MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH (Studi Komparatif Manajemen Peradilan Islam Masa Islam Klasik)
Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
SITI NURAVIVA NIM : 1111043200027 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436H/2015M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Siti Nuraviva, 1111043200027, “PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH ”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan peradilan masa Rasulullah, khulafa al-Rasyidin,bani umayah, dan dengan bani Abbasiyah. Untuk mendeskripsikan praktik peradilan di masa Abbasiyah. Untuk menganalisis manajemen hakim di masa Abbasiyah. Dalam penyusunan penelitian, penulis melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan “metode normatif”, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Tentu referensi yang digunakan memiliki keterkaitan dengan topik pembahasan yang akan penulis teliti, dengan menggunakan sumber-sumber yang berkaitan dengan hukum Islam. Kesimpulan penelitian ini adalah manajemen sistem peradilan Islam di masa Abbasiyah ternyata jauh sudah lebih modern. Apabila diidentikan dengan Indonesia, pada masa Abbasiyah sudah ada Mahkamah Agung Jaksa Agung serta peradilanperadilan ditingkat provinsidan kota/kabupaten. Artinya setiap wilayah sudah memiliki peradilan. Kata kunci
: Manajemen; Peradilan Islam; Abbasiyah; Islam Klasik
Pembimbing 1
: Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA
Pembimbing 2
: Dr. Supriyadi Ahmad, MA
Daftar Pustaka
: Tahun 1984 s.d tahun 2015.
v
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم Puji Syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, kesehatan serta telah melimpahkan Taufik serta Hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Peradilan Islam di Era Abbasiyah” sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) jurusan Perbandingan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan Salam, semoga senantiasa terlimpahkan kepada manusia pilihan yaitu baginda Rosulullah SAW. Dalam proses pembuatan skripsi ini, berbagai hambatan, pengorbanan, dan kesulitan penulis hadapi. Namun tidak terlepas dari petunjuk dan pertolongan Allah SWT. Serta berkat berbagai dorongan serta bimbingan dari semua pihak, sehingga akhirnya penulisan ini skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA. Yang telah banyak membantu penulis dalam menjalankan perkuliahan. Semoga dapat menjadi pemimpin yang memberikan teladan dan integritas yang lebih baik. 2. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengarahan serta waktu kepada penulis di sela-sela waktu kesibukan beliau. 3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA sekertaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kepada penulis, baik dari sisi intelektual dan spiritual di dalam segala kesibukan beliau.
vi
4. Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA, dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dr. Supriyadi Ahmad, MA, dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, meluangkan waktu serta dukungan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 6. Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, yang telah mengamalkan ilmunya kepada penulis selama studi. 7. Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi ini. 8. Papa dan Mama tercinta bapak H. Yan Chandra dan ibu Hj. Elvira yang selalu penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu memberikan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan nasehat dan doa demi kesuksesan penulis. 9. Abang-abangku serta semua keluarga yang penulis cintai, atas dorongan yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 10. Sahabat-sahabat sekelas penulis PH dan PMF angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam studi yang tak terlupakan. 11. Sahabat dan adik-adik Moot Court Community yang selalu menghibur dan memberikan semangat dalam proses penyusunan skripsi ini Akhirnya atas segala jasa dan bantuan dari semua pihak, penuliskan ucapkan banyak terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah SWT membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda. Jakarta, 22 September 2015 M 09 Dhul-hijjah 1436 H
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................. ...............................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................... iii LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iv ABSTRAK ........................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Identifikasi Masalah ............................................................
8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................
8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................
9
E. Review Studi Terdahulu ....................................................... 10 F. Kerangka Teori ..................................................................... 12 G. Metode Penelitian ................................................................. 14 H. Sistematika Penulisan .......................................................... 17 BAB II
MANAJEMEN PERADILAN ISLAM .................................... 19 A. Pengertian Manajemen ......................................................... 19 B. Pengertian Peradilan ............................................................. 20 C. Sejarah Singkat Peradilan Islam ........................................... 23 D. Sejarah Singkat Munculnya Bani Abbasiyah ....................... 24
viii
E. Perioderisasi Peradilan Islam ............................................... 28 BAB III
PRAKTEK PERADILAN MASA ABBASIYAH .................. 39 A. Peradilan pada Masa Abbasiyah Pertama ............................ 39 B. Peradilan pada Masa Abbasiyah Kedua ............................... 42 C. Kebijakan-Kebijakan Peradilan Masa Khalifa Abbasiyah . . 43 D. Kasus Hukum Masa Abbasiyah ........................................... 57 E. Pembuatan Undang-undang ............................................... .. 59
BAB IV
MANAJEMEN HAKIM DI MASA ABBASIYAH ............... 60 A. Pengangkatan Pengaturan Gaji Hakim ................................. 60 B. Sumber Hukum Hakim ................................................................. 65 C. Kewenangan Hakim ............................................................. 66 D. Pemecatan dan Penggantian Hakim ..................................... 70 E. Kemajuan dan Kemunduran Peradilan Era Abbasiyah.... 72
BAB V
PENUTUP ................................................................................. 76 A. Kesimpulan .......................................................................... 76 B. Saran-saran ........................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 78 LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 78 Lampiran I Tentang Silsilah Khalifah Abbasiyah ............................................. 81 Lampiran II Tentang Peta Kekuasaan Abbasiyah Masa Harus al-Rasyid ... .... 82 Lampiran III Tentang Peta Kekuasaan Dinasti Abbasiyah ................................ 83 Lampiran IV Tentang Surat-surat Umar Bin Khattab ........................................ 84
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradaban hukum dan peradilan sejatinya sudah mulai dipraktikan sejak ribuan tahun silam, seiring dengan peradaban kehidupan manusia, meskipun masih dalam konteks yang sangat sederhana. secara praktis proses peradilan pertama kali dipraktikan dalam sejarah umat manusia adalah proses peradilan terhadap pertikaian antara Qabil dan Habil, di mana pada saat itu Nabi Adam as sendiri yang menjadi hakim untuk memutuskan dan menyelesaikan pertikaian diantara keduan putranya. Apa yang dilakukan Nabi Adam as terhadap kedua putranya sejatinya sudah mencerminkan praktik peradilan dalam konteks yang sangat sederhana. Sedangkan istilah „hakim‟ sendiri pertama kali disematkan dalam sejarah manusia adalah kepada Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as. Kisah tersebut terekam dalam Q.S. Shad ayat 17-26 dan Al-Anbiya ayat 78-79.1 Dalam sistem ketatanegaraan Islam, dikenal beberapa badan kekuasaan negara, yaitu sulthah tanfiziyah (kekuasaan eksekutif), sulthah tasyri’iyyah (kekuasaan legislatif) dan sulthah qadhaiyyah. Namun demikian, ketiganya belum dipisahkan satu sama lainnya seperti halnya lembaga yang mandiri, dan bahkan dalam praktiknya cenderung dipegang oleh satu tangan, yakni penguasa atau pemerintah. Sulthah qadhaiyah sering disejajarkan dengan istilah kekuasaan kehakiman dalam tradisi Islam. Istilah ini diartikan sebagai kekuasaan untuk mengawasi
dan
menjamin
jalannya
1
proses
perundang-undangan
sejak
Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam,(Jakarta : Khalifa, 2004), hlm. 285.
1
2
penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana Sementara Tahir Azhari menyebutnya dengan istilah nomokrasi Islam, yakni suatu sistem pemerintahan yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam dan merupakan rule of Islamic law.2 Kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem ketatanegaraan Islam merupakan sebuah keniscayaan dan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Hal tersebut mengingat bahwa pemerintahan Islam yang dibangun Nabi Muhammad merupakan bentuk negara hukum, maka tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan dalam kehidupan bernegara. Melihat urgensi lembaga tersebut Muhammad Salam Madkur berpandangan bahwa keberadaan lembaga yudikatif dipandang sebagai lembaga yang suci, mengingat bahwa upaya menegakan peradilan juga dapat diartikan sebagai upaya memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kedzaliman, menyampaikan hak kepada yang punya, mengusahakan islah diantara manusia, dan menyelamatkan manusia dari kesewenang-wenangan.3 Melihat begitu pentingnya sulthah qadhaiyyah (lembaga yudikatif), maka tidak heran jika sejak awal kehadiran negara dalam khazanah sejarah Islam, lembaga ini telah ada dan berfungsi, meskipun dalam tataran praktisnya masih tergolong sangat sederhana, di mana kapasitas Nabi pada saat itu disamping menjalankan tugas-tugas kenabian, ia juga sekaligus memegang tiga poros badan 2
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia ,(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 146-148. 3
Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, terj. Imron AM, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1993), hlm. 31
3
kekuasaan sebagaimana disebutkan. Nabi Muhammad bertugas menyelesaikan perselisihan yang timbul di kalangan masyarakat Madinah dan menetapkan hukuman terhadap pelanggar perjanjian, seperti Beliau pernah melakukannya ketika Kaum Yahudi melakukan pelanggaran sebanyak tiga kali terhadap isi Piagam Madinah, dua kali beliau bertindak sebagai hakam-nya, dan sekali beliau wakilkan kepada sahabatnya.4 Pada awal Pemerintahan Madinah hanya Rasulullah SAW sendiri yang menjadi Hakim. Ketika Islam sudah menyebar ke luar Kota Madinah (luar Jazirah Saudi Arabia), barulah Rasulullah mendelegasikan tugas-tugas Peradilan kepada beberapa sahabat beliau. Pendelegasian tugas yudikatif dilaksanakan dalam tiga bentuk: pertama, Rasulullah SAW mengutus sahabatnya menjadi penguasa di daerah tertentu sekaligus memberi wewenang untuk bertindak sebagai Hakim untuk mengadili sengketa di antara warga masyarakat. Kedua, Rasulullah menugaskan sahabat untuk bertindak sebagai Hakim guna menyelesaikan masalah tertentu, biasanya penugasan ini hanya atas perkara tertentu saja. Ketiga Rasulullah SAW terkadang menugaskan seorang sahabat dengan didampingi sahabat lain untuk menyelesaikan kasus tertentu dalam suatu daerah. Kriterianya Hakim yang diutus merupakan otoritas Rasulullah setelah diuji kelayakannya. Seperti pada saat Rasul mengutus Mu‟adz bin Jabal untuk menjadi qadhi di Yaman, dan lain-lain.5
4
Ibn Hisyam, Sirat an Nabawiyat, (Beirut: Mathba‟at Muhammad Abi Shabih, t.th), Jilid XX, hlm 170. 5
Al Bukhairy al Ja‟fiy, Matan Bukhary, (Semarang: Thaha Putra,) Juz VII, hlm 107-109.
4
Begitu pula pada masa kekhalifahan Abu bakar Ash Shidiq, kekuasaan yudikatif masih dipegang oleh penguasa atau eksekutif dan belum ada pemisahan yang tegas, kecuali perubahan ketika Abu Bakar mengangkat Umar bin Khattab sebagai Hakim Agung untuk melaksanakan yudikatif.6 Hal tersebut ditunjukan dengan kenyataan bahwa, pada masa Abu Bakar, wilayah kekuasaan Negara Madinah dibagi menjadi beberapa provinsi, dan setiap provinsi ia menugaskan seorang amir atau wali (semacam gubernur). Para Amir tersebut juga bertugas sebagai pemimpin Agama (seperti imam dalam shalat), menetapkan hukum, dan melaksanakan undang-undang. Artinya seorang Amir di samping sebagai pemimpin Agama dan sebagai Hakim, juga pelaksana kepolisian.7 Pada masa Umar bin Khattab, kekuasaan yudikatif mulai dipisahkan dari kekuasaan eksekutif. Dan mulai diatur tata laksana Peradilan, antara lain dengan mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah Hakim untuk menyelesaikan sengketa antara anggota masyarakat, bersendikan al-Qur‟an, Sunnah, Ijtihad dan Qiyas.8
6
Wahhab al Najjar, al Khulafa al Rasyidun (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1990), hlm 98. 7
Beberapa orang yang pernah diangkat menjadi amir oleh Khalifah Abu Bakar adalah : 1) Itab bin Asid, amir untuk Mekah; 2) Ustman bin Abi al Ash, amir untuk Thaif; 3) Al Muhajir bin Abi Umayah, ami runtuk Sana‟a; 4) Ziad bin Labid, amir untuk Hadramaut; 5) Ya‟la bin Umayah, ami runtuk Khaulan; 6) Abu Musa al Asy‟ari, amir untuk Zubaid; dan Rima; 7) Muaz bin Jabal, amir untuk al Janad; 8) JArir bin Abdullah, amir untuk Najran; 9) Abdullah bin Tsur, amir untuk Jarsyi; 10) Al Ula bin al Hadrami, amir untuk Bahrain. Lihat Abdul Wahhab al Najjar, al Khulafa al Rasyidun, Wahhab al Najjar, al Khulafa al Rasyidin (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1990), hlm 67. 8
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), hlm 38.
5
Namun demikian untuk beberapa provinsi, khalifah Umar telah memisahkan jabatan Peradilan dengan jabatan eksekutif. Hakim diberi wewenang sepenuhnya untuk melaksanakan Pengadilan yang bebas dari pengaruh dan pengawasan gubernur, bahkan khalifah sekalipun. Tidak hanya itu, pada masa Umar, dibentuk juga lembaga yang menangani urusan kriminal dan pidana selain zina yang langsung di tangani oleh Hakim. Lembaga tersebut adalah ahdath, dengan Qadamah bin Mazan dan Abu Hurairah sebagai pemimpinnya.9 Pada masa Utsman bin Affan dilakukan beberapa pembenahan terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman, dengan membangun sarana gedung yang khusus, menyempurnakan administrasi Peradilan dengan mengangkat pejabatpejabat yang mengurusi administrasi Peradilan, memberi gaji kepada Hakim dan stafnya, dan mengangkat naib kadi, atau semacam panitera.10 Pada masa Ali bin Abi Thalib tidak ada perubahan yang signifikan, hanya pada pengangkatan Hakim yang semula merupakan kewenangan khalifah dilimpahkan menjadi kewenangan gubernur. Pada masa khulafa al rasyidin, sudah teradapat Mahkamah Agung sebagai lembaga Peradilan tertinggi yang bertempat di ibu kota dengan Ketua Mahkamah Agung (qadhi al qudhat), dimana Zaid bin Tsabit merupakan orang pertama yang menjabatnya pada masa khalifah Umar.11
9
Mahmud Saedon A-Othman, Kadi, Pelantikan, Perlucutan, dan Kuasa (Malaysia Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Kementrian Pendidikan, 1990), hlm. 93.
Bidang
10
Abdul Karim Zaidan, Nizhamul Qadha fi al-Syar’iyyatil Islamiyah, (Baghdad; Mathba‟ah al Any, t.th), hlm 61. 11
Abdul Qadir Djaelani, Sekitar Pemikiran Politik Islam, (Jakarta; Media Dakwah, t.th), hlm 141.
6
Pada masa dinasti Umayyah, kekuasaan yudikatif semakin disempurnakan, hanya saja tidak ada perubahan yang cukup signifikan terhadap pembaharuan peradilan, sehingga tidak banyak informasi tentang peradilan yang didapatkan pada masa itu. Pemerintahan Bani Umayyah lebih banyak disibukan dalam urusan politik kenegaraan, sehingga hampir segenap kekuasaan difokuskan pada upaya pembasmian terhadap para-para pemberontak dan penentang pemerintahan. Hasbi Asshiddiqie mencatat bahwa salah satu perkembangan yang dicapai Bani Umayyah dalam peradilan adalah sudah mulai dibukukannya putusan-putusan hakim. Demikian juga sidang-sidang sudah dilaksanakan di gedung yang memang diperuntukan untuk proses peradilan.12 Pengangkatan hakim pada masa ini juga dilakukan secara terpisah dengan pengangkatan gubernur. Khalifah hanya mengangkat para hakim yang akan diposisikan di ibu kota pemerintahan, sedangkan hakim-hakim yang ditugaskan di daerah-daerah diserahkan pengangkatannya kepada kepala daerah.13 Pada masa Dinasti Abbasiyah umat Islam mengalami perkembangan dalam berbagai bidang. Dinasti ini mengalami masa kejayaan intelektual, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, tidak lama setelah dinasti itu berdiri. Kekhalifahan Baghdad mencapai masa kejayaannya antara khalifah ketiga, alMahdi (775-785 M), dan kesembilan, al-Wathiq (842-847 M), lebih khusus lagi pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Makmun (813-833 M), anaknya 12
T.M. Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 24. 13
hlm. 47
Asadullah al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009),
7
terutama, karena dua khalifah yang hebat itulah Dinasti Abbasiyah memiliki kesan dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti hebat dalam sejarah Islam dan diidentikkan dengan istilah “the golden age of Islam”.14 Kemajuan lain yang tak kala penting adalah dalam bidang peradilan di mana pada masa Abbasiyah sistem administrasi peradilan pada masa ini sudah tersusun dengan rapi. Diferensiasi kemajuan institusi hukum dan sistem peradilan itu terletak pada pemisahan kekuasaan, lembaga peradilan yang dikepalai qadha al qadhi yang berkedudukan di ibukota, dengan kewenangan mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan Islam. Pada era ini perkembangan di berbagai bidang sangatlah maju, dan banyak permasalahan hukum yang sangat komplek sehingga penulis tertarik membahas bagaimana sistem peradilan Islam pada masa ini yang sangat berkembang pesat sekali. Pada masa Rasulullah adanya lembaga pengawasan terhadap peradilan. Rasulullah melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalankan peradila. Jika putusan sahabat salah Nabi akan mengoreksinya. Namun pada masa Abbasiyah awalnya khalifah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan untuk maksudmaksud tertentu. Munculnya kejumudan berfikir karena hilangnya semangat ijtihad. Ulama mengalami frigiditas (dingin, tidak sensitif) akibat kelesuhan berfikir sehingga
14
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 52.
