Pengembangan Konsep dan Arah Penelitian Agribisnis Prof. Tahlim Sudaryanto dan Prajogo U. Hadi Pendahuluan Konsep agribisnis di luncurkan pada tahun 1957 di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Hingga pertengahan tahun 1970-an, penggunaan konsep tersebut telah meluas ke berbagai negara, termasuk Asia, dan terus mengalami modifikasi hingga pertengahan tahun 1980-an. Di lingkungan Departemen Pertanian Indonesia, konsep agribisnis mulai disosialisasikan pada tahun 1992 melalui sebuah seminar hasil penelitian agribisnis oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sesudah itu, konsep agribisnis dan aplikasinya mengalami eskalasi dan perubahan paradigma, baik dalam penelitian, pengembangan pilot project maupun rancangan program pengembangan komoditas pertanian. Dengan di berlakukannya kesepakatan perdagangan dalam forum WTO mulai 1 Januari 1995, persaingan antar pelaku agribisnis semakin ketat, sehingga pendekatan agribisnis dalam pembangunan pertanian menjadi semakin relevan. Oleh karena itu, pemikiran tentang strategi pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis mengalami kemajuan yang sangat pesat. Profesor Bungaran Saragih telah melakukan pendalaman dan diseminasi konsep agribisnis secara luas melalui media masa dan penerbitan buku serta menerapkannya selama beliau memangku jabatan Menteri Pertanian RI periode 1994-1999. Sejak saat itu, pengembangan dan penerapan konsep agribisnis dalam pembangunan pertanian semakin menonjol. Tulisan ini menguraikan perkembangan konsep agribisnis di Indonesia, refleksi konsep tersebut dalam kegiatan penelitian di lingkup Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, serta penerapan model pengembangan agribisnis dalam program-program di lingkup Kementerian Pertanian. Dalam tulisan ini di sajikan pula uraian mengenai daya saing, permasalahan, dan tantangan yang dihadapi agribisnis di Indonesia.
Pengembangan Konsep Agribisnis di Indonesia Agribisnis sebagai suatu kegiatan sebenarnya sudah sejak lama dilakukan di planet bumi ini, termasuk di Indonesia, namun konsep agribisnis baru
R1_Refleksi AGB.indd 97
07/04/2010 19:03:36
98
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
diluncurkan pada tahun 1957 oleh dua orang profesor dari Universitas Harvard, Amerika Serikat yaitu John Davis dan Ray A. Golberg. Konsep tersebut mereka tulis dalam sebuah buku yang berjudul ‘A Concept of Agribusiness’. Definisi agribisnis menurut kedua profesor tersebut adalah sebagai berikut: “Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies; production activities on the farm; and the storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them”. Beberapa ahli agribisnis lainnya juga telah mendefinisikan agribisnis, antara lain Drilon (1970), Desai (1974), Collado et al. (1981) dan Downey dan Erickson (1987). Ada pengembangan definisi yang dilakukan oleh Collado et al. (1981) yaitu menambahkan institusi dan mekanisme yang mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kegiatan agribisnis, serta Downey dan Erickson (1987) yang menambahkan manajemen dan pembiayaan. Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa belum ada definisi yang baku mengenai agribisnis. Disamping itu, definisi-definisi tersebut hanya menyebutkan komponen-komponen yang membentuk agribisnis dan belum jelas benar apakah agribisnis membentuk sebuah sistem. Dari hasil survey literatur tentang konsep agribisnis tersebut dan literatur tentang teori sistem dari Gibson et al. (1972), Hadi (1992) membuat sintesis dan mendefinisikan agribisnis sebagai sebuah sistem, sebagai berikut1: “Sistem agribisnis adalah suatu rangkaian kegiatan yang terdiri dari empat sub-sistem yang saling mempengaruhi yaitu sub-sistem penyediaan input pertanian, sub-sistem produksi pertanian, subsistem pengolahan hasil, dan sub-sistem pemasaran hasil pertanian termasuk produk-produk turunannya, yang seluruh kinerjanya dipengaruhi oleh koordinator agribisnis”. Berdasarkan definisi tersebut, maka Hadi (1992) menyatakan bahwa kegiatan koordinasi oleh koordinator agribisnis tidak termasuk ke dalam sistem agribisnis, karena hal tersebut hanya mempengaruhi (affecting) dan tidak dipengaruhi (affected) kegiatan agribisnis. Fungsi koordinator adalah mengkoordinasikan seluruh kegiatan vertikal agar menjadi terpadu dan harmonis sehingga produk akhir yang dihasilkan dapat memenuhi permintaan konsumen dari segi preferensi, jumlah, dan waktu. Koordinator agribisnis terdiri dari: (1) Pemerintah yang menentukan arah kebijakan dan fasilitasi infrastruktur, permodalan, perijinan usaha, dan lain-lain, bagi seluruh subsistem; (2) Peneliti yang menciptakan teknologi tepat guna untuk masingmasing sub-sistem; (3) Pendidik yang mempelajari, mengembangkan dan
