PENGETAHUAN TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DALAM UPAYA PELESTARIAN FUNGSI HUTAN LINDUNG Studi Deskriptif di Kecamatan Borong- Kab. Manggarai Timur KNOWLEDGE ABOUT ENVIRONMENT IN THE STRUGLE OF CONSERVATION TO TAKE CARE OF CONSERVATION FOREST FUNCTION
FERDINANDUS SAMRI, S.S.,M.Pd NIDN: 0830057902 ABSTRACT The objective of the research is determining the link of Knowledge about environment of societies and the effort of conservation to take care of conservation forest function. The societies where lived nearby forest conservation in sub region of Borong needs to increase their knowledge about environment. Base on the data analysis that stemmed from the object of this research found: First, The fact that people whose lived in around / closed to conservation forest area have been owned knowledge about environment. Generally their knowledge about environment stemmed from formal education and also non formal which obtained by training and sharing of knowledge about environment by the government of East Manggarai region. Beside that, their knowledge about environment they stemmed from traditional knowledge form which endowment of their ancestor. Second, the conservation effort to take care forest conservation function in sub region of Borong was conducted by the government in cooperative with various inter technical instance; and Third, the effort of society to take care of conservation forest function nowadays is better then before, they have knowledge about environment, it’s present by their eagerness to join in all the activities for the sake of conservation forest function in the future.
I . PENDAHULUAN Hutan merupakan bagian terpenting yang menggerakan roda perekonomian masyarakat Indonesia. Luas kawasan hutan Indonesia menurut perhitungan resmi
1
terkini seluruhnya mencapai kurang lebih 120 juta hektar diyakini mampu menjadi sumber kehidupan langsung bagi 20% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan.1 Di beberapa daerah, masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar kawasan hutan adalah masyarakat yang tergolong miskin. Hal ini diperparah oleh tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka yang masih rendah. Di Kabupaten Manggarai Timur pada umumnya masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar kawasan hutan adalah masyarakat yang tergolong miskin. Mata pencaharian mereka yang utama adalah bertani dan masih menerapkan sistem perladangan berpindah dan bertani menetap. Disamping bertani masyarakat yang bermukim disekitar kawasan hutan mencari penghasilan tambahan dengan cara mengambil rotan, menggembala ternak, mengambil kayu dan hasil hutan lainnya. Hal ini mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan dan mengganggu keseimbangan ekologi hutan. Topografi Kabupaten Manggarai Timur kurang lebih 80% merupakan daerah pegunungan dan bukit. Kawasan yang dijadikan hutan lindung hampir seluruhnya terdapat di pegunungan dengan demikian dapat dipastikan bahwa jenis hutan yang terdapat di Kabupaten Manggarai Timur adalah hutan pegunungan campuran. Letak kawasan hutan lindung yang terdapat di area pegunungan ini yang memungkinkan terjadinya berbagai dampak buruk bagi berbagai sektor kehidupan masyarakat karena kerusakan di beberapa bagian kawasan hutan. Pemahaman tentang lingkungan hidup sebagai sebuah pengetahuan lingkungan pada penduduk Kabupaten Manggarai Timur membentuk suatu sikap kritis dan tanggap terhadap berbagai gejala dan fenomena lingkungan yang berubah dari waktu ke waktu. Fenomena lingkungan hidup yang umumnya terjadi yang dapat dicerap sebagai pengetahuan lingkungan hidup masyarakat Kabupaten Manggarai Timur meliputi berbagai bentuk bencana alam yang terjadi di daerah asal seperti tanah longsor, kebakaran hutan, kemarau panjang, keringnya beberapa sumber mata air, terjadinya banjir yang berakibat pada putusnya jembatan-jembatan penghubung antar daerah, gagal panen dan lain-lain yang berakibat pada meningkatnya angka kemiskinan penduduk. Rentetan bencana alam yang terjadi hampir setiap tahun di Kabupaten Manggarai Timur telah menjadi bahan refleksi masyarakat, “apa yang salah dengan penduduk Kabupaten Manggarai Timur”. Pertanyaan yang sederhana ini menjadi katalisator bagi masyarakat Manggarai Timur untuk mencari dan memberikan jawaban yang berbeda sesuai dengan cara pandangnya masing-masing. Bagi kelompok masyarakat yang berpikir secara ekstrim menilai bencana alam yang terjadi adalah suatu kutukan, namun bagi kelompok masyarakat yang peduli pada lingkungan hidup menilai bencana alam sebagai reaksi alam terhadap tindakan 1
Untung Iskandar, Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan, ( Jogjakarta: Debut Press. 2004 ), h. 1.
2
manusia yang kurang bertanggungjawab atau tindakan yang tidak mencirikan sikap ramah terhadap lingkungan hidup. Dalam kategori ilmiah atau pengetahuan yang bersifat aposteriori yang berakar pada fakta empiris, pandangan bahwa bencana alam terjadi karena sikap atau perilaku manusia yang kurang bertanggungjawab merupakan suatu kerangka pemikiran yang logis dan dapat diterima akal sehat. Misalnya, kebakaran hutan terjadi karena ada masyarakat yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja membakarnya; terjadinya tanah longsor karena ada tindakan atau perilaku manusia yang menggundulkan hutan tanpa diikuti oleh tindakan penghijauan atau reboisasi. Dengan kata lain, setiap perbuatan manusia atau individu masyarakat yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup akan berakibat fatal bagi kehidupan manusia di kemudian hari. Perlunya pengetahuan tentang lingkungan hidup terhadap masyarakat umumnya dan terutama masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan atau daerah hutan lindung adalah hal yang tidak dapat lagi dilihat dengan sebelah mata. Hal ini disebabkan karena krisis lingkungan di kawasan hutan lindung diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan tentang lingkungan hidup pada masyarakat, kurangnya sosialisasi tentang fungsi hutan lindung kepada masyarakat baik yang tinggal disekitar kawasan hutan lindung maupun masyarakat secara menyeluruh, tingkat pendidikan pada masyarakat di perkampungan masih rendah, dan adanya pemahaman masyarakat tentang hak ulayat pada suatu wilayah atau daerah hutan. Kerusakan hutan akibat tindakan manusia bukanlah issu yang baru dalam lingkungan masyarakat. Artinya, fakta adanya kawasan hutan yang rusak bukanlah pemandangan yang luar biasa sebab hal itu terjadi secara terus menerus atau bergulir dari waktu ke waktu. Masyarakat mengetahui dan menyadari akan adanya kerusakan hutan tetapi karena tingkat pengetahuan lingkungan yang dimilikinya rendah maka tidak ada rasa bersalah ketika seseorang menebang pohon untuk dijadikan ladang atau menggembalakan ternaknya di dalam kawasan hutan lindung. Masyarakat miskin dan juga masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung tentu tidak dapat disalahkan begitu saja. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang fungsi atau manfaat hutan lindung bagi kehidupan masyarakat juga menjadi penyebab adanya ketidaktahuan masyarakat akan fungsi hutan. Hal lain yang turut menyumbang terjadinya kerusakan lingkungan hidup adalah kebiasaan yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Manggarai Timur. Misalnya cara bercocok tanam dengan ladang berpindah-pindah yang merupakan warisan kebiasaan nenek moyang masyarakat Manggarai Timur telah menimbulkan degradasi hutan, terjadinya lahan tandus, lahan tidak produktif yang akhirnya berujung pada bencana alam. Ladang berpindah suatu bentuk pertanian-hutan yang paling sederhana, yang masih dipraktekan secara luas di seluruh nusantara.2 Faktor 2
Arsyad, Sitanala, Konservasi Tanah & Air ( Bogor: IPB Press. 2009), h. 299.
