PENGARUH MODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DENGAN RADIASI MICROWAVE TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONAL TAPIOKA DAN MAIZENA
SKRIPSI
WIDI PINASTHI F24062225
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
EFFECT OF HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) WITH MICROWAVE RADIATION ON PHYSICOCHEMICAL AND FUNCTIONAL PROPERTIES OF TAPIOCA AND MAIZE STARCHES Widi Pinasthi and Elvira Syamsir Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone: +62251 8622725, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Tapioca and maize starches have excellent in continuous supply and competitive price. But they still suffer lack of functional properties such as instability of mechanical stimulation, heating (sterilization), acid condition, and deterioration induced or caused by retrogradation. The aforementioned lack of stability may result to limited application in industries. Physical modification such heat-moisture treatment (HMT) had been chosen to modify functional properties considering to its high-safety process and natural materials. Determining time treatment in microwave heating, preliminary research was conducted to maize starch (25% w/w moisture content). Low heating mode on 2 and 4 hour treatment showed high temperature and lower viscosity than others. Then HMT was conducted on low heating mode on controlled time (2 and 4 hour) and moisture content (20% and 25% w/w). But lately heating time on tapioca was extended to 7 hour to know its sensitivity on HMT. Evaluation was made through viscoamylograph, gelatinization transition temperature, and granule morphology analysis showed that increase on moisture content up to 25% (w/w) affected to improve functional properties on both starches. HMT treatment on chosen moisture content (25%) then characterized its properties to following analysis. A drop on crystalline, swelling power and solubility, water and oil absorption, gel clarity, and improvement on freeze-thaw stability were observed after microwave irradiation. It was concluded that susceptibility of different starches to change due to microwave irradiation depended not only on their crystal structure but also on their amylose content. Keywords: tapioca, maize starch, microwave irradiation, physicochemical and functional properties
ii
WIDI PINASTHI. F24062225. Pengaruh Modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) dengan Radiasi Microwave terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Tapioka dan Maizena. Di bawah bimbingan Elvira Syamsir. 2011.
RINGKASAN Indonesia memiliki keanekaragaman potensi sumber daya alam seperti singkong dan jagung. Hasil ekstraksi dari kedua tanaman berupa pati telah banyak digunakan di berbagai kepeluan industri baik pangan maupun non pangan. Kedua pati tersebut memiliki keunggulan ketersediaan yang kontinu serta harga yang kompetitif khususnya pada tapioka. Akan tetapi ketika diaplikasikan untuk keperluan industri, kedua pati sring kali dijumpai masalah yang disebabkan keterbatasan sifat fungsionalnya yaitu ketidakstabilan oleh pengaruh mekanis, pemanasan, dan kondisi asam, kerusakan yang dipicu maupun yang disebabkan oleh retrogradasi. Modifikasi secara fisik yaitu heat moisture treatment (HMT) dipilih untuk memperbaiki sifat fungsional tersebut dikarenakan proses yang dilakukan dapat menghasilkan pati yang lebih aman dan „alami‟. Modifikasi HMT dilakukan menggunakan radiasi microwave. Untuk mendukung aplikasinya pada proses modifikasi HMT, perlu diketahui pengaruh radiasi microwave pada tapioka dan maizena terhadap karakteristik fisikokimia dan fungsional pati termodifikasi yang dihasilkan. Untuk mengetahui waktu pemanasan yang sesuai pada modifikasi HMT dengan microwave, dilakukan penelitaian pendahuluan dengan menguji pemanasan pada mode dan waktu pemanasan berbeda. Dari hasil penelitian pendahulan tersebut diperoleh mode pemanasan low pada waktu 2 dan 4 jam memberikan pengaruh pada peningkatan suhu proses serta perubahan profil amilografi yang diinginkan. Modifikasi HMT kemudian dilakukan pada mode pemanasan low dengan pengaturan kadar air (20% dan 25%) dan waktu pemanasan (2 dan 4 jam) yang terkendali. Akan tetapi, waktu pemanasan pada tapioka diperpanjang mencapai 7 jam untuk mengetahui sensitivitas tapioka terhadap modifikasi HMT dengan microwave. Modifikasi pati dengan HMT ternyata mampu mengubah karakteristik fisikokimia dan fungsional kedua pati. Perubahan karakteristik fisikokimia dan fungsional tersebut diamati menggunakan RVA, DSC, dan mikroskop polarisasi. Perubahan karakteristik pada pati termodifikasi dipengaruhi oleh perlakuan sumber pati, pengaturan kadar air, dan lamanya pemanasan. Modifikasi HMT mampu meningkatkan suhu pasting (PT) dan menurunkan viskositas puncak (PV), breakdown (BV), viskositas akhir (FV), dan setback (SV) pada maizena. Penurunan viskositas pada maizena termodifikasi semakin besar dengan meningkatnya kadar air dan waktu pemanasan. Sementara pada tapioka, HMT memberikan pengaruh bervariasi pada tiap perlakuannya. Modifikasi HMT juga meningkatkan suhu puncak gelatinisasi (Tp) dan memperbesar kisaran suhu gelatinisasi (T c-To) pada tapioka dan maizena. Modifikasi HMT juga mempengaruhi perubahan sifat birefringence dan munculnya lubang pada pusat granula. Perubahan sifat birefringence dan munculnya lubang pada pusat granula tapioka termodifikasi terlihat pada perlakuan HMT dengan kadar air 25% dan waktu pemanasan selama 7 jam. Sementara pada maizena perubahan sifat birefringence juga teramati pada kadar air 25% namun pada waktu pemanasan yang lebih singkat yaitu pada modifikasi selama 4 jam.
iii
Secara garis besar perubahan, peningkatan kadar air memiliki peran penting untuk mengubah karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Modifikasi pati pada perlakuan kadar air 25% mampu memberikan pati termodifikasi HMT dengan suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dan stabilitas termal yang lebih baik terhadap pengaruh pemanasan dan pengadukan. Hal ini dikarenakan kadar air berperan penting dalam peningkatan dan distribusi panas pada microwave. Kadar air dan energi panas diperlukan untuk pergerakan dan reorientasi heliks ganda yang akan mengubah konformasi struktural granula. Perubahan ini disebabkan adanya peningkatan interaksi ikatan intra- dan intermolekuler granula termasuk pembentukan komplek amilosa-lipid pada maizena HMT. Pati termodifikasi dengan perlakuan kadar air 25% lalu dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh HMT dengan microwave terhadap karakteristik fungsional pati termodifikasi. Pemanasan microwave pada modifikasi HMT terlihat dapat menurunkan kristalinitas, menurunkan daya kembang dan kelarutan granula, meningkatkan absorpsi air dan minyak, memperbaiki sifat kestabilan gel terhadap freeze-thaw, serta menurunkan kejernihan pasta pati. Selain itu, pemanasan microwave pada modifikasi HMT juga terlihat mengubah profil tekstur gel.
iv
PENGARUH MODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DENGAN RADIASI MICROWAVE TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONAL TAPIOKA DAN MAIZENA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh WIDI PINASTHI F24062225
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
v
Judul : Pengaruh Modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) dengan Radiasi Microwave terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Tapioka dan Maizena Nama : Widi Pinasthi NIM : F24062225
Menyetujui,
Pembimbing,
(Elvira Syamsir, M.Si) NIP 19690809 199512.2.001
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc) NIP 19680505 199203.2.002
Tanggal lulus : 18 Februari 2011
vi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) dengan Radiasi Microwave terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Tapioka dan Maizena adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011 Yang membuat pernyataan
Widi Pinasthi F 24062225
vii
© Hak cipta milik Widi Pinasthi, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
viii
BIODATA PENULIS Widi Pinasthi. Lahir di Jakarta, 18 Juni 1988 dari ayah Wibowo Suprapto dan ibu Wiyati, sebagai putri pertama dari dua bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2006 dari SMA Negeri 81, Jakarta dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam berbagai kegiatan termasuk menjadi asisten mata kuliah Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan pada Februari-Juli 2010. Penulis juga berturut-turut dari tahun 2008 hingga 2010 memperoleh beasiswa Bantuan Biaya Mahasiswa (BBM) dari Dirjen. Pendidikan Tinggi Negeri Republik Indonesia dan Yayasan Goodwill International. Penulis juga pernah mengikuti berbagai training dan seminar diantaranya adalah Radio Announcer and Programmer Agri FM (radio komunitas kampus), Halal Assurance Management System in Food Industries, HACCP dan ISO 22000: 2005, Simposium Nasional Cassava-Potensi Masa Depan BULOG, ITB Entreprenuer Camp, dan Leadership and Public Speaking Training. Penulis juga aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler dan tergabung dalam HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) serta menjabat sebagai Bendahara pada periode 2007-2009. Pada tahun 2006, penulis terpilih sebagai Anggota Tim Delegasi IPB dalam Penampilan Seni Tradisional bersama UKM Lises Gentra Kaheman dalam Malam Penganugerahan Trophy Kampus Prima Olahraga yang diselenggarakan Kementrian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Pada kegiatan pelayanan masyarakat, penulis aktif berpartisipasi sebagai fasilitator diantaranya dalam Pelatihan Pengolahan Kerupuk Ikan untuk Pengembangan Usaha Kecil pada masyarakat nelayan Muara Angke, Jakarta atas kerjasama HIMITEPA dan Bursa Efek Indonesia (Indonesia Stock Exchange) pada tahun 2008. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan entreprenuer, pada tahun 2009 penulis menjadi partisipan 6th TRUST by DANONE: International Business Game yang diselenggarakan oleh Danone Group serta Finalis National Business Idea Competition BGTC yang diselenggarakan BEM FEM IPB. Terakhir, pada tahun 2010 penulis mendirikan usaha mandiri Cafe Friends 24 bersama teman-temannya yang menjual aneka sajian seafood dan mi jagung siap saji. Dari ide usaha mi jagung ini, pada tahun yang sama penulis dan teman-temannya kembali mengikuti ITB Entreprenuership Challenge di Kampus ITB, Bandung dan memperoleh penghargaan dalam kategori Best Presentation.
ix
KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karunia-Nya sehingga skripsi ini dengan judul “Pengaruh Modifikasi Heat Moisture Treatment dengan Radiasi Microwave terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Tapioka dan Maizena” berhasil diselesaikan. Dengan telah diselesaikannya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Keluargaku tercinta, Papi, Mami, dan Adikku Sonny atas segala doa, harapan, dan dukungan yang selalu tercurah kepada penulis. 2. Ibu Elvira Syamsir, M.Si selalu dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, nasihat, dan motivasi dalam pembuatan skripsi ini. 3. Bapak Nugraha Edhi Suyatma, DEA dan Ibu Dias Indrasti, M.Sc atas kesediaannya sebagai dosen penguji serta saran yang diberikan dalam pembuatan skripsi ini. 4. Segenap staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah membekali penulis ilmu dan pengetahuan yang sangat berharga. 5. Seluruh teknisi laboratorium atas dukungan dan bantuan yang diberikan, Pak Wahid; Pak Sidiq; Pak Yahya, Pak Sobirin, Bu Rubiah, Pak Gatot, Pak Rojak, Pak Jun, Pak Iyas, Pak Edi, Bu Antin, dan Mas Aldi.
6.
Seluruh keluarga besar Yayasan Goodwill International atas pembekalan berharga bagi penulis berupa beasiswa dan training soft skill. Kepada (alm.) Mr. Yasuo (Pepe) dan Mrs. Mizue Hara, penulis juga mengucapkan terimak kasih atas kepercayaan dan perhatian yang telah diberikan selama ini.
7.
Teman-teman kos Candy-Candy, Kak Eno, Kak Ira, Kak Dora, Kak Yuni, Kak Yeni, Kak Yeyet, Kak Ami, dan Nila atas kebersamaan yang hangat sebagai keluarga.
8.
Teman-teman seperjuangan ITP 43, semoga persahabatan selama ini selalu terjaga hingga akhir, karena “ITP, We.are The Best, Kompak, Yes!”
9.
Teman-teman seperjuangan semasa penelitian, Zakiyah, Bojes, Saphie, Saidah, Arini, CingCing, Nenk, Septi, Dedes, Nisa, Richie, Abdi, Yogi, Victor, Dyas, Yurin, Tsani, Sandra, Mas Nono, Mbak Alin, Mbak Siti, Mbak Elin, Mbak Titin, Goy, Dimas, Risma, dan Imel.
10.
Teman-teman seperjuangan penulis di Friends 24 Cafe, Widya, Rincil, Tito, Kak Riza, Kak Dilla, Kak Fahmi, Kak Tiwi, dan karyawan (Mas Dikdik, Mbak Olih, Bibi, dan Asep).
11.
Teman-teman satu bimbingan, Kak Azis, Kak Prita, Kak Sherli, Kak Tuti, Kevin, dan Kho Ti Ja. 12. Kakak dan adik-adik ITP 42 dan 44 khususnya yang tergabung dalam keluarga besar HIMITEPA 2008 dan 2009. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat kepada semua yang menggunakannya.
Bogor, Februari 2011
Penulis
iix
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR.....................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL...........................................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................................
vi
I.
PENDAHULUAN...........................................................................................................
1
II.
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................
3
A. SINGKONG (Manihot esculenta Crantz).........................................................
3
B. JAGUNG (Zea mays L.)....................................................................................
4
C. TAPIOKA..........................................................................................................
5
D. MAIZENA.........................................................................................................
7
E. PATI...................................................................................................................
7
F. GELATINISASI PATI......................................................................................
11
G. RETROGRADASI.............................................................................................
16
H. MODIFIKASI PATI..........................................................................................
17
I.
MODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT)................................
18
J.
TEKNOLOGI MICROWAVE............................................................................
21
METODE PENELITIAN.................................................................................................
22
A. BAHAN DAN ALAT........................................................................................
22
B. TAHAPAN PENELITIAN................................................................................
22
C. PROSEDUR ANALISIS...................................................................................
25
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................................
35
A. KARAKTERISTIK PATI NATIVE...................................................................
35
B. MODIFIKASI PATI DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT).
37
III.
IV.
C. PENGARUH FAKTOR PROSES TERHADAP KARAKTERISTIK PATI TERMODIFIKASI HMT...................................................................................
39
D. EVALUASI PENGARUH FAKTOR PROSES DAN PENENTUAN
V.
KONDISI HMT TERPILIH..............................................................................
50
E. KARAKTERISTIK PATI DENGAN KONDISI HMT TERPILIH..................
50
SIMPULAN DAN SARAN.............................................................................................
61
A. SIMPULAN.......................................................................................................
61
B. SARAN..............................................................................................................
62
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................
63
LAMPIRAN.....................................................................................................................
70
xi iii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Komposisi kimia singkong per 100 gram bahan...............................................
4
Tabel 2.
Komposisi kimia biji jagung.............................................................................
5
Tabel 3.
Komposisi kimia tapioka...................................................................................
6
Tabel 4.
Syarat mutu tapioka SNI 01-3451-1994...........................................................
6
Tabel 5.
Komposisi kimia pati jagung............................................................................
7
Tabel 6.
Karakteristik granula pati dari sumber tanaman berbeda..................................
8
Tabel 7.
Suhu gelatinisasi beberapa sumber pati............................................................
11
Tabel 8.
Karakteristik pasta berbagai jenis pati..............................................................
14
Tabel 9.
Analisis fisik pati native....................................................................................
34
Tabel 10.
Analisis kimia pati native..................................................................................
35
Tabel 11.
Profil amilografi dari beberapa perlakuan uji coba modifikasi HMT...............
38
Tabel 12.
Pengaruh pengeringan pada perlakuan pendahuluan HMT…………………..
39
Tabel 13.
Karakteristik pasta pati native dan modifikasi..................................................
41
Tabel 14.
Profil gelatinisasi pati native dan termodifikasi................................................
45
Tabel 15.
Evaluasi pengaruh faktor proses untuk menentukan kondisi HMT terpilih….
50
Tabel 16.
Intensitas dari puncak tertinggi difraktogram sinar X, kristalinitas relatif, dan
Tabel 17.
tipe kristal pati native dan termodifikasi...........................................................
52
Respon HMT terhadap atribut tekstur gel pati termodifikasi............................
60
ivxii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Bagian-bagian penyusun singkong...................................................................
3
Gambar 2.
Anatomi biji jagung dan bagian-bagiannya......................................................
5
Gambar 3.
Struktur granula pati..........................................................................................
9
Gambar 4.
Struktur kristal tipe A dan tipe B......................................................................
9
Gambar 5.
Struktur amilosa dan amilopektin.....................................................................
10
Gambar 6.
Profil RVA pada pati beras...............................................................................
15
Gambar 7.
Perubahan granula pati selama pengukuran......................................................
15
Gambar 8.
Struktur gel........................................................................................................
16
Gambar 9.
Diagram alir analisis karakterisasi pati native..................................................
23
Gambar 10.
Diagram pembuatan pati termodifikasi HMT...................................................
24
Gambar 11.
Diagram alir tahapan analisis pati termodifikasi HMT.....................................
25
Gambar 12.
Grafik amilografi tapioka native dan termodifikasi..........................................
40
Gambar 13.
Grafik amilografi maizena native dan termodifikasi........................................
40
Gambar 14.
Termogram DSC tapioka native dan termodifikasi..........................................
44
Gambar 15.
Termogram DSC maizena native dan termodifikasi.........................................
44
Gambar 16.
Granula tapioka native dan termodifikasi pada perbesaran 400x dan 1000x....
47
Gambar 17.
Granula maizena native dan termodifikasi pada perbesaran 400x dan 1000x..
48
Gambar 18.
XRD difraktogram tapioka native dan termodifikasi........................................
51
Gambar 19.
XRD difraktogram maizena native dan termodifikasi......................................
52
Gambar 20.
Grafik respon HMT terhadap swelling power tapioka dan maizena.................
54
Gambar 21.
Grafik respon HMT terhadap solubility tapioka dan maizena..........................
54
Gambar 22.
Diagram absorpsi air pada pati native dan termodifikasi..................................
56
Gambar 23.
Diagram absorpsi minyak pati native dan termodifikasi...................................
57
Gambar 24.
Grafik respon HMT pada freeze-thaw tapioka..................................................
56
Gambar 25.
Grafik respon HMT pada freeze-thaw maizena................................................
57
Gambar 26.
Diagram kejernihan pasta pati native dan termodifikasi...................................
58
Gambar 27.
Diagram derajat putih pati native dan termodifikasi………………………….
59
Gambar 28.
Kurva analisis profil tekstur gel………………………………………………
60
v xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Diagram alir proses penggilingan basah maizena.............................................
71
Lampiran 2.
Diagram alir proses pembuatan tapioka............................................................
72
Lampiran 3.
Karakteristik fisikokimia pati native.................................................................
73
A. Karakteristik fisik...............................................................................
73
B. Karakteristik kimia.............................................................................
73
Analisis kadar air pati pra-HMT.......................................................................
74
A. Tapioka...............................................................................................
74
B. Maizena...............................................................................................
75
Analisis profil amilografi pati native dan termodifikasi HMT..........................
76
A. Tapioka................................................................................................
76
B. Maizena...............................................................................................
77
Lampiran 6.
Analisis swelling power pati native dan termodifikasi HMT............................
78
Lampiran 7.
Analisis solubility pati native dan termodifikasi HMT.....................................
79
Lampiran 8.
Analisis absorpsi air dan minyak pati native dan termodifikasi HMT..............
80
Lampiran 9.
Analisis stabilitas freeze-thaw pati native dan termodifikasi HMT..................
81
Lampiran 10.
Analisis kejernihan pasta pati native dan termodifikasi HMT..........................
82
Lampiran 11.
Analisis derajat putih pati native dan termodifikasi HMT……………………
82
Lampiran 12.
Analisis profil tekstur pati native dan termodifikasi HMT................................
83
Lampiran 13.
Analisis difraksi sinar X pati native dan termodifikasi HMT............................
84
Lampiran 4.