R1_Refleksi AGB.indd 98
07/04/2010 19:03:36
Prof. Tahlim Sudaryanto dan Prajogo U. Hadi
99
menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan (termasuk penyuluh pertanian); (4) Manajer usaha pada masing-masing sub-sistem (termasuk petani) yang menyusun strategi, melakukan koordinasi usahanya sendiri, dan memadukan kegiatannya dengan kegiatan-kegiatan yang lebih hilir dan atau lebih hulu; dan (5) Asosiasi bisnis yang mengkoordinasikan, memfasilitasi dan memajukan semua usaha yang berada di bawah naungannya. Sistem agribisnis terstruktur secara vertikal, yang dimulai dari simpul paling hulu yaitu sub-sistem penyediaan input, kemudian sub-sistem produksi, sub-sistem pengolahan hasil, dan yang paling hilir adalah sub-sistem pemasaran hasil dengan konsumen akhir berada pada posisi tertinggi. Dalam sistem ini, aliran fisik barang bergerak secara vertikal dari simpul paling hulu kearah simpul paling hilir. Selain itu, juga terdapat aliran informasi secara vertikal sebagai umpan-balik dari arah sebaliknya yaitu dari simpul paling hilir ke arah simpul paling hulu. Umpan balik yang dimaksud adalah informasi tentang kebutuhan konsumen akhir yang menyangkut preferensi, jumlah dan waktu, yang harus direspon oleh setiap manajer usaha (termasuk petani). Aliran umpan balik tersebut juga merupakan bagian dari proses koordinasi vertikal sistem agribisnis. Hadi (1992) juga menyatakan bahwa sistem agribisnis mempunyai beberapa ciri dasar, yaitu: (1) Melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan (antara lain ekonomi, sosial, biologi, botani, tanah, agronomi, hama dan penyakit tanaman/hewan, klimatologi, manajemen, dan lain-lain); (2) Melibatkan berbagai pelaku usaha mulai dari skala kecil-tradisional hingga skala besar-modern; (3) Hubungan vertikal antar pelaku bisnis bersifat saling memperkuat dan saling menguntungkan; (4) Bermotifkan mencari laba; (5) Efisien; (6) Berwawasan lingkungan; dan (7) Berorientasi pada permintaan pasar. Pada tahun-tahun selanjutnya, gaung konsep sistem agribisnis serta pendekatan sistem agribisnis dalam pembangunan pertanian merebak secara cepat dan meluas di kalangan penentu kebijakan pembangunan pertanian, peneliti, dan akademisi. Kata agribisnis masuk ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993, yang selalu dipasangkan dengan kata agroindustri (menjadi agribisnis dan agoindustri). Agribisnis sebagai paradigma baru pembangunan pertanian disebutkan secara eksplisit dalam REPELITA V Departemen Pertanian (Deptan 1990). Pendekatan sistem agribisnis bersamaan dengan pendekatan pembangunan pertanian dan pedesaan yang terpadu dan berkelanjutan serta pendekatan berbasis sumberdaya petani ditetapkan sebagai tiga kesatuan pendekatan yang tidak terpisahkan dalam upaya untuk mencapai tujuan pembangunan yang ditetapkan dalam
R1_Refleksi AGB.indd 99
07/04/2010 19:03:36
100
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
REPELITA VI (Deptan 1995). Dalam dokumen REPELITA VI tersebut disebutkan bahwa: “Sistem agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari: (1) Subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi, dan pengembangan sumberdaya pertanian; (2) Subsistem produksi pertanian atau usahatani; (3) Subsistem pengolahan hasil-hasil pertanian atau agroindustri; (4) Subsistem distribusi dan pemasaran hasil pertanian; dan (5) Subsistem penunjang”. Karena sistem ini merupakan suatu runtut kegiatan yang berkesinambungan mulai dari hulu sampai hilir, maka keberhasilan pengembangan agribisnis sangat tergantung pada kemajuan-kemajuan yang dapat dicapai pada setiap simpul yang menjadi subsistemnya. Prof. Dr. Bungaran Saragih telah membukukan kumpulan pemikiran mengenai agribisnis dalam sebuah buku berjudul “Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian” yang dicetak pertama kali pada tahun 1998. Buku tersebut mengutip pengertian agribisnis dari Davis dan Golberg (1957) sebagaimana telah disebutkan dimuka. Berdasarkan pengertian agribisnis tersebut, Prof. Dr. Bungaran Saragih mengatakan bahwa: “Sektor agribisnis sebagai bentuk modern dari pertanian primer paling sedikit mencakup empat subsistem yaitu: subsistem agribisnis hulu, yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan dan perdagangan sarana produksi pertanian primer (seperti industri pupuk, obatobatan, bibit/benih, alat dan mesin pertanian, dll); subsistem usahatani, yang di masa lalu disebut sebagai sektor pertanian primer; subsistem agribisnis hilir, yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk yang siap untuk dimasak atau siap untuk disaji atau siap untuk dikonsumsi beserta kegiatan perdagangannya di pasar domestik dan internasional; dan subsistem jasa layanan pendukung seperti lembaga keuangan dan pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layanan informasi agribisnis, penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, asuransi agribisnis, dan lain-lain”. Beliau juga menegaskan bahwa di antara tiga mazhab pilihan strategi industrialisasi yang berkembang di masyarakat Indonesia, yaitu strategi industrialisasi berspektrum luas, strategi industrialisasi dengan industri
