PENGEMBANGAN MODUL KLASIFIKASI PADA M-ANALYZER, SISTEM PORTABEL CERDAS UNTUK IDENTIFIKASI PARASIT MALARIA Laurent Riara Sirait1, I Ketut Eddy Purnama2, Diah Puspito Wulandari3 Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak- Pendeteksian malaria dilakukan dengan menemukan parasit dalam darah yang diperiksa dengan uji mikroskop di laboratorium yang memiliki infrastruktur yang memadai seperti bangunan, peralatan laboratorium dan lain-lain. Namun di daerah terpencil atau pedesaan yang belum memiliki laboratorium, pendeteksian penyakit ini memerlukan waktu yang lama, sehingga sulit bagi pasien bisa segera mendapat penanganan dan dapat meningkatkan resiko kematian. Oleh karena itu dibutuhkan sistem terpadu dan portabel yang bisa digunakan untuk mendiagnosa penyakit malaria di tempat kejadian. M-Analyzer merupakan aplikasi yang terdiri dari beberapa modul sebagai alat uji diagnostik penyakit malaria portabel yang cerdas, cepat dan efektif yang dilakukan dengan penggunaan mikroskop digital dan proses komputerisasi. Perancangan modul klasifikasi dilakukan dengan memproses citra hapusan darah merah hasil proses segementasi . Untuk mendapatkan nilai ciri dari citra disajikan dalam bentuk histogram, dan kemudian digunakan beberapa fitur sebagai dasar penjelasan dari properti histogram yang meliputi mean , standar deviasi, kecondongan (skewness), keruncingan (kurtosis) dan entropy dari matriks co-ocurrence dari citra. Vektor input dievaluasi dengan sistem jaringan saraf tiruan model Multi Layer Perceptron (MLP) untuk mengidentifikasi eritrosit yang terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi, dan mengklasifikasi tingkat infeksi malaria berdasarkan perkembangan hidup dari plasmodium falciparum. Seratus enam puluh citra malaria digunakan untuk pelatihan dan empat puluh citra malaria digunakan untuk pengujian. Dari modul klasifikasi ini diperoleh efektifitas dari eritrosit yang terinfeksi sebesar 97,4%, tingkat tropozoit sebesar 100%, tingkat skizon sebesar 92,59% dan gametosit sebesar 100% dengan sensitifitas sebesar 100% dan spesifisitas 80%.
Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae) kepada manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles. Dan diperkirakan juga bahwa setiap tahunnya 700.000 sampai 2.7 juta jiwa terinfeksi oleh Plasmodium falciparum , yang mana merupakan spesies yang paling mematikan diantara parasit yang lainnya[1]. Dengan banyaknya kasus malaria, maka kebutuhan suatu metoda diagnostik penyakit malaria yang sifatnya sensitif dan mendukung gejala β gejala klinis sangatlah perlu[2]. Beberapa metode diagnostik penyakit malaria ini telah dilakukan seperti pengujian biokimia (parasitic lactate dehydrogenase LDH), metode fluorometrik (Fluorocrom Hoechst 33458-AND of Plasmodium falciparum), atau penggabungan radio berlabel precursor (Hypoxanthine tritiated , actual gold standard in malaria drug research)[3], namun pengujian ini jarang digunakan di negara - negara berkembang yang dikarenakan oleh harganya yang mahal, membutuhkan infratruktur khusus dan penanganannya yang sulit. Oleh karena itu dirancanglah sebuah metode diagnostik alternatif yang efisien dan handal yang dinamakan dengan M-Analyzer, dimana sistem ini terdiri dari tiga modul yaitu modul akuisisi, segmentasi, dan klasifikasi. Pada modul akuisisi dengan menggunakan mikroskop digital hapusan darah tipis yang terinfeksi (thin blood smear stained) di-capture dan kemudian citra yang dihasilkan akan dipisahkan antara parasit plasmodium falciparum dengan sel darah merah dengan modul segmentasi, atau dengan tugas lain yaitu, memisahakan setiap sel didalam ruang sampel yang sudah di-capture tersebut. Hasil segmentasi kemudian diklasifikasi dengan modul klasifikasi untuk mengidentifikasi eritrosit yang terinfeksi atau tidak, dan tingkat infeksi dari parasit. Metode yang digunakan untuk klasifikasi ini adalah Jaringan Syaraf Tiruan model Multi Layer Perceptron.
