PENGARUH PROSES HMT TERHADAP KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN KRISTALINITAS TAPIOKA (Effect of Heat-Moisture-Treatment on Morphology and Crystallinity of Tapioca) ABSTRACT Tapioca starch was modified by heat moisture treatment (HMT) for 4 hours at 110 and 120°C, and moisture content at 18% and 20%. The polarization cross at the center of HMT tapioca granules became unclear and it was seem like a hollow area. Some of HMT tapioca granules also showed holes at their surfaces. The starch exhibited the A-type cristallinity patern before and after treatment but the cristallinity decreased. The changes in morphology and crystallinity were influenced by temperature and moisture content of process. The changes took places more intensive at higher process temperatures and water content. Key words : tapioca, heat-moisture treatment, morphology, crystallinity PENDAHULUAN Variasi dari karakteristik fisikokimia pati modifikasi HMT dapat terjadi karena perbedaan kondisi proses seperti kadar air (Vermeylen et al., 2006; Adebowale1 et al., 2005), suhu (Adebowale dan Lawal, 2003; Vermeylen et al., 2006; Pukkahuta dan Varavinit, 2007) dan waktu proses (Collado and Corke, 1999). Proses HMT pada suhu 100°C selama 16 jam pada berbagai kadar air (berkisar antara 18 – 30%) dilaporkan tidak mengubah bentuk dan ukuran granula pati beras (Khunae et al., 2007; Franco et al., 1995), pati sorghum –finger millet (Adebowale2 et al., 2005), tapioka (Abraham, 1993), African yam bean (Adebowale3 et al., 2005), gandum, oat, lentil, kentang dan yam tetapi mengubah pengaturan granula oat dari bentuk agregat menjadi terpisah-pisah (Hoover dan Vasanthan, 1994). Perubahan permukaan granula dilaporkan pada pati jagung dan kentang (Pukkahuta et al., 2008; Pukkahuta et al., 2007 dan Kawabata et al., 1994) serta sebagian kecil pati ubi jalar dan jahe (Vieira dan Sarmento, 2008). Beberapa penelitian melaporkan pembentukan rongga dan mengaburnya persilangan polarisasi dibagian tengah granula pati HMT (Pukkahuta et al., 2007;
103
Vermeylen et al., 2006; Pukkahuta dan Varavinit, 2007), mengindikasikan struktur jaringan pusat relatif lemah. Kadar air pati, suhu dan waktu HMT mempengaruhi morfologi pati termodifikasi. Pada kadar air tetap, peningkatan intensitas panas (suhu dan waktu proses) menyebabkan peningkatan ukuran rongga (Pukkahuta et al., 2007). Pada waktu tetap dan kadar air ≥ 23%, peningkatan suhu proses akan memperbesar rongga pada pati kentang HMT (Vermeylen et al, 2006). HMT tidak mengubah kristal tipe A seperti dilaporkan pada pati jagung, ubi jalar, beras dan tapioka (Kawabata et al., 1994; Pukkahuta et al., 2008; Franco et al., 1995; Collado dan Cork, 1999; Gunaratne dan Hoover, 2002; Khunae et al., 2007). Pengaturan ulang double heliks karena HMT pada kadar air berbeda bisa meningkatkan atau menurunkan kristalinitas granula seperti dilaporkan pada pati jagung (Franco et al., 1995). Penurunan kristalinitas relatif pati HMT dilaporkan pada kentang (Vermeylen et al., 2006), tapioka dan yam (Gunaratne dan Hoover, 2002). Interaksi kadar amilosa pati beras dan kadar air proses mempengaruhi kristalinitas pati HMT secara berbeda. Pada amilosa rendah sampai sedang, peningkatan kadar air proses menurunkan kristalinitas relatif. Pada amilosa tinggi, pembentukan kristal V (kompleks amilosa-lemak) meningkat dengan naiknya kadar air. Pembentukan kompleks ini menggantikan hilangnya daerah kristalin pati alami, dan menjelaskan mengapa rasio kristalinitas pada pati beras beramilosa tinggi tidak berubah (Khunae et al., 2007). Pengaruh suhu dan kadar air HMT pada kristalinitas pati kentang telah dilaporkan (Vermeylen et al., 2006). Perubahan kristal tipe B menjadi A meningkat dengan naiknya suhu dan mencapai maksimal pada 130oC. Kristalinitas total meningkat pada suhu >120oC sementara penurunan kristalinitas total terjadi jika suhu proses ≤120oC. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu dan kadar air proses HMT terhadap perubahan morfologi dan kristalinitas granula tapioka.
