1994. Human Resource System and Sustained Competitive Advantage : a Competency-based Perspective. Academy of Management Review, Vol. 19 No. 4 : 699-727. Li-Qun, W. & Chung-Ming, L. 2006. Market Orientation, HRM Importance and Competency: Determinants of Strategic HRM in Chinese Firms. International Journal of Human Resource Management, Volume 16, Number 10: 19011918. Lumpkin, G.T. & Dess, G.G. 1996. Clarifying the Entrepreneurial Orientation Construct and Linking it to Performance. Academy of Management Journal, 21 (1): 135-172. Manadiyanto; Tajerin & Pranowo, S. A. 2004. Opsi Kebijakan Pengembangan Industri Perikanan Cakalang di Kawasan Timur Indonesia : Suatu Pendekatan Analytic Hierarchy Process. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia – Edisi Sosial Ekonomi. Vol. 10 No. 7: 75-89. Maria, V.; Klas, E. S. & Gregory, P. P. 2007. Competency Management in Support of Organizational Change. International Journal of Manpower, Volume 28, Numbers 3-4: 260-275. McClelland, D. C. 1973. Testing for Competence Rather than for Intelligence. American Psychologist, 28 : 1-14. McGrath, R. G. 2001. Exploratory Learning, Innovative Capacity and Managerial Oversight. Academy of Management Journal, Vol. 44: 118-131. Miller, D. 1983. The Correlates of Entreprenuership in Three Types of Firms. Journal of Management Science, 29 (7): 770-791. Motarjemi, Y. & Schothort, M. Van. 1995. HACCP, Principles and Practice. In Jongeneerl, S. (ed) Teacher’s Handbook. A WHO/ICD Training Manual in Collaboration with FAO. World Health Organization, Geneva, Switzerland. Mueller. R.O. 1996. Basic Principles of Structural Equation Modeling: An Introduction to LISREL and EQS. New York: Springer. Murray, H. A. 1938. Exploration in Personality. Dalam Aldag, R. J. & Stearns, T. M. 1987. Management. NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods). 1997. Hazard Analysis and Critical Control Point Principles and Application Guidelines. Journal of Food Protection 61: 762-775.
174
Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. 622 halaman. Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan : Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan?. PT. Fery Agung Corporation (FERACO), Jakarta. 314 halaman. Penrose, E. T. 1995. The Theory of the Growth of the Firm (3rd Edition). Oxford University Press: New York Oxford, New Foreword by Edith Penrose. Penrose, E. T. 1959. The Theory of the Growth of the Firm. John Wiley, New York. Porter, M.E.,1990. The Competitiveness of Nations. The Free Press. Posner, R. 1974. Theories of Economic Regulation. Bell Journal of Economics and Management Science, Autumn : 335-358. Prijosaksono, A. & Bawono, S. 2004. The Power of Entrepreneurial Intelligence : Membangun Sikap dan Perilaku Entrepreneur dalam Diri Anda. PT. Alex Media Komputindo, Jakarta. 171 halaman. Purnomo, A. H.; Subaryono; Suryanti & Heruwati, E. S. 2002. Analisis SosioEkonomi Terhadap Praktek Penanganan Mutu Ikan Pelagis Kecil di Tempat Pelelangan Ikan Blanakan dan Pekalongan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia – Edisi Sosial Ekonomi. Vol. 8 No.1: 1-8. Purnomo, A. H.; Suryawati, S. H.; Hikmayani, Y. & Reswati, E. 2003. Model Pengembangan Industri Perikanan Terpadu : Studi Kasus di Wilayah Pengembangan Utama III, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia – Edisi Sosial Ekonomi. Vol. 9 No. 6: 35-56. Rachmadi, B.N. 2005. Model Pengembangan Kinerja Franchise di Indonesia: Peranan Governance Structure, Orientasi Kewirausahaan (Entrepreneurial Orientation) dan Sumberdaya Berbasis Pengetahuan (Knowledge-Based Resources). Disertasi – tidak diterbitkan. Program Studi Ilmu Manajemen Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Rashid, Z. A.; Sambasivan, M. & Johari, J. 2003. The influence of Corporate Culture and Organizational Commitment on Performance. Journal of Management Development, Volume: 22 Issue : 8: 708 – 728. Said, E.G., Rachmayanti & Muttaqin, M.Z. 2001. Manajemen Teknologi Agribisnis – Kunci Menuju Daya Saing Global Produk Agribisnis. Ghalia Indonesia, Jakarta. 191 halaman. Salvatore, D. 2001. Managerial Economics in a Global Economy. Harcourt College Publishers, Orlando – USA. 752 pages.
175
Sandjojo, I. 2004. Pengaruh Lingkungan Usaha, Sifat Usaha dan Motivasi Usaha Terhadap Pembelajaran Wirausaha, Komperetensi Wirausaha dan Pertumbuhan Usaha Kecil di Jawa Timur. Disertasi – tidak diterbitkan. Program Studi Ilmu Ekonomi Kekhususan Manajemen. Universitas Brawijaya, Malang. Schumpeter, J. A. 1942. Capitalism, Socialism & Democracy. George Allen & Unwin. London. Schumpeter, J. A. 1939. Business Cycles : A Theoretical, Historical and Statistical Analysis of Capitalist Process. McGraw-Hill. New York. Schumpeter, J. A. 1911. The Theory of Economic Development : an Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest, and the Business Cycle. Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts. Sembhi, R.S. 2002. Entrepreneurial Orientation : A Review of Selected Literature. Department of Management Science, Faculty of Engineering, University of Waterloo, Ontario. http\\www.eng.uwaterloo.ca/~rsembhi/thesis/literaturereview.pdf.[26 Agustus 2006] Sharif, N. 1993. Rationale and the Framework for a Technology Management Information System. Dalam A Guide for Technology Management Information System. Volume I. Center for Analysis of Science and Technology Development (PAPITEK) and Indonesian Institute of Science (LIPI. Jakarta. Shermon, G. 2004. Competency based HRM. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi. 536 pages. Shetty, P. 2004. Attitude Towards Entrepreneurship in Organizations. Journal of Entrepreneurship, Vol. 13, No. 1: 53-68. Simanjuntak, S. 2001. Platform Riset Ekonomi Sumberdaya Perikanan. Makalah pada Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta 2 Oktober 2001. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan –Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Singh, M. & Vohra, N. 2005. Strategic Human Resource Management in Small Enterprises. Journal of Entrepreneurship, Vol. 14, No. 1: 57-70. Soehadi, A.W. 2004. The Relationships Among Supplier Partnership, Environmental Variables and Firm Performance in Retail Industry. Value Marketing –
176
Paradigma Baru Pemasaran. Quantum Bisnis & Manajemen, Jakarta. Halaman 247-274 Srimulyo, K. 1999. Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Terhadap Kinerja Perpustakaan di Kotamadya Surabaya. Tesis – tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Universitas Aerlangga, Surabaya. Stigler, G. J. 1971. The Theory of Economic Regulation. Bell Journal of Economics and Management Science, Spring : 3-21. Suharto, E. 2005. Analisis Kebijakan Publik. CV. Alfabeta, Bandung. 238 halaman. Sutopo & Sugiyanto. 2001. Analisis Kebijakan Publik. Bahan Ajar Diklatpim Tingkat III. Lembaga Administrasi Nasional, Jakarta. 63 halaman. Sveby, K. E. 2001. A Knowledge-based Theory of the Firm to Guide Strategy Formulation. Journal of Intellectual Capital, Vol. 2 No. 4. Talim, B. 2006. Solusi Proaktif Permasalahan SDM di Indonesia. http://www. pikiran-rakyat.com/cetak/1103/11/06x3.htm. [21 Mei 2006] Taylor E. & Taylor J.Z. 2004. Perceptions of "the Bureaucratic Nightmare" of HACCP: A Case Study. British Food Journal, Volume 106, No. 1: 65-72. Thornberry, N. 2006. Lead Like an Entrepreneur. McGraw-Hill, New York. 272 pages. Tim Prima Pena. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gitamedia Press, Jakarta. 880 halaman. Timothy, J. H.; Michael, R. L. & Matt, F. 2007. Development and Implementation of Hazard Analysis and Critical Control Point Plans by Several U.S. Feed Manufacturers. Journal of Food Protection, Volume 70, Number 12: 28192823. Umar, H. 2005. Riset Sumberdaya Manusia dalam Organisasi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 308 halaman. Usmara, A. 2006. Motivasi Kerja : Proses, Teori dan Praktik. Amara Books, Yogyakarta. 135 halaman. Wibawa, S.; Purbokusumo, Y. & Pramusinto, A. 1993. Evaluasi Kebijakan Publik. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
177
Wibowo, A. 2005. Pengantar Analisis Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling). Materi Pelatihan Structural Equation Modeling (Pemodelan Persamaan Struktural) Angkatan VII. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya. Widgren, M. 2005. Revealed Comparative Advantage in the Internal Market. Turku School of Economic. http\\www.euroframe.org/fileadmin/user_upload/ euroframe/efn/spring2005/appendix6_widgren.pdf [26 Agustus 2006]. Wolff, J. A. & Pett, T. L. 2006. Small-Firm Performance: Modeling the Role of Product and Process Improvements. Journal of Small Business Management, Volume 44, Number 2: 268-284. Woodruffe, C. 1993. What Is Meant by a Competency?. Leadership & Organization Development Journal, Volume : 14 Issue : 1: 29 – 36. Young, E. & Quinn, L. 2002. Writing Effective Public Policy Paper : A Guide of Advisers in Central and Eastern Europe. Local Government and Public Service Reform Initiative, Budapest. Zhong, Y.; Richard, L; Xiao, Z & Yonggui, W. 2007. Corporate Entrepreneurship and Market Performance: an Empirical Study in China. Journal of Technology Management in China, Volume 2, Number 2: 154-162. Zugarramurdi, A. 2003. Competitiveness of Value Adding in Developing Countries. http://www.fao.org/documents/show cdr.asp?url file=docrep/007/y5767e/ y5767 e0n.htm.[26 Maret 2006]
LAMPIRAN
Lampiran 1 Delapan produk olahan udang.
Block frozen head-less shrimp Sumber : www.21food.com [3 Okt 2007]
Block frozen head-on shrimp
Block frozen PD shrimp
Block frozen PDTO shrimp
Sumber : www.ecplaza.net [3 Okt 2007]
Sumber : www.ecplaza.net [3 Okt 2007]
Frozen breaded shrimp
Frozen nobashi ebi
IQF head-less shrimp Sumber : www.fishseller.com [4 Okt 2007]
Semi IQF head-on shrimp
Lampiran 2 Tiga produk olahan lobster dan kepiting.
