0005: Arief Widjaja & Setyo Gunawan
EN-1
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI BIOETANOL GENERASI 2 MELALUI PEMANFAATAN SELULOSA DAN HEMISELULOSA DALAM JERAMI PADI Arief Widjaja∗ dan Setyo Gunawan Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ∗
e-Mail : arief
[email protected]
Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan bioetanol dari jerami padi dengan memanfaatkan baik komponen selulosa maupun hemiselulosanya. Kondisi pretreatment optimal untuk menghasilkan hemiselulosa adalah NaOH 1%, suhu 60 ◦ C selama 16 jam yang menghasilkan yield xilosa tertinggi pada degradasi enzimatik. Sedang yang menghasilkan selulosa terbesar yaitu NaOH 4% dengan waktu pretreatment 8 jam. Suhu 60 dan 80 ◦ C tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Perolehan gula reduksi yang tinggi pada hidrolisis enzimatik berkorelasi dengan kadar hemiselulosa yang tinggi. Peran enzim xilanase yang terkandung di dalam enzim kasar selulase diduga kuat lebih dominan dibanding enzim selulase. Glukosa dan xilosa hasil hidrolisis enzimatik dapat difermentasi menjadi etanol masing-masing oleh strain S. cerevisiae dan P. stipitis. Fermentasi menggunakan campuran strain Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis menghasilkan yield terbesar yaitu 0,248 g/L. Produksi etanol dari jerami padi dengan memanfaatkan baik komponen selulosa maupun hemiselulosa sangat menjanjikan karena etanol yang dihasilkan jauh lebih banyak dibanding jika hanya glukosa dari komponen selulosa saja yang difermentasi. Penggunaan campuran enzim selulosa dan xilanase mampu meningkatkan perolehan gula reduksi dimana gula-gula reduksi ini baik glukosa, xilosa maupun jenis gula-gula reduksi yang lain akan dapat difermentasi menjadi etanol yang dapat dipergunakan sebagi biofuel. Kata Kunci: jerami padi, selulosa, hemiselulosa, enzimatik, etanol
I.
PENDAHULUAN
Dunia sedang menghadapi problem penggunaan energi berbasis fosil seperti minyak bumi dan gas alam, dimana penggunaan energi ini akan semakin meningkatkan kadar CO2 di alam selain juga gas-gas lain yang memberikan efek rumah kaca yang disinyalir sebagai sumber pemanasan global.[1] Disamping itu, bahan bakar berbasis fosil merupakan jenis yang tidak bisa diperbarui karena berasal dari sisa-sisa makhluk hidup pada jaman purba. Bila sumber energi ini dipergunakan terus menerus tanpa ada inovasi mengenai sumber energi yang dapat diperbarui, maka jumlahnya akan semakin menipis dan habis pada akhirnya. Oleh karena itu penemuan sumber energi dari bahan yang dapat diperbarui sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan energi dunia yang semakin lama semakin meningkat. Di sisi lain Indonesia merupakan penghasil beras besar di dunia yang memberikan limbah padat jerami padi yang sangat besar yaitu 180 juta ton bahan kering per tahun.[2] Jerami padi ini mengandung sekitar
40% selulosa, 30% hemiselulosa dan 15% lignin. Proses konversi selulosa menjadi gula D-glukosa yang merupakan bahan baku fermentasi menghasilkan etanol sudah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan menggunakan katalis enzim selulase.[3] Dibandingkan degradasi secara fisik maupun kimiawi, degradasi menggunakan enzim memiliki banyak keuntungan karena sifatnya yang sangat selektif, hemat energi dan tidak mencemari lingkungan. Akan tetapi degradasi enzimatik selulosa umumnya tidak diikuti dengan konversi yang tinggi. Hal ini dikarenakan keberadaan selulosa dalam struktur lignoselulosa (biomasa) sangat kompleks, antara lain dengan adanya struktur kristalin dalam selulosa serta adanya ikatan yang kuat antara selulosa dengan lignin sehingga degradasi selulosa tidak bisa dilakukan dengan mudah. Karena hemiselulosa merupakan perekat antara selulosa dan lignin, maka jika pendegradasian hemiselulosa oleh enzim xilanase dilakukan terlebih dulu sebelum degradasi selulosa oleh enzim selulase dilakukan, maka diharapkan degradasi enzimatik Prosiding InSINas 2012
0005: Arief Widjaja & Setyo Gunawan
EN-2
xilosa oleh enzim xilanase, serta optimasi kondisi operasinya Tahap II A. Tahap konversi selulosa dalam jerami padi menjadi glukosa oleh enzim selulase, serta optimasi kondisi operasinya.