104
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan utama penelitian ini adalah tapioka dari ubi kayu varietas Faroka umur panen 15 bulan dan akuades. Pembuatan Tapioka HMT Proses HMT dilakukan menggunakan kadar air 18 dan 20% masing-masing pada dua tingkat suhu (110 dan 120°C) selama 240 menit. Prosedur pembuatan tapioka HMT seperti dijelaskan di dalam bab Pengaruh Heat Moisture Treatment Terhadap Karakteristik Fisiko Kimia Tapioka pada sub-bab Bahan dan Metode. Morfologi Granula Tapioka Bentuk granula pati diamati dengan polarized light microscope (Olympus Optical Co.Ltd, Japan) yang dilengkapi kamera menggunakan modifikasi metode Becker et al. (2001). Metode analisis seperti pada sub-bab Bahan dan Metode, dari bab Karakterisasi Fisikokimia Tapioka Dari Lima Varietas Ubi Kayu. Bentuk permukaan granula pati diamati menggunakan scanning electron microscope Zeiss tipe EVO 50. Sampel dilihat pada perbesaran 1000 dan 5000 kali. Struktur Kristal dan Kristalinitas Pati Struktur kristal dan kristalinitas diamati dari difraktogram sinar-X menggunakan difraktometer sinar-X (X-ray diffractometer) dengan metode Kawabata et al. (1994). Metode analisis seperti pada sub-bab Bahan dan Metode, dari bab Karakterisasi Fisikokimia Tapioka Dari Lima Varietas Ubi Kayu. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Granula Proses HMT menyebabkan perubahan morfologi granula tapioka dan intensitasnya dipengaruhi oleh kondisi proses.
105
Sebagian granula tapioka HMT
mengalami kehilangan birefringence di bagian tengah granula yang mengindikasikan hilangnya daerah kristalin pati. Pada lama waktu proses yang sama (4 jam), intensitas perubahan granula dipengaruhi oleh suhu dan kadar air. Perubahan akan meningkat ketika suhu dan/atau kadar air proses HMT dinaikkan (Gambar 6.1). Perubahan terbesar terjadi pada tapioka yang diproses pada kadar air 20% dan suhu 120°C, dimana sebagian kecil granula kehilangan seluruh sifat birefringencenya.
18%, 110C, 240 mnt
18%, 120C, 240 mnt
20%, 110C, 240 mnt
20%, 120C, 240 mnt
native
Gambar 6.1. Penampakan granula tapioka dilihat dengan mikroskop polarisasi
106
Pengamatan dengan SEM (Gambar 6.2) menunjukkan bahwa permukaan dari sebagian granula tapioka modifikasi membentuk cekungan seperti rongga. Intensitas perubahan meningkat dengan meningkatnya suhu dan/atau kadar air proses. Tapioka HMT yang diproses pada suhu 120°C dan kadar air 20% selama 4 jam bahkan menunjukkan perubahan bentuk granula menjadi tidak beraturan yang mengindikasikan terjadinya gelatinisasi parsial (Gambar 6.3). Pukkahuta et al. (2007), Vermeylen et al. (2006) dan Shin et al. (2005), menyebutkan bahwa perubahan morfologi granula akibat proses HMT dipengaruhi oleh kadar air, suhu, waktu proses dan teknik yang digunakan. Pukkahuta et al. (2007) mengamati terjadinya pembentukan cekungan (rongga) di permukaan granula yang mengalami proses termal lebih intensif. Sementara itu, Shin et al. (2005) mengamati terbentuknya cekungan di permukaan pati ubi jalar yang diberi perlakuan hidrotermal jika kadar air dinaikkan.
Tapioka native
Tapioka HMT dari perlakuan kadar air 18% dan suhu 110°C Gambar 6.2 Permukaan granula tapioka HMT dari kombinasi dua kadar air dan 2 suhu proses selama 240 menit
107
Tapioka HMT dari perlakuan kadar air 20% dan suhu 110°C
Tapioka HMT dari perlakuan kadar air 18% dan suhu 120°C
Tapioka HMT dari perlakuan kadar air 20% dan suhu 120°C Gambar 6.2 Permukaan granula tapioka HMT dari kombinasi dua kadar air dan 2 suhu proses selama 240 menit (lanjutan)
Perubahan Kristalinitas Proses HMT tidak menyebabkan perubahan tipe kristalit tapioka (tipe A) tetapi menurunkan kristalinitas (Gambar 6.4). Penurunan kristalinitas dipengaruhi
108
oleh kadar air dan suhu proses. Kadar air lebih berperan dalam proses penurunan kristalinitas (Tabel 6.1). Penurunan kristalinitas karena peningkatan suhu proses pada kadar air 18% tidak terlalu besar. Tetapi, ketika kadar air dinaikkan menjadi 20%, maka peningkatan suhu secara drastis menyebabkan penurunan kristalinitas. Lim et al. (2001) menyatakan bahwa aplikasi panas atau air yang berlebihan untuk proses HMT mereduksi kristalinitas dari pati jagung dan kentang.
