PENINGKATAN STATUS DAN EKSISTENSI PROFESI PUSTAKAWAN INDONESIA MELALUI PUBLIKASI BIDANG KEPUSTAKAWANAN1 Wahid Nashihuddin Pustakawan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – LIPI Korespondensi:
[email protected] ABSTRAK Menulis merupakan kegiatan intelektual pustakawan yang banyak memberikan manfaat bagi pustakawan. Pustakawan adalah tenaga profesional perpustakaan yang dituntut untuk senantiasa mengembangkan protensi diri dan profesinya secara berkelanjutan. Melalui publikasi/karya tulis, nama pustakawan akan selalu dikenal dan dikenang oleh masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan: 1) konsep teori yang terkait dengan status dan eksistensi profesi pustakawan Indonesia melalui publikasi bidang kepustakawanan; 2) kondisi publikasi/karya tulis pustakawan Indonesia; (3) upaya memotivasi pustakawan untuk menulis dan menghasilkan karya tulis; dan (4) literasi informasi pustakawan dan masyarakat Indonesia. Tulisan ini bersifat diskriptif, yang bersumber dari studi literatur dan hasil pemikiran, pengalaman, pengamatan penulis sebagai pustakawan. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi pustakawan untuk rajin dan gemar menulis, serta memberikan pengetahuan kepada pustakawan bahwa karya tulis dapat meningkatkan status dan eksistensi profesi pustakawan Indonesia. Kata kunci: Pustakawan; Profesi; Status; Eksistensi; Pemikir; Publikasi; Karya tulis; Literasi informasi 1.
PENDAHULUAN Tulisan ini membahas beberapa hal yang terkait dengan motivasi bagi pustakawan untuk menulis dan menghasilkan karya tulis. Sebagai pengelola dan penyedia informasi, pustakawan harus rajin menulis agar pengetahuannya dapat dibaca dan dipahami oleh masyarakat. Pustakawan yang tidak menulis itu ibarat “tikus yang mati di lumbung padi”. Pustakawan yang aktivitas pekerjaannya selalu berhadapan dengan koleksi/buku, jika tidak mau menulis itu sangat memprihatinkan karena tidak dapat memanfaatkan sumber daya informasi yang ada dengan baik. Oleh karena itu, jika wawasan dan pengetahuan pustakawan ingin berkembang maka harus menulis dan menghasilkan karya tulis. Melalui karya tulis, image pustakawan akan lebih baik di masyarakat. Anggapan masyarakat yang masih menganggap pustakawan sebagai pengelola dan penjaga buku itu dapat dibantah, karena melalui tulisan dan karya tulis, pustakawan telah menjadi seorang profesional yang juga memikirkan kebutuhan informasi masyarakat terhadap perpustakaan. Melalui karya tulis pula identitas dan jati diri pustakawan akan dikenal dan dikenang oleh masyarakat. Apabila hal tersebut terwujud maka status profesi pustakawan akan lebih baik dan eksistensi pustakawan di masyarakat akan lebih diakui.
1
Karya Tulis Pustakawan Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2016 dari Provinsi DKI Jakarta, 13-19 Agustus 2016
1
Berikut ini beberapa alasan mendasar penulis, mengapa pustakawan di Indonesia harus menulis dan menghasilkan publikasi/karya tulis bidang kepustakawanan.
Melalui publikasi, orang lain dapat mengetahui identitas dan jati diri pustakawan yang sebenarnya; “siapa kita, dari mana kita, kerja di mana, dan bisa apa kita”.
Melalui publikasi, ilmu pustakawan akan bermanfaat bagi orang lain dan tentunya juga dapat menginspirasi orang lain untuk berbuat hal yang sama dengan pustakawan. Apabila orang lain sudah mau menulis tentang isu-isu kepustakawanan, tentunya tugas pustakawan akan semakin mudah karena yang memikirkan perkembangan dan kemajuan ilmu kepustakawanan di Indonesia tidak hanya pustakawan tetapi juga orang lain (mereka yang bukan dari bidang ilmu kepustakawanan).
Melalui publikasi, pengambangan karir dan profesi pustakawan akan cepat karena karya tulis pustakawan memiliki nilai poin yang cukup besar untuk pengajuan angka kredit pustakawan (khusus pustakawan PNS). Sedangkan untuk pustakawan PNS, publikasi dapat menjadi nilai lebih bagi pustakawan yakni mendapatkan apresiasi dari pimpinan lembaganya.
Melalui publikasi, pustakawan mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi narasumber/pemakalah, instruktur pelatihan kepustakawanan, kandidat pustakawan beprestasi/teladan (tingkat daerah, nasional, regional, atau internasional), serta untuk melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi.
Melalui publikasi, peran dan kontribusi pustakawan semakin menjadi nyata dalam kancah kemajuan ilmu kepustakawanan di Indonesia. Apabila keilmuan pustakawan telah eksis maka status sosial profesi pustakawan akan meningkat di masyarakat. Susilowati (2007:32) mengatakan bahwa karya tulis merupakan salah satu syarat yang
harus dipenuhi bagi setiap jabatan fungsional pustakawan sekaligus sebagai media pengembangan profesi pustakawan. Kurangnya motivasi pustakawan dalam menulis menyebabkan
belum
optimalnya
pengembangan
profesi
pustakawan.
Sesungguhnya
pustakawan memiliki peluang yang besar untuk menulis, khususnya di media cetak karena mereka memiliki kedekatan dan kemudahan dalam memperoleh sumbersumber informasi yang diperlukan. Namun, kenyataannya jumlah artikel yang dihasilkan oleh pustakawan masih sedikit jumlahnya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa kendala, seperti minimnya penguasaan keterampilan menulis serta rendahnya motivasi sebagai pemacu kemampuan diri menyebabkan pustakawan jarang menulis artikel yang dimuat surat kabar, majalah, jurnal maupun jenis publikasi yang lain. Beberapa alasan di atas tentunya perlu diperhatikan oleh pustakawan di Indonesia, khususnya bagi mereka masih malas dan belum memiliki waktu untuk menulis dan 2
menghasilkan publikasi/karya tulis. Pertanyaan besar tulisan ini adalah bagaimana meningkatkan status profesi dan eksistensi pustakawan Indonesia melalui publikasi bidang kepustakawanan? dan mungkinkah karya tulis yang dihasilkan pustakawan dapat memotivasi literasi masyarakat Indonesia untuk rajin membaca dan menulis? Pertanyaan tersebut akan dijawab pada uraian materi dan pembahasan berikut ini.
2.
URAIAN MATERI DAN PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teoritis Untuk memperjelas dan memperkuat argumen penulis, terlebih dahulu dijelaskan beberapa teori yang relevan dengan masalah pembahasan tulisan ini. Beberapa teori yang menjadi landasan berpikir penulis, antara lain mengenai status profesi, eksistensi profesi, pustakawan pemikir, publikasi/karya tulis, dan literasi informasi.