Lampiran 5.
xiv vi
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Peningkatan jumlah penduduk yang diikuti dengan perkembangan gaya hidup turut meningkatkan konsumsi pangan dunia terutama pangan karbohidrat sebagai pemenuhan kebutuhan energi. FAO (2006) mencatat setiap tahunnya sekitar 60 juta ton pati diekstrak dari berbagai jenis serealia dan umbi-umbian untuk berbagai keperluan industri diantaranya sebagai bahan baku industri pangan. Indonesia dengan keanekaragaman sumber daya alamnya memiliki potensi untuk mengembangkan singkong dan jagung untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Singkong, di Indonesia umumnya dimanfaatkan untuk memenuhi konsumsi masyarakat dan sebagian lainnya dimanfaatkan sebagai sumber pati baik untuk keperluan domestik maupun ekspor (Howeler 2006). Pati singkong atau tapioka memiliki keunggulan dalam pasokan dan harga ekonomis serta kemudahan proses ekstraksinya dibandingkan sumber pati lainnya (FAO 2000). Pada aplikasinya sebagai ingredien maupun aditif dalam proses pengolahan pangan, tapioka memiliki keunggulan dari karakteristik fungsionalnya. Karakteristik fungsional yang dimaksud adalah viskositas tinggi, kejernihan pasta, dan flavor yang netral. Jagung, sebagai sumber pati selain singkong juga memiliki keunggulan seperti umur tanam yang singkat (± 4 bulan) serta produktivitas yang tinggi. Pati jagung (maizena) juga telah banyak dimanfaatkan secara luas pada industri pangan sebagai pengental, penstabil koloid, gelling agent, bulking agent, dan water retention agent (Singh et al. 2003). Kendati kedua pati tersebut telah banyak digunakan, seringkali ditemukan masalah yang diakibatkan karakteristik fungsional kedua pati tersebut. Umumnya masalah yang ditemukan adalah ketidakstabilan terhadap pengaruh mekanis, pemanasan (sterilisasi), dan kondisi asam serta kerusakan yang dipicu maupun disebabkan oleh retrogradasi (Dufour et al. 2000; Pongsawatmanit et al. 2007). Modifikasi pati merupakan cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi kelemahan pati tersebut. Potensi sumber pati lokal seperti singkong dan jagung dapat ditingkatkan melalui proses modifikasi sehingga menghasilkan pati bernilai tinggi dengan karakteristik yang sesuai untuk aplikasi industri. Modifikasi pati dapat dilakukan dengan beberapa cara salah satunya adalah modifikasi secara kimia. Modifikasi pati secara kimia (ikatan silang dan atau asetilasi) merupakan teknik modifikasi yang umum dilakukan. Akan tetapi, meningkatnya perhatian konsumen kepada “pangan alami” menyebabkan berkembangnya teknik modifikasi yang lebih aman dan alami. Modifikasi secara fisik yang mempergunakan aplikasi panas, kelembaban, pengadukan, dan radiasi dinilai dapat menghasilkan pati termodifikasi yang lebih aman dan alami khususnya untuk diaplikasikan pada produk pangan (Jacobs dan Delcour 1998). Salah satu modifikasi fisik yang sekarang berkembang adalah heat moisture treatment (HMT) yaitu proses modifikasi pada temperatur tinggi dengan kadar air terbatas pada periode waktu tertentu (Lim et al. 2002). HMT dapat mengubah karakteristik fisikokimia tepung tanpa merusak granula pati (Stute 1992; Jacobs dan Delcour 1998). Untuk mendukung aplikasinya pada proses modifikasi HMT tapioka dan maizena, perlu diketahui pengaruh modifikasi HMT dengan microwave pada karakteristik fisikokimia dan fungsional kedua pati tersebut.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh modifikasi HMT dengan teknik radiasi microwave pada tapioka dan maizena terhadap karakteristik fisikokimia dan fungsional pati termodifikasi yang dihasilkan.
C. MANFAAT PENELITIAN 1. Menyediakan informasi ilmiah mengenai karakteristik fisikokimia dan fungsional pati termodifikasi HMT yang berasal dari tapioka dan maizena. 2. Memberikan informasi tentang potensi aplikasi teknologi microwave pada teknik modifikasi HMT guna meningkatkan nilai tambah pati lokal.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SINGKONG (Manihot esculenta Crantz.) Tanaman singkong termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, family Euphorbiaceae, genus Manihot, dan species Manihot esculenta Crantz. (Rukmana 1997). Tanaman ini dapat tumbuh dengan subur serta memiliki toleransi tinggi terhadap tekanan lingkungan dan membutuhkan perawatan minimal. Oleh karena itu, tanaman ini juga diunggulkan sebagai tanaman yang mendukung ketahanan pangan nasional karena rendemen umbi yang cukup besar (El-Sharkawy 2004). Singkong merupakan sumber pati yang banyak digunakan di banyak negara di dunia baik sebagai sumber pangan maupun ekonomi melalui perkembangan industri yang memanfaatkan hasil ekstraksi yang berasal dari umbinya. Diperkirakan 10% dari total 60 juta ton pati yang diekstrak berasal dari umbi singkong (FAO 2006). Tanaman singkong memiliki umbi yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Umbinya berbentuk bulat memanjang, daging umbi mengandung pati dan tiap tanaman dapat menghasilkan 5-10 umbi (Rukmana 1997). Bagian penyusun umbi singkong diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagian-bagian penyusun singkong (CIAT 2009)
Daging umbi dapat berwana putih atau kuning. Komposisi kimia singkong dipengaruhi oleh faktor tanah, kondisi penanaman, kelembaban, suhu, varietas, dan umur tanaman. Hal lain yang perlu dicatat adalah kandungan racun sianida di dalam singkong. Racun tersebut ada dalam tanaman singkong (akar, batang, dan daun) dalam bentuk bebas maupun dalam bentuk terikat secara kimia yaitu sebagai senyawa kompleks linamarin glukosa. Tanaman yang mengandung sianogenik glukosida atau yang dikenal dengan phaseolunatin mulai terpecah menjadi sianida, aseton, dan glukosa dengan bantuan aksi dari enzim linase. Adanya sianida mudah dikenali dengan munculnya rasa pahit (Wirakartakusumah 1989). Tahap-tahap pengolahan sejak pengecilan ukuran hingga pengolahan lebh lanjut akan mengurangi kadar racun ini sampai ke tingkat yang tidak membahayakan (Wirakartakusumah 1989). Komposisi kimia singkong ditunjukan pada Tabel 1.
3
Tabel 1. Komposisi kimia singkong per 100 gram bahan Komponen Jenis Singkong Putih
Kuning
Energi (kal)
146.00
157.00
Protein (g)
1.20
0.80
Lemak (g)
0.30
0.30
Karbohidrat (g)
34.70
37.90
Kalsium (mg)
33.00
33.00
Fosfor (mg)
40.00
40.00
Besi (mg)
0.70
0.70
Vitamin A (SI)
0.00
385.00
Vitamin B (mg)
0.06
0.06
Vitamin C (mg)
30.00
30.00
Air (g)
62.50
60.00
Bagian yang dapat dimakan (g)
75.00
75.00
Sumber : Departemen Kesehatan RI (1990)
B. JAGUNG (Zea mays L. ) Tanaman jagung tergolong dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Poales, family Graminae, genus Zea, spesies Zea mays L. Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting setelah beras dan gandum. Selain dimanfaatkan sebagai makanan pokok. pemanfaatan jagung juga sangat luas diantaranya sebagai pakan ternak. bahan baku industri pangan yang berbasis jagung (pipil, minyak, tepung, dan pati), dan lain-lain (Ofori dan Kyei-Baffour 2010). Saat ini jagung termasuk tanaman yang digalakkan menjadi bahan pangan lokal penunjang usaha ketahanan pangan serta berperan strategis dalam perekonomian nasional. Untuk mencapai kesuksesan usaha tersebut. kegiatan budi daya tanaman jagung terutama jagung varietas unggul yang didukung penerapan teknologi budi daya yang maju harus terus didukung baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Jagung lengkap terdiri atas kelobot, tongkol, biji, dan rambut. Menurut Effendi dan Sulistiati (1991). tongkol jagung merupakan simpanan untuk pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Panjang tongkol bervariasi antara 8-12 cm. pada umumnya. tongkol jagung mengandung 300-1000 biji jagung. biji melekat pada tongkol jagung dan berbentuk bulat dan memiliki warna yang bervariasi dari putih, kuning, merah, ungu, dan hitam. Secara anatomi. biji jagung terdiri atas tiga bagian pokok yaitu kulit (perikarp), endosperma, dan lembaga. Anatomi biji jagung dapat dilihat pada Gambar 2. Biji jagung disebut kariopsis yaitu memiliki dinding ovary atau perikarp menyatu dengan kulit biji atau testa membentuk daging buah. Perikarp merupakan lapisan luar tipis yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron serta berfungsi mencegah kerusakan biji dari organism pengganggu dan kehilangan air. Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung yaitu 75% dari bobot biji. Fungsi endosperm adalah sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Lembaga merupakan tempat perkecambahan biji. yang terdiri atas plumula. meristem. skutelum.
4
dan koleoptil (Subekti et al. 2007 di dalam Lestari 2000). Tabel 2 memperlihatkan komposisi kimia biji jagung.
Gambar 2. Anatomi biji jagung dan bagian-bagiannya (Subekti et al. 2007 di dalam Lestari 2009) Tabel 2. Komposisi kimia biji jagung Komponen
Jumlah (%bk) Pati
Protein
Lemak
Serat
Lain-lain
Endosperma
86.4
8.0
0.8
3.2
0.4
Lembaga
8.0
18.4
33.2
14.0
26.4
Perikarp
7.3
3.7
1.0
83.6
4.4
Tip cap
5.3
9.1
3.8
77.7
4.1
Sumber: Johnson (1991)
C. TAPIOKA Tapioka merupakan hasil ekstraksi umbi singkong. Pati ini mudah diekstrak karena rendahnya kandungan protein, lemak, dan lain-lain (Moorthy 2004) sehingga lebih sering digunakan daripada pati yang berasal dari umbi maupun serealia lainnya (FAO 2006). Komposisi kimia tapioka ditunjukan pada Tabel 3. Kadar pati tapioka tidak dipersyaratkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Rahman (2007) melaporkan kadar pati pada tepung tapioka berkisar antara 72-82 (%bb) dan kadar abu pada tapioka berkisar antara 0.01-0.04 (%bb). Menurut Morthy (2004). kadar amilosa tepung tapioka berada pada kisaran 20-27% dari kadar patinya dan kadar lipid pada tapioka sangat rendah (<0.1%). Karakteristik tapioka akan mempengaruhi produk yang dihasilkan. termasuk juga pH. The Tapioca Institute of America (TIA) mempunyai standar spesifikasi untuk tapioka. Salah satunya adalah standar untuk pH tapioka yaitu sekitar pH 4.5-6.5 (Balagopalan et al.. 1988). sedangkan nilai keasaman tapioka berdasarkan SNI 01-3451-1994 ditetapkan dalam bentuk derajat asam yaitu maksimal sebesar 3 NaOH 1 N/ 100g . Syarat mutu tapioka berdasarkan SNI dilihat pada Tabel 4.
5
Komponen
Tabel 3. Komposisi kimia tapioka Jumlaha
Jumlahb
Serat
0.03
0.50
Air (%bb)
11.40
8.10
Abu
0.06
0.33
Karbohidrat
87.52
98.54
Protein
0.76
0.86
Lemak
0.19
0.26
Pati
85.19
86.90
Amilosa
22.51
28.35
Total gula
1.43
-
0.40
-
HCN (ppm) a
Sumber : Febriyanti dan Wirakartakusumah (1990) b Pangestuti (2010)
No.
Tabel 4. Syarat mutu tapioka SNI 01-3451-1994 Persyaratan Jenis Uji Satuan Mutu I Mutu II
Mutu III
1.
Kadar air (b/b)
%
Maks.15
Maks.15
Maks.15
2.
Kadar abu (b/b)
%
Maks. 0.60
Maks. 0.60
Maks. 0.60
3.
Serat dan benda asing (b/b) Derajat putih (BaSO4 = 100%)
%
Maks. 0.60
Maks. 0.60
Maks. 0.60
%
Min. 94.5
Min. 92
< 92
Engler ml 1 N NaOH/ 100g
3-4
2.5-3
< 2.5
Maks. 3
Maks. 3
Maks. 3
-Timbal (Pb)
mg/kg
Maks. 1.0
Maks. 1.0
Maks. 1.0
-Tembaga (Cu)
mg/kg
Maks. 10
Maks. 10
Maks. 10
-Seng (Zn)
mg/kg
Maks 40
Maks 40
Maks 40
-Raksa (Hg)
mg/kg
Maks 0.05
Maks 0.05
Maks 0.05
Arsen (As)
mg/kg
Maks. 0.5
Maks. 0.5
Maks. 0.5
Koloni/g
Maks.1.0x106
Maks.1.0x106
Maks.1.0x106
Koloni/g
Maks.10
Maks.10
4. 5.
Kekentalan
6.
Derajat asam
o
Cemaran logam
7.
Cemaran mikroba -Angka 8.
Total -E.coli -Kapang
Lempeng
Koloni/g
4
Maks.1.0x10
Maks.10 4
Maks.1.0x10
Maks.1.0x104
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1994)
6
D. MAIZENA Pati jagung merupakan ingredien penting yang digunakan secara luas pada industri pangan sebagai pengental, penstabil koloid, gelling agent, bulking agent, dan water retention agent (Singh et al. 2003). Dilihat dari perbandingan amilosa dan amilopektin. pati jagung dapat digolongkan menjadi pati jagung biasa, pati jagung berlilin (waxy/ glutinous corn), dan pati jagung tinggi amilosa (high-amylose corn). Tabel 5 berikut memperlihatkan komposisi kimia dari berbagai tipe pati jagung. Pati jagung diperoleh dari ekstraksi biji jagung dengan metode penggilingan basah. Contoh diagram alir yang memperlihatkan proses penggelingan basah pati jagung dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 5. Komposisi kimia pati jagung Pati
Amilosa
Amilopektin
Lipid
Protein
Fosfat
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
Normal maizena
25
75
0.80
0.35
0.090
Waxy maizena
0
100
0.20
0.25
0.024
Amilomaize - V
53
47
0.70
0.30
0.090
Sumber: Robyt (2008)
E. PATI 1. Morfologi Granula Pati merupakan cadangan makanan tanaman berupa polisakarida yang tersimpan pada akar dan biji-bijian serta dalam endosperma kernel biji-bijian. Pati disintesis dalam bentuk granula yang tersimpan dalam organel selular (amiloplas) (Jacobs dan Delcour 1998). Menurut Tester et al. (2004). granula pati yang disintesis dengan susunan yang bervariasi pada setiap jaringan dan jenis tanaman. Variasi granula diantaranya adalah diameter ukuran, bentuk, distribusi ukuran, model asosiasi, dan komposisi dipengaruhi asal tanaman (Tester et al. 2004). Variasi granula yang dimiliki pada setiap sumber pati mempunyai pengaruh terhadap gelatinisasi. Misalnya pada pati dengan ukuran granula yang lebih besar memiliki ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih mudah putus bila dibandingkan dengan pati yang memiliki granula yang lebih kecil (Wattanachant et al. 2002). Tabel 6 menunjukkan keanekaragaman granula pati dari beberapa jenis tanaman.
7
Pati
Tabel 6. Karakteristik granula pati dari sumber tanaman berbeda Tipe Bentuk Distribusi Ukuran (µm)
Maizena (waxy dan normal)
Serealia
Spherical/ polihedral
Unimodal
2-30
Amylomaize
Serealia
Tidak beraturan
Unimodal
2-30
Umbi
Lentikular
Unimodal
5-100
Serealia
Polihedral
Unimodal
3-8 (tunggal) 150 (kumpulan)
Tapioka
Akar
Spherical/ lentikular
Unimodal
5-45
Sagu
Palem
Oval
Unimodal
20-40
Serealia
Lentikular (tipe A) Spherical (tipe B)
Bimodal
15-35 2-10
Kentang Beras
Gandum
Sumber: Tester dan Karkalas (2002)
2. Struktur Granula Pati disintesis dalam bentuk granula yang tersusun atas lapisan konsentris yang menunjukkan perbedaan kecenderungan indeks refraksi, densitas, kristalinisasi, ketahanan terhadap hidrolisis asam maupun enzim, serta pertumbuhan lapisan cincin granula (French 1984). Pertumbuhan lapisan cincin tersebut muncul pada periode biosintesis dan dipengaruhi fluktuasi dari rata-rata dan atau mode penyimpanan pada periode tersebut. Model struktur granula ditunjukkan pada Gambar 3. Rantai polimer glukosa pada granula pati bergabung satu sama lain melalui ikatan hidrogen yang kuat membentuk kristal atau misela (Swinkels 1985). Misela merupakan bagian molekul linier yang berikatan dengan rantai terluar molekul cabang (Pomeranz 1991). Ikatan ini terjadi apabila bagian-bagian linier molekul pati berada pararel satu sama lain. sehingga gaya ikatan hidrogen akan menarik rantai ini bersatu (Swinkels 1985). Di antara misela terdapat daerah yang renggang atau amorphous (Pomeranz 1985). Menurut Kaletunç dan Breslauer (2003). zona amorphous lebih mudah dimasuki oleh air karena strukturnya tidak beraturan. Amilosa sebagian besar berada pada bagian amorphous dari granula pati dan sebagian kecil menyusun bagian kristalin. Lamella kristalin disusun atas rantai ganda amilopektin yang membentuk jaringan pararel sedangkan titik percabangan amilopektin berada pada zona amorphous. Zona kristalin lebih resisten terhadap reaksi enzimatis. reaksi kimia dan penetrasi oleh air daripada daerah amorphous pada granula pati. Menurut Hoseney (1998) granula pati terdiri dari ± 30% daerah kristalin. Senada dengan yang disampaikan Swinkels (1985) bahwa daerah kristalin berbagai varietas pati ± 25-50% dari total granula pati. Menurut Taggart (2004) di bawah mikroskop granula pati akan merefleksikan cahaya terpolarisasi dan memperlihatkan pola „maltose cross’ (pola silang) yang dikenal dengan nama sifat birefringence. Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi intensitas birefringence-nya lemah jika dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney 1998). Kehilangan sifat birefringence disebabkan pecahnya molekul pati yang dipengaruhi oleh panas. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat kristal (Hoseney 1998).
8
Gambar 3. Struktur granula pati (Tester et al. 2004) (A) Penyusunan mikrokristalin granula yang terpisah oleh pertumbuhan cincin amorphous (B) Perbesaran tampilan daerah amorphous dan kristalin (C) Struktur heliks ganda yang dibentuk dari cabang amilopektin yang meningkatkan lamella kristalin di mana titik percabangan berada pada daerah amorphous.
Difraksi sinar X telah digunakan untuk mengungkap karakteristik dari struktur kristalin granula pati (Hoover 2001). Tiga pola sinar X yang berbeda yaitu tipe A, B, dan C. Tipe Amerupakan karakteristik utama dari granula pati serealia. tipe B- terdapat pada umbi-umbian dan pati dengan kadar amilosa tnggi. dan tipe C ditemukan pada umbi polong-polongan.umbi-umbian. dan beberapa pati yang berasal dari buah maupun batang. Tipe C merupakan intermedit antara pola A dan B (Tester et al. 2004). Tipe kristal pada kristalin umumnya dipengaruhi oleh panjang rantai (CL) [tipe A CL < 19.7; tipe B CL ≥ 21.6; dan beberapa pati dengan panjang rantai (CL) antara 20.3 hingga 21.3 menunjukkan tipe A, B, atau C] (Hoover 2001). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kristalin adalah suhu pertumbuhan. alkohol dan asam lemak (Hoover 2001). Struktur kristal tipe A- dan tipe B- ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur kristal tipe A dan tipe B (Tester et al. 2004)
Hoover (2001) mengungkapkan bahwa heliks ganda pada tipe A dan tipe B memiliki kesamaan ditinjau dari struktur heliksnya. tapi keduanya memiliki perbedaan jika dilihat dari model pengepakan heliks dan air pada kristal. Pengepakan heliks ganda pada kristal tipe A cenderung lebih kompak dengan kandungan air yang lebih sedikit. sementara tipe B memiliki struktur yang lebih terbuka dengan memiliki inti heliks terhidrasi sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4. Penyusunan granula pati dapat bervariasi yang dikarenakan oleh letak hilum (Tester et al. 2004). Tipe kristal pada granula pati dapat berubah yang sebagaimana pada pati
9
maizena yang berubah dari tipe A ke tipe B. Perubahan ini disebabkan adanya penurunan pada kristalinitas yang diikuti dengan kenaikan kandungan amilosa (Cheetam dan Tao 1998).
3. Amilosa dan Amilopektin Granula pati terdiri atas dua molekul yang dapat dipisahkan dengan air panas. amilosa dan amilopektin. yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 2002). Gambar 5 memperlihatkan struktur amilosa dan amilopektin. Perbedaan antara kedua makromolekul tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul, dan pengaturan posisi pada granula pati.
