PENYAKIT INFEKSI PADA BUDIDAYA IKAN LAUT DI INDONESIA ROMI NOVRIADI, S.Pd.Kim, M.Sc SRI AGUSTATIK, S.Pi, M.Si HENDRIANTO, S.Pi drh. R. PRAMUANGGIT Ir. ARIK HARIWIBOWO, M.Si
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
DIREKTORAT KESEHATAN IKAN DAN LINGKUNGAN 2014
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Pelaksanaan pembangunan sektor budidaya ikan laut pada dasarnya dapat dilakukan dengan cepat, efektif dan menguntungkan karena memiliki berbagai kekuatan, peluang dan akses pasar yang cukup luas. Secara fisik, Kusumastanto (2003), menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang melimpah untuk pembangunan industri perikanan budidaya. Potensi tersebut meliputi wilayah perairan nasional seluas 3,1 juta km2, luas Zona Ekonomi Eksklusif sekitar 2.8 juta km2, panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan memiliki jumlah pulau sebanyak 17.499 buah yang dapat digunakan untuk penguatan kapasitas produksi budidaya ikan laut. Berdasarkan data statistik KKP (2009), pemanfaatan potensi budidaya laut masih berkisar 0,3% dengan 12,502,396 Ha lahan potensi yang masih dapat dikembangkan. Kenaikan rata-rata produksi budidaya ikan laut dalam kurun waktu 2009-2010 juga meningkat sekitar 20% dengan nilai produksi mencapai 10,3 Triliun (KKP, 2009). Kondisi ini menunjukkan bahwa peluang investasi dan pengembangan industri budidaya ikan laut di Indonesia cukup menjanjikan. Pembangunan budidaya ikan laut menjadi sangat penting karena selain didukung oleh data potensi juga didasari oleh fakta bahwa kondisi sumberdaya perikanan Indonesia khususnya perikanan tangkap, telah mengalami over fishing pada beberapa daerah yang berakibat kepada adanya tren penurunan jumlah produksi. Untuk memperkuat kapasitas dan mempercepat proses peningkatan produksi, telah dilakukan program revitalisasi perikanan budidaya melalui kegiatan pengembangan kawasan minapolitan, komoditas unggulan dan penguatan modal yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing melalui pemberdayaan usaha budidaya kepada masyarakat dan perbaikan mutu hasil perikanan budidaya. Seluruh program ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dan sinergi terhadap produktivitas sektor perikanan budidaya sehingga kebutuhan pangan (food security) khususnya bagi masyarakat Indonesia dapat terpenuhi. 1.2
Penyakit Infeksi sebagai salah satu penghambat utama dalam budidaya ikan laut
Salah satu hambatan utama dalam keberlanjutan produksi budidaya adalah kematian yang diakibatkan oleh infeksi mikroorganisme patogen. Kondisi ini berkorelasi positif dengan semakin intensifnya sistem budidaya yang dikembangkan (Cao et al., 2007). Secara global, potensi kerugian ekonomi akibat wabah penyakit yang ditimbulkan oleh infeksi mikroorganisme patogen cukup signifikan dan berdampak kepada jumlah produksi, keuntungan dan keberlanjutan sistem budidaya. Kerugian ekonomi pada industri budidaya akibat wabah penyakit diperkirakan mencapai US$ 9 miliar per tahun (Subasinghe et al., 2001) dan berdampak kepada penurunan jumlah produksi ikan budidaya di seluruh dunia (Hill, 2005). Di Indonesia, Zafran et al., (1997) menyatakan bahwa infeksi oleh parasit Benedenia, Neobedenia, Diplectanum, Pseudorhabdosynochus, Haliotrema, Trichodina, Lepeophtheirus, dan Cryptocaryon irritans telah menjadi wabah umum pada ikan Kerapu. Sementara, infeksi yang disebabkan oleh iridovirus (Fris Johnny dan Des Roza, 2009) dan Nervous Necrosis Virus (NNV) (Sukadi, 2004) telah menjadi hambatan tersendiri bagi peningkatan jumlah produksi. Kondisi ini membuktikan bahwa masalah penyakit dalam perkembangan budidaya ikan laut memerlukan perhatian yang sangat serius.
Secara umum, jenis penyakit pada budidaya ikan laut dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yakni penyakit infeksius dan non-infeksius (Subasinghe, 2009). Penyakit infeksius disebabkan oleh organisme patogen dan mampu menyebar melalui pergerakan inang yang telah terinfeksi. Secara rinci, kelompok penyakit ini dapat dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu penyakit parasitik, bakterial, viral dan mikotik. Sementara penyakit non-infeksius umumnya disebabkan oleh kondisi lingkungan, defisiensi nutrient, genetik, pengelolaan aktivitas budidaya yang buruk dan kontaminasi dari senyawa yang bersifat toksik. Disamping hal tersebut, organisme yang ada di lingkungan budidaya dan digolongkan sebagai “hama” pada kegiatan budidaya ikan laut juga dapat digolongkan sebagai penyebab penyakit non-infeksius. Perhatian terhadap masalah penyakit ikan semakin meningkat sejalan dengan perubahan pola sistem budidaya yang menuju kearah intensifikasi. Informasi mengenai jenis, sumber dan siklus hidup penyakit yang sering menyerang ikan laut selain sangat membantu dalam upaya pengobatan juga bermanfaat dalam menentukan tindakan pencegahan yang harus dilakukan oleh para pembudidaya ikan untuk mencegah timbulnya wabah penyakit (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Namun, informasi mengenai penyakit ikan laut secara ilmiah di Indonesia masih sangat terbatas dan hanya terdokumentasi secara parsial dalam laporan penelitian, jurnal, maupun bukubuku hasil kegiatan pemantauan penyakit ikan dan lingkungan. Menurut Mangunsuwiryo (1990), kurangnya informasi ini utamanya disebabkan oleh berbagai keterbatasan seperti kekurangan pakar mengenai penyakit ikan, fasilitas laboratorium, dan penyebaran informasi penyakit ke tingkat petambak/petani ikan. Hal ini menyebabkan informasi mengenai permasalahan penyakit secara lengkap dan terkini sulit diperoleh baik oleh masyarakat petani ikan, praktisi perikanan, dinas/lembaga terkait maupun para peneliti. Terbatasnya penyebaran informasi mengenai penyakit ikan ke tingkat petambak/petani ikan atau bahkan ke para pelaku bisnis ataupun praktisi bidang perikanan menyebabkan kesulitan dalam melakukan tindakan penanggulangan maupun cara pengobatan atau terapinya. Adanya informasi yang cepat dan lengkap mengenai cara mengendalikan penyakit ikan sangat bermanfaat dalam upaya pengembangan penanggulangan penyakit ikan di Indonesia. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah dengan menyusun Buku yang fokus kepada pembahasan jenis-jenis penyakit infeksius pada budidaya ikan laut di Indonesia yang meliputi jenis penyakit, agen penyebab penyakit, pemicu infeksi, gejala klinis dan disertai dengan tindakan pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi dampak akibat serangan penyakit infeksius tersebut. Buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi bagi para pembudidaya, pengambil kebijakan dan akdemisi yang ingin mengetahui sebaran penyakit pada ikan laut di Indonesia. Akhirnya, penyusunan buku ini diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya pelaksanaan prinsip pencegahan sebagai komponen utama dalam kegiatan industri budidaya ikan laut dan menggantikan prinsip pengobatan yang terbukti tidak terlalu efektif dalam mengendalikan penyakit pada ikan budidaya.
BAB II JENIS-JENIS PENYAKIT PADA BUDIDAYA IKAN LAUT Sakit pada ikan yaitu suatu keadaan abnormal yang ditandai dengan penurunan kemampuan ikan secara gradual dalam mempertahankan fungsi-fungsi fisiologik normal. Pada keadaan tersebut ikan dalam keadaan tidak seimbang dari sisi fisiologis dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan (Irianto, 2005). Sakit pada ikan umumnya timbul akibat interaksi dari 3 faktor, yakni inang, patogen dan lingkungan. Walaupun keberadaan patogen terdeteksi di media pemeliharaan, wabah penyakit tidak akan timbul kecuali kualitas lingkungan terdegradasi dan menjadi salah satu faktor stress bagi ikan (Gambar 1).
Gambar 1. Timbulnya penyakit akibat interaksi antara inang, patogen dan lingkungan
Menurut Usman (2007) faktor biotik yang dimaksud yang merugikan ikan di dalam ekosistem dapat dibagi atas tiga kelompok besar yakni: 1) Parasit, yaitu organisme yang hidup dan memperoleh makanan dari host (inang) yang ditumpanginya. Kedalam golongan ini termasuk bakteri, protozoa, virus, crustacea (udang renik), cacing dan jamur. 2) Hama, yaitu organisme yang mengganggu atau merusak ikan secara fisik contohnya Tryonix sp (bulus), Egretta sp (burung kuntul), ular air (Cerberus rhyncops) dan lain-lain. 3) Predator, yakni hewan karnifora pemangsa misalnya Varanus Salvador (biawak) 4) Kompetitor, yakni organisme yang merupakan pesaing dalam memperoleh oksigen, ruang dan makanan seperti ikan-ikan liar, belut dan lain-lain. Ditambahkan lagi oleh Usman (2007) bahwa selain faktor biotic, faktor non biotik juga dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya penyakit, antara lain: 1)
Faktor lingkungan; Diantara faktor lingkungan yang dapat merugikan kesehatan ikan ialah pH air yang terlalu tinggi atau rendah, kandungan oksigen yang rendah, temperatur yang berubah secara tiba-tiba, adanya gas beracun serta kandungan racun yang berada di dalam air yang berasal dari pestisida, pupuk, limbah pabrik , limbah rumah tangga dan lain-lain.
2) 3)
Pakan. Penyakit dapat timbul karena kualitas pakan yang diberikan tidak baik. Gizi rendah, kurang vitamin, busuk atau telalu lama disimpan serta pemberian pakan yang tidak tepat. Genetik. Penyakit genetis atau turunan dapat berupa bentuk tubuh yang tidak normal dan pertumbuhan yang lambat
Pada bab ini fokus pembahasan dilakukan pada faktor biotik, khususnya penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang bersifat infeksius pada budidaya ikan air laut di Indonesia, meliputi penyakit viral, penyakit bakterial, penyakit parasit dan penyakit yang diakibatkan oleh jamur. II.1
Penyakit Viral
Virus merupakan agensia infeksi non seluler dan hanya dapat melakukan multiplikasi dalam sel inang. Virus berukuran sangat kecil yaitu bervariasi dari 18-200 nm (Smail dan Munro, 1989), sehingga hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop electron. Untuk dapat bertahan hidup dilingkungan, virus harus mampu berpindah dari inang satu ke inang lainnya, menginfeksi dan replikasi pada inang yang sesuai. Sejumlah virus dapat berada dalam tubuh inang dalam waktu lama tanpa melakukan replikasi. Pada keadaan tersebut, genom virus dapat terintegrasi dalam kromosom inang. Dengan kondisi yang demikian, maka kehadiran virus dapat bersifat laten dan akan meledak sebagai wabah manakala ikan dalam kondisi lemah (Irianto, 2005). Beragam virus diketahui telah menginfeksi ikan air laut di Indonesia diantaranya: II.1.1 Nervous Necrosis Virus (NNV) II.1.1.1 Karakteristik Nervous Necrosis Virus (NNV) Penyakit ini dikenal juga sebagai Viral encephalopathy and retinopathy (VER), Spinning grouper diseases, Fish encephalitis atau Whirling disease (Lio-Po dan de la Pena, 2004). Penyebab penyakit ini adalah piscine nodavirus dari genus Betanodavirus dengan ukuran 25-30 nm. Piscine nodavirus terdiri atas 4 genotip: red-spotted grouper nervous necrosis virus (RGNNV), striped jack nervous necrosis virus (SJNNV), barfin flounder nervous necrosis virus (BFNNV) dan tiger puffer nervous necrosis virus (TPNNV). Penyakit ini menginfeksi seluruh tahapan perkembangan ikan, namun kematian tinggi dilaporkan terjadi pada larva dengan umur kurang dari 20 hari. II.1.1.2 Agen penyebab Piscine nodavirus dari genus Betanodavirus (25-30 nm) merupakan agen penyebab utama penyakit VNN. Penyakit ini pertama kali dilaporkan keberadaannya pada ikan Japanese parrotfish (Oplegnathus fasciatus) pada saat terjadi wabah pada tahun 1985-1987 (Yoshikoshi and Inoue, 1990) dan saat ini keberadaan VNN telah teridentifikasi di hampir seluruh lingkungan untuk pengembangan budidaya ikan laut di wilayah tropis, utamanya pada fase benih (Leong T.S and A. Colorni, 2002).
