UNDIP PRESS
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAMAN DAN DIVERSIFIKASI PRODUK KAPUK (Ceiba pentandra (L.)) PADA LAHAN PEKARANGAN Mastur Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Jl. Raya Karangploso, Karangploso, Malang, Telp./Fax 0341-491447
ABSTRAK Pengembangan pekarangan melalui Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) telah berhasil dalam memperkuat ketahanan pangan, perlu juga didorong untuk mendukung program peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, serta kesejahteraan petani melalui peningkatan produktivitas tanaman dan diversifikasi produk berbasis kawasan atau klaster. Makalah ini membahas peningkatan produktivitas tanaman kapuk pada lahan pekarangan dan diversifikasi produknya untuk peningkatan pendapatan keluarga petani. Peningkatan produktivitas dilakukan dengan menggunakan varietas unggul, pemupukan, pemeliharaan, dan perlindungan tanaman secara spesifik lokasi. Varietas unggul yang telah dilepas mampu meningkatkan produktivitas serat dan produksi gelondong. Selain itu, pemupukan perlu didasarkan pada hasil penelitian dan kondisi lokasi. Diversifikasi produk kapuk dapat dilakukan dengan mengolah serat, kulit, biji kapuk, bungkil, minyak, kayu, dan daun tanaman kapuk, serta integrasi kapuk dengan ternak lebah madu dan ruminansia atau unggas. Pengembangan kapuk dalam pekarangan, tepi jalan, lahan, atau sebagai tanaman sela pada kawasan luas perlu dilakukan agar skala ekonomi dari industri pengolahan berbagai produk kapuk dapat ekonomis. Untuk itu pengembangan kawasan atau klaster agroindustri berbasis kapuk perlu dukungan 1) desain dan road map kawasan, 2) kelembagaan agribisnis, 3) sistem transfer teknologi, 4) sistem perbenihan, 5) pembiayaan dan sistem insentif, 6) sarana dan prasarana memadai, serta 7) sistem pemasaran dan promosi intensif. Kata kunci: Ceiba pentandra (L.), pekarangan, diversifikasi
PENDAHULUAN Ketahanan pangan merupakan salah satu masalah penting yang perlu terus menerus diperkuat, dan pada berbagai level dimulai dari keluarga (Saliem, 2011). Menurut UU No. 7 tahun 1996 ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup bagi setiap rumah tangga baik jumlah maupun mutunya, aman, dan terjangkau. Bagi masyarakat miskin, masalah daya beli menjadi faktor penting. Kemampuan rumah tangga untuk menyediakan pangan bagi keluarganya sendiri melalui pemanfaatan pekarangan menjadi sangat penting dan perlu terus mendapat dorongan. Salah satu strategi pendayagunaan lahan pekarangan adalah melalui pengembangan Rumah Pangan Lestari (RPL). Pengembangan RPL secara masiv dalam suatu wilayah atau
896
kawasan membentuk suatu Kawasan RPL atau KRPL (Kementan dan SIKIP, 2012). Kapuk merupakan salah satu komoditas serat alam yang pernah menjadi sumber devisa Indonesia, terutama sebelum kemerdekaan. Peran kapuk sebagai komoditas ekspor terus menurun mengingat ada banyak bahan substitusinya, terutama serat sintetis. Menurut Buadi et al. (1996), sebagian besar (98%) kapuk ditanam sebagai tanaman perkebunan rakyat. Dari areal perkebunan rakyat tersebut, kapuk banyak diusahakan sebagai tanaman pekarangan, batas lahan, pematang dan lain-lain (Sahid and Zeven, 2003). Kapuk terutama diusahakan pada daerah beriklim kering mulai dari Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, dan Sulawesi Selatan (Buadi et al., 1996). Minimnya upaya-upaya peningkatan produktivitas kapuk melalui penerapan teknologi budidaya kapuk yang baik
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
menyebabkan produktivitas kapuk rakyat sangat rendah sekitar 270 kg serat/ha, jauh di bawah produktivitas perkebunan besar 460 kg serat/ha. Pengembangan KRPL sejauh ini sangat bermanfaat terutama memperkuat ketahanan pangan keluarga suatu kawasan. Pengembangan KRPL lebih lanjut, dengan mengombinasikan tanaman penghasil pangan (terutama tanaman pangan dan hortikultura) dengan tanaman cash crops (terutama perkebunan) baik on farm maupun off farm untuk mendorong peningkatan pendapatan keluarga dan wilayah perlu ditingkatkan. Dengan demikian, empat sukses kementerian pertanian melalui swasembada pangan, diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, serta