Perspektif Vol. 11 No. 2 /Des 2012. Hlm 69 - 78 ISSN: 1412-8004
PENGENDALIAN HAMA UTAMA KAKAO (Conopomorpha cramerella dan Helopeltis spp.) DENGAN PESTISIDA NABATI DAN AGENS HAYATI Control of Cocoa Main Pest (Conopomorpha cramerella and Helopeltis spp.) Using Botanical Pesticide and Biological Agents SISWANTO dan ELNA KARMAWATI
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesian Center for Estate Crops Research and Development Jl. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111. Telp. (0251) 8313083. Faks. (0251) 8336194 E-mail :
[email protected] Diterima : 6 Maret 2012; Disetujui : 30 November 2012
ABSTRAK Serangan organisme pengganggu tanaman merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas kakao di Indonesia. Banyak jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman kakao. Hama utama tanaman kakao di Indonesia antara lain penggerek buah kakao-PBK (Conopomorpha cramerella) dan kepik pengisap buah (Helopeltis spp.). Untuk mengendalikan hama tersebut, pada umumnya petani menggunakan insektisida kimiawi yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu upaya untuk mengurangi dampak negatif dalam pengendalian hama tersebut yaitu dengan memanfaatkan pestisida nabati dan agens hayati, seperti parasitoid, predator, dan patogen yang bersifat ramah terhadap lingkungan. Pestisida nabati yang dapat digunakan untuk mengendalikan PBK dan Helopeltis spp. antara lain tembakau, sirih hutan, mimba, gadung, srikaya/anona seberang, gamal, jarak, suren, dan Tithonia. Cendawan entomopatogen yang potensial untuk mengendalikan PBK adalah B. bassiana, Spicaria sp., Fusarium sp., Verticilium sp., Acrostalagmus sp., Penicillium sp., dan Paecilomyces fumosoroseus, sedangkan cendawan yang efektif untuk mengendalikan Helopeltis spp. yaitu B. bassiana dan Spicaria sp. Tulisan ini menguraikan beberapa aspek terkait hama utama tanaman kakao yaitu C. cramerella dan Helopeltis spp. dan upaya pengendaliannya yang berwawasan lingkungan. Kata kunci: Kakao, C. cramerella, Helopeltis spp., pestisida nabati, agens hayati ABSTRACT One of the causes of cacao low productivity in Indonesia is pests attack on the cocoa plantation. There are many types of pests and diseases attacking the cocoa trees, however, major pest on cocoa plantation in Indonesia include cocoa fruit borer (Conopomorpha
cramerella) and fruit sucker ladybugs (Helopeltis spp.). To control these pests, farmers generally use chemical insecticides that have negative impacts on the environment. One effort to reduce the negative impacts in pests control is by using botanical pesticides and biological agents, such as parasitoids, predators, and pathogens that are friendly to the environment. The botanical pesticides that can be used to control cocoa fruit borer (CFB) and Helopeltis spp. are tobacco, betel forest, neem, yam, anona, gliricidea, jatropha, suren, and tithonia. Entomopathogenic fungi potential to control CFB are B. bassiana, Spicaria sp., Fusarium sp., Verticilium sp., Acrostalagmus sp., Penicillium sp., and Paecilomyces fumosoroseus, while effective fungi to control Helopeltis spp. are B. bassiana and Spicaria sp. This paper describes some aspects related to major cocoa pests (such as C. cramerella and Helopeltis spp.) and control effort that is environmentally sound. Keywords:
Cocoa, C. cramerella, Helopeltis spp., botanical pesticides, biological agents
PENDAHULUAN Kakao merupakan salah satu tanaman perkebunan penting di Indonesia, karena kakao sebagai penghasil devisa negara, sebagai sumber penghasilan bagi petani maupun masyarakat lainnya. Indonesia merupakan salah satu produsen kakao utama di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Indonesia mempunyai tanaman kakao paling luas di dunia yaitu sekitar 1.462.000 ha. yang terdiri dari 90% perkebunan rakyat dan sisanya perkebunan swasta dan negara, dengan produksi mencapai 1.315.800 t/th. (Karmawati et al., 2010).