G AMBAR 1: Struktur polimer xilan dan pemotongannya oleh aktifitas enzim xilanase
selulosa dapat dicapai dengan konversi yang lebih baik. Selain itu, selama ini umumnya pemanfaatan bahan lignoselulosa hanya memanfaatkan komponen selulosanya saja. Padahal kadar hemiselulosa dalam jerami padi cukup tinggi sehingga perlu juga dimanfaatkan. Degradasi xilan sebagai komponen hemiselulosa tumbuhan oleh enzim xilanase sudah banyak dilakukan orang dalam rangka proses pemutihan pulp (pulp bleaching) yang ramah lingkungan,[4] akan tetapi xilosa sebagai produk degradasi xilan ini belum pernah dimanfaatkan lebih lanjut. Padahal xilan merupakan polimer yang tersusun atas unsur-unsur xylopiranosa dengan ikatan beta-1,4. Seperti ditunjukkan pada G AMBAR 1, degradasi xilan akan menghasilkan produk monomer gula D-xilosa dengan 5 atom karbon. Seperti halnya glukosa dan fruktosa yang terdiri dari 6 atom karbon, xilosa termasuk dalam golongan gula pereduksi (reducing sugar) dimana gula pereduksi ini oleh aktifitas mikroorganisme dapat dikonversi menjadi etanol melalui proses fermentasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu teknologi terpadu dalam pengadaan energi terbarukan generasi dua dari jerami padi dengan memanfaatkan tidak hanya komponen selulosa tetapi juga hemiselulosa di dalam limbah padat ini.
II.
METODOLOGI
Metode penelitian dibagi dalam 3 tahap penelitian sebagai berikut: Tahap I A. Tahap produksi enzim xilanase dari strain jamur Trichoderma reesei. B. Tahap produksi enzim selulase dari strain jamur Trichoderma reesei dan Aspergillus niger C. Tahap pretreatment bahan baku baik mekanik maupun kimia D. Tahap konversi xilan dalam jerami padi menjadi
B. Konversi hemiselulosa dan selulosa masing-masing menjadi gula pereduksi D-xilosa dan D-glukosa secara bersama-sama menggunakan campuran enzim xilanase dan selulase, serta optimasi kondisi operasinya. Tahap III A. Fermentasi gula D-xilosa hasil degradasi oleh enzim xilanase pada tahun I menjadi bioetanol serta optimasi kondisi operasinya. B. Fermentasi gula D-glukosa yang dihasilkan pada tahun II menjadi bioetanol oleh aktifitas mikroorganisme serta optimasi kondisi operasinya. C. Fermentasi gula reduksi hasil degradasi oleh campuran enzim pada tahun II, serta optimasi kondisi operasinya. D. Penentuan skema mana yang paling efisien dan efektif untuk menghasilkan etanol akan ditentukan, apakah melalui pendegradasian hemiselulosa dan selulosa sendiri-sendiri oleh masing-masing enzim ataukah melalui pendegradasian dengan campuran enzim.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jerami padi memilki konsentrasi hemiselulosa, selulosa, dan lignin berturut-turut adalah 34,6%, 47,0%, dan 14,6%. Kondisi pretreatment yang paling optimal adalah konsentrasi NaOH 1%, temperatur 60 ◦ C selama 16 jam, hal ini berdasarkan hasil analisa chesson[5] dengan konsentrasi hemiselulosa setelah pretreatment sebesar 32,15% yang menghasilkan yield xilosa tertinggi terhadap hemiselulosa sebesar 85,36%. temperatur