[Type text]
PERAN PERENDAMAN DENGAN AIR TAWAR DALAM MENEKAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DOTY DI PERAIRAN SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
ASTRIWANA
SKRIPSI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 [Type text]
[Type text]
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : PERAN PERENDAMAN DENGAN AIR TAWAR DALAM MENEKAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DOTY DI PERAIRAN SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2010
ASTRIWANA C14052473
[Type text]
[Type text]
RINGKASAN ASTRIWANA. Peran Perendaman dengan Air Tawar dalam Menekan Penyakit pada Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Doty di Perairan Semak Daun Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing Oleh IRZAL EFFENDI dan YANI HADIROSEYANI. Kappaphycus alvarezii Doty merupakan salah satu jenis rumput laut penghasil karaginan yang banyak dibudidayakan, antara lain di perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu Jakarta. Di pulau tersebut, usaha budidaya rumput laut mengalami kesulitan produksi disebabkan oleh hama dan penyakit ice-ice. Penyakit ini muncul akibat perubahan lingkungan yang menyebabkan rumput laut stress sehingga mudah diserang bakteri patogen dari dalam air dengan indikasi talus yang memutih. Bakteri patogen yang hidup di air bersalinitas tinggi dapat dilemahkan oleh air tawar seperti dipping (perendaman) ikan laut ke dalam air tawar yang ternyata mampu mengurangi parasit dan bakteri pada tubuhnya. Perlakuan tersebut mungkin bisa diterapkan pada rumput laut. Penelitian bertujuan untuk mengetahui peran air tawar dalam menekan serangan penyakit pada budidaya rumput laut K. alvarezii Doty di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu. Penelitian dilakukan di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu Jakarta. Rumput laut dengan berat per rumpun 96,67 – 101,33 g dipelihara menggunakan metode longline 15 m sebanyak 6 tali ris dengan 2 perlakuan yaitu tanpa dan dengan perendaman air tawar. Pada tali diikat rumput laut sebanyak 60 rumpun. Setiap perlakuan diulang 3 kali dan dipelihara selama 27 hari. Perendaman dilakukan dengan cara mengangkat bibit rumput laut pada tali ris kemudian direndam di air tawar dalam wadah styrofoam selama 5 menit. Pada 15 bibit dari tiap tali ris ditimbang bobot dan diukur diameternya. Setelah pengukuran bibit sampel kembali diikat pada tali ris. Parameter yang diamati terdiri dari kondisi rumput laut, pertumbuhan bobot, diameter talus dan biomassa rumput laut serta fisika-kimia perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam lingkungan perairan dengan karakteristik seperti kecepatan arus permukaan rata-rata 0,28 m/s, kandungan nitrat dan nitrit rata–rata 0,0943 mg/l, serta fosfat rata-rata 0,0926 mg/l menyebabkan rumput laut mengalami serangan penyakit ice-ice dan epifit. Serangan penyakit memperlihatkan prevalensi yang berbeda pada dua macam perlakuan di akhir pemeliharaan, dimana rumput laut yang direndam air tawar memiliki prevalensi ice-ice 4,5% dan epifit 17,8% lebih rendah dibandingkan dengan rumput laut yang tidak direndam yaitu 15,5% dan 31,1%. Perlakuan air tawar mampu membunuh atau melemahkan bakteri patogen sehingga memberi pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot rata-rata dan biomassa bibit K. alvarezii. Di akhir pemeliharaan bobot rata-rata dan biomassa bibit perlakuan air tawar 147,56 g dan 26,56 kg sedangkan kontrol 126,11 g dan 21,44 kg. Oleh karena itu, air tawar terbukti berperan dalam menekan serangan penyakit ice-ice dan epifit.
[Type text]
[Type text]
PERAN PERENDAMAN DENGAN AIR TAWAR DALAM MENEKAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DOTY DI PERAIRAN SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
ASTRIWANA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
[Type text]
[Type text]
Judul
: Peran Perendaman dengan Air Tawar dalam Menekan Penyakit pada Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Doty di Perairan Semak Daun Kepulauan Seribu, Jakarta
Nama Mahasiswa : Astriwana Nomor Pokok
: C14052473
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Irzal Effendi, M.Si
Ir. Yani Hadiroseyani, MM
NIP.19640330198903 1 003 NIP.19600131198603 2 002
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Indra Jaya NIP. 19610410198601 1 002
Tanggal Lulus :
[Type text]
[Type text]
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Skripsi yang berjudul ” Peran Perendaman dengan Air Tawar dalam Menekan Penyakit pada Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Doty di Perairan Semak Daun Kepulauan Seribu, Jakarta ” ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih Penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Irzal Effendi, M.Si selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Ir. Yani Hadiroseyani, MM selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan dukungan pada saat penelitian serta penyusunan skripsi ini serta Bapak Prof. Dr. D. Djokosetiyanto selaku penguji tamu atas arahan dan bimbingan untuk perbaikan skripsi ini. Di samping itu, Penulis menyampaikan penghargaan kepada Warga di Kepulauan Seribu khususnya Bu Aminah, Pak Anggi, Pak Bayu, Pak Seru, Romli, Pak Kardi, Pak Bas, Pak Syukur, Pak Jaya, Pak Wawi, Kak Lutfi, Kak Hendri, Kak Budi, Koko dan Gunawan atas bantuan dan bimbingannya selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada staf dan laboran di Lab. Lingkungan Akuakultur, sahabat dan temanteman angkatan 42, Sistek 42, kakak dan adik tingkat di Departemen Budidaya Perairan (BDP) IPB, serta teman-teman Uni Konservasi Fauna IPB atas segala bantuan dan motivasi selama pembuatan skripsi. Terimakasih yang sebesarbesarnya tak lupa Penulis ucapkan kepada ayah, ibu, kakak dan adik-adikku atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.
Bogor, Maret 2010
Astriwana
[Type text]
[Type text]
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendari pada 18 September 1987. Penulis merupakan anak ke dua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak La Ode Alwi dan Ibu Andi Siti Marwah. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum di SMU Kornita Bogor, Jawa Barat pada 2005. Pada tahun yang sama, penulis lulus ujian masuk di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima di Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya Departemen Budidaya Perairan dengan Minor Teknologi dan Manajemen Penanganan dan Transportasi Biota Perairan. Selama kuliah, penulis aktif di unit kegiatan mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKF) dari 2006 sampai 2009 dengan menjadi Ketua Departemen Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa periode 2007/2008. Penulis juga pernah menjadi relawan pada Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Badak Indonesia (LSM YABI) pada 2007 sampai 2008. Disamping itu, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) Departemen Budidaya Perairan dari 20062008. Di HIMAKUA, penulis menjadi Ketua Divisi Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa periode 2007/2008 dan Ketua Pelaksana Rangkaian Kegiatan ”Sense Of Aquaculture” pada 2008. Penulis adalah Juara I Lomba Karya Tulis Mahasiswa Tingkat Nasional Bidang Lingkungan Hidup pada 2007 oleh Departemen Pendidikan Nasional, dan Mahasiswa Berprestasi Bidang Ekstrakurikuler di IPB pada 2008 serta Finalis Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional ke XXII di Malang pada 2009. Pada 2008, Penulis melaksanakan praktek lapang “Pembenihan Tiram Mutiara Pinctada maxima di Balai Budidaya Laut Lombok, Nusa Tenggara Barat”, dan menyelesaikan tugas akhir dengan melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul ” PERAN PERENDAMAN DENGAN AIR TAWAR DALAM MENEKAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DOTY DI PERAIRAN SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA”.
[Type text]
[Type text]
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ v I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2 Tujuan ..................................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 3 2.1 Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Doty.............................................. 3 2.1.1 Biologi ........................................................................................... 3 2.1.2 Penyebaran .................................................................................... 5 2.1.3 Kondisi Lingkungan Kappaphycus alvarezii Doty ....................... 6 2.1.3.1 Fisika ................................................................................ 6 2.1.3.2 Kimia ................................................................................ 7 2.1.3.3 Biologi .............................................................................. 9 2.2 Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Doty ............................ 9 2.2.1 Bibit ............................................................................................... 9 2.2.2 Produktivitas ................................................................................. 10 2.3 Kerusakan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Doty ........................... 11 2.3.1 Hama dan Gulma .......................................................................... 11 2.3.2 Penyakit ......................................................................................... 12 2.4 Perendaman Air Tawar ........................................................................... 14 III. METODE ....................................................................................................... 16 3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................. 16 3.2 Rancangan Percobaan ............................................................................. 16 3.3 Teknik Budidaya ..................................................................................... 17 3.3.1 Persiapan Wadah ........................................................................... 19 3.3.2 Pengadaptasian dan Penanaman Bibit .......................................... 20 3.3.3 Pemeliharaan Bibit Rumput Laut................................................... 20 3.4 Pengamatan ............................................................................................. 21 3.4.1 Fisika Kimia Perairan ................................................................... 21 3.4.2 Kondisi Bibit ................................................................................. 23 3.4.3 Pertumbuhan ................................................................................. 23 3.4.3.1 Bobot Rata-rata ................................................................. 23 3.4.3.2 Laju Pertumbuhan Harian ................................................. 24 3.4.3.3 Biomassa ........................................................................... 24 3.4.3.4 Diameter Talus ................................................................. 24 3.5 Analisis Data ........................................................................................... 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 26 4.1 Fisika Kimia Perairan ............................................................................. 26 4.2 Kondisi Rumput Laut Kappaphycus alvarzii Doty ................................. 30 4.2.1 Serangan Penyakit dan Epifit ........................................................ 30 4.2.2 Serangan Gulma dan Hama .......................................................... 32
[Type text]
[Type text]
4.3 Parameter Pertumbuhan .......................................................................... 35 4.3.1 Bobot Rata-rata ............................................................................. 35 4.3.2 Laju Pertumbuhan Harian ............................................................. 36 4.3.3 Biomassa ....................................................................................... 38 4.3.4 Diameter Talus .............................................................................. 39 V. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 40 5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 40 5.2 Saran ....................................................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 41 LAMPIRAN .......................................................................................................... 45
[Type text]
[Type text]
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Persyaratan perairan untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan metode longline ................................................................................... 7 2. Baku mutu air laut untuk biota laut ................................................................. 8 3. Rancangan perlakuan pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii metode longline serta jumlah sampel bibit yang diamati selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu .................................................... 16 4. Rata-rata kedalaman, arus permukaan dan arah angin pada lokasi budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ................................................................................... 26 5. Salinitas dan suhu perairan di lokasi budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ....... 27 6. Beberapa peubah kimia air laut pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii dan air tawar perlakuan selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ................................................................................... 28 7. Prevalensi (P) penyakit pada talus rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty
selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ...................... 30
[Type text]
iii
[Type text]
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Siklus hidup rumput laut Kappaphycus alvarezii .......................................... 5 2. Kerusakan rumput laut Kappaphycus alvarezii : (a) akibat siput, (b) akibat urchin laut yang lebih besar, (c) kehilangan lapisan kortikal, (d) akibat ikan baronang dan (e) akibat segala jenis predator ....................................... 12 3. Morfologi rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan bentuk talus panjang, kasar, ujung runcing dan warna cerah ............................................ 17 4. Letak satuan perlakuan pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii metode longline selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ............................................................................................................ 18 5. Budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan Metode Longline ....... 19 6. Styrofoam yang digunakan sebagai wadah perlakuan perendaman rumput laut Kappaphycus alvarezii dalam air tawar selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu .................................................................... 20 7. Penyakit Ice-ice pada talus rumput laut Kappaphycus alvarezii ................... 31 8. Kompetitor rumput laut Kappaphycus alvarezii: (a) Sargassum sp., (b) Makroalga, (c) Sargassum sp., (d) Gracilaria sp., (e) Ulva sp., (f) Padina sp selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ............................ 33
9. Predator pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii : (a) Siganus sp. dan (b) bekas gigitan predator selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ................................................................................ 34 10. Bobot rata-rata rumput laut Kappaphycus alvarezii tanpa (K) dan dengan perendaman air tawar (AT) selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu .......................................................................................... 35 11. Laju pertumbuhan harian (LPH) rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty perlakuan tanpa (kontrol) dan dengan perendaman air tawar selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ................................ 36 12. Biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii tanpa (K) dan dengan perendaman air tawar (AT) selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu .......................................................................................... 38 13. Diameter talus pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii tanpa (kontrol) dan dengan perendaman air tawar selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu .................................................................... 39 [Type text]
iv
[Type text]
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Denah penanda pada sampel rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ................................ 46 2. Bobot rata-rata rumput laut Kappaphycus alvarezii perlakuan tanpa perendaman air tawar di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ................... 47 3. Bobot rata-rata rumput laut Kappaphycus alvarezii perlakuan dengan perendaman air tawar di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ................... 49 4.
Parameter pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii perlakuan tanpa perendaman air tawar selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu .......................................................................................... 51
5.