Gambar 5. Struktur amilosa dan amilopektin (Robyt 2008)
Amilosa tersusun atas molekul D-glukopiranosa yang berikatan α-(1,4) dalam struktur rantai lurus. Molekul amilosa lengkap dapat terdiri atas 3000 unit D-glukopiranosa. Menurut Taggart (2004). amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana dapat membentuk interaksi molekular yang kuat pada gugus hidroksil. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada amilopektin. Interaksi antar gugus hidroksil tersebut akan membentuk jaringan tiga dimensi ketika molekul berasosiasi ketika pendinginan. karakteristik inilah yang berperan dalam pembentukan gel pada pemasakan dan pendinginan pasta pati. Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa sehingga amilopektin biasanya menjadi komponen utama dari pati. Rasio amilosa dan amilopektin dari berbagai jenis sumber pati sangat bervariasi. berkisar antara 17-70% amilosa dan 30-83% amilopektin seperti yang dinyatakan (Robyt 2008). Rasio amilosa dan amilopektin tersebut berpengaruh terhadap sifat dan derajat gelatinisasi pati. Selain itu. menurut Robyt (2008) molekul amilopektin memiliki rantai distribusi yang berbeda-beda (A, B, dan C) yang ditentukan oleh panjang rantai pada molekul amilopektin. Rasio molar dari panjang pendeknya rantai amilopektin dipengaruhi sumber pati dan varietasnya. Amilopektin terdiri atas molekul D-glukosa yang berikatan α-(1,4) dan mengandung ikatan α-(1,6) pada percabangan rantainya. Amilopektin juga dapat membentuk kristal. tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart 2004). Pati yang memiliki persentase amilopektin yang tinggi akan
10
mengentalkan suspensi tetapi tidak membentuk gel. hal ini karena molekul tidak berasosiasi dan membentuk ikatan kimia seperti molekul amilosa. Sehingga dapat dikatakan semakin banyak amilopektin. maka akan semakin kental pasta pati yang dihasilkan dan semakin banyak amilosa maka akan semakin kokoh gel yang terbentuk.
F. GELATINISASI PATI Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Gelatinisasi diawali dengan pembengkakan granula bersifat tidak dapat balik (irreversible) yang dipengaruhi oleh suhu dan kadar air, menghasilkan peningkatan viskositas, serta kondisi pemanasan dan tipe granula pati (Huang dan Rooney 2001). Pembengkakan granula disebabkan difusi air ke dalam granula yang diikuti dengan masuknya air ke daerah amorphous. yang akhirnya mengakibatkan pembengkakan granula secara menyeluruh. Pelunakan struktur pada zona amorphous diperlukan sebelum peleburan struktur pada zona kristalin pada granula terjadi (Jacobs dan Delcour 1998). Fenomena tersebut diikuti dengan hilangnya formasi silang (birefrigence) yang diamati pada mikroskop dengan cahaya terpolarisasi (Robyt 2008). Winarno (2004) menyatakan bahwa suhu di mana sifat birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Terlihat pada Tabel 7 bahwa suhu gelatinisasi pada suatu suspensi dari berbagai sumber pati merupakan kisaran. Perbedaan suhu gelatinisasi ini berkaitan dengan perbedaan karakteristik granula yang bervariasi yaitu ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk pengembangan.
Tabel 7. Suhu gelatinisasi beberapa sumber pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC)a Normal maizena
62-80
Waxy maize
63-72 b
Amylomaize
66-170
Kentang
58-65
Tapioka
52-65
Gandum
52-85
a
Diukur dari suhu gelatinisasi awal untuk menyempurnakan pemastaan Di bawah kondisi umum pemasakan. larutan dipanaskan mencapai 95-100oC. tetapi pati amylomaize belum membentuk kekentalan. Pemastaan (pasting) tidak terjadi hingga suhu mencapai 160-170oC
b
Sumber: Fennema (1996)
Selain itu. suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Perubahan struktural yang terjadi selama gelatinisasi meliputi perubahan bentuk dan ukuran granula, absorpsi air dan pembengkakan granula, peleburan struktur kristalin, keluarnya amilosa dari granula, dan perusakan struktur granula (~85oC) (Jacobs dan Delcour 1998) yang diakibatkan meningkatnya pergerakan molekul dalam granula pati sehingga dapat memecah ikatan hidrogen dan hidrofobik antar molekul dalam daerah kristalin
11
granula pati. Perubahan struktural yang terjadi demikian merupakan peristiwa pemastaan (pasting) yang merupakan kelanjutan dari gelatinisasi.
1. Faktor yang Mempengaruhi Gelatinisasi Gelatinisasi merupakan fenomena kompleks yang bergantung pada jenis pati. konsentrasi pati yang digunakan, suhu pemastaan (pasting), atau suhu awal terjadinya gelatinisasi, ukuran granula pati, presentase amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul pati di dalam granula, tipe granula, prosedur pemasakan (suhu, pH, waktu, agitasi, metode), dan keberadaan komponen lain (Pomeranz 1985; Moorthy 2004; Swinkels 1985). Menurut Winarno (1992). suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan. suhu tersebut akan semakin lambat tercapai. sampai suhu tertentu kekentalan tidak berubah. bahkan kadang-kadang menurun. Selanjutnya menurut Winarno (1992). Pati dengan butir yang lebih besar akan mengembang pada suhu yang lebih rendah daripada butir pati berbutir kecil. Hal ini dikarenakan granula pati yang lebih besar mempunyai ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih lemah. Menurut Wurzburg (1968) pemasakan di bawah pH 5 atau di atas pH 7 cenderung menurunkan suhu gelatinisasi dan mempercepat proses pemasakan. Menurut Franco et al. (2002) kondisi asam yang tinggi menyebabkan hidrolisis ikatan glukosida pada zona amorphous granula pati. Hidrolisis ikatan glukosida menyebabkan fragmentasi dan pembentukan dekstrin atau polimer berantai pendek. Hidrolisis molekul pati terjadi pada absorpsi air yang minim pada granula yang mengakibatkan pengenceran pada pasta yang dipanaskan maupun ketidakkompakan struktur pada gel yang dikarenakan pemutusan ikatan hidrogen. Hal ini senada dengan pernyataan Charley (1982) bahwa asam organik seperti asam sitrat, asam malat, dan asam tartarat yang ditambahkan dalam proses dapat membantu pemutusan ikatan hidrogen sehingga menyebabkan menurunnya kekentalan pasta pati. breakdown yang lebih cepat dan menurunnya kekuatan gel. Sementara pada pH yang sangat tinggi seperti yang diutarakan Eliasson dan Gudmundsson (2006) akan terjadi cold gelatinization di mana granula pati akan mengembang pada suhu ruang dan amilosa akan larut. Penambahan sejumlah gula terutama disakarida sukrosa dan laktosa dari susu akan menurunkan viskositas pasta dan firmness dari produk pati yang dipanaskan maupun yang didinginkan. Gula turut menghambat absorpsi air oleh granula sehingga pembengkakan menjadi tidak sempurna. Seperti juga garam. gula akan meningkatkan temperatur gelatinisasi secara signifikan pada konsentrasi di atas 60%. Komposisi kimia lain pada granula pati seperti lemak dan protein juga dapat mempengaruhi proses gelatinisasi. Adanya lemak dan protein yang menutupi atau mengadsorpsi pada permukaan granula pati dapat menyebabkan gangguan pada hidrasi dan viskositas pati. Lemak merupakan penahan air sehingga air tidak dapat mudah berpenetrasi selama proses gelatinisasi. Akibatnya granula pati tidak membengkak sempurna dan amilosa yang keluar menjadi lebih sedikit, sehingga menyebabkan penurunan viskositas pasta pati dan menurunnya kekuatan gel. Sedangkan protein dapat menyelimuti granula pati (membentuk kompleks dengan amilosa) sehingga dapat menghambat pengembangan dan pati menjadi sukar tergelatinisasi (Kilara 2006). Pengaruh kondisi pemasakan seperti agitasi dan temperatur juga turut mempengaruhi proses gelatinisasi. Agitasi atau stirring yang diberikan pada awal maupun selama proses gelatinisasi memberikan pengembangan granula dan memberikan suspensi yang lebih seragam.
12
Namun. pengadukan berlebih setelah gelatinisasi dapat merusak granula sehingga menyebabkan suspensi menjadi encer. Gelatinisasi sempurna terjadi pada suhu hingga 203oF (95oC). walaupun pati memiliki suhu gelatinisasi yang beragam tergantung sumber dan varietas patinya. Lama pemanasan yang berlebihan akan menyebabkan pati menjadi encer yang dikarenakan pergerakan berlebih granula pati yang menyebabkan kerusakan. Jenis panas yang diaplikasikan seperti panas lembab dibutuhkan untuk terjadinya gelatinisasi. Sedangkan panas kering dapat menyebabkan pati terhidrolisis. pembentukan dekstrin. warna coklat. dan aroma „panggang‟. Walaupun demikian, efek pencoklatan tersebut diinginkan dalam produk tertentu (Vaclavik dan Christian 2008).
2. Profil Gelatinisasi Karena gelatinisasi pati merupakan proses endotermik. Differential Scanning Calorimetry (DSC) dapat mengukur baik temperatur maupun entalpi gelatinisasi. DSC telah lama digunakan untuk mempelajari temperatur gelatinisasi pati. DSC mengukur perubahan temperatur gelatinisasi [(onset [To], midpoint [Tp], conclusion [Tc], dan entalpi (∆H)]. Noda et al. (1996) mempostulasikan parameter DSC (To, Tp, Tc, dan ∆H) yang dipengaruhi arsitektur molekul pada daerah kristalin yang berhubungan pada distribusi amilopektin rantai pendek (DP 6-11) dan bukan oleh proporsi daerah kristalin yang berhubungan pada rasio amilosa-amilopektin. Jane et al. (1999) menambahkan bahwa To rendah merupakan ciri pati dengan proporsi rantai cabang amilopektin pendek yang lebih besar. Tp mengindikasikan arsitektur granula (kualitas zona kristalin) yang mana pati dengan suhu puncak tinggi menunjukkan proporsi rantai panjang yang lebih besar pada molekul amilopektin sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk mendisosiasi granula secara menyeluruh (Karim et al. 2007). Sementara perubahan entalpi (∆H) yang terjadi selama gelatinisasi umumnya dikarenakan hilangnya susunan heliks ganda dan bukan dikarenakan hilangnya kristalinitas. Namun demikian. Hoover (2001) menyatakan bahwa ∆H menggambarkan keseluruhan kristalinitas (kualitas dan jumlah kristalit pati) dari amilopektin. Moorthy (2004) menambahkan bahwa ∆H berkaitan dengan kristalinitas. ikatan intermolekuler. kecepatan pemanasan pada suspensi. dan komposisi kimia pati. Gernat et al. (1993) menyatakan bahwa jumlah heliks ganda pada pati native sangat berhubungan kuat dengan kandungan amilopektin. dan kristalinitas granula meningkat dengan adanya amilopektin. Gelatinisasi dan pengembangan granula dipengaruhi oleh struktur molekul amilopektin (panjang rantai, percabangan, berat molekul, dan polidispersitas), komposisi pati (rasio amilosa-amilopektin, komplek amilosa-lipid, dan kandungan fosfor), dan arsitektur granula (rasio daerah kristalin-amorphous) sebagaimana yang dinyatakan Tester (1997).
3. Profil Amilografi Ditinjau dari sifat reologinya. pati yang tergelatinisasi memiliki sifat mengalir sehingga dapat diukur nilai kekentalannya. Tetapi setelah proses gelatinisasi selesai. maka sifatnya dapat menjadi lebih elastis (gel) sehingga yang dapat diukur adalah nilai kekuatan gelnya. Dalam beberapa kondisi, pati yang tergelatinisasi juga dapat bersifat viskoelastik. Viskositas merupakan karakteristik pati yang membuatnya aplikatif di banyak industri, seperti pengental. Meski demikian. sifat fungsional granula pati sangat beragam tergantung jenis pati yang digunakan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempelajari karakteristik fungsional pati untuk
13
menentukan pati mana yang akan digunakan dalam pengolahan. Tabel 8 menunjukan karakteristik pasta dari berbagai jenis pati.
Viskositas relatif
Tabel 8. Karakteristik pasta berbagai jenis pati Normal Waxy Amylomaize Kentang Tapioka maize maize Medium Medium- Sangat rendah Sangat Tinggi tinggi tinggi
Reologi pastaa
Pendek
Panjang (kohesif)
Pendek
Sangat panjang
Panjang (kohesif)
Pendek
Kejernihan pasta
Opak
Sedikit keruh
Opak
Jernih
Jernih
Opak
Retrogradasi
Tinggi
Sangat rendah
Sangat tinggi
Medium hingga rendah
Medium
Tinggi
Karakteristik
a
Gandum Rendah
“Aliran pendek (short flow)” dimiliki pati dengan sifat pseudoplastic dan menunjukkan shear-thinning dan larutan yang kental. Sementara pati dengan “aliran panjang (long flow)” hampir menunjukkan shearthinning yang sangat kecil dan cenderung tidak ada.
Sumber : Fennema (1996)
Berdasarkan profil yang terbentuk. tipe gelatinisasi pati menurut Collado et al. (2001) dapat digolongkan menjadi empat tipe yaitu A, B, C, dan D. Tipe A memiliki ciri kemampuan pengembangan yang tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas puncak. namun akan mengalami penurunan viskositas yang tajam selama pemanasan. Tipe B memiliki kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Tipe C memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan bahkan dapat meningkat selama pemanasan. Tipe D cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mengembang sehingga tidak dapat membentuk pasta apabila dipanaskan. Pati dengan profil gelatinisasi tipe A sebagaimana yang dinyatakan oleh Herawati (2009) umumnya mempunyai kandungan amilosa yang rendah. Pati dengan kandungan amilosa rendah (amilopektin tinggi) akan mengalami pengembangan yang tinggi saat tergelatinisasi yang ditandai dengan tingginya viskositas pasta. Namun apabila pemanasan dilanjutkan. viskositas pasta akan turun dengan tajam. Menurut Wattanachant et al. (2002) pati dengan kandungan amilosa tinggi akan mengalami pengembangan terbatas karena keberadaan amilosa akan mencegah pengembangan granula pati selama pemanasan. Hal ini ditandai dengan viskositas pasta pati yang cenderung rendah. Apabila pemanasan dilanjutkan maka viskositas pasta pati tersebut cenderung stabil bahkan dapat mengalami peningkatan sehingga pati tersebut dapat dikategorikan pati dengan profil gelatinisasi tipe C (Collado et al. 2001). Pati yang memiliki profil gelatinisasi tipe C adalah kacang hijau, navy bean, dan pinto bean (Kim et al. 1996) dan pati yang telah mengalami modifikasi ikatan silang (Wattanachant et al. 2003). Pati dengan kandungan amilosa moderat umumnya mempunyai viskositas puncak yang lebih rendah dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A namun lebih tinggi dari pati dengan profil gelatinisasi tipe C sehingga digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B.
14
Perilaku gelatinisasi dan profil pemastaan dari campuran tepung-air dan pati-air dapat dimonitor menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) yang merupakan viskometer dengan pemanasan dan pendinginan sekaligus untuk mengukur resistansi sampel terhadap penanganan dengan pengadukan terkontrol. Prinsip pengukuran RVA sama dengan Brabender Amilograf hanya saja waktu pengukurannya lebih singkat (15-20 menit). RVA dapat memberikan simulasi proses pengolahan pangan dan digunakan untuk mengetahui pengaruh proses tersebut terhadap karakteristik fungsional dan struktural dari campuran tersebut. sebagaimana dinyatakan Copeland et al. (2009).
Gambar 6. Profil RVA pada pati beras (Copeland et al. 2009)
Gambar 7. Perubahan granula pati selama pengukuran (Fennema 1996)
Ketika suspensi pati diaduk dan dipanaskan. granula pati akan menyerap air sehingga terjadi pembengkakan granula yang menyebabkan suspensi pati menjadi mengental. Pati yang membengkak tersebut akan mudah dipecah oleh pengadukan sehingga viskositas menurun. Pada granula yang membengkak amilosa yang terhidrasi akan berdifusi keluar dari granula dan bercampur dengan air, fenomena ini akan bertanggung jawab pada beberapa aspek dari perilaku pasta pati. Pada waktu pendinginan, beberapa molekul pati secara parsial akan berasosiasi kembali untuk membentuk gel. Proses ini dinamakan retrogradasi. Firmness dari gel yang terbentuk tergantung pada pembentukan junction zone. Pembentukan junction zone dipengaruhi oleh adanya lemak, protein, gula, asam, dan kandungan air (Fennema. 1996).
15
G. RETROGRADASI Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pada saat pendinginan beberapa molekul pati yang telah tergelatinisasi akan berasosiasi kembali untuk membentuk gel. Gel merupakan sistem cairan yang memiliki sifat seperti solid (Hoseney 1998). Interaksi molekular (terutama ikatan hidrogen antar rantai pati) akan terjadi setelah pendinginan dan disebut sebagai fenomena retrogradasi. Percabangan amilopektin akan mencegah terjadinya ikatan intermolekuler yang diperlukan untuk pembentukan gel. Sedangkan pati yang mengandung amilosa. pembentukan ikatan molekulernya akan lebih mudah sehingga terbentuklah struktur jaringan tiga dimensi yang disebut gel pada konsentrasi pati yang lebih rendah Hodge dan Osman (1976) yang disitasi Pangestuti (2010). Dengan terbentuknya struktur jaringan tiga dimensi itu maka air yang tadinya bebas akan terperangkap dalam jaringan itu seperti yang terlihat pada Gambar 8. Tipe struktur yang terlihat pada Gambar 8 dikenal dengan struktur misel berumbai (fringed micelle). Rantai pararel yang terbentuk dari sisi ke sisi mengindikasikan pengaturan struktur kristalin dari junction zone. Daerah yang berada diantara junction zone mengandung air yang terperangkap dalam rantai polimer.
Gambar 8. Struktur gel (Fennema 1996)
Kemampuan pati untuk membentuk tekstur pasta atau gel yang kental ketika dipanaskan dalam air merupakan karakter yang penting untuk aplikasi dalam produk. Selain itu. konsentrasi pembentukan gel juga dipengaruhi oleh pH larutan. Winarno (1992) menyatakan bahwa pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Bila pH terlalu tinggi. pembentukan gel makin cepat tercapai tapi cepat turun kembali. sedangkan pada pH yang terlalu rendah pembentukan gel akan terjadi lebih lambat dari pH 10, dan jika pemanasan diteruskan viskositas tidak berubah. Menurut Hoover (2001) pembentukan awal firmness gel selama retrogradasi terkait dengan formasi matriks gel amilosa dan berikut penurunan firmness gel yang diakibatkan oleh kristalisasi dapat balik pada molekul amilopektin. Selama retrogradasi, amilosa membentuk asosiasi heliks ganda dari 40-70 unit glukosa (Singh dan Singh 2007). sedangkan kristalisasi amilopektin terjadi akibat asosiasi cabang pendek terluar (DP = 15) (Singh dan Singh 2007). Pati teretrogradasi menunjukan pola difraksi sinar X tipe B (Zobel 1988) yang terdapat zona kristalin dan amorphous.
16
Firmness gel disebabkan oleh retrogradasi yang berhubungan dengan sineresis dan kristalisasi amilopektin yang menyebabkan terbentuknya gel yang keras (Miles et al. 1985). Pati yang menunjukkan gel yang lebih keras cenderung memiliki kandungan amilosa tinggi dan rantai amilopektin yang lebih panjang (Mua dan Jackson 1997). Karakteristik mekanis gel tergantung pada beberapa hal yaitu karakteristik reologi matriks amilosa, fraksi volume, dan rigiditas dari granula pati yang tergelatinisasi. maupun interaksi antara fase gel yang terdispersi dan kontinu (Hoover 2001). Faktor-faktor tersebut juga tergantung pada kandungan amilosa dan struktur amilopektin (Yamin et al. 1999). Gel pati merupakan sistem yang tidak stabil dan akan mengalami perubahan struktur selama penyimpanan (Ferrero et al. 1994). Jika gel dibiarkan selama beberapa hari. air tersebut dapat keluar dari bahan. Keluarnya cairan dari suatu gel pati disebut sebagai sineresis (Winarno 1992). Sehingga jumlah air yang keluar (sineresis) dapat digunakan sebagai indikator kecenderungan terjadinya retrogradasi pada pati (Karim et al. 2000). Kecenderungan retrogradasi yang tinggi disebabkan kristalisasi yang terjadi pada molekul amilosa rantai pendek dan amilopektin rantai panjang (Peroni et al. 2006).
