EKSISTENSI KEPUSTAKAWANAN DI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN PARADIGMA INFORMASI Oleh Drs. Jonner Hasugian, M. Si Staf Pengajar pada Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra USU
1. Pendahuluan Perpustakaan yang merupakan satu institusi yang sejak ribuan tahun yang lalu mulai zaman Sumeria, Messopotamia, Mesir, peradaban Yunani sampai sekarang telah menggeluti hal-hal yang berkaitan dengan penyimpanan, pengorganisasian, pelestarian dan penyebarluasan sumber daya informasi. Berbagai bentuk sumber daya informasi yang dikelola perpustakaan mulai dari dokumen berbasis cetak seperti buku, jurnal/majalah sampai dengan dokumen yang berbasis elektronik. Seluruh aktifitas di bidang ini, mulai dari kegiatan pengadaan, pengolahan, pemeliharaan, pemencaran atau penyebarluasan sumber daya informasi itu, dirangkum dalam satu istilah yaitu kepustakawanan (librarianship). Sejarah mencatat bahwa pondasi kepustakawanan telah diletakkan jauh sebelum manusia mengenal percetakan, bahkan lebih jauh lagi sebelum orang ribut berbicara tentang era globalisasi dan atau era informasi. Saat ini, walaupun tidak selalu nyata benar, ada sebuah fenomena bahkan mungkin suatu kenyataan yang seringkali diterima secara getir oleh para anggota profesi bidang kepustakawanan. Ketika orang gencar berbicara tentang era informasi (information era) dan masyarakat informasi (information society), kelihatannya seolaholah jajaran profesi kepustakawanan merasa disingkirkan dalam konstalasi praktika dan dalam pembicaraan akademika. Pada hal, sesungguhnya era dan masyarakat informasi justru dilahirkan oleh tradisi panjang umat manusia dalam pergaulannya dengan buku, jurnal/majalah, CD-ROM, dan bahan pustaka lainnya. Tradisi itu telah melembaga dalam bentuk perpustakaan, pusat-pusat dokumentasi, pusat informasi, depo arsip dan sebagainya. Sejarah dengan jujur memperlihatkan bahwa perpustakaan-perpustakaan besar di setiap negara dan bangsa di dunia ini didirikan sebagai pondasi utama dari tradisi ilmiah yang melahirkan revolusi-revolusi teknologi, yang akhirnya bermuara pada apa yang dialami masyarakat masa kini. 1
Keberadaan institusi perpustakaan di era globalisasi saat ini seolah-olah dikesampingkan oleh masyarakat informasi yang semakin dipermudah melalui kehadiran teknologi informasi dan telekomunikasi. Pustakawan yang lamban mengantisipasi perubahan itu dituding menjadi salah satu penyebab. Kelambanannya mengantisipasi perubahan menjadikan perpustakaan bertahan pada paradigma tradiosionalnya. Pada hal, kecepatan perubahan merupakan ciri utama dari perkembangan zaman sekarang ini. Disadari bahwa kepustakawanan tidak mempunyai cukup kemampuan untuk beradaptasi dengan perkembangan sekitarnya bila dibandingkan dengan profesi lainnya. Namun demikian, kepustakawanan tidak perlu mengubah fungsi utama yang sampai saat ini tetap masih dilakukan, akan tetapi yang perlu dirubah ialah cara menangani fungsi utama itu. Merubah cara menangani fungsi itu, membutuhkan perubahan paradigma. Fungsi utama kepustakawanan yang secara terus menerus dilakukan ialah memilih, mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan pengetahuan yang terekam dalam sejumlah media, agar dapat dengan mudah ditemukan kembali bila diperlukan. Fungsi lainnya ialah fungsi pendidikan dan latihan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang akan melaksanakan fungsi pertama itu. Keberhasilan melaksanakan fungsi itu, juga sangat ditentukan oleh cara pandang kepustakawanan dalam menyikapi perubahan yang terjadi. Banyak pustakawan dan ilmuan di bidang perpustakaan yang tidak melakukan apa-apa terhadap perubahan yang terjadi di sekitar dunianya. Mereka mungkin sedang duduk termenung seperti halnya patung-patung bersejarah yang hanya berupa bukti kegemilangan di masa lampau. Banyak pula diantara mereka yang menangkis kritik-kritik tentang keortodoksan mereka dalam mengelola perpustakaan, dengan cara berdalih mempertanyakan keefektifan lembaga yang mereka kelola melalui semboyan lama yaitu mimimnya dana. Di sisi lain, tidak kalah banyaknya pula pustakawan yang bangkit dengan sungguh-sungguh mencoba memahami masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya. Dengan demikian, muncul semacam aliran baru dalam cara memandang dan menangani fenomena-fenomena kepustakawanan dan sistem informasi yang ada. Mereka ini melihat bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem informasi. Sistem informasi yang dulunya hanya berbasis kepada dokumen cetak, kini 2
