PERAN KELUARGA BAGI ANAK AUTIS (STUDI KASUS 3 KELUARGA YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI LEMBAGA CHILD CARE CENTER) Meidyta Puspa Maulana Departmen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini membahas peran orang tua bagi anak autis dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penderita autis dapat diketahui dari terhambatnya interaksi sosial yang diikuti gangguan perkembangan komunikasi baik verbal maupun nonverbal. Untuk memperoleh kesejahteraannya, peran keluarga sangat diperlukan agar anak autis bisa mengaktualisasikan dirinya secara optimal terutama agar anak autis dapat diterima dengan baik oleh orang-orang di sekitar mereka. Dengan metode penelitian kualitatif menggunakan studi kasus terhadap 3 keluarga yang memiliki anak autis, penelitian ini memahas peran-peran yang dijalankan keluarga bagi anak autis. Didapati bahwa keluarga menjalankan peran yang cenderung berbeda dalam memenuhi kebutuhan fisik, psikologis dan sosial anak autis.
Keyword : Autis, Peran, Keluarga
Family Role for Autistic Children (Case Study: 3 Familis With Autistic Children in Child Care Center)
Abstract
This research describes parents role for Autistic Children in their dialy life. Children with Autism can be known by their distracted social interaction followed by communication disorder either verbal or non-verbal communication. Family role is something that autism children really require to be actualized optimally, especially so that they can be accepted by the people they surrounded by. By using qualitative research method with case study, this research means to explain family roles for children with Autism. From this research known that family play pretty much different roles in sustaining and providing children with autism’s Physical, Psychological and social needs.
Keyword: Autism, Family, Role
1. Pendahuluan Kesejahteraan sosial memiliki arti luas, tergantung dalam konteks mana kita membahas kesejahteraan itu sendiri. Kesejahteraan manusia sering dikaitkan dengan well-being yaitu kondisi terpenuhinya kebutuhan manusia. Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, well-being didefinisikan sebagai filosofi untuk menggambarkan apa-apa yang baik bagi manusia (Adi, 2005, h. 23). Well-being merupakan nilai dasar dalam pembahasan kesejahteraan sosial, yaitu suatu ilmu terapan yang mengkaji dan mengembangkan kerangka pemikiran serta metodologi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatan kualitas hidup (kondisi) masyarakat antara lain melalui pengelolaan masalah sosial; pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, dan pemaksimalan kesempatan anggota masyarakat untuk berkembang. (Ibid, h. 17). Charles Zastrow mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisir dengan tujuan memenuhi kebutuhan sosial, finansial, kesehatan, dan rekreasional bagi seluruh individu dalam masyarakat. Kesejahteraan sosial juga bertujuan untuk memberdayakan keberfungsian sosial seluruh kelompok manusia dari berbagai usia, baik miskin maupun kaya (Zastrow, 2010, h. 2). Menurut Undang-undang No.11 tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi tiap warga negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial dengan sebaik-baiknya bagi diri, keluarga dan masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. Untuk memperoleh kesejahteraan sosial di masa depannya, setiap individu harus diperhatikan kesejahteraannya sejak dini. Oleh karena itu muncullah pembahasan mengenai kesejahteeraan sosial anak. Definisi anak sendiri secara khusus berbeda dalam setiap negara. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Convention on the Right of the Child (CRC) menetapkan bahwa anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal (Supeno, 2010, h. 40). Sementara menurut Undang-undang No.23 tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pengertian anak juga dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata pasal 330: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Kesejahteraan anak memiliki bahasan cukup luas dan patut menjadi perhatian karena anak merupakan generasi penerus di masa mendatang yang memiliki hak yang sama untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (UndangUndang No. 23 Tahun 2002 Pasal 4). Kesejahteran sosial anak atau Child Welfare merupakan suatu tatanan yang merancang program dan kebijakan berorientasi pada perlindungan, dan perkembangan kesehatan anak yang biasanya disediakan untuk anak-anak yang rentan beserta keluarga mereka dengan tujuan untuk menguatkan dan mendukung mereka untuk keluar dari masalah emosional, behavioral, dan kesehatan yang biasa dihadapi anak (NASW Standard for Social Work Practice in Child Welfare, 2005). Meskipun telah diatur dalam undang-undang mengenai kesejahteraan anak, permasalahan mengenai kesejahteraan anak masih banyak terjadi. Sebagian dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Indonesia adalah anak, mulai dari anak balita terlantar, anak terlantar, anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, anak nakal, anak jalanan, dan anak cacat. Anak penyandang cacat merupakan salah satu contoh PMKS anak. Penyandang cacat memiliki arti setiap anak yg mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar (UU Disabilitas No.19 tahun 2011). Menurut WHO, definisi penyandang cacat dibagi dalam 3 kategori, yaitu Impairment, disability dan handicap. Impairment diartikan sebagai suatu kehilangan atau ketidak normalan baik psikologis, fisiologis, maupun kelainan struktur atau fungsi atomis. Disability diartikan sebagai suatu ketidakmampuan mlaksanakan suatu aktifitas atau kegiatan tertentu selayaknya orang normal sebagai akibat dari kondisi impairment tersebut. Handicap diartikan sebagai suatu kesukaran dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarkat, baik
di bidang sosial ekonomi maupun psikologi yang dialami seseorang yang disebabkan ketidaknormalan tersebut. (Dr. Marjuki, M.Sc, kepala Badan Pendidikandan Penelitian Kesejahteraan Sosial dalam makalah Penyandang Cacat Berdasarkan International classification of Functioning for Disability and Health, 2011). Salah satu tipe disabilitas yang terjadi pada anak adalah Autisme. Istilah autisme pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner pada 1943 untuk mendefinisikan keadaan anak-anak yang cenderung lebih menikmati kesendirian dan tidak suka orang lain masuk dalam dunianya. Ada banyak definisi yang diungkapkan para ahli. Chaplin dalam Kring 2010 menyebutkan: “Autisme merupakan cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri, dan menolak realitas, keasyikan ekstrem dengan pikiran dan fantasi sendiri”. (Kanner dalam Kring dkk, 2010, h. 451). Sedangkan menurut Santrock, Autistic Disorder adalah gangguan parah pada spektrum autisme yang dimulai pada 3 tahun pertama kehidupan dengan bentuk keterbatasan dalam hubungan sosial, komunikasi yang abnormal, serta pola perilaku yang terbatas, repetitif (sering mengulang-ulang) dan tetap (Santrock, 2009, h. 263). Autisme merupakan kombinasi dari beberapa kegagalan perkembangan, biasanya mengalami gangguan antara lain pada komunikasi, perkembangan bahasa sangat lambat atau bahkan tidak ada sama sekali. Saat anak autis menginginkan sesuatu mereka lebih sering mengutarakan melalui perbuatan, bukan melalui bahasa lisan atau dikenal dengan istilah “Seeing by Touch, Hearing by Sign” (Fleischer&Zames, 2010, h.14). Selain itu juga terlihat pada interaksi Sosial, lebih senang menyendiri dari pada bersama orang lain; menunjukkan minat yang sangat kecil untuk berteman; response terhadap isyarat sosial seperti kontak mata dan senyuman sangat minim. Gangguan Sensorik juga menjadi ciri perkembangan anak autis lainnya misalnya mempunyai sensitifitas indra (penglihatan, pendengaran, peraba, pencium dan perasa) yang sangat tinggi atau bisa pula sebaliknya. Gangguan Bermain dan perilaku adalah ciri perkembangan autis yang terakhir, anak autis umumnya kurang memiliki spontanitas dalam permainan yang bersifat imajinatif; tidak dapat mengimitasi orang lain; dan tidak mempunyai inisiatif. Dalam hal perilaku, anak autis bisa berperilaku hiperaktif ataupun hipo-pasif; marah tanpa sebab jelas; perhatian yang sangat besar pada suatu benda;
menampakkan agresi pada diri sendiri dan orang lain; mengalami kesulitan dalam perubahan rutinitas. (Sumber: www.autis.info) Kesejahteraan anak autis, maupun anak dengan disabilitas lainnya, tidak dicapai dengan sendirinya oleh mereka sendiri. Menurut Fleischer & Zames, interaksi atau relasi dalam keluarga serta peran keluarga dapat mendukung anak dengan kebutuhan khusus untuk mendapatkan kesetaraan dan kemandirian (Fleischer & Zames, 2010, h.10). Karena itulah keluarga sebagai unit sosialisasi yang paling utama, memiliki peranan penting dalam pengasuhan anak autis yang memiliki kebutuhan khusus. Keluarga dapat dianggap sebagai konstelasi subsistem, -keseluruhan yang kompleks yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan dan berinteraksi- didefinisikan dalam istilah generasi, gender dan peran dimana setiap anggota keluarga berpartisipasi dalam beberapa subsistem (Fiese&Winter dalam Santrock, 2011, h. 356). Keluarga merupakan institusi sosial yang paling berkewajiban mewujudkan keberfungsian sosial anak yang belum dapat dicapainya sendiri tersebut dan merupakan pihak yang paling berkewajiban untuk memperlakukan mereka (anak-anak) dengan baik agar mereka tumbuh dan berkembang secara wajar (Ruddick dalam Hendrick, 2005, h. 158). Keluarga yang memiliki anak autis tentunya menjalankan peran yang berbeda mengingat anak autis sejatinya memiliki kebutuhan yang berbeda dibandingkan anak pada umumnya. Terdapat hambatan-hambatan tertentu pada anak autis yang tidak ditemukan pada anak-anak lain. Atas dasar itu, penelitian ini mencoba melihat bagaimana peran yang dijalankan keluarga terhadap anak autis yang merupakan anggota dalam keluarga tersebut juga akan melihat hambatan-hambatan yang ditemui dalam interaksi tersebut. Terkait dengan permasalahan penelitian yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan peran ayah, ibu, maupun sibling untuk anak autis dalam kehidupan sehari-harinya serta untuk mengetahui hambatan-hambatan bagi keluarga dalam berinteraksi dengan anak autis yang menjadi anggota keluarga. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur tentang anak autis maupun tentang penjalanan peran anggota keluarga ketika salah satu anggotanya merupakan anak autis serta dapat menjadi referensi dalam melakukan penelitian yang lebih baik lagi di masa mendatang.
