Penggalan Alasan Oleh: Muhammad Hilmy An Nabhany
Saat itu aku menatap mereka lamat‐lamat, mereka berdiri di depan Ratih dengan raut wajah emosi. Mereka adalah Ery, Rio, dan Yogga dengan tangan tolak pinggul dan dilipat di dada. Mereka dengan arogan memaki Ratih dengan emosi menggebuh‐gebuh. “Gue tahu, lu pinter! Tapi, nggak usah ngelapor‐lapor dong! Biarin kita‐kita yang dosa. Elu anak baik‐baik mah diem aja.” Teriak Yogga. Jam istirahat baru dimulai, kelas begitu sepi. Hanya ada kami berlima yaitu aku, Ratih, Ery, Rio, dan Yogga. Aku di kelas sebenarnya bukan ingin membantu Ratih ataupun ikut marah‐marah seperti Ery, Rio, dan Yogga. Aku hanya terjebak malas. Ery menatap ke arahku. “Lu diem aja ya, Lih! Awas lu ngomong sama anak‐anak dan Pak Anto.” Ancam Ery yang habis dimarah Pak Anto selaku dosen Kalkulus. Ratih menunduk sedang menahan isaknya, aku bisa melihatnya dari punggung Ratih yang bergemetar. Aku menatap ke arah Ery dan menaiki jempolku. “Oke.” Kataku dengan santai. Ery tersenyum ke arahku dan mengangguk. “Jadi, gue tanya lagi deh.” Kata Ery ke arah Ratih. “Maksud elu ngelaporin kita nyontek quiz kemarin apa?” Ratih terdiam. Ery sedikit murka, dia menendang meja di sampingnya. “Wah, gawat lu Tih. Gue salah apa sama elu? Ini bukan yang pertama lho, Tih. Gue inget banget sampe digampar gue sama Pak Benjamin, waktu itu beruntung gue gak tahu elu yang ngelapor, jadi gue simpen itu dendam. Tapi, untuk sekarang untung gue ada yang ngasih tahu, dan akhirnya gue tahu dibalik kemarahan dosen selama ini sama gue siapa.” Ratih masih terdiam menunduk, dan kini dia benar‐benar terisak. Dia tidak bisa menahannya lagi, air mata membasuh pipinya dan menjatuhi tangannya. Dia perlahan mendongak. “Maaf.” Katanya dengan lirih. “Nggak usah nangis, mentang‐mentang elu cewek, elu pikir dengan nangis beres ini masalah?” kata Rio dengan menoyor lengan Ratih. Aku masih melihat mereka. Aku tahu Ratih, tapi aku tidak dekat. Dia memang anak baik dan pintar, tapi dia terlalu polos. Dia pikir dengan melaporkan anak‐anak nakal itu permasalahan kelar? Padahal dia justru terjebak masalah baru yang ia perbuat. Sebenarnya yang terus kupikirkan dan membuat aku terheran‐heran ialah apa masalah Ratih sampai dia benar‐benar mencari masalah seperti ini? Beberapa kali
Ratih melakukan hal yang menurutku tidak perlu. Seperti memberitahu pengawas ketika ujian berlangsung berisik dan banyak yang menyontek, memberitahu dosen ketika ada yang tukar jawaban saat mengerjakan tugas harian. Itu bukannya suatu yang lazim di dunia pendidikan kita sekarang ini? Setelah dari pertengkaran itu, Ratih masih terdiam. Sementara itu Ery dan kawan‐kawannya sudah puas memarahi Ratih dan mengancamnya. Mereka sudah keluar dari ruang kelas dan meninggalkan kami berdua yang tak lama ada beberapa teman yang kembali dari kantin dengan membawa jajanan yang mereka beli. Dari situlah rasa penasaranku seolah membuncah, aku harus mencari tahu apakah Ratih benar‐benar melakukan semua hal yang mengerikan itu dengan polosnya? Sudah tiga belas tahun aku melaksanakan pendidikan, aku tidak pernah melihat murid yang berani mencari perkara dengan hal seperti itu. Aku lebih sering melihat mereka yang rebutan pacar, rebutan duit, dan rebutan mantan. Ya tidak jauh dari itulah. Aku mengenal Ratih dari semester 1, dan kupikir dia anak pinter pendiem biasa saja. Walau terkadang dia bertanya sesuatu yang terkesan polos dan sepele, tapi aku pikir dia benar‐benar anak pinter selazimnya. Tapi, dugaanku salah, dia benar‐benar aneh. Dia benar‐benar anak pinter yang suka mencari perkara. Aku terkadang ingin tertawa kasihan melihatnya, padahal jika dia diam saja, semua akan baik‐baik saja, toh Ery dan kawan‐kawan bukanlah pesaing dia dalam mendapatkan IP tinggi di kelas. Ratih terlalu superior, tapi apakah kecemburuan nilailah yang mendasari dia dalam melakukan semua itu? Pagi menjelang siang itu, awal bagiku dalam mempelajari pola pikir Ratih yang cukup aneh. Orang pinter yang tak lazim, kecemburuan nilai? Aku masih tidak percaya itu landasan atasan perbuatannya selama ini.