telah diperkaya dengan dokumen digital, yang penanganan dan penyebarannya mutlak memerlukan teknologi informasi dan telekomunikasi. Paradigma layanan perpustakaan yang dulunya akses hanya ke koleksi yang dimiliki, kini berubah menjadi akses ke berbagai situs informasi yang tidak terbatas pada satu tempat. Era globalisasi memunculkan suatu kenyataan dimana informasi semakin tersedia dalam berbagai media dan pada sejumlah situs. Akses informasi semakin mudah dan mengglobal dengan bantuan sarana telekomunikasi dan komputer. Keterbatasan akses informasi semakin hari semakin diminimalkan, sehingga hak masyarakat untuk mendapatkan informasi semakin terbuka melalui fasilitas lain selain yang tersedia di perpustakaan. Kondisi ini di satu sisi, mungkin akan memunculkan suatu keraguan atas keberadaan perpustakaan di masa mendatang, karena karya seseorang tidak harus dikumpulkan di perpustakaan melainkan dapat disimpan pada sejumlah situs web. Kemudian, dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan komukikasi sekarang ini, seseorang telah dapat menggunakan komputer dari rumah atau dari sembarang tempat untuk mendapatkan berbagai informasi tanpa harus datang ke perputakaan. Kondisi ini merupakan salah satu dampak dari globalisasi terhadap bidang kepustakawanan, dan dimasa mendatang dampak ini akan semakin luas mempengaruhi pengelolaan dan penyebarluasan informasi. Kelihatannya konsep ini merupakan salah satu kecenderungan yang paling penting di abad ini. Dengan tersedianya internet, kita dapat mengetahui kejadian yang terjadi di belahan dunia lain hampir dalam waktu yang bersamaan. Bahkan penduduk yang berada di tempat yang paling terpencil sekalipun telah dapat atau akan segera dapat berhubungan dengan dunia melalui televisi, radio, telepon maupun dengan menggunakan sarana komunikasi lainnya. Saat ini, fasilitas internet sudah tersedia di seluruh ibu kota propinsi di Indonesia, bahkan di daerah tertentu telah tersedia sampai ke pedesaan. Dampak dari perkembangan itu ialah, batas-batas nasional tidak lagi penting sepanjang menyangkut masalah alih informasi. Saat ini, semakin banyak orang dari berbagai lapisan yang telah dapat mengakses informasi dari seluruh dunia, dan juga dapat mengirimkan informasi ke manapun dengan mudah melalui fasilitas e-mail. Aspek geografi bukan lagi merupakan penghalang untuk mendapatkan informasi. Sekarang, kita 3
dapat menerima informasi maupun data yang besar dari jarak yang sangat jauh dalam waktu yang sangat singkat. Kita tidak lagi harus menunggu berita melalui pengiriman pos biasa. Misalnya, bila seorang ahli kimia dari Amerika Serikat mengeluarkan artikel terbaru tentang penemuannya di internet, maka para ahli kimia di Indonesia dipastikan akan dapat membacanya pada hari yang sama. Hal ini dapat terjadi karena perubahan paradigma sistem informasi, yang menuntut percepatan pemencaran informasi kepada pengguna. Percepatan penyebaran informasi di era globalisasi ini tentunya berdampak luas kepada eksistensi kepustakawanan. Aspek utama kepustakawanan ialah profesi pustakawan yang salah satu tugasnya yaitu, berperan sebagai perantara informasi (agent of information) yang menghubungkan pengguna atau pencari informasi dengan sejumlah sumber informasi. Dalam era globalisasi ini, dimana pemencaran informasi semakin mudah dan cepat, sejumlah pertanyaan dapat dimunculkan berkenan dengan kepustakawanan sebagai profesi, diantaranya, apakah profesi pustakawan masih eksis ?, Jika ya, bagaimanakah pustakawan menghadapi era infromasi itu ?. Untuk menjawab pertanyaan itu, tulisan ini mencoba mengulas masalah perubahan paradigma sistem informasi dan hal-hal yang berkenan dengan keberadaan kepustakawanan di era ini.
