Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Budaya Jawa Indah Arvianti Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas AKI
Abstract Naturally, there is a difference between man and woman that can be identified from the physical feature and the voice. Besides, this difference is also applied in the use of language, such as the choice of words, phrases, and clauses showing unequal relationship between them. In language there is a phenomenon of oppression and injustice of woman by man. It happens continuously and is considered to be legal by the community, so that it seems natural. It is a reflection of a culture that legitimizes the power of man towards woman in the case of language choice in the society. In Javanese, there is patriarchy culture which puts man’s position above the woman’s. The expressions such as “macak”,” manak”, and “masak” as well as “kanca wingking” refer to woman stereotype that shows her role in domestic domain and as companion of husband only. Those expressions show the way Javanese society observes the world or reflects Javanese ideology concerning the position of man and woman. “Tata wicara” speeches in Javanesse wedding ceremony are full of expressions showing unfairness of role between man and woman. Based on those facts, this research tries to explore what speeches showing patriarchy ideology in order to show knowledge or belief, relation, and social identity of man and woman in Javanese culture. To establish the relation between speech as a social practice and culture, critical discourse analysis of Norman Fairclough and Teun A van Dijk are applied to identify the Javanese ideology.
Key words : patriarchy, gender, ideology, Javanese culture
ketidakadilan yang akan berpihak pada
Pendahuluan Masyarakat manapun akan selalu
entitas
yang
berkuasa
sehingga
mendambakan kehidupan yang adil dan
menghasilkan
damai tanpa ada perbedaan, pertentangan,
ternyata bentuk kekuasaan tersebut dikemas
dan ketidakadilan. Perbedaan itu berpotensi
rapi
menimbulkan
memandang hal tersebut sebagai suatu
timbullah
-102-
pergesekan
penjajahan,
sehingga
penindasan,
dan
ketidakadilan.
akan
sehingga
penjajahan
dan
masyarakat
penindasan
Namun,
tidak
lagi
(Murniati
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
2004:xiii). Hubungan kekuasaan tersebut
dikemas dalam mitos, tradisi, budaya,
teraplikasi dalam hubungan antara atasan
bahkan agama. Perempuan pada akhirnya
dan bawahan seperti dalam hubungan antara
berada pada posisi subordinat dari laki-laki
majikan dan buruh, orang tua dan kaum
(Wirodono dalam Murniati 2004:xiii).
muda, serta
laki-laki dan perempuan.
Pada
budaya
Jawa,
menurut
Perbedaan laki-laki dan perempan bukan
Endraswara (2010:53-54), kaum laki-laki
disebabkan oleh perbedaan nature, yaitu
Jawa dianggap terhormat, terpuji, selalu
perbedaan biologis jenis kelamin laki-laki
berada di depan, menjadi penguasa rumah
dan perempuan, tetapi lebih kepada nurture,
tangga, memiliki tangung jawab yang lebih
yakni perbedaan yang disebabkan oleh
dibanding perempuan, dan sebagai pribadi
budaya.
yang aktif. Sebaliknya, perempuan selalu
Menurut (1998:xxxi),
Ibrahim
pada
dan
jaman
Suranto
Pencerahan
berada pada posisi bawah, hanya mengurusi masalah
domestik,
hanya
menjadi
(Enlightment) di tahun 1700-an, gerakan
pendamping suami, dan pribadi yang pasif.
filsafat Eropa meyakini bahwa kaum pria
Kondisi perempuan yang berada di bawah
dari spesies manusia membawa miniatur
laki-laki banyak direpresentasikan dalam
bayi
ini
ungkapan-ungkapan seperti kanca wingking
„kediktatoran
(teman di belakang) serta swarga nunut
dualisme‟ yaitu mind/body, public/private,
neraka katut (ke surga ikut ke neraka pun
nature/nurture,
reason/emotion,
turut). Ungkapan yang menomorduakan
masculine/feminine. Kediktatoran ini terus
perempuan tersebut muncul karena latar
berlanjut dan bertahan sehingga kita percaya
belakang budaya masyarakat Jawa yang
bahwa
dengan
menempatkan laki-laki pada posisi di atas
tersebut
sementara perempuan sebaliknya. Ungkapan
menempatkan laki-laki dan perempuan pada
tersebut merupakan cerminan bagaimana
posisi yang berbeda dan mengakibatkan
cara pandang masyarakat Jawa dalam
laki-laki dan perempuan sulit keluar dari
melihat hubungan antara laki-laki dan
stigma yang telah begitu kukuh diakui -
perempuan yang disebut ideologi patriarki.
dalam
spermanya.
terorganisasikan
laki-laki
perempuan.
Pemikiran
dalam
bertentangan Dualisme
bahkan oleh perempuan sendiri- bahwa
Budaya yang menempatkan laki-laki
terdapat ideologi gender dengan dominasi
dan perempuan pada porsi yang berbeda,
kaum laki-laki sebagai penguasa yang
memunculkan
ungkapan-ungkapan
yang -103-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
mencerminkan bias gender. Hal ini banyak
McElhinny 2005:22).
tercermin dalam tata wicara, yaitu segala
merupakan nature, sedangkan perbedaan
pernyataan, perkataan, dan pidato dari
karena
orang-orang yang terlibat dalam tata upacara
nurture. Kenyataan bahwa manusia berbeda
pernikahan, yaitu pemangku hajat, calon
secara nature adalah kodrat Ilahi yang tidak
penganten, pranata adicara, besan, dan
dapat diberontak. Namun dalam berjalannya
pemberi nasihat (Pringgawidagda 2006:5).
waktu, pribadi tersebut akan dibentuk oleh
Fenomena
lingkungan hidup yang disebut sosialisasi
munculnya
tuturan
tersebut
menimbulkan pertanyaan, yaitu: 1.
Mengapa
terdapat
seolah-olah
2.
3.
sosial
yang membentuk suatu
ungkapan
yang
menomorduakan
disebut
ideologi
membentuk
ideologi
gender.
konstruksi
merupakan
yang
Ideologi sosial
ini yang
perempuan?
melembaga, seperti perempuan dan laki-laki
Apa yang melatarbelakangi munculnya
dibedakan
tuturan yang tampak menempatkan
mengakibatkan
adanya
perempuan di bawah laki-laki?
melekat
tiap-tiap
Bagaimana
ungkapan
digunakan
4.
konstruksi
Perbedaan biologis
Hal
pelabelan jenis
ini yang
sehingga
terciptalah stereotip bagi laki-laki dan Prinsip
pengetahuan/kepercayaan, relasi, dan
mengakibatkan
seorang
identitas sosial laki-laki dan perempuan
perempuan maupun laki-laki merasa tidak
dalam budaya Jawa?
pantas jika keluar dari kotak stereotip
ideologi
mengkonstruksi
pada
kepantasan.
perempuan.
Adakah
untuk
tersebut
atas
tertentu
dalam
kepantasan pribadi
baik
tersebut. Pandangan ini telah berlangsung
masyarakat Jawa dalam memandang
selama
berabad-abad
sehingga
tampak
perempuan dan laki-laki?
seperti telah menjadi kodrat yang tak dapat disangkal (Murniati 2004:xviii-xix).
Kerangka Teori
Menurut van Dijk (1997:25-26),
Seks dan gender adalah sesuatu yang
ideologi dalam hubungannya dengan wacana
berbeda. Seks adalah perbedaan antara laki-
(pada bahasa) terjadi karena terdapat fungsi
laki dan perempuan berdasarkan perbedaan
ideologi,
secara biologis, sedangkan gender adalah
Ideologi dikembangkan oleh pihak dominasi
perbedaan berdasarkan konstruksi sosial,
yang bertujuan untuk mereproduksi dan
budaya, dan psikologi (Shapiro dalam
melegitimasi dominasi mereka. Salah satu
-104-
yaitu
sebagai
fungsi
sosial.
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
strateginya adalah dengan menghadirkan
melaksanakan
dominasi itu sebagai suatu kewajaran dan
(memberikan
alamiah
yang
angomahi (membuat rumah sebagai tempat
didominasi untuk mengakui hubungan sosial
berteduh), angayomi (menjadi pengayom
tersebut. Fungsi sosial ideologi memiliki
dan
implikasi, yaitu ideologi bersifat sosial yang
(menjaga kondisi keluarga aman tenteram,
telah
bebas dari gangguan), dan angamatjani
dan
disepakati
memaksa
oleh
pihak
suatu
anggota
Lima-A nafkah
pembimbing
yaitu lahir
dan
keluarga),
batin),
angayemi
kelompok atau organisasi dan merupakan
(mampu
pembentuk identitas yang membedakan
Sementara itu perempuan Jawa harus dapat
antar satu kelompok dengan kelompok lain.
melaksanakan
Oleh karena jika terdapat wacana, maka hal
(memasak), macak (berhias), dan manak
itu dipandang bukanlah sesuatu yang netral,
(melahirkan). Wanita diangap terhormat
namun didalamnya terdapat ideologi satu
ketika telah dapat melaksanakan ma telu
kelompok untuk mendominasi kelompok
tersebut. Dari konsep itulah maka timbul
lain.
anggapan bahwa laki-laki lebih pantas Ideologi
patriarki
yang
bergerak
menurunkan
angayani
di
ma
benih
telu
ruang
unggul).
yaitu
publik
masak
sementara
menempatkan laki-laki sebagai entitas yang
perempuan hanya dapat bergerak di ranah
menguasai perempuan juga tercermin dalam
domestik. Dalam masyarakat Jawa terdapat
budaya
tiga kewajiban istri, yaitu wedi, gemi dan
Jawa.
Menurut
Endraswara
(2010:53-54) laki-laki berasal dari kata laki
gumati.
yang berarti terhormat dan terpuji. Dalam
menyangkal pembicaraan atau menolak
tradisi Jawa, pria memang dipandang lebih
suruhan suami, dan melakukan secara ikhlas
terhormat sehingga selalu berada di depan.
lahir batin. Gemi (hemat), artinya jangan
Hal ini tercermin dalam budaya patriarki
boros, memelihara setiap pemberiannya,
sehingga bapak adalah penguasa rumah
menyimpan segala rahasia dan tidak banyak
tangga. Kepercayaan anak kepada bapak
bicara. Gumati (setia) artinya cinta kepada
amat berbeda dibandingkan kepada ibu.
semua
Anak lebih takut dan menurut nasehat
menyediakannya. Tiga hal tersebut semakin
bapak. Apa yang dikatakan bapak akan
melegalkan aturan bahwa wanita harus
diikuti oleh anak dan istri. Pria Jawa juga
tunduk, patuh, dan takut kepada suami
memiliki
tanggung
jawab
Wedi
yang
(takut)
disukai
artinya
lelaki
jangan
dan
dengan -105-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
sehingga semakin sempurnalah ideologi
yang dihubungkan oleh konteks sebagai
kekuasaan laki-laki terhadap perempuan.
praktek sosial budaya adalah dimensi yang
Ungkapan swarga
nunut
merupakan stereotip
kanca neraka
wingking katut
di
dan
berhubungan dengan hal di luar teks seperti
atas
situasi
sosial,
institusi,
sebagian
contoh
ungkapan
Dimensi-dimensi
perempuan.
Selain
ungkapan
merupakan
tersebut, terdapat banyak ungkapan lain
dan
budaya.
wacana
tersebut
dalam
melakukan
tahapan
analisis wacana kritis.
seperti yang tampak dalam teks tata wicara
Teks, interaksi, dan konteks dapat
pernikahan sebagai cerminan patriarki dalam
dianalisis
budaya Jawa. Fairclough berusaha mencari
wacana kritis. Tahapan analisis wacana
cara untuk menghubungkan antara teks
kritis menurut Fairchlough (1989:25-26)
sebagai unsur mikro dan budaya sebagai
dilakukan dengan 3 cara yaitu deskripsi,
unsur makro. Fairclough memandang bahwa
interpretasi,
wacana dalam bahasa merupakan praktik
adalah
sosial (1989:22). Disebut praktik sosial,
kebahasaan.
karena bahasa merupakan bagian dari
menitikberatkan pada fitur-fitur linguistik
masyarakat yang berhubungan dengan faktor
mengandung
di luar kebahasaan, bahasa merupakan
pengalaman (experiential value), nilai relasi
proses sosial, dan bahasa adalah proses
(relational
sosial yang terkondisikan oleh faktor di luar
(expressive
linguistik.
hubungan antarteks atau interaksi teks yang
Teks sebagai bagian dari bahasa dianalisis
berdasarkan
elemen-elemen
dengan
dan
melakukan
eksplanasi.
