EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN TERHADAP PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN RTRW (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu)
ASTRIA HERNISA A14070007
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
RINGKASAN ASTRIA HERNISA. Evaluasi Kemampuan Lahan terhadap Penggunaan/ Penutupan Lahan dan RTRW (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu). Di bawah bimbingan ERNAN RUSTIADI dan LA ODE SYAMSUL IMAN. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, alokasi pemanfaatan ruang pada rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan (Rustiadi et al., 2010). Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi pada peningkatan kebutuhan lahan pada Kawasan Puncak, Sub DAS Ciliwung Hulu untuk mewadahi berbagai aktivitas manusia dalam melangsungkan kehidupannya. Di sisi lain, ketersediaan lahan relatif terbatas. Sehingga tidak mustahil jika banyak terjadi konversi lahan menjadi kawasan terbangun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi inkonsistensi penggunaan lahan eksisting terhadap peruntukan lahan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025, mengevaluasi ketidaksesuaian penggunaan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan wilayah, serta mengevaluasi ketidaksesuaian peruntukan lahan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 terhadap kemampuan lahan wilayah. Dalam penelitian ini, penentuan peta kemampuan lahan dilakukan menggunakan teknik Boolean yang selanjutnya dioverlay sesuai kombinasi parameter dan dianalisis secara deskriptif. Luas penggunaan lahan yang inkonsisten terhadap peruntukan lahan sebesar 3608,05 Ha (24,70 % dari total luas wilayah). Inkonsistensi peruntukan lahan tertinggi pada hutan produksi, sedangkan penggunaan lahan yang inkonsisten tertinggi adalah semak belukar. Luas penggunaan lahan yang tidak sesuai terhadap kemampuan lahan sebesar 4863,18 Ha (33,34 % dari total luas wilayah). Ketidaksesuaian kemampuan lahan tertinggi pada lahan kelas III, sedangkan penggunaan lahan yang tidak sesuai tertinggi adalah pemukiman dan rumput/tanah kosong. Luas peruntukan lahan yang tidak sesuai terhadap kemampuan lahan sebesar 3985 Ha (27,32 % dari total luas wilayah). Ketidaksesuaian kemampuan lahan tertinggi pada lahan kelas II dan III, sedangkan peruntukan lahan yang tidak sesuai tertinggi terjadi untuk kawasan permukiman.
Kata Kunci: Evaluasi, Inkonsistensi, Ketidaksesuaian, RTRW, Kemampuan Lahan, Sub DAS Ciliwung Hulu
iii
SUMMARY ASTRIA HERNISA. Evaluation of Land Capability to Land Use/Cover and Local Spatial Plan (Case Study Sub-Watershed Upstream Ciliwung). Under the guidance of ERNAN RUSTIADI and LA ODE SYAMSUL IMAN. In Act No. 26 of 2007 on Spatial Planning, allocation of space utilization at regional Provincial and District/City Spatial Plan must consider the supportive and carrying capacity of the environment (Rustiadi et al., 2010). An increasing number of population has implications in the increasing land demand on the Puncak Area, Sub watershed Upstream Ciliwung to accommodate a variety of human activities. Therefore there are many conversion of land into a developed region. This study aims to evaluate the inconsistencies of existing land use against the allotment of land according to Bogor District Spatial Planning (RTRW) Year 2005-2025, to evaluate the incompatibility of existing land use against the land capability, and to evaluate the mismatch of allotment of land according to Bogor District Spatial Plan Year 2005-2025 against the land capability. In this study, the determination of land capability map is conducted using Boolean techniques which later overlayed according to the combination of parameters and analyzed descriptively. Area of land use that is inconsistent with allotment land of 3608.05 ha (24.70% of the total land area). The highest inconsistency on land allotment are in production forest area, while the land use which most inconsistent is shrubs. Area of land use that is not appropriate to land capability are in wide of 4863.18 ha (33.34% of the total land area). The widest incompatibility of land capability are on the land class III, while the use type with highest level of inconsistency to land capability are settlement and grass/bare land. Area of allotment land that is not appropriate to land capability are in wide of 3985 ha (27.32% of the total land area). Land capability class with highest level of inconsistency rate are the land classes II and III, while the allotment of land with highest rate of unsuitability is settlement area. Keywords: Land Use, Inconsistency, Spatial Plan, Land Capability, Sub watershed Upstream Ciliwung
iv
EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN TERHADAP PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN RTRW (Studi Kasus Sub DAS CIliwung Hulu)
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
OLEH : ASTRIA HERNISA A14070007
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
v
Judul Skripsi
: Evaluasi Kemampuan Lahan terhadap Penggunaan/ Penutupan Lahan dan RTRW (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu) Nama Mahasiswa : Astria Hernisa Nomor Pokok : A14070007
Menyetujui :
Pembimbing I
Pembimbing II
(Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr) NIP. 19651011 199002 1 002
(Ir. La Ode Syamsul Iman, M.Si)
Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc) NIP. 19621113 198703 1 003
Tanggal Lulus:
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor tepatnya di Cimanggu pada tanggal 13 September 1990, putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Ibu Herawati dan Bapak Husni Kasim. Pendidikan yang ditempuh penulis antara lain, Sekolah Dasar tahun 19962002 di SD Negeri Panaragan 1 Kota Bogor. Sekolah Menengah Pertama pada tahun 2002-2005 di SMP Insan Kamil Kota Bogor. Sekolah Menengah Atas tahun 2005-2007 dengan mengikuti program akselerasi di SMA Insan Kamil Kota Bogor. Setelah lulus pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan, diantaranya sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) Divisi Informasi dan Komunikasi periode 2009-2011 dan pengurus Koperasi Mahasiswa (Kopma) IPB Divisi Komunikasi dan Informasi periode 2009-2011. Pada tahun 2011 penulis menjadi asisten mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Wilayah dan Sistem Informasi Geografi (SIG).
vii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirrabbil’aalamiin, puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia yang diberikan-Nya. Terutama saat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2011 hingga November 2011 dengan judul Evaluasi Kemampuan Lahan terhadap Penggunaan/Penutupan Lahan dan RTRW (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu). Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah kekayaan ilmu pengetahuan pembacanya. Penulis menyadari bahwa dalam meyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Ir. La Ode Syamsul Iman, M.Si atas perhatian, bimbingan, saran, dan dukungannya selama penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi. 3. Dosen Departemen Manajemen Sumber Daya Lahan atas ilmu yang telah diberikan selama ini. 4. Andrea Emma Pravitasari, SP, M.Si dan Mbak Dian, serta Dosen dan staf bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah. 5. Ibu Rohmah staf perpustakaan Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian atas bantuannya dalam memperoleh data. 6. Papa, Mama, Abang (Azhary Husni, SE, M.Si) dan Adik (Astari Khaerunnisa) atas segala kasih sayang, doa, motivasi, semangat dan inspirasi yang telah diberikan selama ini. 7. Saudara Soilscaper 44 yang telah menjadi semangat selama kurang lebih 4 tahun ini.
viii
8. Keluarga kecilku yang selalu mengisi hariku dengan senyuman (Hanna Aditya Januarisky, Setia Wahyu Cahyaningsih, Reyna Prachmayandini, dan Juniska Muria Sariningpuri). 9. Arga Pandiwijaya, S.Hut dan kakak-kakak asisten praktikum mata kuliah Analisis Spasial Lingkungan atas ilmu dan bantuannya pada tahap awal membangun data penelitian. 10. Sahabat terbaikku, Siti Nurholipah SP, Harwan Susetio, SP, M. Paturrohman, S.Si, Gilar Cahya Nirmaya, S.Si, Hairul, Try Asrini, SE, Nova Prasetyanto, S.Pt, dan Andri Susanti, S.Gz, serta Kopmers. 11. Syahroji, SP atas pelajaran dan kasih sayangnya selama ini. 12. Semua pihak yang turut membantu kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor, Februari 2012
Astria Hernisa
ix
DAFTAR ISI DAFTAR ISI………………………………………………………………… DAFTAR TABEL…………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR………………………………………………………... DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………...
ix xi xii xiv
I.
PENDAHULUAN…………………………………………………….. 1.1. Latar Belakang…………………………………………………... 1.2. Permasalahan……………………………………………………. 1.3. Batasan Penelitian……………………………………………….. 1.4. Tujuan……………………………………………………………
1 1 2 3 3
II.
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………. 2.1. Kemampuan Lahan……………………………………………… 2.2. Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan…………………………… 2.3. Penataan Ruang………………………………………………….. 2.4. Tata Ruang Kawasan Sub DAS Ciliwung Hulu………………… 2.5. DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung…………………………. 2.6. Evaluasi Lahan…………………………………………………... 2.7. Sistem Informasi Geografi (SIG)………………………………...
4 4 7 8 9 11 12 13
III. METODOLOGI………………………………………………………. 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian……………………………………. 3.2. Data, Sumber Data dan Alat……………………………….……. 3.3. Metode Penelitian……………………………………………….. 3.3.1. Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data……………….. 3.3.2. Pengolahan Data Digital dan Analisis Spasial………….. 3.3.3. Pengecekan Lapang……………………………………... 3.3.4. Tahap Analisis Data……………………………………..
14 14 15 16 16 17 21 22
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN……………………….. 4.1. Letak dan Lokasi Penelitian……………………………………... 4.2. Iklim……………………………………………………………... 4.3. Geologi dan Geomorfologi……………………………………… 4.4. Tanah…………………………………………………………….
23 23 24 25 25
x
HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………….. 5.1. Penggunaan / Penutupan Lahan Eksisting………………………. 5.2. Klasifikasi Kemampuan Lahan………………………………….. 5.3. Peruntukkan Penggunaan Lahan menurut RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005 – 2025………………………………………... 5.4. Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW……………………………………….. 5.4.1. Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Peruntukan Penggunaan Lahan………………………………………………...….. 5.4.2. Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Peggunaan/Penutupan Lahan Eksisting………………………………………………… 5.5. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan Wilayah…………………………... 5.5.1. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan Wilayah…..................... 5.5.2. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting……. 5.6. Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan Wilayah…………………………………….. 5.6.1. Ketidaksesuaian Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan Wilayah menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan…………………...…….. 5.6.2. Ketidaksesuaian Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Peruntukan Penggunaan Lahan………………………..... 5.7. Analisis Penggunaan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan dan RTRW………………………………………………..
27 27 28
VI. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….. 6.1. Kesimpulan……………………………………………………… 6.2. Saran……………………………………………………………..
64 64 65
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
66
LAMPIRAN………………………………………………………………….
68
V.
32 34
40
42 43
48
50 52
57
59 61
xi
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9.
Tabel 10.
Tabel 11.
Tabel 12.
Tabel 13.
Tabel 14.
Tabel 15.
Tabel 16. Tabel 17.
Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan…………………………. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian……… Contoh Identifikasi Kelas dan Subkelas Kemampuan Lahan…… Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kecamatan dan Desa di Daerah Penelitian………………………………………………. Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Penggunaan/Penutupan Lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu……………………………………… Luas (Ha) dan Proporsi (%) Kelas dan Subkelas Kemampuan Lahan…………………………………………………………… Faktor Pembatas Setiap Kelas Kemampuan Lahan yang Dianalisis………………………………………………………… Luas (Ha) dan Proporsi (%) Peruntukan Lahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kab. Bogor tahun 2005-2025………… Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW……………………………………….. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi (%) Desa Terbesar Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW…………………... Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi (%) Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan…………………………………….. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi (%) Desa Terbesar Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan………………………….. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan……………………………………………… Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi (%) Desa yang Tidak Sesuai antara Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan……………………………………………………………... Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) 15 Besar Kombinasi Ketidaksesuaian RTRW terhadap Kemampuan Lahan pada masing-masing Kecamatan………………………………………. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi 3 Parameter……………………………………………………........ Sebaran Analisis 3 Parameter di Daerah Penelitian……………...
6 15 20 24 27 31 32 34
36
39
44
46
52
55
56 62 63
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8.
Gambar 9. Gambar 10.
Gambar 11.
Gambar 12.
Gambar 13.
Gambar 14.
Gambar 15.
Gambar 16.
Gambar 17.
Gambar 18.
Peta Wilayah Penelitian……………………………….………. Bagan Alur Metode I…………………………………..………. Bagan Alur Metode II………………………………….……… Peta Administrasi Wilayah Penelitian…………………..……... Peta Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting tahun 2009 di Sub DAS Ciliwung Hulu…………………………………..…... Peta Penyebaran Kelas dan Subkelas Kemampuan Lahan…….. Peta Peruntukan Lahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2005-2025…………………………… Urutan 10 Besar Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW……………………………………... Peta Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW…………………………… Urutan 10 Besar Luas Rata-Rata Poligon Terbesar Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW (Ha)………………………………... Urutan 10 Besar Desa dengan Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW………………… (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Peruntukan Lahan………... Urutan 5 Besar Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan terhadap Peruntukan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Peruntukan Lahan (%)…………………………………………. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan………………………………… Urutan 5 Besar Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan terhadap Peruntukan Lahan RTRW menurut klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan………………………………… Urutan 10 Besar Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan…………………………………... Urutan 10 Besar Luas Rata-Rata Poligon Terbesar Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan (Ha)…………………………….. Peta Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting tahun 2010 terhadap Kemampuan Lahan………………………
14 16 22 23 28 30 33
36 37
38
39
40
41
42
43
45
46 47
xiii
Gambar 19. Urutan 10 Besar Desa dengan Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan………………………... Gambar 20. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting tahun 2010 terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan… Gambar 21. Urutan 5 Besar Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan (%)……………………………………… Gambar 22. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting……………………………………………………….. Gambar 23. Urutan 5 Besar Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting (%)…………………. Gambar 24. Urutan 10 Besar Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan……………………………………………. Gambar 25. Peta Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan Wilayah………………………………….. Gambar 26. Urutan 10 Besar Luas Rata-rata Poligon Peruntukan Lahan RTRW Terluas yang Tidak Sesuai dengan Kemampuan Lahan (Ha)……………………………………………………………. Gambar 27. Urutan 10 Besar Jumlah Poligon Desa Terbanyak yang Tidak Sesuai antara Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan………………………………………………………….. Gambar 28. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan……………………. Gambar 29. Urutan 5 Besar Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan… Gambar 30. (a) Luas dan (b) Proporsi Ketidaksesuaian Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Peruntukan Penggunaan Lahan………… Gambar 31. Urutan 5 Besar Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Peruntukan Lahan RTRW……………………………………..
48
49
49
51
51
53 54
55
57
58 58
60
60
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6.
Lampiran 7.
Lampiran 8.
Lampiran 9.
Lampiran 10.
Lampiran 11.
Matriks Logik Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan terhadap RTRW……………………………………………… Matriks Logik Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan terhadap Kemampuan Lahan………………………………… Matriks Logik Inkonsistensi Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan………………………………… Luas Penyebaran Tanah di Sub DAS Ciliwung Hulu……….. Gambar Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting…………… Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW Kab. Bogor 2005 - 2025 menurut Klasifikasi Peruntukan Lahan……………………… Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW Kab. Bogor 2005 - 2025 menurut Klasifikasi Penggunaan Lahan……………………... Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan………………………………………….. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan………………………………………….. Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW Kab. Bogor 2005 - 2025 terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan………………………………………….. Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW Kab. Bogor 2005 - 2025 terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Peruntukan Lahan…………………………………………….
69 70 71 72 73
75
78
81
83
85
87
I. I.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
alokasi pemanfaatan ruang pada rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hal tersebut dikarenakan suatu lahan yang dipergunakan tidak sesuai dengan kemampuan akan mencapai batas kritis setelah waktu tertentu. Daya dukung lahan bersifat terbatas, sehingga untuk mensejahterakan kehidupannya maka manusia dituntut untuk membuat daya dukung lingkungan tersebut berkelanjutan (Rustiadi et al., 2010). Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) telah disusun oleh pemerintah dimaksudkan untuk mendukung perbaikan ataupun mempertahankan kondisi lingkungan yang ada. Menurut Rusdiana (1995), pengaturan tata guna lahan di DAS Ciliwung bagian hulu (kawasan puncak, Bogor), bagian tengah (Bogor, Depok), sampai hilir (DKI Jakarta) mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja sistem hidrologi dalam ekosistem DAS dan secara tidak langsung terhadap kelestarian sumberdaya alamnya. Oleh karena itu, perencanaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dalam DAS harus dilakukan secara lestari dan dalam kegiatan tersebut harus saling menunjang dan terintegrasi. Namun berdasarkan data hasil review lahan kritis BPDAS Citarum Ciliwung tahun 2009, kerusakan lahan DAS Ciliwung di Kabupaten Bogor menempati urutan ketiga. Dari total lahan DAS Ciliwung 20.280,00 Ha, seluas 9.350,98 Ha sudah rusak atau 46,11 % dalam keadaan kritis. Hal tersebut menunjukkan pemanfaatan sumberdaya alam dalam wilayah DAS, khususnya Sub DAS Ciliwung Hulu, telah mengalami perubahan kondisi lingkungan yang sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan aktifitas pembangunan. Dikarenakan penataan ruang yang umumnya terjadi akibat adanya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan lahan, sehingga terjadi perubahan pengelolaan maupun perubahan keadaan. Kawasan puncak yang masuk ke dalam wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu ditetapkan sebagai kawasan konservasi air dan tanah karena bernilai strategis sebagai kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan di bawahnya.
2
Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi pada peningkatan kebutuhan lahan untuk mewadahi berbagai aktivitas manusia melangsungkan kehidupannya. Misalnya, berkembangnya kawasan terbangun baik untuk pemukiman penduduk ataupun vila dan tempat wisata lainnya di kawasan puncak. Di sisi lain, ketersediaan lahan tersebut relatif terbatas. Sehingga tidak mustahil jika banyak terjadi konversi lahan dari kawasan budidaya pertanian ataupun kawasan lindung menjadi
kawasan
terbangun.