Parameter pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii perlakuan dengan perendaman air tawar selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu .......................................................................................... 52
6. Diameter talus rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ...................................................... 53 7. Laju pertumbuhan harian (LPH) rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty tanpa dan dengan perendaman air tawar selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu .................................................................... 54 8. Jumlah rumpun rumput laut di akhir budidaya dan sintasan kelangsungan hidup K. alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ............................................................................................................. 54 9. Tabel sidik ragam parameter pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ...... 55 10. Arah angin harian di lokasi budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ..................... 57 11. Keadaan cuaca pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ................................ 57 12. Parameter uji, metode, jenis alat dan waktu pengukuran parameter fisikakimia perairan pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ................................ 58 13. Prosedur analisa sampel air pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu ..... 59
[Type text]
v
[Type text]
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Rumput laut telah dicanangkan oleh pemerintah dalam program revitalisasi budidaya perikanan 2006 – 2009 sebagai komoditas utama dan dilanjutkan pada program 2010 – 2014. Produksi rumput laut Indonesia berpotensi meningkat dari tahun ke tahun, dan menjadi salah satu komoditas utama ekspor produk perikanan. Volume ekspor rumput laut kering terus mengalami peningkatan sejak 2000 sebesar 23.073 ton menjadi 94.073 ton pada 2007 dengan kenaikan 42,10 % per tahun (DKP, 2008). Pada akhir 2009, harga rumput laut kering nasional di tingkat petani adalah Rp 5.000/kg sedangkan di tingkat eksportir Rp 10.000/kg (Anonim, 2009). Anonim (2005) menyebutkan bahwa kekurangan pasokan rumput laut kering di pasaran dunia yang semakin besar yaitu dari 67.300.000 ton pada 2006 menjadi 109.000.000 ton pada 2010. Kekurangan pasokan ini merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan oleh Indonesia dengan meningkatkan produksinya. Atmadja et al. (1996) menyebutkan tiga jenis rumput laut yang bernilai ekonomis penting di Indonesia, yaitu Eucheuma dengan kandungan utama karaginan, Gracillaria dan Sargassum dengan kandungan utama agar-agar dan alginat. Kappaphycus alvarezii Doty merupakan rumput laut dari jenis Eucheuma yang dalam dunia industri dan perdagangan lebih dikenal dengan nama “cottonii“. Karaginan mempunyai banyak manfaat antara lain sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik dan makanan (Mubarak, 1981). Wilayah perairan yang sudah digunakan untuk budidaya rumput laut K. alvarezii di Indonesia antara lain Kepulauan Seribu Jakarta, khususnya di Pulau Pari. Sejak 1986 sampai sekarang budidaya rumput laut mengalami kesulitan produksi dikarenakan serangan hama dan penyakit. Selain itu kualitas perairan semakin menurun sehingga produksi rumput laut menurun. Penyakit yang umum dijumpai pada rumput laut yaitu ice-ice dengan gejala klinis talus menjadi berwarna putih. Pada 1999 jumlah petani rumput laut di Kepulauan Seribu mencapai 1.959 orang dengan produksi kering sebanyak 7.675 ton. Pada 2000 sering kali terjadi gagal panen akibat serangan penyakit
[Type text]
[Type text]
2
tersebut sehingga produksi kering rumput laut menurun 1000 % menjadi hanya 767 ton (Yulianto, 2003). Hal serupa juga melanda daerah budidaya rumput laut lainnya seperti di Bali. Widiastuti (2009) menyebutkan bahwa akhir 2006, 2007 dan 2008 ketika memasuki musim penghujan adalah masa terburuk untuk petani rumput laut karena serangan penyakit ice-ice yang menurunkan produksi hingga 60 – 70 %. Onny (2008) menyatakan bahwa Kappaphycus alvarezii Pulau Pari Kepulauan Seribu yang terserang ice-ice ditumpangi oleh bakteri yang memiliki aktivitas patogenik yaitu Vibrio sp. dan Flavobacterium sp. yang spesifik pada air bersalinitas tinggi. Prisdiminggo (2002) menyatakan bahwa air tawar efektif dalam pengobatan dan pencegahan pada ikan kerapu yang terserang parasit Neobenedenia girella melalui perendaman selama 5 – 10 menit. Perendaman bibit rumput laut ke dalam air tawar mungkin bisa menjadi upaya pencegahan penyakit dan parasit. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dicobakan perendaman bibit rumput laut ke dalam air tawar.
1.2 Tujuan Penelitian bertujuan untuk mengetahui peran air tawar dalam menekan serangan penyakit pada budidaya rumput laut K. alvarezii Doty di Perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu. Untuk itu, dilakukan pengamatan penyakit dan epifit yang menyerang, pengukuran bobot rata-rata, laju pertumbuhan dan biomassa rumput laut serta fisika-kimia perairan.
[Type text]
[Type text]
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Doty 2.1.1 Biologi Rumput laut terdiri atas beberapa jenis yaitu karaginofit, agarofit dan alginofit. Jenis tersebut beberapa diantaranya sudah diketahui dan dapat digunakan di berbagai industri. Karaginofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida karaginan, agarofit mengandung agar-agar, dan keduanya termasuk golongan rumput laut merah (Rhodophyceae). Alginofit adalah rumput laut coklat (Phaeophyceae) yang mengandung polisakarida alginat. Rumput laut karaginofit merupakan salah satu yang paling dibutuhkan dalam berbagai jenis industri baik makanan, kertas, kosmetik hingga obat-obatan. Rumput laut ini antara lain berasal dari marga Eucheuma yang salah satunya tersebar di wilayah Indonesia yaitu Kappaphycus alvarezii Doty. Alga merah mengandung pigmen fotosintetik berupa karotin, xantofil, fikobilin, terutama r-fikoeritrin (penyebab warna merah) dan klorofil a dan d yang dalam dinding selnya terdapat selulosa dan produk fotosintesis berupa karaginan, agar, furcelaran dan porpiran. Karaginan merupakan dinding sel polisakarida yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari rumput laut tertentu pada bangsa Gigartinales (Caceres et al., 1996). Secara taksonomi Doty (1988) dalam Guiry (1998), menyebutkan bahwa K. alvarezii diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Biliphyta Phylum
: Rhodophyta
Subphylum
: Eurhodophytina
Class
: Florideophyceae
Subclass
: Rhodymeniophycidae
Order
: Gigartinales
Family
: Areschougiaceae
Genus
: Kappaphycus
Species
: Kappaphycus alvarezii Doty
[Type text]
[Type text]
K.
4
alvarezii
merupakan
salah
satu
jenis
rumput
laut
merah
(Rhodophyceae). Menurut Doty (1985) dalam Neish (2003), Eucheuma cottonii berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii. Nama daerah cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional. Ciri umum fisik K. alvarezii adalah mempunyai talus silindris, permukaan licin dan cartilagenous (menyerupai tulang rawan/muda). Keadaan warna tidak selalu tetap, berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan, 1998). Penampakan talus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada talus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari talus. Percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teratur, serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (sistem percabangan tiga-tiga). Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Di alam, rumput laut ini, tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja, 1979). Perkembangbiakan rumput laut dapat terjadi melalui dua cara yaitu secara vegetatif dengan talus dan secara generatif dengan talus diploid yang menghasilkan spora. Perbanyakan secara vegetatif dikembangkan dengan stek, yaitu potongan talus yang kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Sementara, perbanyakan secara generatif dikembangkan melalui spora, baik alamiah maupun melalui budidaya. Pertemuan dua gamet membentuk zygot yang selanjutnya berkembang menjadi sporofit. Individu baru inilah yang mengeluarkan spora dan berkembang melalui pembelahan dalam sporogenesis menjadi gametofit. Neish (2003) menyatakan bahwa anakan vegetatif terbukti dapat tumbuh dan beberapa varietas telah dikembangkan dengan cara ini selam lebih dari 30
[Type text]
[Type text]
5
tahun. Di alam Kappaphycus dipandang memiliki siklus hidup triphasic (trifase) seperti yang ditunjukan dalam gambar di bawah ini (Gambar 1):
Gambar 1. Siklus hidup rumput laut Kappaphycus alvarezii Siklus hidup rumput laut mempunyai fase gametofit (N), tetrasporofit (2N) dan carposporofit (2N). Siklusnya disebut trifase karena carpogonium yang telah dibuahi menghasilkan diploid carposporofit bukannya mengeluarkan carpospora.
2.1.2 Penyebaran Rumput laut K. alvarezii memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini hanya mungkin hidup pada lapisan fotik, yaitu kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu mencapainya. K. alvarezii hidup baik bila jauh dari muara sungai yang bersalinitas yang rendah. Jenis ini telah dibudidayakan dengan cara diikat pada tali sehingga tidak perlu melekat pada substrat karang atau benda lainnya (Anggadiredja, 2008). Pengembangan budidaya rumput laut sendiri telah dilaksanakan sejak 1968 oleh Lembaga Penelitian Laut bekerjasama dengan Dinas Hidrografi Angkatan Laut di Pulau Pari Kepulauan Seribu melalui uji coba budidaya E.spinosum dan E. edule yang bibitnya berasal dari perairan setempat. Kemudian dikembangkan juga E. cottonii yang bibitnya berasal dari Bali yang kemudian
[Type text]
[Type text]
6
memasyarakat sampai saat ini (Sulistijo, 1996). Adapun jenis K. alvarezii tersebar luas di wilayah Indonesia seperti Kepulauan Banggai, Togian, Pulau Dua dan Pulau Tiga (Sulawesi Tengah), Pulau Seram Timur, Selat Alas Sumbawa (Atmadja dan Sulistijo, 1983). Wilayah potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut K. alvarezii terletak perairan pantai Nanggro Aceh Darusalam (Sabang), Bangka Belitung, Teluk Banten/Pulau Panjang), DKI Jakarta (Kepulauan Seribu), Jawa Tengah (Karimun Jawa), Jawa Timur (Situbondo dan Banyuwangi), Bali (Nusa Dua/Kutuh Gunung Payung, Nusa Penida, Nusa Lembongan), Nusa Tenggara Barat (Lombok Barat dan Lombok Selatan, pantai Utara Sumbawa Besar, Bima, dan Sumba), Nusa Tenggara Timur (Maumere, Larantuka, Kupang, Pulau Roti selatan), Sulawesi, Kalimantan, Maluku (Kepulauan Aru) dan Papua.
2.1.3 Kondisi Lingkungan Kappaphycus alvarezii Doty Lokasi budidaya untuk pertumbuhan rumput laut K. alvarezii di wilayah pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologi oseanografis yang meliputi parameter lingkungan fisik, kimia dan biologi perairan (Puslitbangkan, 1991).
2.1.3.1 Fisika Kerusakan fisik sarana budidaya maupun rumput laut akibat pengaruh angin topan dan ombak yang kuat harus dihindari, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari ombak dan gelombang besar seperti di perairan teluk atau terbuka tetapi terlindung oleh karang penghalang atau pulau di depannya untuk budidaya rumput laut (Puslitbangkan, 1991). Dasar perairan yang paling baik untuk pertumbuhan K. alvarezii adalah yang stabil terdiri dari patahan karang mati (pecahan karang) dan pasir kasar serta bebas dari lumpur dengan gerakan air (arus) yang cukup 20-40 cm/detik (Ditjenkan Budidaya, 2005). Kedalaman air yang baik untuk pertumbuhan K. alvarezii adalah antara 215 m pada saat surut terendah untuk metode apung (Ditjenkan Budidaya, 2005) dengan suhu perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah 22.8 – 29.2 °C (Glen dan Doty, 1981 dalam Neish, 2003). Namun demikian Njoman et al. (1987)
[Type text]
[Type text]
7
dalam Neish (2003) menemukan temperatur antara 27 sampai 320C baik untuk budidaya K. alvarezii di pantai Barat Daya Sumatera. Puslitbangkan (1991) menyatakan bahwa kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi tidak kurang dari 5 m cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut. Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar cahaya penetrasi matahari dapat masuk kedalam air. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh talus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Badan Standarisasi Nasional (2009) menetapkan persyaratan lokasi untuk produksi rumput laut E. cottonii dengan metode longline pada Tabel 1.
Tabel 1. Persyaratan perairan untuk budidaya Kappaphycus alvarezii dengan metode longline Parameter Nilai dengan satuan lokasi Arus
20 cm/detik – 40cm/detik
Kedalaman
Minimal 2 meter
Dasar perairan
Pasir berkarang
Suhu
25 – 29 0C
Salinitas
28 -33 g/l
pH
7,0 – 8,5
Sumber : BSN (2009) dengan nomor RSNI3 7579.2:2009
2.1.3.2 Kimia Rumput laut tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat air tawar yang masuk akan menyebabkan pertumbuhan K. alvarezii menjadi tidak normal. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut sebaiknya jauh dari muara sungai. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut K. alvarezii adalah 28-35 ppt dan mengandung cukup makanan berupa makro dan mikro nutrien (Ditjenkan Budidaya, 2005). Baku mutu air laut untuk biota laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) dapat diketahui berdasarkan Tabel 2.
[Type text]
[Type text]
8
Tabel 2. Baku mutu air laut untuk biota laut Parameter Fisika
Satuan
Kecerahan
m
Suhu
0
C
Baku mutu
Keterangan
coral: >5 mangrove: lamun: >3 Alami coral: 28-30 mangrove: 28-32 lamun: 28-30
Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <20C dari suhu alami
Kimia pH
7 - 8,5
Salinitase
Alami coral: 33-34 mangrove: s/d 34 lamun: 33-34
Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
mg/l
>5
-
mg/l
0,3
-
mg/l mg/l
0,008 0,015
-
Oksigen terlarut (DO) Amonia total (NH3-N) Nitrat (NO3-N) Fosfat (PO4-P)
0
/00
Keterangan : alami = kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim).
Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhtumbuhan (Dugan, 1972). Fosfor juga merupakan unsur yang sangat esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Neish (2003) menyebutkan bahwa respon umum tumbuhan laut termasuk K. alvarezii terhadap makronutrien diyakini mengikuti pola berupa terjadinya peningkatan pada pertumbuhan dan simpanan nutrient sampai kapasitas penyimpanan jenuh sehingga setelah itu pertumbuhan maupun simpanan nitrogen akan tetap. Jenis kandungan nitrogen buangan binatang merupakan nutrisi penting bagi rumput laut yang bisa diperoleh dari buangan metabolisme predatornya. Nitrogen amonia di daerah hulu perairan lebih kecil jumlahnya dibandingkan daerah hilir tetapi memiliki kandungan nitrit dan nitrat serta fosfat yang lebih banyak dibandingkan daerah hilir. [Type text]
[Type text]
9
2.1.3.3 Biologi Eucheuma hidup di perairan yang secara alami juga dapat ditumbuhi oleh komunitas dari berbagai makroalga seperti Ulva, Caulerpa, Padina, dan Hypnea. Hewan air yang besifat herbivora merupakan predator yang memangsa rumput laut. Predator K. alvarezii terutama ikan baronang/lingkis (Siganus. spp), penyu laut (Chelonia midos) dan bulu babi (Diadema sp) yang dapat memakan rumput laut (Puslitbangkan, 1991). Fitoplankton yang hidup di perairan laut sebagai tempat budidaya terdiri dari Trichodesmium, Pleurosigma, Navicula, Fragilaria, Leptocylindris, Tintinnopsis, Globegerina dan Protoperidinium dengan jenis fitoplankton dominan yaitu Nitzschia dan Chaetoceros (Adnan, 1999). Faktor biologi utama yang menjadi pembatas produktivitas rumput laut yaitu faktor morbiditas dan mortalitas. Morbiditas dapat disebabkan oleh penyakit akibat dari infeksi mikroorganisme, tekanan lingkungan perairan (fisika dan kimia perairan) yang buruk serta tumbuhnya tanaman penempel (parasit). Sementara, mortalitas dapat disebabkan oleh pemangsaan hewan-hewan herbivora.
2.2 Budidaya Rumput laut Kappaphycus alvarezii 2.2.1 Bibit Bibit K. alvarezii memiliki beberapa varietas kultivar yang terdiri dari jenis tambalang, kembang, sacol dan sumba. Tipe tambalang memiliki karakteristik bertalus panjang, diameter cabang kecil sampai besar dan jumlah cabang yang lebih sedikit dari jenis kembang. Tipe kembang terlihat rimbun dengan talus pendek dan ikatan beberapa cabang terlihat seperti kembang. Pada tipe sakol memiliki rumpun yang terdiri dari cabang-cabang pendek dengan bantang yang kecil sedangkan tipe sumba merupakan K. alvarezii asal pulau Sumba yang memiliki morfologi cabang tebal, panjang dan terlihat kasar (Neish, 2003). Akmal et al. (2008) menyebutkan beberapa kriteria bibit yang baik yaitu : a.
