PENGELOLAAN LIMBAH B3 BENGKEL RESMI KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI SURABAYA PUSAT
IA’NATUL MUKHLISHOH 3308100043 TEKNIK LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
PENDAHULUAN Jumlah populasi masyarakat yang mengalami peningkatan setiap tahunnya juga akan berdampak pada peningkatan akan kebutuhan transportasi. Alat transportasi yang umum digunakan oleh masyarakat adalah sepeda motor, hal ini dikarenakan sepeda motor sangatlah mudah didapat dan lebih fleksibel untuk masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang cukup tinggi. Peningkatan permintaan akan sepeda motor harus diimbangi dengan penambahan pelayanan untuk sepeda motor tersebut seperti bengkel. Dari kegiatan bengkel tersebut juga dihasilkan limbah yang berupa limbah B3 yaitu oli bekas, accu bekas dan juga lap yang sudah terkontaminasi oleh pelarut atau pelumas. Walaupun oli bekas masih bisa dimanfaatkan, bila tidak dikelola dengan baik, maka akan membahayakan bagi lingkungan. Sejalan dengan perkembangan kota dan daerah, volume oli bekas terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor dan mesin-mesin bermotor. Di daerah pedesaan sekalipun, sudah bisa ditemukan bengkel-bengkel sepi, yang salah satu limbahnya adalah oli bekas. Dengan kata lain, keberadaan oli bekas sudah sangat luas dari kota besar sampai ke wilayah pedesaan di seluruh Indonesia. Dari persebaran tersebut haruslah dilakukan pengawasan untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan oleh limbah oli bekas tersebut. Oli bekas merupakan senyawa hidrokarbon yang dapat merubah struktur dan fungsi tanah sehingga produktifitas tanah menjadi menurun. Pencemaran oli bekas dapat terjadi dikarenakan tidak adanya sistem yang baku mengenai pengelolaan minyak pelumas bekas terutama dari bengkel – bengkel kendaraan bermotor (Hertien dan Wahyu, 2004). Selain oli bekas limbah bengkel lain yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran adalah tidak adanya pengelolaan limbah aki bekas, sehingga dapat mencemari lingkungan karena mengandung kadar timbal yang tinggi. Limbah timbal yang mencemari perairan dapat menyebabkan di dalam darah warga yang menggunakan air tersebut mengandung timbal yang
akan membahayakan bagi kesehatan. Toleransi untuk kadar timbal dalam darah standar WHO 10 mikrogram per desiliter (Mellie, 2010). Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, sebagian tugas Pemerintah Pusat diberikan kepada Pemerintah Daerah, hal tersebut tercantum dalam Undang – Undang no. 32 tahun 2004. Kewenangan dari pemerintah daerah dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah no. 38 tahun 2007. Berbagai aspek pemerintahan dan pembangunan dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah tersebut termasuk kewenangan dalam pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup. Namun dalam Peraturan Pemerintah tersebut untuk kasus oli bekas masih ditangani oleh pemerintah pusat, sedangkan pemerintah provinsi, kabupaten/kota hanya diberi tugas sebagai pelapor jika terjadi kasus mengenai oli bekas (Silaban, 2008). Sehingga dari kebijakan tersebut bengkel – bengkel baik itu yang besar maupun yang kecil yang menghasilkan limbah B3 harus memiliki ijin dari Kementerian Lingkungan Hidup. Selain itu untuk peraturan tentang limbah B3 terutama oli bekas tersebut masih belum begitu terinci terutama untuk masalah pengelolaan di sumber, pengangkutan maupun rute pengangkutan. Peraturan yang ada hanyalah peraturan mengenai pengelolaan limbah B3 yang ada pada PP 18 tahun 1999 yang bersifat umum. Sehingga dari permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian terhadap pengelolaan yang ada di sumber hingga ke sistem pengangkutan dari limbah bengkel tersebut. Dari penelitian ini juga akan dihitung jumlah timbulan dan komposisi yang dihasilkan dari setiap bengkel sehingga dapat diketahui bagaimana pengelolaan dari limbah bengkel tersebut. LIMBAH B3 BENGKEL 1.1
Pengertian limbah B3 Berdasarkan Peraturan Pemerintah no.18 tahun 1999 dijelaskan bahwa limbah bahan
beracun dan berbahaya (limbah B3) adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat, konsentrasinya, atau jumlahnya yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemari lingkungan hidup dan membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup yang lain. Menurut Watts (1997) limbah B3 didefinisikan sebagai limbah padat atau kombinasi dari limbah padat yang karena jumlah, konsentrasinya, sifat fisik, kimia maupun yang bersifat infeksi yang dapat menyebabkan kematian dan penyakit yang tidak dapat pulih, yang substansinya dapat membahayakan bagi kesehatan manusia atau lingkungan dikarenakan pengelolaan yang tidak tepat, baik itu penyimpanan, tansport, ataupun dalam pembuangannya.