Pengendalian Hama Utama Kakao dengan Pestisida Nabati dan Agens Hayat (SISWANTO dan ELNA KARMAWATI)
69
Sentra kakao di Indonesia tersebar di Sulawesi (63,8%), Sumatera (16,3%), Jawa (5,3%), Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali (4,0%), Kalimantan (3,6%), Maluku dan Papua (7,1%)(Anonymous, 2010). Berdasarkan data sebaran luas tanaman kakao tersebut, Sulawesi merupakan daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia saat ini yaitu mencapai sekitar 63% dan produk kakao Indonesia. Luas pertanaman kakao di Sulawesi Selatan sampai tahun 2002 mencapai 240.785 ha dan sebagian besar (98%) dalam bentuk perkebunan rakyat. Produksi kakao Sulawesi Selatan sampai tahun 2002 mencapai 213.754 ton dengan volume ekspor 204.366 ton (Nasaruddin, 2002). Produktivitas kakao kemudian menurun drastis antara lain disebabkan serangan Helopeltis antonii. (Handoko dan Sundahri, 2004). Produktivitas kakao Indonesia hingga saat ini rata-rata masih rendah (sekitar 900 kg/ha), yang antara lain disebabkan oleh bahan tanaman yang kurang baik, teknologi budidaya yang kurang optimal, tanaman sudah berumur tua, serta masalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Diperkirakan rata-rata kehilangan hasil akibat OPT mencapai 30% setiap tahunnya dan bahkan ada penyakit penting yang dapat mengakibatkan kematian tanaman (Karmawati, et al., 2010), sehingga dalam budidaya kakao pada umumnya sekitar 40% dari biaya produksi dialokasikan untuk biaya pengendalian OPT (Sulistyowati et al., 2003). Beberapa hama dan penyakit banyak ditemukan pada tanaman kakao di antaranya hama penggerek buah kakao (Conopomopha cramerella) dan kepik pengisap buah (Helopeltis spp.), merupakan hama utama pada tanaman kakao. Pengendalian hama oleh petani pada tanaman kakao pada umumnya masih menggunakan insektisida kimiawi. Penggunaan insektisida kimiawi yang tidak tepat akan membawa dampak yang buruk dan lebih merugikan, antara lain dapat menyebabkan timbulnya resistensi hama, munculnya hama sekunder, pencemaran lingkungan, dan ditolaknya produk karena masalah residu yang melebihi ambang batas toleransi. Penggunaan insektisida kimiawi secara intensif juga memberikan berbagai dampak yang tidak
70
diinginkan, terkait dengan kerusakan ekosistem lahan pertanian, terganggunya eksistensi flora dan fauna di sekitar lahan pertanian dan kesehatan petani pekerja (Regnault-Roger, 2005). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa terjadi keracunan pestisida antara 44.000 2.000.000 orang di seluruh dunia setiap tahunnya dan dari angka tersebut yang terbanyak terjadi di negara berkembang (Sintia, 2006). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan pembenahan cara budidaya tanaman termasuk pengendalian OPT yang lebih berwawasan lingkungan Undang-Undang no. 12 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah no. 6 tahun 1995 menyatakan bahwa kegiatan penanganan OPT merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, yang dilaksanakan dengan menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT). PHT (atau yang dikenal dengan Integrated Pest Management IPM) merupakan suatu konsep atau paradigma yang dinamis (tidak statis) yang selalu menyesuaikan dengan dinamika ekosistem pertanian, sistem sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. PHT mendorong kemandirian dan keberdayaan dalam pengambilan keputusan daripada ketergantungan pada pihak-pihak lain (Untung, 2003). Berdasarkan hal tersebut maka petani yang langsung berhubungan dengan kegiatan pertanian tersebut diharapkan dapat berperan sebagai manager di kebunnya sendiri, mampu mengambil keputusan, dan melakukan tindakan untuk mengatasi masalah OPT . Untuk itu petani harus mempunyai bekal pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk dapat mengelola kebunnya dengan baik yang dapat diperoleh melalui pelatihan atau pembelajaran di lapangan. Beberapa paket teknologi budidaya kakao yang benar telah dihasilkan dan disampaikan kepada petani, namun belum sepenuhnya diadopsi oleh petani. Demikian juga dalam pengendalian hama dan penyakit, petani belum sepenuhnya mengadopsi teknologi yang telah dihasilkan. Pada umumnya petani kakao masih mengandalkan penggunaan insektisida kimiawi untuk mengendalikan hama dan penyakit. Berbagai cara pengendalian telah diketahui dan diuji pada kedua jenis hama penggerek buah
Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 69 - 78
A
B
C
D
Gambar 1. Larva (A); imago penggerek buah kakao (C .cramerella) (B); Gejala serangan hama PBK pada buah kakao: dari luar terlihat warna buah tidak merata (C); belahan buah yang terserang (D). kakao dan kepik pengisap buah termasuk cara pengendalian yang sederhana, murah, dan ramah lingkungan, antara lain dengan penggunaan pestisida nabati (yang memanfaatkan tumbuhan), penggunaan musuh alami (seperti parasitoid, predator, dan patogen serangga), serta penggunaan senyawa/bahan penolak serangga. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menguraikan aspek-aspek penting terkait dengan hama utama tanaman kakao yaitu C. cramerella dan Helopeltis spp. serta upaya pengendaliannya yang berwawasan lingkungan. Penggerek Buah Kakao (PBK), Conopomorpha cramerella Penggerek buah kakao (PBK) C. cramerella (Famili Gracillariidae: Ordo Lepidoptera) menyerang tanaman kakao hampir di seluruh daerah utama penghasil kakao di Indonesia. Hama ini menyerang buah yang masih muda sampai dengan buah yang sudah masak. Serangan hama ini relatif sulit dikendalikan dan dapat menyebabkan penurunan produksi buah kakao hingga lebih dari 80% (Sulistyowati et al, 2003). Selain menurunkan produksi, serangan hama ini juga menyebabkan kualitas biji menjadi rendah (Lim, 1992; Anshary, 2003). Pada tahun 2000 dilaporkan bahwa sejarah serangan hama ini mencapai 60.000 ha dengan kehilangan hasil sebesar Rp 405.643.680.000,per tahun (Ditjenbun, 2000). Penyebaran hama PBK di Sulawesi dimulai dari Sulawesi Tengah pada tahun 1991, kemudian menyebar ke seluruh areal pertanaman kakao di Sulawesi (Mardy, 1994). Tahun 1995, hama ini mulai ditemukan di Sulawesi Tenggara (Suwondo, 2001).