*
Aku berdiri di koridor kelas, anak‐anak berhamburan pulang. Kupikir Ratih pulang paling akhir setelah dimaki‐maki oleh Ery dan kawan‐kawan, tapi dugaanku meleset. Dia sudah pulang tanpa kusadari. Aku pun segera bergegas ke parkiram motor lalu menuju ke rumahnya. Walau aku tidak pernah ke rumah Ratih sebelumnya, setidaknya aku tahu Ratih memiliki rumah di daerah kota dengan tipe rumah cluster Paris, dia anak yang terjaga, rajin les, dan ahli balet. Itu yang kupahami tentang Ratih selama ini. Tapi, semua itu ternyata tidak cukup untukku kemana aku harus melaju. Aku hanya menarik gas motorku di atas jalan protokol Buah batu, suasana cukup padat. Aku berjalan di jalur kiri, lantas ada angkutan umum menghadangku dan berhenti seenaknya di depanku. Aku ingin berteriak dan berkata kasar kepada supir angkut, tapi ucapanku tertahan. Seorang wanita turun dari mobil itu, dan jika aku cermati, dia, dia adalah Ratih. Apakah ini sebuah kebetulan? Atau takdir Tuhan? Aku tersenyum.
Aku melajukan motorku ke sebuah warung sebelum aku masuk gang dimana Ratih berjalan. Aku menitipkan motorku dan berjalan kaki menguntit Ratih. Dia berjalan melewati sebuah gang, dimana gang tersebut menghubungkan jalan protokol Buah batu dengan sebuah pemukiman yang tidak terlalu elit, dibanding Cluster Paris yang aku pahami. Jalanannya cukup mendaki, ketika melihat Ratih lagi, dia sedang tergesa‐gesa sambil menunduk. Aku yang takut kehilangan jejak Ratih juga menaikkan tempo jalanku. Tapi, semua itu justru membuatku melakukan kesalahan. Tiba‐tiba dia berbalik. Ya, aku tertembak, aku tidak bisa menghindar. Misi menguntitku telah gagal, Ratih menyipitkan matanya dan menatapku baik‐baik. “Siapa itu?” Aku menyengir. “Galih, Tih.” Ratih terdiam sejenak, dia seperti berpikir untuk harus mengatakan apa kepadaku. Setelah ada jeda beberapa detik, dia bertanya. “Mau kemana, Lih?” Tanya Ratih dengan suara yang parau, efek dari tangisnya saat di kelas yang masih membekas. Aku tersenyum dan melihat sekitar. “Gue lagi mau main ke rumah temen gue, Tih. Lu sendiri mau kemana? Bukannya rumah elu di kota, Tih?” Aku pura‐pura sewajarnya tanpa curiga, walau aku tahu pasti aktingku sangat buruk. Ratih tertawa kecil. “Bohong ya lu, Lih?” Tanya Ratih. “Maksudnya bohong?” “Sejak kapan rumah gue di kota?” Aku menyipitkan mataku, apakah aku sedang dipermainkan. “Maksudnya, Tih? Bukannya lu emang tinggal di sana ya? Kata anak‐anak gitukan?” Ratih tertawa. “Itu dulu.” Kata Ratih. Aku terkejut, “Hah?” kataku tersentak begitu saja. “Sekarang?” “Mau mampir?” Aku tersenyum. “Boleh.” Ini pertama kalinya aku dekat dengan Ratih, hanya ingin mencari tahu alasan Ratih, hanya ingin tahu siapakah Ratih sebenarnya? Manusia seperti apakah Ratih itu? Aku berjalan bersama Ratih. Dia tidak bicara sepatah kata pun, perjalanan ini hening, sangat hening, aku pun ragu untuk memulai pembicaraan, apa yang harus aku tanyakan? Masalah Ery? Tidak, itu sangat tidak etis. Masalah pelajaran? Oh tidak, aku tidak paham apa‐apa sebenarnya. Baik, aku juga ikutan terdiam di perjalanan itu. “Memangnya‐“ Tiba‐tiba dia membuka pembicaraan. “Lu mau ke rumah siapa? Rumahnya dimana?”