2. Paradigma Sistem Informasi Istilah paradigma pertama sekali dipopulerkan oleh Thomas Khun dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution tahun 1962. Konsep tersebut kemudian dipopulerkan oleh Robert Friederich dan selanjutnya diperjelas oleh George Ritzer. Menurut Ritzer, dalam kutipan Sulistyo-Basuki (1996) paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh sebuah cabang ilmu pengetahuan, yang menjadi pokok persoalan dalam satu cabang ilmu menurut versi tertentu. Paradigma membantu merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawabnya serta aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan itu. Dengan perkataan lain, paradigma adalah suatu cara memandang sebuah objek, boleh jadi objek itu mungkin sama, namun cara memandangnya berbeda. Dengan demikian, objek tidak berubah, pengamat tidak berubah, namun persfektif yang berubah. 4
Seperti telah dikemukakan bahwa perpustakaan telah ada ribuan tahun yang lalu sejak zaman Sumeria, Messopotamia, Mesir, dan kemudian dilanjutkan oleh peradaban Yunani, Roma, serta merambat ke benua Amerika. Namun, hingga abad ke 15 orientasi perpustakaan masih berada pada tahap pengumpulan koleksi. Kegiatan perpustakaan di masa ini adalah berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak-banyaknya manuskrip. Perlombaan ini membawa imbas kepada perpustakaan dewasa ini, yaitu masih banyak perpustakaan yang lebih mengutamakan kegiatannya pada pengadaan koleksi. Ketika mesin cetak ditemukan di Eropah Barat pada abad 15, orientasi pengumpulan koleksi mulai mengalami perubahan. Pada masa ini, muncul upaya pengolahan buku, dengan tujuan agar mudah ditemu-balikkan oleh para penggunanya. Untuk melakukan pengolahan itu, muncullah berbagai peraturan pembuatan deskripsi (pengatalogan), mulai dari yang sederhana sampai kepada peraturan yang lebih canggih seperti, peraturan Panizzi, Cutter, ALA Cataloguing Rules dan yang terakhir adalah Angglo-American Cataloguing Rules (AACR) 2nd ed. Selain memuat deskripsi, katalog juga dilengkapi notasi klasifikasi yang beragam jenisnya, diantaranya Dewey Decimal Callsification (DDC), Univesal Decimal Classification (UDC), dsb. Mempersiapkan bahan pustaka sedemikian rupa agar mudah digunakan, merupakan paradigma kepustakawanan di masa ini. Pada permulaan tahun 1960-an, komputer mulai digunakan untuk membantu tugas
rutin
perpustakaan.
Maka
mulailah
kegiatan
automasi
untuk
sistem
kerumahtanggaan perpustakaan (library housekeeping) dilakukan. Kegiatan automasi ini tentunya
melibatkan
disiplin
ilmu
lain
terutama
komputer
dan
komunikasi.
Perkembangan teknologi informasi khususnya komputer dan komunikasi menyadarkan berbagai pihak agar pengguna perpustakaan juga perlu dipermudah. Untuk itu, dirancanglah sistem perpustakaan yang benar-benar ”user-friendly”. Munculnya konsep ini, secara cepat mengalihkan orientasi perpustakaan kepada pemakai. Dengan demikian, terjadilah perubahan paradigma yang menekankan tujuan utama perpustakaan ialah melayani pemakai, sehingga orientasi perpustakaan yang sebenarnya adalah manusia, bukan buku atau bahan pustaka. Berkenan dengan hal itu, maka pada tahun 1970-an muncullah kesadaran akan perlunya kajian pemakai (user study). Munculah paradigma baru dalam dunia 5
kepustakawanan yang memandang pemakai merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perpustakaan (user driven system). Paradigma ini memunculkan berbagai kegiatan perpustakaan yang sebelumnya tidak disadari seperti, kajian pemakai, pendidikan pemakai, penelitian perilaku pemakai, penelitian kebutuhan informasi pemakai dan sebagainya. Pada awal tahun 1980-an, muncul pula paradigma sistem informasi yang ditandai dengan munculnya konsep pangkalan data (database) yang relasional. Konsep ini memungkinkan data dapat digunakan secara bersama dalam waktu yang bersamaan (sharing) dari lokasi yang berbeda. Konsep ini dapat dilakukan karena tersedianya sistem informasi yang dapat dikelola melalui suatu jaringan. Manajemen informasi menjadi fokus yang utama pada masa ini. Perubahan teknologi informasi begitu cepat, sehingga pada permulaan tahun 1990-an perkembangan internet begitu pesat. Kondisi ini membawa perubahan orientasi perpustakaan, sumber-sumber informasi yang berbasis elektronik semakin tersedia. Informasi semakin tersedia pada sejumlah situs di dunia maya, yang dapat diakses dengan sangat cepat dan murah. Misalnya, biaya melanggan jurnal online hanya 1/3 dari harga jurnal cetak (hard copy). Melanggan jurnal online (elektronik) tidak membutuhkan rak koleksi, ruangan yang lebar, staf yang banyak dan sebagainya. Kondisi ini membawa perubahan orientasi perpustakaan yaitu berorientasi kepada akses informasi. Terjadilah perubahan paradigma, dari keinginan memiliki koleksi beralih kepada bagaimana mendapatkan akses yang banyak. Perpustakaan tidak lagi semata-mata ditentukan besarnya gedung dan banyaknya buku, akan tetapi sangat ditentukan tersedianya akses ke sejumlah situs informasi. Peran perpustakaan ialah memfasilitasi agar pemakai bisa melakukan akses ke sejumlah situs. Di era ini muncullah semboyan yang menyatakan, “kecil barangnya tetapi besar khasiatnya”.