Menurut
Denny
(2004),
bentuk-bentuk
penyimpangan penggunaan/penutupan lahan terhadap peruntukan lahan RTRW umumnya didominasi oleh pemukiman pada sepanjang bantaran sungai-sungai dan pada wilayah retensi air, seperti rawa-rawa dan lahan basah. Jika dalam perkembangannya antara kebutuhan dan ketersediaan lahan tidak diatur dengan baik, maka akan terjadi berbagai benturan kepentingan antar aktivitas yang berdampak
pada
persaingan
dalam
penggunaan
lahan.
Hal
ini
akan
mengakibatkan terjadinya pergeseran pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan arahan penataan ruang dan daya dukung lahannya. Penelitian inkonsistensi antara RTRW dengan pemanfaatan ruang sudah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, namun evaluasi RTRW yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan belum banyak dilakukan. Beberapa bentuk degradasi lahan di kawasan Puncak terjadi karena inkonsistensi pemanfaatan ruang dengan RTRW, dan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dan RTRW dengan kemampuan lahan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana konsistensi pemanfaatan ruang dengan RTRW dan sejauh mana RTRW sesuai dengan kemampuan lahannya.
I.2.
Permasalahan Wilayah DAS Ciliwung merupakan salah satu sungai dengan kondisi
sangat kritis di Jawa Barat. Kabupaten Bogor, khususnya Kawasan Puncak memiliki peranan penting sebagai kawasan konservasi tanah dan air karena merupakan hulu dari DAS Ciliwung. Kawasan Puncak adalah kawasan yang memiliki potensi dan karakteristik yang khas untuk dikembangkan. Selain itu pula kawasan ini terdapat pada perlintasan regional yang menghubungkan wilayah
3
Jawa Barat (Bandung-Jakarta) dan merupakan bagian dari pusat kegiatan jasa, industri dan pariwisata. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rusdiana (1995), pola penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah mengarah pada buruknya kondisi DAS tersebut. Dimana lahan yang meresapkan air dan bak tampungan mengalami penurunan, sedangkan lahan yang sedikit dan tidak meresapkan air semakin bertambah tiap tahunnya. Hal tersebut sejalan dengan perkembangan yang sangat pesat dan pembangunan kawasan terbangun (pemukiman, hotel, vila, jalan, industri, dan lainnya) di DAS Ciliwung Hulu yang seringkali tidak mengikuti arahan penataan ruang dan tidak jarang penataan ruang suatu kawasan tidak menyesuaikan dengan daya dukung lahan kawasan tersebut. I.3.
Batasan Penelitian 1. Penentuan klasifikasi kemampuan lahan tanpa memperhatikan aspek teknik konservasi lahan di wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu. 2. Penggunaan/penutupan lahan eksisting wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu tidak memperhitungkan luas poligon minimum atau poligon yang lebih kecil dari unit satuan lahan terkecil.
I.4.
Tujuan 1. Mengevaluasi
inkonsistensi
penggunaan
lahan
eksisting
terhadap
peruntukan lahan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025. 2. Mengevaluasi ketidaksesuaian penggunaan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan wilayah. 3. Mengevaluasi ketidaksesuaian peruntukan lahan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 terhadap kemampuan lahan wilayah.
4
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi potensi
lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukkan untuk jenis tanaman tertentu maupun tindakan-tindakan pengelolaannya. Tujuannya adalah untuk mengelompokkan lahan yang dapat diusahakan bagi pertanian (arable land) berdasarkan potensi dan pembatasnya agar dapat berproduksi secara berkesinambungan. Klasifikasi penggunaan lahan merupakan sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh Hockensmith dan Steele pada tahun 1943 yang kemudian dimodifikasi oleh Klingebel dan Montgomery (1961; 2002), seperti yang tertuang dalam Agriculture Handbook No. 210. Dalam sistem klasifikasi ini lahan dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu kelas, subkelas, dan satuan (unit) kemampuan atau pengelolaan (Rayes, 2007). Kemampuan lahan merupakan pencerminan kapasitas fisik lingkungan yang dicerminkan oleh keadaan topografi, tanah, hidrologi, dan iklim, serta dinamika yang terjadi khususnya erosi, banjir dan lainnya. Kombinasi karakter sifat fisik statis dan dinamik dipakai untuk menentukan kelas kemampuan lahan, yang dibagi menjadi 8 kelas. Kelas I mempunyai pilihan penggunaan yang banyak karena dapat diperuntukan untuk berbagai penggunaan, mulai untuk budidaya intensif hingga tidak intensif, sedangkan kelas VIII, pilihan peruntukannya sangat terbatas, yang dalam hal ini cenderung diperuntukan untuk kawasan lindung atau sejenisnya (Rustiadi et al., 2010). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dalam tingkat kelas, kemampuan
lahan
menunjukkan
kesamaan
dari
besarnya
faktor-faktor
penghambat. Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin buruk, berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang diterapkan semakin terbatas. Kelas I Lahan kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Lahannya datar, solumnya dalam, bertekstur agak halus atau sedang, berdrainase baik, mudah diolah, dan responsif
5
terhadap pemupukan. Lahan kelas I tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan, sehingga dapat digarap untuk usaha tani tanaman semusim dengan aman. Tindakan pemupukan dan usaha-usaha pemeliharaan struktur tanah yang baik diperlukan guna menjaga kesuburan dan mempertinggi produktivitas. Kelas II Lahan kelas II mempunyai beberapa penghambat yang dapat mengurangi pilihan jenis tanaman yang diusahakan atau memerlukan usaha pengawetan tanah yang tingkatnya sedang. Kelas III Lahan kelas III mempunyai penghambat yang agak berat, yang mengurangi pilihan jenis tanaman yang dapat diusahakan, atau memerlukan usaha pengawetan tanah yang khusus, atau keduanya. Kelas IV Lahan kelas IV mempunyai penghambat yang berat untuk membatasi pilihan tanaman yang dapat diusahakan, memerlukan pengelolaan yang sangat berhatihati, atau kedua-duanya. Penggunaan lahan kelas IV sangat terbatas. Kelas V Lahan kelas V mempunyai sedikit atau tanpa bahaya erosi, tetapi mempunyai penghambat lain yang praktis sukar dihilangkan, sehingga dapat membatasi penggunaan lahan ini. Akibatnya, lahan ini hanya cocok untuk tanaman rumput ternak secara permanen atau dihutankan. Kelas VI Lahan kelas VI mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput ternak atau dihutankan. Penggunaan untuk padang rumput harus dijaga agar rumputnya selalu menutup dengan baik. Bila dihutankan, penebangan kayu harus lebih selektif. Bila dipaksakan untuk tanaman semusim, harus dibuat teras bangku. Lahan ini mempunyai penghambat yang sulit sekali diperbaiki. Kelas VII Lahan kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk usaha tani tanaman semusim dan hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan.
6
Kelas VIII Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk produksi pertanian, dan hanya dibiarkan dalam keadaan alami atau dibawah vegetasi hutan. Lahan ini dapat digunakan untuk daerah rekreasi cagar alam atau hutan lindung. Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan Faktor Penghambat
Kelas Kemampuan I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Lapisan atas (40 cm)
ah-s
h-ak
h-ak
(+)
(+)
(+)
(+)
k
2 Lereng permukaan (%)
0-3
3-8
8-15
15-30
(+)
30-45
45-65
>65
3 Drainase
b-ab
Aj
j
Sj
(++)
(+)
(+)
(+)
4 Kedalaman efektif
>90
>90
90-50
50-25
(+)
<25
(+)
(+)
t
R
r
S
(+)
b
sb
(+)
0-15
0-15
0-15
15-50
50-90
(+)
(+)
>90
Oo
Oi
Oii
Oii
Oiv
(+)
(+)
(+)
1 Tekstur tanah (t)
5 Keadaan erosi 6
Kerikil/batuan (% volume)
7 Banjir Keterangan
Tekstur Erosi Drainase
: (+)
: dapat mempunyai sebarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah (++) : permukaan tanah selalu tergenang air : ah = agak halus; h = halus; ak = agak kasar; k = kasar; s = sedang : t = tidak ada; r = ringan; s = sedang; b = berat; sb = sangat berat : b = baik; ab = agak baik; aj = agak jelek; j = jelek; sj = sangat jelek
Sumber : Konservasi Tanah dan Air (Arsyad, 2000). Pengelompokan tanah ke dalam satuan pengelolaan, subkelas, dan kelas kemampuan dilakukan terutama berdasarkan kemampuan lahan tersebut untuk menghasilkan produksi tanaman umum dan tanaman makanan ternak (pasture plants) tanpa kerusakan tanah di dalam periode waktu yang lama. Meskipun sistem ini telah dirancang untuk klasifikasi lahan detil di daerah yang telah berkembang namun sistem ini mempunyai beberapa keuntungan sehingga dapat juga digunakan pada penilaian permulaan secara umum bagi sumberdaya lahan di daerah-daerah yang belum berkembang, dengan alasan-alasan sebagai berikut (Sitorus, 1985). Pertama, karena sistem ini didasarkan atas evaluasi dari keadaan dan tingkat penghambat sifat-sifat fisik, maka sistem ini berguna untuk penilaian obyektif, penilaian perbandingan, dan menghindarkan bias pengaruh subjektif bagi wilayah yang sedang diklasifikasikan. Kedua, sistem ini hampir keseluruhan
7
didasarkan atas sifat-sifat fisik lahan, dan faktor ekonomis tidak dipertimbangkan kecuali dalam asumsi untuk tindakan pengelolaan tertentu yang digunakan. Ketiga, sistem ini menujukkan macam penggunaan lahan yang sesuai untuk lahan dengan faktor-faktor penghambat tertentu, sekaligus dengan tindakan pengelolaan yang dibutuhkan untuk dapat mengatasi faktor penghambat tersebut. 2.2.
Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan Penggunaan lahan adalah bentuk perwujudan usaha manusia dalam
menggunakan sumberdaya alam/lahan, yang di dalamnya terdapat komponen usaha, sedangkan penutupan lahan adalah bentuk perwujudan fisik dari penggunaan yang direncanakan ataupun tidak (Rustiadi et al., 2010). Sedangkan menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan (land use) juga diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spirituil (Arsyad, 2000). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi penggunaan lahan pedesaan (rural land use) dan penggunaan lahan perkotaan (urban land use). Penggunaan lahan pedesaan dititik beratkan pada produksi pertanian, sedangkan penggunaan lahan perkotaan dititik beratkan pada tujuan untuk tempat tinggal. Selanjutnya penggunaan lahan berdasarkan Arsyad (2006) dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan dan dimanfaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal macam penggunaan lahan seperti tegalan (pertanian lahan kering atau pertanian pada lahan tidak beririgasi), sawah, kebun, kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya.
8
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang tertulis: pemanfaatan ruang meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, kawasan lindung serta kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budidaya merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan menurut Sandy (1977) diantaranya jenis-jenis bahan induk yang menentukan tingkat kesuburan lahan dan selanjutnya menentukan pola penggunaan lahan dan pemusatan penduduk. Faktor lereng dan ketinggian tempat juga memiliki peranan penting. Selain itu, yang erat pula hubungannya dengan bahan induk dan lereng adalah faktor kedalaman efektif tanah. Selain itu jumlah penduduk, penyebaran penduduk dan profesi terbesar dari penduduknya, dan tingkat penggunaan lahan juga ikut menentukan pola penggunaan lahan dan pemusatan penduduk. 2.3.
Penataan Ruang Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan (tanah) ruang lautan, dan
ruang udara sebagai suatu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Karena tanah (daratan) merupakan salah satu bagian (unsur) dari ruang maka penatagunaan lahan tidak dapat dilepaskan dari penataan ruang wilayah. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tataguna lahan, tataguna air, tataguna udara, tataguna sumberdaya lainnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Tujuan dari diwujudkannya penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional agar terwujud keharmionisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia, dan terwujud perlindungan fungsi ruang dan pencegahan
9
dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Rustiadi et al., 2010). Dalam kaitannya dengan tujuan tersebut, maka Rustiadi et al. (2011) menyatakan tiga hal yang membuat unsur fisik menjadi peran penting dalam penataan ruang. Pertama, efisiensi dan produktivitas dapat dipenuhi dengan adanya alokasi sumberdaya fisik wilayah dilakukan secara tepat, sehingga peruntukan
berbagai
kawasan
dapat
sesuai
dengan
kemampuan
dan
kesesuaiannya. Kedua, unsur fisik dapat memenuhi tujuan keadilan dan keberimbangan hanya jika alokasi sumberdaya fisik dapat bermanfaat bagi wilayah yang bersangkutan dan memberikan dampak positif bagi wilayah di sekitarnya. Ketiga, tujuan untuk menjaga keberlanjutan (sustainability), hanya mungkin dicapai bila alokasi sumberdaya fisik wilayah dilakukan dengan cara bijaksana sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, unsur fisik penataan ruang harus diperlakukan sesuai dengan daya dukung, daya tampung, dan potensi wilayah.
2.4.
Tata Ruang Kawasan Sub DAS Ciliwung Hulu Menurut Denny (2004), tujuan penataan ruang Kawasan Jabodetabek-
Punjur adalah untuk: 1. Keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antar daerah Kabupaten dan Kota sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan; 2. Mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan serta penanggulangan banjir; 3. Mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah, bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan. Adapun sasaran penyelenggaraan penataan ruang Kawasan JabodetabekPunjur adalah: 1. Terwujudnya kerjasama penataan ruang antar Pemerintah Kabupaten dan Kota dalam Kawasan Bopunjur, yaitu:
10
a. Sinkronisasi
pemanfaatan kawasan
lindung
dan
budidaya
untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup yang penduduk; b. Sinkronisasi pengembangan prasarana dan sarana wilayah secara terpadu; c. Kesepakatan antar daerah untuk mengembangkan sektor-sektor prioritas dan kawasan-kawasan prioritas menurut tingkat kepentingan bersama. 2. Terwujudnya peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora, dan fauna dengan ketentuan: a. Tingkat erosi yang tidak mengganggu; b. Tingkat peresapan air hujan dan air permukaan yang menjamin tercegahnya bencana banjir dan ketersediaan air sepanjang tahun; c. Kualitas air yang menjamin kesehatan lingkungan; d. Situ yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sumber air baku, dan sistem irigasi; e. Pelestarian flora dan fauna yang menjamin pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; f. Tingkat perubahan suhu dan kualitas udara tetap menjamin kenyamanan kehidupan lingkungan hidup. 3. Terciptanya optimalisasi fungsi budidaya, dengan ketentuan: a. Kegiatan budidaya yang tidak melampaui daya dukung dan ketersediaan sumber daya alam dan energi; b. Kegiatan usaha pertanian yang memperhatikan konservasi air dan tanah; c. Daya tampung bagi penduduk yang selaras dengan kemampuan penyediaan prasarana dan sarana lingkungan yang bersih dan sehat serta dapat mewujudkan jasa pelayanan yang optimal; d. Pengembangan kegiatan industri yang menunjang pengembangan kegiatan ekonomi lainnya; e. Kegiatan pariwisata yang tetap menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat, serasi dengan lingkungan, serta dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk; f. Tingkat gangguan pencemaran lingkungan serendah-rendahnya dari kegiatan transportasi, industri, dan pemukiman melalui penerapan baku mutu lingkungan hidup.
11
4. Tercapainya keseimbangan antara fungsi lindung dan budidaya. 2.5.
DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan lahan total dan permukaan air
yang dibatasi oleh suatu batas air topografi dan yang dengan salah satu cara memberikan sumbangan terhadap debit suatu sungai pada suatu irisan melintang tertentu. Dinyatakan bahwa di Indonesia pada tahun 1989 terdapat 36 Daerah Aliran Sungai (DAS) menderita erosi berat, 13 diantaranya terdapat di Pulau Jawa. Luas lahan kritis pada saat itu adalah sekitar 10,63 juta hektar, dimana 42,81 persen dan 57,19 persen dari luasan itu berturut-turut dijumpai di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan (Rayes, 2007). Salah satu dari beberapa DAS yang tergolong kritis dan termasuk ke dalam DAS super prioritas adalah DAS Ciliwung. Pada dekade ini DAS Ciliwung mengalami
perubahan-perubahan
kearah
yang
merugikan,
dimana
penggunaan/konversi lahan bagian hulu bertambah besar, meningkatnya permukiman penduduk/ industri sepanjang sungai, dan fluktuasi debit yang tinggi. Pada dasarnya, DAS Ciliwung mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan DAS kritis lainnya, akan tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan DAS Ciliwung mendapat sorotan yang lebih banyak dibandingkan DAS lainnya, antara lain karena: a. Wilayah hilir DAS Ciliwung mencakup daerah ibukota Negara (DKI Jakarta) yang sangat kaya akan aset-aset nasional dan pemukiman penduduk, b. Kerusakan wilayah hulu DAS Ciliwung diakibatkan oleh tumbuh dan berkembangnya perumahan, industri, pariwisata/agrowisata, dan prasarana lainnya yang tidak berwawasan lingkungan, dan c. Wilayah hulu DAS Ciliwung merupakan kawasan wisata yang terus berkembang mengakibatkan tekanan terhadap sumberdaya ait terus berlanjut sehingga membutuhkan perencanaan yang dapat mengakomodasi perkembangan tersebut. Berdasarkan data yang bersumber dari hasil review lahan kritis BPDAS Citarum Ciliwung Tahun 2009, kerusakan lahan DAS Ciliwung hampir mencapai
12
40 persen. Dari total luas DAS Ciliwung yang mencapai 39.017,12 hektar, seluas 12.036,81 hektar atau 30,85 persennya mengalami kritis. Di lahan DAS Ciliwung yang rusak 100 persen adalah Sukabumi. Dari total luas DAS Ciliwung di Sukabumi 52,58 hektar, seluruhnya saat ini rusak. Dan Cianjur menempati urutan kedua yang lahan DAS-nya rusak akibat tedegradasi yakni dari total luas lahan 349,15 hektar, seluas 265,26 hektar atau 75,97 persen dalam keadaan kritis. Sedangkan di urutan ketiga ditempati Kabupaten Bogor. Dari total lahan DAS Ciliwung 20.280,00 hektar, seluas 9.350,98 hektar sudah rusak atau 46,11 persennya kritis (Harian Pos Kota, 19 Juni 2010).