2.1.1 Status Profesi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (2008), status bermakna keadaan atau kedudukan (orang, badan, dsb) dalam hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya; berstatus artinya mempunyai status, berkedudukan. Profesi bermakna berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan/ keahlian (keterampilan, kejujuran, dsb.) tertentu; berprofesi berarti mempunyai profesi. Sedangkan profesional diartikan sebagai sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Abraham Flexner (1993) dalam Hermawan dan Zen (2006) mengatakan bahwa profesi merupakan: a) pekerjaan intelektual; b) pekerjaan ilmiah (scientific); c) pekerjaan praktikal (bukan teoritik); d) hal yang terorganisasi secara sistematis dan terstandar (ada tolok ukur); e) pekerjaan altruisme yang berorientasi kepada masyarakat. Sulistyo-Basuki (1992:244-245) mengatakan bahwa status profesi merupakan refleksi ketentuan yang mengatur tingkat tanggung jawab, kualifikasi, prospek karir, tugas dan imbalan setiap posisi, tingkat pelatihan, serta pengalaman yang diperlukan. Berdasarkan makna dan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa: (1) status merujuk pada suatu kedudukan seseorang, organisasi, atau badan usaha, yang dilihat dari cara pandang pihak/orang lain terhadap keberadaanya (eksistensi) dalam suatu lingk ungan sosial; (2) profesi merujuk pada suatu pekerjaan intelektual yang terorganisir secara jelas terkait dengan tugas pokok dan fungsinya dalam organisasi dan pekerjaannya.
2.1.2 Eksistensi Profesi 3
Menurut KBBI (2008), eksistensi bermakna hal berada atau keberadaan. Zaenal (2007) mendefinisikan eksistensi sebagai suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi, atau mengada. Eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur dan mengalami perkembangan atau kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya. Eksistensi dapat berubah secara dinamis tergantung pada kemampuan dan aktualisasi diri dalam meningkatkan status personal atau organisasinya. Jika terkait dengan eksistensi pustakawan maka keberadaan pustakawan sebagai suatu profesi harus jelas, ada aktualisasi diri, dan dirasakan manfaatnya oleh orang lain atau masyarakat.
2.1.3 Pustakawan Pemikir Menurut KBBI (2008), pemikir bermakna orang cerdik pandai yang hasil pemikirannya dapat dimanfaatkan orang lain; filsuf. Pemikir adalah orang menggunakan perasaan, akal, dan ingatannya untuk menggagas ide-ide baru dengan tujuan tertentu.
Dagun (2000) mengatakan bahwa pikiran sebagai kesadaran,
keinsyafan, diri, roh, atau jiwa yang mendasari kemampuan rasional manusia dan identitas pribadinya. Pikiran merupakan entitas yang memperlihatkan fungsi-fungsi seperti mencerap, mengamati, mengingat, membayangkan, merasa, memahami, membangkitkan emosi, dan menilai. Pikiran memungkinkan manusia merefleksikan dunia objektif ke dalam tataran konsep, putusan, dan teori lewat proses abstraksi, analisis, sintesis, pemecahan, dan hipotesis. Pikiran akan menghasilkan ilmu, dan sifat ilmu itu ilmiah. Menurut KBBI (2008), ilmiah bermakna bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat atau kaidah ilmu pengetahuan. Dagun (2000) menyebut kata “ilmiah” sebagai teori ilmiah, yaitu teori yang berisi banyak istilah yang dapat diambil secara langsung. Sebuah teori adalah suatu bagian dari suatu sistem konsep–konsep yang saling berkaitan yang mengandung eksistensi gejala-gejala yang dapat digambarkan oleh hukum-hukum. Salam (1997) menjelaskan bahwa berpikir ilmiah merupakan proses atau aktivitas manusia untuk menemukan/mendapatkan ilmu. Ilmu kemudian memiliki makna yang berarti atau yang disebut sebagai pengetahuan (knowledge). Cara berpikir ilmiah seseorang dapat dilihat dari metode yang digunakan dalam menganalisa suatu permasalahan. Beberapa contoh berpikir ilmiah, yaitu: (1) merumuskan masalah; (2) merumuskan hipotesis; (3) mengumpulkan data; (4) mengolah data; (5) menganalisis masalah; (6) menguji hipotesis; dan (7) menyusun kesimpulan. Prinsip dalam berpikir 4
ilmiah adalah menyampaikan sesuatu, yang berupa ide, gagasan, dan pikiran, dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Hal serupa dikatakan Sumarto (2006) bahwa teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama, yaitu: (1) harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya agar tidak terjadi kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan; dan (2) harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori sebaik apapun konsistesinya jika tidak didukung oleh pengujian empiris, teori tersebut tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Menurut UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan (Perpusnas RI, 2007). Dalam konteks sebagai pustakawan pemikir (thinker librarian), selain tugas pengelolaan dan pelayanan perpustakaan, pustakawan adalah seorang professional yang dituntut untuk mengembangkan karir profesinya dengan menjadi seorang pemikir (thinker) terhadap isu-isu yang berkembang di dunia kepustakawanan. Sebagai seorang pemikir, pustakawan dituntut untuk memikirkan hal-hal yang objektif dan berkualitas agar hasil pemikirannya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal yang lebih penting lagi ada pustakawan mampu menjadi seorang pemikir ilmiah (a scientific thinker), yaitu orang yang berpikir secara objektif, empiris, terukur, dan memiliki analisa yang kuat terhadap masalah dan solusi yang tepat berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan bidang kepustakawanan.
2.1.4 Publikasi/Karya Tulis Menurut KBBI (2008), publikasi bermakna pengumuman atau penerbitan. Pada tulisan ini, publikasi yang dimaksud adalah hasil tulisan atau karya tulis yang diterbitkan atau dipublikasikan. Karya tulis merupakan tulisan atau karangan hasil pemikiran
manusia
yang
dituangkan
dalam
bentuk
tulisan
dan
diterbitkan/dipublikasikan melalui media tertentu, baik cetak maupun elektronik. Karya tulis dapat dibuat berdasarkan pengalaman, pengamatan, pengetahuan, dan hasil penelitian. Sebagai pustakawan pemula yang sedang belajar menulis, mulailah tulisan yang bersifat ringan hingga kompleks. Terbitan karya tulis tersebut dapat bersifat populer, populer-ilmiah, dan ilmiah.
Terbitan popular adalah terbitan yang ditulis berdasarkan ide, gagasan, pikiran penulis/pengarang sendiri, biasanya berupa opini yang ditulis tanpa membutuhkan 5
referensi ilmiah untuk bahan penulisan. Sumber penulisan karya populer berasal dari pengalaman, pengamatan, dan perasaan yang dialami penulis/pengarang, sehingga bersifat sangat subjektif. Contoh terbitan populer, seperti majalah, koran, tabloid, berita/warta, komik, cerpen, cergam, puisi, novel, dan sebagainya.
Terbitan populer-ilmiah atau semi-ilmiah adalah terbitan yang ditulis berdasarkan pengamatan dari suatu kejadian (peristiwa/fenomena) kemudian dibandingkan dengan pendapat orang lain yang dianggap relevan dengan permasalahan yang terjadi.
Informasi
tulisan
semi-ilmiah
biasanya
dalam
bentuk
opini
penulis/pengarang bersifat subjektif, dan belum sampai tingkat analisis data yang kompleks. Contoh terbitan populer-ilmiah, seperti laporan tahunan, buku panduan, manual/buku saku, majalah akademik, dan terbitan ilmiah lain yang mencantumkan iklan dan opini.