3. Profesi dan Konsep Dasarnya Terminologi profesi secara jelas mempunyai pengertian yang berbeda dengan pekerjaan. Pekerjaan adalah seluruh aktivitas kerja yang berimbalan atau tidak berimbalan, sedangkan profesi adalah pekerjaan dalam pengertian khusus dan diikuti dengan persyaratan tertentu. Para ahli sosiologi telah lama membahas sejumlah persyaratan dari suatu pekerjaan agar dapat disebut sebagai suatu profesi. Dari apa 6
dikemukakan oleh Louis D. Brandeis, Carr-Sander, Kleingartner dan Howsan dapat disimpulkan bahwa profesi memerlukan persyaratan sebagai berikut: (a) Profesi merupakan jasa yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi masyarakat (kesejahteraan, kesehatan, keadilan, pendidikan dsb.). Tanpa profesi, fungsi-fungsi masyarakat tersebut tidak dapat dilaksanakan. (b) Profesi adalah untuk melayani pelanggan, yaitu individu dan masyarakat, bukan untuk kepentingan diri profesional. Kesuksesan pelaksanaan profesi bukan semata-mata diukur dari terpenuhinya kebutuhan dan kepuasan pelanggan, dan juga bukan karena imbalan uang semata pada profesional. (c) Untuk melaksanakan profesi diperlukan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi tertentu bukan hanya sekedar keterampilan dan pengalaman. Untuk itu profesional harus mengikuti pendidikan dan sebaiknya lulus pendidikan tinggi. (d) Dalam melaksanaan profesi, para profesional tentu harus berperilaku profesional yang diatur oleh standar profesi dan dikontrol oleh kode etik profesi. (e) Suatu profesi mendapat kepercayaan dan pengakuan dari masyarakat. (f) Profesional terorganisasi dalam asosiasi profesi yang mengembangkan profesi, menyusun standar dan kode etik profesi dan mengawasi pelaksanaannya. (g) Profesional dan organisasi profesi mempunyai otonomi dalam melaksanaan profesi. Sejarah mencatat bahwa sejumlah pekerjaan tertentu telah berkembang dan mendapatkan status sebagai profesi. Sebagian ada yang mendapat status semiprofesi dan sebagian lagi ada yang gagal mendapatkan status profesi. Pekerjaan yang gagal ini disebut sebagai pretender atau “seolah-olah profesi”. Semiprofesi adalah pekerjaan yang hanya memenuhi sebagian persyaratan profesi. Berbeda dengan pretender yang tidak mungkin memperoleh status sebagai profesi, semi profesi pada suatu saat dapat berkembang menjadi suatu profesi penuh. Pada tahun 1960-an Goode memberi contoh semi profesi adalah pekerja sosial. Sekarang pekerja sosial telah banyak yang mendapat status sebagai profesi penuh. Sedangkan contoh pekerjaan yang seolah-olah profesi saat ini ialah misalnya dukun, sopir, tukang, pembantu rumah tangga, dan sebagainya. Pekerjaan ini tidak mungkin atau sulit dijadikan sebagai profesi.