II.1.1.3 Pemicu infeksi. Suhu memainkan peranan penting dalam proses replikasi dan peningkatan sifat patogenitas dari Piscine nodavirus. Sebagai contoh: RGNNV yang diisolasi dari ikan kerapu menghasilkan efek cytopathic pada sel GF-1 pada suhu 24-320 C tetapi tidak pada suhu 200 C atau 370 C. Pada larva yang diuji tantang dengan RGNNV pada suhu 280C, kematian mencapai 100% pada 50-80 jam setelah inokulasi. Pada uji coba yang dilakukan di benih ikan kerapu E. akaara, RGNNV menyebabkan kematian hingga 100% pada suhu 24-280C, namun pada suhu 16 dan 200C, mortalitas berkurang hingga 57-61% dan munculnya perilaku berenang yang tidak normal dan kematian pada ikan dapat ditunda (Lio-PO dan De la Pena, 2004). Virus ini dapat ditularkan dari ikan sakit ke ikan sehat dalam kurun waktu 4 hari setelah terjadi kontak. Nodavirus dapat dideteksi pada ikan yang tidak menunjukkan adanya perilaku terkena infeksi, oleh karena itu, Induk ikan yang terinfeksi dapat menjadi wadah dan sumber penularan virus ke larva yang dihasilkan. II.1.1.4 Gejala klinis Gejala klinis umum pada beberapa jenis ikan yang terinfeksi NNV menunjukkan perilaku berenang ikan yang tidak beraturan, beberapa ikan tenggelam ke dasar bak dan kemudian mengapung lagi di permukaan. Induk dan benih ikan yang terinfeksi menunjukkan adanya pembengkakan gelembung renang (Gambar 1), letargik (sekarat, dengan gerakan lemah), warna tubuh terlihat lebih gelap dan hilang nafsu makan. Ikan yang terinfeksi NNV umumnya memperlihatkan keadaan gangguan saraf yang berhubungan dengan vakuolisasi (kerusakan) kuat sistem saraf pusat dan retina (Thierry et al., 2006).
Gambar 1. Induk ikan kerapu Epinephelus coioides dengan perut bengkak yang dikaitkan dengan infeksi VNN (Sumber: Lio-Po dan de la Pena, 2004) Virus ini dapat ditularkan dari ikan yang terinfeksi ke ikan yang sehat dalam waktu 4 hari kontak di media pemeliharaan. Nodavirus sebagai agen penyebab NNV dapat dideteksi pada ikan tanpa gejala klinis. Ikan tersebut dapat menjadi wadah virus dan dapat berperan menjadi sumber virus bagi larva mereka.
II.1.2 Iridovirus II.1.2.1 Karakteristik Iridovirus Iridovirus merupakan famili virus yang memiliki ukuran 130-300 nm, materi genetiknya berupa DNA dan dengan kapsid berbentuk ikosahedral (berisi 20). Iridovirus dijumpai pada beragam spesies ikan laut dan dapat ditemukan di limpa dan jaringan intestinal ikan yang sakit atau sekarat dengan tanda-tanda penyakit sistemik. Tingkat mortalitas ikan yang terinfeksi mulai dari rendah (0,5 – 10%) hingga sedang (50%) dan umumnya dapat menyebabkan kematian dalam kurun waktu 24-48 jam setelah munculnya gejala-gejala infeksi. Infeksi iridovirus pada budidaya ikan laut telah diidentifikasi memiliki variasi yang dapat digolongkan menjadi: Red Seabream Iridovirus Disease (RSIVD), Sleepy Grouper Disease (SGD) dan Grouper Iridovirus Disease (GIVD). Secara keseluruhan infeksi iridovirus ini dapat mengakibatkan infeksi yang sistemik pada ikan. Dikarenakan hubungan antara ketiga jenis Iridovirus ini tidak begitu jelas, makan penyakit Iridovirus tersebut diatas disajikan secara terpisah.
Red Seabream Iridovirus Disease (RSIVD) Penyakit ini merupakan infeksi iridovirus yang telah dikaji secara luas. Jenis virus ini sering ditemukan pada budidaya ikan Red Seabream di Jepang. Selanjutnya virus ini telah dilaporkan menginfeksi banyak jenis ikan Kerapu, seperti: Epinephelus akaara, E. malabaricus, E. coioides, E. awoara dan E. fuscoguttaus baik di Jepang, Taiwan, Thailand, Malaysia hingga ke Indonesia. Penyebab penyakit ini adalah Red Seabream Iridovirus Disease (RSIVD) yang memiliki ukran 130 – 196 nm. Umumnya menginfeksi ikan Kerapu atau ikan laut lainnya yang memiliki usia pertumbuhan kurang dari 1 tahun. Ikan yang terinfeksi oleh Red Seabream Iridovirus Disease (RSIVD) akan mengalami penurunan nafsu makan dan kematian terjadi pada 8 – 10 hari setelah ikan terpapar oleh virus.
Sleepy Grouper Disease (SGD) Agen penyebab penyakit ini memiliki ukuran 130 – 160 nm. Penyakit ini pertama kali dilaporkan terjadi pada ikan Kerapu Epinephelus tauvina ukuran 100 – 200 g dan 2 – 4 kg di Singapura dan Malaysia. Ikan yang terinfeksi akan menunjukkan gejala klinis luka yang akut, nafsu makan berkurang dan berenang baik sendirian atau mengapung di permukaan air atau tetap berada di dasar bak (Lio-Po Dan de la Pena, 2004).
Grouper Iridovirus Disease (GIVD) Agen penyebab penyakit ini adalah iridovirus dari genus Ranavirus yang memiliki ukuran 200 – 240 nm dan berbeda dari RSIVD. Ikan yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis berenang yang tidak aktif, nafsu makan berkurang, letargik dan warna ekor dan sirip cenderung menjadi gelap. Ikan yang sudah terinfeksi virus ini secara akut akan mengapung ke permukaan kemudian akhirnya tenggelam ke dasar bak dan mati
Identifikasi virus dan penyakit viral memerlukan keahlian, pelatihan dan peralatan khusus. Penyakit viral tidak dapat dikontrol dengan obat-obatan atau antibiotika karena virus menggunakan sel inangnya untuk proses reproduksi dan bertahan hidup. Dengan demikian pilihan terbaik untuk menghindari terjadinya wabah penyakit viral ini adalah dengan menghindari kondisi media pemeliharaan menjadi lebih berat dan mencegah terjadinya infeksi sekunder yang akan memperparah wabah. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan penerapan manajemen pemeliharaan yang baik antara lain dengan meningkatkan kualitas air media pemeliharaan, perbaikan kualitas pakan, pengurangan padat tebar, sanitasi lingkungan, penerapan standar karantina bagi ikan yang menunjukkan gejala terserang penyakit atau dengan memusnahkan ikan yang sudah positif terinfeksi oleh penyakit viral ini. Aplikasi vaksin juga dapat dilakukan, namun fakta bahwa ikan bersifat poikilotermal, menjadikan respon imun terhadap vaksin tidak dapat diprediksi sehingga vaksinasi harus lebih sering dilakukan. II.1.2.2 Agen penyebab Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk ke dalam family Iridoviridae dan memiliki bentuk heksagonal dengan diameter 200-240 nm (pada ikan red seabream) dan 140-160 nm (pada ikan kerapu) (Danayadol et al., 1997; Kasornchandra and Khongpradit, 1997). Infeksi virus ini dilaporkan telah menyebar di lingkungan budidaya di wilayah Asia Tenggara (T.S Leong and A. Colorni, 2002) dan menjadi salah satu penyakit dalam daftar OIE di tahun 2014. Di Indonesia, Infeksi Iridovirus pertama kali terdeteksi di lokasi budidaya kerapu di Sumatera Utara (Rukyani et al., 1993) dan kemudian menyebar di unit-unit perbenihan yang ada di Lamongan, Jawa Timur (Mahardika et al., 2002). Data terkini menunjukkan bahwa infeksi Iridovirus ini telah menyerang budidaya ikan Kerapu di Lampung, Pulau Seribu (Trobos, 2011), Batam (Romi et al, 2014) dan Ambon. II.1.2.3 Pemicu infeksi. Lingkungan yang terkontaminasi dan kualitas air yang buruk memicu peningkatan infeksi iridovirus. Hal ini utamanya disebabkan oleh kontak langsung antara insang dan saluran pencernaan ikan dengan lingkungan. Penyebaran virus antara ikan yang berada di sistem produksi yang sama akan terjadi dengan sangat cepat bila ikan tidak memiliki sistem imun yang baik dan berada dalam kondisi lemah. Namun, belum ada laporan yang menyatakan bahwa virus ini dapat menyebar secara vertikal, karena pada umumnya virus ini menyebar akibat introduksi ikan impor yang telah terinfeksi oleh Iridovirus sebelumnya atau bersifat carier terhadap Iridovirus (Lio-Po and de la Pena, 2004). II.1.2.4 Gejala Klinis Tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh ikan yang terinfeksi oleh Iridovirus diantaranya warna tubuh menjadi gelap (melanosis) dan letargik (sekarat, dengan gerakan lemah). Seringkali ikan kehilangan nafsu makan, pembengkakan abdomen, limpa membesar, saluran pencernaan memerah karena pendarahan (hemoragik) dan terdapat cairan keruh dalam rongga tubuh.
II.2
Penyakit Bakterial
Bakteri merupakan organisme yang paling umum dijumpai di lingkungan akuatik serta memiliki keragaman morfologi, ekologi dan fisiologis yang cukup tinggi. Sebahagian besar bakteri patogen pada budidaya ikan laut memiliki sel berbentuk batang pendek dan bersifat gram negatif. Penyakit yang ditimbulkan umumnya menunjukkan gejala septikemia dan borok (Irianto, 2005). Adapun sebagian bakteri lainnya bervariasi antara lain memiliki sifat gram positif dan memiliki bentuk sel kokus atau batang. Austin dan Austin (1999) mengidentifikasi 13 kelompok bakteri yang terdiri dari 51 genus, merupakan penyebab utama penyakit infeksi bakterial pada ikan. Genus bakteri tersebut antara lain: Mycobacterium, Aeromonas, Flavobacterium, Pseudomonas dan Vibrio. Pengelompokan bakteri patogen penting pada budidaya ikan laut disajikan pada Tabel 1. Agen Gram negative Listonella anguillarum (formerly Vibrio anguillarum) Vibrio ordalii Vibrio salmonicida Vibrio vulnificus Moritella viscosa (formerly Vibrio viscosus) Photobacterium damselae subsp. Piscicida (formerly Pasteurella piscicida) Pasteurella skyensis Aeromonas salmonicida subsp. salmonicida Tenacibaculum maritimum (formerly Flexibacter maritimus) Pseudomonas anguilliseptica
Penyakit
Vibriosis Vibriosis Vibriosis Vibriosis Winter ulcer Photobacteriosis (Pasteurellosis) Pasteurellosis Furunculosis Flexibacteriosis Pseudomonadiasis “Winter disease”
Gram Positif Lactococcus garvieae (formerly Enterococcus seriolicida) Streptococcus iniae
Streptococcosis or lactococcosis Streptococcosis
Streptococcus parauberis Streptococcus phocae Renibacterium salmoninarum Mycobacterium marinum Piscirickettsia salmonis
Streptococcosis Streptococcosis BKD Mycobacteriosis Piscirickettsiosis
Inang ikan laut utama
Ketersediaan vaksin
Diagnosa PCR
seabass, striped bass, eel, red seabream Salmonids Atlantic salmon, cod Eels. Seabass Atlantic salmon Seabream, seabass, sole, striped bass, yellowtail Atlantic salmon Salmonids turbot seabass, gilthead and red seabream Seabream, eel, turbot, ayu
+
+
+ + + + +
+ +
+ +
+ +
+
+
Yellowtail, eel
+
+
Yellowtail, Seabass, Barramundi Turbot Atlantic salmon Salmonids Seabass, turbot, Salmonids
+
+
+ + +
+ + + +
Tabel 1. Pengelompokan bakteri pada budidaya ikan laut (Sumber: Toranzo et al., 2005)
Agen penyebab Gram negatif Vibrionaceae Vibrio alginolyticus
Vibriosis
Greasy grouper ( Epinephelus coioides) European seabass (D. labrax) Seabream (Sparus aurata)
Listonella anguillarum
Vibriosis
Red seabream (Pagrus major) Horse mackerel (Trachurus japonicus)
Vibrio parahaemolyticus
Vibriosis
Golden snapper (Lutjanus johni) Seabream (S. aurata)
Photobacterium damsela
Pasteurellosis
Amberjack (S. dumerii) European seabass (D. labrax) Seabream (S. aurata)
Edwardsiellosis
Japanese flounder (P. olivaceus)
Saltwater myxobacteriosis
Greasy grouper (E. coioides) Asian seabass (Lates calcarifer) Mangrove snapper (L. argentimaculatus)
Streptococcosis
Greasy grouper (E. coioides) Amberjack (S. dumerii) European seabass (D. labrax) Asian seabass (Lates calcarifer)
Enterobacteriaceae Edwardsiella tarda Cytophagaceae Flexibacter maritimus
Gram positif Streptococcus sp
Penyakit
Ikan yang terinfeksi
Tabel 2. Penyakit bakteri pada budidaya ikan laut (Sumber: T.S Leong and A. colorni, 2002) Penyakit infeksi bakterial pada ikan memiliki waktu inkubasi, tingkat mortalitas dan tanda-tanda klinis yang bervariasi. Sebagian besar bakteri patogen ikan yang sudah diketahui, dapat ditumbuhkan pada media buatan di luar tubuh inang. Hal utama yang harus disediakan adalah media sintetis untuk pertumbuhan bakteri. Memang tidak ada satu teknik yang dapat digunakan secara umum untuk mengisolasi bakteri patogenik ikan, namun media pertumbuhan dasar untuk pertumbuhan bakteri laut dapat digunakan, diantaranya adalah Marine agar, TSA yang ditambah NaCl hingga 2%, BHIA atau variasi lainnya. Isolasi bakteri juga dapat dilakukan dengan menggunakan media selektif, antara lain dengan menggunakan TCBSA (Thiosulphate Citrate Bile-Salt Sucrose Agar). Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Perikanan Budidaya Laut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dan diverifikasi dengan merujuk pada tabel jenis-jenis infeksi bakteri pada budidaya ikan laut (Tabel 1 dan 2), maka berikut disajikan jenis infeksi bakteri, morfologi dan dampak yang ditimbulkan akibat infeksi bakteri dimaksud pada budidaya ikan laut.