Bercabang banyak dan rimbun
b.
Tidak terdapat bercak dan terkelupas
c.
Warna spesifik (cerah)
d.
Umur 25 – 35 hari
e.
Berat bibit 50 – 100 gram
[Type text]
[Type text]
10
Umur rumput laut akan sangat menentukan kualitas rumput laut tersebut. Jika rumput laut tersebut akan digunakan sebagai bibit maka pemanenan dilakukan setelah rumput laut berumur 25 – 35 hari karena pada saat itu tanaman belum terlalu tua. Sedangkan jika rumput laut tersebut dipanen untuk dikeringkan maka sebaiknya dipanen pada saat berumur 1,5 bulan atau lebih karena pada umur tersebut kandungan karaginan cukup tersedia.
2.2.2 Produktivitas Kusriyanto (1993) menyatakan bahwa produktivitas merupakan nisbah atau ratio antara hasil kegiatan (output) dan segala pengorbanan (biaya) untuk mewujudkan hasil tersebut (input). Selanjutnya, Gagne (1985) menyebutkan bahwa, pengukuran produktivitas didasarkan kepada jumlah kalori yang diikat tiap satuan waktu menjadi hasil produksi, pengukurannya dengan menimbang hasil kering panen sedangkan untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dalam meningkatkan produksi diperlukan peningkatan produktivitas melalui pengelolaan lahan dan sarana produksi seperti penggunaan pupuk, penggunaan varietas baru dan perluasan areal irigasi serta peningkatan managemen usaha para petani itu sendiri (Iskandar, 2002). Effendi (2004) menyebutkan bahwa pada suatu perairan, produktivitas merupakan bobot biomassa biota per satuan volume air. Dengan demikian, produktivitas budidaya rumput laut adalah rasio antara hasil kegiatan budidaya berupa biomassa rumput laut per luasan budidaya dalam jangka waktu tertentu dengan biaya yang dikeluarkan. Produktivitas rumput laut sangat dipengaruhi oleh pertumbuhannya. Ukuran bibit rumput laut yang ditanam sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan, bibit talus yang berasal dari bagian ujung akan memberikan laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan bibit talus dari bagian pangkal (Mamang, 2008). Menurut Puslitbangkan (1991), laju pertumbuhan rumput laut yang dianggap cukup menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat per hari. Rumput laut merupakan organisme laut yang memiliki syarat-syarat lingkungan tertentu agar dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Semakin sesuai kondisi lingkungan perairan dengan areal yang akan dibudidayakan akan semakin baik pertumbuhannya (Syaputra, 2005).
[Type text]
[Type text]
11
Soegiarto (1978), menyatakan bahwa laju pertumbuhan rumput laut berkisar antara 2-3% per hari. Selanjutnya, Neish (2003) menyebutkan bahwa umumnya tingkat pertumbuhan harian Kappaphycus yaitu 2 – 5 % dan baik untuk dijadikan
lahan
komersil.
Bibit
Kappaphycus
memiliki
pertumbuhan
eksponensial, pada pengamatan yang dilakukan dengan bibit yang ditanam dengan jarak tanam berkisar 15-20 cm ditemukan pada lahan-lahan komersil. Mamang (2008) menyatakan bahwa E. cottonii yang ditanam selama 7 minggu memiliki laju pertumbuhan harian tertinggi di minggu ke 6 dan menurun pada minggu ke 7. Selanjutnya dikatakan bahwa bibit rumput laut basah seberat 50 g mencapai bobot akhir seberat 215, 180 dan 170 g di akhir pemeliharaan yang masing-masing bibit berasal dari bagian ujung, tengah dan pangkal talus rumput laut.
2.3 Kerusakan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii 2.3.1 Hama dan Gulma Rumput musiman seperti Ulva sp. dan Enteromorpha sp. telah menjadi masalah yang serius dari awal masa pembudidayaan K. alvarezii tetapi masalah ini belum dipelajari lebih lanjut. Neish (2003) menunjukan adanya dampak yang terjadi pada budidaya K. alvarezii akibat gulma. Tiga jenis gulma yang dapat dikenali yaitu : 1. Makroalga seperti Ulva sp., Enteromorpha sp., Cladophora sp. dan beberapa genus lainnya yang hidup mengapung atau menetap akibat tersangkut pada penyangga lahan dan tanaman budidaya serta dapat meningkat jumlahnya dalam waktu beberapa minggu atau bulan. 2. Epifit sejati; seringkali kronis karena umumnya berupa ganggang surai tertempel pada lapisan kortikal sehingga merusak tanaman. 3. Mikroalga seperti butiran-butiran kecil yang membentuk ”gumpalan” pada tanaman. Seringkali diakibatkan oleh kualitas air yang buruk misalnya akibat aliran lambat, silikon tinggi dan terjadi eutrofikasi. Hama yaitu predator yang merupakan jenis herbivora laut dan telah menjadi persoalan bagi pembudidaya K. alvarezii. Predator ini juga dikenal dengan sebutan ”grazer”. Ukurannya beragam, mulai dari yang kecil seperti siput laut (Nudibranch) sampai yang besar seperti penyu (Chelonia midas). Munculnya
[Type text]
[Type text]
12
predator biasanya berhubungan dengan penempatan habitat lahan di atau dekat dengan hamparan rumput laut dan di area dimana herbivora laut merupakan populasi endemi (Doty dan Alvarez, 1981). Neish (2003) menyebutkan bahwa ikan hanya akan memakan cabangcabang K. alvarezii yang kecil. Anak parrotfish (Scarids), surgeonfish (Acanthurids) dan baronang (Siganids) diamati mengkonsumsi sekitar 50 – 80 % populasi Kappaphycus pada kedalaman 0,5 sampai 2 m. Keluarga ikan herbivora lainnya termasuk pufferfish dikenal atau diduga sebagai predator K. alvarezii serta beberapa invertebrata lainnya seperti holothuria dan crustacea selalu terlihat di lahan Kappaphycus. Adapun jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh predator dapat dilihat pada Gambar 2.
(b)
(a)
(c)
(d)
(e)
Gambar 2. Kerusakan Kappaphycus alvarezii : (a) akibat siput, (b) akibat urchin laut yang lebih besar, (c) kehilangan lapisan kortikal, (d) akibat ikan baronang dan (e) akibat segala jenis predator 2.3.2 Penyakit Penyakit ice-ice pertama kali ditemukan pada budidaya rumput laut komersial di Filipina pada 1974.
Istilah ini diberikan oleh petaninya untuk
menggambarkan jaringan yang mati karena kehilangan pigmen yang berakibat
[Type text]
[Type text]
13
pada tangkai patah. Penyakit ini juga ditemukan pada rumput laut seperti pada K. alvarezii dan E. denticulatum yang termasuk penghasil karaginan (Fresco, 2004). Largo (1995b) menyebutkan bahwa pada isolat bakteri dari cabang K. alvarezii yang terserang penyakit ice-ice memiliki jumlah bakteri 10-100 kali lebih banyak dibanding dengan cabang yang sehat. Bakteri yang ditemukan yaitu Cytophaga flavobacterium dan Vibrio sp. yang bersifat patogen serta hadir secara berkala pada budidaya K. alvarezii. Timbulnya penyakit ice-ice diakibatkan oleh perubahan lingkungan seperti menurunnya salinitas dan intensitas cahaya. Selanjutnya, Shinta (2007) menemukan bahwa bakteri yang terdapat pada talus K. alvarezii yang terserang ice-ice di Pulau Panggang Kepulauan Seribu yaitu Alcaligenes sp., Corynebacterium sp., Vibrio sp., Kurthia sp., Branhamella sp., Flavobacterium sp., Necromonas sp. dan Pseudomonas sp. Selain itu penempelan biofoulling sebagai hama yang juga menghambat pertumbuhan rumput laut diduga sebagai agen pembawa atau penyebab penyakit ice-ice, karena memiliki kelimpahan bakteri yang lebih banyak. Onny (2008) juga menemukan adanya koloni bakteri yang sama pada talus K. alvarezii yang terserang ice-ice di Pulau Pari. Penyakit ice-ice dapat terjadi karena kurangnya intensitas cahaya. Largo et al. (1995a) menyatakan bahwa bakteri tertentu dapat menyebabkan timbulnya iceice pada bibit yang stress akibat faktor abiotik yang menjadi pemicu gejalanya seperti pada produksi K. alvarezii skala laboratorium dengan intensitas cahaya kurang dari 50 µmol photon m-2s-1 dan salinitas dibawah 20 ppt menyebabkan timbulnya ice-ice pada segmen bagian tengah cabang K. alvarezii. Pada 2004 di Zamboanga Filipina, ice-ice terjadi ketika suhu perairan di atas 33-350C sehingga menyebabkan penurunan laju pertumbuhan harian dari 3,7 % menjadi – 2,0 %. Penyakit ini menurunkan produksi rumput lautnya, sementara di Indonesia khususnya Bali mengalami wabah yang sama di 2009. Ice-ice terjadi akibat perubahan salinitas, suhu dan intensitas cahaya di laut yang menyebabkan stres pada rumput laut, sehingga rumput laut menghasilkan "zat organik basah" yang menarik bakteri dari dalam air kemudian menginduksi karakteristik "pemutihan" serta pengerasan jaringan ganggang laut. Bakteri melisiskan sel epidermal dan kloroplas kemudian mengubah jaringan
[Type text]
[Type text]
14
rumput laut menjadi putih. Neish (2003) menyebutkan bahwa perkembangan sindrom ice-ice secara umum yaitu sebagai berikut : Tahap 1 : Bersih, sehat dan tumbuh dengan baik meskipun, tanaman tersebut kehilangan pigmennya. Tahap 2 : Dalam hitungan hari kehilangan pigmen ini semakin parah dan pertumbuhan pun semakin lambat. Tahap 3 : Pucuk baru, terlihat cenderung keriting dan lemah. Pada kasus ini tanaman kelihatan seperti ulat. Banyak pucuk tapi tumbuhan kehilangan berat. Tahap 4 : Bagian-bagian yang kehilangan pigmen terlihat pada lengkunglengkung talus sehingga tanaman menjadi lemah dan patah. Uyenco et al. (1981) menyatakan terdapat populasi bakteria yang tinggi pada talus K. alvarezii dan kemudian menyimpulkan bahwa hal tersebut merupakan masalah sekunder. Selanjutnya, Doty (1987) dalam Neish (2003) juga memperhatikan bahwa terlihatnya ice-ice merupakan keadaan musiman dan berkaitan dengan perubahan angin musiman serta berhubungan dengan keberadaan epifit.
2.4 Perendaman Air Tawar Kegiatan
dipping
(perendaman)
merupakan
salah
satu
kegiatan
penanganan yang dilakukan dengan cara merendam biota kultur ke dalam larutan tertentu yang bertujuan untuk mengurangi parasit. Pengendalian berbagai jenis hama dan penyakit akan membantu menunjang kelangsungan hidup dan peningkatan produksi. Kegiatan yang sering dilakukan pada biota kultur laut adalah dengan dipping di air tawar. Kegiatan ini selain dapat menghilangkan parasit yang menempel pada tubuh ikan juga diduga dapat meningkatkan nafsu makan ikan. Kegiatan seperti ini dilakukan di Keramba jaring apung (KJA) secara rutin. Pada umumnya setiap seminggu sekali dengan lama perendaman ikan disesuaikan dengan kepadatan ikan serta penggunaan aerasi. Ikan yang akan direndam diangkut dari wadah pemeliharaannya dan ditempatkan pada ember / styrofoam yang sudah diisi dengan air tawar. Berdasarkan informasi dari petani ikan di Kep. Seribu, ikan dengan kepadatan tinggi dan direndam tanpa aerasi dilakukan selama ± 3 menit sedangkan jika menggunakan aerasi direndam selama
[Type text]
[Type text]
15
± 5 menit. Namun jika dilakukan pada kepadatan rendah perendaman dapat dilakukan lebih lama (Oktarina, 2009). Selanjutnya diberikan perlakuan stress pertama pada ikan kerapu berupa perendaman dalam air tawar selama 15 menit tanpa aerasi. Perlakuan stress berupa perendaman dalam air tawar tanpa aerasi selama 15 menit dipilih karena pada umumnya treatmen yang diberikan para pembudidaya di keramba jaring apung (KJA) untuk mengendalikan parasit kutu kulit (Benedenia sp. dan Neobenededia sp.) pada kerapu adalah dengan perendaman dalam air tawar (BBRPBL, 2002 dalam Tasik, 2009). Wedemeyer dan McLeay (1981) menyebutkan bahwa aplikasi perendaman ikan air laut pada air tawar dilakukan untuk melihat kondisi akibat pengaruh dari stressor terhadap kemampuan osmoregulasi ikan serta berguna untuk meningkatkan kelangsungan hidup ikan dalam menghadapi perubahan lingkungan. Perubahan salinitas media hidup ikan yang terjadi saat perendaman juga mempengaruhi tekanan osmotik ikan secara langsung dan melibatkan penggunaan energi yang besar untuk melakukan pengaturan kerja osmotik. Kegiatan pemindahan ikan pada saat perendaman dalam air tawar sangat berpengaruh terhadap keseimbangan antara air dan garam dalam tubuh ikan. Keseimbangan ini berkaitan dengan proses osmoregulasi. Menurut Fujaya (2002), osmoregulasi dapat terjadi karena adanya penyesuaian keseimbangan antara substansi tubuh dan lingkungan serta perbedaan tekanan osmosis antara cairan dengan lingkungannya dimana cairan akan mengalir dari tekanan osmosis rendah ke tekanan osmosis yang lebih tinggi. Oktarina (2009) menyatakan bahwa ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis yang diberikan perlakuan perendaman dalam air tawar 1 X 30 hari memberi pengaruh terhadap kinerja pertumbuhan ikan kerapu bebek. Perlakuan dengan frekuensi perendaman ikan uji di air tawar sebanyak 1 X selama 20 menit dalam masa pemeliharaan 30 hari merupakan frekuensi perendaman air tawar optimum
yang
cenderung
tidak
menghambat
pertumbuhan
ikan.
Laju
pertumbuhan harian ikan kerapu pada perendaman dengan air tawar 1 X 30 hari sebesar 150,31%.