4. Profesi Kepustakawanan Telah dikemukaan bahwa dalam catatan sejarah, pekerjaan pustakawan sudah ada pada abad sebelum Masehi, akan tetapi baru mulai berkembang menjadi suatu profesi pada abad ke 19. Melvil Dewey (1876) secara tegas telah berani menyatakan bahwa 7
kepustakawanan merupakan profesi penuh. Ia menulis sbb.: “The time has come, when a librarian may, without assumption, speak his occupation as profession.” Akan tetapi sampai dengan tahun 1960-an para sosiolog masih meragukan kepustakawanan sebagai profesi dan ilmu perpustakaan sebagai cabang ilmu yang mandiri. Butler (1961) misalnya berpendapat bahwa kepustakawanan tidak dapat disebut sebagai suatu profesi. Argumentasinya ialah ilmu perpustakaan belum merupakan cabang ilmu yang mendiri karena tak mampu mengemukakan suatu teori. Adanya teori merupakan persyaratan ilmu pengetahuan. Di samping itu pekerjaaan pustakawan terlalu mudah dan terlalu cepat untuk dipelajari. William J. Goode sosiolog terkenal Amerika Serikat berpendapat bahwa setiap pekerjaan berusaha berkembang menjadi profesi. Akan tetapi ia berpendapat bahwa kepustakawanan tidak akan pernah mencapai status sebagai profesi. Ia berdalih bahwa pustakawan mempunyai kekuasaan yang sangat lemah terhadap pelanggannya. Ia mengambil contoh, seleksi bahan pustaka merupakan kegiatan pustakawan. Akan tetapi pustakawan tidak sepenuhnya menentukan buku apa yang harus dibaca oleh masyarakat yang dilayaninya. Para pemakai jasa perpustakaan bebas membaca buku apa yang diingininya walaupun menurut pustakawan buku tersebut tidak layak untuk dibaca. Demikian juga mereka belum tentu membaca buku yang diseleksi pustakawan. Goode menganggap pustakawan adalah “book custodian” atau penjaga gudang buku. Masyarakat menganggap perpustakaan yang lebih penting, bukan pustakawannya. Ini berbeda dengan profesi kedokteran, pengacara dan akuntan. Masyarakat mencari dokter, pengacara dan akuntannya bukan rumah sakit, kantor pengacara atau kantor akuntannya. Ia juga menganggap pustakawan tidak mengetahui apa yang harus dilakukanya karena pustakawan tidak dapat mendefinisikan peran profesionalnya. Apa yang dikemukakan oleh Goode mendapat tanggapan serius dari para pustakawan Amerika Serikat. Artikel Goode diterbitkan ulang di ALA Bulletin dan dijadikan bahan bahasan pada konferensi American Library Association pada tahun 1967. Berbagai artikel tanggapan yang pro dan kontra juga muncul. Penolakan kepustakawanan sebagai profesi juga dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat, Roosevelt. Oleh karena itu ketika jabatan Kepala Perpustakaan Library of Congress kosong pada tahun 1939 ia mengangkat seorang penyair Archibald Macleish 8
bukan seorang pustakawan, sebagai Kepala Perpustakaan Library of Congress. Penasehat Roosevelt, Justice Felix Frankfurter menyatakan bahwa yang diperlukan untuk memimpin perpustakaan tersebut adalah orang yang mempunyai enerji imaginatif dan visi, yang mengetahui, mencintai dan yang membuat buku bukan pustakawan. Kritik negatif terhadap profesi pustakawan tidak mengganggu perjuangan kepustakawanan untuk diakui sebagai suatu profesi penuh. Memang jika dibandingkan dengan profesi kedokteran, penasehat hukum dan akuntan, profesi kepustakawanan masih berada setingkat di bawah profesi tersebut. Dalam hal kemandirian misalnya pustakawan tidak dapat mandiri karena selalu harus bekerja di perpustakaan yang merupakan bagian dari suatu organisasi yang lebih besar. Sering kepala perpustakaannya bukan seorang pustakawan. Beda dengan dokter, penasehat hukum dan akuntan yang dapat mencari nafkahnya sebagai “pekerja bebas” dengan membuka praktek, sampai saat ini belum ada pustakawan Indonesia yang hidupnya buka praktek sebagai pustakawan. Sekalipun kritikan itu kelihatannya menydutkan pustakawan, namun saat ini kepustakawanan sudah diakui sebagai profesi yang mendapat penghargaan dari pemerintah dan masyarakat luas. Asosiasi perpustakaan di sebagai salah satu syarat profesi telah mapan di berbagai negara, misalnya American Library Association (ALA) di Amerika, Library Association (LA) di Inggris, Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) di Indonesia dsb. Pendidikan perpustakaan