R1_Refleksi AGB.indd 100
07/04/2010 19:03:36
Prof. Tahlim Sudaryanto dan Prajogo U. Hadi
101
berteknologi tinggi, dan strategi industrialisasi pertanian dalam bentu pembangunan agribisnis, maka pilihan jatuh pada alternatif ketiga. Ide dasar strategi ketiga adalah bahwa pembangunan agribisnis sebagai bentuk industrialisasi pertanian merupakan kelanjutan dari pembangunan pertanian sebelumnya dengan orientasi peningkatan produktivitas dan nilai tambah. Selanjutnya ditegaskan bahwa cara yang paling tepat untuk mengembangkan perekonomian nasional adalah mengembangkan kegiatan ekonomi yang menjadi tumpuan kehidupan ekonomi sebagian besar rakyat dan mampu mengakomodir keberadaan sumberdaya manusia yang ada. Dalam buku Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan PUAP, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16/Permentan/OT.140/2/2008, agribisnis didefinisikan sebagai berikut: “Agribisnis adalah rangkaian kegiatan usaha pertanian yang terdiri atas 4 (empat) sub-sistem, yaitu: (a) subsistem hulu yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi (input) pertanian; (b) subsistem pertanian primer yaitu kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan subsistem hulu; (c) subsitem agribisnis hilir yaitu yang mengolah dan memasarkan komoditas`pertanian; dan (d) subsistem penunjang yaitu kegiatan yang menyediakan jasa penunjang antara lain permodalan, teknologi, dan lain-lain”. Walaupun pengertian sistem agribisnis agak bervariasi, implikasi dari konsep tersebut adalah sama, yaitu bahwa dalam pembangunan agribisnis, ke empat sub-sistem yaitu input, usahatani, pengolahan dan pemasaran harus di lakukan secara simultan, terpadu, dan berimbang, yang dikoordinasikan dan difasilitasi oleh unsur-unsur penunjang.
Refleksi Konsep Agribisnis dalam Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP2), Kementerian Pertanian, mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan penelitian dan analisis bidang sosial ekonomi dan kebijakan pertanian. Salah satu aspek penelitian yang menjadi prioritas adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan agribisnis. Penelitian agribisnis secara intensif dimulai pada awal tahun 1991. Konsepsi dan pendekatan analisis terus berkembang sesuai dengan perkembangan agribisnis di tingkat internasional dan nasional.
R1_Refleksi AGB.indd 101
07/04/2010 19:03:36
102
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Lingkup penelitian agribisnis di PSE-KP sangat luas yang mencakup empat subsistem dari sistem agribisnis dan koordinator (penunjang) sistem agribisnis. Penelitian pada sistem agribisnis difokuskan pada: (1) Efisiensi usaha dan kemampuan pelayanan serta permasalahan dari sub-sistem input pertanian (benih, pupuk, dan alat/mesin pertanian); (2) Teknologi, efisiensi, produktivitas, dan daya saing usaha komoditas serta permasalahan pada sub-sistem produksi pertanian (usahatani); (3) Teknologi, efisiensi usaha, dan permasalahan pada sub-sistem pengolahan hasil (agroindustri); dan (4) Teknologi, efisiensi usaha, saluran distribusi, permintaan, dan hubungan perdagangan internasional pada sub-sistem pemasaran hasil. Cakupan sub-sistem dalam masing-masing judul penelitian dilakukan secara parsial (masing-masing sub-sistem) atau holistik (seluruh sub-sistem), tergantung pada tujuan penelitian. Sementara itu, penelitian pada koordinator (penunjang) agribisnis dititikberatkan pada kebijakan pemerintah yang menyangkut: (1) Kebijakan proteksi berupa penentuan tarif impor dan/atau pengaturan impor untuk mencegah jatuhnya harga komoditas pertanian, utamanya beras, jagung, kedelai dan gula; (2) Kebijakan pajak dan kuota ekspor untuk mencegah kekurangan pasokan dalam negeri, utamanya CPO; (3) Kebijakan subsidi input, utamanya pupuk, untuk mencegah terjadinya kelangkaan pupuk di tingkat petani, harga pupuk tidak terlalu mahal, produksi dan pendapatan petani tetap meningkat namun beban biaya subsidi yang ditanggung pemerintah juga tidak terlalu berat; (4) Kebijakan harga output berupa penentuan (Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk mencegah jatuhnya harga output pada saat panen, utamanya untuk padi, jagung, kedelai dan gula; dan (5) Kebijakan pembiayaan pertanian rakyat untuk membantu petani dalam membiayai usahataninya dan melindungi petani dari kerugian besar karena risiko bencana alam dan hama/ penyakit.
