Pengembangan Hukum Islam Di Era Tabi’in Nasrah Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara A. Ahli Al-Ra’yi dan Ahlu Al-Hadis Pembentukan hukum Islam (daurat takwin) pada masa Rasulullah Saw. berlangsung selama 23 tahun. Pada masa ini setiap persoalan yang dihadapi umat secara langsung dapat ditanyakan kepada Nabi Muhammad Saw. Beliau memberikan jawaban lewat wahyu ataupun hadis yang secara instan dapat diakses tanpa memerlukan proses ijtihad atau penelusuran dan penafsiran akal (ra’yi). Kendatipun ijtihad ternyata telah menemukan momentumnya sebagaimana amar Nabi atas Mu’az tatkala ditunjuk sebagai hakim di Yaman. Nabi bertanya, “Bagaimana kamu memutuskan sebuah persoalan? Mu’az menjawab, “Aku memutuskan dengan Kitabullah”, jika tidak ditemukan dalam Kitabullah ? “Dengan sunnah Rasulullah”, jika tidak terdapat dalam sunnahku ? Aku berijtihad lewat akal dan pikiran”. Peristiwa Mu’az ini menjelaskan bahwa ijtihad telah mendapat pengesahan dari Rasulullah Saw.1 Selanjutnya penggunaan ra’yi sebagai alternatif ketiga sumber hukum setelah Alquran dan Sunnah Nabi mendapat posisi kuat di era Khulafaur Rasyidin. Ada dua hal pokok yang berkembang saat itu berkenaan dengan hukum. 1. Bermunculannya persoalan yang secara lahiriyah tidak ditemukan jawabannya dalam Alquran maupun Al hadis. Ada peristiwa-peristiwa baru yang tidak pernah terjadi sebelumnya sehingga untuk menjawabnya diperlukan ijtihad. 2. Munculnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur dalam Alquran maupun hadis nabi, namun ketentuan itu sulit untuk diterapkan dan perlu pemahaman baru sehingga dapat diterima masyarakat.2 Kedua faktor inilah di samping faktor pendukung lain yang menjadikan para sahabat ketika benar-benar membuka pintu ijtihad. Setelah sahabat, penetapan hukum dengan menggunakan sunnah di satu sisi dan ijtihad di sisi lain berkembang dan meluas. Kadar penerimaan dan penggunaan kedua metode ini pun mengarah pada dua kecendrungan. 1. Dalam penetapan hukum lebih banyak menggunakan hadis Nabi dibandingkan ijtihad, meskipun keduanya tetap dijadikan sumber. Mereka disebut ahlu al-hadis yang kebanyakan berdomisili di Hijaz dan Madinah.3 2. Dalam penetapan hukum lebih dominan menggunakan ijtihad (ra’yi) disebut ahlu alra’yi. Kelompok ini banyak berdomisili di wilayah Iraq dan Basrah. Di bawah ini akan dijelaskan seputar masa pengembangan hukum Islam dan ahlu dan al ra’yi dan ahlu al hadis perkembangan keduanya. Masa Pengembangan Hukum Islam Secara historis, masa pengembangan hukum Islam berawal dari masa daulat Bani Umayyah hingga Bani Abbas, yakni sekitar abad II sampai pertengahan abad IV H. Pengembangan dan kodifikasi hukum dan hadis mendapat perhatian yang sangat besar. Hadis1 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 1995, h.119. Dan baca Mukhtar Yahya dkk, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, PT.Al Ma’arif, Bandung, 1999, h.119. 2 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jld.I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, h.22. 3 Ibid, h.29.
1 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
hadis Nabi dan fatwa-fatwa sahabat dikumpul dan dijadikan sebagai kajian keilmuan dan penyelesaian masalah-masalah sosial umat. Dalam berijtihad para tabi’in berdasarkan pendirian mereka kepada pendapat para sahabat dengan menempuh dua cara : 1. Mereka mengutamakan pendapat seorang sahabat dari pada sahabat lain jika salah satu pendapat itu menurut penilaiannya lebih dekat dengan Alquran dan Sunnah. 2. Mereka sendiri berijtihad.4 Seiring dengan perkembangan fiqh, maka bermunculan fuqaha di berbagai wilayah Islam yang kemudian melahirkan perbedaan pendapat. Persoalan yang sering menjadi perdebatan adalah seputar boleh tidaknya penggunaan perangkat ra’yu dalam penetapan hukum Islam selain Alquran dan Hadis.5 Perbedaan pendapat dan pertentangan ini melahirkan kelompok Ahlu Ar-Ra’yi dan Ahlu Al Hadis yang pada masa belakangan mengembangkan metode istinbat hukum yang berbeda dan menggunakan metode yang tidak sama. Jika diperhatikan secara geografis, mazhab Ahlu Ar-Ra’yi berada di daerah Iraq (Basrah, Kufah). Sedangkan Ahlu Al-Hadis di daerah Madinah. Di hampir setiap daerah berdiri madrasah terkait dengan mazhab tertentu dengan tokohnya tersendiri. Di Madinah misalnya, ada Sa’id ibn Musayyah, Urwah bin Zubair (w. 94 H), Abu Bakar ibn Aba Rahman (w. 95 H), Ubaidah ibn Abdullah (w. 98 H), Kharijah ibn Zaid (w. 99 H), Sulaiman ibn Yai (w. 167 H) dan Al Qasim ibn Muhammad. Mereka dikenal dengan sebutan Fuqaha Sab’ah di Madinah.6 Di Basrah muncul tokoh-tokoh Ahlu Al Ra’yi, yaitu Muslim ibn Ya’sar (w. 108 H), Al Hasan ibn Yasa (w. 100 H), dan Muhammad ibn Sirin (w. 110 H). Di Kufah tampil Al Qamah ibn Qaius (w. 62 H), Masruq ibn Ajdi (w. 61 H), Al Aswad ibn Yazid (w. 75 H), Sarah ibn Haris (w. 78 H) dan lain-lain. Tokoh yang terkenal di Siria adalah Qabisi ibn Zuwaih (w. 86 H), Umar ibn Abdul Aziz dan lain-lain.7 Terpencar-pencarnya wilayah Islam dan banyaknya para ulama dengan berbagai profesi menyebar ke berbagai wilayah kekuasaan Islam. Dengan kondisi ini mereka memposisikan tempat yang mereka singgahi dengan kelompok Tabi’in Besar. Mereka bergabung dengan para ulama yang ada di sana dan bersama-sama dalam mengeluarkan fatwa.8 Periwayatan hadis turut mempengaruhi perkembangan fiqih. Sahabat-sahabat yang masih hidup setelah Khulafaur Rasyidin menjadi tempat pemberhentian untuk belajar dan menerima fatwa untuk menjawab persoalan-persoalan yang mengemuka di berbagai kota. Hadis-hadis yang didapat dari sahabat-sahabat itu ditambah hadis-hadis yang mereka hafal merupakan rujukan dalam istinbat hukum.9 Di samping itu sejumlah kitab Musnad seperti Musnad Abi Hurairah, Musnad Ahmad bin Hambal dan Musnad Abu Bakar juga sangat membantu para ulama pemberi fatwa. Namun tidak meratanya penguasaan hadis di berbagai daerah menjadi penyebab berbedanya fatwa dari para fuqaha ini.10 Di era ini juga umat Islam telah terpecah kepada berbagai kelompok seperti Sy’iah, Khawarij dan Ahlu As Sunnah. Setiap kelompok berpegang teguh terhadap pendapat masing-