yang juga merupakan syarat profesi, telah
berkembang di berbagai negara di dunia, sampai ke jenjang program doktor. Sebagai suatu profesi, kepustakawanan dalam menopang kehidupan dan perkembangan masyarakat mempunyai fungsi tradisional dan fungsi sosial. Fungsi tradisional kepustakawanan berupa fungsi yang melekat pada profesi tersebut yaitu mengumpulkan, memposes, menyimpan dan memberikan bahan pustaka kepada yang memerlukannya. Fungsi kepustakawanan ini merupakan fungsi sempit atau fungsi pasif yang diejek oleh Goode sebagai “book custodian.” Fungsi sosial kepustakawanan ialah fungsi yang menopang semua aspek kehidupan dan perkembangan masyarakat. Fungsi ini merupakan fungsi aktif yaitu fungsi yang bersama-sama profesi lainnya secara aktif memecahkan masalah dan mengembangkan masyarakat. Fungsi ini membuat pustakawan tidak hanya “duduk nongkrong” di perpustakaan, tapi bersama-sama profesi lainnya secara aktif ikut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat seperti 9
kemiskinan, ketidak adilan, korupsi, dekadensi moral, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan industri, inovasi teknologi dsb. Misalnya, tanpa fungsi sosial kepustakawanan, proses pendidikan tidak akan menghasilkan keluaran pendidikan yang berkualitas tinggi.
5. Posisi Kepustakawanan di Indonesia Setidak-tidaknya ada tiga pertanyaan yang dapat dimunculkan untuk mendapat jawaban mengenai profesi kepustakawanan di Indonesia dalam era informasi, antara lain: (1) Apakah peran kepustakawanan di Indonesia dalam era informasi ? (2) Apakah Pustakawan Indonesia sudah siap menghadapi datangnya era in ? (3) Apakah yang harus dilakukan oleh pustakawan Indonesia dalam menghadapi era tersebut ? Jawaban terhadap pertanyaan pertama ialah pustakawan harus meningkatkan pelaksanaan fungsi tradisionalnya dan fungsi sosialnya. Permintaan akan jasa perpustakaan pasti akan meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Pustakawan Indonesia harus meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan jasanya. Di samping itu pustakawan harus menyusun program layanan jasa perpustakaan dan informasi untuk menopang pelaksanaan program-program pembangunan sektoral dan wilayah yang makin banyak jumlahnya. Program pembangunan itu tentunya membutuhkan informasi dalam kuantitas yang banyak dan kulaitas yang baik. Untuk itu, perpustakaan harus bisa menyediakan fasilitas agar masyarakat bisa melakukan akses ke sejumlah sumber informasi dengan baik dan nyaman. Pustakawan harus mampu menganalisa mengapa masyarakat desa tertinggal dan umumnya miskin. Fakta menunjukkan bahwa salah satu sebab masyarakat tersebut miskin adalah mereka miskin informasi mengenai bagaimana caranya mengembangkan kehidupannya. Kemiskinan informasi ini menyebabkan mereka tidak mengetahui bagaimana caranya mengembangkan pertanian dan industri di desanya dan membuat mereka pasif. Pustakawan harus meleburkan diri dalam upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dengan merancang program layanan khusus untuk menopang pelaksanaan program pemerintah. Pustakawan harus mampu menganalisa dan memprediksi kebutuhan informasi masyarakat, sehingga mereka bisa merancang pengadaan bahan pustaka yang tepat sasaran. Dengan demikian pustakawan dapat memilih bahan pustaka yang tepat untuk 10
mengembangkan rasa ingin tahu pada masyarakat desa tertinggal ; melaksanakan bedah nuku untuk menjelaskan isinya dan memotivasi mereka untuk membacanya dan menerapkan isinya. Pustakawan datang ke desa tertinggal bukan hanya sekedar mendrop buku. Jawaban atas pertanyaan kedua adalah, pustakawan Indonesia kelihatannya belum siap untuk menghadapi datangnya informasi. Ada sejumlah fakta yang mendukung asumsi tersebut. Pertama, pustakawan Indonesia masih bersifat pengeluh belum sebagai pemecah masalah. Sampai kini pustakawan Indonesia masih menjadi pengeluh, belum manjadi pensolusi masalah. Misalnya, Pustakawan Indonesia merupakan sumber keluhan bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah. Keluhan pustakawan ini membentuk