2.6.
Evaluasi Lahan Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan.
Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Tujuan evaluasi lahan (Land Evaluation atau Land Assessement) adalah menentukan nilai suatu lahan untuk tujuan tertentu. Menurut FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), evaluasi lahan perlu juga memperhatikan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan yang berkaitan dengan perencanaan tataguna lahan. Menurut Sitorus (1985), fungsi evaluasi sumberdaya lahan untuk memberikan pengertian tentang hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil. Dengan demikian manfaat yang mendasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan lahan yang akan dilakukan. Hal ini penting terutama apabila perubahan penggunaan lahan tersebut diharapkan akan menyebabkan perubahan-perubahan besar terhadap keadaan lingkungannya. Informasi mengenai sumberdaya fisik wilayah sangat diperlukan untuk dapat melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang dengan baik. Evaluasi
13
sumberdaya fisik wilayah meliputi sumberdaya alam seperti lahan, hutan, mineral, perairan, pesisir dan laut, potensi bencana alam, dan lain-lain. Evaluasi sumberdaya fisik wilayah akan sangat terkait dengan daya dukung dan sumberdaya yang terkandung dalam ruang (Rustiadi et al., 2011).
2.7.
Sistem Informasi Geografi (SIG) Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem komputer untuk
menangkap,
mengatur,
mengintegrasi,
memanipulasi,
menganalisis,
dan
menyajikan data yang bereferensi ke bumi (Barus, 2005). Dengan kata lain, menurut Barus dan Wiradisatra (2000) SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Komponen utama dalam Sistem Informasi Geografis dibagi kedalam empat komponen utama, yaitu: perangkat keras, perangkat lunak, organisasi/manajemen dan pemakai. Kombinasi yang benar antara keempat komponen utama tersebut akan menentukan suatu proses pengembangan Sistem Informasi Geografi. Menurut Buchori (2010), SIG seringkali didefinisikan sebagai sistem komputer yang dapat dipergunakan untuk mengelola data keruangan, baik berupa gambar/peta ataupun tabel, sekaligus memahami keterkaitan di antara keduanya. SIG dikenal memiliki berbagai kemampuan terkait dengan pengelolaan basis data, analisis keruangan, dan penampilan hasil-hasil analisis keruangan. Dengan sistem ini, berbagai analisis keruangan berbasis peta (map analysis) dan tabel (tabular analysis) dapat dilakukan dengan cepat, mudah, dan akurat. Sistem ini juga mampu mengintegrasikan kedua format data tersebut sehingga mempermudah para
pengambil
keputusan/pelaku
pembangunan
keputusan/kebijakan yang berdimensi keruangan (spatial).
untuk
mengambil
14
III. 3.1.
METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai
dengan November 2011 dengan cakupan wilayah penelitian Sub DAS CIliwung Hulu yang secara geografis terletak pada 6o 37’ 48’’ – 6o 46’ 12’’ Lintang Selatan (LS) dan 106o 49’ 48’’ – 107o 00’ 00’’ Bujur Timur (BT). Wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu meliputi Kabupaten Bogor dan khususnya di beberapa kecamatan yaitu: Kecamatan Ciawi, Kecamatan Cisarua, Kecamatan Megamendung, dan Kecamatan Sukaraja. Pengolahan peta analog dan peta digital serta analisis data dilakukan di Laboratorium Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB. Pengecekan lapang dilakukan di daerah penelitian yaitu kawasan sekitar Sub DAS Ciliwung Hulu. Lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Wilayah Penelitian
15
3.2.
Data, Sumber Data, dan Alat Data yang digunakan untuk mendukung dan sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini ditujukan pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian No.
Jenis Data
1 Citra
ALOS
Avnir
Sumber Data yang Bagian
Diakuisisi pada 17 Juli 2009
Perencanaan
Pengembangan
Wilayah, Departemen ITSL, IPB, Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB 2010
2 Peta Administrasi Desa Provinsi Jawa Barat 3 Peta Rupa Bumi Indonesia
Bapeda Provinsi Jawa Barat,
Hasil
Update Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) (diperoleh dari Bagian Penginderaan Jauh, Departemen ITSL, IPB 1996)
4 Peta Tanah Semidetil DAS Ciliwung Hulu skala 1:50.000 5 Peta Land System with Land
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1992 Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat
Suitability and Environmental
1992, dimodifikasi sesuai kedalaman
Hazard, Lembar: Jakarta skala
yang digunakan pada penelitian ini
1:250.000
dengan skala hasil modifikasi 1:50.000
6 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Bappeda (diperoleh dari P4W-LPPM IPB hasil digitasi ulang oleh Afifah (2010))
Bogor Tahun 2005-2025
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak Erdas 9.1, ArcGIS 9.3, ArcView GIS 3.3, Microsoft Office Word, Microsoft Office Excel, Microsoft Access, Microsoft Visio, GPS dan kamera digital.
16
3.3.
Metode Penelitian Secara garis besar penelitian ini terdiri dari empat tahap kegiatan, yaitu:
(1) tahap persiapan dan pengumpulan data, (2) tahap analisis spasial dan data, (3) tahap pengecekan lapang, (4) tahap analisis data, dan (5) tahap penyusunan laporan akhir.
Gambar 2. Bagan Alur Metode I 3.3.1. Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data Tahap persiapan diawali dengan pengumpulan studi pustaka yang berhubungan dengan kemampuan lahan, penataan ruang, penggunaan/penutupan lahan eksisting kawasan Sub DAS Ciliwung Hulu, dan pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu juga pengumpulan data-data penunjang penelitian, seperti peta tanah, peta administrasi, peta RTRW, data curah hujan dan
17
citra ALOS. Setelah data terkumpul kemudian dilanjutkan dengan penyeragaman atau kalibrasi data sehingga proses pengolahan dapat dilakukan. 3.3.2. Pengolahan Data Digital dan Analisis Spasial Pada tahap yang kedua ini digunakan metode kombinasi teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk menganalisis peta. Pengolahan citra digital dan analisis spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, dan Erdas Imagine 9.1. Peta yang berbentuk raster dilakukan registrasi dan koreksi geometrik terlebih dahulu sehingga menghasilkan peta yang siap untuk di digitasi. 1. Koreksi Geometrik Tahap koreksi geometrik (georeferencing) bertujuan untuk menyamakan koordinat peta dengan koordinat sesungguhnya di lapangan atau merupakan proses penempatan objek berupa raster atau image yang belum mempunyai acuan sistem koordinat dan proyeksi tertentu. Peta yang dilakukan koreksi geometrik adalah Peta Tanah Semidetil dan Peta Land System. Metode georeferencing menggunakan koordinat yang tercantum pada peta analog. Koordinat yang tercantum pada Peta Tanah Semidetil tersebut berupa decimal degree, maka coordinate system yang digunakan adalah World Geographic System (WGS). Jika koordinat berupa Universal Transverse Mercator (UTM), maka yang dugunakan adalah Projected Coordinate System dengan zona wilayah 48 UTM. Tambahkan titik ikat atau GCP (Ground Control Point) pada garis perpotongan koordinat. Titik yang berwarna hijau merupakan source (koordinat gambar, sedangkan titik berwarna merah merupakan destination (koordinat yang sebenarnya). Titik ikat yang dibuat minimal berjumlah empat buah yang berseberangan untuk mempermudah koreksi. Untuk hasil koreksi peta yang baik syarat besarnya RMS Erorr tiap titik harus ≤ 1. 2. Proses Digitasi Tahap digitasi dilakukan langsung pada layar komputer (on-screen digitizing). Digitasi adalah suatu proses yang dilakukan untuk mengubah peta
18
analog menjadi peta digital. Peta Tanah Semidetil dan Peta Land System yang sudah di digitasi dengan koordinat decimal degree di convert menjadi koordinat UTM zona 48 S. Citra ALOS yang sudah terkoreksi di potong (subset image) pada software Erdas Imagine 9.1 sesuai batas wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu. Digitasi citra ALOS dilakukan dengan batas administratif Sub DAS CIliwung Hulu. 3. Interpretasi Visual Analisis visual (interpretasi secara visual) merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi obyek-obyek yang ada dipermukaan bumi yang tampak pada citra dengan mengenalinya atas dasar karakteristik citra. Pendekatan ini melibatkan analisis/interpreter untuk mendapatkan informasi yang terekam pada citra dengan cara interpretasi visual. Elemen-elemen diagnostik dalam analisi visual yang digunakan adalah rona, warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi. Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra. Warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum tampak. Ukuran adalah atribut obyek yang berkaitan dengan jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Bentuk adalah variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Pola adalah susunan keruangan obyek yang merupakan ciri yang memadai bagi beberapa obyek alamiah. Bayangan, dapat membantu memberikan gambaran profil suatu obyek, atau bahkan menghalangi proses interpretasi akibat kurangnya cahaya sehingga sukar diamati pada foto udara. Situs adalah lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek lain yang sangat berguna untuk membantu pengenalan suatu obyek. Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain. Dari interpretasi peta penggunaan/penutupan lahan wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu, diperoleh delapan bentuk penggunaan/penutupan lahan, yaitu hutan, semak/belukar, kebun/perkebunan, tegalan/ladang, sawah tadah hujan, sawah irigasi, rumput/tanah kosong, dan pemukiman.
19
4. Ekstraksi Landform Tahap ekstraksi ini bertujuan untuk menghasilkan beberapa parameter peta dari suatu peta dari data atribut peta tersebut. Peta Tanah Semidetil diekstrak menjadi peta kemiringan lereng, peta drainase tanah dan peta tekstur tanah, sedangkan Peta Land System diekstrak menjadi peta kedalaman tanah dengan modifikasi skala menggunakan bantuan dari DEM SRTM dan Peta Tanah Semidetil. 5. Tumpang Tindih (Overlay) Pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan metode overlay peta digital.
Peta
kelas
erosi
diperoleh
dari
hasil
overlay
antara
peta
penggunaan/penutupan lahan dan peta tanah. Lima faktor pembatas yang ditumpangtindihkan, yaitu peta kemiringan lereng, peta erosi, peta kedalaman tanah, peta tekstur tanah, dan peta drainase tanah. 6. Penetapan Kemampuan Fisik Lahan Pada tahap ini, penentuan kemampuan fisik lahan yang dikategorikan ke dalam bentuk kelas dan subkelas. Besarnya hambatan yang ada untuk masingmasing parameter menentukan masuk ke dalam kelas dan subkelas mana lahan tersebut. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2009, penentuan kelas dan subkelas kemampuan lahan dilakukan dengan teknik Boolean. Kemampuan fisik lahan dikelaskan ke dalam 8 (delapan) kelas, yaitu kelas I sampai dengan kelas VIII. Kemampuan lahan kategori kelas dapat dibagi ke dalam kategori subkelas yang didasarkan pada jenis faktor penghambat atau ancaman dalam penggunaannya. Kategori subkelas hanya berlaku untuk kelas II sampai dengan kelas VIII, karena lahan kelas I tidak mempunyai faktor penghambat. Kelas kemampuan lahan dapat dirinci ke dalam subkelas berdasarkan empat faktor penghambat, yaitu kemiringan lereng (t), penghambat terhadap perakaran tanaman (s), tingkat erosi/bahaya erosi (e), dan genangan air (w).
20
Dari hasil overlay peta, diperoleh kombinasi kelima faktor pembatas, yaitu kemiringan lereng, tingkat kelas erosi, kedalaman tanah, drainase tanah, dan tekstur tanah, sehingga dapat dilakukan identifikasi kelas kemampuan lahan. Besarnya faktor pembatas yang ada menentukan masuk ke dalam kelas dan subkelas mana lahan tersebut. Sebagai contoh, lahan yang memiliki kemiringan lereng datar dan tidak mempunyai faktor pembatas dari parameter lainnya masuk ke dalam kelas I. Contoh yang lebih rinci untuk mengidentifikasi kelas dan subkelas lahan dijabarkan pada Tabel 3. Tabel 3. Contoh Identifikasi Kelas dan Subkelas Kemampuan Lahan No. 1 2 3 4 5
No. Sampel Faktor Pembatas Kemiringan Lereng Tingkat Erosi Kedalaman Tanah Tekstur Tanah Drainase Tanah Kelas Subkelas
1 Data >3-8% Erosi Ringan Dalam Halus Baik
Kode B e1 k0 t1 d0
Kemampuan Lahan II II I I I II II t, e
Dari penjabaran pada Tabel 3, maka lahan dengan unit karakteristik tersebut masuk ke dalam kategori kelas II dengan faktor pembatas kemiringan lereng (t) dan tingkat erosi (e). Setelah peta penggunaan/penutupan lahan didigitasi dan diinterpretasi dan setelah ditentukan kelas kemampuan lahan beserta faktor-faktor pembatasnya, selanjutnya dilakukan tumpang tindih (overlay). Kombinasi peta yang ditumpangtindihkan, yaitu peta penggunaan/penutupan lahan eksisting dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, peta penggunaan/penutupan lahan eksisting dengan peta kemampuan lahan, dan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 dengan
peta
kemampuan
lahan.
Masing-masing
kombinasi
peta
yang
ditumpangtindihkan tersebut dioverlay dengan peta administrasi Sub DAS Ciliwung Hulu. Kemudian dilakukan penghitungan luas masing-masing poligon dalam satuan meter. Kemudian peta hasil kombinasi tumpang tindih di-query berdasarkan matrik logika inkonsistensi terhadap RTRW (Lampiran 1) dan matrik
21
logika ketidaksesuaian terhadap kemampuan lahan (Lampiran 2 dan 3) yang menghasilkan 3 kombinasi peta tersebut. 3.3.3. Pengecekan Lapang Data untuk pengecekan lapang (ground checking) mengacu pada kombinasi peta inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 dan kombinasi peta ketidaksesuaian penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random) agar keterwakilan data baik. Menurut Nasution (2003), pada pengambilan sampel secara random, setiap unit populasi, mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel. Dengan cara random, bias pemilihan dapat diperkecil, sekecil mungkin. Ini merupakan salah satu usaha untuk mendapatkan sampel yang representatif. Sampel pengecekan lapang dilakukan pada poligon terluas yang mewakili setiap kombinasi menurut kelas penggunaan/penutupan lahan dan menurut kelas peruntukan lahan RTRW untuk peta inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, serta pada poligon terluas yang mewakili setiap kombinasi menurut kelas penggunaan/penutupan lahan dan menurut kelas kemampuan lahan untuk peta ketidaksesuaian penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan. Pengecekan data lapang dilakukan untuk mengamati kondisi aktual penggunaan lahan. Urgensi dari pengecekan data lapang adalah untuk memperkuat hasil analisis interpretasi, terutama dalam kaitannya dengan pengkoreksian peta penggunaan lahan, sehingga hasil akhir data yang di dapat memiliki tingkat akurasi dan keterwakilan yang tinggi. Data lapang yang diperoleh kembali dicocokkan dengan data hasil analisis yang pertama. Pengecekan lapang dilaksanakan selama tiga hari pada minggu pertama bulan November 2011, pada pukul 08.00 – 17.00 WIB. Alat yang digunakan untuk pengecekan lapang adalah GPS, kamera digital, dan alat tulis.
22
3.3.4. Tahap Analisis Data Data untuk keperluan analisis selanjutnya diektrak dari data atribut dari 3 kombinasi peta, dengan menggunakan MS Office Excell pada format file dbase (.dbf). Kemudian luas yang dalam satuan meter persegi (m2) di konversi ke dalam satuan hektar (Ha). Analisis data kombinasi menggunakan pivot table untuk melihat luas poligon (Ha) dan jumlah poligon masing-masing kombinasi.
Gambar 3. Bagan Alur Metode II
23
IV. 4.1.
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Letak dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di Kawasan Puncak, Sub DAS CIliwung Hulu,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kawasan ini merupakan daerah dataran tinggi karena berada pada daerah pegunungan. Secara astronomis daerah ini terletak pada kedudukan 6o 37’ 48’’ – 6o 46’ 12’’ Lintang Selatan (LS) dan 106o 49’ 48’’ – 107o 00’ 00’’ Bujur Timur (BT). Sub DAS Ciliwung Hulu di Kabupaten Bogor mencakup 4 (empat) kecamatan, yaitu Kecamatan Ciawi, Kecamatan Cisarua, Kecamatan Megamendung, dan Kecamatan Sukaraja. Lokasi penelitian memiliki luas 14.587,06 Ha yang meliputi 27 desa untuk 4 kecamatan. Untuk lebih rinci luas setiap kecamatan dan desa yang terdapat di wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Tabel 4.
