2
Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH. BPH terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal oleh proses penuaan. Hipertrofi fibromuskular yang terjadi pada BPH dapat menimbulkan denervasi prostat dan jaringan disekitarnya, yang menyebabkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal. Berbagai masalah yang akan timbul pada saluran kemih atas maupun bawah seperti halnya retensi urin, iritasi uretra, frekuensi dan urgensi saat berkemih, inkontinensia, nokturia dan disuria. Keadaan ini harus segera diatasi karena dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang sering terjadi pada penyakit BPH diantaranya iritasi urin akut yang terjadi apabila buli-buli mengalami dekompensasi, infeksi saluran kemih, hematuri, hidroureter dan hidronefrosis karena tekanan intravesika meningkat, dan akan menimbulkan kerusakan fungsi ginjal (Heffner dan Scuhst, 2006). Gejala iritatif yaitu sering miksi, terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan yang ingin miksi yang sangat mendesak, (urgency), dan nyeri pada saat miksi (disuria). Sedang gejala obstruksi adalah pancaran melemah, rasa tidak puas setelah miksi, jika ingin miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengedan (straining), kencing terputus-putus (intermittency) dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinen karena over flow (Mansjoer, 2004). Pembedahan
merupakan
pilihan
tindakan
yang
tepat
dalam
penatalaksanaan BPH. Keputusan untuk intervensi pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya Infeksi Saluran Kemih (ISK), dan perubahan fisiologi pada prostat. Salah satu tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan adalah open prostatectomy/prostatektomi terbuka yang merupakan mekanisme pengakatan kelenjar melalui insisi abdomen. Open prostaectomy dibagi menjadi tiga yaitu prostatektomi suprapubik, prostatektomi perineal dan prostatektomi retropubik. Open prostatektomy dianjurkan untuk prostat
3
dengan ukuran (>100 gram). Pasien yang telah dilakukan tindakan pembedahan bukan berarti tidak timbul masalah, Penyulit yang dapat terjadi setelah tindakan prostatektomi terbuka adalah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak, retensi urine, inkontinensia urine, impotensi dan terjadi infeksi (Purnomo, 2011). Dari 168 pasien BPH di Rumah sakit umum Universitario Valencia yang menjalani operasi prostatektomi, 15% diperlukan transfusi darah pasca operasi. Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah perforasi usus, infeksi luka bedah, disfungsi ereksi, diamati pada 164 pasien (98 %), perubahan berkemih pada 32 pasien (19 %) dan perubahan usus (11 %). Di antara perubahan miksi yang ditemukan paling sering (64 %) adalah Inkontinensia urin (Escudero dkk., 2006). Inkontinensia
urin
adalah
komplikasi
umum
paska
operasi
prostatektomi, penyembuhan kontrol berkemih scara spontan paska operasi memakan waktu 1-2 tahun, ditemukan 88% dari 48 pasien dan 56% dari 52 pasien mengalami inkontinensia setelah 3 bulan (Van Kampen dk., 2007). Insufisiensi sfingter uretra merupakan penyebab utama inkontinensia setelah operasi BPH. Disfungsi kandung kemih dapat menjadi penyebab inkontinensia urin sekitar 25% pasien. Kemungkinan disfungsi kandung kemih naik 5,3 % setiap tahun. Pasien yang lebih tua dari 70 tahun memiliki dua kali kemungkinan inkontinensia pasca operasi (Bruschini dkk., 2011). Terdapat 489 pasien inkontinensia urin setelah operasi prostat yang terdiri dari 216 pasien menjalani reseksi transurethral, 98 pasien transvesical prostatektomi, dan 175 pasien radical prostatectomy pada kasus kanker prostat lokal. Dari hasil evaluasi pada kelompok pertama terdapat 19% pasien yang mengalami inkontinensia urin segera setelah penarikan kateter, 16% setelah 1 bulan, 8% setelah 3 bulan, 3% setelah 6 bulan, 2% setelah 9 bulan, 1,5% setelah 1 tahun dan 0,5% setelah 15 bulan. Pada kelompok yang kedua diketahui 15% mengalami inkontinensia urin segera setelah penarikan kateter,
4
12% setelah 1 bulan, 5% setelah 3 bulan, 2% setelah 6 bulan, 1% setelah 9, 12 dan 15 bulan, sedangkan pada kelompok terakhir diketahui tingkat inkontinensia lebih tinggi, 66% mengompol segera setelah penarikan kateter, 53% setelah 1 bulan, 33% setelah 3 bulan, 12% setelah 6 bulan, 8% setelah 9 bulan, setelah 12 dan 15 bulan masih terdapat 2% yang mengalami masalah inkontinensia persisten (Van Kampen dkk., 2007). Bladder training merupakan latihan kandung kemih sebagai salah satu upaya mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan (Lutfie, 2008). Orzeck dan Ouslander (1987 dalam Hariyati 2000) mengatakan bahwa bladder training merupakan upaya mengembalikan pola buang air kecil dengan menghambat atau merangsang keinginan buang air kecil. Bladder training merupakan tindakan yang bermanfaat dalam mengurangi frekuensi dari inkontinensia. Latihan ini sangat efektif dan memiliki