[Type text]
[Type text]
III. METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan dari September sampai dengan November 2009. Rumput laut diambil dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta yang sebelumnya didatangkan dari Nusa Tenggara Barat. Lokasi budidaya di perairan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu. Pemeriksaan kimia air dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
3.2 Rancangan Percobaan Perlakuan percobaan ini yaitu perendaman bibit rumput laut ke dalam air tawar (AT) selama 5 menit, sedangkan kontrol adalah rumput laut yang tidak direndam dengan air tawar (K). Setiap perlakuan diulang 3 kali dengan ulangan berupa tali ris. Tali ris (15 m) diikat rumput laut sebanyak 60 rumpun sehingga total rumpun rumput laut adalah 360 rumpun. Sampel bibit yang diukur sebanyak 15 rumpun bibit pada setiap tali ris dari total rumpun sebanyak 60 rumpun di tiap ulangan sehingga total rumpun bibit sampel yang diamati yaitu 90 rumpun bibit. Masing-masing bibit dipastikan dalam kondisi baik yaitu warna cerah, tidak terdapat lumut ataupun parasit lainnya, tidak terserang penyakit seperti ice-ice serta tidak memiliki bekas gigitan predatornya.
Tabel 3. Rancangan perlakuan pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii metode longline serta jumlah sampel bibit yang diamati selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Ulangan Perlakuan Perendaman air tawar
Tanpa perendaman air tawar
1
15 bibit
15 bibit
2
15 bibit
15 bibit
3
15 bibit
15 bibit
Lokasi budidaya dipilih berdasarkan kondisi fisiknya sesuai untuk rumput laut K. alvarezii yaitu terletak di perairan dengan kedalaman kurang lebih 5 m,
[Type text]
[Type text]
17
bersubstrat pasir bercampur pecahan karang dan terlindung dari gelombang karena berada dekat dengan gugusan karang Pulau Semak Daun. Selain itu lokasi terletak pada goba tipis sehingga dekat dengan pintu masuk dan / atau keluar air laut saat pasang dan surut. Air tawar yang digunakan adalah air hujan dengan salinitas 0 ppt. Perendaman pada hari ke-1 adalah sebelum bibit ditanam di laut sedangkan pada hari ke-8, 15 dan 23 adalah setelah ditanam di laut. Perendaman bibit rumput laut dengan air tawar setelah hari ke-1 dilakukan dengan mengangkat tali ris kemudian dimasukan ke dalam wadah berupa styrofoam. Tali dan bibit harus berada dalam kondisi terendam air di dalam wadah sehingga dibutuhkan dua kali perendaman bibit pada satu tali ris.
Gambar 3. Morfologi rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan bentuk talus panjang, kasar, ujung runcing dan warna cerah Perendaman dilakukan di saat cuaca teduh pada pagi hari dan dilakukan di atas perahu, lalu bibit selanjutnya ditebar kembali di lokasi semula. Pada cuaca terik, perendaman dilakukan dengan mengangkat bibit pada tali ris dan membawanya ke ruangan menggunakan perahu. Hal tersebut memungkinkan karena lokasi petak longline berada dekat dengan rumah jaga. Cara ini juga dilakukan jika cuaca hujan.
3.3 Teknik Budidaya Metode budidaya yang digunakan adalah longline atau rawai. Metode ini menggunakan tali induk sepanjang 15 m dan pada kedua ujungnya diberi jangkar serta pelampung besar. Setiap sisi tengah tali induk diberi pelampung utama terbuat dari drum plastik.
[Type text]
[Type text]
18
Tali induk adalah tali utama yang membentuk badan longline sedangkan tali ris adalah tali tempat bibit rumput laut diikat yang dihubungkan melintang diantara tali induk. Jangkar berupa batu karang diikat dengan tali tambang dan dihubungkan pada tali induk yang berfungsi untuk menjaga posisi longline agar tidak bergeser akibat arus laut. Penempatan perlakuan yaitu sebagai berikut :
K AT AT
K AT K
Gambar 4. Letak satuan perlakuan pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii metode longline selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Keterangan =
:
Jangkar
:
Pelampung utama
:
Pelampung kecil (botol plastik)
:
Bibit K. Alvarezii
:
Tali ris
:
Tali induk/ tali utama
K
:
Bibit perlakuan control
AT
:
Bibit perlakuan perendaman air tawar
[Type text]
[Type text]
19
3.3.1 Persiapan Wadah Teknik budidaya K. alvarezii dengan metode longline yaitu sebagai berikut : a. Tali jangkar diikat pada kedua ujung tali induk yang dibawahnya sudah diikatkan pada jangkar berupa batu karang atau batu pemberat. b. Pelampung utama dari styrofoam atau plastik polietilen diikat pada setiap sudut longline dan bagian sisi tengah tali induk untuk membuat tali induk tetap berada di permukaan. c. Pelampung kecil (botol polietilen : bekas air mineral) diikat pada tali ris untuk mengapungkan rumput laut. d. Pelampung kecil diikat menggunakan tali penghubung ke tali ris sepanjang 20 cm sehingga rumput laut tidak mengapung di permukaan melainkan berada pada kedalaman 20 cm di bawah permukaan air laut. e. Beberapa tali ris diikatkan pada satu bentangan tali induk dengan jarak antar tali ris 1 – 1,5 m untuk mengantisipasi beradunya tali ris akibat gelombang atau arus laut.
Pelampung utama
Botol polietilen
Permukaan laut Tali ris Bibit K. alvarezii
20 cm
15 m
Dasar perairan Jangkar
Sumber : www.database.deptan.go.id.
Gambar 5. Budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan metode Longline
[Type text]
[Type text]
20
Disamping itu, disiapkan juga wadah perlakuan berupa boks styrofoam ukuran 1 x 0,5 x 0,4 m.
Gambar 6. Styrofoam yang digunakan sebagai wadah perlakuan perendaman rumput laut Kappaphycus alvarezii dalam air tawar selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu 3.3.2 Pengadaptasian dan Penanaman Bibit Bibit rumput laut K. alvarezii asal sumba dari Pulau Pari yang diberi perlakuan air tawar diadaptasikan terlebih dahulu sebelum diberi perlakuan. Adaptasi dilakukan dengan cara mengikat bibit pada tali ris kemudian memasang tali tersebut di petak longline dan dibiarkan selama 24 jam. Keesokan harinya bibit pada tiga tali ris diangkat untuk direndam dalam air tawar.
3.3.3 Pemeliharaan Bibit Rumput Laut Bibit rumput laut yang telah ditanam diperiksa setiap harinya dengan cara menggoyang-goyangkan tali ris agar kotoran ataupun debu yang menempel pada batang rumput laut terlepas. Selain itu bibit yang terserang penyakit akan langsung dipotong dan dipisahkan dari bibit lainnya. Tiap tali ris diikat bibit basah menggunakan tali anak. Langkah – langkah penanaman sebagai berikut : a) Pada tali induk yang telah dipasang di lokasi budidaya, dipasang 6 tali ris (masing-masing 3 tali ris untuk perlakuan K dan AT) dengan tali ris sepanjang 15 m. b) Bibit rumput laut dipasang pada tali ris menggunakan tali anak dengan bobot rata-rata bibit pada perlakuan K seberat 96,67 – 101 g dan AT seberat 99,33 – 101,33 g. c) Bibit rumput laut ditanam pada tali ris dengan jarak tanam antar bibit 20 cm.
[Type text]
[Type text]
21
d) Jarak antar tali ris yang satu dengan lainnya dalam 1 longline yaitu 1 – 1,5 m dan tiap tali ris memiliki 6 – 7 pelampung polietilen (bekas air mineral) sebagai pelampung kecil antar bibit yang berjarak 1,5 – 2 m. e) Pada tanaman yang diteliti diberi penanda (tagging) berupa kertas plastik berwarna kuning yang telah diberi nomer menggunakan spidol permanen serta dibuatkan denahnya untuk mencegah kesalahan ketika tinta spidol pada kertas plastik hilang. Denah dapat dilihat pada Lampiran 1. Hal itu dilakukan untuk memudahkan dalam mencari bibit saat melakukan pengukuran bobot. f) Setiap hari kondisi tanaman dipantau dan dibersihkan dari sampah serta kompetitor yang mengganggu sedangkan pengukuran parameter pertumbuhan dilakukan tiap seminggu sekali.
3.4 Pengamatan Pengamatan dilakukan selama 27 hari, dengan selang waktu sampling setiap 7 hari serta pengamatan harian yaitu tiap hari. Pengamatan penyakit, bobot rata-rata, laju pertumbuhan, biomassa dan diameter rumput laut dilakukan pada sampel yang sama. Pengamatan harian berupa arah angin dan keadaan cuaca yang dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11.
3.4.1 Fisika-Kimia Perairan a. Substrat Dasar Substrat dasar perairan teramati secara visual karena air jernih hingga terlihat ke dasar perairan. Substrat dasar juga dapat diambil secara langsung dengan berenang ke dasar perairan. Pengamatan substrat dasar perairan dilakukan di awal ketika penentuan lokasi budidaya. b. Kedalaman Kedalaman dalam satuan meter (m) merupakan tinggi air laut yang dihitung mulai dibawah permukaan air laut hingga mencapai dasar dengan satuan meter. Pengukuran kedalaman dilakukan
menggunakan tali, pemberat dan
meteran. Kedalaman diukur setiap minggu selama pemeliharaan.
[Type text]
[Type text]
22
c. Kecepatan arus permukaan Kecepatan arus permukaan dalam satuan m/s dipengaruhi oleh angin permukaan dan diukur dengan metode floating droudge yaitu membandingkan jarak yang ditempuh dengan lamanya pergerakan floating droudge menggunakan tali, stopwatch, styrofoam, meteran dan kompas. Pengukuran dilakukan dengan melepas styrofoam yang telah diikat tali ke permukaan air dan dicatat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai jarak 1 m dari posisi awal, setelah itu ditentukan arah arusnya menggunakan kompas, di setiap minggu selama pemeliharaan. d. Salinitas Salinitas dalam satuan g/l atau 0/00 diukur menggunakan refraktometer secara in situ setiap minggu selama pemeliharaan rumput laut. e. Suhu Suhu permukaan laut dalam satuan 0C diukur menggunakan termometer air raksa (Hg) yang dipasang pada lokasi budidaya (digantung pada tali induk), 20 cm dibawah permukaan air laut. Suhu diukur pada tiap hari selama pemeliharaan di waktu pagi 07.00-09.00, siang 12.00-14.00 dan sore 16.00-17.00 WIB. f. Amoniak, sulfat dan fosfat Pengukuran Amonia NH3 dengan satuan mg/l diperoleh dari Total Amonia – Nitrogen yang dilakukan dengan metode phenate. Pengukuran nitrit-nitrogen menggunakan metode Sulfanilamide dan nitrat-nitrogen dengan metode Brucine. Parameter ini diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada awal, tengah dan akhir pemeliharaan. Bahan berupa air laut ditransportasikan dari Kepulauan Seribu ke Laboratorium Lingkungan Akuakultur selama 24 jam menggunakan botol polietilen dibungkus plastik yang diisi es batu. g. Nilai pH Pengukuran pH dilakukan dengan alat pH-meter dengan cara mengambil sampel air laut dan dibawa ke laboratorium menggunakan botol polietilen. Pengukuran dilakukan pada awal, tengah dan akhir pemeliharaan rumput laut. h. Oksigen terlarut Oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO) dengan satuan mg/l diukur dengan metode titrasi Winkler pada awal, tengah dan akhir pemeliharaan.
[Type text]
[Type text]
23
3.4.2 Kondisi bibit Kondisi bibit rumput laut diketahui melalui prevalensi penyakit dan epifit yang terdapat pada bibit rumput laut sampel yang telah ditandai. Penyakit yang menyerang yaitu ice-ice, ditandai dengan warna talus rumput laut yang memutih sedangkan epifit yang tergolong mikroalga sulit terlihat secara langsung, tetapi pada lama waktu tertentu dapat terlihat menyerupai bintik kecil (kotoran). Prevalensi epifit dan penyakit pada talus rumput laut K. alvarezii dilakukan dengan pengamatan visual pada awal dan akhir serta di tiap minggu pemeliharaan. Prevalensi (P) epifit dan penyakit diketahui dengan cara mengangkat tali ris yang telah diikat bibit kemudian dihitung jumlah rumpun bibit yang terserang epifit maupun penyakitnya dengan menggunakan rumus (Kabata, 1980):
Gangguan budidaya rumput laut juga terjadi disebabkan adanya gulma dan hama. Gulma berupa tumbuhan laut lainnya yang tergolong makroalga sedangkan hama berupa hewan yang menjadi predator pada rumput laut. Gulma dan hama diamati secara visual serta diambil gambarnya menggunakan kamera digital. Gulma yang juga menjadi kompetitor rumput laut budidaya diambil secara langsung, jika sulit dapat digunakan pisau atau cutter. Pembersihan gulma dilakukan setiap hari sedangkan predator diambil tiap minggu atau saat sampling menggunakan alat tangkap berupa pancing dan bubu.
3.4.3 Pertumbuhan 3.4.3.1 Bobot rata-rata Bobot rata-rata merupakan berat rata-rata bibit yang diperoleh dari 15 rumpun bibit yang diambil secara acak dari jumlah total sebanyak 60 rumpun pada tiap perlakuan. Parameter ini diukur dengan cara menimbang bibit rumput laut segar yang telah ditiriskan menggunakan timbangan dengan ketelitian 1 g.
[Type text]
[Type text]
24
3.4.3.2 Laju Pertumbuhan Harian Dawes (1981) menyebutkan bahwa laju pertumbuhan harian (% per hari) digunakan untuk mengetahui pertumbuhan harian bibit yang dihitung dengan rumus :
Keterangan : LPH Wt Wo t
= laju pertumbuhan harian (%) = bobot rumput laut uji pada waktu t hari (g) = bobot rumput laut uji pada 0 hari (g) = masa pemeliharaan (hari)
3.4.3.3 Biomassa Biomassa (berat total) bibit rumput laut basah pada tiap perlakuan yang diukur setiap minggu. Sampel untuk pengukuran biomassa adalah 15 rumpun atau 25% dari 60 rumpun bibit yang dipilih secara acak tanpa mengubah rumpun bibit sampel dari minggu 1 ke minggu berikutnya. Biomassa diperoleh dari bobot ratarata 45 sampel bibit pada 3 ulangan tali ris masing-masing 15 sampel bibit dikalikan
jumlah
rumpun
bibit
pada
setiap
ulangan
(Lampiran
8).
Biomassa = Bobot rata-rata x ∑ rumpun bibit.
Pengukuran dilakukan pada awal pemeliharaan dengan cara menimbang bobotnya lalu diikat di tali ris menggunakan tali anak sedangkan di minggu berikutnya (hari ke-8, ke-15 dan ke-23), bibit sampel yang berada di tali ris (bibit yang diberi penanda) dilepas dengan cara menggunting tali anak yang mengikat bibit pada tali risnya. Bibit yang telah dilepas kemudian ditimbang lalu diikatkan kembali ke tali ris.