Terbitan ilmiah atau karya tulis ilmiah adalah tulisan hasil litbang dan/atau tinjauan, ulasan (review), kajian, dan pemikiran sistematis yang dituangkan oleh perseorangan atau kelompok yang memenuhi kaidah ilmiah. Kaidah ilmiah adalah aturan baku dan berlaku umum yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan (LIPI, 2012:2). Contoh terbitan ilmiah, seperti laporan penelitian (skripsi, tesis, disertasi), jurnal/majalah ilmiah, prosiding/makalah, buku pengayaan pendidikan, dan terbitan ilmiah lain hasil uji laboratorium/penelitian lapangan. Pendit (2012) mencontohkan tentang bagaimana pustakawan membuat karya
tulis ilmiah bidang ilmu perpustakaan dan informasi (IP&I). Pustakawan harus mencoba mengurai serta melacak jejak-langkah penggunaan teori dalam IP&I. Dari teori IP&I, kita dapat memulainya dengan menjawab pertanyaan “apa sebetulnya epistemologi IP&I? apa landasan filsafat ilmunya?” Jelaslah bahwa IP&I memerlukan filsafat perpustakaan (sebagaimana yang telah dijelaskan sejak awal oleh Shera dan Brookes) dan filsafat informasi (sebagaimana antara lain dikembangkan oleh Floridi). Beberapa konsep teori IP&I yang dapat dijadikan dasar pembuatan karya tulis ilmiah pustakawan dapat lihat Tabel 1. No.
Tabel 1. Konsep Teori Ilmu Perpustakaan dan Informasi (Pendit, 2012) Teori IP&I Konsep Teori
1 2 3 4 5 6
Albrechtsen Bates Bates Belkin Briet Brook
7
Chatman
8
Dervin
Teori analisis ranah (domain analysis theory) Prinsip "hit-side-of-the-barn" Teori memetik berry (berry picking) ASK (anomalous state of knowledge) Definisi dokumen Persamaan untuk ilmu informasi (equation for information science) Teori efek orang-dalam dan orang-luar (insider-outsider effect theory) Teori memaknai (sense-making theory)
6
9 10 11 12 13 14
Efthimiadis dan Robertson Egghe Elli Froechlich Garfield Goodhue
15
Harter
16 17
Heany Hjorland
18
Ingwersen
19 20 21 22 23
Ingwersen Ingwersen Krikelas Kuhlthau Liang
24 25 26 27
Marchionini Mellon Paisley Ranganathan
28 29 30
Rocchio dan Salton Sandstrom Saracevic
31 32
Saracevic Savolainen
33 34
Scahmber, Eisenberg dan Nilan Serebnick
35
Sichel
36 37
Swanson Sutcliffe
38 39 40 41
Taylor Taylor Vickery dan Vickery Wilson
Teori umpan balik interaktif (interactive feedback theory) Proses produksi informasi (information production process) Teori pencarian informasi (information seeking theory) Teori relevansi (relevance theory) Teori sitasi (citation theory) Model hubungan teknologi - kinerja (technology to performance model) Teori psikologi untuk tingkat relevansi (psychological theory of relevance) Teori pengatalogan Teori subyek dan analisis subyek (theory of subjects and subject analysis) Model interaksi dalam temu-kembali informasi (IR interaction model) Model temu-kembali kognitif (cognitive IR model) Teori struktur pengetahuan (theory of knowledge structure) Teori penemuan informasi (information seeking theory) Proses pencarian informasi (information search process) Model entitas dasar untuk teori informasi (basic entity model of information theory) Model penemuan informasi (information seeking model) Kecemasan di perpustakaan (library anxiety) Model sistem (system model) Teori klasifikasi bibliografis (bibliographic classification theory) Model ruang vektor (vector space model) Teori merambah (foraging theory) Model proses interaktif dalam temu-kembali (interactive IR process model) Teori relevansi (theory of relevance) Penemuan informasi dalam situasi sehari-hari (everyday life information seeking) Teori relevansi Kerangka konseptual untuk riset tentang seleksi dan sensor (conceptual framework for research on selection and censorship) Generalisasi terhadap inversi Gaussian-Poisson proses untuk pemodelan informetrik (generalized inverse Gaussian-Poisson process for informetric modelling) Pengetahuan publik yang belum terungkap Teori pengukuran informasi (theory of information measurement) Kebutuhan informasi (information needs) Pertambahan nilai (value addedness) Teori informasi Relevansi situasional (situational relevance)
2.1.5 Literasi Informasi Menurut KBBI (2008), literer bermakna berhubungan dengan tradisi tulis. Pendit (2008) menyebut literasi informasi sebagai keberaksaan informasi atau kemelekan informasi. Dalam konteks ilmu perpustakaan dan informasi, keberaksaan informasi dikaitkan dengan kemampuan mengakses dan memanfaatkan secara benar sejumlah besar informasi yang tersedia di internet.
Pemerintah sering kali 7
mengartikan kata literate sebagai “melek huruf”. Namun, istilah tersebut lebih tepat untuk keperluan statistik, seperti literacy rate, yang berarti tingkat melek huruf. Untuk konteks bidang ilmu perpustakaan dan informasi istilah tersebut kurang tepat karena hanya menyangkut masalah teknis. Literasi bukan hanya kemampuan teknis membaca dan menulis, tetapi mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan teks dan wacana (diskursus). Menjadi orang yang literate berarti menjadi orang yang mampu berpartisipasi secara aktif dan mandiri dalam komunikasi tekstual, termasuk dalam komunikasi menggunakan media cetak, visual, analog, dan digital. Beberapa prinsip kegiatan information literacy di masyarakat, yaitu: 1) menetapkan hakikat dan rentang informasi; 2) mengakses informasi yang dibutuhkan secara efektif dan efisien; 3) mengevaluasi informasi dan sumbernya secara kritis; dan 4) menggunakan informasi untuk tujuan tertentu. Pernyataan serupa dikatakan Septiyantono (2014) bahwa semakin pustakawan terampil dalam mencari, menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi, semakin terbukalah kesempatan anda untuk selalu melakukan pembelajaran. Bagi pustakawan, istilah literasi sudah tidak asing lagi. Sejak mengenyam pendidikan hingga lulus pendidikan formal (kuliah), pustakawan sudah diajarkan bagaimana memanfaatkan sumber-sumber informasi perpustakaan dengan baik dan efektif, serta pro-aktif menggalakkan program literasi informasi ke masyarakat. Naibaho (2007:2-3) mengatakan banyak kalangan termasuk para ahli komunikasi meyakini bahwa peradaban masa depan adalah masyarakat informasi (information society), yaitu peradaban yang mana informasi sudah menjadi komoditas utama dan interaksi antar manusia sudah berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Masyarakat informasi informasi ini dianggap sebagai masyarakat yang literet, artinya masyarakat yang sudah mampu membaca dan menulis. Namun, sekarang ini makna literasi tidak hanya mampu membaca dan menulis, tetapi berkembang ke multi literacies, yaitu melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap politik.
2.2 Materi Pembahasan Bagian pembahasan ini menjelaskan tiga hal, yaitu: (1) kondisi publikasi/karya tulis pustakawan Indonesia; (2) upaya memotivasi pustakawan untuk menulis dan menghasilkan publikasi/karya tulis; dan (3) literasi informasi pustakawan dan masyarakat Indonesia melalui publikasi/karya tulis.