peningkatan kesejahteraan petani dapat secara simultan diperkuat. Peluang peningkatan pendapatan petani dari komoditas kapuk dapat lebih ditingkatkan, apabila berbagai produk tanaman kapuk dapat dimanfaaatkan dan diolah sehingga memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Hal ini perlu mendapat perhatian, mengingat kapuk memiliki keistimewaan bagian-bagian tanamannya dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi berbagai produk (Sahid and Zeven, 2003; Sahid, 2005). Pengembangan kapuk pada lahan pekarangan secara lebih intensif, merupakan salah satu upaya penting dalam peningkatan kontribusi pekarangan dalam pendapatan petani. Makalah ini bertujuan untuk membahas peningkatan produktivitas tanaman kapuk pada lahan pekarangan dan diversifikasi produknya melalui berbagai inovasi untuk peningkatan pendapatan keluarga petani, pelaku agribisnis dan wilayah, serta strategi pengembangannya. Populasi kapuk di pekarangan sedikit, sehingga pengembangan kapuk harus sangat luas melalui pola kawasan atau klaster agar menghasilkan sinergi wilayah dan memenuhi skala industri yang menguntungkan. KARAKTERISTIK TANAMAN KAPUK Tanaman kapuk termasuk dalam keluarga Malvaceae yang berasal dari benua Amerika Tropis, khususnya Karibia, Amerika Tengah, Amerika Selatan bagian barat dan utara, dan Brazil (Brown, 2012). Tanaman ini kemudian menyebar ke pantai barat Afrika, dan selanjutnya Asia Tenggara termasuk Indonesia, Thailand, dan
Malaysia. Tanaman ini dapat tumbuh menjadi pohon besar, kebutuhan cahaya tinggi, toleransi salinitas sedang, kebutuhan tanah beragam, dan toleransi sedang terhadap angin. Menurut Chinea-Rivera and Danilo (1990) kapuk dapat ditemukan pada curah hujan 1525-5700 mm/tahun, suhu 23,3o – 27,7oC, musim kemarau 0 – 6 bulan, elevasi sampai 1220 m, berproduksi optimal sampai ketinggian 460 m. Tanaman dapat tumbuh pada pH 4,7 – 6,9, bertekstur berpasir hingga berliat, dan paling optimal lempung berdrainase baik. Menurut Buadi et al. (1996) tanaman ini sesuai pada iklim C dan D menurut Schmidt dan Ferguson. Brown (2012) menyebutkan kapuk sebagai pohon tumbuh cepat (fast growing tree) sebagai pohon tropis raksasa, yang pada kondisi ideal dapat mencapai ketinggian 16 – 19 kaki dalam dua tahun. Menurut Chinea-Rivera and Danilo (1990) kapuk merupakan pohon terbesar di Afrika Barat Tropis, dan salah satu pohon terbesar yang tumbuh tercepat di Amerika Tropis. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 50 m, diameter 2 m, dan tajuk sangat luas. Karena pertumbuhan yang cepat, kayu kapuk merupakan bagian penting dari tanaman yang banyak dimanfaatkan petani. Selain itu, kapuk juga memiliki bunga yang memberikan aroma dan menarik berbagai burung, kelelawar, dan serangga terutama lebah (Brown, 2012). Menurut Chinea-Rivera and Danilo (1990) kapuk berbunga setelah berumur 5 – 6 tahun. Bunga kapuk bersifat hermafrodit, dengan masa berbunga tergantung pada kondisi iklim setempat. Bagi suku Aztek dan Inca di Amerika Tengah dan Selatan, kapuk dianggap tanaman sakral. Selain itu, beberapa bagian tanaman kapuk seperti akar dan kulit kayu juga dimanfaatkan sebagai obat penyakit tertentu (Sahid and Zeven, 2003). Kapuk juga penting dalam penghijauan, konservasi DAS, maupun tanaman reklamasi bekas tambang (Sahid and Zeven, 2003; Majid et al., 1998). PERBAIKAN BUDIDAYA KAPUK Pengembangan kapuk pada pekarangan perlu dilakukan secara terpadu baik aspek on farm maupun off farm. Aspek on farm terutama terkait dengan perbaikan teknologi budidaya agar produktivitasnya dapat ditingkatkan. Aspek off farm pengembangan kapuk dilakukan melalui
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
897
UNDIP PRESS