Penerapan Model Pengembangan Agribisnis di Lapangan Pengkajian SUTPA dan SUP Pengkajian Sistem Usahatani Berbasis Padi Berorientasi Agribisnis (SUTPA) dilandasi oleh lambatnya peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani padi sejak tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 karena pendekatan pembangunan pertanian yang sudah tidak sesuai lagi. Oleh karena itu, pengkajian SUTPA bertujuan untuk menemukan pola pengembangan usahatani berbasis padi yang berorientasi agribisnis pada kondisi spesifik dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi sistem produksi
R1_Refleksi AGB.indd 102
07/04/2010 19:03:36
Prof. Tahlim Sudaryanto dan Prajogo U. Hadi
103
dengan dukungan alat dan mesin pertanian, rasionalisasi penggunaan sarana produksi, dan peningkatan daya saing komoditas dalam usahatani berskala ekonomi (Alam et al. 1997). Keluaran yang diharapkan adalah di terapkannya pola pengembangan usahatani berbasis padi, efisien dan berdaya saing tinggi, pendapatan petani yang memadai dan perubahan sikap petani tradisional/ subsistem menjadi petani progresif/komersial. Pengkajian SUTPA dilakukan atas inisiatif Badan Litbang Pertanian yang dimulai pada MT 1995/1996 di 14 provinsi sentra produksi padi, mencakup areal seluas 46.000 ha. Dalam setiap unit wilayah pengkajian terdapat areal Unit Pengkajian Khusus (UPK) seluas 50 ha dan Unit Hamparan Pengkajian (UHP) seluas 450 ha, atau 500 ha secara keseluruhan. Paket teknologi yang diintroduksikan pada UPK adalah: pengolahan tanah; sistem tanam benih langsung (TABELA) dengan tangan atau alat tanam benih langsung (ATABELA) atau tugal, dan sistem tanam pindah (TAPIN) dengan pola Legowo mina padi yang penerapannya tergantung pada musim tanaman yang dihadapi; penggunaan varietas padi Membramo dan varietas unggul palawija; takaran pupuk spesifik lokasi berdasarkan hasil analisis tanah (terutama P dan K); penerapan PHT; dan pengawalan penerapan teknologi secara ketat oleh peneliti, penyuluh dan petani serta unsur penunjang lainnya. Sumbersumber pembiayaan usahatani adalah: kredit usahatani; swadana kelompok; pengusaha/penggilingan padi; tengkulak beras; dan sumber-sumber dana lainnya. Penerapan teknologi pada areal UPK seluas 50 ha diharapkan dapat menular secara cepat ke areal UPH seluas 450 ha. Teknologi yang diintroduksikan tersebut mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan (Alam et al. 1997; Suryana dan Mardiyanto 1998). Kelebihannya adalah: menghemat tenaga kerja, waktu, dan biaya untuk tanam yang menggunakan cara tebar langsung; meningkatkan produktivitas; penggunaan pupuk lebih hemat karena sistem perakaran tanaman padi yang dangkal sehingga pupuk lebih cepat terserap tanaman; dan hasil mudah dijual dengan harga cukup baik karena kualitas beras baik dan rasa nasinya lebih enak dibanding varietas-varietas lainnya sehingga disukai konsumen. Adapun kekurangannya adalah: sistem tebar langsung dengan menggunakan ATABELA berisiko tinggi pada waktu musim hujan karena gabah yang sudah diletakkan di lahan sawah bisa hanyut jika terjadi hujan sehingga larikan menjadi rusak. Akibatnya, diperlukan tenaga kerja lebih banyak untuk mengatur larikan tanaman agar menjadi teratur kembali dengan jarak tanam anjuran, yang berarti diperlukan tambahan biaya tenaga kerja. Di daerahdaerah dengan pasokan tenaga kerja terbatas, petani menghadapi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tambahan tenaga kerja tersebut, utamanya di
R1_Refleksi AGB.indd 103
07/04/2010 19:03:36
104
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
luar Jawa seperti Sulawesi Selatan (Alam dan Saenong 1997). Pengkajian Sistem Usaha Pertanian (SUP) merupakan kelanjutan dari pengkajian SUTPA ditambah komoditas unggulan selain padi dengan penyempurnaan konsep, pendekatan, dan prosedur pelaksanan pengkajian sesuai dengan dinamika yang terjadi. Tujuan pengkajian SUP adalah: merancang model SUP komoditas unggulan yang sesuai dengan lingkungan strategis wilayah pengembangannya; menemukan pola pengembangan SUP komoditas unggulan yang dinamis dan kompetitif sesuai dengan pelaku dan lokasi spesifiknya; dan mendorong tumbuh dan berkembangnya simpulsimpul agribisnis yang dinamis dan berkelanjutan (Adnyana et al. 1999). Struktur dasar SUP terdiri dari