PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING
ARIF WICAKSONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 vi
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Jakarta, Mei 2010
Arif Wicaksono NIM B 0540500071
vi
ABSTRACT ARIF WICAKSONO. The Application of Restraining Box in Cattle Slaughtering in Abattoir And Physical Characteristic Of Meat. Under direction of DENNY W LUKMAN dan SRI MUKARTINI. This study is aimed to observe the differences of meat quality especially the pH, cooking loss and drip loss, and meat tenderness changes of postmortem beef meat slaughtered with and without using of restraining box. Restraining box is an equipment to fix or restrain cattle before slaughtering in order to lay down and handle the cattle safely. This study used 60 beef meat samples (30 samples of restraining and 30 samples of non-restraining) from the slaughterhouse of Bogor City and Bogor District. This research used the Musculus gluteus medius of Brahman Cross . The pH value of the samples was measured at 1, 6, 8, and 10 hours (h) after slaughtering. The water holding capacity was examined through cooking loss and drip loss which were conducted three times at 6, 8, and 10 hours postmortem and the meat tenderness was measured with Warner Bratzler shear force (WBSF). The result of study showed that the pH value of the both treatments decreased gradualy after slaughtering. The pH value avarage of meat samples from restraining was higher than the non-restraining. Nevertheless, the difference between the both treatments was statistically not significant (P>0.05). The study showed that the cooking loss of beef meat yielded from slaughtering with restraining box was lower significantly (p<0.05) than one without restraining at all abservations. Nevertheless, the drip loss of beef meat with restraining box was lower significantly (p<0.05) only at 10 hours postmortem than one without restraining box. The results indicated that the tenderness of beef meat yielded from slaughtering with restraining box was higher significantly (p<0.05) than one without restraining box Key words : restraining box, beef meat, pH value, cooking loss, drip loss, tenderness
vi
RINGKASAN ARIF WICAKSONO. Penelitian Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging. Dibimbing oleh DENNY W.LUKMAN dan SRI MUKARTINI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas fisik daging dari pemotongan sapi dengan dan tanpa menggunakan restraining box di RPH melalui pengamatan perubahan karakteristik daging yang meliputi nilai pH, daya ikat air (water holding capacity) dan keempukan (tenderness). Restraning box adalah alat fiksasi sapi menjelang disembelih untuk mempermudah penanganan sapi pada saat dirobohkan dan disembelih. Penelitian ini menggunakan sampel daging sapi dari bagian topside (Musculus gluteus medius) dari jenis sapi Brahman cross. Jumlah contoh sebesar 60 contoh, meliputi 30 contoh dari sapi yang dipotong di RPH Kota Bogor dengan menggunakan restraining box dan 30 contoh dari RPH Kabupaten Bogor yang tidak menggunakan restraining box. Contoh daging diambil di RPH Kabupaten Bogor dan RPH Kota Bogor. Pengujian laboratorium terhadap contoh daging dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging sapi bagian top side (Musculus gluteus ) sebanyak 0.5 kg setiap contoh. Contoh daging diambil dari jenis sapi Brahman cross (BX) dengan status kelamin steer dengan kisaran umur 1.5 - 2 tahun, yaitu sebanyak 60 contoh dari 60 sapi Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode statistika sebaran t (t-test) dua sampel dengan selang kepercayaan 95% dimana setiap waktu pengamatan dicari rata-rata dan standar deviasinya. Peubah yang diamati adalah nilai pH, daya ikat air daging melalui uji cooking loss dan drip los, serta keempukan daging. Untuk nilai pH, pengujian dilakukan pada jam ke-1, ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah sapi dipotong. Nilai pH daging pada kedua perlakuan menurun secara bertahap setelah pemotongan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH rata-rata pada daging yang menggunakan restraining box relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daging tanpa restraining box, namun perbedaannya tidak nyata (p>0.05). Untuk daya ikat air, pengamatan terhadap cooking loss dan drip los dilakukan tiga kali yaitu pada jam ke-6, ke-8, dan ke-10 setelah pemotongan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan nyata antara kedua perlakuan terhadap nilai cooking loss maupun drip loss. Secara umum nilai cooking loss antara daging dengan perlakuan restraining box lebih rendah dibandingkan dari daging tanpa perlakukan restraining box. pada jam ke-6, ke-8, dan ke-10 pemeriksaan postmortem. Sedangkan nilai drip loss daging dengan restraining box nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanpa restraining box (p<0.05) pada jam ke-10. Pengukuran keempukan daging sapi dilakukan dengan menggunakan Warner Bratzler Shear Force (WBSF). Hasil penelitian menunjukkan adanya vi
perbedaan nyata antara kedua perlakuan. Secara umum daging dengan perlakuan restraining box memiliki nilai keempukan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa restraining box (p<0.05). Kata kunci : restraining box, daging sapi, nilai pH, cooking loss, drip loss, keempukan
vi
© Hak
cipta IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengkutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm dan sebagainya.
vi
PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING
ARIF WICAKSONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
vi
Judul Nama NIM
: Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging : Arif Wicaksono : B054050071
Disetujui
Komisi Pembimbing
Drh. Sri Mukartini, M.App.Sc Anggota
DR. Drh. Denny Widaya Lukman, M.Si Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Drh. Denny Widaya Lukman, M.Si
Prof. DR. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS
Tanggal Lulus : 14 Mei 2010 vi
PRAKATA Puji dan syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Penggunaan Restraining Box dalam Pemotongan Sapi di RPH dan Karakteristik Fisik Daging”. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman,MSi dan drh. Sri Mukartini, M.App.Sc selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing,mengarahkan dan mendorong penulis sejak awal usulan penelitian hingga selesainya tesis ini. Disamping itu penulis sampaikan penghargaan kepada teman-teman di Subdit Higiene Sanitasi, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan tesis ini. Terimakasih yang tulus tak lupa penulis sampaikan kepada ibunda terkasih serta seluruh keluarga yang dengan setia memberikan motivasi dan doa tak putusputusnya bagi penulis dalam mengikuti studi di IPB sampai dengan penyelesaian tesis ini. Akhirnya penulis hanya bisa mengucapakan puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan kekuatan bagiku untuk berjuang, berkarya dan mencapai keberhasilan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Jakarta, Mei 2010
Arif Wicaksono
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Sragen Jawa Tengah pada Tanggal 27 Pebruari 1976 sebagai anak ke-4 dari empat bersaudara dari pasangan ayah Alm. Bapak Sunardi dan Ibu Hj. Sri Mulyani. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, lulus Tahun 2000, kemudian melanjutkan ke program profesi dokter hewan pada universitas yang sama dan lulus pada tahun 2002. Pada Tahun 2003 penulis diterima menjadi PNS di Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Suatu niat yang tumbuh dalam benak penulis untuk dapat lebih berkontribusi dalam perumusan kebijakan dan pemikiran yang bermanfaat untuk mewujudkan upaya penjaminan produk pangan asal hewan yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH). Untuk itu penulis memilih program studi S2 Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk lebih memperdalam pemahaman tentang ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner.
vi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………….................................... xiii DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….
xv
I.