efek
samping
yang
minimal
dalam
menangani
masalah
inkontinensia urin. Dengan bladder training diharapkan pola kebiasaan disfungsional, memperbaiki kemampuan untuk menekan urgensi dapat diubah dan secara bertahap akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan memperpanjang interval berkemih (Glen, 2003). Salah satu metode bladder training adalah delay urination, metode ini dilakukan dengan latihan menahan kencing/menunda untuk berkemih. Pada pasien yang masih terpasag kateter, delay urination dilakukan dengan mengeklem atau mengikat aliran urin ke urin bag. Tindakan ini memungkinkan kandung kemih terisi uirn dan otot detrusor berkontraksi sedangkan
pelepasan
klem
memungkinkan
kandung
kemih
untuk
mengosongkan isinya (Smeltzer, 2002). Rumah sakit PKU Muhammadiyah Gombong dan RSUD Kebumen merupakan rumah sakit tipe C yang sama-sama melayani rawat inap, rawat jalan, pemeriksaan baik radiologi maupun pemeriksaann laboratorium, hemodialisa, instalasi bedah sentral, instalasi gawat darurat, apotik baik untuk
5
pasien umum, askes pegawai dan jamkesmas, yang ruangnya ada ruang VIP, utama kelas 1, utama Kelas 2, kelas 3, dan khusus ruang/bangsal diperuntukan untuk pasien Jamkesmas. Dengan didukung tenaga kesehatan baik dokter umum, dokter spesialis, perawat D3 maupun S1, bidan, apoteker, petugas gizi dan tenaga non medis baik administrasi, sopir, petugas kebersihan dan penjaga keamanan. (RSUD Kebumen dan RS PKU Muhammadiah Gombong, 2013). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis 26 Desember 2013 di RSUD Kebumen dan RS PKU Muh gombong menunujukan bahwa selama bulan januari sampai desember tahun 2013 terdapat 141 kasus bedah prostatectomy. Sedangkan berdasarkan wawancara dengan perawat bangsal bahwa delay urination khususnya pada pasien paska operasi Trans Vesica Prostatectomy masih kurang mendapat perhatian dari perawat hal itu dikarenakan dari sejak dulu tidak pernah dilakukan, selain itu untuk meminimalisasi biaya perawatan pasien paska operasi BPH maka setelah irigasi dilepas pasien diperbolehkan pulang dengan membawa kateter sehingga delay urination tidak sempat dilakukan di RS. Dari hasil observasi terlihat belum adanya prosedure tetap tentang delay urination pada rekam medisnya, kemudian dari hasil wawancara pada pasien yang masih terpasang douwer kateter setelah mendapatkan perawatan di RS, tidak pernah dilakukan latihan delay urination sampai menjelang kateter dilepas. Dari fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh bladder training:delay urination terhadap pencegahan inkontinensia urin pada pasien BPH paska operasi prostatectomy.
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut
maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah “apakah ada pengaruh bladder training: delay urination sebelum pelepasan douwer kateter terhadap pencegahan inkontinensia urin pada pasien BPH pasca operasi trans vesica prostatectomy?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui pengaruh bladder training: delay urination sebelum pelepasan douwer kateter terhadap pencegahan inkontinensia urin pada pasien trans vesica prostatectomy. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui jumlah kejadian inkontinensia urin pada kelompok yang tidak mendapatkan terapi bladder training: delay urination b. Mengetahui jumlah kejadian inkontinensia urin setelah terapi bladder training: delay urination pada kelompok perlakuan c. Mengetahui efektifitas bladder training: delay urination untuk mencegah inkontinensia urin pasca operasi trans vesica prostatectomy
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang pengaruh bladder training terhadap pencegahan inkontinensia urin pada pasien BPH pasca operasi trans vesica prostatectomy. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai data untuk penelitian selanjutnya memperkaya
riset
keperawatan
di
Indonesia,
sehingga
dapat
mengembangkan ilmu keperawatan dengan berbagai inovasi intervensi sesuai kebutuhan pasien melalui hasil penelitian ini akan memberikan kejelasan pemberian intervensi bladder training guna mencegah inkontinensia urin pasca operasi trans vesica prostatectomy. Dengan
7
demikian dapat dijadikan data untuk penelitian selanjutnya untuk mengembangkan
intervensi
yang
tepat
dalam
upaya
mencegah
inkontinensia pasca operasi trans vesica prostatectomy. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam mendukung pemberian asuhan keperawatan medikal bedah khususnya perawatan pasien BPH dengan tujuan agar pasien tidak mengalami inkontinensia urin pasca operasi trans vesica prostatectomy.