Dalam kehidupan sosial sehari-hari, penelitian ini diharapkan akan menjadi rujukan bagi setiap keluarga dalam menjalankan peran khususnya bagi keluarga yang salah satu anggotanya merupakan anak autis. Hasil penelitian ini bisa menjadi refleksi bagi setiap keluarga mengenai bagaimana mereka menjalankan peran dalam keluarga mereka selama ini, dan juga dapat menjadi acuan bagi keluarga yang memiliki anak autis untuk dapat menjalankan perannya dengan baik demi masa depan anak mereka.
2.
Metode Penelitian
Pendekatan dan jenis penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan maksud memberikan penjelasan mengenai peran yang dijalankan dalam sebuah keluarga yang salah satu anggotanya adalah anak autis. Tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami (to understand) fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji daripada memerincinya menjadi variabel-variabel yang saling terkait. Jenis penelitian ini adalah penelitian studi kasus. Studi kasus, seperti yang dirumuskan Robert K. Yin (2008, h. 18), merupakan sebuah metode yang mengacu pada penelitian yang mempunyai unsur how dan why pada pertanyaan utama penelitiannya dan meneliti qmasalah-masalah kontemporer (masa kini) serta sedikitnya peluang peneliti dalam mengontrol peritiswa (kasus) yang ditelitinya. Penelitian ini memuat studi kasus yang diambil dari 3 keluarga yang anaknya terdaftar sebagai klien penderita autis di lembaga terapi tumbuh kembang anak, child Care Center yang berlokasi di Ruko Freesia Garden No.6, Jalan Jombang Raya Kav.148, Bintaro Sektor 9, Tangerang Selatan. Teknik pemilihan informan. Dalam memilih informan, peneliti menggunakan teknik non-probability sampling yaitu pengambilan informan tidak seara acak. Untuk mendapatkan informasi yang valid, maka peneliti memilih informan utama yaitu keluarga yang memiliki anak autis dan merupakan klien lembaga terapi tumbuh kembang anak Child Care Center. Dari 6 anak yang mendapatkan diagnosa Autis di lembaga Child Care Center, peneliti mengambil 3 anak dengan mempertimbangkan rekomendasi dari terapis di lembaga tersebut. Ketiga anak yang menjadi informan ini dipilihkan terapis dengan memperhitungkan tingkat kemandirian dan usia. Informan pertama dan kedua hanya menderita Autistic Disorder sementara informan ketiga selain menderita Autistic Disorder juga menderita ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau hiperaktif. Dari ketiga keluarga
tersebut, peneliti melakukan pengumpulan informasi terhadap ibu, ayah, serta salah satu adik/kakak dari anak autis. Meskipun hanya menggunakan tiga keluarga sebagai infoman, peneliti akan melakukan teknik in depth interview yang disertai observasi langsung di rumah informan sehingga informasi yang didapat bisa menginterpretasikan keadaan yang sebenarnya. Teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melalui teknik studi kepustakaan (literature study), teknik wawancara mendalam (in-depth interview), dan observasi (observation) yang salah satunya dilakukan kunjungan ke rumah keluarga yang menjadi informan. Metode ini dilakukan agar observasi dapat memperoleh gambaran lebih jelas mengenai keadaan keluarga informan. Sementara itu untuk melengkapi data mengenai lembaga juga akan dilakukan pengumpulan data dengan teknik dokumentasi, dalam hal ini dokumentasi yang dilakukan adalah dengan dokumentasi pribadi peneliti serta dokumentasi lembaga. Alston dan Bowles (2002, h. 9) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif memulai penelitian tanpa adanya ide-ide atau pemahaman yang telah disusun terlebih dahulu, melainkan membiarkan pola-pola ataupun tema-tema terbentuk dari pengalaman. Dan secara lebih lanjut dijelaskan pula oleh Alston dan Bowles bahwa, “From careful observations, immersion in the world of the ‘researched’, in-depth interviews, and a range of other techniques, qualitative researchers build their theories form the patterns they observe in their data …” (Dari observasi yang hati-hati, penghayatan dalam dunia yng diteliti, wawancara mendalam, dan sebuah jangkauan teknik-teknik lain, para peneliti kualitatif membangun teori-teori mereka dari pola-pola yang mereka observasi dalam datanya). Oleh karena itu teknik yang sesuai digunakan dalam penelitian ini diantaranya dengan melalui teknik studi kepustakaan (literature study), teknik wawancara mendalam (in-depth interview), dan observasi (observation). Teknik analisa data. Analisa data dalam penelitian kualitatif mengenai peran keluarga terhadap anak autis ini bersifat induktif. Menurut Alston dan Bowles (2002: 9) dalam proses analisa yang bersifat induktif, pengetahuan digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus menjadi suatu kesimpulan yang bersifat umum. Menurut Yin, analisa studi kasus dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan pembuatan penjelasan, tujuannya menganalisa data studi kasus dengan cara membuat suatu penjelasan tentang kasus yang bersangkutan dan dengan penjodohan pola, yaitu membandingkan antara kenyataan dan hipotesa/ dugaan-dugaan (berdasarkan teori dan konsep).
Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam oleh 3 keluarga yang memiliki anak autistik dan akan dikumpulkan melalui in-depth interview. Data wawancara tersebut nantinya akan dihubungkan dengan data-data hasil observasi dan data-data sekunder melalui studi kepustakaan, yang pada akhirnya akan diinterpretasikan kembali dan dicari suatu relasi didalamnya, diidentifikasi, dan diolah sedemikian rupa serta dianalisa dengan teoriteori terkait untuk dilakukan proses penafsiran dan perbandingan sehingga terbentuk suatu kesimpulan dari proses akhir penelitian ini.
3.
Hasil dan Pembahasan
Pada bagian ini dipaparkan berbagai temuan lapangan mengenai peran keluarga, baik itu orang tua maupun sibling terhadap anggota keluarganya yang merupakan anak autis. Peran yang akan dibahas adalah peran dalam hal pemenuhan kebutuhan fisik, psikis dan sosial yang diambil dari 3 tipe peran keluarga bagi anak menurut Verkuyl dalam Gunarsa 2004 h. 30, dalam hal ini peran orang tua terhadap anak-anaknya tersebut adalah: 1.