pengolahan hasil dari bebagai bagian tanaman kapuk. Penanaman kapuk pada pekarangan dilakukan pada lahan strata 3, diintegrasikan dalam program KRPL dan program pengembangan klaster kapuk daerah. Sebagai dasar dari suatu klaster, maka aspek on farm yang produktif dan efisien merupakan prasarat penting. Karena itu, langkah pertama yang mutlak harus dilaksanakan adalah pemberian dukungan inovasi teknologi untuk peningkatan produktivitas tanaman melalui penerapan teknologi budidaya yang baik. Beberapa komponen teknologi penting yang perlu diterapkan antara lain : 1. Penggunaan bibit okulasi dari varietas unggul 2. Pemupukan sesuai rekomendasi setempat 3. Pemeliharaan dan perlindungan tanaman Salah satu permasalahan rendahnya produktivitas kapuk rakyat adalah penggunaan varietas unggul terbatas. Varietas unggul yang telah dilepas, seperti Muktiharjo (MH) 1 dan MH 2 pada umur 12 tahun memiliki produktivitas serat mencapai 53 kg dan 33 kg serat/pohon, lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang hanya 8 kg serat/pohon. Produksi gelondong kedua varietas masing-masing mencapai 1.038 dan 868 gelondong/pohon, lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lokal Lanang yang hanya 750 gelondong/pohon.Varietas unggul lain adalah MH3, MH4, Togo-B.Varietas Togo-B memiliki kelebihan sebagai kapuk dengan perakaran kuat dan lebat sehingga baik sebagai batang bawah dan untuk konservasi (Buadi et al., 1996; Sahid dan Marjani, 2005; Sahid, 2005). Penanaman kapuk dapat dilakukan dengan menggunakan biji, bibit okulasi, bibit stek, dan bibit kultur jaringan. Pembibitan dengan biji memiliki kelemahan karena segregasi sehingga tanaman tidak seragam, dan umumnya umur berbuah lambat dan produksinya tidak stabil. Produksi hanya 19 – 24% dari potensinya. Pembibitan dengan biji terutama dilakukan untuk penyediaan batang bawah, atau bila pengembangan dilakukan pada daerah yang aksesibilitasnya buruk yang memiliki resiko jika bibit menempuh perjalanan lama. Pembibitan secara konvensional yang disarankan adalah melalui okulasi. Sebagaimana telah disebutkan, sebagai batang bawah
898
disarankan menggunakan varietas Togo-B (Buadi et al., 1996; Sahid dan Marjani, 2005, Sahid, 2005). Penanaman batang bawah didahului dengan pembuatan bedeng persemaian berukuran lebar 120 cm dengan jarak antar bedengan 60 cm. Benih ditugal pada jarak tanam bibit 30 cm x 60 cm, diisi 5 benih, dan setelah tumbuh disisakan satu terbaik. Agar tanaman batang bawah tumbuh baik dengan perakaran lebat dan kuat dilakukan pemupukan dasar 1 g TSP 2 g KCl/pohon, Urea 3 g/phn 15 hari setelah tanam (HST), dan urea 3 g/ph 40 HST, perlindungan dengan Azodrin 15 WSC 2cc/l sesuai kebutuhan. Hasil penelitian Balittas menunjukkan dengan pemupukan Urea 1,2 kg/pohon atau satu kaleng pupuk kandang/pohon diberikan separuh pada awal dan separuh akhir pada tanaman umur 5 tahun memberikan hasil tertinggi 7,25 – 8,30 kg/pohon. Batang atas (entres) hanya diambil dari cabang othotroph atau tunas air, yaitu cabang ke atas. Tunas samping (plagiothroph) harus dihindari, karena akan tumbuh menyamping. Batang atas dapat klon MH1, MH2, untuk tipe Caribea, dan SS243 dan SS29 untuk tipe Indica. Batang bawah siap diokulasi pada umur 6 – 8 bulan, diameter 2 cm, dan siap sebagai entres pada umur 6 – 8 bulan. Okulasi dilakukan pada ketinggian sekitar 25cm. Waktu harus disesuaikan agar ketika siap pindah umur 3 bulan sekitar Januari – Februari. Setelah umur 2 minggu okulasi dibuka, dan ketika berumur 6 – 7 bulan bibit siap pindah (Buadi et al., 1996; Sahid et al., 2005, Sahid, 2005). Pembibitan dengan stek batang, dilakukan dengan memilih bakal stek panjang 10 cm, bagian atasnya ditutup lilin, kemudian bagian bawah direndam IAA (Indole Aacetic Acid) 10mg/liter air selama 3 jam agar tunas dan akar cepat tumbuh (Mardjono, 1994 dalam Buadi et al.,1996), kemudian ditanam dipolibag. Hasil penelitian Mardjono et al. (1995) mengungkapkan bahwa selain penggunaan IAA, percepatan pembentukan tunas stek dan akar dapat dilakukan dengan pemberian Rootone F (5mg/l), atau NAA (5 mg/l). Hasil dari perlakuan tersebut masing-masing 70% dan 50%, sedangkan bila menggunakan IAA (10mg/l) dapat mencapai 73,3%. Polibag sebelumnya telah disiapkan dengan diisi pupuk kandang dan tanah dengan
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