Gambar 4. Peta Administrasi Wilayah Penelitian
24
Tabel 4. Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kecamatan dan Desa di Daerah Penelitian No
Kode
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
3201100004 3201100006 3201100010 3201100011 3201100012 3201100013 3201110001 3201110002 3201110003 3201110004 3201110005 3201110006 3201110007 3201110008 3201110009 3201110010 3201120001 3201120002 3201120003 3201120004 3201120005 3201120006 3201120008 3201120009 3201120010 3201120011 3201130001
Kecamatan Ciawi
Cisarua
Megamendung
Sukaraja Total Luas
Desa Bojong Murni Banjar Sari Banjar Waru Ciawi Bendungan Pandansari Citeko Cibeureum Tugu Selatan Tugu Utara Batu Layang Cisarua Kopo Leuwimalang Jogjogan Cilember Sukaresmi Sukagalih Kuta Sukakarya Sukamanah Sukamaju Gadog Cipayung Datar Cipayung Girang Megamendung Cibanon
Luas Ha % 905.80 6.21 37.41 0.26 31.98 0.22 55.92 0.38 149.37 1.02 232.21 1.59 584.07 4.00 1118.12 7.67 2428.47 16.65 1133.51 7.77 272.29 1.87 240.52 1.65 652.85 4.48 135.93 0.93 236.73 1.62 296.01 2.03 229.91 1.58 408.92 2.80 548.52 3.76 435.20 2.98 104.42 0.72 212.79 1.46 441.10 3.02 963.43 6.60 197.67 1.36 2369.97 16.25 163.92 1.12
Total Luas Ha % 1412.70 9.68
7098.50
48.66
5911.93
40.53
163.92 14587.06
1.12 100
Sumber : Hasil Analisis 2011, dari Peta Administrasi Desa Provinsi Jawa Barat 4.2.
Iklim Sub DAS Ciliwung Hulu terletak di ketinggian 1.530 mdpl, topografi
bergelombang dan berbukit, kelas lereng 2,7%-74,3% dengan panjang lereng 500700 m. Curah hujan rata-rata di daerah Sub DAS Ciliwung Hulu sebesar 2.929 – 4.956 mm/tahun. Perbedaan bulan basah dan bulan kering sangat mencolok, yaitu 10,9 Bulan basah per tahun dan hanya 0,6 Bulan kering per tahun. Tipe iklim menurut sistem klasifikasi Smith dan Ferguson (1951) dalam Aditama (2007) yang didasarkan pada besarnya curah hujan, yaitu Bulan Basah (> 200 mm) dan Bulan Kering (< 100 m) adalah termasuk ke dalam Tipe A.
25
4.3.
Geologi dan Geomorfologi Formasi batuan yang menutupi wilayah sekitar Bogor terdapat 4 satuan,
yaitu bahan volkan, aluvial sungai, breksi bersusunan andesit dan bahan napal (LPT, 1986 dalam Aditama, 2007). Jurusan Tanah IPB (1990) menyatakan bahwa kondisi geologi daerah penelitian dapat dibagi atas 4 formasi geologi, yaitu Formasi Qvu: Terletak pada bagian atas dari Sub DAS yang mempunyai lereng rata-rata di atas 40%. Formasi ini merupakan endapan lahar, aliran lava, breksi gunung api, batu pasir tufa. Formasi Qvba: Terletak pada bagian atas Sub DAS, formasi ini merupakan aliran basal dari Geger Bentang. Formasi Qvb: Terdiri dari breksi gunung api, lahar. Formasi Qv: Formasi ini terletak pada outlet dengan luasan yang kecil, merupakan lempeng tufa, pasir tufa, konglomerat, dan endapan lahar. Geomorfologi Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh dataran volkanik tua dengan bentuk wilayah bergunung, hanya sebagian kecil yang merupakan dataran alluvial. Geomorfologi daerah ini dibentuk oleh dua gunung api muda, yaitu Gunung Salak (2.211 m) dan Gunung Gede Pangrango (3.019 m). Rangkaian pegunungan api tua yang terdiri dari Gunung Malang (1.262 m), Gunung Limo, Gunung Kencana, dan Gunung Gendongan (Riyadi dalam Janudianto, 2004). 4.4.
Tanah Tanah-tanah yang terbentuk umumnya berasal dari bahan induk abu
volkan dan batuan piroklastik. Pada Peta Tanah Semidetil Tahun 1992 skala 1:50.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Ciliwung Hulu meliputi order Andisol, Ultisol, Inceptisol, dan Entisol yang masing-masing sebesar 38%, 11%, 48%, dan 2,1% (Janudianto, 2004). Inceptisol adalah tanah yang mulai berkembang tetapi belum matang yang ditandai oleh perkembangan profil yang lemah dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya (Rachim dan Suwardi, 2002). Inceptisol di daerah penelitian dijumpai dalam bentuk Asosiasi Andic Humitropepts-Typic Dystropepts,
26
Konsosiasi Typic Dystropepts, dan Konsosiasi Typic Eutropepts. Umumnya ditemukan di daerah lereng tengah hingga lereng bawah dari area penelitian. Andisol terbentuk dari pelapukan bahan induk volkan yang menghasilkan bahan amorf. Bahan amorf terdiri dari alofan, ferrihidrit, dan senyawa kompleks humusaluminium. Tanah ini berwarna hitam kelam, berbobot isi rendah (<0,85g/cm3), dan dikenal terasa berminyak (smeary) bila diremas karena mengandung bahan organik antara 8% hingga 30%. Andisol banyak ditemukan di daerah berelevasi tinggi seperti lereng atas dan sekitar puncak Gunung Mandalawangi, Gunung Joglog, Gunung Sumbul, dan Gunung Mas. Umumnya Andisol berada dalam bentuk konsosiasi Typic Hapludands, dan Asosiasi Typic Hapludands dan Typic Tropopsamments. Ultisol merupakan tanah yang memiliki horison argilik dengan kejenuhan basa kurang dari 35%. Ultisol terbentuk di daerah dengan bahan induk yang berumur lebih tua, akibatkan oleh proses liksiviasi lebih lanjut yang akan membentuk horizon argilik. Di daerah penelitian, Ultisol berada dalam bentuk konsosiasi Typic Hapludults, ditemukan di bagian utara daerah penelitian. Entisol merupakan tanah-tanah yang tingkat perkembangannya relatif baru. Di daerah penelitian, Entisol menyebar di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung dalam bentuk kompleks Typic TroporthentsTypic Fluvaquents. Luas penyebaran tanah di setiap kecamatan di Sub DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Lampiran 4.
27
V. 5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan / Penutupan Lahan Eksisting Penggunaan/penutupan lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu hasil digitasi
citra ALOS tahun 2009 memiliki 9 tipe penggunaan/penutupan lahan, yaitu hutan, pemukiman, kebun/perkebunan, tegalan/ladang, sawah tadah hujan, sawah irigasi, semak/belukar, air tawar, dan rumput/tanah kosong, seperti yang terlihat pada peta (Gambar 5). Penggunaan/penutupan lahan terluas di daerah penelitian adalah penggunaan/penutupan lahan hutan sebesar 5.269,80 Ha atau 36,13% dari total luas daerah penelitian. Hal tersebut karena daerah penelitian merupakan daerah konservasi air yang berfungsi memberikan perlindungan bagi daerah di bawahnya, yaitu Kota Bogor dan DKI Jakarta. Pemukiman memiliki luasan terluas kedua, yaitu sebesar 3.446,78 Ha atau 23,63% dari total luas daerah penelitian. Luas pemukiman yang cukup tinggi dapat memungkinkan terjadinya penyimpangan penggunaan/penutupan lahan baik dari peruntukan lahan RTRW, maupun kemampuan lahan di daerah penelitian yang seharusnya sebagai kawasan lindung ataupun kawasan pertanian menjadi kawasan terbangun. Luas masing-masing penggunaan/penutupan lahan di Sub DAS CIliwung Hulu disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Penggunaan/Penutupan Lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu Luas Penggunaan/Penutupan No. Lahan Ha % 1 Hutan 5269.80 36.13 2 Pemukiman 3446.78 23.63 3 Kebun / Perkebunan 2619.05 17.95 4 Tegalan / Ladang 2086.91 14.31 5 Sawah Tadah Hujan 838.40 5.75 6 Semak / Belukar 171.20 1.17 7 Sawah Irigasi 62.84 0.43 8 Air Tawar 46.30 0.32 9 Rumput / Tanah Kosong 45.78 0.31 Total Luas 14587.06 100 Sumber: Hasil Analisis, 2011
28
Gambar 5. Peta Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting tahun 2009 di Sub DAS Ciliwung Hulu 5.2.
Klasifikasi Kemampuan Lahan Hasil overlay antara beberapa unsur lahan seperti kemiringan lereng, erosi,
kedalaman tanah, tekstur, dan drainase, akan diperoleh klasifikasi kemampuan lahan. Klasifikasi kemampuan lahan meliputi kelas dan subkelas kemampuan lahan. Kelas kemampuan lahan memiliki tingkat kesamaan faktor-faktor pembatas dengan 8 kelas kemampuan lahan yang dikelompokkan ke dalam kelas I sampai dengan kelas VIII. Dalam kaitannya dengan penggunaan lahan, semakin tinggi kelas kemampuan lahannya maka semakin sedikit pilihan penggunaan lahannya, dimana pertimbangan kualitas lahan yang semakin buruk dan memiliki faktor pembatas yang besar. Sedangkan semakin rendah kelas kemampuan lahannya maka kualitas lahannya semakin baik dan memiliki faktor pembatas yang kecil, sehingga sesuai untuk banyak penggunaan lahan.
29
Dalam analisis yang dilakukan di daerah penelitian terdapat 7 (tujuh) kelas kemampuan lahan antara lain kelas I, II, III, IV, VI, VII, dan VIII yang tersebar di masing-masing kecamatan. Kelas kemampuan lahan terluas dimiliki oleh lahan kelas VIII, yaitu sebesar 3.345,95 Ha atau 22,94% dari total luas kelas kemampuan lahan di daerah penelitian. Hal tersebut sesuai karena wilayah penelitian terdapat di kaki gunung Gunung Pangrango yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan termasuk kawasan lindung yang memiliki kelas kemampuan lahan VIII. Luas masing-masing kelas kemampuan lahan disajikan pada Tabel 6. Pada lahan di kecamatan Cisarua dan kecamatan Megamendung terdapat lahan kelas I, II, III, IV, VI, VII, dan VIII. Sedangkan pada kecamatan Ciawi terdapat lahan kelas II, III, IV, VI, VII, dan VIII. Lahan di kecamatan Sukaraja hanya terdapat lahan kelas IV, VI dan VII. Peta penyebaran klasifikasi kemampuan lahan disajikan pada Gambar 6. Setiap kelas kemampuan lahan memiliki masing-masing faktor pembatas yang berbeda dan setiap kesamaan jenis faktor pembatas tersebut dapat mengklasifikasikan subkelas kemampuan lahan. Untuk kelas kemampuan lahan I tidak memiliki faktor pembatas sehingga cocok untuk digunakan sebagai penggunaan lahan apapun. Kemampuan lahan kelas II dengan kemiringan lereng >3%-8% memiliki tingkat erosi yang ringan dan kedalaman tanah yang sedang, serta drainase tanahnya yang baik dan agak terhambat masih memiliki pilihan penggunaan yang relatif banyak tetapi untuk penggunaan lahan yang sangat intensif sangat tidak disarankan pada kelas kemampuan lahan ini. Kemampuan lahan kelas III memiliki pilihan penggunaan lahan yang lebih sedikit dari kelas kemampuan lahan II karena memiliki faktor pembatas yang lebih berat, seperti kemiringan lereng >8%-15%, tingkat erosi sedang, kedalaman tanahnya dangkal, dan berdrainase sedang. Faktor pembatas yang lebih berat lagi terjadi pada kemampuan lahan kelas IV yang memiliki kemiringan lereng >15%30%, tingkat erosi agak berat, dan berdrainase baik dan cepat. Sedangkan untuk kemampuan lahan kelas VI, menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), sudah tidak cocok digunakan untuk penggunaan lahan pertanian karena memiliki faktor pembatas yang berat, yaitu kemiringan lereng >30%-45% dan tingkat erosi berat.
30
Menurut Arsyad (2006), tanah-tanah dengan kelas kemampuan lahan VII memiliki faktor pembatas yang berat dan tidak dapat dihilangkan, seperti terdapat pada kemiringan lereng >45%-65% dan tingkat erosi yang sangat berat. Lahan kelas kemampuan VIII lebih sesuai jika dibiarkan dalam keadaan alami dengan faktor pembatas dalam penelitian ini adalah terdapat pada kemiringan lereng >65% dan memiliki tekstur tanah yang sedang hingga kasar. Rincian faktor pembatas setiap kelas kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 7. Pada kelas II, kelas VI, dan kelas VII faktor yang menjadi pembatas adalah kemiringan lereng (t) dan erosi (e). Pada kelas III faktor yang menjadi pembatas adalah kemiringan lereng (t), erosi (e), kedalaman tanah atau tekstur (s), dan drainase (w). Sedangkan pada kelas IV faktor yang menjadi pembatas adalah kemiringan lereng (t), erosi (e), dan drainase (w). Pada kelas VIII faktor yang menjadi pembatas adalah kemiringan lereng (t), dan kedalaman tanah atau tekstur (s). Luas masing-masing subkelas kemampuan lahan disajikan pada Tabel 6.
Gambar 6. Peta Penyebaran Kelas dan Subkelas Kemampuan Lahan
Tabel 6. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Kelas dan Subkelas Kemampuan Lahan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Kemampuan Lahan Kelas Subkelas I II II e II t, e III III e III e, s III s III t III t, e III t, e, w III t,w IV IV e IV t, e IV t, e, w VI VI e VI t VI t, e VII VII e VII t VII t, e VIII VIII s VIII t, s Total Luas
Ciawi 73.06 42.69 30.37 352.64 242.03 12.01 19.12 76.77 2.70 15.90 13.45 2.46 29.04 14.01 15.03 40.71 40.71 901.34 49.62 851.72
0.50 0.29 0.21 2.42 1.66 0.08 0.13 0.53 0.02 0.11 0.09 0.02 0.20 0.10 0.10 0.28 0.28 6.18 0.34 5.84
Cisarua Ha 168.47 822.05 136.21 685.84 1434.41 786.96 647.45 716.75 85.35 631.40 517.86 347.52 137.14 33.20 1075.63 214.26 746.14 115.24 2363.33 1392.22 971.11
1412.70
9.68
7098.50
Ha
Sumber : Hasil Analisis, 2011
%
1.15 5.64 0.93 4.70 9.83 5.39 4.44 4.91 0.59 4.33 3.55 2.38 0.94 0.23 7.37 1.47 5.12 0.79 16.20 9.54 6.66
Megamendung Ha % 24.03 0.16 758.23 5.20 163.72 1.12 594.50 4.08 998.86 6.85 258.71 1.77 2.53 0.02 23.84 0.16 202.05 1.39 511.51 3.51 0.21 0.00 1460.37 10.01 187.35 1.28 1248.56 8.56 24.45 0.17 888.36 6.09 161.70 1.11 674.86 4.63 51.80 0.36 1700.81 11.66 279.33 1.91 1420.70 9.74 0.78 0.01 81.28 0.56 81.28 0.56
48.66
5911.93
%
40.53
Sukaraja 9.87 9.17 0.70 125.18 125.18 28.87 28.87 -
0.07 0.06 0.00 0.86 0.86 0.20 0.20 -
Total Luas Ha % 192.50 1.32 1653.34 11.33 342.63 2.35 1310.72 8.99 2785.90 19.10 500.74 3.43 2.53 0.02 23.84 0.16 1001.02 6.86 1178.08 8.08 76.77 0.53 2.91 0.02 2202.90 15.10 295.33 2.02 1880.66 12.89 26.91 0.18 1560.44 10.70 648.41 4.45 827.02 5.67 85.00 0.58 2846.02 19.51 563.17 3.86 2166.84 14.85 116.02 0.80 3345.95 22.94 1441.84 9.88 1904.11 13.05
163.92
1.12
14587.06
Ha
%
100
Tabel 7. Faktor Pembatas Setiap Kelas Kemampuan Lahan yang Dianalisis No.
Faktor Pembatas
Kelas Kemampuan Lahan I
II
1
Kemiringan lereng
III > 8 - 15 %
IV > 15 30 % Erosi agak berat
VI > 30 45 %
0-<3%
>3-8%
2
Tingkat erosi
Tidak ada erosi
Erosi ringan
Erosi sedang
3
Kedalaman tanah
Dalam
Sedang
Dangkal
(*)
(*)
(*)
(*)
4
Tekstur
Halus
(*)
(*)
(*)
(*)
(*)
Sedang dan kasar
Baik dan cepat
(*)
(*)
(*)
Baik dan agak Sedang terhambat (*) : dapat mempunyai sembarang faktor pembatas 5
Drainase
Baik
Erosi berat
VII > 45 65 % Erosi sangat berat
VIII > 65 % (*)
Sumber: Hasil Analisis, 2011
5.3.
Peruntukan Penggunaan Lahan menurut RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 Arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun
2005-2025 yang digunakan dalam penelitian ini mencakup wilayah penelitian Sub DAS Ciliwung Hulu. Peta RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 dioverlay dengan peta administrasi desa penelitian yang terdiri dari 27 desa yang disajikankan pada peta (Gambar 7). Berdasarkan peta tersebut, daerah penelitian memiliki 11 peruntukan lahan yang terbagi kedalam dua tipe kawasan, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Peruntukan lahan yang termasuk kawasan lindung adalah hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi, dan sungai besar. Sedangkan peruntukan lahan yang termasuk kawasan budidaya, yaitu pertanian lahan kering, perkebunan, tanaman tahunan, permukiman perkotaan (hunian rendah), permukiman perkotaan (hunian sedang), permukiman perdesaan (hunian rendah), permukiman perdesaan (hunian jarang).