KataKunci : M-Analyzer, histogram, mean, standar deviasi, skewness, kurtosis,entropy, matriks coocureence,Multi Layer Perceptron, plasmodium falciparum, tingkat infeksi, tropozoit, skizon, gametosit.
M-Analyzer adalah salah satu bidang riset yang diusulkan di Teknik Komputer dan Telematika Jurusan Teknik Elektro ITS. Tujuan riset tersebut adalah menghasilkan suatu sistem diagnosa aternatif malaria yang portabel dan cerdas untuk identifikasi otomatis malaria secara real time. Pada penelitian kali ini, sistem identifikasi otomatis malaria ini masih berupa prototipe dengan tiga modul di dalamya, yaitu akuisisi, segmentasi dan klasifikasi. Modul akuisisi bertugas mengcapture hapusan darah tipis, yang pengecatannya dilakukan dengan cat Giemsa[4], dengan mikroskop digital. Modul ini dapat menghasilkan citra hapusan darah tipis dengan
I. PENDAHULUAN Malaria adalah salah satu penyebab angka kesakitan dan kematian yang tinggi di negara yang beriklim tropis dan subtropis dengan perkiraan 1-2 juta kematian pertahun. Penyakit malaria disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium (misalnya : Plasmodium falciparum,
II. DASAR TEORI
pembesaran 200 kali. Citra hasil modul akuisisi ini kemudian digunakan sebagai input pada modul segmentasi. Pada modul segmentasi terdapat dua fungsi, yang pertama memisahkan plasmodium dari latar belakang pada citra sel darah dan yang ke dua memisahkan setiap sel darah yang terinfeksi maupun tidak. Gambar 1 menunjukkan peracangan dari MAnalyzer.
Gambar 3. Penggolongan morfologi p. falciparum
III. DESAIN DAN IMPLEMENTASI SISTEM Desain dan implementasi dari sistem diawali dengan tahap pengolahan citra digital yang meliputi normalisasi dimensi citra, ekstraksi citra untuk citra pelatihan dan pengujian, pelatihan 1, pelatihan 2, pengujian 1 dan pegujian 2, dan secara lengkapnya dapat dilihat pada gambar blok diagram di bawah ini.
Gambar 1. M-Analyzer
Dan pada penelitian ini diarahkan kepada pengembangan modul klasifikasi malaria. Modul klasifikasi ini dilakukan dengan dua tahap yaitu untuk mengidentifikasi malaria yang terinfeksi parasit atau tidak, dan malaria yang terinfeksi diklasifikasi tingkat infeksinya berdasarkan perkembangan atau morfologi dari parasit plasmodium falciparum yang meliputi Tropozoit, Skizon, Gametosit (Gambar 2 dan 3)[5]. Citra hasil segmentasi yang digunakan sebagai masukan modul ini adalah citra sel darah merah yang terinfeksi maupun tidak. Untuk dapat mengetahui informasi ciri atau karakteristik dari citra maka digunakan beberapa histogram yang meliputi histogram warna, histogram grayscale, histogram tingkat saturasi, dan histogram sobel, dan dari histogram-histogram ini diambil nilai propertinya yang meliputi mean (nilai rata-rata), simpangan baku (standar deviasi), kecondongan (skewness), keruncingan (kurtosis), sedangkan untuk nilai keteracakan (entropy) intensitas warna citra diperoleh dari matriks co-ocurrece citra. Nilai dari fitur-fitur ini akan dijadikan sebagai vektor input untuk pengenalan pola karaktersitik citra dengan metoda Jaringan Syaraf Tiruan model Multi Layer Perceptron.