8
2.2.1 Kondisi Publikasi/Karya Tulis Pustakawan Indonesia Berdasarkan data terakhir pustakawan yang tercantum di Website Pusat Pengembangan Puskakawan - Perpustakaan Nasional RI Tahun 2016 diketahui sejumlah 3056 orang pustakawan di Indonesia. Dari jumlah tersebut diketahui jumlah terbanyak adalah jabatan pustakawan ahli dengan jabatan sebagai Pustakawan Muda/IIIc (724 orang atau 23,70%) dengan latar pendidikan SI (1646 orang atau 53,88%). Hal tersebut dapat dilihat dari Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2. Data Jabatan Pustakawan Indonesia Per-Tahun 2016 No. Jabatan Jumlah Persentase 1 Pustakawan Muda 724 23.69% 2 Pustakawan Penyelia 640 20.94% 3 Pustakawan Pertama 570 18.66% 4 Pustakawan Madya 539 17.64% 5 Pustakawan Pelaksana Lanjutan 315 10.31% 6 Pustakawan Pelaksana 249 8.15% 7 Pustakawan Utama 19 0.62% Tabel 3. Data Pendidikan Pustakawan Indonesia Per-Tahun 2016 No. Pendidikan Jumlah Persentase 1 S1 1647 53.89% 2 SLTA 390 12.76% 3 D III 357 11.68% 4 S2 334 10.93% 5 D II 276 9.03% 6 SM 41 1.34% 7 DI 10 0.33% 8 S3 1 0.03% Sumber: http://pustakawan.perpusnas.go.id/pub/pustakawan (28 Juli 2016)
Data jumlah pustakawan Indonesia di atas adalah data pustakawan PNS, sedangkan data jumlah pustakawan non-PNS/swasta belum masuk. Hal tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab Pusat Pengembangan Puskakawan Perpustakaan Nasional RI untuk melakukan pendataan ulang terhadap jumlah pustakawan swasta di Indonesia. Perpusnas dapat meminta data jumlah pustakawan yang bekerja di lembaga nonpemerintah/swata se-Indonesia, kemudian datanya di-update ke Website Pusat Pengembangan Puskakawan. Hal tersebut dilakukan agar pustakawan swasta merasa lebih diperhatikan dan dihargai oleh pemetintah. Dengan demikian, pustakawan swasta mendapatkan perlakuan yang adil sebagaimana program-program perpustakaan dan literasi informasi ke masyarakat yang diberikan kepada pustakawan PNS. Dilihat dari jumlah publikasi/karya tulis pustakawan Indonesia diketahui sejumlah 1275 judul artikel bidang kepustakawanan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah bidang ilmu perpustakaan dan dokumentasi yang tercantum di database Indonesian Scientific Journal Database/ISJD (http://isjd.pdii.lipi.go.id/). Kemudian, jika dilihat dari jumlah jurnal tentang kepustakawanan yang terbit di Indonesia hanya 9
sejumlah 90 tebitan, jumlah tersebut belum ditambah dengan jurnal-jurnal baru bidang kepustakawanan yang masuk dan dilaporkan ke PDII-LIPI. Nashihuddin (2015) mengatakan bahwa dari 90 terbitan bidang ilmu perpustakaan bahwa: 1) terdapat 59 judul terbitan yang tidak diketahui tahun terbitannya secara jelas; 2) tahun pendaftaran terbitan di database ISSN online paling banyak adalah tahun 2007 (66 judul); 3) terdapat 24 kota terbit terbitan berkala bidang ilmu perpustakaan dan Jakarta manjadi kota terbanyak yang menerbitkan terbitan tersebut (23 judul); 4) sebagian besar terbitan (66 judul) tidak diketahui frekuensi terbitannya, sedangkan yang diketahui frekuensi terbitannya paling banyak terbit 6 bulanan (16 judul); 5) perguruan tinggi merupakan instansi terbanyak terbitan berkala bidang ilmu perpustakaan (42 judul); 6) dilihat dari instansi penerbit, Perpusnas RI merupakan instansi yang menerbitkan terbitan berkala bidang ilmu perpustakaan dalam jumlah terbanyak (5 judul); serta 6) sebagian besar terbitan berkala bidang ilmu perpustakaan (54 judul) tidak tercantum pada database ISJD, dan yang tercantum di ISJD hanya 36 judul terbitan. Dari 90 jurnal bidang kepustakawanan tersebut diketahui hanya 17 terbitan yang terbit dalam bentuk elektronik (sistem Open Journal System/OJS), hal tersebut dapat dilihat di database Indonesian Publication Index/IPI (http://id.portalgaruda.org) bidang library and information science. Hal lain yang perlu diperhatikan pustakawan di Indonesia adalah bahwa per-1 April 2016, jurnal ilmiah diwajibkan terbit secara elektronik (e-journal) jika ingin terbitannya terakreditasi (berlaku untuk akreditas jurnal dari LIPI dan DIKTI). Berdasarkan surat edaran Surat Edaran Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan
Direktorat
Pengelolaan
Kekayaan
Intelektual
Nomor
193/E/SE/XII/2015, 10 Desember 2015 tentang Akreditasi Jurnal Ilmiah secara Elektronik dinyatakan bahwa mulai 1 April 2016, LIPI dan DIKTI (sekarang RistekDikti) hanya akan menerima dan memproses usulan akreditasi jurnal ilmiah nasional yang telah dikelola secara elektronik sehingga proses penilaian akan lebih mudah, cepat, akurat dan transparan. Mengacu pada data jumlah pustakawan Indonesia (di Tabel 2 dan Tabel 3) dapat dikatakan bahwa jumlah publikasi bidang kepustakawanan (90 jurnal) sebenarnya jumlah tersebut sudah mencukupi untuk menampung hasil karya tulis pustakawan. Akan tetapi, terbitan jurnal tersebut belum berkualitas karena sebagian besar bersifat populer-ilmiah. Hal tersebut adalah tanggung jawab pustakawan yang menjadi tim redaksai atau anggota dewan redaksi jurnal untuk meningkatkan kualitasnya sesuai dengan ketentuan akreditasi jurnal yang berlaku. Pustakawan dapat 10
membaca dan mempelajari ketentuan-ketentuan akreditasi jurnal yang diatur dalam Peraturan Kepala LIPI No.3 Tahun 2014 dan Peraturan Dirjen DIKTI No.1 Tahun 2014 tentang Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah. Pada kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa pengelola jurnal harus mempertika delapan aspek, yaitu: (1) penamaan terbitan berkala ilmiah; (2) kelembagaan penerbit; (3) penyunting dan manajemen pengelolaan terbitan; (4) substansi artikel; (5) gaya penulisan; (6) penampilan; (7) keberkalaan; dan (8) penyebarluasan. Kemudian, pustakawan juga mengingatkan ke penulis/kontributor naskah untuk memperhatikan aspek-aspek menulisan artikel jurnal. Dalam hal ini, penulis harus memperhatikan sembilan aspek, yaitu: (1) keefektifan judul artikel; (2) pencantuman nama penulis dan lembaga penulis; (3) abstrak; (4) kata kunci; (5) pembaban; (6) pemanfaatan instrumen pendukung;
(7) cara pengacuan dan pengutipan; (8) penyusunan daftar pustaka;
dan (9) peristilahan dan kebahasaan (http://arjuna.ristekdikti.go.id). Apabila hal-hal di atas perhatikan oleh pengelola dan penulis jurnal, maka karya tulis (artikel) pustakawan memiliki kualitas yang bagus dan akan berdampak pada pengembangan ilmu kepustakawanan di Indonesia. Karena tulisan yang berkualitas sangat berdampak pada jumlah sitasi karya tulis pustakawan dan impact factor publikasi yang bermanfaat bagi peningkatan mutu ilmu kepustakawanan di Indonesia. Apabila tulisan pustakawan berkualitas dan memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat tentunya juga akan berpengaruh pada minat baca dan tulis masyarakat untuk memikirkan pengembangan dan peningkatan mutu ilmu kepustakawanan. Prinsipnya bahwa apapun jenis terbitannya, baik jurnal, buku, majalah, bunga rampai, dan sebagainya, pustakawan harus memperhatikan aspek bahasa penulisan, ketentuan publikasi, dan kaidah-kaidah keilmuan yang berlaku secara nasional maupun global.