Mengurus Keperluan Materiil Anak Peran ini menyangkut pengadaan materil bagi anak-anak. Sebagai individu baru, anak masih belum bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu orang tua menjalankan peran pertama ini dalam rangka mencukupi kebutuhan fisik anak seperti makanan, minuman, istirahat dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
2.
Menciptakan “Rumah” bagi Anak-anak Peran ini terkait pemenuhan kebutuhan psikis anak dimana orang tua harus menciptakan rumah tidak hanya sebagai bangunan yang didiami tetapi juga rumah sebagai tempat kembali dan beristirahat yang nyaman bagi anak dimana di dalamnya anak mendapatkan kasih sayang, perhatian dan pemunuhan kebutuhan psikologis lainnya yang diperlukan anak dalam perkembangannya menuju kedewasaan.
3.
Tugas Pendidikan Tugas pendidikan sangat utama dalam menentukan seperti apa seoarang anak di masa depannya. Peran pendidikan dilaksanakan orang tua untuk membentuk anak sesuai yang diharapkan orang tua. Dalam menjalankan peran ini, orang tua mensosialisasikan norma dan
menurunkan diyakininya
nilai-nilai
tertentu
yang
Peran keluarga bagi seorang anak identik dengan pemenuhan kebutuhan seorang anak untuk mencapai well-being nya. Begitu pula bagi anak autis, keluarga berperan dalam memenuhi kebutuhan fisik, psikis dan sosial anak autis. Informan EV&AR, YS&MB serta WT&TK yang merupakan ibu dan ayah dari anak autis MA, FA dan KS memberikan informasi seperti berikut sesuai keadaan anaknya masing-masing. Peran keluarga dalam pemenuhan kebutuhan fisik. Permasalahan anak autis yang berbeda dari anak-anak lainnya langsung didapati ketika membicarakan kebutuhan fisik anak. Tak seperti anak-anak pada umumnya, anak autis memiliki alergi terhadap makanan tertentu yang menyebabkan orang tuanya harus menyiapkan menu khusus bagi anak autis. Pada usus anak autis seringkali didapati lubang-lubang kecil yang mengakibatkan multiple food allergy dimana anak autis tidak bisa mengonsumsi makananmakanan tertentu (Danuatmadja, 2004, h. 35). Hal tersebut ternyata benar-benar dialami oleh MA yang menurut informan EV sejak kecil tidak bisa mengonsumsi nasi. “Makan nasi tu muntah, dia dari kecil dikasih nasi tim atau bubur itu enggak nerima makanya sampai sekarang makan daging saja sampai gemuk begitu. Kadang roti sih masih mau tapi kalau nasi sama sekali enggak” (EV, 20 November 2011). Menanggapi hal tersebut, ibu dari anak autis lebih jeli memperhatikan menu makan anak mereka sementara dari hasil wawancara, ayah tidak terlalu memiliki peran yang signifikan dalam ranah domestik seperti memilihkan menu bagi anak autis. “Iya, papanya kan kerja, kakak (MA) sama mamanya saja sehari-hari. Mamanya kan ibu rumah tangga jadi pencari nafkah utama ya papanya tapi yang ngatur nutrisi dia seharihari saya yang lebih tahu” (EV, 8 Mei 2012). “Sebenernya dia seneng makan apa saja suka tapi FA kan harus diet ya katanya. Itu saya yang lebih ketat kalau ayahnya malah bawaannya kasih-kasih aja namanya ke anak kadang saya Cuma bilangin saja ke ayahnya ‘yah, FA sudah banyak makan manisnya atau sudah banyak makan snack-snack yang ada pengawetnya gitu” (YS, 12 Maret 2012). Masih terkait dengan menu makan anak autis, orang tua memiliki peran lanjutan yaitu untuk mengimbangi asupan gizi anak dengan olahraga yang cukup, agar energi mereka dapat tersalur pada hal-hal
yang positif dan mengurangi kecenderungan hiperaktif yang seringkali ditemui pada diri anak autis.
para informan hanya bisa mengontrol jika kebiasaan anaknya tersebut sudah berlebihan.
“Kakak (MA) kalau makan daging itu sehari sekilo bisa habis sama dia sendiri kan makanya badannya segede gitu. Kalau di sekolah (menyebut Child Care Center), sekarang dari 5 hari saya pesen 1 atau 2 hari ada senamnya” (EV, 20 November 2012).
“Kata Bu Arna (psikolog di Child Care Center), anak autis memang suka jinjit gitu kalau jalan, saya juga tadinya kurang perhatiin sebelum dikasih tahu Bu Arna, tapi sekarang kesininya saya kontrol terus FA kalau saya lihat jalan jinjit saya omelin langsung” (YS, 2 November 2012)
“Masalah menu makan padahal biasa-biasa aja, ndak makan sayur kan umum lah, ya. Cuma ndak tahu kenapa KS badannya begini. Saya seneng kalau dia sudah main sama GS (adik KS) supaya banyak geraknnya, ndak diem aja coret-coret buku (TK, 20 November 2012). “seringkali saya ajak dia lari-lari di halaman rumah sambil bercanda, supaya dia capek di luar nanti di dalam dia ‘anteng’, kalau enggak dia suka berantakin barang-barang, FA memang ada hiperaktifnya juga” (MB, 2 November 2012). Ada hal menarik lain terkait kondisi kesehatan anak autis secara fisik, anak-anak autis yang keluargnya menjadi informan dalam penelitian ini memiliki kebiasaan unik yang berkaitan dengan kondisi fisik mereka dan hal itu sangat harus diperhatikan oleh orang tua. Anak autis yang keluarganya menjadi informan dalam penelitian ini kurang peka terhadap rasa sakit di tubuhnya, MA misalnya, sejak dulu ia suka mndengar suara kayu dipukul hingga kini ia memiliki kebiasaan memukulmukulkan jarinya ke benda-benda dari kayu ataupun triplek, seperti meja, kursi dan sebagainya. Biasanya untuk benda-benda yang ia baru lihat ia akan tahu yang mana yang terbuat dari kayu atau sejenisnya kemudian ia akan memukul-mukulkan jarinya ke benda tersebut sehingga jari manis dan jari tengah MA ‘kapalan’. Informan EV dan AR memberikan kontrol tersebut agar kebiasaan tersebut tidak menyakiti anaknya meskipun mereka tahu anaknya tidak memedulikan rasa sakit yang mungkin ia rasa saat memukul-mukulkan jarinya pada kayu. “Kita paling ngeliatin aja, MA kadang mukulmukul mejanya berlebihan kita stop, kita pegangin tangannya dia, dibilangin ‘jangan kakak’ gitu. (EV, 11 Juni 2012) FA pun memiliki kebiasaan buruk yaitu berjalan dan berlari sambil menjinjitkan kakinya. Orang tuanya mengkhawatirkan hal tersebut menyakiti kaki anaknya dan dikhawatirkan menyebabkan keseleo. Namun anaknya tidak tampak kesakitan dan masih melanjutkan kebiasaannya tersebut. Sebagai orang tua,