H. MODIFIKASI PATI Setiap jenis pati memiliki karakteristik dan sifat fungsional berbeda. Sumber tanaman, kondisi lingkungan, dan varietas diketahui dapat mempengaruhi sifat fungsional pati (Mweta et al. 2008). Akan tetapi penggunaan pati alami secara luas sering kali terkendala akibat karakteristik yang dimiliki pati alami tersebut terbatas dan tidak memenuhi kriteria dalam industri. Pada umumnya, pati alami menunjukkan ketahanan yang rendah terhadap perlakuan pemanasan dan pengadukan, ditambah dengan kecenderungan kerusakan akibat retrogradasi dan sineresis yang tinggi (Dufour et al. 2000; Pongsawatmanit et al. 2007). Oleh karena itu dapat dilakukan modifikasi granula pati untuk mendapatkan karakteristik pati yang diinginkan. Modifikasi dapat meningkatkan atribut positif yang dimiliki pati native tersebut dan atau mengurangi karakter negatifnya. Alasan perlu dilakukannya modifikasi pati adalah: 1) untuk memodifikasi karakteristik pemasakan, 2) mengurangi kecenderungan retrogradasi, 3) meningkatkan kekuatan menahan air pada dispersi pati saat suhu rendah, 4) mengurangi kecenderungan pembentukan gel pada dispersi pati, 5) mengurangi terjadinya sineresis pada pembentukan pasta maupun gel, 6) meningkatkan kejernihan pasta dan gel, 7) meningkatkan ketahanan dispersi saat penurunan kekentalan oleh asam maupun perusakan secara fisik, 8) menambah gugus hidrofobik (untuk stabilisasi emulsi), dan 8) memasukkan sifat ionisasi pati asal (Be Miller dan Lafayette 1997). Pati yang dimodifikasi dapat digunakan pada industri pangan sehingga pati yang dimodifikasi dapat digunakan dengan mudah, viskosias stabil, lebih tahan terhadap proses pengolahan (‟shearing‟ mekanis, suhu sterilisasi, dan asam), dan memberikan texture range yang luas. Pati modifikasi merupakan pati yang diberi perlakuan baik secara fisik maupun kimia sehingga mempunyai sifat reologi dan fungsional yang berbeda dari pati aslinya. Biasanya modifikasi pati secara kimia (seperti ikatan silang dan atau asetilasi) dilakukan. tetapi telah berkembang ketertarikan kepada modifikasi secara fisik (panas, kadar air, pengadukan, atau iradiasi) khususnya pada penggunaan pati dalam industri pangan. Hal ini dikarenakan perlakuan modifikasi secara fisik dianggap lebih aman dan alam dibandingkan modifikasi secara kimia (Collado et al. 2001).
17
I. MODIFIKASI HEAT-MOISTURE TREATMENT (HMT) Salah satu modifikasi fisik yang sekarang berkembang adalah heat moisture treatment (HMT) yaitu proses modifikasi dengan pemanasan tinggi dengan kadar air terbatas (<35%) (Collado et al. 2001; Lim et al. 2001). Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung memungkinkan pelemahan ikatan hidrogen inter- dan intramolekul amilosa dan amilopektin dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak terjadi adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi. Namun demikian, berbagai studi menunjukkan bahwa imbibisi air selama modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya pengaturan kembali molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati. Adanya pengaturan kembali pada molekul granula berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik dan kimia pati (Herawati. 2009). Perubahan sifat fisik yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain perubahan profil amilografi pati (Collado dan Corke 1999; Collado et al. 2001; Purwani et al. 2006; Olayinka et al. 2008), perubahan karakteristik termal melalui pengujian Differential Scanning Calorymetri (DSC) (Collado dan Corke 1999; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta et al. 2008), perubahan volume pembengkakan granula pati (Collado dan Corke. 1999; Collado et al. 2001), dan perubahan kelarutan (Collado dan Corke 1999). Sementara itu perubahan kimia yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain terjadinya peningkatan fraksi pati yang memiliki berat molekul pendek (Lu et al. 1996; Vermeylen et al.. 2006). Modifikasi HMT menurut Kulp dan Lorenz (1981) dapat merubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi kristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati. Proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada zona amorphous. memisahkan fraksi amilosa dan amilopektin. meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan interaksi. serta merubah derajat kristalinisasi pati. HMT dapat merubah karakteristik fisikokimia tepung tanpa merusak granula pati (Stute 1992; Jacobs dan Delcour 1998). HMT diketahui dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, menurunkan viskositas puncak; pengembangan granula dan pelepasan amilosa; viskositas breakdown; dan viskositas setback, sehingga dapat meningkatkan stabilitas granula terhadap panas dan pengadukan (Jacobs dan Delcour 1998; Adebowale et al. 2005; Hormdok dan Noomhorm 2007). Kondisi pati dan proses seperti kadar air, sumber pati, suhu pemanasan, dan waktu proses telah dilaporkan dapat mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Kombinasi antar berbagai faktor tersebut dapat menghasilkan pati dengan karakteristik fungsional yang berbeda-beda.
1. Pengaruh Kadar Air Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005) menunjukkan bahwa modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi pati sorgum merah yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas puncak,
18
meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk teretrogradasi (meningkatkan setback). Selanjutnya menurut Adebowale et al. (2005) perubahan tersebut sangat tergantung pada pengaturan kadar air modifikasi HMT. Peningkatan kadar air modifikasi tidak memberikan pola khas dalam meningkatkan suhu gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir, dan setback pati sorgum merah. Namun demikian. modifikasi yang dilakukan pada kadar air 24% memberikan pati termodifikasi dengan puncak viskositas, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir, dan setback paling rendah bila dibandingkan dengan kadar air 18%, 21%, dan 27%. Menurut Jacobs et al. (1995), formasi struktur granula mengembang dan rusak yang rapat dapat mempengaruhi viskositas selama pemanasan dan peningkatan rigiditas granula akibat ketidaksempurnaan proses gelatinisasi. Peningkatan rigiditas menyebabkan granula menjadi lebih resisten terhadap pemanasan dan pengadukan sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan viskositas. Pengaruh pengaturan kadar air modifikasi HMT terhadap karakteristik fungsional pati juga dilaporkan oleh Lewandowicz et al. (1997) pada pati tapioka dan kentang dengan teknik radiasi microwave. Pati modifikasi dengan kadar air HMT hingga 20% belum memperlihatkan perubahan signifikan dibanding pati native-nya. Perubahan signifikan ditunjukkan pada pati modifikasi dengan kadar air 25-35% di mana kurva Brabender cenderung memperlihatkan adanya penurunan viskositas dan kenaikan suhu gelatinisasi. Perubahan isotermal terjadi pada pati teradiasi microwave sehingga mempengaruhi perubahan temperatur gelatinisasi yang mungkin disertai dengan perubahan sifat fungsionalnya (Lewandowicz et al. 1997).
2. Pengaruh Sumber Pati Adanya perbedaan proporsi amilosa/ amilopektin kemungkinan akan mempengaruhi sensifitasnya terhadap pengaruh modifikasi HMT. Hoover dan Manuel (1996) mengungkapkan bahwa pati termodifikasi HMT dari beberapa jenis tanaman polong dengan proporsi amilosa/ amilopektin berbeda mengalami penurunan pelepasan amilosa, penurunan faktor pembengkakan granula, dan peningkatan suhu pelelehan dengan tingkat yang berbeda. Lewandowicz et al. (1997) menambahkan pada pati kentang (21% amilosa) menunjukkan perubahan lebih besar pada karakteristik fisikokimia dibandingkan tapioka (17% amilosa). Peristiwa tersebut dapat dijelaskan dalam Donovan et al. (1983) yang menyatakan bahwa asosiasi amilosa pada zona amorphous cenderung mengalami perubahan yang lebih besar daripada perubahan asosiasi amilopektin pada zona kristalin selama proses iradiasi microwave berlangsung. Hal ini mengakibatkan penurunan yang signifikan pada pengembangan dan kelarutan pada granula pati yang teriradiasi microwave. Kenaikan temperatur gelatinisasi pada pati termodifikasi mengindikasikan asosiasi dan konfigurasi struktur granula yang lebih stabil. Hal berbeda diungkapkan oleh Anderson dan Guraya (2006) pada pati beras (waxy maupun non waxy) yang dimodifikasi HMT dengan teknik iradiasi microwave. Penurunan viskositas puncak pada pati beras dengan kandungan amilopektin tinggi (waxy) mengindikasikan penurunan daya pengembangan granula pati yang menyebabkan meningkatnya kemampuan ketahanan terhadap pengadukan dan viskositas setback (Stute 1992). Namun demikian. dari perbedaan yang ada belum terlihat adanya kecenderungan pati dengan proporsi amilosa lebih tinggi mempunyai perubahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai proporsi amilosa yang lebih rendah atau sebaliknya. Perbedaan panjang rantai serta perbedaan pengaturan amilosa dan amilopektin di dalam granula pati kemungkinan akan mempengaruhi
19
kemudahannya pada saat dipanaskan bersama dengan sejumlah air terutama saat berlangsungnya modifikasi HMT.
3. Pengaruh Interaksi Suhu dan Kadar Air Perubahan yang terjadi pada pati termodifikasi HMT disebabkan oleh adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin di dalam granula dengan air. Imbibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen antar molekul amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, maupun amilopektin-amilopektin. Ikatan hidrogen antar molekul tersebut kemudian digantikan dengan ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu, kadar air dan suhu yang diterapkan selama modifikasi kemungkinan akan saling berinteraksi dalam mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Studi yang dilakukan oleh Lewandowicz et al. (1997) dan Vermeylen et al. (2006) menunjukkan bahwa pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih tinggi mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, kisaran suhu gelatinisasi yang lebih besar, dan energi entalpi gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih rendah. Pada penelitian yang dilakukan Lewandowicz et al. (1997). pati dengan pengaturan kadar air 25-35% memiliki perubahan seperti peningkatan suhu gelatinisasi, penurunan kelarutan, dan perubahan struktur kristalin. Perubahan yang terjadi akan lebih besar jika pengaturan kondisi kadar air pada modifikasi HMT dan suhu yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan air mempengaruhi proses perubahan isotermal pada pati yang dimodifikasi dengan teknik radiasi microwave (Lewandowicz et al. 1997). Hoover dan Vasanthan (1994) menambahkan bahwa penurunan entalpi pada pati termodifikasi HMT seiring dengan meningkatnya kadar air menunjukkan adanya kerusakan pada struktur heliks ganda yang dipicu oleh pergerakan rantai heliks ganda (yang meningkat seiring kenaikan kadar air). Selain itu, pati termodifikasi pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi mempunyai ukuran lubang (kekosongan) di pusat granula lebih besar pada suhu 130oC dan integritas granula telah hilang sebagian (Lewandowicz et al. 1997). Vermeylen et al. (2006) juga menemukan hilangnya sifat birefringence serta kekosongan pada pusat granula yang disebabkan oleh hilangnya orientasi radial pada pusat granula. Imbibisi air yang didukung suhu tinggi menyebabkan hilangnya kristalinitas granula. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan sehingga meningkatkan molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat kristal (Hoseney 1998).
4. Pengaruh Interaksi Waktu dan Suhu Adanya pengaruh interaksi waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap karakteristik pati termodifikasi dilaporkan oleh Ahmad (2009). Modifikasi yang dilakukan pada suhu pemanasan 110oC selama 16 jam dengan kadar air sebesar 26% dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C yaitu pati yang cenderung dapat mempertahankan viskositasnya selama pemanasan dan pengadukan. Selain mempunyai profil gelatinisasi tipe C, pati tersebut juga mempunyai kelarutan yang lebih rendah dan kekuatan gel yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada kombinasi waktu dan suhu yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Ahmad (2009) tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan stabilitas pati dengan meningkatnya waktu dan suhu modifikasi HMT. Stabilitas
20
panas pasta pasti meningkat dengan meningkatnya waktu modifikasi 12 jam menjadi 16 jam namun kemudian menurun ketika waktu modifikasi ditingkatkan menjadi 20 jam. Stabilitas pasta panas pati turut meningkat seiring dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 100oC menjadi 110oC namun kemudian menurun ketika suhunya ditingkatkan menjadi 120oC.
J. TEKNOLOGI MICROWAVE Microwave merupakan perangkat dengan energi nonionisasi yang dapat menyebabkan kenaikan temperatur diantara media yang terpenetrasi sebagai akibat perubahan cepat molekul elektromagnetik pada frekuensi tinggi (Lewandowicz et al. 2000). Hal serupa juga diungkapkan oleh Fellows (2000) bahwa microwave memanaskan bahan pangan menggunakan energi dielektrik yang mempengaruhi kutub positif dan negatif khususnya pada air yang merupakan komponen yang banyak terkandung dalam bahan pangan. Microwave dapat menciptakan keadaan di mana energi listrik tercipta yang menyebabkan molekul dipolar secara terus menerus bergerak sehingga menghasilkan gesekan yang menimbulkan panas. Pemanasan pada microwave berbeda dengan pemanasan dengan metode konduksi maupun konveksi yang umum digunakan. Energi panas pada microwave dikonduksikan ke pusat bahan sehingga memiliki suhu yang lebih tinggi daripada di bagian permukaan yang dikarenakan evaporasi uap air (Buffler 1992). Untuk mencegah pemanasan yang hanya terkonsentrasi pada bagian tertentu sehingga menciptakan titik-titik panas atau dingin, kebanyakan microwave dilengkapi dengan pengaduk atau meja berputar (turntable) untuk menjamin keseragaman penetrasi panas pada bahan. Selain itu microwave juga dapat dilengkapi dengan sensor yang ketidakakuratannya dapat mencapai ± 8oF (3oC). Microwave sangat baik digunakan untuk thawing, tempering, perehidrasi, dan pemanggangan tapi tidak untuk blansir atau pasteurisasi (Fellows 2000). Teknologi microwave saat ini telah banyak berperan penting pada pengeringan di industri pangan karena proses pemanasan yang cepat dan kemudahan penggunaan. Sebagai tambahan. penggunaan microwave tidak menimbulkan polusi terhadap lingkungan maupun menghasilkan bahan kimia asing. Selain itu energi microwave juga lebih efisien dari pada proses pemanasan secara tradisional karena penggunaan metode ini lebih meyakinkan dalam pemrosesan yang homogen pada seluruh volume bahan, penetrasi panas yang lebih baik, dan absorpsi selektif (Rajkó et al. 1997). Walaupun aplikasi microwave dalam proses pengolahan hanya melibatkan lebih sedikit kerusakan akibat pemanasan pada bahan dibandingkan metode pemanasan lainnya seperti pemanasan dengan air panas (Wang et al. 2003). Proses ini dapat menyebabkan reaksi biokimia. perubahan konformasi molekular pada pati, protein, tekstur, dan sifat fisikokimia seperti kelarutan dan temperatur gelatinisasi seperti yang diungkapkan Zhao et al. (2007).
21
III. METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan adalah tapioka dan maizena. Tapioka yang digunakan berasal dari singkong varietas Manggu yang diperoleh dari petani di Cibungbulan. Maizena yang digunakan merupakan maizena komersial dengan merek “Maizenaku” yang diperoleh di toko kue Yoeks, Bogor. Bahan kimia yang digunakan terdiri atas K2SO4, HgO, cairan H2SO4 pekat, larutan H3BO3 3%, NaOH-Na2S2O3, larutan HCl 0.02 N, larutan H2SO4 0.255 N, larutan NaOH 0.625 N, larutan K2SO4 10%, heksana, alkohol 95%, larutan NaOH 1 N, larutan CH3COOH 1 N, larutan fenol 5%, serta bahan pendukung seperti akuades, kertas saring Whatman no. 1, indikator MRMB, larutan iod, amilosa standar, larutan glukosa standar, minyak goreng, air, dan kapas. Peralatan untuk produksi tapioka yang digunakan antara lain ember, baskom, pisau, pemarut, pengepres, oven pengering jenis cabinet try dryer, loyang, disc mill, dan pengayak getar 100 mesh. Alat-alat analisis yang digunakan adalah neraca analitik; cawan alumunium; cawan porselen; penangas air; hot plate; sentrifuse; desikator; oven; tanur; peralatan analisis Kjehdahl; pH-meter; spektrofotometer UV-Vis Spectronic 20 D+; perangkat soxhlet; Whitnessmeter; Texture Analyzer TA-XT2; freezer; refrigerator; Polarized Light Microscope (PLM) Olympus, Rapid Visco Analyzer (RVA) Newport Scientific, Australia; Differential Scanning Calorymeter DSC 8 Shimadzu, Jepang; X-ray Diffraction Shimadzu 7000, Jepang; sudip; termometer; spatula; dan alat gelas lainnya. Alat-alat yang digunakan untuk perlakuan HMT terdiri atas neraca analitik, sendok, botol akuades, plastik HDPE, sealer, wadah gelas bertutup untuk penggunaan microwave merek “Royalex” dengan volume maksimal 190 mm3, microwave caroussel merek “SHARP R-4A58” 850 W 220 – 240 V/ 2450 Hz, dan oven pengering.
B. TAHAPAN PENELITIAN Tahapan penelitian yang dilakukan terdiri atas penyediaan bahan baku, karakterisasi pati native baik tapioka maupun maizena, penelitian pendahuluan modifikasi HMT, modifikasi HMT, dan karakterisasi sifat fisikokimia dan fungsional pati termodifikasi HMT.
1. Penyediaan Bahan Baku Penyediaan bahan baku meliputi penyediaan tepung tapioka dan maizena. Pembuatan tapioka dilakukan dengan cara tradisional menggunakan metode yang dilakukan Pangestuti (2010). Diagram alir pembuatan tepung tapioka disajikan pada Lampiran 2.
2. Karakterisasi Pati Native Pada tahap ini dilakukan beberapa analisis untuk mengetahui sifat fisikokimia dan fungsional pati native. Analisis yang dilakukan adalah analisis fisik terdiri atas bentuk granula pati menggunakan mikroskop polarisasi, derajat putih menggunakan Whitenessmeter, densitas kamba, dan densitas padat; analisis kimia terdiri atas analisis proksimat (kadar air, kadar abu,
22
kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat), nilai pH, kadar pati, kadar amilosa, kadar amilopektin, kadar serat kasar, serta profil kristalin pati menggunakan X-ray Diffraction; serta analisis sifat fungsional yang meliputi profil amilograf menggunakan RVA, profil gelatinisasi menggunakan DSC, swelling power, kelarutan, absorpsi air dan minyak, viskositas, profil tekstur gel menggunakan TA-XT2, kejernihan pasta, dan freeze-thaw stability. Diagram alir analisis pati alami dapat dilihat pada Gambar 9.
Pati native
Analisis Fisik
-
Bentuk granula Derajat putih Densitas kamba Densitas padat
Analisis Kimia
-
pH Proksimat Kadar pati Kadar amilosa Kadar amilopektin Kadar serat kasar Profil kristalin pati
Analisis Fungsional
-
Profil amilograf Profil gelatinisasi Swelling power Solubility Profil tekstur gel Kejernihan pasta Freeze-thaw stability Absorpsi air dan minyak
Gambar 9. Diagram alir analisis karakterisasi pati native
3. Penelitian Pendahuluan Modifikasi HMT Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk menentukan perlakuan optimum yang dapat memberikan profil amilograf yang berbeda dari pati native-nya. Penelitian pendahuluan dilakukan pada pati maizena alami dengan pengaturan kadar air 25 %bb dengan mode pemanasan low, medium low, dan medium; serta waktu pemanasan 15 menit – 4 jam. Selain itu dilakukan pula pengukuran suhu akhir proses gelatinisasi, pengukuran dilakukan dengan menggunakan termometer. Untuk mengurangi kemungkinan panas yang keluar dari wadah gelas selama pengukuran, digunakan beberapa lap kering untuk menutup celah-celah terbuka saat pengukuran.