8
tidak mampu menghadapi perkembangan zaman dengan menggunakan akal fikiran yang sehat dan merdeka sera bertanggung jawab. Pada skripsi ini penulis membandingkan peradilan Islam dari masa Rasulullah, khulafa al-Rasyidin, Umayyah, hingga Abbasiyah. Mendeskripsikan praktik peradilan era Abbasiyah, serta menganalisis manajemen hakim era Abbasiyah. Berangkat dari permasalahan diatas maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “ MANAJEMEN PERADILAN ISLAM DI ERA ABBASIYAH (Studi Komparatif Manajemen Peradila Islam Masa Islam Klasik)”. B. Indentifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah penulis menguraikan dengan masalah yang sedang penulis teliti yaitu Manajemen Peradilan Islam di Era Abbasiyah.. 1. Bagaimana sejarah perioderisasi peradilan Islam? 2. Bagaimana pengangkatan hakim pada era Abbasiyah? 3. Bagaimana pengaturan gaji hakim? 4. Bagaimana kewenangan hakim di era Abbasiyah? 5. Bagaimana penggantian dan pemecatan hakim di era Abbasiyah? 6. Apa sumber hukum yang digunakan hakim dalam memutus perkara? C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Batasan Masalah Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah, karena pembahasan pengelolaan peradilan Islam pada era Abbasiyah ini sangatlah luas maka penulis
9
perlu membatasi pengelolaan sistem peradilan Islam di era Abbasiyah difokuskan pada manajemen hakim di masa Abbasiyah pada periode pertama (132 H/750 M – 232 H/ 847 M), disebut Periode pengaruh Arab dan Persia Pertama.
2. Perumusan Masalah Menurut Al-mawardi hakim harus mencapai derajat memiliki pandangan dan dapat mentarjih (berbagai pendapat ulama) dan ia harus memiliki kemampuan berijtihad, namun di masa Abbasiyah hakim tidak lagi mengambil hukum dari sumber utama, yakni al-Qur‟an dan hadits, melainkan beralih ke pendapat imam mazhab. Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat di munculkan pertanyaan penelitian sebagai berikut diantaranya: a. Bagaimana perbandingan manajemen peradilan di masa Rasulullah, khulafa al-Rasyidin, bani Umayah, dan bani Abbasiyah? b. Bagaimana praktik peradilan di masa Abbasiyah? c. Bagaimana manajemen hakim di masa Abbasiyah D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas maka penulisan skripsi ini bertujuan: a. Untuk membandingkan peradilan masa Rasulullah, khulafa alRasyidin, bani Umayah, dan dengan bani Abbasiyah. b. Untuk mendeskripsikan praktik peradilan di masa Abbasiyah c. Untuk menganalisis manajemen hakim di masa Abbasiyah.
10
2. Manfaat Penelitian Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendasar agar dapat di peroleh manfaat dari penelitian tersebut, yaitu: a. Secara Akademik Penulisan ini diharapkan dapat menciptakan suasana yang menguntungkan bagi pengembangan ilmu hukum Islam khususnya dalam bidang peradilan Islam dan perkembangan hukum Islam. Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan dibidang hukum terkait perkembangan pengelolaan peradilan Islam di masa Rasulullah sampai masa Abbasiyah, dan dapat mengetahui bagaimana manajemen peradilan Islam pada masa tersebut. b. Secara Praktis Untuk
menyumbangkan
hasil
pemikiran
tentang
sejarah
dan
perkembangan hukum Islam terutama dalam hal yang berkaitan dengan pengelolaan peradilan Islam di era Abbasiyah. E. Riview Terdahulu Dari skripsi yang ditulis oleh A.Irfan Habibi Program Studi Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010 dengan judul “ Kedudukan Jaksa Agung dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia dan Islam ”. Memuat persoalan tentang fungsi kedudukan jaksa agung dalam konsep ketatanegaraan Indonesia dan Islam. Bahwa secara historis sebenarnya kedudukan dan fungsi lembaga kejaksaan agung
memiliki basis legitimasinya
yang kuat
baik
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia maupun dalam ketatanegaraan Islam.
11
Meski pun dalam arti yang spesifik dalam sistem ketatanegaraan Islam tidak eksplisit ditegaskan keberadaan institusi kejagung. Namun tugas dan fungsinya, sebenarnya melekat sebagaimana dalam konsep Wilayatul Mazhalim maupun Wilayatul Hisbah. Asep Ridwan dalam tulisannya di website Pengadilan Agama Kalianda Lampung Selatan yang berjudul “Hakim dalam Khazanah Islam Klasik” menjelaskan tentang kekuasaan kehakiman pada masa Islam Klasik dalam tulisannya menjelaskan sejarah perioderisasi kekuasaan kehakiman dari zaman Rasulullah, khulafa al-rasyidin, bani Umayah sampai terakhir di zaman bani Abbasiyah.15 Dari Jurnal Al-Ulum yang ditulis oleh Lomba Sultan UIN Alauddin Makassar 2013 yang berjudul “ Kekuasaan Kehakiman dalam Islam dan aplikasinya di Indonesia “ menjelaskan tentang kekuasaan kehakiman dalam Islam yang dapat diteradpkan pada kekuasaan kehakiman di Indonesia. Untuk dapat memberikan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat tanpa ada tebang pilih, maka perlu ada pemikiran untuk menambah atau menyempurnakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia dengan memasukkan badan pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Islam, yakni wilayah al-hisbah dan wilayah al-mazhalim. Kedua wilayah ini bila dapat diterapkan di Indonesia harus
di
tangani
langsung
oleh
mengendalikannya, sebagaimana yang
15
Di
unggah
pada
kepala
Negara
dilakukan oleh
hari
kamis
(presiden) Khalifah
22
untuk
Umar bin
Januari
http://www.pakalianda.go.id/gallery/artikel/195-hakim-dalam-khazanah-islam-klasik.html.
2015
12
Abdul
Azis
pada masa
Bani
Umayyah. Tampaknya,
pada masa
inilah
penegakan kebenaran dan keadilan betul-betul dapat dirasakan oleh masyarakat tanpa ada tebang pilih antara satu dengan lainnya. Hal itu juga tercipta, karena sebelum menerapkan hukum kepada orang lain, maka terlebih dahulu membersihkan
hartanya
dari
sumber
keraguan
(syubhat)
yang
kemungkinan perolehannya samar-samar, dan dia memilih gaya hidup seperti orang yang sufi.16 Dari ketiga tinjauan kajian terdahulu sangatlah berbeda dengan skripsi yang penulis tulis. Pembahasan yang penulis teliti adalah pengelolaan peradilan Islam pada era Abbasiyah. Jika pada review pertama tentang kedudukan “Jaksa Agung pada Sistem Ketatanegaraan Islam”, maka skripsi penulis tentang kedudukan kekuasaan kehakiman di masa Abbasiyah. Jika pada review kedua tentang “Hakim dalam Khazanah Islam Klasik”, maka skripsi penulis tentang manajemen hakim di masa Abbasiyah. Dan jika pada review ketiga tentang “ Kekuasaan Kehakiman dalam Islam dan Aplikasinya di Indonesia“, maka skripsi penulis tentang manajemen kekuasaan kehakiman khususnya di masa Abbasiyah. Tidak hanya itu penulis juga meneliti bagaimana perbandingan peradilan Islam dari masa Rasulullah hingga masa Abbasiyah, mendeskripsikan praktik peradilan masa Abbasiyah, serta menganalisis manajemen hakim masa Abbasiyah. F. Kerangka Teori dan Konseptual Pada masa daulah „Abbasiyyah pertama, peradilan atau mahkamah makin berkembang pesat. Kemajuan dan perkembangan ini di landasi oleh 5 hal yaitu: 16
Lomba Sultan, “ Kekuasaan Kehakiman dalam Islam dan Aplikasinya di Indonesia”, Jurnal Al-Umm, 2 Desember 2013, hlm, 435-452.
13
a) Jiwa
ijtihad
dalam berbagai
hukum
jatuh
merosot,
disebabkan
menonjolnya madzhab yang empat. Hakim menjatuhkan keputusan sesuai dengan pendapat salah satu mazhab. Hakim di wilayah Irak menegakkan hukum sesuai dengan mazhab Abu Hanifah. Hakim di Syam (Syiria) dan Maghribi (Tunisia) menegakkan hukum sesuai dengan pendapat mazhab Imam Maliki, hakim Mesir berpedoman kepada mazhab Syafi‟i. b) Peradilan atau Mahkamah dipengaruhi oleh perkembangan politik karena khalifah-khalifah Daulah Abbasiyah ingin melantik hakim-hakim yang dapat menjalankan hukum syari‟at, sesuai dengan keinginan mereka. Akhirnya banyak ahli hukum fiqih menolak dilantik menjadi hakim, sebab mereka
khawatir
nanti
khalifah
akan
menekan
mereka
supaya
menjatuhkan hukuman bertentangan dengan hukum Islam. c) Tokoh-tokoh „Abbasiyah membentuk lembaga Qadhi al Qudhah, yang berfungsi sama dengan Kementerian Kehakiman. Badan ini yang melantik dan
memberhentikan
hakim-hakim
baik
yang
berada
di
Pusat
Pemerintahan maupun di daerah-daerah. d) Wewenang kekuasaan hakim makin luas, terutama sesudah data menunjukkan jumlah persoalan yang masuk cukup banyak, dan meliputi jinayah sosial. Hakim menyelesaikan sengketa, perkara wakaf dan wasiat. Oleh sebab itu persoalan terlalu banyak, kadang-kadang diberi wewenang kepadanya tugas yang menjadi tugas kepolisian, melaksanakan hukum qisas, mengurus jabatan cukai dan Bait al-Mal (perbendaharaan Negara).
14
e) Di tiap-tiap daerah terdapat seorang hakim. Semasa wilayah kekuasaan Daulah „Abbasiyah bertambah luas, maka di setiap wilayah dilantik beberapa orang hakim yang mencerminkan empat mazhab. Setiap hakim mengadili orang yang bersengketa sesuai degan mazhab yang dianutnya. 17 Maka jadilah Menteri Kehakiman atau Mahkamah Agung di era Abbasiyah lebih luas wewenangnya dalam bidang hukum dari pada masa-masa kini. G. Metodologi Penelitian Pada sub bab ini, diuraikan pendekatan penelitian, jenis penelitian, data penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan metode analisis data. a. Pendekatan Penelitian Pendekatan normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, dimana dalam penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut memiliki ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.18 Pendekatan yang penulis gunakan adalah: a) Pendekatan historis, yaitu menelusuri praktik penegak hukum dan pengelolaan peradilan Islam di era Abbasiyah dalam sejarah peradilan Islam dari masa Rasulullah hingga masa Abbasiyah.
17
H.A Fuad Said, Ketatanegaraan menurut syari;at Islam, (Selangor Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002), hlm. 256. 18
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian Hukum Normatif (Suatu tinjauan singkat). Cet. IV, (Jakarta: Pt. Grafindo Persada, 1995), hlm. 23.
15
b) Pendekatan syar‟i, yaitu melakukan pengkajian dengan melihat sumbersumber hukum Islam dalam penegakkan hukum dan peradilan Islam. b. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah studi kepustakaan (library Search) yaitu bahan primer sebagai bahan pokok dari penelitian, bahan sekunder dan bahan tertier yang akan mendukung penulisan skripsi ini, yang kemudian dibahas, dianalisis, dan dituangkan dalam bentuk karya ilmiah. Oleh karena itu, penelitian ini penulis lakukan melalui pendekatan normatif. c. Sumber Data Penelitian Dalam pengumpulan data kualitatif, ada data yang berupa bahan hukum yang terdiri atas: a. Bahan hukum primer, adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. Adapun bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu: Al-qur‟an, hadits. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan hukum primer seperti: hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, buku-buku. Bahan hukum yang sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa literatur-literatur. c. Bahan hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.19 Bahan hukum tersier adalah: artikel, jurnal, ensiklopedia dan internet. 19
Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, hlm. 13.
16
d. Teknik Pengumpulan Data Dalam hal ini penulis menggunakan teknik studi pustaka atau bahan tertulis dengan mengadakan kajian, menelaah dan menyelusuri literatur yang berkenaan dengan masalah yaitu Al-quran, hadits, buku, artikel, dan lain-lain. e. Teknik Pengolahan Data Adapun langkah-langkah mengumpulkan data melalui teknik studi pustaka tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, menelaah bahan-bahan pustaka, baik yang primer, sekunder, tersier yang berkaitan dengan judul penelitian. Kedua, menyusun intisari dari makna dan informasi-informasi dalam bahan pustaka tersebut. Ketiga, merekontruksi intisari makna tersebut dalam format tulisan yang sesuai dengan kerangka pembahasan. f. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Analisis isi kualitatif, yaitu menguraikan data melalui kategorisasikategorisasi serta pencarian sebab akibat dengan menggunakan teknik analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil sebuah kesimpulan). b. Comparative Analysis, yaitu perbandingan dalam dua hal yang berbicara pada substansi yang sama. Dalam penelitian ini terkait manajemen hakim di masa Abbasiyah yang berpedoman pada buku-buku mazhab, bagaimana perkembangan berbagai mazhab di masa Abbasiyah, serta perbandingan peradilan Islam di masa Rasulullah hingga masa Abbasiyah.
17
H. Sistematika Penulisan Secara keseluruhan ini penelitian ini terdiri dari lima bab. Untuk lebih mudahnya penulis menggunakan sistematika sebagai berikut: Bab pertama tentang pendahuluan, pada bab ini berisikan latar belakang masalah, batasan rumusan masalah, tujuan dan manfaat, kerangka konseptual metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua penulis akan menguraikan pengertian manajemen, pengertian peradilan, sejarah singkat peradilan Islam, sejarah singkat munculnya bani Abbasiyah, dan terakhir perioderisasi peradilan Islam. Bab ketiga ini penulis mendeskripsikan praktik peradilan masa Abbasiyah pertama dan kedua, kebijakan-kebijakan peradilan masa khalifah Abbasiyah, kasus hukum yang terjadi pada waktu itu, dan pembuatan undang-undang masa Abbasiyah. Bab keempat penulis menganalisis manajemen hakim di masa Abbasiyah. Pada bab ini berisikan pengangkatan hakim, pengaturan gaji hakim, sumber hukum hakim, kewenangan hakim, pemecatan dan penggantian hakim, serta kemajuan dan kemunduran peradilan masa Abbasiyah. Bab Kelima Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.
18
Demikian sistematika dan garis besar pembahasan yang akan penulis tulis dalam penulisan skripsi dan memberikan kemudahan pemahaman terhadap keseluruhan isi skripsi ini.
BAB II MANAJEMEN PERADILAN ISLAM A. Pengertian Manajemen Dalam beberapa literatur, dikemukakan bahwa istilah manajemen mengandung makna yang sangat luas; yaitu manajemen sebagai suatu sistem (management as a system), manajemen sebagai proses (management as a process), manajemen sebagai fungsi (management as a function), manajemen sebagai ilmu pengetahuan (management as a science), manajemen sebagai kumpulan orang (management as a people), manajemen sebagai kegiatan yang terpisah (management as a separate activity) dan manajemen sebagai suatu profesi (management as a proffession).1 Dalam bukunya G.R Terry menyatakan bahwa manajemen merupakan sebuah kegiatan; pelaksana disebut manajer dan proses pelaksanaannya disebut manajemen. Manajemen mencakup kegiatan untuk mencapai tujuan, dilakukan oleh individu-individu yang menyumbang upayanya yang terbaik melalui tindakan-tindakan yang telah dilakukan sebelumnya. Hal tersebut meliputi pengetahuan tentang apa yang harus mereka lakukan, menetapkan cara bagaimana melakukannya, memahami bagaimana mereka harus melakukannya, memahami bagaimana dan mengatur efektifitas dari usaha-usaha mereka.2 Dari beberapa definisi dan pendapat yang diberikan oleh pakar manajemen di atas maka dapat diambil kesimpulan tentang manajemen sebagai berikut: 1
George R. Terry dan Leslie. Rue, Dasar-dasar Manajemen, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), lihat Hasanuddin, Manajemen Dakwah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hlm. 1. 2
George R. Terry dan Leslie. Rue, Dasar-dasar Manajemen, hlm. 3.
19
20
a. Manajemen merupakan proses bekerja melalui orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. b. Manajemen adalah aktivitas kelompok manusia yang bekerjasama serta mempunyai tujuan dengan mempergunakan segala potensi yang ada. c. Manajemen adalah alat untuk mencapai tujuan dengan efektif dan efisien.3 Menurut penulis uraian di atas menunjukkan bahwa manajemen mencakup kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi dengan memperkuat segala potensi yang ada untuk mencapai tujuan dengan efektif dan efisien. B. Pengertian Peradilan Kata peradilan berasal dari kata adil, dengan awal per dan akhiran an. Kata peradilan sebagai terjemahan dari Qadha yang artinya memutuskan, melaksanakan, menyelesaikan.4 Dalam bahasa Arab, peradilan disebut al-qadha yang secara etimologi memiliki beberapa arti. Menurut Muhammad Salam Madkur arti qadha menurut bahasa mempunyai beberapa arti: 1. al-qadha yang sepadan dengan kata al-faraaqh yang berarti putus atau selesai seperti yang disebut dalam surat al-Ahzab ayat 37:
د ِ د فِي أَشًَْا ٌ َن حَس َ ُ َفهَّمَا َقضََ شَ ْي ٌد مِنْيَا ًَطَسًا شَ ًَجْنَاكَيَا ِنكَيْ نَا َيكٌُنَ عَهََ انّْمُؤْمِنِي (Qs. االحصاب37) .س انهَ ِو مَ ْفعٌُنًا ُ ْن ًَطَسًا ًَكَانَ أَم َ َأ ْدعِيَائِ ِي ْم ِإذَا َقضٌَْا مِنْ ُي Artinya: “Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraiannya), kami nikahkan dia (Zainab) kepada engkau agar tidak 3
4
Hasanuddin, Manajemen Dakwah, hlm. 3
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir (Kamuas Arab Indonesia), (Jakarta: t. Pn, 1996), Cet. Pertama, hlm. 1215.