3.4.3.4 Diameter Talus Diameter talus diukur untuk mengetahui morfologi bibit K. alvarezii. Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir pemeliharaan pada 10 rumpun dari
[Type text]
[Type text]
25
total rumpuk sebanyak 60 rumpun bibit masing-masing pada 3 ulangan di tiap perlakuan. Pengukuran dilakukan di bagian talus utama atau batang rumput laut pada bagian pangkal atau terbawah percabangan dengan cara bibit rumput laut sampel yang telah ditandai (tagging) pada awal pemeliharaan diukur menggunkan jangka sorong dengan ketelitian 0,05 cm lalu diikat pada tali ris sehingga di akhir pemeliharaan dapat dilakukan pengukuran diameter talus kembali pada bibit sampel yang sama dengan cara bibit sampel yang telah ditandai dilepas dari tali ris kemudian diukur dengan jangka sorong.
3.5 Analisis Data Data diolah dan dianalisis secara kuantitatif sehingga diketahui pertambahan bobot rumput laut K. alvarezii dengan menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL). Rancangan terdiri dari dua perlakuan yaitu perlakuan K (bibit kontrol tanpa perendaman air tawar) dan perlakuan AT (bibit dengan perendaman air tawar) dengan 3 ulangan. Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis menggunakan Excell Ms. Office 2007, untuk menguji perbedaan respon dari dua perlakuan yang ada digunakan uji t dengan taraf nyata alpha 0,05.
[Type text]
[Type text]
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya (2005) menyebutkan bahwa lokasi yang ideal untuk budidaya K. alvarezii yaitu 2 – 15 m. Dengan demikian, lokasi budidaya K. alvarezii cukup sesuai karena memiliki kedalaman ± 4 m dengan arus permukaan yang berfluktuasi akibat pengaruh angin permukaan. Tabel 4. Rata-rata kedalaman, arus permukaan dan arah angin pada lokasi budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Hari ke-
Kedalaman (m)
Arus permukaan (m/s)
Arah angin
1 8 15 23 27
4,20 4,66 4,54 4,44 4,22
0,192 0,244 0,274 0,344 0,364
Timur laut
Timur Barat daya Barat daya Barat daya
Kecepatan arus permukaan merupakan faktor penentu lama waktu keberadaan substansi gas, unsur hara terlarut dan padatan partikel yang berada pada kolom air. Untuk itu, arus berperan sebagai pemasok unsur hara dan pembersih padatan partikel yang menempel pada rumput laut budidaya. Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa budidaya K. alvarezii ditanam pada lokasi perairan dengan kedalaman 4,20 m sampai dengan 4,66 m. Perbedaan kedalaman dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut dan permukaan dasar perairan yang tidak rata. Sedangkan rata-rata arus permukaan di lokasi tersebut memiliki kecepatan tertinggi di minggu ke-5 yaitu 0,364 m/s dan terendah di minggu ke-1 yaitu sebesar 0,192 m/s. Badan Standarisasi Nasional (2009) menyatakan bahwa arus permukaan yang cukup sesuai untuk budidaya K. alvarezii yaitu 0,2 – 0,4 m/s. Oleh karena itu, selama pemeliharaan arus permukaan cukup sesuai khususnya pada minggu ke-2 pemeliharaan karena kecepatan arus di atas 0,2 m/s. Kecepatan arus permukaan sangat dipengaruhi oleh angin permukaan. Angin selama pemeliharaan mengalami perubahan diketahui dari arah datangnya
[Type text]
[Type text]
27
angin yaitu dari arah angin timur ke barat (angin timur) saat awal pemeliharaan (Lampiran 10), kemudian berubah menjadi angin barat ke timur (angin barat) hingga akhir pemeliharaan. Anonim (2008) menyebutkan bahwa pada perairan di Kepulauan Seribu rata-rata memiliki kecepatan arus berkisar antara 0,25 – 0,38 m/s pada musim barat dan 0,12 – 0,25 m/s pada musim timur. Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin Monsoon yang secara garis besar dapat dibagi menjadi angin musim barat (Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Musim pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin berkisar antara 7-20 knot, biasanya terjadi pada bulan Desember-Februari. Pada musim timur kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot yang bertiup dari arah timur laut sampai tenggara (Anonim, 2003). Oleh karena itu, diketahui bahwa budidaya dilakukan pada waktu pancaroba atau perubahan musim yaitu musim timur ke musim barat dengan angin barat diketahui memiliki kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan angin timur. Perairan di lokasi budidaya memiliki salinitas yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 30 – 31 ppt. Perbedaan salinitas dipengaruhi oleh aliran arus yang membawa garam-garam terlarut mengalami perubahan serta adanya hujan sebagai sumber air tawar. Perbedaan salinitas pada budidaya K. alvarezii umum terjadi, Mamang (2008) menyatakan bahwa selama 42 hari pemeliharaan salinitas berfluktuasi antara 30,5 – 32 ppt. Tabel 5. Salinitas dan suhu perairan di lokasi budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Hari ke 1 8 15 23 27
Salinitas (0/00) 31 30 31 31 30
Suhu (0C) Pagi Siang 29 30 29 31 28,5 30 28,5 30 29 30
Sore 31 31 29,5 30,5 30
Suhu perairan berfluktuasi dari 28,5 – 310C yang pada pagi hari berkisar antara 28,5 – 29 0C, siang 30 - 310C dan sore 29,5 – 310C. Suhu memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan rumput laut yang dapat berpengaruh pada
[Type text]
[Type text]
28
beberapa fungsi fisiologinya seperti fotosintesis, respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi (Dawes, 1981). Selanjutnya, Njoman et al. (1987) dalam Neish (2003) menyatakan bahwa suhu antara 27 sampai 320C baik untuk budidaya K. alvarezii sehingga suhu pada perairan pulau Semak Daun masih sesuai untuk budidaya K. alvarezii. K.
alvarezii
membutuhkan
nutrien
untuk
tumbuh
yang selama
pemeliharaan dapat diketahui melalui parameter kimia perairan. Parameter tersebut terdapat pada Tabel 6. Tabel 6. Beberapa peubah kimia air laut pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii dan air tawar perlakuan selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Hari ke1 15 27
NH3 (mg/l) 0,0067 0,0060 0,0061
Nitrit (mg/l) 0,0029 0,0606 0,0276
1 23
NH3 (mg/lt) 0,0000 0,0000
Nitrit (mg/lt) 0,0565 0,0289
Air Laut Nitrat Sulfat (mg/l) (mg/l) 0,0738 0,0596 0,0631 0,0531 0,0550 1,4072 Air tawar (Perlakuan) Nitrat Sulfat (mg/lt) (mg/lt) 0,6400 0,1834 0,8950 0,1812
Fosfat (mg/l) 0,0464 0,0547 0,1766
pH 8,15 8,16 7,09
DO (mg/l) 5,8 6,5 6,2
Fosfat (mg/lt) 0,2305 0,0988
pH 6,18 5,59
DO (ppm) -
Keterangan : - = tidak dilakukan pengukuran
Pada Tabel 6 diketahui bahwa parameter kimia air pada budidaya K. alvarezii selama pemeliharaan yang meliputi Amonia, nitrit, nitrat, sulfat, fosfat, pH dan DO masih berada dalam kisaran kriteria mutu air seperti terlihat pada Tabel 2. Derajat keasaman atau pH perairan selama pemeliharaan tergolong basa yaitu 7,09 – 8,16 dengan kandungan oksigen terlarut 5,8 – 6,5 mg/l. Neish (2003) menemukan adanya kandungan oksigen terlarut sebesar 7,22 – 8,25 mg/l pada budidaya Euchema termasuk K. alvarezii. Keputusan menteri negara lingkungan hidup (2004) menyatakan bahwa pH yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya yaitu 7 – 8,5 dengan kandungan oksigen terlarut (DO) lebih dari 5 mg/l sehingga perairan budidaya dianggap masih berada dalam toleransi hidup K. alvarezii. Air tawar 0 ppt yang digunakan untuk perlakuan dengan perendaman air tawar terukur
[Type text]
[Type text]
29
nilai pH sebesar 5,59 – 6,18. Oleh karena itu, diketahui bahwa air tersebut tergolong asam (dibawah 7) serta diduga mampu menjadi desinfektan parasit pada rumput laut termasuk epifit dan bakteri penyebab ice-ice yang hanya hidup di air laut dengan pH basa. Air tawar akan melemahkan bakteri maupun epifit yang mengganggu pertumbuhan bibit rumput laut. Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Amonia juga berasal dari buangan predator rumput laut (Neish, 2003). Keputusan menteri negara lingkungan hidup (2004) menyatakan bahwa kadar amonia total untuk budidaya laut yaitu maksimal 0,3 mg/l. Selama pemeliharaan juga diketahui bahwa perairan budidaya K. alvarezii memiliki ammonia (NH3-N) yaitu berkisar antara 0,0060 – 0,0067 mg/l sedangkan air tawar yang digunakan untuk perlakuan perendaman tidak memiliki kandungan NH3-N yang artinya amonia di perairan dalam bentuk amonium atau ammonia yang dapat terionisasi. Oleh karena itu, perairan cukup sesuai untuk budidaya K. alvarezii. Kandungan rata-rata nitrat dan nitrit di perairan budidaya yaitu 0,0943 mg/l dengan kandungan rata-rata nitrat dan nitrit pada air tawar sebesar 0,8102 mg/l. Neish (2003) menemukan bahwa kandungan nitrat dan nitrit pada budidaya Eucheuma yang menghasilkan karaginan tinggi sebesar 1,10 mg/l - 1,44 mg/l. Oleh karena itu, perairan budidaya hanya sedikit memiliki sumber nitrogen nitrat dan nitrit sehingga kurang mendukung pertumbuhan K. alvarezii. Hal tersebut diketahui dari laju pertumbuhan harian baik perlakuan kontrol tanpa perendaman air tawar maupun dengan perendaman air tawar yang kurang dari 3 % bahkan baru membaik di minggu ke-4. Di perairan, sulfur memiliki beberapa bentuk yang salah satunya yaitu sulfat (SO4). Perairan budidaya memiliki kandungan sulfat yaitu 0,0531 – 1,4072 mg/l, sedangkan air tawar yang digunakan untuk perlakuan memiliki kandungan sulfat 0,1812 – 0,1834 mg/l. Pengukuran nilai fosfat di perairan budidaya K. alvarezii (Tabel 6) yaitu sebesar 0,0464 – 0,1766 mg/l sedangkan pada air tawar perlakuan yaitu 0,0988 – 0,2305 mg/l. Neish (2003) menemukan bahwa
[Type text]
[Type text]
30
kandungan fosfat pada budidaya Eucheuma yang menghasilkan karaginan tinggi sebesar 0,62 - 0,66 mg/l. Oleh karena itu, perairan budidaya tergolong kurang subur sehingga rumput laut budidaya belum dapat memenuhi kebutuhan fosfatnya. Fosfat digunakan rumput laut sebagai energi untuk melakukan fotosintesis.
4.2 Kondisi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Doty 4.2.1 Serangan Penyakit dan Epifit Epifit adalah tumbuhan yang menumpang pada tumbuhan lain sebagai tempat hidupnya. Berbeda dengan parasit, epifit dapat sepenuhnya lepas dari tanah sebagai penyangga dan penyedia hara bagi kehidupannya, maupun dari hara yang disediakan tumbuhan lain, akan tetapi epifit dapat menjadi pesaing terhadap ketersediaan cahaya karena dapat menutupi dan menembus tubuh inang yang ditumpangi sehingga merusak keseimbangan fisiologi tumbuhan inangnya (Anonim, 2010). Epifit telah menyerang bibit rumput laut K. alvarezii pada hari ke-23 sedangkan prevalensi epifit terbesar pada perlakuan kontrol dan perendaman air tawar terjadi di hari ke-27.
Tabel 7. Prevalensi (P) penyakit pada talus rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Perlakuan Ulangan Prevalensi (%) pada hari ke 1 8 15 23 27 Air tawar A B 0 0 Tanpa Perendaman 0 0 (Kontrol) 0 0 Prevalensi rata-rata 0 0 1 0 0 Dengan 2 0 0 Perendaman 3 0 0 Prevalensi rata-rata 0 0 Keterangan : A = Serangan epifit B = Gejala ice-ice
1 2 3
A 0 0 0 0 0 0 0 0
B 20 20 20 20 13,3 13,3 20 15,5
A 0 0 0 0 0 0 0 0
B 20 20 13,3 17,8 6,7 13,3 13,3 11,1
A 20 0 20 13,3 6,7 13,3 0 6,7
B 6,7 6,7 13,3 8,9 6,7 6,7 0 4,5
A 33,3 26,7 33,3 31,1 20 20 13,3 17,8
B 13,3 13,3 20 15,5 6,7 6,7 0 4,5
Prevalensi rata-rata epifit (Tabel 7) pada perlakuan tanpa dan dengan perendaman air tawar meningkat masing-masing dari 13,3 % dan 6,7 % (K) di hari ke-23 menjadi 31,1 % dan 17,8 % (AT) di akhir pemeliharaan. Serangan epifit semakin hari semakin meningkat pada kedua perlakuan tetapi pada [Type text]
[Type text]
31
perendaman air tawar, prevalensi epifit lebih rendah dari kontrol. Hal ini menunjukkan adanya peranan perendaman air tawar dalam menekan pertumbuhan epifit. Epifit merupakan parasit yang diduga menghambat pertumbuhan rumput laut karena epifit tumbuh dan berkembang sehingga menghalangi penyerapan cahaya matahari untuk rumput laut yang dibudidayakan. Timbulnya epifit banyak dijumpai pada kondisi fluktuasi suhu perairan akibat perubahan cuaca. Pada budidaya, epifit terlihat pada hari ke-23 dan lebih lambat terlihat dibandingkan ice-ice. Hal tersebut dikarenakan epifit tergolong mikroalga sehingga sulit terlihat secara langsung. Vairappan (2006) menyatakan bahwa epifit dapat disebabkan oleh mikroalga Neosiphonia savatieri yang awalnya berbentuk bintik hitam kecil pada K. alvarezii kemudian menjadi lebih besar dan kasar pada minggu ke-3 dan ke-4. Pada budidaya, epifit berupa bintik hitam kecil dijumpai pada minggu ke-3 hari ke-23, sehingga diduga bahwa epifit telah hidup menempel pada talus rumput laut K. alvarezii sejak awal pemeliharaan dengan jumlah yang lebih banyak. Bibit rumput laut juga terserang penyakit ice-ice yang terjadi pada hari ke8 baik pada perlakuan kontrol tanpa perendaman air tawar maupun perlakuan dengan perendaman air tawar. Prevalensi rata-rata serangan ice-ice terbanyak juga pada hari ke-8 dengan perlakuan tanpa perendaman air tawar yaitu 20 % dan dengan perendaman air tawar 15,5 %. Pada akhir pemeliharaan prevalensi ratarata bibit yang terserang ice-ice pada perlakuan dengan air tawar 4,5 % lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan tanpa perendaman air tawar (kontrol) yaitu 15,5 %. Hal ini menunjukkan adanya peranan perendaman air tawar dalam menekan pertumbuhan ice-ice.