Pemenuhan kebutuhan psikologis anak. Pemenuhan kebutuhan psikologis yang dijalankan orang tua untuk anaknya terkait dengan pemberian afeksi dan rasa aman dan ketenangan jiwa pada anak. Perlu penanganan tersendiri jika konteks anak yang kita bicarakan disini adalah anak autis berkebutuhan khusus. Penerimaan dari orang tua tentang keadaan anaknya menjadi kunci utama dalam menjalankan peran pemenuhan kebutuhan psikis anak ini. “Saya menanamkan bahwa bagaimanapun dia, ya dia anak saya. Tidak ada salahnya kok punya anak yang ’berbeda’ mungkin awalawal gejala autisme ini kaget tapi lamakelamaan sekarang kakak (MA) sudah hampir 14 tahun ya kami sudah bisa menerima, sangat bisa” (AR, 8 Mei 2012). Sama seperti keluarga Bapak AR, masalah “Acceptance” atas kedaan anak autis tidak terlalu sulit lagi bagi keluarga Bapak TK seiring berjalannya waktu. Bahkan sudah ditanamkan kepada GS, adik KS bahwa tidak ada salahnya mengakui bahwa kakaknya bersekolah di Sekolah Luar Biasa. “Dulu saya yakininnya anak saya ini anak yang punya kekurangan tapi sekarang saya meyakini bahwa anak saya ini anak yang punya kelebihan gitu, Mbak. Memang beda sama anak-anak lain.” (WT, 11 Juni 2012) Tidak seperti kedua keluarga lain yang anak autisnya sudah berumur belasan tahun, keluarga MB yang memiliki anak autis berusia belum genap 5 tahun masih menemui kesulitan penerimaan terhadap keadaan anaknya yang berkebutuhan khusus. Berdasarkan pengakuan YS istrinya ternyata hingga kini pun MB masih bersikeras bahwa gejala berkebutuhan khusus yang dimiliki anaknya hanyalah sebatas hiperaktif belaka. Kenyataan bahwa anak mereka menutup diri dan menunjukkan gejala autisme sudah bisa diterima YS yang kebetulan salah satu keponakannya juga memiliki diagnosa yang sama. “Yah, memang anak lahir kan nggak sama semua, saya sih berharap saja ini kan FA
sudah diterapi sejak dini siapa tau nanti ke depannya dia bisa sekolah dengan normal, tapi kalaupun nggak bisa ya sudah cari sekolah khusus tapi memang saya belum tahu mau kemana” (YS, 7 April 2012). Selain penerimaan dari keluarga atas keadaan anak autis yang dapat dikategorikan berkebutuhan khusus, pola asuh yang penuh kasih sayang dan dari hati diyakini dapan menjadi suatu wujud penjalanan peran memenuhi kebutuhan psikologis anak. Sebagaimana yang diutarakan para informan sebagai berikut: “Mau kita pakai cara apapun, menunjukkan kasih sayang itu yan penting harus dari hati, terutama ibu ya, ini kalau menurut saya lho. Anak juga ngerti kapan kita interaksi sama dia pakai hati dan kapan tidak. Walaupun marah sekalipun marahnya harus dengan hati, nggak asal marah-marah kesal atau bagaimana” (EV, 12 Juni 2012). Kuantitas dan kualitas interaksi dengan anak yang berbeda antara ayah dengan ibu menyebabkan adanya kecenderungan anak lebih dekat pada satu pihak saja. Dimana kasus yang ada pada informan di penelitian ini anak cenderung lebih dekat dengan ibunnya yang lebih banyak menyertai anak autis dalam kegiatannya sehari-hari. “ Makanya saya suka iri bilang ke adek enak banget mama ya dicium melulu sama kakak (MA) kalau misalnya mamanya selesai masak kan suka ketiduran di depan TV itu kakak suka ciumin mamanya tapi ke papanya mah nggak pernah kalau nggak diminta, itu dari kakak kecil begitu” (AR, 8 Mei 2012). “Kakak (MA) tuh tau kalau dia emosinya lagi senang kadang tos sama mamanya, kadang kalau lihat mamanya lagi capek habis masak, nyuci terus dia nakal itu dia suka elus-elus saya jadi sudah lumayan oke lah kontaknya” (EV, 7 Juni 2012) Karena kesibukan ayah sebagai kepala keluarga lebih banyak diluar rumah, anak autis seringkali membutuhkan waktu lama untuk mengakrabi ayahnya sendiri. Pada kasus FA misalnya, setiap selesai terapi di lembaga Child Care Center dia akan berlarian menuju arena bermain yang merupakan fasilitas lembaga ini. Bila ayahnya yang menyempatkan diri mengantar FA harus segera ke kantor dan mengajak pulang, FA tidak menghiraukan dan terus berlarian sambil bermain perosotan dan ayunan. Dengan kontak tangan langsung setelah dikejar-kejar oleh ayahnya barulah FA mengerti bahwa dia harus pulang.
“Sama ayahnya nggak terlalu deket sih tapi kalau misalnya ayahnya pulang kerja pas dia belum tidur tuh dia nyamperin. Kalau sudah di kamar nanti dia utak-atik pintu minta dibukain. Main sama ayahnya lompatlompatan atau paling nonton berdua sebentar terus FA tidur.” (YS, 9 Juni 2012). “Kalau Sabtu-Minggu atau hari yang saya libur saya terus yang pegang FA, gantian dengan ibunya. Lagi juga biar dekat lah saya sama dia” (MB, 9 Juni 2012). Hal lainnya yang menjadi kewajiban orang tua dalam menjalankan peran untuk anaknya adalah dalam pengupayaan pendidikan. Untuk masalah pendidikan, orang tua tidak memaksakan anaknya untuk berpendidikan tinggi guna meraih status sosial seperti harapan orang tua kebanyakan. Anaknya bisa berlaku dengan wajar saja sudah suatu prestasi bagi orangtua yang memiliki anak autis. “Dulu waktu umur 1.5 tahun pernah diikutin di PlayGroup tapi kayaknya anaknya nggak bisa ngikutin tuh jadi saya stop, sekarang cuma terapi aja disini untuk melatih kepatuhan dia. Ya nanti umur FA 6 tahunan mungkin baru dicariin sekolah yang cocok untuk dia” (MB, 9 Juni 2012) “Saya nggak ngejar target macam-macam. Ngedidik dia untuk sosialisasi aja sih fokus saya, masalahnya kan dia juga gitu, belajar masih suka semaunya dia aja, memang salah pola asuh saya juga sih kakak tu terlalu saya manja dibanding adiknya. Kemauannya apa aja saya turutin jadi dia suka semaunya” (EV, 12 Juni 2012). Selama mendidik anak autis, para orang tua menerapkan sistem award dan punishment sederhana dalam kehidupan sehari-hari seperti pengakuan informan YS dan EV berikut ini: “Reward-punishment itu saya jalani dalam mendidik anak. Cuma sekedar begini paling ya ‘FA kamu kalau nggak mau pake baju ibu tinggal ya ibu mau pergi’ saya bilang gitu sambil saya ke pintu luar, akhirnya dia mau pakai baju, kalau nggak bisa dibilangin saya cubit dia. Yang penting tegas tapi santai, Mbak.” (YS, 12 Maret 2012) “Kalau MA pinter saya acungkan jempol dia seneng, kalau nakal saya marah dia ngerti kalau marahnya sudah melotot dia takut. Kalau main tangan si saya nggak pernah ya paling itu saya marahin pakai mulut saja” (EV, 12 Juni 2012).