empat sub-sistem, yaitu: input produksi; produksi pertanian; pengolahan hasil panen; dan pemasaran produkproduk pertanian. Keempat subsistem tersebut memerlukan informasi pasar atau inteligen pasar agar berfungsi efisien dalam suatu sistem yang saling tergantung dan terkait satu sama lain. Sistem pendukung yang tangguh merupakan prasyarat dari struktur SUP yang terdiri dari: ketersediaan teknologi melalui penelitian dan pengembangan yang terarah dan terencana secara baik; ketersediaan faktor produksi yang kontinyu; kemampuan finansial yang memadai; adanya kebijakan pemerintah yang kondusif dan peraturan perundang-undangan yang operasional; sumberdaya manusia yang handal; dukungan infrastruktur yang lancar; dan sistem perdagangan dan industri yang efisien. Karakteristik pengkajian mencakup: pemilihan komoditas yang berorientasi pada permintaan pasar (market oriented); skala pengkajian yang dapat dikelola secara baik (manageable); teknologi yang dikaji harus sudah matang dan siap dikomersialkan; pemanduan oleh tim yang multi disiplin; koordinasi dengan instansi terkait di daerah; dan lokasi/kelompok sasaran adalah petani dan mitra usahanya. Pengkajian SUP juga memperhatikan aspek kelembagaan, yaitu: kelembagaan permodalan, utamanya faktor produksi; jasa pelayanan alat dan mesin pertanian; pemasaran input dan output; kelompok usaha mandiri (KUM); petani pemakai air dan organisasi petani; dan kelembagaan informal yang terkait. Sasaran pengkajian kelembagaan adalah kelembagaan agribisnis pada skala mikro dan wilayah yang telah ada berfungsi secara optimal; memungkinkan berkembangnya alternatif kelembagaan yang lebih sesuai dengan kepentingan yang direkomendasikan; dan bantuan sarana dan prasarana produksi sebagai modal bergulir dapat dijadikan pintu masuk untuk mengevaluasi perkembangan kelembagaan yang terkait dengan SUP
R1_Refleksi AGB.indd 104
07/04/2010 19:03:36
Prof. Tahlim Sudaryanto dan Prajogo U. Hadi
105
komoditas unggulan. Untuk keberhasilan mencapai tujuan SUP, diperlukan koordinasi lintas instansi lingkup pertanian dan intansi-instansi pendukung.
Pengembangan Model Prima Tani Proses difusi hasil inovasi dan teknologi dari lembaga-lembaga penelitian ke petani belum optimal, sementara pengembangan agribisnis memerlukan perubahan teknologi secara terus-menerus (innovation driven). Oleh karena itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian mengintroduksikan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) sebagai langkah terobosan untuk mempercepat dan memantapkan inovasi teknologi pada kondisi nyata di lapangan dengan agroekosistem yang beragam. Program ini merupakan wahana untuk melaksanakan penelitian dan pengembangan partisipatif dalam rangka mewujudkan penelitian dan pengembangan berorientasi konsumen/pengguna hasil pertanian. Prima Tani dilaksanakan dengan menerapkan empat strategi, yaitu: menerapkan teknologi inovatif tepat-guna melalui penelitian dan pengembangan partisipatif berdasarkan paradigma penelitian untuk pembangunan; membangun model percontohan sistem dan usaha agribisnis progresif berbasis teknologi inovatif dengan mengintegrasikan sistem inovasi dan sistem agribisnis; mendorong proses difusi dan replikasi model percontohan teknologi inovatif melalui ekspos dan demonstrasi lapang; dan diseminasi informasi, advokasi serta fasilitasi (Sudaryanto et al. 2006). Dengan empat strategi tersebut diharapkan akan terwujud suatu model terpadu “Penelitian – Penyuluhan – Agribisnis – Pelayanan Pendukung”. Karena melibatkan berbagai lembaga, maka model prima tani dapat dipandang pula sebagai sebuah rekayasa kelembagaan dengan berbagai aspeknya. Model Prima Tani dirumuskan pada tahun 2004 dan implementasi kegiatan di lapangan dimulai pada tahun 2005. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkaya pengetahuan dan meningkatkan kemampuan semua unsur yang terlibat dalam pengembangan Prima Tani mulai dari perencana di tingkat nasional sampai dengan tingkat lokal, utamanya di tingkat lapangan. Dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan dilakukan pendampingan secara penuh dalam seluruh tahapan kegiatan dengan fokus pada pengembangan kelembagaan ekonomi pedesaan, khususnya yang tercakup dalam Laboratorium Agribinis di lokasi kegiatan Prima Tani.