33
Gambar 7.
Peta Peruntukan Lahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2005-2025
Kawasan lindung dan kawasan budidaya memiliki proporsi luas yang seimbang untuk peruntukan lahan di daerah penelitian. Luas kawasan lindung adalah 7.290,32 Ha atau 49,98% dari total luas peruntukan lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu, dan luas kawasan budidaya adalah 7.296,74 Ha atau 50,02% dari total luas peruntukan lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu. Peruntukan lahan terluas yang mencakup kawasan lindung di daerah penelitian terdapat pada peruntukan hutan lindung, yaitu 4.865,87 Ha (33,36% dari total luas peruntukan lahan Sub DAS Ciliwung Hulu). Kawasan lindung tersebut diarahkan di beberapa desa di Kecamatan Ciawi, Kecamatan Cisarua, dan Kecamatan Megamendung yang memang memiliki letak dan kondisi wilayah pada ketinggian dan kemiringan lereng yang cukup tinggi dan curam. Sedangkan peruntukan lahan yang mendominasi kawasan budidaya di wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu pada peruntukan pertanian lahan kering sebesar 1.965,48 Ha atau 13,47% dari total luas
34
peruntukan lahan Sub DAS Ciliwung Hulu. Luas masing-masing peruntukan lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luas (Ha) dan Proporsi (%) Peruntukan Lahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 No. 1 2 3 4 5 6
RTRW Kab. Bogor tahun 2005-2025 Tipe Peruntukan Kawasan Hutan Lindung Lindung Hutan Konservasi Sungai Besar Hutan Produksi Budidaya
7 8 9 10 11
Pertanian Lahan Kering Perkebunan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Tanaman Tahunan
Luas Ha
Total Luas %
Ha
%
4865.87 2334.18 45.75 44.52
33.36 16.00 0.31 0.31
7290.32
49.98
1965.48 1523.59
13.47 10.44
7296.74
50.02
1475.96
10.12
917.65
6.29
761.86
5.22
473.91
3.25
178.29
1.22 14587.06
100
Total Luas
Sumber: Diekstrak dari hasil digitasi (Afifah, 2010) 5.4.
Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW Luas penggunaan/penutupan lahan yang konsisten terhadap peruntukan
lahan RTRW sebesar 10.998,86 Ha atau 75,30% dari total luas daerah penelitian, sedangkan luas inkonsistensi sebesar 3.608,05 Ha atau 24,70% dari total luas daerah penelitian dengan kombinasi inkonsistensi sebanyak 26 kombinasi. Menurut
hasil
analisis,
diperoleh
10
besar
luasan
inkonsistensi
penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap peruntukan lahan RTRW yang disajikan pada Tabel 9. Luas inkonsistensi terbesar terjadi pada peruntukan hutan lindung dengan penggunaan lahan kebun/perkebunan sebesar 879,81 Ha atau 6,02% dari total luas daerah penelitian. Hal tersebut sejalan dengan fakta di lapang, bahwa di Kawasan Puncak terdapat Kawasan Wisata Agro Gunung Mas yang merupakan perkebunan teh terluas di Jawa Barat yang dikelola oleh PTPN VIII. Diikuti peruntukan pertanian lahan kering dengan penggunaan lahan
35
pemukiman sebesar 626,40 Ha atau 4,29% dari total luas daerah penelitian, dan peruntukan perkebunan dengan penggunaan lahan pemukiman sebesar 361,94 Ha atau 2,48% dari total luas daerah penelitian. Hasil analisis tersebut sesuai dengan meningkatnya pembangunan pemukiman padat penduduk dan vila-vila mewah di kawasan Puncak. Berdasarkan matriks logik inkonsistensi pada Lampiran 1, maka diperoleh peta hasil overlay peta penggunaan/penutupan lahan eksisting tahun 2009 dengan peta peruntukan lahan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 disajikan pada Gambar 9. Matriks logik tersebut didasarkan konsep land rent (nilai ekonomi lahan), yaitu suatu alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas yang land rent lebih tinggi. Pergeseran pengunaan lahan berlangsung secara searah dan bersifat irreversible, seperti lahan-lahan hutan yang sudah dikonversi menjadi lahan pertanian umumnya sulit dihutankan kembali (Rustiadi et al., 2011) Gambar 8 menunjukkan urutan 10 besar jumlah poligon terbanyak yang mengalami
inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan
eksisting
terhadap
peruntukan lahan RTRW di daerah penelitian. Jumlah poligon yang inkonsisten berjumlah 631 poligon dari total poligon daerah penelitian. Poligon inkonsistensi terbanyak berjumlah 127 poligon pada inkonsistensi peruntukan pertanian lahan kering dengan penggunaan lahan pemukiman. Diikuti dengan inkonsistensi peruntukan hutan lindung dengan penggunaan lahan pemukiman sebanyak 122 poligon, dan peruntukan perkebunan dengan penggunaan lahan pemukiman sebanyak 73 poligon. Dari hasil cek lapang, sebagian besar lahan-lahan di daerah penelitian baik kawasan lindung maupun kawasan budidaya pertanian banyak yang terkonversi menjadi penggunaan pemukiman. Urutan 10 besar luas rata-rata poligon inkonsistensi terluas digambarkan pada Gambar 10. Luas rata-rata poligon terluas pada kombinasi peruntukan hutan konservasi dengan penggunaan lahan kebun/perkebunan, yaitu 30,69 Ha. Diikuti oleh peruntukan hutan lindung dengan penggunaan lahan kebun/perkebunan sebesar 21,46 Ha, dan peruntukan hutan produksi dengan penggunaan lahan semak/belukar sebesar 19,17 Ha.
36
Tabel 9.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW Kombinasi Inkonsistensi
Hutan LindungKebun / Perkebunan Pertanian Lahan KeringPemukiman PerkebunanPemukiman Hutan KonservasiKebun / Perkebunan Pertanian Lahan KeringSawah Tadah Hujan Hutan LindungTegalan / Ladang Hutan LindungPemukiman Hutan KonservasiPemukiman Hutan LindungSemak / Belukar Hutan KonservasiTegalan / Ladang
Luas (Ha)
Luas (%)
879.81 626.40 361.94 337.61 323.32 322.37 321.69 71.10 54.17 53.67
6.02 4.29 2.48 2.31 2.21 2.21 2.20 0.49 0.37 0.37
Gambar 8. Urutan 10 Besar Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW
37
Gambar 9. Peta Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW
38
Gambar 10.
Urutan 10 Besar Luas Rata-Rata Poligon Terbesar Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW (Ha)
Tabel 10 menyajikan urutan 10 besar desa terluas yang mengalami inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap peruntukan lahan RTRW. Luas desa yang mengalami inkonsistensi terbesar di wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu adalah Desa Megamendung di Kecamatan Megamendung sebesar 661,73 Ha atau 4,53% dari total luas daerah penelitian. Menurut hasil cek lapang, kombinasi inkonsistensi terluas pada peruntukan hutan lindung dengan penggunaan lahan kebun/perkebunan terjadi di Desa Megamendung (gambar disajikan pada Lampiran 5.a). Diikuti oleh Desa Tugu Utara di Kecamatan Cisarua sebesar 576,85 Ha atau 3,95% dari total luas daerah penelitian, dan Desa Tugu Selatan di Kecamatan Cisarua sebesar 364,92 Ha atau 2,50% dari total luas daerah penelitian.
39
Tabel 10. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi (%) Desa Terbesar dalam Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kecamatan Megamendung Cisarua Cisarua Megamendung Megamendung Cisarua Cisarua Megamendung Megamendung Cisarua
Desa Megamendung Tugu Utara Tugu Selatan Kuta Sukagalih Citeko Cibeureum Sukakarya Cipayung Datar Jogjogan
Luas (Ha) 661.73 576.85 364.92 255.39 254.15 211.10 189.30 181.01 138.83 136.27
Luas (%) 4.53 3.95 2.50 1.75 1.74 1.45 1.30 1.24 0.95 0.93
Gambar 11 menunjukkan urutan 10 besar jumlah poligon yang inkonsisten terbanyak pada kombinasi penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan di wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu. Jumlah poligon inkonsistensi terbanyak terjadi pada Desa Megamendung di Kecamatan Megamendung sebanyak 152 poligon, diikuti oleh Desa Cilember Datar di Kecamatan Cisarua sebanyak 57 poligon dan Desa Sukagalih di Kecamatan Megamendung sebanyak 47 poligon.
Gambar 11. Urutan 10 Besar Desa dengan Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW
40
5.4.1. Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Peruntukan Penggunaan Lahan Menurut Gambar 12 inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan eksisting dominan terjadi pada peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Inkonsistensi terbesar terjadi pada peruntukan hutan lindung sebesar 1.591,31 Ha atau 44% dari total luas inkonsistensi, diikuti inkonsistensi pada peruntukan pertanian lahan kering sebesar 979,41 Ha atau 27% dari total luas inkonsistensi, dan inkonsistensi pada peruntukan hutan konservasi sebesar 496,30 Ha atau 13% dari total luas inkonsistensi. Secara lebih rinci luas (Ha), persentase (%) terhadap total luas peruntukan lahan dan total luas wilayah, jumlah poligon, luas rata-rata poligon (Ha), dan bentuk kombinasi inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap peruntukan lahan RTRW menurut klasifikasi peruntukan lahan disajikan pada Lampiran 6.
a)
Luas Inkonsistensi menurut Peruntukan Lahan (Ha)
b) Proporsi Inkonsistensi menurut Peruntukan Lahan (%)
Gambar 12. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Inkonsistensi Penggunaan / Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Peruntukan Lahan
41
Gambar 13. Urutan5 Besar Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan terhadap Peruntukan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Peruntukan Lahan (%) Berdasarkan Gambar 13 kombinasi inkonsistensi terbesar terjadi pada kombinasi peruntukan hutan produksi menjadi semak/belukar sebesar 43,06% dari total luas hutan produksi (gambar disajikan pada Lampiran 5.b), diikuti dengan kombinasi inkonsistensi peruntukan hutan produksi menjadi kebun/perkebunan sebesar 38,76% dari total luas hutan produksi dan kombinasi inkonsistensi pertanian lahan kering menjadi pemukiman sebesar 31,87% dari total luas pertanian lahan kering. Peruntukan lahan RTRW yang paling tinggi mengalami inkonsistensi adalah pada peruntukan hutan produksi. Hal tersebut menunjukan bahwa penggunaan lahan eksisting sudah tidak mengikuti kaidah peruntukan lahan RTRW dan menyimpang dari fungsi utama lahan tersebut. Walaupun persentase inkonsistensi pada hutan produksi terhadap total luas wilayah tergolong rendah, namun penggunaan/penutupan lahan eksisting yang inkonsisten diperuntukan hutan produksi hampir menggeser seluruh fungsi peruntukan lahan RTRW sebagaimana mestinya dibandingkan dengan peruntukan lahan RTRW yang lainnya.
42
5.4.2. Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Peggunaan/Penutupan Lahan Eksisting Menurut Gambar 14 pemukiman menempati urutan pertama dalam penggunaan/penutupan lahan eksisting yang inkonsisten terhadap peruntukan lahan RTRW sebesar 1.409,30 Ha atau 39% dari total luas inkonsistensi, diikuti oleh penggunaan lahan kebun/perkebunan dengan luas 1.234,67 Ha atau 34% dari total luas inkonsistensi, dan penggunaan lahan sawah tadah hujan sebesar 414,04 Ha atau 12% dari total luas inkonsistensi.
a) Luas Inkonsistensi menurut Penggunaan/Penutupan Lahan (Ha)
Gambar 14.
b) Proporsi Inkonsistensi menurut Penggunaan/Penutupan Lahan (%)
(a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Inkonsistensi Penggunaan/ Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW menurut Klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan
Secara lebih rinci luas (Ha), persentase (%) terhadap total luas penggunaan/penutupan lahan eksisting dan total luas wilayah, jumlah poligon, luas
rata-rata
poligon
(Ha),
dan
bentuk
kombinasi
inkonsistensi
penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap peruntukan lahan RTRW menurut klasifikasi penggunaan/penutupan lahan eksisting disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan Gambar 15 kombinasi inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap peruntukan lahan RTRW terbesar adalah kombinasi penggunaan sawah tadah hujan pada peruntukan lahan pertanian lahan kering dengan luas inkonsistensi sebesar 38,56% dari total luas sawah tadah hujan (gambar disajikan pada Lampiran 5.c), diikuti dengan kombinasi inkonsistensi kebun/perkebunan pada peruntukan lahan hutan lindung sebesar 33,59% dari total luas kebun/perkebunan dan kombinasi inkonsistensi semak/belukar pada
43
peruntukan lahan hutan lindung sebesar 31,64% dari total luas semak/belukar. Penggunaan lahan semak/belukar merupakan penggunaan/penutupan lahan eksisting yang paling tinggi ketidakkonsistenannya terhadap peruntukan lahan RTRW. Tingginya ketidakkonsistenan semak/belukar pada daerah penelitian menunjukan bahwa sudah terjadi degradasi lahan yang sangat signifikan dan status kepemilikan lahan yang terabaikan.
Gambar 15. Urutan 5 Besar Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan terhadap Peruntukan Lahan RTRW menurut klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan
5.5.
Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan Wilayah Hasil
overlay
peta
klasifikasi
kemampuan
lahan
dengan
peta
penggunaan/penutupan lahan eksisting Sub DAS Ciliwung Hulu, diperoleh peta ketidaksesuaian penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan
(Gambar
18).
Menurut
hasil
analisis
peta,
luas
kesesuaian
penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan sebesar 9.723,64 Ha atau 66,66% dari total luas wilayah penelitian, sedangkan sekitar 4.863,18 Ha atau 33,34% dari total luas wilayah penelitian tidak sesuai terhadap kemampuan
lahannya
penggunaan/penutupan
dengan lahan
22
bentuk
eksisting
kombinasi
terhadap
ketidaksesuaian
kemampuan
lahan.
Ketidaksesuaian terbesar terjadi pada kelas kemampuan lahan II dengan faktor
44
pembatas kemiringan lereng (t) dan tingkat erosi (e) dengan penggunaan pemukiman sebesar 655,59 Ha atau 4,49% dari total luas wilayah penelitian. Kelas kemampuan lahan III dengan faktor pembatas kemiringan lereng (t) dengan penggunaan pemukiman sebesar 639,64 Ha atau 4,39% dari total luas wilayah penelitian. Diikuti luas kelas kemampuan lahan VII dengan faktor pembatas tingkat erosi (e) dengan penggunaan pemukiman, yaitu 511,35 Ha atau 3,51% dari total luas wilayah penelitian. Tabel 11 menampilkan secara rinci urutan 10 besar luas kombinasi ketidaksesuaian penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan.
Tabel 11.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi (%) Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan
Kombinasi Ketidaksesuaian II t, e Pemukiman III t Pemukiman VII e Pemukiman III e Pemukiman VII t Kebun / Perkebunan VI e Pemukiman III t, e Pemukiman VIII s Kebun / Perkebunan II e Pemukiman VII t Tegalan / Ladang
Luas (Ha) 655.59 639.64 511.35 468.15 400.66 337.01 302.39 210.34 189.07 141.42
Luas (%) 4.49 4.39 3.51 3.21 2.75 2.31 2.07 1.44 1.30 0.97
Jumlah poligon penggunaan/penutupan lahan eksisting yang tidak sesuai terhadap kemampuan lahan berjumlah 2.159 poligon dari total poligon di daerah penelitian. Poligon ketidaksesuaian terbanyak berjumlah 251 poligon pada kombinasi ketidaksesuaian kelas kemampuan lahan VII dengan faktor pembatas erosi dengan penggunaan pemukiman. Ketidaksesuaian kelas kemampuan lahan VII dengan faktor pembatas erosi dengan penggunaan kebun/perkebunan memiliki jumlah 201 poligon. Kemudian diikuti oleh kelas kemampuan lahan IV dengan faktor pembatas kemiringan lereng dan tingkat erosi dengan penggunaan pemukiman memiliki jumlah 192 poligon. Urutan 10 besar jumlah poligon terbanyak digambarkan pada Gambar 16.
45
Urutan 10 besar luas rata-rata poligon terluas digambarkan pada Gambar 17. Luas rata-rata terluas pada kombinasi kelas kemampuan lahan VII dengan faktor pembatas kemiringan lereng dengan penggunaan kebun/perkebunan, yaitu 14,84 Ha. Diikuti oleh kelas kemampuan lahan III dengan faktor pembatas kemiringan lereng, tingkat erosi, dan drainase tanah dengan penggunaan pemukiman sebesar 14,48 Ha, dan kelas kemampuan lahan VIII dengan faktor pembatas tekstur tanah dengan penggunaan kebun/perkebunan sebesar 11,69 Ha.
Gambar 16.
Urutan 10 Besar Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan
Tabel 12 menyajikan urutan 10 besar desa terluas yang mengalami ketidaksesuaian penggunaan/penutupan lahan terhadap kemampuan lahan. Luas ketidaksesuaian terbesar terjadi di Desa Tugu Selatan di Kecamatan Cisarua dengan luas ketidaksesuaian sebesar 640,94 Ha atau 4,39% dari total luas wilayah penelitian. Menurut hasil cek lapang, kombinasi ketidaksesuaian terluas pada kemampuan lahan kelas II dengan faktor pembatas kemiringan lereng dan tingkat erosi dengan penggunaan pemukiman terjadi pada pada desa tersebut (gambar disajikan pada Lampiran 5.d). Diikuti oleh Desa Tugu Utara di Kecamatan Cisarua sebesar 535,69 Ha atau 3,67% dari total luas wilayah penelitian, dan Desa
46
Cipayung Datar di Kecamatan Megamendung sebesar 382,89 Ha atau 2,62% dari total luas wilayah penelitian.