2.2.2 Upaya Memotivasi Pustakawan untuk Membuat Karya Tulis Setelah kita mengetahui kondisi karya tulis pustakawan Indonesia, langkah berikutnya adalah memberikan motivasi kepada pustakawan untuk menulis dan membuat karya tulis, baik tulisan populer, populer-ilmiah, maupun ilmiah. Penulis mengamati bahwa sebagian besar pustakawan masih belajar menulis. Untuk itu perlu ada kesadaran dan motivasi diri yang tinggi untuk belajar menulis dan menghasilkan karya tulis. Ada beberapa alasan, mengapa minat menulis pustakawan masih rendah, antara lain:
11
1) Anggapan pimpinan perpustakaan atau lembaga yang masih menganggap pustakawan sebagai tenaga teknis dan administratif perpustakaan bukan sebagai penulis. Tugas pustakawan hanya fokus dan rutin untuk kegiatan pengadaan bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, layanan koleksi, dan bimbingan pemakai perpustakaan. Menurut penulis anggapan tersebut sudah tidak berlaku karena jika pustakawan ingin berkembang profesinya maka harus menulis dan menghasilkan karya tulis. Pustakawan yang bersangkutan harus mampu menjelaskan kepada pimpinan bahwa menulis dan hasil karya tulis itu adalah kegiatan utama pengembangan profesi pustakawan (baik pustakawan tingkat terampil maupun ahli) serta mampu meningkatkan profesionalisme pustakawan dari aspek intelektual-keilmuan kepustakawanan. 2) Pustakawan kurang mampu menganalisis permasalahan yang terjadi dalam tugas dan pekerjaannya sehingga tidak memiliki ide dan inspirasi untuk membuat karya tulis. Oleh karena itu, pustakawan harus mulai belajar dan berpikir kritis, bagaimana masalah dapat diatasi, jika pustakawan tidak mengkajinya? Karena permasalahan yang terjadi di perpustakaan atau tempat kerjanya, tidak dapat diselesaikan pustakawan dengan hanya berbicara, tetapi perlu kajian (data/bukti) yang ditulis sebaik mungkin. Diharapkan hasil kajian yang ditulis pustakawan dapat
dimanfaatkan
pimpinan
untuk
bahan
evaluasi
dan
pengambilan
keputusan/kebijakan dalam rangka perbaikan mutu layanan perpustakaan. 3) Tidak ada pustakawan senior (yang aktif menulis) mengajak pustakawan pemula untuk menulis. Tentunya hal tersebut akan membuat pustakawan menjadi “minder atau malu” untuk menulis. Sebagai penulis pemula, kemungkinan besar pustakawan akan mengalami permasalahan/kendala. Al-Ghifari (2003:65) menjelaskan bahwa problematika penulis pemula adalah mendapatkan ide atau inspirasi. Diakui bahwa modal awal untuk menulis adalah ide atau inspirasi. Ide yang baik ditunjang dengan pemahaman masalah dan penjabarannya yang baik akan menghasilkan artikel yang berkualitas. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh diri pustakawan untuk belajar menulis dan menghasilkan karya tulis, yaitu: 1) Pustakawan harus rajin membaca (reading habbits) Pustakawan sebagai pengelola informasi dan pejuang literasi masyarakat harus rajin membaca. Bagaimana dapat mewujudkan program literasi masyarakat (minat baca), jika pustakawannya sendiri malas membaca? Dari membaca, pustakawan akan mendapatkan banyak ide dan pengetahuan yang dapat menginspirasi 12
masyarakat untuk rajin membaca, menulis, dan “cinta” pustakawan dan perpustakaan. 2) Pustakawan harus menjadi seorang pimikir (thinker) Setelah mendapatkan ide dan inspirasi dari membaca, langkah berikutnya adalah memikirkan dan mengembangnya. Berpikir merupakan cara yang efektif untuk mengembangkan sesuatu dan menemukan pengetahuan baru. Melalui berpikir, pustakawan harus memiliki pemikiran “how to finding” agar mampu mengatasi berbagai permasalahan yang ada dalam bidang kepustakawanan. Pustakawan dapat memikirkan hal-hal yang dianggap unik dan menarik, dari situlah akan muncul pemikiran yang subjektif dan objektif. Hasil dari pemikiran tersebut dapat disampaikan kepada orang lain. 3) Pustakawan harus berusaha menjadi pemikir ilmiah (scientific thinker) Khun (2010) mengatakan bahwa hakikat berpikir ilmiah adalah bagian dari melihat pengetahuan (knowledge seeking). Tujuan berpikir ilmiah adalah menemukan pengetahuan yang baru. Untuk menjadi seorang pemikir ilmiah, seseorang harus berpikir dan menghasilkan suatu pengetahuan. Apabila pustakawan telah mampu berpikir ilmiah, maka akan mendapatkan beberapa manfaat, antara lain: (a) keilmuannya akan dipakai banyak orang karena karena objektif dan dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat; (b) berpeluang menjadi konsultan perpustakaan karena memiliki konsep yang jelas untuk membangun perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia. Diharapkan ketika menjadi seorang pemikir ilmiah, pustakawan dapat menjadi a scientist librarian. 4) Pustakawan harus rajin berbagi pengetahuan (knowledge sharing) Berbagi pengetahuan merupakan sarana yang efektif untuk mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi oleh pustakawan, baik masalah yang terkait dengan individu (personal) maupun dengan lingkungan pekerjaannya. Knowledge sharing ini sudah menjadi budaya di perpustakaan, baik dengan pemustaka, rekan kerja, pustakawan lain, maupun dengan pimpinan lembaga. Hasil knowledge sharing yang berupa tacit knowledge (ide, gagasan, pemikiran) diharapkan dapat direkam agar permasalahan yang terjadi di lapangan dapat dianalisis dan dikaji lebih lanjut (explicit knowledge). 5) Pustakawan harus mencoba menulis Rifai (1995:9) mengatakan bahwa penulis, itu dimulai dari hasrat untuk mengembangkan pengalaman dan pengetahuanya terhadap perkembangan ilmu dan teknologi sesuai bidang kepakarannya. Pustakawan harus mulai menulis dari 13