E. Keaslian Penelitian Penelitian yang sama dan belum pernah dilakukan penelitian, namun ada beberapa penelitian yang hampir mirip dengan penelitian yang dilakukan peneliti yaitu : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Tutik Sri Haryati (2000), tentang “hubungan
antara
bladder
training
dengan
proses
pemulihan
inkontinensia urin pada pasien stroke”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasy Eksperimen. Sampel diambil melalui perhitungan rumus eksperimental. Dari perhitungan diperoleh sampel sebesar 19 orang, dimana 19 orang sebagai kelompok eksperimen dan 19 orang sebagai kontrol. Pemilihan sampel untuk kelompok kontrol dan eksperimen dilakukan secara purpose sampling yaitu dilakukan pemilihan sampel yang memenuhi kriteria sampel. Pengambilan data dilakukan selama tiga bulan dengan reponden sebanyak 38 pasien stroke, karakteristik responden sebagai berikut, jumlah pasien stroke Hemoragik diruang intervensi 0,59% dan stroke iskemia 0,41%. Diruang kontrol jumlah stroke hemoragik 0,47% sedangkan stroke iskemian 0,53%. Jika dibandingkan dengan usia maka jumlah stroke hemoragik dan lansia di ruang intervensi 0,21%, diruang kontrol 0,26%. Jumlah stroke hemoragik usia dewasa diruang intervensi 0,37%, dan diruang kontrol 0,21%.
8
Jumlah pasien stroke iskemi dewasa diruang intervensi 0,21% dan diruang kontrol sebesar 0,105%. Dari hasil penelitian menunjukan ada perbedaan masa pemulihan inkontinensia urin pada pasien yang latihanya terprogram pada ruangan intervensi jika tidak dibedakan jenis strokenya diperoleh lama inkontinensia urin rata-rata 13 hari, sedangkan diruang kontrol 22 hari. Setelah dianalisa dengan C195% dengan uji T-test ternyata perbedaan ini bermakna dengan p=0,012, jika dibedakan jenis strokenya, maka lama inkontinensia urin pada pasien stroke hemoragik di ruang intervensi rata-rata 17 hari, diruang kontrol 24 hari. Dari uji T-test p=0,10 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna. Lama inkontinensia urin pada pasien iskemia di ruang intervensi 6 hari, dan diruang kontrol 20 hari. Dari uji T-test didapatkan p=0,023, berarti ada perbedaan yang bermakna. Dibandingkan dengan usia pasien maka lama inkontinensia urin pada pasien stroke hemoragik dan lansia diruang intervensi 18 hari dan diruang kontrol 26 hari. Dari uji T-test p=0,17 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua ruangan tersebut. Lama pada pasien stroke hemoragik dewasa pada ruang intervensi rata-rata 17 hari, diruang kontrol 23 hari. Dari uji T-test p=0,39, berarti tidak ada perbedaan yang bermakna. Lama inkontinensia pada pasien iskemi dan lansia pada ruang intervensi 8,75 dan diruang kontrol 20,5 dan uji T-test p=0,083, berarti tidak ada perbedaan yang bermakna. Lama rata-rata pada pasien stroke iskemia pada dewasa diruang kontrol 21 hari. Dari uji T-test p=0,44, berarti tidak ada perbedaan yang bermakna. Persamaan dengan penelitian sama-sama meneliti tentang inkontinensia urin. Perbedaan dengan penelitian ini adalah kasus, tempat, waktu, variabel penelitian dan metode penelitian. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Krismawati (2009) tentang“ Efektifitas Pelaksanaan Bladder Training Secara Dini Pada Pasien Yang Terpasang Douwer Kateter Terhadap Kejadian Inkontinensia Urin di Ruang Umar
9
dan Ruang Khotijah Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang”. Penelitian ini merupakan penelitian Quasi Eksperimen dan bersifat studi analitik. Sampel diambil dengan menggunakan tekhnik sampling jenuh dengan jumlah responden sebanyak 42 orang. Data diambil dari dua kelompok perlakuan yaitu kelompok A (bladder training yang dilakukan setiap hari setelah douwer kateter terpasang) dan kelompok B (blader training yang dilakukan satu hari sebelum douwer Kateter dilepas). Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 11 orang (26,2%) responden mengalami inkontinensia urin dan sebanyak 31 orang (73,8%) responden tidak mengalami inkontinensia urin. Uji statistik menggunakan uji Chi Square diperoleh hasil p value 0,069 > 0,05 yang menunjukan tidak ada pengaruh pelaksanaan bladder training secara dini pada pasien yang terpasang
douwer
kateter
terhadap kejadian
inkontinensia urin.
Persamaan dengan penelitian sama-sama meneliti tentang inkontinensia urin Perbedaan dengan penelitian ini adalah kasus, tempat, waktu, variabel penelitian, dan metode penelitian.