Stadium yang menimbulkan kerusakan dari hama PBK adalah larva/ulat (Gambar 1 A dan B) yang menyerang buah kakao berukuran 3 cm sampai menjelang masak. Larva merusak buah dengan memakan daging buah dan membuat saluran ke biji menyebabkan biji saling melekat (Gambar 1 B dan C), berwarna kehitaman, dan berukuran kecil sehingga menurunkan kualitas biji. Siklus hidup Telur PBK berbentuk oval dengan panjang 0,4-0,5 mm dan lebar 0,2-0,3 mm, berwarna orange pada saat diletakkan dan menjadi kehitaman bila akan menetas. Stadium telur berlangsung selama 2-7 hari. Telur diletakkan pada lekukan di permukaan kulit buah. Setelah menetas larva menggerek masuk ke dalam buah. Larva berwarna putih kekuningan atau kehijauan dengan panjang maksimum 11 mm dan terdiri atas 5 instar. Lama stadia larva berkisar antara 14 – 18 hari. Menjelang berpupa, larva keluar dari buah dan berpupa pada permukaan buah, daun, serasah, atau di tempat lain yang agak tersembunyi, dan bahkan pada kendaraan yang digunakan untuk mengangkut hasil panen (Wardojo, 1980). Pupa berwarna coklat (dengan ukuran panjang berkisar antara 6-7 mm dan lebar 1-1,5 mm) dan terbungkus dalam kokon transparan dan kedap air. Stadium pupa berlangsung antara 5-8 hari. Imago atau serangga dewasa berupa ngengat berwarna hitam dengan bercak kuning berukuran panjang 7 mm, lama hidup berkisar antara 7-8 hari. Imago beraktifivitas pada malam
Pengendalian Hama Utama Kakao dengan Pestisida Nabati dan Agens Hayat (SISWANTO dan ELNA KARMAWATI)
71
hari dan di siang hari berlindung di tempat teduh. Seekor betina mampu meletakkan telur antara 50-100 butir selama hidupnya. Buah yang terserang hama PBK ditandai dengan memudarnya warna kulit buah dan munculnya warna belang hijau kuning atau merah jingga apabila diguncang, buah yang sudah tua tidak akan berbunyi karena biji yang ada di dalam saling melekat. Kepik Pengisap Buah (Helopeltis spp.) Selain PBK, hama yang sering dijumpai pada pertanaman kakao adalah kepik pengisap Helopeltis spp. (Famili Miridae: Ordo Hemiptera). Helopeltis spp. merupakan salah satu hama utama kakao yang banyak dijumpai hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Helopeltis yang menyerang tanaman kakao diketahui lebih dari satu spesies, yaitu H. antonii, H. theivora, dan H. claviver (Karmawati et al., 2010). Stadium yang merusak dari hama ini adalah nimfa (serangga muda) dan imago yang menyerang buah muda dengan cara menusukkan alat mulutnya ke dalam jaringan, kemudian mengisap cairan di dalamnya. Sambil mengisap cairan, kepik tersebut juga mengeluarkan cairan yang bersifat racun yang dapat mematikan sel-sel jaringan yang ada di sekitar tusukan. Selain buah, hama ini juga menyerang pucuk dan daun muda.
Gambar 3. Gejala serangan Helopeltis spp. pada buah kakao (kiri) dan imago H. theivora (kanan) Serangan pada buah muda akan menyebabkan terjadinya bercak yang akan bersatu sehingga kulit buah menjadi retak, buah menjadi kurang berkembang, dan pekembangan biji terhambat. Serangan pada buah tua menyebabkan terjadinya bercak-bercak cekung berwarna coklat muda, yang selanjutnya akan berubah menjadi kehitaman (Gambar 3).