PENDAHULUAN ………………………………………………….
1
1.1. Latar Belakang ………………………………………………..
1
1.2. Tujuan Penelitian ……………………………………………..
2
1.3. Manfaat Penelitian …………………………………………….
II.
1.4. Hipotesis Penelitian ……………………………………………
2 3
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….
4
2.1
Konversi Otot Menjadi Daging ...............................................
4
2.2
pH Daging ...............................................................................
7
2.3
Keempukan (Tenderness) ........................................................
8
2.4
Daya Ikat Air (Water Holding Capacity/WHC)……………..
9
2.5
Restraining box ……………………………………………..
III. BAHAN DAN METODE ………………………………………… 3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian……………………………….
3.2
Materi ………………………………………………………
3.3
Metode Penelitian ..………………………………………...
3.4
Analisa Statistika ………………………………………….
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..………………………………….
10 12 12 12 13 14
15
4.1
Pengaruh penggunaan restraining box terhadap pH daging …
15
4.2
Pengaruh Penggunaan Restraining Box terhadap Daya Ikat Air Daging ………………………………………………....
17
4.3
Pengaruh Penggunaan Restraining Box terhadap Keempukan Daging ………………………………………………………
22
vi
V.
SIMPULAN DAN SARAN…………………………………..
25
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….
27
LAMPIRAN ……………………………………………………..
28
vi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Nilai rata-rata pH daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box ………………………………..
15
2. Nilai rata-rata cooking loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box ………...........................
18
3. Nilai rata-rata drip loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box …………………………
19
4. Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan non-restraining box (kg/cm2) ………………………………...
22
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Restraining box yang dipasang di RPH………………………………...
3
2.
Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih ……………………………………………………………..
5
Penurunan nilai rata-rata pH postmortem pada daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box ….
16
Perbandingan cooking loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box ………………………………………………….
18
Perbandingan drip loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box ………………………………………………….
19
3.
4.
5.
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Analisa data Nilai Rataan, Galat baku dan Hasil uji t-Student
28
2.
Hasil Uji T Dan Selang Kepercayaan 95% Selisih rataan antara perlakuan restraining box dan tanpa restraining box…
29
vi
I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi masyarakat. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan protein nabati. Menurut Lawrie (1968) daging adalah bagian dari hewan potong yang digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan yang menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi. Sedangkan menurut Soeparno (1994) daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan ganguan kesehatan bagi yang memakannya misalkan meat born illness. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan lokasi transformasi dari ternak hidup menjadi produk pangan bernilai gizi tinggi yaitu daging. Daging yang dihasilkan dari RPH harus memenuhi persyaratan keamanan pangan (food safety), mutu (kualitas), dan khususnya di Indonesia harus pula memenuhi persyaratan kehalalan, yang dikenal dengan konsep Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) (Prodjodiharjo 2002). Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah penyembelihan. Menurut Swatland (1984), untuk memperoleh kualitas karkas yang baik, maka penyembelihan di RPH harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1) ternak tidak diperlakukan dengan kasar sebelum penyembelihan, (2) ternak tidak mengalami stres, (3) proses penyembelihan dan pengeluran darah harus secepat dan sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, dan (5) cara penyembelihan harus higienis, ekonomis dan aman bagi para pekerja. Faktor sebelum penyembelihan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah: genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan faktor stres yang terkait erat dengan cara penanganan ternak pada saat akan disembelih. Sedangkan faktor penentu kualitas daging yang dikonsumsi
2
terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavour dan aroma termasuk bau dan cita rasa, serta jus daging (juiciness). Disamping itu, faktor penting lain yang ikut menentukan kualitas daging adalah lemak intramuskular, susut masak (cooking loss), resistensi cairan, dan pH (Soeparno 2005). Salah satu peralatan yang saat ini digunakan untuk membantu proses penyembelihan pada sapi adalah restraining box yang berada di beberapa RPH di Indonesia. Restraining box yang dipakai di beberapa RPH di Indonesia merupakan desain yang dikembangkan oleh Meat Livestock Australia (MLA) pada tahun 2003 melalui Asosiasi Pengusaha Feedloter Indonesia (APFINDO). Pada saat ini telah terpasang 72 unit restraining box di 60 RPH yang tersebar di 9 propinsi di Jawa dan Sumatera. Peralatan ini digunakan untuk membantu merobohkan sapi pada saat akan disembelih dengan proses kerja tertentu. Tujuan dari penggunaan restaining box adalah untuk: (1) mempercepat proses penyembelihan di RPH; (2) mempermudah pelaksanaan penyembelihan secara halal; (3) meningkatkan kualitas daging yang dihasilkan dari RPH; dan (4) mewujudkan penerapan kesejahteraan hewan pada proses penyembelihan hewan di RPH (Anonymus 2007). Berikut ini adalah gambar restraining box yang telah terpasang di Indonesia.
Gambar 1 gambar restraining box yang telah terpasang di beberapa RPH di Indonesia.
3
1.2.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan karakteristik fisik
antara daging dari sapi yang disembelih dengan menggunakan perlakuan restraining box dengan sapi yang tanpa menggunakan restaining box.
1.3.
Manfaat Penelitian (pelaku usaha, pemerintah, konsumen) Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya bagi pelaku
usaha penyembelihan hewan namun juga bagi pemerintah dan konsumen dalam bentuk: a.
Memberikan gambaran kualitas fisik daging khususnya nilai pH, daya ikat air (nilai cooking loss dan
drip loss) serta nilai keempukan daging
postmortem dari pemotongan hewan yang menggunakan restraining box dan tanpa restraining box; b.
Menjadi bahan kebijakan teknis bagi pemerintah dalam penyusunan pedoman teknis pembangunan RPH terutama persyaratan teknis peralatan restraining box;
c.
Memberikan gambaran kepada pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat mengenai manfaat penggunaan restraining box dalam pemotongan sapi di RPH dalam menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).
d.
Menjadi bahan acuan bagi pelaku usaha (jagal) dan pekerja RPH agar mengoperasionalkan restrainng box dengan baik dan benar pada proses pemotongan hewan sehingga diperoleh daging yang ASUH.
e.