Gambar 7. Penyakit Ice-ice pada talus rumput laut Kappaphycus alvarezii
[Type text]
[Type text]
32
Rendahnya prevalensi rumput laut yang diserang ice-ice pada perlakuan perendaman dengan air tawar diduga karena bakteri patogen pada rumput laut dapat dilemahkan oleh air tawar yang memiliki pH asam. Bakteri patogen tersebut hidup di salinitas tinggi dengan pH basa sehingga air tawar menjadi desinfektan yang mampu membunuh atau melemahkan bakteri. Penyakit ice-ice menyerang rumput laut K. alvarezii pada musim pancaroba, bibit rumput laut mengalami stress yang diduga disebabkan oleh tekanan iklim atau kondisi ekstrim yang dialaminya. Onny (2008) menyebutkan bahwa ice-ice ditumpangi oleh bakteri patogen Vibrio sp. dan Flavobacterium sp. yang berasosiasi dengan Cytophaga. Bakteri tersebut menyerang bibit rumput laut yang dalam kondisi lemah (stress).
4.2.2 Serangan Gulma dan Hama Gulma adalah tumbuhan yang keberadaannya dapat menimbulkan gangguan dan kerusakan bagi tanaman budidaya maupun aktivitas manusia dalam mengelola usaha taninya (Kastono, 2004). Gulma yang berperan sebagai kompetitor dari rumput laut K. alvarezii ditemukan pada tali ris dan membelit rumput laut budidaya sehingga menyerap nutrient di laut serta menghalangi cahaya matahari yang dibutuhkan oleh rumput laut K. alvarezii. Kompetitor tersebut terdiri dari berbagai jenis alga penempel yaitu Sargassum sp., Gracilaria sp., Ulva sp. dan Padina sp., sedangkan alga yang belum dapat diidentifikasi hanya diketahui sebagai makroalga. Pertumbuhan K. alvarezii dapat terganggu oleh gulma. Beberapa jenis gulma pada budidaya K. alvarezii yang dapat diidentifikasi terlihat pada Gambar 8.
[Type text]
[Type text]
33
8(a)
8(b)
8(d)
8(c)
8(e)
8(f)
Gambar 8. Kompetitor rumput laut Kappaphycus alvarezii: (a) Sargassum sp., (b) Makroalga, (c) Sargassum sp., (d) Gracilaria sp., (e) Ulva sp., (f) Padina sp. selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Timbulnya alga penempel dikarenakan habitat K. alvarezii juga sesuai untuk kehidupan kompetitornya. Kandungan fosfor disertai nitrogen di perairan yang cukup dapat menstimulir pertumbuhan alga. Kandungan fosfor dalam bentuk fosfat di perairan budidaya yaitu 0,0464 – 0,1766 mg/l sedangkan batas minimum fosfat yaitu 0,015 mg/l, sehingga fosfat di perairan cukup tersedia. Fosfat yang berlebih membuat alga tumbuh pesat membentuk lapisan pada permukaan air, yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari [Type text]
[Type text]
34
sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan termasuk pertumbuhan K. alvarezii yang membutuhkan cahaya untuk fotosintesis. Kondisi keberadaan fosfor yang cukup besar diketahui terdapat pada akhir pemeliharaan yaitu hari ke27 dan terdapat pada air tawar perlakuan awal pada hari ke 1. Gulma berasal dari perairan sekitar yang ikut terbawa arus laut hingga ke lokasi budidaya dan menempel maupun membelit rumput laut budidaya sehingga perlakuan tidak berpengaruh terhadap keberadaan gulma dikarenakan setiap hari, ada gulma yang terbawa arus dan membelit rumput laut budidaya. Oleh karena itu dilakukan penanggulangan dengan cara memeriksa rumput laut budidaya setiap hari sambil melepaskan gulma yang membelit sehingga kompetitor rumput laut K. alvarezii dapat dibuat tidak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan harian K. alvarezii tersebut. Lumpur maupun kotoran juga sering kali menempel di bibit rumput laut akibat lemahnya pergerakan arus khususnya pada pemeliharaan di minggu ke-1 hingga ke-2 sehingga dilakukan penanganan khusus yaitu menggoyang-goyangkan tali ris agar kotoran yang melekat lepas. Beberapa jenis ikan karang juga ditemukan selama pemeliharaan. Ikan berperan sebagai predator K. alvarezii yang salah satunya adalah ikan baronang.
9 (a)
9 (b)
Gambar 9. Predator pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii : (a) Siganus sp. dan (b) bekas gigitan predator selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Ikan baronang (siganus sp) merupakan musuh alami rumput laut termasuk jenis K. alvarezii. Ikan tersebut menyebabkan kerusakan fisik pada rumput laut seperti terkelupas, patah atau habis dimakan sama sekali. Ikan ini sering kali mengigit cabang rumput laut sebagai makanannya. Keberadaan ikan ini tidak dijumpai secara langsung pada budidaya K. alvarezii tetapi pada bibit rumput laut [Type text]
[Type text]
35
terdapat bekas gigitan ikan tersebut. Ikan baronang diperkirakan tidak mengganggu pertumbuhan bibit rumput laut dikarenakan jumlah gigitan pada bibit tergolong sedikit dan tidak pada rumpun bibit sampel. Ikan baronang pada dasarnya hidup di perairan karang sedangkan lokasi budidaya bersubstrat pasir berkarang sehingga tidak menjadi shelter atau tempat naungan ikan. Ikan tersebut diperkirakan berasal dari perairan karang yang tidak jauh dari lokasi budidaya dan termasuk perairan karang pulau Semak Daun yang juga memiliki habitat lamun dan rumput laut (Sargassum sp.) yang tumbuh secara alami sehingga lokasi budidaya hanya sebagai wilayah jelajah ikan.
4.3 Parameter Pertumbuhan 4.3.1 Bobot Rata-rata Pertumbuhan bobot rata-rata K. alvarezii kontrol tanpa dan dengan perendaman air tawar menunjukan peningkatan hingga pemeliharaan di hari ke27. Pertumbuhan bobot rata-rata bibit memiliki perbedaan yang cukup besar di akhir pemeliharaan yaitu seberat 126,11 g untuk bibit kontrol dan 147,56 g pada
Bobot rata-rata (g)
perlakuan air tawar. 160 150 140 130 120 110 100 90
147.56 133.44 117.56
107.11 100.67 98.67 1
102.11 8
126.11 118.44
107.56
15 23 Hari kePerlakuan K Perlakuan AT
27
Gambar 10. Bobot rata-rata rumput laut Kappaphycus alvarezii tanpa (K) dan dengan perendaman air tawar (AT) selama November di Perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Peningkatan bobot rata-rata mempengaruhi peningkatan biomassa sehingga semakin tinggi bobot rata-rata semakin tinggi pula biomassanya. Oleh karena itu bobot rata-rata perlakuan menjadi lebih besar dibanding dengan K. alvarezii kontrol di akhir pemeliharaan. Hasil uji statistik menunjukan bahwa perendaman bibit menggunakan air tawar memberi pengaruh yang berbeda nyata [Type text]
[Type text]
36
pada bobot rata-rata akhir bibit kontrol. Peningkatan bobot rata-rata dipengaruhi oleh menurunnya prevalensi epifit dan ice-ice. Bobot rata-rata awal yang digunakan pada K. alvarezii kontrol yaitu 98,67 g sedangkan pada bibit perlakuan air tawar yaitu 100,67 g. Puslitbang (1991) dan Neish (2003) menyatakan bahwa bibit K. alvarezii pada umumnya seberat 50 – 150 g. Bobot rata-rata K. alvarezii yang digunakan dalam penelitian telah umum digunakan di masyarakat.
4.3.2 Laju Pertumbuhan Harian Perendaman dengan air tawar pada K. alvarezii memberi pengaruh nyata pada laju pertumbuhan harian (%). Bibit K. alvarezii kontrol memiliki laju pertumbuhan harian tertinggi pada minggu ke-4 sebesar 1,57% sedangkan terendah pada minggu ke-1 yaitu 0,49% begitu juga pada K. alvarezii perlakuan air tawar dengan laju pertumbuhan harian tertinggi pada minggu ke-4 senilai 2,51% dan terendah di minggu ke-1 yaitu 0,89%.
3.00
2.51
LPH (%)
2.50 2.00
1.58 1.33
1.50 0.89
1.00 0.50
1.57
1.20
0.74
0.49
0.00 1
2
Perlakuan kontrol
3 4 Minggu kePerlakuan air tawar
Gambar 11. Laju pertumbuhan harian (LPH) rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty perlakuan tanpa (kontrol) dan dengan perendaman air tawar selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Laju pertumbuhan harian K. alvarezii kontrol (Gambar 11) masih tergolong rendah yaitu di bawah 2%. Hal tersebut dikarenakan adanya penyakit ice-ice, dan epifit pada rumput laut budidaya. Keberadaan ice-ice berkurang di minggu ke-3 khususnya pada perlakuan dengan perendaman air tawar sehingga pertumbuhan rumput laut membaik. Atmadja (1979) menyebutkan bahwa tingkat [Type text]
[Type text]
37
kelangsungan hidup yang baik untuk K. alvarezii yaitu 2,5 – 3%. Mamang (2008) menunjukan bahwa pada bibit K. alvarezii dengan bobot rata-rata 100 g memiliki laju pertumbuhan harian 1,89 sampai 2,29% dengan masa pemeliharaan selama 28 hari dan memiliki laju pertumbuhan harian total di akhir pemeliharaan selama 42 hari yaitu 1,89 sampai 2,41%. Pada laju pertumbuhan harian selama 28 hari diperoleh bobot rata-rata kurang lebih 150 g hal tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil bobot rata-rata yang diperoleh pada pemeliharaan bibit K. alvarezii perlakuan perendaman air tawar yaitu seberat 147 g selama 27 hari pemeliharaan sedangkan pada perlakuan kontrol menunjukan bobot rata-rata seberat 126,11 g. Pertumbuhan rumput laut terbaik di minggu ke-4 dengan laju pertumbuhan harian bibit K. alvarezii yang meningkat di tiap minggunya. Prevalensi penyakit ice-ice perlakuan tanpa perendaman air tawar menurun dari minggu ke 1 sampai ke-3 dan mengalami kenaikan di minggu ke-4 sedangkan prevalensi epifit meningkat dari minggu ke-3 sampai ke-4 sehingga laju pertumbuhan harian meningkat namun tergolong rendah karena belum masuk dalam kisaran laju pertumbuhan harian normal untuk K. alvarezii yaitu 2,5% (Neish, 2003). Pada perlakuan perendaman dalam air tawar prevalensi ice-ice menurun hingga prevalensi terendah di minggu ke-4 pemeliharaan sedangkan prevalensi epifit meningkat dari minggu ke-3 ke minggu ke-4 tetapi lebih kecil dari kontrolnya sehingga laju pertumbuhan harian terus meningkat khususnya di minggu ke-4 mengalami peningkatan tertinggi yaitu sebesar 2,51%. Air tawar berperan dalam menekan pertumbuhan bakteri patogen pada penyakit ice-ice sehingga prevalensi ice-ice pada akhir pemeliharaan tergolong sangat kecil yaitu 4,5% namun tidak mampu menekan pertumbuhan epifit. Peningkatan laju pertumbuhan harian juga seiring dengan meningkatnya kecepatan arus permukaan. Arus permukaan berperan sebagai penggerak air laut yang membawa nutrien yang dibutuhkan oleh rumput laut. Rumput laut menyerap nutrien di air secara difusi, Neish (2003) menyebutkan bahwa rumput laut memperoleh makanan dari air laut yang melewatinya. Pertumbuhan terbaik diperoleh dari air yang bergerak karena mampu membersihkan rumput laut, memberikan nutrisi baru, menyingkirkan sisa-sisa metabolisme serta merangsang pertumbuhan rumput laut.
[Type text]
[Type text]
38
4.3.3 Biomassa K. alvarezii yang dipelihara selama 27 hari tanpa perendaman air tawar (kontrol) dan dengan perendaman air tawar umumnya memiliki biomassa yang meningkat hingga akhir pemeliharaan. Biomassa awal bibit kontrol (Gambar 12) yaitu 17,76 kg sedangkan bibit dengan perlakuan air tawar 18,12 kg. Pada akhir pemeliharaan bibit kontrol dan perlakuan air tawar memiliki biomassa 21,44 dan 26,56 kg. 29
Biomassa (kg)
27
26.56
25
24.02
23 21.16
21 19
18.12
17
17.76
19.28 18.07
21.44
20.49
18.82
15 1
8
15 Hari kePerlakuan K
23
27
Perlakuan AT
Gambar 12. Biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii tanpa (K) dan dengan perendaman air tawar (AT) selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Hasil uji statistik menunjukan bahwa perlakuan air tawar memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap kontrol tanpa perendaman air tawar sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan perendaman air tawar memberi pengaruh nyata terhadap pertumbuhan biomassa bibit K.alvarezii. K. alvarezii perlakuan air tawar memiliki biomassa akhir yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol diduga karena air tawar yang memiliki pH rendah 5,59 – 6,18 mampu menjadi desinfeksi untuk parasit yang menempel berdasarkan hasil pengamatan terhadap keberadaan penyakit dan epifit yang menjadi parasit pada bibit selama pemeliharaan. K. alvarezii pada perlakuan dengan perendaman air tawar juga diduga mampu memanfaatkan kandungan fosfat, nitrit dan nitrat dari air tawar perlakuan yang jumlahnya lebih besar dibanding dengan air laut. Neish (2003) menyatakan bahwa Euchema termasuk K. alvarezii memanfaatkan
[Type text]
[Type text]
39
fosfat, nitrat dan nitrit di perairan pada saat air mengalir melalui tanaman sehingga nutrien pada air tawar ketika perlakuan diduga dapat diserap oleh rumput laut.
4.3.4 Diameter Talus Diameter talus bibit K. alvarezii mengalami pertumbuhan yang pada perlakuan kontrol memiliki diameter awal 1,21 cm menjadi 1,41 cm di akhir pemeliharaan, sedangkan pada perlakuan air tawar meningkat dari 1,25 cm menjadi 1,46 cm.