opini para pemimpin dan masyarakat Indonesia mengenai lemahnya minat baca manusia Indonesia. Padahal keluhan seperti itu sudah dilontarkan oleh para pustakawan dan penerbit pada masa lampau, dan sekarang keluhannya masih tetap sama. Pustakawan kelihatannya tidak melihat fakta bahwa toko buku-toko buku di Indonesia seperti Gramedia dsb., setiap harinya diserbu pembaca yang haus buku. Jika para pustakawan masih mengeluh mengenai kurangnya minat baca orang akan bertanya: Apa yang telah dilakukan pustakawan Indonesia semenjak dari dulu untuk mengatasinya ? Apakah Pustakawan Indonesia telah putus asa ? Keluhan itu juga menunjukkan ketidakberdayaan pustakawan untuk menanggulangi masalah tersebut. Pustakawan Indonesia seharusnya bukan mengulang dan menyebarkan keluhan tersebut tapi mangajukan solusinya. Adakan penelitian secara ilmiah dan susunlah program untuk menanggulanginya. Pemimpin pustakawan Indonesia juga selalu mengeluhkan kurangnya anggaran dsb. Apakah Pustakawan Indonesia mengetahui bahwa dewasa ini banyak buku baru yang diterjemahkan dari buku asing ? Apkah Pustakawan Indonesia tahu persis berapa jumlah penerbitan yang diterbitkan oleh Biro Statistik dan lembaga pemerintah lainnya? Mereka tidak melihat bahwa tenaga pustakawan yang ada belum dimanfaatkan. Mereka tidak pernah menganalisa berapa persen dari koleksi perpustakaan yang pernah dijamah pembaca. Mereka tidak menyadari bahwa anggaran untuk perpustakaan dewasa ini lebih dari 1000 kali anggaran perpustakaan pada zaman orde lama. Mereka tidak pernah menghitung efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran tersebut. 11
Dapat dikatakan umumnya perpustakaan Indonesia belum mempunyai rencana strategis
yang perspektif seperti dunia bisnis dan industri. Para pemimpin
kepustakawanan Indonesia menyusun rencana secara kasualistis bukan perspektif jangka panjang berdasarkan visi, misi, analisa lingkungan dan posisinya di lingkungannya. Mereka hanya bereaksi terhadap kasus-kasus bukan berusaha membangun layanan perpustakaan secara sistematis jangka panjang. Rencana yang ada juga kurang terintegrasi dengan rencana pembangunan sektor-sektor lainnya. Pustakawan lebih sibuk dengan dirinya sendiri dari pada mengurusi pemakai jasa pustakawan. Padahal dalam alam pembangunan profesi kepustakawanan harus menciptakan terobasan dalam melayani para pemakai jasa perpustakaan. Jika sikap dan perilaku para pustakawan Indonesia tidak berubah, profesi kepustakawanan di Indonesia juga akan tidak banyak berubah. Jika dunia bisnis dan industri telah menerapkan manajeman mutu total (Total Quality Management) dan International Standar Organization, sedangkan kepustakawanan Indonesia masih bersifat birokratis. Kepustakawanan Indonesia masih akan miskin penelitian dan karya ilmiah serta sarana komunikasi ilmiah. Pustakawan Indonesia lebih merupakan birokrat bukan saintis atau teknolog yang berpikir berdasarkan sains dan teknologi. Pustakawan Indonesia tidak banyak yang dapat bekerja di luar perpustakaan walaupun banyak di antara mereka yang mempunyai pendidikan di luar bidang perpustakaan. Tanpa terobosan para pustakawan, citra profesi kepustakawanan di masyarakat tampaknya masih akan rendah. Studi yang pernah dilakukan berkesimpulan bahwa status profesi kepustakawanan di mata masyarakat dan di mata pustakawan sendiri masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain kualitas layanan jasa rendah; bergaji rendah; setengah dari pekerjaan di perpustakaan tidak memerlukan pendidikan profesional; pustakawan masih dianggap sebagai profesi yang cocok untuk kaum wanita yang bergaji rendah. Jika demikian, apakah yang harus dilakukan oleh pustakawan Indonesia dalam menghadapi informasi ini ? Pertama, Pustakawan Indonesia harus mempunyai kepemimpinan yang kokoh. Kepemimpinan tersebut harus menekankan diri pada kekuasaan keahlian dan kekuasaan informasi dan kekuasaan referen bukan hanya pada kekuasaaan legitimasi dan kekuasaan koneksi. Misalnya, bagaimana pustakawan dapat 12