21
ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi ”. 2. Al-adaa’ yang bermakna menunaikan atau membayar, seperti Muhammad telah membayar utangnya (qadha Muhammadun dainuhu) seperti frman Allah QS. Al-Jumuah (62) ayat 10.
ض ًَابْ َتغٌُا مِنْ َفضْمِ انهَوِ ًَا ْذكُسًُا انهَ َو ِ ْشسًُا فِي انْأَز ِ ّصهَاةُ فَانْ َت َ َفِئذَا ُقضِيَتِ ان (Qs. انجّمٌعو10) .َكَخِيسًا َنعََه ُكمْ تُفْ ِهحٌُن Artinya: “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” 3. Al-hukmu yang mempunyai arti mencegah atau menghalang-halangi. Dari kata inilah maka qadhi-qadhi disebut sebagai hakim, karena mencegah terjadinya kezaliman orang yang mau berbuat zalim. 4. Arti lain dari kata qadha adalah memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan.5 Kemudian secara terminologi, peradilan atau qadha memiliki beberapa makna, antara lain: 1. Kekuasaan yang dikenal (kekuasaan yang mengadili dan memutuskan perkara).
5
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fil Islam, Terjemahan: Imron AM dengan judul Peradilan dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm. 19-20.
22
2. Menyelesaikan perkara pertengkaran untuk melenyapkan gugat menggugat dan untuk memotong pertengkaran dengan hukum-hukum syara’ yang dipetik dari Al-qur‟an dan sunnah.6 Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tugas peradilan adalah menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum karena hukum Islam (Syari’at) telah ada sebelum manusia ada. Dalam hal ini hakim hanya menetapkan hukum yang sudah ada dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada. Di Samping itu, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abidin, ada pula ulama yang berpendapat bahwa peradilan berarti menyelesaikan suatu sengketa dengan hukum Allah. 7 Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa peradilan adalah lembaga yang mempunyai kekuasaan umum untuk mengadili dan memutuskan perkara antara dua orang atau lebih untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan berlandaskan Al-qur‟an dan Hadits. Dalam peradilan selalu terkait unsurunsur seperti pertama, hukum syara’ yang digunakan sebagai dasar dalam memutuskan perkara. Kedua, orang yang bertugas menjatuhkan hukum yakni hakim. Ketiga, kompetensi dan yuridiksi lembaga peradilan yang menjadi wewenang dalam menyelesaikan perkara. Keempat, ada pihak penggugat dan tergugat. Kelima, ada kasus yang diperselisihkan. Keenam, putusan hakim itu mengikat para pihak. Ketujuh, penegakkan hukum dan keadilan bagi umat manusia.
6
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) hlm. 10.
7
Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 30.
23
C. Sejarah Singkat Peradilan Islam Peradilan sudah dikenal jauh sebelum Islam datang. Hal ini di dorong oleh kebutuhan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, peradilan sudah dikenal sejak masa-masa awal manusia berkumpul dan memperluas bentuk kesepakatan, lalu dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan karena tidak mungkin satu masyarakat manusia dapat menghindari dari persengketaan seperti sebelumnya, peradilan di pandang suci oleh semua bangsa-bangsa di masa lalu dalam tingkatan kemajuannya. Rasionya adalah penegakkan peradilan berarti memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kezaliman.8 Peradilan bagi bangsa Arab pra Islam dapat dikatakan belum memiliki bentuk maupun sistem peradilan yang mapan. Namun, mereka telah memiliki qadhi untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Mereka pada umumnya berpegang pada tradisi (kebiasaan) dan adat istiadat yang berlaku di masig-masing kabilah (suku) untuk menjadi pedoman utama dan menyelesaikan berbagai persoalan. Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’ri) yang biasa dilakukan oleh suku-suku Arab pra Islam dan menjadi jalan ke luar dari kasus-kasus pidana, terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataanya justru sering kali menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangan suatu kasus.9 Dari uraian diatas penulis simpulkan bahwa peradilan sudah ada sejak adanya manusia di dunia ini, hanya saja bentuk peradilan pada masa itu belum
8
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 8
9
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 29
24
dapat dikatakan peradilan-peradilan seperti sekarang karena belum memiliki sIstem peradilan yang mapan. D. Sejarah Singkat Munculnya Bani Abbasiyah Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Abbasiyah karena pendiri Dinasti ini adalah keturunan dari alAbbas.10 Sebelum runtuhnya Daulah umawiyah muncul gerakan Ahlul Bait. Ahlul bait itu gabungan gerakan Ahlu Syi‟ah dengan keturunan-keturunan Nabi. Dan mereka masih bersekutu karena Bani Umayyah itu bukan dari keturunan Nabi. Muawiyah dari Bait Umawi sementara Nabi dari Bait Hasyimi. Jadi ada dua keluarga besar, sebenarnya mereka bersaudara tapi mereka menjadi bersaing untuk memperebutkan
kekuasaan di Mekkah. Bait Hasyimi keturunan-
keturunannya nasabnya menyambung ke Nabi Muhammad SAW sedangkan Bait Umawi keturunan-keturunannya nasabnya bersambung ke Abu Sofyan kemudian Muawiyah. Bait Hasyimi di sebut dengan Ahlul Bait, karena dari keluarga merekalah muncul kenabian. Timbul pertanyaan mengapa Abu Sofyan tidak mau masuk Islam padahal sahabat-sahabat yang lain masuk Islam dan mengapa Muawiyah itu belum masuk Islam kecuali sampai Mekkah di taklukkan, karena mereka merasa gengsi dan sakit hati karena kenabian munculnya di Bait Hasyimi bukan dari Bait Umawi. Dan ketika Daulah Muawiyah ini mulai lemah akhirnya orang-orang Bait Hasyimi keturunan paman-paman Nabi bersekongkol untuk 10
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim. Para pemimpinnya disebut khalifah, tetapi derajatnya lebih tinggi dari gelar Khalifah di zaman dinasti Umayyah. Khalifah-khalifah Abbasiyah mempatkan diri mereka sebagai zhilullah fi al-ardh (bayang-bayang Allah di bumi). Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011) hlm. 91.
25
merebut kekuasaan. Semula yang menjadi calon Khalifah adalah orang ‘alawi orang-orang keturunan dari Ali bin Abi Thalib kemudian pindah kekuasaan dan kepemimpinannya ke keturunan Abbas paman Nabi.11 Daulah Abbasiyah tadinya gerakan bawah tanah kemudian setiap pemimpinnya yang wafat, ia menunjuk pengganti supaya menjadi penerusnya merebut kekuasaan dari Daulah Umawiyyah. Sebelumnya yang memimpin adalah orang-orang ‘alawi dari keturunannya Ali terus menerus, suatu ketika ia menunjuk penggantinya itu dari keturunan Abbas bukan keturunan Ali. Pada saat ia memimpin berkembanglah kekuasaannya. Kemudian Daulah umawi melemah dan beliau berhasil menguasai pos-pos penting akhirnya menang.12 Kekuasaan Bani Abbasiyah ini berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H/ 750 M sampai 656 H/ 1258 M. Dinasti ini mampu bertahan lebih dari lima abad hingga datangnya serangan pasukan Mongol pada tahun 656/1258.13 Abu Musa al-Abbas al-Safah (750-775 M) adalah pendiri Dinasti Bani Abbas. Akan tetapi karena kekuasaannya sangat singkat, Abu Ja‟far alManshurlah (754-775 M) yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan dinasti ini. Pada 762 M, Abu Ja‟far al-Manshur memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian di pindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibukota Persia. Oleh karena itu ibukota pemerintahan Dinasti 11
Muhammad Al-Khudriy, Daulah Abbasiyah, (Mesir: Darul Ma‟arif beirut, 1999), hlm
12
Muhammad Al-Khudriy, Daulah Abbasiyah, hlm 136.
135.
13
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi. Cet. 2. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm 1.
26
Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Abu Ja‟far al-Manshur sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah setelah Abu Abbas al-Saffah, digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas. Di tangannyalah Abbasiyah mempunyai pengaruh yang kuat. Pada masa pemerintahannya Baghdad sangatlah disegani oleh kekuasaan Byzantium.14 Dinasti Abbasiyah menjalankan pemerintahan dengan bantuan keluarga Barmakiyyah, sebuah keluarga keturunan Persia yang berasal dari Balk. Sebelum masuk Islam, beberapa generasi keluarga ini adalah orang yang cakap dalam pemerintahan dengan jabatan wazir dan menteri, dan mereka mengembangkan peradaban Arab Persia yang mencapai kemajuan pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid dan beberapa waktu sesudahnya. Namun pada masa akhir pemerintahan Harun al-Rasyid ia menghukum keluarga Barmakiyyah dengan membunuh wazir pertama yaitu Ja‟far ibn Yahya Barmak. Saudara dan ayahnya dijebloskan ke penjara hingga meninggal. Sikap Harun yang aneh itu menandai perubahan sejarah Abbasiyah, tidak lama kemudian kekuasaan Abbasiyah benar-benar lenyap dari tangan mereka. Dua putra Harun al-Amin dan al-Makmun, secara berturut-turut menggantikan kedudukan ayahnya untuk wilayah Barat dan Timur, sedangkan al-Qasim putra Harun yang ketiga, sebagai gubernur untuk wilayah Selatan. Persaingan antara keduanya menimbulkan peperangan berdarah yang mengantarkan al-Makmun ke singgasana Abbasiyah. Masa pemerintahan alMakmun membuka masa lembaran baru sejarah Abbasiyah.15
14
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2000), hlm.
15
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi. hlm 2.
49-50.
27
Di Daulah Abbasiyah sering sekali timbulnya pemberontakan yang dilakukan oleh orang keturunannya Ali bin Abi Thalib. Keturunan Ali ini melakukan protes pada waktu Khalifah al-Ma‟mun bin Harun al-Rasid yang berkuasa. Khalifah Makmun sebelumnya ia ingin menyerahkan Khilafah kepada keturunannya Ali. Untuk menarik simpati kalangan Syiah, al-Makmun mengangkat imam Syiah yang bernama „Ali al-Rida sebagai putra mahkota dan sang khalifah berkenan menikahkan anak perempuannya kepada sang Imam. Bendera hitam Abbasiyah digantikan dengan bendera keluarga Ali yang berwarna hijau. Rakyat Iraq memberontak dan mengangkat Ibrahim sebagai khalifah. Kemudian Imam „Ali al-Rida terbunuh lantaran terserang racun.16 Sebelum meninggal ia pernah berkata kepada Al-Ma‟mun bahwa dirinya lebih berhak atas Khilafah karena Ali bin Abi Thalib sebagai menantu Rasul suami dari anak Nabi yaitu Fatimah, dan Al-Ma‟mun juga mengatakan bahwa nasabnya lebih dekat ke Rasul, karena kakeknya dari keturunan Abbas, dan Abbas ini adalah Pamannya Rasul, sedangkan bapaknya Ali bin Abi Thalib paman Rasul juga yaitu Abu Thalib, tetapi Abu Thalib ini tidak pernah masuk Islam sampai wafatnya, sedangkan Abbas termasuk orang-orang pertama yang masuk Islam, jadi Abbas itu lebih berhak menjadi Khalifah karena secara nasab saja dekat dengan Nabi sama-sama Bait Hasyimi pamannya dan secara keislamannya semua keturunannya jelas masuk Islam sebelum wafat.17 Bagi para pendukung Ali, khalifah-khalifah Abbasiyah adalah orang yang merebut kekhalifahan, dan khalifah yang sah adalah para Imam berasal dari 16
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi. Hlm 3.
17
Muhammad Al-Khudriy, Daulah Abbasiyah, hlm. 137.
28
keturunan Ali dan fatimah. Para pendukung Ali selalu menjadi ganjalan dalam perpolitikan Islam dan bersikeras mengklaim bahwa para Imam mereka adalah pewaris kepemimpinan Nabi.18 Al-Mu‟tashim saudara dan penerus al-Makmun membina prajurit Turki menjadi militer kerajaan. Merasa tidak aman di Baghdad, ia mendirikan ibu kota ke Samarra. Ibu kota Samarra‟ ini berlangsung hingga khalifah al-Mu‟tamid kembali ke Baghdad, ini mengawali kemunduran politik Abbasiyah karena kalangan militer Turki mulai memegang kendali kekhalifahan semenjak masa pemrintahan Al-wathiq, dan akhirnya menjadi penguasa yang sesungguhnya.19 Pada akhirnya pasukan Mongol ini dengan mudah menghancurkan Abbasiyah, di tengah terjadi perselisihan kekhalifahan, kalangan Syi‟ah yang menentang pemerintahan Abbasiyah membuat pasukan Mongol tidak menemukan rintangan dalam menghancurkan Abbasiyah.20 E. Perioderisasi Peradilan Islam 1. Peradilan Pasa Masa Rasulullah Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk membimbing dan agar memutuskan hukum dengan apa yang Ia turunkan kepadanya. Orang yang pertama menjadi hakim dalam Islam adalah Rasulullah SAW. sendiri berdasarkan perintah Allah SWT. Setiap permasalahan yang terjadi di antara penduduk
18
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terjemahan R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta : Serambi 2006), hlm. 358. 19
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi, hlm 3.
20
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi, hlm. 4.
29
Madinah beliau menjadi satu-satunya hakim mereka dalam setiap perselisihan dan perkara.21 Namun Rasulullah SAW. sangat teliti dalam memilih atau mengangkat sahabat dalam mengemban tugas sebagai hakim. Terbukti ketika Mu‟az bin Jabal ingin diutus ke Yaman Rasululah saw. melakukan tes seperti yang termuat dalam hadits berikut ini: ٍعنْ ُأنَاض َ َع ٌْنٍ عَنِ انْحَازِثِ ْبنِ عَّمْسًِ ْبنِ أَخَِ انّْمُغِي َسةِ ْبنِ شُ ْعبَت َ َِعنْ َأب َ َعنْ شُ ْعبَت َ َح َد َحنَا حَ ْفصُ ْبنُ عُّمَس َ ََ نَّمَا أَزَادَ َأنْ َيبْعَجَ مُعَاذًا إِن-صهَ اهلل عهيو ًسهم- ِج َبمٍ َأنَ زَسٌُلَ انهَو َ ِِمنْ أَ ْىمِ حِّمْصَ مِنْ َأصْحَابِ مُعَاذِ ْبن .» جدْ فَِ ِكتَابِ انهَ ِو ِ َ قَالَ « فَِئنْ نَمْ ت.ِ قَالَ أَ ْقضَِ بِ ِكتَابِ انهَو.» ٌا ْنيَ َّمنِ قَالَ « َكيْفَ تَقْضَِ ِإذَا عَ َسضَ َنكَ َقضَاء صهَ اهلل عهيو- ِسنَتِ زَسٌُلِ انهَو ُ َِجدْ ف ِ َ قَالَ « فَئِنْ نَمْ ت.-صهَ اهلل عهيو ًسهم- ِسنَتِ زَسٌُلِ انهَو ُ ِقَالَ َفب ُصدْ َزه َ -صهَ اهلل عهيو ًسهم- ِ َفضَسَبَ زَسٌُلُ انهَو.ٌُج َت ِيدُ زَ ْأيَِ ًَالَ آن ْ َ قَالَ أ.» ِ ًَالَ فَِ ِكتَابِ انهَو-ًسهم .» ِ ًَقَالَ « انْحَ ّْمدُ نِهَوِ انَرٍِ ًَ َفقَ زَسٌُلَ زَسٌُلِ انهَوِ نِّمَا يُ ْسضَِ زَسٌُلَ انهَو22 “Telah menceritakan kepada kami Hafsah bin Umar dari Syu‟bah dari Abu “Aun dari Harits bin “Amru sanak saudara Al-Mughirah bin Syu‟bah, dari beberapa orang penduduk Himsh yang merupakan sebagian dari sahabat Mu‟adz bin Jabal. Bahwa Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wassalam ketika akan mengutus Mu‟adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda: Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah persoalan hukum yang dihadapi kepadamu?” Mu‟adz menjawab: saya akan memutuskan menggunakan kitab Allah.” Beliau bersabda: “Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam kitab Allah?” Mua‟adz menjawab: “Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah Shallallahu “Alaihi Wasallam.” Beliau bersabda lagi: “ Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam sunnah Rasulullah SAW., serta dalam kitab Allah?” Mu‟adz menjawab, “saya akan berijtihad dengan menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi.” Kemudian Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda: “ segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk 21
Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), hlm 297. 22
Imam al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Penerjemah: Fadhli Bahri, (Jakarta: Daarul Falah, 2000), hlm. 125-126.
30
melakukan apa yang membuat senang Rasulullah.” Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yayna bin Syu‟bah telah menceritakan kepada kami Abu “Aun dari Al-Harits bin „Amru dari beberapa orang sahabat Mu‟adz dari Mu‟adz bin Jabal bahwa Rasulullah SAW., tatkala mengutusnya ke yaman.... kemudian ia menyebut maknanya. ” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ahmad dan Ad-Damiri). Jika berhalangan, misalnya karena tugas keluar untuk memimpin perang, Rasulullah SAW. selalu menunjuk sahabat untuk bertugas di Madinah.23 Meskipun pelaksanaan peradilan pada zaman Rasulullah terkesan tidak formal, tetapi rukun-rukun al-qadha telah terpenuhi, yaitu hakim, hukum, almahkum bih, al-mahkum ‘alaih, dan al-mahkumah (orang yang menggugat). Pada Zaman Rasul, orang yang mempunyai masalah bisa datang bersama atau sendiri kepada beliau untuk minta diadili atas sengketa yang mereka hadapi, kemudian Rasulullah SAW. mengadili para pihak sebagaimana mestinya sesuai dengan hukum yang berlaku. Pada umumnya putusan yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW. itu diterima dengan secara sukarela dan tidak memerlukan upaya eksekusi.24 Ulama meriwayatkan banyak hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah SAW., penulis mencantumkan beberapa contoh kasus dan penyelesaiannya di antaranya adalah: 1. Rasulullah SAW., memutuskan perselisihan antara Abu Bakar dan Rabi‟ah al-Aslami tentang tanah yang di dalamnya terdapat pohon kurma yang 23
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.148 24
Fazlur Rahman, Islami Metodelogi in History, terjemahan Anas Mahudi (Bandung: Pustaka 1984) hlm. 15.