3
pendorong bagi penduduk Kabupaten Manggarai Timur untuk membuka ladang baru yaitu upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga yang dalam kategori Maslow meliputi dua kebutuhan pertama yaitu; kebutuhan fisiologis yang juga disebut kebutuhan primer atau kebutuhan dasar; dan kebutuhan rasa aman. Dasar pemikiran ladang berpindah-pindah pada masyarakat Manggarai Timur tergambar dalam ungkapan seperti “poka pong pande po’ong” yang artinya jika seseorang hendak membuat ladang yang bisa menghasilkan panenan yang banyak, mereka harus memilih untuk berladang di daerah hutan. Dengan suatu anggapan bahwa tanah di daerah hutan lebih banyak mengandung unsur hara dari pada tanah di luar kawasan hutan. Ada juga ungkapan lain seperti “poka puar pande uma” artinya jika seorang laki-laki hendak berladang haruslah ladang tersebut dibuat pada daerah yang terdapat banyak kayu bakar atau pada suatu tempat yang sebelumnya belum dijadikan ladang atau yang pernah dijadikan ladang tetapi sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Peribahasa lain yang juga menggambarkan kebiasaan masyarakat membuka ladang di daerah hutan dan sudah ditradisikan misalnya “lage wae holes golo” yang artinya jika seorang laki-laki ingin dihargai dan dikenal banyak orang hendaklah dia membuka ladang baru di tempat yang cukup jauh dari perkampungan dan harus berladang di tanah yang subur dan luas. Degradasi fungsi hutan di Kabupaten Manggarai Timur terjadi karena tuntutan kebutuhan ekonomi dan juga karena faktor hak ulayat. Pada masyarakat Kabupaten Manggarai Timur kekuasaan seorang kepala suku atau “tua golo” sangat berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat setempat. “Tua golo” mempunyai hak untuk membagikan tanah atau daerah kekuasaannya kepada penduduk setempat. Kegiatan ini kadang-kadang dilakukan tanpa sepengetahuan dinas kehutanan atau juga dinas lingkungan hidup dan atau instansi terkait lainnya, sehingga upaya pencegahan terhadap tindakan membuka lahan atau ladang berpindah seringkali kurang tepat pada waktunya. Upaya pencegahan selalu berujung pada pertikaian karena kurang tepat dalam penentuan waktu pelaksanaannya. Tindakan masyarakat yang seringkali mengakibatkan timbulnya kerusakan di beberapa titik kawasan hutan lindung menunjukan bahwa pengetahuan tentang lingkungan hidup sangat perlu bagi masyarakat Manggarai Timur. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memahami fungsi hutan lindung bagi keberlangsungan hidup dari generasi ke generasi, sebab penggundulan hutan akan memanaskan bumi misalnya; meniadakan pepohonan berarti tidak lagi menyerap karbondioksida, kebakaran hutan akan menamba lebih banyak lagi karbondioksida, banjir, longsor, kekeringan sumber-sumber air dan lain-lain. Fenomena yang dipaparkan di atas menarik untuk dikaji, khususnya pengetahuan tentang lingkungan hidup dalam upaya pelestarian fungsi hutan lindung di Kabupaten Manggarai Timur, karena menurut penulis tingkat pengetahuan
4
tentang lingkungan hidup masyarakat pelestarian fungsi hutan lindung.
akan
berpengaruh terhadap
tingkat
BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan dengan tujuan untuk membuat deskripsi yang dilakukan secara sistematis, berdasarkan fakta dan data yang akurat mengenai pengetahuan tentang lingkungan hidup pada masyarakat dan upaya pelestarian fungsi hutan lindung di Kecamatan Borong-Kabupaten Manggarai Timur. Peneliti mengumpulkan data dan menganalisis dengan didukung oleh teori-teori dari berbagai sumber acuan dalam menginterpretasikan hasil penelitian yang diperoleh dari lokasi diadakannya penelitian.
III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Temuan Penelitian 1. Gambaran Singkat Tentang Daerah Penelitian a. Letak Geografis Berdasarkan letak astronomis, maka letak Kecamatan Borong berada diantara: 080 14’ LS - 090 00 LS dan 1200 20’ BT – 1200 55’ BT. Sedangkan secara geografis (letak suatu daerah terhadap daerah lainnya), Kecamatan Borong berbatasan dengan: • Timur berbatasan dengan Kecamatan Kota Komba. • Barat berbatasan dengan Kecamatan Satarmese. • Utara berbatasan dengan Kecamatan Poco Ranaka • Dan Selatan adalah laut Sawu b. Topografi dan Luas Wilayah Wilayah Kecamatan Borong didominasi oleh kondisi topografi yang kasar dan medan bergelombang atau berbukit, serta daerah pesisir pantai. Topografi demikian dapat berpengaruh terhadap aktifitas penduduk, terutama dalam pembentukan pola pemukiman serta aktifitas pertanian yang diusahakan sebagian besar penduduk. Sedangkan daerah pegunungan didominasi oleh hutan lindung yang luasnya 7.000 Ha, yang ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam berdasarkan keputusan menteri kehutanan Nomor : 456 / Kpts-II / 1993, tanggal 24 Agustus 1993 dengan nama lengkap “Taman Wisata Alam Rana Mese”. Luas wilayah Kecamatan Borong adalah 49026 Ha, yang dibagi habis dalam 21 desa dan kelurahan. c.