Meningkatkan jaminan keamanan dan kualitas daging yang dihasilkan di RPH.
4
1.4.
Hipotesis Penelitian Karakteristik fisik daging sapi, khususnya nilai pH, cooking loss dan drip
loss, serta keempukan daging dipengaruhi oleh perlakuan restraining box.
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Konversi Otot Menjadi Daging Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat
konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno 2005). Perubahan dari otot menjadi daging dimulai dari penyembelihan hewan. Penyembelihan dilakukan pada bagian leher dengan memotong esofagus, trachea, dan saluran darah (Arteri carotis dan Vena jugularis) dengan memperhatikan syariah agama Islam dan kaidah kesejahteraan hewan (SK Mentan. 1992). Setelah hewan disembelih (mati), terjadi perubahan yang sangat kompleks di dalam jaringan otot yang meliputi perubahan biokimia, fisik, dan mikrobiologis. Secara umum, perubahan tersebut diawali dengan berhentinya sirkulasi darah, yang mengakibatkan tidak adanya pasokan (supply) oksigen ke jaringan, sehingga menimbulkan konsekuensi perubahan pada, jaringan termasuk otot (Lukman et al. 2007). Secara umum perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 berikut : Sirkulasi darah terhenti
Tidak ada supply oksigen
Respirasi terhenti
Glikolisis anaerob
Penurunan kadar ATP dan CP
Rigor mortis
Penurunan nilai pH
Denaturasi Protein
Pembebasan dan aktivasi enzim
6
Gambar 2 Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih (Lukman et al. 2007) Pengeluaran darah sebagai akibat penyembelihan ternak menyebabkan persediaan oksigen di dalam otot yang berikatan dengan mioglobin makin menurun dan menjadi habis. Akibatnya sistem enzim dari sitokrom tidak dapat beroperasi dan sintesis ATP tidak dapat diproduksi. Tidak berhasilnya mensintesis kembali ATP melalui proses glikolisis anaerob, maka tidak memungkinkan mempertahankan tingkat ATP, sehingga ikatan aktin miosin yang terkunci yang mengakibatkan otot menjadi keras proses ini dikenal dengan rigor mortis (Lawrie 1979; Swatland 1984). Selama pelayuan (aging/conditioning) terjadi proses post rigor yang menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan peningkatan keempukan dan cira rasa (flavor)daging. Pada proses ini juga terjadi degradasi protein oleh enzim kalpain dan katepsin. Pelayuan pada daging sapi dapat dilakukan pada temperatur 4 ºC selama 12 hari atau pada temperatur kamar (29 ºC) selama 8 – 12 jam, selama proses tersebut terjadi perubahan secara sempurna dari otot menjadi daging (Lukman et al. 2007).
2.2.
pH Daging Pada umumnya nilai pH daging sapi yang diukur pada jam pertama
postmortem adalah 7.0 – 7.2. Pada saat mulai rigor mortis, nilai pH daging menjadi 5.90 dan kemudian mencapai pH akhir 5.50 yang dicapai kurang lebih setelah 24 jam (Soeparno 2005). Nilai pH daging setelah hewan mati (nilai pH postmortem) akan menurun mencapai pH akhir. Penurunan nilai pH tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi laju glikolisis. Nilai pH daging tidak akan pernah kurang dari 5.3, karena pada pH dibawah 5.3 enzimenzim yang berperan dalam proses glikolisis tidak aktif (Lawrie 1979). Menurut Soeparno (2005) Faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik, antara lain adalah
7
temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum penyembelihan dan stress sebelum penyembelihan. Menurut Soeparno (2005) sapi yang mengalami stress atau kelelahan sebelum dipotong, maka kandungan glikogen pada otot akan menipis, sehingga konsentrasi asam laktat yang terbentuk tidak bisa membuat pH mencapai angka 5,6, bila pH lebih tinggi misalnya 6,2 maka daging akan terlihat gelap, keras dan kering yang dikenal dengan nama dry, firm, dark (DFD). Warna gelap pada daging ini berhubungan dengan daya ikat air (water holding capacity) yang lebih tinggi dari normal. Dengan tingginya daya ikat air tersebut, menyebabkan keadaan serabut otot menjadi lebih besar dan lebih banyak cahaya yang diserap dari yang dipantulkan oleh permukaan daging, hal ini yang menyebabkan daging terlihat lebih gelap Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat (akhir) otot postmortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat penyembelihan. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi yang tercapai yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik didalam proses glikolisis anaerobik. Jadi pH ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan enzim glikolitik (Pearson 1971; Lawrie 1979). pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Pada umumnya glikogen tidak diketemukan pada pH antara 5,4 – 5,5 (Lawrie 1979). Laju penurunan pH otot yang cepat dan ekstensif akan mengakibatkan : (1) warna daging menjadi lebih pucat, (2) daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi lebih rendah, dan (3) permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan permukaan potongan daging yang disebut drip atau weep (Forrest et al. 1975). Sebaliknya pada pH ultimat yang tinggi, daging berwarna gelap dan permukaan potongan daging menjadi sangat kering karena cairan daging terikat secara erat oleh proteinnya (Soeparno 2005).
8
2.3.
Keempukan (Tenderness) Pertama kali konsumen menilai keempukan daging pada saat daging
dikunyah. Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek (Bratzler 1971; Lawrie 1979) pertama, kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging; kedua, mudahnya daging dikunyah menjadi fragmen/potonganpotongan yang lebih kecil, dan ketiga jumlah sisa fragmen/potongan yang tertinggal setelah pengunyahan (Weir 1960; Bratzler 1971). Peningkatan keempukan daging selama proses pelayuan, antara lain disebabkan oleh kerja enzim-enzim proteolitik terhadap protein fibrus otot, termasuk elemen-elemen kontraktil. Menurut Soeparno (2005) keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara lain meliputi metode pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan serta metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk. Jadi keempukan bisa bisa bervariasi diantaranya spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang sama. Komponen daging yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat, serabut otot, lemak (lemak intramuskular = marbling). Faktor lain yang mempengaruhi keempukan daging adalah umur ternak, jumlah jaringan ikat, cara penanganan daging sebelum dan setelah penyembelihan, serta cara pemasakan daging. Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya (Davey et al. 1967), kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Bouton et al. 1971). Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stres dan kurang istirahat menjelang disembelih akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigormortis akan berlangsung cepat. Kekakuan otot yang terjadi
9
akan diikuti dengan pemendekan otot yang relatif lebih besar, sehingga daging menjadi kurang empuk dan mempunyai daya ikat air yang rendah (Soeparno 2005). Oleh karena itu, penanganan ternak sebelum penyembelihan perlu untuk diperhatikan karena memiliki pengaruh yang besar terhadap keadaan fisiologis sapi saat menjelang proses penyembelihan. Dalam hal ini, penggunaan alat-alat penyembelihan yang tepat antara lain restraining box sebagai alat fiksasi hewan sebelum penyembelihan, pisau yang tajam untuk menyembelih hewan dan alat penggantung karkas di rumah penyembelihan hewan (RPH) menjadi faktor penting yang mempengaruhinya.