II.2.1 Infeksi Vibrio II.2.1.1 Karakteristik Menurut Irianto (2005), Vibrio digolongkan sebagai bakteri dengan sifat gram negatif, berbentuk batang dan sebagian besar hidup di perairan laut dan payau. Secara umum, infeksi akibat Vibrio disebut sebagai Vibriosis, kadang dikenal pula sebagai Salt water furunculosis, red boil dan pike pest. Bakteri vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada budidaya ikan laut karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder. Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987). Penyakit yang disebabkan oleh vibrio juga merupakan masalah yang sangat serius dan umum menyerang ikan-ikan budidaya laut dan payau. Penularannya dapat melalui air atau kontak langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi. Gejala klinis awal dari ikan yang terinfeksi penyakit ini adalah anorexia atau hilang nafsu makan yang disertai dengan warna tubuh menghitam (Tendencia dan Lavilla-Pitogo, 2004). Ikan yang terinfeksi juga akan mengalami kehilangan keseimbangan dan menunjukkan perilaku berenang yang tidak normal. Bakteri vibrio yang menginfeksi ikan laut pada stadia juvenil selain lemah dan berwarna kehitaman, juga akan merangsang produksi lendir yang berlebihan. Pada tingkat akut, sirip punggung dan sirip ekor gripis dengan permukaan kulit menghitam seperti terbakar (Schubert, 1987). II.2.1.2 Agen Penyebab Jenis Vibrio juga sangat beragam, ada sekitar 20 spesies Vibrio yang menyerang ikan laut dan payau. Vibrio pathogen yang dianggap penting pada ikan kerapu adalah V. anguillarum, V. alginolyticus, V. parahaemolyticus dan V. marinus (Wijayati & Hamid, 1997; Murdjani, 2002), V. anguillarum, V. metchnikovi, V. vulnificus, V. fluvialis, dan V. furnisii (Kamiso et al., 2005; Istiqomah et al., 2006). Serangan Vibrio terutama di pembenihan dapat menimbulkan kematian mencapai 80-90% bahkan 100% (Murdjani, 1997; Anonim, 1999; Yuasa, 2000). Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Krovacek et al., (1987), Infeksi Vibriosis setidaknya disebabkan oleh delapan spesies, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Vibrio anguillarum (spesies yang paling umum diisolasi dari ikan laut) Vibrio alginolyticus (dilaporkan telah menginfeksi beberapa jenis ikan seperti: ikan kerapu Grouper spp dan Kakap putih Lates calcarifer Vibrio parahaemolyticus (dilaporkan telah menginfeksi Ikan Kerapu Grouper spp dan clown fish Vibrio fluvialis (dilaporkan pada ikan Kerapu bebek Cromileptes altivelis) Vibrio vulnificus (dilaporkan menyebabkan infeksi pada ikan Kerapu Epinephelus spp Vibrio damsela (dilaporkan menginfeksi ikan Kerapu Epinephelus spp) Vibrio carchariae (dilaporkan menginfeksi ikan Kerapu Epinephelus spp) Vibrio harveyi (dilaporkan menginfeksi ikan Kerapu Epinephelus spp)
Kajian lebih lanjut menunjukkan bahwa cytotoxins yang diproduksi oleh Vibrio spp mampu menembus hingga mukus dan melakukan penetrasi hingga lapisan mukus dan menyebabkan keusakan pada kulit ikan (Krovacek et al., 1987). II.2.1.3 Pemicu infeksi. Pada dasarnya Vibrio merupakan jasad oportunistik (Defoirdt et al., 2005). Berlangsungnya wabah Vibriosis dapat terjadi akibat stress lingkungan yang menjadikan kondisi ikan lemah atau diinduksi oleh adanya infeksi primer yang disebabkan oleh parasit sehingga menyebabkan kerusakan jaringan pada ikan dan menjadi situs yang menguntungkan bagi Vibrio spp untuk memulai infeksi. Infeksi Vibriosis kemungkinan besar dapat ditularkan melalui mulut (oral transmission), baik yang berasal dari pakan (rucah) ataupun lingkungan. Hal ini didukung oleh bukti bahwa Vibrio spp dapat diisolasi dari saluran pencernaan ikan yang secara klinis dinyatakan sehat (Irianto, 2005). Infeksi Vibriosis juga dapat disebabkan oleh adanya luka akibat penanganan yang kurang baik pada saat grading, handling dan transportasi. Faktor lingkungan juga dapat memicu timbulnya wabah penyakit ini seperti disebabkan oleh faktor suhu yang tinggi, variasi tekanan osmotik dan polusi yang disertai dengan partikel organik (Pedersen and Larsen, 1998). Pada keadaan tertentu, Vibrio dapat menembus dinding intestinum dan menyebabkan infeksi sistemik. Ketika terjadi wabah, populasi Vibrio dilingkungan akan meningkat pesat sehingga memperbesar kemungkinan untuk menginfeksi organism akuatik lainnya. II.2.1.4 Gejala Klinis Tanda Vibriosis adalah serupa pada banyak penyakit bakterial ikan lainnya. Gejala umumnya dimulai dengan kelesuan dan hilangnya selera makan. Penyakit Vibriosis juga ditandai dengan kulit menjadi buram (discolored), merah dan necrotic (mati), sakit seperti melepuh dapat terlihat pada permukaan tubuh, adakalanya pecah pada permukaan kulit menghasilkan luka terbuka. Bintik-bintik darah (Erythema) umum terjadi di sekitar sirip dan mulut. Ketika penyakit menjadi systemic, dapat menyebabkan exopthalmia ("pop-eye"), dan saluran usus dan dubur menjadi berdarah dan terisi dengan cairan. semua gejala ini dapat disebabkan oleh penyakit bakterial lainnya, dan bukan hanya oleh Infeksi Vibrio. (Reed P. A and Floyd R.F., 1994). Penyakit ini bersifat akut atau sub akut. Pada tingkat akut, rata-rata waktu kematian sekitar 4 hari dan dalam satu minggu dapat mencapai mortalitas hingga 90% atau lebih. Dan gejala eksternal sering tidak tampak jelas. Gejala klinis setelah dilakukan uji tantang dengan V. alginolyticus ikan terlihat kemerahan, terjadi peradangan, nekrosis dan ulser. Perlakuan dengan pemberian immunostimulan proses penyembuhan ulser lebih cepat. Total Lekosit 23,1-36,3 x106; Netrofil: 0,3-6,3%; Monosit : 25,0-27,0%; Limfosit: 58,3-67,7% dan Trombosit: 0,3-10,3%. Fagositik indek: 5,5 – 9,3. Kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan Bakterin : 75,0 %.
II.2.2 Infeksi Streptococcus II.2.2.1 Karakteristik Streptococcus adalah bakteri spheris Gram positif yang yang termasuk dalam family Streptococcaceae dengan karakteristik khas hadir berpasangan atau membentuk rantai selama pertumbuhannya. Beberapa kelompok Streptococcus adalah flora normal manusia. Streptococcus menghasilkan berbagai enzim dan substansi ekstraseluler. Streptococcus merupakan kelompok bakteri yang heterogen, dan tidak ada sistem yang dapat mengklasifikasikannya. Dua puluh spesies, termasuk Streptococcus pyogenes (Grup A), Streptococcus agalactie (Grup B), dan Enterococci (Grup D) memiliki ciri-ciri dengan kombinasi gambaran: (1) sifat pertumbuhan koloni, (2) pola hemolisis pada agar darah (α hemolisis, β hemolisis, atau tidak ada hemolisis), (3) komposisi antigenik pada substansi dinding sel grup-spesifik, dan (4) reaksi biokimia. Secara umum banyak anggota dari genus Streptococcus bersifat patogen baik kepada manusia maupun hewan dan beberapa diantaranya telah terbukti memiliki sifat zoonosis. Bila ditinjau dari sudut morfologi, bakteri Streptococcus memiliki bentuk : (1) bulat atau oval, (2) memanjang seperti rantai, (3) bersifat gram positif, (4) tidak bergerak, (5) tidak membentuk spora atau kapsul, (6) Umumnya bersifat fakultatif anaerob, tanpa endospora (7) memiliki diameter koloni berukuran 0,7-1,4 µm, (8) bersifat Non acid fast, dan (9) dapat hidup di air tawar dan air laut dengan kisaran suhu untuk pertumbuhan optimum berada ada kisaran 10-45oC. Penyakit yang juga dikenal sebagai red boil disease ini seringkali dikaitkan dengan infeksi Vibriosis dan saat pertama kali dilaporkan terjadi pada ikan Kerapu Epinephelus malabaricus dan E. bleekeri di Brunei Darussalam, Malaysia, Singapore dan Thailand (Tendencia dan Lavilla-Pitogo, 2004). Dampak yang ditimbulkan pada inang diantaranya adalah mata menonjol (Exophthalmus), terdapat bintik merah pada kulit yang semakin membesar dan akhirnya pecah, menimbulkan septikemia berat yang akut atau dalam bentuk kronik dengan serangan terbatas pada sistem saraf pusat. Septikemia kemungkinan disertai dengan hemoragik pada sirip, kulit dan permukaan serosal. Pada kondisi akut dapat membentuk borok pada permukaan tubuh yang memberi peluang kepada masuknya mikroorganisme patogen lain ke dalam tubuh ikan (Irianto, 2005). Kasus infeksi Streptococcus terutama terjadi pada sistem budidaya resirkulasi tertutup, dan kemungkinan besar terkait dengan padat tebar tinggi, malnutrisi, oksigen rendah, kehadiran parasit dan kualitas air yang buruk, khususnya terkait dengan kandungan nitrat tinggi dan fluktuasi suhu air yang ekstrim. Bakteri Streptococcus dapat dikultur di agar darah (bovine, opine atau lapine) dan tumbuh pada suhu antara 22 dan 370 C, yang akan menghasilkan koloni berwarna abu-abu dengan ukuran 1 sampai 2 mm selama periode kultur 48 jam. Strain yang bersifat patogen pada ikan laut umumnya bersifat α-hemolytic (Kusuda et al., 1976), β-hemolytic (Robinson dan Meyer, 1966), atau bersifat non-hemolytic (Plumb et al., 1974).