Huzaimah Yahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, h.30. 5 T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, h.23-24. 6 Huzaimah, Op.Cit, h.31. 7 Ibid, h.37. 8 Hudhari Bek, Sejarah Pembinaan Hukum Islam Nurul Ihya’ Indonesia, 1980, h.284-285. 9 Ibid, h.285. 10 Huzaimah, Op.Cit, h.37. 4
2 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
masing untuk mendukung mazhabnya, sehingga mempengaruhi hasil fatwa mereka dalam bidang hukum.11 Ahlu Al Ra’yi dan Ahlu Al Hadis Serta Perkembangan Keduanya 1. Ahlu Al Ra’yi Secara umum yang dimaksud ahlu ra’yi adalah aliran ijtihad yang berpandangan bahwa hukum syara itu merupakan ketentuan-ketentuan doktrinal yang mengacu kepada kemaslahatan kehidupan manusia.12 Golongan ini berkembang di Kufah (Iraq). Dalam penetapan hukum mazhab ini banyak dipengaruhi cara berpikir ulama-ulama Iraq. Mereka mengikuti pola pikir Umar ibn Khattab. Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas’ud. Kecendrungan mereka dalam menetapkan hukum banyak mengacu kepada ra’yi. Para ulama dari kelompok ini antara lain Al Qamah ibn Qais, Al Aswad ibn Yazi Al Nakha’i, Masrur ibn Ajda, Ubaid ibn Amar, Syuraikh ibn Haris, Haris Al Alwa dan Abu Hanifah.13 Dominasi ra’yi dalam penetapan hukum dapat dipahami karena kondisi wilayah yang jauh dari Madinah tempat nabi dan mayoritas sahabat berdomisili dengan inventaris hadis dan qaul sahabi serta kebiasaan masyarakat Madinah yang diyakini mencerminkan ideal sunnah Nabi.14 Sehingga dalam menetapkan hukum, mazhab ahlu al-ra’yi melandaskan pada beberapa asumsi dasar antara lain : 1. Nas-nas syariat sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh sebab itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, maka ijtihad yang didasarkan atas ra’yu menemukan momentumnya. Sesuai dengan ucapan Mu’az bin Jabal ketika diutus oleh Rasulullah ke negeri Yaman. Jika ia tidak menemukan nash dari Alquran dan Sunnah, ia akan berijtihad dengan ra’yu.15 2. Setiap hukum syara dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang fuqaha adalah menemukan illat ini. Oleh sebab itu ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus lain karena illatnya, atau membatalkan berlakunya suatu hukum karena diduga tidak ada illatnya.16 2. Ahlu Al Hadis Ahlu Al Hadis adalah para ulama yang dalam ijtihad fiqihnya merujuk pada Alquran dan Sunnah serta tidak mau melangkah jauh dari keduanya, tidak senang melakukan kajian nalar dan sangat hati-hati dalam berfatwa.17 Kelompok ini dominan berdomisili di Makkah, Madinah dan Hijaz. Kecenderungan ini dapat dipahami karena di tempat inilai Nabi bermukim sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah ini diyakini mencerminkan tipe ideal yang mengacu kepada sunnah Nabi.18 Golongan ini berkembang di Hijaz. Mereka berpegang pada kedua sumber ini secara ketat. Jika tidak ditemukan hukumnya dalam Alquran dan Sunnah, mereka berpaling kepada praktek dan pendapat para sahabat. Mereka menggunakan ra’yu pada situasi yang sangat terpaksa. Namun jika tidak ditemukan nash dan pendapat atau praktek para sahabat, mereka sepakat menggunakan ijtihad kendatipun dengan metode dan proporsi yang berbeda dengan ahlu al-ra’yi. Hudhari Bek, Op.Cit, h.286. Dede Rosyada, Op.Cit, h.129. 13 Huzaimah, Op.Cit, h.33. 14 Amir Syarifuddin, Op.Cit, h.24. 15 Ibid, h.33. 16 Ibid, h.9. 17 Dede Rosyada, Op.Cit, h.134. 18 Syarifuddin, Op.Cit, h.24. 11 12
3 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Tokoh-tokoh ahlu al-hadis antara lain Sa’id ibn Musayyah al-Mahruzi, Al Zuhri, Al Sauri, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan Daud al-Zahiri.19 Metodologi ahlu al-hadis dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan lahiriah teks dan nash, tanpa susah payah mencari dan mendalami illah hukumnya. Mereka membatasi akal dan memberi makna apa adanya sesuai kehendak nash. Perbedaan dua golongan tersebut dalam berfatwa dapat disaksikan dari sebuah dialog antara ahlu al-ra’yi dengan ahlu al-hadis berikut ini. Rabi’ah bin Farukh bertanya kepada Sa’id bin Musayyab, Syekh fuqaha Madinah tentang diyat jari perempuan : Rabi’ah : Apakah diyat satu jari ? Sa’id : Sepuluh ekor onta Rabi’ah : Jika dua jari ? Sa’id : Dua puluh ekor onta Rabi’ah : Jika tiga jari ? Sa’id : Tiga puluh ekor onta Rabi’ah : Jika empat jari ? Sa’id : Dua puluh onta Rabi’ah : Kenapa ketika lukanya besar maka diyatnya berkurang ? Sa’id : Apakah kamu orang Iraq ? ini adalah ketetapan sunnah. Menurut Sa’id diyat seorang wanita menyamai diat laki-laki sampai sepertiga diat. Apabila lebih dari sepertiga, maka diyat wanita menjadi separuh laki-laki sebagaimana dipahami dari sunnah Zaid bin Tsabit. Hal ini dipahami dari zahir nash kendatipun bertentangan dengan