Pengembangan Usahatani Agribisnis Perdesaan (PUAP) Program Pengembangan Usahatani Agribisnis Perdesaan (PUAP)
R1_Refleksi AGB.indd 105
07/04/2010 19:03:36
106
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
bertitik-tolak dari keinginan pemerintah untuk lebih cepat mengurangi kemiskinan yang sebagian besar masyarakatnya masih menggantungkan hidupnya dari usaha pertanian. Namun permasalahan mendasar yang harus dipecahkan adalah kurangnya akses petani terhadap sumber-sumber permodalan, teknologi, pasar, dan teknologi serta lemahnya organisasi petani. Program PUAP merupakan salah satu pendekatan untuk mengembangkan usaha agribisnis dan memperkuat kelembagaan pertanian di perdesaan. Program PUAP dilaksanakan oleh Departemen Pertanian yang dimulai pada tahun 2008, yang diintegrasikan dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri). Oleh karena itu, pelaksanaan program PUAP merupakan bagian dari pelaksanaan program PNPM-Mandiri melalui pemberian bantuan modal usaha untuk menumbuhkembangkan usaha agribisnis sesuai dengan potensi pertanian di daerah sasaran (Deptan 2009). Tujuan program PUAP adalah mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi wilayah; meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, pengurus Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Penyuluh dan Penyelia Mitra Tani (PMT); memberdayakan kelembagaan petani dan ekonomi perdesaan untuk pengembangan kegiatan usaha agribisnis; dan meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses ke permodalan. Sasaran program PUAP adalah berkembangnya usaha agribisnis di 10.000 desa miskin/ tertinggal sesuai dengan potensi pertanian desa; berkembangnya 10.000 Gapoktan/Poktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani; meningkatnya kesejahteraan rumah tangga tani miskin, petani/peternak (pemilik dan/atau penggarap) skala kecil dan buruh tani; dan berkembangnya usaha agribisnis petani yang mempunyai siklus usaha harian, mingguan dan musiman. Pola dasar program PUAP dirancang untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran dan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUAP dari pemerintah kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif petani berskala kecil, buruh tani dan rumah tangga petani miskin. Komponen utama dari pola dasar pengembangan PUAP adalah keberadaan Gapoktan; keberadaan Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani; pelatihan bagi petani, pengurus Gapoktan, dan lain-lain; dan penyaluran BLM kepada petani pemilik/penggarap, buruh tani dan rumah tangga petani miskin. Strategi dasar pelaksanaan program PUAP adalah: pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan PUAP; optimalisasi potensi agribisnis di desa
R1_Refleksi AGB.indd 106
07/04/2010 19:03:36
Prof. Tahlim Sudaryanto dan Prajogo U. Hadi
107
miskin dan tertinggal; penguatan dan akses modal petani kecil, buruh tani dan rumah tangga petani miskin kepada sumber permodalan; dan pendampingan terhadap Gapoktan.
Daya Saing Agribisnis: Permasalahan dan Tantangan Daya Saing Produk Agribisnis Di pasar dunia, produk agribisnis Indonesia bersaing dengan produk serupa dari negara maju dan sesama negara berkembang. Persaingan antara Indonesia dan negara maju lebih banyak terjadi pada produk agribisnis, dimana negara maju tidak mempunyai keunggulan komparatif namun karena pertaniannya diproteksi dan disubsidi maka mereka mampu bersaing, sedangkan Indonesia masih mengandalkan keunggulan komparatif. Persaingan antara Indonesia dan sesama negara berkembang lebih banyak terjadi pada produk agribisnis karena keduanya mempunyai keunggulan komparatif tinggi pada produk tersebut. Secara tradisional, produk agribisnis menjadi keunggulan komparatif negara sedang berkembang (Megzari 2001). Di pasar domestik, persaingan juga terjadi antara produk impor dan produk lokal. Produk ekspor utama agribisnis Indonesia adalah minyak sawit, minyak inti sawit, karet, kakao, kopi, minyak kopra, teh, cengkeh, lada, pala, kayu manis, ubikayu dan nenas kaleng. Jumlah negara produsen-eksportir dan reeksportir 13 produk utama tersebut sangat banyak, yang berkisar 58 sampai 140 negara, dimana cengkeh yang paling sedikit dan teh yang paling banyak. Volume ekspornya berkisar 45 ribu sampai 29,9 juta ton, dimana cengkeh yang paling sedikit dan minyak sawit yang paling banyak. Namun jumlah pemain utama dengan pangsa ekspor sangat besar hanya berkisar antara 3-6 negara, dimana minyak sawit yang paling sedikit serta teh dan kakao mentega yang paling banyak. Dilihat dari pangsa nilai ekspornya, Indonesia sekarang menempati posisi 1-5 terbesar dunia (Hadi, 2009). Komoditas yang menempati posisi pertama adalah minyak sawit (47,4%), minyak inti sawit (57%), karet (35,8%), cengkeh (25%), dan kayu manis (34,4%); untuk posisi kedua adalah minyak kopra (25,2%), panili (13,3%), pala (28,3%), ubikayu/gaplek (2,4%), dan nenas kaleng (14,5%); untuk posisi ketiga adalah kakao biji (16,4%) dan lada (11,2%); untuk posisi keempat adalah kopi hijau (7,2%); dan untuk posisi kelima adalah kakao mentega (7,1%) dan teh (5,8%). Komoditas yang mengalami peningkatan pangsa nilai ekspor secara spektakuler adalah minyak
R1_Refleksi AGB.indd 107
07/04/2010 19:03:36
108
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
sawit, karet, kakao, cengkeh, pala, kayu manis, dan nenas kaleng, sedangkan komoditas yang menurun pangsanya adalah kopi, minyak kopra, teh, lada, panili, dan ubikayu. Komoditas-komoditas yang meningkat pangsa ekspornya mencerminkan daya saing yang menguat, sedangkan komoditas-komoditas yang menurun pangsa ekspornya mengindikasikan daya saing yang melemah.