72
Serangan pada daun menimbulkan bercak-bercak berwarna coklat atau kehitaman. Sedangkan serangan pada pucuk menyebabkan terjadinya layu, kering, dan kemudian mati. Siklus hidup Serangga ini mempunyai tipe metamorfosa sederhana, terdiri atas telur, nimfa dan imago. Telur berbentuk lonjong, berwarna putih, pada salah satu ujungnya terdapat sepasang benang yang tidak sama panjangnya. Telur diletakkan pada permukaan buah atau pucuk dengan cara diselipkan di dalam jaringan kulit buah atau pucuk dengan bagian ujung telur yang ada benangnya menyembul keluar. Stadium telur berlangsung antara 6-7 hari. Nimfa mempunyai bentuk yang sama dengan imago tetapi tidak bersayap, terdiri atas 5 instar dengan 4 kali ganti kulit. Stadium nimfa berkisar antara 10-11 hari. Imago berupa kepik dengan panjang tubuh kurang lebih 10 mm. Seekor imago betina mampu meletakkan telur hingga 200 butir selama hidupnya (Gambar 3). Pengendalian PBK (Conopomorpha cramerella) dan Kepik Pengisap Buah (Helopeltis spp). Penggerek Buah Kakao Pengendalian hama PBK dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan sanitasi, pemangkasan, panen sering, pemupukan, dan sarungisasi, serta pengendalian secara biologi (Karmawati et al., 2010; Widodo, 2010; Sudarto et al., 2010; Anonymous, 2010) Sanitasi dilakukan pada buah terserang yang baru dipanen dengan cara menimbun buah–buah terserang tersebut ke dalam lubang tanah kemudian ditutup tanah setebal 20 cm. Hal ini dilakukan agar PBK yang ada pada buah tersebut mati. Pemangkasan dilakukan terhadap tanaman kakao maupun tanaman penaung pada awal musim hujan untuk mengatur kondisi lingkungan pertanaman kakao agar tidak terlalu lembap sehingga tidak mendukung perkembangan populasi PBK. Pemotongan cabang tanaman kakao dilakukan terhadap cabang yang mengarah ke atas, di luar batas 3-4
Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 69 - 78
m. Luka bekas potongan harus ditutupi dengan obat penutup luka. Panen sering dilakukan dengan tujuan untuk memutus siklus perkembangan hama PBK. Panen dilakukan seminggu sekali terhadap buah yang sudah masak (baik masak sempurna maupun masak awal), kemudian segera dipecah atau diproses. Pemupukan dengan jenis, dosis, dan waktu yang tepat dilakukan setelah pemangkasan dan bertujuan untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan PBK. Sarungisasi dilakukan untuk mencegah serangan PBK, dengan menggunakan kantung plastik yang di lubangi bagian bawahnya agar air bisa keluar atau tidak lembab sehingga tidak terjadi pembusukan. Penyarungan dilakukan pada saat buah berukuran 8-10 cm. Pengendalian hama PBK secara biologi dapat dilakukan dengan menggunakan semut predator, jamur B. bassiana, dan parasitoid telur Trichogrammatoidea spp. Peningkatan populasi semut khususnya semut hitam dapat dilakukan dengan memasang lipatan daun kelapa kering atau daun kakao kering dan koloni kutu putih. Penyemprotan jamur B. bassiana sebaiknya dilakukan pada buah kakao muda dengan dosis 50-100gram spora per hektar sebanyak 5 kali. Kepik Pengisap Buah (Helopeltis spp.) Pengendalian Helopletis spp. dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan menggunakan semut hitam, Dolichoderus thoracicus (=D. bituberculatus). Semut hitam mengganggu Helopeltis spp. pada permukaan buah sehingga tidak bisa meletakkan telurnya atau mengisap buah karena diserang oleh semutsemut tersebut. Peningkatan populasi semut dapat dilakukan dengan meletakkan lipatan daun kelapa kering yang berfungsi sebagai sarang semut. Selain dengan semut hitam, pengendalian hama kepik dapat juga dilakukan dengan menggunakan semut rangrang (Oecophylla smaragdina) yang berwarna merah coklat. Untuk menghadirkan semut rangrang dapat dilakukan dengan menempatkan atau memindahkan koloni semut rangrang dari tempat lain atau dengan menaruh bangkai binatang pada pohon untuk