Deskripsi
analisis
fitur-fitur
tahapan Tahap
tiga
value), value).
analisis
deskripsi
nilai,
dan
yang
yaitu
nilai
Interpretasi
nilai
ekspresif adalah
memandang teks sebagai hasil dari proses produksi
dan
sebagai
sumber
proses
linguistik teks tersebut tanpa dihubungkan
interpretasi. Tahap eksplanasi bertujuan
dengan hal di luar teks linguistik. Praktek
untuk
wacana
sebagai
wacana merupakan proses sosial yang
bagian dari proses pemertahanan
sosial,
menjelaskan
tersebut
dalam hubungannya dengan kekuasaan.
dipraktekkan/dihasilkan. Pada tahapan ini
Suatu teks yang dihasilkan tidak dapat
dilakukan analisis bagaimana suatu teks
dilepaskan dari konteks sosial budaya yang
diproduksi dan bagaimana melakukan proses
melingkupi terciptanya teks yang dapat
interpretasi terhadap teks. Sedangkan bahasa
menunjukkan ideologi dalam masyarakat
-106-
bagaimana
teks
menggambarkan
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
tersebut.
Sebagai
contoh
ideologi
ideologi. Inti analisis van Dijk adalah
masyarakat patriarki yang menomorduakan
menggabungkan
perempuan akan menggambarkan kekuatan
tersebut dalam satu kesatuan analisis.
yang
dalam
Pada dimensi teks, van Dijk (2000:44-60)
ideologi
memperlakukan wacana sebagai entitas
2001:321).
berstruktur. Karena itu, pendekatan yang
ada
memaknai dominan
dalam
masyarakat
dan
menyebarkan
tersebut
(Eriyanto
ketiga
dimensi
Santoso (2009:112) menambahkan bahwa
ditawarkan
ketiga tahapan tersebut bersifat simultan
struktur wacana, yaitu struktur makro,
sesuai dengan relasi antara struktur mikro
struktur supra, dan struktur mikro. Struktur
(teks) dan struktur makro (institusi sosial
makro mengacu pada makna keseluruhan
dan masyarakat) yang bersifat dialektis.
(global meaning) yang dapat dicermati dari
terdiri
dari
tiga
tingkatan
Selain model analisis wacana kritis
tema atau topik dalam suatu wacana.
Fairclough, pencarian ideologi juga dapat
Struktur supra menunjuk pada kerangka
dipertegas dengan analisis wacana kritis
suatu wacana atau skematika, seperti aturan
Teun A. van Dijk. Menurut van Dijk,
dalam percakapan atau tulisan yang dimulai
ideologi
yaitu
dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi
penggunaan bahasa/teks, kognisi sosial,
pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri
serta interaksi dalam situasi sosial (1998:2-
dengan
31). Teks, yang terdiri dari teks lisan dan
didahulukan,
tertulis, kemunculannya merupakan bagian
dikemudiankan,
dari suatu interaksi sosial. Dalam memahami
kepentingan pembuat wacana. Penciptaan
dan menginterpretasikan teks tidak hanya
strategi penghasil teks dalam menonjolkan
dibutuhkan struktur teks suatu wacana
atau menyembunyikan informasi penting
dalam berinteraksi, namun juga dibutuhkan
merupakan kognisi sosial penghasil teks
pengetahuan yang ada dalam pikiran kita
sebagai kerangka untuk memahami teks. Hal
atau
ini
memiliki
yang
tiga
disebut
dimensi
dengan
kognisi.
penutup. serta
berkaitan
Bagian
mana
yang
bagian
mana
yang
akan
diatur
dengan
demi
bagaimana
Pemahaman mengenai susunan kata, makna,
pengetahuan/kepercayaan
koherensi, skemata, pemilihan diksi, gaya
serta bagaimana dia menilai seseorang,
bahasa, retorika, tindak tutur, maupun
peranan sosial, dan peristiwa. Struktur mikro
analisis konversasi menunjukkan bahwa
merujuk
pengguna bahasa memiliki pengetahuan atau
meaning) suatu wacana.
pada
makna
penghasil
setempat
teks
(local
Makna setempat -107-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
ini dapat digali dari aspek semantik,
tampak seakan-akan terdiri dari kata-kata
sintaksis, stilistika, dan retorika.
dan kalimat-kalimat, namun sesungguhnya
Systemic Functional Linguistics/SFL merupakan
gagasan
sebagai
Hasan, 1994:14). Makna sebagai komponen
begawan linguistik yang memandang bahasa
fungsional dalam konteks sosial terbagi
sebagai fenomena sosial. Akar pandangan
dalam tiga jenis makna (metafunction), yaitu
Halliday
makna
yang
Halliday
terdiri dari makna-makna (Halliday dan
pertama
adalah
bahasa
ideasional
pengalaman
sebagai semiotika sosial yang berarti bahwa
bahasa),
bentuk-bentuk
interaksi antar pelibat), dan makna tekstual
bahasa
mengkodekan
makna
(makna
interpersonal
(makna
representasi dunia yang dikonstruksikan
(makna dalam organisasi teks).2
Kajian
secara sosial. Sedangkan pokok pikiran
mendalam
makna
pentingnya
interpersonal
yang
kedua
adalah
untuk
menganalisis
dilakukan
dengan
kajian
pandangannya tentang linguistik sebagai
appraisal (sikap menilai dengan
tindakan dan secara lebih spesifik linguistik
sesuatu, karakter dan perasaan seseorang),
sebagai sebuah bentuk tindak politis. SFL
ideation yang mengkaji proses aktifitas,
lahir
bagaimana partisipan yang terlibat dalam
sebagai
akibat
dari
berbagai
kegiatannya dalam gerakan sosial politik
proses
yang membawanya ke dalam perumusan
bagaimana
teori bahasa yang dapat melayani kebutuhan
(Martin
praktis itu, sehingga linguistik harus dapat
conjunction, yaitu hubungan antar proses,
dipertanggungjawabkan secara sosial.1
diantaranya
Dalam (1994:xiii),
pandangan kajian
linguistik
Halliday disebut
tersebut
menilai
direpresentasikan,
partisipan dan
Rose
diklasifikasikan 2001:59),
proses
perbandingan,
dan
penambahan,
pertautan,
penjelasan.digunakan
dan
untuk
atau mengetahui
functional karena lebih menekankan pada
makna ideational (Martin dan Rose 2001:16-
fungsi, bukan pada susunan bahasanya. SFL
17). Sedangkan untuk
didesain untuk melihat bagaimana bahasa
tekstual,
digunakan dalam teks -baik tertulis maupun
Fairclough
lisan- yang dipengaruhi oleh konteks. Hal
konvensi interaksi dan struktur organisasi
yang penting mengenai sifat teks adalah
teks yang lebih besar.
bahwa meskipun teks itu bila dirangkai
-108-
akan
menyelami makna
digunakan
(1989:133-139)
teori
dari
mengenai
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
terbatas pada usaha mengungkapkan suatu
Metode Penelitian Peneliti
menggunakan
jenis
masalah
atau
keadaan
atau
peristiwa
penelitian dokumentasi (Zed 2008:3) karena
sebagaimana apa adanya sehingga bersifat
data yang dikumpulkan berasal dari data
sekedar
yang tertulis, yaitu dari buku dan referensi.
penelitian
Sumber
seobyektif mungkin mengenai data.
data
tersebut
disebut
telah
mengungkapkan difokuskan
fakta.
pada
Hasil
gambaran
terdokumentasi karena tuturan tata wicara
Pada penelitian ini akan dilakukan
merupakan teks yang diperoleh dari buku
analisis deskripsi, yaitu mendeskripsikan
Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya
fitur-fitur linguistik data seperti kosakata,
Yogyakarta serta berkas Permadani. Sumber
gramatika,
data pada penelitian ini adalah semua
Nawawi (1994:31) menambahkan bahwa
tindakan tata wicara berupa kata, frasa,
untuk mendapatkan manfaat yang lebih
klausa, maupun wacana pada buku Tata
komprehensif
Upacara dan Wicara Pengantin Gaya
mengungkapkan
Yogyakarta.
deskripsi, dapat dilakukan juga interpretasi-
maupun
struktur
pada
tekstual.
penelitian,
fakta
dalam
selain bentuk
Menurut Rianto (2004:56-57), sifat
interpretasi yang adekuat. Pada penelitian
data terdiri dari data kuantitatif, yaitu data
ini, tahapan analisis wacana kritis untuk
yang berbentuk angka dan data kualitatif,
mengungkap ideologi selain deskripsi adalah
yaitu data yang tidak berbentuk angka. Data
interpretasi. Pada tahap interpretasi, peneliti
yang diperoleh pada tesis ini bukan berupa
berusaha
angka, namun berupa tata wicara dalam
untuk mengetahui bagaimana pembuat teks
bentuk kata, frasa, maupun kalimat yang
menghasilkan teks dan bagaimana peneliti
mengandung bias gender pada pernikahan
sebagai penikmat teks menginterpretasikan
budaya Jawa. Lebih lanjut Bodgan dan
teks
Taylor
mengenai
dalam
Moleong
(1994:3)
menginterpretasikan data teks
tersebut.
Selain
konteks
itu,
sosial
eksplanasi
dan
budaya
menambahkan bahwa metodologi kualitatif
tersebut membantu peneliti untuk lebih
adalah
dalam
prosedur
penelitian
yang
lagi
menginterpretasikan
data
menghasilkan data deskriptif berupa kata-
sehingga diketahui ideologi masyarakat
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
Jawa dalam memandang kedudukan laki-
perilaku yang dapat diamati. Menurut
laki dan perempuan. Untuk memperoleh
Nawawi (1994:31) penelitian deskriptif
laporan atau hasil analisis data yang lengkap -109-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
dalam penelitian ini, metode dan teknik
Pada konteks di atas kosakata putra
yang dipakai untuk menyajikan hasil analisis
merupakan representasi makna dari laki-laki
data adalah metode
yang berkedudukan secara simetris dengan
informal karena
penyajian hasil analisis datanya dirumuskan
perempuan
sehingga
keduanya
bisa
dengan kata-kata biasa atau dengan narasi,
disandingkan sebagai antonim. Selain kata
tidak dengan simbol (Sudaryanto 1993:36).
putra dan putri, terdapat data lain yang menunjukkan sinonim kata putra dan kata
Hasil dan Pembahasan
putri
1.