II.2.2.2 Agen Penyebab Klasifikasi terhadap bakteri gram positif-coccus berdasarkan kepada hibridisasi pasangan DNA dengan menggunakan rangkaian Sequencing 16S menunjukkan bahwa sedikitnya ada enam spesies berbeda dari bakteri gram positif-Coccus yang dapat digolongkan sebagai mikroorganisme patogen bagi ikan. yaitu : a) b) c) d) e) f)
Lactococcus garvieae (syn. Enterococcus seriolicida) Lactococcus piscium Streptococcus iniae (syn S. Shiloi) Streptococcus agalactiae (syn S. Difficile) Streptococcus parauberis Vagococcus salmoninarum
II.2.2.3 Pemicu Infeksi Jalur utama penyebaran penyakit ini terjadi melalui ikan yang terinfeksi, air yang terkontaminasi dan pemberian pakan rucah yang tidak baik. Meskipun penyakit ini mengakibatkan kematian pada ikan dengan ukuran kecil dari 10 gr. Ikan diatas 100 gr juga rentan terinfeksi penyakit ini. wabah dapat muncul di sepanjang tahun, namun biasanya diawali dengan stres lingkungan pada ikan, sebagai contoh, dikarenakan padat tebar yang terlalu tinggi dan perubahan pada kualitas air. Serangan bakteri ini berkaitan erat dengan pertumbuhan cepat bakteri Streptococcus di dalam saluran usus dimana cairan toksin baik extracellular maupun intraselular dihasilkan (Kusuda et al., Kimura dan Kusuda, 1979,1982). Komoditas ikan budidaya di Asia yang rentan terhadap infeksi penyakit Streptococcosis ini adalah sebagai berikut :
Nama Umum Ikan Kakap Putih Four-finger threadfin Ikan Kerapu Japanese flounder Bawal Seabream Kakap Merah Nila Yellow croaker
Nama Latin Ikan Lates calcarifer Eleutheronema tetradactylum Epinephelus spp. Paralichthys olivaceus Trachinotus spp. Rhabdosargus spp. Sparus spp. Plectorhynchus spp. Lutjanus spp. Oreochromis spp. Larimichthys polyactis
Tabel. Komoditas budidaya ikan laut yang rentan terinfeksi oleh Streptococcus sp ( Sumber : Intervet)
II.2.2.4 Gejala Klinis Pada ikan kakap putih gejala klinis ikan yang terserang penyakit Streptococcosis adalah operculum insang kemerahan, daerah sekitar anus berwarna kemerahan, adanya penimbunan cairan pada rongga perut, perdarahan pada hati, ginjal bengkak dan exophtalmia. Penyakit Streptococcosis selain sangat potensial merugikan juga merupakan penyakit yang bersifat zoonosis. Penyakit ini telah banyak mengakibatkan kerugian berupa kematian baik pada ikan kakap putih ukuran benih maupun pada ukuran konsumsi. Gejala Klinis Ikan yang terinfeksi Streptococcosis adalah sebagai berikut : − Sikap berenang yang tidak normal, ikan yang terinfeksi akan menunjukkan sifat malas berenang, memperlihatkan gerenang memutar atau seperti memiliki arah renang yang tidak beraturan. − Luka di mata, dapat bersifat Unilateral atau bilateral exophthalmia (popeye), kornea mata buram, dan mata mengalami pendarahan − Luka di Kulit, Warna kulit yang menghitam merupakan gejala klinis umum pada ikan yang terinfeksi. Pendarahan yang mungkin ada di seluruh permukaan tubuh terutama di daerah sirip dan ekor. − Septicaemia di bagian dalam, limpa dan ginjal membesar serta hati mengalami pendarahan.
Gambar . Gejala klinis umum ikan terinfeksi penyakit Streptococcosis, yakni pop eye dan badan menghitam disertai dengan pembengkakan gelembung renang. Selanjutnya Panigoro (2006) juga menyatakan gejala klinis yang tampak pada ikan nila yang terserang Streptococcus iniae adalah kumpulan cairan dalam rongga perut dan usus, mata bengkak, bercak hijau/kebiruan pada hati dan selaput hati menjadi tipis serta ginjal belakang mengalami pelebaran. Pada pembenihan ikan kakap putih kematian akibat serangan S. iniae berada pada kisaran 50-60 %. Faktor pemicu munculnya wabah penyakit tersebut diantaranya adalah kepadatan tinggi, kualitas air tidak bagus, pemberian pakan yang berlebihan dan kondisi kekebalan tubuh ikan yang rendah. Menurut Hari Maryadi (2009), Perubahan makroskopis atau patologi anatomi pada ikan Kerapu Macan yang diberi perlakuan infeksi S. iniae berupa lesi pada area injeksi, warna tubuh menjadi gelap, haemorhagi pada bagian bawah operkulum, perut bengkak, sisik rontok, gelembung renang relatif lebih besar, hati bengkak dan pucat, limpa bengkak dan empedu bengkak. Pada kelompok normal tidak terjadi perubahan. Perubahan histopatologi pada ikan Kerapu Macan yang diberi perlakuan infeksi S. iniae terjadi pada organ insang, otak, jantung, hati, ginjal, limpa dan usus. Perubahan histopatologi tersebut berupa degenerasi, nekrosis, kongesti, hemoragi, edema, dan radang.
II.2.3 Infeksi Flexibacter maritimus II.2.3.1 Karakteristik Flexibacter spp. merupakan bakteri berbentuk batang (umumnya memiliki panjang 1-3 µm dan lebar 0,5 µm) dan bersifat gram negative. Bakteri ini tidak memiliki flagella dan bergerak dengan meluncur, oleh karena itu Flexibacter spp sering juga disebut sebagai bakteri meluncur. Gejala klinis yang umum ditimbulkan antara lain terjadinya peradangan kulit disertai dengan bintikbintik putih pada sirip ekor dan selanjutnya meluas ke arah kepala. Sirip ekor dan sirip anal dapat mengalami erosi berat, dan kulit akan mengalami borok berwarna putih keruh atau kelabu. Pada umumnya, insang ikan yang terinfeksi akan mengalami kerusakan yang ditandai dengan nekrosis pada ujung distal lamellae insang dan dapat meluas ke seluruh lamellae insang. II.2.3.2 Agen Penyebab Bakteri gram negative Flexibacter maritimus (baca: Tenacibaculum maritinum), dengan bentuk batang dan memiliki panjang 1-3 µm. Bakteri ini tidak memiliki flagella dan bergerak dengan meluncur. II.2.3.3 Pemicu Infeksi Infeksi F. maritimus seringkali dipicu oleh kondisi stress yang umumnya ditimbulkan oleh suhu air yang tinggi (25-32⁰ C), padat tebar tinggi, luka dan kualitas air buruk (kandungan oksigen terlarut rendah dan konsentrasi ammonia bebas meningkat). II.2.3.4 Gejala klinis Gejala klinis yang ditunjukan oleh infeksi Flexibacter sangat mudah dikenali dan berbeda antar spesies. Namun, lokasi terjadinya luka sangat bervariasi (Bullock, et.all, 1971). Derajat penyakit, tipe, lokasi luka, dan virulensi spesifik terhadap strain dari bakteri Flexibacter yang menyebabkan infeksi tersebut (McCarthy, 1975). Perlu diperhatikan bahwa, infeksi bakteri F. maritimus dapat berasosiasi dengan infeksi bakteri lain atau dengan parasit protozoa yang termasuk didalamnya. Luka yang ditimbulkan bakteri ini memiliki pinggiran kekuningan dan putih dengan disertai inflammasi ringan. Mulut ikan yang terinfeksi ditutupi dengan material lendir yang kekuning – kuningan. Tipe luka yang sama terjadi pada eel, trout, cyprinids, dan centrarchids. Luka pada insang berwarna putih hingga coklat (Plumb, 1994). F. maritimus dapat terjadi sebagai infeksi primer tanpa menimbulkan stress signifikan kepada inang, namun infeksi bakteri ini lebih umum sebagai infeksi sekunder sebagai hasil dari kondisi lingkungan yang menimbulkan stress atau trauma. Pada kasus yang lain, penyakit ini berkembang sebagai infeksi akut seiring dengan semakin cepatnya kematian. Kondisi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan infeksi yang disebabkan oleh strain Flexibacter lainnya, seperti F. columaris. Hawke dan Thune (1992), menemukan bahwa dari 53 kasus infeksi oleh bakteri F. columnaris, 11% diantaranya menginfeksi bagian eksternal, 17% internal, dan 86% diantaranya merupakan kombinasi antara infeksi eksternal dan sistemik. Berdasarkan pengamatan, dari 53 kasus tersebut, 46 kasus merupakan infeksi campuran dengan bakteri lain.
II.2.4 Infeksi Pseudomonas II.2.4.1 Karakteristik Pseudomonas merupakan bakteri berbentuk batang pendek, motil dengan flagella polar dan bersifat gram negatif. Penyakit yang juga dikenal sebagai pseudomonad hemorrhagic septicemia ini dilaporkan pertama sekali terjadi pada budidaya ikan kerapu E. tauvina di Malaysia. II.2.4.2 Agen penyebab Infeksi ini utamanya disebabkan oleh Pseudomonas sp dan berdampak pada budidaya ikan Kerapu (Epinephelus spp) II.2.4.3 Pemicu Infeksi Pseudomonas sp menginfeksi ikan ketika inang mengalami stress akibat kondisi lingkungan seperti perubahan suhu air yang tinggi, pada tebar tinggi, kualitas air yang buruk dan asupan nutrisi yang kurang (Tendencia and Lavilla-Pitogo, 2004). II.2.4.4 Gejala klinis Ikan yang terinfeksi menunjukkan adanya luka pada permukaan tubuh dan pada kulit. Infeksi penyakit ini juga menyebabkan luka pada sirip dan ekor. Gejala klinis lainnya dari ikan yang terinfeksi Pseudomonas adalah eksophthalmia dan kerusakan pada kornea mata
II.3
Penyakit Parasit
Secara umum, parasit dapat didefinisikan sebagai organisma yang hidup pada organisme lain, yang disebut inang, dan mendapat keuntungan dari inang tersebut, sementara inang menderita kerugian. Metoda invasi parasit pada inang dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada jenis parasit. Ada jenis parasit yang menginvasi inang dengan cara kontak langsung, melalui rantai makanan, phoresis ataupun melalui penetrasi pada kulit inang. Beragam jenis parasit telah dilaporkan menjadi penyebab yang signifikan terhadap timbulnya penyakit pada budidaya ikan laut. Pada fase perbenihan dan pendederan, infeksi parasit umumnya disebabkan oleh protozoa, khususnya oleh ciliata (Cruz-Lacierda and Erazo-Pagador, 2004), sementara pada fase perbesaran infeksi parasit lebih beragam. Untuk memberikan pemahaman tentang jenis infeksi parasit pada beberapa tahapan produksi ikan laut, maka pada Tabel 3, 4 dan 5 disajikan jenis parasit, wilayah infeksi dan gejala klinis yang ditimbulkan secara komprehensif .
Tabel 3. Penyakit ikan yang disebabkan oleh parasit protozoa pada beberapa tahapan budidaya ikan laut di wilayah Asia Pasifik, Tingkat infeksi ditandai sebagai: +++ = parah; ++ = moderat; + = ringan; - = umum diamati (Sumber : Tak Seng et al., 2006)
Parasit
Nursery
Wilayah infeksi
Capsalid monogenea Benedenia spp.
Perbesaran Ikan baru KJA
+++
+++
+++
+++
+++
+++
++
++
+
+
+
+
+++
+++
+
+
+
+
Microcotylid monogenea Heterobothrium spp.
+++
+++
+
Heteraxine heterocerca
+++
+++
+
++
++
+
Bivagina sp. Choricotyle sp.
++ ++
++ ++
+ +
Sanguinicolid degenea Cruoricola lates
++
++
+
++
++
+
++
++
+
++
++
+
Insang dan permukaan tubuh
Neobenedenia spp Diplectanid monogenea Pseudorhahdosynochus spp
insang Diplectanum spp Dactylogyrid monogenea Haliotrema spp Dactylogyrus spp
Insang
Microcotyle spp.
Pearsonellum corventum Cardicola sp.
Insang
Sistem sirkulasi
Paradeontacylix spp.