4. Modifikasi Pati dengan Teknik HMT Pati dianalisis kadar air awalnya (%bb) terlebih dulu. Proses modifikasi pati adalah sebagai berikut: sebanyak 100 gram pati diatur kadar airnya hingga mencapai kadar air yang diinginkan yaitu 20 dan 25 %bb dengan cara menuangkan akuades secara perlahan sambil diaduk dan diremas secara manual guna meratakan kadar air pada pati. Jumlah akuades ditentukan berdasarkan kesetimbangan massa dan formulasi kesetimbangan massa diperoleh sebagai berikut: (100% - KA1) x BP1 = (100% - KA2) x BP2
23
Keterangan: KA1 = kadar air kondisi awal (%bb) KA2 = kadar air pati yang diinginkan (%bb) BP1 = bobot pati pada kondisi awal BP2 = bobot pati setelah mencapai KA2 (BP1 + Bair) Pati lembab selanjutnya ditempatkan di dalam plastik HDPE bertutup. Pati didiamkan dalam refrigerator selama semalam untuk penyeragaman kadar air. Pati yang akan dimodifikasi HMT ditempatkan pada wadah gelas bertutup yang untuk microwave. Modifikasi HMT pada microwave dilakukan dengan variasi waktu pemanasan yaitu 2 dan 4 jam dengan mode pemanasan rendah (low). Mode dan waktu pemanasan diperoleh dari penelitian pendahuluan. Pati termodifikasi kemudian didinginkan dan dipisahkan dari sebagian pati yang tergelatinisasi (ditunjukkan dengan gumpalan gel yang jernih). Pati termodifikasi lalu dikeringkan selama 1 jam pada suhu 50oC, setelahnya ditumbuk untuk meratakan ukuran. Pembuatan pati termodifikasi HMT pada tiap-tiap perlakuan dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Proses pembuatan pati termodifikasi HMT dapat dilihat pada Gambar 10. 100 g tapioka Kadar air (%bb): 20 (k1) dan 25 (k2)
Ditambah akuades Diratakan campuran akuades dan pati (diaduk dan diremas)
Pati basah Ditempatkan dalam plastik HDPE tertutup Didiamkan dalam refrigerator semalam
Pati basah Sampling kadar air pra-HMT
Ditempatkan ke dalam wadah gelas bertutup Dimasukkan ke microwave
Mode pemanasan: Low (T1) Waktu pemanasan: 2 (t1) dan 4 jam (t2)
Didinginkan
Gel jernih o
Dikeringkan oven suhu 50 C, 1 jam
Dihaluskan (ditumbuk)
Tapioka termodifikasi HMT
Gambar 10. Diagram pembuatan pati termodifikasi HMT (Lewandowicz et al. 2000; Zondag 2003 dengan modifikasi)
24
5. Karakterisasi Sifat Fisiko-kimia dan Fungsional Pati Termodifikasi HMT Untuk mengetahui pati termodifikasi HMT terbaik dilakukan karakterisasi baik sifat fisikokimia maupun fungsional dati pati termodifiakasi. Mula-mula pati termodifikasi HMT dikarakterisasi melalui analisis bentuk granula, profil amilografi, dan profil gelatinisasi untuk mengetahui perlakuan HMT terpilih yang mampu mengubah karakteristik fisikokimia dan fungsional seperti yang telah disebutkan. Pati HMT dengan kondisi terpilih dianalisis lebih lanjut sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 11.
Pati termodifikasi HMT
Analisis Fisiko-kimia
Analisis Fungsional
- Bentuk granula
- Profil amilograf - Profil gelatinisasi
Pati termodifikasi HMT terpilih
Analisis Fisiko-kimia
- Profil kristalin
Analisis Fungsional
-
Swelling power Kelarutan Absorpsi air Profil tekstur gel
- Kejernihan pasta - Freeze-thaw stability - Absorpsi minyak
Gambar 11. Diagram alir tahapan analisis pati termodifikasi HMT
C. PROSEDUR ANALISIS 1. Profil Bentuk Granula Pati Profil bentuk granula diamati dengan Polarized Light Microscope (PLM) (Olympus Optical Co. Ltd, Japan) yang dilengkapi dengan kamera. Suspensi pati disiapkan dengan mencampurkan pati dan akuade. Suspensi diteteskan pada atas gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup, preparat kemudian dipasang pada PLM. Pengamatan dilakukan dengan dengan perbesaran 400 dan 1000 kali.
2. Profil Kristalin Pati (Hustiany 2006) Profil kristalin pati dianalisis menggunakan X-Ray Diffraction Shimadzu 7000, Japan. Radiasi Cu monokromatik dengan panjang gelombang α1 = 1.54056 Ǻ dan α2 = 1.54439 Ǻ
25
dengan daya yang dihasilkan oleh generator pada 40 kV dan 30 mA. Daerah canning difraksi pada sudut 2 θ yaitu 5-30o dengan step interval 0,02o dan kecepatan scan 1.5o/menit. Pengukuran kristalinitas relatif dilakukan dengan menggunakan software Shimadzu 7000. Kurva halus yang menghubungkan dasar puncak-puncak difraktogram. Area di atas kurva halus merupakan daerah kristalin. Rasio antara luas area di atas kurva dengan total area difraksi menunjukkan kristalinitas relatif. 𝑋𝑐 % = Keterangan
𝐴𝑐 × 100 % 𝐴𝑐 + 𝐴𝑎
: Ac = Area daerah kristalin Aa = Area daerah amorphous Xc = Persentase kristalinitas relatif
3. Derajat Putih Pengukuran dilakukan menggunakan Whiteness Meter (Kett Electric Laboratory (C-1003). Kalibrasi dilakukan dengan standar warna putih BaSO4, yang memiliki derajat putih 100% (110.8). Sejumlah contoh dimasukkan ke dalam wadah khusus, dipadatkan, ditutup, kemudian dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai derajat putih akan keluar pada layar (A). 𝐷𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡 𝑝𝑢𝑡𝑖ℎ % =
A 𝑥 100% 110,8
Keterangan : A = Nilai yang terbaca pada alat 110,8 = Standar BaSO4
4. Densitas Kamba (bulk density) (Wirakartakusumah et al. 1992) Densitas kamba ditentukan oleh berat wadah yang diketahui volumenya dan merupakan hasil pembagian berat bubuk dengan volume wadah. Sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur 25 ml. Isi hingga volumenya mencapai tepat 25 ml lalu ditimbang bobotnya. 𝐷𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡 𝐾𝑎𝑚𝑏𝑎 𝑔/𝑚𝑙 =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔) 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝑙)
5. Densitas padat Densitas padat adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu dengan dipadatkan. Sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur 25 ml, kemudian dipadatkan. Isi hingga volumenya mencapai tepat 25 ml lalu ditimbang bobotnya. 𝐷𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡 𝑃𝑎𝑑𝑎𝑡 𝑔/𝑚𝑙 =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔) 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝑙)
26
6. Kadar Air Metode Oven Biasa (Apriyantono et al. 1989) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama semalam. Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 (%𝑏𝑏) = 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 %𝑏𝑘 = Keterangan:
𝑎 − (𝑏 − 𝑐) × 100% 𝑎 𝑎 − (𝑏 − 𝑐) × 100% (𝑏 − 𝑐)
a = bobot sampel awal (g) b = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g) c = bobot cawan kosong (g)
7. Kadar Abu (Apriyantono et al. 1989) Cawan pengabuan dibakar dalam tanur, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel sebanyak 3-5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik. Catatan: sebelum masuk tanur, sampel di dalam cawan dibakar dulu pada hot plate sampai asapnya habis. 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 (%𝑏𝑏) =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑏𝑢 × 100% 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 %𝑏𝑘 =
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 (%𝑏𝑏) × 100% (100 − 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟)
8. Kadar Protein Metode Kjehdahl-mikro (AOAC 1995) Sejumlah kecil sampel (kira-kira 100–250 mg) ditimbang, dipindahkan ke dalam labu Kjedahl 30 ml. Setelah itu, ditambahkan 1.9 ± 0.1 gram K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4 ke dalam labu Kjedahl yang berisi sampel. Jika sampel lebih dari 150 mg, ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik. Labu Kjehdahl yang berisi sampel didestruksi elama 1-1,5 jam hingga cairan menjadi jernih. Setelahnya labu Kjedahl didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil akuades secara perlahan, lalu didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjedahl yang isinya sudah dipindahkan ke dalam alat destilasi dicuci dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air, air cucian dipindahkan ke alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran dua bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan satu bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol) diletakan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3
27
kemudian di tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 dan dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Setelah itu, tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Selanjutnya isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml dan kemudian ditritasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penentuan protein pun dilakukan untuk blanko. 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑁 % =
𝑚𝑙 𝐻𝐶𝑙 − 𝑚𝑙 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 × 𝑁 𝐻𝐶𝑙 × 14.007 × 100% 𝑚𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Kadar protein (%bb) = %N x faktor konversi (6.25) 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 (%𝑏𝑏) × 100% (100 − 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟)
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 %𝑏𝑘 =
9. Kadar Lemak Metode Soxhlet (Apriyantono et al. 1989) Sampel yang akan dianalisis ditimbang sebanyak 1-2 gram lalu dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Bagian atas selongsong kertas yang telah diisi sampel juga disumbat dengan kapas lalu dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80oC selama lebih kurang 1 jam. Selongsong kemudian dimasukkan ke dalam alat Soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak. Sampel diekstrak dengan heksana atau pelarut lemak lainnya selama lebih kurang 6 jam. Pelarut kemudian disuling kembali dan hasil ekstraksi lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105oC. Labu berisi lemak sampel kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang bobotnya. Pengeringan diulangi hingga didapat bobot yang tetap. 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘 (%𝑏𝑏) =
𝑎−𝑏 𝑥 100% 𝑐
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘 %𝑏𝑘 = Keterangan:
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘 (%𝑏𝑏) × 100% (100 − 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟)
a = Bobot labu lemak setelah diekstraksi (g) b = Bobot labu lemak sebelum diekstraksi (g) c = Bobot sampel (g)
10. Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak dan protein. Kadar karbohidrat ditentukan sebagai berikut : Kadar karbohidrat (%bb) = 100% - (air + abu + lemak + protein) (%bb) 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜ℎ𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡 %𝑏𝑘 =
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜ℎ𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡 (%𝑏𝑏) × 100% (100 − 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟)
28
11. Nilai pH (Apriyantono et al., 1989) Sampel sebesar 1 gram ditimbang, kemudian ditambahkan 20 ml air. Kocok dengan stirrer sampai basah sempurna. Kemudian ditambahkan 50 ml air dan dihomogenkan. Biarkan sampel selama 1 jam. Jangan disaring, biarkan mengendap. Ukur pH supernatan sampel. pH diukur dengan menggunakan pH meter terkalibrasi.
12. Kadar Pati Metode Fenol-Sulfat (Dubois et al. 1956 dengan modifikasi) a. Pembuatan larutan fenol 5% Fenol (standar pereaksi) yang terdistilasi sebanyak 50 gram dilarutkan dalam akuades dan ditepatkan hingga volume 1 liter.
b. Persiapan standar kerja glukosa Standar glukosa (larutan stok) dibuat dengan cara melarutkan 100 mg glukosa dalam 100 ml akuades. Kemudian dari larutan stok tersebut diambil sebanyak 10 ml dan dilarutkan dengan akuades hingga mencapai 100 ml larutan stadar kerja glukosa.
c. Persiapan sampel Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam etanol 95%, aduk merata. Gula-gula sederhana akan larut dalam etanol sementara pati akan mengendap pada dasar gelas piala. Sampel yang telah dilarutkan tersebut kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman no. 1. Bilas kembali gelas piala dengan etanol 95% dan pindahkan kembali secara kuantitatif untuk dilakukan penyaringan. Kertas saring yang terdapat pati basah kemudian dikeringkan dalam desikator semalam. Sampel pati yang telah dikeringkan semalam dikerik dari kertas saring dan dihaluskan. Ambil sampel pati kering sebanyak 40 mg dan masukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml. kemudian larutkan dengan 25 ml akuades dan tutup erlenmeyer dengan alumunium foil. Panaskan erlenmeyer berisi larutan sampel dengan autoklaf pada suhu 105 oC selama 60 menit. Angkat dan dinginkan hingga mencapai suhu ruang. Ambil larutan pati dan lakukan pengenceran 40 kali.
d. Analisis kadar pati Larutan kerja glukosa sebanyak 0.1; 0.2; 0.3; 0.4; 0.5; 0.6; 0.7; 0.8 ml dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup dan buat hingga 1 ml. Pipet juga sebanyak 1,0 ml larutan sampel pati ke dalam tabung reaksi terpisah (lakukan duplo). Untuk blanko siapkan 1 ml akuades pada tabung reaksi terpisah. Larutan fenol 5% sebanyak 1 ml ditambahkan pada masing-masing tabung kemudian vorteks, dan disusul dengan penambahan 5 ml asam sulfat pekat. Diamkan selama 10 menit. Vorteks kembali dan diamkan ada suhu ruang selama 20 menit. Vorteks kembali dan ukur absorbansi pada panjang gelombang 490 nm.
29
e. Perhitungan kadar pati Dengan mengetahui persamaan linear dari kurva standar glukosa, kadar pati dapat dihitung dengan memasukkan nilai absorbansi ke persamaan linear tersebut untuk mendapatkan nilai glukosa dalam sampel, kemudian dikonversikan dengan faktor konversi pati (0.9). 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑎𝑡𝑖(%𝑏𝑏) =
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑎𝑡𝑖 %𝑏𝑘 =
𝑚𝑔 𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 𝑥 𝐹𝑃 𝑥 0.9 𝑚𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑎𝑡𝑖 (%𝑏𝑏) × 100% (100 − 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟)
13. Kadar Amilosa Metode IRRI (Apriyantono et al. 1989) a. Pembuatan larutan iod Sebanyak 1 gram iodine dan 10 gram KI ditimbang dan tepatkan dengan akuades hingga mencapai volume 500 ml.
b. Pembuatan kurva standar amilosa Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ke dalam tabung reaksi tersebut ditambah 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan dalam air mendidih sekitar 10 menit sampai semua amilosa membentuk gel. Setelah didinginkan, campuran tersebut dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dan tepatkan dengan air sampai tanda tera. Sebanyak masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan tersebut dipipet ke dalam labu takar 100 ml. Masing-masing labu takar ditambah asam asetat 1 N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml, kemudian masing-masing ditambah 2 ml larutan iod dan tepatkan dengan air sampai tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, larutan tersebut diukur absorbasi dari intensitas warna biru yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Buat kurva standar sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu y).
c. Analisis sampel Sebanyak 100 mg contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ke dalam tabung reaksi tersebut ditambah 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan dalam air mendidih sekitar 10 menit untuk menggelatinisasi pati. Setelah didinginkan, campuran tersebut dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dan tepatkan dengan air sampai tanda tera. Sebanyak 5 ml dari larutan tersebut dipipet dan dimasukkan ke dalam labu takar. Ke dalam labu takar ditambah 1 ml asam asetat 1 N, lalu ditambah 2 ml larutan iod dan tepatkan dengan air sampai tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, larutan tersebut diukur absorbasi dari intensitas warna biru yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.
30
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑠𝑎(%𝑏𝑏) =
𝐶 𝑥 𝑉 𝑥 𝐹𝑃 𝑥 100 𝑊
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑠𝑎 %𝑏𝑘 =
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑠𝑎 (%𝑏𝑏) × 100% (100 − 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟)
Keterangan: C = Konsentrasi amilosa contoh dari kurva standar (mg/ml) V = Volume akhir contoh (ml) FP = Faktor pengenceran W = Berat contoh (mg)
14. Kadar Amilopektin Pati terdiri dari fraksi amilosa dan amilopektin. Oleh karena itu, kadar amilopektin merupakan selisih antara kadar pati dengan kadar amilosa. Kadar amilopektin (%bb) = Kadar pati (%) – kadar amilosa (%) 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑝𝑒𝑘𝑡𝑖𝑛 %𝑏𝑘 =
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑚𝑖𝑙𝑜𝑝𝑒𝑘𝑡𝑖𝑛 (%𝑏𝑏) × 100% (100 − 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟)
15. Kadar Serat Kasar (AOAC 1995 dengan modifikasi) Sampel bebas lemak sebanyak 1 gram dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu erlenmeyer 600 ml. Kemudian dalam erlenmeyer ditambahkan 100 ml larutan H2SO4 0.255 N. Letakkan erlenmeyer di dalam penangas air bergoyang (wadah harus dalam keadaan tertutup) dan didihkan selama 30 menit. Tambahkan 100 ml larutan NaOH 0.625 N. Didihkan kembali selama 30 menit pada penangas bergoyang. Saring kembali sampel menggunakan kertas saring Whatman no. 1 yang telah diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Cuci residu di kertas saring dengan air mendidih, kemudian dengan etanol 95%. Keringkan kertas saring dalam oven 110 oC sampai berat konstan (1-2 jam). Setelah itu dinginkan dalam desikator, kemudian kertas saring ditimbang kembali. 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑎𝑠𝑎𝑟 %𝑏𝑏 = 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑎𝑠𝑎𝑟 %𝑏𝑘 =
𝑊2 − 𝑊1 × 100% 𝑊
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑎𝑠𝑎𝑟 (%𝑏𝑏) 𝑥 100% 100 − 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟
Keterangan: W2 = berat residu dan kertas saring yang telah dikeringkan (g) W1 = berat kertas saring (g) W = berat contoh yang dianalisis (g)
31
16. Profil Amilograf Profil amilograf diukur menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA, Model Tecmaster, Newport Scientific, Australia). Sebanyak ± 3.00 g dilarutkan secara langsung pada akuades sebanyak ± 25 ml pada canister. Pada pengukurannya digunakan standar dua dimana sampel akan diatur suhu awalnya 50 oC dalam satu menit pertama kemudian dipanaskan sampai suhu 95 oC dalam waktu 7.5 menit dan ditahan pada suhu tersebut selama 5 menit. Setelah itu, suhu sampel didinginkan kembali ke suhu awal 50 oC selama 7.5 menit dan ditahan selama 2 menit. Kecepatan rotasi diatur pada 160 rpm selama proses. Parameter yang dapat diukur antara lain viskositas puncak (VP), viskositas pada akhir waktu ditahan 95 oC atau viskositas pasta panas (VPP), viskositas akhir (FV) pada akhir pendinginan, viskositas breakdown (BD = VP-VPP), setback (SB = FV-VPP), temperatur pasta dan suhu pada saat viskositas puncak.
17. Profil Gelatinisasi Pati (Collado dan Corke 1999) Karakteristik gelatinisasi pati ditentukan menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC 8, Shimadzu, Japan). Sampel pati (2.5 ± 0.1 mg) ditimbang langsung didalam pan aluminium, dan ditambahkan 7.5 µl air de-ionisasi. Kemudian pan di seal secara hermetis dan dibiarkan semalam pada suhu 4 oC. Pan yang berisi sampel dipanaskan dari 30-120 oC dengan kenaikan 5 oC/ menit. Pan kosong digunakan sebagai referen. Parameter yang dapat di ukur antara lain suhu mula gelatinisasi (To), suhu puncak (Tp), suhu akhir gelatinisasi (Tc) dan entalpi gelatinisasi (ΔHgel, J/g).
18. Daya Kembang (Swelling Power) dan Kelarutan (Solubility Index) (Adebowale et al. 2005 dengan modifikasi) Sampel tepung sebanyak 0.1 gram ditimbang dalam tabung sentrifuse yang diketahui beratnya (lakukan duplo). Kemudian ditambahkan sebanyak 5 ml akuades, vorteks. Larutan pati tersebut dipanaskan dalam penangas air dengan suhu 60oC, 70oC, 80oC, 90oC, dan 95oC selama 30 menit sambil digoyangkan dengan kecepatan konstan secara berkala setiap 5 menit. Dinginkan hingga mencapai suhu ruang. Kemudian sentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit, pisahkan supernatan dari endapan. Nilai swelling power diukur dengan membagi berat endapan basah dengan berat sampel sebelum dipanaskan (g/g). 𝑆𝑤𝑒𝑙𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟(𝑔 𝑔) = Keterangan:
𝑋−𝑌 𝑊
W = berat sampel (g) Y = berat tabung kosong (g) X = berat tabung dan endapan (g)
Supernatan yang telah dipisahkan ditimbang dalam cawan alumunium yang telah sebelumnya diketahui bobotnya. Pemisahan supernatan lebih sulit pada tapioka karena terdapat beberapa padatan keruh (cloudy solid) yang bercampur pada supernatan. Sehingga diperlukan suatu asumsi bahwa yang disebut endapan adalah padatan yang melekat pada tabung sentrifuse. Kemudian cawan berisi supernatan tersebut dikeringkan dalam oven 105 oC hingga mencapai
32
berat konstan. Kelarutan dinyatakan sebagai persen berat pati yang larut dalam supernatant dalam basis berat kering.