Permasalahan Pokok Rantai pasok (supply chain) dan rantai nilai (value chain) produk agribisnis Indonesia masih belum efisien. Sebagai indikator belum efsiennya rantai pasok adalah tingginya marjin pemasaran dan relatif rendahnya bagian harga yang diterima petani. Sementara itu, indikator belum efisiennya rantai nilai adalah masih rendahnya mutu produk yang dihasilkan sampai ke tangan konsumen dan eksportir. Faktor penyebab belum efisiennya rantai pasok produk agribisnis adalah: jumlah pemain antara petani dan konsumen sangat banyak; lokasi produksi sangat terpencar-pencar berjauhan; kondisi infrastruktur yang masih belum baik; dan posisi rebut-tawar petani yang lemah dalam pasar berbentuk oligopsoni. Sementara itu, belum efisiennya rantai nilai karena: belum adanya insentif harga yang menarik bagi petani untuk melakukan perbaikan mutu hasil panennya; belum berkembangnya rantai pendingin (cold chain) sedangkan produk pertanian mudah rusak; masih lemahnya teknologi pengangkutan yang menyebabkan kehilangan hasil cukup besar utamanya jika jarak tempuh jauh dan perjalanan memerlukan waktu terlalu lama; dan masih lemahnya teknologi pengolahan hasil untuk menghasilkan produk-produk agribisnis bemutu dan bernilai tinggi dan disukai oleh pengguna/konsumen. Simatupang (1995) dan Saragih (2001) mengemukakan bahwa sistem agribisnis di Indonesia secara vertikal tersekat-sekat sehingga manajemen dan pengambilan keputusan tidak berada dalam satu tangan. Hingga saat ini, kondisi demikian masih tetap berlaku dan merupakan persoalan besar yang dihadapi dalam pengembangan agribisnis di Indonesia. Disamping itu, para pelaku pada subsistem usahatani adalah para petani berskala kecil dan tradisional yang jumlahnya sangat banyak dan terpencar-pencar tetapi merupakan pelaku utama dalam sistem agribisnis. Oleh karena itu diperlukan koordinasi vertikal (bukan integrasi vertikal) dan membangun masyarakat pertanian industrial yang didorong oleh kemajuan IPTEK dan permintaan pasar. Masalah struktural lainnya yang sangat serius adalah sifat petani yang
R1_Refleksi AGB.indd 108
07/04/2010 19:03:36
Prof. Tahlim Sudaryanto dan Prajogo U. Hadi
109
masih tradisional. Tampubolon (2001) yang mengutip Roger (1960), mencatat ada 10 sifat tradisional masyarakat yang menghambat kemajuan, yaitu: kurang bisa saling percaya dalam organisasi usaha sehingga kegiatan ekonomi sulit berkembang; kurang daya inovasi dan kreativitas sehingga sulit keluar dari masalah; sangat mudah pasrah, menyerah atau putus asa; tingkat aspirasinya sangat rendah sehingga cepat puas dengan apa yang telah didapat; tidak mampu menunda untuk menikmati hasil kerjanya sehingga menghambat pemupukan modal; wawasan waktu sangat sempit sehingga kurang memperhatikan keberlanjutan usahanya; familisme yang sempit; sangat tergantung pada bantuan pemerintah sehingga sulit untuk mandiri; susah memisahkan diri dari suasana atau situasi ditempat asalnya; dan kurangnya empati kepada orang lain, akibatnya masyarakat tradisional sangat cenderung egoistis, berpikiran sempit, sulit berdialog, serakah dan lain-lain yang semuanya kurang kondusif bagi pengembangan agribisnis yang memerlukan sifat masyarakat yang berlawanan dengan sifat tradisional tersebut. Di Indonesia, sifat-sifat tradisional itu masih ada, dan oleh karena itu, sifat-sifat masyarakat tradisional tersebut secara perlahan-lahan perlu ditransformasi menjadi sifat-sifat masyarakat yang maju melalui program pendidikan, pelatihan, pendampingan, dan lain-lain.