Gambar 6.3 Perubahan bentuk granula tapioka HMT yang diproses pada kadar air 20% dan suhu 120°C selama 240 menit
Tabel 6.1 Pengaruh suhu dan kadar air proses HMT terhadap kristalinitas tapioka Perlakuan Native Modifikasi Kadar air 18% Kadar air 20%
Kristalinitas (%) 26,76 Suhu 110°C Suhu 120°C Suhu 110°C Suhu 120°C
25,36 24,09 25,59 21,32
SIMPULAN Suhu dan kadar air proses HMT berpengaruh pada intensitas perubahan morfologi dan kristalinitas granula tapioka. Perubahan yang lebih intensif terjadi pada suhu 120°C. Pada suhu yang sama, intensitas perubahan akan meningkat jika kadar air proses dinaikkan dari 18% menjadi 20%. Proses HMT yang dilakukan
109
Gambar 6.4 Difraktogram sinar X dari tapioka native dan tapioka HMT 110
dilakukan pada suhu 120°C dan kadar air 20% memicu terjadinya penurunan kristalinitas yang lebih besar, juga menyebabkan sebagian kecil granula pati kehilangan seluruh kemampuan birefringencenya dan mengalami perubahan bentuk granula yang mengindikasikan terjadinya gelatinisasi parsial. DAFTAR PUSTAKA Abraham TE. 1993. Stabilization of paste viscosity of cassava starch by heat moisture treatment. Starch/Stärke 45(4):131–135 Adebowale KO, Lawal OS. 2003. Microstructure, physicochemical properties and retrogradation behaviour of mucuna bean (Mucuna pruriens) starch on heat moisture treatments. Food Hydrocolloids 17 (3): 265-272 Adebowale1 KO, Olu-Owolabi BI, Olayinka OO, Lawal OS. 2005. Effect of heat moisture treatment and annealing on physicochemical properties of red sorghum starch. African Journal of Biotechnology 4(9):928–933 Adebowale2 KO, Afolabi TA, Olu-Owolabi BI. 2005. Hydrothermal treatments of finger millet (Eleusine coracana) starch. Food Hydrocolloids 19 (6): 974-983 Adebowale3 KO, Henle T, Schwarzenbolz, Doert T. 2005. Modification and properties of African yam bean (Sphenostylis stenocarpa Hochst. Ex A. Rich) Harms starch: heat moisture treatments and annealing. Food Hydrocolloids 23: 1947-1957 Becker A, Hill SE, Mitchell JR. 2001. Relevance of amylose-lipid complexes to the behaviour of thermally processed starches. Starch/Stärke 53:121–130 Collado LS, Corke H. 1999. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato starches differing in amylose content. Food Chemistry. Vol 65 (3) p. 339346 Franco, CML, Ciacco CF, Tavares DQ. 1995. Effect of the heat-moisture treatment on the enzymatic susceptibility of corn starch granules. Starch/Stärke 47 (6) 223-228 Gunaratne A, Hoover R. 2002. Effect of heat–moisture treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate Polymers 49 (4): 425-437 Hoover R, Vasanthan T. 1994. Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of cereal, legume and tuber starches. Carbohydrate Research 252: 33-53 Kawabata A, Takase N, Miyoshi E, Tokyo, Sawayama S, Kimura T, Saitama, Kudo K. 1994. Microscopic observation and X-ray diffractiometry of heat/moisture-treated strach granules. Starch/Stärke 46 (12) 463-469
111
Khunae P, Tran T, Sirivongpaisal P. 2007. Effect of heat-moisture treatment on structural and thermal properties of rice starches differing in amylose content. Starch/Stärke 59: 593-599. Lim S-T, Chang E-H, Chung H-J. 2001. Thermal transition characteristics of heat–moisture treated corn and potato starches. Carbohydrate Polymers 46 (2): 107-115 Pukkahuta C, Varavinit S. 2007. Structural Transformation of Sago Starch by Heat-Moisture and Osmotic-Pressure Treatment. Starch-stärke 59 (12): 624-631. Pukkahuta C, Shobsngob S, Varavinit S. 2007. Effect of osmotic pressure on starch: new method of physical modification of starch. Starch/Stärke 58:78-90 Pukkahuta C, Suwannawat B, Shobsngob S, Varavinit S. 2008. Comparative study of pasting and thermal transition characteristic of osmotic pressure and heat-moisture treated corn starch. Carbohydrate Polymer 72: 527 – 536. Shin SI, Kim HJ, Ha HJ, Lee SH, Moon TW. 2005. Effect of Hydrothermal Treatment on Formation and Structural Characteristics of Slowly Digestible Non-pasted Granular Sweet Potato Starch. Starch/Stärke 57: 421–430 Vermeylen R, Goderis B, Delcour JA. 2006. An x-ray study of hydrothermally treated potato starch. Carbohydrate Polymer 64: 364-375. Vieira FC, Sarmento SBS. 2008. Heat-moisture treatment and enzymatic digestibility of peruvian carrot, sweet potato and ginger starches. Starch/Stärke 60: 223-232
112