Ideologi Superioritas Laki-laki dan
kosakata beragam. Deskripsi pada data di
Inferioritas Perempuan
atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan
1.1 Ideologi Kekuasaan Laki-laki
yang
direpresentasikan
dengan
simetris antara laki-laki dan perempuan
Perhatikan kutipan berikut :
sehingga
Pakurmatan dhumateng bapak-Ibu
antonim. Kakung berantonim dengan putri
… handadosaken toya kekiyatan mrih
atau pawestri, jaler berantonim dengan estri,
sentosa anggenipun badhe hamiwaha putra,
jalu berantonim dengan wanita,
ngentas
kinasih
atau priya berantonim dengan wanodya atau
(hormat kepada bapak-ibu … menjadikan air
putri dan jejaka berantonim dengan warara.
kekuatan … ketika akan menikahkan putra
Representasi antonim kata laki-laki dan
yang mengentaskan dengan tulus sang putri
perempuan tampak pada tabel berikut :
(1)
pitulus
ingkang
putri
pasangan
tersebut
tercinta)
Tabel 1: Pasangan antonim laki-laki dan perempuan
-110-
Laki-laki
Perempuan
Putra
Putri
Kakung
Putri/estri/pawestri/wanodya
Jaler
Estri
Jalu
Wanita
Priya
Wanita/wanodya/putri
Jejaka
Warara
merupakan
kakung
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
Pasangan antonim di atas merupakan
adanya kedudukan yang simetris antara laki-
antonim
yaitu
laki dan perempuan sehingga keduanya
pasangan lawan kata yang mutlak (Palmer
berada pada kedudukan yang setara dan
1981:96). Pasangan tersebut menunjukkan
merupakan hiponim dari frasa jenis kelamin.
jenis
complementarity,
Relasi makna antara laki-laki dan perempuan tampak pada bagan berikut : Jenis kelamin
Putra
putri
Kakung
putri/estri/pawestri/wanodya
Jaler
estri
Jalu
wanita
Priya
wanodya/putri
Jejaka
warara
Namun penulis menemukan data lain
bermakna anak juga dinyatakan oleh oleh
yang menunjukkan adanya homonim yang
Purwadi (2005:285) maupun Sudarmanto
menunjukkan bahwa kata putra selain
(2008:263) yang mengatakan bahwa makna
bermakna laki-laki juga memiliki makna
kata putra adalah anak.
lain. Hal tersebut terdapat pada kutipan :
Dari data di atas, tampak bahwa
(2) … panyuwun mugi jejering pawestri
terdapat dua representasi kata putra, yaitu
ingkang sampun winengku ing kakung
bermakna laki-laki seperti tampak pada data
enggal pinaringan putra ingkang utami (…
(1).
semoga bersandingnya perempuan yang
perempuan tersebut menunjukkan bahwa
telah
terdapat kedudukan yang simetris antara
dinikahi
oleh
laki-laki
segera
mendapatkan anak yang utama)
merepresentasikan
antonim
laki-laki
dan
putra (laki-laki) dan putri (perempuan).
Pada wacana di atas, tampak bahwa putra
Pasangan
ketika
terdapat makna lain dari kata putra, yaitu
diharapkan setelah menikah pasangan suami
anak. Menurut Koentjaraningrat (1994:146)
istri
yang
dalam keluarga Jawa istilah untuk menyebut
diharapkan bisa berjenis kelamin laki-laki
anak adalah lare (bahasa Jawa krama) atau
maupun perempuan.
anak (bahasa Jawa ngoko), baik untuk anak
segera
memilikinya.
anak,
Namun pada data (2) menunjukkan bahwa
Anak
Kata putra yang
-111-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
pria maupun anak wanita. Dari definisi
seksisme bahasa dalam bentuk generic noun.
tersebut tampak bahwa kata anak merupakan
Di sini kata putra (anak) mengalami proses
superordinat dari frasa anak laki-laki dan
superordinasi yang menjadi bagian atasan
anak perempuan. Dalam bahasa Jawa makna
yang membawahi kata putra (anak laki-laki)
kata anak yang direpresentasikan pada kata
dan putri (anak perempuan).
putra juga menempatkan posisi anak laki-
Penggunaan kata putra dalam sistem
laki (putra) dan perempuan (putri) sebagai
appraisal merupakan hasil eksplanasi dari
hiponim yang tampak seperti pada bagan
penilaian
berikut :
pranatacara Putra ( anak )
(attitude) penghasil teks yaitu (sebagai
representasi
masyarakat Jawa) dalam menilai seseorang, yaitu laki-laki dalam masyarakat Jawa. Penilaian
Putra ( laki-laki )
putri (
perempuan )
tersebut bersifat positif yaitu
dengan menyanjung/meninggikan (admire) laki-laki. Hal ini berakibat makna laki-laki yang awalnya
Pada data di atas, makna kata anak dan
anak
laki-laki
keduanya
simetris
dengan makna
perempuan mengalami pergeseran makna sehingga
menjadi
superordinat
dari
direpresentasikan dengan kosakata putra.
perempuan. Dari data tersebut tampak
Jika menilik pada data sebelumnya makna
bahwa secara implisit nilai relasi yang
kata
hendak dibangun yaitu fenomena menaikkan
putra
berkedudukan
adalah
laki-laki,
secara
simetris
yang dengan
derajat
laki-laki
dengan
menggeser
perempuan. Namun ternyata terdapat makna
maknanya sehingga menjadi lebih tinggi
lain, yaitu anak yang menunjukkan bahwa
dengan membawahi kata putri.
kata putra simetris
tidak berkedudukan secara putri.
Hal
ini
yang
berasal
pranatacara
tersebut
diinterpretasikan sebagai ketidaksimetrisan
representasi
masyarakat
kedudukan antara kata putra dan putri yang
memandang kedudukan laki-laki. Seperti
menunjukkan bias gender. Kata putra
yang telah penulis kemukakan pada metode
tersebut secara general dianggap umum
pengumpulan data, tata wicara pranatacara
untuk semua anak (bisa laki-laki atau
merupakan
perempuan)
improvisasi. Teks yang telah dihafalkan
yang menunjukkan adanya
hafalan
juga
dari
dapat
-112-
dengan
Penilaian
merupakan
Jawa
dengan
dalam
berbagai
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
memiliki
karakteristik,
kalimat
kompleks
yaitu
dan
memiliki
menggunakan
kata putra dan putri dengan vokal [ɔ] dan [i].
ungkapan-ungkapan yang berbeda dengan
Pasangan
antonim
tersebut
bahasa Jawa pada umumnya (Purwanto
menunjukkan bahwa terdapat makna yang
2010:250). Hal ini menunjukkan bahwa
memberikan perbedaan pemarkah laki-laki
tuturan tersebut bukan murni merupakan
dengan vokal [ɔ] dan pemarkah perempuan
produk individu seorang penghasil tata
dengan vokal [i].4 Dalam banyak kasus
wicara, namun tuturan tersebut merupakan tuturan yang sudah terkonstruksi dan sudah sepantaskan harus dituturkan penghasil tata wicara dalam tata upacara pernikahan Jawa. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
sumber data kata putra yang
dituturkan
pranatacara
juga
merupakan
cerminan budaya masyarakat Jawa, sehingga dapat dikatakan bahwa sumber (source) tersebut berasal dari dua sumber yaitu dari pranatacara sendiri dan masyarakat Jawa, yang dalam kajian engagement disebut heterogloss.3 Dari pasangan antonim pada tabel 1, kosakata pergeseran
laki-laki makna
yang sehingga
mengalami menjadi
superodinat dari kosakata perempuan adalah kata putra. Hal ini perlu dianalisis lebih mendalam lagi mengapa kosakata putra yang dipilih, bukan kakung, jaler, jalu, priya, atau jejaka. Di antara pasangan
ternyata pemarkah dengan vokal [ɔ] tersebut bersifat generic noun atau bermakna umum yang
dapat
mencakup
laki-laki
dan
perempuan. Hal ini juga terjadi pada kata putra yang merupakan generic noun karena mencakup makna anak laki-laki dan anak perempuan. Fenomena generic noun dengan pemarkah [ɔ] sebagai penanda maskulin menunjukkan
bahwa
kosakata
tersebut
bukan hanya mengacu pada laki-laki saja, namun mengacu pada jenis kelamin secara umum. Pemarkah [ɔ] menunjukkan betapa kuatnya pemarkah tersebut sebagai generic noun, bukan hanya sebagai identitas lakilaki saja. Kekuatan ini secara skala semantis (amplifying gradable) merupakan kategori sharpening atau menguatkan, yaitu semakin mengukuhkan anggapan bahwa pemarkah vokal [ɔ] cenderung memiliki makna umum
antonim tersebut, kosakata yang pembeda
sehingga
menguasai
kosakata
dengan
maknanya terletak pada akhir bunyi, yaitu
pemarkah vokal [i]. Hal ini tidak dapat
-113-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
terjadi pada kosakata lain seperti kakung,
Jawa. Menurut Endraswara (2010b:53),
jaler, jalu, priya, dan jejaka. Pada kata priya
dalam masyarakat Jawa, secara kultural laki-
dan jejaka, walaupun berakhiran [ɔ], namun
laki dipandang lebih terhormat dan selalu
tidak dapat disebut memiliki pembeda
berada di depan. Tradisi patrilinier masih
pemarkah [ɔ].
kental terasa dalam budaya Jawa, seperti
putra-putri,
Bandingkan dengan kata
dewa-dewi,
bathara-bathari,
dan widadara-widadari yang pembeda jenis kelaminnya berupa pemarkah [ɔ] dan [i]. Sedangkan pasangan antonim priya-wanita, priya-wanodya, priya-putri, serta jejakawarara tidak memiliki pembeda jenis kelamin dengan pemarkah [ɔ] dan [i], namun
memiliki
pembeda
leksikal.
Interpretasi pemarkah [ɔ] berupa generic noun ini merupakan representasi kaum lakilaki yang menunjukkan identitas sosialnya sebagai
entitas
perempuan‟. pemarkah
yang
„menguasai
Pengetahuan [ɔ]
sebagai
contohnya bapak yang menjadi penguasa rumah
tangga,
karena
hampir
semua
keputusan keluarga ada di tangan bapak. Konteks budaya patrilineal dalam budaya Jawa, menyebabkan adanya hubungan sosial yang bersifat asimetris antara laki-laki dan perempuan, semisal perempuan yang selalu diposisikan berada di belakang atau di bawah laki-laki. Apa yang dikatakan suami wajib diikuti oleh istri. Dari budaya tersebut memunculkan adanya identitas bahwa lakilaki adalah entitas yang terhormat, berkuasa, dan ditinggikan.
mengenai
generic
noun,
sinonim, antonim, hiponim, homonim, serta
1.1.1. Ideologi Keagungan Laki-laki Kosakata
berikut
menunjukkan
kolokasi pada penjelasan di atas, merupakan
keagungan laki-laki:
nilai pengalaman dalam melakukan analisis
(3) …kanthi makaten mracihnani lumaksita
mengenai kata putra sebagai pembawa
adicara Kirap Kasatriyan. (…dengan begitu
ideologi kekuasaan laki-laki.
rangkaian
Relasi makna sebagai akibat dari pergeseran makna kata putra yang menjadi superordinat dari kosakata
putri
tidak
pelaksanaan
adicara
Kirap
Kasatriyan) Kirab kasatriyan adalah arak-arakan yang mengiringi penganten laki-laki dan
muncul secara arbiter. Ada alasan ideologis
perempuan
tertentu yang timbul akibat budaya yang
berganti
berkembang dalam komunitas masyarakat
1994:74). Jika dilihat dari makna busana dan
-114-
menuju busana
pelaminan
kasatriyan
setelah (Yatmana
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
kirab kasatriyan, keduanya diperuntukkan
Jika
dilihat
pada
makna
kirab
bagi kedua penganten. Namun yang menjadi
kasatriyan, busana kasatriyan, serta makna
permasalahan adalah mengapa kosakata
kata satria itu sendiri, maka hal tersebut
kasatriyan yang dipakai?
tidak menunjukkan adanya bias gender
Untuk meneliti lebih jauh kata
karena kata dan frasa tersebut diperuntukkan
kasatriyan, maka secara deskripsi akan
bagi kedua penganten. Namun peneliti
dicari apa makna kata tersebut. Berdasarkan
menemukan
makna pada kamus bahasa Jawa, makna kata
menunjukkan bahwa kata satriya mengacu
kasatriyan/satriya adalah kesatriya, prajurit
pada laki-laki.Data tersebut adalah:
referensi
lain
yang
luhur, wong luhur, prajurit yang gagah berani. Kirab kasatriyan berarti pawai, atau
(4) Anakku Ngger, Rara/Bagus …, dhek
berbaris untuk mengiringi penganten menuju
kalane isih cilik sira dakkekudang, yen ta
tempat pelaminan setelah berganti busana
diwasa bisa winengku (amengku) dening
dari busana kanarendran menjadi busana
satriyatama (wanitatama) ingkang sembada
kasatriyan, dan untuk mohon doa dari para
angayomi
tamu.
putri
Rara/Bagus …, ketika masih kecil, engkau
domas, satriya bagus, patah, kedua orang
kurawat, ketika telah dewasa menikahlah
tua,
(nikahilah) dengan laki-laki (perempuan)
Penganten
saudara
diiringi
penganten
kedua
putri,
saudara
penganten laki-laki, saudara orang tua penganten putri, dan saudara orang tua penganten
laki-laki
jiwa
raganira
…
(Anakku
yang dapat melindungi jiwa raga …).5 Data di atas memberikan eksplanasi bahwa terdapat kata satriyatama yang
(http://kabudayanjawi.com/article/68648/up
dipasangkan
acara-pernikahan.html). Dari definisi kirab
menunjukkan bahwa satriyatama adalah
kasatriyan, dapat diinterpretasikan bahwa
antonim dari wanitatama. Jika wanitatama
penganten
yang
merujuk pada perempuan, maka makna
diagungkan seperti layaknya raja dan ratu,
satriyatama mengacu pada laki-laki. Hal
sehingga
ketika
yang menarik adalah mengapa antonim dari
menuju suatu tempat. Karena diagungkan,
kata wanita bukan kakung, putra, priya,
maka busana yang dipakai juga busana yang
jaler, ataupun jalu (seperti temuan pasangan
mencerminkan keagungan seorang raja dan
antonim pada tabel 1 sebelumnya). Makna
dianggap
pasangan
pantas untuk dikawal
dengan
wanitatama.