Gambar 4. Blok Diagram Sistem Secara Keseluruhan
A. Citra Masukan Citra hapusan darah tipis adalah berformat Jpeg (Joint Photographic Experts Group). Untuk citra masukan proses pelatihan adalah sebanyak 160 citra hapusan, dimana setiap citranya telah dikelompokkan ke kelaskelas yang telah ditentukan dan 40 citra hapusan untuk proses pengujian. B. Preprocessing Pada tahap ini dilakukan normalisasi dimensi citra yang bervariatif menjadi 50x50 piksel. Normalisasi dimensi citra hapusan darah tipis diimplementasikan pada tahap-tahap seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 2. Alur klasifikasi tingkat infeksi
Gambar 5. Proses normalisasi dimensi citra
originalnya. Matriks konvulusi yang digunakan dalam metode Sobel ini adalah :
C. Ekstraksi Citra Untuk mendapatkan vektor input dari citra dibutuhkan suatu identifikasi pola yang kompleks yang melibatkan warna, bentuk, intesitas, tekstur analisis dari citra yang telah di-resize. Proses pencarian nilai ciri atau karaktersitik dari citra eritrosit adalah penggunaan nilai rata-rata (mean), simpangan baku (standard deviation), kemencengan (skewness), keruncingan (kurtosis) dari histogramβhistogram yang dimiliki oleh citra eritrosit tersebut dan nilai keteracakan (entropy) diperoleh dari matrik pasangan intesitas dari citra atau yang disebut dengan Matriks Co-occurrent [6][7]. a. Histogram Warna (Color Histogram) adalah fitur warna yang sangat bayak digunakan untuk menandai distribusi global dari citra berwarna. Sebelum dilakukan perhitungan intesitas warna tiap piksel, terlebih dahulu dilakukan normalisasi terhadap ketiga komponen penyusun warna pada citra, proses ini disebut dengan Normalized RGB, dimana persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : ππππππππ§πππ
ππ =
ππππππππ§πππΊππππ =
ππππππππ§πππ΅ππ’π =
π
ππ
0 0 0
1 β1 2 πΊπ¦ = 0 1 1
β2 β1 0 0 2 1
Dari proses di atas, histogram dapat dibangun dengan persamaan:
hi ο½
ni , i ο½ 0,1,ο, L ο 1 n
Dimana ni adalah jumlah piksel yang intensitas piksel i ,n adalah jumlah seluruh piksel didalam citra, dan hi adalah peluang (probability) piksel. Nilai fitur mean, standar deviasi, kurtosis, skewnes dari histogram di atas diperoleh dengan persamaan : 1 ππππ = Β΅ = π
ππ‘πππππ πππ£πππ π = π =
π
π₯π π=1
1 π
1 2
π
(π₯π β Β΅)2 π =1
π
ππ 2 + πΊππππ 2 + π΅ππ’π 2 πΊππππ π
ππ 2 + πΊππππ 2 + π΅ππ’π 2 π΅ππ’π
1 π πΎπ’ππ‘ππ ππ = π = 1 π
π
ππ 2 + πΊππππ 2 + π΅ππ’π 2
Hasil Normalisasi kemudian dibangun sebuah histogram dengan menggunakan warna merah dan hijau. b. Histogram Tingkat keabuan (Grayscale Histogram) merepresentasikan distribusi intensitas warna citra hapusan yang telah dikonversi menjadi citra tingkat keabuan (grayscale image). Konversi citra RGB ke citra grayscale dapat diperoleh dengan persamaan:
Grayscale ο½ 0.42R ο« 0.32G ο« 0.28B c. Histogram Tingkat Saturasi (Saturation Level Histogram) merupakan histogram yang berasal dari permodelan citra hapusan yang menyatakan kemurnian warna cahaya, yang mengindikasikan seberapa banya warna putih diberikan pada warna. Untuk mendapatkan permodelan tingkat saturasi ini digunakan persamaan : S ο½ 1ο
β1 πΊπ₯ = β2 β1
3 min( R, G, B) Rο«Gο« B
d. Histogram Sobel: Operator sobel adalah salah satu dari banyaknya operator deteksi tepi citra, dimana perhitungannya adalah dengan penggunaan masking 3x3 untuk menganalisa 8 ketetanggan dari titik piksel
ππππ€πππ π =
π π=1 (π₯π π π=1 (π₯π
β Β΅)4 2
β Β΅)2
1 π
π π=1 (π₯π
β Β΅)3
1 π
π π=1 (π₯π
Β΅)2
3
β