optimal untuk proses hidrolisis adalah 50 ◦ C, hal ini didasarkan pada perbandingan uji hidrolisa pada temperatur 30 ◦ C untuk substrat hasil pretreatment NaOH 1%, temperatur 60 ◦ C selama 16 jam. Secara umum, dari TABEL 1. terlihat bahwa seluruh pretreatment pada beragam konsentrasi NaOH, temperatur dan waktu akan menurunkan konsentrasi lignin yang ada dari bahan baku jerami padi mulamula yaitu 14,6%. Demikian juga TABEL 1 juga menunjukkan bahwa proses pretreatment ini juga akan menurunkan konsentrasi hemiselulosa dari nilai awalnya sebesar 34,6%. Penurunan konsentrasi lignin dan hemiselulosa ini berakibat pada kenaikan konsentrasi Prosiding InSINas 2012
0005: Arief Widjaja & Setyo Gunawan
EN-3
TABEL 1: Hasil Pretreatment Jerami Padi dengan Metode Chesson
Variabel pretreatment Sebelum pretreatment 1% ; 60◦ ; 8 jam 1% ; 60◦ ; 16 jam 1% ; 80◦ ; 8 jam 1% ; 80◦ ; 16 jam 2% ; 60◦ ; 8 jam 2% ; 60◦ ; 16 jam 2% ; 80◦ ; 8 jam 2% ; 80◦ ; 16 jam 4% ; 60◦ ; 8 jam 4% ; 60◦ ; 16 jam 4% ; 80◦ ; 8 jam 4% ; 80◦ ; 16 jam
hemi 34.6 33.0 33.1 26.8 21.6 28.1 18.9 26.2 20.7 20.2 22.7 15.5 19.9
KADAR (%) selu lignin 47.0 14.6 56.4 10.4 57.3 9.4 69.2 3.8 69.2 8.1 67.0 4.6 72.1 8.7 70.7 2.9 66.3 12.8 74.2 5.4 71.0 6.2 77.2 7.0 72.7 7.3
abu 3.8 0.2 0.2 0.2 1.0 0.4 0.3 0.2 0.2 0.2 0.1 0.3 0.2
Total (%) 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
TABEL 2: Hasil Proses Hidrolisis Jerami Padi Oleh Enzim Selulase
Kondisi Pretreat NaOH 1%, 80o C, 8 jam NaOH 1%, 80o C, 8 jam NaOH 1%, 80o C, 8 jam NaOH 1%, 60o C, 8 jam NaOH 4%, 80o C, 8 jam
Lignin Awal (%) 3,8 3,8 3,8 10,4 7,0
Selu Awal (%) 69,2 69,2 69,2 56,4 77,2
Hemi Awal (%) 26.8 26.8 26.8 33.0 15.5
selulosa pada seluruh variabel pretreatment yang dilakukan pada penelitian ini. Tampak bahwa jika pretreatment dilakukan pada 60 ◦ C selama 8 jam, maka penggunaan konsentrasi 2 dan 4% NaOH akan menurunkan kadar lignin yang lebih besar dibanding 1% NaOH. Demikian juga kadar selulosa yang dihasilkan secara signifikan lebih tinggi dibanding 1% NaOH. Waktu pretreatment 16 jam tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding 8 jam, baik dari penurunan konsentrasi lignin maupun dari kenaikan selulosanya. Demikian juga jika pretreatment dilakukan pada temperatur 80 ◦ C selama 8 jam, maka konsentrasi lignin terendah didapatkan pada konsentrasi 2% NaOH. Tetapi pada konsentrasi ini, kadar selulosa lebih kecil dibanding 1 dan 4%, dengan konsentrasi 4% NaOH memberikan kadar selulosa tertinggi. Dapat disimpulkan bahwa temperatur 80 ◦ C memberikan kadar lignin lebih rendah dan selulosa lebih tinggi dibanding temperatur 80 ◦ C. Sedangkan waktu pretreatment 8 merupakan waktu pretreatment yang lebih baik dibanding 16 jam dengan kadar lignin yang lebih rendah, sementara kadar selulosa tidak berbeda secara signifikan. Demikian juga dapat disimpulkan bahwa temperatur 60 dan 80 ◦ C tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Sedangkan waktu pretreat-
Selu + Hemi (%) 96 96 96 89.4 92.7