Ini
ratu, sehingga dipilihlah busana kasatriyan. -115-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
wanitatama adalah wanita yang utama,
berani. Kosakata tersebut juga digunakan
sedangkan makna satriyatama adalah satriya
untuk
yang utama. Makna dari satriya pada
mengandung keagungan seperti pada kirab
definisi
kasatriyan
sebelumnya
adalah
kesatriya,
mengacu
pada
sehingga
peristiwa
yang
sebaiknya
prajurit luhur, wong luhur, prajurit yang
menggunakan
gagah berani. Jika dilihat dari data bahwa
Tampaknya hal ini terjadi karena sesuatu
satriyatama
dari
yang bermakna kebesaran merupakan acuan
wanitatama, maka makna kata satriya
bagi laki-laki, sehingga akhirnya dipilihlah
mengacu pada laki-laki. Sehingga makna
kosakata kasatriyan yang mencerminkan
satriyatama dapat diinterpretasikan sebagai
keagungan laki-laki.
merupakan
antonim
kesatriya laki-laki, prajurit laki-laki yang
busana
juga
Pemilihan
kasatriyan.
kosakata
tersebut
luhur, orang (laki-laki) luhur, prajurit laki-
merupakan penilaian positif terhadap laki-
laki yang gagah berani dan utama. Yang
laki yang ditempatkan di depan serta
perlu dicermati pada pasangan antonim
ditinggikan
wanita dan satriya adalah makna wanita
menyanjung/meninggikan (admire) laki-laki
hanya
sehingga
mengacu
pada
jenis
kelamin
dengan
layak
untuk
dihormati
perempuan, namun makna kata satriya tidak
diagungkan.
hanya mengacu pada jenis kelamin laki-laki
semantisnya, kasatriyan merupakan bentuk
saja.
yang
penyangatan terhadap keagungan laki-laki
mengagungkan laki-laki dengan sifatnya
sehingga peristiwa kirab penganten yang
yang luhur dan gagah berani (itulah alasan
dikawal oleh banyak orang menggunakan
mengapa kata satriya yang dipilih bukan
acuan
kata kakung, putra, jaler, jalu, atau priya
identitas bagi laki-laki sebagai entitas yang
yang hanya bermakna laki-laki saja tanpa
identik dengan keagungan.
ada
Terdapat
nilai
makna
tambahan
tambahan
lain).
Hal
Sedangkan
laki-laki.
Hal
ini
dari
dan skala
memberikan
ini
menunjukkan bahwa laki-laki adalah entitas yang memiliki kelebihan dibanding wanita.
1.1.2. Ideologi Kekuatan Laki-laki Ideologi tersebut terdapat pada data
Dari interpretasi kata satriya, pada akhirnya
berikut :
diperoleh nilai pengetahuan bahwa laki-laki
(5) Hangestokna dhawuhing Pangeran, uga
adalah pihak yang pantas untuk diagungkan
singkirana pepacuhing Gusti, nut agama
karena memiliki sifat luhur dan gagah
kang den rasuk, tindakna sadina-dina…
-116-
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
(Laksanakanlah
perintah
Tuhan,
dan
dipilih,
bukannya
kata
Selain
jauhilah laranganNya, taatilah agama yang
meninggikan
dianut, jalankanlah setiap hari…)
pangeran yang digunakan, terdapat alasan
Data di atas merupakan deskripsi
lain,
yaitu
laki-laki
putri.
laki-laki
sehingga
diangap
kata
memiliki
tuturan yang menunjukkan bahwa pangeran
kekuatan lebih dibandingkan perempuan,
merupakan tuturan yang digunakan untuk
sehingga acuan laki-laki yang dipakai.
mengacu kepada Tuhan. Kata tersebut
Ideologi kekuatan laki-laki juga didukung
mengandung bias gender karena Tuhan
oleh kutipan berikut:
sebagai entitas yang tidak diketahui wujud dan jenis
kelaminnya
direpresentasikan
(6) Penganten kakung calon dados saka
dengan kata pangeran yang merujuk pada
guruning bale wisma, anggadahi kwajiban:
laki-laki. Kata pangeran dipilih karena kata
hangayomi, hangayemi, lan hangayani
pangeran juga mengacu pada panggilan
dhumateng semah lan kulawarganipun,
keturunan raja yang memiliki darah luhur.
kosok wangsulipun penganten putri nampi
Definisi
guna
tersebut
tampak
meninggikan
kaya
saking
ingkeng
garwa…
makna pangeran dibandingkan putri (kata
(Penganten laki-laki adalah calon penegak
pangeran dipadankan dengan kata putri atau
rumah tangga, memiliki kewajiban: menjadi
antonimnya, bukan raja, karena kajian ini
pengayom
ingin menggali mengapa acuan laki-laki
menjaga kondisi keluarga aman tenteram,
yang dipakai, bukan perempuan untuk
dan memberi nafkah lahir batin, sebaliknya
merepresentasikan suatu kekuatan). Nilai
penganten putri menerima guna kaya dari
yang terkandung pada kata pangeran lebih
sang suami …)
dan
pembimbing
keluarga,
terhormat karena maknanya adalah mengacu
Data di atas menunjukkan bahwa
pada entitas yang terhormat yaitu (1) Tuhan
laki-laki diangap pihak yang amat berjasa
dan (2) anak raja. Hal ini berbeda dengan
dengan menjadi saka guruning bale wisma,
makna kata putri yang di satu sisi memiliki
anggadahi
makna terhormat yaitu (1) anak perempuan
hangayemi,
keturunan raja, namun di sisi lain memiliki
semah lan kulawarganipun. Ungkapan yang
makna netral yaitu (2) anak perempuan. Dari
bermakna bahwa laki-laki dipilih sebagai
penilaian
pihak yang menjadi tonggak dalam keluarga,
yang
meninggikan
laki-laki
tersebut, maka kata pangeranlah yang
melindungi,
kwajiban: lan
hangayani
memberi
rasa
hangayomi, dhumateng
aman,
dan -117-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
memberikan
nafkah
menginterpretasikan
laki-laki sebagai entitas yang memiliki
sehingga lebih layak dipakai acuan laki-laki daripada perempuan.
kekuatan untuk mengemban tanggung jawab berat tersebut sehingga muncullah identitas
1.1.3. Ideologi
bahwa laki-laki identik dengan kekuatan.
dalam Proses Pernikahan
Hal
ini
juga
Perempuan
melatarbelakangi
Ideologi ini mendukung ideologi
kemunculan kata pangeran yang merujuk
sebelumnya, yaitu ideologi kekuatan laki-
kepada Tuhan, karena laki-laki dianggap
laki yang dapat ditemukan pada bentuk
pihak
kosakata
yang
yang
Kepasifan
memiliki
daya
kekuatan
verba
aktif
dan
pasif.
Data berikut menunjukkan contoh klausa yang mengklasifikasikan perempuan sebagai pihak yang pasif. Tabel 2: Kepasifan perempuan No 1 2 3 4 5
Goal … Nini…(Nini…)
Process:material Actor sampun kalamar (sudah dilamar) … Dewi Nawangwulan kagarwa (dinikahi) Sang Jaka Tarub (Dewi Nawangwulan) (Sang Jaka Tarub) … ingkeng putra (sang sampun winengku (sudah ing kakung (oleh anak) dinikahi) seorang laki-laki) … ingkeng putra (sang wis winengku (sudah ing priya (oleh anak) dinikahi) seorang laki-laki) … penganten putri nampi guna kaya saking ingkeng (penganten putri) (menerima guna kaya) garwa (dari sang suami)
Fokus
dari
analisis
ini
adalah
gramatika
di
atas
komponen,
muncul pada tuturan. Ketika melakukan
partisipan. Proses doing yang termasuk
analisis kosakata aktif dan pasif, maka hal
dalam kategori proses material melibatkan
ini tidak dapat dilepaskan dari hubungan
dua partisipan, yaitu goal dan actor yang
antarteks yaitu siapa yang melakukan dan
direalisasikan dengan kelompok nomina.
siapa yang menjadi tujuan dari kosakata
Makna dari goal adalah pihak yang dituju
verba tersebut. Acuan yang digunakan
sedangkan
adalah
Functional
melakukan proses doing. Semua goal pada
Linguistics milik Halliday. Deskripsi pada
data tersebut diikuti oleh proses doing dalam
-118-
Systemic
actor
proses
adalah
doing
dua
kosakata verba pasif dan aktif yang banyak
kajian
yaitu
melibatkan
pihak
dan
yang
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
bentuk verba pasif. Pengetahuan siapa yang
perempuan sebagai pihak yang pasif dalam
menjadi
bertindak.
goal
dan
actor
menunjukkan
interpretasi perempuan sebagai pihak yang
Jika data di atas menunjukkan
pasif dalam bersikap yang hanya menjadi
representasi perempuan sebagai pihak yang
goal
yang
pasif, data berikut menunjukkan representasi
ditunjukkan oleh kosakata verba kahemong,
laki-laki sebagai pihak yang aktif. Dalam
jinatu krami, kalamar, kagarwa, dan nampi.
prosesi pernikahan budaya Jawa, laki-laki
Subjek yang dibicarakan, dalam hal ini
lebih banyak aktif bertindak dibandingkan
perempuan, memberikan identitas sosial
perempuan.
dari doing seorang actor
Hal ini tampak pada data berikut: Tabel 3: Keaktifan laki-laki No 1 2 3
4 5
6 7
8
9 10
Actor Bagus Suwardaya… (Bagus Suwardaya) Priya ( Pria )
Process: material netepi prasetya hanjantukrami (melaksanakan janji menikahi) kang wus hangemong (yang sudah menikahi ) Anakmas Bagus hanjantukrami Widodo… (Anakmas ( menikahi ) Bagus Widodo …) Priya ( Pria ) kang wus hangemong (yang sudah menikahi ) … Pinanganten mengku (memangku/menikahi) kakung (…Penganten laki-laki ) Temanten kakung hanganti (Penganten laki-laki) ( mendampingi) Bagus Suwardaya kepareng hamasrahaken (Bagus Suwardaya) paningset, abon-abon jangkep sapangiringipun (dipersilakan menyerahkan tanda pengikat, perangkat barang-barang srahsrahan lengkap) Bagus … (Bagus…) paring pangayoman, hangayomi (memberi perlindungan, melindungi ) Kakung (Suami) ngayom-ngayemi (memberi rasa aman) Jalu (laki-laki) wajib hangayani (wajib memberi nafkah)
Goal Rara Pujiwati (Rara Pujiwati) wanodya ( wanita ) Nimas ayu Wilujeng (Nimas ayu Wilujeng ) wanodya ( wanita ) wanodya…(wanita …)
ingkeng garwa ( sang istri )
Nimas …(Nimas… )
kang estri (sang istri)
-119-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
Kutipan di atas menginterpretasikan peran
laki-laki
sebagai
actor
hamasrahaken,
yang
hangayomi,
melakukan proses doing terhadap goal,
hangayani.