31
miring. Adapun batangnya di tanah Rabi‟ah, sedangkan rantingnya di tanah Abu Bakar, dan masing-masing mengakui bahwa pohon tersebut miliknya. Lalu keduanya pergi kepada Rasulullah SAW., maka beliau memutuskan bahwa ranting menjadi milik orang yang memiliki batang pohon. 2. Khansa‟ binti Khadam al-Anshariyah dinikahkan oleh bapaknya sedangkan dia janda dan tidak menyetujuinya, lalu ia datang kepada Rasulullah SAW., maka beliau membatalkan pernikahan tersebut, lalu ia berkata kepada Rasulullah SAW., “Saya tidak menolak sesuatu apapun yang diperbuat ayahku, tapi saya ingin mengajarkan kepada kaum perempuan bahwa mereka memiliki keputusan terhadapdiri mereka”.25 Ringkasnya hukum Islam telah berlaku sejak zaman Nabi, utamanya pada periode Madinah. Namun, hukum-hukum pada masa itu masih belum mendapatkan bentuk tertentu sebagaimana yang telah kita kenal sekarang sebagai Ilmu Fiqh. Hadits merupakan sesuatu yang lahir dari ucapan-ucapan, perbuatan, ketetapan Nabi. Hanya Nabi yang mempunyai otoritas menetapkan sebuah hukum, baik yang berupa wahyu maupun berupa hasil ijtihad atau musyawarah dengan para sahabat.26 Beberapa contoh kasus hukum di atas menunjukkan bahwa Rasulullah merupakan hakim pertama dan satu-satunya di Madinah yang amat bijaksana dalam memutuskan suatu perkara hukum. Hanya Nabi yang mempunyai otoritas 25
Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, hlm 299. 26
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm 139.
32
menetapkan sebuah hukum, baik yang berupa wahyu maupun berupa hasil ijtihad atau hasil musyawarah dengan para sahabat. Namun hukum-hukum pada masa itu masih belum mendapatkan bentuk tertentu seperti sekarang sebagai Ilmu Fiqih. 2. Peradilan Masa Khulafa Al-rasyidin Pada masa khalifah Abu Bakar ash-Shiddieq tidak tampak adanya suatu perubahan dalam bidang peradilan. Hal ini disebabkan karena kesibukkan beliau memerangi orang murtad dan pembangkang menunaikan zakat, juga kesibukkan beliau menyelesaikan urusan politik kekuasaan karena meluasnya wilayah pemerintahan pada waktu itu. Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW yakni ia sendirilah yang memutuskan hukum di antara umat Islam di Madinah. Sedangkan para gubernurnya memutuskan hukum diantara manusia di daerah masing-masing di luar Madinah. Pada masa khalifah Abu Bakar ah-Shiddieq urusan al-Qadha diserahkan kepada Umar bin Khattab selama dua tahun lamanya. Tetapi dua tahun itu tidak ada satupun yang masuk ke Mahkamah Syari‟ah yang dipimpin oleh Umar bin Khattab ini, mungkin orang segan berurusan dengan peradilan karena beliau terkenal dengan ketegasan yang dimilikinya.27 Maka tercatatlah dalam sejarah orang yang pertama kali menjadi qadhi dalam Islam pada awal masa Khalifah al-Rasyidin adalah Umar bin Khattab.28
27
Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 16. 28
Athiyah Masyrafah, al-Qadha fi al-Islam, (Mesir: Syirkat al-Syarqi al-Ausath, 1996), cet. II, hlm. 93
33
Lembaga al-Qadha pada masa khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq belum dipisah dengan lembaga pemerintahan. Pada tingkat pusat langsung dipegang oleh khalifah sendiri, sedangkan pada tingkat daerah dipegang oleh pemangku wilayah „ammah, belum diadakan pejabat yang khusus untuk mengurus urusan peradilan secara tersendiri. Urusan-urusan peradilan masih bersatu dengan kepala wilayah (gubernur), sehingga dalam pelaksanaannya masih tumpang tindih. Jadi, kepala negara pada masa Abu Bakar bertindak sebagai orang yang memutus perkara (kadi) dan sebagai orang yang melaksanakan putusan (munafidz) atau melaksanakan eksekusi.29 Pada masa khalifah Umar bin Khattab, beliau sendiri yang mengangkat seseorang untuk menjabat sebagai kadi guna di tempatkan di suatu daerah, khalifah mengirim surat kepada gubernur supaya mengangkat seorang kadi untuk bertugas di daerahnya. Kadi yang di angkat oleh gubernur itu adakalanya ditunjuk oleh khalifah Umar sendiri, adakalanya dipilih oleh gubernur dan diangkat atas nama khalifah. Demikian juga tentang pemberhentian seorang kadi, sepenuhnya menjadi wewenang khalifah Umar bin Khattab.30 Pemerintahan Utsman bin Affan berlangsung dari 644-656 M. ketika dipilih Utsman berusia 70 tahun. Di masa pemerintahannya perluasan daerah Islam di teruskan ke Barat sampai ke Maroko, ke Timur menuju India, dan ke Utara menuju ke Konstantinopel.31
29
T.M Hasbi ash Siddieq, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Bulan-bintang, 1970), hlm.
19 30
31
Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 15.
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, hlm. 179.
34
Usaha-usaha yang dilaksanakan oleh Utsman dalam bidang-bidang peradilan antara lain; pertama: membangun gedung peradilan baik di kota Madinah maupun di daerah gubernur, kedua: menyempurnakan administrasi peradilan dan mengangkat pejabat-pejabat yang mengurusi administrasi peradilan, ketiga: memberi gaji kepada kadi dan stafnya dengan dana yang diambil dari baitul mal, keempat: mengangkat naib kadi, semacam panitera yang membantu tugas-tugas kadi. 32 Peradilan di masa Ali bin Abi Thalib, Ali memerintah dari tahun 656-662 M. Pada periode Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak banyak perubahan yang dilakukan dalam bidang peradilan. Kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib hanya melanjutkan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Khalifah Utsman bin Affan dengan sedikit perubahan misalnya dalam bidang pengangkatan kadi, sebelumnya menjadi wewenang penuh pemerintah pusat (Khalifah), sekarang diserahkan kepada gubernur (pemerintah daerah) untuk mengangkatnya.33 Melihat perkembangan peradilan pada masa khulafa al-Rasyidin dapat diketahui
bahwa
lembaga
peradilan
masih
pada
taraf
pembentukkan,
organisasinya belum sempurna. Kebanyakan para pencari keadilan mengadukan perkaranya dalam bentuk meminta fatwa, apabila kadi menetapkan suatu hukum, maka para pencari keadilan menyelesaikannya sendiri perkaranya dan pada 32
Abdul Karim Zaidan, Nizhomul Qadha fi Syar'iyatil Islamiyyah, (Baghdad: Mathb'ah al-any, tt.), hlm. 61. 33
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu kajian dalam Sistem Peradilan Islam. Hlm. 83.
35
umumnya mereka sangat patuh terhadap putusan kadi tersebut. Jabatan kadi dalam periode khulafa al-Rasyidin dianggap suatu jabatan yang amat terhormat dan mempunyai pengaruh yang sangat besar kepada seluruh negara dan masyarakat. Kadi dapat menyamaratakan antara rakyat biasa dengan pejabat negara dan pemerintahan, antara orang yang mulai dan orang yang hina di persidangan pengadilan. Kadi pada zaman khulafa al-Rasyidin semuanya orangorang yang memiliki keahlian dalam bidang ijtihad, bukan ahli taqlid kepada seorang imam dalam menetapkan hukum. 34 Dari uraian diatas kesimpulan menurut penulis bahwa pada zaman khulafa al-Rasyidin
sudah mulai berkembangan ke arah yang lebih baik dari waktu
sebelumnya, diantaranya pengangkatan kadi langsung diangkat oleh Khalifah kecuali pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, gedung-gedung sudah mulai di bangun sejak khalifah Utsman bin Affan, hakim (kadi) di gaji oleh negara dengan dana baitul mal pada masa khalifah Umar bin Khattab dan kekuasaan pemerintah sudah mulai dipisahkan sejak khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. 3. Peradilan Masa Umayyah Dinasti Umayyah berkuasa selama kurang lebih 91 tahun dari tahun 661H–750H. Pada dinasti Umayyah, al-qadha dikenal dengan al-Nizham alQadhaaiy (organisasi kehakiman), dimana kekuasaan peradilan telah dipisahkan dari kekuasaan politik. Ada dua ciri khas bentuk peradilan pada masa Umayyah, yaitu: 34
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu kajian dalam Sistem Peradilan Islam. Hlm. 84.
36
a. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam halhal yang tidak ada nash atau ijma’. Ketika itu mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi keputusan-keputusan hakim. Pada waktu itu hakim hanya berpedoman kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. b. Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim memiliki hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa sendiri. Dalam hal itu, khalifah selalu mengawasi gerak gerik hakim dan memecat hakim yang menyeleweng dari garis yang ditentukan.35 Pada masa Umayyah, khalifah mengangkat qadhi-qadhi untuk bertugas di ibukota pemerintahan. Sedangkan qadhi-qadhi yang bertugas di daerah pengangkatannya
diserahkan
kepada
penguasa-penguasa
daerah.
Namun,
kedudukan hakim ibukota dan hakim daerah sederajat. Pada masa ini belum ada tingkatan-tingkatan lembaga peradilan atau belum ada qadhil qudhat. Maka masing-masing hakim berdiri sendiri, namun secara hierarki mereka berada di bawah kekuasaan khalifah dan wakil-wakilnya.36 Lembaga peradilan dipegang oleh orang Islam, sedangkan kalangan non muslim mendapatkan otonomi hukum di bawah kebijakan masing-masing pemimpin agama mereka. Hal inilah yang mendasari mengapa hakim hanya ada di kota-kota besar.37 35
Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, alih bahasa Imron AM, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), cet. IV, hlm. 20. 36
37
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 152. Philip Kahitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2006), cet. Ke-2, hlm. 281
37
Adapun instansi dan tugas kekuasaan kehakiman di masa Daulah Umayah ini dapat di kategorikan menjadi tiga badan, yaitu: Pertama, al-Qadha’ merupaan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkaraperkara yang berhubungan dengan agama. Di samping itu, badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental.38 Kedua,
merupakan
tugas
al-muhtasib
(kepala
hisbah).
Dalam
menyelesaikan perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat. Menurut Al-Syaqathi dalam bukunya Fi Adaab al-Hisbah, seperti yang dikutip oleh Philip K. Hitti bahwa tugas al-Muhtasib selain mengarahkan polisi juga bertindak sebagai pengawas perdagangan pasar, memeriksa takaran dan timbangan serta ikut mengurusi kasus-kasus perjudian, seks amoral, dan busana yang tidak layak pakai di depan umum.39 Ketiga, al-Nadhar fi al-Mazhalim. Merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya (al-qadha dan al-hisbah) lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar negara yang berbuat salah. Pengadilan ini langsung di bawah pimpinan Khalifah. Ketika itu Abdul Malik bin Marwan atau orang yang ditunjuk olehnya, yang pada awalnya diadakan di dalam masjid.40 Pada masa itu qadhi-qadhi
dibatasi wewenangnya, yaitu hanya
memutuskan perkara dalam urusan-urusan khusus. Sedang yang berhak
38
Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 80
39
PhilipK. Hitty, History of the Arabs, hlm 670
40
Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 82
38
menjalankan keputusan adalah khalifah sendiri atau wakilnya dengan intruksi dari khalifah. Lembaga peradilan pada masa Umayyah bersifat independen. Para penguasa tidak mencampuri urusan peradilan dan peradilan bebas memutuskan dengan seadil-adilnya. Khalifah hanya mengawasi keputusan yang mereka keluarkan, selain itu, ada ancaman pemecatan bagi siapa yang berani melakukan penyelewengan.41 Wewenang seorang hakim hanyalah memutuskan hukum suatu perkara, namun yang melaksanakan hasil putusan tersebut adalah khalifah atau gubernur atau orang yang diberikan perintah untuk melaksanakannya. Contoh: hakim memutuskan hukuman terdakwa adalah qishash, sementara yang menjalankan hukum qishash tersebut adalah khalifah sendiri.42
41
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 153
42
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 83
BAB III PRAKTIK PERADILAN PADA MASA ABBASIYAH A. Peradilan pada Masa Abbasiyah Pertama Pada masa Daulah Abbasiyah para hakim tidak lagi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab yang empat atau mazhab yang lainnya. Dengan demikian, syarat hakim harus mujtahid sudah ditiadakan. Kemudian, organisasi kehakiman juga mengalami perubahan, antara lain telah diadakan jabata penuntut umum (kejaksaan) di samping telah di bentuk instansi diwan qadhi al-qudhah, sebagai berikut: a. Diwan Qadhi al-Qudhah (fungsi dan tugasnya mirip dengan Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh qadhi al-qudhah (ketua Mahkamah Agung). Semua badan-badan pengadilan dan badan-bada lain yang ada hubungan dengan kehakiman berada di bawah diwan qadhi al-qudhah. b. Qudhah al-Aqaali (hakim provinsi yang mengetuai Pengadilan Tinggi). c. Qudhah al-Amsaar (Hakim Kota yang mengetuai Pengadilan negeri; alQadha atau al-Hisbah). d. Al-Suthah al-Qadhaiyah, yaitu jabatan kejaksaan di ibu kota negara di pimpin oleh al-Mudda’il Ummy (Jaksa Agung), dan tiap-tiap kota oleh Naib Ummy (Jaksa).1
1
A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), cet. Ke-5, hlm.
234-235.
39
40
Apabila diidentikkan dengan Indonesia, pada zaman Abbasiyah sudah ada Mahkamah Agung dan Jaksa Agung serta peradilan-peradilan di tingkat provinsi dan kota/kabupaten. Artinya setiap wilayah sudah memiliki peradilan.2 Adapun badan-badan Peradilan pada zaman Abasiyah ada tiga macam 3, yaitu sebagai berikut: a. Al-Qadha, hakimnya bergelar al-Qadhi. Bertugas mengurus perkaraperkara yang berhubungan dengan agama pada umumnya. Al-Qadha adalah lembaga yang berfungsi memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf. Pada masa Abbasiyah setiap perkara diselesaikan dengan berpedoman pada mazhab masing-masing yang dianut oleh masyarakat.4 b. Al-Hisbah, hakim yang bergelar Muhtasib, bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah-masalah umum dan tindak pidana yang memerlukan pengurusan segera. Tugas pejabat alhisbah adalah amar ma’ruf nahi munkar,baik yang berkaitan dengan hak Allah, hak hamba, atau hak keduanya. Yang berkaitan dengan hak Allah misalnya, melarang mengkonsumsi minuman keras, melarang melakukan hal-hal yang keji seperti berbuat zina dan yang lainnya. Sedangkan yang berkaitan dengan hak hamba seperti melarang mengganggu kelancaran lalu lintas. Yang berkaitan hak keduanya (hak Allah dan hamba) misalnya melarang berbuat curang dalam muamalat seperti penipuan dalam takaran 2
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 159.
3
A. Hasyim, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 231.
4
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 130.
41
dan timbangan. Jadi, seorang muhtasib harus mampu mengajak masyarakat menjaga ketertiban umum.5 c. Wilayat al-Mazhalim, hakim yang bergelar Shahibul atau Qadhi alMazhalim, yaitu kekuasaan pengadilan yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan muhtasib, yang bertugas memeriksa kasus-kasus yang tidak masuk dalam wewenang hakim biasa, tetapi pada kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat biasa. Seperti kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh para kerabat khalifah, pegawai pemerintahan, dan hakim-hakim. Contohnya ada seorang wanita yang mengadukan anak khalifah al-Abbas yang telah menzaliminya dengan merampas tanah haknya.6 Pada masa ini kekuasaan peradilan sangat luas, meliputi kekuasaan kepolisian, wilayat al-Mazhalim, wilayat al-hisbah, pengawasan mata uang, dan bait al-mal. Di samping itu, ada juga lembaga tahkim (hukum) yang berwenang menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi.7 Ada pula lembaga Tahkim (lembaga fatwa) walaupun tidak dapat disamakan secara 100%.8 Dalam memeriksa perkara, hakim boleh berijtihad walaupun secara administratif para hakim diperintahkan oleh khalifah untuk menyelesaikan perkara dengan berpegang pada mazhab yang ada. Abu Yusuf, misalnya, walaupun bermazhab Hanafi tetapi dia masih berijtihad dan dalam hal tertentu ia berbeda
5
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 128.
6
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 136.
7
Salam Madzkur, al-Qadhi fi al-Islam, hlm 50.
8
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 160.