2.4.
Daya Ikat Air (Water Holding Capacity/WHC) Daya ikat air adalah kemampuan protein daging (otot) untuk mengikat air
atau air yang ditambahkan. Daya ikat air dipengaruhi oleh faktor nilai pH, rigor mortis dan aging. Daya ikat air mempengaruhi beberapa sifat fisik daging antara lain: warna, citarasa (flavour) dan tekstur. Daya ikat air oleh protein daging ditentukan dengan pemeriksaan susut masak (cooking loss) dan drip loss. Cooking loss adalah berat yang hilang (penyusutan berat) selama pemasakan. Adapun drip loss adalah cairan atau (eksudat) yang keluar dari daging tanpa aplikasi/penerapan tekanan dari luar (Lukman et al. 2007). Peningkatan tekanan osmotik, pembebasan ion Na+ dan Ca++ ke dalam sarkoplasma oleh protein-protein otot dan absorbsi ion K+, serta perubahan struktur otot setelah 24 jam pelayuan, berhubungan dengan meningkatnya daya ikat air daging (Arnold et al. 1956; Bratzler et al. 1977; Lawrie 1979) Cooking loss bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging (Bouton et al. 1971). Menurut Soeparno (2005), perbedaan cooking loss yang besar bisa diperoleh dengan pemasakan pada temperatur 50 ºC dibandingan dengan pemasakan pada temperatur 60 ºC. Pada umumnya cooking loss bervariasi antara 15% - 54,5% dengan kisaran 15% - 40%. Sifat mekanik daging termasuk cooking loss merupakan indikasi dari sifat mekanik miofibril dan jaringan ikat dengan bertambahnya umur ternak, terutama
10
peningkatan panjang sarkomer. Besarnya cooking loss dapat dipergunakan untuk mengestimasi jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan cooking loss yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan cooking loss yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Penanganan sapi sesaat sebelum penyembelihan akan berpengaruh terhadap kualitas daging postmortem termasuk daya ikat air.
Hal tersebut
berkaitan dengan jumlah cadangan glikogen otot yang tersisa setelah penyembelihan yang mempengaruhi nilai pH daging dan proses rigor mortis sehingga dapat menentukan tingkat daya ikat air oleh protein daging melalui berbagai perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih. Penurunan pH yang cepat akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan daya ikat air protein daging juga menerangkan bahwa penurunan pH akan menyebabkan denaturasi protein sehingga perpindahan air ke ruang ekstraseluler meningkat (Soeparno 2005).
2.5.
Restraining Box Restraining box adalah sebuah alat fiksasi pemotongan sapi di RPH yang
berfungsi mengendalikan sapi sesaat sebelum pemotongan. Penggunaan restraining box sebelum pemotongan diharapkan dapat menekan tingkat stres pada sapi sebelum dipotong, baik akibat pengaruh lingkungan di RPH maupun faktor-faktor lainnya, seperti pengangkutan dan penampungan sementara yang padat (Anonymus 2007). Menurut Grandin (1991), restraining box adalah alat yang digunakan untuk mengendalikan sapi sebelum disembelih agar tingkat stres pada sapi dapat dikurangi. Pada prinsipnya, tingkat stres dapat diturunkan karena: (1) saat sapi masuk ke dalam restraining box sapi tidak merasa takut karena terhindar dari pengaruh lingkungan area penyembelihan. Hal tersebut penting terutama bagi sapi yang cukup agresif; (2) untuk mengatasi terjangan kepala sapi karena pandangan di sekeliling sapi tertutup penuh; (3) memudahkan dalam merobohkan sapi tanpa perlakuan kasar; (4) stabilitas alat membuat sapi menjadi
11
lebih tenang dan mengatasi gerakan berontak yang tiba-tiba; dan (5) tekanan alat pada sapi tidak menimbulkan kesakitan dan berlangsung cepat.
12
III.
3.1.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November 2008 – Januari 2009.
Contoh daging diambil di RPH Kabupaten Bogor dan RPH Kota Bogor. Pengujian
laboratorium
terhadap
contoh
daging
dilaksanakan
di
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
3.2
Materi dan Metode
3.2.1 Materi Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging sapi bagian top side (Musculus gluteus ) sebanyak 0.5 kg setiap contoh. Contoh daging diambil dari jenis sapi Brahman cross (BX) dengan status kelamin steer dengan kisaran umur 1.5 - 2 tahun, yaitu sebanyak 60 contoh dari 60 sapi yang berbeda yang telah diistirahatkan terlebih dahulu di kandang penampungan RPH selama ± satu minggu sebelum dipotong, yang terdiri dari 30 contoh daging dari hasil pemotongan dengan menggunakan restraining box dan 30 contoh daging dari hasil pemotongan tanpa menggunakan restraining box dengan pengambilan sampel sebelum pelayuan. 3.2.2
Metode Penelitian
3.2.2.1 Pengukuran nilai pH daging Contoh daging dari kedua perlakuan disimpan dalam kantong plastik dan disimpan pada suhu kamar (25 – 34°C). Pengukuran nilai pH dilakukan empat kali pengukuran, yaitu jam ke-1, ke-6, ke-8, dan ke-10. Metode yang dilakukan adalah metode elektrometrik dengan daging homogenat.
Sebelum
pengukuran
pH
meter
harus
dikalibrasi
menggunakan larutan standar. Pertama pH meter dikalibarasi dengan larutan ber-pH 4.01 lalu dikalibarasi dengan larutan ber-pH 7,0 atau lebih. Setiap selesai pencelupan atau pengukuran pada contoh, gelas elektroda harus selalu dibilas secara seksama dan hati-hati dengan akuades,
13
kemudian dikeringkan dengan kertas tisu secara hati-hati. Pengukuran nilai pH daging dapat dilakukan dengan mempersiapkan daging dengan dihomogenkan terlebih dahulu menggunakan blender (homogenat). Contoh daging yang telah homogen dimasukkan ke dalam kantong plastik dan mulai diukur pH-nya dengan memasukkan elektrode gelas ke dalam homogenat daging. Setelah elektroda pH meter dimasukkan ke dalam contoh, biarkan beberapa waktu sampai nilai pH terbaca konstan. 3.2.2.2 Pemeriksaan Keempukan Pengukuran keempukan daging sapi dilakukan menggunakan Warner-Bratzler shear force (WBSF).