yaitu pihak perempuan. Proses doing yang merepresentasikan tertuang
dalam
pangayoman,
ngayom-ngayemi,
serta
Namun terdapat data lain yang
keaktifan
laki-laki
menunjukkan bahwa ternyata perempuan
kosakata
verba
bukan hanya sebagai pihak yang pasif saja,
hanjantukrama, hanjantukrami, hanganti, hangemong,
paring
mengku,
namun juga pihak yang aktif.
hanganti,
Perhatikan data berikut: Tabel 4: Keaktifan perempuan No
Actor
1
Penganten putri (Penganten putri)
2
…Nimas Ayu Wilujeng, ewoning para putri (… Nimas Ayu Wilujeng, sebagai seorang istri) … Penganten putri … (penganten putri)
3
4
Ibu Rahardjo tumuli (Ibu Raharjo …)
5
Ibu Rahardjo (Ibu Raharjo)
-120-
Process: material (1) gita-gita hanjengku (dengan segera berlutut)
bekti (berbakti)
kedah saged hangrigenaken (harus bisa menggunaka n) hangracik dhawet (mempersiapkan dawet) ingkeng ngladosi pamundhut (yang melayani pembeli)
Goal(1) mring pepadaning ingkeng raka (di hadapan sang suami) mring guru dadi (terha-dap suami)
Process: material (2) sarwi sumem-bah (dan menyembah)
Goal (2)
asih (kasih)
mring sesami (terha-dap sesama)
ngobeta-ken …(mengatur keuangan)
lan kaaturaken (dan diberi-kan)
dhumateng Bapa Rahardjo (kepada Bapa Raharjo)
Process: material (3) sarta hamijiki (serta mencuci)
Goal(3)
…sumungkem (menyembah)
mring Kang Maha Suci (Yang Maha Suci)
ampeyanip un ingkeng garwa (kaki sang suami)
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
Dari data tersebut, terdapat deskripsi
dan hamasrahaken,), sementara perempuan
yang menunjukkan bahwa perempuan juga
sebagai pihak yang dinikahi. Begitu juga
bisa
menjadi
seorang
actor,
sehingga
dalam prosesi melamar dan mengikat pihak
pengetahuan
bahwa
ternyata
lain dalam pernikahan (peningset), semua itu
perempuan bukan hanya sebagai pihak yang
dilakukan oleh laki-laki. Sehingga dapat
pasif, namun juga sebagai pihak yang aktif
ditarik kesimpulan bahwa baik laki-laki
dengan harus berbakti dan melayani suami
maupun perempuan keduanya sama-sama
(yang ditunjukkan dengan frasa hanjengku,
berperan aktif, namun dalam hal proses
sumembah,
dan
menjelang dan pada saat pernikahan, hanya
kaaturaken), kasih dan melayani sesama,
laki-laki yang digambarkan sebagai pihak
menyembah Tuhan, serta dapat mengatur
yang aktif, sementara perempuan sebaliknya
keuangan
menjadi pihak yang pasif.
diperoleh
hamijiki,
hangracik
dengan
baik.
Hal
ini
menginterpretasikan keaktifan perempuan dalam
melayani
suami,
dan
keaktifan
Dalam hal proses pernikahan, subjek yang
dibicarakan,
yaitu
laki-laki
perempuan terhadap sesama dan Tuhan,
memberikan identitas sosial entitas laki-laki
sehingga
bahwa
sebagai pihak yang aktif. Selain identitas
perempuan juga dituntut untuk bertindak
sosial, nilai relasi yang tampak dari data
aktif
yang
pada tabel 2 dan 3 di atas adalah hubungan
menjadi catatan penting dari temuan data
sosial antara laki-laki dan perempuan. Laki-
tersebut adalah keaktifan perempuan tidak
laki
tampak
cenderung
dapat
dalam
disimpulkan
berperilaku.
dalam
hal
Namun
proses
melakukan
ditampilkan aktif,
sebagai
pihak
sementara
yang
perempuan
pernikahan (seperti tampak pada tabel 2),
sebagai pihak yang cenderung pasif. Nilai
perempuan digambarkan sebagai pihak yang
pengalaman yang ditampilkan pada analisis
pasif
di
dalam
proses
pernikahan
yang
atas
adalah
hubungan
krami, kalamar, dan
menunjukkan siapa entitas yang pasif dan
menjadi pihak yang aktif dalam menikahi seseorang adalah laki-laki (tabel 3 dengan frasa
hanjantukrama,
hanjantukrami,
hanganti, hangemong, mengku, hanganti,
partisipan
mengenai
ditunjukkan dengan kata kahemong, jinatu kagarwa). Yang
antar
pengetahuan
yang dapat
aktif dalam proses pernikahan. Interpretasi perempuan
peran
tersebut
laki-laki
merupakan
dan hasil
eksplanasi tuturan yang dilatarbelakangi
-121-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
oleh
konteks
situasional
pada
prosesi
persetujuan, menyerahkan srah-srahan atau
pernikahan adat Jawa baik pada prosesi
paningset, bertandang, serta menuangkan
lamaran, midodareni, dan panggih. Prosesi
tampa kaya.
lamaran merupakan usaha penyampaian permintaan
pihak
laki-laki
Kesemua
verba
di
atas
untuk
merepresentasikan bahwa laki-laki sebagai
memperistri seorang perempuan. Tujuannya
actor yang aktif melakukan proses doing
adalah meminta kepada pihak perempuan
sementara sebaliknya perempuan sebagai
yang dilamar untuk bersedia dipersunting
goal yang pasif. Kemunculan kosakata aktif
oleh pemuda yang melamar dan memohon
yang mengacu pada laki-laki merupakan
persetujuan
perempuan
hasil penilaian (attitude) positif terhadap
untuk diperkenankan agar putrinya boleh
laki-laki yang dikonotasikan sebagai pihak
diperistri
melamar
yang harus bertindak aktif dalam melamar
tersebut (Pringgawidagda 2001:28). Acara
dan menikahi perempuan. Skala semantis
midodareni dirangkai dengan acara srah-
yang
srahan atau paningset dari pihak penganten
mengukuhkan peran laki-laki sebagai pihak
laki-laki sebagai tanda pengikat terhadap
yang
penganten perempuan, yang dilaksanakan
sebaliknya
dengan
perempuan hanya pasif menerima saja
orangtua
oleh
pihak
pemuda
bertandangnya
yang
pihak
keluarga
penganten laki-laki ke rumah penganten perempuan
(Pringgawidagda
tampak
adalah
menghegomoni tampak
sharpening
perempuan
seolah-olah
atau
dan
seorang
perlakuan aktif dari laki-laki.
2001:141).
Keaktifan
dalam
melamar
tampa
berkaitan dengan ideologi sebelumnya, yaitu
yaitu
penganten
pria
perempuan
menuangkan tampa kaya yang berisi kacang
ideologi
kawak, dhele kawak, jagung kawak, dan
dipandang sebagai entitas yang memiliki
uang logam sebagai simbol kemakmuran di
daya kekuatan sehingga segala perbuatan
pangkuan
yang membutuhkan kekuatan, terutama fisik
penganten
(Pringgawidagda
perempuan
2001:192).
Dari
kekuatan
menikahi
hal
Salah satu urutan upacara panggih adalah kaya,
serta
laki-laki
diidentikkan
laki-laki.
dengan
Laki-laki
laki-laki.
Jika
keseluruhan prosesi pernikahan di atas,
dibandingkan antara keaktifan laki-laki dan
menunjukkan bahwa pihak laki-laki adalah
perempuan, tampak bahwa laki-laki lekat
pihak yang aktif melakukan proses seperti
dengan
memperistri,
dibandingkan perempuan. Kewajiban laki-
-122-
melamar,
memohon
aktifitas
yang
lebih
berat
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
laki
untuk
hangayomi,
hangayani
keluarga
guruning
bale
serta
wisma
hangayemi, dados
saka
membutuhkan
berat, namun tampak bahwa aktifitas lakilaki lebih membutuhkan kekuatan fisik dibandingkan perempuan.
kekuatan fisik untuk dapat mewujudkannya. Hal ini berbeda dengan aktifitas perempuan
1.1.4. Ideologi Mengedepankan Laki-laki
dengan patuh kepada suami, kasih terhadap sesama,
takwa
terhadap
Tuhan,
mengelola keuangan keluarga.
serta
Walaupun
keduanya merupakan tugas yang sama-sama
Ideologi ini merupakan ideologi yang
menunjukkan
merupakan
bahwa
laki-laki
pemimpin
bagi
keluarga/perempuan.
Data tersebut tampak pada tabel berikut: Tabel 5: Ideologi mengedepankan laki-laki No 1
2
3
Keterangan Penggunaan nama mewakili keluarga
Contoh data Jumlah laki-laki (1)Bapa Suwarna miwah 11 pangiring (2)Bapa Pujianto sakaluwarga Penggunaan nama perempuan mewakili keluarga Penggunaan nama laki-laki (1)Bapa Pujianto sekalian 104 mewakili nama perempuan (2)Bapa/Ibu Slameto Penggunaan nama perempuan mewakili nama laki-laki Penempatan entitas laki-laki di (1)Rama lan ibu 110 depan perempuan (2)Bapa/Ibu Pujianto (3)Para tamu kakung putri (4)Bagus Suwardaya kaliyan Rara Pujiwati (5)priya kang wus hangemong wanodya
Prosentase 100%
Penempatan entitas perempuan (1)Ibu bapa dalah kadang 43 di depan laki-laki pengiring (2)Rara Pujiwati kaliyan Bagus Suwardaya (3) jejering pawestri ingkang wus winengku ing kakung
28,1%
0% 100% 0% 71,9%
Berikut adalah keterangan dari tabel di
nama ibu atau istri. Penulis menemukan
atas:
bahwa
data
yang
mewakili
keluarga
Dari kesemua data yang diperoleh,
semuanya menyebut hanya nama laki-laki,
dalam menyebut nama keluarga, maka nama
tidak pernah muncul nama perempuan
laki-laki atau suami yang disebut, bukan
sehingga
penggunaan
nama
laki-laki -123-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
mewakili keluarga mencapai prosentase
laki-laki dipakai untuk mewakili keluarga.
100%.
Pada data berikut, nama laki-laki dipakai Selain mewakili keluarga, nama laki-
laki
juga
digunakan
untuk
mewakili
untuk mewakili nama perempuan/istri. Data tersebut, yaitu:
kepemilikan properti dalam keluarga. Data tersebut tampak pada:
(8) Salajengipun bapa Suwarna sekalian miwah
pangiring
ngaturaken
…
(7) … saged sowan wonten dalemipun Bapa
(Selanjutnya bapa Suwarna beserta ibu dan
Pujianto ngriki kanthi wilujeng … (bisa
para pengiring menghaturkan…)
mengunjungi rumah Bapa Pujianto ini dengan selamat…)
Hasil
data
menunjukkan
bahwa
prosentasi nama laki-laki yang dipakai untuk
Data di atas juga menunjukkan
mewakili nama perempuan/istri mencapai
bahwa rumah yang ditempati oleh keluarga
100%. Data tersebut menunjukkan bahwa
hanya diwakili oleh nama laki-laki saja. Hal
jika menyebutkan suami istri, maka nama
ini terjadi karena latar budaya Jawa yang
suami yang cenderung dipakai, bukan nama
mengatakan
istri.
bahwa
kewajiban
laki-laki
adalah angayani (memberi nafkah lahir
Selain sebagai wakil dari keluarga
batin) dan angomahi (membuat rumah
maupun
sebagai
cenderung ditempatkan di depan perempuan.
tempat
berteduh)
(Endraswara
2010b:54). Properti yang dimiliki oleh
istri/perempuan,
laki-laki
juga
Hal ini tampak pada data:
keluarga diperoleh dari laki-laki sebagai pencari nafkah, sehingga jika ada properti
(9) Para sepuh pinisepuh, para tamu
yang digunakan bersama oleh seluruh
kakung miwah putri saha kulawarga ageng
anggota keluarga, maka hal itu dianggap
Bapa Suwarna … (Para orang tua, para tamu
milik laki-laki sehingga penggunaan nama
laki-laki dan perempuan beserta keluarga
laki-laki yang digunakan.