42
pendapat dengan gurunya. Ini berarti bahwa terdapat campur tangan para khalifah. Misalnya, qadhi di Irak menggunakan mazhab Hanafi, di Syam dan Maghribi menganut mazhab Maliki, dan di Mesir menganut Mazhab Syafi‟i. Apabila yang berperkara tidak satu mazhab dengan qadhi maka diangkatlah qadhi yang satu mazhab dengan yang berperkara.9 B. Peradilan pada Masa Abbasiyah Kedua Pada masa ini organisasi peradilan, khususnya qadhi al-qudhah, sudah mengalami perubahan. Qadhi al-qudhah tidak hanya di pusat pemerintah (Baghdad), tetapi juga di daerah-daerah. Hal ini terjadi karena banyaknya daerah yang memisahkan diri dari pusat pemerintahan, Baghdad. Istilah qadhi al-qudhah tidak sama di tiap negeri, seperti di Andalusia disebut Qadhi al-Jama’ah.10 Hakim-hakim pada masa ini memutus perkara menurut imam-imam mazhab secara taklid (hakim muqallid), pada masa ini yang diangkat jadi hakim dipilih ulama yang secara taklid dari mazhab yang dianut oleh raja yang bersangkutan. Karenanya terdapat perbedaan hukum dengan mazhab hakim. Dalam pengangkatan hakim, para hakim di haruskan membayar sejumlah uang kepada pemerintah pada tiap tahunnya. Pengaruh eksekutif sangat tinggi pada masa ini hingga wewenang peradilan dirahasiakan semakin menyempit dan terbatas pada masalah kekeluargaan saja.11 Penulis memaparkan peradilan masa Abbasiyah kedua ini sebagai bahan perbandingan bahwa terdapat perbedaan yang jelas dalam bidang peradilan masa 9
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 161.
10
11
Salam Madzkur, al-Qadha fi al-Islam, hlm. 48.
Hasbi Ash-shiddiqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 27.
43
Abbasiyah pertama dan kedua ini, guna untuk melihat persamaan dan perbedaan diantara keduanya. C. Kebijakan-Kebijakan Peradilan Masa Khalifah Abbasiyah Pada masa ini ada beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah dalam bidang peradilan, antara lain adalah: 1. Lembaga Qadhi al-Qudhah (Mahkamah Agung) Meskipun secara politis qadhi al-qudhah diangkat dan kedudukannya berada di bawah sultan, akan tetapi sebenarnya ia adalah penyeimbang kekuasaan sultan dan pelaksana kekuasaan lainnya, seperti diwan dan wizarat. Mengingat sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, tidak mungkin melaksanakan seluruh kekuasaan negara. Karena itu beberapa kekuasaan eksekutif kemudian didelegasikan kepada pelaksana kekuasaan lainnya.12 Lembaga Qadhi al-Qudhah yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan. Kalau untuk zaman sekarang bisa disebut Mahkamah Agung. Badan hukum ini diputuskan pendiriannya sejak masa Harun al-Rasyid yang berkedudukan di ibu kota negara dengan tugas sebagai pengangkat hakim-hakim daerah. Apabila diidentikan dengan Indonesia, pada zaman Abbasiyah sudah ada Mahkamah Agung dan Jaksa Agung serta peradian-peradilan di tingkat provinsi dan kota/kabupaten. Artinya setiap wilayah sudah memiliki peradilan.13
12
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 163. 13
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 159.
44
Abu Yusuf dikenal sebagai orang pertama yang dipanggil sebagai Qadhi al-Qudhah (Hakim Agung). Jabatan hakim agung itu diembannya selama tiga periode kekhalifahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, yaitu pada masa Pemerintahan Khalifah Al-Hadi, Al-Mahdi, dan Harun Al-Rasyid. Pada masa khalifah Harun Al-Rasyid, Abu Yusuf diberikan suatu kehormatan, bahwa semua keputusan mahkamah baik di Barat maupun Timur harus bersandar kepadanya. Jabatan hakim agung dijabat oleh Abu Yusuf hingga ia wafat pada 182 H. 14 Beberapa qadhi yang terkenal pada masa Abbasiyah adalah sebagai berikut: a. Abu Yusuf , Ya‟kuq bin Ibrahim (lahir tahun 131 H/ 731 M - wafat tahun 182 H/ 789 M) beliau adalah qadhi qudhah Harun al-Rasyid. b. Yahya bin Aksam (lahir tahun 159 H/755 M - wafat tahun 242 H/857 M) beliau adalah qadhi qudah al-Makmun. c. Ahmad bin Abu Daud (lahir tahun 160 H/777 M - wafat tahun 240 H/ 854 M) beliau adalah qadhi al-Mu‟tashim. d. Sahnun al-Maliki (lahir tahun 160 H/ 777 M - wafat tahun 240 H/ 854 M) beliau adalah qadhi Maghrib. e. Al-„Izz bin Abd. Al-Salam (lahir 578 H/ 1181 M – wafat tahun 660 H/ 1262 M) beliau adalah qadhi Mesir. f. Ibnu Khillikaan (lahir tahun 608 H/ 1211 M – wafat tahun 660 H/ 1282 M) beliau adalah qadhi Damaskus.
14
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/09/18/majncx-abu-yusufhakim-agung-di-era-abbasiyah-2 di unggah pada tanggal 20 Mei 2015.
45
g. Ibnu Daqiqi „Ied (lahir tahun 625 H/ 1228 M – wafat tahun 702 H/ 1302 M) beliau adalah qadhi Mesir dan Sha‟id. Inilah sebagian qadhi qudhah dan qadhi perhatian umum terkenal dalam masyarakat fikih
yang banyak mendapatkan dan di pandang sebagai
pebimbing ilmu al-furu’ dalam periode kedua dari bani Abbasiyah.15 2. Wilayah Hisbah a. Pengertian Wilayah Hisbah Secara etimologi al-hisbah merupakan kata benda yang berasal dari kata al-ihtisab artinya “menahan upah” kemudian maksud meluas menjadi ”pengawasan
yang
baik”.
Sedangkan
secara
terminologi,
al-Mawardi
mendefinisikan dengan “suatu perintah terhadap kebaikan (Ma’ruf) bila terjadi penyelewengan terhadap kebenaran dan mencegah kemungkaran”. Kriteria kebaikan yaitu segala perkataan, perbuatan, atau niat yang baik yang diperintahkan oleh syariat. Sedangkan perbuatan mungkar yang dilarang oleh syariat.16 Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Pejabat badan hisbah disebut muhtasib. Tugasnya menangani kasus kriminal yang penyelesaiannya perlu segera, mengawasi hukum, mengatur ketertiban umum seperti mencegah penduduk yang mengakibatkan sempitnya jalan-jalan umum, mengganggu kelancaran lalu lintas, dan melanggar hak-hak tetangga serta 15
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm 136.
16
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 125
46
menghukum orang yang mempermainkan hukum syara‟.17 Misalnya menghukum orang yang melakukan hal-hal keji seperti berzina, mengkonsumsi minuman keras, berbuat curang dalam muamalah melakukan jual beli yang di larang syariat, penipuan dalam takaran dan timbangan dan lain sebagainya. b. Satus Dan Wewenang Wilayah Hisbah Pada masa Abbasiyah wilayah hisbah sudah terlaksana dengan baik, lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. Hal ini dijelaskan oleh Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim peradilan menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk akomodasi dan muhtasib. Artinya, keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada di bawah lembaga peradilan (qadha). Pada masa ini kewenangan mengangkat muhtasib sudah tidak lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al-qudhah, baik mengangkat maupun memberhentikannya.18 Tugas lembaga al-hisbah adalah memberi bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-petugas alhisbah. Tugas hakim ialah memutus perkara terhadap perkara-perkara yang disidangkan dan menghukum yang kalah serta mengembalikan hak orang yang menang. Sedangkan tugas muhtasib adalah hanya mengawasi berlakunya undang-
17
18
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 130
Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah (Kairo: Al-Maktabah alMukhashshah alMishriyah, 1993), hlm. 363.
47
undang dan adab-adab kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Jadi kedudukan peradilan lebih tinggi dari pada al-hisbah.19 Dalam beberapa kasus, seorang muhtasib juga bertugas seperti hakim, yaitu pada kasus-kasus yang memerlukan putusan segera. Hal ini dilakukan karena terkadang ada suatu masalah yang harus segera diselesaikan agar tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk, dan jika melakukan proses pengadilan hakim akan memakan waktu yang sangat lama.20 Contohnya orang yang mengganggu kepentingan umum misalnya mengganggu kelancaran lalu lintas. Menegakkan hak asasi manusia seperti mencegah buruh membawa beban di luar batas kemampuannya atau kendaraan-kendaraan yang mengangkut barang melebihi kuota.21 Jadi, seorang muhtasib harus mampu mengajak masyarakat menjaga ketertiban umum. Sistem penerapan
wilayah hisbah, muhtasib tidak berhak untuk
memutuskan hukum sebagaimana halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya dapat bertindak dalam hal-hal skala kecil dan pelanggaran moral yang jika dianggap perlu muhtasib dapat memberikan hukuman ta’zir terhadap pelanggaran moral. Berdasarkan hal ini kewenangan muhtasib lebih mendekati kewenangan polisi, tetapi bedanya, ruang gerak muhtasib hanyalah soal kesusilaan dan keselamatan masyarakat umum, sedangkan untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak termasuk dalam kewenangannya. Di samping itu,
19
Hasbi Ash-Shiddieqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 99
20
Athiyah Musyrifah, al-Qadha fi al-Islam, hlm. 183.
21
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 128.
48
muhtasib juga berwenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan perdagangan dalam kedudukannya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah gangguan dan hambatan, pelanggaran di jalan, memakmurkan masjid, dan mencegah kemungkaran seperti minum-minuman keras, perjudian, dan lain-lain.22
c. Persamaan dan Perbedaan Al-Hisbah dan Peradilan Lembaga peradilan dan al-hisbah dapat saling melengkapi satu sama lain walaupun terdapat persamaan dan perbedaan dalam beberapa segi. Persamaan tersebut adalah: a) Baik hakim maupun muhtasib, keduanya menerima dan mendengarkan pengaduan dari orang yang bersengketa. b) Keduanya berupaya memberantas kezaliman dan menegakkan keadilan. Adapun perbedaannya adalah: a) Dari segi kewenangan: Muhtasib tidak berhak menerima dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan hakim pengadilan. b) Muhtasib hanya mengurus perkara-perkara yang kecil yang bukan termasuk kewenangan hakim pengadilan misalnya, perkara penipuan dalam takaran dan timbangan. c) Kedudukan peradilan lebih tinggi dari pada al-hisbah.
22
Athiyah Musyrifah, al-Qadha fi al-Islam, hlm. 183.
49
d) Hakim cenderung menunggu perkara yang masuk, sedangkan muhtasib cenderung mencari kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan.23 Jadi, wilayah al-hisbah secara garis besarnya seperti jabatan penuntut umum, sedangkan muhtasib disamakan dengan penuntut umum karena mereka adalah orang-orang yang bertugas memelihara hak-hak umum dan tata tertib masyarakat. Walaupun dalam beberapa segi terdapat perbedaan, namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa tugas al-hisbah di dalam hukum Islam merupakan dasar bagi penuntut umum sekarang.24 3. Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan) a. Pengertian Wilayah Al-Mazalim Kata wilayah al-Mazalim merupakan gabungan dua kata, yaitu wilayah dan al-Mazalim. Kata wilayah secara literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan pemerintahan. Sedangkan kata al-Mazalim adalah bentuk jamak dari mazlimah yang secara literal berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan, dan kekejaman.25 Sedangkan secara terminologi wilayah al-mazalim berarti “kekuasaan pengadilan yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan muhtasib, yang bertugas
23
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 131.
24
Hasbi Ash-Shiddieqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 98.
25
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 125.
50
memeriksa kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat biasa.26 b. Wewenang Wilayatul Al-Mazalim Lembaga ini dipisahkan dari wilayah peradilan. Awalnya, penanganan masalah segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang masuk perkara al-mazalim waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut Qadhi al-Mazalim atau Sahib al-Mazalim. Pada masa ini wilayah al-mazalim mendapat perhatian besar. Diceritakan pada hari Ahad, Khalifah al-Makmun sedang membuka kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadu kezaliman yang dilakukan oleh pejabat, datang seorang wanita dengan pakaian jelek tampak dalam kesedihan. Wanita tersebut mengadukan bahwa anak sang Khalifah, al-Abbas, menzaliminya dengan merampas tanah haknya. Kemudian sang khalifah memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam, untuk menyidang kasus tersebut di depan sang Khalifah. Di tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al-Abbas sehingga para pengawal istana mencelanya. Kemudian Al-Makmun berkata, “Dakwaannya benar, kebenaran membuatnya berani berbicara dan kebatilan
26
Muhammad Salam Madzkur, al-Qadha fi al-Islam, terj. Imran A.M., hal. 171
51
membuat anakku membisu.” Kemudian hakim mengembalikan hak si wanita dan hukuman kepada sang anak khalifah.27 Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi al-mazhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding. Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke
dalam
wewenang
hakim
biasa.
Yaitu,
memeriksa
perkara-perkara
penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya.28 4. Al-Mahkamah Al-Askariyah Pada masa pemerintahan Abbasiyah juga di bentuk mahkamah atau peradilan militer (al-Mahkamah al-Askariyah) dengan hakimnya adalah qadhi al‘askar atau qadhi al-jund. Posisi ini sudah ada sejak zaman Sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl, terutama ketika persidangan tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.29 5. Badan Arbitrase
27
Athiyah Musyrifah, al-Qadha fi al-Islam, hlm. 174.
28
Teuku Muhammad Hasbi as-Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm 64 29
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Indonesia, hlm. 166.
52
Pada masa ini, di samping Lembaga Pengadilan, ada juga hakam-hakam (badan arbitrase) yang memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Nazhab tahkim ini, dibenarkan oleh Islam. Undang-undang modern pun telah banyak
mengambilnya.
Tahkim
dalam
pegertian
bahasa
arab
berarti
“Menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu” dalam pengertian istilah tahkim adalah “dua orang atau lebih yang mengtahkim kepada seseorang diantara mereka untuk diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara‟ atas sengketa mereka itu‟. Maka kedudukan tahkim lebih rendah dari kedudukan peradilan. Karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam.30 6. Tempat Persidangan, waktu dan pakain untuk hakim Persidangan-persidangan pengadilan pada masa Abbasiyah dilaksanakan di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu yang sama diadakan beberapa perbaikan, seperti menghimpun putusan-putusan secara teliti dan sempurna. Bagi para qadhi atau ulama‟ memiliki pakaian khusus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa khalifah Harun alRasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka dengan rakyat umum. Dalam pelaksanaannya para qadhi mempunyai beberapa orang pembantu atau pengawal
30
Juli 2015.
http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=10120.html. Diakses pada tanggal 3
53
khusus yang mengatur waktu berkunjung dan waktu pengajuan perkara dan meneliti dakwaan-dakwaan mereka.31 Persidangan dilakukan di gedung tengah kota dengan hari persidangan yang sudah ditentukan. Pada hari raya atau hari-hari besar tidak ada persidangan. Keputusan yang dijatuhkan pada hari selain hari-hari yang ditentukan dipandang tidak sah.32 Saat mengadili para hakim memakai pakaian khusus (jubah dan surban hitam sebagai lambang dari Daulah Abbasiyah), berwibawa dan memiliki pengawal khusus yang mengatur pengajuan perkara serta meneliti dakwaandakwaan mereka.33 Pada masa ini pengadilan sudah memiliki gedung khusus dan sudah mulai memerhatikan administrasi peradilan, seperti adanya penetapan hari sidang dan adanya semacam panitera menurut Ibnu Khaldun, pada masa itu telah diadakan pembukuan putusan secara sempurna dan pencatatan wasiat dan utang.34 7. Muculnya Mazhab-Mazhab Pada masa Abbasiyah tepatnya pada masa khlifah Al-Manshur dari Khalifah Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadits. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad kedua hijriyah yaitu Abu Hanifah (w. 150 H) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq. Kemudian Imam Malik bin Anas (w.179 H) di Hijaz sebagai
31
Teuku Muhammad Hasbi as-Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 62.
32
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 160.
33
A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 236.
34
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 160.
54
ulama Madinah dari kalangan Muhadditsin dan fuqoha‟. Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi‟i (w.204 H) dari Makkah dan Madinah hingga markaz keilmuan di Bagdad Iraq kemudian ke Masjid Jami‟ Amru bin Ash di Mesir untuk meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh Islam dan Qa‟idah-Qa‟idah Ijtihad. Kemudian dari Madrasah Ahlul Muhadditsin dan halaqah Al-Syafi‟i lahir pula Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadits. Khalifah Abu Ja‟far al-Mansur sangat menjunjung tinggi kebebasan berpikir, sehingga terutama di Bagdad, pergerakan ilmu pengetahuan sangat berkembang pesat. Pembukuan hadits sudah dimulai masa Umar bin Abdul Aziz, kemudian pada masa itu khalifah selanjutnya menganjurkan kepada ulama untuk membukukan berbagai ilmu pengetahuan. Masa ini lahirlah istilah-istilah fikih dan lahir pula mazhab-mazhab fikih.35 Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya para hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafi‟i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai
35
Hasan Mukhtar, Tanzhim al-Qadh, (Riyadh: Al-Mathba‟ah Al „Arabiyah Al-Su‟udiyah, 1983), hlm. 241.
55
dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.36 Dan terkadang pada daerah-daerah yang luas dan penduduknya heterogen dari segi aliran-aliran mazhab, maka hakim yang diangkatpun ada yang berasal dari mazhab Hanafi, ada yang berasal dari mazhab Syafi‟i, ada yang berasal dari mazhab Maliki, dan ada yang berasal dari mazhab Hanbali dan bahkan ada yang berasal dari mazhab Ismaili. Dan bahkan lebih daripada itu seperti mazhab Syi‟ah, Auza‟i, Daud az-Zhahiri, Ath-Thobari, dan lain sebagainya. Sehingga yang terjadi adalah apabila ada dua pihak yang berperkara yang bukan dari pengikut mazhab yang termasyur di negeri itu, maka tunjuklah seorang qadhi yang akan memutuskan perkara itu sesuai dengan mazhab yang diikuti oleh kedua belah pihak yang berperkara. Sehingga pada pemerintahan Harun al-Rasyid di bentuk suatu jabatan penting dalam pemerintahannya yang disebut dengan Qadhi alQudhat’ (Hakim Agung).37 Berkembangnya mazhab-mazhab karena adanya dukungan penguasa. Misalnya, mazhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat menjadi qadhi dalam tiga masa pemerintahan Abbasiyah, yaitu al-Mahdi, al-Hadi, dan Harun ar-Rasyid. Mazhab Maliki berkembang atas dukungan al-Mansur di khilafah Timur. Ketika Yahya bin Yahya diangkat menjadi qadhi oleh penguasa Andalusi, di Afrika, Muiz Badis mewajibkan 36
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: Pustaka Riski Putra, 1997), hlm. 241. 37
Mahmud Salam Madkur, al-qadha’ fi al-Islam, (alih bahasa Imron AM), (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 49.