Kondisi Demografis Berdasarkan inventarisasi data terakhir ( keadaan awal Januari 2009), penduduk Kecamatan Borong berjumlah 54.991 jiwa, dengan
5
rincian; 27.289 jiwa penduduk laki-laki, dan 27.702 jiwa penduduk perempuan. Sedangkan jumlah penduduk yang dihitung berdasarkan kepala keluarga (KK) sebanyak 11.387 Penduduk Kecamatan Borong dapat dikategorikan penduduk heterogen sehingga memiliki karakteristik penduduk yang berasal dari berbagai daerah dan etnis termasuk etnis Tionghoa yang sudah membumi di Kecamatan Borong. Ditinjau dari pola penyebaran penduduk di Kecamatan Borong, penduduk migran menempati daerah pesisir pantai dan kota. Pada umumnya kaum migran berasal dari berbagai etnis dan bekerja sebagai padagang dan nelayan yang persebarannya tidak merata di seluruh wilayah Kecamatan Borong. Adanya keanekaragaman penduduk di Kecamatan Borong menyebabkan pola adaptasi terhadap lingkungan termasuk aktivitas bidang ekonomi yang digeluti oleh penduduk berbedabeda. Hal ini dapat ditemukan dari pola penyebaran pemukiman penduduk yang cenderung disesuaikan dengan pemilihan aktivitas sosial-ekonomi mereka masing-masing. 1.
Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin Ditinjau berdasarkan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin ditemukan bahwa penduduk Kecamatan Borong lebih banyak terkonsentrasi pada kelompok umur 10-19 tahun, yaitu sebanyak 10.823 jiwa (19,68% ). Sedangkan jumlah paling sedikit terdapat pada kelompok umur 70-75 tahun atau lebih dengan jumlah 858 jiwa ( 1,56% ). Keadaan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, menunjukkan penduduk perempuan lebih banyak daripada penduduk laki-laki yaitu masing – masing 27.702 orang (perempuan) dan 27.289 orang (laki-laki). Berikut ini adalah data tentang komposisi penduduk Kecamatan Borong berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4. 1.
No. 1. 2. 3. 4.
Tabel 4. 1. KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT UMUR DAN JENIS KELAMIN Jenis Kelamin Kelompok Umur Frekuensi L P 0 -4 4019 4080 8099 5- 9 4194 4257 8451 10-19 5369 5454 10.823 20-29 4140 4202 8342
6
Frek. Rel ( %) 14,73 15,37 19,68 15,17
5. 6. 7 8 9
30-39 40-49 50-59 60-69 70-75
3645 2863 1592 1177 432
3591 2822 1568 1160 426
13,16 10,34 5,75 4,25 1,56
7236 5685 3160 2337 858
Jumlah 27 289 27 702 54.991 Sumber : Monografi Kecamatan Borong, 2009
100,00
2. Komposisi Penduduk Menurut Agama Penduduk Kecamatan Borong jika ditinjau dari urutan jumlah pemeluk agama berdasarkan banyaknya penduduk yang memeluk agama tertentu masing – masing adalah sebagai berikut; agama Kristen Katholik menempati urutan pertama yaitu 51.240 orang (93,79 % ), disusul pemeluk agama Islam 3.156 orang (5,78%), kemudian agama Kristen Protestan 228 orang (0,42% ), agama Hindu 8 orang (0,01%). Jumlah pemeluk agama terkecil adalah agama Budha yakni 2 orang (0,004%). Berikut ini adalah tabel data jumlah pemeluk agama selengkapnya.Tabel 4.2. KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT AGAMA No 1. 2. 3. 4. 5.
3.
AGAMA Kristen Katholik Islam Kristen Protestan Hindu Budha
Frekuensi 51.240 3.156 228 8 2 54.634 Sumber : Monografi Kecamatan Borong, 2007
FREK. Rel. ( %) 93,79 5,78 0,42 0,01 0,004 100
Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Ditinjau berdasarkan tingkat pendidikan yang pernah dikenyam penduduk Kecamatan Borong, ditemukan bahwa umumnya berpendidikan rendah yakni; yang berpendidikan 21.983 orang ( 39,98% ) kemudian yang tidak tamat SD 20.016 orang (36,40%). Sedangkan penduduk yang berpendidikan SLTP sebanyak 6.383 orang ( 11,61% ). Penduduk dengan tingkat pendidikan SLTA sebesar 4.759 orang (8,65%), sedangkan penduduk yang melanjutkan studinya sampai ke tingkat Perguruan Tinggi sebanyak 1.850 orang (3,36%). Berikut ini adalah data penduduk Kecamatan Borong berdasarkan tingkat pendidikan selengkapnya. Tabel 4.3.