menarik semut rangrang. Pemanfaatan semut hitam dan semut rangrang dalam pengendalian Helopeltis spp telah diaplikasikan pada tanaman jambu mete dan hasilnya cukup memuaskan (Karmawati et al., 2004). Pengendalian Helopeltis spp. dapat juga dilakukan dengan menggunakan jamur B. bassiana isolat Bby – 725 dengan dosis 25-50 gram spora per hektar. Dengan penyemprotan ini Helopeltis akan mati setelah 2-5 hari (Sulistyowati et al, 2003). Untuk mengendalikan Helopeltis spp., pada umumnya petani maupun perkebunan besar masih menggunakan insektisida kimia. Menurut Sulistyowati et al. (2003) berdasarkan luas serangan yang hampir terjadi di seluruh provinsi penghasil kakao di Indonesia, maka strategi pengendalian yang sesuai adalah dengan pengendalian hama terpadu (PHT). Peran faktor lingkungan dalam PHT sangat menentukan keberhasilan pengendalian Helopeltis spp. (Karmawati, 2006). Potensi pestisida nabati dan agens hayati untuk pengendalian hama utama kakao Pemanfaatan pestisida nabati yang berasal dari senyawa sekunder tanaman telah banyak digunakan untuk pengendalian OPT tanaman pertanian termasuk tanaman perkebunan. Lebih dari 1.500 jenis tumbuhan di dunia telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap serangga (Grainge dan Ahmed, 1988). Indonesia diperkirakan memiliki kawasan hutan tropis terbesar di Asia-Pasifik yaitu sekitar 1,15 juta kilometer persegi dengan keanekaragaman jenis pohon yang paling beragam di dunia (Albar, 1997). Tingginya keanekaragaman hayati Indonesia, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang mempunyai jumlah keanekaragaman hayati terbesar. Untuk pulau Jawa saja, di dalam setiap 10.000 km2 terdapat antara 2.000–3.000 spesies tanaman, banyak di antaranya berpotensi sebagai bahan baku pestisida (Kardinan, 2002). Lebih dari 40 jenis tumbuhan dari berbagai provinsi di Indonesia yang telah dilaporkan berpotensi sebagai pestisida nabati (Ditjenbun, 1994). Hamid dan Nuryani (1992) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun. Famili tumbuhan yang potensial sebagai
Pengendalian Hama Utama Kakao dengan Pestisida Nabati dan Agens Hayat (SISWANTO dan ELNA KARMAWATI)
73
pestisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae (Arnason, et al., 1993). Kekayaan flora Indonesia sangat melimpah dan berpotensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai sumber pestisida nabati. Pemanfaatan pestisida nabati untuk mengendalikan Helopeltis spp mudah diaplikasikan oleh petani dan bersifat ramah lingkungan (Karmawati, 2010). Pestisida nabati merupakan senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan berupa hama dan penyakit tumbuhan maupun tumbuhan pengganggu (gulma). Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian dari tumbuhan baik dari daun, bunga, buah, biji atau akar. Biasanya bagian tumbuhan tersebut mengandung senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pemanfaatan pestisida nabati untuk pengendalian OPT mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pestisida kimia terutama dari segi keamanannya. Pestisida nabati terbuat dari bahan alami/nabati maka pestisida ini mudah terurai (bio-degradable) sehingga relatif tidak berbahaya bagi kehidupan. Selain itu pestisida nabati mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan dibanding pestisida kimia, antara lain: Kelebihan: 1. Mudah dan cepat terdegradasi oleh sinar matahari. 2. Memiliki spektrum pengendalian yang luas (racun perut dan syaraf) dan bersifat selektif. 3. Dapat digunakan untuk mengendalikan OPT yang telah resisten terhadap pestisida kimia 4. Fitotoksisitas rendah. 5. Aman terhadap manusia, hewan, dan lingkungan. 6. Relatif murah dan mudah dibuat oleh petani Kelemahan: 1. Cepat terurai dan daya tahannya relatif lambat sehingga perlu aplikasi lebih sering. 2. Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan serangga). 3. Kurang praktis dibanding dengan pestisida kimia yang sudah siap dalam kemasan.
74
4. 5.
Tidak ada keseragaman bahan. Tidak tahan lama disimpan.
Beberapa pestisida nabati yang dapat digunakan untuk mengendalikan PBK dan Helopeltis spp. antara lain daun tembakau (Handoko dan Sundari 2004), sirih hutan, biji/daun mimba (Pakih, 1999; Wilis et al., 2009), umbi gadung, biji srikaya/nona sebrang daun gamal, biji jarak (Wiryadiputra dan Atmawinata, 1989). Daun suren (Toona sureni) dan Tithonia (Tithonia diversifolia) juga dapat digunakan untuk mengendalikan Helopeltis spp. pada kakao. Daun suren mengandung piretrin yang dapat merusak sistem syaraf dan juga mampu mengendalikan Helopeltis spp. (Djam’an, 2002 dalam Waisanjani, 2011). Sedangkan daun, kulit batang dan akar Tithonia diversifolia mengandung saponin, polyferol, dan flavonoid (Arnety et al., 2006 