Tantangan Di depan mata, tantangan baru yang menghadang agribisnis Indonesia adalah masuknya produk-produk asal China ke pasar dalam negeri yang makin deras setelah dibukanya kawasan pasar bebas ASEAN-China (ACFTA) tanggal 1 Januari 2010. Produk-produk segar seperti buah-buahan dan sayuran, makanan olahan dan lain-lain akan membanjiri pasar di kota-kota dan bahkan sampai ke perdesaan. Tantangan baru ini makin memojokkan posisi Indonesia karena tantangan lamapun sudah menjepit posisi Indonesia, utamanya bagi produk buah-buahan dari negara-negara Asia lainnya. Empat komoditas strategis yaitu beras, jagung, kedelai dan gula, dimana posisi Indonesia masih sebagai importir neto, masih akan tetap mendapat tekanan pasar dari negara-negara lain, sehingga masih tetap perlu mendapat perlindungan. Beberapa komoditas ekspor yang melemah pangsa ekspornya seperti kopi, minyak kopra, teh, lada, vanili dan ubikayu perlu diwaspadai jangan sampai terus menurun. Sementara itu, minyak sawit, karet, kakao, cengkeh, pala, kayumanis, dan nenas kaleng, yang menjadi andalan ekspor Indonesia perlu tetap dijaga posisinya dari negara-negara pesaing agar tidak turun dan bahkan meningkat.
R1_Refleksi AGB.indd 109
07/04/2010 19:03:37
110
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Penutup Sistem agribisnis membentuk sebuah tatatan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, semua pelaku agribisnis, penentu kebijakan dan unsurunsur penunjang lain, harus memahami tatanan tersebut. Setiap pelaku agribisnis harus mengetahui siapa saja yang menjadi pemasok dan bagaimana perilakunya, dan mengetahui siapa saja yang harus dipasok dan bagaimana perilakunya. Demikian pula, penentu kebijakan harus menggunakan instrumen yang tepat dalam mengembangkan agribisnis, dan unsur-unsur penunjang juga harus mampu memberikan layanan terbaiknya. Para peneliti/ analis juga harus dapat memberikan rekomendasi yang tepat bagi penentu kebijakan dan unsur-unsur penunjang. Semua aspek-aspek tersebut bertujuan untuk mengembangkan agribisnis Indonesia agar menjadi lebih kompetitif di masa depan. Sehubungan itu, mereka semua harus mempunyai pemahaman yang benar dan sama tentang konsep sistem dan usaha agribisnis. Namun demikian, perlu juga disadari bahwa sistem agribisnis mungkin berbeda antara komoditi yang satu dengan komoditi yang lain, sehingga penanganannya juga harus berbeda, walaupun menggunakan prinsip yang sama. Selain itu, setiap subsistem dalam sistem agribisnis sebenarnya membentuk sistem tersendiri. Sebagai contoh, dalam subsistem penyediaan input pertanian terdapat sistem perbenihan yang terdiri dari pemuliaan (breeding), penangkaran, pengolahan (pengeringan, pengemasan, dan pelabelan), penyimpanan dan pemasaran. Demikian pula untuk pupuk, pestisida, dan alat/mesin pertanian yang tentu saja mempunyai karakteristik tersendiri. Dalam usahatani terdapat kegiatan pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pengairan, panen, pasca panen, pembiayaan, dan kelembagaan petani. Dalam pengolahan hasil terdapat kegiatan penentuan lokasi pabrik unit pengolahan, teknologi, dan lain-lain. Dalam pemasaran hasil juga terdapat kegiatan transaksi, transportasi, penentuan harga (pricing), dan pembiayaan (financing), pengenalan pasar/konsumen, dan lain-lain. Selama ini, aspek-aspek mikro tersebut mungkin saja belum dipahami secara benar dan komprehensif, sehingga masih banyak komoditas pertanian yang diproduksi, diolah dan dipasarkan secara tidak efisien dengan teknologi tradisional sehingga daya saingnya tetap rendah. Konsep sistem agribisnis yang telah dibangun selama ini mungkin saja belum sempurna benar dan sesuai untuk kondisi Indonesia. Oleh karena itu masih diperlukan upaya berkelanjutan untuk mengkaji dan membahas konsep sistem agribisnis dan strategi pengembangan agribisnis yang lebih komprehensif dan khas untuk kondisi Indonesia. Semua pemangku
R1_Refleksi AGB.indd 110
07/04/2010 19:03:37
Prof. Tahlim Sudaryanto dan Prajogo U. Hadi
111
kepentingan yang mencakup pelaku agribisnis di masing-masing sub-sistem, penentu kebijakan, unsur-unsur penunjang termasuk peneliti dan akademisi perlu bersinegi untuk menjawab tantangan tersebut.
R1_Refleksi AGB.indd 111
07/04/2010 19:03:37
R1_Refleksi AGB.indd 112
07/04/2010 19:03:38