Frozen lobster
Frozen soft shell crab
Frozen white body meat crab
Lampiran 3 Empat produk olahan cumi-cumi, sotong dan gurita.
Frozen whole round squid Sumber : www.tradeeasy.com [4 Okt 2007]
Frozen whole round cuttlefish
Frozen whole round octopus
Frozen whole gutted octopus
Lampiran 4 Delapan produk olahan ikan tuna dan sejenisnya.
Frozen whole round tuna
Frozen loin tuna
Frozen DWT tuna
Frozen saku tuna
Frozen steak tuna
Frozen DWT swordfish
Frozen loin swordfish
Frozen whole round skipjack
Lampiran 5 Lima produk olahan ikan kakap merah dan ikan nila.
Frozen whole round red snapper
Frozen fillet red snapper
Frozen WGGS red snapper
Frozen whole round tilapia
Frozen fillet tilapia
Lampiran 6 Dua belas produk olahan ikan lainnya.
Frozen yellow pike eel
Frozen bream Sumber : www.balticfish.com [4 Okt 2007]
Frozen leather jacket Sumber : www.jervisbayfishing.com [4 Okt 2007]
Frozen ribbon fish
Frozen whole round ornate threadfin bream
Frozen bali sardinella
Frozen steak spanish mackerel
Frozen loin oil fish
Lampiran 6 Lanjutan.
Frozen steak shark
Frozen milkfish
Frozen whole round walking catfish
Frozen surimi
186
Lampiran 7 Data peubah produk perikanan prima Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Mutu dan keamanan (Y1) 0,00000 0,66667 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,77168 0,84607 0,75472 0,00000 0,00000 0,00000 0,55944 0,61905 0,21368 1,20000 0,11519 0,00000 0,00000 0,57143 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 1,13095 0,00000 0,42553
Nilai tambah (Y2) 52,43% 0,5243 24,51% 0,2451 26,03% 0,2603 23,38% 0,2338 40,10% 0,4010 25,92% 0,2592 32,84% 0,3284 17,04% 0,1704 34,99% 0,3499 28,89% 0,2889 20,54% 0,2054 23,72% 0,2372 25,87% 0,2587 28,52% 0,2852 20,02% 0,2002 16,70% 0,1670 26,70% 0,2670 36,40% 0,3640 26,79% 0,2679 21,02% 0,2102 22,35% 0,2235 15,55% 0,1555 25,40% 0,2540 19,70% 0,1970 32,32% 0,3232 18,44% 0,1844 25,34% 0,2534 16,89% 0,1689 32,81% 0,3281 19,13% 0,1913 28,49% 0,2849 29,94% 0,2994 27,09% 0,2709 28,69% 0,2869 29,90% 0,2990 25,38% 0,2538 39,93% 0,3993
Daya saing (Y3) 0,00086 0,01045 0,00214 0,00108 0,00095 0,00036 0,00008 0,00268 0,00115 0,00043 0,01009 0,01784 0,03022 0,01158 0,02314 0,00403 0,00405 0,00364 0,03333 0,01983 0,02717 0,02948 0,00232 0,00463 0,00430 0,04625 0,00855 0,00989 0,24799 0,00424 0,00103 0,00005 0,00129 0,00287 0,00678 0,00429 0,02245
187
Lampiran 7 Lanjutan
Sampel 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
Mutu dan keamanan (Y1) 0,00000 0,50505 0,13404 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,93537 0,00000 0,06868 0,18248 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,28719 0,14815 0,36905 0,00000 0,37879 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,69840 0,28169 0,47170 0,00000 0,00000
Nilai tambah (Y2) 44,19% 0,4419 22,17% 0,2217 32,78% 0,3278 19,81% 0,1981 18,27% 0,1827 39,41% 0,3941 22,77% 0,2277 28,88% 0,2888 46,64% 0,4664 24,72% 0,2472 25,89% 0,2589 28,17% 0,2817 23,47% 0,2347 32,92% 0,3292 30,67% 0,3067 19,83% 0,1983 28,22% 0,2822 35,83% 0,3583 20,96% 0,2096 22,52% 0,2252 28,90% 0,2890 18,99% 0,1899 31,22% 0,3122 23,02% 0,2302 36,67% 0,3667 24,50% 0,2450 32,21% 0,3221 23,13% 0,2313 15,92% 0,1592 38,50% 0,3850 32,58% 0,3258 34,20% 0,3420
Daya saing (Y3) 0,00022 0,00174 0,30898 0,00028 0,00585 0,00080 0,00190 0,06829 0,00270 0,00507 0,00241 0,04097 0,06210 0,00342 0,00203 0,02545 0,06760 0,00128 0,00805 0,02539 0,05400 0,01290 0,00124 0,03839 0,04977 0,05255 0,00575 0,04901 0,01944 0,00188 0,00157 0,00072
189
Lampiran 8 Data peubah kebijakan publik. Sampel
X1.1 2 4 5 4 4 4 4 3 5 4 3 4 4 5 5 4 5 4 5 5 5 5 4 4 4 5 4 4 5 5 5 5 4 4 5
X1.3
X1.2
3 Rata2 4 4.00 5 5.00 4 4.00 4 4.00 3 3.67 5 4.33 5 4.00 5 5.00 4 4.33 3 3.33 4 4.00 5 4.33 5 5.00 5 5.00 4 4.00 5 4.67 4 4.00 4 4.33 2 4.00 5 5.00 5 4.67 4 4.33 4 4.00 4 4.00 4 4.33 4 4.00 4 4.00 5 4.67 5 5.00 5 5.00 5 5.00 4 4.33 4 4.00 4 4.67
3 4 3 3 4 4 4 3 4
3.33 4.00 3.00 3.33 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00
4 4 3 3 4 4 5 4 4
4 4 3 4 4 3 5 3 4
2 4 3 3 4 3 4 3 4
3.33 4.00 3.00 3.33 4.00 3.33 4.67 3.33 4.00
1 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 4 3 4 3 3 3 3 2 3 4 3 3 3 3 2 3 3
2 3 4 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 4 3 2 3 3 3 3 4 4 2 3 3 4 3 3 2 3 3 3 3 2 4 4 2 3 2 4 3 3 3 3
3 3 4 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 3 3 2 4 3 3 1 3 2 4 3 2 3 3 2 4 2 3 4 3 2 3 3 2 3 3 4 3 3 3 3
3.00 2.50 3.00 2.33 3.33 2.67 2.67 2.50 3.00
1 3 4 4 4 4 4 3 4 3 5 4 4 4 5 2 3 4 3 5 4 5 4 4 4 4 4 5 4 5 4 4 4 4 3 4 3 4 5 4 4 4 4 3
2 4 5 4 4 4 4 3 4 3 2 4 3 5 5 3 4 4 4 3 5 5 3 3 3 4 4 4 3 4 4 4 3 3 5 5 4 3 4 5 4 3 4 3
3 4 5 4 4 4 4 2 4 3 2 4 3 4 5 3 5 4 3 1 4 3 4 4 4 3 4 1 5 4 4 5 3 3 4 3 4 4 4 5 4 4 4 3
3.67 3.50 3.33 4.17 4.17 3.67 3.67 3.50 3.00
1 3 4 4 4 4 4 2 4 4 4 4 2 4 4 4 4 4 3 4 4 5 4 4 4 4 4 5 4 5 4 3 3 3 4 4 3 4 3 4 3 4 4 3
2 4 5 4 4 4 4 3 4 3 4 4 3 4 4 2 4 4 4 2 5 4 3 4 3 3 4 4 4 3 4 3 4 2 5 5 4 4 4 5 4 4 4 3
3 4 5 4 4 4 3 5 4 3 4 4 2 3 4 2 5 4 4 1 3 3 4 3 4 4 4 1 4 2 4 5 4 2 4
1 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 5 2
1 3.33 4 3 3.33 4 2.67 4 4 3.67 3 4 4.33 4 4 3.67 4 4 4.00 4 4 4.00 4 3 3.00 3
2 3 5 4 4 4 4 2 4 3 4 4 3 4 5 4 3 4 4 4 4 4 3 4 3 5 4 4 4 4 4 3 2 4 5 4 2 4 4 5 4 4 4 3
3 4 5 4 4 4 4 2 4 3 4 4 3 4 5 4 5 4 4 1 4 3 4 4 4 3 4 1 4 2 4 5 2 4 4
Rata2 3.67 4.33 4.00 4.00 4.00 4.00 2.67 4.00 3.33 4.00 4.00 2.67 4.00 5.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00 3.67 3.67 4.00 3.67 4.00 4.00 3.00 3.67 3.33 4.00 4.00 2.67 4.33 3.67
X1.12
1 2 4 4 5 4 4 4 3
3.00 2.67 4.00 3.67 4.67 4.00 4.00 4.00 3.00
1 4 4 4 4 4 4 5 3 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 5 5 4 4 4 3 4 4 4 4 5 4 4 5 5 4 4 5 3 3 4 4 4 3 3
2 4 5 4 4 4 4 3 3 3 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 5 5 4 3 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 5 3 4 3 5 5 5 4 4 3
3 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 4 4 4 4 3 5 4 4 3 3 4 4 3 4 4 4 5 4 4 4 5 4 4 4