𝐾𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 % = Keterangan:
𝑋−𝑌 × 100% 𝑊 𝑥 (100 − 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 %𝑏𝑏 )
W = berat sampel (g) X = berat cawan dan endapan (g) Y = berat cawan kosong (g)
19. Profil Tekstur Gel (Collado dan Corke 1999 dengan modifikasi) Kekuatan gel diukur dengan menggunakan alat textur analyzer (TA-XT2). Pati dengan konsentrasi 21% dipanaskan dari suhu 30oC sampai 95oC, dan dipertahankan pada suhu 95oC selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai suhu 50oC. Pasta pati ini dituangkan ke dalam tabung dengan diameter 4 cm dan tinggi 3 cm, kemudian disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam. Gel ditekan dengan kecepatan penetrasi 2,5 mm/s dan jarak 5 mm. Profil yang diukur adalah kekerasan, elastisitas, daya kohesif, dan kelengketan. Kekerasan merupakan gaya maksimum selama penekanan (g), elastisitas dihitung dari rasio waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak pada gigitan kedua dan pertama (T2/T1), daya kohesif dihitung dari rasio luasan kurva pada tekanan kedua dengan luasan kurva pada tekanan pertama (A2/A1), serta kelengketan yang diperoleh dari pengalian kekerasan dan daya kohesif (kekerasan * A2/A1). Penentuan gaya maksimum dan luasan kurva diperoleh dengan perhitungan menggunakan software Exponent Lite TE32. Probe yang digunakan adalah probe silinder p/100 dengan diameter 100 mm.
20. Kejernihan Pasta (Wattanachant et al. 2002) Pengukuran kejernihan pasta dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis Spectronic 20 D+. Pasta pati (1%) disiapkan dengan cara mensuspensikan 50 mg sampel dalam 5 ml air (digunakan tabung reaksi berulir). Tabung dicelupkan dalam air mendidih selama 30 menit, kemudian dikocok setiap 5 menit. Sampel didinginkan hingga suhu kamar. Nilai transmitan (%T) dibaca pada spektrofotometer dengan λ 650 nm. Akuades digunakan sebagai blanko.
21. Freeze-Thaw Stability (Wattanachant et al., 2002 dengan modifikasi) Pasta pati (konsentrasi 8%) disiapkan dalam tabung sentrifuse. Sejumlah pati dan sampel dipanaskan dari temperatur 30oC hingga 95oC, kemudian di-holding selama 30 menit pada temperatur 95 oC. Pasta pati yang dihasilkan ditimbang beratnya. Tabung sentrifuse ditutup dengan rapat. Tabung disimpan pada suhu -20oC selama 18 jam, kemudian di-thawing pada suhu ruang selama 6 jam. Sampel yang telah mendapat perlakuan satu siklus freeze-thaw tersebut disentrifuse pada 3000 rpm selama 30 menit. Jumlah (volume) air (supernatant jernih) yang terpisah setelah siklus freeze-thaw diukur dan dinyatakan dalam % sineresis. Freeze-thaw dilakukan sebanyak 4 siklus.
33
𝑆𝑖𝑛𝑒𝑟𝑒𝑠𝑖𝑠 % =
𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑖𝑠𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛 (𝑔) × 100% 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑎 𝑝𝑎𝑡𝑖 (𝑔)
22. Absorpsi Minyak dan Air (Sathe dan Salunkhe 1981) Sebanyak 1 gram sampel ditambah 10 ml akuades atau minyak dan diaduk selama 30 detik. Lalu didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit dan disentrifuse selama 40 menit pada 3500 rpm. 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 𝑎𝑖𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 (𝑔 𝑔 ) =
𝑎−𝑏 𝑐
Keterangan: a = berat air atau minyak (g) b = berat supernatan (g) c = berat sampel (g)
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI NATIVE 1.
Karakteristik Fisik
Sifat bahan pangan berbentuk bubuk dapat digolongkan dalam dua tingkat yaitu bubuk sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk). Sifat bulk ditentukan oleh karakteristik fisik dan kimia (komposisi kimia dan kadar air), geometri, ukuran, sifat permukaan partikel, dan sistem secara keseluruhan (Wirakartakusumah et al. 1992). Densitas kamba (bulk density) didefinisikan sebagai massa partikel yang menempati unit volume tertentu. Tabel 9 memperlihatkan bahwa maizena memiliki densitas kamba yang lebih kecil dibanding tapioka. Kandungan lemak dapat mempengaruhi nilai densitas kamba pada bahan pangan. Maizena diketahui memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi daripada tapioka (Tabel 10). Lemak dapat membentuk lapisan hidrofobik pada permukaan sehingga terbentuk rongga di antara partikel bahan yang menyebabkannya menjadi kurang baur. Informasi tentang densitas kamba diperlukan terutama untuk kebutuhan ruang, baik dalam pengemasan, penyimpanan, maupun pengangkutan. Fennema (1996) menambahkan bahwa bahan pangan yang mempunyai densitas kamba besar akan memiliki area permukaan lebih luas sehingga lebih ekonomis.
Tabel 9. Analisis fisik pati native Tapioka
Maizena
Densitas kamba (g/ml)
0.56 ± 0.00
0.47 ± 0.00
Densitas padat (g/ml)
0.80 ± 0.00
0.63 ± 0.00
Karakteristik
Bubuk bersifat compressible sehingga bubuk juga memiliki sifat lainnya yaitu densitas padat (compacted specify density). Adanya gaya tekan, massa partikel yang menempati volume yang sama akan lebih besar. Tapioka menunjukkan densitas padat lebih besar ketika dimampatkan (Tabel 9). Densitas padat berhubungan dengan kohesivitas suatu bahan. Semakin kohesif suatu bahan maka gaya tarik menarik antar partikel lebih tinggi terhadap berat partikel sehingga bahan memiliki kecenderungan untuk menggumpal dan memadat jika wadahnya bergoyang (Suriani 2008).
2. Karakteristik Kimia Komposisi kimia pati tapioka dan maizena ditunjukkan pada Tabel 10. Kadar air memiliki peran penting pada karakteristik alir dan fungsi mekanis pati lainnya (Mboungeng et al. 2008). Kadar air kedua pati berada dalam range kadar air yang dipersyaratkan untuk produk kering dan pati lainnya. Kadar air berkaitan dengan kualitas daya tahan produk terhadap kerusakan masa simpan (Mboungeng et al. 2008). Tapioka menunjukkan kadar abu yang lebih tinggi dari yang dilaporkan yaitu sebesar 0.11-0.23% (Gunaratne dan Hoover 2002); 0.51% (Mishra dan Rai 2006); dan 0.33% (Pangestuti 2010). Tingginya kadar abu menunjukkan tapioka yang terekstrak memiliki kemurnian yang rendah akibat proses ekstraksi yang kurang sempurna sehingga pati tersebut masih memiliki
35
pengotor yang cukup tinggi (Gunaratne dan Hoover 2002). Proses ekstraksi yang kurang sempurna dapat terlihat pula oleh tingginya kadar serat tapioka yang diperlihatkan pada Tabel 10. Rahman (2007) dan Mboungeng et al. (2008) mencatat bahwa ketidakmurnian pati dapat disebabkan oleh kadar serat dan bahan pengotor. Pada penelitian kali ini, keberadaan pengotor mungkin ada pada tapioka hal tersebt dapat dilihat dari kadar abu yang tinggi (Tabel 10) dan derajat putih yang lebih rendah dari standar (Lampiran 11, Tabel 4).
Tabel 10. Analisis kimia pati native Tapioka
Maizena
Air (%bb)
6.08 ± 0.05
11.57 ± 0.00
Abu (%bk)
0.92 ± 0.01
0.17 ± 0.00
Protein (%bk)
0.72 ± 0.00
0.62 ± 0.02
Lemak (%bk)
0.04 ± 0.01
0.44 ± 0.00
Karbohidrat (%bk)
92.25 ± 0.06
87.23 ± 0.03
Pati (%bk)
87.87 ± 0.00
70.92 ± 0.00
Amilosa (%bk)
28.51 ± 0.10
33.37 ± 0.00
Amilopektin (%bk)
59.36 ± 0.10
37.55 ± 0.39
Serat kasar (%bk)
1.15 ± 0.04
0.38 ± 0.00
pH
4.63 ± 0.01
6.69 ± 0.01
Karakteristik
Tapioka dan maizena menunjukkan kadar protein yang cukup tinggi yaitu sebesar 0.72% dan 0.62% (Tabel 10). Tapioka memiliki kadar protein yang bervariasi yaitu 0.76% (Febriyanti dan Wirakartakusumah 1990); 0.51% (Mishra dan Rai. 2006); 0.15-0.34% (Mboungeng et al. 2008); dan 0.86% (Pangestuti 2010). Mishra dan Rai (2006) juga mencatat kadar protein maizena sebesar 1.21%. Kadar protein yang diperoleh pada penelitian ini merupakan protein kasar yang dianalisis dengan metode mikro-Kjehdahl. Kelemahan dari metode ini adalah metode ini tidak hanya mengukur nitrogen yang berasal dari komponen protein. tetapi juga komponen non-protein seperti enzim dan lain-lain (Kaletunç dan Breslauer 2003). Tapioka mengandung kadar lemak yang rendah yaitu sebesar 0.04% (Tabel 10). Hal ini sesuai dengan pernyataan Moorthy (2004) bahwa tapioka mengandung lipid komplek sangat rendah < 0.1%. Beberapa penelitian lainnya juga mencatat kandungan lemak yang rendah pada tapioka yaitu 0.12% (Gunaratne dan Hoover 2002); 0.16-0.28% (Mboungeng et al. 2008); dan 0.26% (Pangestuti 2010). Sementara pada maizena. sebagaimana pati yang berasal dari pati serealia memiliki kadar lemak yang cukup tinggi yaitu sebesar 0.44% (Tabel 10). Kadar lemak yang cukup tinggi pada maizena juga telah dipublikasikan pada penelitian terdahulu yaitu sebesar 0.75% (Hoover dan Manuel 1996) dan 1.22% (Mishra dan Rai 2006). Komponen lemak pada pati berupa komplek amilosa-lipid dan bersama-sama dengan protein dapat membentuk lapisan hidrofobik pada permukaan granula sehingga berpengaruh terhadap pengembangan dan gelatinisasi pati (Tester et al. 2004). Kadar pati tapioka yang diperoleh pada Tabel 10 lebih besar dari yang dilaporkan Pangestuti (2010) yaitu sebesar 86.90%. Perbedaan kadar pati yang diperoleh pada singkong varietas yang sama dapat disebabkan oleh perbedaan waktu panen. Radley (1976) yang disitasi Rahman (2007) menyatakan bahwa kandungan tapioka meningkat seiring dengan waktu
36
pemanenan umbi singkong. Selain itu. Radley (1976) yang diacu dalam Rahman (2007) mencatat bahwa waktu yang dibutuhkan umbi singkong untuk mencapai kematangan sangat tergantung pada iklim dan lokasi penanamannya. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa. amilopektin. dan bahan antara seperti lipid dan protein (Greenwood 1976). Kandungan amilosa pada pati berperan penting mempengaruhi karakteristik fungsional pati itu sendiri. Oleh karena itu. kuantifikasi terhadap kandungan amilosa pada pati perlu dilakukan untuk mengetahui aplikasi pengolahan dan kualitas yang dihasilkan (Mboungeng et al. 2008). Kadar amilosa yang diperoleh pada tapioka dan maizena sebesar 28.51% dan 33.37% (Tabel 10). Kadar amilosa tapioka yang diperoleh relatif sama dengan yang dilaporkan Pangestuti (2010) untuk varietas yang sama yaitu 28.35%. Perbedaan kadar amilosa tapioka dapat disebabkan perbedaan umur tanaman (Hoseney 1998) dan/ atau perbedaan varietas (Hoseney 1998; Rahman 2007). Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Mweta et al. (2008) yang meneliti kadar amilosa dari 10 varietas singkong yang bervariasi yaitu 16.96-28.25%. Kadar amilosa maizena yang diperoleh dari penelitian sebelumnya juga bervariasi dengan nilai 22.4-32.5% (Singh et al. 2003); 23.4% (Srichuwong et al. 2005); dan 25% (Robyt 2008). Kadar amilopektin diperoleh dari selisih kadar pati dengan amilosa. Rasio amilosa dan amilopektin bervariasi terhadap sumber pati (Tester et al. 2004). Tapioka memiliki nilai pH yang lebih rendah dibanding maizena. Rendahnya nilai pH pada tapioka dapat disebabkan oleh kandungan bahan pengotor (Mishra dan Rai 2006; Mboungeng et al. 2008). Namun demikian. nilai pH tapioka masih berkisar pada standar menurut The Tapioca Institute of America (TIA) yaitu 4.5-6.5. Nilai pH pada bahan pangan penting untuk diperhatikan terutama untuk diaplikasikan pada produk, mengingat beberapa sifat fungsional pati dapat dipengaruhi oleh nilai pH. Winarno (1992) menyatakan bahwa pembentukan gel optimum terjadi pada pH 4-7, sehingga baik tapioka maupun maizena berada pada rentang pH untuk membentuk gel yang baik.
B. MODIFIKASI PATI DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan waktu pemanasan microwave menggunakan maizena yang kadar airnya diatur mencapai 25 %bb. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk memperoleh kombinasi perlakuan modifikasi yang menghasilkan profil amilografi yang diinginkan yaitu viskositas puncak, breakdown, dan setback yang lebih rendah dari pati native-nya. Penelitian pendahuluan dilakukan dengan mode pemanasan low, medium low, dan medium; serta waktu pemanasan dari 15 menit hingga 4 jam. Pati termodifikasi yang dihasilkan lalu dianalisis profil amilografinya. Tabel 11 memperlihatkan hasil analisis amilografi dari beberapa perlakuan modifikasi HMT pada maizena yang diuji cobakan. Pemilihan mode dan peningkatan waktu pemanasan terlihat mempengaruhi suhu pemanasan yang dihasilkan. Peningkatan suhu yang disebabkan peningkatan waktu ditunjukkan pada modifikasi HMT dengan mode pemanasan low. Suhu pemanasan pada modifikasi HMT dipantau secara periodik menggunakan termometer. Suhu yang tertulis pada Tabel 11 merupakan suhu yang tercatat pada akhir proses. Suhu yang tercatat mengindikasikan besarnya energi panas yang diterima pati selama modifikasi berlangsung. Pemilihan waktu modifikasi dilihat dari besarnya suhu proses yang tercatat.
37
Dari penelitian pendahuluan yang dilakukan. diperoleh perlakuan modifikasi dengan mode pemanasan low pada waktu pemanasan 2 dan 4 jam. Waktu modifikasi 2 dan 4 jam dipilih karena modifikasi HMT mampu meningkatkan suhu pasting dan menurunkan viskositas dibandingkan pati native-nya sehingga menunjukkan kestabilan pasta pati terhadap pemanasan dan pengadukan yang lebih baik. Sementara perlakuan lainnya cenderung menghasilkan profil amilografi pasta yang tidak terlalu berbeda. Beberapa perlakuan lainnya bahkan terlihat gosong akibat tingginya mode dan waktu pemanasan yang diterapkan saat modifikasi HMT. Oleh karena itu. dalam modifikasi HMT selanjutnya dilakukan dengan kombinasi kadar air sebesar 20 dan 25% dengan waktu pemanasan 2 dan 4 jam pada mode pemanasan low. Akan tetapi. waktu modifikasi pada tapioka lalu diperpanjang menjadi 7 jam. Waktu pemanasan yang lebih panjang diterapkan mengingat studi yang dilakukan Lewandowicz et al. (1997) pada HMT tapioka dengan microwave dengan kadar air hingga 20-35% dan waktu modifikasi mencapai 2.5 jam belum menunjukkan penurunan viskositas yang signifikan serta kelarutan yang masih cukup besar pada pemanasan mencapai 68oC. Waktu pemanasan yang lebih ekstrem dipilih untuk mengetahui sensitivitas tapioka terhadap perlakuan modifikasi HMT pada karakteristik fungsional yang dihasilkan.
Tabel 11. Profil amilografi dari beberapa perlakuan uji coba modifikasi HMT Perlakuan T Parameter amilografi (cP)* Tp (oC)
PV
HPV
BV
SV
FV
-
73.70
4167
2081
2086
1831
3912
Low:25-30
57.5
73.25
4104
2139
1965
1896
4035
Low:25-60
70
74.90
3667
2065
1602
1768
3833
Low:25-90
72
74.50
3754
2107
1647
1813
3920
Low:25-120
76
74.50
3677
2003
1674
1671
3674
Low:25-240
78
74.45
3450
1629
1821
1765
3394
Medium low:25-30
80
73.25
4338
2268
2070
2422
4690
Medium low:25-60
-
mode: k.air (%) - waktu (menit) Maizena native
proses o
( C)*
Medium:25-15
89
Medium:25-30
-
Tidak dianalisis, pati gosong pada menit ke 40 72.00
3506
1763
1743
2002
3765
Tidak dianalisis, pati gosong pada waktu lebih dari 15 menit
*Suhu (T) proses dihitung pada akhir proses modifikasi HMT **Keterangan: suhu pasting (Tp,. peak viscosity (PV), hot paste viscosity (HPV), breakdown viscosity (BV), setback viscosity (SV), dan final viscosity (FV)
2. Modifikasi HMT dengan Kombinasi Kadar Air dan Waktu Terpilih Pada persiapan sampel. pengaturan kadar air dilakukan dengan estimasi penambahan jumlah air menggunakan prinsip kesetimbangan massa. Proses penambahan kadar air dilakukan secara perlahan diikuti dengan pengadukan secara manual untuk mencegah penggumpalan pati akibat distribusi air yang tidak merata. Analisis kadar air dilakukan pada pati basah yang telah disetimbangkan selama semlam pada suhu refrigerator. Lampiran 4 A dan B menunjukkan hasil
38
analisis kadar air setelah dilakukan conditioning dalam refrigerator selama semalam. Rata-rata kadar air aktual yang diperoleh lebih rendah dari kadar air target (20% dan 25%) dengan rata-rata penurunan berkisar 1.75-2.8% pada tapioka dan 1.8-2.2% pada maizena. Hal ini disebabkan persiapan pati basah yang dilakukan pada wadah terbuka memungkinkan terjadinya penguapan sehingga kadar air sebenarnya lebih kecil dari kadar air target. Pati basah selanjutnya ditempatkan pada wadah gelas tertutup khusus untuk microwave. Pada akhir proses modifikasi ditemukan beberapa gumpalan gel di sekeliling wadah pada pati HMT 25% dengan waktu pemanasan yang lebih lama yaitu 4 jam. Hal ini disebabkan adanya uap air yang terkondensasi di sekeliling wadah. Pemanasan dengan microwave menyebabkan adanya evaporasi uap air (Zondag 2003). Uap air yang terlepas dari bahan terperangkap pada dinding wadah gelas sehingga terkondensasi. Uap air yang terkondensasi dapat terimbibisi ke dalam granula terutama pada bagian pati yang berada di bawah penutup dan sekeliling permukaan wadah. Akibat adanya pemanasan granula yang terimbibisi uap air dapat tergelatinisasi dan membentuk gel basah yang jernih. Gel tersebut semakin banyak ditemukan seiring meningkatnya kadar air dan waktu pada perlakuan HMT. Adanya gel pada pemanasan pati menggunakan microwave juga dilaporkan Goebel et al. (1984) yang mengungkapkan bahwa rasio penambahan air yang lebih tinggi dan periode pemanasan yang lebih lama mengakibatkan pengembangan granula yang lebih tinggi pula. Setelah proses modifikasi selesai. wadah gelas berisi pati termodifikasi didinginkan hingga mencapai suhu ruang. Gel basah yang ditemukan kemudian dipisahkan lalu pati termodifikasi dikeringkan dengan oven pada suhu 50oC selama 1 jam. Pengeringan dilakukan untuk memperoleh kadar air penyimpanan yang aman bagi pati termodifikasi HMT. Pengaruh pengeringan pada maizena HMT yang khususnya dilakukan pada perlakuan pendahuluan HMT ditampilkan pada Tabel 12. Setelah dikeringkan. pati kemudian ditumbuk untuk memperoleh pati yang halus.