Selain itu, orang tua pun merasa perlu untuk membawa anak autis melihat hal-hal baru melalui rekreasi. Untuk memenuhi kebutuhan ini, orang tua selalu siap meluangkan waktu untuk anak-anaknya melepas kejenuhan. “Kita jalan-jalan sih hampir setiap akhir pekan ya paling nggak belanja ke Giant ajak FA kan ada mainannya tuh di Giant dia senang sekali kalau udah kena mainan udah deh gayanya nggak mau dipegangin mamanya, kabur sendiri dia. Paling kita ngeliatin aja dari jauh kadang kan kalau ada yang dorong-dorongan ya namanya anak kecil, itu FA diem aja didorong-dorong.” (YS, 11 Juni 2012). “Rekreasi kan untuk semuanya ya bukan untuk MA saja, nggak ada rekreasi khusus yang buat MA doang sih biasanya kalau lagi jalan-jalan pasti BI ikut kayak kemarin Outbond dari sini (Child Care Center) BI ikut khan. Malah BI yang lebih senang” (EV, 13 Juni 2012). Menanggapi pentingnya kebutuhan akan rekreasi ini, informat WT sedikit menyesalkan kurangnya kesempatan bagi keluarga mereka untuk menyediakan waktu berkumpul bersama keluarga dan berekreasi karena anak autis pun seringkali memiliki ketertarikan tertentu terhadap hal-hal yang baru ia temui. “Sebetulnya ya penting ya jalan-jalan hiburan begitu tapi bapaknya sibuk sih, Mbak. Punya toko kan karyawannya cuma satu jadi agak sulit ninggalinn tokonya. Padahal KS sih seneng dia kalau jalan-jalan mungkin kan liat sesuatu yang baru biasanya di rumah nggak dilihat, gitu.” (WT, 11 Juni 2012) Pemenuhan kebutuhan sosial anak autis. Kebutuhan sosial terkait dengan kebutuhan individu untuk berinteraksi dengan individu lainnya. Bagi anak autis, kebutuhan ini tidak dirasa perlu karena anak autis cenderung menutup diri dari lingkungan luarnya dengan tidak menghiraukan perkataan orang-orang sekitar dan tidak memberikan kontak mata sebagai bentuk atensi terhadap lawan bicara. “Dia kan begitu, Mbak. Kalau dipanggil atau dilarang ini itu boro-boro nengok. Jadi ya memang betulan nggak mau ada kontak ke kita. Bukan nggak mau juga sih ya kadangkadang mau ngerti juga tapi lebih sering enggak” (YS, 19 Mei 2012). Sebagaimana diketahui, keluarga menjalankan peran sebagai agen sosialisasi pertama bagi anak. keluargapun menjalankan fungsi penempatan sosial yaitu untuk sosialisasi primer anak-anak yang bertujuan untuk membuat mereka menjadi anggota masyarakat yang produktif, dan juga sebagai
penganugrahan status anggota keluarga. Oleh karena itu sudah seyogyanya orang tua menjalankan peran untuk membawa anaknya ke lingkungan keluarga besar, teman sebaya dan masyarakat. “Kalau saya sudah tanamin bahwa kakak memang anak saya tapi juga anak (bagian dari) keluarga besar saya gitu jadi kakak di keluarga besar saya diterima semua, bagus juga untuk dianya kan karena dia sama keluarga besar juga ‘kenal’ dalam arti dia kan anaknya kalau sama orang baru nggak open ya tapi kalau sama keluarga besar saya ngerti dia. Saudara-saudara juga saya tanamkan untuk bisa nerima dia walaupun yah ada yang dengan hati ada juga yang baik di mulut doang kan nah itu bisa keliatan dari reaksinya kakak” (EV, 12 Juni 2012). Untuk mensosialisasikan anak terhadap dunia luar, selain mengupayakan penerimaan, keluarga perlu memberikan gambaran dan pencitraan positif mengenai autistik disorder yang diderita anaknya sehingga institusi lain di luar keluarga memiliki “Awareness” tentang autime. Dalam memasukkan anaknya ke lingkungan keluarga besar, para informan cenderung tidak mendapat kesulitan yang berarti. Pihak keluarga besar pada umumnya bisa menerima keadaan anak autis sebagai anak berkebutuhan khusus. Karena orang tua menempatkan bahwa anak autis adalah bagian dari diri mereka dan bagian dari keluarga besar. “FA deket kok sama sepupu-sepupunya. Malah dia lebih deket sama sepupunya yang lebih tua, kalau main udah deh diikutin terus kakak sepupunya kemana-mana. Malah keponakan saya yang usianya Cuma beda 2 bulan sama dia itu dia nggak deket. Makanya saya juga heran.” (YS, 19 Mei 2012) “Kalau ada maunya dia baik sama orang. Adik ipar saya itu kan jual minuman dikit di kulkasnya banyak. Karena dia suka teh kotak itu dia deketin tantenya melulu karena minta dikasih teh kotak” (MB, 9 Juni 2012). Selain membawa anaknya ke lingkungan keluarga besar orang tua juga berperan membawa anaknya ke lingkungan teman sebaya si anak dan juga masyarakat sekitar seperti tetangga dan sebagainya. ”Temen sebaya ada sih di rumah tapi nggak yang deket banget sering main gitu enggak, paling FA mau main awal-awalnya aja, besoknya udah engga, orang dia mah senengnya main sama yang lebih tua dari dia” (YS, 19 Mei 2012).
“Sama tetangga juga masih nggak dekat sih dia, biarin lah anaknya juga masih kecil gitu kok.” (MB, 9 Juni 2012). Seiring perkembangannya sejak kecil hingga kini, MA sudah cukup banyak melakukan kontak dengan masyarakat di sekitar terutama tetanggatetangga terdekatnya. Bersama siblingnya, EV dan AR mengizinkan MA untuk bermain di luar bersama teman-teman sebaya di sekitar rumahnya. “Main kok, kadang sama teman-teman deket rumah main, cuma mainnya kalau ada adiknya saja. Karena kan penerimaan teman-teman sebayanya kita nggak bisa kontrol. Kalau ada adiknya ada yang nemenin, ngawas kalaukalau ada yang usil sama kakaknya kan kita nggak tahu anak-anak bagaimana mainnya masa mau orang tua yang tanganin kan nggak lucu.” (EV, 8 November 2011). Bagaimana penerimaan masyarakat terhadap anaknya yang berkebutuhan khusus memang bukanlah hal yang bisa para informan atur dan paksakan. Namun bagaimana informan menempatkan anaknya di lingkungan masyarakat dapat mempengaruhi pola pandangan masyarakat mengenai anak berkebutuhan khusus terutama anak autis. “Saya selalu membiasakan anak saya ini saya perlakukan tidak seperti anak berkebutuhan khusus, tapi saya perlakukan seperti anak normal. Kepada lingkungan sekitar juga begitu. Jangan lihat anak saya seperti aneh atau bagaimana. Anak berkebutuhan khusus kan juga bagian dari masyarakat.” (AR, 8 Mei 2012). “Saya gini, supaya anak kita bisa diterima masyarakat lah ya istilahnya, kita harus bisa membuat mereka ngerti apa yang kita ngerti, bahwa anak saya gini loh, autis itu begini lho. Saya begitu ke teman-teman saya makanya temen-temen saya suka bilang wah kamu hebat ya pengetahuannya luas ilmunya banyak segala macem. Saya bilang ah enggak, saya gak banyak ilmu, saya cuma dikasih kesabaran lebih, sedikit aja lebihnya dari Tuhan untuk nmengasuh anak yang seperti MA” (EV, 13 Juni 2012). Fungi sosialisasi juga dijalankan orang tua dengan cara memperkenalkan lingkungan luar kepada anak. Jika sejak tadi hanya dibahas bagaimana lingkungan menerima anak, maka akan dibahas pula peran sosialisasi dari orang tua dalam membuat anak menerima lingkungan sekitarnya, baik itu keluarga besar, teman sebaya dan juga masyarakat sekitar. Para informan merasa bahwa memperkenalkan dunia luar untuk anak lebih sulit dibandingkan memperkenalkan anaknya terhadap dunia luar karena kecenderungan anak autis menutup diri dari dunia luar, maka