Gambar 17. Urutan 10 Besar Luas Rata-Rata Poligon Terbesar Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan (Ha) Tabel 12. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi (%) Desa Terbesar Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kecamatan Cisarua Cisarua Megamendung Cisarua Megamendung Cisarua Megamendung Cisarua Ciawi Cisarua
Desa Tugu Selatan Tugu Utara Cipayung Datar Cibeureum Megamendung Kopo Gadog Batu Layang Pandansari Cisarua
Luas (Ha) 640.94 535.69 382.89 315.98 294.37 278.24 231.86 214.31 195.11 186.13
Luas (%) 4.39 3.67 2.62 2.17 2.02 1.91 1.59 1.47 1.34 1.28
47
Gambar 18. Peta Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting tahun 2010 terhadap Kemampuan Lahan Gambar 19 menunjukkan urutan 10 besar jumlah poligon ketidaksesuaian terbanyak untuk kombinasi penggunaan/penutupan lahan terhadap kemampuan
48
lahan di wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu. Jumlah
poligon
ketidaksesuaian
terbanyak terjadi pada Desa Megamendung di Kecamatan Megamendung sebanyak 356 poligon, diikuti oleh Desa Cipayung Datar di Kecamatan Megamendung sebanyak 315 poligon dan Desa Tugu Selatan di Kecamatan Cisarua sebanyak 151 poligon.
Gambar 19. Urutan 10 Besar Desa dengan Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan 5.5.1. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan Wilayah Menurut Gambar 20 ketidaksesuaian penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan dominan terjadi pada kemampuan lahan kelas III sebesar 1.514,11 Ha atau 31% dari luas total ketidaksesuaian. Kemudian kelas kemampuan lahan VII dengan luas 1.207,51 Ha atau 25% dari luas total ketidaksesuaian, dan kelas kemampuan lahan II sebesar 844,66 Ha atau 17% dari luas total ketidaksesuaian. Menurut hasil analisis, kemampuan lahan kelas I tidak mengalami ketidaksesuaian penggunaan lahan. Karena lahan kelas I tidak memiliki faktor pembatas, sehingga sesuai untuk berbagai pilihan penggunaan lahan. Secara lebih rinci luas (Ha), persentase (%) terhadap total luas penggunaan lahan dan total luas wilayah, jumlah poligon, luas rata-rata poligon (Ha), dan
49
bentuk kombinasi ketidaksesuaian penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan menurut klasifikasi kelas kemampuan lahan disajikan pada Lampiran 8.
a)
Luas Ketidaksesuaian menurut Kemampuan Lahan (Ha)
b) Proporsi Ketidaksesuaian menurut Kemampuan Lahan (%)
Gambar 20. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Ketidaksesuaian Penggunaan/ Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan
Gambar 21. Urutan 5 Besar Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan (%) Menurut Gambar 21 kombinasi ketidaksesuaian terbesar pada lahan kelas III menjadi pemukiman sebesar 53,33% dari total luas lahan kelas III (gambar disajikan pada Lampiran 5.e), diikuti dengan kombinasi ketidaksesuaian lahan kelas II menjadi pemukiman sebesar 51,09% dari total luas lahan kelas II dan kombinasi ketidaksesuaian lahan kelas VI menjadi pemukiman sebesar 25,12%
50
dari total luas lahan kelas VI. Hal tersebut sesuai dengan kondisi di lapang bahwa pemukiman padat penduduk umumnya terbangun di lahan-lahan yang tidak begitu curam namun secara penggunaan menurut klasifikasi kemampuan lahan sudah tidak sesuai digunakan untuk pemukiman atau penggunaan lahan sangat intensif dan vila-vila mewah banyak terbangun di wilayah-wilayah dengan kemiringan lereng di atas 15%. Kelas kemampuan lahan yang paling tinggi mengalami ketidaksesuaian dengan penggunaan/penutupan lahan adalah lahan kelas III. 5.5.2. Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting Berdasarkan Gambar 22 penggunaan/penutupan lahan hutan tidak mengalami ketidaksesuaian terhadap klasifikasi kemampuan lahan, karena hutan yang memiliki fungsi sebagai daerah resapan air yang sesuai dengan faktor pembatas apapun di semua kelas kemampuan lahan. Penggunaan/penutupan lahan eksisting terluas yang tidak sesuai dengan klasifikasi kemampuan lahan adalah pemukiman sebesar 3.442,13 Ha atau 71% dari total luas ketidaksesuaian. Hal tersebut sejalan dengan fakta di lapangan bahwa daerah penelitian yang berada di kawasan wisata Puncak ini banyak di bangun vila-vila mewah ataupun tempat wisata lainnya pada tingkat kemampuan lahan yang tidak semestinya. Kemudian diikuti dengan kebun/perkebunan yang memiliki luas 662,44 Ha atau 14% dari total luas ketidaksesuaian. Daerah penelitian merupakan kawasan produksi teh tertinggi,
oleh karena
itu
banyak
lahan-lahan yang digunakan untuk
penggunaan/penutupan lahan kebun teh tanpa melihat daya dukung wilayah tersebut. Secara lebih rinci luas (Ha), persentase (%) terhadap total luas penggunaan lahan dan total luas wilayah, jumlah poligon, luas rata-rata poligon (Ha), dan bentuk kombinasi ketidaksesuaian penggunaan/penutupan lahan eksisting terhadap kemampuan lahan menurut klasifikasi penggunaan lahan disajikan pada Lampiran 9. Seperti yang terlihat pada Gambar 23 kombinasi terbesar terjadi pada penggunaan lahan rumput/tanah kosong pada lahan kelas III sebesar 62,25% dari total luas rumput/tanah kosong (gambar disajikan pada Lampiran 5.f), diikuti
51
dengan kombinasi pemukiman pada lahan kelas III sebesar 43,10% dari total luas pemukiman dan kombinasi sawah irigasi pada lahan kelas VI sebesar 39,10% dari total luas sawah irigasi. Penggunaan/penutupan lahan eksisting yang tidak sesuai terhadap kemampuan lahan terbesar terjadi pada penggunaan pemukiman dan rumput/tanah kosong.
a)
Luas Ketidaksesuaian menurut Penggunaan Lahan (Ha)
b) Proporsi Ketidaksesuaian menurut Penggunaan Lahan (%)
Gambar 22. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Ketidaksesuaian Penggunaan/ Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting
Gambar 23. Urutan 5 Besar Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting (%)
52
5.6.
Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan Wilayah Dari hasil analisis ketidaksesuaian peruntukan lahan RTRW terhadap
kemampuan lahan akan terlihat sejauh mana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah direncanakan oleh pemerintah sesuai dengan daya dukung daerah penelitian jika dilihat dari segi sifat fisik lahannya (Gambar 25). Berdasarkan analisis, peruntukan lahan RTRW yang sesuai terhadap kemampuan lahannya sebesar 10.627,12 Ha atau 72,85% dari total luas wilayah penelitian, sedangkan sebesar 3.985 Ha atau 27,32% dari total luas wilayah penelitian peruntukan lahan RTRW tidak sesuai terhadap kemampuan lahannya dengan 25 bentuk kombinasi ketidaksesuaian. Tabel 13.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan Kombinasi Ketidaksesuaian
Luas (Ha)
Luas (%)
II t, ePermukiman Perkotaan (Hunian Rendah) III tPermukiman Perkotaan (Hunian Rendah) III ePermukiman Perkotaan (Hunian Sedang) III t, ePermukiman Perkotaan (Hunian Rendah) VIII sPerkebunan II t, ePermukiman Perkotaan (Hunian Sedang) VI ePermukiman Perdesaan (Hunian Rendah) VII ePermukiman Perdesaan (Hunian Rendah) VI tPermukiman Perkotaan (Hunian Rendah)
343.10 307.08 279.13 263.49 187.08 172.77 172.31 154.37 129.65
2.35 2.11 1.91 1.81 1.28 1.18 1.18 1.06 0.89
III ePermukiman Perkotaan (Hunian Rendah)
127.66
0.88
Menurut Tabel 13 dari 10 besar jenis ketidaksesuaian peruntukan lahan RTRW terhadap kemampuan lahan, ketidaksesuaian terbesar terjadi pada lahan kelas II dengan faktor pembatas kemiringan lereng (t) dan tingkat erosi (e) yang diperuntukan dalam RTRW untuk permukiman perkotaan (hunian rendah) sebesar 343,10 Ha atau 2,35% dari total luas daerah penelitian, diikuti oleh lahan kelas III dengan faktor pembatas kemiringan lereng (t) untuk peruntukan permukiman perkotaan (hunian rendah) sebesar 307,08 Ha atau 2,11% dari total luas daerah penelitian, dan kelas III dengan faktor pembatas tingkat erosi (e) untuk
53
peruntukan permukiman perkotaan (hunian sedang) sebesar 279,13 Ha atau 1,91% dari total luas daerah penelitian. Gambar 24 menunjukkan urutan 10 besar jumlah poligon terbanyak yang mengalami ketidaksesuaian di daerah penelitian. Jumlah poligon yang tidak sesuai berjumlah 859
poligon dari total poligon
daerah penelitian.
Poligon
ketidaksesuaian terbanyak berjumlah 59 poligon pada ketidaksesuaian lahan kelas VII dengan faktor pembatas tingkat erosi (e) menjadi peruntukan pertanian lahan kering. Ketidaksesuaian lahan kelas VI dengan faktor pembatas tingkat erosi (e) menjadi peruntukan pertanian lahan kering memiliki 48 jumlah poligon. Kemudian diikuti oleh lahan kelas III dengan faktor pembatas kemiringan lereng (t) dan tingkat erosi (e) menjadi peruntukan permukiman perkotaan (hunian rendah) yang memiliki 40 jumlah poligon.
Gambar 24. Urutan 10 Besar Jumlah Poligon Terbanyak Kombinasi Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan Urutan 10 besar luas rata-rata poligon yang tidak sesuai terluas disajikan pada Gambar 26. Luas rata-rata poligon terluas pada kombinasi lahan kelas III dengan faktor pembatas tingkat erosi (e) menjadi peruntukan permukiman perkotaan (hunian sedang), yaitu 21,47 Ha. Diikuti oleh lahan kelas III dengan faktor pembatas kemiringan lereng (t), tingkat erosi (e) dan drainase (w) menjadi
54
peruntukan permukiman perkotaan (hunian sedang) sebesar 19,19 Ha, dan lahan kelas II dengan faktor pembatas tingkat erosi (e) menjadi peruntukan permukiman perkotaan (hunian rendah) sebesar 18,03 Ha.
Gambar 25. Peta Ketidaksesuaian Peruntukan Kemampuan Lahan Wilayah
Lahan
RTRW
terhadap
55
Gambar 26. Urutan 10 Besar Luas Rata-Rata Poligon Peruntukan Lahan RTRW Terluas yang Tidak Sesuai dengan Kemampuan Lahan (Ha) Urutan 10 besar desa yang paling luas mengalami ketidaksesuaian antara peruntukan penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan disajikan pada Tabel 12. Tabel 14. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi (%) Desa yang Tidak Sesuai antara Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kecamatan Megamendung Cisarua Megamendung Cisarua Cisarua Cisarua Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja
Desa Cipayung Datar Tugu Selatan Gadog Cibeureum Kopo Cisarua Pandansari Tugu Utara Sukamaju Cibanon
Luas (Ha) 535.21 415.38 400.46 276.63 242.06 239.91 232.08 225.89 178.07 163.92
Luas (%) 3.67 2.85 2.75 1.90 1.66 1.64 1.59 1.55 1.22 1.12
Luas ketidaksesuaian terbesar terjadi pada Desa Cipayung Datar di Kecamatan Megamendung sebesar 535,21 Ha atau 3,67% dari total luas daerah penelitian, diikuti oleh Desa Tugu Selatan di Kecamatan Cisarua dengan luas 415,38 Ha atau 2,85% dari total luas daerah peneltian, dan Desa Gadog di
56
Kecamatan Megamendung dengan luas 400,46 Ha atau 2,75% dari total luas daerah penelitian.
Tabel 15. Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) 15 Besar Kombinasi Ketidaksesuaian RTRW terhadap Kemampuan Lahan pada Masing-Masing Kecamatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kombinasi Ketidaksesuaian Kemampuan Lahan dan RTRW II t, e-->Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) III t-->Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) III e-->Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) III t, e-->Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) VIII s-->Perkebunan II t, e-->Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) VI e-->Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) VII e-->Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) VI t-->Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) III e-->Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) VI t-->Pertanian Lahan Kering IV t, e-->Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) III t-->Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) II e-->Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) II e-->Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah)
Ciawi Ha
Cisarua
Megamendung
Sukaraja
%
Ha
%
Ha
%
Ha
%
8.25
0.06
219.87
1.51
114.98
0.79
-
-
7.36
0.05
246.87
1.69
52.86
0.36
-
-
164.69
1.13
-
-
114.44
0.78
-
-
14.51
0.10
187.03
1.28
61.94
0.42
-
-
-
-
187.08
1.28
-
-
-
-
22.12
0.15
140.62
0.96
10.03
0.07
-
-
-
-
23.67
0.16
24.28
0.17
124.36
0.85
-
-
38.74
0.27
90.43
0.62
25.20
0.17
9.60
0.07
-
-
120.05
0.82
-
-
67.27
0.46
-
-
60.39
0.41
-
-
1.41
0.01
-
-
126.20
0.87
-
-
-
-
33.52
0.23
89.92
0.62
0.70
0.00
4.14
0.03
76.31
0.52
42.91
0.29
-
-
4.54
0.03
42.69
0.29
64.63
0.44
-
-
28.59
0.20
46.80
0.32
32.82
0.22
-
-
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 15, dapat terlihat bahwa di Kecamatan Cisarua mengalami penyimpangan peruntukan lahan permukiman perkotaan (hunian rendah) pada lahan kelas III dengan faktor pembatas kemiringan lereng sebesar 246,87 Ha atau 1,69% dari total luas daerah penelitian. Pada Kecamatan Ciawi, peruntukan lahan yang menyimpang tertinggi terhadap kemampuan lahan adalah peruntukan permukiman perkotaan (hunian sedang) pada lahan kelas III dengan faktor pembatas erosi sebesar 164,69 Ha atau 1,13% dari total luas daerah penelitian. Penyimpangan peruntukan lahan tertinggi pada Kecamatan Megamendung, yaitu peruntukan pertanian lahan kering pada lahan kelas VI dengan faktor pembatas kemiringan lereng sebesar 126,20 Ha atau 0,87% dari total luas daerah penelitian. Sedangkan pada Kecamatan Sukaraja
57
mengalami penyimpangan tertinggi pada peruntukan permukiman perdesaan (hunian rendah) di lahan kelas VI dengan faktor pembatas erosi sebesar 124,36 Ha atau 0,85% dari total luas daerah penelitian.
Gambar 27. Urutan 10 Besar Jumlah Poligon Desa Terbanyak yang Tidak Sesuai antara Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan Jumlah poligon ketidaksesuaian peruntukan penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan terbanyak terdapat pada Desa Cipayung Datar di Kecamatan Megamendung sebanyak 149 poligon, diikuti oleh Desa Gadog di Kecamatan Megamendung sebanyak 100 poligon, dan Desa Tugu Selatan di Kecamatan Cisarua sebanyak 62 poligon. Secara rinci urutan 10 besar desa dengan jumlah poligon terbanyak disajikan pada Gambar 27. 5.6.1. Ketidaksesuaian Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan Wilayah menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan Menurut Gambar 28 klasifikasi kemampuan lahan yang tidak sesuai dengan arahan peruntukan RTRW terbesar pada lahan kelas III sebesar 1.321,29 Ha atau 33% dari total luas ketidaksesuaian. Diikuti oleh lahan kelas II sebesar 735,93 Ha atau 19% dari total luas ketidaksesuaian, dan lahan kelas VI sebesar 697,79 Ha atau 18% dari total luas ketidaksesuaian.
58
a)
Luas Ketidaksesuaian menurut Kemampuan Lahan (Ha)
b) Proporsi Ketidaksesuaian menurut Kemampuan Lahan (%)
Gambar 28. (a) Luas (Ha) dan (b) Proporsi (%) Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan Secara lebih rinci luas (Ha), persentase (%) terhadap total luas penggunaan/penutupan lahan dan total luas wilayah, jumlah poligon, luas rata-rata poligon (Ha), dan bentuk kombinasi ketidaksesuaian peruntukan lahan RTRW terhadap kemampuan lahan menurut klasifikasi kemampuan lahan disajikan pada Lampiran 10.
Gambar 29. Urutan 5 Besar Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan.
59
Kelas kemampuan yang paling tinggi mengalami ketidaksesuaian dengan peruntukan lahan RTRW pada lahan kelas II dan lahan kelas III, dengan proporsi kombinasi ketidaksesuaian terbesar pada lahan kelas II menjadi permukiman perkotaan (hunian rendah) sebesar 27,30% dari total luas lahan kelas II, diikuti dengan kombinasi ketidaksesuaian lahan kelas III menjadi permukiman perkotaan (hunian rendah) sebesar 25,07% dari total luas lahan kelas III dan kombinasi ketidaksesuaian lahan kelas II menjadi permukiman perkotaan (hunian sedang) sebesar 17,21% dari total luas lahan kelas II (Gambar 29).