56
seluruh penduduk mengikuti mazhab Maliki. Sedangkan mazhab syafi‟i membesar di Mesir setelah Shalahuddin al-Ayubi merebut negeri itu. Mazhab Hanbali menjadi kuat setelah al-Mutawakkil diangkat menjadi khalifah. Ketika itu Mutawakkil tidak akan mengangkat seseorang qadhi kecuali atas persetujuan Ahmad bin Hanbal.38 Perkembangan selanjutnya adalah pada masa pemerintahan Sultan AlZahir Baybars (665 H/ 127 M), di mana ia membentuk sistem peradilan yang menggabungkan antara empat mazhab besar dan dikepalai oleh masing-masing Hakim Agung. Untuk Hakim Agung mazhab Imam Syafi‟i, mempunyai keudukan yang lebih tinggi dari yang lain. Karena selain menangani urusan yuridiksinya, juga diserahi tanggung jawab mengawasi penyantunan anak yatim piatu, perwakafan, dan menangani masalah baitul mal. Sedangkan Hakim Agung yang lain mengurusi peradilan dan fatwa bagi rakyat dari masing-masing mazhabnya. Dengan demikian pada masa ini Hakim Agung tidak hanya memiliki tugas memutus perkara pada tingkat kasasi, akan tetapi memiliki tugas-tugas lain di luar yuridiksinya,39 bahkan dapat memegang sampai tujuh jabatan sekaligus.40 Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa secara umum mazhab yang empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini
38
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 157.
39
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam bingkai Reformasi hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 153. 40
Jabatan tersebut adalah katib, al-sirr, nazir, nazir al-auqof, syaikh, syahid, mu’id, mudarris, imam, khatib, dan muqri’.
57
pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Qur‟an dan al-Sunnah. Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas mazhabmazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang berperkara. D. Kasus Hukum Masa Abbasiyah Dalam catatan sejarah, al-Mansur khalifah Abbasiyah yang mempunyai nama Abu Ja‟far menyuruh pengawalnya membunuh Abu Muslim al-Khurasani dan Sulaiman bin Katsir. Al-Manshur juga menangkap pemimpin-pemimpin kelompok Rawandiyah dan memenjarakan 200 orang pengikut kelompok tersebut.41 Masa pemerintahan Khalifah al-Mahdi memutar balik jarum jam, ia memulai pemerintahannya dengan membebaskan semua tahanan kecuali yang dipenjara menurut Undang-undang. Ia juga memerhatikan pengaduan dan penganiayaan. Miswar bin Musawir menceritakan bahwa ia telah dianiaya oleh seorang pegawai al-Mahdi yang merampas kebunnya. Ia mengadukan perkara tersebut kepada al-Mahdi sehingga kebun tersebut dikembalikan kepadanya. AlMahdi juga mengembalikan harta-harta yang dirampas oleh ayahnya, al-Mansur, kepada pemiliknya masing-masing sesuai pesan ayahnya sendiri dan membatalkan pemungutan pajak. Al-Mahdi telah mengadili pengaduan, menghentikan pembunuhan, memberi jaminan kepada pihak yang bimbang dan takut, dan 41
A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, hlm. 73
58
membela pihak yang teraniaya. Al-Mahdi mengadili dan menghukum Ya‟kub bin Daud (menteri pengganti Abu Abdullah) yang akhirnya dipenjara sepanjang masa pemerintahannya, menghukum Isa bin Musa. Pada masa pemerintahan al-Ma‟mun (813-833 M), putra dari Khalifah Harun al-Rasyid (766-809 M) pada tahun 827 M menjadi kan teologi Mu‟tazilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara. Karena menjadi aliran resmi dari pemerintah, kaum Mu‟tazilah mulai bersikap menyiarkan ajaran-ajaran mereka secara paksa, terutama paham mereka bahwa al-qur‟an bersifat makhluk dalam arti diciptakan dan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.42 Kaum Mu‟tazilah telah mendukung khalifah menentang ahl as-sunnah dan ulamaulama hadits dalam perkara ini. Masalah ini berlanjut sampai masa pemerintahan al-Mutawakkil. Banyak korban karena masalah ini. Baik yang dibunuh maupun yang dipenjara. Raja Musa bin Jenghis Khan memenjarakan tiga orang yang masih bersaudara dan membebaskannya karena kesaksian yang diberikan oleh seorang wanita. Nama-nama hakim ketika itu adalah Abi laila, Yahya bin Aktsan atTamimi, Ahmad bin Abu Daud al-Mu‟tazili, Abu Yusuf, Abu Walid.43 Dari uraian di atas beberapa kasus hukum yang terjadi pada masa Abbasiyah tampak sekali khalifah pada masa ini juga menjadi qadhi menyelesaikan permasalah yang ada pada masa kepemimpinannya menjadi khalifah. 42
Harun Nasutio, Teologi Islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, cet. 5, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm 10. 43
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 163.
59
E. Pembuatan Undang-undang Ide pembuatan Undang-undang pada masa Abbasiyah dicetuskan oleh Ibnu Muqaffa (wafat 144 H), beliau mengirimkan surat kepada Abu Ja‟far alMansur, memohon agar di buatkan satu undang-undang yang diambil dari Alquran dan Sunnah untuk seluruh rakyat, dan bagi perkara yang tidak ada ketentuan nashnya maka di ambil dari pendapat yang memenuhi tuntutan keadilan dan kemashlahatan umat. Hal ini di tanggapi oleh Khalifah dan meminta agar Imam Malik menolak dan berkata, “Sesungguhnya setiap umat memiliki ikutan ulama-ulama salaf dan mazhab-mazhab.”44 Pada tahun 163 H, khalifah sekali lagi mengajukan kepada Imam malik. Namun tetap ditolak. Begitu juga Harun ar-Rasyid mengajukan pikiran yang serupa kepada Imam Malik, namun tetap ditolak. Imam Malik berkata, “sesungguhnya sahabat Nabi SAW berbeda dalam furu’ dan berserakan di berbagai negeri dan masing-masing dari mereka adalah benar.”45 Uraian di atas menunjukkan bahwa Ibnu Muqawwafa menginginkan ada satu peraturan yang terkodifikasi yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, dan perkara yang tidak ada ketentuan nashnya maka di ambil dari pendapat yang memenuhi tuntutan keadilan dan kemashlahatan umat, namun ide pembuatan undang-undang tersebut di tolak oleh iman Malik. Ini menunjukkan bahwa setiap perkara yang ada harus merujuk pada Alquran dan sunnah dan perkara yang tidak ada ketentuan nashnya maka di ambil dari ijtihad para ulama dari masing-masing imam mazhab. 44
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 164.
45
Muhammad Salam Madzkur, al-Qadha fi al- Isla, hlm. 1434.
BAB IV MANAJEMEN HAKIM DI MASA ABBASIYAH A. Pengangkatan dan Pengaturah gaji Hakim 1. Pengangkatan Hakim Sudah menjadi satu kepastian bila masyarakat memerlukan penguasa yang menertibkan (pergaulan di antara mereka), mengatur, dan memelihara kenyamanan hidup mereka. Pemerintah tidak mungkin mampu menangani masyarakat sehingga diperlukan pembantu-pembantu yang melaksanakan bebanbeban pemerintah. Mereka melaksanakan sesuai dengan bidangnya masingmasing, diantaranya lembaga peradilan. Untuk itu diperlukan pejabat yang memangku lembaga tersebut sehingga mengangkat hakim hukumnya wajib.1 Abu Bakar bin Mas‟ud dalam Bada’i al-shanai’ sebagaimana dikutip T.M Hasbi ash Siddieqy mengatakan: ” Mengangkat qadhi adalah suatu fardhu, karena mengangkat qadhi itu adalah untuk menyelesaikan suatu urusan fardhu, yakni kehakiman. Kehakiman itu adalah lembaga yang menyelesaikan perkara umat di bidang hukum. Sementara itu, jumhur ulama berpendapat membentuk lembaga peradilan dan mengangkat qadhi itu hukumnya fardhu kifayah.2 Pada masa Khilafah Bani Abbasiyah, khususnya pemerintahan Harun arRasyid, telah terbentuk satu jabatan peradilan baru yaitu Qadhi Qudhat (sekarang Sama dengan Mahkamah Agung), hakim agung diangkat oleh kepala negara, dan diberi hak mengangkat pejabat-pejabat peradilan bagi yang dipandang mampu, baik dari pusat maupun daerah. Ada satu pendapat mengatakan bahwa Qadhi 1
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 26.
2
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 116
60
61
Qudhat tidak boleh mengangkat ayahnya sendiri atau anaknya, ada juga yang berpendapat boleh apabila ayah atau anak yang diangkat tersebut memenuhi syarat karena wewenang mengangkat tidak ada pengecualian (berlaku umum), dan qadhi qudhat juga diberikan wewenang memecat pejabat bawahannya. Dengan demikian juga, setiap hakim diberikan hak mengundurkan diri dari jabatan yang dipangkunya apabila hal itu dipandang membawa maslahat.3 Pada masa Abbasiyah pengangkatan qadhi dilakukan oleh khalifah, misalnya Abi Laila adalah qadhi yang diangkat oleh Khalifah al-Mansur. Namun, pada masa Harun al-Rasyid, khalifah hanya mengangkat seorang yang dianggap cakap dan mampu sebagai qadhi sekaligus qadhi al-qudhah, yang selanjutnya berwenang mengangkat qadhi pada peradilan provinsi dan kota. Orang yang pertama mendapatkan kesempatan sebagai qadhi qudhah adalah Abu Yusuf 4, muridnya Abu Hanifah.5 Ia seorang ahli fiqih pengikut mazhab Hanafi karenanya ketika itu ia diangkat dengan ketentuan dan memutus kasus berdasarkan hukum mazhab Hanafi. Berdasarkan fakta syariat, itulah di antara faktor yang menyebabkan tersebarnya mazhab Hanafi.6 Ini menunjukkan bahwa sistem pengangkatan qadhi dilakukan oleh Khalifah baik qadhi al-qudhah di pusat maupun di daerah.
3
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm 29.
4
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya‟qub bin Ibrahim lahir pada 113 H/ 731 M, dan meninggal pada 182 H/ 798 M. Selanjutnya baca Abu Bakar al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, th), hlm. 337. 5
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj. Mukhtar Yahya, (Jakarta: Pustaka alHusna Jakarta, 1998), cet. V, hlm. 24. 6
Basiq Dajali, Peradilan Islam, hlm. 30.
62
Dan bagaimanapun keadaannya, yang qadhi harus diangkat oleh penguasa pemerintah presiden atau wakilnya. Seorang qadhi tidak boleh mengangkat dirinya sendiri dan tidak boleh juga mengangkat orang lain untuk menjadi hakim karena hak mengangkat hakim hanya untuk penguasa (presiden/wakil). Seandainya seluruh penduduk negeri berkumpul lalu memilih seseorang untuk diangkat sebagai hakim tidaklah orang tersebut bisa menjadi seorang hakim.7 2. Pengaturan Gaji Hakim Sebuah keharusan bagi seorang hakim untuk memberi pehatian penuh pada tugas-tugasnya sebagai hakim dan dia juga harus menghindarkan dirinya sendiri dari keraguan akan integritas dan tindakannya dalam menegakkan keadilan. Seorang hakim juga harus membuat dirinya dan anggota keluarganya untuk tidak mengkhawatirkan tentang kehidupan mereka. Seorang hakim yang mendapatkan gaji yang cukup tentu akan sanggup menghindarkan diri dari keterlibatan dalam aktivitas bisnis sehingga tidak akan ada kekacauan dalam pekerjaannya yang dapat membahayakan keadilan yang harus ditegakkannya. Jika gaji hakim yang tinggi tidak dapat dipenuhi oleh negara, maka menurut beberapa ahli hukum, hanya orang-orang yang kaya saja yang boleh ditunjuk sebagai hakim. pendapat ini ditulis dalam surat Umar bin Khattab r.a yang ditunjukkan pada beberapa gubernurnya: “Tunjuklah seorang hakim dari golongan orangorang kaya dan terhormat. Orang kaya tidak akan mempunyai nafsu untuk memiliki kekayaan orang lain. Sementara orang dari keluarga terhormat tidak akan pernah takut akan akibat dari keputusannya”. 8 7
8
Basiq djalil, Peradilan Islam, hlm. 28.
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajin dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007) hlm. 63.
63
Umar bin Khattab r.a selalu membayar hakim dengan gaji yang tinggi sehingga mereka menjadi cukup kaya dan terhindar dari tindakan suap menyuap atau menerima hadiah. Sebagai contoh, ketika Muawiyah bin Abi Sufyan ditunjuk menjadi gubernur Syiria, beliau mendapat gaji 1000 Dirham tiap tahun. Sementara itu, Uthman Ibnu Hanif, yang menjadi kepala keuangan di Irak, mendapat gaji sebanyak 5000 dirham tiap tahun. Demikian juga dengan Abu Musa Al-Ash‟ari, gubernur dan ketua pengadilan di Basrah di gaji sebanyak 6000 Dirham.9 Beberapa hakim dan gubernur mendapat gaji setiap bulan. Seperti Ammar bin Yasir, Gubernur Kufah, digaji sebanyak 600 dirham tiap bulan. Salman bin Rabi‟ah al-Bahli, hakim terkemuka dari Al-Qadhisiyah, digaji 100 Dirham tiap bulan.10 Pada masa Abbasiyah, perkembang ekonomi umat Islam semakin baik sehingga hakim yang pada masa Umayah menerima 10 dinar kini memperoleh 30 dinar. Puncaknya ada masa keemasan Abbasiyah saat Al-Makmun menjadi Khalifah. Gaji Isa bin Munkadir sebagai hakim di Mesir mencapai 1000 Dinar perbulan. Jika benar apa yang dikatakan oleh Muhaimin Iqbal dalam Dinar The Real Money hlm 29, bahwa 1 dinar = 4,25 gr emas 22 Karat = Rp. 425.000; (sesuai harga emas 22 karatper-satu gramnya) maka 4,25 gr emas 22 karat = Rp. 1. 806.250; jadi 1000 dinar jika di konversikan ke bentuk rupiah sebesar Rp. 1.806.250.000; (satu milyar delapan ratus enam juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Suatu penghargaan bagi hakim dengan jumlah gaji yang cukup besar. Tingginya gaji hakim masa Abbasiyah karena kedudukan peradilan saat itu bukan 9
Al-simnani, Ali Bin Mohammas Bin Ahmad, Rodhat al-Qudhat, (Baghdad: Matbaat As‟ad, 1970), hlm. 86 10
Al-simnani, Ali Bin Mohammas Bin Ahmad, Rodhat al-Qudhat, hlm. 37.
64
hanya menyelesaikan perkara-perkara sengketa, namun juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan anak-anak dibawah umur, orang yang tidak cakap bertindak secara hukum seperti anak yatim, orang gila, orang pailit, dan sebagainya. Mengurus harta-harta wasiat, wakaf, dan masih banyak lainnya. Menurut Ibn Umus dalam Tarikh al-Qadha fil Islam, gaji tinggi yang diperoleh hakim masa itu ternyata bukan saja beban kerja mereka yang cukup berat, namun ternyata lantaran putusan hakim harus disesuaikan dengan keinginan pemerintah. Atas dasar itulah para ulama banyak yang menolak menjadi hakim sebagai contoh adalah Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Ja‟far al-Manshur.11 Dalam catatan sejarah diketahui bahwa hakim mendapatkan kesejahteraan yang harus membaik dari negara, seperti qadhi Suraih yang bertugas di Kufah menerima gaji 100 dirham sebulan (pada masa Umar), kemudian di naikkan menjadi 500 dirham pada masa Ali bin Abi Thalib, seterusnya naik menjadi 10 Dinar pada masa Umayyah. Bahkan gaji hakim naik 30-1000 Dinar pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah.12 Jadi kesimpulan menurut penulis untuk menjamin kebersihan hakim itu pulalah sebabnya khalifah menganjurkan untuk mengangkat hakim dari kalangan orang kaya dengan maksud supaya terbebas dari keinginan menguasai harta rakyat. 11
Budi Julian, “Hakim: Antara Profesionalitas dan Kesejahteraan”, artikel diakses pada 10 Juni 2015 dari http://iailangsa.ac.id/berita-698-hakim-antara-profesionalisme-dankesejahteraan.html 12
Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan ddan Adat dalam Islam , alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta: khalifah , cet, ke-1, 2004) , hlm. 355.
65
B. Sumber Hukum Hakim Menurut kitab fiqh, landasan yang harus digunakan sebagai putusan hakim adalah nash-nash dan hukum yang pasti (qath’i tsubut wa ‘adalah) dari Alquran dan sunnah, dan hukum-hukum yang telah di sepakati oleh ulama (mujma’ ‘alaih), atau hukum yang telah dikenal dalam agama secara dharuri (pasti). Apabila perkara yang diajukan ke hadapan hakim itu terdapat hukum dalam nash (qath’i dalalah), atau terdapat ketentuan hukum yang disepakati oleh ulama, atau ketentuan hukumnya telah diketahui secara dharuri oleh kaum muslimin, kemudian hakim memutuskan dengan putusan yang menyalahi hal tersebut maka putusan itu batal dan berhak dibatalkan.13 Di samping Al-qur‟an dan hadits, sumber hukum yang banyak digunakan oleh hakim kala itu adalah yurisprudensi atau preseden hukum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelum masa Dinasti Abbasiyah. Tidak di pungkiri hakimhakim masa Dinasti Umayah telah memutus berbagai persoalan baik yang ada ketentuannya dalam nash maupun yang belum. Keputusan-keputusan itu bisa jadi rujukan bagi hakim masa Abbasiyah. Hakim-hakim masa Dinasti Abbasiyah semakin berkembangnya pemikiran hukum yang digagas oleh para imam Mazhab, semakin memperkaya rujukan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara di sidang-sidang pengadilan yang mereka jalani. Banyak sekali hasil pemikiran mujtahid itu baik dalam bentuk Metodologi (Ushul Fiqh), maupun hasil (fiqh) dapat dijadikan sebagai sumber hukum bagi peradilan. Perlu juga dicatat bahwa hakim kala itu disampng memiliki keahlian dalam memeriksa dan memutus 13
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 79.