Aku terdiam, menelan ludahku sendiri. Jurang kebohongan memang sangatlah dalam, jika sekali berdalih dengan kebohongan, maka akan semakin dalam dan semakin dalam terjerumus ke dalamnya. Apakah aku harus mengakuinya? Aku akan sangat malu dan merasa terlihat ingin berbuat jahat ke Ratih jika ia tahu aku ingin menguntitnya. “Sebenarnya aku tidak ingin pergi kemana pun.” Ratih menghentikan langkahnya dan menatapku, dia melihat sekitar lalu berjalan mundur. “Lu sama Ery dan lain‐lainnya ya?” Aku menggeleng. “Nggak, gue nggak berpihak sama mereka kok. Gue malah heran sama elu, kenapa elu ngelakuin semua itu?” Ratih terdiam lalu berjalan meninggalkan. Aku berjalan mengejar Ratih, tapi dia semakin cepat, dia berjalan menelusuri gang‐gang, hingga akhirnya dia berhenti di suatu rumah dengan napas tersengal‐ sengal. Aku pun berhenti di sebelahnya dengan merukuk kelelahan, kami berlari sekitar 300 meteran dan itu melelahkan sekali, terlebih aku tidak pernah olahraga. Ratih melihatku yang berdiri di sebelahnya. “Lu bener‐bener ingin tahu?” lalu dia melihat ke arah sebuah rumah ukuran 3x8 meter, dengan warna putih yang sudah memudar dan dipenuhi bekas tangan yang menempel di permukaan cat. Ratih tersenyum. “Tidak ada orang di rumah.” Dia berjalan membuka pintu, lalu menaruh tasnya ke bagian dalam rumahnya yang tidak lain langsung ruang tamu yang sebelumnya disulap menjadi tempat tidur. Aku bisa melihat lipatan kasur di sudut ruangan dan ada satu meja untuk tempat televisi. Kepalaku dihantui dengan banyak pertanyaan. Pertama, dia tinggal sama siapa? Lalu rumah yang dibilang oleh teman‐temannya apakah itu sebuah olokkan? Aku belum mampu membuka mulut dan bertanya. Tiba‐tiba dia keluar dari rumahnya lalu berdiri di pintu seraya membawa gelas dan air mineral. “Mau di dalem atau dihalaman? Hehe, maaf ya sempit.” Kata Ratih berusaha seperti biasa. “Eh?” Aku menjadi canggung, aku hanya menuruti kemauan Ratih saja.
*
Sejak itu aku tidak melihat Ratih yang berbeda, dia tetap terdiam di kelas dan tetap polos. Saat semua pergi ke kantin, dia terlihat membuka bekelnya dan memakannya. Kupikir dia membuat bekelnya sendiri. Dia memakannya dengan menunduk, perlahan suap demi suap. Aku masih tak bergeming dari tempat dudukku. Sejak hari itu akhirnya aku paham kenapa sesuatu terjadi. Semua kejadian itu pasti ada karena ada suatu sebab. Saat aku paham akan itu, aku mengerti akan semua tindakan Ratih. Tapi, aku tidak mampu berbuat banyak, aku hanya bisa memandang Ratih yang terus berusaha untuk menjadi seorang yang berbeda (dalam artian lebih baik) dari yang lain. Walau orang lain melihatnya menyebalkan, tapi terkadang kebaikan dan kejujuran memang menyebalkan.