Bapak Suwarna…)
Jika data sebelumnya menunjukkan adanya keluarga,
kepemimpinan data
laki-laki
berikut
dalam
menunjukkan
Data tersebut menyebutkan entitas laki-laki dan perempuan, namun acuan lakilaki
cenderung
didahulukan
atau
penggunaan nama laki-laki yang mewakili
ditempatkan di depan perempuan yang
perempuan. Pada data sebelumnya, nama
tampak
-124-
dari
hasil
temuan
data
yang
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
menunjukkan
perolehan
prosentase
budaya masyarakat Jawa yang mengatakan
sebanyak 71,9%. Terdapat data lain yang
bahwa pria selalu ditempatkan di depan
juga menempatkan perempuan di depan
(Endraswara 2010b,53). Penempatan laki-
laki-laki,
data
laki di depan perempuan merupakan hasil
menunjukkan prosentase sebanyak 28,1%
penilaian positif yang meninggikan serta
saja. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa
menyanjung laki-laki sebagai entitas yang
laki-laki
pantas untuk dihormati, sehingga muncul
namun
hasil
cenderung
ditempatkan
di
temuan
didahulukan depan
atau
perempuan.
Penempatan tersebut dilatarbelakangi oleh
identitas
laki-laki
sebagai
pihak
yang
ditempatkan di depan.
1.1.5. Ideologi Penonjolan Peran Laki-laki Perhatikan data berikut : Tabel 6 : Relasi hubungan kata ngentas Pakurmata n dhumateng bapakibu… (Hormat terhadap bapak-ibu)
handadosaken (memberikan)
toya kekiyatan mrih sentosa (air kekuatan)
identified
Process: Intensive ʆ (head)
Identifier
anggenipun badhe hamiwaha putra (ketika akan menikahkan anak lakilaki)
kang (ellipsis) (yang)
ngentas ingkang putri pitulus kinasih (sang putri (mengterkasih) entaskan dengan tulus ) Postmodifier Actor Process: Beneficiary Material Postmodifier:process
β(modifier)
Relasi hubungan yang tampak pada
menikahi (terefleksi dengan kata ngentas)
deskripsi wacana di atas, yaitu sosok laki-
seorang perempuan.
laki sebagai actor yang ditampilkan sebagai
kalimat di atas merupakan beneficiary
sosok yang berperan penting dalam proses
karena
doing mengentaskan perempuan sebagai
peristiwa tersebut, sehingga identitas sosial
beneficiary.
ngentas
yang melekat pada diri perempuan adalah
sebagai
sebagai beneficiary dari perbuatan laki-laki.
seseorang yang terhormat, berjasa, serta
Interpretasi dari pengetahuan siapa yang
memiliki peran penting ketika melakukan
menjadi
suatu proses yaitu
implisit menunjukkan nilai relasi bahwa
Pemilihan
merepresentasikan
kata
laki-laki
memutuskan untuk
mendapatkan
actor
dan
Perempuan pada
keuntungan
beneficiary
dari
secara
-125-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
seorang laki-laki adalah pihak yang telah
memperbaiki
berjasa dengan memberikan keuntungan
nasib/keadaan yang kurang baik kepada
terhadap perempuan ketika memutuskan
yang (lebih) baik (Tim Penyusun Kamus
untuk menikahi seorang perempuan, karena
2007:303).
kehidupan perempuan tersebut
sebelumnya, tampak bahwa terdapat usaha
menjadi
lebih baik dan terhormat.
hasil
Jika
dilihat
mengangkat)
pada
uraian
dari laki-laki untuk memperbaiki kondisi
Pemilihan kata ngentas di atas merupakan
(menjadikan,
eksplanasi
penilaian
perempuan menjadi lebih baik. Jika kosakata tersebut diganti dengan ngangkat,
maka
(attitude) seorang laki-laki dalam menilai
akan memiliki makna konotasi yang lebih
perempuan.
bersifat
baik dibandingkan ngentas. Makna kata
laki-laki
ngangkat adalah (1) membawa ke atas,
memandang bahwa perempuan memiliki
menaikkan, meninggikan dan (2) membawa
keadaan
pergi, membawa dari suatu tempat ke tempat
negatif
Penilaian
karena
tersebut
seolah-olah
tidak
baik
sebelum
menikah
sehingga wajib untuk dientas agar keadaan
lain.
tersebut
baik.
konotasi negatif karena hanya memindahkan
Amplifying gradable kata ngentas termasuk
sesuatu dari satu tempat ke tempat lain. Hal
dalam
ini berbeda dengan kosakata ngentas yang
dapat
berubah
kategori
menjadi
sharpening,
karena
Makna
ngangkat
berkonotasi
berlawan
setelah
memperbaiki sesuatu dari kondisi yang
menikah. Jika setelah menikah kondisi
kurang baik ke tempat lain yang lebih baik.
perempuan menjadi baik, maka kosakata
Berdasarkan hal
ngentas mengimplikasikan bahwa kondisi
menyangatkan keadaan perempuan, maka
perempuan
kosakata ngentas yang memiliki konotasi
sebelum
sebelum
dan
menikah
adalah
sebaliknya.
karena
memiliki
menyangatkan kondisi perempuan yang antara
negatif
tidak
bermakna
itulah, untuk semakin
negatif terhadap perempuan yang dipilih
Pemilihan kata ngentas di atas
karena praanggapannya adalah seolah-olah
merupakan kata yang dipertahankan untuk
perempuan berada pada kondisi yang tidak
semakin menyangatkan kondisi perempuan
baik dan tidak terhormat. Karena budaya
yang tidak baik. Kosakata ngentas memiliki
memarjinalkan perempuan telah mengakar
makna (1) mengangkat (dari suatu tempat ke
dalam masyarakat -dan bahkan mungkin
tempat
dari
secara tidak sadar budaya tersebut telah
dan (3) menyadarkan,
diakui oleh kaum perempuan sendiri-, maka
lain),
(2)
lingkungan cairan, -126-
mengeluarkan
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
kosakata
ngentas
tersebut
tetap
lagak lagu sarta lageyanipun, kedah saged
dipertahankan untuk semakin memberikan
njumbuhaken kaliyan alaming kadewasan,
identitas kondisi perempuan sebagai pihak
sae
yang tersubordinasi
yang pantas untuk
dhumateng tangga tepalih (bahwa nimas
dientas oleh laki-laki sebagai pihak yang
ayu Wilujeng sudah akan meninggalkan
perannya ditonjolkan.
dunia remaja dan akan berkeluarga dengan
dhumateng
kulawarga
puna
dene
membangun rumah tangga sendiri, sehingga 1.1.6. Ideologi Kondisi Negatif Perempuan
harus dapat meninggalkan sifat manja, suka
Sebelum Menikah
bergunjing, dll. Sifat dan tingkah lakunya
Ideologi ini merupakan ideologi
harus bisa menyesuaikan dengan dunia
yang mendukung ideologi sebelumnya yaitu
kedewasaan, baik terhadap keluarga dan
ideologi penonjolan laki-laki seperti pada
tetangga).
kosakata
ngentas.
Kosakata
tersebut
Pada data (7) penganten perempuan
memberikan praanggapan bahwa kondisi
yang akan meninggalkan dunia remaja
perempuan tidak baik sebelum dinikahi oleh
ketika menikah dideskripsikan sebagai pihak
laki-laki. Sedangkan frasa priya ngangkat
yang harus bisa meninggalkan sifat aleman
drajating wanodya amrih
saged jajar
dan wadulan serta sikapnya harus bisa
kaliyan drajating priya
menunjukkan
menyesuaikan
diri
dengan
dunia
praanggapan adanya kondisi perempuan
kedewasaan. Dari konteks di atas dapat
yang memiliki derajat rendah sehingga
diinterpretasikan adanya praanggapan sifat
membutuhkan jasa seorang laki-laki untuk
perempuan sebelum menikah yaitu aleman,
mengangkat derajat perempuan. Selain data
wadulan,
tersebut,
yang
Aleman adalah sifat yang kurang baik,
menunjukkan kondisi perempuan yang tidak
karena selalu diberi hati, tidak pernah
baik dalam bentuk kata dan frasa, yaitu:
ditegur (dimarahi), serta dituruti semua
terdapat
data
lain
dan
kehendaknya
sifat
kekanak-kanakan.
sehingga
menjadikan
(7) … bilih nimas ayu Wilujeng sampun
seseorang
badhe nilaraken alaming remaja mlebet
Wadulan merupakan sifat suka mengadukan
wonten ing alam bebrayan, mangun bale
masalah
wisma piyambak, pramila kedhah saged
memiliki konotasi negatif karena dianggap
nilaraken watak aleman, wadulan lsp
seseorang tidak dapat menjaga rahasia.
memiliki
ke
orang
sifat
lain.
yang
manja.
Wadulan
ini
-127-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
Sedangkan
sifat
merupakan
sifat
kekanak-kanakan
orang
dewasa
yang
harus benar tidak seperti ketika masih jejaka).
memiliki sifat seperti anak kecil. Dari
definisi
diinterpretasikan wadulan,
tersebut
bahwa
serta
Data di atas merupakan data yang dapat
sifat
diperoleh
dari
nasehat
Catur
Wedha.
aleman,
Seorang laki-laki harus memiliki sikap serta
kekanak-kanakan,
perbuatan yang benar, berkebalikan dengan
merupakan sifat yang tidak baik. Sifat-sifat
sifat
tersebut merupakan hasil penilaian negatif
menikah. Hal itu memberikan praanggapan
terhadap
menikah.
bahwa sebelum menikah laki-laki dianggap
Ungkapan tersebut secara skala semantik
memiliki perilaku yang tidak benar sehingga
juga menyangatkan sifat perempuan yang
harus dihilangkan ketika telah menikah.
tidak baik. Sifat-sifat negatif pada subjek
Perilaku
yang
perempuan
terdapat pandangan bahwa laki-laki juga
membawa identitas sosial yang melekat
memiliki sifat negatif sebelum menikah.
pada diri perempuan yaitu sebagai pihak
Namun jika dibandingkan, tampak bahwa
yang memiliki kecenderungan sifat tidak
sifat/kondisi
baik sebelum menikah. Ungkapan-ungkapan
banyak dibandingkan laki-laki. Sifat/kondisi
tersebut tetap dipertahankan untuk semakin
negatif perempuan adalah: (1) tidak baik
menguatkan anggapan bahwa perempuan
sebelum menikah sehingga pantas untuk
cenderung memiliki sifat tidak baik.
dientas, (2) memiliki derajat yang rendah
perempuan
dibicarakan,
sebelum
yaitu
Jika pada data sebelumnya terdapat ideologi
yang
menggambarkan
tidak
benarnya
tersebut
seperti
sebelum
menunjukkan
negatif
perempuan
bahwa
lebih
sehingga layak untuk dinikahi laki-laki agar
kondisi
memiliki derajat yang sejajar dengan laki-
negatif perempuan sebelum menikah, maka
laki, (3) aleman, (4) wadulan, dan (5)
terdapat data lain yang menunjukkan sifat
kekanak-kanakan. Sedangkan sifat negatif
negatif laki-laki. Data tersebut adalah :
laki-laki hanya ditemukan satu saja yaitu perilaku yang tidak benar.
Dari data
(8) Priya kang wus hamengku wanodya,
tersebut
perempuan
tandang tanduk solah bawane kudu beneh
cenderung lebih banyak ditampilkan dengan
karo nalika isih jejaka. (Laki-laki yang
kondisi/sifat yang negatif dibandingkan laki-
telah menikahi perempuan, perbuatannya
laki.