Gejala klinis
Tubuh menghitam, perilaku berenang tidak normal, menggosokkan badan ke jarring, insang rusak, lethargy dan hilang nafsu makan, mata membengkak, hemoragik dan nekrosis pada permukaan tubuh Tubuh menghitam, menggosokkan badan ke jaring, insang rusak, lethargy, hilang nafsu makan, produksi mukus yang berlebihan Menggosokkan badan ke jaring, mengalami kerusakan pada sisik di bagian kepala (diatas mata), insang rusak, lethargy, hilang nafsu makan, produksi mukus yang berlebihan
Tidak menunjukkan gejala khusus kecuali Lethargy, hilang nafsu makan, insang rusak dan anemia
Tidak ada gejala visual yang jelas, ikan yang terinfeksi akan berenang ke permukaan untuk mendapatkan oksigen, pembelahan lamella insang dan hyperlasia
Tabel 4. Penyakit ikan yang disebabkan oleh plathyhelminthes pada beberapa tahapan budidaya ikan laut di wilayah Asia Pasifik. Data ini tidak menyertakan data di hatchery karna umum ditemukan. Tingkat infeksi ditandai sebagai: +++ = parah; ++ = moderat; + = ringan; - = umum diamati (Sumber : Tak Seng et al., 2006) Parasit
Wilayah infeksi
Copepoda Caligus spp (Sea lice)
Nursery
Perbesaran Ikan baru KJA
+
+
+
+
+
+
Lernanthropus latis
+
+
+
Microcotylid monogenea Rhexanella sp
++
++
+
++
++
+
+
+
+
Pseudocaligus spp
Nerocila sp. Sanguinicolid degenea Zeylanicobdella arugamensis
Insang
Insang
Permukaan tubuh
Gejala klinis
Mengalami Lethargy dipermukaan air, hemorhagik, penggerusan sisik dan kulit pada permukaan tubuh yang terinfeksi, hilang nafsu makan, insang rusak dan produksi mucus yang berlebihan, haemolysis, hyperanaemia dan hyperplasia Hilang nafsu makan, menggosokkan tubuh pada benda di sisi jaring, perilaku berenang yang tidak teratur, pergerakan operculum insang cepat, nekrosis pada kulit dan filamen insang
Tidak ada gejala visual yang jelas, ikan yang terinfeksi akan berenang ke permukaan untuk mendapatkan oksigen, pembelahan lamella insang dan hyperlasia
Tabel 5 Penyakit ikan yang disebabkan oleh parasit Crustacea dan lintah pada beberapa tahapan budidaya ikan laut di wilayah Asia Pasifik. Data ini tidak menyertakan data di hatchery karna umum ditemukan. Tingkat infeksi ditandai sebagai: +++ = parah; ++ = moderat; + = ringan; - = umum diamati (Sumber : Tak Seng et al., 2006)
Bagian ini akan sedikit mengulas parasit utama yang umum ditemukan dan dilaporkan pada budidaya ikan laut di Indonesia termasuk infeksi yang disebabkan oleh parasit protozoik, yang meliputi: Dinoflagellata, Trichodina sp, Cryptocaryon irritans dan kelompok Mikrosporidia, serta yang disebabkan oleh parasit non-protozoik, yang meliputi: Trematoda monogenea, Trematoda digenea, Nematoda, Cespoda, dan Annelida. II.3.1 Infeksi yang disebabkan oleh parasit protozoa Pada dasarnya protozoa hidup bebas dan bersifat saprofitik, dan hanya pada kondisi tertentu menjadi bersifat parasit. Protozoa dapat bersifat sebagai parasit eksternal maupun internal dan dapat menggandakan diri baik di luar maupun di dalam tubuh inangnya. Parasit protozoa utama pada budidaya ikan laut diantaranya adalah: dinoflagellata, ciliata, myxosporea dan Mikrosporidia. II.3.1.1 Dinoflagellata Dinoflagellata merupakan protozoa dengan ukuran tubuh berdiamater hingga 100 µm dan mengandung khromatofor serta satu nukleus tepi. Pada saat berenang bebas, diameter tubuhnya hanya 20 µm dan dikenal luas sebagai agensia penyakit beludru atau penyakit koral (velvet disease). Spesies Dinoflagellata yang diketahui berperan sebagai patogen oportunis pada budidaya ikan laut adalah Amyloodinium ocellatum yang menyebabkan penyakit bintik putih di permukaan tubuh dan insang. Ikan yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis diantaranya dengan sekresi lendir yang berlebihan, menempelkan tubuhnya dan memiliki perilaku berenang yang tidak normal. Ikan yang terinfeksi juga selalu berkumpul di permukaan air atau di dekat sumber aerasi, penggelapan warna tubuh dan peningkatan tingkat respirasi.
Gambar 2. Ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis dengan insang rusak yang disebabkan oleh Amyloodinium ocellatum (Gambar dari Zafran et al., 2000).
II.3.1.2 Trichodina sp Trichodina yang merupakan penyebab penyakit trikhodiniasis adalah protozoa dari kelompok ciliata yang memiliki bulu getar peritrikha dan bentuk bundar seperti cawan dengan diameter 50 µm. Bulu getar yang dimiliki terangkai pada kedua sisi sel, dan memiliki makro serta mikronukleus. Infeksi yang disebabkan oleh parasit ini sangat umum ditemukan pada budidaya ikan laut sistem intensif dan telah dilaporkan terjadi pada budidaya ikan kerapu Epinephelus bleekeri, E. tauvina, E. malabaricus, E. suillus dan Cromileptes altivelis di Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia dan Thailand (Cruz-Lacierda dan Erazo Pagador, 2004). Ikan yang terinfeksi akan menunjukkan gejala produksi mukus yang berlebihan, borok pada kulit, sirip rusak dan gangguan pernafasan pada insang. Pada skala berat, dapat terjadi hyperplasia sekunder dan hipertropi epitel pada insang. Penularan infeksi penyakit ini dapat dengan mudah terjadi melalui kontak langsung dengan ikan atau melalui air yang tekontaminasi. II.3.1.3 Cryptocaryon irritans Cryptocaryon irritans merupakan penyebab penyakit Cryptocaryonosis atau dikenal juga dengan penyakit bintik putih dikarenakan keberadaan beberapa atau sejumlah titik putih atau keabu-abuan pada permukaan tubuh dan insang pada ikan yang terinfeksi. Penyakit ini disebabkan oleh ciliate yang bergerak (motile ciliates) dan telah dilaporkan menginfeksi beberapa komoditas budidaya ikan laut di Indonesia, khususnya pada budidaya ikan kerapu Epinephelus bontoides, E. coioides, E. malabaricus, E. tauvina dan Cromileptes altivelis. Gejala umum yang ditunjukkan oleh ikan yang terinfeksi oleh parasit ini diantaranya adalah hilangnya nafsu makan, hemorhagi pada permukaan tubuh, mata exophthalmia dan perilaku berenang yang tidak normal. Ikan yang terinfeksi berat menunjukkan tingkat respirasi yang cepat, memproduksi mukus yang berlebihan dan menggosokkan badannya ke objek. Erosi pada kulit akan menghasilkan luka yang sangat rentan terhadap terjadinya infeksi sekunder (Cruz-Lacierda dan Erazo-Pagador, 2004). II.3.1.4 Mikrosporidia Parasit-parasit dari kelompok Mikrosporidia memiliki ciri khas yaitu membentuk kista pada berbagai organ inang. Kista yang terbentuk mengandung spora-spora kecil yang berukuran 1 – 2 µm. Diantara kelompok Mikrosporidia, yang termasuk kedalam parasit ikan dan mengancam keberlanjutan produksi budidaya ikan laut adalah Glugea sp yang dapat menyebabkan hipertrofi (hypertrophy) dan Pleistophora sp yang tidak menyebabkan hipertrofi. Parasit Glugea sp umumnya menginfeksi makrofag dan jaringan mesenkim dan selanjutnya menyebabkan hipertrofi dan berakibat pada deformitas organ-organ dalam seperti: hati, saluran pencernaan dan ovarium. Sementara Pleistophora hyphessobryconis umum ditemukan pada ikan hias dengan cara menginfeksi sarkoplasma serabut-serabut otot sehingga menyebabkan serabutserabut tersebut terisi oleh kista Pleistophora. Pada infeksi tersebut tidak terjadi hipertrofi atau reaksi inflamasi di sekitar kista (Irianto, 2005)
II.3.1 Infeksi yang disebabkan oleh parasit non-protozoa Agensia parasit non-protozoik meliputi beragam hewan antara lain dari fila Platyhelminthes, Aschelminthes, Acanthocephala, Annelida dan Arthropoda. Parasit pada golongan non-protozoa ini sangat beragam dari sisi morfologi, sifat, inang yang diinfeksi dan organ atau jaringan yang menjadi sasaran infeksi. Untuk ikan yang hidup bebas di alam, infeksi parasit non-protozoik umumnya bersifat laten atau kronis. Sementara pada ikan budidaya, walaupun akibat yang ditimbulkan sama, namun karena kondisi lingkungan pemeliharaan yang dilakukan dengan tingkat kepadatan tinggi menyebabkan parasit ini dapat lebih mudah menyebar ke seluruh populasi ikan sehingga pada akhirnya akan memungkinkan populasi mengalami infeksi sekunder baik yang disebabkan oleh bakteri, fungi maupun virus. Pada bagian ini akan dibahas parasit non-protozoa yang umum ditemukan pada budidaya ikan laut di Indonesia, diantaranya: infeksi Benedenia, Neobenedenia, Diplectanum dan Haliotrema untuk kelompok Trematoda monogenea (Jhonny et al., 2002), Caligus spp dan Rhexanella sp untuk golongan crustacean dan Microcotylid monogenea (Novriadi et al, 2014) dan Lintah (leeches, Hirudinea) dari golongan Annelida (Novriadi et al., 2014) II.3.2.1 Trematoda monogenea Trematoda monogenea merupakan parasit yang biasa disebut dengan cacing pipih. Monogenea umumnya menginfeksi insang, kulit dan sirip ikan dengan beberapa spesies diantaranya bahkan dapat menginfeksi rektum, uretra, rongga tubuh bahkan saluran pembuluh darah (Irianto, 2005). Sebagian besar Trematoda monogenea bergerak dipermukaan tubuh inang dan memakan remah-remah bahan organik pada mukus kulit dan insang. Bagian anterior monogenea yang dilengkapi dengan kait memungkinkan parasit ini melekat pada inang sambil mengambil makanan dari tubuh inang. Tanda-tanda klinis yang ditimbulkan oleh infeksi parasit ini yaitu ikan menjadi letargik, berenang dekat permukaan air, bersembunyi pada salah satu sudut kolam pemeliharaan dan kehilangan nafsu makan. Kulit ikan yang terinfeksi oleh golongan Trematoda monogenea akan mengalami rontok sisik, luka dan mengeluarkan cairan kemerahan. Kondisi ini membuat ikan yang terinfeksi menjadi rentan terhadap infeksi sekunder oleh bakteri dan fungi. Infestasi berat akan menyebabkan gangguan pernafasan, insang bengkak dan pucat, laju pernafasan meningkat dan menjadi sensitif terhadap kandungan oksigen terlarut yang rendah. Dengan kondisi demikian, seringkali terlihat bahwa ikan yang terinfeksi akan muncul di permukaan air untuk mendapatkan oksigen, terutama pada ikan yang telah terinfeksi berat oleh parasit ini.
Diplectanum
Parasit Diplectanum merupakan parasit Trematoda monogenea yang dapat menyebabkan tingkat kematian serius dan sering ditemukan pada budidaya ikan laut. Parasit Diplectanum mempunyai kekhasan yang membedakannya dari spesies lain dalam Ordo Dactylogyridea yaitu mempunyai squamodisc (satu di ventral dan satu di dorsal), dan sepasang jangkar yang terletak berjauhan (Zafran et al., 1997). Parasit Diplectanum adalah parasit yang hidup pada insang ikan. Ikan laut yang terinfeksi oleh Diplectanum akan memeperlihatkan laju pernafasan yang lebih cepat dengan tutup insang yang selalu terbuka. Infeksi Diplectanum mempunyai hubungan erat dengan penyakit sistemik seperti vibriosis. Insang yang terinfeksi biasanya berwarna pucat dan produksi lendirnya berlebihan (Chong & Chao, 1986). Ikan yang
terinfeksi oleh parasit ini memperlihatkan gejala klinis, diantaranya adalah menurunnya nafsu makan, tingkah laku berenang yang abnormal pada permukaan air dan warna tubuh berubah menjadi pucat.
Gambar 3. Parasit Diplectanum (Foto: Balai Perikanan Budidaya Laut Batam)
Benedenia
Parasit Benedenia merupakan parasit umum yang menginfeksi komoditas budidaya ikan laut baik pada tahapan pendederan, perbesaran hingga pada tahapan calon induk dan induk. Parasit ini dapat menempel pada mata, permukaan tubuh dan insang ikan (Cruz-Lacierda dan Erazo-Pagador, 2004) sehingga menyebabkan ikan yang terinfeksi selalu terlihat menggosokgosokkan badannya kepada objek sekitar dan berkumpul di dekat sumber aerasi dengan perilaku berenang yang tidak teratur. Parasit ini dapat menyebabkan kebutaan bila menempel pada mata dan luka pada kulit yang menyebabkan ikan rentan terhadap infeksi sekunder.
Gambar 4. Parasit Benedenia spp yang diambil dari permukaan tubuh ikan kerapu, a) tahapan larva dan b) tahapan dewasa (Sumber foto: Cruz-Lacierda dan Erazo-Pagador, 2004).