Rata2 4.00 4.33 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 3.33 3.33 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 4.33 4.00 4.00 4.00 4.33 4.33 4.00 3.33 3.33 4.00 4.00 4.00 4.00 4.33 4.00 4.33 4.33 4.33 4.33
X1.13
4 3 4 3 5 5 4 4 3
3.67 4.00 3.33 3.67 4.67 4.67 4.00 3.67 3.00
1 3 3 4 4 5 4 2 3 4 3 4 4 4 5 3 4 4 4 5 5 4 4 3 4 3 5 4 3 4 4 3 3 5 4 3 2 4 3 3 4 4 4 4
2 3 5 4 4 4 4 2 3 3 3 4 4 5 5 2 4 4 4 3 5 4 2 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 2 5
X1.14
3 Rata2 3 3.00 5 4.33 4 4.00 4 4.00 4 4.33 4 4.00 4 2.67 3 3.00 3 3.33 3 3.00 4 4.00 4 4.00 3 4.00 5 5.00 2 2.33 5 4.33 4 4.00 4 4.00 3 3.67 3 4.33 4 4.00 5 3.67 2 3.00 5 4.00 4 3.33 4 4.33 5 4.33 4 3.67 4 4.00 4 4.00 5 4.00 4 3.67 2 3.00 4 4.33
4 4 4 3 5 4 3 5 4
1 4 4 3 5 4 4 5 4
1 4.5 4.0 4.0 4.0 4.0 3.5 3.0 5.0 4.0 3.5 4.0 4.0 4.0 4.0 3.5 4.0 4.0 3.5 3.0 3.0 4.0 2.0 2.0 5.0 5.0 3.0 3.0 5.0 5.0 5.0 2.5 4.0 3.5 5.0
2 4.5 4.0 4.0 4.0 4.0 3.5 3.0 5.0 4.0 3.5 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.5 4.0 3.5 3.0 3.0 4.0 2.0 2.0 5.0 4.5 3.0 3.0 5.0 5.0 5.0 2.5 4.0 3.5 5.0 1.5 2.0 1.0 4.5 5.0 3.0 4.0 3.5 4.0
3 4.5 4.0 4.0 4.0 4.0 3.5 3.0 5.0 4.0 3.5 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.5 4.0 1.5 3.0 3.0 4.0 2.0 2.0 5.0 4.5 3.0 3.0 5.0 5.0 5.0 2.5 4.0 3.5 4.0
X1.16
X1.15 Rata2 4.50 4.00 4.00 4.00 4.00 3.50 3.00 5.00 4.00 3.50 4.00 4.00 4.00 4.00 3.83 4.33 4.00 2.83 3.00 3.00 4.00 2.00 2.00 5.00 4.67 3.00 3.00 5.00 5.00 5.00 2.50 4.00 3.50 4.67
1.5 2.0 1.0 3.5 5.0 3.0 4.0 3.5 4.0
1.50 2.00 1.00 3.83 4.83 3.17 4.00 3.50 4.00
1 4.83 4.33 2.67 3.25 4.00 4.00 5.00 3.40 5.00 4.00 4.83 3.67 3.00 3.67 4.00 4.50 3.83 2.83 2.67 2.67 3.00 4.17 3.50 4.33 3.83 4.17 3.50 5.00 5.00 4.17 2.00 3.00 1.67 3.33 3.67 3.00 2.83 4.67 4.67 4.50 4.00 4.50 4.50
2 4.83 4.33 2.67 3.75 4.00 4.00 5.00 3.40 5.00 4.00 4.83 3.67 3.00 3.67 3.67 4.00 3.83 2.83 2.67 2.67 3.00 4.17 3.50 4.33 3.67 4.17 3.50 5.00 5.00 4.17 2.00 3.00 1.67 3.33 3.67 3.00 2.83 4.67 5.00 4.50 4.00 4.50 4.50
3 4.83 4.33 2.67 3.25 4.00 4.00 5.00 3.40 5.00 4.00 4.83 3.67 3.00 3.67 3.67 4.00 3.83 2.33 2.67 2.67 3.00 4.17 3.50 4.33 4.17 4.17 3.50 5.00 5.00 4.17 2.00 3.00 1.67 3.40
Rata2 4.83 4.33 2.67 3.42 4.00 4.00 5.00 3.40 5.00 4.00 4.83 3.67 3.00 3.67 3.78 4.17 3.83 2.66 2.67 2.67 3.00 4.17 3.50 4.33 3.89 4.17 3.50 5.00 5.00 4.17 2.00 3.00 1.67 3.35
3.67 3.00 2.83 4.50 5.00 4.50 4.00 4.50 4.50
3.67 3.00 2.83 4.61 4.89 4.50 4.00 4.50 4.50
1 4.78 4.22 4.57 4.00 4.33 4.63 3.44 3.89 4.67 4.22 4.44 4.89 4.56 4.78 4.22 4.33 4.33 4.33 4.56 4.33 4.44 4.22 4.67 4.11 4.67 4.67 4.33 4.78 4.89 4.56 4.22 3.00 3.44 4.56 4.67 4.89 4.44 4.44 4.67 4.78 4.67 4.67 5.89
2 4.78 4.33 4.57 4.00 4.63 4.63 3.44 3.89 4.67 4.22 4.44 4.89 4.56 4.78 3.33 4.33 4.33 4.56 4.56 4.33 4.44 4.22 4.67 4.11 4.67 4.67 4.33 4.78 4.89 4.56 4.22 3.00 3.44 4.56 4.67 4.89 4.44 4.22 4.44 4.78 4.22 4.67 5.89
3 4.78 4.33 4.57 4.00 4.63 4.63 3.44 3.89 4.67 4.22 4.44 4.89 4.56 4.78 3.33 4.33 4.33 4.89 4.56 4.33 4.44 4.22 4.67 4.11 4.67 4.67 4.33 4.78 4.89 4.56 4.22 3.00 3.44 3.25
Rata2 4.78 4.29 4.57 4.00 4.53 4.63 3.44 3.89 4.67 4.22 4.44 4.89 4.56 4.78 3.63 4.33 4.33 4.59 4.56 4.33 4.44 4.22 4.67 4.11 4.67 4.67 4.33 4.78 4.89 4.56 4.22 3.00 3.44 4.12
1.5 2.0 1.0 3.5 4.5 3.5 4.0 3.5 4.0
3 4 3 4 4 4 4 3 4
3 4 5 4 4 4 4 2 3 3 3 4 3 3 4 3 5 4 3 1 3 3 4 3 4 5 4 3 5 3 4 5 2 4 3
X1.11
4.5 3.0 3.0 3.50 4.17 2.67 3.50 3.45 4.67 3.56 3.56 3.93
4 4 3 3 4 4 4 3 4
2 4 2 4 4 4 4 2 3 3 3 4 3 5 4 3 4 4 3 2 4 4 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 2 4 5
Rata2 3.67 4.67 4.00 4.00 4.00 3.67 3.33 4.00 3.33 4.00 4.00 2.33 3.67 4.00 2.67 4.33 4.00 3.67 2.33 4.00 4.00 3.67 3.67 3.67 3.67 4.00 3.33 4.00 3.33 4.00 3.67 3.67 2.33 4.33
2.67 3.33 4.00 3.00 4.33 4.00 3.67 4.67 4.00
2.00 3.33 2.33 3.00 4.00 3.67 3.67 3.00 3.33
1 4 3 4 4 3 4 2 3 3 3 4 4 3 4 3 2 4 3 3 5 4 4 4 4 4 4 5 4 5 4 4 4 5 3
X1.10
4.00
2 4 2 2 4 3 3 3 3
3 4 4 3 4 4 4 2 4 3 3 4 3 4 4 3 5 4 3 1 4 3 4 3 4 3 4 3 5 2 4 5 4 2 3
Rata2 3.67 4.33 4.00 4.00 4.00 4.00 2.50 4.00 3.00 2.83 3.83 3.33 4.00 5.00 2.33 4.00 4.00 3.33 2.67 4.17 4.00 3.67 3.50 3.33 3.67 3.67 3.33 3.83 4.17 4.00 4.00 3.00 3.00 3.83
3 4 3 4 4 5 5 3 4
1 2 2 3 4 3 3 3 3
2 4 4 3 4 4 3 2 4 3 3 4 3 4 4 3 2 4 3 3 4 4 3 4 3 4 4 2 4 4 3 4 4 2 5
X1.9
4 3 2 3.00 3 4 3 3.33 4 4 3 3.67 2 3 3 2.50 4 4 4 3.50 2 4 3 3.00 4 4 4 4.00 3 4 4 3.67 4 4 4
2 3 3 3 3 3 3 3 3
1 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 2 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 4 5 3 5 3 4 3 3 4
Rata2 2.83 3.50 3.00 3.00 2.50 2.83 2.00 3.00 2.67 2.67 3.00 2.17 3.17 3.00 2.17 3.00 3.00 2.83 2.17 3.50 2.83 2.83 2.83 2.50 3.00 2.83 3.00 3.00 3.00 3.00 3.17 2.50 2.33 3.00
2.67 3.67 3.33 3.00 3.33 3.33 3.67 3.33 3.33
3 4 3 2 3 3 3 3 3
3 3 4 3 3 2 3 1 3 2 2 3 2 3 3 1 4 3 3 2 3 3 4 1 3 3 3 4 4 3 4 4 3 1 2
X1.8
3.33
3 4 4 4 4 4 5 4 4
2 3 4 3 3 2 2 1 3 2 2 3 2 3 2 1 3 3 3 2 4 3 3 3 3 4 3 3 2 3 2 2 3 1 4
Rata2 4.00 3.33 4.00 4.00 3.67 4.00 2.00 3.00 3.00 3.00 4.00 3.33 3.67 4.00 3.00 3.67 4.00 3.00 2.00 4.00 3.67 4.00 3.33 3.67 4.00 4.00 4.00 4.33 4.00 4.00 4.33 2.67 4.33 3.67
3 4 3 2 3 3 4 3 2
3.33 3.33 3.00 3.00 3.67 3.00 3.33 3.00 3.00
1 4 3 4 4 3 4 2 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 5 4 4 4 3 4 4 5 4 5 3 5 5 5 3
X1.7
3 3 3 3.00 3 3 3 3.00 4 4 2 3 3 3 3 4 3 3 3 3
2 3 4 3 3 3 3 2 3 2 2 3 2 4 4 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 3
Rata2 3.67 4.00 3.00 4.00 4.00 3.67 2.33 4.00 3.33 3.33 4.00 2.67 4.00 4.00 3.00 3.67 4.00 3.00 2.67 4.00 3.67 3.67 3.67 3.33 3.67 4.00 3.33 4.00 3.67 3.33 4.33 3.67 2.33 4.00
4.33 5.00 4.00 4.33 4.67 4.00 4.67 4.00 4.00
4 4 3 3 4 3 3 3 3
1 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 2 4 5 4 4 4 4 3 5 4 4 4 4 4 5 4 3 5 3 4 4 3 4
X1.6
4.00
3 3 3 3 3 3 4 3 3
3 3 3 3 3 2 3 4 3 2 2 3 4 4 4 3 4 3 3 1 3 4 3 3 4 3 2 4 4 3 3 3 3 3 3
Rata2 3.33 3.67 3.33 3.33 2.33 3.00 1.33 3.33 2.67 2.67 3.33 2.67 3.33 3.00 1.67 3.67 3.33 3.33 2.67 4.00 3.33 3.67 2.67 3.00 3.67 3.33 4.00 3.33 3.67 3.00 3.67 3.67 2.33 3.00