Kondisi Hidrolisis 30 o C pH 3 30 o C pH 5,5 60 o C pH 3.0 60 o C pH 3.0 60 o C pH 3.0
Hasil Gula Reduksi (g/L) 6,36 g/L pada 18 jam 3,5 – 4,5 g/L > 9 g/L 11,2 g/L pada 36 jam 4 – 5 g/L
ment 8 merupakan waktu pretreatment yang lebih baik dibanding 16 jam dengan kadar selulosa yang lebih tinggi, sementara kadar lignin tidak berbeda secara signifikan. Berdasarkan Tabel diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa jerami padi dengan kadar lignin terendah atau kadar selulosa tertinggi dari proses pretreatment tidak memberikan hasil terbaik pada proses hidrolisis. Pretreatment akan mempermudah akses enzim menuju selulosa, tetapi tidak otomatis akan mengoptimalkan gula reduksi yang dihasilkan dalam proses hidrolisis. Pengaruh kondisi operasi pada proses hidrolisis terlihat lebih berpengaruh terhadap hasil hidrolisis dibanding pengaruh konsentrasi lignin atau selulosa awal. Pengaruh temperatur hidrolisis sangat signifikan dimana kenaikan temperatur dari 30 ◦ C ke 60 ◦ C dapat meningkatkan perolehan gula reduksi hampir satu setengah kali lipat. Demikian juga hidrolisis pada pH 3.0 menghasilkan perolehan gula yang jauh lebih tinggi dari hidrolisis pada pH 5,5. Hasil gula reduksi tertinggi sebesar 11,2 g/l didapatkan pada hidrolisis jerami padi hasil pretreatment menggunakan NaOH 1%, 60 ◦ C, 8 jam pada kondisi hidrolisis temperatur 60 ◦ C dan pH 3.0 selama 36 jam. Dari data konsentrasi awal hemiselulosa, dapat Prosiding InSINas 2012
0005: Arief Widjaja & Setyo Gunawan
EN-4
TABEL 3: Hasil Fermentasi Hidrolisat Jerami Padi Menjadi Etanol
Strain
saccharomyces cerevisiae pichia stipitis saccharomyces cerevisiae dan pichia stipitis
Etanol∗) (g/L)
Jam ke-
0 24 48 0 24 48 0 24 48
Glukosa∗∗) (g/L)
0,00 0,22 0,34 0,00 0,10 0,15 0,00 0,26 0,54
Xylosa∗∗) (g/L)
1,57 0,45 0,09 1,57 0,62 0,36 1,57 0,36 0,00
0,62 0,45 0,44 0,62 0,11 0,00 0,62 0,27 0,00
Yield (g/g etanol/ jerami) 0,000 0,007 0,010 0,000 0,003 0,004 0,000 0,008 0,016
Yield (g/g etanol/ gula) 0,000 0,099 0,155 0,000 0,044 0,067 0,000 0,116 0,248
TABEL 4: Hasil Fermentasi glukosa dan xilosa murni menjadi etanol
Strain
saccharomyces cerevisiae pichia stipitis saccharomyces cerevisiae pichia stipitis
Jam ke-
0 24 48 0 24 48 0 24 48 0 24 48
Etanol (g/L) 0,00 0,077 0,123 0,00 0,017 0,072 0,00 72,03 79,80 0,00 15,45 29,17
dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi hemiselulosanya maka perolehan gula reduksinya juga bertambah banyak. Dengan demikian kuat diduga bahwa perolehan gula reduksi lebih dihasilkan dari komponen hemiselulosa yaitu gula reduksi xilosa. Enzim selulase yang digunakan pada proses hidrolisis ini merupakan enzim selulase kasar yang tidak dimurnikan sehingga kemungkinan besar mengandung juga enzim-enzim yang lain seperti enzim hemiselulase. Enzim hemiselulase khususnya enzim xilanase berperan dalam menghidrolisis hemiselulosa menjadi gula xilosa. Hal ini perlu pembuktian dengan analisa HPLC yang dapat membedakan antara glukosa dan xilosa. Analisa gula dengan metode DNS yang digunakan hanya mampu menganalisa total gula reduksi tanpa membedakan jenis gula reduksinya. Fermentasi Jerami Padi Hasil fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae, Pichia stipitis dan campuran Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis diberikan pada TABEL 3. Terlihat bahwa fermentasi dengan campuran Saccha-