dalam Waisanjani, 2011). Saat ini potensi senyawa sekunder yang berasal dari tanaman sebagai bahan baku pestisida nabati telah banyak dikaji. Pengkajian yang telah dilakukan untuk mengevaluasi tingkat toksisitas, daya tolak, daya tarik, daya hambat makan, dan daya hambat reproduksi hama (Schmidt et al., 1991). Di samping itu analisis biaya pokok pestisida nabati terutama formula biji jarak pagar telah dipelajari, diperoleh bahwa biaya pokok biopestisida jarak pagar dengan sinergis minyak cengkeh jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan sinergis PBO dan pestisida kimia (Ardana et al., 2010) Selain pestisida nabati, cendawan entomopatogen juga sangat potensial mengendalikan serangga hama tanaman kakao seperti Helopeltis spp. dan PBK. Bioinsektisida cendawan entomopatogen memiliki kelebihan dalam keamanan penggunaannya. Cendawan ini memiliki spektrum inang dari yang sangat luas seperti Metharizium anisopliae sampai yang sangat sempit dan spesifik seperti Aschersonia spp., yang hanya menyerang lalat putih (Malsam et al., 1997). Beberapa kelebihan lain penggunaan produk bioinsektisida cendawan entomopatogen yaitu memiliki kemampuan untuk memperbanyak diri sehingga petani pengguna tidak perlu membelinya secara berkala. Produk ini juga memiliki keunggulan dari segi kesehatan
Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 69 - 78
karena sifatnya yang spesifik pada serangga tertentu. Selain itu cendawan entomopatogen aman terhadap tanaman pertanian dan manusia. Kekurangan dari penggunaan cendawan entomopatogen ialah ketahanannya yang kurang di lapangan. Penggunaan cendawan ini mungkin tidak dapat bertahan sampai menyerang serangga inang karena faktor seperti adanya hujan yang dapat menghanyutkan spora cendawan sebelum sempat menempel pada kutikula inang. Beberapa jenis agens hayati berupa cendawan diketahui efektif terhadap hama PBK antara lain B. bassiana, Spicaria sp., Fusarium sp. Verticilium sp., Acrostalagmus sp., dan Penicillium sp. (Sulistyowati, 2002) dan P. fumosoroseus (Nugraha et al., 2010). Sedangkan untuk Helopeltis spp. cendawan yang diketahui efektif yaitu Beauveria bassiana dan Spicaria sp. (Balai Proteksi Tanaman Perkebunan, 2007). Pemanfaatan Agens Hayati untuk Pengendalian PBK dan Kepik pengisap Buah Kakao Di antara agens hayati yang diketahui efektif terhadap PBK dan kepik pengisap buah kakao, cendawan entomopatogen B. bassiana adalah patogen yang paling efektif dan paling banyak digunakan. Terdapat kurang lebih 175 jenis serangga hama yang menjadi inang jamur B. bassiana.
6.
Formulasi B. bassiana sebaiknya disimpan di tempat sejuk untuk mempertahankan efektifitasnya dan sedapat mungkin dihindarkan dari pengaruh panas secara langsung.
Entopatogen B. bassiama dapat diperbanyak denga cara: 1) pencarian kadaver serangga yang terinfeksi oleh B. bassiana, 2) pemurnian isolat B. bassiana, dan 3) perbanyakan massal B. bassiana, sedangkan perbanyakan massal dengan media jagung adalah sebagai berikut: Sebanyak 1 kg jagung dicuci, dicacah, dimasak selama 30 menit, kemudian dikeringanginkan selama 1 jam. Jagung dimasukkan ke dalam bungkusan plastik masing-masing 100 g dan disterilkan dengan menggunakan auto clave selama 2 jam pada tekanan 1 atm. Jagung dipindahkan ke dalam laminar air flow siap untuk diinokulasikan dengan B. bassiana. Setelah diinkubasi dalam media jagung selama 3 hari, B. bassiana siap untuk dipanen dan diaplikasikan untuk pengendalian hama. Cendawan B. bassiana menggunakan isolat Bby–725 atau yang lain diaplikasikan dengan dosis 25-50 gram spora per hektar dan Helopeltis akan mati pada 2-5 hari setelah aplikasi.
Cendawan B. bassiana Cendawan B. bassiana mempunyai beberapa keunggulan sebagai pestisida alami, antara lain: 1.
2.
3. 4. 5.
Selektif terhadap hama sasaran sehingga tidak membahayakan serangga bukan sasaran, seperti predator, parasitoid, serangga penyerbuk, dan serangga berguna (lebah madu). Tidak meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam tanah, maupun pada aliran air alami. Tidak menyebabkan fitotoksik (keracunan) pada tanaman. Mudah diproduksi dengan teknik sederhana Untuk memperoleh hasil pengendalian yang efektif, penyemprotan sebaiknya dilakukan sore hari (pukul 15.00–18.00) untuk mengurangi kerusakan oleh sinar matahari.