perbandingan 1 : 3. Penyiraman dilakukan dua kali sehari atau sesuai kebutuhan agar tidak terjadi kekeringan. Pada umur sekitar dua bulan stek telah bertunas dan berakar. Pembibitan yang lebih cepat dan masal dapat dilakukan dengan kultur jaringan. Untuk itu digunakan media B5 (Gamborg) yang diperkaya dengan sitokinin BAP 2mg/l, vitamin B5 normal dan CApanthothenate sampai 10 mg/l dapat 1 – 2 planlet kapuk. Secara spesifik teknik ini tidak diuraikan. Produktivitas tanaman kapuk yang rendah selain disebabkan oleh penggunaan bibit varietas unggul belum banyak dilakukan petani. Penanaman kapuk yang ditumpangsarikan dengan tanaman pangan atau tanaman sela lain biasanya lebih baik, disebabkan oleh pengaruh residu dari pupuk yang diberikan kepada tanaman sela. Pemupukan dapat meningkatkan 262 – 269%. Menurut Sahid (2005) dosis pemupukan untuk tahun pertama, kedua, dan seterusnya akan meningkat (Tabel 1). Selain itu, rendahnya produktivitas disebabkan oleh gangguan benalu, hama, penyakit dan gulma. Karena itu, produktivitas serat akan turun disebabkan oleh gangguan benalu tersebut. Tabel 1. Rekomendasi Pemupukan Kapuk Jenis Tanaman tahun ke.. Pupuk Pertama Kedua Selanjutnya ------------ g/pohon/tahun ------------Urea 600 1.200 2.000 TSP 300 600 1.000 KCl 600 1.200 2.000 Sumber : Buadi et al. (1996)
Wijayanti (2005) melaporkan hasil penelitiannya tentang usahatani (on farm) budidaya kapuk di Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, yang merupakan salah satu sentra pengembangan. Dengan menggunakan asumsi tingkat suku bunga saat itu 14%, NPV diperoleh Rp. 6.011.609,-/ha sehingga layak dikembangkan. Nilai IRR usahatani kapuk diperoleh 31,53% melebihi tingkat suku bunga berlaku. Nilai B/C rasio 4,82 jauh di atas satu. Sahid et al. (2005) melaporkan tentang penanaman ubi kayu di bawah tegakan kapuk berumur lima tahun dapat memberikan pendapatan tiga juta rupiah yang diperoleh dari 1.144 glondong kapuk dan 13,9 ton ubi kayu. Selain ubi kayu, juga dapat ditanam berbagai tanaman lain.
DIVERSIFIKASI PRODUK KAPUK Salah satu target sukses Kementerian Pertanian pada Kabinet Indonesia Bersatu II adalah peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor. Pengembangan diversifikasi produk kapuk merupakan salah satu upaya mendukung target sukses tersebut. Bagian penting dari kapuk yang dapat dikembangkan lebih lanjut selain produk konvensional berupa serat, antara lain minyak biji, bungkil biji, kulit, kayu, serta bagian daun dan akarnya. Agar lebih produktif dan efisien penerapan inovasi teknologi perlu dilakukan. Serat kapuk memiliki sifat berat jenis sangat ringan (0,081), berbentuk silindris, berongga dengan rongga besar melebihi diameter serat, memiliki daya elastisitas tinggi, warna mengkilat, lunak, dan tidak menyerap air. Serat kapuk memiliki kandungan 64% sellulosa, 13% lignin, 23% pentosan, serta dilapisi cutin sehingga tidak menyerap air. Serat ini memiliki sifat buoyancy atau daya apung, elastisitas baik sekali, daya absorbsi suara baik, serta tidak menghantar panas, sehingga baik untuk kasur, bahan peredam, dan pelampung. Kapuk digunakan untuk bahan matras, bantal, pelampung, baju pelindung, serta peredam atau isolator panas dan suara (Buadi et al., 1996; Sahid and Zeven, 1993; Sahid, 2005; Ambarwati et al., 2007). Serat kapuk juga dipakai sebagai absorban air laut terkontaminasi minyak (Ambarwati et al, 2007; Rahmah and Abdullah, 2010). Proses pemisahan serat kapuk masih banyak dilakukan secara tradisional dimulai dari penjemuran sinar matahari diikuti dengan penyeratan secara manual. Kegiatan tersebut membutuhkan tempat dan waktu lama, serta risiko penyakit byssinosis karena debu kapuk. Karena itu diperlukan inovasi teknologi untuk pengeringan dan penyeratan. Ambarwati et al. (2007) melaporkan bahwa penggunaan alat pemisah serabut biji kapuk ternyata dapat meningkatkan kinerja dari cara manual hanya 25 kg/orang/hari menjadi 54,6 kg/orang/hari. Kenaikan 18,4% tersebut, pada studi kasus di Dusun Kijon, Desa Beking, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten dapat meningkatkan pendapatan kotor Rp.4.617.600,-/bulan. Biji kapuk memiliki kandungan minyak sekitar 20 – 25%. Minyak kapuk mengandung 16
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
899
UNDIP PRESS