Tabel 12. Pengaruh pengeringan pada perlakuan pendahuluan HMT Perlakuan
Kadar
mode: k.air (%)
air
- waktu (menit)
(%)*
Parameter amilografi (cP)** Tp (oC)
PV
HPV
BV
SV
FV
Tanpa pengeringan Low:25-120
9.20
75.25
3557
2048
1509
1732
3780
Low:25-240
12.98
74.45
3528
1789
1739
1723
3512
Low:25-120
5.64
74.50
3677
2003
1674
1671
3674
Low:25-240
5.91
74.45
3450
1629
1821
1765
3394
Dengan pengeringan
*Kadar air (%) yang tertulis merupakan kadar air yang digunakan pada pengukuran viskositas menggunakan RVA. **Keterangan: suhu pasting (Tp,. peak viscosity (PV), hot paste viscosity (HPV), breakdown viscosity (BV), setback viscosity (SV), dan final viscosity (FV)
39
C. PENGARUH FAKTOR PROSES TERHADAP KARAKTERISTIK PATI TERMODIFIKASI HMT 1. Profil Amilografi
7000
120
6000
100
5000
80
4000 60 3000 40
2000
Suhu (oC)
Viskositas (cP)
Perubahan yang dihasilkan oleh modifikasi HMT dapat dipengaruhi oleh sumber pati dan kondisi modifikasi yang diterapkan (Olayinka et al. 2008; Zavareze dan Dias 2010). Kurva amilografi pada pati native dan termodifikasi baik tapioka dan maizena disajikan pada Gambar 12 dan 13. Tabel 13 memaparkan perubahan karakteristik pasta pati termodifikasi tapioka dan maizena.
20
1000 0
0 0
5
native
10
20-2
20-4
15
Waktu (menit) 25-2 25-4
20 25-7
25 o
Suhu ( C) (oC) temperatur
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
120 100 80 60 40
Suhu (oC)
Viskositas (cP)
Gambar 12. Grafik amilografi tapioka native dan modifikasi
20 0 0
5
10
15
20
25-2
25-4
25
Waktu (menit) native
20-2
20-4
o
Suhu ( C) Temp(C)
Gambar 13. Grafik amilografi maizena native dan modifikasi
a. Suhu pasting (PT) Pengaruh kadar air Perlakuan kadar air mempengaruhi perubahan pada suhu pasting (PT) kedua pati termodifikasi yang disajikan pada Tabel 13. Modifikasi HMT mendorong interaksi antara rantai
40
polimer amilosa dan amilopektin pada struktur granula yang menyebabkan peningkatan terhadap gaya tarik dan ikatan silang yang menghubungkan kedua rantai polimer tersebut. Peningkatan interaksi tersebut turut meningkatkan stabilitas interaksi molekul di dalam granula (Herawati 2009). Akibatnya, dibutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk memutuskan ikatan tersebut (Zavareze dan Dias 2010).
Perlakuan
Tabel 13. Karakteristik pasta pati native dan modifikasi Karakteristik pasta RVA* PT (oC)
PV (cP)
HPV (cP)
BV (cP)
FV (cP)
SV (cP)
Tapioka native
70.03 ± 0.04
5444 ± 61
2302 ± 89
3142 ± 28
3058 ± 60
756 ± 29
HMT 20-2
70.03 ± 0.04
5519 ± 25
2224 ± 52
3295 ± 27
3064 ± 14
841 ± 37
HMT 20-4
70.25 ± 0.28
5460 ± 92
2227 ± 5
3231 ± 83
3026 ± 28
800 ± 23
HMT 25-2
70.40 ± 0.00
5626 ± 51
2402 ± 20
3224 ± 31
3269 ± 9
867 ± 11
HMT 25-4
70.25 ± 0.28
5056 ± 36
1987 ± 49
3069 ± 13
2851 ± 168
770 ± 1
HMT 25-7
70.48 ± 0.04
5805 ± 76
2239 ± 21
3566 ± 55
3064 ± 32
825 ± 11
Maizena native
73.90 ± 0.28
4031 ± 24
2124 ± 74
1907 ± 49
3875 ± 72
1751 ± 1
HMT 20-2
74.48 ± 0.04
3962 ± 56
2154 ± 16
1808 ± 40
3898 ± 58
1745 ± 42
HMT 20-4
73.93 ± 0.32
3911 ± 85
1968 ± 46
1880 ± 99
3787 ± 13
1820 ± 59
HMT 25-2
74.30 ± 0.28
3766 ± 126
2003 ± 1
1764 ± 127
3707 ± 40
1700 ± 41
HMT 25-4
74.10 ± 0.07
3513 ± 89
1678 ± 69
1836 ± 21
3443 ± 69
1766 ± 1
kadar air (%) - waktu (jam)
*Keterangan: suhu pasting (Tp,. peak viscosity (PV), hot paste viscosity (HPV), breakdown viscosity (BV), setback viscosity (SV), dan final viscosity (FV)
Pengaruh waktu pemanasan Peningkatan waktu pemanasan yang diterapkan mempengaruhi peningkatan suhu pasting pada tapioka (Tabel 13). Sementara peningkatan waktu pemanasan pada maizena termodifikasi tidak memberikan peningkatan yang serupa pada tapioka. Suhu pasting (PT) yang lebih tinggi diperoleh pada perlakuan waktu yang lebih singkat pada HMT maizena (Tabel 13). Pengaruh waktu pemanasan terhadap suhu pasting (PT) pati termodifikasi juga dipelajari oleh Lorlowhakarn dan Naivikul (2006) pada tepung beras. Lorlowhakarn dan Naivikul (2006) menemukan bahwa suhu pasting semakin meningkat dengan meningkatnya waktu pemanasan yang diterapkan.
b. Viskositas puncak (PV) Pengaruh kadar air Besarnya viskositas puncak (PV) pada pati termodifikasi berbeda-beda pada tiap pati termodifikasi. Kenaikan kadar air perlakuan HMT menyebabkan terjadinya penurunan viskositas puncak (PV) pada maizena (Tabel 13). Perubahan tersebut diakibatkan adanya pergerakan
41
molekul pada heliks ganda granula yang disertai adanya pengaturan penyusunan kembali yang keduanya dimobilisasi oleh molekul l air. Peningkatan kadar air tidak hanya mengakibatkan adanya mobilisasi pada molekul heliks ganda namun juga melibatkan adanya peningkatan interaksi pada molekul inter- dan intramolekuler granula dengan meningkatnya kekuatan ikatan hidrogen. Perubahan struktural granula akibat HMT seperti perubahan penyusunan heliks ganda berperan dalam penurunan daya kembang dan kelarutan granula (Olayinka et al. 2008). Hal ini dikarenakan karakteristik pemastaan pati berkaitan erat dengan daya kembang dan kelarutan granula ketika dipanaskan. Studi dilaporkan Hoover dan Manuel (1996) pada pati jagung mengungkapkan penurunan viskositas puncak tidak hanya dipengaruhi oleh peningkatan ikatan hidrogen pada interaksi inter- dan intramolekuler granula tetapi juga oleh adanya pembentukan amilosa-lipid selama HMT. Lain halnya dengan tapioka termodifikasi HMT, kadar air memberikan pengaruh beragam pada viskositas puncak (PV) sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 13. Peningkatan viskositas puncak akibat modifikasi HMT juga dilaporkan Hoover dan Vasanthan (1994) serta Anderson dan Guraya (2006) pada pati gandum dan beras. Peningkatan viskositas puncak pada pati termodifikasi disebabkan meningkatnya rigiditas granula yang menyebabkan granula menjadi lebih tahan terhadap pengadukan (Hoover dan Vasanthan 1994; Adebowale et al. 2005).
Pengaruh waktu pemanasan Perlakuan waktu pemanasan yang lebih lama memberikan dampak semakin besar pula energi panas yang diterima granula pati akibat semakin besarnya peluang terjadinya gesekan molekul air. Energi panas yang semakin besar memungkinkan terjadinya degradasi termal pada susunan heliks ganda molekul amilopektin. Lu et al. (1996) menyatakan bahwa panas yang diberikan selama HMT menyebabkan molekul amilopektin terdegradasi. Adanya degradasi amilopektin ini diperlihatkan dengan adanya penurunan jumlah komponen berberat molekul tinggi yang mengindikasikan adanya degradasi termal terutama pada rantai linier bagian luar amilopektin. Peningkatan molekul berbobot rendah seperti amilosa menyebabkan daya kembang granula menjadi terhambat sehingga maizena termodifikasi HMT menunjukkan penurunan viskositas puncak (PV) secara bertahap dengan adanya peningkatan waktu pemanasan. Penurunan viskositas puncak akibat meningkatnya waktu pemanasan modifikasi HMT juga dilaporkan pada tepung beras (Lorlowhakarn dan Naivikul, 2006). Tapioka memiliki sensitivitas yang berbeda yang disebabkan oleh perlakuan waktu pemanasan. Tabel 13 menunjukkan hampir semua perlakuan waktu pemanasan kecuali pada HMT 25% 4 jam memberikan viskositas puncak (PV) yang lebih tinggi dibanding native-nya. Sensitivitas pati termodifikasi yang beragam akibat perlakuan waktu pemanasan berbeda juga dikemukakan Collado dan Corke (1999). Dari studi yang diperoleh, Collado dan Corke (1999) mengemukakan bahwa perubahan viskositas puncak (PV) pati ubi jalar dipengaruhi waktu, pH, dan kandungan amilosa. Untuk pati dengan amilosa lebih rendah (15.2%), PV terendah dicapai pada modifikasi HMT selama 16 jam pada pH asal (pH 6.5-6.7). Sementara, untuk pati dengan amilosa lebih tinggi (28.5%), modifikasi HMT yang dilakukan pada pH asal tidak terdapat perbedaan nilai viskositas yang diperoleh pada waktu pemanasan 4-16 jam.
42
c. Viskositas breakdown (BV) Pengaruh kadar air Pengukuran viskositas breakdown (BV) bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan proses modifikasi HMT terhadap kestabilan pasta pati. Perlakuan peningkatan kadar air pada modifikasi HMT memberikan penurunan viskositas breakdown (BV). Viskositas breakdown (BV) yang terukur pada tapioka HMT masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan native-nya (Tabel 13). Hal ini menunjukkan interaksi yang terbentuk akibat modifikasi HMT belum mampu menghasilkan tapioka termodifikasi yang cukup tahan terhadap perlakuan pemanasan. Karakteristik asal sumber pati seperti ukuran granula dan komposisi kimia seperti kandungan lemak dapat mempengaruhi karakteristik pasta pati. Ukuran granula yang besar seperti yang dimiliki oleh tapioka memiliki interaksi ikatan hidrogen molekul granula yang lebih lemah daripada pati dengan ukuran granuula yang lebih kecil seperti maizena (Kaletunç dan Breslauer 2003). Kandungan lemak pada maizena yang cukup tinggi menghalangi pembengkakan dan pelepasan molekul granula (khususnya amilosa) saat pemanasan pada suhu tinggi (95 oC) akibat kuatnya ikatan antar molekul khususnya pada interaksi kompleks amilosa-lipid sehingga dibutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk memutus ikatan tersebut.
Pengaruh waktu pemanasan Perbedaan waktu pemanasan pada modifikasi HMT menyebabkan perbedaan orientasi susunan heliks ganda serta interaksi intra- dan intermolekul pada granula pati. Hal ini disebabkan perbedaan sensitivitas terhadap perlakuan HMT yang diterapkan baik yang disebabkan oleh sumber pati maupun pengaruh proses itu sendiri. Tabel 13 menunjukkan bahwa HMT 25% selama 4 jam baik pada tapioka dan maizena memiliki nilai breakdown (BV) terendah dibanding perlakuan lainnya. Perbedaan sensivitas perlakuan HMT terhadap penurunan breakdown juga dilaporkan Collado dan Corke (1999) pada pati kentang yang memiliki kandungan amilosa berbeda (15.2 dan 28.5%). Pengukuran breakdown (BV) terendah dengan pH asal (pH 6.5-6.7) dimiliki pada pati kentang (15.2% amilosa) dengan HMT selama 4 jam. Sementara pada pati ubi jalar dengan kandungan amilosa 28.5%, tidak diperoleh perbedaan nilai viskositas breakdown akibat adanya perlakuan waktu pemanasan pada modifikasi HMT.
d. Viskositas setback (SV) Pengaruh kadar air Perlakuan kadar air pada modifikasi HMT berdampak pada peningkatan setback (SV) pada tapioka (Tabel 13). Penemuan serupa juga dilaporkan Abraham (1993) pada tapioka dengan modifikasi HMT microwave. Lain halnya pada maizena, perlakuan HMT memberikan respon setback (SV) yang beragam yang merupakan kombinasi pengaruh perlakuan kadar air dan waktu yang diterapkan. Zavareze dan Dias (2010) menambahkan bahwa viskositas setback (SV) dipengaruhi oleh jumlah amilosa yang terlepas, ukuran granula, rigiditas, dan granula mengembang yang tidak terfragmentasi.
43
Pengaruh waktu pemanasan Perlakuan waktu pemanasan memberikan respon nilai viskositas setback yang beragam pada tapioka HMT. Akan tetapi peningkatan setback terjadi pada maizena termodifikasi HMT akibat diterapkannya perlakuan waktu pemanasan yang semakin meningkat (Tabel 13). Stute et al. (1992) menyatakan modifikasi hidrotermal seperti HMT dapat meningkatkan viskositas akhir (FV) dan setback (SV) akibat meningkatnya rigiditas granula.
2. Profil Gelatinisasi Termogram DSC pada pati native dan termodifikasi disajikan pada Gambar 14 dan 15. Perubahan suhu gelatinisasi [awal (To), puncak (Tp), akhir (Tc)] dan entalpi gelatinisasi (∆H) akibat pengaruh modifikasi HMT pada kedua pati dipaparkan pada Tabel 14. Secara garis besar, pengaruh HMT pada perubahan karakteristik termal gelatinisasi pati tergantung pada kadar air saat perlakuan, sumber pati, dan kandungan amilosa (Zavareze dan Dias, 2010).
Aliran Panas Endotermik
To
Tc Tp
40
60
80
100
Suhu (oC) native
20% 20-22 jam
20% 4 jam 20-4
25% 2 jam 25-2
25% 4 jam 25-4
25% 7 jam 25-7
Gambar 14. Termogram DSC tapioka native dan termodifikasi
Aliran Panas Endotermik
To
40
Tp
Tc
60
80
100
Suhu (oC) native
20-2 20% 2 jam
20-44 jam 20%
25-2 25% 2 jam
25-44 jam 25%
Gambar 15. Termogram DSC maizena native dan termodifikasi
44
Perlakuan
Tabel 14. Profil gelatinisasi pati native dan termodifikasi Perubahan suhu (oC)* To
Tp
Tc
Tc - To
∆H (J/g)*
Tapioka native
64,40
69,33
74,27
9,87
3,15
HMT 20-2
64,23
69,14
79,07
14,84
8,82
HMT 20-4
64,46
69,38
79,29
14,83
8,70
HMT 25-2
66,52
72,45
77,41
10,89
1,65
HMT 25-4
66,92
71,84
84,19
17,27
3,58
HMT 25-7
66,45
72,34
82,25
15,80
2,69
Maizena native
64,56
69,18
74,45
9,89
3,05
HMT 20-2
64,25
69,17
74,12
9,87
8,38
HMT 20-4
64,46
69,39
74,35
9,89
6,19
HMT 25-2
64,32
69,24
74,19
9,88
7,75
HMT 25-4
64,65
69,60
74,56
9,91
5,38
kadar air (%) -waktu (jam)
*Keterangan: suhu awal (To); puncak (Tp); akhir (Tc) gelatinisasi, dan entalpi gelatinisasi (∆H)
a. Suhu transisi gelatinisasi (To, Tp, dan Tc) Pengaruh kadar air Kedua pati termodifikasi HMT menunjukkan peningkatan suhu puncak gelatinisasi (Tp) seiring dengan meningkatnya kadar air perlakuan (Tabel 14). Peningkatan suhu transisi gelatinisasi (To, Tp, dan Tc) akibat modifikasi HMT juga dilaporkan Hoover dan Vasanthan (1994), Hoover dan Manuel (1996), Gunaratne dan Hoover (2002), serta Vermeylen et al. (2006). Peningkatan kadar air turut meningkatkan pergerakan heliks ganda yang dapat menghancurkan dan/ atau mengubah orientasi kristalit (Gunaratne dan Hoover 2002). Tapioka menunjukkan kenaikan suhu gelatinisasi yang lebih besar pada kadar air 25% (Tabel 14) padahal studi difraksi sinar X pada Tabel 16 menunjukkan HMT menyebabkan kerusakan kristalit pati. HMT tidak saja mempengaruhi perubahan daerah kristalin tetapi juga pada daerah amorphous granula (Hoover dan Vasanthan 1994; Hoover dan Manuel 1996; Lim et al. 2001). Suhu pelelehan kristalit (To, Tp, dan Tc) dikendalikan secara tidak langsung oleh daerah amorphous. Peningkatan suhu gelatinisasi (Tp) pada pati termodifikasi menunjukkan meningkatnya interaksi molekul-molekul pada daerah amorphous (Hoover dan Vasanthan 1994). Peningkatan interaksi amilosa-amilosa (daerah amorphous) dan/ atau amilosa-amilopektin (daerah interkristalin) menyebabkan penurunan pengembangan granula sehingga memungkinkan menurunnya pengaruh destabilisasi daerah amorphous saat pelelehan kristalit. Hal ini mengakibatkan peningkatan stabilitas termal granula sehingga dibutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk pelelehan kristalit pada pati termodifikasi (Gunaratne dan Hoover 2002). Komplek amilosa-lipid juga dilaporkan terbentuk pada pati serealia akibat pengaruh HMT (Hoover dan Manuel 1996). Adanya komplek tersebut juga dapat meningkatkan stabilitas termal pati. Peningkatan suhu puncak gelatinisasi (Tp) akibat peningkatan kadar air perlakuan terlihat lebih besar pada tapioka dibandingkan maizena (Tabel 14). Tingginya suhu gelatinisasi (Tp) menunjukkan kesempurnaan penyusunan molekul pada kristalin yang ditentukan dari panjangnya
45
rantai heliks ganda yang menyusunnya, sehingga membutuhkan energi yang lebih tinggi untuk mendisosiasinya (Singh et al. 2003). Akan tetapi jika melihat data yang diperoleh difraktogram, tapioka mengalami penurunan kristalinitas relatif yang cukup besar akibat perlakuan HMT (Tabel 16). Namun suhu gelatinisasi sebagaimana yang dikemukakan Gunaratne dan Hoover (2002) tidak hanya bergantung pada struktur molekuler amilopektin (panjang rantai dan percabangan) tetapi juga struktur granula (rasio daerah kristalin-amorphous) dan komposisi pati (rasio amilosaamilopektin, jumlah komplek lemak, dan rantai amilosa). Suhu puncak gelatinisasi (Tp) tapioka HMT yang lebih tinggi disebabkan oleh perbedaan panjang rantai amilosa. Tester et al. (2004) melaporkan bahwa derajat polimerisasi (DP) amilosa tapioka lebih tinggi dari maizena.
Pengaruh waktu pemanasan Semakin lama waktu pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT menyebabkan suhu transisi gelatinisasi (To, Tp, dan Tc) mengalami peningkatan. Peningkatan suhu puncak gelatinisasi tertinggi (Tp) juga dilaporkan pada pati ubi jalar (15.2 dan 28.5% amilosa) pada perlakuan HMT selama 8 jam (Collado dan Corke 1999). Peningkatan suhu gelatinisasi dipengaruhi interaksi amilosa (daerah amorphous) dengan segmen cabang rantai amilopektin (daerah kristalin). Perubahan yang terjadi dapat dipengaruhi oleh penyusunan kembali rantai pendek amilopektin yang difasilitasi energi panas dan air pada perlakuan modifikasi (Pukkahuta et al. 2008). Semakin lama waktu pemanasan pemanasan yang diberikan akan mempengaruhi pergerakan dan reorientasi helik ganda pada kristalin sehingga meningkatkan stabilitas termal pati (Hoover dan Vasanthan 1994). Modifikasi HMT juga memperbesar selang suhu gelatinisasi (Tc-To) pada kedua pati termodifikasi (Tabel 14). Pelebaran rentang suhu gelatinisasi (Tc-To) yang disebabkan modifikasi HMT juga dilaporkan oleh Collado dan Corke (1999), Hoover dan Manuel (1996), Vermeylen et al. (2006), dan Pukkkahuta et al. (2008). Lim et al. (2001) menyatakan bahwa pelebaran rentang suhu gelatinisasi disebabkan adanya peningkatan suhu termal endoterm yang dipicu oleh perubahan daerah kristalin.Pelebaran rentang suhu gelatinisasi akibat HMT lebih terlihat pada tapioka dibandingkan maizena (Tabel 14). Pelebaran rentang suhu gelatinisasi (Tc-To) menunjukkan variasi yang lebih besar pada stabilisasi struktur kristalin (Chung et al. 2009). Perbedaan variasi pada penyusunan kristalin terlihat dengan terbacanya intensitas difraksi pada puncak kristal baru maupun penguatan intensitas pada kristal yang sudah ada (Lampiran 12). Perubahan yang terjadi pada susunan kristalin tersebut mendorong perubahan variasi stabilitas struktur kristalin terhadap panas.
b. Entalpi gelatinisasi (∆H) Pengaruh kadar air Selain itu, modifikasi HMT juga mengubah entalpi gelatinisasi (∆H) pada pati (Tabel 14). Entalpi gelatinisasi (∆H) merupakan energi yang diperlukan untuk gelatinisasi. Cooke dan Gidley (1992) menambahkan bahwa ∆H menunjukkan hilangnya susunan heliks ganda. Hal ini disebabkan molekul air mempengaruhi pergerakan heliks ganda yang umumnya terdiri atas percabangan rantai amilopektin (Hoover dan Vasanthan 1994). Pergerakan heliks yang dimobilitasi oleh molekul air yang menguap (akibat penetrasi panas) mengakibatkan perusakan dan disorientasi penyusunan molekul pada kristalin (Gunaratne dan Hoover 2002). Peningkatan
46
disorientasi dan perusakan pada daerah kristalin menyebabkan penurunan total kristalinitas. Variasi ∆H menggambarkan perbedaan derajat kristalinitas (Srichuwong et al., 2005).