e. Matriks co-ocurrence menggambarkan seberapa sering munculnya pasangan dua piksel atau lebih dengan intensitas tertentu dalam jarak dan arah tersentu yang terjadi dalam citra hapusan[6][7]. Matriks intensitas co-occurrence didefinisikan dengan matriks p(i1,i2) dimana notasi p melambangkan probalitas dari pasangan intensitas yang berdekatan antara i1 dan i2 . Matriks p(i1,i2) dapat ditentukan dengan dua langkah, yaitu: a. Penentuan jarak antara dua titik dalam arah vertikal dan horizontal (vektor d= (dx,dy)), dimana besaran dx dan dy dinyatakan dalam piksel. b. Menghitung pasangan piksel-piksel yang mempunyai nilai intesitas i1 dan i2 dan berjarak d piksel dalam citra, dan meletakkan pada matriks p(i1,i2) dimana absis untuk nila intesitas i1, dan oordinat untik nilai intesitas i2. Penentuan jarak antar titik dengan titik pasanganya Nilai keteracakan distribusi warna (entropy) diperoleh dari matriks co-ocurrence dengan persamaan : πΈππ‘ππππ¦ = β
π π1, π2 πππ2 π(π1 , π2 ) π1
π2
D. Pelatihan Vektor input citra pelatihan yang diperoleh dari fitur diatas proses untuk pelatihan. Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk mendapatkan nilai bobot yang menghubungkan ke semua neuron dimana error yang dihasilkan sangat kecil dan mengindikasikan bahwa model jaring syaraf tiruan tersebut sudah sesuai dengan ouput. Jika error yang berasal dari pengurangan target dengan keluaran belum memenuhi dengan nilai yang ditentukan maka bobot-bobot awal diganti dengan bobotbobot yang baru, proses modifikasi bobot ini disebut dengan Backpropagation. Proses perbaikan bobot dapat dipercepat dengan metoda Lavenberg-Marquardt[8]. Pada tugas akhir ini pelatihan ditujukan untuk mengenal pola-pola citra : 1. Eritrosit yang tidak terinfeksi dengan yang terinfeksi plasmodium falciparum, dimana setiap kelas diasumsikan sebagai nilai-nilai seperti di bawah ini (Gambar 6) : a. Eritrosit yang tidak ditandai dengan angka β1β. b. Eritrosit yang terinfeksi Plasmodium falciparum ditandai dengan angka β-1β.
Parameter yang digunakan untuk pelatihan 1 adalah : Performansi (error) β€ 3.55x10-11. Learning rate (Ξ±) = 0.1 Hidden layer = 1(20 neuron) Fungsi Aktivasi = Sigmoid Bipolar Metode adaptasi = trainlm (LavenbergMarquardt) Batas epoch diset default (1000 epoch) E. Pengujian Proses pengujian ini citra hapusan darah uji yang digunakan sebanyak 40 citra, dan vektor inputnya akan dimasukkan ke dalam jaringan yang sudah dilatih sebelumnya dengan bobot-bobot yang sudah ditentukan pada setiap layernya. Metode yang digunakan untuk menguji sistem adalah feed forward dimana setelah vektor input dimasukkan maka yang dihasilkan adalah nilai klasifiksinya sedangkan bobot-bobot pada tiap layer dan biasnya tidak dimodifikasi lagi. Proses pengujian identifikasi akan mengidentifikasi eritrosit mana yang terinfeksi parasit atau tidak. Eritrosit yang teridentifikasi terinfeksi parasit plasmodium falciparum akan dilakukan pengujian klasifikasi dimana bertujuan untuk mengklasifikasi tingkat infeksi berdasarkan tingkat perkembangan parasit tersebut (tropozoit, skizon, gametosit) F. Efektivitas Sistem
Gambar 6. Jaringan Pelatihan pengenalan eritrosit yang terinfeksi plasmodium dan yang tidak
Parameter yang digunakan untuk pelatihan 1 adalah : Performasi (error) β€ 3.55x10-14. Learning rate (Ξ±) = 0.1 Hidden layer = 1 (20 neuron) Fungsi Aktivasi = Sigmoid Bipolar Metode adaptasi = trainlm (LavenbergMarquardt) Batas epoch diset default (1000 epoch) 2. Eritrosit yang terinfeksi akan dilatih kembali untuk mengelompokkan citra tersebut ke kelas yang berdasarkan tingkat infeksi dari parasit tersebut, dimana setiap kelas diasumsikan dengan nilai-nilai sebagai berikut (Gambar 7): a. Tingkat tropozoit ditandai dengan angka -1. b. Tingkat skizon ditandai dengan angka 0. c. Tingkat gametosit ditandai dengan angka 1.