Sudah seperempat jam istirahat semenjak dimulai, Ery dan kawan‐kawannya kembali dengan cepat dari kantin dan menuju ke meja Ratih. “Tih.” Kata Ery. Ratih perlahan menoleh ke arah Ery, Ratih memasang air muka penuh ketakutan. “Maafin kita ya, Tih.” Kata Ery yang membuat Ratih terkejut. “Hah?” heran Ratih. Ery tersenyum, sekilas dia menatap ke arahku. Dan Ratih refleks melihat ke arahku. Lalu mereka kembali bercakap. “Semua itu salah kami, gue akhirnya tahu, kenapa orang kayak kita harus mendapatkan pelajaran.” Aku tersenyum sambil menyenderkan kepalaku ke tanganku dengan malasnya dan terus melihat mereka. “Kenapa tiba‐tiba begitu?” Tanya Ratih keheranan. Yogga mengambil kertas dari sakunya. Dia menunjukkan kertas quiz tiga hari yang lalu, tentunya setelah mereka dimarahi habis‐habisan oleh Pak Anto, setelah mereka memarahi Ratih karena tindakannya, dan setelah aku mengetahui semua alasan Ratih. “Lihat!” Yogga membanggakan diri. Ratih semakin bingung. “Gue nggak paham, kalian masih kesal sama gue?” Kata Ratih terbata‐bata. Yogga menatap ke arah Rio dan Ery. Mereka bertiga menggeleng. “Gue nggak tahu ya, Tih, walau gue dapet nilai 50 doang, tapi—“ Yogga malu‐malu untuk bicara. “Tapi, kita merasa senang. Rasanya hati tuh lega, saat dimarahi orang tua juga kita merasakan sensasi yang berbeda, bagaimana ya bilangnya, hati itu tenang, dan kita malah menganggap orang tua sedang bercanda ke kita ketika marah‐marah.” Timpal Rio. “Kita berterima kasih, untuk kali ini, kita pertama kalinya kehilangan rasa takut akan nilai jelek, tapi kita takut, jika kita tidak bisa menjadi lebih baik.” Kata Ery. “Ah, elu, Ry, sok keren ngomongnya.” Sindir Rio. “Intinya, ujian kali ini, nilai jelek pun kami merasa lega, hati ini tidak bisa dibohongi, untuk besok, nilai kami nggak akan jelek.” “Iya!” timpal Yogga. “Karena Ratih yang akan mengajari kita.” Gurau Yogga. “Nanti gue teraktir deh, santai, Tih.” Lalu mereka bertiga tertawa. Ratih yang sedari tadi bingung, lantas perlahan tertawa dan mengangguk‐ ngangguk. Tampaknya, kesakitan dari kejujuran dan kebaikan itu sebenarnya gerbang menuju kedamaian dan keeratan sesuatu hal. Ery menatap ke arahku, dia pikir aku yang membuat semuanya berubah. Tapi dia salah, Ery telah salah. Ratih yang membuatku berubah, tindakannya bukan tanpa sebab, bukan sok hebat, tapi kebaikan yang menyakitkan itulah gerbang kesadaran. Tidak ada hasil yang indah tanpa pengorbanan yang berat dan menyakitkan.
Setelah mereka baikan, sepulang kelas Ratih tidak langsung pulang. Aku bisa melihat dia tetap di kelas, lalu Ery dan kedua temannya dengan malu‐malu berjalan mendekati meja Ratih untuk belajar bersama, terlebih jika ada tugas. Mereka mengerjakannya bersama‐sama di kelas seberes kelas itu pula. Sungguh luar biasa. Aku tidak tertarik ikut mengerjakan tugas, aku hanya melihat mereka sembunyi‐ sembunyi di dekat pintu kelas. Dan beberapa anak yang sudah curiga akan perubahan Ery, Rio, dan Yogga ikut bersamaku. Mereka menahan tawa, dan memberiku jempol. Kejujuran itu tidak bisa disimpan dalam‐dalam, karena jika begitu kepahitan akan terus terjadi. Jika kejujuran itu sudah disampaikan dengan jalur kebaikan. Sejahat apapun manusia diluar sana, mereka pasti akan luluh. Karena kebaikan tidak bisa dibohongi dalam hati.