66
perkara, mereka juga fuqaha yang ahli baik dalam epistimologi hukum Islam maupun ilmu-ilmu yang lainnya.14 Hakim memiliki kebebasan untuk melakukan interpretasi terhadap teks yang masih ‘am, mutlaq, yang memerlukan penafsiran hukum. Khalifah tidak berhak membatasi kebebasan pemikiran hakim tersebut dan tidak ada satu fuqaha ataupun mujtahid yang bisa melarang seorang hakim berijtihad atau memberi fatwa terhadap sesuatu perisiwa hukum yang diajukan kepadanya kebebasan itu akhirnya memang berwujud pada kompleksitas teks hukum yang dijadikan sebagai rujukan atau dasar putusan dalam lingkungan peradilan. Akibatnya tidak ada kepastian hukum karena seorang yang mencari keadilan kadang harus menghadapi sidang yang hakim dan rujukan sumber hukumnya tidak sama dengan mazhab yang dianut oleh si pencari keadilan itu. Dalam rangka menghindari pengulangan pemeriksaan perkara yang sama atau yang pernah diajukan dalam rangka mencari kepastian hukum, keputusan-keputusan itu lantas diregistrasi oleh pengadilan. Orang yang pertama kali melakukan pencatatan putusan pengadilan itu adalah Salim bin Anas, hakim Mesir yang kala itu menemui perkara yang sudah diputusnya namun diajukan lagi kepadanya. 15 C. Kewenangan Hakim Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah ketika masa Khulafa‟ al-Rashidin dan masa Ummayah mereka memegang kekuasaan Yudikatif dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam 14
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011), hlm. 125.
15
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 126.
67
urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak memiliki kesempatan lagi untuk membina peradilan secara langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan keahlian dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa‟ al-Rasyidin yang disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli hukum.16 Pada awalnya khalifah Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki otorita dan independenitas yang tinggi.17 Jika di masa-masa yang telah lalu, batas wewenang hakim begitu luasnya, maka dalam masa ini bertambah lagi. Dalam masa ini, hakim-hakim itu di samping memperhatikan urusan-urusan perdata, bahkan juga menyelesaikan urusan wakaf, dan menunjukkan pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang para hakim ini diserahkan juga urusan-urusan 16
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 123.
17
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 121.
68
kepolisian, penganiayaan (mazalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishas, hisbah, pemalsuan mata uang dan bait al-mal (kas negara). Salah seorang hakim yang terkemuka pada saat itu adalah Yahya ibn Aktsam ash-Shafi yang diangkat oleh al-Makmun.18 Perkembangan kekuasaan kehakiman pada masa dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (170-193 H). Ia mengangkat Ya‟qub bin Ibrahim al-Anshari yang dikenal Abu Yusuf sebagai kepala qadhi al-qudhah (hakim agung) yang diberi tugas untuk menangani perkara-perkara di peradilan umum dan diwan al-madzalim.19 Adapun wewenang qadhi al-qudhah ada delapan, yaitu sebagai berikut: a. Mengangkat qadhi. b. Memecat qadhi. c. Menyelesaikan qadhi yang mengundurkan diri. d. Mengurusi hal ihwal qadhi. e. Meneliti putusan-putusan qadhi dan meninjau kembali putusan-putusan tersebut. f. Mengawasi tingkah laku qadhi di tengah-tengah masyarakat. g. Mengawasi administrasi dan pengawasan terhadap fatwa. h. Membatalkan suatu putusan hakim.20
18
Teuku Muhammad Hasbi as-Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 64.
19
Muhammad ibn Ahmad ibn Iyas, Badai az Zuhur fi Waqa’I ad Duhur, Muhhamad Mustafa (ed), (Kairo: al Ha‟iah al Misriyyah al „Ammah li al Kitab, 1403/1983), Jilid I. Hlm. 825. 20
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, hlm. 29.
69
Hakim agung juga memiliki kewenangan untuk mengangkat hakim-hakim yang ditetapkan di seluruh provinsi. Demikian juga pada masa pemerintahan Sultan az-Zahir Bibars (665 H/1267 M), di mana ia membentuk sistem peradilan yang menggabungkan empat mazhab besar yang dikepalai oleh masing-masing hakim agung. Untuk hakim agung mazhab Syafi‟i mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lainnya. Karena selain menangani urusan yurisdiksinya, juga diserahi tanggung jawab mengawasi penyantunan anak yatim piatu, perwakafan, dan menangani masalah baitul mal. Sedangkan hakim agung yang lain mengurusi peradilan dan fatwa bagi rakyat dari masing-masing mazhabnya.21 Jika dilihat dari kewenangannya, hakim agung pada masa itu tidak hanya menangani persoalan-persoalan yuridis saja, kewenangan lain diluar yurisdiksinya pun dimiliki. Bahkan menurut Carl F. Petry, hakim agung pada masa tersebut memegang 3 sampai 7 jabatan sekaligus.22 Dengan demikian, pada masa ini hakim Agung tidak hanya memiliki tugas memutus perkara pada tingkat kasasi, akan tetapi juga memiliki tugas-tugas lain di luar yurudiksinya, bahkan sampai memegang tujuh jabatan sekaligus. Jabatan hakim di tingkat yang lebih rendah, di mana di samping dapat memegang seluruh jabatan administrasi juga di lingkungan militer. Meskipun demikian, kedudukan dan kewenangannya kuat, ia berpegang teguh pada syariat
21
Amany Lubis, Sistem Pemerintahan Oligarki dalam Sejarah Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hlm 138. 22
Carl F Petry The Civilian Elite of Cairo in The Latter Middle Ages, sebagaimana di kutip Jaenal Arifin Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm 159.
70
tanpa dapat dipengaruhi oleh siapapun. Bahkan karena kuatnya kedudukan dan besarnya kewenangan yang dimilikinya, hakim agung dapat memberhentikan pejabat negara. Namun demikian karena kuatnya kedudukan dan besarnya kewenangan yang dimiliki, independensi dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama qadhi al-qudhah yang semula kuat kemudian dikebiri. Para amir atau sulthan dinasti Mamluk merasa terancam kekuasaannya, mengingat para hakim sering menentang kebijakan amir yang dianggap tidak adil atau tidak sesuai dengan syariat Islam. Oleh karena itu, mereka melakukan apa saja yang sekiranya dapat melemahkan kekuasaan hakim agung dan membatasi kewenangannya.23 Perubahan lain yang terjadi pada masa dinasti Abbasiyah adalah para hakim tidak lagi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka sudah berpedoman pada kitab-kitab mazhab. Dengan demikian menurut Alaiddin Kotto, syarat hakim harus mujtahid harus ditiadakan.24 D. Pemecatan dan Penggantian Hakim Pada masa Abbasiyah pemecatan dan penggantian hakim tiap mazhab saling berbeda pendapat, menurut mazhab Syafi‟i, pemerintah mempunyai hak memberhentikan
hakim
yang
ia
angkat
apabila
ada
sebab
yang
mengkehendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemberhentian tanpa ada sebab. Hal itu dikaitkan dengan kemaslahatan kaum muslim dan hak umat, tidak dibenarkan tindakan pemecatan terhadap hakim yang tidak bersalah karena hal itu
23
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
hlm. 154. 24
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 124.
71
disamakan dengan wakalah (perwakilan) apabila berhubungan dengan hak orang lain. 25 Ada pendapat bahwa pemerintah boleh memecat hakim tanpa ada kesalahan, berdasarkan satu riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat Abu al-Aswad (sebagai hakim) kemudian dipecat. Lalu Abu al-Aswad bertanya, “mengapa aku engkau pecat, padahal aku tidak berkhianat dan tidak melakukan tindakan kesalahan?” Ali menjawab, sesungguhnya aku melihat ketinggian ucapanmu pada pihak yang berperkara.” Karena penguasa berhak memecat pejabat bawahannya, termasuk juga para hakim. Waktu berlakunya pemecatan adalah sejak ia (hakim yang dipecat) mengetahui pemecatan dirinya. Abu Yusuf berkata, “berlakunya pemecatan itu adalah sejak penggantinya diangkat.” Sebagaimana hakim boleh mengundurkan diri, waktu berlakunya pengunduran diri itu sejak ia meninggalkan tugasnya.26 Menurut pendapat Jumhur, hakim yang mengundurkan diri tidak langsung lepas dari tugasnya sampai diangkat pejabat baru. Sebab, tidak seorang pun dapat membatalkan suatu hak dan menurut satu pendapat dikatakan bahwa hakim yang demikian itu belum lepas kewajibannya selama hal pengunduran dirinya belum diketahui oleh pihak yang mengangkatnya. Hal ini bila qiyaskan dengan pendapat Abu Yusuf. Selama surat pemcatan itu belum disampaikan, segala putusan yang pernah ia putuskan tetap sah, dan dapat dilaksanakan selama pengunduran dirinya itu belum diterima (secara resmi). Dan bila seorang hakim meninggal dunia atau
25
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 28.
26
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 28.
72
dipecat oleh yang tidak berhak memecatnya, tidak diperlukan pengangkatan baru sebab pada dasarnya ia melaksanakan kekuasaan umum dibidang peradilan dari umat dan mengadili atas nama umat.27 E. Kemajuan dan Kemunduran Peradilan Era Abbasiyah Apabila kita lihat dan bandingkan kemajuan-kemajuan khususnya dibidang peradilan dari era Rasulullah sampai era Abbasiyah, maka akan kita temukan hal-halseperti di bawah ini: 1. Intervensi Penguasa. Pada masa Abbasiyah sudah ada intervensi negera pada peradilan dari pihak penguasa. Diantara intervensi itu adalah adanya pemaksaan mazhab kalam: harus Mu‟tazilah, hingga ada pengadilan mihnah, dimana orang yang tidak sepaham dengan penguasa bahwa alQur‟an adalah hadits, tidak qadim. Bagi ulama yang bersebrangan, bahkan menentang pendapat penguasa diberikan hukuman. Salah satu korbannya adalah Imam Hambali, dimana beliau dipenjarakan dan di cambuk tiap hari di depan orang. 2. Lahirnya Qadhi al-Qudhat, pada masa Abu Yusuf memerinth. Abu Yusuf juga menjadikan lembaga peradilan menjadi corong sosialisasi dan penyebaran Mazhab Hanafiyah. Ia mensyaratkan diangkatnya hakim dengan menganut mazhab Hanafiyah. 3. Kriteria Hakim. Kalau kriteria hakim pada masa pemerinthan bani Umayah adalah mujtahid mustaqil (mujtahid independen) maka kriteria hakim pada masa Abbasiyah tidak lagi mujtahid mustaqil, melainkan
27
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 29.
73
cukup dengan kriteria mujtahid fil mazhab, karena susahnya mencari orang yang memenuhi kriteria semacam itu. 4. Wewenang hakim diperluas bukan hanya masalah perdata tapijuga masalah pidana. 5. Administrasi Peradilan. Penyempurnaan administrasi dan pembukuan hasil keputusan hakim, adanya penjara, tahanan. Hakim memakai pakaian khusus, ada petugas penjaga kelancaran sidang, juru panggil, dan ada jadwal sidang. 6. Kodifikasi dan Unifikasi Hukum. Pada tahun 120 H ada gagasan kodifikasi hukum dalam satu buku yang dilontarkan oleh Ibn Muqoffa. Demikian juga, Harun al-Rasyid pernah “memaksa” imam Malik untuk menjadikan “Muwattha”nya dijadikan referensi resmi, tetapi menolak.28 Kemunduran Peradilan era Abbasiyah disebabkan beberapa faktor, yakni: 1. Ulama tidak lagi mengambil hukum dari sumbernya yang utama, yakni alQur‟an dan hadits, melainkan beralih ke pendapat-pendapat imam mazhab. 2. Munculnya kejumudan berfikir karena hilangnya semangat ijtihad. Ulama mengalami frigiditas (dingin, tidak sensitif) akibat kelesuhan berfikir sehingga tidak mampu menghadapi perkembangan zaman dengan menggunakan akal fikiran yang sehat dan merdeka sera bertanggung jawab. 3. Para ulama terdahulu (pendiri mazhab dan pengikutnya) sangat produktif dan kreatif, hampir seluruh lapangan ijtihad dijajaki sehingga seolah-olah 28
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Jakarta: Gramata Publishing. 2010) hlm. 129.
74
tidak memberikan sisa untuk melakukan ijtihad untuk ulama sesudah mereka, bahkan ijtihad mereka sudah sampai kepada hal-hal yang belum ada dan terjadi (fiqh iftiradhi). 4. Munculnya ulama-ulama yang tidak mumpuni (uncapable), yakni orangorang yang sebenernya tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad, namun ia memaksakan diri untuk melakukan ijtihad dan mengeluarkan produk hukum dan fatwa yang membingungkan masyarakat. 5. Adanya intervensi kekuasaan (Khalifah) yang menganjurkan agar mengikuti mazhab yang dianutnya. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap taklid. Disamping itu, khalifah hanya akan mengangkat qadhi dan mufti yang semazhab dengannya. 6. Adanya fatwa yang menyatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, dan cukuplah dipegang teguh pada ijtihad-ijtihad yang telah dilakukan oleh ulama terdahulu. 7. Munculnya saling curiga antar pengikut mazhab, bahkan saling menghina yang tujuannya untuk meninggikan mazhab yang dianutnya dna merendahkan mazhab yang lainnya.29
29
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, hlm. 137.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian-uraian yang telah di paparkan dapat penulis kemukakan beberapa kesimpulan, antara lain sebagai berikut: 1. Perbandingan Peradilan Islam dari masa Rasulullah hingga masa Abbasiyah mengalami perkembang yang berbeda-beda tiap masanya. Pada masa Rasulullah setiap permasalahan yang ditemui sahabat dalam masalah hukum mereka langsung menemui Rasul. Masa khulafa al-Rasyidin qadhi diangkat langsung oleh khalifah kecuali pada masa khalifah Ali diangkat oleh
gubernur,
gedung
peradilan
sudah
dibangun.
Kekuasaan
pemerintahan dengan peradilan sudah dipisahkan, hakim digaji dengan dana baitul mal. Masa Umayah belum ada tingkatan lembaga peradilan atau qadhil qudhat, maka masing-masing hakim berdiri sendiri. Sedangkan masa Abbasiyah sudah ada qadhil qudhat berwenang mengangkat qadhi pada peradilan provinsi dan kota. 2. Praktik peradilan pada masa ini, kekuasaan peradilan sangat luas, meliputi kekuasaan
kepolisian,
wilayat
al-Mazhalim,
wilayat
al-hisbah,
pengawasan mata uang, dan bait al-mal. Pada masa Abbasiyah sudah ada intervensi negera pada peradilan dari pihak penguasa dengan cara pemaksaan mazhab kalam: harus Mu‟tazilah, hingga ada pengadilan mihnah, dimana orang yang tidak sepaham dengan penguasa bahwa alQur‟an adalah hadits, tidak qadim diberi hukuman.
75
76
3. Manajemen hakim masa Dinasti Abbasiyah, sistem peradilan dan manajemen hakim ternyata jauh sudah lebih modern. Apabila diidentikkan dengan Indonesia, pada masa Abbasiyh sudah ada Mahkamah Agung dan Jaksa
Agung
serta
peradilan-peradilan
ditingkat
provinsi
dan
kota/kabupaten. Artinya setiap wilayah sudah memiliki peradilan. Hakim pada masa Abbasiyah sudah sejahtera dengan jumlah gaji hakim yang fantastis
mecapai
1000
dinar.
Penyempurnaan
administrasi
dan
pembukuan hasil keputusan hakim, adanya penjara, tahanan. Hakim memakai pakaian khusus, ada petugas penjaga kelancaran sidang, juru panggil, dan ada jadwal sidang.
B. Saran-saran Berdasarkan informasi dan data yang penulis dapatkan serta analisi penulis skripsi ini, maka ada beberapa hal yang ingin disarankan penulis, diantaranya adalah: 1. Untuk pemerintah atau menteri pendidikan Manajemen Peradilan Islam Perlu di masukkan dalam kurikulum pembelajaran mulai Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. 2. Untuk masyarakat Peradilan Islam perlu disosialisasikan dalam khutbah jum‟at, kuliah subuh maupun pengajian di masyarakat agar orang tau mengenai peradilan Islam.
77
DAFTAR PUSTAKA Al-Faruq, Asadullah. Hukum Acara Peradilan Islam. Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009. Al-Khudriy, Muhammad. Daulah Abbasiyah. Mesir: Darul Ma‟arif beirut,1999. Aliyah, Samir. Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta : Khalifa, 2004. Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Ali Bin Mohammas Bin Ahmad, Al-simnani. Rodhat al-Qudhat, Baghdad: Matbaat As‟ad, 1970. Al-Mawardi. Al-Ahkam al-Sulthaniyah. Penerjemah Fadhli Bahri. Jakarta: Daarul Falah, 2000. ----------------. Al-Ahkamus Shulthaniyyah wal Wilayaatud-diniyah, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin dengan judul Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dan Takaran Islam. Jakarta: Gema Insani, 2000. Al-simnani, Ali Bin Mohammas Bin Ahmad, Rodhat al-Qudhat. Baghdad: Matbaat As‟ad, 1970. Amin, Muhammad. Ijtihad Ibnu Taimiyah dalam Bidang Fiqh Islam. Jakarta: INIS,1991. Al Najjar, Wahhab. al Khulafa al Rasyidun. Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1990. A-Othman, Mahmud Saedon, Kadi, Pelantikan, Perlucutan, dan Bidang Kuasa. Malaysia Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Kementrian Pendidikan, 1990. Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008. Arnus, Mahmud bin Muhammad bin. Tarikh al-Qadha‟ Fi al-Islam. Kairo: Mesir, t.th. Ash shiddiqie, T.M. Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. --------------------. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Bulan-bintang, 1970.