4 5 4 4 4 4 5 4 4
2.67 3.67 3.00 2.67 3.67 3.00 3.33 3.00 2.00
2 3 4 3 3 2 3 2 3 2 2 3 3 4 4 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 3 3 4
X1.5
4 4 4
3 3 3 2 4 3 3 3 2
1 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 4 3 4 4 3 3 3 3 3 4 3 3 2 3 3 3 3 4 4 3 4 3 3 3
X1.4
36 37 38 39 40 41 42 43 44
2 4 3 4 4 3 3 3 2
3 3 3 2 3 3 3 4 2 3 2 3 4 4 4 3 4 3 3 3 3 4 3 3 4 3 3 4 4 3 3 4 3 2 2
3 Rata2 3 3.33 4 3.67 3 3.33 3 3.33 3 3.33 3 3.33 1 2.00 3 3.33 2 2.67 2 2.67 3 3.33 3 2.33 3 3.67 4 4.33 3 3.33 4 3.67 3 3.33 3 3.33 1 2.00 2 3.33 3 3.33 3 3.33 2 3.00 3 3.33 3 3.33 3 3.67 4 3.67 4 3.33 3 3.67 4 3.00 3 3.00 2 2.67 2 2.33 2 3.00
35
4 5 4 4 5 4 4 4 4
2 3 4 2 3 3 3 2 2 3 2 3 3 4 4 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 2 3 3 3 3 3 4 3 2 4
Rata2 3.00 3.00 3.00 3.00 2.00 3.00 3.00 3.00 2.33 2.33 3.33 3.33 4.00 4.00 3.00 3.33 3.00 3.00 2.33 3.67 3.33 3.00 2.67 3.33 3.00 2.33 3.33 3.67 3.33 3.00 3.00 3.00 3.00 3.33
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
5 5 4 5 5 4 5 4 4
1 3 4 2 3 2 3 3 2 3 3 3 3 4 4 2 3 3 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 4 3 3 3
Rata2 3.00 3.67 2.00 3.00 2.67 3.00 3.00 2.00 3.00 2.33 3.00 3.33 4.00 4.00 2.67 3.67 3.00 3.00 3.33 3.33 3.67 3.00 3.00 3.33 2.67 3.00 3.33 3.33 3.33 3.00 4.00 3.00 2.33 3.00
1 4 5 4 4 4 4 4 5 5 4 4 4 5 5 4 4 4 4 5 5 4 5 4 4 4 4 4 4 5 5 5 5 4 5
4.67 4.89 4.44 4.44 4.44 4.78 4.67 4.67 5.89
4.67 4.89 4.44 4.37 4.52 4.78 4.52 4.67 5.89
189
Lampiran 8 Lanjutan. Sampel 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
X1.1 1 4 4 4 4 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 4 4 5 4 4 5 4
2 5 4 4 4 5 5 5 4 5 4 5 4 4 5 5 4 5 5 5 5 4 4 5 5 5
3 Rata2 4 4.33 4 4.00 4 4.00 4 4.00 5 5.00 4 4.33 5 5.00 4 4.00 5 4.67 4 4.00 5 4.67 4 4.00 4 4.00 5 4.67 5 4.67 5 4.67 5 5.00 5 5.00 5 4.67 4 4.33 4 4.33 4 4.00 4 4.33 4 4.67 5 4.67
X1.2 1 3 3 2 3 4 3 4 3 4 3 3 3 3 3 2 4 3 4 3 3 4 3 3 4 3
2 4 3 3 3 4 4 4 3 4 4 4 3 3 4 3 3 3 4 4 4 3 3 4 4 3
3 4 3 3 3 4 4 4 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 4 4 3 3 3 3 3 4
Rata2 3.67 3.00 2.67 3.00 4.00 3.67 4.00 3.00 4.00 3.33 3.33 3.00 3.00 3.67 2.67 3.33 3.00 4.00 3.67 3.33 3.33 3.00 3.33 3.67 3.33
X1.3 1 4 3 3 3 4 3 4 2 4 3 3 3 2 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3
2 3 2 2 3 4 3 4 2 4 3 3 3 3 4 4 3 3 4 3 4 3 3 3 3 3
3 3 3 2 3 4 3 4 2 4 3 4 3 3 3 3 4 3 4 4 3 2 3 3 3 4
Rata2 3.33 2.67 2.33 3.00 4.00 3.00 4.00 2.00 4.00 3.00 3.33 3.00 2.67 3.33 3.33 3.33 3.00 4.00 3.33 3.33 2.67 3.00 3.00 3.00 3.33
X1.4 1 4 4 4 4 5 3 5 3 4 3 2 4 4 4 3 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4
2 3 2 2 3 3 2 3 2 3 3 2 3 2 3 3 1 3 3 3 3 2 2 3 3 3
3 Rata2 3 3.33 3 3.00 2 2.67 2 3.00 3 3.67 2 2.33 3 3.67 2 2.33 3 3.33 2 2.67 4 2.67 3 3.33 2 2.67 3 3.33 2 2.67 3 2.00 3 3.33 3 3.33 3 3.33 3 3.33 2 2.67 3 3.00 3 3.33 2 3.00 3 3.33
X1.5 1 4 4 4 3 3 5 5 4 3 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 5 3 4 4 4 4
2 2 2 4 2 3 2 1 3 2 3 2 3 3 2 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 4
3 2 3 4 2 3 2 1 4 3 4 4 4 4 2 3 2 3 4 4 4 2 4 4 3 5
Rata2 2.67 3.00 4.00 2.33 3.00 3.00 2.33 3.67 2.67 3.67 3.33 3.67 3.67 2.33 3.33 3.00 2.67 3.67 3.67 4.00 2.33 3.67 3.67 3.33 4.33
X1.6 1 4 4 3 3 3 4 5 4 2 4 3 4 3 3 4 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4
2 3 3 3 3 4 4 2 4 3 3 3 4 3 3 3 4 2 4 4 4 3 4 4 4 4
3 4 4 3 4 4 3 2 4 3 4 4 4 3 2 4 4 2 4 4 4 3 4 4 2 4
Keterangan : X1.1 = Tujuan atau alasan diadakannya kebijakan adalah rasional X1.2 = Tujuan kebijakan diinginkan masyarakat X1.3 = Asumsi perumusan kebijakan realistis X1.4 = Informasi perumusan kebijakan lengkap dan benar X1.5 = Manfaat kebijakan tersosialisasi kepada masyarakat = Advokatif dalam hal terjadi perbedaan dalam pelaksanaan kebijakan X1.6 X1.7 = Antisipatif terhadap perubahan di lapangan X1.8 = Dukungan SDM dalam pelaksanaan kebijakan X1.9 = Dukungan Anggaran dalam pelaksanaan kebijakan = Dukungan sarana & prasarana dlm pelaksanaan kebijakan X1.10 X1.11 = Dukungan informasi dalam pelaksanaan kebijakan = Memperoleh legitimasi X1.12 X1.13 = Partisipasi publik dalam pelaksanaan kebijakan X1.14 = Kepatuhan aparat DKP terhadap ketentuan dalam kebijakan X1.15 = Kepatuhan aparat Dinas Perikanan dan Kelautan terhadap ketentuan dalam kebijakan = Kepatuhan karyawan perusahaan terhadap ketentuan dalam kebijakan X1.16
Rata2 3.67 3.67 3.00 3.33 3.67 3.67 3.00 4.00 2.67 3.67 3.33 4.00 3.00 2.67 3.67 4.00 2.00 4.00 4.00 4.00 3.33 4.00 4.00 3.33 4.00
X1.7 1 4 4 4 4 4 4 2 3 3 3 2 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
2 3 3 3 4 4 3 1 3 3 3 4 4 3 2 4 4 4 4 2 4 3 4 4 4 3
3 3 4 3 4 4 3 1 3 3 4 5 4 3 2 3 4 4 4 4 4 3 4 4 5 4
Rata2 3.33 3.67 3.33 4.00 4.00 3.33 1.33 3.00 3.00 3.33 3.67 4.00 3.00 2.33 3.33 4.00 4.00 4.00 3.33 4.00 3.33 4.00 4.00 4.33 3.67
X1.8 1 3 3 3 3 4 3 4 3 2 2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 4 3 3 3 3 3
2 2 3 2 3 3 2 2 3 3 3 2 3 3 2 3 2 3 3 3 3 2 3 4 3 4
3 3 3 2 3 3 2 2 3 3 3 4 3 3 2 3 2 3 3 3 3 2 3 4 3 4
Rata2 2.33 2.83 2.33 2.50 3.00 2.17 2.67 2.50 2.33 2.33 2.50 3.00 2.50 2.17 2.83 2.00 2.50 3.00 3.00 3.00 2.17 2.67 3.33 3.00 3.50
X1.9 1 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 3 4 4 4 3 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4
2 4 4 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 3 3 4 2 4 4 5 5 3 4 4 5 4
3 4 4 4 4 4 4 3 4 3 4 5 4 3 3 4 3 4 4 4 4 3 3 4 4 4
Rata2 3.50 4.00 3.67 4.00 3.67 3.67 3.33 4.00 3.33 3.83 3.67 4.00 3.17 3.00 3.33 2.33 3.50 4.00 4.33 4.33 3.17 3.67 4.00 4.17 4.00
Skala penilaian : 5 = sangat setuju/terbaik/tertinggi 4 = setuju/baik/tinggi 3 = ragu-ragu/sedang 2 = tidak setuju/jelek/rendah 1 = sangat tidak setuju/terjelek/terendah
X1.10 1 4 4 4 3 4 4 5 4 3 4 4 3 4 2 5 2 3 4 4 4 4 4 4 4 4
2 3 3 3 3 3 2 2 4 3 4 4 3 4 3 4 2 3 4 4 4 3 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 2 2 4 3 2 5 3 4 3 3 2 3 4 4 4 2 4 5 4 4