*
“Apa yang terjadi, Lih?” Tanya Sasa, aku dan beberapa temanku sedang duduk di kantin seberes mengintip Ery dan kawan‐kawannya yang sedang bersama Ratih dalam mengerjakan tugas bersama‐sama. “Gue harus mulai dari mana ya?” tanyaku pada diriku sendiri. Tea ternyata lebih penasaran. “Sebenarnya apa yang terjadi sama Ratih? Bukannya dia memang begitu ya sifatnya? Tukang ngadu dan sok pinter?” Aku menatap ke Tea, aku menertawakannya. Ternyata banyak orang berpikir Ratih demikian, aku pun serupa sebenarnya. Tapi, berkunjung kerumahnya ibarat membiarkan seekor lalat keluar dari toples, ternyata banyak yang telah terjadi di luar toples, dan aku tidak bisa menyalahkan apa yang terjadi di luar sana, karena aku sendiri yang terlalu nyaman di dalam toples. “Apa heh?” Tanya Ridho juga penasaran. “Jika kalian pikir ini perkara yang rumit, sebenarnya ini hal sepele. Tapi, jika ini menyakitkan, gue pikir ini cukup menyakitkan. Dan hal menyakitkan itu dapat mengubah seseorang dari apapun menjadi apapun.” Kataku yang berhasil membuat teman‐temanku kebingungan. “Maksudnya?” Aku tertawa lagi, aku senang sekali membuat mereka semua kebingungan. “Jadi begini, terkadang kita terlalu fokus apa yang ia lakukan. Semua setuju?” tanyaku, mereka terlihat berpikir lalu mengangguk dan berkata setuju. “Tapi, kita lupa bertanya‐ tanya, mengapa orang itu melakukan semua itu? Setuju?” tanyaku lagi. Mereka semua mengangguk lagi, tapi ada yang menyanggah perkataanku. “Tapi, kita kan tahu, dari semester pertama juga diakan orangnya gitu, pinter tapi sok polos, kadang kasihan sih ngelihatnya kaya orang ansos (anti‐sosial) gitu, tapi dia juga nyebelin sih terkadang sama sifatnya itu.” Sanggah Rama.
Aku tersenyum lebar. “Itulah kenapa kita semua telah berbuat kesalahan. Terkadang kita yang sok tahu dan sok kenal, padahal kita benar‐benar jauh dengan dia.” Mereka semua mendadak mengangguk‐ngangguk. “Jadi?” Tanya Sasa. Aku menatap Sasa dan memberikan senyuman terbaikku. “Beberapa minggu yang lalu, gue pergi ke rumahnya, gue kira rumahnya seperti yang kalian bilang, di Cluster Paris. Tapi, ternyata salah.” “Hah?” Semua pada terkejut. “Lho? Bukannya emang rumahnya di situ? Awal masuk gue sempet ke rumahnya, besar banget rumahnya, Orang tuanya jarang di rumah sih, tapi ada dua asisten rumah tangga, pokoknya dia anak terawat banget deh.” Kata Tea yang meninggi‐ninggikan Ratih. Dan aku tidak pernah berpikir Tea berbohong akan hal itu, karena kenyataannya memang itu pernah terjadi. “Itu dahulu, sebelum ayahnya dipenjara dan rumah serta harta bendanya di sita.” Aku mendadak sedih. “Aku tidak tahu benar atau tidak jika menjelaskan semua ini, tapi kalian semua harus tahu bahwa ayah dan ibunya masuk penjara setelah mereka tertangkap dalam penggelapan uang di sebuah perusahaan batu bara, dan itu sudah terjadi semenjak semester 1, mungkin setelah Tea berkunjung ke rumahnya.” Tea menelan ludahnya, yang lain saling melirik dan jadi semakin penasaran. “Terus?” “Ya, akhirnya dia tinggal berdua dengan adiknya di kontrakan tapi kalau weekend, adiknya pergi ke rumah neneknya. Dan dia masak sendiri, mencuci sendiri, kontrakannya pun dibayarkan oleh neneknya.” Semua tidak mau berkomentar. “Dan apa hubungan semua itu dengan apa yang ia perbuat?” Semua menunggu perkataanku. “Ya, semenjak itu, dia benar‐benar benci dengan ayah dan ibunya, sangat membencinya. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk berbuat semua ini, dia benci orang seperti Ery dan kawan‐kawan, ataupun kita yang menyontek. Karena apa? Karena dia tahu, konsekuensinya nanti. Karena dia sudah mengalami kekecewaan dari orang tuanya, dan dia berpikir semua itu berawal dari hal sepele.” “Maksudnya hal sepele?” tanya Rama. Aku tersenyum. “Ya, ayahnya menjelaskan semua permulaan dia memulai menggelapkan uang, pertama, ceritanya mudah saja, saat pengadaan, ayahnya iseng memasang harga pengadaan yang cukup tinggi tanpa dicurigai, permulaan itulah yang menyeretnya menggelapkan uang bermiliaran, dan menariknya dibantu oleh istrinya yang merupakan pegawai situ juga. Dan dari situ Ratih berkata kepadaku.” “Apa?” tanya Sasa.
Aku menatap Sasa. “Jika lu sudah berjalan di atas keburukan, maka seterus yang dilakukan adalah keburukan terus. Sama halnya kita berbohong, saat ingin menutup kebohongan itu, kita lakukan dengan menggunakan kebohongan lainnya, dan semua itu terus berlanjut, dari kebohongan yang kecil, bertambah‐bertambah‐bertambah hingga menjadi sebuah gumpalan kebohongan yang sangat besar, dan setelah kita menyadari kebohongan yang kita lakukan, kita sudah tidak bisa keluar dari kebohongan itu, dan kebohongan atau keburukan itu sudah menjerat kita.” Mereka semua menelan ludah, terdiam sejenak, lalu mengangguk‐ngangguk. “Gue paham, dan lu menceritakan semua ini ke Ery dan kawan‐kawan?” Aku mengangguk. “Tidak ada yang perlu di sembunyikan, karena kebaikan dan kejujuran harus ditegakkan dan diperlihatkan, bahwa nggak selamanya kegagalan adalah keburukan, tapi keburukan adalah sebuah kegagalan kita dalam menjalani kehidupan.” Rama menoyor bahuku. “Gila, lu jadi keren begitu, Lih.” Mereka semua tertawa. Saat itu, kita semua paham, apa yang kita lakukan pasti ada sebab. Dan sebab itu adalah pelajaran paling berharga kita. Apakah kita menjadi baik atau buruk? Bukan seberapa besar kesalahan yang kita perbuat, tapi seberapa cepat kita menyadarinya dan berubah. Keburukan kecil adalah permulaan keburukan yang besar. Kebaikan kecil pun tak ada bedanya. Mereka semua akan tumbuh, karena waktu terus berjalan. Aku terus kepikiran, apakah kita sudah mengenalinya—Ratih—lebih dekat? Atau kita sebenarnya masih terlalu jauh atau tak pantas mengenalnya? Aku menatap ke arah kelas, dan mereka—Ery, Rio, Yogga, dan Ratih—sudah keluar dari kelas dengan bahagia. Ery memberikan tos kepada Ratih, dan mereka semua tertawa. Lalu tanpa berpikir panjang aku memanggil mereka. “Ratih, Ery, Yogga, Rio, kalian habis ngapain hayooo?” Kami dari arah kantin tertawa. Mereka terkejut dan merasa malu. Malu demi kebaikan, mungkin sesuatu yang menggemaskan. Sejak hari itu, aku pun tidak menyontek lagi, kami membuat grup belajar sendiri. Walau lebih banyak bercandanya, tapi nilai yang kami dapat rasanya menenangkan di hati. Karena hati tidak bisa dibohongi bukan?
***