Contoh daging yang telah
didinginkan, 24 jam kemudian dicairkan (thawing) dan direbus sampai suhu dalam daging mencapai angka 80oC, yaitu sekitar 10-15 menit. Kemudian daging tersebut diangkat dan ditiriskan. Daging dicetak dengan menggunakan corer dengan diameter bagian dalam 1.27 cm atau 0.5 inchi sehingga diperoleh potongan daging dengan diameter 1.27 cm dan panjang 4-5 cm. Langkah pengujian selanjutnya adalah pemotongan contoh daging dengan WB blade.
Daging diletakkan sedemikian rupa sehingga alat
potong pada Warner Bratzler tepat memotong melintang arah serabut otot. Nilai daya putus WB dinyatakan dengan satuan kilogram per sentimeter persegi (kg/cm2) 3.2.2.3 Pemeriksaan Drip Loss Pengujian drip loss dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap penimbangan contoh, tahap penyimpanan dan tahap pengukuran. Contoh daging ditimbang ± 5 gram (a gram) kemudian contoh daging digantung dengan benang pada kawat lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian diikat dan disimpan dalam lemari es selama 24 jam. Setelah itu daging ditimbang kembali (b gram). Pengujian dilakukan pada jam ke-6, jam ke-8, dan jam ke-10 setelah pemotongan. Pengukuran nilai drip loss dilakukan dengan cara perhitungan dengan rumus sebagai berikut : % drip loss = a – b x 100% a
14
Keterangan : a : Berat daging sebelum perlakuan (gram) b : Berat daging setelah perlakuan (gram)
3.2.2.4 Pemeriksaan Cooking Loss Pengujian cooking loss dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap penimbangan contoh, tahap pemasakan dan tahap pengukuran. Contoh daging ditimbang sebanyak 70-100 gram (a gram) lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas kemudian dipanaskan dalam air suhu 75 °C selama 50 menit selanjutnya daging ditimbang kembali (b gram). Pengujian dilakukan pada jam ke-6, jam ke-8, dan jam ke-10 setelah pemotongan. Pengukuran nilai cooking loss dilakukan dengan cara perhitungan dengan rumus sebagai berikut :
% cooking loss = a – b x 100% a Keterangan : a : Berat daging sebelum perlakuan ( gram) b : Berat daging setelah perlakuan (gram) 3.3
Analisis Statistika Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode statistika
sebaran t (t-test) dua sampel dengan selang kepercayaan 95% dimana setiap waktu pengamatan dicari rata-rata dan standar deviasinya.
IV. 4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh penggunaan restraining box terhadap pH daging Hasil pengujian nilai pH dari daging yang berasal dari sapi dengan
perlakuan restraining box, nilai pH rata-rata pada jam pertama postmortem adalah 6.31 + 0.04 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem (rata-rata 5.58 + 0.03), sedangkan pada daging yang berasal dari sapi tanpa perlakuan restraining box, nilai pH rata-rata pada jam pertama yaitu 6.23 + 0.08 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem (5.53 + 0.03). Nilai pH daging kedua perlakuan mengalami peningkatan kembali pada jam ke-10. Untuk daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box pH mencapai nilai 5.69 + 0.03, meningkat sebesar 1.97 % dari jam ke-8. Sementara itu, daging yang berasal dari sapi tanpa perlakuan restraining box mencapai nilai 5.58 + 0.04, yang berarti mengalami kenaikan sebesar 0.85 % dari jam ke-8, seperti pada Tabel 1 dan Gambar 2. Tabel 1
Nilai rata-rata pH daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box dan tanpa perlakuan restraining box Jam ke-
Restraining box
Non-Restraining box
1
6.31 + 0.04tn
6.23 + 0.08tn
6
5.70 + 0.03tn
5.67 + 0.04tn
8
5.58 + 0.03tn
5.53 + 0.03tn
10
5.69 + 0.03*
5.58 + 0.04*
Ket : superscript (tn) yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
Sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box pada umumnya akan mendapat perlakuan kasar pada saat dirobohkan sehingga sapi mengalami stres. Stres dapat memicu meningkatnya glikolisis yang akan menghasilkan asam laktat dan tertimbun pada otot (Lawrie 1979; Buckle et al. 1985). Pada keadaan yang tidak terkendali penimbunan asam laktat pada otot tidak dapat lagi dinetralisasi oleh sistem buffer otot, sehingga dapat menurunkan nilai pH otot
16
pada saat pemotongan dan akan berdampak semakin rendahnya nilai pH daging postmortem (Shorthose dan Whytes 1988). Pengamatan nilai pH antara daging dengan dan tanpa perlakuan restraining box pada jam pertama pengukuran postmortem menunjukkan bahwa nilai pH daging dari sapi tanpa perlakuan restraining box (6.23 + 0.08) lebih rendah daripada daging dari sapi dengan perlakuan restraining box (6.31 + 0.04), seperti pada Gambar 2. (mengapa ?)
Gambar 2
Penurunan nilai rata-rata pH postmortem pada daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box.
Berdasarkan data yang diperoleh, pola penurunan pH untuk kedua perlakuan seperti yang digambarkan di atas termasuk pola penurunan pH yang normal yaitu mencapai nilai 5.6 – 5.7 dalam waktu 6 – 8 jam setelah pemotongan (Forrest et al. 1975 dalam Brahmantiyo 1996). Nilai pH rata-rata pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box relatif lebih rendah dibandingkan dengan daging yang dipotong menggunakan restraining box, namun perbedaan nilai tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05). Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor jumlah contoh yang diambil maupun faktor teknis di lapangan terkait dengan cara
17
penggunaan restraining box karena kurangnya kesadaran pekerja akan tujuan serta manfaat penggunaan restraining box. (? Factor apa saja) Kondisi stres tersebut mememicu terjadinya glikolisis anaerob. Penguraian glikogen ini sebagai respon positif dari faktor stres yang akan merangsang peningkatan sekresi hormon glukokortikoid (hormon kortisol) yang akan meningkatkan penggunaan glikogen otot dan memobilisasi asam lemak bebas sehingga terbentuk persediaan energi darurat. Keadaan ini sangat berdampak negatif terhadap persediaan glikogen otot postmortem dan mempercepat laju penurunan nilai pH postmortem (sumber pustaka) Pada jam ke-10 postmortem menunjukkan bahwa nilai pH rata-rata daging dari kedua perlakuan, baik pemotongan dengan menggunakan dan tanpa menggunakan restraining box, mengalami kenaikan (Tabel 1). Kenaikan nilai pH postmortem tersebut disebabkan oleh terhentinya pelepasan kreatin fosfat atau adanya perubahan sistem bufer dalam jaringan otot sehingga penurunan pH daging dihambat (Dogde dan Peters 1960).