Untuk mengetahui tingkat keakuratan kinerja dari sistem, maka digunakan suatu pendekatan statistikal yang berhubungan dengan keefektifan sistem ini, dimana pendekatan itu disebut dengan F-measures [4], dengan persamaan: πππ
Γ ππ
πΉπ½ = π½ Γ πππ
+ (1 β π½) Γ ππ
πππ
=
ππ ππ + πΉπ
ππ ππ + πΉπ
Dimana TP adalah singkatan dari True Positive. FP adalah singkatan dari False Positif. FN adalah singkatan dari False Negatif. TPR adalah singkatan dari True Positif Rate atau Laju Positif Sebenarnya.PR adalah singkatan dari Precision Rate atau Laju Ketepatan, dan Ξ² adalah koefisien bobot relatif pada True Positif Rate dan Laju Ketepatan dengan rentang ( 0 < Ξ² < 1), dan pada tugas akhir ini ditentukan 0.4. Untuk memperoleh indeks prosentase yang menunjukkan kemampuan sistem diagnosis ini dalam mengklasifikasi tingkat infeksi maka harus dipertimbangkan seberapa besar sensitifitas dan spesifisitas, dengan persamaan sebagai berikut : ππ ππππ ππ‘ππππ‘ππ = Γ 100% ππ + πΉπ ππππ ππππ ππ‘ππ =
Gambar 7. Jaringan untuk Pelatihan klasifikasi tingkat infeksi (tropozoit, skizon, gametosit)
ππ
=
ππ Γ 100% πΉπ + ππ
Dimana TN adalah singkatan dari True Negatif.
Tabel 1. Hasil Identifikasi Eritrosit pada Citra Uji
IV. HASIL DAN PENGUJIAN SISTEM Hasil ekstraksi citra hapusan yang berdimensi 50x50 piksel digunakan dalam proses pelatihan dan pengujian sebagai data vektor masukannya. A. Pelatihan Pada proses pelatihan identifikasi, dari parameter jaringan yang telah ditentukan di atas dihasilkan error atau performance sistem sebesar 1.9 x 10-15 pada epoch ke 32(Gambar 8), dengan bobot-bobot setiap layer dan biasnya disimpan untuk proses pengujian identifikasi.
Hasil Identifikasi Eritrosi yang terinfeksi (-1) dan yang tidak (1) Nomor Eritrosit sehat
Eritrosit yang terinfeksi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
1
1
1
1
-1
1
1
1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
Dari data tabel di atas dapat dilihat terjadinya salah identifikasi terhadap eritrost yang sehat, sehingga secara keseluruhan diperoleh nilai efektifitas FΞ² sistem identifikasi sebesar 0,9740. Pada pengujian yang kedua vektor input yang teridentifikasi sebagai eritrosit yang terinfeksi dan yang salah identifikasi dijadikan masukan untuk diklasifikasikan ke tingkat infeksi malaria dengan menggunakan bobot-bobot pada pelatihan klasifikasi, dan hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Table 2. Hasil Klasifikasi Tingkat Infeksi pada Citra uji Hasil klasifikasi Tingkat Infeksi Tropozoit β-1β,skizon β0β, gametosit β1β Nomor Eritrosit sehat
Gambar 8. Performace jaringan pelatian1
Untuk input vektor pada pelatihan klasifikasi, yang digunakan adalah citra hapusan darah tipis yang terinfeksi yaitu sebanyak 120 citra, dan setelah dilatih untuk pengklasifikasi tingkat infeksi dihasilkan error sebesar 5.65 x 10-12 pada epoch ke 1000(Gambar 9), dan bobotbobot setiap layer dan biasnya disimpan untuk proses pengujian klasifikasi.
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
-1
Skizon
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Gametosit
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Tropozoit
1 0
0
Secara keseluruhan nilai efektifitas sistem terhadap 40 citra eritrosit yang di uji dapat di lihat pada tabel di bawah ini. Tabel.3 Efektifitas (FΞ² ) sistem terhadap 40 citra eritrosit Eritrosit Proses terinfeksi Tropozoit Skizon Gametosit Pengujian
0.974
1
0.9259
1
Nilai sensitifitas dari sistem uji eritorist adalah 100% dan nilai spesifisitas dari sistem uji ini adalah 80% hal ini terjadi karena adanya citra eritrosit yang salah klasifikasi sebanyak dua eritrosit.