– 22% protein, 900 g cal/100 g biji. Pada 2002, Indonesia mengekspor minyak biji kapuk 1.033 ton dengan nilai USD 608.078. Minyak kapuk yang bermutu jelek dapat dijadikan peremah karet (crumb rubber), bahan sabun, deterjen, pernis, pelamir, perahu dan bahan pembantu pembuatan baja (Oesman, 1974). Kelemahan minyak kapuk mengandung cyclopropenoid yang merupakan asam yang beracun bagi manusia. Akan tetapi, minyak biji kapuk yang dicampur minyak sawit memiliki keunggulan karena dapat menghasilkan minyak goreng yang tidak mudah beku pada temperatur rendah (Sahid, 2005). Minyak biji kapuk juga merupakan salah satu bahan baku biodiesel yang potensial (Wirawan, 2007; Susilowati (2006). Minyak biodiesel dapat dicampur dengan solar agar emisi gas buangnya lebih baik, sehingga memiliki nilai cetane yang lebih tinggi (64) dibandingkan solar saja (48). Produksi biodiesel minyak kapuk dapat dilakukan dengan proses methanolisis minyak dengan methanol (1 : 6) dibantu katalis zeolite. Hasil terbaik diperoleh methyl ester tertinggi pada proses waktu 50 menit, jumlah zeolite 10 g (Susilowati, 2007). Hasil lain dari biji kapuk adalah bungkil. Bungkil biji kapuk mengandung 13,8% air, 23,2% karbohidrat, 6,1% abu, 7,5% protein kasar, 23,2% serat, dan 1 – 1,5 % nutrien rasio. Bungkil biji kapuk dapat dijadikan pakan ternak. Menurut Sahid (2005), PT Comfeed dan INKUD telah memanfaatkan tepung bungkil biji kapuk untuk pakan ternak unggas. Sebagai sumber protein, bungkil biji kapuk dapat dicampur dengan bungkil kedelai dengan perbandingan 5 : 7, dan perbandingan harga 1 : 9. Minyak biji kapuk mengandung asam siklopenoat dan tannin 10 – 13% yang dapat menyebabkan kematian ternak (Widodo, 2012). Yuningsih (2001) mengatasi zat beracun tersebut dengan melakukan penyimpanan campuran pakan pada oven (37oC) selama dua hari atau penyimpanan pada suhu kamar selama tiga hari, sehingga kadar senyawa racun tersebut menurun. Kulit biji kapuk mengandung 20 – 25% kalium sehingga dapat dijadikan pupuk kalium, soda kue, dan juga sabun. Beberapa perusahaan pengolahan kapuk di Jepara dan Pasuruan telah memroses kulit kapuk untuk soda kue (Sahid, 2005). Bagian pohon kapuk lainnya adalah kayu kapuk yang memiliki banyak penggunaan seperti
900
pulp kertas, perahu, perabot, katok, mainan, kayu konstruksi (Immanuel and Ganapathy, 2007; Sahid, 2005; Walia,et al., 2009), Menurut Walia et al. (2009) kayu kapuk mengandung senyawa dengan bobot molekul dan polisakarida rendah, kandungan pentosan tinggi, memiliki kandungan abu rendah dibanding Anthocephalus indicus dan lebih tinggi dibanding Pinus patula. Berat jenis kayu kapuk sangat ringan (0,25 g/cc). Agar diperoleh peningkatan nilai tambah, berbagai produk olahan biji, kulit, dan kayu kapuk perlu diteliti lebih lanjut baik aspek perbaikan produk maupun nilai tambahnya. Selain hal tersebut di atas, bagian tanaman kapuk seperti daun, bunga, polong muda dapat dikonsumsi sebagai sayur, obat, maupun pakan ternak (Sahid and Zeven, 2003). Bunga kapuk disukai hewan burung, kelelawar, dan berbagai serangga. Salah satu produk penting tanaman kapuk yang berasal dari bunga adalah madu. Ustadi dan Sulistyowati (2005) menyatakan bahwa untuk pakan lebah 50 stup memerlukan pohon kapuk usia lebih dari 20 tahun 250 pohon atau 2 hektar. Pohon kapuk dapat menghasilkan 40 – 50 ribu bunga/pohon, 30% (12.000 – 15.000) kuntum bunga menghasilkan nektar. Sekresi nektar satu bunga kapuk mencapai 1,08 ml (± 12.960 – 16.200 ml) per hari atau rata-rata 14,58 liter/pohon. Jadi untuk populasi 125 pohon/ha dihasilkan 1.822,50 liter madu asli setara 2.278 kg madu asli. Di Pasuruan setiap stup menghasilkan 65 kg madu murni dari 5 – 12 kali panen selama musim bunga kapuk (2 – 5 bulan)/ha. Dengan menggunakan lebah Aphis mellifera, untuk 10 stup (koloni) mampu menghasilkan 300 kg madu murni per musim bunga 2 – 5 bulan (Yunus et al., 2005). Pembungaan kapuk tipe indika dan karibia di Jawa pada waktu berbeda. Tipe indika mengalami pembungaan pada awal kemarau yaitu bulan Maret/April, sedangkan tipe Karibia pada menjelang akhir kemarau yaitu Agustus/September. Hal ini menguntungkan apabila kombinasi dua tipe tersebut dikembangkan di suatu wilayah, dimaksudkan untuk diversifikasi produk dengan menghasilkan madu. Apabila diinginkan penyediaan nektar untuk lebah bisa berlanjut, maka beberapa bulan paceklik bagi lebah, terutama pada musim hujan November sampai Februari, dapat ditanam jagung. Bunga jagung, dapat dimanfaatkan lebah