-128-
terlihat
bahwa
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
Untuk dapat mencari tema utama dari suatu wacana, maka perlu dicari tema-
yang menunjukkan kebesaran, maka acuan laki-laki yang dipilih.
tema pendukung agar diketahui ideologi
Latar laki-laki yang diangap pihak
yang tersimpan dari ungkapan-ungkapan di
yang amat berjasa dengan menjadi saka
atas. Pada data kosakata putra, skema
guruning bale wisma, anggadahi kwajiban:
analisis dibuka dengan kosakata putra yang
hangayomi,
hangayemi,
lan
berkedudukan secara simetris dengan kata
dhumateng
semah
kulawarganipun
putri. Namun ternyata terdapat fakta lain
menginterpretasikan
bahwa kata putra memiliki makna yang
merupakan entitas yang memiliki kekuatan
tidak simetris dengan kata putri. Pergeseran
untuk mengemban tanggung jawab berat
makna tersebut menjadikan kata putra
tersebut sehingga muncullah identitas bahwa
sebagai
putri.
laki-laki identik dengan kekuatan, sehingga
Pemilihan kata putra yang dipilih, bukan
hal yang merujuk kepada Tuhan memakai
kosakata yang lain dikarenakan pemarkah
kosakata
vokal [ɔ] bersifat generic noun. Hal ini
acuan laki-laki bukan perempuan.
superordinat
dari
kata
bahwa
Pangeran
Tema
terjadi karena adanya latar dalam budaya
lan
hangayani
yang
laki-laki
menunjukkan
pendukung
berikutnya
Jawa bahwa laki-laki dipandang terhormat
menunjukkan adanya suatu proses yang
dan selalu berada di depan sehingga menjadi
ditandai dengan verba aktif dan pasif. Proses
penguasa dalam rumah tangga. Terdapat
verba
fenomena untuk menaikkan derajat laki-laki
perempuan
yang awalnya sejajar dengan perempuan,
sementara laki-laki sebagai actor. Latar dari
untuk dapat berada di atas dan menguasai
munculnya tuturan tersebut adalah peran
perempuan.
laki-laki yang mengemban tugas dalam
Pada
tema
keagungan
laki-laki,
tersebut
menikahi,
menentukan
ditampilkan
melamar,
sebagai
dan
bahwa goal,
memberikan
terdapat makna satriya dengan acuan laki-
peningset, sementara perempuan sebaliknya.
laki yang digunakan untuk menggambarkan
Tema utama yang diperoleh adalah adanya
peristiwa kedua penganten. Hal ini terjadi
ideologi kepasifan perempuan dan keaktifan
karena adanya latar dalam budaya Jawa
laki-laki dalam hal proses pernikahan,
bahwa laki-laki dianggap terhormat dan
sebagai akibat dari laki-laki yang dianggap
ditinggikan, sehingga jika ada peristiwa
memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan perempuan. -129-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
Skema analisis mengedepankan laki-
perempuan tidak baik atau memiliki derajat
laki diawali dengan tema pendukung peran
yang rendah sebelum menikah sehingga
laki-laki yang dianggap dapat mewakili
pantas untuk dientas oleh laki-laki. Selain
keluarga dengan penyebutan nama laki-
itu perempuan dianggap memiliki derajat
laki/bapak untuk mewakili suatu keluarga.
yang
Tema yang lain adalah peran laki-laki yang
membutuhkan jasa seorang laki-laki untuk
dapat mewakili perempuan atau istri dengan
menikahinya agar derajatnya sama dengan
penyebutan nama laki-laki/bapak untuk
laki-laki. Hal ini terjadi karena budaya Jawa
mewakili nama perempuan/istri. Sedangkan
meninggikan laki-laki, namun sebaliknya
tema
bagi perempuan.
pendukung
kecenderungan depan
berikutnya
adalah
penempatan laki-laki di
perempuan.
mengedepankan laki-laki
Ketiga
rendah
Skema
sebelum
menikah
analisis
pada
dan
ideologi
tema
kondisi negatif perempuan menunjukkan
tersebut muncul
bahwa perempuan cenderung ditampilkan
karena adanya latar dalam budaya Jawa
dengan
yang menempatkan laki-laki sebagai kepala
sebelum menikah seperti aleman, wadulan,
keluarga/wakil keluarga sehingga selalu
dan kedah saged njumbuhaken kaliyan alam
ditempatkan di depan. Dari ketiga tema
kadewasan,
pendukung di atas dapat ditarik kesimpulan
sedikit/jarang.
adanya tema laki-laki yang ditempatkan di
terdapat penilaian positif terhadap laki-laki
depan karena dianggap dapat menjadi wakil
yang memiliki makna laki, yaitu terhormat
keluarga/perempuan.
dan
Pada
peran
yang
sedangkan Hal
terpuji
negatif
laki-laki
ini
muncul
(Endraswara
lebih karena
2010b,53).
laki-laki
Sedangkan pemunculan kondisi/sifat negatif
terdapat beberapa tema pendukung, yaitu
perempuan lebih sering muncul karena
adanya kata ngentas yang menunjukkan
adanya
perempuan sebagai pihak yang diuntungkan
mengatakan bahwa laki-laki bertentangan
oleh peran laki-laki sebagai actor, sehingga
dengan
seolah-olah laki-laki dianggap pihak yang
direpresentasikan
memberikan
terhadap
terhormat dan terpuji, maka perempuan akan
perempuan dengan menikahinya. Tema
ditampilkan sebaliknya. Dari uraian tersebut
pendukung yang lain adalah kata ngentas
tampak adanya ideologi bahwa perempuan
memberikan praanggapan bahwa kondisi
cenderung ditampilkan sebagai sosok yang
-130-
penonjolan
kondisi/sifatnya
keuntungan
kediktatoran
dualisme
perempuan. sebagai
Jika
yang
laki-laki
entitas
yang
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
memiliki
kondisi/sifat
negatif
sebelum
cenderung
menikah.
ditonjolkan.
Jika
laki-laki
ditempatkan pada posisi superior, maka hal
Dari kesemua tema-tema pendukung
sebaliknya
terjadi
pada
perempuan.
di atas, maka akhirnya dapat ditarik tema
Perempuan ditempatkan pada posisi inferior
utama, yaitu ideologi superioritas laki-laki
sehingga
sebagai bentuk konstruksi budaya bahwa
perempuan
laki-laki adalah mahluk terhormat, berkuasa,
kecenderungan
ditinggikan,
ditampilkan dengan kondisi/sifat negatifnya
berada di depan/di atas, dan
memiliki sifat positif sehingga perannya
muncul
kesan
bahwa
disembunyikan bahwa
peran serta
perempuan
dan identik dengan kepasifan.
1.2 Ideologi Keterikatan Perempuan pada Suatu Struktur 1.2.1 Ideologi Keterikatan Perempuan dalam Keluarga 1.2.1.1.Ideologi Kepatuhan pada Suami Ideologi tersebut dapat dilihat pada kutipan : Tabel 7: Keterikatan perempuan pada suatu struktur Penganten putri (Penganten perempuan)
gita-gita hanjengku (dengan segera berlutut)
Actor
Process: material (1)
mring pepadaning ingkeng raka (di hadapan sang suami) Goal (1)
sarwi sumembah (dan menyembah)
sarta hamijiki (serta mencuci)
ampeyanipun ingkeng garwa (kaki sang suami)
Process: material (2)
Process: material (3)
Goal (3)
Kutipan di atas dituturkan pada saat
(sembah ke suami), mencuci kaki (telapak)
upacara panggih (bertemunya penganten
penganten laki-laki setidaknya tiga kali
laki-laki dan perempuan). Setelah keduanya
guyuran. Setelah itu penganten perempuan
bertemu di bawah tarub di depan rumah,
menghaturkan bakti dan disambut oleh
penganten saling mendekat dan saling
penganten
melempar gantal (daun sirih diikat dengan
membantu penganten perempuan untuk
tali lawe putih). Prosesi selanjutnya adalah
berdiri (Pringgawidagda 2006: 190-191).
ranupada atau wijikan, yaitu penganten perempuan
setelah
menghaturkan
bakti
laki-laki
Deskripsi
pada
yang
tabel
kemudian
7
adalah
penganten perempuan bertindak sebagai -131-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
actor dengan harus berlutut, menyembah
ketimpangan peran di sini karena seorang
dan mencuci
istri berkewajiban patuh dan melayani
kaki
penganten laki-laki
sebagai goal. Pengetahuan mengenai actor
suami,
dan goal pada data di atas memberikan
sebaliknya. Walaupun tampak kurang adil
makna bahwa tindakan penganten putri
bagi perempuan, namun tampaknya budaya
untuk berlutut, menyembah, dan mencuci
ini telah tertanam kuat dalam benak tiap
kaki penganten laki-laki merupakan isyarat
masyarakat Jawa, sehingga seorang istri
yang dapat mengungkap adanya suatu
secara sadar atau tidak
nasehat yang terkandung di dalamnya.
menerima dan terikat pada perannya sebagai
Untuk memahami makna dari aktifitas
istri yang harus patuh, berbakti, dan
tersebut,
melayani suami.
elemen-elemen
tekstual
harus
dihubungkan dengan frame implisit seorang perempuan
sehingga
diperoleh
namun
hal
ini
tidak
terjadi
pada akhirnya
Keterikatan istri terhadap perannya
makna
dalam keluarga terjadi akibat konteks sosial
bahwa sebagai seorang istri diinterpretasikan
dalam masyarakata Jawa yang menyebutkan
harus merelakan dirinya untuk patuh (yang
bahwa terdapat tiga kewajiban istri yaitu
direpresentasikan oleh kata hanjengku, dan
wedi, gemi dan gumati. Ideologi kepatuhan
sumembahi). Kepatuhan dalam melayani
pada suami tercermin pada kewajiban
suami merupakan hasil eksplanasi budaya
pertama istri yaitu wedi (takut). Pada data di
patriarki sebagai cerminan seorang suami
atas bentuk penghormatan istri terhadap
atau bapak menjadi “penguasa” rumah
suami terepresentasi secara simbolis dengan
tangga. Hal ini menunjukkan bias gender
frasa hanjengku dan sumemba. Aktivitas
karena tampak bahwa seorang istri harus
dalam rangkaian prosesi pernikahan
selalu patuh pada suami tanpa kecuali.
secara tampak jelas menyangatkan kondisi
Sejauh ini tidak ditemukan referensi -dalam
istri yang harus menghormati suaminya.
budaya Jawa-
yang menyatakan bahwa
Peran istri tersebut memberikan identitas
suami harus patuh atau mengikuti perintah
sosial bahwa seorang istri terikat pada
istri (misalnya si istri lebih pandai dalam
perannya sebagai entitas yang harus patuh,
mengatur keluarga dan mencari uang).
berbakti, dan melayani suami. Nilai relasi
Begitu juga pada hal melayani suami. Belum
yang tampak dalam hubungan suami istri
ada referensi yang menyatakan bahwa suami
adalah suami wajib dihormati oleh istri
memiliki kewajiban melayani istri. Terdapat -132-
itu
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
dengan cara menjadi pribadi yang patuh
bahwa peran istri adalah sebagai entitas
terhadapnya.
yang tugasnya bergerak di ranah domestik.