memperkenalkan seseorang atau sesuatu kepada anak autis menjadi tugas yang berat bagi orang tua. “Mungkin itu lebih sulit ya karena kan kita tahu sendiri anak autis itu menutup diri. Kalau nggak sering dia ketemu ya nggak dia kenal. Tapi kalau dia sudah tahu orangnya dia baik kok. Sama tukang ojek yang biasa nganter terapi dia baik kalau ditegor ‘halo kakak, mau sekolah ya’ dia senyum atau ketawa sama tukang ojeknya. Sama saudara-saudara juga mau salim yah pokoknya sekarang sudah agak mendingan lah nggak terlalu menutup diri kayak dulu lagi” (EV, 7 Juni 2012). “Kalau kita paksa dia untuk bisa ngikutin kita ya capek banget. Jadi saya coba saya yang ikutin maunya dia. Dulu dia suka berantakin crayon itu awalnya saya omel-omelin tapi sekarang saya lihatin dulu maunya gimana. Oh ternyata dia memang suka mewarnai ya sudah, itu yang saya ikuti. Saya kalau ngajarin dia apa-apa saya buat aja gambar apa saya suruh dia warnai sambil saya bilangin nak ini tuh ini, ini begini segala macem” (WT, 11 Juni 2012) Bagi informan MB dan YS, anaknya masih terlalu dini untuk mendapatkan sosialisasi dan mereka mendapati bahwa tidak menjadi masalah jika anaknya belum mengerti ini dan itu karena usianya pun masih belum genap 5 tahun. Hasil observasi peneliti pun menunjukkan FA masih belum mengetahui banyak hal dan masih mudah melupakan orang-orang yang tidak berinteraksi dengannya dalam waktu lama. “Ngajarin anak begini untuk sosialisasi tu yang bagus sebetulnya dari kecil harusnya dari bayi biasain dia dipegang orang lain ya. Saya lihat adik saya gitu anaknya digendong sama siapa aja dikasih mau orangnya itu keringetan apa segala macem sama adik saya dikasih anaknya digendong supaya anaknya nggak takutan sama orang. Tapi betul juga sih anaknya sama siapa aja deket, kalo FA kan deketnya sama mamanya aja” (MB, 9 Juni 2012) “Susah banget lah, Mbak. Bukan agak susah lagi. Kita kasih tahu kan dia nggak mau ngertiin. Dideketin sama orang lain juga nggak mau dia. Paling sama sepupunya dia mau.” (YS, 19 Mei 2012) Hal senada juga diungkapkan oleh informan TK dan WT bahwa dalam hal sosialisasi untuk dunia luar untuk anak autis perlu pembiasaan sejak dini karena memperkenalkan dunia luar kepada anak lebih sulit dibandingkan memperkenalkan anak kepada dunia luar. “Nggak kenal tuh, Mbak. Paling dia sama embahnya saja kenal. Kalau sama keluarga besar itu dia nggak kenal. Mungkin memang karena keluarga
kan di kampung ya jadi jarang ketemu. Jadi dia nggak mau deket sama saudara-saudaranya karena nggak kenal” (TK, 13 Juni 2012). Peran sibling bagi anak autis. Sibling atau saudara kandung juga menempati posisi yang sama dalam keluarga, yaitu sebagai anak. Mempunyai saudara kandung penderita Autistic Disordder menjadi suatu tugas tersendiri bagi anak. Sibling tentu dapat melihat pertumbuhan dan perkembangan saudara kandungnya yang penderita autis berbeda dengan pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Sibling dari seorang anak autis mempunyai ‘pressure’ yang cukup besar dari teman-teman sebayanya yang masih melihat fenomena autisme sebagai suatu kejanggalan. Namun sibling juga menjalankan peran tersendiri berupa dukungan terhadap saudara kandungnya yang merupakan anak berkebutuhan khusus. Sibling dapat menjadi peer group terdekat bagi anak autis sebagaimana yang diutarakan informan EV berikut: “BI sangat sayang sama kakaknya kalau saya bisa bilang. Kakaknya pun gitu, kalau adek nggak ada tu dia nyari. Kadang kalau adek piknik kemana gitu nginep, dia buka-buka kamar adenya kayak nyariin. Nanti kalau ketemu mah dipukul-pukul adeknya sama dia, mungkin dia nggak tau bagaimana cara ngungkapin kangen atau nyariin jadi yaudah dipukul-pukul aja tuh adenya.” (EV, 13 Juni 2012) “Mungkin kalau pressure kita nggak tahu pasti yah, kalaupun dia (sibling) bilang fine juga belum tentu hatinya memang beneran fine. Tapi kalau menurut saya sih begini, MA itu kan kakaknya, bukan adiknya jadi sejak BI lahir memang sudah harus menerima MA yang lahir duluan. Beda mungkin kalau MA adik mungkin BI akan wah selama ini saya kok nggak perlu berurusan sama saudara yang autis tapi sekarang kok saya dapet saudara yang begini (autis) gitu kan.” (AR, 8 Mei 2012). Sibling dari anak autis dalam penelitian ini mengaku tidak terlalu sulit melakukan penerimaan terhadap saudara kandungnya walaupun seringkali dihadapi anggapan negatif dari teman sebaya sibling. Mereka pun cukup mengerti tentang konsep autistik disorder yang dialami saudara kandungnya sehingga tidak sulit bagi mereka untuk memaklumi dan menerima keadaan saudara kandungnya penderita Autistic Diorder. Seperti inilah jawaban mereka saat ditanyai seputar pengetahuan mereka tentang autisme.
“Autis itu ya gitu kelainan pikiran manusia kali. Pokonya anak autis itu nggak bisa bergaul dengan normal seperti yang lain.” (BI, 8 Mei 2012) “Menurut aku sih autis itu kelainan dari lahir yang bikin anak aneh beda dari yang lain, punya keunikan sendiri. Kalau anak autis itu biasanya suka dengan dunianya sendiri yang kadang orang lain nggak ngerti.” (GI, 13 Juni 2012) “Autis itu nggak normal, kayak kakak aku. Sekolahnya di SLB.” (GS, 13 Juni 2012) Dalam menjalankan peran dan dukungannya terhadap saudara kandungnya yang merupakan penderita autis, informan selain harus bisa memahami autisme dan menerima keadaan saudara kandungnya, juga harus bisa berperan sebagai teman bagi anak autis dan bisa membawa anak autis ke lingkungan bermain teman sebayanya sehari-hari. “Kalau GS sih harus saya bilang kalau dia main ya dia ajak KS main. Kalau GI mungkin kan memang sudah besar ya ada urusannya sendiri ya saya ngerti tapi kalau GS mau main kemana ajak kakaknya biar KS juga nggak dirumah terus” (TK, 13 Juni 2012) “Kadang diledek teman, kakak kan ngomongnya cuma aeaeaea aja. Kalau diledek gitu ya saya yang marah sama teman saya. Main keluar jarang tapi temen-temen suka main kesini misalnya lagi belajar kelompok atau main aja, kakak suka ikutan gabung” (BI, 8 Mei 2012) “Kalau MA lagi mau main ke depan (dengan teman sebaya sekitar rumah informan) ya ajak BI tapi dia anaknya jarang mau main ke luar juga orang senengnya robek-robek kertas saja. Jadi BI main ya main sama temannya, MA mah main sendiri. Sesekali pernah sih” (EV, 8 Mei 2012). Selama berinteraksi dengan saudara kandungnya, sibling dari anak autis yang menjadi informan pun seringkali terlibat pertengkaran. Namun karena pegertian yang diberikan mereka maka saudara kandung yang menjadi informan dalam penelitian ini pun dapat memahami keadaan anak autis dan banyak mengalah bila bertengkar. “Kakak (MA) suka iseng mukulin aku kadang sakit beneran dipukulnya tapi kan kata mama kakak nggak sengaja, memang gitu dia cara nyayanginnya yaudah gak apa-apa kadang-
kadang aku bales aku umpetin bantalnya dia” (BI, 8 Mei 2012)
Menjalin hubungan penuh afeksi, mendidik kemandirian anak, membawa anak rekreasi.
“Berantem itu paling sering sama si GS dia suka iseng kalau kakaknya lagi nonton tv dia ganti terus dia kabur akhirnya kan ngamuk anaknya (KS).” (WT, 11 Juni 2012)
Kemudian peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak secara sosial adalah dengan Memperkenalkan anak kepada dunia luar seperti keluarga besar, teman sebaya dan masyarakat. Memperkenalkan dunia luar kepada anak. Sementara itu, peran sibling lebih cenderung berhubungan dengan pemberian dukungan sehari-hari dengan cara menjadi teman sebaya terdekat bagi anak autis, serta membantu anak autis bergaul dengan teman sebaya lainnya.
Dari uaian tersebut dapat diketahui bahwa keluarga memiliki peran-peran yang signifikan bagi anak autis dalam memenuhi kebutuhan fisik, psikologi maupun sosial anak autis yang nantinya akan berujung pada tercapainya fungsi sosial yang optimal bagi anak autis. Dalam memenuhi kebutuhan fisik, peran keluarga antara lain Memperhatikan menu makan anak autis dan pola olahraga mereka. Mengontrol kebiasaan buruk anak yang membahayakan tubuhnya. Dalam hal memenuhi kebutuhan Psikologis, peran keluarga lebih cenderung berkaitan dengan Acceptance atau penerimaan yang baik dari seluruh anggota keluarga. Selain itu pemenuhan kebutuhan psikologis juga terkait
Untuk lebih mudah pemahaman, hasil temuan lapangan akan dibahas dalam bentuk tabel yang memaparkan seara lebih terperinci mengenai peran masing-masing anggota keluarga bagi anak autis terkait pemenuhan kebutuhan fisik, psikis dan sosial mereka.