5.6.2. Ketidaksesuaian Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Peruntukan Penggunaan Lahan Menurut Gambar 30 luas ketidaksesuaian peruntukan lahan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 terhadap kemampuan lahan terbesar terjadi pada peruntukan permukiman perkotaan (hunian rendah) sebesar 1.451,32 Ha atau 36,65% dari total luas ketidaksesuaian. Diikuti dengan peruntukan permukiman perkotaan (hunian sedang) sebesar 865,37 Ha atau 21,85% dari total luas ketidaksesuaian, dan peruntukan permukiman perdesaan (hunian rendah) sebesar 527,81 Ha atau 13,33% dari total luas ketidaksesuaian. Secara lebih rinci tentang luas ketidaksesuaian peruntukan penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan menurut peruntukan penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 20.
a) Luas Ketidaksesuaian menurut Peruntukan Penggunaan Lahan (Ha).
60
b) Proporsi Ketidaksesuaian menurut Peruntukan Penggunaan Lahan (%) Gambar 30. (a) Luas dan (b) Proporsi Ketidaksesuaian Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Peruntukan Penggunaan Lahan Secara lebih rinci luas (Ha), persentase (%) terhadap total luas penggunaan/penutupan lahan dan total luas wilayah, jumlah poligon, luas rata-rata poligon (Ha), dan bentuk kombinasi ketidaksesuaian peruntukan lahan RTRW terhadap kemampuan lahan menurut klasifikasi peruntukan lahan disajikan pada Lampiran 11.
Gambar 31. Urutan 5 Besar Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Peruntukan Lahan RTRW
61
Peruntukan lahan RTRW yang tidak sesuai terhadap kemampuan lahan umumnya terjadi pada peruntukan kawasan permukiman, dengan proporsi kombinasi ketidaksesuaian terbesar pada permukiman perdesaan (hunian jarang) pada lahan kelas III sebesar 47,84% dari total luas permukiman perdesaan (hunian jarang), kemudian kombinasi ketidaksesuaian peruntukan permukiman perkotaan (hunian rendah) pada lahan kelas III sebesar 47,31% dari total luas permukiman perkotaan
(hunian
rendah)
dan
kombinasi
ketidaksesuaian
peruntukan
permukiman perkotaan (hunian sedang) pada lahan kelas III sebesar 43,18% dari total luas permukiman perkotaan (hunian sedang) (Gambar 31). 5.7.
Analisis Penggunaan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan dan RTRW Berdasarkan
hasil
overlay
antara
3
parameter,
yaitu
peta
penggunaan/penutupan lahan eksisting, peta peruntukan lahan RTRW, dan peta kemampuan lahan, maka dapat terlihat sejauh mana penggunaan/penutupan lahan eksisting yang sudah konsisten terhadap RTRW tetapi tidak sesuai dengan kemampuan
lahannya,
maupun
sebaliknya.
Serta
dapat
terlihat
juga
penggunaan/penutupan lahan eksisting yang tidak konsisten baik terhadap RTRW ataupun kemampuan lahannya. Menurut analisis, penggunaan lahan yang sesuai terhadap kemampuan lahannya namun tidak konsisten terhadap RTRW sebesar 1.310,77 Ha atau 8,98% dari total luas daerah penelitian, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai terhadap kemampuan lahannya namun konsisten dengan RTRW sebesar 2.556,13 Ha atau 17,52% dari total luas daerah penelitian. Sedangkan penggunaan lahan yang tidak konsisten baik terhadap kemampuan lahan dan RTRW sebesar 2.101,03 Ha atau 14,40% dari total luas daerah penelitian, dan penggunaan lahan yang konsisten baik terhadap kemampuan lahan dan RTRW sebesar 8.619,24 Ha atau 59,08% dari total luas daerah penelitian. Dari Tabel 16 dapat terlihat bahwa sebesar 362,21 Ha (2,48% dari total daerah penelitian) penggunaan kebun/perkebunan tidak sesuai di lahan kelas VII yang diperuntukan untuk hutan lindung. Kemudian penggunaan pemukiman sebesar 518,00 Ha (3,55% dari total daerah penelitian) tidak sesuai di lahan kelas III, namun konsisten di peruntukan permukiman perkotaan (hunian rendah).
62
Penggunaan kebun/perkebunan sebesar 231,15 Ha (1,58% dari total daerah penelitian) sesuai di lahan kelas IV, namun inkonsisten di peruntukan hutan lindung. Sedangkan sebesar 1.697,88 Ha (11,64% dari total daerah penelitian) penggunaan hutan sesuai di lahan kelas VIII dengan peruntukan hutan konservasi.
Tabel 16. Urutan 10 Besar Luas (Ha) dan Proporsi Luas (%) Kombinasi 3 Parameter No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kombinasi VIII HK H VII HL H VIII HL H III PKT (HR) P III PKT (HS) P VII HL KB / PKB IV PLK T / L II PKT (HR) P III PLK P IV HL KB / PKB
II Ha
IK %
Ha
KI %
Ha
%
KK Ha % 1697.88 11.64 1594.20 10.93 1234.22 8.46
Total Ha % 1697.88 11.64 1594.20 10.93 1234.22 8.46
-
-
-
-
-
-
-
-
518.00
3.55
-
-
-
-
518.00
3.55
-
-
369.78
2.53
-
-
-
-
369.78
2.53
362.21
2.48
-
-
-
-
-
-
362.21
2.48
-
-
-
-
-
-
290.56
1.99
290.56
1.99
-
-
270.65
1.86
-
-
-
-
270.65
1.86
257.15
1.76
-
-
-
-
-
-
257.15
1.76
-
-
-
-
231.15
1.58
-
-
231.15
1.58
Keterangan : I I : Penggunaan Lahan Inkonsistensi terhadap Kemampuan Lahan dan RTRW I K : Penggunaan Lahan Tidak Sesuai terhadap Kemampuan Lahan dan Konsisten terhadap RTRW K I : Penggunaan Lahan Sesuai terhadap Kemampuan Lahan dan Inkonsisten terhadap RTRW K K : Penggunaan Lahan Konsisten terhadap Kemampuan Lahan dan RTRW HL: Hutan Lindung, HK: Hutan Konservasi, PLK: Pertanian Lahan Kering, PKT (HR): Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah), PKT (HS): Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) H: Hutan, P: Pemukiman, KB/PKB: Kebun/Perkebunan, T/L: Tegalan/Ladang
Berdasarkan Tabel 17 penggunaan lahan yang inkonsisten terhadap kemampuan lahan dan RTRW paling banyak terjadi di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua sebesar 395,19 Ha atau 2,71% dari total daerah penelitian. Kemudian penggunaan lahan yang tidak sesuai terhadap kemampuan lahannya namun konsisten terhadap RTRW paling banyak terjadi di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua sebesar 297,25 Ha atau 2,04% dari total daerah penelitian, dan penggunaan lahan yang sesuai terhadap kemampuan lahannya dan inkonsisten terhadap RTRW paling banyak terjadi di Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung sebesar 381,77 Ha atau 2,62% dari total daerah penelitian. Sedangkan penggunaan lahan yang konsisten terhadap kemampuan lahannya dan RTRW paling banyak terjadi di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua sebesar 1.770,18 Ha atau 12,14% dari total daerah penelitian.
Tabel 17. Sebaran Analisis 3 Parameter di Daerah Penelitian No
Kecamatan
Desa
Ciawi 1 2 3 4 5 6
Bojongmurni Pandansari Bendungan Ciawi Banjar Sari Banjarwaru Cisarua
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Tugu Selatan Tugu Utara Cibeureum Kopo Citeko Cilember Batu Layang Cisarua Jogjogan Leuwimalang Megamendung Megamendung Cipayung Datar Kuta Gadog Sukakarya Sukagalih Sukaresmi Sukamaju Cipayung Girang Sukamanah
22 23 24 25 26 Sukaraja 27
Cibanon Total
II Ha 13.65 11.76 0.48 1.41 1354.47 336.53 395.19 156.71 101.14 74.51 82.41 112.79 0.02 95.14 0.03 732.38 282.82 108.70 90.82 14.21 78.43 61.73 22.15 14.61 58.93 0.53 0.53 2101.04
% 0.09 0.08 0.00 0.01 9.29 2.31 2.71 1.07 0.69 0.51 0.56 0.77 0.00 0.65 0.00 5.02 1.94 0.75 0.62 0.10 0.54 0.42 0.15 0.10 0.40 0.00 0.00 14.40
IK Ha 390.45 193.83 115.28 53.35 14.24 13.75 1313.90 297.25 135.30 156.19 161.60 91.08 61.65 88.08 186.67 34.09 102.00 754.69 14.45 259.50 211.97 41.24 1.79 25.36 80.46 71.47 48.46 97.09 97.09 2556.13
% 2.68 1.33 0.79 0.37 0.10 0.09 9.01 2.04 0.93 1.07 1.11 0.62 0.42 0.60 1.28 0.23 0.70 5.17 0.10 1.78 1.45 0.28 0.01 0.17 0.55 0.49 0.33 0.67 0.67 17.52
KI Ha 3.18 3.14 0.04 483.85 24.40 185.96 31.08 7.36 136.01 55.00 21.21 0.10 22.40 0.33 823.04 381.77 82.51 142.03 1.67 17.51 120.05 52.22 25.30 0.70 0.70 1310.77
% 0.02 0.02 0.00 3.32 0.17 1.27 0.21 0.05 0.93 0.38 0.15 0.00 0.15 0.00 5.64 2.62 0.57 0.97 0.01 0.12 0.82 0.36 0.17 0.00 0.00 8.99
KK Ha 1005.34 890.86 37.83 32.68 2.57 23.17 18.23 3946.18 1770.18 417.02 774.16 382.76 282.47 96.94 50.22 53.75 85.10 33.57 3602.11 1691.24 512.73 315.67 213.25 298.03 225.35 130.19 117.72 41.98 55.95 65.61 65.61 8619.24
% 6.89 6.11 0.26 0.22 0.02 0.16 0.12 27.05 12.14 2.86 5.31 2.62 1.94 0.66 0.34 0.37 0.58 0.23 24.69 11.59 3.51 2.16 1.46 2.04 1.54 0.89 0.81 0.29 0.38 0.45 0.45 59.09
Total Ha % 1412.63 9.68 905.76 6.21 232.19 1.59 149.37 1.02 55.92 0.38 37.41 0.26 31.98 0.22 7098.41 48.66 2428.36 16.65 1133.47 7.77 1118.15 7.67 652.85 4.48 584.07 4.00 296.01 2.03 272.29 1.87 240.55 1.65 236.73 1.62 135.93 0.93 5912.23 40.53 2370.27 16.25 963.43 6.60 548.52 3.76 441.10 3.02 435.20 2.98 408.92 2.80 229.91 1.58 212.79 1.46 197.67 1.36 104.42 0.72 163.92 1.12 163.92 1.12 14587.19 100.00
VI. 6.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Lahan di wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu umumnya tergolong ke dalam
lahan kelas VIII dengan luas 3.345,95 Ha atau 22,94% dari total luas kemampuan lahan, lahan kelas VII dengan luas 2.846,02 Ha atau 19,51% dari total luas kemampuan lahan, dan lahan kelas III dengan luas 2.785,90 Ha atau 19,10% dari total luas kemampuan lahan. Hal tersebut sejalan dengan fungsi utama kawasan tersebut sebagai daerah resapan air, tetapi fakta di lapangan banyak penggunaan/penutupan lahan yang tidak sesuai dan arahan peruntukan RTRW yang menyimpang dari konsep daya dukung lahan secara fisik. Luas ketidaksesuaian penggunaan/penutupan lahan terhadap kemampuan lahan sebesar 4.863,18 Ha atau 33,34% dari total luas wilayah dan luasan terbesar terjadi pada lahan kelas II dengan faktor pembatas kemiringan lereng dan tingkat erosi menjadi pemukiman (655,59 Ha atau 4,49% dari total luas wilayah). Desa dengan ketidaksesuaian penggunaan/penutupan lahan terhadap kemampuan lahan terluas adalah Desa Tugu Selatan di Kecamatan Cisarua (640,94 Ha atau 4,39% dari total luas wilayah). Kemudian luas ketidaksesuaian peruntukan lahan RTRW terhadap kemampuan lahan sebesar 3.985 Ha atau 27,32% dari total luas wilayah dan luasan terbesar terjadi pada lahan kelas II dengan faktor pembatas kemiringan lereng dan tingkat erosi menjadi permukiman perkotaan (hunian rendah) (343,10 Ha atau 2,35% dari total luas wilayah), desa dengan luas ketidaksesuaian peruntukan lahan terbesar adalah Desa Cipayung Datar di Kecamatan Megamendung (535,21 Ha atau 3,67% dari total luas wilayah). Sedangkan untuk luas inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan terhadap arahan peruntukan lahan RTRW sebesar 3.608,05 Ha atau 24,70% dari total luas wilayah dan luasan terbesar terjadi pada peruntukan
hutan lindung menjadi
perkebunan (879,81 Ha atau 6,02% dari total luas wilayah), desa dengan luas inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan terbesar adalah Desa Megamendung di Kecamatan Megamendung (661,73 Ha atau 4,53% dari total luas wilayah).
65
Penggunaan/penutupan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan umumnya sejalan mengikuti ketidaksesuaian dengan peruntukan lahan RTRW, dimana peruntukan lahan RTRW seharusnya mengikuti konsep daya dukung lingkungan. Arahan sekitar 24,70% peruntukan lahan menurut RTRW di wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu tidak mengikuti kaidah daya dukung lingkungan secara aspek fisik. 6.2.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai evaluasi daya dukung
lingkungan
dengan
melihat
aspek
lainnya,
seperti
aspek
status
pemilikan/penguasaan lahan, aspek ekonomi, serta aspek keberlanjutan lainnya. Diperlukan pula komitmen dan peninjauan ulang kembali arahan peruntukan lahan untuk mengurangi dan bahkan untuk mencegah terjadinya ketidaksesuaian penggunaan/penutupan lahan dan peruntukan lahan terhadap daya dukung lingkungan secara fisik, serta penyimpangan penggunaan/penutupan lahan terhadap peruntukan lahan yang sudah diarahkan sesuai dengan daya dukung lingkungannya.
66
DAFTAR PUSTAKA Aditama, DA. 2007. Analisis Perubahan Penggunaan Lahanpada Berbagai Kelas Kemampuan Lahan Dan Keterkaitannya Dengan Aksesibilitas Menuju Pusat-Pusat Pertumbuhan (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu, Kawasan Puncak-Bogor). Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Afifah. 2010. Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Barus, B. dan Wiradisastra, U.S. 2000. Sistem Informasi Geografi. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Barus, B. 2005. Kamus SIG (Sistem Informasi Geografis). SOTIS (Studio Teknologi Informasi Spasial). Bogor. Buchori, I. 2010. Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Perencanaan Tata Ruang. Buletin Tata Ruang: Ruang Untuk Ekonomi Masyarakat. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. Jakarta Halaman: 20-25. Denny, Rochyat Dj. 2004. Rencana Penataan Ruang Jabodetabek-Punjur. Di Dalam Panuju D. R. et al., Editor. Penataan Ruang, Pemanfaatan Ruang dan Masalah Lingkungan di Jabodetabek. Prosiding. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Halaman: 7-21. Hardjowigeno S, dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah mada University Press. Yogyakarta. Harian Pos Kota. 2010. DAS Ciliwung Memprihatinkan. Sabtu, 19 Juni 2010. Janudianto. 2004. Analisis Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Dan Pengaruhnya Terhadap Debit Maksimum-Minimum Di Sub DAS Ciliwung Hulu. Skripsi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lillesand, T.M, dan R.W. Kiefer. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Cetakan Ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
67
Nasution, Rozaini. 2003. Teknik Sampling. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009. Tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Jakarta. Menteri Negara Lingkungan Hidup. Rachim, DA, dan Suwardi. 2002. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rahim SE. 2006. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. PT Bumi Aksara. Jakarta. Rayes, L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. Rusdiana, O. 1995. Kondisi Tata Air DAS Ciliwung dan Sumber Daya Air DKI Jakarta. Rustiadi, E., Barus, B., Prastowo, dan Iman, L. S. 2010. Kajian Daya Dukung Lingkungan Hidup Provinsi Aceh. Crestpent Press. Jakarta. Rustiadi, E., Saefulhakim, S., Panuju, DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crestpent Press. Jakarta. Sandy, I Made. 1977. Penggunaan Tanah (Land Use) di Indonesia. Direktorat Tata Guna Tanah, Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri. Jakarta. Sitorus, S. R. P. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Penerbit TARSITO Bandung. Bandung. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992. Tentang Penataan Ruang. Jakarta. Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.