7
KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT TINGKAT PENDIDIKAN Tingkat Pendidikan Frekuensi Frek. Rel ( %) Tidak sekolah / tidak tamat SD 20.016 36,40 SLTP 21.983 39,98 6.383 11,61 SLTA Diploma I/II 4.759 8,65 Akademi/ DIII 736 1,34 Sarjana (SI)/DIV 621 1,13 483 0,88 T.T 10 0,002 Jumlah 54.991 100 Sumber : Monografi Kecamatan Borong, 2009
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
4. Komposisi Penduduk Menurut Pekerjaan Wilayah Kecamatan Borong pada umumnya merupakan daerah pertanian, sehingga sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pekerjaan yang ditekuni sebagian besar penduduk Kecamatan Borong adalah bergerak disektor pertanian yakni sebesar 78,94% yang tersebar diseluruh wilayah Kecamatan Borong. Sedangkan jenis pekerjaan sebagai pedagang dan nelayan terkonsentrasi di kota Borong. Penduduk dengan pekerjaan sebagai TNI / POLRI sebanyak 122 orang ( 0,50%), sedangkan penduduk dengan pekerjaan tetap sebagai Pegawai Negeri Sipil yaitu sebesar 6,81% tersebar diseluruh wilayah Kecamatan Borong. Data pekerjaan penduduk Kecamatan Borong dikaji secara rinci sebagaimana tampak pada tabel 4.4 berikut ini :
No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
TABEL 4.4. KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT PEKERJAAN Pekerjaan Frekuensi Frek. Rel ( %) Petani 19.279 78,94 Pegawai Negeri Sipil 1.663 6,81 Nelayan 2.931 12 Swasta 110 0,45 TNI/POLRI 122 0,50 Lain – lain 318 1,30 Jumlah 24.423 100 Sumber : Monografi Kecamatan Borong,2009
5. Keadaan Ekonomi Penduduk Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan terhadap keadaan ekonomi penduduk Kecamatan Borong menunjukan bahwa sektor pertanian merupakan
8
sektor yang paling banyak digeluti oleh mayoritas penduduk Kecamatan Borong jika dikomparasikan dengan sektor – sektor lainnya (bandingkan tabel 4.4.). Dapat dipastikan bahwa sebagian besar penduduk di kecamatan Borong (78,94%) menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, sedangkan penduduk yang menggantungkan hidupnya sebagai nelayan dan pedagang umumnya berasal dari etnis Bugis – Makasar, Ende, Jawa dan beberapa warga China yang telah lama menjadi Warga Negara Indonesia di Kecamatan Borong. Aktifitas ekonomi yang terbesar atau mayoritas dilakukan penduduk di Kecamatan Borong adalah pertanian dan perikanan. Usaha pertanian dilakukan melalui teknik bertani secara tradisional di daerah perbukitan, maupun di daerah dataran rendah yang letaknya tidak begitu jauh dari jalan raya maupun pemukiman penduduk dengan komoditas utama adalah tanaman perdagangan seperti : kopi, cengkeh, panili dll. Teknik pengelolaan lahan pertanian yang masih bersifat tradisional yang dilakukan secara sendiri-sendiri dan tidak didukung oleh oleh adanya konsolidasi dalam pengelolaan lahan menjadi faktor pemicu lemahnya daya beli masyarakat. keadaan ini yang turut mendesak masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan lindung untuk mencari tambahan pendapatan keluarga dari sumber lain yang terdapat dalam kawasan hutan lindung. Penduduk yang melakukan kegiatan usaha bidang perikanan di Kecamatan Borong umumnya dilakukan secara tradisional di laut lepas dan kawasan pesisir pantai laut Sawu dengan menggunakan perahu bermotor. Kegiatan penagkapan ikan oleh para nelayan dipesisir pantai Borong menggunakan alat–alat penangkapan yang masih bersifat tradisional, sehingga hasil penangkapan ikan umumnya kurang mampu mendukung roda perekonomian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. •
Penyebaran Hutan Lindung Penyebaran kawasan hutan lindung di Kecamatan Borong terdapat di daerah pegunungan dan perbukitan yang membentang dari barat sampai ke timur. Sedangkan di dataran rendah hanya terdapat hutan rakyat atau hutan desa yang dikelolah oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Timur. Penyebaran hutan lindung yang menempati kawasan gunung dan perbukitan memberikan dampak yang sangat positif bagi kehidupan manusia dan ekosistem lainnya. Sebagai kawasan hutan lindung yang luasnya di wilayah Kecamatan Borong sekitar 7000 Ha, kawasan ini memberikan keindahan dan panorama alam yang diperkaya dengan nilai historis yang sangat kental bagi penduduk setempat dan berpotensi untuk dikembangkan dalam ranah ilmu pengetahuan,
9
pembangunan dan penetral arus pemanasan global yang kini telah menjadi topik opini dunia. Banyaknya spesies fauna seperti kera, babi hutan, burung rajawali, burung kakatua, ayam hutan dan lain – lain menjadikan kawasan hutan lindung ini sebagai habitat perkembangbiakan yang mempunyai nilai produktifitas yang tinggi. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, terutama mereka yang berdomisili disekitar kawasan hutan lindung. Disekitar wilayah Desa Golo Rutuk misalnya pada beberapa bagian kawasan hutan lindung tampak kondisinya telah kritis karena tindakan penebangan kayu dan pembukaan lahan baru untuk dijadikan lahan pertanian oleh penduduk setempat. Pelaksanaan ekstensifikasi lahan pertanian oleh penduduk yang seringkali dilakukan secara tidak bertanggungjawab dan melanggar hukum (against low) perlu dikendalikan. Selain karena tindakan perusakan hutan oleh masyarakat juga disebabkan oleh letak jalan propinsi yang membelah kawasan hutan lindung sehingga berpotensi untuk menimbulkan tindakan pencurian kayu yang dilakukan oleh warga masyarakat yang tidak berdomisili disekitar kawasan hutan lindung. Ada beberapa kegiatan dalam rangka pemanfaatan hutan yang dijumpai pada masyarakat disekitar kawasan hutan lindung yaitu penebangan pohon untuk bangunan dan untuk dijual yang umumnya dilakukan oleh warga masyarakat yang tidak bertanggungjawab baik yang berdomisili di sekitar kawasan hutan lindung maupun oleh warga masyarakat yang berasal dari daerah – daerah yang jauh dari hutan lindung, serta beberapa aksi pencurian satwa liar yang dilindungi seperti burung Kakatua dan fauna lainnya. Pemanfaatan hutan oleh warga masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan lindung berbeda-beda tergantung tingkat pengetahuan tentang lingkungan yang dimiliki masyarakat. Dari penuturan informan kunci diketahui pada umumnya masyarakat memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan akan papan (rumah), namun ada juga orang yang memnfaatkan hutan sebagai sumber ekonomi keluarga. Dengan bercermin pada banyaknya gangguan terhadap keberadaan kawasan hutan lindung baik dalam bentuk opini murni ataupun dalam bentuk tindakan pencurian kayu dan perladangan berpindah yang marak dilakukan oleh masyarakat dapat diasumsikan 10 tahun yang akan datang luas kawasan hutan lindung akan semakin sempit atau menyusut. Dengan demikian menjadikan suatu kawasan hutan sebagai kawasan lindung tidaklah cukup untuk menjaga kelestarian lingkungan. Perlu adanya aspek lain yang harus dikembangkan