Glukosa (g/L) 4,00 3,16 2,31 0,00 0,00 0,00 200,00 43,56 13,35 0,00 0,00 0,00
Xylosa (g/L) 0,00 0,00 0,00 4,00 3,56 3,02 0,00 0,00 0,00 200,00 149,23 97,34
Yield (g/g etanol/ glukosa atau xylosa) 0,00 0,019 0,031 0,00 0,004 0,018 0,00 0,360 0,399 0,00 0,077 0,146
romyces cerevisiae dan Pichia stipitis menghasilkan yield etanol terbesar yaitu 0,248 g etanol/g gula. Hal ini disebabkan karena semua xilosa dan glukosa terfermentasi oleh kedua mikroorganisme tersebut. Akan tetapi yield ini masih lebih kecil dari yield teoritis sebesar 0.51 g etanol/g gula. A. Fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae Hasil fermentasi hidrolisat jerami padi menggunakan S. cerevisiae dengan kadar glukosa awal sebesar 1,571 g/l dan xilosa awal sebesar 0,621 g/l dihasilkan kadar etanol pada jam ke-48 sebesar 0,339 g/l. Tampak bahwa konsentrasi xilosa hampir tidak mengalami penurunan, sementara glukosa menurun dengan tajam seiring dengan kenaikan kadar etanol. Strain S. cerevisiae hanya mampu mengkatalisis penguraian glukosa menjadi etanol dan kurang reaktif menguraikan xilosa.[6] Yield etanol yang dihasilkan sebesar 0,155 g etanol/g glukosa dan xilosa atau 0,217 g etanol/g glukosa. Yield ini lebih kecil daripada teoritis yaitu 0.51 g etanol/g gula. Untuk mengklarifikasi apakah kecilnya yield ini disebabkan karena kecilnya Prosiding InSINas 2012
0005: Arief Widjaja & Setyo Gunawan kadar glukosa awal yang digunakan, ataukah karena adanya inhibitor karena gula yang digunakan berasal dari hidrolisat enzimatik jerami padi, maka digunakan glukosa dan xilosa murni dengan konsentrasi kecil (4 g/l) dan konsentrasi besar (200 g/l). Hasilnya diberikan pada TABEL 4. Tampak dari TABEL 4 bahwa yield menggunakan glukosa murni konsentrasi rendah 4 g/l dengan strain S. cerevisiae hanya 0.031 g etanol/g glukosa, sedangkan penggunaan konsentrasi 200 g/l glukosa menghasilkan yield yang cukup tinggi yaitu sekitar 0.4 g etanol/ g glukosa. Dari Tabel ini terlihat bahwa penggunaan konsentrasi yang sangat rendah akan menghasilkan yield yang lebih rendah pula. Semakin tinggi konsentrasi substrat maka semakin besar yield yang dihasilkan selama konsentrasi substrat yang digunakan tidak terlalu tinggi yang bisa mengakibatkan inhibisi substrat. Dari data di atas tampak bahwa yield etanol menggunakan hidrolisat jerami padi ternyata masih jauh lebih besar dibanding menggunakan glukosa murni dengan konsentrasi yang hampir sama kecilnya. Hal ini mungkin disebabkan adanya gula-gula lain yang terfermentasi selain glukosa yaitu galaktosa dan manosa.[7] Hal ini perlu diklarifikasi lebih lanjut mengenai kandungan gula yang ada pada hidrolisat selain glukosa dan xilosa. B.