sekarang, mulailah dari tulisan yang bersifat ringan (populer), sedang (populerilmiah), dan berat (ilmiah). Hal yang perlu diingat pustakawan adalah “untuk menjadi peneliti, ia harus menulis; untuk menjadi profesor, ia harus menulis; untuk menjadi ilmuan, ia harus menulis; dan untuk menjadi pustakawan, ia juga harus menulis”. 6) Pustakawan harus menetapkan target karya tulis Target karya tulis yang dimaksud adalah target kinerja pustakawan untuk menghasilkan karya tulis dalam kurun waktu tertentu, bisanya target tahunan. Seperti halnya yang dilakukan penulis, setiap tahun menetapkan minimal dua artikel yang diterbitkan oleh jurnal nasional (padahal pimpinan lembaga menetapkan minimal 1 karya tulis jurnal untuk pustakawan tingkat ahli-Penata Muda/IIIa). Apabila keenam upaya di atas belum optimal dilakukan pustakawan, maka perlu ada motivasi dan teladan dari orang lain lain, dalam hal ini dari pustakawan senior (yang aktif menulis). Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pustakawan senior untuk memotivasi pustakawan pemula untuk rajin dan gemar menulis, antara lain: 1) Meyakinkan kepada pustakawan pemula bahwa karya tulis memberikan manfaat yang besar bagi karir pustakawan. Manfaat tersebut, antara lain bahwa pustakawan: (1) dapat mempromosikan identitas dan jati diri pustakawan ke masyarakat; (2) mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi pembicara/narasumber/pemakalah atau instruktur pelatihan kepustakawanan; dan (3) meningkatkan status profesi dan eksistensi pustakawan di masyarakat. 2) Menyiapkan ide atau topik tulisan untuk ditulis atau dikaji oleh pustakawan pemula, kemudian membantu merumuskan konsep masalah 5W+1H (what, where, when, why, who, how). 3) Mengajak pustakawan lain untuk membuat blog pribadi. Blog ini sangat membantu melatih pikiran pustakawan untuk lebih kritis. Selain sebagai promosi diri dan karya tulis pustakawan, blog pribadi menjadi media yang efektif untuk berbagi pengetahuan dengan pembaca dan masyarakat. 4) Memberikan contoh-contoh hasil publikasi/karya tulis pustakawan yang sudah diterbitkan ke suatu publikasi dan bagaimana cara menulis di suatu publikasi, baik jurnal, majalah, buku, maupun blog resmi perpustakaan. 5) Mengajak kolaborasi untuk menulis bersama, misalnya membuat call for paper untuk jurnal atau prosiding seminar. Dalam hal ini, pustakawan senior harus menjelaskan tugas masing-masing secara jelas, misalnya: (1) penulis pertama 14
memikirkan ide atau konsep tulisan mulai dari penyusunan judul, membuat abstrak dan kata kunci, analisis masalah, kesimpulan, hingga daftar pustaka); dan (2) penulis kedua atau seterusnya mencari, mengumpulkan, dan mengolah data. Dalam kolaborasi ini, penulis kedua dijelaskan juga tentang jumlah poin (angka kredit) untuk pustakawan, misalnya: penulis yang ditulis 2 orang (penulis pertama 60% dan penulis kedua 40%); penulis yang ditulis 3 orang (penulis pertama 40%; penulis kedua 30%; penulis ketiga 30%); dan seterusnya. 6) Setelah diajak berkolaborasi untuk menulis, meminta dan membimbing pustakawan pemula untuk menulis artikel mandiri. Dalam hal ini, pustakawan senior harus membantu mereview hasil tulisan yang dikaji, mulai dari mengecek penulisan sistematika bab, bahasa penulisan teks (kata, kalimat, paragraf, tanda baca), hingga penulisan kutipan sebelum di-submit ke redaksi/penerbit. 7) Memotivasi pustakawan lain untuk membuat artikel Call For Paper secara mandiri dan proposal hibah penelitian kepustakawanan secara kolaboratif. Pustakawan senior mengingatkan kepada pustakawan pemula untuk memperhatikan lingkup ilmu naskah, format penulisan naskah (template), dan tanggal deadline pengiriman naskah ke redaksi atau penyelenggara seminar/konferensi. 8) Menjelaskan bahwa karya tulis bidang kepustakawanan merupakan kegiatan utama pustakawan (baik pustakawan tingkat terampil maupun ahli) yang masuk aspek kegiatan pengembangan profesi serta memiliki nilai poin (angka kredit) yang cukup besar bila dibandingkan kegiatan pengelolaan perpustakaan, pelayanan perpustakaan, dan pengembangan sistem kepustakawanan. Karya tulis bidang kepustakawanan ini bernilai dikisaran 2 – 12,5. Nilai poin 2 untuk tulisan ilmiah-populer yang diterbitkan di media masa dan 12,5 poin untuk publikasi buku hasil penelitian yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional. Karya tulis pustakawan ini dapat berupa: (1) pembuatan
karya
tulis/karya
ilmiah
di
bidang
kepustakawanan;
(2)
penerjemahan/penyaduran buku dan bahan-bahan lain bidang kepustakawanan; dan (3) penyusunan buku pedoman/ ketentuan pelaksanaan/ ketentuan teknis Jabatan fungsional pustakawan. 9) Menjelaskan bahwa karya tulis mempercepat kenaikan jenjang jabatan, golongan, dan pangkat pustakawan (jika Pustakawan PNS). Jika pustakawan aktif menulis dan karyanya diterbitkan di jurnal atau buku dalam waktu 2 tahun kemungkinan besar dapat naik jabatan secara cepat. Khususnya bagi pustakawan PNS yang membutuhkan angka kredit lebih dari 50 poin (baik pustakawan tingkat terampil maupun ahli), misalnya berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur 15
Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Jabatan Fungsional Pustakawan Dan Angka Kreditnya disebutkan bahwa:
Pustakawan Tingkat Terampil dengan Jabatan Pustakawan Penyelia-Penata/IIIc ke Penata Tk.1/IIId, dan Pustakawan Tingkat Ahli dengan jabatan Pustakawan Muda-Penata/IIIc ke Penata Tk.1/IIId harus mengumpulkan angka kredit sebesar 100 poin.
Pustakawan Madya dengan jabatan Pustakawan Ahli Madya-Pembina/IVa ke Pembina Tk.1/IVb ke Pembina Utama Muda/IVc hingga ke Pustakawan Ahli Utama-Pembina Utama Madya/IV/d masing-masing harus mengumpulkan angka kredit sebesar 150 poin.
Pustakawan Ahli Utama-Pembina Utama Madya/IV/d ke Pembina Utama, gol. IV/e harus mengumpulkan 200 poin (Kemenpan-RB, 2014). Selain motivasi dari pustakawan senior, pimpinan perpustakaan atau lembaga juga
harus memotivasi pustakawan untuk menulis dan menghasilkan karya tulis. Motivasi tersebut dapat dilakukan dengan cara mewajibkan pustakawan (khususnya pustakawan tingkat ahli) untuk menulis artikel dalam satu tahun, minimal satu artikel pustakawan yang dipublikasikan di jurnal. Jika berhasil terbit di jurnal nasional, pimpinan akan memberikan reward kepada pustakawan, baik berupa materi maupun dukungan kegiatan pengembangan kompetensi diri. Prinsipnya bahwa keberhasilan pustakawan membuat karya tulis adalah motivasi diri yang kuat untuk mau menulis dan dukungan penuh dari pihak eksternal.
2.2.3 Membangun Literasi Informasi Pustakawan dan Masyarakat Indonesia Pustakawan sebagai pejuang literasi bangsa tentunya dituntut untuk memberikan contoh yang baik, khususnya dalam budaya membaca dan menulis.