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
untuk menghasilkan madu (Basuki, 2012). STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER Salah satu syarat penting agar manfaat pengembangan kapuk pada lahan pekarangan dan sekitarnya diperoleh adalah perlunya dilaksanakan pada wilayah yang luas membentuk kawasan atau klaster. Tanpa pengembangan pola klaster, baik secara formal dilembagakan maupun tidak, sulit untuk memperoleh manfaat kapuk secara ekonomi wilayah. Pengembangan kapuk pola kecil, dapat memberi manfaat pada rumah tangga tani, namun terbatas pada manfaat serat, kayu, kulit biji, dan daunnya, karena pola industri memerlukan volume memadai agar skala industri yang menguntungkan tercapai. Menurut DPKKT (2004) pengembangan komoditas berbasis kawasan atau klaster merupakan strategi yang efektif untuk pembangunan wilayah. Terdapat empat faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan klaster yaitu: faktor kondisi, permintaan, industri pendukung, serta karakteristik strategi, struktur, dan persaingan. Sebagai prasyarat kunci dalam pengembangan klaster antara lain: 1) berorientasi pada industry driven, 2) kepeloporan dan pemerintah daerah (didukung pemerintah pusat) dan pengusaha, 3) membangun sinergi dengan menghindari persaingan kalah-menang, dan 4) meningkatkan partisipasi ekonomi lokal dan regional. Pengembangan kapuk secara klaster perlu dilembagakan, direncanakan, dan didukung investasi memadai. Meluasnya pengembangan kapuk di Pati dan sekitarnya, telah mendorong daerah ini menjadi salah satu eksportir kapuk sejak jaman Belanda. Akan tetapi, pengembangan aspek diversifikasi masih lemah. Peningkatan inovasi on farm juga masih perlu ditingkatkan. Pengembangan diversifikasi produk perlu didukung inovasi teknologi maju dan efisien, serta dukungan pembiayaan dan pemasaran. Karena pendirian industri pengolahan berbasis kapuk yang efisien memerlukan persyaratan jumlah pasokan dan kontinyuitas bahan, maka diperlukan perencanaan wilayah pengembangan on farm sebagai pemasok bahan baku yang sesuai dengan kawasan industri pengolahan terkait baik, serta sub-sistem pendukung. Untuk mencapai hal tersebut, beberapa
strategi dan langkah diusulkan sebagai berikut. 1. Desain dan road map kawasan. Desain dan road map kawasan didahului dengan penetapan kawasan produksi kapuk (on farm) yang ditentukan oleh kesesuaian lahan. Perencanaan lokasi industri disesuaikan dengan sistem transportasi efisien dengan pemasok bahan baku, serta sarana produksi, pengangkutan produk, dan pemasaran. 2. Kelembagaan agribisnis. Perlunya identifikasi seluruh sub-sitem agribisnis terkait baik sub-sistem budidaya, pengolahan, pemasaran, didukung sarana input, pembiayaan, riset, teknologi, dan diseminasi, dan pemasaran, serta dukungan pemerintah daerah dan pusat. 3. Sistem pasokan inovasi teknologi. Sistem meliputi dukungan inovasi dari lembaga penelitian (Balittas, BPTP, BPPT, LIPI, Perguruan Tinggi), penyuluhan (Bakorluh, Bapeluh, dll) dan pengembangan SDM (lembaga diklat). 4. Sistem perbenihan. Sistem perbenihan perlu dibangun dengan memanfaatkan varietasvarietas unggul yang telah dilepas, dilakukan perbanyakan bibit baik bibit sumber (UPBS Balittas, BPTP) maupun Balai Benih Perkebunan. 5. Pembiayaan dan sistem insentif. Lemahnya modal petani perlu dibantu melalui skim Bantuan Sosial, Subsidi, Lembaga Keuangan Mikro, maupun Koperasi, Perbankkan. 6. Sarana dan prasarana. Pentingnya sarana dan prasarana energi, penyediaan air, transportasi, komunikasi dan informasi berbagai level agar diperoleh efisiensi yang tinggi di berbagai lini. 7. Pemasaran dan promosi. Pemasaran produkproduk, baik hasil dari petani seperti madu, ternak, tanaman tumpang sari, maupun hasil industri seperti minyak, pakan, soda, perkayuan dan pulp perlu didukung sistem pemasaran dan promosi memadai. KESIMPULAN Pengembangan pekarangan melalui KRPL telah berhasil dalam memperkuat ketahanan pangan, namun masih perlu ditingkatkan agar dapat mendukung peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, serta kesejahteraan petani.