4.2
Pengaruh Penggunaan Restraining box terhadap Daya Ikat Air Daging (Water Holding Capacity) (uji statistik utk pengambil keputusan (deskripsi data hasil didahulukan) Untuk mengetahui pengaruh penggunaan restraining box terhadap daya
ikat air pada daging dilakukan dua jenis pengujian yaitu uji cooking loss dan drip loss. Hasil pengujian pada uji cooking loss menunjukkan bahwa nilai cooking loss daging dengan perlakuan restraining box nyata lebih rendah (p<0.05) daripada daging tanpa perlakuan restraining box, baik pada jam ke-6, ke-8, maupun jam ke-10 pengujian setelah pemotongan. Pada daging dengan perlakuan restraining box, nilai rata-rata cooking loss pada jam ke-6 adalah 41.61 + 0.24 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu dengan rata-rata 40.98 + 0.27, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 41.54 + 0.36, sedangkan pada daging tanpa restraining box, nilai rata-rata cooking loss pada jam ke-6 adalah 43.68 + 0.38 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata 42.95 + 0.49, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-
18
10 dengan nilai 44.89 + 0.61. Perbandingan rata-rata cooking loss contoh daging yang dihasilkan melalui proses pemotongan dengan menggunakan restrainning box dan non-restraining box pada jam ke-6, ke-8 dan ke-10 proses pemasakan disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 3. Tabel 2 Nilai rata-rata cooking loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Jam ke-
Restraining box
Non-Restraining box
6
41.61 + 0.24*
43.68 + 0.38*
8
40.98 + 0.27*
42.95 + 0.49*
10
41.54 + 0.36*
44.89 + 0.61*
Ket : superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05)
Gambar 3. Perbandingan cooking loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box Hasil penelitian pada uji drip loss menunjukkan bahwa daging hasil pemotongan dengan restraining box memilki nilai drip loss yang lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box baik pada jam ke-6, ke-8 maupun jam ke-10 pengujian setelah pemotongan. Nilai drip loss daging dengan
19
restraining box yang diuji pada jam ke-10 memiliki nilai yang nyata lebih rendah (p<0.05) daripada daging tanpa restraining box. Nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah 6.39 + 0.60 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu dengan rata-rata 5.89 + 0.51, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 6.62 + 0.35, sedangkan pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah 6.67 + 0.50 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata 5.89 + 0.51, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 7.30 + 0.52. Perbandingan rata-rata drip loss contoh yang dihasilkan melalui proses pemotongan dengan menggunakan restrainning box dan non restraining box pada jam ke-6, ke-8 dan ke-10 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai rata-rata drip loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Jam ke-
Restraining box
Non-Restraining box
6
6.39 + 0.60tn
6.67 + 0.50tn
8
5.89 + 0.51tn
6.76 + 0.44tn
10
6.62 + 0.35*
7.30 + 0.52*
Ket : superscript (tn) pada baris yang sama yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05) Dari hasil penelitian ini, penggunaan restraining box pada proses pemotongan mempengaruhi nilai cooking loss dan drip loss. Nilai keduanya menunjukkan nilai yang lebih rendah pada contoh daging dengan restraining box dibandingkan dengan yang tidak menggunakan restraining box. Hal tersebut berkaitan dengan faktor stres sebelum pemotongan. Pemotongan dengan restraining box akan memperkecil tingkat stres dibandingkan tanpa restraining box. Menurut Soeparno (1994), stres pada hewan sebelum pemotongan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging. Sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box akan mengalami stres karena sapi diperlakukan secara kasar dan melakukan gerak yang berlebihan. Stres pada
20
hewan akan meningkatkan mobilisasi energi tubuh yang dibutuhkan untuk aktivitas otot pada hewan hidup (Chambers dan Grandin 2001). Guyton (1994) menerangkan bahwa energi tersebut berasal dari proses glikolisis. Pada hewan hidup, proses glikolisis aerobik akan berlangsung selama pasokan oksigen masih ada. Lain halnya ketika hewan sudah mati, sirkulasi darah terhenti sehingga secara otomatis pasokan oksigen akan terhenti. Pada kondisi tersebut oksigen tidak tersedia atau insufisiensi sehingga terjadi glikolisis anaerobik. Menurut Voisinet et al. (1997), penanganan pemotongan sapi yang tidak benar akan menyebabkan berontak yang berlebihan sehingga mengakibatkan kondisi daging sapi yang berwarna gelap (dark-cutting beef). Soeparno (1994) menyatakan bahwa glikolisis anaerobik tergantung pada jumlah glikogen otot yang tersisa setelah dipakai sebagai sumber energi pada saat pemotongan. Pada kondisi stres glikogen otot banyak digunakan dalam proses glikolisis aerobik bahkan dalam kondisi hipoksia saat hewan masih hidup akan mengakibatkan terjadinya proses glikolisis anaerobik sehingga laju glikolisis anaerobik postmortem akan berlangsung lebih cepat. Peningkatan laju glikolisis menyebabkan cadangan glikogen otot menjadi cepat habis akibatnya penimbunan asam laktat akan berhenti sehingga penurunan pH akan semakin cepat (Pearson 1971; Lawrie 1979). Forrest et al. (1975) menerangkan bahwa laju penurunan pH yang cepat akan mengakibatkan daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi lebih rendah dan permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan ke permukaan potongan daging yang disebut drip. Penurunan pH yang cepat akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan daya ikat air protein daging (Bendall 1960). Soeparno (1994) juga menerangkan bahwa penurunan pH akan menyebabkan denaturasi protein sehingga perpindahan air ke ruang ekstraseluler meningkat. Menurut Koohmaraie et al. (1991), penurunan pH postmortem akan mengakibatkan pembebasan dan aktivitas katepsin. Katepsin merupakan enzim lisosomal yang mampu memecah lebih lanjut myofibril otot pada pH rendah (Soeparno 1994).