Tabel 1. Peran Keluarga dalam Memenuhi Kebutuhan Fisik Anak Autis Fisik Informan 1 Ibu
Ayah
Informan 2
− Memperhatikan dan − Menyiapkan menu anaknya yang alergi terhadap karbohidrat − Mengontrol kebiasaan buruk − anak yang sering membenturkan jarinya ke dinding atau benda-benda lain − Pencari nafkah utama −
Sibling
Sumber: Olahan Sendiri
−
Informan 3
Memperhatikan gizi − anak dalam menu seharihari karena anak tidak suka sayuran. Pencari nafkah utama −
Memperhatikan pola diet guna mengurangi kecenderungan hiperaktif pada anak Mengurangi kebiasaan anak berjalan jinjit.
Memperhatikan gizi − anak dalam menu − sehari-hari karena anak tidak suka sayuran. Mengajak anak autis bermain sehingga menurut ibunya dapat membantu anak autis berolah raga
Pencari nafkah utama Mengajak anak berolahraga.
Tabel 2. Peran Keluarga dalam Memenuhi Kebutuhan Psikis Anak Autis Psikis Informan 1 −
Ibu
− − − −
Ayah
−
Sibling
Acceptance terhadap anak Kasih sayang dan perhatian Pendidikan kemandirian Ikut mengontrol emosi anak dengan sentuhan fisik Acceptance terhadap anak Kasih sayang dan perhatian
− Turut memberikan kasih sayang dan penerimaan
Informan 2 − − −
− −
Informan 3
Acceptance terhadap anak Kasih sayang dan perhatian Memperhatikan kualitas kebersamaan antara orang tua dan anak
− −
Acceptance terhadap anak Kasih sayang dan perhatian
− −
−
−
Acceptance terhadap anak Kasih sayang dan perhatian Menentukan pendidikan yang tepat bagi anak
Acceptance terhadap anak Kasih sayang dan perhatian Membawa anak berekreasi
Turut memberikan kasih sayang dan penerimaan.
Sumber: Olahan Sendiri Tabel .3. Peran Keluarga dalam Memenuhi Kebutuhan Sosial Anak Autis Sosial Informan 1 Ibu
− − −
Ayah
− −
Sibling
−
Memperkenalkan dunia luar kepada anak. Membawa anak ke lingkungan tetangga dan keluarga besar Memperkenalkan anak ke dunia luar Membawa anak ke lingkungan tetangga dan keluarga besar Memperkenalkan anak ke dunia luar
Informan 2 − − − − − −
Memperkenalkan dunia luar kepada anak. Membawa anak ke lingkungan tetangga dan keluarga besar Memperkenalkan anak ke dunia luar Memperkenalkan dunia luar kepada anak. Membawa anak ke lingkungan tetangga dan keluarga besar Memperkenalkan anak ke dunia luar
Sebagai teman sebaya − Sebagai teman sebaya terdekat terdekat − Memperkenalkan anak − Memperkenalkan anak autis autis kepada teman kepada teman sebaya lain sebaya lain Sumber: Olahan Sendiri
Informan 3 − − − − −
Memperkenalkan dunia kepada anak. Membawa anak lingkungan tetangga keluarga besar Memperkenalkan anak dunia luar Memperkenalkan dunia kepada anak. Membawa anak lingkungan tetangga keluargba besar
luar ke dan ke luar ke dan
Hambatan keluarga dalam menjalankan peran bagi anak autis. Anak autis merupakan anak berkebutuhan khusus yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Kecenderungan menutup diri menjadi suatu hambatan bagi keluarga, baik orang tua maupun sibling dalam menjalankan perannya. Pada bagian ini, hambatan-hambatan tersebut akan digali lebih dalam untuk membahas bagaimana kecenderungan anak autis yang menutup diri dapat menjadi suatu persoalan tersendiri bagi keluarga. Dalam beberapa kasus autisme, penderitanya mungkin saja bisa berkomunikasi dengan lingkungan luar namun menutup diri, bisa pula penderitanya memang sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengan lingkungan ekitarnya selain melalui isyarat-isyarat tertentu yang dibuatnya sendiri. Hal ini berkaitan dengan gejala autisme yang terbagi dalam tiga kategori, gejalanya bisa jadi sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Anak autis baik low maupun high functioning menglami keberfungsian sosial yang maladaptif yakni individu tersebut tidak mampu menjalankan perannya di masyarakat di karenakan individu tersebut tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Oleh karenanya anak autis membutuhkan orang lain untuk membuat dirinnya berfungsi secara sosial, baik itu praktisi kesejahteraan sosial, medis maupun psikolog. Hambatan pasti ditemui oleh orang tua selama mengasuh anaknya. Hambatan ini tentu juga dirasakan informan dalam menjalankan perannya terhadap anak autis yang merupakan anak kandungnya sendiri. Hambatan utama yang ditemukan informan adalah terkait kendala komunikasi. Karena anak autis memiliki kecenderungan berbahasa yang tidak sama seperti bahasa sehari-hari atau dalam istilah psikologi lebih dikenal dengan sebutan meracau. MA, KS dan FA ketiganya merupakan anak autis yang masih
meracau dan belum bisa berbicara dengan benar sehingga komunikasi menjadi kendala yang sangat berarti bagi orang tua dalam menjalankan perannya. “Kesulitannya itu apa yang dia mau, kita nggak ngerti.” (AR, 12 Juni 2012). “Karena FA nggak bisa ngomong ya jadi kadang bingung ini anak lagi pengen apa gitu aja sih paling” (YS, 11 Juni 2012). Komunikasi yang tidak lancar membuat relasi parental antara orang tua dan anak autis ini menjadi terhambat. Terlebih lagi, anak autis sebagaimana anakanak lainnya yang belum stabil terkadang akan membuat perkara kecil menjadi suatu masalah besar. “MA kan ‘Moody’ ya Ta, jadi kalau misalnya mau sesuatu terus mamanya nggak ngerti dia maunya apa tuh dia mulai deh emosi, mukulmukul mamanya atau gimana. Pernah juga waktu itu saya sama MA mau kesini (Child Care Center) saja sampai bolak-balik kayak orang gila si MA nggak mau turun dari angkot jadi sampai sudah lewat kami balik lagi lalu dia nggak mau turun lagi rupanya mungkin dia lagi nggak mau terapi” (EV, 12 Juni 2012). Selain hambatan dalam hal komunikasi, orang tua juga merasakan kesulitan dalam hal menentukan menu makanan bagi anaknya. Perasaan ingin memberi segala yang terbaik untuk anaknya dan yang anaknya sukai harus terbentur dengan pantangan-pantangan yang tidak dianjurkan dokter untuk dimakan. “Setelah ASI itu sebetulnya dia susu sapi, Mbak doyannya. Tapi berhubung karena hiperaktif dulu dokternya bilang susunya kedelai saja. Untung sih dia lama-lama suka.” (YS, 12 Maret 2012). “MA itu kalau sudah salah makan saya yang pusing. Kalau sakit bisa berhari-hari jadi daripada sakit ya saya kontrol terus makanannya dia apa saja. Tapi kalau terlalu di-diet-in banget anaknya kayak kemarin tuh sempet hampir lima hari nggak BAB, ke dokter lagi. Yah, gitu deh!” (EV, 9 Juni 2012). Selain itu hambatan lainnya didapati perihal kemandirian anak autis yang masih perlu mengandalkan orang tua dalam beberapa hal yan seharusnya sudah bisa dilakukan si anak sendiri. Seperti pengakuan informan berikut: “Kendalanya tu susah banget ngajarin KS untuk buang air sendiri, bersihin sendiri. Mungkin kalau pipis sih sudah bisa dia tapi
kalau BAB belum bisa jadi harus orang tuanya yang bersihin. Mandinya juga dia susah. Itu sih paling kendalanya” (TK, 13 Juni 2012) “Mandi aja masih sama saya, tapi belakangan ini saya tinggal terserah dia mau gimana di kamar mandi nanti kalau sudah kacau baru saya samperin. Habis masa mau sampe dewasa mandi sama saya kan nggak bisa” (EV, 8 November 2011).