10
dalam diri masyarakat seperti pengetahuan tentang lingkungan hidup yang memasyarakat. 2. Deskripsi Objek Penelitian Kegiatan penentuan lokasi atau tempat penelitian yaitu dilakukan dengan menggunakan teknik penentuan sampel non probabilitas dengan cara purposive sampling. Berkaitan dengan itu maka ditentukan milayah Desa Golo Loni yang terdiri dari 569 KK sebagai lokasi penelitian. Adapun alasan penentuan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan; pertama, tekanan terhadap keberadaan hutan lindung cenderung terjadi di wilayah ini sebab letak desa ini berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung dan obyek wisata Rana Mese yang terdapat di kawasan hutan lindung. kedua, hampir 99% penduduk Desa Golo Loni hidup dengan mata pencaharian sebagai petani. Maka kemungkinan terjadinya tekanan terhadap kebeberadaan kawasan hutan lindung di desa ini akan sering terjadi. Oleh sebab itu penduduk Desa Golo Loni sering dilibatkan secara langsung dalam setiap kegiatan pelestarian hutan lindung baik yang dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) wilayah II Ruteng, dan Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Timur maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Penetapan objek penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Dusun Wakas Wodo Ajang Lerang Jumlah
KK 211 138 128 92 569
Tabel 4.5. Penetapan Objek Penelitian DESA GOLO LONI Jumlah Pendidikan Responden responden SD SLTP SLTA 8 7 1 7 5 2 1 9 5 2 1 6 4 1 30 21 6 2
PT 1 1
Dengan berpedoman pada tabel penetapan objek penelitian di atas maka responden dari berbagai dusun ini diwakili oleh 30 orang kepala keluarga (KK) dengan rincian 8 orang mewakili dusun Wakas, 7 orang mewakili dusun Wodo, 9 orang mewakili dusun Ajang, 6 orang mewakili dusun Lerang. Jenjang pendidikan responden pada umumnya adalah SD yakni sebanyak 21 orang (70%), sedangkan responden dengan tingkat pendidikan terakhir SLTA dan Perguruan Tinggi masing–masing adalah 2 orang (6,67%) dan 1 orang (3,33 % )
11
Ditinjau dari status sosial ekonomi pada ke 30 orang responden ini pada umumnya sama, rata – rata berprofesi sebagai petani. Rumah – rumah yang mereka tempati umumnya terbuat dari kayu dan beratapkan seng dengan lantai tanah, bahkan ada beberapa rumah yang konstruksi bangunannya adalah rumah berkolong dengan menggunakan kayu – kayu sebagai tiang penyangga rumah. Pemanfaatan sarana air minum bersih diakses secara langsung dari berbagai sumber mata air yang terpancar dari kawasan hutan lindung, melalui pipa – pipa penghubung yang dipasang ke masing – masing lokasi perkampungan penduduk. Pola pemukiman penduduk yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung menyebabkan banyak penduduk yang membuang tinja di hutan. Hal ini ditandai oleh adanya jalan – jalan setapak menuju kearah hutan dan terdapat banyak rumah-rumah penduduk yang tidak mempunyai toilet. B. Deskripsi Data penelitian.
Deskripsi data penelitian ini dilakukan terhadap dua variabel yang dapat diukur dalam penelitian ini, yakni variabel Pengetahuan Tentang Lingkungan Hidup sebagai variabel pertama atau variabel bebas dan variabel Upaya Pelestarian Fungsi Hutan Lindung sebagai variabel kedua atau variabel terikat yang dapat dijelaskan sebagai berikut
Tabel 4.6 Deskripsi Data Variabel Penelitian Variabel Pengetahuan Tentang Lingkungan Hidup
Variabel Pelestarian Fungsi Hutan Lindung
Nilai Maks
29
69
Nilai Min
10
36
Rentang
19
33
Standar Deviasi
6,122
7.838602
Variansi
37.48161
61.44368
Rata-Rata
21.36667
51.26667
Median
21.5
50
Modus
19
47
Sumber Varian
12
Total
641
1538
Responden
30
30
1. Variabel Pengetahuan Tentang Lingkungan Hidup Secara teoritik variabel Pengetahuan Tentang Lingkungan Hidup mempunyai rentang skor antara 1 - 30 dan rentang skor empiris antara 10 29. Rata-rata (M)= 21.367, Standar Deviasi (SD)= 6,122, Median (Me)= 21.5, dan Modus (Mo) 19. Banyaknya kelas yang diperoleh dari pengukuran terhadap variabel ini terdiri dari 5 kelas, dengan panjang kelas ada 3. Selanjutnya distribusi frekuensi Pengetahuan Tentang Lingkungan Hidup berdasarkan aturan sturges disajikan pada tabel berikut : Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Skor Pengetahuan Tentang Lingkungan Hidup NO
Interval Kelas
F absolut
F Relatif%
F Kumulatif
1
10 - 13
5
16.67
16.67
2
14 - 17
2
6.67
23.33
3
18 - 21
8
26.67
50.00
4
22 - 25
4
13.33
63.33
5
26 - 29
11
36.67
100.00
30
100
JUMLAH
Berdasarkan pengelompokan skor seperti terlihat dalam tabel 4.7 di atas, dari 30 responden terlihat bahwa perolehan nilai terbanyak berada pada kelompok skor 26 – 29 atau (36.67%), diikuti kelompok skor 18 – 21 atau (26.67%), diikuti kelompok skor 10 – 13 atau (16,67%), diikuti kelompok skor 22 – 25 atau (13.33%), selanjutnya kelompok skor yang paling sedikit adalah kelompok 14 – 17 atau (6.67%).
13
Melihat tabel tersebut di atas, nilai rata-rata berada pada interval kelas 3 hal ini menunjukkan bahwa sejumlah 8 orang atau 26,67% responden memperoleh skor interval yang memuat skor di atas rata-rata, 15 orang atau 50,00%, dan 7 orang responden berada dibawah kelas interval yang memuat di bawah skor rata-rata 23.34%. Untuk memberikan gambaran tentang pola distribusi data tersebut di atas, selanjutnya dibuat daftar distribusi frekuensi, gambar histogram berikut ini.