Hal tersebut
dilakukan agar tingkat literasi masyarakat Indonesia yang masih dianggap rendah dapat meningkat melalui peran aktif pustakawan di Indonesia. Berdasarkan hasil survei John W. Miller (President of Central Connecticut State University in New Britain, Conn), diketahui bahwa perilaku literasi (baca dan tulis) masyarakat Indonesia dari 60 negara masih rendah, tingkat literasi masyarakat Indonesia hanya di atas satu tingkat dari Bostwana yang menjadi peringkat ke-61 (Straus, 2016). Hal tersebut dapat dilihat di Tabel 4. Tabel 4. Tingkat Literasi Masyarakat Dunia (Straus, 2016)
16
Data literasi lain juga dapat dilihat media masa Republika Online (15 Desember 2014), disebutkan bahwa kondisi literasi masyarakat di Indonesia masih sangat rendah. Hal tersebut terlihat dari hasil survei penelitian yang dilakukan oleh:
Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2010 dan 2012, dijelaskan bahwa: (1) pada tahun 2010 tingkat membaca siswa, Indonesia urutan ke57 dari 65 negara (dalam kasus ini, tidak ada satu siswa pun di Indonesia yang meraih nilai literasi di tingkat kelima, hanya 0,4% siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat, selebihnya di bawah tingkat tiga atau bahkan di bawah tingkat satu); (2) pada tahun 2012 tingkat literasi masyarakat Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negara di dunia, Indonesia diatas 1 tingkat Bostwana dan ini merupakan hal terburuk terhadap kondisi literasi masyarakat Indonesia.
United Nations Development Programme (UNDP) UNESCO tahun 2012, dijelaskan bahwa tingkat melek huruf orang dewasa di Indonesia dan hasilnya hanya 65,5%; indeks minat baca di Indonesia hanya mencapai 0,001, yang berarti bahwa setiap 1000 penduduk hanya satu orang yang membaca.
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 dijelaskan bahwa jumlah waktu yang digunakan anak Indonesia dalam menonton televisi adalah 300 menit per-hari. Jumlah tersebut dianggap sangat besar jika dibanding dengan waktu anak-anak 17
menonton televisi di Australia (150 menit per-hari), di Amerika (100 menit per-hari); dan di Kanada (60 menit per-hari). Melihat kondisi di atas, pemerintah (dalam hal ini Perpusnas RI) harus melakukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan literasi masyarakat Indonesia. Hal tersebut harus dilaksanakan Perpusnas RI karena literasi informasi merupakan amanah konstitusi (mewujudkan amanah UUD 1954 dan UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan), yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyukseskan penyelenggaraan pendidikan/pembelajaran sepanjang hayat. Dwiyanto (2007:7) mengatakan bahwa Perpusnas RI telah memasukkan program literasi informasi ke masyarakat dalam bagian dalam Rencana Induk Perpustakaan Nasional tahun 20062015.
Program
literasi
tersebut
dilaksanakan
dalam
bentuk
kegiatan:
(1)
penyelenggaraan lomba-lomba penulisan, baik berupa hibah penelitian bidang kepustakawanan, lomba membaca dan menulis karya populer, penulisan artikel, dan resensi buku; (2) menyelenggarakan “kampanye” gerakan minat baca ke masyarakat; (3) pembukaan layanan terbuka bagi masyarakat yang dilengkapi dengan fasilitas teknologi informasi yang memadai; (4) mengoptimalkan layanan perpustakaan keliling dengan sistem penjadwalan yang jelas dan dilengkapi dengan teknologi informasi yang memadai; (5) pengembangan website PNRI http://www.pnri.go.id yang menyediakan konten informasi dan database open access dan gratis untuk kepentingan pendidikan dan penelitian; (6) penyelenggaraan kegiatan pelatihan, seminar, dan kajian-kajian mengenai literasi informasi; (7) melakukan pembinaan-pembinaan ke daerah dan masyarakat terkait dengan literasi informasi. Setelah program-program literasi masyarakat di atas diketahui pustakawan, langkah berikutnya adalah menyiapkan kompetensi dan strategi untuk menyukseskan program literasi masyarakat yang telah direncanakan oleh Perpusnas RI. Kompetensi literasi pustakawan disiapkan dalam rangka mencapai target dan tujuan literasi masyarakat, yaitu melek teknologi dan informasi. Kompetensi literasi pustakawan yang dimaksud adalah literasi global (global literacies). Zaini (2010) menjelaskan kompetensi global literacies dari perspektif kepimimpinan (leadership) di dunia pemasaran/bisnis. Menurutnya kompetensi literasi global ada empat, yaitu personal literacy, social literacy, bussiness literacy, dan cultural literacy. Penerapan kompetensi literasi global ke pustakawan sebagai berikut.
Personal literacy, kompetensi yang berkaitan dengan intropeksi diri. Pustakawan harus mampu mengevaluasi dirinya sendiri sebelum memberikan pelayanan informasi kepada pengguna, mampu atau tidak? Dalam hal ini, pustakawan harus 18
sadar diri, lebih terbuka, dan jujur terhadap kemampuannya memberikan pelayanan kepada pengguna. Jika belum mampu, pustakawan harus lebih banyak belajar tentang memberikan pelayanan yang baik bagi penggunanya.
Social literacy, kompetensi yang berkaitan dengan pemahaman terhadap realitas kehidupan sosial masyarakat yang dilayaninya. Dalam hal ini, pustakawan dituntut lebih aktif bersosialisasi dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) dengan
pengguna,
pustakawan
perlu
ikut
dalam
organisasi
profesi
kepustakawanan agar mengetahui isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat.
Bussines literacy, kompetensi yang berkaitan dengan dengan personal branding pustakawan dan lembaganya. Literasi ini dapat diterapkan dengan pendekatan bisnis/pemasaran. Pustakawan sebagai “produsen informasi” harus memiliki daya tawar dan nilai jual yang tinggi kepada masyarakat. Dalam hal ini, pustakawan harus memperhatikan kualitas informasi dan jasa yang diberikan kepada masyarakat agar mereka berminat untuk memanfaatkan jasa perpustakaan.