21
Gambar 4 Perbandingan drip loss daging dari perlakuan penggunaan dengan dan tanpa restraining box Pada saat pemotongan, terhentinya pasokan oksigen menyebabkan respirasi terhenti, sehingga terjadi penurunan kadar ATP dan kreatin fosfat (Guyton 1994). Penurunan kadar ATP berkaitan dengan proses rigor mortis atau kekakuan otot setelah kematian. Pada awal rigor mortis biasanya diikuti dengan penurunan daya ikat air daging. Hal tersebut disebabkan oleh penurunan pH, konsekuensi dari protein otot pada titik isoelektriknya dan denaturasi protein (Lawrie 1979). Pada pH tiitik isoelektrik daging, keadaan protein-protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal dengan nilai pH antara 5.4 – 5.5 (Lawrie 1979). Soeparno (1994) menerangkan bahwa penurunan kadar ATP berkaitan dengan hilangnya daya regang otot akibat pembentukan kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen sehingga daya ikat air daging rendah.
Pembentukan kompleks
aktomiosin akibat kehabisan ATP akan tetap terjadi walaupun otot masih mempunyai pH yang tinggi (Soeparno 1994). Nilai cooking loss dan drip loss yang lebih rendah pada contoh daging dengan restraining box berarti bahwa daging memilki daya ikat air yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh daging tanpa restraining box. Lebih banyak
22
air yang terikat oleh daging semakin baik kualitasnya.
Daya ikat air dapat
dipengaruhi oleh pH dan rigormortis sehingga faktor penanganan sebelum pemotongan merupakan hal yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap daya ikat air daging.
Penanganan yang buruk sebelum pemotongan akan
mengakibatkan stres sehingga cadangan glikogen otot akan berkurang. Dilihat dari segi ekonomi dan kesehatan masyarakat, penurunan daya ikat air pada daging dapat merugikan konsumen karena daging tersebut berat dan kandungan nutrisinya berkurang sehingga tanpa disadari kepuasan konsumen terhadap kualitas daging yang diharapkan tidak terpenuhi.
4.3
Pengaruh Penggunaan Restraining box terhadap Keempukan Daging (tendernes) Secara umum penggunaan restraining box dan non-restraining box di
RPH terhadap tingkat keempukan daging sapi yang dihasilkan menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai keempukan daging pada sapi yang difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 2.98 ± 0.17, sedangkan pada daging sapi yang tidak difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 3.65 ± 0.24. Seperti yang terlihat pada Tabel 4, nilai keempukan daging sapi yang dicerminkan oleh perubahan daya putus Warner Bratzler (WB) pada daging yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box (2.98 ± 0.84) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata daya putus WB yang dipotong tanpa menggunakan restraining box (3.65 ± 1.21). Daya putus WB yang rendah dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang tinggi dan sebaliknya daya putus WB yang tinggi dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang rendah. Tabel 4 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan nonrestraining box (kg/cm2)
Keempukan
restraining box (kg/cm2)
non-restraining box (kg/cm2)
2.98 ± 0.17*
3.65 ± 0.24*
Ket : superscript (*) yang sama pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05)
23
Daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box memiliki nilai keempukan yang lebih tinggi. Hasil ini berbeda nyata (p<0.05) dengan daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang tidak menggunakan restraining box. Hal ini dapat dikarenakan sapi yang difiksasi dengan restraining box sebelum dipotong memiliki kemungkinan stres yang lebih kecil daripada sapi yang tidak difiksasi dengan restraining box. Sapi yang mengalami stres biasanya lebih banyak bergerak pada saat pemotongan. Banyaknya gerakan yang dilakukan oleh sapi dapat berpengaruh pada penurunan atau habisnya kadar glikogen otot. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan kadar ATP dan keratin fosfat akibat tidak tersedianya oksigen yang cukup.
Hal ini dapat memicu terjadinya
rigormortis otot dan berakibat pada kualitas keempukan daging sapi yang dihasilkan. Menurut Bate-Smith, Bendall (1960), rigormortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak lagi mampu mempergunakan cadangan energi. Rigormortis berkaitan dengan semakin habisnya ATP dari otot. Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan filamen miosin saling menindih dan terkunci bersama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen. Penurunan kadar ATP ini juga mengakibatkan terjadinya penurunan daya regang otot dengan cepat.
Hilangnya kemampuan daya regang otot dan pembentukan kompleks
aktomiosin menyebabkan kekakuan pada otot.
Kekakuan yang terjadi akan
diikuti dengan pemendekan otot yang merupakan penyebab utama dari ketidakempukan daging. Penurunan nilai keempukan pada daging yang dihasilkan dari RPH yang tidak menggunakan restraining box juga dapat dipengaruhi oleh penurunan pH postmortem daging. Keadaan sapi yang mengalami stres sebelum pemotongan dapat memicu penurunan pH postmortem daging yang dihasilkan. Kontraksi otot yang dialami sapi sebelum pemotongan menyebabkan defisiensi glikogen otot yang dapat merangsang tubuh untuk melakukan proses glikolisis anaerob. Glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat yang dapat terakumulasi di otot sehingga pH otot menjadi menurun (Lukman et al. 2007).
Daya putus WB
24
mempunyai korelasi linear dengan pH. Sehingga dapat dikatakan, terjadinya penurunan pH pada umumnya dapat menurunkan keempukan daging. (why???) Besarnya
nilai
keempukan
daging
juga
dipengaruhi
oleh
proses
penyimpanan dan pemasakan daging. Penyimpanan daging dapat menyebabkan peningkatan keempukan daging yang diindikasikan dengan tidak terjadinya pemendekan otot selama rigormortis. Pemendekan otot memiliki hubungan yang erat dengan kealotan daging. Daging yang telah mengalami proses rigormortis kemudian disimpan dingin pada suhu yang sesuai tidak akan mengalami pemendekan otot. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyimpanan daging (aging, refrigerasi) dapat meningkatkan nilai keempukan daging. Giles (1969) serta Hegarty dan Allen (1975) dalam Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging sapi postrigor yang dimasak pada suhu lebih tinggi dari 60oC akan mengalami kontraksi dan perubahan kualitas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soeparno et al. (1987) mengenai pengaruh pelayuan dan perebusan terhadap perubahan pH, retensi cairan, keempukan dan gizi daging sapi peranakan Friesien Holstein (PFH) jantan. Pada umumnya, suhu pemasakan untuk memperoleh tingkat keempukan daging yang maksimum, berbeda diantara otot dan ternak dan terutama berhubungan dengan jumlah serta kekuatan jaringan ikat (Lawrie 1979). Bahas restraining box dari aspek kesejahtera
V. 5.1
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1.
Daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box mempunyai pH rata-rata relatif lebih tinggi dari pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box. Namun perbedaan tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dan masih dalam kondisi normal yang dikarenakan sapi yang potong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut sedikit lebih lama dibandingkan sapi yang dipotong menggunakan restraining box.
2.
Daya ikat air pada daging yang menggunakan restraining box dengan pengujian cooking loss dan drip loss mempunyai nilai lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box. Perbedaan ini disebabkan sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut yang menyebabkan peningkatan asam laktat yang menyebabkan denaturasi protein yang berakibat hilangnya daya ikat air oleh daging
3.
Daging yang dihasilkan dari RPH yang menggunakan restraining box lebih empuk dibandingkan dengan daging dari RPH yang tidak menggunakan restraining box. Perbedaan ini disebabkan sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut yang menyebabkan peningkatan asam laktat
yang menyebabkan
denaturasi protein yang berakibat hilangnya daya ikat air oleh daging sehingga daging menjadi keras.
5.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, disarankan : 1.
Dalam pembangunan restraining box perlu diperhatikan desain dan ukuran yang disesuaikan dengan besarnya sapi yang akan dipotong, sehingga ini dapat dijadikan sebagai saran/masukan bagi pemerintah
28
maupun stakeholder yang lain dalam pembangunan restraining box di RPH. 2.
Perlu adanya standard operating procedures (SOPs) yang baku mengenai penggunaan restraining box di RPH, sehingga pekerja memahami dengan baik penggunaan restraining box dengan baik dan benar.
3.
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aspek kualitas daging lainnya seperti kualitas sensorik dan masa simpan daging dari sapi yang dipotong dengan menggunakan restraining box di RPH.
4.
Penggunaan restraining box di RPH dinilai sangat penting agar hewan yang akan dipotong mudah ditangani dan dirobohkan supaya tidak mengalami stres yang berdampak pada kualitas daging dan keamanan pekerja
29
DAFTAR PUSTAKA Anonymus, 2007. Manual Report Restraining Box Project Apfindo: MLA and Livestock Press Bouton PE. Harris PV, Shorthose WR. 1971. J. Food Sci. 36, 435. Bratzler LJ. 1971. The Science of Meat and Meat Products.2nd ed. W.H. Freeman and Co., San Francisco. Davey CL, Kutiel H and Gilbert KV. 1967.J. Fd.Tecnol.2,53 Departemen Pertanian. 1992. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya; Deptan;1992. Dodge JW. Peters FE. 1960. Temperature and pH change in poultry breast muscle at slaughter. Poultry Sci. 39: 765-768. Forrest JC. Aberle ED, Hendrick HB, Judge MD dan Merkel RA. 1975. Principles of Meat Science. San Fransisco: WH Freeman and Company. Grandin 1991. Double Restrainer for Handling Beef Cattle. USA : American Society Agricultural Engineering. Kementerian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging; Kepmentan;2010. Lawrie RA. 1979. Meat Science. 3rd ed. Edinburgh: Pergamon Pr. Lukman DW et al. 2008. Kesmavet FKH IPB
Penuntun Praktikum Higiene Pangan.
Bogor :
Lukman DW et al. 2007. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Prodjodiharjo S. 2002. Pengelolaan Daging. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey Soeparno 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. University Press.
Yogyakarta:
Gadjah Mada
Weir CE. 1960. The Science of Meat and Meat Product. Ed. Amer.Meat Inst.Found. Reinhold Publishing Co. .New York
Lampiran I. Nilai Rataan, Galat baku dan Hasil Uji t-Student
pH jam ke-1 pH jam ke-6 pH jam ke-8 pH jam ke-10 Drip loss jam ke-6 Drip loss jam ke-8 Drip loss jam ke-10 Cooking loss jam ke-6 Cooking loss jam ke-8 Cooking loss jam ke10 Keempukan
Perlakuan Restraining Box Non Restraining Box Restraining Box Non Restraining Box Restraining Box Non Restraining Box Restraining Box Non Restraining Box Restraining Box Non Restraining Box Restraining Box Non Restraining Box Restraining Box Non Restraining Box Restraining Box Non Restraining Box Restraining Box Non Restraining Box Restraining Box Non Restraining Box Restraining Box Non Restraining Box
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Mean 6.31 6.23 5.69 5.67 5.58 5.53 5.69 5.58 6.39 6.67 5.89 6.75 6.62 7.30 41.61 43.68 40.98 42.95 41.54 44.89 2.98 3.65
Std. Error Mean 0.04 0.08 0.03 0.04 0.02 0.03 0.03 0.04 0.60 0.50 0.51 0.43 0.35 0.52 0.24 0.38 0.27 0.49 0.36 0.61 0.17 0.24
Hasil Uji tStudent tn tn tn * tn tn tn * * * *
Keterangan: tn : Tidak ada perbedaan nyata antara perlakuan restraining box dan non restraining box pada α=0.05 * : Terdapat perbedaan nyata antara perlakuan restraining box dan non restraining box pada α=0.05
Lampiran II. Hasil Uji T Dan Selang Kepercayaan 95% Selisih Rataan Antara Perlakuan Restraining Box Dan Non Restraining Box t
derajat bebas
Sig. (2tailed)
Selisih nilai tengah*)
Galat baku selisih nilai tengah
Selang kepercayan 95% selisih dua nilai tengah batas bawah
Batas atas
pH jam ke-1
0.90
48
0.38
0.08
0.09
-0.10
0.25
pH jam ke-6
0.55
48
0.59
0.03
0.05
-0.07
0.12
pH jam ke-8
1.23
48
0.22
0.05
0.04
-0.03
0.13
pH jam ke-10
2.07
48
0.04
0.11
0.05
0.00
0.22
Drip loss jam ke-6
-0.35
48
0.73
-0.28
0.78
-1.85
1.30
Drip loss jam ke-8
-1.28
48
0.21
-0.86
0.67
-2.22
0.49
Drip loss jam ke-10
-1.07
48
0.29
-0.67
0.63
-1.94
0.59
Keempukan
-2.27
48
0.03
-0.67
0.30
-1.26
-0.08
Cooking loss jam ke-6
-4.58
38
0.00
-2.07
0.45
-2.98
-1.15
Cooking loss jam ke-8
-3.52
38
0.00
-1.97
0.56
-3.12
-0.84
Cooking loss jam ke-10
-4.75
38
0.00
-3.35
0.71
-4.78
-1.92
Keterangan : *)Selisih antara rataan perlakuan restraining box dan non restraining box Jika nilai selisih nilai tengah dan selang kepercayaan 95%-nya bernilai negatif, artinya perlakuan non restraining box menghasilkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan restraining box.