V. KESIMPULAN Gambar 4.19. Performace jaringan pelatihan2
B. Pengujian Dengan menggunakan bobot-bobot pelatihan 1 maka pada vektor input hapusan darah pengujian dilakukan evaluasi untuk identifikasi eritrosit yang terinfeksi dan yang tidak, dan hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Dari hasil perancangan dan pengujian seluruh sistem dalam Tugas Akhir ini maka dapat diambil beberapa kesimpulan : 1. Penerapan M-Analyzer dalam pengklasifikasian stadium atau tingkat infeksi malaira berdasarkan tingkat perkembangan hidup parasit plasmodium falciparum yang dilakukan dengan menggunakan sistem evaluasi Jaringan Syaraf Tiruan untuk pengenalan nilai ciri dari citra sel darah merah dengan model Multi Layer Perceptron, dan satu lapisan tersebunyi (dengan 20 neuron), ditambah dengan bias pada setiap lapisan, diperoleh persentase keakuratan berdasarkan nilai efektifitasnya yaitu eritrosit yang terinfeksi sebesar 97,4%, tingkat tropozoit sebesar
100%, tingkat skizon 92,59% dan gametosit sebesar 100% dengan sensitifitas sebesar 100% dan spesifisitas 80%. 2. Nilai ciri citra hapusan darah merah didapat dari properti Histogram RGB, Histogram Grayscale, Histogram Tingkat Saturasi dan Histogram Sobel, yang meliputi nilai-nilai kecondongan (skewness), keruncingan (kurtosis), mean (rata-rata), simpangan baku (standar deviasi) serta dari Matriks co-ocurrence citra untuk mendapatkan nilai keteracakan distribusi intensitas (entropy) , cukup baik di dalam pengklasifikasian tingkat infeksi malaria, dikarenakan nilai keakuratanya diatas 90%. 3. Permasalahan yang timbul pada tugas akhir kali ini yaitu ketika perolehan nilai kurtosis pada histogram sobel adalah sebesar satu, dan skewness sebesar nol, ini dikarenakan nilai intensitas dari histogram sobel adalah biner, sehingga ditambah satu parameter baru sebagai vektor input yatu luasan dari citra eritrosit, dan nilai skewness dibiarkan dengan nilai nol.
VI. SARAN Dari kesimpulan dan hasil eksperimen yang telah dilakukan, maka saran yang dapat penulis berikan: 1. Penambahan input dari citra hapusan darah merah sangat dibutuhkan utuk proses pelatihan JST dalam mengklasifikasi tingkat infeksi eritrosit. 2. Nilai-nilai ciri dari citra hapusan darah merah dapat ditambah dengan histogram-histogram yang ada untuk memperbanyak kriteria parameter dari citra sebagai vektor input. 3. M-Analizer ini masih dalam tahap simulasi, sehingga perlu diimplementasikan ke dalam bentuk aplikasi software untuk dapat digunakan secara langsung pada dunia medis dalam penangulangan penyakit malaria secara dini dan efektif.
VII.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. D. Hartl, βThe origin of malaria: mixed messages from genetic diversityβ, Nat Rev Microbiol 2 (2004), pp. 15β22. [2]. Noorhidayati Abu Seman, Nor Ashidi Mat Isa, Lim Chia Li, Zeehaida Mohamed,Umi Kalthum Ngah, Kamal Zuhairi Zamli"Classification Of Malaria Parasite Species Based On Thin Blood Smears Using Multilayer Perceptron Network",(2008). [3]. Gloria Diaz, Fabio A.Gonzalez, Eduardo Romero,βA Semi-automatic metod for quantification and classifiacation of erythrocytes infected with malaria parasites in microscopic imagesβ, Journal of Biomedical Informatics, National University of Colombia, Telemedicina Centre, Bogota DC, Clumbia 2009. [4]. Suhintam Pusarawati,Indah S.Tantular, Yoes Prijatna Dachlan, editor, βDiagnostik Mikroskopis Malaria Pewarnaan Giemsa dan Acridine Orange (AO)β, Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran dan
[5]. [6]. [7]. [8].
Tropical Disease Centre (TDC) Universitas Airlangga Surabaya. Adjunto Paulo Vieira Damasco,β Disciplina de DoenΓ§as Infecciosas e ParasitΓ‘riasβ, Universidade Federal do Estado do Rio de Janeiro,Brasil,2006. Ahmad, Usman. βPengolahan Citra Digital dan Teknik Pemrogramannyaβ. Graha Ilmu, Yogyakarta. 2005. Vit Springl,βAutomatic Malaria Diagnosis through Microscopy Imagingβ, Czech Technical University in Prague,2009. Mauridhi Hery Purnomo, Agus Kurniawan, βSupervised Neural Networks dan Aplikasinyaβ .Graha Ilmu,Yogyakarta, 2006.