1.2.1.2.1. Ideologi Lekat dengan Urusan
Subyek yang dibicarakan, yaitu perempuan
Domestik
memberikan identitas perempuan sebagai
Ideologi keterikatan perempuan pada
pihak yang dekat dengan urusan domestik
suatu struktur juga tampak pada data
dengan mengurusi pekerjaan rumah tangga
berikut:
seperti
(9) Nalika samana Dewi Nawangwulan
makanan untuk keluarga.
mencuci,
maupun
menyiapkan
ngayahi wajibing istri, tumuju sendhang
Identitas tersebut terbentuk karena
nggirahi agemanira sang Jaka (Ketika itu
eksplanasi latar budaya masyarakat Jawa
Dewi Nawangwulan menjalankan kewajiban
yang menilai perempuan itu baik jika telah
sebagai istri, menuju sungai mencuci baju
memahami ma telu, yaitu masak, macak,
sang Jaka).
dan manak. Pandangan ini melegitimasi bahwa perempuan bergerak dalam bidang
(10) Aku lagi adang ing dandhang (Aku
dapur, nglulur (bersolek), dan kasur (tempat
sedang memasak nasi)
tidur) (Endraswara 2010b:56). Penilaian
Data tersebut menunjukkan bahwa
tersebut dapat dikategorikan positif karena
terdapat keterikatan perempuan terhadap
tugas mengurus rumah tangga merupakan
perannya dalam institusi pernikahan. Karena
tugas yang mulia. Tugas rumah tangga tidak
kosakata nggirahi (mencuci) dan frasa
mengenal jam kerja. Istri diwajibkan untuk
adang
nasi)
bangun lebih pagi dibandingkan anggota
tersebut memiliki nilai pengalaman yang
keluarga lainnya kemudian menyiapkan
mencerminkan pekerjaan yang dikerjakan di
sarapan pagi dan mengurus keperluan suami
rumah, seorang istri dideskripsikan sebagai
yang hendak berangkat kerja dan anak-anak
pihak yang lekat dengan pekerjaan rumahan
yang hendak sekolah. Selain itu walaupun
seperti mencuci dan memasak. Nilai relasi
istri bekerja, keterikatan tugasnya sebagai
yang tampak adalah istri sebagai entitas
seorang istri dan ibu dengan menyiapkan
yang bergerak di ranah domestik, sementara
masakan, menyiapkan keperluan suami dan
suami bergerak di ranah publik sebagai
anak tetap dilaksanakan. Uraian di atas
pencari nafkah. Pemilihan kata nggirahi dan
menunjukkan betapa mulia tugas seorang
ing
dandhang
(memasak
frasa adang ing dandang menyangatkan -133-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
istri, sehingga penilaian mengenai tugas
sebaliknya mensyahkan hegemoni laki-laki.
seorang istri dapat dikategorikan positif.
Namun tampaknya hal itu telah diakui
Tema ideologi ini diawali dengan
bahkan oleh perempuan sendiri sehingga
ketidaksamaan derajat antara laki-laki dan
secara
perempuan. Seorang perempuan tidak dapat
dominasi
melepaskan diri dari kodratnya sebagai istri
Ideologi yang tercermin dalam budaya Jawa
yang harus takut, tunduk, dan patuh kepada
di antaranya adalah:
suami dalam institusi pernikahan. Hal ini
1.
terjadi karena latar dalam budaya Jawa yang
tidak
sadar
mereka
laki-laki
mengakui
terhadap
dirinya.
Ideologi Superioritas Laki-laki dan Inferioritas Perempuan
mengatakan bahwa istri harus wedi (patuh)
Hasil
temuan
data
tersebut
terhadap suami. Selain harus patuh pada
menunjukkan adanya pemarkan vokal [ɔ]
suami, istri juga cenderung lekat dengan
pada kosakata putra sebagai generic noun
pekerjaan rumahan, sehingga nilai relasi
yang memiliki makna umum untuk semua
yang tampak adalah istri sebagai entitas
jenis kelamin baik jenis kelamin laki-laki
yang bergerak di ranah domestik, sementara
maupun perempuan. Hal ini menunjukkan
suami bergerak di ranah publik sebagai
adanya
pencari nafkah sebagai akibat latar budaya
terhadap
Jawa yang mengatakan seorang laki-laki
konstruksi budaya bahwa laki-laki berada di
memiliki
depan/di atas dan berkedudukan sosial lebih
kewajiban
angayani,
yaitu
memberi nafkah lahir batin kepada istri.
ideologi
kekuasaan
perempuan
sebagai
laki-laki bentuk
tinggi dari perempuan. Pada
Kesimpulan
data
kosakata
satriya,
menunjukkan bahwa makna dengan acuan
Dari hasil analisis data tata wicara
laki-laki
cenderung
digunakan
untuk
berupa teks tertulis, terdapat beberapa
menggambarkan suatu peristiwa keagungan
ideologi yang mencerminkan bagaimana
karena adanya latar dalam budaya Jawa
cara pandang
masyarakat Jawa dalam
bahwa laki-laki dianggap terhormat dan
melihat kedudukan laki-laki dan perempuan.
ditinggikan, sehingga jika ada peristiwa
Budaya patriarki yang masih dianut oleh
yang menunjukkan kebesaran, maka acuan
masyarakat Jawa menghasilkan teks-teks
laki-laki yang dipilih.
yang mengandung bias gender. Banyak teks yang -134-
menomorduakan
perempuan
dan
Latar laki-laki yang diangap pihak yang amat berjasa dengan menjadi saka
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
guruning bale wisma, anggadahi kwajiban:
laki ditempatkan di depan karena dianggap
hangayomi,
hangayemi,
lan
dapat menjadi wakil keluarga/perempuan.
dhumateng
semah
kulawarganipun
menginterpretasikan
lan
hangayani
bahwa
Pada ideologi penonjolan peran laki-
laki-laki
laki, terdapat anggapan bahwa laki-laki
merupakan entitas yang memiliki kekuatan
adalah pihak yang memberikan keuntungan
untuk mengemban tanggung jawab berat
terhadap perempuan ketika laki-laki menjadi
tersebut.
pihak yang berjasa dengan ngentas seorang
Ideologi ini memunculkan ideologi
perempuan. Selain itu kosakata ngentas juga
lain yaitu kepasifan perempuan dalam
menunjukkan adanya praanggapan bahwa
pernikahan. Perempuan ditampilkan sebagai
perempuan memiliki derajat yang rendah
goal dengan verba kahemong, jinatu krami,
sebelum menikah. Selain kosakata ngentas
kalamar, kagarwa, winengku, dan
terdapat
guna kaya.
nampi
Sementara laki-laki bertindak
klausa
priya
kasdu
ngangkat
drajating wanodya amrih
saged jajar
sebagai actor dengan verba netepi prasetya,
kaliyan
yang
hangemong,
hanjantukrami,
mengku,
menggambarkan kondisi perempuan yang
hanganti,
hamasrahaken,
paring
berderajat rendah. Peran perempuan juga
drajating
priya
pangayoman, haangayomi, serta hangayani.
disembunyikan
Dari penggunaan verba dan penempatan
keturunan dengan hanya menganggap bahwa
partisipan tersebut diperoleh kesimpulan
penganten kakung calon dados lantaraning
adanya ideologi kepasifan perempuan dan
tuwuh/wiji
keaktifan
pendukung tersebut, maka dapat ditarik
laki-laki
dalam
hal
proses
pernikahan.
suci.
dalam
juga
Dari
menghasilkan
ketiga
tema
kesimpulan bahwa tema utamanya adalah
Penempatan
laki-laki
di
depan
laki-laki
tampak
sebagai
pihak
yang
perempuan dan penyebutan hanya nama
perannya ditonjolkan sementara sebaliknya
laki-laki seperti data
peran perempuan disembunyikan.
Bapak/Ibu Slameto,
menunjukkan bahwa laki-laki dianggap
Perempuan cenderung ditampilkan
dapat mewakili keluarga, perempuan atau
dengan
istri,
sebelum menikah seperti tampak pada
serta
penempatan
terdapat entitas
kecenderungan
laki-laki
di
kondisi/sifatnya
yang
negatif
depan
kosakata ngentas, aleman, dan wadulan,
perempuan. Dari data tersebut dapat ditarik
sedangkan laki-laki lebih sedikit/jarang. Hal
kesimpulan adanya tema utama, yaitu laki-
ini muncul karena terdapat penilaian positif -135-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
terhadap laki-laki yang memiliki makna laki,
rumahan seperti nggirahi dan adang ing
yaitu terhormat dan terpuji.
dandang, sehingga nilai relasi yang tampak
Dari kesemua tema-tema pendukung
adalah istri sebagai entitas yang bergerak di
di atas, maka akhirnya dapat ditarik tema
ranah domestik, sementara suami bergerak
utama, yaitu ideologi superioritas laki-laki
di ranah publik sebagai pencari nafkah.
sebagai bentuk konstruksi budaya bahwa laki-laki
adalah
mahluk
terhormat,
ditinggikan, berkuasa, memiliki kekuatan, berada di depan/di atas, dan memiliki sifat positif
sehingga
perannya
cenderung
ditonjolkan. Jika laki-laki ditempatkan pada posisi superior, maka hal sebaliknya terjadi pada perempuan. Perempuan ditempatkan
Daftar Pustaka Budiwati, Tri Rina dan I Dewa Putu Wijana. 2004. Bias Jender dalam Bahasa Indonesia dalam ilib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?d ataId=1669 Darminto. I. Pawiyatan Panatacara Tuwin Pamedhar Sabda: Permadani. Semarang: Dwija Permadani.
pada posisi inferior sehingga muncul kesan bahwa peran perempuan disembunyikan serta kecenderungan
bahwa perempuan
ditampilkan dengan kondisi/sifat negatifnya dan kepasifannya.
2.
Ideologi Keterikatan Perempuan pada Suatu Struktur Terdapat
ketidaksamaan
derajat
antara laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan tidak dapat melepaskan diri dari kodratnya
yang
harus
hanjengku
dan
Endraswara, Suwardi. 2010a. Etika Hidup Orang Jawa: Pedoman Beretika dalam Menjalani Kehidupan Seharihari. Yogyakarta: Narasi. --------------------------. 2010b. Falsafah Hidup Jawa: Menggali Mutiara Kebijakan dari Intisari Filsafat Kejawen. Yogyakarta: Cakrawala. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. New York: Longman Group UK Limited.
sumembahKosakata dan frasa tersebut dapat diinterpretasikan
sebagai
bentuk
frame
seorang istri yang harus takut, tunduk, dan patuh
kepada
suami
dalam
institusi
pernikahan. Selain harus patuh pada suami, istri juga cenderung lekat dengan pekerjaan -136-
Halliday, M.A.K. 1994. An Introduction to Functional Grammar: Second Edition. New York: Edward Arnold. Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks. Aspekaspek Pandangan Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial.
Pengungkapan Ideologi Patriarki pada Teks Tatawicara Pernikahan Dalam Buadaya Jawa (Indah A)
Yogyakarta: Gadjah University Press.
Mada
http://kabudayanjawi.com/article/68648/upa cara-pernikahan.html Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto. 1998. Wanita, Media, Mitos dan Kekuasaan dalam Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Marsono. 1989. Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Martin, J.R. dan David Rose. 2001. Working with Discourse: Meaning Beyond the Clause. London: Continuum. McElhinny, Bonnie. 2005. Theorizing Gender in Sociolinguistics and Antrhropology dalam The Handbook of Language and Gender. Malden: Blackwell Publishing. Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Murniati, Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Pertama. Magelang: Indonesiatera Nawawi, Hadari. 1993. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Palmer, F.R. 1981. Semantics. Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press.
Poedjasoedarma, Soepomo, Th. Kundjana, Gloria Soepomo, dan Alip Soeharso. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pringgawidagda, Suwarna. 2006. Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius Purwadi. 2005. Kamus Jawa-Indonesia. Indonesia-Jawa. Yogyakarta: Bina Media. Purwanto, Sugeng. 2010. Bahasa Jawa Gaya Pranatacara: Refleksi Keagungan dan Keindahan Bahasa. Disajikan dalam Seminar Nasional Bahasa dan Budaya: Pemertahanan Bahasa Nusantara 6 Mei 2010. Retnowati, Desti. 2006. Mitos Nama Perempuan dalam Bahasa Jawa Kuno dalam Kejawen: Jurnal Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Rianto, Adi. 2004. Metode Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit. Santoso, Anang. 2009. Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan. Jakarta: Bumi Aksara. Sudarmanto. 2008. Kamus Lengkap Bahasa Jawa. Jawa-Indonesia. IndonesiaJawa. Semarang: Widya Karya. Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
-137-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No. 2 Mei 2011
Tim Penyusun Kamus. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Van Dijk, Teun Adrianus. 1997. Discourse as Interaction in Society dalam Discourse as Social Interaction: Discourse Studies A Multidisciplinary Introduction. London: Sage Publications Ltd. -------------------------------. 1998. The Study of Discourse dalam Discourse as Structure and Process: Discourse Studies A Multidisciplinary
-138-
Introduction. London: Publications Ltd.
Sage
-----------------------------. 2000. Ideology and Discourse: A Multidisciplinary Introduction dalam http:/ /www.discourses.org/ OldBooks/Teun%20A%20van%20D ijk%20%20Ideology%20and%20Discourse. pdf Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.