Haliotrema spp
Parasit Haliotrema spp atau sering disebut cacing insang, merupakan parasit yang cukup berbahaya dan sering ditemukan pada budidaya ikan laut. Seperti parasit Diplectanum, parasit ini juga diidentifikasi dari preparat segar insang secara mikroskopis menggunakan mikroskop. Parasit ini dapat diidentifikasikan berdasarkan bentuk karakteristik morfologinya. Menurut laporan Zafran et al., (1998) parasit ini menjadi salah satu penyebab kematian massal pada ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis. Ikan yang terinfeksi memperlihatkan gejala klinis; menurunnya nafsu makan, tingkah laku berenang yang abnormal pada permukaan air, warna tubuh berubah menjadi pucat. Serangan berat dari parasit ini dapat merusak filamen insang dan kadang-kadang dapat menimbulkan kematian karena adanya gangguan pernafasan.
Gambar 5. Parasit Haliotrema spp (sumber foto: Tak Seng et al., 2006) II.3.2.2 Crustacea Parasit dari golongan crustacean umumnya adalah kelompok copepod dan sering dijumpai pada insang, tubuh maupun sirip ikan laut. Parasit crustacea tidak membutuhkan inang perantara untuk proses penyebaran penyakit dan mengalami proses moulting beberapa kali dari satu tahapan ke tahapan yang lain sebelum melakukan metamorphosis di tubuh inang yang sesuai. Jumlah parasit crustacean yang dilaporkan keberadaannya pada budidaya ikan laut sangat sedikit dan dilaporkan pada Tabel 5. Diantara parasit Crustacea tersebut, jenis yang utama menginfeksi komoditas budidaya ikan laut adalah Caligus spp.
Gambar 5. Parasit Caligus spp. (Foto: Balai Perikanan Budidaya Laut Batam)
Parasit Crustacea Aega sp Argulus scutiformis Caligus patulus Caligus sp Ergasilus borneoensis Gnathia sp Lemathropus latis Lernaea cyprinacea Nerocila sp Jassa sp Microjassa sp Lembos sp Stenothole sp
Inang Lates calcarifer; Chanos chanos Mugil cephalus; Takifugu rubripes Chanos chanos Epinephelus sp; L. calcarifer, Lutjanus johnii Epinephelus coioides L. calcarifer; C. chanos; L. johni Lates calcarifer Chanos chanos Epinephelus coioides; L. calcarifer Lutjanus johnii Epinephelus coioides; L. calcarifer Lutjanus johnii Epinephelus coioides; L. calcarifer Lutjanus johnii Epinephelus coioides; L. calcarifer Lutjanus johnii Epinephelus coioides; L. calcarifer Lutjanus johnii
Tabel 6. Jenis-jenis parasit crustacean yang ditemukan pada budidaya ikan laut di Asia Tenggara (sumber: Woo et al., 2002) II.3.2.3 Annelida Diantara anggota annelida yang merupakan parasit bagi ikan adalah lintah (leeches, Hirudinea). Lintah dapat ditemukan baik pada ikan liar maupun budidaya. Lintah memiliki dua cakram penghisap (suckers) pada bagian anterior dan posterior. Umumnya lintah memiliki daur hidup langsung dan memiliki tingkat patogenitas yang beragam, tergantung kepada jumlah dan ukuran parasit, lama pelekatan dan hewan inangnya. Hewan inang yang terinfeksi berat akan menderita anemia kronik, ikan menjadi lemah dan memungkinkan terjadinya infeksi sekunder oleh fungi atau bakteri terutama pada daerah luka bekas pelekatan parasit. Diantara spesies lintah, Zeylanicobdella arugamensis merupakan jenis yang umum ditemukan pada budidaya ikan laut di Indonesia (Cruz-lacierda and Erazo-Pagador, 2004). Parasit berwarna coklat kehitaman ini menempel di beberapa bagian tubuh yang terinfeksi seperti di permukaan tubuh, sirip, mata, rongga pernafasan dan rongga mulut. Ikan yang terinfeksi parasit ini umumnya akan kehilangan nafsu makan, menunjukkan pergerakan yang lamban dan berenang di permukaan air.
II.4
Penyakit Mikosis
Secara umum, fungi yang merupakan kelompok organisme berfilamen dan bersifat eukaryotic heterotrofik cenderung berkembang pada lingkungan yang bersifat asam dengan pertumbuhan optimal pada pH 4 – 6. Adapun kisaran suhu untuk pertumbuhan fungi adalah 5 – 400 C, beberapa diantaranya bersifat psikrofilik yang tumbuh optimum pada suhu dibawah 50 C dan lainnya bersifat termofilik yang mampu tumbuh hingga suhu 500 C atau lebih. Fungi memiliki habitat hidup yang tersebar luas yaitu tanah, air tawar maupun air laut (Irianto, 2005). Sejumlah fungi di perairan, umumnya bersifat saprofik, dimana fungi akan menjadi masalah bila ikan mengalami stress karna faktor lingkungan yang buruk, nutrisi yang buruk dan terdapat luka pada tubuh ikan. Kondisi tersebut akan menyebabkan ikan menjadi lemah atau jaringan menjadi rusak sehingga fungi dapat menginfeksi ikan.
Gambar 6. Lesi nodul berwarna putih atau granuloma diamati pada jaringan otot Cromileptes altivelis (Foto dari Zafran et al., 1998) Berdasarkan informasi yang dipublikasikan Warintek. (2001), terdapat dua penyakit yang disebabkan oleh jamur pada budidaya ikan laut, yakni: Saprolegniasis dan Ichthyosporidosis. Infeksi Saprolegniasis disebabkan oleh fungi Saprolegni sp. Infeksi fungi ini menyebabkan perubahan warna pada kulit dan tumbuh jamur berwarna putih keabu-abuan yang makin lama akan semakin melebar dan pada akhirnya akan merusak otot ikan. Ikan yang terinfeksi sebaiknya dipisahkan dari koloni dan dimasukkan pada program karantina. Infeksi oleh fungi Saprolegnia sp ini jarang ditemukan terutama pada ikan yang memiliki sistem pertahanan tubuh kuat dan sehat. Penyakit mikosis lainnya adalah Ichthyosporidosis yang disebabkan oleh jamur Ichthyosporidium sp (Ichthyophonus sp). Jamur ini berkembang mengikis jaringan luar bagian kepala dan menyebabkan luka yang dalam yang berwarna kemerah-merahan dan dapat masuk ke dalam sampai ke bagian tengkorak kepala ikan. Kadang-kadang juga ditemukan di bawah kulit dan jaringan epitel kulit dari jaringan organ yang penting misalnya insang, usus, hati dan jantung dalam bentuk gumpalan granula. Keberadaan ichthyophoniosis di Indonesia telah dilaporkan terjadi pada budidaya ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis (Catap and Lio-Po, 2004). Fungi ini diketahui telah menginfeksi sedikitnya 80 jenis ikan teleostei baik yang hidup di air tawar, laut maupun di lingkungan payau dan juga telah dilaporkan menginfeksi ikan yang hidup baik di zona tropis maupun zona dingin.
BAB III STATUS TERKINI PENYAKIT IKAN AIR LAUT DI INDONESIA
III.1 Jenis Penyakit Data status terkini penyakit ikan air laut di Indonesia disajikan pada Tabel 7,8,9 dan 10 yang merupakan hasil pemantauan kesehatan ikan dan lingkungan yang dilakukan oleh BBPBL Lampung, BPBL Lombok, BPBL Batam dan BPBL Ambon dalam rentang tahun 2012 – 2013. Patogen Lokasi
No
1
Teluk Hurun
Bakteri
Parasit 2012
2013
2012
Virus 2013
2012
2013
Trichodina sp, Benedenia sp, Trematoda insang, Benedenia Aeromonas sp, V. vulnificus, Flexibacter sp, VNN ,Iridovirus VNN ,Iridovirus Pseudorabdosynochus sp, sp, Trichodina sp Vibrio alginolitycus V. damsela, V. carchariae Oodinium sp, Cryptocaryon sp
2
Kalianda
Trichodina sp
negatif
Pseudomonas sp, V.alginolitycus , V. vulnificus, Aeromonas sp
3
Tarahan
Cryptocaryon sp, Trematoda insang
negatif
Pseudomonas sp, Actinobacillus sp
positif (tidak diidentifikasi) VNN ,Iridovirus VNN ,Iridovirus
4
Tanjung Putus
Haliothrema sp, Trichodina sp, Amyloodinium Pseudorabdosynochus sp, sp Trichodina sp
positif (tidak diidentifikasi)
V. damsela, Pseudomonas sp, V. alginolyticus
5
Ringgung
Trematoda insang, Benedenia Pseudorabdosynochus sp sp,
V. algonolitycus
positif (tidak diidentifikasi) iridovirus
iridovirus
6
Pulau Puhawang
Trematoda insang
Pseudorabdosynochus sp
V. alginolitycus, V. parahaemolitycus
Flexibacter sp, V. vulnificus negatif
VNN
7
Pulau Tegal
Trematoda insang, Cryptocaryon sp,
Benedenia sp, Pseudorabdosynochus sp
positif (tidak diidentifikasi)
V. vulnificus
VNN ,Iridovirus VNN ,Iridovirus
8
Padang Cermin
negatif
Trematoda insang
negatif
V. vulnificus
negatif
positif (tidak diidentifikasi) VNN ,Iridovirus VNN ,Iridovirus
negatif
iridovirus
negatif
Tabel 7. Distribusi penyakit pada budidaya ikan kerapu di Teluk Lampung Tahun 2012 – 2013 (Sumber: BBPBL Lampung)
No
Lokasi
Ikan yang terinfeksi
1 Lombok timur Kerapu bebek 2 Lombok Barat Kerapu bebek
3 Lombok Utara 4 Sumbawa Barat 5 Bali 6 NTT
Patogen Bakteri
Parasit negatif Dactylogyrus sp Microsporidia
Kerapu macan
negatif
Kakap putih Bawal Bintang Clown fish Kerapu bebek Kerapu bebek Kerapu bebek Kerapu bebek
negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif
negatif Vibrio anguillarum V. parahaemolyticus Yersinia ruckerii Vibrio anguillarum V. parahaemolyticus negatif negatif Pseudomonas sp negatif negatif negatif negatif
Virus VNN, Iridovirus Iridovirus negatif negatif Iridovirus negatif Iridovirus Iridovirus negatif Iridovirus Iridovirus negatif negatif
Tabel 8. Distribusi penyakit pada budidaya ikan laut tahun 2012-2013 (Sumber: BPBL Lombok) No
Lokasi
Kota Batam 1 Tiaw Wang Kang 2 Pulau Setengah 3 Selat nenek 4 5 6 7
Ikan yang terinfeksi Kerapu Cantang Bawal Bintang Kerapu macan
Sungai Boko Selat nipah Tanjung Piayu
Kerapu macan Kerapu Cantang Kakap Putih
Tanjung Riau
Kerapu macan
Luar Batam 1 Langkat-Sumatera Utara 2 Karimun
Kerapu lumpur Bawal Bintang Kakap Putih
3
Bintan
Kerapu macan
Kakap putih
4 5
Natuna Lingga
Kerapu macan Kerapu macan
Parasit Diplectanum sp Diplectanum sp Trichodina sp Diplectanum sp Diplectanum sp Trichodina sp Trichodina sp Rhexanella sp Hirudinea Benedenia sp Caligus sp Cryptocaryon irritans Cryptocaryon irritans Trichodina sp Benedenia sp Trichodina sp Cryptocaryon irritans Haliotrema spp Caligus sp Rhexanella sp Hirudinea Haliotrema spp Caligus sp Rhexanella sp Hirudinea Benedenia sp Benedenia sp Hirudinea Rhexanella sp
Patogen Bakteri
Virus
Vibrio sp Vibrio sp negatif
VNN Iridovirus negatif
Vibrio sp Vibrio sp Vibrio sp
VNN, Iridovirus negatif negatif
Vibrio harveyi
VNN, Iridovirus
Vibrio sp
Iridovirus
Flexibacter sp Vibrio sp Vibrio sp
Iridovirus, VNN
Vibrio sp
Iridovirus
Vibrio sp Vibrio sp
VNN VNN
VNN, Iridovirus
Tabel 9. Distribusi penyakit pada budidaya ikan laut tahun 2012-2013 (Sumber: BPBL Batam)
No
Ikan yang terinfeksi
1
Kerapu bebek
2
Kerapu macan
3
Kerapu cantang
4
Clown fish
5
Bubara
6 7 8
Banggai cardinalfish Kakap putih Bawal Bintang
Parasit Benedenia sp Trichodina sp Cryptocaryon irritans Benedenia sp Trichodina sp Cryptocaryon irritans Uronema sp Haliotrema sp Cryptocaryon irritans Amyloodinium sp Trichodina sp Cryptocaryon irritans Amyloodinium sp Cryptocaryon irritans negatif negatif
Patogen Bakteri Vibrio anguillarum Vibrio alginolyticus Brooklynella sp Vibrio fluvialis Vibrio parahaemolyticus
Virus Iridovirus VNN
VNN
Vibrio alginolyticus
negatif
Vibrio parahaemolyticus
negatif
negatif
negatif
Vibrio sp negatif negatif
negatif Iridovirus Iridovirus
Tabel 10. Distribusi penyakit pada budidaya ikan laut tahun 2012-2013 (Sumber: BPBL Ambon) Hasil pemantauan menunjukkan bahwa parasit Trichodina sp, Benedenia sp, Diplectanum sp dan Cryptocaryon irritans menunjukkan insidensi dengan intensitas cukup tinggi pada budidaya ikan laut untuk komoditas ikan Kerapu (Epinephelus sp), Kakap putih (Lates calcarifer), Bawal Bintang (Trachinotus blochii) hingga ikan hias clown fish (Amphiprion sp). Sementara infestasi Haliotrema sp, Amyloodinium sp, Uronema sp, Rhexanella sp, Pseudorabdosynochus sp dan caligus sp memiliki tingkat intensitas moderat. Selain infestasi parasit, kegiatan pemantauan juga mengidentifikasi keberadaan bakteri Vibrio alginolyticus, V. parahaemolyticus, V. fluvialis, V. vulnificus, V. damsela, V. anguillarum, V. harveyi, V. charchariae, Pseudomonas, Flexibacter sp, dan Yersinia ruckeri menjadi penyebab utama penyakit infeksi bakterial pada budidaya ikan laut. Kegiatan pemantauan juga menunjukkan bahwa infeksi nodavirus sebagai agen penyebab Viral Nervous Necrosis dan iridovirus telah diketahui menginfeksi hampir semua komoditas ikan laut penting di Indonesia.