akal. Sementara menurut Rabi’ah dan kalangan ahlu Iraq berpendapat bahwa diyat wanita adalah separuh diyat laki-laki, dan tidak menerima kesimpulan yang tidak masuk akal.20 Perbedaan kedua kelompok tersebut dalam mengistinbatkan hukum berpengaruh pada generasi belakangan. Pada satu sisi ahlu al-hadis tetap menggunakan ra’yi kendatipun dengan sangat selektif. Begitu juga ahlu al-ra’yi sangat selektif dalam menerima hadis karena banyaknya beredar hadis-hadis palsu. Imam Malik yang mengikuti tradisi ahlu al-hadis dalam menetapkan hukum juga banyak menggunakan ra’yi dalam kitabnya (Al-Muwatta). Jadi, perbedaan yang terjadi hanya pada pendekatan dalam istinbat hukum, seperti Malik selain menggunakan qiyas, istihsan, maslahat mursalah, ‘uruf, ijma’, juga istishab. Sementara Syafi’i, menggunakan qiyas tapi menolak istihsan, dan Abu Hanifah menggunakan qiyas dan istihsan.21 Selanjutnya pada pertengahan abad kedua hijrah, tampil seorang mujtahid besar yang berusaha menggali pengetahuan di madrasah Hijaz dan madrasah Iraq, yaitu Al Syafi’i. Imam Syafi’i, mencoba mengadakan sintesa antara kedua kelompok ini. Beliau menggunakan ra’yi tetapi tidak seleluasa ahlu al-ra’yi.22 Sebaliknya juga selalu berpedoman pada hadis tetapi berusaha mensinerjikannya dengan pandangan ra’yi. Belakangan murid Syafi,i, Ahmad bin Hambal kembali melahirkan mazhab Hambali yang lebih banyak berpegang pada hadis. Selanjutnya Daud Zahiri melahirkan mazhab Zahiri yang hanya berpegang atas makna zahir nash, dan menghindarkan diri keluar dari pemahaman yang keluar dari makna zahir nash.23 Namun perbedaan dari kedua kelompok itu hanya dalam masalah furu’ bukan pokok. Mereka tidak berbeda pada persoalan yang pasti dan qat’i serta jelas maknanya dalam nash.
Ibid, h.134. Hudhari Bek, Op.Cit, h.293-294. 21 Hudheri Bek, Op.Cit, h.37. 22 Amir Syarifuddin, Op.Cit, h.30. 23 Amir Syarifuddin, Op.Cit, h.33. 19 20
4 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
B. Ijma’ Dan Perkembangannya Sebagai Hujjah Sumber utama hukum (yurisprudensi) Islam adalah Alquran. Sunnah menjelaskan dan merinci Alquran. Sunnah tidak diragukan lagi sebagai sumber tersendiri, namun ia tetap berkaitan erat dengan dan berada di bawah kedudukan Alquran. Qiyas adalah bentuk sistematis dari ra’yi (pendapat individu tentang suatu hukum) dan didasarkan Quran dan Sunnah. Pendapat individu dapat menjadi ijma’ apabila ia diterima secara universal oleh umat. Ijma’ sampai hari ini disepakati oleh para ahli hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum yang memiliki kedudukan penting di samping Quran, Sunnah dan Qiyas. Tulisan ini akan membicarakan latar belakang munculnya konsep ijma’ dalam Islam, sejarah dan perkembangannya sebagai hujjah, pandangan ulama tentang kehujjahannya. Sebelum bagian penutup, akan dibahas macam-macam ijma’ yang berkembang dalam ushul fiqh. I j m a’ Secara etimologi, ijma’ mengandung arti al-‘Izm ‘ala as-syar’I (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu). Lihat misalnya Q.S. 10 : 71. Ijma’ dengan arti “sepakat”. Lihat misalnya (Q.S. 12 : 15).24 Sedangkan secara istilah ijma’ adalah : a. Al-Ghazali : Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.25 b. Dalam fiqh klasik ijma’ adalah kesepakatan umat Islam dalam persoalan-persoalan keagamaan. Defenisi lain : ijma’ adalah konsensus, pendapat orang-orang yang berkompeten untuk berijma’ (ahl ijma’) dalam persoalan-porsoalan agama, baik yang bersifat rasional ataupun hukum.26 c. Menurut ahli ushul ijma’ ialah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhadap syara’ tentang suatu masalah atau kejadian.27 Harus diakui bahwa defenisi yang dianggap baku ini hanyalah defenisi teoritis yang disepakati oleh para ahli hukum, dan harus dicatat bahwa defenisi ini tidak mewakili proses sejarah yang sesungguhnya dari ijma’ dalam Islam. A. Hassan menegaskan bahwa defenisi ini tidak mengizinkan perbedaan pendapat bahkan dari seorang ahli hukum pun dari generasi di mana dimisalkan suatu ijma’ sudah dicapai. Alasannya adalah, menurut teori klasik ijma’ tidak sempurna bahkan jika seandainya seorang saja pun dari mereka yang kompeten untuk melakukan ijtihad dan nazhar (penalaran) masih tetap menentang keputusan yang disepakati.28 Lebih jauh untuk melakukan ijma’ “total” dikatakan bahwa ijma’ tidaklah tunduk pada nalar, tetapi merupakan “hak istimewa (karamah)” ummat. Karena itu, keseluruhan umatlah yang memiliki sifat infallibilitas, bukannya mayoritasnya. Sekarang timbul pertanyaan apakah ijma’ total mungkin tercapai dalam hal-hal yang terperinci ?. Terlepas dari masalah-masalah yang pokok, terdapat sejumlah besar masalah di antara para ahli hukum mengenai masalah tersebut. Ini menunjukkan bahwa defenisi ijma’ klasik memiliki kekurangan atau bahwa ijma’ hanya merupakan konsep teoritis saja.29
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jld.I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, h.12. Ibid, h.113. 26 Abd. Al Aziz Al Bukhari, Kasyf Al Asrar ‘Ala Ushul Al Bazdawi, Vol.III, Istambul 1308 H, 24 25
h.227. 27 Abd. Al Wahhab Khallaf, Ilmu Uhsul Fiqh, Terj.Moh.Tolhah Mansoer, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung : Risalah, Cet : II, 1985, h.62. 28 Ahmad Hassan, The Early Development Of Islamic Jurisprudence, Terj. Agah Garnadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung : Pustaka, Cet. II, 1414/1994, h.144. 29 Ibid, h.144-145.