1.60
Diameter (cm)
1.40
1.46
1.41 1.21
1.25
1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 Perlakuan kontrol Awal pemeliharaan
Perlakuan air tawar Akhir pemeliharaan
Gambar 13. Diameter talus pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii tanpa (kontrol) dan dengan perendaman air tawar selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Hasil uji statistik menunjukan bahwa selama masa pemeliharaan, diameter talus bibit K. alvarezii tidak mengalami pertumbuhan yang berbeda nyata begitu pula diameter pada perlakuan perendaman air tawar juga memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol tanpa perendaman air tawar. Hal tersebut menunjukan bahwa pertumbuhan talus bibit K. alvarezii tidak ke arah lingkar diameter tetapi lebih ke arah perpanjangan talus yang selanjutnya dapat dipotong menjadi beberapa bagian untuk dijadikan bibit baru (kultivar). Bibit K. alvarezii dianggap cukup tahan terhadap pergerakan arus selama pemeliharaan. Hal tersebut diketahui dari persentase kelangsungan hidup bibit yang cukup besar hingga akhir pemeliharaan yaitu
93,3 – 94,4 % rumpun
(Lampiran 8). Bibit yang hilang kurang dari 10 % diperkirakan akibat perlakuan air tawar dan penanganan terhadap gulma. [Type text]
[Type text]
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Perendaman dengan air tawar berperan dalam menekan serangan penyakit ice-ice dan epifit pada rumput laut. Rumput laut yang direndam dengan air tawar tiap minggu selama budidaya lebih sedikit terserang penyakit dibandingkan perlakuan tanpa perendaman (kontrol). Prevalensi ice-ice pada perlakuan tanpa dan dengan perendaman air tawar di akhir pemeliharaan yaitu 15,5 % dan 4,5 % sedangkan epifit yaitu 31,1% dan 17,8%. Perendaman dengan air tawar juga memberi pengaruh nyata pada peningkatan bobot rata-rata akhir, laju pertumbuhan harian dan biomassa akhir rumput laut K. alvarezii.
5.2 Saran Berdasarkan penelitian ini disarankan untuk melakukan perendaman bibit dengan air tawar pada budidaya rumput laut K. alvarezii. Perlu penelitian lanjutan untuk mengembangkan teknik perendaman yang praktis, efektif dan efisien.
[Type text]
[Type text]
DAFTAR PUSTAKA Adnan Q. 1999. Kondisi Populasi Fitoplankton di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. Akmal, Sugeng R, Ilham. 2008. Teknologi Manajemen Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii. Makalah. Pelatihan Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Balai Budidaya Air Payau. Departemen Kelautan dan Perikanan. Takalar. Anggadireja JT. 2008. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta. Anonim. 2003. Penelitian Dinamika Sumber Daya Laut Perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. P2OLIPI. Laporan akhir. Bidang dinamika laut. 08-08-2003. Jakarta 2003. Anonim. 2005. Sistem Informasi Pola Pembiayaan / Lending Model Usaha Kecil Budidaya Rumput Laut (Metode Tali Letak Dasar). Bank Indonesia. http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=53804&idrb=49201. [10 Maret 2010]. Anonim. 2008. Ekstensifikasi Kapasitas Kelompok Seafarming. Laporan Pendahuluan. Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Anonim. 2009. 2012, Pemerintah Batasi Ekspor Rumput Laut Gelondongan. Jurnal Nasional. http://jurnalnasional.com/show/breakingnews?page=6. [3 Februari 2010]. Anonim 2010. Epifit. http://id.wikipedia.org/wiki/Epifit. [17 Maret 2010]. Aslan LM.1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta. Atmadja WS. 1979. Mengenal Jenis-jenis Rumput Laut Budidaya, Pewarta Oceana, Vol 5. 10 p. Jakarta. Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi. LIPI. Jakarta. Atmadja WS dan Sulistijo. 1983. Artikel Seaweed. www.rumputlaut.org. [15Mei 2009]. Badan Standarisasi Nasional. 2009. Produksi Rumput Laut Kotoni (Eucheuma cottonii) - Bagian 2: Metode long-line. Nomor SNI : RSNI3 7579.2:2009. http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni_2/10344. [10 Maret 2010].
[Type text]
[Type text]
42
Caceres PJ, CA Faundez, B Matsuhiro and JA Vasquez. 1996. Carrageenophyte Identification by Second-derivative Fourier Transform Infrared Spectroscopy. J. Appl. Phycol., 8 : 523 – 527. Dawes CJ. 1981. Marine Botany. John Wiley and Sons. University of South Florida. New York. Ditjenkan Budidaya. 2005. Identifikasi dan Pemetaan Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Wilayah Coremap II Kabupaten Bintan. Laporan Akhir. DKP. 2008. Perkembangan Ekspor Produk Perikanan Menurut Komoditas Utama Ekspor. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Jakarta. Doty M.S, Alvarez VB, 1981. Eucheuma Farm productivity. In: Fogg GE, Jones WE, Eds. Proceedings of the Eight International Seaweed Symposium, pp. 688-691. Dugan PR. 1972. Biochemical Ecology Water Pollution. New York. Plenum Press. 159 p. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. Effendi I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. Fresco MCO. 2004. Water Pollution, Ice-ice Rough up Zamboanga’s Seaweed Industry. MediaCore, Science and Technology Information Institute. Manila. http://sntpost.stii.dost.gov.ph/frames/jantomar04/pg27b.htm. [5 Januari 2010]. Fujaya Y. 2002. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. PT Rineka Cipta. Jakarta. Gagne, Robert M. 1985. The Conditioning of Learning. Tokyo: Halt Sounde. Guiry MD. 1998. Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex P.C. Silva. Algae base. http://www.algaebase.org/search/species/detail/?species_id=2811. [13 Januari 2010]. Iskandar O. 2002. Etos Kerja, Motivasi dan Sikap Inovatif terhadap Produktivitas Petani. Program Pascasarjana. Universitas Negeri Jakarta. Makara, Sosial Humaniora. Vol. 6. Kabata, Z. 1980. Parasitology Of Fishes. TFH Publication, Inc. Ltd. The British Crown Coloni Of Hongkong. Kastono. 2004. Arti, Peran, Sifat dan Klasifikasi Gulma. Laboratorium Manajemen dan Produksi Tanaman. Jurusan Budidaya Pertanian. Universitas Gajah Mada.
[Type text]
[Type text]
43
Kusriyanto B. 1993. Meningkatkan Produktivitas Karyawan. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Largo DB, Fukami K, Nishijima T, 1995a. Occasional pathogenic bacteria promoting ice-ice disease in the carrageenan-producing red algae Kappaphycus alvarezii and Eucheuma denticulatum (Solieriaceae, Gigartinales, Rhedophyta). J. Appl. Phycol. 7, pp. 545-554. Largo DB, Fukami F, Nishijima T, Olino, M. 1995b. Laboratory-induced development of the ice-ice disease of the farmed red algae Kappaphycus alvarezii and Eucheuma denticulatum (Solieriaceae, Gigartinales, Rhodophyta). J. Appl. Phycol. 7, pp. 539-543. Mamang N. 2008. Laju Pertumbuhan Bibit Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan Perlakuan Asal Thallus terhadap Bobot Bibit di Perairan Lakeba, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2004. Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Lampiran III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Nomor: 51 Tahun 2004. Mubarak H. 1981. “Prepatory Assistance in Seafarming Indonesia”, Training Workshop on Seafarming Denpasar Bali, Indonesia. Web: http://www.fao.org/docrep/field/003/AB873E/HTM. Neish IC. 2003. The ABC of Eucheuma Seaplant Production : Agronomy, Biology and Crop-handling of Betaphycus, Eucheuma and Kappaphycus the Gelatinae, Spinosum and Cottonii of Commerce. Monograph 1-0703, SuriaLink Seaplants. Oktarina RM. 2009. Pengaruh Frekuensi Perendaman dalam Air Tawar terhadap Kinerja Pertumbuhan Ikan Kerapu Bebek Cromileptes altivelis. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Onny. 2008. Jenis, Kelimpahan dan Patogenisitas Bakteri pada Thallus Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terserang Ice-Ice di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Skripsi. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Prisdiminggo, Johnny F, Roza D. 2002. Teknologi Pembesaran Kerapu Bebek Cromileptes altivelis dalam Keramba Jaring Apung. Nusa Tenggara Barat. www.ntb.litbang.deptan.go.id.[15 oktober 2009].
[Type text]
[Type text]
44
Puslitbangkan,1991. Budidaya Rumput Laut Eucheuma sp dengan Rakit dan Lepas Dasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Jakarta. 9 hal. Shinta JD. 2007. Isolat, Jenis dan Kelimpahan Bakteri pada Thallus Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terserang Ice-Ice di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Soegiarto. 1978. Rumput Laut (Algae): Manfaat Potensi dan Usaha Budidayanya. LIPI. Jakarta. Sulistijo. 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Pengenalan Jenis Jenis Rumput Laut Indonesia. Atmadja WS, A Kadi, Sulistijo dan Rahmaniar (Editor). Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Syaputra Y. 2005. Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cotonii pada Kondisi Lingkungan yang Berbeda dan Perlakuan Jarak Tanam di Teluk Lhok. Seudu. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Tasik WF. 2009. Suplementasi Mineral Seng Zn sebagai Penyeimbang Penggunaan Tepung Darah dalam Pakan terhadap Kinerja Pertumbuhan dan Ketahanan Tubuh Ikan Kerapu Cromileptes altivelis. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Uyenco ER, Saniel L.S, Jacinto G.S, 1981. The ice-ice Problem in Seaweed Farming. 10th International Seaweed Symposium. Walter de Gruyter, New York, pp.625-630. Vairappan, CS. 2006. Seasonal Occurrences of Epiphytic Algae on the Commercially Cultivated Red Alga Kappaphycus Alvarezii (Solieriaceae, Gigartinales, Rhodophyta). J. Appl. Phycol.18 p.611 – 617. Wedemeyer GA and McLeay DJ. 1981. Methods for determining the tolerance of fishes to environmental stressors. In AD Pickering (ed.), Stress and fish. New York : Academic Press, pp. 247–275. Widiastuti, IGAA. 2009. Petani Rumput Laut: Bertahan di Tengah Perubahan Iklim. Salam. Yayasan Kalimajari. Bali. Yulianto, K. 2003. Pengamatan Penyakit “Ice-ice” dan Alga Kompetitor Fenomena Penyebab Kegagalan Panen Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (C) Agardh di Pulau Pari, Kepulauan Seribu Tahun 2000 dan 2001. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional, IKN 100-103.