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
901
UNDIP PRESS
Perbaikan budidaya tanaman perlu dilakukan melalui penggunaan varietas unggul, pembibitan okulasi atau kultur jaringan, pemupukan, pemeliharaan, dan perlindungan tanaman secara spesifik lokasi. Varietas unggul yang telah dilepas, seperti Muktiharjo 1 dan Muktiharjo 2 pada umur 12 tahun memiliki produktivitas serat mencapai 53 kg dan 33 kg serta/pohon, produksi gelondong 1.038 dan 868 gelondong/pohon lebih tinggi dibanding rata-rata nasional yang hanya 8 kg serat/pohon, dan 750 gelondong/pohon. Hasil penelitian Balittas menunjukkan dengan pemupukan urea 1,2 kg/pohon atau satu kaleng pupuk kandang/pohon diberikan separuh pada awal dan separuh akhir pada tanaman umur 5 tahun memberikan hasil tertinggi 7,25 – 8,30 kg/pohon. Pola agroforestri berbasis kapuk dapat dikembangkan dengan mengombinasikan tanaman keras ini dengan tanaman pertanian lain dan pakan ternak. Diversifikasi produk kapuk dapat dilakukan dengan mengolah serat, kulit, biji kapuk, bungkil, minyak, kayu, dan daun tanaman kapuk, serta pemanfaatan bunga untuk lebah. Pengembangan kapuk pada pekarangan, dan juga tepi jalan, lahan, atau sebagai tanaman sela pada kawasan luas perlu dilakukan agar skala ekonomi dari industri pengolahan berbagai produk kapuk dapat ekonomis.Untuk pengembangan kawasan atau klaster agroindustri berbasis kapuk, perlu dukungan : 1) disain dan road map kawasan, 2) kelembagaan agribisnis, 3) sistem transfer teknologi, 4) sistem perbenihan, 5) pembiayaan dan sistem insentif, 6) sarana dan prasarana memadai, serta 7) sistem pemasaran dan promosi intensif. Perlu penelitian dan pengkajian lebih lanjut, agar diversifikasi produk kapuk serta diseminasi dan promosinya dapat berkembang lebih luas. Untuk itu, perlu inisiatif pemerintah daerah penghasil kapuk untuk mempertemukan berbagai fihak sehingga pengembangan klaster agroindustri berbasis kapuk untuk kesejahteraan mesyarakat agribisnis lebih mudah tercapai. DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, K. Harismah, dan Sri Darnoto. 2007. Rancang Bangun Alat Pemisah Serabut Dengan Biji Kapuk. Warta 10(2):162-177.