5 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Latar Belakang Munculnya Konsep Ijma’ Ijma’ dalam sejarah Islam yang aktual adalah suatu proses alamiah bagi penyelesaian persoalan melalui pembentukan pendapat mayoritas dalam umat secara bertahap. Setelah Rasulullah wafat dan wahyu berhenti turun, muncullah kebutuhan untuk membatasi kemungkinan salah dalam ijtihad. Nampaknya gagasan ijma’ muncul sebagai kebutuhan sosio-politik yang kemudian direstui pada masa-masa selanjutnya atas dasar ayat Alquran dan tradisi Rasul Saw. Tidak ditemukan konsep ijma’ an sich seperti pada masa hidup nabi. Alasannya karena wahyu dan ucapan Rasulullah merupakan kata pemutus bagi persoalan-persoalan baru. Pada waktuwaktu itulah dirasakan perlunya memastikan ketepatan jawaban mereka terhadap persoalanpersoalan tersebut yang didasarkan pada pendapat pribadi. Contoh praktis pertama tentang ijma’ adalah setelah Nabi wafat yaitu peristiwa Saqifah bani Sa’idah. Dalam majelis ini pendapat pribadi Umar ibn Khattab berkaitan dengan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama diterima oleh kaum Muslimin yang hadir di tempat itu dan diakui oleh umat. Meski demikian, contoh itu bukanlah berarti landasan atau rumusan teknis bagi konsep ijma ini. Pada umumnya persoalan-persoalan muncul dari jawabannya yang dicari oleh kaum Muslimin dengan dasar ra’yi yang dijamin oleh persetujuan diam-diam dari umat. Pendapat pribadi para sahabat, terutama pendapat Umar dalam masalah-masalah hukum kemudian hari diterima sebagai ijma’ para sahabat. Jadi ijma’ bermula dari pendapat perseorangan (Atau ijtihad) dan berpuncak pada penerimaan dan persetujuan universal oleh umat atau suatu pendapat tertentu dalam jangka panjang. Ijma’ muncul dengan sendirinya dan tidak dipaksakan pada ummat.30 Sejarah dan Perkembangannya Sebagai Dalil Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa landasan hukum yang tidak diperdebatkan keabsahan penggunaannya sebagaimana dianut oleh pakar hukum klasik adalah Alquran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Karya-karya yurisprudensi Islam yang disusun semenjak masa As Syafi’i (w. 204 H) dan riwayat-riwayat tertentu yang dikatakan sebagai berasal dari masa yang lebih awal31, menguatkan keyakinan bahwa urutan sumber-sumber hukum Islam yang ada sekarang sudah ada semenjak masa-masa yang paling awal dalam Islam. Akan tetapi, adalah sulit untuk menerima hal itu. Ada berbagai alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, skema teori hukum ini, yakni Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas itu sendiri merupakan hasil perkembangan sejarah yang berawal dari masa para sahabat. Kedua, urutan teknis dari sumber-sumber hukum tersebut sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat-riwayat seperti itu tak dapat dikatakan asli. Ketiga, ide tentang pemimpin-pemimpin yang terbimbing lurus (al Aimmat ah Huda) tentunya baru muncul setelah empat khalifah pertama. Karena itu riwayat yang mempergunakan istilah qiyas oleh ibn Khattab dalam instruksi-instruksinya kepada para hakim (qadhi) nampaknya patut disangsikan. Kempat, konsep ijma` khususnya ijma` para sahabat paling mungkin muncul sesudah masa generasi pertama. Dari perbincangan As Syafi’i dengan lawan-lawannya nampak jelas bahwa para ahli hukum mazhab-mazhab awal menempatkan qiyas sebelum ijma’. Perubahan urutan sumber-sumber hukum untuk pertama kalinya muncul dalam karya As Sayafi’i, meskipun landasannya sudah ada jauh sebelum dia.32 Di bawah ini dipaparkan analisis A. Hasan tentang beberapa contoh yang mengungkapkan bahwa sebelum As Syafi’i, ijma’ ditempatkan sesudah qiyas. Ketika membicarakan prinsip ijma’, lawan-lawan Syafi’i berusaha mengukuhkan kewenangan ijma’ dalam menentang tradisi terisolir (hadis syazd) yang didukung As Syafi’i. Lawan-lawannya menyatakan bahwa ijma’ ulama dalam hal perincian-perincian haruslah diikuti, Ibid, h.145-146. Ibn Hazm, Al Hikam Fi Ushul Al Ahkam, Vol.IV, Kairo 1345 H, h.29. 32 Ahmad Hasan, Ibid, h.35-36. 30 31
6 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
karena hanya merekalah yang memiliki pengetahuan hukum dan bersepakat dalam pendapat. Tetapi menurut As Syafi’i, ijma’ hanya bisa menjadi otoritas bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan hukum, apabila para ulama tersebut bersepakat pendapat. Tetapi jika para ulama berbeda pendapat, maka pendapat mereka tak memiliki kewenangan yang mengikat. Lebih jauh ia menyarankan bahwa masalah-masalah yang belum terselesaikan, di mana terdapat perbedaan pendapat haruslah diacukan kembali kepada qiyas atas dasar hal-hal yang sudah mereka sepakati bersama. Ini berarti bahwa menurut dia, proses qiyas-ijma’ haruslah berjalan terus dan bahwa qiyas mendahului ijma’.33 Washil bin Atha’ (w. 131 H) diriwayatkan pernah mengatakan bahwa pertimbangan yang tepat dapat dicapai melalui empat sumber ; kata-kata yang nyata dalam al-Kitab, tradisi-tradisi yang telah dikenal secara umum, penalaran logis, dan konsensus ummat. Di sini terlihat bahwa qiyas diberi prioritas lebih awal dari ijma’ dan bahwa ijma’ ditempatkan di urutan terakhir. Perlu juga diungkapkan bahwa bagi Al Nazzam, ijma’ yang otoritasnya dipegang sebuah lembaga semacam ahl al-halli wa al-‘aqdi tidak perlu dijadikan sebagai hujjah34. Menurutnya ijma’ adalah setiap pendapat yang hujjahnya tidak berpeluang untuk dibantah. Konsep awal ijma’ sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah sangat berbeda dari konsep yang berkembang pada masa As Syafi’i dan masa-masa selanjutnya. Teori klasik menampilkan ijma’ sebagai sesuatu yang formal dan statis, bukannya sebagai suatu proses yang hidup dari kegiatan ijtihad ijma’. Itulah sebabnya mengapa menurut