III.2 Analisis Resiko Analisis resiko didefinisikan sebagai sebuah media yang menyediakan informasi objektif, tertelusur dan menggunakan metoda yang didokumentasikan dengan baik bagi para pengambil kebijakan untuk melakukan penilaian terhadap resiko yang ditimbulkan oleh tindakan atau keadaan tertentu (MacDiarmid, 1977). Analisis resiko akan berusaha untuk menjawab pertanyaan: (1) apa penyebab sebuah masalah?; (2) bagaimana bisa terjadi permasalahan tersebut?; (3) apa konsekuensi dari permasalahan tersebut?; dan (4) apa tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi konsekuensi dari permasalahan tersebut. Penyebab dari penyakit infeksius dan faktor pemicu terjadinya penyakit infeksius tersebut telah dibahas secara lengkap di Bab II, sementara tindakan untuk pengendalian secara khusus dibahas pada Bab IV. Pada bagian ini akan coba digambarkan dampak terjadinya penyakit infeksius tersebut pada satu sistem budidaya
Analisis resiko untuk penyakit pada budidaya ikan laut selama ini tidak terlalu mendapatkan perhatian yang serius dari banyak negara produsen akuakultur dunia (BondadReantaso et al., 2005). Hal ini sangat berbeda dengan perhatian yang diberikan untuk analisis resiko pada sektor perikanan lainnya seperti: (1) Analisis resiko import (IRA /Import Risk Analysis) untuk penyakit infeksius atau patogen; (2) Hazard analysis and critical control point (HACCP) untuk keamanan pangan dan kesehatan masyarakat dan (3) Geoinformatics/ pemetaan resiko untuk bencana alam. Kondisi ini tentu saja menjadi dorongan bagi para pengambil kebijakan mengingat saat ini penyakit ikan sudah dapat dikategorikan menjadi salah satu faktor yang memiliki resiko tinggi dikarenakan frekuensi kemunculan dan tingkat penyebarannya telah berdampak kepada banyak sektor, tidak hanya dalam hal ekonomi dan dampak sosial yang ditimbulkan, tetapi juga investasi yang harus disediakan oleh para pelaku usaha budidaya untuk tindakan pengendalian penyakit dan berbagai program pengembangan lainnya. Beberapa aspek pengelolaan resiko pada sektor budidaya perikanan disajikan pada Tabel 11. Resiko / Bahaya Resiko manajemen dan operasional
Patogen/penyakit pada budidaya
Resistensi terhadap anti-mikrobial Bencana alam Keamanan pangan dan kesehatan masyarakat
Resiko/bahaya pekerjaan
Resiko lingkungan
Pengelolaan Resiko Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP)/ Best Management Practices (seperti: good governance, Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Cara Perbenihan Ikan yang Baik (CPIB), Pengelolaan obat dan pakan, Pengelolaan panen dan transportasi ikan yang baik, pengelolaan KJA sistem cluster, Asuransi perikanan Import risk analysis; strategi nasional untuk penguatan kesehatan ikan, biosekuriti, monitoring dan surveillance hama penyakit ikan, Sistem deteksi dini, Pengelolaan Kesehatan Ikan yang Baik, Vaksinasi dan tindakan prophylactic lainnya Vaksinasi, Aplikasi sistem pemeliharaan ikan yang baik dengan mengurangi pemakaian antibiotika Aquaculture Insurance, Geoinformatika HACCP, Good Management Practices [good aqua-culture practices (GAP), good hygienic practices (GHP), good manufacturing practices (GMP)], Pengendalian keamanan pangan dan Edukasi untuk konsumen Meningkatkan pemahaman para pekerja tentang resiko/bahaya dan keamanan kerja; menggunakan pakaian pelindung, menyediakan alat pertolongan pertama di tiap unit kerja, pengukuran yang tertelusur dan lainnya Kebijakan yang pro-aktif terhadap lingkungan
Tabel 11. Contoh pengelolaan resiko pada sektor budidaya perikanan (Sumber: BondadReantaso et al., 2005) Oleh karena itu, maka pada bagian ini akan dibahas analisa resiko dari keberadaan penyakit yang timbul pada budidaya ikan laut.
III.2.1 Penyakit Viral Penyakit viral pada budidaya ikan laut di wilayah Asia Tenggara telah mengalami peningkatan sejak tahun 1980-an (Nakai et al, 1995; Bondad Reantoso, 2001) dan menjadi salah satu hambatan utama dalam upaya peningkatan produksi. Tindakan pengendalian melalui pendekatan prophylactic merupakan salah satu kunci yang paling baik untuk dapat mencegah munculnya infeksi penyakit viral pada budidaya ikan laut. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 7,8, 9, dan 10 tentang distribusi penyakit diketahui bahwa Nadaviridae sebagai agen penyebab penyakit Viral Nervous Necrosis dan Iridovirus menjadi penyebab utama penyakit viral pada budidaya ikan laut di Indonesia. III.2.1.1 Viral Nervous Necrosis (VNN) Tingkat serangan VNN (Viral Nervous Necrosis) yang umumnya menyerang sistem organ syaraf mata dan otak (Yuasa et al., 2001) ini dilaporkan telah menyerang sebagian besar budidaya ikan kerapu di Indonesia dengan tingkat kematian hingga 100% (Putri et al., 2013). Bahkan Koesharyani et al. (2001) menjelaskan bahwa kematian akibat infeksi VNN ini dapat mencapai 100% pada stadia larva, namun tidak pada stadia juvenile dan fingerling (ikan muda). Data yang diterima dari BPBL Ambon menyebutkan bahwa infeksi VNN pada benih Kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dengan ukuran 5-6 cm digolongkan sebagai infeksi dengan tingkat mortalitas < 30%, sementara pemantauan yang dilakukan di BPBL Batam menunjukkan bahwa infeksi VNN pada ikan Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan Kakap putih (Lates calcarifer) pada stadia juvenile menyebabkan kematian hingga 70%. Gejala yang ditimbulkan oleh infeksi VNN ini menyebabkan ikan berputar-putar atau whirling, terjadi sleeping dead atau ikan berada di dasar seperti mati serta adanya gejala tingkah laku yang tidak wajar (Yuasa et al., 2000). II.2.1.2 Iridovirus Berdasarkan data pemantauan yang dilakukan oleh BPBL Ambon diketahui bahwa tingkat serangan infeksi Iridovirus telah menyebabkan tingkat mortalitas < 30% pada induk Kerapu bebek dan Kakap putih. Sementara pada stadia benih, infeksi Iridovirus menyebabkan tingkat mortalitas hingga 60%, khususnya untuk komoditas Bawal bintang (Trachinotus blochii) dan Kerapu bebek (C. altivelis). Menarik untuk diamati bahwa Bawal bintang saat ini cukup rentan terhadap infeksi Iridovirus. Pengamatan yang dilakukan di BPBL Batam bahkan menunjukkan bahwa infeksi Iridovirus ini telah mulai diamati keradaannya mulai dari stadia telur, larva, benih hingga perbesaran dengan tingkat mortalitas Trachinotus blochii mencapai 40 – 60%. Infeksi Iridovirus sangat menarik untuk diamati karena terdapat pola infeksi yang bersifat host specific. Hal ini terbukti dari investigasi yang dilakukan oleh tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya (P4B) di sentra produksi ikan Kerapu di Teluk Mandeh Sumatera Barat yang mengungkapkan fakta bahwa tingkat mortalitas tinggi hingga mencapai 100% hanya terjadi pada ikan Kerapu bebek (C. altivelis) sementara ikan kuwe yang juga dipelihara di Keramba tidak terinfeksi oleh Iridovirus (INFHEM, 2013).
III.2.2 Penyakit Bakterial Berdasarkan hasil pemantauan, dapat diidentifikasi bahwa infeksi Vibriosis (yang disebabkan oleh: Vibrio alginolyticus, V. parahaemolyticus, V. fluvialis, V. vulnificus, V. damsela dan V. anguillarum), Infeksi Pseudomonas, Flexibacter sp, dan Yersinia ruckeri menjadi penyebab utama penyakit bakterial pada budidaya ikan laut di Indonesia. III.2.2.1 Infeksi Vibriosis Secara umum, infeksi Vibriosis dapat menyebabkan mortalitas > 50% pada ikan budidaya. Dalam keadaan tertentu, terutama apabila padat tebarannya tinggi, seringkali menyebabkan mortalitas hingga 100 % (Irianto, 2005). Kondisi ini menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi bagi para pembudidaya ikan. Pada budidaya ikan Cobia di Jepang, wabah pertama yang terjadi akibat infeksi Vibriosis dilaporkan pada tahun 2000 (Rajan et al., 2001) dan telah menyebabkan kematian hingga 45% dari padat tebar awal III.2.2.2 Infeksi Pseudomonas Dua puluh hingga enam puluh persen tingkat mortalitas dapat diamati pada populasi ikan yang terinfeksi. Umumnya ikan yang terinfeksi memiliki gejala klinis seperti hemoragik septicemia, hemoragik pada insang dan ekor dan borok pada kulit. III.2.2.3 Infeksi Flexibacter sp. Berdasarkan data distribusi penyakit, infeksi Flexibacter sp ini ditemukan pada komoditas Kakap putih dengan tingkat mortalitas hingga 30 %. Publikasi yang dilakukan oleh Gibson-Kueh (2012) menyatakan bahwa infeksi Flexibacter spp pada ikan kakap putih yang berasosiasi dengan penyakit sistemik lainnya dapat menyebabkan tingkat mortalitas hingga lebih dari 50%. Pada ikan kerapu, tingkat mortalitas bahkan dapat mencapai hingga 80% dalam beberapa hari jika ikan tidak diobati. Bakteri ini dapat menghancurkan wilayah ekor ikan dalam waktu dua hari. III.2.2.4 Infeksi Yersinia ruckeri Berdasarkan data distribusi penyakit, infeksi Y. ruckeri ini ditemukan pada komoditas Kerapu bebek dengan tingkat mortalitas rendah (<30%). Pada sejumlah kasus ERM, selain dari timbulnya hemoragik pada jaringan otot dan permukaan serosal intestinum, juga disertai dengan keluarnya cairan kuning pada saat perut ditekan di muara pengeluaran (Irianto, 2005). Bagaimana cara Y.ruckeri masuk kedalam tubuh inang belum dapat diketahui secara detail, namun usus dianggap sebagai lokasi utama berdasarkan pada isolat Y. ruckeri yang diperoleh dari saluran pencernaan setelah infeksi yang dilakukan pada skala laboratorium dan dari kejadian wabah alami (Busch & Lingg 1975; Valtonen et al. 1992).