68
LAMPIRAN
69
Lampiran 1. Matriks Logik Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan terhadap RTRW
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Klasifikasi Peruntukan RTRW DAS Ciliwung
Hutan Lindung Hutan Konservasi Hutan Produksi Perkebunan Tanaman Tahunan Pertanian Lahan Kering Pemukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Pemukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Pemukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Pemukiman Perkotaan (Hunian Sedang)
Hutan
Kebun / Perkebunan
1 V V V V V V V V V V
2 X X X V V V V V V V
Penggunaan / Penutupan Lahan DAS Ciliwung Tanah Sawah Sawah Belukar / Ladang / Tadah Irigasi Semak Tegalan Hujan 3 4 5 6 X X X X X X X X X X X X V X X X V X X X V V V X V V V V V V V V V V V V V V V V
Rumput
Ruang Terbangun
7 X X X X X X V V V V
8 X X X X X X V V V V
70
Lampiran 2. Matriks Logik Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan terhadap Kemampuan Lahan Penggunaan / Penutupan Lahan DAS Ciliwung No
1 2 3 4 5 6 7 8
Kelas Kemampuan Lahan Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Kelas V Kelas VI Kelas VII Kelas VIII
Hutan
Belukar / Semak
Kebun / Perkebunan
Tanah Ladang / Tegalan
Sawah Tadah Hujan
1 V V V V V V V V
2 V V V V V V V X
3 V V V V X V X X
4
5
V V V V X X X X
V V V V V X X X
Sawah Irigasi
Rumput
Ruang Terbangun
6 V V V X V X X X
7 V V X X X X X X
8 V X X X X X X X
71
Lampiran 3. Matriks Logik Inkonsistensi Peruntukan Lahan RTRW terhadap Kemampuan Lahan RTRW DAS Ciliwung
No
Kelas Kemampuan Lahan
Hutan Lindung
Hutan Konservasi
Hutan Produksi
Perkebunan
2 V
3 V
4 V
1
Kelas I
1 V
2
Kelas II
V
V
V
3
Tanaman Tahunan
Pertanian Lahan Kering
5
6
V
V V
V V
Pemukiman Perdesaan (Hunian Rendah)
Pemukiman Perdesaan (Hunian Jarang)
Pemukiman Perkotaan (Hunian Rendah)
Pemukiman Perkotaan (Hunian Sedang)
7 V
8 V
9
10
V
V
V
V
X
X
Kelas III
V
V
V
V
V
V
V
X
X
X
4
Kelas IV
V
V
V
V
V
V
X
X
X
X
5
Kelas V
V
V
V
V
V
X
X
X
X
X
6
Kelas VI
V
V
V
V
X
X
X
X
X
X
7
Kelas VII
V
V
V
X
X
X
X
X
X
X
Kelas VIII
V
V
V
X
X
X
X
X
X
X
8
72
Lampiran 4. Luas Penyebaran Tanah di Sub DAS Ciliwung Hulu No 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10
Nama Tanah Asosiasi Andic Humitropepts Typic Dystropepts, Asosiasi Typic Hapludands Typic Tropopsamments Asosiasi Typic Humitropepts Typic Eutropepts Kompleks Typic Tropopsamment - Lithic Troporthents Kompleks Typic Troporthents Typic Fluvaquents Konsosiasi Typic Dystropepts Konsosiasi Typic Eutropepts Konsosiasi Typic Hapludands Konsosiasi Typic Hapludults Konsosiasi Typic Humitropepts Total
Ciawi Ha
Cisarua %
Ha
Megamendung %
Ha
Sukaraja
%
Ha
Total Luas %
Ha
%
-
-
1268.09
8.68
1428.08
9.78
-
-
2696.17
18.46
907.01
6.21
2368.94
16.22
114.28
0.78
-
-
3390.24
23.21
-
-
-
-
-
-
5.03
0.03
5.03
0.03
-
-
2.71
0.02
-
-
-
-
2.71
0.02
52.98
0.36
52.12
0.36
112.37
0.77
14.54
0.10
232.02
1.59
142.67 233.17
0.98 1.60
884.74 879.80
6.06 6.02
815.55 1230.17
5.58 8.42
-
-
1842.95 2343.14
12.62 16.04
0.52 79.70
0.00 0.55
1601.32 51.08 -
10.97 0.35 -
721.52 1492.90 0.21
4.94 10.22 0.00
144.40 -
0.99 -
2322.84 1688.90 79.91
15.91 11.56 0.55
1416.05
9.70
7108.80
48.68
5915.08
40.50
163.97
1.12
14603.91
100
73
Lampiran 5. Gambar Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting No. a
Lokasi Kecamatan Megamendung, Desa Megamendung
Koordinat x: 714524 y: 9265002
Kombinasi Inkonsistensi / Ketidaksesuaian Hutan lindung Kebun/perkebunan
b
Kecamatan Megamendung, Desa Megamendung
x: 711376 y: 9265432
Hutan produksi Semak/belukar
c
Kecamatan Megamendung, Desa Sukagalih
x: 711198 y: 9260867
Pertanian lahan kering Sawah tadah hujan
Gambar Penggunaan/Penutupan Eksisting
74
d
Kecamatan Cisarua, Desa Cisarua
x: 713930 y: 9261936
II t, e Pemukiman
e
Kecamatan Ciawi, Desa Ciawi
x: 704364 y: 9264008
II t, e, w Pemukiman
f.
Kecamatan Ciawi, Desa Pandansari
x: 704502 y: 9264992
III e Rumput/tanah kosong
75
Lampiran 6. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 menurut Klasifikasi Peruntukan Lahan
Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW Kab. Bogor tahun 2005-2025 Hutan Konservasi
Luas Peruntukan (Ha) 2334.18
Hutan Lindung
4865.87
Hutan Produksi
44.52
Perkebunan
Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang)
1523.59
473.91
Jenis Penggunaan Lahan Air Tawar Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Air Tawar Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Semak / Belukar Air Tawar Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Air Tawar Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman
Luas Inkonsistensi (Ha) 337.61 71.10 4.50 9.84 19.59 53.67 879.81 321.69 3.50 9.77 54.17 322.37 17.26 0.24 19.17 361.94 1.07 34.50 39.36 -
Persentase (%) terhadap Total terhadap Total Luas Peruntukan Luas Wilayah 14.46 2.31 3.05 0.49 0.19 0.03 0.42 0.07 0.84 0.13 2.30 0.37 18.08 6.02 6.61 2.20 0.07 0.02 0.20 0.07 1.11 0.37 6.63 2.21 38.76 0.12 0.54 0.00 43.06 0.13 23.76 2.48 0.07 0.01 2.26 0.24 2.58 0.27 -
Jumlah Poligon Inkonsistensi 11 15 2 4 10 9 41 122 4 6 15 60 1 4 1 73 3 17 11 -
Luas Rata-Rata Inkonsistensi (Ha) 30.69 4.74 2.25 2.46 1.96 5.96 21.46 2.64 0.87 1.63 3.61 5.37 17.26 0.06 19.17 4.96 0.36 2.03 3.58 -
76
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah)
761.86
Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah)
1475.96
Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang)
917.65
Pertanian Lahan Kering
1965.48
Sungai Besar
45.75
Rumput / Tanah Kosong Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Air Tawar Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Air Tawar Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Air Tawar Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Air Tawar Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Air Tawar Kebun / Perkebunan
626.40 8.02 323.32 21.67 -
31.87 0.41 16.45 1.10 -
4.29 0.05 2.21 0.15 -
127 4 52 9 -
4.93 2.00 6.22 2.41 -
77
71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
Tanaman Tahunan
Grand Total
178.29
14587.06
Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang
27.93 36.62 2.94 -
15.67 20.54 1.65 -
0.19 0.25 0.02 -
14 11 5 -
2.00 3.33 0.59 -
3608.05
253
24.70
631
152.53
78
Lampiran 7.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Peruntukan Lahan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 menurut Klasifikasi Penggunaan Lahan
Penggunaan/ Penutupan Lahan Eksisting Air Tawar
Total Luas Penggunaan (Ha) 46.30
Hutan
5269.80
Kebun / Perkebunan
2619.05
Pemukiman
3446.78
Jenis Peruntukan Lahan Hutan Konservasi Hutan Lindung Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Pertanian Lahan Kering Tanaman Tahunan Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Tanaman Tahunan Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi
Luas Inkonsistensi (Ha) 337.61 879.81 17.26 71.10 321.69 0.24
Persentase (%) terhadap terhadap Total Luas Total Luas Penggunaan Wilayah 12.89 2.31 33.59 6.02 0.66 0.12 2.06 0.49 9.33 2.20 0.01 0.00
Jumlah Poligon Inkonsistensi 11 41 1 15 122 4
Luas RataRata Inkonsistensi (Ha) 30.69 21.46 17.26 4.74 2.64 0.06
79
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
Rumput / Tanah Kosong
45.78
Sawah Irigasi
62.84
Sawah Tadah Hujan
838.40
Semak / Belukar
171.20
Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Tanaman Tahunan Hutan Konservasi Hutan Lindung Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Sungai Besar Hutan Konservasi Hutan Lindung Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Tanaman Tahunan Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang)
361.94 626.40 27.93 4.50 3.50 1.07 8.02 9.84 9.77 34.50 323.32 36.62 19.59 54.17 19.17 39.36 -
10.50 18.17 0.81 9.82 7.64 2.34 17.51 1.17 1.17 4.11 38.56 4.37 11.44 31.64 11.20 22.99 -
2.48 4.29 0.19 0.03 0.02 0.01 0.05 0.07 0.07 0.24 2.21 0.25 0.13 0.37 0.13 0.27 -
73 127 14 2 4 3 4 4 6 17 52 11 10 15 1 11 -
4.96 4.93 2.00 2.25 0.87 0.36 2.00 2.46 1.63 2.03 6.22 3.33 1.96 3.61 19.17 3.58 -
80
70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
Tegalan / Ladang
Grand Total
2086.91
14587.06
Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Tanaman Tahunan Hutan Konservasi Hutan Lindung Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Tanaman Tahunan
21.67 2.94 53.67 322.37 -
12.66 1.72 2.57 15.45 -
0.15 0.02 0.37 2.21 -
9 5 9 60 -
2.41 0.59 5.96 5.37 -
3608.05
284
24.70
631
152.53
81
Lampiran 8. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan
Kelas Kemampuan Lahan I
Total Luas Kelas (Ha) 192.50
II
1653.34
III
2785.90
IV
2202.90
Jenis Penggunaan Lahan Air Tawar Kebun / Perkebunan Pemukiman Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Air Tawar Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Air Tawar Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Air Tawar Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang
Luas Ketidaksesuaian (Ha) 844.66 1485.62 28.50 27.05 0.46 135.21 -
Persentase (%) terhadap Total Luas terhadap Total Luas Kelas Wilayah 51.09 5.79 53.33 10.18 1.02 0.20 1.23 0.19 0.02 0.00 6.14 0.93 -
Jumlah Poligon yang Tidak Sesuai 161 414 32 236 7 57 -
Luas Rata-Rata Ketidaksesuaian (Ha) 5.25 3.59 0.89 0.11 0.07 2.37 -
82
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
VI
1560.44
VII
2846.02
VIII
3345.95
Grand Total
14.587.06
Air Tawar Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Air Tawar Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Tegalan / Ladang Air Tawar Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Rumput / Tanah Kosong Semak / Belukar Tegalan / Ladang
392.00 11.19 24.57 134.07 197.03 415.37 628.19 5.37 1.83 4.08 152.67 247.06 64.61 0.20 26.74 36.70 4863.18
25.12 0.72 1.57 8.59 12.63 14.59 22.07 0.19 0.06 0.14 5.36 7.38 1.93 0.01 0.80 1.10 215.10
2.69 0.08 0.17 0.92 1.35 2.85 4.31 0.04 0.01 0.03 1.05 1.69 0.44 0.00 0.18 0.25 33.34
230 16 14 51 155 239 276 13 20 30 134 24 23 2 11 12 2157
1.70 0.70 1.75 2.63 1.27 1.74 2.28 0.41 0.09 0.14 1.14 10.29 2.81 0.10 2.43 3.06 44.82
83
Lampiran 9. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan Eksisting terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan
Penggunaan/ Penutupan Lahan Eksisting Air Tawar
Total Luas Penggunaan (Ha) 46.30
Hutan
5269.80
Kebun / Perkebunan
2619.05
Pemukiman
3446.78
Rumput / Tanah Kosong
45.78
Jenis Kelas Kemampuan Lahan I II III IV VI VII VIII III IV VI VII VIII I II III IV VI VII VIII I II III IV VI VII VIII II III IV VI VII
Luas Ketidaksesuaian (Ha) 415.37 247.06 844.66 1485.62 27.05 392.00 628.19 64.61 28.50 0.46 11.19 5.37
Persentase (%) terhadap Total Luas terhadap Total Penggunaan Luas Wilayah 15.86 2.85 9.43 1.69 24.51 5.79 43.10 10.18 0.78 0.19 11.37 2.69 18.23 4.31 1.87 0.44 62.25 0.20 1.02 0.00 24.44 0.08 11.72 0.04
Jumlah Poligon yang Tidak Sesuai 239 24 161 414 236 230 276 23 32 7 16 13
Luas Rata-Rata Ketidaksesuaian (Ha) 1.74 10.29 5.25 3.59 0.11 1.70 2.28 2.81 0.89 0.07 0.70 0.41
84
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
Sawah Irigasi
62.84
Sawah Tadah Hujan
838.40
Semak / Belukar
171.20
Tegalan / Ladang
2086.91
Grand Total
14587.06
VIII II III IV VI VII I II III IV VI VII I II III IV VI VII VIII I II III IV VI VII VIII
0.20 24.57 1.83 135.21 134.07 4.08 26.74 197.03 152.67 36.70 4863.18
0.44 39.10 2.92 16.13 15.99 0.49 15.62 9.44 7.32 1.76 333.77
0.00 0.17 0.01 0.93 0.92 0.03 0.18 1.35 1.05 0.25 33.34
2 14 20 57 51 30 11 155 134 12 2157
0.10 1.75 0.09 2.37 2.63 0.14 2.43 1.27 1.14 3.06 44.82
85
Lampiran 10. Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW Kab. Bogor 2005-2025 terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Kemampuan Lahan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Kelas Kemampuan Lahan
Total Luas Kelas (Ha)
I
192.50
II
1653.34
III
2785.90
IV
2202.90
Jenis Peruntukan Lahan Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Hutan Lindung Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Tanaman Tahunan Hutan Konservasi Hutan Lindung Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Tanaman Tahunan Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah)
Luas Ketidaksesuaian (Ha) 451.31 284.62 226.73 698.31 396.25 66.76 200.34
Persentase (%) terhadap terhadap Luas Total Total Luas Kelas Wilayah 27.30 3.09 17.21 1.95 8.14 1.55 25.07 4.79 14.22 2.72 3.03 0.46 9.09 1.37
Jumlah Poligon yang Tidak Sesuai 36 55 53 101 37 18 44
Luas Rata-Rata Ketidaksesuaian (Ha) 12.54 5.17 4.28 6.91 10.71 3.71 4.55
86
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63
VI
1560.44
VII
2846.02
VIII
3345.95
Grand Total
14587.06
Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Tanaman Tahunan Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Tanaman Tahunan Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Tanaman Tahunan Hutan Konservasi Hutan Lindung Perkebunan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Pertanian Lahan Kering
69.12 55.11 82.23 172.31 145.61 72.30 215.19 10.16 144.97 11.46 155.16 86.81 57.08 114.33 4.51 233.04 0.16 6.07 3959.94
3.14 2.50 5.27 11.04 9.33 4.63 13.79 0.65 5.09 0.40 5.45 3.05 2.01 4.02 0.16 6.96 0.00 0.18 182
0.47 0.38 0.56 1.18 1.00 0.50 1.48 0.07 0.99 0.08 1.06 0.60 0.39 0.78 0.03 1.60 0.00 0.04 27.15
23 27 18 31 25 32 64 7 27 12 31 39 22 64 1 26 1 4 798
3.01 2.04 4.57 5.56 5.82 2.26 3.36 1.45 5.37 0.96 5.01 2.23 2.59 1.79 4.51 8.96 0.16 1.52 109
87
Lampiran 11. Ketidaksesuaian Peruntukan Lahan RTRW Kab. Bogor 2005-2025 terhadap Kemampuan Lahan menurut Klasifikasi Peruntukan Lahan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Peruntukan Penggunaan Lahan RTRW Kab. Bogor tahun 2005-2025
Luas Peruntukan (Ha)
Hutan Konservasi
2334.18
Hutan Lindung
4865.87
Hutan Produksi
44.52
Perkebunan
1523.59
Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang)
473.91
Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah)
761.86
Jenis Kelas Kemampuan Lahan III IV VI VII VIII II III IV VI VII VIII IV VI VII I II III IV VI VII VIII II III IV VI VII I II III IV VI
Luas Ketidaksesuaian (Ha) 144.97 233.04 226.73 66.76 82.23 11.46 200.34 172.31
Persentase (%) terhadap Total terhadap Total Luas Luas Wilayah Peruntukan 9.52 0.99 15.30 1.60 47.84 1.55 14.09 0.46 17.35 0.56 2.42 0.08 26.30 1.37 22.62 1.18
Jumlah Poligon yang Tidak Sesuai 27 26 53 18 18 12 44 31
Luas Rata-Rata Ketidaksesuaian (Ha) 5.37 8.96 4.28 3.71 4.57 0.96 4.55 5.56
88
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63
Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah)
1475.96
Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang)
917.65
Pertanian Lahan Kering
Sungai Besar
Tanaman Tahunan
Grand Total
1965.48
45.75
178.29
14587.06
VII I II III IV VI VII VIII I II III IV VI VII I II III IV VI VII VIII I II III IV VI VII II III IV VI VII
155.16 451.31 698.31 69.12 145.61 86.81 0.16 284.62 396.25 55.11 72.30 57.08 215.19 114.33 6.07 10.16 4.51 3959.94
20.37 30.58 47.31 4.68 9.87 5.88 0.01 31.02 43.18 6.01 7.88 6.22 10.95 5.82 0.31 5.70 2.53 394
1.06 3.09 4.79 0.47 1.00 0.60 0.00 1.95 2.72 0.38 0.50 0.39 1.48 0.78 0.04 0.07 0.03 27.15
31 36 101 23 25 39 1 55 37 27 32 22 64 64 4 7 1 798
5.01 12.54 6.91 3.01 5.82 2.23 0.16 5.17 10.71 2.04 2.26 2.59 3.36 1.79 1.52 1.45 4.51 109