78
Djaelani, Abdul Qadir. Sekitar Pemikiran Politik Islam. Jakarta; Media Dakwah, t.th. Djalil, H.A. Basiq. Peradilan Islam. Jakarta: Amzah, 2012. Glasse, Cyril. Ensiklopedia Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas‟adi. Cet. 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999. Hasanuddin, Manajemen Dakwah. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Hasyim, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Hisyam, Ibn. Sirat an Nabawiyat, Beirut: Mathba‟at Muhammad Abi Shabih, t.th, Jilid XX. Hitti, Philip K. History of The Arabs. Penerjemah R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta : Serambi 2006. Julian, Budi. “Hakim: Antara Profesionalitas dan Kesejahteraan”, artikel diakses pada 10 Juni 2015 dari http://iailangsa.ac.id/berita-698-hakim-antaraprofesionalisme-dan-kesejahteraan.html. Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011. Madkur, Muhammad Salam, Peradilan Dalam Islam, Penerjemah Imron AM. Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1993. Manan, Abdul. Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan. Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007. Masyrafah, Athiyah. Al-Qadha fi al-Islam. Mesir: Syirkat al-Syarqi al-Ausath, 1996. Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2003. Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir (Kamuas Arab Indonesia). Jakarta: t. Pn, 1996. Nasutio, Harun. Teologi Islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. cet. 5. Jakarta: UI-Press, 1986. Rahman, Fazlur. Islami Metodelogi in History. Penerjemah Anas Mahudi. Bandung: Pustaka 1984.
79
Ridwan, Asep. “Hakim dalam Khaazah Islam Klasik”. Artikel diakses pada tanggal 22 Januari 2015 dari http://www.pakalianda.go.id/gallery/artikel/195-hakim-dalam-khazanahislam-klasik.html Sadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993. Said, H.A Fuad. Ketatanegaraan menurut syari;at Islam. Selangor Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002. Soekanto, Soerjono dan Sri, Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu tinjauan singkat. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1995. Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Sopyan, Yayan. Tarikh Tasyri‟ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Jakarta: Gramata Publishing, 2010. Terry, George R. dan Leslie. Rue, Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Zaidan, Abdul Karim. Nizhamul Qadha fi al-Syar‟iyyatil Islamiyah. Baghdad; Mathba‟ah al Any, t.th.
80
Lampiran 1 Silsilah Khalifah Abbasiyah
81
Lampiran II
Peta Kekuasaan Dinasti Abbasiyah Masa Harun Al-Rasyid
82
Lampiran III
Peta Kekuasaan Dinasti Abbasiyah
83
Lampiran IV
SURAT-SURAT UMAR BIN KHATTAN R.A A. SURAT KEPADA ABU MUSA AL-ASH‟ARI R.A 1. Kode Etik dalam Menyusun Hukum-hukum Acara Peradilan Islam. In the name of Allah the most beneficent, the most merciful From the slave of Allah, Umar Amir al-Mauminin to the slave of Allah, Abu Musa al-Ash‟ari peace be with you. The administration of justice is a definite ordinance of Allah SWT. and is a generally followed practice. Understand the dispositions that are made before you fot it is useless to condider a plea that cannot be executed. Consider all people aqual before you in your court and in your attention so that the high placed person would not expect your favour and the weak would not despair of your fairness. The burdon of proff is on that who alleges and the oath aon that who debies. Compromise is permissible among muslims, except a compromise through which something forbidden is permitted or something permitted is forbidden. If you have given a judgement yesterday, and upon reconsideration come to the correct opinion you should not hesitate to rectify your yesterday‟s judgement for justice is primeval, and it is better to retract than to persist in worth less. Contemplate upon the matters that tremble you and to which no rule of the AlQur‟an and Sunnah applies. Study similiar and analogous cases and evaluate the situatioon through analogy. Adopt the judgement which is most pleasant to Allah SWT. and which is most in conformity with justice in your opinion.
84
If a person brings a claim that he may or may not be able to prove, set a time limit fot him. If he brings his proof within the time limit, allow his claim otherwise decide againts him. For this is the better way to remove doubt, clarify obscurities, and attains excuse. All muslim are trustworthy witnesses agains each other except that who has suffered strippes as hadd punishment. Or has been proved guilty to have given false evidence. Or that who is suspected of partiality (in giving evidence) on the basis of relationship whether of patronage of of blood. Allah SWT. knows the secrets (of character) of people and has everted from them the hadd punishment thet cannot be awarded except on the basis of proof or oath. Avoid fatigue, weariness and annoyance at litigants for wich Allah SWT. will grant you great rewards and preserve them for you in the hereafter. One, whose intention in sincere in that which is between him and Allah SWT. though it is againts his own interest, will be protected by Allah SWT. in that which is between him and people. And one who simulates before the people wherwas Allah SWT. knws the contrary to be true He will disgrace him Waht do you think of the rewards from Allah SWT. regarding what he accords here as nourishment and of trasures of His mercy in the hereafte. Peace be with you. Terjemahan: Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Umar amirulmukminin kepada Abdullahibn Qais, mudah-mudahan Allah melimpahkan kesejahteraan-Nya atas engkau dan berkat serta rahmat-Nya. Menyelesaikan perkara, adalah suatu kewajiban dari Allah SWT., dan suatu sunnah yang harus diikuti.
85
Pahamilah maksud pengaduan apabila dikemukakan kepada engkau dan putuskanlah apabila telah nyata mana yang benar, karena sesungguhnya tiada bermanfaat sesuatu pembicaraan kebenaran yang tidak mendapat perhatian hakim. Samakanlah para pihak di majlismu, dalam pandanganmu, dan dalam putusanmu, supaya orang yang mulia tidak tamak kepada kejujuranmu dan supaya orang yang lemah tidak menjadi putus asa karena keadilanmu. Keterangan dimintakan kepada yang menggugat, dan sumpah dikenakan atas yang menolak gugatan. Perdamaian adalah boleh diantara Umat Islam, terkecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan yang halal. Barangsiapa menyatakan ada sesuatu hak yang tidak ada di tempatnya atau sesuatu keterangan, maka berilah tempo kepadanya untuk dilaluinya. Kemudian jika dia memberi keterangan hendaklah memberikan yang demikian, maka engkau dapat memutuskan perkara ang merugikan haknya, karena yang demikian itu lebih bermanfaat bagi keuzurannya (tidak ada jalan baginya untuk mengatakan ini dan itu lagi), dan lebih menampakkan apa yang tersembunyi. Janganlah engakau dihalangi oleh suatu putusan yang engkau telah putuskan pada hari ini, kemudian engkau tinjau kembali putusan itu lalu engkau di tunjuki pada kebenaran untuk kembali kepada kebenaran, karena kebenaran itu suatu hal kadim yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu. Kembali kepada yang hak, lebih baik dari pada terus bergelimang dalam kebatilan. Pergunakanlah paham pada sesuatu yang dikemukakan kepadamu dari hukum yang tidak ada dalam Al-Qur‟an dan tidak ada pula dalam sunnah. Kemudian bandingkanlah urusan-urusan itu satu sama lain dan ketahuilah (kenalilah) hukum-hukum yang serupa. Kemudian ambillah mana yang lebih mirip denga kebenaran. Orang-orang Islam adalah adil, sebagaimana kepada sebagian yang lain terkecuali orang yang sudah pernah menjadi saksi palsu atau sudah pernah dijatuhi hukuman
86
had atas orang diragui tentang asal-usulnya, karena sesungguhnya Allah yang mengendalikan rahasia-rahasia hamba dan menutupi hukuman-hukuman atas mereka dan menutupi hukuman-hukuman atas mereka terkecuali dengan ada keterangan sumpah. Juhilah dirimu dari marah, kacau pikiran, tidak senang perasaan, menyakiti orang yang berperkara dan bersikap kasar di waktu bertengkar, karen aputusan-putusan di tempat beperkara dan sikap kasar di waktu bertengkar, karena putusan-putusan di tempat kebenaran (putusan yang benar) adalah daripada pekerjaan yang Allah menetapkan pahala dan dengan dia pulalah bagus sebutan (percakapan orang). Maka orang yang bersih niatnya terhadap kebenaran, walaupun atas dirinya sendiri, niscaya Allah SWT. mencukupkan baginya apa yang di antaranya dengan masyarakat. Dan barangsiapa berhias dengan apa yang tidak ada pada dirinya (menampakkan keahlian padahal tidak ahli), niscaya Allah menampakkan kejelekkannya; karena sebenarnya Allah SWT. tidak menerima daripada hamba melainkan yang kalis untuknya. Maka, bagaimana persangkaanmu terhadap pahala yang ada di sisi Allah SWT., baik yang segera diberikan maupun yang ada di dalam rahmat-Nya. Wassalamu‟alaikum warahmatullah
2. Prinsip Hukum Acara Peradilan “Stick to four attributes they will save your faith and will cause you benefit from the best part of your fate. Whenever the parties to a dispute come to you, decide on the basis of wellgrounded proofs and conclusive oaths only. Allow the weak person to speak so that his tongue opens and his heart gains courage.
87
Support a stranger because if he is made to wait for a long time he will relinquish his petition and will go home. Make efforts for compromise between the parties until you arrive at a conclusive decision”. “There are still some eminent personsamong people, who convey the needs of public to their rulers. If you find any of them, give him due regard and respect. It is sufficient for doing fariness to a weak muslim if justice is done to him in decision as well as distribution of wealth.‟ „Avoid quarrel and maltreating anybody. Do not sell and buy as long as you are a judge.” “Avoid selling or buying during the proceeding of dispute in court. Neither conduct selling or buying of anybody‟s property nor take bribe nor decide between two persons when you are angry.”
Terjemahan bebas: Perhatikanlah empat hal yang akan menjaga keyakinanmu dalam memimpin dan memutus perkara, dan akan memberikan keuntungan dari takdir mu yang terbaik sepanjang hidupmu. Setiap saat ada pihak yang berselisih datang padamu, putuskanlah perkaranya dengan mendasarkan pada bukti yang kuat dan sumpah yang menyakinkan. Izinkanlah orang yang lemah berpendapat sehingga lidahnya terbuka dan hatinya menjadi berani untuk menyampaikan yang benar. Dukunglah orang yang kuat karena jika dia disuruh menunggu untuk waktu yang lama dia akan meleaskan petisinya dan kemudian pergi. Lepaskanlah perdamaian antar pihak-pihak yang bertikai sampai kau mendapat keputusan akhir”.
88
“Masih ada beberapa orang yang pandai dan jujur diantara masyarakat, yang menyampaikan kebutuhan publik pada pemimpin mereka. Jika kamu menemukan salah satu di antara mereka, berikanlah mereka penghargaan dan penghormatan. Berikanlah keadilan bagi orang muslim yang lemah jika keadilan itu diberlakukan padanya karena semestinya is peroleh.” Hindarilah pertengkaran dan memperlakukan siapapun dengan sewenang-wenang. Jangan kamu mengadakan transaksi jual beli sesuatu selama proses penyelesaian di pengadilan, baik melakukan transaksi penjualan ataupembelian barang milik siapapun, jangan kamu lakukan suap menyuap dalam memutus suatu perkara dan jangan sekali-kali memberi keputusan antara dua orang ketika kamu sedang marah.”
B. SURAT KEPADA ABU „UBAYDAH BIN JARRAH R.A “I have already sent you a letter in which I have mentioned all the matters of your as well as my benefit. I advise you to adhere to five qualities. It will save you faith and will cause you benefit from the best part of your fate. Whenever the parties to a dispute come to you, decide on the basis of valid proofs and decisive oaths only. Let a weak person come nearer to you so that his heart gets strengthened and his tongue opens to speak. Support a stranger because if you do not support him he will leave (your court without asking for) his need and will go home. That who does not encourage a weak and a stranger person he would devastate their rights. Strive for compromise between the conflicting parties until you arrive at a final decision.” Terjemahan bebas:
89
“Saya telah mengirimkan surat kepadamu di mana telah saya sebutkan semua hal yang dapat memberimanfaat bagimu sebagaimana pada saya. Saya menyarankan padamu agar kamu mempunyai lima kualitas. Hal ini akan menjaga keimananmu dan akan memberikan manfaat bagimu. Setiap saat ada pihak yang betikai datang padamu, buatlah keputusan hanya berdasarkan bukti yang kuat bagi orang yang mengajukan gugatan dan sumpah bagi orang yang menyangkal. Izinkanah orang yang lemah datang padamu sehingga hattinya akan menjadi kuat dan lidahnya dapat berbicara sehingga ia dapat mengemukakan segala sesuatu yang kamu perlukan atas pengaduannya. Berikanlah dukungan pada orang yang belum kamu kenal karena jika tidak, mereka akan pergi (meninggalkan pengadilanmu). Orang-orang yang tidak mendukung orang lemah dan orang yang belum kamu kenal itu akan merusak hak-hak mereka (hak-hak orang lain dengan sewenangwenang). Berusahalah membuat perdamaian antara pihak yang bertikai sampai kamu membuat keputusan akhir.
C. SURAT KEPADA MU‟AWIYAH BIN ABU SUFYAN “ I have already sent you a letter in which I have mentined all the matters of your as well as my benefit. I advise you to adhere to five qualities. It will save you faith and will cause you benefit from the best part of your fate. Whenever the parties to a dispute come to you, decide on the basis of vaid proofs and decives oaths only. Let a weak person come nearer to you so that his heart gets strengthened and his tongue opens to speak.
90
Support a stranger because if you do not support him he will leave (your court without asking for) his need and will go home. That who does not encourage a weak and a stranger person he would devastate their rights. Strive for compromise between the conflicting parties until you arrive at a final decisio.” Terjemahan bebas: “Saya telah mengirimkan surat kepadamu di mana telah saya sebutkan semua hal yang dapat memberimanfaat bagimu sebagaimana pada saya. Saya menyarankan padamu agar kamu mempunyai lima kualitas. Hal ini akan menjaga keimananmu dan akan memberikan manfaat bagimu. Setiap saat ada pihak yang betikai datang padamu, buatlah keputusan hanya berdasarkan bukti yang kuat bagi orang yang mengajukan gugatan dan sumpah bagi orang yang menyangkal. Izinkanah orang yang lemah datang padamu sehingga hattinya akan menjadi kuat dan lidahnya dapat berbicara sehingga ia dapat mengemukakan segala sesuatu yang kamu perlukan atas pengaduannya. Berikanlah dukungan pada orang yang belum kamu kenal karena jika tidak, mereka akan pergi (meninggalkan pengadilanmu). Orang-orang yang tidak mendukung orang lemah dan orang yang belum kamu kenal itu akan merusak hak-hak mereka (hak-hak orang lain dengan sewenangwenang). Berusahalah membuat perdamaian antara pihak yang bertikai sampai kamu membuat keputusan akhir.
91
D. SURAT KEPADA KADI SHURAYH BIN AL-HARITH AL-KINDI “Neither quarrel, nor engage in unnecessary debates, nor sell or buy in the court nor decide between two person when you are angry.” “When you come across a matter which is there in the Allah‟s book then decide in accordance with Allah‟s book and do not pay any attention to anybody‟s opinion. And if it is not found in Allah‟s book but is there in the Sunnah of the Holy Prophet (Sallallahu alayhi wassalam) then decide accordingly. But where it is not found in Allah‟s book nor in the Holy Prophet‟s sunnah nor in the decisions of righteous Imams, you are at option eitherto decide according to your own ijtehad or to keep the matter in abeyance. And keeping the matter in abeyance is mor suitable to me.” Terjemahan bebas: “Janganlah bertengkar, melakukan perdebatan yang tidak perlu, atau mengadakan transaksi jual beli di pengadilan, atau memberi putusan saat kamu sedang marah. “Jika kamu mendapat masalah yang ada dalam Al-Qur‟an maka, putuskanlah sesuai dengan Al-Qur‟an dan jangan pedulikan pendapat siapapun. Dan jika tidak ada dalam Al-Qur‟an tapi ada dalam sunnah Nabi Muhammad SAW, maka putuskanlah berdasarkan sunnah tersebut. Tapi jika tidak ada pada keduanya, atau dalam putusan imam-imam yang yang dipercaya, maka kamu harus memutuskan berdasarkan ijtihadmu sendiri atau tangguhkanlah. Dan menangguhkan putusan adalah lebih baik bagiku (bagi khalifah Umar r.a.).”
92
E. SURAT EDARAN UNTUK PARA HAKIM DAN GUBERNUR 1. “Treat people with equally wether they are your relatives or stranger. Do not take bribe. Avoid deciding according to your own liking. Undertake (administration of justice with) rightfulness even if for an hour in a day.” 2. “Do not accept gifts because giifts are a sort of bribery.” 3. “Be careful not to take bribe and no to decide on the basis of your own whims.” Terjemahan bebas: 1. “Perlakukanlah setiap orang dengan sama, tidak peduli apakah mereka kerabatmu atau bukan. Jangan menerima uang suap. Hindarilah memutuskan sesuai kesukaanmu. Jalankanlah (administrasi hukum dengan) benar bahkan jika hanya satu jam dalam sehari.” 2. “Janganlah menerima pemberian karena pemberian adalah kata lain dari penyuapan.” 3. “Berhati-hatilah, jangan menerima suap dan jangan memutuskan berdasarkan keinginanmu.”