pandangan klasik ijma’ yang terjadi di masa lampau tak dapat diubah oleh ijma’ lainnya.35 Ijma’ dalam gagasan awalnya merupakan suatu proses memandang ke muka, yang akan menggunakan perangkat qiyas-ijma’ sebagai alat yang hidup untuk merevisi dan menciptakan hukum yang baru guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru. Perlu juga dikemukakan bahwa bagi As Syafi’i ijma’ adalah sesuatu yang bersifat statis dan formal, yang tidak memberi peluang bagi perbedaan pendapat. Itulah sebabnya statis dan formal yang tak memberi peluang bagi perbedaan pendapat. Itulah sebabnya ia enggan untuk menerima validitas ijma’ para cendikiawan (ijma’ al-khashash) sebagai sumber hukum disebabkan karena perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka. Menurutnya hanya ijma’ ummatlah yang valid. Untuk mendukung pendapatnya ia katakan bahwa ummat tak mungkin meninggalkan sunnah Rasul, akan tetapi mungkin atau bisa saja diabaikan oleh individu-individu. Demikian pula ummat tidak akan mungkin bersepakat insya Allah pada sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasul, juga dalam kesalahan. Karena itu menurut As Syafi’i, ijma’ hanya semata-mata sumber hukum yang lebih bersifat teoritis dari pada praktis.36 Kehujjahan dan Macam-Macam Ijma’ Ada tiga unsur sebagai syarat terwujudnya suatu ijma’ yaitu : a. Kuantitas Mujtahid (anggota ijma’) Para ulama sependapat bahwa ijma’ itu terlaksana karena adanya kesepakatan seluruh ulama dan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka. Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah minimal mujtahid dalam menyepakati persoalan ijma’.37 b. Berdasarkan kesepakatan umum mujtahid Tidak dapat dikatakan ijma’ jika belum tercapai kesepakatan mujtahid seluruh dunia.38
Ahmad Hassan, Ibid, h.36. Amir Syarifuddin, Op.Cit, h.114. 35 Di antara para ulama klasik Al Bazdawi (w. 482 H) merupakan pengecualian. Ia berpendapat bahwa suatu ijma’ dapat diganti dengan ijma yang lain. Lihat A.Hasan, Ibid, h.235. 36 Ibid, h.52. 37 Lihat Abd. Al Wahhab Khallaf, Op.Cit, h.62. Amir Syarifuddin, Op.Cit, h.128. 38 Abd. Al Wahhab Khallaf, Ibid, h.62-63. 33 34
7 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
c. Berdasarkan argumentasi (dalil) yang kuat dalam bentuk nash Quran dan Sunnah, baik secara langsung maupun tidak.39 Ketiga unsur ini masih terbuka untuk diperdebatkan, misalnya seolah-olah syarat-syarat di atas meniscayakan ijma’ adalah suatu yang bersifat formal. Sebab di era global ini karena bantuan perangkat teknologi informasi bisa saja pendapat seorang ilmuan (ulama) muslim “diamini” oleh ilmuan lain di berbagai negara di dunia. Karena begitu pentingnya persyaratan itu, menurut Khallaf syarat-syarat tersebut harus terpenuhi, baru ijma’ dapat tercapai. Tetapi kelihatannya Khallaf tidak mentoleran dinamika internal setiap produk ijma’. Ia menegaskan bahwa mujtahid yang ikut memberikan kesepakatan dan mujtahid generasi selanjutnya tidak diperkenankan menjadikan hasil ijma’ tersebut untuk dipelajari dan dikritisi kembali. Para ulama mendasarkan kehujjahan ijma’ kepada Q.S. 4 : 59 yang mengingatkan orangorang yang beriman supaya mentaati Allah dan Rasul juga Ulul amri. Ulul amri dalam kaitannya dengan urusan agama, menurut Khallaf adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Ayat lain yang dijadikan landasan adalah Q.S. 4 : 83, 115. kemudian hadis yang selalu digunakan adalah seperti : la tajtami’ ummati ‘ala khatha’. Lam yakun Alla];h liyajma’a ummati ‘ala al-dhalalah. Mara’ahu al-muslimun hasanan fahuwa ‘inda Allah hasan.40 Di antara bentuk ijma’ yang berkembang dalam ushul fiqh adalah sebagai berikut : 1. Ijma’ Sharih Ijma’ sharih yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya disebarluaskan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan (misal : mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut.41 2. Ijma’ Sukuti Yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah dalam masa tertentu, kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui orang banyak, dan ternyata tidak seorangpun di antara mujtahid yang mengemukakan pendapat berbeda atau yang menyanggah pendapat itu.42 3. Kesepakatan dalam prinsip Yaitu para mujtahid berbeda pendapat dan menghasilkan banyak pendapat yang berkembang, namun mereka sepakat dalam satu hal tertentu yang merupakan prinsip. Kesepakatan yang prinsip ini dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh mujtahid mengemukakan pendapat yang menyalahi kesepakatan ulama memberikan hak waris kepada kakek bila ia berada dengan saudara-saudara. Namun mereka berbeda pendapat tentang hak yang diterima kakek itu. Ulama Hanafi memberikan semua harta itu untuk kakek. Malik dan Ahmad menyamakan hak kakek dengan saudara. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa kakek harus menerima dalam posisi yang paling menguntungkan, antara berbagi rata dengan saudara atau mengambil furud-nya yang besar. Ulama Hanafi memasukkan kesepakatan ini ke dalam ijma’ sukuti, sedangkan ulama lain menganggapnya sebagai ijma’. Di samping pembagian ijma’ kepada tiga tingkatan tersebut, ada ulama yang membagi peringkat ijma’ dari segi penerimaan ulama kepada ijma’ tersebut yaitu : Amir Syarifuddin, Ibid, h.131-133. Khallaf, h.63. Amir Syarifuddin, Op.Cit, h.135. 41 Ibid, h.135-136. 42 Ibid, h.137-138. 39 40
8 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