Grafik 4.1. Histogram skor pengetahuan tentang lingkungan hidup
12
10
8
6
4
2
0
9,5 13,5
17,5
21,5
25,5
29,5
Berdasarkan histogram diatas tergambar jelas bahwa tingkat pengetahuan tentang lingkungan hidup pada masyarakat yang bermukim disekitar kawasan hutan lindung berbeda-beda. Kenyataan ini akan berdampak dalam proses atau upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau instansi terkait dan berbagai kalangan pencinta lingkungan hidup untuk melindungi/menjaga, memelihara keberlangsungan fungsi hutan lindung di Kecamatan Borong Kabupaten Manggarai Timur. Pada skor interval kelas 2629 terdapat 11 orang responden dari 30 responden yang dijadikan sampel dengan frekuensi relatif 36.67% dengan rata-rata 29,5. Maka dapat dipastikan bahwa skor pengetahuan tentang lingkungan hidup yang dimiliki
14
oleh 11 orang responden hanya berada pada angka 36. 67% (angka ini bagi masyarakat yang bersifat pro-aktif terhadap upaya pelestarian fungsi hutan lindung dan yang dikategorikan memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup). Tingkat pengetahuan tentang lingkungan hidup pada masyarakat di Kabupaten Manggarai Timur didasari oleh tiga kategori berikut; Pertama, kelompok masyarakat yang memiliki sikap kritis terhadap keadan atau kondisi lingkungan hidup. Komponen masyarakat yang berada dalam kategori ini merupakan kelompok masyarakat yang bersifat pro-aktif terhadap berbagai kegiataan yang berhubungan dengan lingkungan hidup seperti; kegiatan penyuluhan, ceramah dan diskusi. Kelompok inilah yang dikategorikan sebagai kelompok pro lingkungan hidup dan pro-program pemerintah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Hal ini dibenarkan dari hasil wawancara dan catatan lapangan (butir 2 wawancara dengan BAPEDALDA). ”Masyarakat sangat antusias untuk mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh BAPEDALDA. Dan pada pada pelaksanaan penyuluhan, masyarakat mengajukan pertanyaan-pentanyaan yang berhubungan dengan upaya mengatasi keterbatasan air dan mereka sangat menyadari pentingnya lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Selanjutnya dalam wawancara dengan pihak BKSDA wilayah II Ruteng membenarkan adanya berbagai kegiatan yang telah dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang lingkungan hidup pada masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan lindung seperti sebagai berikut: ”Ada warga masyarakat yang menanggapi penyuluhan dengan serius tetapi ada juga yang acuh tak acuh. Umumnya masyarakat yang antusias untuk mengikuti penyuluhan adalah orang-orang yang tidak terlibat dalam perambahan hutan lindung dan mempunyai pemahaman yang baik tentang fungsi hutan lindung. Proses penyuluhan lebih efektif dilakukan secara personal misalnya petugas BKSDA berkunjung ke rumah-rumah penduduk (bertamu), sehingga bersifat informal”. Kedua; kelompok masyarakat yang bersikap reflektif. Masyarakat yang berada pada kelompok ini adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup tetapi mengambil sikap diam dan mawas diri. Mereka memahami dengan cukup baik manfaat dari lingkungan hidup dan dampak buruk yang akan terjadi sebagai akibat dari tindakan masyarakat
15
yang kurang bertanggungjawab. Hal ini sesuai dengan penuturan informan (BKSDA) seperti berikut ini: ”Fakta dilapangan yang terjadi selama ini yaitu adanya hukum timbal balik antara tindakan merusak lingkungan hutan oleh warga dengan dampak yang timbul pada masyarakat. Jika mereka melakukan kegiatan yang baik misalnya menanam pohon pada bagian hutan yang gundul maka alam akan bersahabat dengan masyarakat. Ada keterkaitan yang sangat erat antara tindakan merusak hutan di hulu dengan akibat yang terjadi di hilir seperti banjir, tanah longsor dan menurunya debit air. Dampak langsung adalah keringnya daerah aliran sungai yang menyebabkan daerah-daerah persawahan tadahan tidak lagi diberdayakan karena tidak ada lagi sumber air untuk persawahan. Hal inilah yang disadari sebagai hukum alam”. Ketiga, kelompok masyarakat yang berpikir ekstrim. Masyarakat yang masuk dalam kategori kelompok ini adalah masyarakat adat yang masih bepegang teguh pada hukum adat atau tradisi nenek moyang mereka yang bersifat turun temurun. Kekuasaan hak ulayat berada pada kelompok ini sehingga kerangka berpikir yang dikembangkan dalam kaitannya dengan fenomena alam, tidak dilihat sebagai akibat dari tindakan manusia merusak hutan atau lingkungan tetapi lebih dilihat sebagai akibat dari penyimpangan atau pelanggaran terhadat adat atau tradisi nenek moyang. Solusi yang seringkali ditawarkan bukan berupa tindakan penghijauan atau reboisasi tetapi lebih pada pelaksanaan seremonial adat. Pada umumnya kerusakan lingkungan hutan kerap kali terjadi dari masyarakat (keturunan tua golo atau kepala suku) yang mempunyai kekuasaan absolut untuk membagikan lahan kepada masyarakat untuk dijadikan lahan pertanian. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan salah seorang informan terkait dengan perkampungan yang berada disekitar kawasan hutan lindung. ”Kampung yang berada di sekitar kawasan hutan sudah sejak lama ada, salah satunya itu kampung Maras yang merupakan kampung tertua di desa Golo Loni. Kampung ini sudah ada sebelum kawasan hutan dikonservasi oleh pemerintah Belanda menjadi hutan lindung pada tahun 1932. Batasan kawasan hutan konservasi pada saat itu hanya di lereng gunung. Kawasan hutan lindung ini diperbarui oleh pemerintah Indonesia tahun 1959 dan batas kawasan hutan lindung diperluas sampai mendekati area perkampungan penduduk namun
16
tapal batasnya belum jelas. Tahun 1992 BKSDA membuat tapal batas kawasan hutan lindung, namun masih ada warga yang membuka ladang baru melewati batas konservasi”. Selanjutnya, bila diperhatikan harga modus (mo) 19 dan harga median (me) 21,5 dan skor rata-rata 21,367 maka pengetahuan tentang lingkungan hidup secara keseluruhan cenderung berada pada kategori tinggi Tabel 4.8 Persentase Jawaban Pertanyaan Responden Tentang Variabel Pengetahuan Tentang Lingkungan Hidup JAWABAN INDIKATOR
RESP BENAR
SALAH
210
90
Frek. Relatif %
70%
30%
Fakta
229
71
Frek. Relatif %
76.33%
23.67%
Istilah
202
68
Frek. Relatif %
67.33%
22.67%
Kebiasaan
30
30
30
Tabel persentase skor pertanyaan di atas berdasarkan jawaban responden sebanyak 30 orang pada pertanyaan indikator kebiasaan variabel pengetahuan tentang lingkungan hidup responden yang menjawab benar memperoleh skor sebesar 210 dengan persentase 70% dan responden yang menjawab salah memperoleh skor sebesar 90 dengan persentase 30%. Persentase skor pertanyaan di atas berdasarkan jawaban responden sebanyak 30 orang, pertanyaan indikator fakta pada variabel pengetahuan tentang lingkungan hidup responden yang menjawab benar memperoleh skor sebesar 229 dengan persentase 76.333% dan responden yang menjawab salah memperoleh skor sebesar 71 dengan persentase 23.667%. Sedangkan Persentase skor pertanyaan di atas berdasarkan jawaban responden sebanyak 30 orang pada pertanyaan indikator Istilah variabel pengetahuan
17
tentang lingkungan hidup responden yang menjawab benar memperoleh skor sebesar 202 dengan persentase 67.333% dan responden yang menjawab salah memperoleh skor sebesar 68 dengan persentase 22.667%. 2. Variabel Upaya Pelestarian Fungsi Hutan Lindung Secara teoritik variabel Pelestarian fungsi hutan lindung mempunyai rentang skor antara 30 - 90 dan rentang skor empiris antara 36 - 69. Ratarata (M)= 51.26667, Standar Deviasi (SD)= 7.838602, Median (Me)= 50, dan Modus (Mo) 47. Banyaknya kelas yang diperoleh dari pengukuran terhadap variabel pelestarian lingkungan hidup terdiri dari 5 kelas, dengan panjang kelas ada 3. Selanjutnya distribusi frekuensi Pelestarian fungsi hutan lindung berdasarkan aturan sturges disajikan pada tabel berikut : Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Skor Upaya Pelestarian Fungsi Hutan Lindung NO
Interval Kelas
F absolut
F Relatif%
F Kumulatif
1
36 - 41
3
10.00
10.00
2
42 - 47
7
23.33
33.33
3
48 - 53
9
30.00
63.33
4
54 - 59
7
23.33
86.67
5
60 - 65
4
13.33
96.67
30
100
JUMLAH
Berdasarkan pengelompokkan skor seperti terlihat dalam tabel 4.7 di atas, dari 30 responden terlihat bahwa perolehan nilai terbanyak berada pada kelompok skor 48 - 53 atau (30.00%), diikuti kelompok skor 54 - 59 atau (23.33%), diikuti kelompok skor 42 - 47 atau (23.33%), diikuti kelompok skor 60 - 65 atau (13.33%), selanjutnya kelompok skor yang paling sedikit adalah kelompok 36 - 41 atau (10.00%). Melihat tabel tersebut di atas, nilai rata-rata berada pada interval kelas 3 hal ini menunjukkan bahwa sejumlah 9 orang atau 30%, responden memperoleh skor interval yang memuat skor di atas rata-rata, 11 orang atau 36,67%, responden berada dibawah kelas interval yang memuat skor rata-rata11 orang atau 33,33%.