Fermentasi dengan Pichia Stipitis Hasil fermentasi menggunakan strain P. stipitis menunjukkan bahwa jumlah glukosa dan xilosa mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa Pichia stipitis mempunyai kemampuan menguraikan glukosa dan xilosa menjadi etanol.[8] Yield etanol yang dihasilkan sebesar 0,067 g etanol/g glukosa dan xilosa. Dibandingkan menggunakan xilosa murni seperti diberikan pada Tabel 4, yield ini lebih besar. Hal ini terjadi karena pada fermentasi hidrolisat, baik glukosa maupun xilosa terfermentasi menjadi etanol. Yield etanol menggunakan xilosa murni 200 gr/L menunjukkan yield yang lebih tinggi daripada yield hasil fermentasi xilosa murni 4 gr/L maupun yield hasil fermentasi hidrolisat jerami padi. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan perolehan yield etanol dari jerami padi dibutuhkan konsentrasi gula awal yang lebih tinggi. Dari data-data di atas, tampak bahwa yield etanol menggunakan strain P. stipitis lebih kecil daripada yield etanol menggunakan S. cerevisiae. Hal ini mungkin disebabkan adanya inhibitor pada fermentasi menggunakan Pichia stipitis. Perubahan xilosa menjadi xylitol dapat menghambat jalannya fermentasi jika dalam jumlah berlebih, sehingga dari xylitol menuju etanol berjalan lebih lambat. Yield yang kecil tersebut dimungkinkan juga adanya gula lain yang tidak dapat difermentasi oleh Pichia stipitis yang ada dalam hidrolisat yang dapat menghambat jalannya fermentasi.
EN-5 C.
Fermentasi dengan campuran Saccharomyces cerevisiae dan Pichia Stipitis Hasil fermentasi menggunakan campuran S. cerevisiae dan P. stipitis menghasilkan yield etanol sebesar 0,248 g etanol/g glukosa dan xilosa, lebih tinggi dibanding hanya menggunakan satu jenis strain saja. Proses fermentasi menggunakan campuran S. cerevisiae dan P. stipitis dapat mengoptimalkan proses penguraian glukosa dan xilosa sehingga menghasilkan etanol yang lebih banyak. Adanya campuran strain ini selain mampu menghasilkan lebih banyak etanol karena adanya dua sumber gula yaitu glukosa dan xilosa, kedua strain ini juga bekerja secara sinergi. Terbentuknya xylitol yang merupakan inhibitor bagi kinerja P.stipitis akan dapat teratasi dengan penambahan strain Saccharomyces cerevisiae untuk membantu proses fermentasi asam piruvat menjadi etanol. Meskipun P. stipitis tidak toleran terhadap inhibitor dan baik dikerjakan pada kondisi aerob,[6] S. cerevisiae merupakan mikroorganisme yang sangat toleran terhadap inhibitor.[7]
IV.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Kondisi pretreatment alkali yang menghasilkan konsentrasi selulosa tertinggi yaitu 4% NaOH, dengan waktu pretreatment 8 jam. Sedangkan temperature 60 dan 80 ◦ C tidak memberikan perbedaan yang signifikan. 2. Temperatur dan pH memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada proses hidrolisis, dimana temperatur 60 ◦ C menghasilkan gula reduksi dua kali lipat dibanding hidrolisis pada 30 C. pH 3.0 juga memberikan perolehan gula yang jauh lebih tinggi dibanding pH 5,5. 3. Hasil gula reduksi tertinggi sebesar 11,2 g/l didapatkan pada hidrolisis jerami padi hasil pretreatment pada NaOH 1%, 60 ◦ C, 8 jam dengan kondisi hidrolisis pada 60 ◦ C, pH 3.0 selama 36 jam. 4. Hasil terbaik proses pretreatment yaitu yang menghasilkan selulosa tertinggi tidak menghasilkan glukosa yang tertinggi setelah hidrolisis enzimatik. 