1. Ijma’ kaum muslimin. 2. Ijma’ para sahabat. 3. Ijma’ ahl ‘ilm dalam segala masa.43 Ijma’ kelihatannya harus diperlukan sebagai salah satu sumber hukum yang dinamis dan fleksibel, bukan statis dan formal. Karena harus diakui bahwa proses perkembangan ijma’ apalagi dibidang mu’amalah adalah ra’yi atau pemikiran dan analitis. Sebagai salah satu sumber hukum, ijma’ tentu tidak berdiri sendiri, yakni berjalin kelindan dengan qiyas, dan selalu siap diuji dinamis dan fleksibel melekat Wa Allahu a‘alam bi al-shawwab. C. Nasakh Dan Mansukh Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘alamin, mempunyai dua sumber hukum Islam pokok sebagai dasar pijakan untuk menetapkan hukum yaitu Alquran dan Alhadis. Alquran merupakan kitab suci yang qat’iyyu stubut, secara tekstual bersifat ijmali yang membutuhkan penjelasan-penjelasan dari hadis Nabi, tanpa adanya hadis, Alquran tidak bisa dipahami dan diamalkan secara utuh, terlebih-lebih lagi yang berhubungan dengan amal ibadah, seperti shalat, zakat dan haji. Alquran turun kepada Nabi Muhammad Saw. secara gradual, adakalanya untuk suatu peristiwa hukum turun dua ayat yang berbeda antar satu ayat dengan ayat lainnya adanya rentang waktu yang menimbulkan penyelesaian hukum yang berbeda pula, demikian juga hadis Rasulullah Saw. Ayat yang turun terlebih dahulu disebut mansukh, sedang ayat yang turun kemudian disebut nasakh. Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan pengertian nasakh dan mansukh, pendapat para ulama, apakan ada nasakh dan mansukh dalam Alquran dan hadis dan contoh-contohnya. B. Pengertian Nasakh Nasakh secara etimologi berarti izalah (penghapusan) dan juga berarti ibthal (pembatalan).44 Namun DR. Abdul Karim Zaidan memberikan arti nasakh dengan izalah dan alnaqlu (penghapusan dan pemindahan).45 Adapun pengertian nasakh secara terminologi adalah
رﻓﻊ اﻟﺤﺎآﻢ اﻟﺸﺮع ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺷﺮﻋﻰ ﻣﺘﺄﺧﺮ ﻋﻨﻪ Pembatalan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian.46 Hukum yang datang kemudian dinamakan nasikh sedangkan hukum yang dibatalkan dinamakan mansukh. Menurut Ushuliyyun yang dimaksud dengan nasakh adalah
رﻓﻊ اﻟﺸﺎرع ﺣﻜﻤﺎ ﺷﺮﻋﻴﺎ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﻣﺘﺮاخ Penghapusan satu hukum oleh syariat (Allah dan Rasul) dengan dalil yang datang kemudian.47 Dari kedua defenisi di atas dapat diambil suatu implikasi yaitu : 1. Pembatalan itu dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari syari’ (Allah dan Rasul) yang membatalkan ini disebut dengan nasikh, sedangkan hukum yang sudah dibatalkan disebut dengan mansukh. Ibid, h.138. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, 1987, h.182. 45 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz Fi Ushul Al Fiqh, Beirut : Daru Al Tauzi wa Al Nasyri’ Al Islami, 1993, h.385. 46 Ibid. 47 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo : Daru Al Fikri Al Arabi, 1958, h.146. 43 44
9 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
2. Yang dibatalkan itu adalah hukum syara’ dan disebut dengan mansukh. Pembatalan hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang sumbernya bukan hukum syara atau pembatalan adat istiadat jahiliyah melalui khitab/tuntunan syara’ tidak dinamakan nasakh. 3. Hukum yang membatalkan hukum terdahulu, datangnya kemudian. Artinya, hukum syara’ yang dibatalkan itu terlebih dahulu datangnya dari hukum yang membatalkan. Rukun Nasakh Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat kita lihat bahwa rukun nasakh itu ada empat yaitu : 1. Adatu al-nasakh, yaitu pernyataan yang menunjukkan pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada. 2. Nasikh, yaitu tatkala Allah Ta’ala, karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang membatalkannya, sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu, pada hakikatnya Nasikh itu adalah Allah Swt. 3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan atau dihapuskan. 4. Mansukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum. Hikmah Nasakh Pensyariatan sebagai hukum dalam Islam, menurut para ulama Ushuliyyun adalah untuk memelihara kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Di samping itu Allah sebagai syari’ juga menuntut kepatuhan dan ketulusan para hamba-Nya untuk melaksanakan seluruh perintah menjauhi segala larangan-Nya. Dalam kaitan ini, syari’ juga senantiasa memperhatikan kondisi umat manusia serta lingkungan yang mengitarinya, sehingga kemaslahatan yang diinginkan syari’ itu bisa tercipta dan terjamin. Kemungkinan saja, syari’ mensyariatkan satu hukum pada satu saat, namun sesudah ada perubahan situasi, kondisi dan lingkungan, hukum itu tidak sejalan lagi dengan kemaslahatan yang dikehendaki syari’. Dalam hal yang terakhir ini menurut Wahbah al Zuhaili 48 sesuai dengan kehendak syari’ dan tujuan yang ingin dicapai, maka syari’ mengubah hukum tersebut atau menggantinya dengan hukum lain. Akan tetapi, perubahan situasi, kondisi dan lingkungan yang mengitari umat tersebut bukan berarti tidak diketahui syari’, bahkan Dia sendirilah yang membuat peraturan itu. Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam itu diturunkan kepada umat Islam secara berangsur-angsur dan mengikut kepada kondisi umat itu sendiri. Oleh karena itu, persoalan nasakh hanya berlaku ketika Rasulullah Saw. masih hidup, setelah Rasulullah Saw.wafat tidak ada lagi nasakh. Dengan demikian, menurut Said Ramadhan Al Buthi49, adalah konsep nasakh berkaitan erat dengan pemeliharaan kemaslahatan umat dan fleksibilitas hukum Islam yang disyariatkan kepada umat Islam secara bertahap. Apabila tahapan berlakunya satu hukum menurut kehendak syari’ sudah selesai, maka datang tahapan berikutnya sehingga kemaslahatan dan ketentraman umat manusia senantiasa terpelihara. Pendapat Para Ulama Tentang Nasakh Dalam masalah nasakh itu para ulama berbeda pendapat apakah nasakh itu ada atau tidak. Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh menurut logika boleh saja dan secara syara’ telah terjadi.50 48
Nasrun Haroen, Op.Cit, h.183.