•
•
Berdasarkan data dari para informan dan dikaitkan dengan teori yang ada, hambatan bagi keluarga dalam berinteraksi dan menjalankan perannya bagi anak autis dapat dibuat dalam bentuk tabel seperti sebagai berikut:
Tabel 4. Hambatan dalam Menjalankan peran. Bagi Orang Tua
Bagi Saudara Kandung
Komunikasi dengan anak
Komunikasi sibling.
Kemandirian anak yang masih di bawah anakanak pada umumnya
Emosi sibling belum cukup stabil untuk memahami kebutuhan khusus anak autis saudara kandungnya.
4.
dengan
•
Kesimpulan
Penelitian mengenai “Peran Keluarga bagi Anak Autis” ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi kasus terhadap 3 keluarga informan yang memiliki anak autis yang menjadi klien di lembaga Child Care Center. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan peran ayah, ibu, maupun sibling untuk anak autis dalam kehidupan sehari-harinya serta untuk mengetahui hambatan-hambatan bagi keluarga dalam berinteraksi dengan anak autis yang menjadi anggota keluarga. Setelah melalui serangkaian observasi baik di lembaga yang menjadi tempat penelitian ini maupun observasi melalui kunjungan di rumah informan serta wawancara mendalam (In-depth Interview), dapat disimpulkan beberapa hal dari penelitian mengenai peran keluarga bagi anak autis ini, simpulan-simpulan tersebut antara lain adalah: •
•
Peran keluarga bagi anak autis sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan fisik,
•
•
kebutuhan psikologis dan kebutuhan sosial anak. Keluarga menjalankan peran yang penting dalam menjaga menu anak autis sesuai kebutuhan dan menghindari pantanganpantangan tertentu yang anak autis tidak boleh memakannya terkait kondisi fisik mereka yang mengalami multiple food allergy. Anak autis memiliki kecenderungan menolak afeksi yang datang dari lingkungan sekitarnya, karena itu orang tua informan mengupayakan kesabaran ekstra agar anaknya dapat memberikan atensi dan afeksi pada orangorang di sekitarnya. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengerahkan segenap kasih sayang untuk mendapat atensinya serta tidak memaksa anak untuk mengikuti kemauan orang tua sebelum orang tua yang mencoba mengikuti kemauan anak autis yang lebih banyak hidup di dunianya. Membuat anak autis diterima di lingkungan luar keluarga bermula dari penerimaan yang tulus dari orang tua sendiri sehingga orangorang lain di luar orang tua seperti keluarga besar, teman sebaya anak, tetangga dan masyarakat luas dapat menerima keadaan anak autis sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus. Untuk mensosialisasikan anak terhadap dunia luar, selain mengupayakan penerimaan, keluarga memberikan gambaran dan pencitraan positif mengenai autisme yang diderita anaknya sehingga institusi lain di luar keluarga memiliki “Awareness” tentang autime.Untuk mensosialisasikan dunia luar terhadap anak autis merupakan peran orang tua yang dirasa lebih sulit ketimbang mensosialisasikan anak terhadap dunia luar karena anak autis kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah dengan lingkungan sekitarnya. Peran dan dukungan sibling dalam bentuk penerimaan yang baik dan interaksi yang sewajarnya antara anak autis dan sibling dapat membuat keadaan psikologis anak autis lebih stabil dibandingkan jika antara anak autis dan sibling diperlakukan berbeda. Hambatan utama bagi anggota keluarga dalam menjalankan peran mereka adalah masalah komunikasi. Anak autis banyak menutup diri dari lingkungan sekitarnya, jika pun berinteraksi mereka kesulitan menggunakan bahasa verbal yang mengakibatkan keluarga tidak mengerti apa yang anak autis inginkan.
DAFTAR PUSTAKA Adi, I.R. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar Pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan. Jakarta: FISIP UI Press. Allender, Judith Anne. Barbara Spradley. 2002. Community health nursing: concepts and practice. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins Alston, Margareth. Wendy Bowles. 2003. Reasearch for Social Worker. Victoria: Allen & Unwinn Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Cherlin, Andrew J., 2003. Public and Private Families: An Introduction. New York: McGraw Hill. Danuatmadja, Bonny. 2004. Menu Autis. Jakarta: Puspa Swara. Daymon,
Christine & Immy, Holloway. 2010. Qualitative Research Methods In Public Relation and Marketing Communication, Second Edition. New York: Taylor & Francis Group.
Devore, Dorothy M. 2006. New Developments in Parent – Child Relations. New York: Nova Science Publishers. Dobelstein, Andrew W. 2003. Social Welfare Policy and Analysis, Third Edition. Toronto : Thomson Learning, inc. Fleischer, Doris Zamew. Freida Zames. 2010. The Disability Rights Movement: From Charity to Confrontation. Philadelphia: Temple University Press Frith, Uta. 2003. Autism, Explaining the Enigma. Oxford : Blackwell publishing Gunarsa, Singgih D. 2004. Dari Anak Sampai Usia Lanjut: Buga Rampai Psikologi Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia Handojo, J. 2009. Autisma: petunjuk praktis dan pedoman materi untuk mengajar anak normal, autis dan prilaku lain. Jakarta: Bhuana Ilmu Hannele, Forsberg. Teppo Kroger. 2011. Social Work and Child Welfare Politics. Bristol: The Policy Press
Harris, Sandra L. Beth A. Glasberg. 2003. Siblings of Children with Autism: A Guide for Families. Woodbine House Hendrick, Harry. 2005. Child Welfare and Social Policy. Bristol: The Policy Press. Hook, Mary Patricia Van. 2008. Social Work Practice with Families, A Resiliency Based Approach. Chicago: Lyceum Books. Jackon, Alun C. Steven D Segal. 2002. Work Health and Mental Health: Practice, Research and Program. Binghamton: Haworth Social Practice Press. Kring, Ann M, Sheri L Johnson, Gerald C Davidson, & John M. Neale. 2010. Abnormal Psychology. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc. K. Yin, Robert. 2009. Case Study Research. Design and Methods: Fourt Edition. Washington DC: Sage Publication. Lebang, Tomi. 2006. Berbekal Seribu Akal Pemerintahan dengan Logika, Saripati Pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Macionis, John J. 2011. Sociology, 14th Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. Narwoko, Suyanto. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Media Group Nasution, S. 2006. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Newman, David M., Liz Grauerholz. 2002. Sociology of Families. California: Sage Publication, Inc. Priyatna, Andri. 2010. Amazing Autism! Memahami, Mengasuh dan Mendidik Anak Autis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Roberts, Albert R dan Gilbert J. 2008. Buku Pintar Pekerja Sosial, Social Worker Desk Reference. Jakarta: Gunung Mulia Supeno, Hadi. 2010. Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemindahan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Santrock, John W. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika. Santrock, John W. 2011. Masa Perkembangan Anak. Jakarta: Salemba Humanika. Sears, Robert R. Eleanor E Maccoby, Harry Levin. 2004. Patterns of Child Rearing. California: Stanford University Press. Soelaeman, M.Munandar. 2002. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Refika Aditama Tower, Cynthia Crosson. 2007. Child Welfare, A Practice Perspective. Boston: Pearson.
Waluya, Bagja. 2006. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Bandung: PT Setia Purna Inves Webb, Nancy Boyd. 2003. Social Work Practice with Children. New York: The Guilford Press Zastrow, Charles. 2009. Introduction to Social Work and Social Welfare : Empowering People, Tenth Edition. California: Cengage Learning Zastrow, Charles. 2009. The Practice of Social Work, Ninth Edition. California : Cengage Learning.
Website: http://www.autis.info/index.php/tentangautisme/sindrom-gangguan-autisme http://nasional.kompas.com/read/2008/04/26/13202091 /Menkes.Janjikan.Therapy.Center.Autis http://www.autis.info/index.php/tentangautisme/sindrom-gangguan-autisme http://www.dinsoslampung.web.id/pengertian-akarakteristik.html http://www.stanford.edu http://www.scribd.com/doc/24864749/PengertianKeluarga http://www.smallcrabs.com http://www. austlii.edu.au http://tvoparents.tvo.org/article/role-parents-autismresearch-historical-perspective http://www.dinsos.jatimprov.go.id