Rata2 3.33 3.33 3.33 3.00 3.33 2.67 3.00 4.00 3.00 3.33 4.33 3.00 4.00 2.67 4.00 2.00 3.00 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00 4.33 4.00 4.00
X1.11 1 4 4 5 3 5 3 4 3 4 4 5 4 4 4 3 2 3 4 4 4 4 4 4 4 3
2 3 2 3 3 4 4 5 3 4 4 3 4 4 3 4 2 3 4 4 5 4 4 4 4 4
3 3 4 3 2 4 2 5 3 4 4 4 4 4 3 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4
Rata2 3.33 3.33 3.67 2.67 4.33 3.00 4.67 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.33 3.33 2.67 3.00 4.00 4.00 4.33 3.67 4.00 4.00 4.00 3.67
X1.12 1 4 4 4 4 3 3 5 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4
2 5 3 3 4 4 5 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
3 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 3 3 5 5 4 4 4 4 4 4 4 4
Rata2 4.33 3.33 3.33 4.00 3.67 4.00 4.33 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.33 3.67 4.33 4.33 4.00 4.00 4.00 4.00 3.67 4.00 4.00 4.00
X1.13 1 3 3 4 3 4 4 5 3 2 4 4 4 4 2 2 2 4 4 4 4 5 4 4 4 3
2 1 4 3 3 4 2 5 3 2 4 4 4 5 3 3 2 4 4 5 4 3 4 4 4 4
3 Rata2 3 2.33 5 4.00 3 3.33 2 2.67 4 4.00 3 3.00 3.33 3 3.00 2 2.00 4 4.00 5 4.33 4 4.00 5 4.67 2 2.33 3 2.67 2 2.00 4 4.00 4 4.00 4 4.33 4 4.00 1 3.00 4 4.00 4 4.00 4 4.00 4 3.67
X1.14 1 5.0 4.0 4.0 4.0 5.0 4.0 4.5 3.5 1.0 3.0 2.5 4.0 1.0 3.5 4.0 4.5 5.0 2.0 2.0 4.0 3.5 4.5 4.0 3.0 1.0
2 4.5 4.0 4.5 4.0 4.5 4.0 4.0 3.5 1.0 3.0 4.0 4.0 1.0 4.0 4.0 4.5 5.0 2.0 2.0 4.0 5.0 3.0 4.0 3.0 5.0
3 5.0 4.0 4.5 4.0 4.5 3.5 4.0 3.5 1.0 3.0 3.0 4.0 1.0 4.0 4.0 4.0 5.0 2.0 2.0 4.0 3.0 4.0 4.0 3.0 5.0
X1.15 Rata2 4.83 4.00 4.33 4.00 4.67 3.83 4.17 3.50 1.00 3.00 3.17 4.00 1.00 3.83 4.00 4.33 5.00 2.00 2.00 4.00 3.83 3.83 4.00 3.00 3.67
1 4.83 4.00 3.00 4.33 4.67 3.00 4.67 3.50 3.50 3.50 4.00 2.00 3.50 3.67 4.67 4.17 4.83 4.33 3.67 4.50 3.17 5.00 4.33 2.67 3.67
2 4.17 4.00 4.00 4.33 3.17 3.00 3.67 3.50 3.50 3.50 3.00 3.33 3.50 3.33 4.33 4.17 4.83 4.33 3.67 4.50 4.00 4.67 4.33 2.67 4.00
3 4.33 4.00 4.00 4.33 3.17 4.00 3.67 3.50 3.50 3.50 3.33 3.33 3.50 3.67 4.83 4.17 4.83 4.33 3.67 4.50 3.33 4.67 4.33 4.00 4.00
X1.16 Rata2 4.44 4.00 3.67 3.67 3.67 3.33 4.00 3.50 3.50 3.50 3.44 2.89 3.50 3.56 4.61 4.17 4.83 4.33 3.67 4.50 3.50 4.78 4.33 3.11 3.89
1 4.89 4.33 4.67 4.56 4.63 4.56 4.44 4.44 4.11 4.44 4.71 4.56 4.56 4.56 4.22 4.44 4.56 5.00 5.00 4.56 4.44 4.56 4.44 4.67 3.78
2 4.67 4.22 4.67 4.56 4.78 4.56 4.44 4.44 4.11 4.44 4.00 4.56 4.56 4.56 4.78 4.22 4.56 5.00 5.00 4.56 4.56 4.11 4.44 4.67 3.44
3 5.00 4.22 4.67 4.56 4.78 4.44 4.44 4.44 4.11 4.44 4.56 4.56 4.56 3.33 4.44 4.44 4.56 5.00 5.00 4.44 4.67 4.56 4.44 4.78 4.11
Rata2 4.85 4.26 4.67 4.56 4.73 4.52 4.44 4.44 4.11 4.44 4.42 4.56 4.56 4.15 4.48 4.37 4.56 5.00 5.00 4.52 4.56 4.41 4.44 4.71 3.78
191
Lampiran 9 Data orientasi kewirausahaan. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
1 3 3 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 4 3 2 3 3 4 2 3 2 2 3 2 2 2 1 3 5 2 2 2 3 3 2 3 2 2 3 5 4 3 3 3
2 3 2 2 3 3 2 4 2 3 3 3 2 4 2 2 3 2 3 4 3 4 3 2 3 2 2 2 2 5 2 2 2 2 2 2 3 3 2 3 4 3 4 4 3
X2.1 3 Rata2 2 2.67 3 2.67 2 2.00 2 2.33 3 2.67 3 2.33 2 2.67 2 2.00 3 3.00 3 3.00 3 3.00 2 2.33 4 4.00 2 2.33 2 2.00 2 2.67 2 2.33 4 3.67 2 2.67 3 3.00 4 3.33 3 2.67 2 2.33 2 2.33 3 2.33 3 2.33 3 2.00 3 2.67 4 4.67 3 2.33 3 2.33 3 2.33 2 2.33 3 2.67 2 2.00 2 2.67 2 2.33 3 2.33 2 2.67 4 4.33 3 3.33 3 3.33 4 3.67 3 3.00
1 3 2 3 2 3 2 2 4 2 2 2 4 5 3 2 3 3 3 2 4 4 3 2 4 4 3 1 4 5 4 2 3 3 3 2 3 5 2 4 5 4 3 3 4
2 3 3 2 2 2 2 3 3 4 2 4 4 5 2 3 3 3 3 4 4 4 3 3 3 4 3 4 3 5 4 2 2 2 3 3 2 5 3 4 4 3 4 3 3
X2.2 3 Rata2 2 2.67 3 2.67 2 2.33 2 2.00 2 2.33 3 2.33 3 2.67 3 3.33 3 3.00 4 2.67 3 3.00 4 4.00 4 4.67 2 2.33 3 2.67 3 3.00 2 2.67 3 3.00 3 3.00 3 3.67 5 4.33 2 2.67 3 2.67 3 3.33 3 3.67 4 3.33 3 2.67 4 3.67 5 5.00 3 3.67 3 2.33 2 2.33 3 2.67 2 2.67 4 3.00 2 2.33 4 4.67 2 2.33 3 3.67 4 4.33 3 3.33 4 3.67 3 3.00 4 3.67
1 3 1 4 3 4 4 2 4 3 4 4 2 4 3 3 4 4 4 5 3 2 4 3 3 2 4 1 4 5 4 3 4 4 3 3 4 2 4 4 4 4 3 4 4
2 3 3 3 3 3 3 4 4 3 4 4 4 4 3 2 4 3 4 5 3 2 4 2 4 2 2 4 3 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 2 4 3 4 4
X2.3 3 Rata2 4 3.33 3 2.33 3 3.33 3 3.00 3 3.33 4 3.67 2 2.67 4 4.00 3 3.00 4 4.00 4 4.00 4 3.33 4 4.00 3 3.00 2 2.33 2 3.33 3 3.33 4 4.00 4 4.67 4 3.33 4 2.67 4 4.00 2 2.33 3 3.33 4 2.67 3 3.00 3 2.67 4 3.67 4 4.00 4 4.00 2 3.00 3 3.33 4 4.00 4 3.67 4 3.67 3 3.67 3 3.00 3 3.67 4 4.00 4 3.33 4 4.00 4 3.33 4 4.00 4 4.00
1 3 3 4 3 3 2 4 4 4 3 4 5 5 5 2 4 4 4 2 5 3 4 3 4 5 3 1 5 5 5 4 4 4 4 4 5 5 4 4 5 4 5 4 5
2 3 4 3 3 2 4 4 4 5 4 4 4 5 4 2 4 3 4 5 5 4 4 4 4 4 2 4 4 5 5 4 4 4 5 4 4 4 4 5 5 5 5 3 5
X2.4 3 Rata2 3 3.00 4 3.67 3 3.33 3 3.00 2 2.33 4 3.33 4 4.00 4 4.00 4 4.33 4 3.67 4 4.00 3 4.00 5 5.00 4 4.33 2 2.00 4 4.00 3 3.33 4 4.00 3 3.33 5 5.00 4 3.67 4 4.00 4 3.67 5 4.33 5 4.67 3 2.67 3 2.67 4 4.33 5 5.00 5 5.00 5 4.33 4 4.00 4 4.00 4 4.33 4 4.00 5 4.67 4 4.33 4 4.00 4 4.33 5 5.00 4 4.33 4 4.67 3 3.33 5 5.00
1 3 4 2 3 3 2 2 2 3 2 3 4 5 3 2 3 3 4 2 3 3 3 2 3 3 2 1 3 4 3 2 2 2 2 3 4 4 3 3 5 2 3 2 3
2 3 2 2 2 2 3 2 3 2 2 2 4 5 2 2 3 2 4 4 3 4 3 2 3 3 2 3 2 4 2 2 2 1 2 2 3 3 3 4 4 3 2 2 3
X2.5 3 Rata2 4 3.33 3 3.00 3 2.33 2 2.33 2 2.33 3 2.67 3 2.33 2 2.33 2 2.33 3 2.33 3 2.67 3 3.67 4 4.67 2 2.33 2 2.00 2 2.67 2 2.33 4 4.00 4 3.33 2 2.67 3 3.33 2 2.67 3 2.33 2 2.67 4 3.33 3 2.33 2 2.00 3 2.67 4 4.00 2 2.33 2 2.00 2 2.00 1 1.33 2 2.00 2 2.33 3 3.33 2 3.00 4 3.33 3 3.33 4 4.33 3 2.67 2 2.33 2 2.00 4 3.33
1 3 3 3 2 1 1 1 3 2 2 2 4 5 4 3 3 3 4 3 3 3 3 2 3 4 3 1 2 4 2 2 3 2 2 2 2 4 2 4 5 3 2 3 3
2 3 3 2 2 2 1 3 3 2 2 2 4 4 2 2 2 3 3 4 3 3 3 2 3 3 3 3 2 4 2 2 2 1 1 3 3 3 2 4 4 2 3 2 3
X2.6 3 Rata2 4 3.33 2 2.67 2 2.33 2 2.00 2 1.67 3 1.67 1 1.67 3 3.00 2 2.00 2 2.00 2 2.00 4 4.00 2 3.67 2 2.67 2 2.33 2 2.33 3 3.00 3 3.33 4 3.67 3 3.00 3 3.00 3 3.00 2 2.00 3 3.00 4 3.67 3 3.00 3 2.33 3 2.33 3 3.67 2 2.00 1 1.67 2 2.33 1 1.33 2 1.67 2 2.33 2 2.33 2 3.00 3 2.33 4 4.00 4 4.33 2 2.33 3 2.67 2 2.33 3 3.00
1 3 5 3 3 4 2 2 3 2 2 3 2 4 3 3 4 4 4 2 2 2 2 2 2 3 4 1 4 1 2 3 2 5 2 2 4 5 3 2 4 4 2 2 5
2 4 2 2 3 3 2 5 3 4 2 4 2 2 2 4 2 3 4 2 2 1 2 2 4 3 4 4 3 2 2 3 2 2 4 2 4 3 3 2 2 3 2 3 5
X2.7 3 Rata2 4 3.67 3 3.33 2 2.33 3 3.00 3 3.33 2 2.00 2 3.00 3 3.00 2 2.67 2 2.00 4 3.67 3 2.33 4 3.33 2 2.33 3 3.33 2 2.67 3 3.33 4 4.00 3 2.33 1 1.67 4 2.33 2 2.00 1 1.67 4 3.33 1 2.33 4 4.00 4 3.00 4 3.67 2 1.67 2 2.00 2 2.67 2 2.00 2 3.00 2 2.67 4 2.67 1 3.00 2 3.33 3 3.00 1 1.67 4 3.33 2 3.00 2 2.00 3 2.67 5 5.00
1 3 4 3 3 3 2 5 4 4 3 4 4 4 5 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 5 5 4 4 5 4 4 2 4 4 5 4 3 4 4 4 3 5
2 3 4 2 3 3 2 4 4 4 3 4 4 5 4 2 4 3 4 4 4 4 4 3 4 3 3 4 3 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 3 5 4 5 4 5
X2.8 3 Rata2 4 3.33 3 3.67 2 2.33 3 3.00 3 3.00 4 2.67 5 4.67 4 4.00 4 4.00 3 3.00 4 4.00 4 4.00 5 4.67 4 4.33 2 2.33 4 4.00 3 3.33 4 4.00 3 3.67 3 3.67 5 4.33 4 4.00 2 3.00 4 4.00 3 3.00 4 3.67 4 4.33 4 4.00 4 4.00 4 4.00 5 4.67 5 4.67 4 4.00 3 3.00 4 4.00 4 4.00 2 3.67 3 3.67 4 3.33 4 4.33 4 4.00 4 4.33 4 3.67 5 5.00
191
Lampiran 9 Lanjutan. Sampel 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
1 3 2 2 2 2 2 2 2 2 4 2 3 3 2 2 1 3 4 2 4 3 3 3 3 2
2 2 3 2 2 2 3 2 2 2 2 3 4 3 3 3 3 3 4 3 5 3 3 4 2 2
X2.1 3 Rata2 3 2.67 2 2.33 3 2.33 2 2.00 3 2.33 2 2.33 3 2.33 2 2.00 3 2.33 4 3.33 2 2.33 3 3.33 3 3.00 2 2.33 3 2.67 3 2.33 3 3.00 4 4.00 2 2.33 4 4.33 4 3.33 2 2.67 3 3.33 2 2.33 4 2.67
1 4 3 4 4 3 4 2 2 3 3 3 3 2 5 3 2 4 4 4 4 4 4 3 4 2
2 3 3 3 4 2 3 3 2 3 4 2 3 3 3 3 3 3 4 4 5 4 4 4 3 4
X2.2 3 Rata2 3 3.33 4 3.33 3 3.33 4 4.00 2 2.33 3 3.33 2 2.33 2 2.00 2 2.67 3 3.33 2 2.33 3 3.00 3 2.67 4 4.00 3 3.00 3 2.67 4 3.67 4 4.00 4 4.00 5 4.67 4 4.00 4 4.00 3 3.33 3 3.33 3 3.00
1 4 4 4 4 4 5 2 3 3 3 4 2 3 2 2 2 3 3 3 5 4 3 4 3 3
2 4 2 4 3 3 4 5 3 4 4 2 3 5 3 2 2 3 3 3 5 4 4 5 3 3
X2.3 3 Rata2 4 4.00 4 3.33 4 4.00 4 3.67 3 3.33 2 3.67 2 3.00 3 3.00 4 3.67 4 3.67 2 2.67 2 2.33 5 4.33 3 2.67 2 2.00 2 2.00 3 3.00 3 3.00 4 3.33 4 4.67 4 4.00 2 3.00 4 4.33 3 3.00 4 3.33
Keterangan : X2.1 = Tindakan kompetitif X2.2 = Teknik-teknik baru dalam pengolahan ikan X2.3 = Sikap kompetitif dalam menghadapi persiangan X2.4 = Kepemimpinan dalam R&D X2.5 = Jenis-jenis produk baru X2.6 = Perubahan produk X2.7 = Kecenderungan risk taker X2.8 = Keberanian menghadapi lingkungan bisnis Skala penilaian : 5 = Sangat setuju 4 = Setuju 3 = Ragu-ragu 2 = Tidak setuju 1 = Sangat tidak setuju
1 4 4 4 5 5 5 4 4 5 4 4 4 3 4 5 5 4 3 5 4 4 4 4 4 4
2 5 4 4 5 3 5 5 4 5 4 5 4 4 4 5 5 4 3 3 4 4 4 5 4 4
X2.4 3 Rata2 5 4.67 4 4.00 4 4.00 5 5.00 3 3.67 5 5.00 4 4.33 4 4.00 3 4.33 5 4.33 4 4.33 4 4.00 4 3.67 5 4.33 5 5.00 4 4.67 4 4.00 3 3.00 4 4.00 4 4.00 5 4.33 4 4.00 5 4.67 4 4.00 5 4.33
1 3 2 3 3 3 3 3 2 3 3 2 4 3 4 3 3 4 3 3 3 4 3 3 4 2
2 3 2 3 3 2 3 4 2 3 3 2 4 4 4 2 3 3 3 3 4 4 4 4 3 2
X2.5 3 Rata2 2 2.67 2 2.00 3 3.00 3 3.00 2 2.33 3 3.00 3 3.33 2 2.00 2 2.67 3 3.00 2 2.00 4 4.00 4 3.67 4 4.00 4 3.00 4 3.33 2 3.00 3 3.00 4 3.33 3 3.33 5 4.33 4 3.67 3 3.33 3 3.33 3 2.33
1 3 2 4 3 3 3 3 2 2 2 2 4 4 3 3 2 4 3 4 4 4 3 4 2 2
2 3 3 4 3 2 2 4 2 2 2 2 4 4 3 2 3 4 3 3 4 4 3 4 3 2
X2.6 3 Rata2 4 3.33 2 2.33 4 4.00 3 3.00 2 2.33 3 2.67 3 3.33 2 2.00 3 2.33 4 2.67 1 1.67 4 4.00 4 4.00 3 3.00 4 3.00 3 2.67 4 4.00 3 3.00 2 3.00 4 4.00 5 4.33 4 3.33 4 4.00 3 2.67 3 2.33
1 4 3 4 3 1 2 4 3 5 4 2 2 4 2 3 5 2 4 3 4 3 2 4 2 3
2 4 2 2 3 1 2 1 3 4 2 5 3 4 3 3 4 2 4 3 4 2 4 5 3 3
X2.7 3 Rata2 1 3.00 4 3.00 2 2.67 3 3.00 1 1.00 4 2.67 4 3.00 3 3.00 3 4.00 3 3.00 2 3.00 2 2.33 4 4.00 4 3.00 2 2.67 4 4.33 2 2.00 4 4.00 2 2.67 5 4.33 3 2.67 2 2.67 4 4.33 3 2.67 5 3.67
1 4 3 4 4 4 5 4 3 5 4 4 4 4 3 4 4 3 3 4 4 5 4 4 4 4
2 4 4 3 4 3 4 4 3 4 2 4 4 3 3 4 4 3 3 4 5 5 4 5 4 4
X2.8 3 Rata2 5 4.33 4 3.67 3 3.33 4 4.00 3 3.33 4 4.33 4 4.00 3 3.00 4 4.33 4 3.33 4 4.00 4 4.00 3 3.33 4 3.33 4 4.00 4 4.00 3 3.00 3 3.00 4 4.00 5 4.67 5 5.00 4 4.00 4 4.33 4 4.00 4 4.00
193
Lampiran 10 Data peubah kompetensi sumberdaya manusia. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
X3.2
X3.1 1 3.29 2.43 2.00 2.86 3.00 2.67 2.33 1.83 3.86 1.50 2.57 3.43 3.43 2.71 2.83 2.43 3.14 3.00 2.57 2.71 4.57 2.14 2.00 4.14 3.43 2.57 3.57 2.67 2.57 2.57 2.29 2.71 2.57 2.86 3.29 4.00 4.14 2.57 3.57 4.57 4.14 3.00 4.29 3.00 4.00 3.29 2.57
2 3.29 3.00 2.29 1.50 2.00 3.57 2.00 2.00 2.00 1.67 3.43 4.00 2.43 2.14 2.67 3.00 1.83 1.83 2.57 2.14 3.29 2.14 2.57 2.43 3.14 2.00 3.29 2.67 2.57 1.57 2.00 2.50 1.71 3.14 2.71 3.57 2.57 2.88 3.57 3.43 2.43 2.86 1.71 3.43 3.71 3.14 2.57
3 3.29 2.29 2.18 2.00 2.00 2.33 2.71 2.00 3.00 1.67 2.71 3.00 3.57 2.43 3.00 2.29 1.86 2.43 2.14 2.14 4.14 1.86 2.86 2.71 3.00 2.29 3.86 2.50 2.29 3.43 2.86 2.50 1.71 2.57 3.29 3.14 2.43 2.57 3.14 4.00 4.00 3.00 3.86 3.00 4.71 3.71 2.57
Rata2 3.29 2.57 2.16 2.12 2.33 2.86 2.35 1.94 2.95 1.61 2.90 3.48 3.14 2.43 2.83 2.57 2.28 2.42 2.43 2.33 4.00 2.05 2.48 3.09 3.19 2.29 3.57 2.61 2.48 2.52 2.38 2.57 2.00 2.86 3.10 3.57 3.05 2.67 3.43 4.00 3.52 2.95 3.29 3.14 4.14 3.38 2.57
1 3.14 2.43 2.17 3.33 3.00 2.33 2.00 2.17 4.00 1.86 2.71 3.43 3.71 2.43 2.67 2.86 2.57 2.43 2.71 2.29 4.29 1.86 2.14 4.00 2.57 2.57 3.86 2.67 2.86 2.57 2.57 3.00 2.43 2.29 3.29 4.00 3.43
2 3.24 2.71 2.14 1.83 2.00 3.57 2.00 2.00 2.86 1.86 3.43 4.00 2.43 2.14 2.50 2.86 2.57 2.67 2.43 2.29 3.71 2.57 2.57 2.57 3.00 2.57 3.57 3.00 2.57 2.00 2.29 3.71 1.71 2.29 3.14 3.57 2.57
3 3.14 2.71 2.00 1.83 2.00 2.33 2.71 2.33 4.00 1.86 2.86 2.29 3.57 2.00 3.14 2.14 2.57 3.00 2.71 2.29 3.86 2.00 2.86 3.57 3.00 2.29 4.14 2.50 2.86 3.29 2.71 3.00 1.71 2.71 3.57 3.14 2.43
2.58
3.14
2.29
3.43 4.57 3.86 3.14 4.43 2.71 3.43 3.57 2.43
3.43 3.71 2.71 2.29 2.00 3.43 4.00 2.29 2.57
3.00 3.57 3.71 2.57 3.71 2.71 4.71 4.00 2.43
X3.3 Rata2 3.17 2.62 2.10 2.33 2.33 2.74 2.24 2.17 3.62 1.86 3.00 3.24 3.24 2.19 2.77 2.62 2.57 2.70 2.62 2.29 3.95 2.14 2.52 3.38 2.86 2.48 3.86 2.72 2.76 2.62 2.52 3.24 1.95 2.43 3.33 3.57 2.81 2.67 3.29 3.95 3.43 2.67 3.38 2.95 4.05 3.29 2.48