49
Ibid. Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit, h.153.
50
10 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Alasan Jumhur ulama adalah : 1. Surat Al Baqarah ayat 106 :
ﻲ ٍء َﻗﺪِﻳ ٌﺮ ْ ﺷ َ ﻰ ُآﻞﱢ َ ﻋَﻠ َ ن اﻟّﻠ َﻪ ﺨ ْﻴ ٍﺮ ﱢﻣ ْﻨﻬَﺎ َأ ْو ِﻣ ْﺜِﻠﻬَﺎ َأَﻟ ْﻢ َﺗ ْﻌَﻠ ْﻢ َأ ﱠ َ ت ِﺑ ِ ﺴﻬَﺎ َﻧ ْﺄ ِ ﻦ ﺁ َﻳ ٍﺔ َأ ْو ﻧُﻨ ْ ﺦ ِﻣ ْﺴ َ ﻣَﺎ ﻧَﻨ Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?51 2. Surat Ar Ra’du ayat 39 :
ب ِ ﺖ َوﻋِﻨ َﺪ ُﻩ ُأمﱡ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ُ يَ ْﻣﺤُﻮ اﻟّﻠ ُﻪ ﻣَﺎ َﻳﺸَﺎء َو ُﻳ ْﺜ ِﺒ Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Umulkitab (Lohmahfuz).52 3. Surat An Nahl ayat 101 :
ن َ ﻻ َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ َ ﻞ َأ ْآ َﺜ ُﺮ ُه ْﻢ ْ ﺖ ُﻣ ْﻔ َﺘ ٍﺮ َﺑ َ ل ﻗَﺎﻟُﻮ ْا ِإ ﱠﻧﻤَﺎ أَﻧ ُ ﻋَﻠ ُﻢ ِﺑﻤَﺎ ُﻳ َﻨﺰﱢ ْ ن ﺁ َﻳ ٍﺔ وَاﻟّﻠ ُﻪ َأ َ َوِإذَا َﺑ ﱠﺪ ْﻟﻨَﺂ ﺁ َﻳ ًﺔ ﱠﻣﻜَﺎ Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.53 Jumhur ulama juga beralasan dengan kesepakatan para ulama dalam menyatakan bahwa syariat sebelum Islam telah dinasakhkan oleh syara’ Islam. Demikian juga telah terjadi nasakh dalam beberapa hukum Islam, seperti : pemalingan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram (Al Baqarah : 144).54 Akan tetapi, Abu Muslim al Isfahani (259-322 H/Mufassir), berpendapat bahwa nasakh tidak berlaku dalam syariat Islam dan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya nasakh itu. Menurutnya apabila hukum-hukum syara’ boleh dinasakhkan, maka ini berarti terdapat perbedaan kemaslahatan sesuai dengan pergantian zaman. Hal ini akan membawa akibat bolehnya seseorang mengubah keimanannya, karena tuntutan zaman. Hal ini menurutnya sama sekali tidak mungkin dan tidak diterima akal. Kemudian apabila nasakh diterima, maka hal ini menunjukkan ketidaktahuan Allah terhadap kemaslahatan umat di suatu zaman sehingga Ia harus mengganti sesuatu hukum dengan hukum yang lain. Perbuatan itu mustahil bagi Allah dan sia-sia. Firman Allah Swt. dalam surat Fusshilat ayat 42 :
ﺣﻤِﻴ ٍﺪ َ ﺣﻜِﻴ ٍﻢ َ ﻦ ْ ﻞ ﱢﻣ ٌ ﺧ ْﻠ ِﻔ ِﻪ ﺗَﻨﺰِﻳ َ ﻦ ْ ﻦ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َوﻟَﺎ ِﻣ ِ ﻞ ﻣِﻦ َﺑ ْﻴ ُﻃ ِ ﻟَﺎ َﻳ ْﺄﺗِﻴ ِﻪ ا ْﻟﺒَﺎ Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.55 Ayat ini menurutnya menegaskan bahwa Alquran tidak disentuh oleh pembatalan. Dengan demikian, jika nasakh diartikan sebagai pembatalan, maka tidak akan terdapat dalam Alquran. Muhammad Abduh (1265-1323H/1849-1905) sebagai mufassir dan tokoh pembaharu dari Mesir, setelah menganalisis ayat-ayat yang mengandung nasakh yang dikemukakan jumhur ulama 51 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, Bandung : Gema Risalah Press Bandung, 1992, h.29. 52 Departemen Agama RI, Ibid, h.417. 53 Departemen Agama RI, Ibid, h.376. 54 Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit, h.148. 55 Departemen Agama RI, Op.Cit, h.779.