18
Untuk memberikan gambaran tentang pola distribusi data tersebut di atas, selanjutnya dibuat gambar histogram berikut ini.
Grafik 4.7
Histogram skor Upaya Pelestarian Fungsi Hutan Lindung Selanjutnya, bila diperhatikan harga modus (mo) 47 dan harga median (me) 50 dan skor rata-rata 51,2667 maka pelestarian fungsi hutan lindung berdasarkan rentang teoritik dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan cenderung berada pada kategori tinggi. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
41,5
47,5
53,5
59,5
65,5
71,5
Histogram yang berbentuk piramida ini menunjukan bahwa peran masyarakat dalam upaya pelestarian fungsi hutan lindung berada pada angka rata-rata 53,5. Sedangkan berdasarkan data kelas interval pada angka 48-53 terdapat 9 responden atau sekitar 30.00% dari total 30 responden. Sementara itu pada kelas interval 60-65 hanya terdapat 4 responden atau sekitar 13.33% dari 30 responden yang dijadikan sampel. Hal ini menunjukan bahwa peran masyarakat dalam upaya pelestarian fungsi hutan lindung belum begitu optimal. Ada beberapa yang ditemukan di lapangan yaitu sebagai berikut: Pertama, perladangan berpindah, kegiatan perladangan berpindah masih dipraktekan oleh masyarakat desa yang berdomisili disekitar kawasan hutan lindung. Hal ini tampak jelas terlihat pada beberapa titik di pinggiran kawasan
19
hutan lindung yang telah ditinggal pergi oleh warga yang melakukan kegiatan ladang berpindah. Dengan demikian upaya pelestarian fungsi hutan lindung diprioritaskan pada kawasan hutan yang rawan terhadap kerusakan hutan. Kedua, Degradasi fungsi hutan yang terjadi di Kecamatan Borong erat terkait dengan praktik perladangan berpindah dan cara hidup masyarakat yang pada umumnya masih tergantung pada faktor alam. Ketiga, Kerusakan hutan lindung. Fakta adanya kerusakan hutan lindung di Kecamatan Borong (wilayah desa yang berbatasan dengan hutan lindung) tidak disebabkan oleh kasus-kasus besar seperti ilegal logging tetapi pencurian kayu dalam skala kecil (untuk kebutuhan pembangunan rumah penduduk). Namun yang sungguh merisaukan adalah kegiatan merusak hutan karena ekstensifikasi lahan pertanian penduduk yang tidak terkoordinir dengan baik sehingga berakibat pada penggundulan hutan dan lahan kritis. Tabel 4.8 Persentase Jawaban Pertanyaan Responden Tentang Variabel Pelestarian Fungsi Hutan Lindung SKOR PERNYATAAN INDIKATOR
RESP S
RR
TS
Pemanfaatan
81
86
73
Frek. relatif %
33.75%
35.83%
30.43%
Pemeliharaan
73
91
76
Frek. relatif %
30.417%
37.91%
31.67%
perlindungan
108
92
70
Frek. relatif %
40%
34.07%
25.926%
30
30
30
Tabel persentase skor pertanyaan di atas berdasarkan jawaban responden sebanyak 30 orang pada pertanyaan indikator ekologis variabel pelestarian fungsi hutan lindung responden yang menjawab selalu memperoleh skor sebesar 81 dengan persentase 33,75% dan responden yang menjawab tidak pernah memperoleh skor sebesar 73 dengan
20
persentase 3043%, sedangkan responden yang menjawab kadang-kadang 86 dengan persentase 35,83%. Persentase skor pertanyaan di atas berdasarkan jawaban responden sebanyak 30 orang pada pertanyaan indikator ekonomi variabel pelestarian fungsi hutan lindung responden yang menjawab benar memperoleh skor sebesar 73 dengan persentase 30,417% dan responden yang menjawab salah memperoleh skor sebesar 76 dengan persentase 31,67%. Sedangkan respon yang menjawab kadang-kadang memperoleh skor sebesar 91 dengan persentase 37,91%. Persentase skor pertanyaan di atas berdasarkan jawaban responden sebanyak 30 orang pada pertanyaan indikator budaya variabel pelestarian fungsi hutan lindung responden yang menjawab benar memperoleh skor sebesar 108 dengan persentase 40% dan responden yang menjawab salah memperoleh skor sebesar 70 dengan persentase 25,926%. Sedangkan responden yang menjawab kadang-kadang memperoleh skor sebesar 92 dengan persentase 34,07%.