III.2.3 Penyakit Parasitik Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 7, 8, 9 dan 10 diketahui bahwa Trichodina sp, Benedenia sp, Diplectanum sp dan Cryptocaryon irritans menunjukkan insidensi dengan intensitas cukup tinggi pada budidaya ikan laut, khususnya untuk komoditas ikan Kerapu (Epinephelus sp), Kakap putih (Lates calcarifer), Bawal Bintang (Trachinotus blochii) hingga ikan hias clown fish (Amphiprion sp). Sementara infestasi Haliotrema sp, Amyloodinium sp, Uronema sp, Rhexanella sp, Pseudorabdosynochus sp dan caligus sp memiliki tingkat intensitas yang moderat. III.2.3.1 Infeksi Parasit Protozoa Trichodina spp dapat menyebabkan kematian yang tinggi pada ikan budidaya dimulai dari fase benih hingga tahapan induk. Kemampuan Trichodina untuk memperbanyak diri dengan cepat pada kondisi lingkungan tertentu atau ketika ikan mengalami stress akibat berbagai faktor lingkungan menyebabkan mortalitas pada ikan budidaya semakin meningkat (Smith and Noga, 1992). Data pemantauan menunjukkan bahwa infestasi Parasit Cryptocaryon irritans dapat menyebabkan mortalitas hingga > 60% utamanya pada ikan Kerapu dan clown fish. Sementara infestasi Amyloodinium sp berdampak pada tingkat kelulushidupan ikan budidaya pada fase benih dan induk dengan tingkat mortalitas mencapai 60%. III.2.3.2 Infeksi Parasit Non-Protozoa Infestasi parasit Benedenia sp sering mengakibatkan kematian pada ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan tingkat mortalitas 40 – 50% akibat keterlambatan dan ketidaksesuaian tindakan pengendalian yang dilakukan oleh pembudidaya. Kematian tinggi akibat infestasi parasit non-protozoa juga disebabkan oleh Diplectanum sp. yang dapat menyebabkan moratlitas hingga 50% bila parameter kualitas air yang berkaitan dengan konsentrasi ammonia mengalami peningkatan yang nyata (Novriadi, 2014). Berdasarkan laporan dari Agis (2009), nilai prevalensi tertinggi untuk jenis parasit yang menginfeksi benih yang diambil dari KJA perairan pulau semak daun disebabkan oleh parasit Diplectanum dengan tjumlah 53,33 %. Hal ini berarti bahwa untuk komoditas budidaya ikan kerapu, mulai dari fase benih sudah cukup rentan terinfeksi oleh parasit Diplectanum bila kondisi perairan terdegradasi dan memiliki jumlah bakteri yang cukup besar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chong & Chao (1986), yang mengatakan bahwa infeksi Diplectanum mempunyai hubungan erat dengan penyakit sistemik seperti vibriosis.
V.
Daftar Pustaka
Aldeman, D.J. dan Hastings, T.S. (1998). Antibiotic use in aquaculture: development of antibiotic resistance-potential for consumer health risks. Int. J. Food Sci. Technology (33): 139-155. Austin, B dan Austin D.A. (1999). Bacterial fish pathogens, Diseases of farm and wild fish. 3rd (revised) edition. Springer-Praxis, Goldaming. Bondad-Reantaso, M.G., Subasinghe, R.P., Arthur, J.R., Ogawa, K., Chinabut, S., Adlard, R, Tan, Z. & Shariff, M. (2005). Disease and health management in Asian aquaculture. Vet. Parasitol. 132:249-272. Busch R.A. & Lingg A.J. (1975) Establishment of an asymptotic carrier state infection of enteric redmouth disease in rainbow trout (Salmo gairdneri). Journal of the Fisheries Research Board of Canada (32): 2429-2432. Cabello, F.C. 2006. Heavy use of prophylactic antibiotics in aquaculture: a growing problem for human and animal health and for the environment. Environ Microbiol (8): 1137-1144. Cao, L., W. Wang, Y. Yang, C. Yang, Z. Yuan, S. Xiong and J. Diana. (2007). Environmental impact of aquaculture and countermeasures to aquaculture pollution in China. Environmental Science in Pollution Res 14 (7): 452 – 46 Chong, Y.C. and T.M. Chao. (1986). Common Diseases of Marine Foodfish. Fisheries Handbook No. 2. Primary Production Departement. Ministry of National Development. Republic of Singapore. 33p. Colorni, A. (1987). Biology of Cryptocaryon irritans and strategies for its control. Aquaculture (67): 236-237 Dan, X.M., X.T. Lin, Y.X Yan, N. Teng, Z.L. Tan, and A.X. Li. (2009). A technique for the preservation of Cryptocaryon irritans at low temperatures. Aquaculture (297): 112–115. Danayadol, Y., Direkbusarakom, S., Boonyaratpalin, S., Miyazaki, T. and Miyata, M. (1997). Iridovirus infection in brown-spotted grouper (Epinephelus malabaricus) cultured in Thailand. In: Flegel, T.W and MacRae, I.H. (eds) Diseases in Aquaculture III. Fish Health Section. Asian Fisheries Society. Manila. Pp.67-72 Defoirdt, T., Bossier, P., Sorgeloos, P. and Verstraete, W. (2005). The impact of mutations in the quorum sensing systems of Aeromonas hydrophila, Vibrio anguillarum and Vibrio harveyi on their virulence towards gnotobiotically cultured Artemia franciscana. Environmental Microbiology 7 (8): 1239–1247. Dickerson, H.W. (2006). Ichthyophthirius multifiliis and Cryptocaryon irritans (Phylum Ciliophora). Pages 116–153 In Woo, P.T.K., ed. Fish diseases and disorders vol.1: protozoan and metazoan disorders. 2nd ed. CAB International. Cambridge, MA. Fris Johnny dan Des Roza, (2009). Kasus infeksi irido pada benih ikan kerapu pasir, Epinephelus corralicola di hatchery. Jurnal Perikanan (J. Fish . Sci.) XI (1): 8-12 Gibson-Kueh, S. (2012). Diaseases of Asian Seabass (or Barramundi), Lates calcarifer Bloch. Ph.D Thesis. Murdoch University. Australia. Hill, B.J. (2005) The need for effective disease control in international aquaculture. Dev. Biol. (Basel) (121): 3–12. Irianto, A. (2005). Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Kasornchandra, J. and Klongpradit, R. (1997). Iolation and preliminary characterization of a pathogenic iridovirus in nursing grouper, Epinephelus malabaricus. In: Flegel, T.W and
MacRae, I.H. (eds) Diseases in Aquaculture III. Fish Health Section. Asian Fisheries Society. Manila. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2009). Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Pusat Data, Statistik dan Informasi KKP. Jakarta. Kusuda, R., Kawai, T., Toyoshima, T. dan Komatsu, I. (1976). A new pathogenic bacterium belonging to the genus Streptococcus isolated from an epizootic of cultured yellowtail. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish 42: 1345-1352 Koesharyani, I., D. Roza., K. Mahardika, F. Jhonny, Zafran, dan K. Yuasa. (2001). Penuntun Diagnosa Penyakit Ikan II. Penyakit Ikan Laut dan Krustacea di Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut Gondol-Singaraja. 49 pp. Krovacek, K., Faris, A., Ahne, W., and Mansson, I. (1987) Adhesion of Aeromonas hydrophila and Vibrio anguillarum to fish cells and to mucus-coated glass slides.FEMS Microbiol Lett (42): 85-89. Kusumastanto, T. (2003). Pemberdayaan Sumberdaya Kelautan, Perikanan dan Perhubungan Laut dalam Abad XXI. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Leong, T.S (1994). Parasites and diseases of cultured marine finfish in southeast asia. Universiti Sains Malaysia, 25 pp Leong, T.S and Colorni, A. (2002). Infectious diseases of warmwater fish in marine and brackish waters. In: Woo, P.T.K., Bruno, D.W., Lim, L.H.S. Diseases and disorders of finfish in cage culture. CABI publishing. United Kingdom. MacDiarmid, S.C. 1997. Risk analysis, international trade, and animal health. In Fundamentals of risk analysis and risk management (V. Molak, ed.). CRC Lewis Publishers, Boca Raton, 377-387. Mahardika, K., Zafran, D. Roza, F. Johnny, A. Prijono. (2002). Studi pendahuluan penggunaan vaksin iridovirus (inaktif vaksin) pada juvenile kerapu lumpur, Epinephelus coioides. Laporan Hasil Penelitian DIP 2002 Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Gondol. Mangunwiryo, H. (1990). Pengenalan Penyakit Virus pada Ikan dan Udang serta Kemungkinan Pengendaliannya. Seminar Nasional II Penyakit Ikan dan Udang Tanggal 16 – 18 Januari 1990. Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor. Hal. 1 – 9. Nakajima, K., Maeno, Y., Fukudome, M., Fukuda, Y., Tanaka, S., Matsuoka, S. and Sorimachi, M. (1995). Immunofluorescence test for the rapid diagnosis of red seabream iridovirus infection using monoclonal antibody. Fish pathology (30): 115-119. Nakajima, K., Maeno, Y., Kurita, J. and Inui, Y. (1997). Vaccination against red seabream iridoviral disease in red seabream. Fish pathology (18): 99-101 Pedersen, K., and Larsen, J.L. (1998) Characterization and typing methods for the fish pathogen Vibrio anguillarum. In Recent Research Developments in Microbiology. 2: 17-93. Plumb, J.A., Schachte, J.H., Gaines, J.L., Peltier, W., dan Carrol, B. (1974). Streptococcus sp from marine fish along the Alabama and northwest florida coast of the Gluf of Mexico. Trans. Am. Fish. Soc 103: 358 – 361. Post, G. (1987). Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp. Putri, R.R., Yanuhar, U. dan Suryanto, A.M.H. (2013). Perubahan struktur jaringan mata dan otak pada larva ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi Viral Nervous
Necrosis (VNN) dengan pemeriksaan Scanning Electron Microscope (SEM). MSPi Student Journal (1) : 1-10 Schubert, G. (1987). Fish Diseases a Complete Introduction. T.F.H. Publications Inc. USA. 125 pp. Smith, S.A. and E.J. Noga. (1992). General Parasitology. In Fish Medicine. M.K. Stoskopf, ed. W.B. Saunders Co. Philadelphia, PA. Subasinghe, R. dkk. (2001). Aquaculture development, health and wealth. In aquaculture in the third millennium. Technical proceedings of the conference on aquaculture in the third millennium (Subasinghe, R.P. et al., eds). pp. 167-191. Bangkok and FAO, NACA Subasinghe, R. (2009). Disease control in aquaculture and the responsible use of veterinary drugs and vaccines : the issues, prospects and challenges. In : Rogers C. (ed.), Basurco B. (ed.). The use of veterinary drugs and vaccines in Mediterranean aquaculture. Zaragoza : CIHEAM, 2 009 . p. 5-11 (Option s Méditerranéennes : Série A. Séminaires Méditerran éens; n . 86) Sukadi, F. (2004). Kebijakan Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan dalam Mendukung Akselerasi Pengembangan Perikanan Budidaya. Dalam: Prosiding Pengendalian Penyakit pada Ikan dan Udang Berbasis Imunisasi dan Biosecurity, Unsoed Purwokerto. Hal 1 – 7. Toranzo, A.E., Magarinos, B., Romalde, J.L. (2005). A review of the main bacterial fish diseases in mariculture systems. Aquaculture 246: 37– 61 Trobos. (2011). Vaksin ikan: digadang tapi belum dipercaya. Akses: http://www.trobos.com/2014/detail_berita.php?sid=2833&sir=12, Tanggal 12 Juli 2014. Turker, H., Yıldırım, A. B. and Karakaş, F. P. (2009). Sensitivity of Bacteria Isolated from Fish to Some Medicinal Plants. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences (9): 181186 DOI: 10.4194/trjfas.2009.0209. Valtonen E.T., Rintamäki P. & Koskivaara M. (1992) Occurence and pathogenicity of Yersinia ruckeri at fish farms in northern and central Finland: do wild fish serve as a source of infection? Journal of Fish Diseases (15): 163-171. Warintek. (2001). Pedoman teknis penanggulangan penyakit ikan budidaya laut. Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta. Woo, P.T.K., Bruno, D.W., Lim, L.H.S. (2002). Diseases and disorders of finfish in cage culture. CABI publishing. United Kingdom. pp. 203 Yuasa, K.,D. Roza, I.Koesharyani, F. Johnny, and K. Mahardika. (2000). General Remarks on Fish Disease Diagnosis. Pp. 5-18. Textbook for the Training Course on Fish Disease Diagnosis. Lolitkanta-JICA Booklet No.12. Yuasa, K., I. Koesharyani, D. Roza, F. Jhonny, and Zafran. (2001). Manual for PCR Procedure; Rapid diagnosis on Viral Nervous Necrosis (VNN) in Grouper. Lolitkanta-JICA Booklet No. 13, 35 pp Zafran, I. Koesharyani dan K. Yuasa. (1997). Parasit Pada Ikan Kerapu di Panti Benih dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. III(4):16-23.