Culture literacy, kompetensi literasi yang terkait dengan kemampuan pustakawan untuk memahami karakteristik, perilaku, kebiasaan, dan budaya masyarakat yang dilayani. Pustakawan harus memberikan pelayanan secara prima kepada siapapun, tanpa adanya sikap diskriminasi kepada pengguna. Keempat kompetensi literasi global di atas menjadi bekal pustakawan untuk
melaksanakan program-program literasi ke masyarakat. Ada beberapa strategi yang perlu dilaksanakan oleh pustakawan agar program-program literasi informasi berhasil dan bermanfaat bagi orang lain/masyarakat, antara lain: 1) Melakukan evaluasi diri sebagai motivator literasi Evaluasi diri dilakukan dalam rangka mengetahui kemampuan dan pengetahuan pustakawan terhadap isu-isu literasi yang berkembang di masyarakat. Program literasi yang disampaikan pustakawan harus tepat sasaran agar memberikan manfaat bagi masyarakat. Beberapa hal yang perlu dilakukan pada saat evaluasi diri, yaitu: (1) sejauh mana kemampuan dan pengetahuan literasi pustakawan?; (2) jika punya publikasi/karya tulis untuk dipromosikan/disosialisasikan, apakah informasinya memberikan manfaat kepada masyarakat?; (3) apakah program literasi informasi ke masyarakat dipastikan berhasil, artinya mempengaruhi minat baca dan tulis masyarakat yang lebih baik?; (4) apakah siap dikomplain masyarakat jika program literasinya tidak berhasil, jika siap apa solusinya?; dan 5) bagaimana dukungan dari masyarakat dan pemerintah terhadap program literasi yang akan dilaksanakan? 2) Mengidentifikasi kebutuhan informasi pengguna potensial 19
Pengguna potensial yang dimaksud adalah pengguna atau masyarakat yang sangat membutuhkan jasa pustakawan dan perpustakaan. Untuk mengetahui pengguna potensial, pustakawan harus melakukan survei atau profiling lembaga yang bersangkutan. Hasil survei atau profiling tersebut adalah: (a) teridentifikasinya kebutuhan informasi pengguna secara spesifik; (b) kejelasan materi literasi informasi; (c) kejelasan waktu dan tujuan kegiatan literasi; (d) kejelasan hasil (output) kegiatan literasi. 3) Menetapkan materi ajar literasi informasi sesuai kebutuhan pengguna Materi merupakan bahan baku informasi yang akan disampaikan kepada pengguna/masyarakat. Pustakawan harus menyiapkan materi literasi dalam format yang menarik dan aplikatif. Materi literasi ini sangat menentukan keberhasilan program literasi informasi yang disampaikan ke pengguna/masyarakat. 4) Membangun kerjasama berbasis kemitraan secara berkelanjutan Hal ini perlu dilakukan pustakawan dalam rangka meningkatkan jaringan kerjasama dengan perpustakaan dan stakeholders. Sistem kerjasama dilaksanakan dengan sistem kemitraan (saling menguntungkan) dan berkelanjutan. Apabila hal ini dapat terwujud, maka program-program literasi yang dirancang pustakawan dianggap telah berhasil.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa literasi informasi masyarakat dapat dibangun melalui budaya membaca dan menulis masyarakat yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Pustakawan sebagai pejuang literasi bangsa harus menyiapkan program-program inovatif yang terkait dengan literasi perpustakaan dan masyarakat, serta mampu memberikan contoh-contoh nyata melalui karya tulis bidang kepustakawanan.
3.
PENUTUP Menulis merupakan rangkaian kegiatan intelektual yang membutuhkan wawasan, pemikiran, dan analisis terhadap suatu masalah. Kegiatan intelektual tersebut berupa membaca, mencari ide/topik, membuat kerangka penulisan, mengumpulkan data, mengolah data, menganalisis masalah, menyusun karya tulis, hingga publikasi karya tulis. Keberhasilan menulis sangat tergantung pada kesadaran dan motivasi diri pustakawan, orang lain hanya dapat mengingatkan. Melalui karya tulis, pustakawan akan mendapatkan banyak manfaat khususnya yang terkait dengan pengembangan profesi dan pengakuan status dan eksistensi profesi di masyarakat. Sebagai rekomendasi tulisan ini, penulis ingin menyampaikan dua hal, yaitu: (1) perlu dilakukan kajian/penelitian lanjutan dalam rangka mengetahui jumlah 20
publikasi/karya tulis pustakawan di Indonesia. Hasil kajian tersebut kemudian dievaluasi oleh Perpusnas RI (dalam hal ini Pusat Pengembangan Pustakawan) dalam rangka peningkatan kompetensi pustakawan melalui karya tulis bidang kepustakawanan; (2) Perpusnas RI perlu menyelenggarakan program pelatihan manajemen penerbitan dan penulisan ilmiah bagi pustakawan (khususnya pengelolaan jurnal elektronik) secara merata dan menyeluruh. Program ini diharapkan dapat meningkatkan mutu tulisan pustakawan dan jurnal kepustakawanan di Indonesia. Menulis bagi pustakawan itu bukan pilihan, tetapi suatu keharusan...!
DAFTAR PUSTAKA Al-Ghifari, Abu. 2003. Kiat Menjadi Penulis Sukses: Panduan untuk Generasi Muda Islam. Bandung: Mujahid Press. Dagun, Save M. 2000. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN). Dwiyanto, Arif Rifai. 2007. Peran Perpustakaan Nasional RI dalam Pengembangan Literasi Informasi Sebagai Amanat Konstitusi. Visi Pustaka, Vol. 9 No. 3 - Desember 2007. Hermawan, Rachman dan Zen, Zulfikar. 2006. Etika Kepustakawanan: Suatu Pendekatan terhadap Kode Etik Pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto. Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI. 2008. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php (diakses, 28 Juli 2016). Kemenpan-RB. 2014. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Jabatan Fungsional Pustakawan Dan Angka Kreditnya. Jakarta. Khun, Deanna. 2010. What is Scientific Thinking and How Does it Develop?. New York: Columbia University. LIPI. 2012. Pedoman Karya Tulis Ilmiah: Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 04/E/2012. Jakarta. Naibaho, Kalarensi. 2007. Menciptakan Generasi Literat Melalui Perpustakaan. Makalah Lomba Penulisan Artikel Tentang Perpustakaan Nasional RI Tahun 2007. Jakarta. Nashihuddin, Wahid. 2015. Analisis Terbitan Berkala Bidang Ilmu Perpustakaan yang Terbit Di Indonesia. Majalah WIPA: Wahana Informasi Perpustakaan UAJY, Vol.19, Ed.1, Juli. Yogyakarta: Perpustakaan Atma Jaya.
21
Pendit, Putu Laxman. 2008. Perpustakaan Digital dari A sampai Z. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri. Pendit, Putu Laxman. 2012. Penggunaan Teori dalam Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi = The Use of Theory In Library And Information Science Research. Conference paper in International Lecture: Managing Research for Knowledge Center Manager, Dan S. Lev Library/ PSHK, Jakarta, 11 September, Unpublished. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia/Perpusnas RI. 2007. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta. Republika. 2014. Literasi Indonesia Sangat Rendah. 15 Desember Di http://www.republika.co.id/berita/koran/didaktika/11/12/8/ngm3g840-inilah-alasan-siswasulit-menulis-cerpen (diakses 28 Juli 2016). Rifai, Mien A. 1995. Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Salam, Buhanuddin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta. Septiyantono, Tri. 2014. Literasi Informasi. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. Straus, Valerie. 2016. Most Literate Nation in the world> Not the U.S, New Rangking Says. di https://www.washingtonpost.com/news/answer-sheet/wp/2016/03/08/most-literate-nation-inthe-world-not-the-u-s-new-ranking-says/, 8 Maret (diakses 28 Juli 2016). Sumarto. 2006. Kosep Dasar Berpikir: Pengantar ke Arah Berpikir Ilmiah. Makalah Seminar Akademik HUT Ke-40 Fakultas Ekonomi UPN ”Veteran” JawaTimur. Susilowati, Erni. 2007. Motivasi Pustakawan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam Penulisan Artikel yang Dipublikasikan Media Cetak. Berkala Ilmu Perpustakaan dan Informasi - Volume III. Nomor 6. Zaenal, Abidin. 2007. Analisis Eksistensial. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Zaini, Subarto. 2010. Global Literacies. Dalam Leadership in Action: Pembelajaran dari Para Maestro. Jakarta: PT.Elex Media Komputindo.
22