1.2
Sifat dan karakteristik limbah B3 Menurut Watts (1997) karakteristik limbah B3 diklasifikasikan menjadi 4 yaitu :
1. Mudah terbakar Bersifat liquid dengan titik nyala sama dengan atau dibawah 600C. Sedangkan untuk nonliquid yang terbakar di bawah kondisi normal dikarenakan adanya gesekan, atau perubahan sifat kimia secara spontan yang dapat menimbulkan bahaya. 2. Bersifat korosif Limbah yang bersifat cair yang memiliki≤ pH 2 atau ≥ 12,5 atau cairan yang menyebabkan perkaratan pada besi yang lebih tinggi dari 6,35 mm/tahun. 3. Reaktif Limbah yang tidak stabil, dan mengalami perubahan yang besar tanpa adanya pemicu. Langsung bereaksi dengan air. Berpotensi terjadi ledakan apabila bertemu dengan air. 4. Beracun Limbah yang melalui test TCLP dinyatakan bersifat racun, dengan membandingkan konsentrasi leachate mengandung 31 senyawa organik dan 8 senyawa anorganik. Jika test TCLP melebihi konsentrasi tersebut diatas maka limbah tersebut dinyatakan beracun. Limbah Beracun adalah limbah yang mengandung pencemar yang bersifat racun bagi manusia dan lingkungan yang dapat menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, kulit, dan mulut. Indikator racun yang digunakan adalah TCLP (Toxicity Characteristics Leaching Pocedure) seperti tercantum dalam lampiran II PP 18/99 yang merupakan batas ambang yang digunakan untuk indikasi B3 (Damanhuri, 2010). Berdasarkan PP 85 tahun 1999 karakteristik limbah dibagi menjadi 7 yaitu ;
a. Mudah meledak b. Mudah terbakar c. Bersifat reaktif d. Beracun e. Menyebabkan infeksi f. Bersifat korosif g. Pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan atau kronik. 1.3
Limbah yang dihasilkan dari bengkel Limbah B3 juga dapat dihasilkan dari berbagai sumber dengan laju timbulan rendah,
seperti industri dry clener, bengkel, proses cuci cetak film. Jenis penghasil limbah semacam ini
yang memproduksi limbah lebih kecil dari 1 ton/bulan dikategorikan sebagai peghasil limbah B3 skala kecil. Limbah B3 dari penghasil berskala kecil dapat menyebabkan terjadinya bahaya besar apabila tidak dikelola dengan benar. Limbah B3 dari penghasil skala kecil biasanya dibuang ke TPA sampah kota, ke badan air, ke saluran drainase serta ke bukan tempat pengolahan dan pembuangan khusus limbah B3 (Trihadiningrum, 2000). Menurut Muliartha, dkk (2004), Limbah yang dihasilkan dari usaha perbengkelan juga dapat menyebabkan pencemaran terhadap air, tanah maupun udara disekitar apabila tidak dikelola dengan benar. Limbah B3 yang dihasilkan dari usaha bengkel antara lain : limbah padat dan limbah cair. Limbah B3 padat meliputi limbah logam yang dihasikan dari kegiatan usaha perbengkelan seperti skrup, potongan logam, lap kain yang terkontaminasi oleh pelumas bekas maupun pelarut bekas. Sedangkan limbah cair meliputi oli bekas, pelarut atau pembersih, H2SO4 dari aki bekas. Dari permasalahan yang diakibatkan dari limbah B3 bengkel tersebut, di paper ini akan dibahas menganai jumlah timbulan dari masing – masing ktegori bengkel dan juga pengelolaan yang ada di lapangan mengenai pengelolaan limbah B3 bengkel.
TIMBULAN LIMBAH B3 BENGKEL Jumlah timbulan digunakan untuk mengetahui seberapa besar volume yang dibutuhkan perhari untuk menampung limbah B3 yang dihasilkan. Jumlah timbulan rata – rata dikategorikan berdasarkan jumlah pelanggan dari bengkel tersebut Tabel.1 Jumlah Timbulan Limbah B3 Bengkel Perhari
No
Kategori Bengkel
1 Bengkel Sepi 2 Bengkel Sedang 3 Bengkel Ramai Sumber : Hasil sampling
Aki Bekas (Kg) 0.107 0.086 1.029
Limbah yang dihasilkan, Kg/hari Onderdil Botol Oli Bekas Terkontaminasi Bekas Oli (Kg) oli (Kg) (Kg) 5.292 0.136 0.508 12.363 0.715 1.273 23.322 0.565 2.807
Majun (Kg) 0.095 0.305 0.281
Jumlah timbulan limbah oli bekas dan botol bekas oli sebanding dengan kategori bengkel, dimana semakin ramai bengkel tersebut maka jumlah timbulan yang dihasilkan juga akan semakin besar, berbeda dengan limbah aki bekas dan onderdil terkontaminasi oli yang pemakaiannya sangat jarang dan untuk penggantiannya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Dari limbah B3 bengkel tersebut harus dilakukan pengelolaan yang sesuai agar menghindari terjadinya bahaya yang ditimbulkan dari limbah B3 bengkel tersebut.
PENGELOLAAN LIMBAH B3 BENGKEL 2.1
Pewadahan Pewadahan limbah B3 bengkel yang ada di lapangan masih belum sesuai dengan
Keputusan Kepala Bapedal no.1 tahun 1995. Dimana untuk ketentuan umum kemasan yang digunakan yaitu harus kuat, tahan lama, tidak bocor dan tidak mudah berkarat. Selain itu kemasan yang digunakan harus tertutup untuk menghindari terjadinya paparan limbah B3 ke udara. Untuk penggunaan wadah yang ada di lapangan dapat dilihat pada gambar.1.
Gambar.1 Wadah oli, onderdil terkontaminasi oli dan botol bekas oli Keadaan di lapangan untuk pewadahan hanya dilakukan untuk oli bekas, onderdil terkontaminasi dan botol bekas oli. Sedangkan untuk majun dan aki bekas tidak ada pewadahan khusus. Hal tersebut sangatlah tidak dianjurkan karena untuk limbah B3 haruslah memiliki wadah khusus yang berguna untuk mengamankan limbah B3 tersebut dan lingkungan sekitarnya. Selain itu untuk wadah limbah B3 harus dilengkapi dengan symbol dan label yang sesuai dengan karakteristik limbah B3 tersebut. 2.2
Penyimpanan Untuk penyimpanan limbah B3 yang ada di bengkel masih belum sesuai dengan Kep.
Bapedal no.1 tahun 1995 tentang tata cara dan persyaratan teknis penyimpanan dan pengumpulan limbah B3. Untuk penyimpanan limbah B3 yang berada di luar bengkel tidak memiliki bangunan khusus penyimpanan, namun hanya diletakkan begitu saja di luar bengkel. Sehingga hampir semua drum oli bekas maupun tandon yang terletak di luar bengkel bercampur dengan air hujan.
2.3
Pengangkutan Pengangkutan ini dilakukan untuk mengirimkan semua limbah B3 yang dihasilkan oleh
bengkel ke pihak pengelola atau pemanfaat limbah B3 bengkel tersebut. Pengangkutan limbah B3 ini harus memperhatikan kondisi kendaraan pengangkut maupun kemasan dari limbah B3 bengkel yang benar – benar aman untuk proses pengangkutan. Namun untuk kenyataan di lapangan proses pengangkutan ini dilakukan hanya untuk limbah B3 yang bernilai ekonomis saja, sedangkan untuk limbah B3 yang tidak bernilai ekonomis seperti majun atau sisa onderdil yang tidak dapat dijual akan dibuang ke tempat sampah. Pengangkutan ini biasanya dilakukan oleh pihak pengolah atau pemanfaat limbah B3 bengkel tersebut yang langsung datang ke bengkel. Limbah B3 yang biasa diangkut adalah oli bekas, botol bekas dan onderdil yang memiliki nilai ekonomis. Pengangkutan ini menggunakan pick up terbuka dan tidak ada pengaman untuk menghindari guncangan pada drum – drum yang diangkut. Kendaraan yang digunakan tidak sesuai dengan standar pengangkutan limbah B3 yang aman dan sangat beresiko terjadinya guncangan dan tergulingnya drum – drum yang ada di pick up tersebut.
2.4
Analisa Rancangan Pengelolaan Limbah B3 Bengkel di Sumber Pengelolaan limbah B3 ini berguna untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran
atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 bengkel.
1. Reduksi Reduksi dilakukan untuk mengurangi jumlah timbulan limbah B3 bengkel dan mengurangi sifat bahaya dari racun yang dapat dilakukan. Usaha reduksi untuk limbah B3 bengkel yaitu : •
Menggunakan kembali onderdil – onderdil bekas yang masih dapat digunakan kembali.
•
Menerapkan sistem K3 untuk menghindari terjadinya ceceran pelumas atau bahan bakar dari motor sehingga mengurangi penggunaan majun yang terkontaminasi.
•
Menggunakan kembali majun yang masih belum terlalu kotor
2. Pewadahan dan label Pewadahan yang digunakan untuk limbah B3 bengkel yang sesuai dengan kategori limbah yang ada di bengkel yaitu mudah terbakar dan korosif adalah wadah yang memenuhi kriteria umum sebagai berikut : •
limbah yang memiliki karakteristik yang berbeda tidak boleh disimpan dalam satu kemasan untuk menghindari terjadinya pencampuran dari 2 sifat limbah B3 yang berbeda yang dapat mengakibatkan reaksi yang tidak diinginkan.
•
Kemasan limbah B3 harus terbuat dari bahan yang sesuai dengan karakteristik limbah B3 tersebut, tahan lama, tidak mudah berkarat, dan tidak bocor. Kemasan harus diganti apabila terdapat kerusakan atau kebocoran pada kemasan.
•
Memiliki penutup yang kuat untuk mencegah terjadinya tumpahan pada saat dilakukan pemindahan atau pengangkutan.
3. Pengangkutan Pengangkutan ini dilakukan untuk mengirim limbah B3 bengkel ke pihak pengolah atau pemanfaat. Pada Peraturan Pemerintah no.18 tahun 1999 dijelaskan bahwa pengangkut bisa dilakukan oleh penghasil limbah, namun untuk limbah B3 bengkel ini sebaiknya dilakukan oleh pihak pengolah atau pemanfaat limbah B3 bengkel tersebut. Pengangkutan harus disertai dengan manifest yang dimiliki oleh pihak pengangkut. Kendaraan pengangkut yang digunakan harus tahan lama, kuat dan mampu melindungi limbah B3 yang akan diangkut. Selanjutnya pengangkutan ini akan dibawa ke pihak pemanfaat atau pengolah limbah yang akan dibahas pada sub bab selanjutnya. Hal lain yang harus diperhatikan dalam pengangkutan limbah B3 adalah rute pengangkutan yang harus memperhatikan peraturan yang berlaku. Apabila peraturan mengenai trayek tidak ada maka pengangkut limbah B3 sebaiknya memilih jalan arteri yang jauh dari pemukiman guna menghindari terjadinya bahaya yang tidak diinginkan (Trihadiningrum, 2000). PENUTUP Pengelolaan limbah B3 bengkel yang masih belum sesuai dengan peraturan yang ada memerlukan perbaikan untuk menghindari bahaya yang ditimbulkan dari limbah B3 bengkel tersebut yang memiliki karakteristik muda terbakar. Belum adanya pengelolaan yang sesuai tersebut dikarenakan minimnya pengetahuan dari pemilik bengkel mengenai limbah B3 yang ada di bengkel dan juga kurangnya sosialisasi dari aparatur pemerintah mengenai limbah B3 bengkel.
DAFTAR PUSTAKA Bapedal. 1996. Keputusan Kepala Bapedal No. Kep-225/BAPEDAL/08/1996 tentang tata cara dan persyaratan teknis penyimpanan dan pengumpulan minyak pelumas bekas. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup, Jakarta, Indonesia
Bapedal. 1995. Keputusan Kepala Bapedal No.1 tahun 1995 tentang tata cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup, Jakarta, Indonesia Bapedal. 1995. Keputusan Kepala Bapedal No.2 tahun 1995 tentang Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup, Jakarta, Indonesia Bapedal. 1995. Keputusan Kepala Bapedal No.5 tahun 1995 tentang Simbol dan Label Bahan Berbahaya dan Beracun. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup, Jakarta, Indonesia Boughton, B. dan Horvath, A. 2003 Environmental Assessment of Used Oil Management Methods. Jurnal Environmental science and technology volume xx.xxxx Cynthia, M. 2010. Limbah Aki Bekas Cemari Desa Cinangka, Damanhuri, E. 2010. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Bandung : Institut Teknologi Bandung Deputi MenLH. 2009. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.30 Tahun 2009 tentang Tata Laksana Perizinan Dan Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta Pemulihan akibat Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun oleh Pemerintah Daerah. MenLH, Jakarta, Indonesia Deputi MenLH. 2009. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup no.18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizininan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. MenLH, Jakarta, Indonesia EPA. 2005. RCRA Training Module Introduction to Tanks. United State Jongko, P. 2011. Teknologi Penjernihan Oli Bekas. Kanokkantapong, V., Kiatkittipong, W., Panyapinyopol, B., Wongsuchoto, P., and Pavasant, P. 2009. Used Oil Management Option Based on Life Cycle Thinking. Jurnal Conservation and Recycling vol.53 hal. 294 – 299 Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 ahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah propinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, Jakarta, Indonesia
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I. 1999. Peraturan Pemerintahan RI No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Jakarta, Indonesia. Menteri Negara Sekertaris Negara. 1999. Peraturan Pemerintahan RI No. 85 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintahan RI No. 18/1999 tentang pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Jakarta, Indonesia Muliartha, I. K, Setiyono, Said, N.I , Herlambang, A. , Nugroho, R, Mahmud, I, Raharjo, P.N,. Widayat, W, Wiharja. 2004. Pedoman Teknis Pengelolaan Limbah Cair Industri Kecil. Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup dengan PT. Envirotekno Karya Mandiri NetWaste dan Pty. Ltd. 2004. A Regional Management Plan for Used Lubricating Oils. Australia : New Resource Solutions Pty. Ltd. and NetWaste Pratama, Y, Fitri, A.N, Niska, S, Febriana, A, Anindhyta, R,Utami, K, Yulianis, I, Marselina, M, Krisanti, A, Ladha, S. 2010. Evaluasi Pengelolaan Oli Bekas Sebagai Limbah B3. Bandung : Institut Teknologi Bandung Raharjo, W. P. 2007. Pemanfaatan Tea (Three Ethyl Amin) Dalam Proses Penjernihan Oli Bekas Sebagai Bahan Bakar Pada Peleburan Aluminium. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 8, No. 2 hal. 166 – 184 Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2009. Undang – Undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta, Indonesia Silaban, T. 2008. Salah kaprah Kementerian Negara LH dalam pengelolaan limbah oli bekas, Sudarmaji, J. Mukono dan Corie I.P. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.2 No.2 hal. 129 -142 Surtikanti, H. dan Surakusumah, W. 2004. Peranan Tanaman dalam Proses Bioremediasi Oli Bekas dalam Tanah Tercemar. Jurnal Ekologi & Bodiversitas Tropika Vol. 2 no.1 Pichtel, John. 2005. Waste Management Practices : Municipal, Hazardous, and Industrial. Taylor and Francis Group Trihadiningrum, Y. 2000. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember Watts, R. J. 1997. Hazardous Waste Sources, Pathways, Receptor. New York : John wiley &sons, inc