902
Basuki, Teger. 2012. Bunga kapuk (C. Pentandra L. Gaertn) Sebagai Sumber Pakan Lebah Madu Yang Potensial. Prosiding Seminar Nasional Serat Alam: Inovasi Teknologi Serat Alam Mendukung Agroindustri Berkelanjutan, Indrayani, IGAA, B Heliyanto, Sudjindro, E. Sulistyowati, RD Purwati, T Yulianti, PD Riajaya, T Basuki dan J Hartono. Balittas.344-349. Brown, S.H. 2012. Ceiba pentandra. Lee County Extention, Fort Myers, Florida. Htpp://lee.ifas.ufl.edu/hort/GardenHome.s html, Dec 1, 2012. Buadi, Moch Sahid, Teger Basuki, Budi Saroso, Gembong Dalmadiyo, Rusim Mardjono, IGAA Indrayani, dan Lestari. 1996. Panduan Budidaya Tanaman Kapuk. 20hlm. Panduan Budidaya Tanaman Serat.Balittas. Chinea-Rivera and J. Danilo. 1990. Ceiba pentandra (L.) Gaerten.Ceiba, kapok, silk cotton tree.SO-ITF-SM-29. New Orleans, LA: USDA, FS, Southern Exp. Stat. 4p. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal (DPKKT). 2004. Tata Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan untuk Percepatan Pembangunan Daerah. DPKKT, Bappenas. 310hlm. Immanuel, R.R., and M. Ganapathy. 2007. Growth And Physiology Attributes Of Ceiba Pentandra (L.) Gaertn seed and seedlings under salt stress. ARPN J. Agric. Biol. Sci. 2(3):12. Kementerian Pertanian (Kementan) dan SIKIB.2012. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Kementerian Pertanian dan SIKIB. Jakarta. Majid, N.M., B.K. Paudyal, and Z.B.T. Shebli. 1998. Survival And Early Growyh Of Acacia Mangium, Ceiba Pentandra, And Casuarina Equisetifolia On Sandy Tin Tailings. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 21(1):59-65. Mardjono, Rusim, Kristamtini, dan Buadi. 1995. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Akar Dan Tunas Stek Kapuk. Bulletin Tembakau dan Serat 4(1):
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
45-47. Rahmah, A.U., and M.A. Abdullah. 2010. Evaluation of Malaysian Ceiba pentandra (L.) Gaertn. For Oily Water Infiltration Using Factorial Design. Desalinination 266:51-55. Sahid, M., and AC Zeven. 2003. Ceiba pentandra (L.) Gaertn.In Brink, M and Escobin RP. (eds): Plant Resouches of South East Asia no 17. Fibre plants. Backhuys Publishers, Leiden, the Netherland. pp99-103. Sahid, Moch, Marjani, dan T. Basuki. 2005. Penampilan Beberapa Klon Kapuk Sebagaai Tanaman Lorong Dengan Tanaman Sela Ubi Kayu. Jurnal Littri 11(3):123-127. Sahid, Moch. 2005. Diversifikasi Produk Kapuk Untuk Meningkatkan Pendapaatan Masyarakat Dan Daerah. Hal 1-8. dalam M. Sahid et al. (ed) Prosiding Lokakarya Diversifikasi Produk Kapuk untuk meningkatkan pendapatan Masyarakat dan Daerah. Puslitbangbun, Bogor. Sahid Moch, dan Marjani. 2005. Dukungan Teknologi Dalam Pengembangan Kapuk. dalam M. Sahid et al. (ed) Prosiding Lokakarya Diversifikasi Produk Kapuk untuk meningkatkan pendapatan Masyarakat dan Daerah. Puslitbangbun, Bogor. Saliem, H.P. 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Sebagai Solusi Pemantapan Ketahanan Pangan. Makalah Disampaikan Pada Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) di Jakarta 8-10 Nopember 2011. Susilowati. 2006. Biodiesel Dari Minyak Biji Kapuk Dengan Katalis Zeolite. J. Tek. Kimia 1(1)10-14. Oesman, Moh. 1973. Kapok (Ceiba pentandra
GAERTN). Bahan Upgrading Tenaga Staf Perkebunan Besar Swasta Jawa Timur Periode II-tahun 1973/1974. Lembaga Penelitian Tanaman Industri Cabang Wilayah II, Malang. Ustadi, IM, E Sulistyowati , 2005. Peranan penanaman kapuk dalam produksi madu di Indonesia. Hal 13-15, dalam M. Sahid et al. (ed) Prosiding. Lokakarya.Diversifikasi Produk Kapuk Untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Dan Daerah.Puslitbangbun, Bogor. Walia, Y.K., K. Kishore, D. Vasu, and D.K. Gupta. 2009. Physico-Chemicalanalysis Of Ceiba Pentandra (Kapok). Int. J. Theoritical & App. Sci. 1(2):15-18. Widodo, Wahyu. 2012. Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual. Htpp: www.dokumen.org/pdf/20699, 1 Desember 2012. Wijayanti, Tetty. 2005. Analisis Finansial Tanaman Kapuk Di Kecamatan Gembong Kabupaten Pati. EPP 2(2):41-46. Wirawan, Soni Solistia. 2007. Future Biodiesel Research In Indonesia. Paper Presented For Asian Science And Technology Seminar, Jakarta, 8 March 2007. 26p. Yuningsih. 2001. Pengaruh Penyimpanan Terhadap Penurunan Senyawa Racun Dalam Minyak Biji Kapok (Cyclopropenoid Fatty Acid, CPFA). Seminar Nasional teknologi Peternaakan dan Veteriner. 747-752. Yusnus, HM, A Zakaria, dan S Minarti. 2005. Produk Madu: Manfaat Dan Nilai Ekonominya. Hal 16-34. dalam M. Sahid, A Sastrosupadi, E Sulistyowati, dan Marjani. (ed) Pros. Lok. Diversifikasi Produk Kapuk untuk meningkatkan pendapatan Masyarakat dan Daerah. Puslitbangbun, Bogor.
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
903