mengembangkan minat baca masyarakat jika pustakawan itu sendiri tidak memberi contoh dirinya sendiri sebagai pembaca buku yang baik. Kedua, Pustakawan Indonesia harus mengembangkan jiwa intrawirausaha atau “intrapreneurshipsnya.” Pustakawan harus bersifat proaktif, mengambil inisiatif untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan menciptakan program-program layanan jasa perpustakaan baru bukan hanya sekedar “penunggu gudang buku.” Program-program layanan jasa tersebut merupakan “action plan” dari rencana strategik perpustakaan. Integrasikan rencana strategik tersebut dengan rencana pembangunan nasional dan daerah serta rencana pengembangan sektor kehidupan. Untuk mencari sumber dana untuk membiayai rencanan starategik tersebut pustakawan perlu mengembangkan dirinya sebagai pelobi yang unggul bukan hanya sebagai pengeluh. Ketiga, Pustakawan Indonesia harus mempelajari dan menerapkan teknologi informasi terbaru untuk melayani layanan jasa perpustakaan yang akan terus meningkat kuantitas dan kualitasnya. Pustakawan harus menguasai teknologi otomasi perpustakaan, sistem database, internet, multimedia dsb. Dewasa ini semua teknologi informasi dapat diperoleh di Indonesia dengan mudah. Akan tetapi tidak semua perpustakaan besar yang mempunyai anggaran cukup besar telah mempunyai sistem otomasi perpustakaan. Keempat, sistem manajemen perpustakaan harus dikembangkan dengan menerapakan Total Quality Management dan Quality Circle. Pustakawan harus mencontoh manajemen bisnis dan industri yang memfokuskan pada pemakai jasa, perbaikan proses layanan dan peningkatan kualitas layanan secara terus menerus di samping menigkatkan efisiensinya. Kelima, untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaan, perlu disusun program pengembangan sumber daya manusia pustakawan dalam bentuk pelatihan, pendidikan dan pengembangan. Materi yang memerlukan perhatian khusus dalam program tersebut ialah kemampuan pustakawan untuk berkomunikasi (meliputi ilmu komunikasi
dan
bahasa
asing),
kemampuan
untuk
melaksanakan
intrapreneurship (inovasi dan kepemimpinan) dan teknologi informasi.
13
penelitian,
6. Kesimpulan Dengan berkembangnya teknologi informasi dan telekomunikasi, sebagian kebutuhan informasi masyarakat akan dipenuhi oleh informasi yang mengalir dari berbagai situs. Aliran informasi sulit dikontrol dan akan memperlemah penyensoran informasi yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah dan kelompok-kelompok penekan. Keadaan
tersebut
sebenarnya
memberi
banyak
peluang
bagi
profesi
kepustakawanan dan pustakawan Indonesia untuk melaksanakan visi dan misinya untuk menopang pembangunan nasional. Sayangnya, tampaknya profesi kepustakawanan dan pustakawan Indonesia belum siap untuk memanfaatkan peluang tersebut. Perpustakaan Indonesia umumnya belum mempunyai rencana strategik untuk memanfaatkan peluang tersebut. Para pustakawan Indonesia juga belum banyak yang menguasai teknologi informasi. Pustakawan Indonesia masih terpaut pada dirinya sendiri belum banyak melaksanakan fungsi sosialnya. Profesi kepustakawanan Indonesia juga menghadapi tantangan berupa rendahnya citranya di mata masyarakat dan pustakawan sendiri. Sebagian terbesar orang Indonesia belum mengetahui apa pustakawan dan apa perannya dalam menigkatkan kualitas hidupnya. Karena itu jangan salahkan mereka jika tidak datang ke perpustakaan dan tidak memanfaatkan jasa yang disajikan pustakawan.
Bibliografi : Bowden, R. (1994). Professional responsibilities of librarians and information workers. IFLA Journal 20 (4) : 120-129. Carr – Sanders, A. M & Wilson, P. A. (1993). The professions. Oxford: Cledon Press. Hale, K. (1990). Special report: The image of librarian. Di Library and book trade almanac 35th. Edition 1990-1991. New York: RR. Bowker. Lewis, W. W. & Harris, M. (1992). Why globalization must prevail: An economic rationale for the inevitable defeat of protectionism. Mckinsey quarterly (2), 114131. Prins, H. & deGier, W. (1992). Image, status and reputation of librarianship and information work. IFLA Journal 18 (2): 108-118. Sulityo-Basuki. (1996). Perubahan Paradigma Informasi. Jakarta: Universitas Indonesia Wirawan. (1996). Profesi Kepustakawanan Dalam Era Globalisasi.
14