5. Perolehan gula reduksi yang tinggi pada hidrolisis enzimatik berkorelasi dengan kadar hemiselulosa yang tinggi. Peran enzim xilanase yang terkandung di dalam enzim kasar selulase diduga kuat lebih dominan dibanding enzim selulase. 6. Glukosa dan xilosa hasil hidrolisis enzimatik dapat difermentasi menjadi etanol masing-masing oleh strain S. cerevisiae dan P. stipitis Prosiding InSINas 2012
EN-6 7. Fermentasi etanol dari campuran glukosa dengan xilosa dalam hidrolisat jerami padi menggunakan Pichia stipitis menghasilkan yield sebesar 0.067 g etanol/g gula. Nilai ini lebih kecil dibanding menggunakan Saccharomyces cerevisiae yaitu sebesar 0.155 g etanol/g gula. 8. Fermentasi menggunakan campuran strain Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis menghasilkan yield terbesar yaitu 0,248 g/l.
0005: Arief Widjaja & Setyo Gunawan expressing XYL1 and XYL2 from Pichia stipitis with and without overexpression of TAL 1, Bioresource Technology 68 (1999) 79-87 [8] Agbogbo, F.K., Haagensen, F.D., Milam, D. dan Wenger, K.S., Fermentation of Acid-pretreated Corn Stover to Ethanol Without Detoxification Using Pichia stipitis, Appl Biochem Biotechnol, 145:53-58, 2008
9. Produksi etanol dari jerami padi dengan memanfaatkan baik komponen selulosa maupun hemiselulosa sangat menjanjikan karena etanol yang dihasilkan jauh lebih banyak dibanding jika hanya glukosa dari komponen selulosa saja yang difermentasi. 10. Penggunaan campuran enzim selulosa dan xilanase mampu meningkatkan perolehan gula reduksi dimana gula-gula reduksi ini baik glukosa, xilosa maupun jenis gula-gula reduksi yang lain akan dapat difermentasi menjadi etanol yang dapat dipergunakan sebagi biofuel.
DAFTAR PUSTAKA [1] Committee on Science, Engineering, and Public Policy, Policy Implications of Greenhouse warming, National Academy of Sciences, National Academy of Engineering, Institute of Medicine, National Academy press, Washington DC., 1991 [2] Sabiham, S. and B. Mulyanto, Biomass Utilization in Indonesia: Integration of Traditional and Modern Principles of Organic Matter Management, Paper is presented in APECATC Workshop on Biomass Utilization held in Tokyo and Tsukuba Japan, 19 E21 January 2005. [3] Kaur, P.P., Arneja, J. S., dan Singh, J., Enzymic Hydrolysis of Rice Straw by Crude Cellulase from Trichoderma reesei, Bioresour. Technology 66, 267269, 1998 [4] Beg, Q. K., Kapoor, M., Mahajan, L. and Hoondal, G.S. Microbial xylanases and their industrial applications: a review, Appl. Microbiol. Biotechnol., 56:326-338, 2001. [5] Datta, R. (1981), Acidogenic Fermentation of LignocelluloseE Biotechnology and Bioengineering, 23, 2167-2170. [6] Yadav Srilekha, K., Naseeruddin, S., Prashanthi, S. G., (2011), Bioethanol Fermentation of Concentrated Rice Straw Hydrolysate Using Co-Culture of Saccharomyces cerevisiae and Pichia stipitisE Bioresource Technology 102, 6473-6478. [7] Meinander, N.Q., Boels, I., Hagerdal, B.H., Fermentation of xylose/glucose mixturesby metabolically engineered Saccharomyces cerevisiae strains Prosiding InSINas 2012