Gambar 3. Imago Helopeltis sp. yang terinfeksi cendawan B. bassiana Semut Predator Semut predator yang digunakan untuk pengendalian PBK dan Helopeltis spp. dapat berupa semut hitam (D. thoracicus) atau semut rangrang (O. smaragdina). Semut hitam bersimbiose dengan kutu putih yang dapat menghasilkan cairan mengandung banyak gula. Kutu sendiri mengisap cairan dari tanaman yang
Pengendalian Hama Utama Kakao dengan Pestisida Nabati dan Agens Hayat (SISWANTO dan ELNA KARMAWATI)
75
mengandung gula dan mengeluarkan sebagian gula tersebut bersama kotorannya. Semut memerlukan gula yang dihasilkan kutu tersebut sehingga melindungi kutu dari serangan serangga lain. Populasi semut hitam dapat dipelihara dan ditingkatkan dengan menempatkan lipatan daun kelapa kering dan dapat ditambah dengan gula merah dalam sepotong bambu. Untuk memindahkan koloni semut dari satu pohon ke pohon lainnya dapat dilakukan dengan memindahkan bambu yang telah berisi semut. Koloni semut tersebut akan menetap dan berkembang jika ada kutu putih. Penempatan kutu putih dapat dilakukan dengan memindahkan dari tanaman lain. Semut rangrang mempunyai warna coklat ke merah-merahan dan panjang 5 -10 mm. Biasanya semut rangrang membuat sarang di antara daun pohon yang ditempelkan dengan selaput lilin. Semut ini sangat ganas dan dapat menyerang siapa saja yang mengganggunya, sehingga serangga hama seperti PBK dan Helopeltis tidak dapat mendekat. Untuk menarik kehadiran semut rangrang pada tanaman dapat dilakukan dengan meletakkan bangkai binatang atau serangga pada tanaman tersebut. Setelah menetap, semut tersebut dapat disebar ke tanaman lainnya dengan cara meletakkan sepotong bambu, kayu, atau tali sebagai jembatan di antara tanaman-tanaman tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN PBK dan Helopeltis spp. merupakan hama utama tanaman kakao yang banyak dijumpai hampir di setiap sentra pertanaman kakao di Indonesia. Beberapa cara pengendalian telah dilakukan. Salah satu cara pengendalian yang relatif murah dan mudah serta aman terhadap lingkungan adalah pengendalian dengan menggunakan pestisida nabati dan agensia hayati. Beberapa pestisida nabati telah diketahui efektif untuk mengendalikan hama tersebut yaitu daun tembakau, sirih hutan, biji/daun mimba, umbi gadung, biji srikaya/nona seberang, daun gamal, biji jarak, daun suren (Toona sureni), dan Tithonia (Tithonia diversifolia). Agensia hayati yang efektif untuk pengendalian Helopeltis spp.
76
yaitu B. bassiana dan Spicaria sp., semut hitam (D. thoracicus) dan semut rangrang (O. smaragdina). Sedangkan agensia untuk pengendalian PBK adalah B. bassiana, Spicaria sp., Fusarium sp. Verticilium sp., Acrostalagmus sp. dan Penicillium sp semut hitam dan semut rangrang. DAFTAR PUSTAKA Albar,
I. 1997. Indonesian National Parks Homepage: Indonesian biodiversity. Available: http://www.geocities.com/RainForest/44 66/biodiver.htm. Last visited: June 7th, 2007. Anonymous. 2007. Teknik Perbanyakan Agens Hayati. Balai Proteksi Tanaman Perkebunan, Jawa Barat. Anonymous, 2010. Perbanyakan dan Teknik Aplikasi Beauveria bassiana. Fakultas Pertanian, Universitas Hasanudin. Anonymous. 2010. Peta Penyebaran OPT Utama Kakao. 3 hlm. Anshary, A. 2003. Potensi klon kakao tahan penggerek buah Conopomorpha cramerella dalam pengendalian hama terpadu. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor, 17-18 September 2002. Hlm. 177-186. Ardana, I.K., E. Karmawati, dan W. Rumini. 2010. Pengendalian hama tanaman perkebunan dengan biopestisida jarak pagar. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Perkebunan 2010, Jakarta, 12-14 November 2010. Hlm. 67-71. Ditjenbun. 2000. Statistik Perkebunan Indonesia 1998-2000. Jakarta: Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan. Ditjenbun. 1994. Upaya Pemanfaatan Pestisida Nabati dalam Rangka Penerapan Sistem Pengendalian Hama Terpadu. Dalam D. Sitepu, P. Wahid, M. Soehardjan, S. Rusli, Ellyda, I. Mustika, D. Soetopo, Siswanto, I.M. Trisawa, D. Wayuno, M. Nurhardiyati (eds.), Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor, 12 Desember 1993. Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 69 - 78
Grainge, M. and S. Ahmed. 1988. Handbook of Plants with Pest Control Properties. New York. 470 p: John Wiley and Sons. 470 p. Handoko dan Sundahri. 2004. Potensi Nikotin Tembakau sebagai Pestisida Nabati untuk Pengendalian Helopeltis antonii Pada Tanaman Kakao. 8 hlm. Hamid, A. dan Y. Nuryani. 1992. Kumpulan Abstrak Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani, Bogor. P.1. Dalam S. Riyadi, A. Kuncoro, dan A.D.P. Utami. Tumbuhan Beracun. Malang: Balittas. Kardinan, A. 2002. Botanical Pesticide; Formulasi dan aplikasi. Jakarta, Indonesia. : PT. Penebar Swadaya. 88 p. Karmawati, E. 2006. Peranan faktor lingkungan terhadap populasi Helopeltis spp. dan Sanunus indecora pada jambu mete. Jurnal Littri 12 (4) : 129-134. Karmawati, E., Siswanto dan E.A. Wikardi. 2004. Peranan semut (Occophylla smaragdina dan Dolichoderus sp.) dalam pengendalian Helopeltis spp dan Sanunus indecora pada jambu mete. Jurnal Littri 10 (1) : 1-40. Karmawati, E., Z. Mahmud, M. Syakir, J. Munarso, K. Ardana dan Rubiyo. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 92 hlm. Karmawati, E. 2010. Pengendalian hama Helopeltis spp. pada tanaman jambu mete berdasarkan ekologi; Strategi dan implementasinya. Pengembangan Inovasi Pertanian 3 (2) : 102-119. Lim, G.T. 1992. Biology, ecology, and control of cocoa podborer Conopomorpha cramerella (Snellen). In: Keane P.J. Putter CAJ. Editors. Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australasia. FAO Plant Production and Protection Paper. Pp. 85-100. Madry, B. 1994. Perkembangan hama penggerek buah kakao PBK dan upaya penanggulangannya di Indonesia. Gelar Teknologi Regional Pengendalian Hama Kakao. Polmas, Sulsel.