11 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
di atas, berpendapat bahwa nasakh lebih tepat diartikan sebagai penggantian, pengalihan (pemindahan) ayat hukum di tempat ayat hukum lainnya. Oleh sebab itu, nasakh berarti penggantian atau pemindahan satu wadah ke wadah yang lain.56 Dengan demikian, menurut M. Quraish Shihab, mufassir Indonesia, pengertian ini akan membawa kepada kesimpulan bahwa semua ayat-ayat Alquran tetap berlaku, tidak ada yang kontraduktif, hanya saja terjadi pergantian hukum bagi masyarakat (orang tertentu), karena adanya kondisi yang berbeda. Namun ayat hukum yang tidak berlaku lagi bagi masyarakat (orang lain) yang kondisinya sama dengan kondisi ketika hukum ayat-ayat yang diganti itu berlaku. Nasakh Dalam Alquran dan Sunnah Golongan ulama yang menyatakan adanya nasakh dalam Islam sepakat menyatakan bolehnya Alquran dinasakhkan oleh Alquran. Begitu pula boleh menasakh Sunnah Mutawatir dan Sunnah Ahad dengan Sunnah Ahad karena kesamaannya sebagai dalil syara’. 1. Nasakh Alquran dengan ayat Alquran. Surat Al Anfal 8 : 65. Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Ayat di atas dinasakh oleh surat Al Anfal 8 : 66. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orangorang yang sabar. 2. Nasakh Sunnah dengan Sunnah, umpamanya hadis Nabi menurut riwayat Muslim, bahwa Nabi Muhammad Saw. menerima laporan tentang seorang laki-laki yang menggauli istrinya dan tidak sampai mengeluarkan mani (Sperma). Laki-laki itu bertanya kepada Nabi, apa yang harus dilakukannya, Nabi bersabda, yang artinya : Sesungguhnya air (mani) adalah dari air (mani yang keluar). Hadis di atas mengandung pengertian bahwa berkewajiban mandi itu baru ada dalam persetubuhan itu mengeluarkan mani. Hadis ini dinasakh oleh hadis yang diriwayatkan Bukhari Muslim,
إذا ﺟﻠﺲ ﺑﻴﻦ ﺷﻌﺒﻬﺎ اﻷرﺑﻊ ﺛﻢ ﺟﻬﺪ هﺎ ﻓﻘﺪ وﺟﺐ اﻟﻐﺴﻞ Bila seseorang sudah berada di atas tulangnya yang empat dan telah berbuat atasnya, maka wajib mandi. Muslim menambahkan dalam riwayat lain yang artinya : Meskipun tidak keluar mani. Ini berarti bahwa bila terjadi persetubuhan maka wajib mandi meskipun tidak keluar mani. Dengan demikian hukum yang menyatakan kewajiban mandi bila persetubuhan mengeluarkan mani, dinyatakan mansukh. Adapun menasakh Sunnah dengan Alquran atau menasakh Alquran dengan Sunnah terdapat perbedaan. Ulama Hanafiyah membolehkan menasakh Alquran dengan Sunnah Mutawatir dan Sunnah masyhur. Demikian juga menasakh sunnah dengan Alquran. 56
Nasrun Haroen, Op.Cit, h.187.
12 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Malik, ulama kalam dan golongan Mu’tazilah dan Asy’ariyah juga membolehkan menasakh Alquran dengan Sunnah, demikian juga sebaliknya. Kelompok ulama yang membolehkan nasakh Alquran dengan Sunnah dan nasakh Sunnah dengan Alquran mengemukakan argumentasi sebagai berikut : 1. Sunnah itu merupakan wahyu sebagaimana dalam surat An Najm 53 : 3-4. Artinya : Dan tiadalah ia berbicara dari hawa nafsu ; tidaklah yang disampaikan itu kecuali wahyu yang diwahyukan. Ayat itu menegaskan bahwa sunnah itu adalah wahyu sebagaimana Alquran. Perbedaannya adalah bahwa Alquran itu adalah wahyu yang terbaca sedang sunnah itu wahyu yang tidak terbaca. 2. Memang secara syar’i terjadi nasakh Alquran dengan Sunnah Nabi sebagaimana Firman Allah dalam surat Al Baqarah 2 : 180. Artinya : Diwajibkan atas kamu bila salah seorang di antaramu mendekati kematian dan meninggalkan harta, untuk berwasiat bagi dua orang tua (ibu/bapak) dan karib kerabat. Ayat ini dinasakh oleh hadis dari Abu Umamah menurut riwayat empat perawi hadis selain Nasa’i dan dinyatakan nasakh oleh Ahmad dan Al Turmuzi yaitu :
إن اﷲ ﻗﺪ اﻋﻄﻰ آﻞ ذى ﺣﻖ ﺣﻘﻪ ﻓﻼ وﺻﻴﺔ ﻟﻮارث Sesungguhnya Allah Swt. telah memberi bagian tertentu untuk yang berhak, maka tidak boleh berwasiat untuk ahli waris. 3. Demikian juga Alquran menasakh Sunnah Nabi umpamanya keharusan menghadap Baitul Maqdis waktu shalat yang hanya ditetapkan berdasarkan sunnah Nabi. Kemudian sunnah Nabi itu dinasakh dengan Firman Allah dalam surat Al Baqarah 2 : 150. Artinya : Dan dari mana saja engkau keluar (berada) maka hadapkanlah wajahmu (dalam shalat) ke arah Masjidil Haram ; dan di mana berada maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya agar orang-orang itu tidak mempunyai alasan membantahnya.
DAFTAR PUSTAKA Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jld.I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997. Abd. Al Aziz Al Bukhari, Kasyf Al Asrar ‘Ala Ushul Al Bazdawi, Vol.III, Istambul 1308 H. Abd. Al Wahhab Khallaf, Ilmu Uhsul Fiqh, Terj.Moh.Tolhah Mansoer, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung : Risalah, Cet : II, 1985. Ahmad Hassan, The Early Development Of Islamic Jurisprudence, Terj. Agah Garnadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung : Pustaka, Cet. II, 1414/1994. Abi Ishaq Al Syathibi, Al Muwafaqat, Jld.III, Daru‘ al-Ma’rifah, 1997. Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz fi Ushul Al Fiqh, Daru Al Tauzi wa Al Nasyr, Beirut, 1993. Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 1995. Harun Nasution, Ushul Fiqh, Logos, Jakarta, 1996. Humaizah Yahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.
13 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Hudhari Bek, Sejarah Pembinaan Hukum Islam Nurul Ihya’ Indonesia, 1980. Ibn Hazm, Al Hikam Fi Ushul Al Ahkam, Vol.IV, Kairo 1345 H. Mukhtar Yahya dkk, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al Fiqh, Darul Fikri, Kairo Mesir, tt. T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
14 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara