1
PENGARUH RATIONAL BUYING MOTIVES DAN EMOTIONAL BUYING MOTIVES TERHADAP DISONANSI KOGNITIF PEMILIK PRODUK LAPTOP M Mizwar Arrizky
[email protected] Ilhamuddin
[email protected] Program Studi Psikologi, Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh Rational Buying Motives dan Emotional Buying Motives terhadap Disonansi Kognitif pemilik produk laptop. Populasi dari penelitian adalah seluruh mahasiswa FISIP Universitas Brawijaya Malang. Sampel berjumlah 110 orang yang terdiri dari mahasiswa FISIP dari semua jurusan. Teknik sampling menggunakan Purposive sampling-Non Probability. Untuk mengukur pengaruh Rational Buying Motives, Emotional Buying Motives dan Disonansi Kognitif menggunakan skala Likert. Analisis data menggunakan regresi linier berganda dan diperoleh persamaan regresi Y = -10,524 + 0,368 X1 + 0,322 X2. Dapat disimpulkan secara simultan Rational Buying Motives dan Emotional Buying Motives memiliki pengaruh secara signifikan terhadap Disonansi Kognitif pemilik produk laptop. Hal ini dapat dibuktikan dari Fhitung > Ftabel (109,805 > 3,081) pada taraf signifikasi sebesar 5% dengan sumbangan efektif sebesar 67,2 %. Secara parsial didapatkan hasil bahwa variabel Rational Buying Motives memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan Emotional Buying Motives. Kata kunci : Rational Buying Motives, Emotional Buying Motives, Disonansi Kognitif ABSTRACT This research was conducted to determine the influence of Rational Buying Motives and Emotional Buying Motives toward Cognitive Dissonance notebook owner product. The population from this research is university student FISIP Brawijaya Malang. There are 110 drawn as sample which consists of all mayor of FISIP. Sampling technique used purposive sampling-Non probability technique. To measure the influence of Rational Buying Motives, Emotional Buying Motives and Cognitive Dissonance Likert scale was used. Data analysis was performed using Multiple Regression analysis. The regression equation produced by the data is Y = -10,524 + 0,368 X1 + 0,322 X1 and it can be concluded that simultaneously, there is significant effect of the Rational Buying Motives and Emotional Buying Motives toward cognitive dissonance to notebook owner product. It can be confirmed by Fcount > Ftable (109,805 > 3,081) in 5% significant level. The variables provided effective contribution of 67,2%. From the result of partial regression analysis, Rational Buying Motives provided greater effect than Emotional Buying Motives.
2 Keywords : Rational Buying Motives, Emotional Buying Motives, Cognitive Dissonance
LATAR BELAKANG Laptop bagi pelajar dan juga mahasiswa adalah suatu produk yang sangat penting kegunaannya untuk penunjang aktifitas sehari-hari. Tidak hanya sebagai media hiburan semata, tetapi fungsi yang paling penting dari laptop itu sendiri ialah untuk membantu mahasiswa dalam mempermudah mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh kampus. Sekarang ini keberadaan laptop di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bukan hanya laptop saja memang yang berkembang, perkembangan netbook maupun tablet juga pesat perkembangannya, akan tetapi harus diakui laptop tetap menjadi primadona dibandingkan kedua produk tersebut. Mahasiswa sebagai konsumen pengguna laptop yang paling banyak merupakan sasaran empuk bagi para produsen laptop untuk memasarkan berbagai macam jenis produk laptop yang memiliki bermacam-macam kelebihan dan juga kekurangan. Mahasiswa sebelum akan membeli laptop harus dituntut untuk jeli dalam memilih laptop yang sesuai dengan kebutuhan. Apalagi mahasiswa rata-rata belum mempunyai penghasilan tetap dan kebanyakan masih menerima subsidi oleh orangtua maka pemikiran yang rasional untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan terhadap produk laptop harus benar-benar dipikirkan secara matang dan penuh perhitungan. Mahasiswa merupakan konsumen yang memiliki tingkat emosional cukup tinggi ketika dihadapkan pada keputusan pembelian. Mahasiswa bisa digolongkan sebagai remaja yang sedang mengalami masa transisi dari tahapan perkembangan remaja akhir menuju dewasa awal (Gunawan & Hartati, 2006). Mahasiswa dalam suatu pembelian produk bisa saja lebih memilih produk yang dirasa mempunyai ‘nilai’ yang lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi yang akan didapat jika memilih produk sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan tingkat kematangan dari mahasiswa itu sendiri yang kebanyakan masih labil, yang akan mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh mahasiswa dalam membeli produk yang sesuai dengan fungsi dan kebutuhan yang sebenarnya. Berdasarkan tingkat perkembangannya, mahasiswa dikategorikan pada masa remaja akhir dan sebagian pada masa dewasa awal. Menurut Hurlock (1981) remaja akhir adalah orang yang umurnya berkisar antara 17-19 tahun, dan untuk dewasa awal adalah orang yang umurnya
3 berkisar antara 19-40 tahun. Pada tahap transisi dari masa remaja akhir menuju ke dewasa awal, mahasiswa memang seringkali belum dapat berpikir rasional dengan optimal, banyak hal yang mempengaruhi dalam menentukan suatu keputusan, khususnya yang menyangkut pembelian. Pada mahasiswa, kematangan emosi individu yang belum stabil mendorong munculnya berbagai gejala dalam perilaku membeli yang tidak wajar. Pembelian tidak lagi dilakukan karena produk tersebut memang dibutuhkan, tetapi membeli dilakukan karena alasan-alasan lain seperti sekedar mengikuti arus mode, hanya ingin mencoba produk baru, dan ingin memperoleh fungsi yang sesungguhnya dan pada akhirnya akan menjadi suatu ajang pemborosan biaya karena belum memiliki penghasilan sendiri (Zebua & Nurdjayadi, 2001). Maka dari itu diperlukan suatu motivasi dan pemikiran yang rasional ketika kita akan membeli produk laptop tersebut. Mengacu pada pernyataan Schiffman dan Kanuk (2004), bahwa motif pembelian rasional digunakan pada saat konsumen bertindak rasional dengan secara hati-hati mempertimbangkan semua alternatif yang ada dan memilih alternatif yang memberikan keuntungan terbesar. Motif rasional juga menyangkut masalah seperti harga (price), biaya penggunaan (cost in use), dan daya tahan (durability), lamanya pemakaian yang bermanfaat (length of useful usage), reliabilitas (reliablity), dan layanan (servicing). Hal yang disebutkan oleh Schiffman dan Kanuk (2004) memang benar adanya, karena konsumen tentu tidak ingin rugi dalam membeli produk yang tidak bisa dibeli setiap hari, sehingga perlu ada pertimbangan-pertimbangan khusus dalam menyikapinya. Tetapi sebagai individu yang unik, semua konsumen mempunyai alasannya masing-masing dalam memutuskan membeli produk. Ketika suatu motif pembelian yang berdasarkan pemikiran dan perhitungan matang dikatakan sebagai rational buying motives, maka berkebalikan dari hal ini ada juga yang namanya emotional buying motives, yaitu yang menurut Swastha dan Handoko (1982), motif emosional adalah pembelian yang berkaitan dengan perasaan atau emosi seseorang dan bersifat subjektif seperti pengungkapan rasa cinta, kebanggaan, dan sebagainya. Jadi konsumen bisa saja dalam membeli produk tidak terlalu memperhatikan secara detil mengenai harga, daya tahan, biaya penggunaan, dan yang lain-lainnya, tetapi konsumen ketika memilih produk lebih mengutamakan pemikiran subjektif. Bentuk dari pemikiran subjektif dapat bermacam-macam seperti membeli produk hanya karena suka akan bentuk dan keunikan produk tersebut atau ketika membeli produk tersebut citra dirinya di mata orang lain akan terangkat. Hal inilah yang disebut
4 dengan motif pembelian emosional, alasan dalam pembelian suatu produk tersebut murni karena pemikiran subjektif dan berdasarkan kepuasan emosional konsumen semata. Terlepas dari motif rasional dan motif emosional di atas yang biasanya menjadi alasan utama konsumen dalam memilih produk yang paling sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya, produsen biasanya melihat motif tersebut sebagai suatu kesempatan untuk memenuhi keinginan dari para konsumen tersebut. Produsen-produsen laptop ternama seperti Acer, Toshiba, Sony, Asus, Hp, dan yang lain sebagainya pada mulanya melihat fungsi laptop hanya sebagai alat penunjang kerja semata (Abidin, 2009). Tetapi sekarang para produsen tesebut juga memperhatikan sekali tampilan ataupun style baik itu dari segi bentuk yang semakin minimalis, warna yang semakin beragam pilihannya, dan juga fungsi-fungsi pelengkap yang membuat laptop menjadi terlihat semakin bagus. Hal ini dilakukan karena produsen tidak hanya memperhatikan motif pembelian konsumen yang rasional semata mengenai fungsi maksimal dari laptop, tetapi juga mempertimbangkan motif emosional konsumen yang cenderung subjektif berdasarkan perasaannya saat dia akan membeli produk laptop tersebut. Keberagaman produk yang disajikan oleh produsen-produsen laptop tersebut membuat semakin banyaknya alternatif pilihan bagi konsumen untuk memilih produk yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Akan tetapi dengan semakin banyaknya pilihan produk yang ditawarkan maka akan semakin banyak juga informasi yang beragam dari produk laptop tersebut, terkait keunggulan dan kekurangan masing-masing produk. Hal ini sedikit banyak akan membuat konsumen merasa dihadapkan pada suatu kondisi yang membingungkan ketika akan memutuskan untuk melakukan pembelian, dimana kepercayaan mereka tidak sejalan bersama dan bisa mengakibatkan timbulnya ketidaknyamanan setelah pembelian atau yang dapat disebut dengan disonansi kognitif. Disonansi kognitif, menurut Festinger (Graham, 2007), adalah diskrepansi atau kesenjangan yang terjadi antara dua elemen kognitif yang tidak konsisten, sehingga menciptakan ketidaknyamanan psikologis. Hal ini juga didukung oleh Vaughan dan Hogg (2005) yang menyatakan bahwa disonansi kognitif adalah suatu kondisi tidak nyaman dari tekanan psikologis ketika seseorang memiliki dua atau lebih kognisi (sejumlah informasi) yang tidak konsisten atau tidak sesuai satu sama lain. Atau dengan kata lain disonansi kognitif ini merupakan keadaan dimana seseorang mengalami suatu keadaaan negatif yang membingungkan. Kondisi ini
5 mendorong mereka untuk merubah pikiran, perasaan, dan tindakan mereka agar sesuai dengan pembaharuan. Disonansi dirasakan ketika seseorang tidak konsisten antara pemikiran yang dipercaya dengan sikap dan perilaku sehingga menciptakan keadaan yang tidak nyaman terhadap psikologisnya sendiri, atau dengan kata lain tidak konsisten pada dirinya sendiri (Chou, 2012). Jadi misalnya ketika konsumen membeli suatu produk laptop merk X berdasarkan alasan yang rasional karena dari informasi yang disuguhkan laptop tersebut mempunyai kualitas yang bagus, tahan lama dan terpercaya ataupun berdasarkan alasan emosional seperti memilih laptop Y karena dari informasi yang disuguhkan bentuk dan warnanya sangat menarik dan juga unik. Tetapi ternyata setelah pembelian dilakukan, konsumen bisa saja mengalami disonansi kognitif. Biasanya setelah keputusan beli dibuat, masalah yang dihadapi konsumen adalah alternatif yang dipilih memperlihatkan kekurangan sedangkan alternatif yang ditolak justru menunjukkan beberapa faktor yang menarik. Artinya, aspek-aspek kekurangan atau kelemahan dari barang yang terpilih dengan aspek-aspek positif dari produk yang ditolak menimbulkan disonansi kognitif bagi pembeli. Disonansi kognitif ini membuat konsumen merasakan ketidaknyamanan atas hasil pembelian yang telah dilakukan dan efeknya konsumen akan menyesali keputusan pembelian yang telah dia buat. Hal semacam ini tentu saja perlu dihindari agar konsumen dapat menikmati hasil yang pembelian yang dilakukan tanpa perlu adanya perasaan menyesal. Dari fenomena tersebut di atas muncul minat penulis untuk mengkaji lebih lanjut guna mengetahui apakah ada pengaruh rational buying motives dan emotional buying motives terhadap disonansi kognitif pemilik produk laptop. TINJAUAN PUSTAKA Rational Buying Motives Schiffman dan Kanuk (2004) menyatakan bahwa istilah motif pembelian rasional digunakan pada saat konsumen bertindak rasional dengan secara hati-hati mempertimbangkan semua alternatif yang ada dan memilih alternatif yang memberikan keuntungan terbesar. Motif rasional juga menyangkut masalah seperti harga (price), biaya penggunaan (cost in use), dan daya tahan (durability), lamanya pemakaian yang bermanfaat (length of useful usage), reliabilitas (reliablity), dan layanan (servicing).
6 Menurut Sigit (2002) rational buying motives adalah
pertimbangan rasionil yang
mendorong individu melakukan pembelian, misalnya karena pertimbangan lebih ekonomis, lebih murah, lebih tahan lama, dapat dipercaya, mutu baik, tidak gampang rusak, pekoleh, dan sebagainya. Sementara menurut Burrow (2011) rational buying motives adalah mengenai memperoleh barang dengan kualitas yang tinggi. Rational buying motives mempengaruhi banyak pembelian, tapi motif ini menjadi sangat penting ketika dihadapkan pada pembelian barangbarang yang mahal. Bahkan jika emosi mempunyai peran dalam pembelian rumah atau mobil, ataupun pilihan universitas yang akan dituju, orang akan tetap mempertimbangkan kualitas dan nilai dari pilihan yang akan ditetapkan. Solomon (2004) menyebut motif pembelian rasional sebagai kebutuhan utilitarian yaitu suatu hasrat untuk memperoleh keuntungan fungsional atau praktikal dari produk yang dikonsumsi. Motif rasional adalah motivasi yang didasarkan pada fakta-fakta yang ditunjukkan oleh suatu produk. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dapat berupa faktor ekonomi seperti: faktor penawaran, permintaan, dan harga. Selain itu juga faktor kualitas, layanan, ketersediaan barang, ukuran, kebersihan, efesiensi dalam penggunaan, keawetan, dapat dipercaya dan keterbatasan waktu yang ada pada konsumen (Fisardo dkk, 1998). Konsumen yang membeli suatu produk berdasarkan motif rasional lebih mengutamakan pertimbangan ekonomis seperti kualitas produk, harga, efisiensi, pelayanan dan tersedianya barang. Konsumen lebih mendasarkan putusannya pada faktor-faktor eksternal diluar dirinya seperti mencari informasi terlebih dahulu tentang produk yang akan dibelinya dan mempercayai informasi tersebut dengan pertimbangan rasional. Konsumen bertindak secara rasional ketika mempertimbangkan semua alternatif dan pilihan yang ada untuk memberikan manfaat terbesar bagi dirinya, dengan kata lain konsumen mendasarkan putusannya pada kriteria objektif. Konsumen yang membeli produk berdasarkan motif emosional lebih mendasarkan putusannya pada kriteria subjektif dan faktor-faktor internal yang ada didalam dirinya, seperti harga diri, pengungkapan rasa cinta dan kenyamanan (Violitta & Hartanti, 1996). Emotional Buying Motives Schiffman dan Kanuk (2004) menyatakan bahwa istilah emosional digunakan pada saat pilihan pembelian ditentukan berdasarkan kriteria selektif yang subjektif. Beberapa faktor yang termasuk dalam motif emosional adalah keamanan, kenyamanan, ego, kebanggaan, rekreasi, seks, persaingan, kesehatan, kepraktisan, dan lain-lain (Huey, 1991).
7 Menurut Burrow (2011) emotional buying motives adalah alasan pembelian yang berdasarkan perasaan, keyakinan, ataupun pendirian. Dorongan dari rasa cinta, kasih sayang, perasaan bersalah, ketakutan, atau nafsu sering mendorong konsumen untuk melakukan pembelian. Para ahli pemasaran menyadari bahwa perasaan emosional seseorang seringkali dapat mempengaruhi pilihan dan perilaku konsumen dalam pembelian. Sebagai contoh, periklanan Hallmark mendorong orang-orang untuk membeli kartu ucapan berdasarkan perasaan cinta dan kasih sayang, karena perasaan seseorang kepada orang yang mempunyai ikatan yang kuat atau karena ada peristiwa yang spesial seperti pada saat perayaan hari ibu, ulang tahun, atau pada saat teman dekat sakit bisa saja hal ini dilakukan. Menurut Sigit (2002) emotional buying motives adalah sesuatu yang mendorong orang untuk membeli suatu produk tanpa pertimbangan-pertimbangan dan alasan-alasan rasionil. Alasan pembelian disebabkan misalnya oleh sugesti, asosiasi pikiran, gambaran khayal, meniru, supaya berbeda dari orang lain, perasaan bangga romantika, menarik hati, dan sebagainya. Menurut Swastha dan Handoko (1992), motif emosional adalah pembelian yang berkaitan dengan perasaan atau emosi seseorang dan bersifat subjektif seperti pengungkapan rasa cinta, kebanggaan, dan sebagainya. Persahabatan, martabat, hak dan simbol status dapat mempengaruhi putusan pembelian konsumen. Seringkali emosional lebih diutamakan daripada pertimbangan rasional. Motif emosional adalah motivasi pembelian yang berkaitan dengan perasaan atau emosi individu, seperti pengungkapan rasa cinta, kebanggaan, kenyamanan, kesehatan, keamanan, dan kepraktisan, (Violitta & Hartanti, 1996).
Disonansi Kognitif Menurut Kotler dan Armstrong (2003), disonansi kognitif adalah ketidaknyamanan pembeli karena konflik setelah pembelian. Hampir seluruh pembelian penting menghasilkan disonansi kognitif. Setelah pembelian, konsumen merasa puas dengan manfaat merek yang telah dipilih dan senang untuk menghindari kekurangan dari merek yang tidak dibeli, namun setiap pembelian melibatkan kompromi, konsumen mengalami ketidaknyamanan akibat mendapatkan kekurangan produk yang dibeli dan kehilangan sejumlah manfaat produk yang tidak dibeli. Oleh karena itu, konsumen merasakan adanya disonansi setelah pembelian pada setiap pembelian.
8 Menurut Japrianto (2006), cognitive dissonance dideskripsikan sebagai suatu kondisi yang membingungkan, yang terjadi pada seseorang ketika kepercayaan mereka tidak sejalan bersama. Kondisi ini mendorong mereka untuk merubah pikiran, perasaan, dan tindakan mereka agar sesuai dengan pembaharuan. Disonansi dirasakan ketika seseorang berkomitmen pada dirinya sendiri dalam melakukan suatu tindakan yang tidak kosisten dengan perilaku dan kepercayaan mereka yang lainnya.
METODE PENELITIAN Partisipan dan Desain Penelitian Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling merupakan teknik sampling berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti. Penelitian ini mempunyai jumlah sampel sebanyak 110 orang. Dalam penelitian ini, subjek penelitiandiambil dari representative semua jurusan yang ada di FISIP Universitas Brawijaya dengan pengambilan yang berimbang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, yaitu mahasiswa berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang mempunyai laptop dan memilih sendiri laptop tersebut ketika pembelian. Oleh karena itu peneliti sebelum memberikan kuesioner akan bertanya terlebih dahulu apakah laptop yang subjek miliki adalah hasil pilihanya sendiri.Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda dengan bantuan SPSS statistics 17. Alat Ukur dan Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan skala Likert, yaitu skala rational buying motives, skala emotional buying motives, dan skala disonansi kognitif. Skala rational buying motives disusun peneliti berdasarkan adaptasi teori Schiffman dan Kanuk (2004) yang mempunyai dimensi harga, daya tahan, efisiensi penggunaan, ketersediaan barang, dan service & garansi terhadap. Skala emotional buying motives juga disusun peneliti berdasarkan adaptasi teori Schiffman dan Kanuk (2004) dengan dimensi kebanggaan, kenyamanan, keunikan, rekreasi, dan tren pasar. Sedangkan skala disonansi kognitif, peneliti menggunakan skala yang disusun oleh Sweeney, Hausknecht dan Soutar tahun 2000 (dalam Japrianto, 2006) yang terdiri dari dimensi emotional (Emosional), wisdom of purchase (Kebijaksanaan Pembelian), dan concern over the deal (Perhatian Setelah Transaksi). Masing-masing dimensi ini menpunyai indikator-indikator yang dituangkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan, lalu kemudian dibentuk menjadi suatu instrument yang mengacu
9 pada skala likert. Skala likert yang digunakan terdiri dari empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Skala likert dugunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepesi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena social (Sugiono, 2009). Peneliti melakukan ujicoba terhadap 110 mahasiswa FISIP Universitas Brawijaya dengan menggunakan 3 skala penelitian, yaitu skala rational buying motives dengan 30 aitem, emotional buying motives dengan 30 aitem, dan skala disoansi kognitif dengan 21 aitem. Dari uji coba didapat bahwa pada skala rational buying motives dan emotional buying motives tidak ada aitem yang gugur dengan tingkat reliabilitas sebesar 0,883 dan 0,908. Untuk skala disonansi kognitif ada 3 aitem yang gugur dan 19 aitem yang sahih dengan nilai reliabilitas sebesar 0,832. Berdasarkan nilai reliabilitas skala tersebut, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan skala tersebut sebagai skala penelitian. HASIL Berdasarkan data yang ada menunjukan bahwa pada skala rational buying motives terhadap disonansi kognitif yang dimiliki oleh subjek penelitian sebanyak 19% (21 orang) berada dalam kategori sedang, sedangkan 81% (89 orang) berada dalam kategori tinggi, dan sebanyak 0% berada dalam kategori rendah. Untuk skala emotional buying motives terhadap disonansi kognitif sebanyak 23% (25 orang) berada dalam kategori sedang, kemudian sebanyak 77% (85 orang) berada dalam kategori tinggi, dan tidak ada yang berada pada kategori rendah. Pada skala disonansi kognitif diketahui untuk kategori rendah tidak ada, kategori sedang berjumlah 52 subjek atau 47%, dan untuk kategori tinggi berjumlah 58 subjek atau sebesar 53%. Berdasarkan pengujian Kolmogorov-Smirnov, didapatkan taraf signifikansi atau nilai pvalue sebesar 0,108 dan nilai tersebut lebih besar dari α = 0,05. Dari pengujian tersebut ditunjukkan bahwa residual memliki distribusi normal. Hasil lain dari uji multikolinierisitas yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan pada dua variabel independen atau variabel bebas menunjukan bahwa tidak terjadi multikolinieritas yang ditunjukan oleh nilai VIP yang tidak lebih dari 10. Untuk mendeteksi adanya tidaknya multikolinieritas dapat dilihat dari Variance Inflation Factor (VIF). Apabila nilai VIF > 10 maka menunjukkan adanya multikolinieritas dan apabila sebaliknya VIF < 10 maka tidak terjadi multikolinieritas. Kemudian untuk hasil uji heteroskedastisitas, pengujian ini bertujuan untuk menguji apakah model regresi memiliki ragam (variance) residual yang sama atau tidak. Model regresi yang baik adalah model
10 yang memiliki ragam residual sama (bersifat homoskedastisitas). Berdasarkan hasil scatterplot , terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak, tidak membentuk suatu pola tertentu yang jelas, dan menyebar baik di atas maupun di bawah angka 0 (nol) pada sumbu Y. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi. Melalui uji hipotesis, didapatkan hasi berupa sumbangan variabel X1 dan X2 terhadap variabel Y melalui nilai regresi yang dihitung melalui SPSS. Nilai R square yang didapat iyalah 0,672, hal ini menunjukan bahwa sebesar 67,2% peranan rational buying motives dan emotional buying motives terhadap disonansi kognitif, yang mana sebesar 35,05% berasal dari rational buying motives, dan sebesar 32,26% dari emotional buying motives, sedangkan sisanya 32,69% merupakan pengaruh dari variabel lainnya. DISKUSI Hasil olah data pada penelitian menunjukan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara variabel X1 yaitu rational buying motives dan variabel X2 yaitu emotional buying motives terhadap variabel Y yaitu disonansi kognitif, namun besarnya pengaruh tidak sama. Berdasarkan hasil regresi berganda, perbandingan fhitung dengan ftabel, antara variabel rational buying motives dan emotional buying motives terhadap disonansi kognitif adalah sebesar fhitung 109,805 dan ftabel 3,081. Terlihat jelas bahwa kedua variabel mempunyai pengaruh yang signifikan secara bersama-sama terhadap disonansi kognitif. Akan tetapi, variabel rational buying motives (X1) mempunyai pengaruh sedikit lebih besar daripada emotional buying motives (X2) terhadap munculnya disonansi kogntif pada konsumen pemilik produk laptop. Berdasarkan ttabel, Variabel rational buying motives mempunyai pengaruh yang lebih signifikan sebesar 35,05% terhadap variabel disonansi kognitif, sedangkan variabel emotional buying motives mempunyai pengaruh sebesar 32,26%, jadi variabel X1 dan X2 mempunyai pengaruh gabungan sebesar 67,31%, sisanya sebesar 32,69% dipengaruhi faktor lain di luar penelitian. Dari hasil penelitian, terlihat pengaruh motif pembelian rasional nilainya lebih besar daripada motif pembelian emosional terhadap disonansi kognitif, data ini berarti bahwa rational buying motives lebih dominan mempengaruhi terhadap munculnya disonansi kognitif pada seseorang. Pengaruh rational buying motives yang lebih besar ini dapat dikatakan berhubungan sekali dengan pengharapan dari usaha yang telah dilakukan oleh seseorang ketika akan melakukan pembelian untuk mendapatkan produk yang dirasa terbaik bagi dirinya. Ketika seseorang dengan secara hati-hati mempertimbangkan semua alternatif yang ada dan memilih
11 alternatif yang memberikan keuntungan terbesar (Schiffman dan Kanuk, 2004) maka harapan untuk memperoleh kepuasan dan menghindari kekurangan pada barang yang dibeli akan menjadi tinggi, hal ini dilakukan secara sadar agar tidak terjadi ketidakpuasan setelah pembelian karena hampir seluruh pembelian penting menghasilkan disonansi kognitif. Burrow (2011) juga mengatakan bahwa rational buying motives adalah mengenai memperoleh barang dengan kualitas yang tinggi, motif ini menjadi sangat penting ketika dihadapkan pada pembelian barangbarang yang mahal termasuk juga laptop, oleh karena itu tidak heran kenapa rational buying motives dapat berpengaruh lebih signifikan daripada emotional buying motives terhadap munculnya disonansi kognitif. Selain itu, perbedaan pengaruh antara rational buying motives dan emotional buying motives terhadap disonansi kognitif ini menarik karena cukup kecil dan dapat dibilang hasilnya tidak terlalu jauh, kurang lebih hanya sebesar sekitar 3% perbedaannya. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak hanya pengaruh secara rasional yang dapat menjadi penyebab timbulnya disonansi kognitif, akan tetapi pengaruh secara emosional juga cukup besar pada munculnya disonansi kognitif ini. Perbedaan persentase yang tidak terlalu besar ini dapat cukup menjadi pertanyaan karena menurut Sigit (2002) emotional buying motives adalah motif pembelian yang mendorong orang untuk membeli suatu produk tanpa pertimbangan-pertimbangan dan alasan-alasan rasionil, logikanya jika seseorang membeli suatu produk dengan tidak menyertakan alasan rasional, maka jika hasil dari pembelian tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan, hal itu tidak akan mempengaruhi perasaan pembeli, akan tetapi berdasarkan penelitian ternyata faktor ini juga mempunyai pengaruh yang hampir sama besarnya ketika seseorang membeli produk dengan motif rasional yang mempertimbangkan benar-benar manfaat yang didapat jika akan membeli suatu produk. Jadi bisa dikatakan bahwa ketika seseorang dihadapkan akan pembelian, apapun motif pembeliannya pengharapan agar produk yang dibeli memberikan hasil yang baik atau bermanfaat ternyata sangat berpengaruh pada munculnya disonansi kognitif. Di sisi lain, pengaruh kedua motif ini sebenarnya tidak terlalu besar selisihnya, hal ini menunujukan bahwa motif rational dan motif emosional mempunyai pengaruh yang hampir sama terhadap munculnya disonansi kognitif pada pemilik produk laptop. Berdasarkan hasil analisis, ada tiga faktor kenapa hal ini bisa terjadi, faktor yang pertama adalah karena subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa. Mahasiswa bisa digolongkan sebagai remaja yang sedang mengalami masa transisi dari tahapan perkembangan remaja akhir menuju dewasa awal
12 (Gunawan dan Hartati, 2006). Mahasiswa dalam suatu pembelian produk bisa saja lebih memilih produk yang dirasa mempunyai ‘nilai’ yang lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi yang akan didapat jika memilih produk sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan tingkat kematangan dari mahasiswa itu sendiri yang kebanyakan masih labil, yang akan mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh mahasiswa dalam membeli produk yang sesuai dengan fungsi dan kebutuhan yang sebenarnya. Dengan tingkat kelabilan yang masih cukup tinggi tersebut maka tidak heran mahasiswa masih tidak dapat memilih laptop dengan rasionalitas yang baik. Faktor yang kedua adalah tingkat ekonomi rata-rata subjek adalah mahasiswa yang termasuk dalam golongan ekonomi tingkat menengah, artinya laptop bagi rata-rata subjek merupakan produk yang termasuk barang mahal, jadi pemilihan produk laptop yang dapat mewakili motif rasional dan emosional menjadi alternatif pilihan ketimbang hanya meninggikan salah satu motif saja. Sebagai contoh, ketika ada laptop yang memiiki spesifikasi yang baik dan berkualitas tinggi tetapi secara desain kurang menarik maka mereka akan cenderung beralih ke laptop yang mempunyai kualitas bagus tetapi juga dengan desain yang mereka inginkan. Hal ini menjadi sangat mungkin dilakukan karena dipermudah juga dengan semakin banyak produsen laptop yang menawarkan produk dengan paket lengkap seperti memiiki spesifikasi yang bagus dan kualitas yang juga tinggi dengan desain beragam dan tentunya menarik, maka tidak sulit bagi mahasiswa untuk lebih memilih laptop yang mewakili motif rasional serta juga motif emosional ketimbang hanya memilih laptop yang hanya baik di satu sisi saja. Lalu faktor yang ketiga adalah produk laptop itu sendiri, artinya pengaruh laptop sebagai barang mahal dan tidak dapat sering dibeli seperti kebutuhan sehari-hari membuat mahasiswa jadi lebih menekankan untuk mendapatkan produk yang dapat memenuhi motif secara rasional maupun juga emosional. Jika laptop merupakan produk yang murah dan dapat dibeli sesuka hati mungkin tingkat disonansi yang muncul tidak akan tinggi, apalagi berimbang seperti yang ditunjukan oleh hasil penelitian kepada mahasiswa FISIP Universitas Brawijaya Malang. Secara teori penyebab munculnya disonansi kognitif ini adalah karena terjadinya ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pembeli setelah pembelian. Menurut Kotler dan Amstrong (2003), hampir seluruh pembelian penting menghasilkan disonansi kognitif. Setelah pembelian, konsumen merasa puas dengan manfaat merek yang telah dipilih dan senang untuk menghindari kekurangan dari merek yang tidak dibeli, pada pembelian bermotif rasional atau pun emosional,
13 disonansi kognitif akan bisa terjadi tergantung dengan seberapa berharganya produk yang akan dibeli. Jika kaitannya dengan pembelian laptop oleh mahasiswa, maka berdasarkan peneltian yang telah dilakukan kedua variabel ini sama-sama berpengaruh cukup besar terhadap munculnya disonansi kognitif. Setiap pembelian baik itu secara rational maupun emosional selalu melibatkan kompromi, konsumen secara sadar maupun tidak akan mengalami ketidaknyamanan akibat mendapatkan kekurangan produk yang dibeli dan kehilangan sejumlah manfaat produk yang tidak dibeli, oleh karena itu konsumen merasakan adanya disonansi kognitif setelah pembelian. Adapun variabel lain yang dapat mempengaruhi terjadinya disonansi kognitif menurut Festinger (Uzma, 2011) adalah : 1. Inkonsitensi logika (logical inconsistency), yaitu logika berpikir yang mengingkari logika berpikir yang lain. 2. Nilai budaya (cultured value), yaitu bahwa kognisi yang dimiliki seseorang di suatu budaya kemungkinan akan berbeda di budaya lainnya 3. Opini umum (opinion generality), yaitu disonansi mungkin muncul karena sebuah pendapat yang berbeda dengan yang menjadi pendapat umum. 4. Pengalaman masa lalu (past experience), yaitu disonansi akan muncul bila sebuah kognisi tidak konsisten dengan pengalaman masa lalunya. Ada beberapa keterbatasan yang didapatkan pada penelitian ini, yang pertama adalah jumlah sampel yang terlalu kecil sehingga belum dapat mempresentasikan secara tepat hasil penelitian mengenai pengaruh rational buying motives dan emosional buying motives terhadap disonansi kognitif pemilik produk laptop pada mahasiswa FISIP Universitas Brawijaya. Jika jumlah sampel yang digunakan pada penelitian lebih besar maka akan lebih dapat mempresentasikan secara akurat pengaruh antara kedua motif tersebut terhadap disonansi kognitif. Kemudian kelemahan berikutnya adalah skala penelitian dengan aitem yang hampir sama satu sama lain sehingga terkesan diulang-ulang. Hal ini padahal bisa lebih dipersingkat angketnya supaya jawaban subjek dapat lebih akurat. Dari kedua keterbatasan penelitian ini maka cukup penting bagi peneliti selanjutnya untuk memastikan bahwa sampel yang diambil terpenuhi dengan baik dan juga aitem penelitian memiliki perbedaan yang jelas sehingga subjek dapat lebih akurat dalam memberikan jawaban.
14 DAFTAR PUSTAKA Abidin, Zainal. (2009). Kupas Tuntas Notebook. Jakarta: PT Suka Buku Amstrong & Kotler. (2003). Dasar-dasar Manajemen Pemasaran Jilid 1. Edisi Sembilan. Jakarta: PT Indeks. Burrow, J. L. (2011). Marketing. 3rd Edition. Texas: South-Western Cengage Learning. Chou, Shih Yung. (2012). Online Reviews and Pre-Purchase Cognitive Dissonance: A Theoretical Framework and Research Propositions. Journal of Emerging Trends in Computing and Information Sciences, Vol.3. No.2. Fisardo, D. Hartanti & Tjahjoanggoro, A. J. (1998). Hubungan Antara Motif Rasional dan Motif Emosional dengan Loyalitas terhadap Mcdonal’s. Anima Vol. 14. Universitas Surabaya. Graham, Rachel D. (2007). Theory Of Cognitive Dissonance As It Pertains To Morality. Journal of Scientific Psychology. Gunawan & Hartati, (2006). Hubungan Antara Efektifitas Komunikasi Mahasiswa-Dosen Pembimbing Utama Skripsi Dengan Stress Dalam Menyusun Skripsi Pada Mahasiswa Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Vol.3, No.2. Huey, C. (1991). Consumer Behavior. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Hurlock, E. B. (1997). Psikologi Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Japarianto, Edwin. (2006). Analisis Pembentukan Disonansi Kognitif Konsumen Pemilik Mobil Toyota Avanza. Jurnal Manajemen Pemasaran, Vol 1 , 81-87. Schiffman, L. G. & Kanuk, L. L. (2004). Consumer Behavior Eight Edition. New Jersey: Pearson Education Inc. Sigit, Santosa. (2002). Advertising Guide Book. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Solomon, M. R. (2004). Consumer Behavior: Buying, Having, dan Being. Sixth Edition. New Jersey: Prentice Hall. Sugiyono, Dr. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Swastha, B & Handoko, T. H. (1992). Manajemen Pemasaran: Analisis Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Liberty. Uzma, Hasan. (2012). Cognitive Dissonance and Its Impact On Consumer Buying Behaviour. ISSN Journal of Business and Management, Vol. 1, 07-12.
15
Vaughn, G.M. & Hogg, M.A. (2005). Social Psychology. 4th Edition, Australia: Prentice Hall. Violitta, L & Hartanti. (1996). Hubungan Antara Motif Rasioal dan Motif Emosional dengan Loyalitas Pemakaian Produk Lipstik dalam Negeri dan Luar Negeri. Anima Vol. 12. Universitas Surabaya. Zebua, A. & Nurdjayadi, R. (2001). Hubungan Antara Konformitas dan Konsep Diri Dengan Perilaku Konsumtif Pada Remaja Putri. Phronesis. No 72-82.