IV PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan berbagai temuan dalam penelitian ini sebagaimana dipaparkan pada bagian pembahasan di muka, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, dapat dipastikan bahwa pengetahuan tentang lingkungan hidup telah dimiliki masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan lindung yang telah dimiliki berdasarkan kebiasaan, fakta dan istilah yang ada dalam lingkungan hidup. Asal usul pengetahuan yang mereka miliki yaitu berasal dari pendidikan formal yang pernah diperolehnya di berbagai jenjang atau tingkat pendidikan di berbagai sekolah, dan juga bersumber dari berbagai bentuk pendidikan non formal yang pernah diikuti yaitu berupa pelatihan-pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan oleh instansi-instansi terkait tentang lingkungan hidup. Adapun pengetahuan tentang lingkungan hidup yang dimiliki masyarakat juga bersumber dari bentuk-bentuk pengetahuan tradisional berupa kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun
21
membentuk pranata pengelolaan lingkungan hidup dalam upaya pelestarian fungsi hutan lindung. Kedua, upaya pelestarian fungsi hutan lindung di Kecamatan Borong dilakukan oleh pihak pemerintah secara berkesinambungan dalam kerja sama antar berbagai instansi teknis seperti Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) wilayah II Ruteng, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Manggarai Timur, serta Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Kabupaten Manggarai Timur. Upaya-upaya yang rutin dilakukan seperti; (1) pemberdayaan masyarakat yang berdomosili di sekitar kawasan hutan lindung, agar dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan lindung, (2) Penanaman kembali areal yang telah gundul, (3) melaksanakan penyuluhan tentang lingkungan hidup kepada masyarakat, (4) melakukan pengawasan melalui patroli pengamanan di kawasan hutan lindung, (5) melarang adanya pembangunan dalam kawasan hutan lindung. Pelaksanaan dari kegiatan-kegiatan tersebut diatas sebagian besar dilakukan atas prakarsa Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah II Ruteng. Ketiga, dalam upaya pelestarian fungsi hutan lindung di Kecamatan Borong masyarakat dilibatkan secara langsung. Hal ini terlihat jelas dalam berbagai kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemanfaatan. Ada beberapa kegiatan yang seringkali melibatkan masyarakat seperti penanaman pohon pada areal yang gundul, mengawasi kawasan hutan dari tindakan penebangan liar oleh oknumoknum yang tidak bertanggungjawab dengan melaporkannya kepada pihak yang berwajib, dan melarang sesama warga agar tidak membakar hutan yang tercermin dalam ungkapan ”neka poka puar boto mora usang’, ’neka tapa satar boto mora kak’a puar” ( jangan bakar hutan agar masih ada hujan, jangan bakar padang agar ekosistem padang tetap terpelihara). B.
Implikasi Berdasarkan pada temuan dalam penelitian ini dapat ditarik suatu benang merah yang menggambarkan kaitan yang sangat erat antara kedua variabel yaitu bahwa untuk mencapai upaya pelestarian fungsi hutan lindung secara baik dan optimal di Kecamatan Borong maka yang perlu dilakukan pertama-tama adalah meningkatkan variabel bebas dalam penelitian ini yaitu peningkatan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan hidup baik pengetahuan formal maupun non formal. Dengan melihat arti pentingnya pengetahuan tentang lingkungan hidup bagi masyarakat maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan hidup melalui kegiatan-kegiatan seperti:
22
(1), Memberikan penyuluhan kepada masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan lindung secara berkala dengan melibatkan seluruh warga masyarakat terutama orang-orang yang berpeluang melakukan penebangan kayu di kawasan hutan lindung. Kegiatan penyuluhan ini harus dilakukan secara berkontinuitas. (2), Mengadakan seminar/cerama dan berbagai forum diskusi dengan tema lingkungan hidup yang disertakan dengan penayangan gambar-gambar tentang dampak buruk dari kerusakan lingkungan akibat tindak manusia yang dewasa ini telah menjadi epidemik di Kabupaten Manggarai Timur, serta penyebaran buku dan brosur yang bermanfaat bagi masyarakat. (3), Pengetahuan tentang lingkungan yang telah dimiliki masyarakat perlu diaplikasikan dalam lingkungan hidupnya, karena itu kepada mereka diberikan kesempatan yang seluas-luasnya dalam upaya pelestarian fungsi hutan lindung dengan pengawasan instansi terkait. (4), Meningkatkan pengetahuan tentang lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat, sebab makin maju suatu daerah, hak ulayat yang bersifat turuntemurun dalam masyarakat cenderung makin lemah/hilang.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Suminar. Pembangunan Hutan Berkelanjutan Cerminan Iman dan Taqwa. Jakarta: Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999 Arsyad, Sitanala. Konservasi Tanah & Air. Bogor: IPB Press. Januari 2010. Bloom, Benyamin. Taxonomi of Educational Objectives. New York: Longmans. 1981 Chiras, Daniel D. Environment Science A Framework for Decision Making. New York: The Benjamin/ Cummings Publishing Company Inc. 1988 Chiras, Daniel D. Environmental Science Action for a Sustainable Future. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. 1991 Chisholm, Roderic M. Theory Of Knowledge. New Jersey: Prentice – Hall Inc. 1989 Enger, Eldon D. Environmental Science A Study of Interrelationships. New York:: McGraw-Hill. 2008 Gadne, Robert M. The Condition Of Learning. New York: Rinehart and Winston Inc. 1997 Indriyanto, Pengantar Budi Daya Hutan. Jakarta: Bumi Aksara. 2008
23
Manik, Sontang, Edi Karden. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Djambatan. 2007 Mcneil, John D. Curriculum A Comprehensive Introduction. Los Angeles: HarperCollinsCollege Publishers. 1996 Ornstein, Allan C. dan Francis P. Hunkins. Curriculum: Foundation, Principles, and Issues. New Jersey: Prentice Hall, 1988 Pramudianto, Adreas. Indonesia. 2008
Diplomasi
Lingkungan.
Jakarta:
Penerbit
Universitas
Pengetahuan. http://www.id.wikipedia/pengetauan. Pelestarian. http://www.id.wikipedia/pelestarian. Siahaan, Nommy H.T. Hutan, Lingkungan Dan Paradigma Pembangunan. Jakarta: Pancuran Alam. 2007 Soedjito, Herwasono, Situs Keramat Alami Peran Budaya Dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2009 Sunu, Pramudya. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 2001 Soemarwoto, Otto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. 2004 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2008 Sjamsuri, S.A. Pengantar Teori Pengetahuan, Jakarta: P2LPTK Depdikbud, 1989 Suriasumantri, Jujun, Filsaft Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000 Supriatna, Jatna. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008 Zain, Alam Setia. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan & Stratifikasi Hutan Rakyat. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1998
24