1 4.00 3.00 2.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 2.00 3.00 4.00 4.00 3.00 3.00 3.00 4.00 3.00 3.00 4.00 3.00 4.00 3.00 3.00 4.00 3.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 2.00 3.00 2.00 3.00 3.00 5.00 2.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00 3.00 3.00
2 4.00 4.00 2.00 2.00 2.00 3.00 3.00 2.00 2.00 2.00 4.00 4.00 4.00 2.00 3.00 3.00 2.00 3.00 3.00 3.00 3.00 2.00 2.00 3.00 3.00 2.00 4.00 3.00 3.00 3.00 2.00 2.00 2.00 2.00 3.00 3.00 2.00 3.00 3.00 3.00 4.00 4.00 3.00 4.00 3.00 3.00 3.00
3 2.00 3.00 3.00 2.00 2.00 2.00 2.00 3.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 3.00 2.00 3.00 2.00 4.00 4.00 3.00 5.00 2.00 2.00 2.00 4.00 3.00 3.00 3.00 2.00 3.00 2.00 2.00 2.00 3.00 2.00 4.00 2.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 3.00 3.00 4.00 2.00
X3.4 Rata2 3.33 3.33 2.33 2.33 2.33 2.67 2.67 2.67 1.67 2.33 3.00 4.00 4.00 2.67 2.67 3.33 2.33 3.33 3.67 3.00 4.00 2.33 2.33 3.00 3.33 2.67 3.67 3.33 3.00 3.33 2.33 2.00 2.33 2.33 2.67 3.33 3.00 2.67 3.33 3.67 4.00 4.00 3.33 3.33 3.33 3.33 2.67
1 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 3.00 4.00 4.00 3.00 3.00 3.00 3.00 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 5.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00 5.00 3.00 5.00 5.00 4.00 4.00 5.00 4.00 3.00 4.00 4.00
2 4.00 4.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 5.00 2.00 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.00 3.00 3.00 4.00 3.00 2.00 4.00 5.00 4.00 4.00 1.00 3.00 4.00 4.00 2.00 4.00 5.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00
3 4.00 3.00 4.00 4.00 3.00 4.00 3.00 3.00 4.00 4.00 3.00 4.00 5.00 4.00 3.00 4.00 2.00 4.00 4.00 3.00 5.00 3.00 3.00 4.00 5.00 4.00 4.00 2.00 4.00 5.00 4.00 3.00 1.00 3.00 3.00 4.00 2.00 4.00 5.00 4.00 4.00 3.00 4.00 3.00 5.00 5.00 3.00
X3.6
X3.5 Rata2 4.00 3.67 3.67 3.67 3.33 3.67 3.00 3.33 3.67 4.00 3.33 3.67 4.00 3.67 3.33 4.33 2.33 4.00 4.00 3.00 4.33 3.67 3.33 3.67 4.00 4.00 3.67 3.00 4.00 4.67 4.00 3.67 2.00 3.33 3.33 4.00 3.00 3.67 5.00 4.00 4.00 3.67 4.33 3.67 4.00 4.33 3.67
1 4.14 4.00 4.00 4.29 3.86 3.43 3.43 4.29 4.43 3.14 4.00 4.14 3.71 4.29 3.29 3.86 3.14 4.00 4.14 4.14 4.29 3.17 4.14 3.00 3.57 4.00 3.86 4.14 4.00 3.43 3.29 3.86 4.29 4.00 4.14 4.14 3.71 3.29 4.14 4.86 4.57 4.00 4.14 4.00 4.43 4.29 3.57
2 4.71 3.00 3.43 4.57 3.86 4.29 3.71 4.57 4.14 3.57 4.00 4.29 4.14 4.14 3.57 4.00 3.14 4.14 4.00 4.00 4.00 3.86 4.00 4.00 3.86 4.43 2.00 4.14 4.00 4.86 4.14 4.14 4.43 3.86 4.14 4.43 4.00 3.86 4.43 4.14 4.00 4.29 4.14 4.00 3.57 3.86 4.00
3 3.43 5.00 3.71 4.29 3.86 4.14 4.43 4.14 4.14 3.57 4.00 4.00 4.71 4.00 3.86 3.43 3.14 4.14 3.86 3.86 4.14 4.14 4.43 4.43 5.00 2.86 3.29 4.24 4.00 4.29 4.00 3.86 4.29 4.00 3.86 4.14 3.86 3.86 5.00 5.00 4.57 4.14 4.29 3.00 4.14 4.57 3.00
Rata2 4.09 4.00 3.71 4.38 3.86 3.95 3.86 4.33 4.24 3.43 4.00 4.14 4.19 4.14 3.57 3.76 3.14 4.09 4.00 4.00 4.14 3.72 4.19 3.81 4.14 3.76 3.05 4.17 4.00 4.19 3.81 3.95 4.34 3.95 4.05 4.24 3.86 3.67 4.52 4.67 4.38 4.14 4.19 3.67 4.05 4.24 3.52
1 4.27 2.80 4.00 4.47 3.67 3.60 3.67 4.40 4.13 3.47 3.93 4.13 3.93 4.13 3.67 3.80 3.33 4.27 4.20 4.47 4.27 3.93 4.27 3.20 3.67 4.07 4.00 4.14 3.93 3.53 3.73 3.40 3.60 4.00 4.40 4.20 4.20 3.67 4.27 5.00 4.00 4.07 4.00 4.00 4.33 4.53 3.73
2 4.00 3.20 2.93 4.73 3.67 4.20 3.73 4.47 3.80 3.73 4.00 4.47 4.07 4.40 3.67 3.67 3.33 4.00 3.87 3.93 4.40 4.07 3.87 4.07 3.93 3.27 2.27 4.07 3.93 4.27 4.53 4.00 3.33 4.33 4.00 4.60 4.40 4.00 4.27 3.93 3.93 4.07 4.27 4.00 4.07 4.13 3.80
3 4.07 5.00 3.73 4.13 3.67 4.00 4.53 4.00 4.00 3.73 4.00 3.93 4.87 4.00 3.87 3.73 3.33 3.87 3.67 4.13 4.27 4.13 4.20 4.07 4.40 2.80 3.47 4.33 4.00 4.33 3.87 3.40 3.33 3.60 3.87 4.29 3.80 4.00 5.00 4.87 4.27 4.13 4.20 3.00 4.00 4.53 3.00
X3.7 Rata2 4.11 3.67 3.55 4.44 3.67 3.93 3.98 4.29 3.98 3.64 3.98 4.18 4.29 4.18 3.74 3.73 3.33 4.05 3.91 4.18 4.31 4.04 4.11 3.78 4.00 3.38 3.25 4.18 3.95 4.04 4.04 3.60 3.42 3.98 4.09 4.36 4.13 3.89 4.51 4.60 4.07 4.09 4.16 3.67 4.13 4.40 3.51
1 3.50 3.00 4.00 4.50 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 2.50 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00 2.50 5.00 3.50 4.50 4.00 4.00 4.50 2.00 3.50 4.00 3.00 4.00 4.00 5.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 3.50 3.00 5.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.50 4.00
2 4.50 3.50 3.50 4.50 4.00 4.00 4.00 4.50 3.50 3.00 4.00 4.50 5.00 4.00 3.00 2.00 2.50 4.50 4.00 4.50 4.00 3.50 4.00 2.50 4.00 4.00 3.00 5.00 4.50 5.00 4.50 4.00 4.50 4.00 4.00 5.00 3.00 3.50 3.50 3.50 3.50 4.50 4.00 4.00 4.00 4.50 4.00
3 4.00 5.00 3.50 4.00 4.00 4.00 5.00 4.00 4.50 3.00 4.00 3.50 5.00 4.50 3.00 4.00 2.50 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.50 4.00 4.00 4.00 3.50 4.50 4.00 4.50 4.00 3.00 3.00 4.00 4.00 4.00 3.00 3.50 5.00 5.00 4.50 4.50 4.50 3.00 4.00 5.00 3.00
X3.8 Rata2 4.00 3.83 3.67 4.33 4.00 4.00 4.00 4.17 4.00 2.83 4.00 4.00 4.67 4.17 3.00 3.33 2.50 4.50 3.83 4.33 4.00 3.83 4.33 2.83 3.83 4.00 3.17 4.50 4.17 4.83 3.83 3.67 3.83 4.00 4.00 4.33 3.00 3.50 3.83 4.50 4.00 4.00 4.17 3.67 4.00 4.67 3.67
1 4.11 4.56 4.00 4.00 3.78 3.67 3.56 4.22 4.44 3.11 4.00 4.00 4.00 4.33 4.00 4.22 3.56 4.22 4.33 4.89 4.11 3.78 4.11 3.78 3.78 4.00 4.00 4.00 4.00 3.89 3.78 3.67 4.00 3.78 4.67 3.67 4.11 3.44 4.22 4.44 4.11 3.67 4.00 4.00 4.00 3.78 3.89
2 4.11 4.00 3.57 4.67 3.78 4.11 3.44 4.33 3.78 3.57 4.00 4.44 4.00 4.11 3.56 3.78 3.56 4.11 3.78 4.56 3.89 4.00 4.00 4.00 3.89 3.56 2.44 4.00 3.89 4.00 4.22 4.00 3.33 4.11 4.11 4.11 4.22 3.78 3.67 3.67 4.00 4.11 4.44 4.00 4.00 4.11 3.89
3 4.22 5.00 3.67 4.22 3.78 4.00 4.67 4.00 4.00 3.57 4.00 3.67 4.78 3.89 4.11 4.00 3.56 4.00 3.56 4.44 4.11 4.00 4.33 4.00 4.44 3.56 3.89 4.11 4.00 4.33 3.67 3.00 3.00 3.22 3.78 3.89 3.89 3.78 4.89 4.89 4.11 4.00 4.67 3.00 4.11 4.89 3.00
X3.9 Rata2 4.15 4.52 3.75 4.30 3.78 3.93 3.89 4.18 4.07 3.42 4.00 4.04 4.26 4.11 3.89 4.00 3.56 4.11 3.89 4.63 4.04 3.93 4.15 3.93 4.04 3.71 3.44 4.04 3.96 4.07 3.89 3.56 3.44 3.70 4.19 3.89 4.07 3.67 4.26 4.33 4.07 3.93 4.37 3.67 4.04 4.26 3.59