Malsam, O., M. Kilian, R. Hain, and D. Berg. 1997. Biological Control. Dalam T. Anke (Ed.). Fungal Biotechnology. Weinhem: Chapman dan Hall. Nasaruddin. 2002. Kakao, Budidaya, dan Beberapa Aspek Fisiologisnya. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Nugraha, I., G. Kusumawardhani, dan A.R. Fitriani. 2010. Potensi cendawan entomopatogen di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. 8 hlm. Pakih, J.S. 1999. Penggunaan pestisida nabati dalam upaya penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) organisme pengganggu tanaman (OPT) perkebunan di Jawa Barat. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor 9-10 Nopember 1999. Pusat Penelitian Tanaman Perkebunan, Bogor. Hlm. 337-347. Regnault-Roger, C. 2005. New insecticides of plant origin for the third millenium? In C. Regnault-Roger, C. Philogene, and C. Vincent (Eds.). Biopesticides of plant Origin. Lavoisier Publishing Inc. Pp 1735. Schmidt, G.H., E.M. Risha, and A.K.M. El-Nahal. 1991. Reduction of progeny of some stored-product Coleoptera by vapours of Acorus calamus oil. Journal of Stored Products Research 27(2):121-127. Sintia, M. 2006. Mengenal pestisida nabati skala rumah tangga untuk mengendalikan hama tanaman. http://www.kebonkem bang.com/serba-serbi-rubrik-44/161mengenal-pestisida-nabati-skala-rumahtangga-untuk-mengendalikan-hamatanaman.html Sudarto, I.M. Wisnu, dan I. Basuki. 2010. Inovasi Teknologi Budidaya Tanaman Kakao di Laboratorium Agribisnis Primatani Kabupaten Lombok Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Sulistyowati, E., Y.D. Junianto, Sri-Sukamto, S. Wiryadiputra, L. Winarto, dan N. Primawati. 2003. Analisis status penelitian dan pengembangan PHT
Pengendalian Hama Utama Kakao dengan Pestisida Nabati dan Agens Hayat (SISWANTO dan ELNA KARMAWATI)
77
pada pertanaman kakao. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor, 17-18 September 2002. Hlm. 161-176. Suwondo. 2001. Upaya pengendalian hama PBK di Sulawesi Tenggara. Pertemuan Teknis Pengendalian Hama PBK. Kendari. Untung, K. 2003. Strategi implementasi PHT dalam pengembangan perkebunan rakyat berbasis agribisnis. Risalah Simposium Nasional Peneltian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor, 17-18 September 2002. Hlm. 1-18. Waisanjani, W. 2011. Efektivitas ekstrak daun suren (Toona sureni) dan Tithonia diversifolia) dalam pengendalian hama buah kakao. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta (Tidak Dipublikasikan). Wardojo. 1980. The cocoa pod borer. A major
78
hidrance to cocoa development. Indonesia Agricultural Research Development of Journal. 2: 1-4. Widodo, D. 2010. Hama Penggerek Buah Kakao (PBK). BBPP Ketindan. Wilis, M., M. Darwis, dan M. Asaad, 2009. Pestisida nabati berbasis tanaman atsiri yang efektif menekan Conopomorpha cramerella dan Helopeltis sp. pada tanaman kakao (40-50%) dan aman terhadap serangga bermanfaat. Laporan Akhir Kegiatan Dana Bantuan Sosial Peneliti dan/atau Perekayasa Tahun 2009. 26 hlm (Tidak Dipublikasikan). Wiryadiputra, S. dan O. Atmawinata. 1998. Kakao (Theobroma cacao L.) dalam Pedoman Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Perkebunan. Pusat Penelitian Tanaman Industri. Badan Litbang Pertanian, Bogor. Hlm. 44-52.
Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 69 - 78