[Type text]
[Type text]
LAMPIRAN
[Type text]
[Type text]
Lampiran 1. Denah penanda pada sampel rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Perlakuan K
Kiri
Perlakuan AT
Keterangan :
= Bibit K. alvarezi yang tidak diberi penanda = Pelampung kecil berupa botol bekas air mineral
Kanan
= Sampel Bibit K. alvarezi yang diberi penanda dan nomer = Tali induk
Penomeran bibit dari kiri ke kanan hanya pada 1. Pada perlakuan K tali 1 (K1) : B5, B7, B12, B15, B18, B23, B29, B30, B35, B38, B42, B45, B47, B52 dan B55. 2. Pada perlakuan K tali 2 (K2) : B3, B4, B9, B14, B18, B24, B29, B32, B33, B39, B42, B44, B47, B53 dan B57. 3. Pada perlakuan K tali 3 (K3) : B4, B5, B11, B15, B17, B24, B26, B29, B32, B36, B39, B42, B46, B51 dan B54. 4. Pada perlakuan AT tali 1 (AT1) : B4, B7, B10, B13, B17, B24, B26, B29, B32, B34, B38, B41, B45, B50 dan B54. 5. Pada perlakuan AT tali 2 (AT2) : B4, B8, B11, B14, B19, B23, B27, B31, B33, B37, B41, B44, B48, B53 dan B58. 6. Pada perlakuan AT tali 3 (AT3) : B5, B8, B13, B15, B17, B21, B26, B28, B32, B37, B40, B44, B48, B52 dan B55. [Type text]
= ris
46
[Type text]
47
Lampiran 2. Bobot rata-rata rumput laut Kappaphycus alvarezii perlakuan tanpa perendaman air tawar di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Ulangan
Kode sampel
Tali 1
1
8
15
23
27
RL1
100
105
105
110
115
RL2
100
110
120
140
150
RL3
90
100
110
125
135
RL4
90
80
90
100
110
RL5
100
100
110
120
125
RL6
100
90
95
105
110
RL7
110
110
115
125
135
RL8
90
100
110
115
120
RL9
100
110
120
140
150
RL10
100
105
115
135
140
RL11
95
100
110
125
130
RL12
90
90
90
90
95
RL13
100
105
110
125
135
RL14
95
100
110
120
125
RL15
90
100
110
120
130
Std
5,875697
8,33809
9,411239
14,07463
15,2128
rata2
96,66667
100,333
108
119,6667
127
Biomassa (g)
5800
6020
6264
6821
7112
Ulangan
Kode sampel
Tali 2
[Type text]
Bobot (g) pada hari ke
Bobot (g) pada hari ke 1
8
15
23
27
RL1
90
100
110
120
130
RL2
100
100
110
125
125
RL3
110
115
120
130
140
RL4
100
90
90
100
105
RL5
100
90
85
85
90
RL6
100
105
110
120
130
RL7
100
105
105
110
120
RL8
100
110
115
130
140
RL9
100
110
120
135
145
RL10
90
95
100
110
115
RL11
100
110
120
130
135
RL12
100
105
115
125
130
RL13
90
85
90
100
110
RL14
95
85
85
90
100
RL15
100
110
120
135
140
Std
5,232681
9,85611
13,15657
16,30805
16,5256
rata2
98,33333
101
106,3333
116,3333
123,667
Biomassa (g)
5900
5858
6167.333
6631
7049
[Type text]
48
Lampiran 2. Lanjutan Bobot rata-rata rumput laut Kappaphycus alvarezii perlakuan tanpa perendaman air tawar di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Ulangan Tali 3
[Type text]
Kode sampel
Bobot (g) pada hari ke 1
8
15
23
27
RL1
110
110
120
140
150
RL2
110
120
120
135
145
RL3
110
115
110
115
130
RL4
100
100
105
115
120
RL5
100
95
95
100
110
RL6
90
95
95
105
105
RL7
100
105
110
120
130
RL8
100
100
105
115
120
RL9
100
110
115
130
140
RL10
95
100
105
110
115
RL11
100
100
105
110
120
RL12
100
110
120
135
145
RL13
100
105
110
120
125
RL14
110
115
115
135
145
RL15
90
95
95
105
115
Std
6,60086
8,01784
8,796644
12,79881
14,37591
rata2
101
105
108,3333
119,3333
127,6667
Biomassa (g)
6060
6195
6391,667
7040.667
7277
[Type text]
49
Lampiran 3. Bobot rata-rata rumput laut Kappaphycus alvarezii perlakuan dengan perendaman air tawar di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Ulangan
Kode sampel
Tali 1
1
8
15
23
27
RL1
110
115
125
145
160
RL2
100
105
115
135
145
RL3
100
90
95
105
110
RL4
110
115
130
150
170
RL5
110
120
135
155
170
RL6
100
110
115
130
140
RL7
100
110
115
115
120
RL8
100
100
100
110
120
RL9
90
95
105
125
140
RL10
100
105
115
130
145
RL11
100
110
125
140
160
RL12
100
110
120
135
150
RL13
90
100
110
125
145
RL14
100
110
125
150
170
RL15
110
120
135
155
165
std
6,399405
8,632717
11,93235
15,86401
19,26012
rata2
101,3333
107,6667
117,6667
133,6667
147,3333
Biomassa (g)
6080
6244,667
6824,667
7485,333
8250,667
Ulangan
Kode sampel
Tali 2
[Type text]
Bobot (gr) pada hari ke
Bobot (gr) pada hari ke 0
7
14
22
26
RL1
90
105
110
110
110
RL2
100
110
125
155
180
RL3
100
110
125
150
170
RL4
100
110
125
150
165
RL5
110
120
130
155
185
RL6
100
105
100
100
110
RL7
110
125
135
160
185
RL8
90
95
105
115
120
RL9
100
80
85
95
105
RL10
110
115
130
150
165
RL11
110
120
135
145
150
RL12
90
105
125
145
170
RL13
110
95
100
115
120
RL14
100
110
120
140
155
RL15
100
105
115
135
150
Std
7,432234
11,31792
14,74384
21,6685
28,83863
Rata
101,3333
107,3333
117,6667
134,6667
149,3333
Biomassa (g)
6080
6440
7060
7810,667
8661,333
[Type text]
50
Lampiran 3. Lanjutan bobot rata-rata rumput laut Kappaphycus alvarezii perlakuan dengan perendaman air tawar di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Ulangan
Kode sampel
Tali 3
[Type text]
Bobot (gr) pada hari ke 0
7
14
22
26
RL1
110
120
140
165
180
RL2
100
110
125
140
165
RL3
100
105
110
120
130
RL4
90
90
95
100
105
RL5
90
100
110
125
135
RL6
100
85
90
100
110
RL7
100
110
120
130
135
RL8
100
110
115
130
150
RL9
100
110
120
135
150
RL10
110
125
150
175
200
RL11
100
115
130
150
170
RL12
100
110
120
135
150
RL13
100
105
115
130
140
RL14
100
110
125
130
150
RL15
90
90
95
115
120
Std
5,936168
11,09483
16,35179
20,51132
25,71825
rata2
99,33333
106,3333
117,3333
132
146
Biomassa (g)
5960
6380
6922,667
7524
8176
[Type text]
51
Lampiran 4. Parameter pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii perlakuan tanpa perendaman air tawar selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu
Biomassa (g) pada) Hari ke
Ulangan Tali 1 Tali 2 Tali 3 Total Nilai dalam (kg)
Ulangan Tali 1 Tali 2 Tali 3 rata2
0 5800 5900 6060 17,760 17,76
7 6020 5858 6195 18,073 18,07
0 96,67 98,33 101,00 98,6667
14 6264 6167.33333 6391.66667 18,823 18,82
22 6821 6631 7040.6667 20,493 20,49
26 7112 7049 7277 21,438 21,44
Bobot rata-rata (g) pada Hari ke7 14 22 100,33 108,00 119,67 101,00 106,33 116,33 105,00 108,33 119,33 102,1111 107,5556 118,4444
26 127,00 123,67 127,67 126,1111
LPH (%) pada Ulangan Pengamatan Minggu ke 1 2 3 4
[Type text]
Tali 1 0,53184774 1,051903586 1,282235909 1,486924666
Tali 2 0,38224927 0,73511853 1,12351024 1,52825351
Tali 3 0,55485476 0,44646491 1,20884755 1,68755007
rata2 0,48965059 0,74449568 1,20486457 1,56757608
[Type text]
52
Lampiran 5. Parameter pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii perlakuan dengan perendaman air tawar selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu
Ulangan Tali 1 Tali 2 Tali 3 Total Nilai dalam (kg)
Ulangan Tali 1 Tali 2 Tali 3 rata2
18,12
19,28
21,16
24,02
26,56
Bobot rata-rata (g) pada Hari ke0 7 14 22 101,33 107,67 117,67 133,67 101,33 107,33 117,67 134,67 99,33 106,33 117,33 132,00 100,6667 107,1111 117,5556 133,4444
Pengamatan Minggu ke 1 2 3 4
[Type text]
Biomassa (g) pada Hari ke0 7 14 22 26 6080 6460 7060 8020 8840 6080 6440 7060 8080 8960 5960 6380 7040 7920 8760 18120 19280 21160 24020 26560
LPH (%) pada Ulangan Tali 1 Tali 2 Tali 3 rata2 0,866066 0,821769 0,972823 0,886886 1,268796 1,313093 1,406287 1,329392 1,593667 1,686835 1,472288 1,584263 2,433711 2,584459 2,520117 2,512763
26 147,33 149,33 146,00 147,5556
[Type text]
53
Lampiran 6. Diameter talus rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu
awal
Kontrol (cm) akhir
Perlakuan (cm) awal akhir
1,4
1,6
1,3
1,4
0,8
1,0
1,1
1,3
1,2
1,4
1,3
1,4
1,3
1,4
1,2
1,4
1,1
1,2
1,4
1,7
1,2
1,4
1,5
1,6
0,9
1,1
1,7
1,9
1,3
1,4
1,6
1,8
1,2
1,4
1,2
1,4
1,2
1,4
1,2
1,4
stdv
0,1764
0,1767
0,2025
0,2112
rata2
1,15
1,33
1,34
1,53
1,2
1,5
1,4
1,7
1,2
1,5
1,2
1,6
1,2
1,4
1,2
1,5
1,1
1,3
1,1
1,4
1,3
1,4
1,5
1,6
1,0
1,2
1,7
1,7
1,3
1,5
1,3
1,5
0,9
1,1
1,0
1,3
1,3
1,5
0,9
1,3
1,1
1,3
1,3
1,5
stdv
0,1528
0,1418
0,2309
0,1449
rata2
1,15
1,37
1,25
1,51
1,3
1,4
1,4
1,5
1,2
1,4
1,2
1,3
1,3
1,5
1,0
1,1
1.4
1,6
1,1
1,3
1,5
1,6
1,0
1,2
1,1
1,3
0,9
1,1
1,4
1,7
1,3
1,4
1,5
1,6
1,1
1.3
1,3
1,5
1,3
1,5
1,4
1,6
1,4
1,7
stdv
0,126491
0,129104
0,172321
0,189737
rata2 Total rata2
1,34
1,52
1,16
1,34
1,21
1,41
1,25
1,46
Tali 1
Tali 2
Tali 3
[Type text]
[Type text]
54
Lampiran 7. Laju pertumbuhan harian (LPH) rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty tanpa dan dengan perendaman air tawar selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu
Ulangan
1 2 3 Rata-rata Std
Laju pertumbuhan harian (%) Perendaman Air Tawar Tanpa Perendaman Air Tawar (Kontrol) Minggu keMinggu ke1 2 3 4 1 2 3 4 0,87 1,27 1,59 2,43 0,53 1,05 1,28 1,49 0,82 1,31 1,69 2,58 0,38 0,74 1,12 1,53 0,97 1,41 1,47 2,52 0,55 0,45 1,21 1,69 0,89 1,33 1,58 2,51 0,49 0,74 1,20 1,57 0.08 0.07 0.11 0.08 0.09 0.30 0.08 0.11
Lampiran 8. Jumlah rumpun rumput laut di akhir budidaya dan sintasan kelangsungan hidup K. alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Jumlah rumpun
Ulangan
Ulangan
1 2 3 Total
Tanpa air tawar awal akhir 60 56 60 57 60 57 180 170
Dengan air tawar awal akhir 60 54 60 58 60 56 180 168
1 2 3 Rata-rata
Sintasan Kelangsungan hidup (%) Tanpa air Dengan tawar air tawar 93,3 95 95 94,4
90 96,7 93,3 93,3
Sintasan Kelangsungan Hidup = Jumlah talus akhir pemeliharaan X 100% Jumlah talus awal pemeliharaan
[Type text]
[Type text]
55
Lampiran 9. Tabel sidik ragam parameter pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Tabel sidik ragam biomassa K. alvarezii antar perlakuan kontrol dan air tawar t-Test: Paired Two Sample for Means
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 7,146 0,013863 3 -0,933147616 0 2 13,77055874 0,002616062 2,91998558 0,005232124 4,30265273
Variable 2 8,853333333 0,010133333 3
Tabel sidik ragam bobot rata-rata K. alvarezii antar perlakuan kontrol dan air tawar t-Test: Paired Two Sample for Means
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
[Type text]
Variable 1 126,1111111 4,592592593 3 -0.968300631 0 2 -9.798090494 0,005128205 2,91998558 0,01025641 4,30265273
Variable 2 147,5555556 2,814814815 3
[Type text]
56
Lampiran 9. Lanjutan tabel sidik ragam parameter pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Tabel sidik ragam laju pertumbuhan harian K. alvarezii perlakuan kontrol dan air tawar t-Test: Paired Two Sample for Means
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference Df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 1,57 0,0112 3 0,300375705
Variable 2 2,51 0,0057 3
0 2 -14,80116145 0,002266821 2,91998558 0,004533641 4,30265273
Tabel sidik ragam diameter K. alvarezii antar perlakuan kontrol dan air tawar t-Test: Paired Two Sample for Means
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference Df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 1,405666667 0,006464222 4 -0,992538195
Variable 2 1,459 0,007128667 4
0 3 -0,648334089 0,281484838 2,353363435 0,562969676 3,182446305
Keterangan : Jika P < 0,05 maka perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata
[Type text]
[Type text]
57
Lampiran 10. Arah angin harian di lokasi budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Tanggal Arah angin Derajat 28/10/2009 Timur laut 80 29/10/2009 Timur laut 80 30/10/2009 Timur laut 80 31/10/2009 Timur 90 1/11/2009 Timur 90 2/11/2009 Timur 90 3/11/2009 Timur 90 4/11/2009 Timur 90 5/11/2009 Timur 90 9/11/2009 Timur 90 10/11/2009 Barat daya 120 11/11/2009 Barat daya 120 12/11/2009 Barat daya 120 14/11/2009 Barat daya 120 15/11/2009 Barat daya 120 17/11/2009 Barat daya 120 19/11/2009 Barat daya 120 22/11/2009 Barat daya 120 23/11/2009 Barat daya 120 Keterangan : Arah diukur menggunakan kompas
Lampiran 11. Keadaan cuaca pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Tanggal 28/10/2009 29/10/2009 30/10/2009 31/10/2009 1/11/2009 2/11/2009 3/11/2009 4/11/2009 5/11/2009 9/11/2009 10/11/2009 11/11/2009 12/11/2009 13/11/2009 14/11/2009 15/11/2009 16/11/2009 17/11/2009 18/11/2009 19/11/2009 20/11/2009 21/11/2009 22/11/2009 23/11/2009
[Type text]
Kondisi Cuaca Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah Hujan Hujan Hujan Cerah Cerah Hujan Hujan Mendung Hujan Cerah Mendung Mendung Hujan Hujan Cerah Mendung Cerah Hujan Cerah
Keterangan Terik Terik Terik Berawan Terik, Berawan Deras Deras Rintik-rintik Terik, Berawan Berawan Deras Rintik-rintik Berawan Deras Terik, berawan Berawan Berawan, angin kencang Rintik-rintik Deras Teduh Berawan Terik, berawan Rintik-rintik Teduh
[Type text]
58
Lampiran 12. Parameter uji, metode, jenis alat dan waktu pengukuran parameter fisika-kimia perairan pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu Parameter Uji
Tempat Uji
Jenis Alat
Satuan
Waktu Pengukuran
Suhu permukaan Kedalaman Kecepatan arus permukaan Arah angin pH
Insitu Insitu Insitu
Termometer Meteran Floating droudge
0
C M m/s
Per minggu Per minggu Per minggu
Insitu Laboratorium
Kompas pH-meter
0
Salinitas Disolvedoxygen
Insitu Insitu
Refraktometer Titrasi
ppt ppm
Amonia (NH3)
Laboratorium
Spektrofotometer
mg/l
Nitrit-Nitrogen
Laboratorium
Spektrofotometer
mg/l
Nitrat-Nitrogen
Laboratorium
Spektrofotometer
mg/l
Fosfat
Laboratorium
Spektrofotometer
mg/l
Sulfat
Laboratorium
Spektrofotometer
mg/l
Per hari Awal,tengah, akhir pemeliharaan Per minggu Awal,tengah, akhir pemeliharaan Awal,tengah, akhir pemeliharaan Awal,tengah, akhir pemeliharaan Awal,tengah, akhir pemeliharaan Awal,tengah, akhir pemeliharaan Awal,tengah, akhir pemeliharaan
[Type text]
[Type text]
59
Lampiran 13. Prosedur analisa sampel air pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii selama November di perairan Semak Daun Kepulauan Seribu 1. TAN NH3 -
Distilasi dari 50 ml ke 25 ml
-
Tambahkan MnSO4 1 tetes
-
Tambahkan Clorox 0,5 ml
-
Tambahkan Phenat 0,6 ml
-
Diamkan ± 15 menit
-
Spectrofotometer (panjang gelombang 630 nm)
2. Nitrat -
Sampel 5 ml
-
Tambahkan Brusin untuk NO3 0,5 ml
-
Tambahkan H2SO4 pekat 5 ml
-
Diamkan ± 15 menit
-
Spektrofotometer (panjang gelombang 410 nm)
3. Nitrit -
Sampel 25 ml
-
Tambahkan Sulfamilamid 5 tetes
-
Spektrofotometer (panjang gelombang 543 nm)
4. Sulfat -
Sampel 25 ml
-
Tambahkan Barium Chloride 1 sendok sudip
-
Spektrofotometer (panjang gelombang 420 nm)
5. PO4 -
Ambil sampel 25 ml
-
Masukkan Ammonium molybdate 0,5 ml
-
Teteskan SnCl2 5 tetes
-
Spectrofotometer
[Type text]