1 3.71 4.14 4.00 3.57 4.00 3.57 3.14 4.71 4.00 3.29 4.00 4.14 3.79 3.86 3.57 4.29 3.86 4.57 3.57 4.71 4.29 3.86 4.00 4.14 3.57 4.14 4.00 4.14 4.00 4.29 4.14 3.29 3.71 4.14 4.71 4.14 4.57 3.86 4.14 4.86 4.00 3.86 4.00 4.00 4.00 4.29 4.14
2 4.29 4.00 3.71 4.43 4.00 4.00 3.66 4.71 3.86 3.57 4.00 4.43 4.29 4.14 3.86 3.71 3.86 4.14 4.00 3.86 4.14 4.00 4.00 4.43 3.86 3.71 2.57 4.14 4.14 4.43 4.43 4.14 3.43 4.14 3.86 4.43 4.43 4.14 3.71 3.71 4.00 4.00 4.29 4.00 3.86 4.00 4.00
3 4.29 5.00 3.71 4.00 4.00 4.00 4.71 4.00 4.14 3.57 4.00 3.86 5.00 4.00 3.57 4.00 3.86 4.14 4.00 4.57 4.14 4.29 4.43 4.00 4.29 3.43 3.71 4.43 4.00 4.29 4.00 3.29 3.43 4.00 3.71 4.00 3.71 4.14 5.00 4.71 4.00 3.43 4.86 3.00 4.00 4.43 3.00
Rata2 4.10 4.38 3.81 4.00 4.00 3.86 3.84 4.47 4.00 3.48 4.00 4.14 4.36 4.00 3.67 4.00 3.86 4.28 3.86 4.38 4.19 4.05 4.14 4.19 3.91 3.76 3.43 4.24 4.05 4.34 4.19 3.57 3.52 4.09 4.09 4.19 4.24 4.05 4.28 4.43 4.00 3.76 4.38 3.67 3.95 4.24 3.71
Lampiran 10 Lanjutan. Sampel 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
193
X3.1 1 3.29 2.57 2.43 2.14 2.57 4.86 3.14 2.29 2.83 4.14 3.14 3.43 3.71 3.57 3.86 1.43 3.00 2.86 2.86 3.14 3.71 1.86
2 4.00 2.57 2.43 2.43 2.43 3.86 3.57 3.00 2.86 4.14 2.71 4.57 2.71 3.57 2.71 2.57 3.14 3.14 3.14 3.29 3.86 2.57
3 4.29 2.57 3.00 4.00 2.43 3.14 2.71 2.57 3.00 3.86 2.86 3.57 3.57 4.14 2.57 3.71 3.29 2.57 4.14 3.14 3.71 2.57
X3.2 2
Rata 3.86 2.57 2.62 2.86 2.48 3.95 3.14 2.62 2.90 4.05 2.90 3.86 3.33 3.76 3.05 2.57 3.14 2.86 3.38 3.19 3.76 2.33
1 3.57 2.57 2.29 2.29 2.57 4.86 3.00 2.57 2.67 4.43 2.71 3.57 3.57 3.43 4.29 1.57 3.14 3.29 3.00 3.14 3.71 2.71
2 3.57 2.43 2.29 2.71 2.57 3.00 3.57 3.00 2.63 4.14 3.00 4.14 2.57 3.43 2.43 2.57 3.57 3.14 3.57 3.43 3.71 2.43
3 4.29 2.57 3.43 4.43 2.57 2.14 2.71 2.57 1.83 3.43 2.57 4.29 3.57 3.86 1.83 2.57 3.14 2.57 4.14 3.43 3.71 2.43
Keterangan : X3.1 = Pengetahuan mengenai PMMT/HACCP X3.2 = Pengetahuan mengenai teknologi pengolahan X3.3 = Ketrampilan mengenai PMMT/HACCP X3.4 = Ketrampilan mengenai teknologi pengolahan X3.5 = Perhargaan bagi karyawan X3.6 = Kesempatan berkembang bagi karyawan X3.7 = Gaji/upah bagi karyawan X3.8 = Jenjang karier bagi karyawan X3.9 = Komunikasi antar personil dalam perusahaan Skala penilaian : 5 = Sangat setuju/terbaik/tertinggi 4 = Setuju/baik/tinggi 3 = Ragu-ragu/sedang 2 = Tidak setuju/jelek/rendah 1 = Sangat tidak setuju/terjelek/terendah
X3.3 2
Rata 3.81 2.52 2.67 3.14 2.57 3.33 3.09 2.71 2.38 4.00 2.76 4.00 3.24 3.57 2.85 2.24 3.28 3.00 3.57 3.33 3.71 2.52
1 4.00 2.00 3.00 2.00 3.00 3.00 4.00 2.00 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.00 2.00 4.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00
2 4.00 2.00 2.00 2.00 2.00 3.00 4.00 2.00 4.00 4.00 4.00 4.00 2.00 4.00 2.00 4.00 5.00 4.00 4.00 4.00 3.00 3.00
3 4.00 3.00 3.00 2.00 2.00 2.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00 2.00 4.00 5.00 4.00 3.00 3.00 4.00 3.00
X3.4 2
Rata 4.00 2.33 2.67 2.00 2.33 2.67 4.00 2.33 4.00 4.00 4.00 3.67 3.00 4.00 2.67 3.33 4.67 3.67 3.33 3.33 3.33 3.00
1 5.00 4.00 4.00 4.00 4.00 5.00 4.00 3.00 3.00 4.00 3.00 4.00 5.00 4.00 3.00 2.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 2.00
2 5.00 4.00 3.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 5.00 3.00 4.00 3.00 4.00 5.00 4.00 4.00 5.00 4.00 4.00
3 5.00 3.00 3.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 5.00 4.00 4.00 3.00 4.00 5.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00
X3.5 2
Rata 5.00 3.67 3.33 4.00 3.33 4.33 4.00 3.67 3.00 4.00 3.67 4.67 4.00 4.00 3.00 3.33 4.67 4.00 4.00 4.33 4.00 3.33
1 4.29 3.43 4.00 4.00 4.00 4.00 4.71 4.43 4.00 3.71 4.43 4.57 4.57 4.14 3.86 3.71 4.00 4.00 4.00 4.00 4.14 3.43
2 4.29 3.57 4.00 4.00 3.00 4.00 4.43 4.71 4.00 3.86 4.71 3.86 3.71 3.29 3.29 3.43 4.00 4.00 4.00 4.00 4.14 4.29
3 4.43 3.00 3.86 3.57 3.00 4.00 4.00 4.57 4.00 3.71 4.57 4.43 4.29 3.43 3.00 4.14 4.43 4.00 4.14 4.00 4.43 4.29
X3.6 2
Rata 4.34 3.33 3.95 3.86 3.33 4.00 4.38 4.57 4.00 3.76 4.57 4.29 4.19 3.62 3.38 3.76 4.14 4.00 4.05 4.00 4.24 4.00
1 4.93 3.80 3.93 4.00 3.93 4.00 4.20 3.93 4.00 3.80 4.20 4.33 4.07 3.80 3.73 3.80 4.00 3.87 4.07 4.00 4.00 3.53
2 4.93 3.67 3.87 3.87 3.00 3.93 4.67 4.40 4.00 3.93 3.93 4.13 3.93 3.53 3.00 3.60 4.00 3.87 4.00 4.00 4.00 4.27
3 4.93 3.00 3.87 3.73 3.00 3.80 4.07 4.00 4.27 3.73 4.20 4.50 3.93 3.80 3.00 3.93 4.40 4.07 4.00 4.00 3.93 4.73
X3.7 2
Rata 4.93 3.49 3.89 3.87 3.31 3.91 4.31 4.11 4.09 3.82 4.11 4.32 3.98 3.71 3.24 3.78 4.13 3.94 4.02 4.00 3.98 4.18
1 4.50 4.00 4.00 4.00 4.00 3.50 4.50 4.00 4.00 2.50 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.50 5.00 4.00 4.00 3.00
2 4.50 3.50 4.00 4.00 3.00 4.00 4.50 5.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.00 3.00 3.00 4.00 4.00 4.50 4.00 4.00 4.00 4.50
3 4.00 3.00 3.50 4.00 3.00 3.50 4.50 4.50 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.50 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.50
X3.8 2
Rata 4.33 3.50 3.83 4.00 3.33 3.67 4.50 4.50 4.00 3.17 4.00 4.00 4.00 3.50 3.00 4.00 4.00 4.33 4.33 4.00 4.00 4.00
1 4.22 3.67 3.78 3.78 4.00 4.11 4.00 3.78 4.00 3.89 4.33 4.56 4.00 3.78 3.78 3.44 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00
2 4.22 3.89 3.78 4.00 3.00 3.89 4.78 4.40 4.00 3.67 4.11 4.11 3.89 4.00 3.00 3.78 4.00 4.00 3.89 4.00 4.00 4.22
3 4.22 3.00 4.11 4.00 3.00 3.78 4.22 4.33 4.00 3.78 3.78 4.22 4.11 3.78 3.00 4.00 4.56 4.78 3.89 4.00 4.22 4.56
X3.9 2
Rata 4.22 3.52 3.89 3.93 3.33 3.93 4.33 4.17 4.00 3.78 4.07 4.30 4.00 3.85 3.26 3.74 4.19 4.26 3.93 4.00 4.07 4.26
1 4.43 4.00 3.86 4.00 4.00 4.29 4.00 4.00 4.00 3.86 4.43 4.57 4.14 4.00 3.43 4.14 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00
2 4.43 4.00 3.71 3.86 3.00 4.00 4.71 4.43 4.00 3.86 4.00 4.57 4.00 3.57 3.00 3.86 4.00 4.00 3.85 4.00 4.00 4.43
3 4.43 3.00 4.00 4.14 3.00 4.00 4.00 4.43 4.00 3.86 4.14 4.14 4.14 3.57 3.00 4.00 4.57 5.00 4.00 4.00 4.14 4.86
2
Rata 4.43 3.67 3.86 4.00 3.33 4.10 4.24 4.29 4.00 3.86 4.19 4.43 4.09 3.71 3.14 4.00 4.19 4.33 3.95 4.00 4.05 4.43