Pengaruh waktu pemanasan Peningkatan perlakuan waktu pemanasan pada modifikasi HMT menyebabkan penetrasi panas semakin lama terjadi pada granula pati. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan disorientasi susunan molekul dan kerusakan pada daerah kristalin yang disebabkan adanya pergerakan heliks ganda (Gunaratne dan Hoover 2002). Lamanya waktu pemanasan mempengaruhi pergerakan dan reorientasi penyusunan pada rantai heliks ganda (Hoover dan Vasanthan 1994). Walaupun demikian modifikasi HMT tidak hanya menginduksi perubahan pada daerah kristalin tetapi juga daerah amorphous pada granula pati (Lim et al., 2001).
3. Bentuk Granula Pati Mikroskop cahaya terpolarisasi (PLM) umumnya digunakan untuk melihat ukuran, bentuk, dan posisi hilum. Pada penelitian kali ini mikroskop polarisasi digunakan untuk melihat pengaruh modifikasi HMT pada granula tapioka dan maizena sehingga digunakan perbesaran berbeda yaitu 400 dan 1000 kali. Hasil pengamatan granula pati tapioka dan maizena dengan mikroskop cahaya terpolarisasi disajikan pada Gambar 16 dan 17.
A
400x
1000x
B
400x
1000x
C
400x
1000x
D
400x
1000x
E
400x
1000x
F
400x
1000x
Gambar 16. Granula tapioka native dan termodifikasi pada perbesaran 400x dan 1000x native (A); HMT 20-2 (B); HMT 20-4 (C); HMT 25-2 (D); HMT 25-4 (E); HMT 25-7(F)
L
Secara mikroskopis, granula pati tapioka umumnya berbentuk bulat, namun ada pula sebagian yang berbentuk bulat dan pecah dengan salah satu sisi terpotong. Sementara pada granula pati maizena berbentuk polihedral dan melingkar. Selain itu, pada kedua pati juga dapat
47
diamati hilum yang merupakan titik pertumbuhan asal dari granula terletak di tengah-tengah (sentris) dengan bentuk titik atau 1-4 garis pendek yang salah satu ujungnya bertemu sebagaimana yang dilaporkan oleh Febriyanti dan Wirakartakusumah (1990) serta Mishra dan Rai (2006). Pada kondisi alaminya (tanpa modifikasi), tapioka (Gambar 16A) dan maizena (Gambar 17A) menunjukkan pola maltose cross (pola silang), pola ini dikenal dengan sifat birefringence.
A
400x
1000x
B
400x
1000x
C
400x
1000x
D
400x
1000x
E
400x
1000x
Gambar 17. Granula maizena native dan termodifikasi pada perbesaran 400x dan 1000x native (A); HMT 20-2 (B); HMT 20-4 (C); HMT 25-2 (D); HMT 25-4 (E)
L
Pengaruh kadar air Peningkatan kadar air hingga 25% pada perlakuan HMT menyebabkan terjadinya perubahan sifat birefringence pada granula tapioka dan maizena (Gambar 16 dan 17). Granula kedua pati tersebut kehilangan birefringence yang ditunjukkan adanya lubang pada pusat granula (hilum) namun intensitas birefringence di sekitar pusat granula tidak berubah. Hal tersebut menunjukkan granula pati masih terjaga integritasnya. Hilangnya birefringence pada pusat granula disebabkan pusat granula pati merupakan daerah amorphous (Eliasson, 2004). Daerah amorphous memiliki susunan molekul pada daerah tersebut lebih renggang sehingga lebih mudah diberubah selama HMT (Eliasson 2004; Chung et al. 2009). Hilangnya sifat birefringence granula pati termodifikasi dipengaruhi oleh kadar air. Peningkatan kadar air modifikasi HMT hingga 25% terlihat mengakibatkan hilangnya sifat birefringence granula dengan terlihatnya lubang pada pusat granula (Gambar 16F, 17D, dan 17E). Hilangnya sifat birefringence dan terbentuknya lubang pada pusat granula akibat modifikasi HMT juga dilaporkan Vermeylen et al. (2006), Lu dan Yang (2006), serta Chung et al. (2009). Pergerakan helik ganda selama modifikasi HMT yang dipicu pergerakan molekul air tervaporasi dapat mengakibatkan kerusakan pada kristalit dan/ atau orientasi kristalin (Gunaratne dan Hoover, 2002). Pergerakan molekul pada granula dapat mengubah orientasi kristalin dan meningkatkan derajat ketidakteraturan molekul pada daerah kristalin sehingga birefringence pati
48
menjadi melemah. Terbatasnya jumlah air pada pati tapioka dan maizena menyebabkan interaksi hidrogen yang terbentuk antara air dengan molekul amilosa dan amilopektin juga terbatas sehingga tidak menyebabkan gelatinisasi. Lu dan Yang (2006) mempelajari pengaruh kadar air pada sifat birefringence tapioka termodifikasi HMT. Studi tersebut mengungkapkan hubungan peningkatan kadar air dengan hilangnya sifat birefringence pada granula birefringence termodifikasi HMT.
Pengaruh waktu pemanasan Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakterarturan sehingga meningkatkan molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat kristal (Hoseney 1998). Hal ini mengingat bahwa intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Semakin lama waktu pemanasan yang diterapkan, semakin besar pula energi panas yang diterima sehingga sifat birefringence granula semakin melemah. Granula maizena HMT mulai terlihat kehilangan sifat birefringence pada waktu yang lebih singkat yaitu 2 jam (Gambar 17D). Hal ini sangat berbeda pada tapioka yang membutuhkan waktu yang lebih lama (7 jam) sehingga granula mulai terlihat kehilangan sifat birefringence (Gambar 16F). Perbedaan kandungan amilosa dapat menyebabkan perbedaan kerentanan granula kedua pati mulai terlihat kehilangan birefringencenya. Hal ini mengingat pusat granula pati yang merupakan daerah amorphous yang memiliki penyusunan molekul yang lebih renggang sehingga interaksi antar molekulnya lebih mudah berubah akibat HMT (Eliasson 2004; Herawati 2009). Molekul amilosa menyusun sebagian besar daerah amorphous. Perbedaan derajat penyusunan granula mempengaruhi sifat birefringence dan kristalinitas. Kristalinitas relatif yang lebih tinggi pada tapioka (Tabel 16) menunjukkan derajat organisasi molekul pada tapioka lebih tinggi dibandingkan maizena. Hal ini menyebabkan tapioka membutuhkan waktu pemanasan yang lebih lama untuk mengubah keteraturan dan orientasi penyusunan molekul.
D. EVALUASI PENGARUH FAKTOR PROSES DAN PENENTUAN KONDISI HMT TERPILIH Kondisi HMT terpilih ditentukan dengan mengevaluasi faktor proses yang diterapkan yaitu kadar air dan waktu pemanasan. Faktor-faktor tersebut dianalisis pengaruhnya terhadap pati HMT yang dihasilkan melalui analisis amilografi pasta, gelatinisasi, dan bentuk granula. Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa interaksi kedua faktor yaitu kadar air dan waktu pemanasan menghasilkan profil pati termodifikasi dengan beragam karakter. Tabel 15 menjelaskan proses evaluasi faktor proses yang diperlukan untuk menentukan kondisi HMT terpilih. Secara garis besar, peningkatan kadar air memiliki peran penting untuk mengubah karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan (Tabel 15). Pengaturan kadar air HMT hingga 25% mampu memberikan pati termodifikasi HMT dengan suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dan stabilitas termal yang lebih baik terhadap pengaruh pemanasan dan pengadukan. Zylema et al. (1985) mengungkapkan kadar air berperan penting pada pendistribusian panas microwave ke bahan. Energi panas dihasilkan dari gesekan molekul bipolar seperti air yang dipicu gelombang elektron yang dipancarkan microwave. Semakin tinggi kadar air yang terkandung pada sampel maka semakin tinggi pula peluang gesekan antar molekul air yang kemudian menghasilkan panas. Adebowale et al. (2005) menyatakan bahwa perubahan karakteristik fisikokimia dan fungsional tergantung pada pengaturan kadar air modifikasi. Kadar
49
air dan energi panas dalam jumlah tertentu diperlukan untuk meningkatkan pergerakan rantai molekul dan mendistorsi ikatan antar molekul pada granula saat modifikasi berlangsung (Lu dan Yang 2006) namun granula tetap terjaga integritasnya. Dengan perlakuan kadar air terbatas (<35%), modifikasi HMT dapat menyebabkan adanya pengaturan kembali molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula yang berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik dan kimia pati (Herawati 2009).
Tabel 15. Evaluasi pengaruh faktor proses untuk menentukan kondisi HMT terpilih Parameter Kadar air 20% Kadar air 25% evaluasi yang ingin dicapai
2 jam T*
M*
4 jam T
M
2 jam T
4 jam
M
T
M
7 jam T
Penurunan PV**
Penurunan BV**
Penurunan SV**
Peningkatan
suhu gelatinisasi Perubahan sifat
birefringence granula * Keterangan: Tapioka (T) dan maizena (M) **Keterangan: Peak viscosity (PV), breakdown viscosity (BV), dan setback viscosity (SV)
Studi yang dilakukan Lewandowicz et al. (1997) menyatakan modifikasi dengan microwave mengubah karakteristik fisikokimia pada pati kentang dan singkong serta adanya korelasi kuat antara kadar air dan besarnya perubahan pada pati teriradiasi. Iradiasi microwave pada pati umbi-umbian pada kadar air terbatas (<35%) menyebabkan peningkatan suhu pasting, penurunan kelarutan, dan perubahan struktur kristalin. Perubahan yang terjadi semakin meningkat seiring dengan peningkatan kadar air perlakuan. Vermeylen et al. (2006) menambahkan pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih tinggi mempunyai suhu gelatinisasi lebih tinggi, rentang suhu gelatinisasi lebih lebar, dan entalpi (∆H) lebih rendah dibandingkan pati HMT dengan kadar air dan suhu yang lebih rendah. Pati termodifikasi HMT dengan kadar air 25% kemudian dianalisis kembali untuk mengetahui karakteristik fungsional pati yang dihasilkan.
E. KARAKTERISTIK FUNGSIONAL PATI DENGAN KONDISI HMT TERPILIH 1. Profil Kristalin Hasil analisis profil kristalin dengan difraksi sinar X dapat menjelaskan hasil yang diperoleh pada analisis DSC. Difraktogram siar X pada tapioka dan maizena disajikan pada Gambar 18 dan 19. Perubahan intensitas, kristalinitas relatif, dan pola kristal pati termodifikasi dipaparkan pada Tabel 16. Kristalinitas tapioka native pada Tabel 16 lebih tinggi dibanding maizena. Kadar amilopektin tapioka yang lebih tinggi dari maizena (Tabel 10) menyebabkan tapioka memiliki kristalinitas yang lebih tinggi. Amilopektin merupakan komponen utama
50
penyusun daerah kristalin granula (Hoover dan Manuel, 1996). Kristalinitas merupakan fungsi dari heliks ganda yang terbentuk dari rantai cabang amilopektin (Hoover, 2001). Perbedaan kadar amilopektin pada pati akan memiliki kristalinitas berbeda seperti yang dilaporkan Cheetam dan Tao (1998), Gunaratne dan Hoover (2002), serta Zavareze et al. (2010). Penurunan intensitas difraksi sinar X kristal akibat modifikasi HMT ditemukan pada tapioka (Tabel 16). Penurunan intensitas pada puncak difraktogram pati HMT dilaporkan pada pati kentang dan yam (Hoover dan Vasanthan 1994). Penurunan intensitas tersebut menunjukkan hilangnya susunan kristalin akibat kerusakan ikatan hidrogen yang menghubungkan heliks ganda. Meningkatnya waktu pemanasan mendorong pergerakan dan reorientasi heliks ganda yang dipicu oleh tingginya kadar air yang diterapkan. Pergerakan heliks ganda disertai disorientasi susunan heliks menyebabkan menurunnya keteraturan pada penyusunan pararel kristalin sehingga intensitas difraktogram kristal tapioka setelah HMT menjadi lebih rendah (Tabel 16) (Hoover dan Vasanthan 1994). Berbeda halnya dengan tapioka, setelah HMT maizena menunjukkan peningkatan intensitas pada beberapa puncak difraktogram (Tabel 16). Peningkatan intensitas tersebut juga dilaporkan Hoover dan Vasanthan (1994) pada pati gandum serta Zavareze et al. (2010) pada pati beras. Hal ini disebabkan adanya penetrasi panas dan peningkatan kadar air yang menyebabkan perubahan heliks ganda sehingga penyusunannya pada kristalin menjadi lebih rapat dan teratur (akibat meningkatnya ikatan hidrogen pada hubungan antar heliks). Pergerakan heliks selama modifikasi dapat merusak kristalit pati sehingga terjadi penurunan kristalinitas (Gunaratne dan Hoover 2002).
HMT 25% 7 jam
HMT 25% 4 jam
HMT 25% 2 jam
Tapioka native
5
10
15
2-theta
20
25
30
Gambar 18. XRD difraktogram tapioka native dan termodifikasi
51
HMT 25% 4 jam
HMT 25% 2 jam
Maizena native
5
10
15
20
2-theta
25
30
Gambar 19. XRD difraktogram maizena native dan termodifikasi Tabel 16. Intensitas dari puncak tertinggi difraktogram sinar X , kristalinitas relatif, dan tipe kristal pati native dan termodifikasi HMT Perlakuan
Intensitas pada puncak tertinggi
Kristalinitas
kadar air (%)
(cps)
relatif
17o
18o
Tapioka native
105
104
82
35.14
A
HMT 25-2
95
98
86
29.55
A
HMT 25-4
100
101
84
28.41
A
HMT 25-7
97
102
82
28.02
A
Maizena native
96
103
83
31.06
A
HMT 25-2
97
105
77
28.76
A
HMT 25-4
103
107
82
24.19
A
- waktu (jam)
23o
Tipe kristal
(%)
Penurunan intensitas kristalin pada pati termodifikasi disebabkan adanya penurunan kristalinitas atau peningkatan daerah amorphous pada lamella semi-kristalin. HMT mempengaruhi perubahan pada pola difraksi pati yang dipengaruhi oleh dehidrasi (evaporasi molekul air) yang kemudian memicu pergerakan pasangan heliks ganda ke dalam saluran pusat. Pergerakan selama HMT ini dapat mengakibatkan kerusakan pada kristalit pati dan atau orientasi kristal (Gunaratne dan Hoover 2002). Lu et al. (1996) mempelajari gel kromatografi fraksinasi pati beras dan menemukan bahwa proses HMT menimbulkan degradasi amilopektin sehingga menurunkan jumlah molekul besar (amilopektin) dan meningkatkan jumlah molekul kecil (amilosa). Cheetam dan Tao (1998) menambahkan adanya korelasi pada penurunan kristalinitas pati dengan peningkatan kandungan amilosa. Penurunan kristalinitas akibat HMT juga ditemukan pada pati kentang (Vermeylen et al. 2006), singkong, dan garut (Gunaratne dan Hoover 2002). Tapioka dan maizena native menunjukkan kristal tipe A (Gambar 18 dan 19, Tabel 16). Hal serupa juga diungkapkan pada studi sebelumnya oleh Cheetam dan Tao (1998), Gunaratne
52
dan Hoover (2002) serta Srichuwong et al. (2005). Kedua pati menunjukkan intensitas refleksi sinar X tertinggi pada 17o, 18o, dan 23o pada sudut pemantauan 2-theta (2θ). Modifikasi HMT ternyata tidak mengubah tipe kristal pada kedua pati (Gambar 18 dan 19, Tabel 16). Hal serupa juga ditemukan pada pati tapioka, taro, cocoyam (Gunaratne dan Hoover 2002), gandum, maizena, dan waxy maize (Lewandowicz et al. 2000). Sebagaimana yang terlihat dari hasil difraksi sinar X, tapioka mengalami penurunan intensitas kristalit (Tabel 16). Namun stabilitas kristalin tidak menjadi hanya satu-satunya faktor yang mempengaruhi peningkatan perubahan suhu gelatinisasi. Peningkatan suhu gelatinisasi (T o, Tp, dan Tc) merefleksikan peningkatan interaksi serta asosiasi molekul pada daerah amorphous granula (Hoover dan Vasanthan 1994). Peningkatan suhu gelatinisasi yang lebih besar pada tapioka disebabkan tapioka memiliki derajat polimerisasi (DP) amilosa yang lebih besar dari maizena (Tester et al., 2004). Demikian pula pada peningkatan suhu gelatinisasi pada maizena termodifikasi HMT menunjukkan penurunan destabilisasi pada daerah amorphous saat pelelehan kristal pati selama gelatinisasi. Perubahan ini disebabkan adanya kecenderungan interaksi antara amilosa (pada daerah amorphous) dan/ atau antara amilopektin dan segmen cabang amilopektin (pada daerah interkristalin) dibanding peningkatan stabilitas kristalin (Hoover dan Vasanthan 1994). Peningkatan intensitas kristal pada maizena (Tabel 16) juga menunjukkan peningkatan penyusunan kristalin yang berpengaruh pada peningkatan entalpi gelatinisasi (∆H) (Hoover dan Vasanthan 1994).
2. Profil Daya Kembang (Swelling Power) dan Kelarutan (Solubility) Pengaruh modifikasi HMT terhadap daya kembang (swelling power) granula pati termodifikasi disajikan pada Gambar 20. Daya kembang granula baik pati native dan termodifikasi meningkat dengan adanya peningkatan suhu pemanasan. Menurut Moorthy (2004) faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, panjang rantai, distribusi bobot molekul, derajat percabangan, dan konformasi menentukan daya kembang dan kelarutan pati. Grafik pada Gambar 20B menunjukkan maizena lebih mudah dipengaruhi modifikasi HMT dalam menurunkan daya kembang granula. Penurunan daya kembang akibat pengaruh HMT dapat diakibatkan oleh: (1) perubahan penyusunan kristalit pati (Tabel 16); (2) interaksi antara amilosaamilosa dan/ atau amilosa-amilopektin di daerah amorphous; (3) interaksi amilosa-lipid (Hoover dan Vasanthan 1994). Daya kembang granula terendah akibat pengaruh HMT pada perlakuan HMT maizena 25% 4 jam. Gambar 20A (data pada Lampiran 6) memperlihatkan tapioka termodifikasi HMT memiliki daya kembang yang tidak berbeda dengan native-nya. Hal ini disebabkan interaksi molekuler yang terbentuk akibat HMT tidak terlalu kuat. Sehingga ketika suhu pemanasan meningkat, air masih dapat dengan mudah menghidrasi granula dan menyebabkan granula mengembang. Daya kembang tapioka HMT terendah dimiliki oleh HMT 25% 4 jam. Penurunan daya kembang granula akibat HMT dilaporkan pada pati sorgum merah (Adebowale et al. 2005), kentang, singkong (Gunaratne dan Hoover 2002), dan maizena (Hoover dan Manuel 1996; Chung et al. 2009). Penurunan daya kembang granula akibat HMT berhubungan dengan peningkatan suhu pasting (PT) (Tabel 13) yang disebabkan oleh penyusunan kembali molekul pada granula, pembentukan komplek amilosa-lipid, degradasi molekul amilopektin, peningkatan interaksi antara rantai amilosa, dan perubahan interaksi antara matriks amorphous dan kristalit (Adebowale et al. 2005; Lorlowhakarn dan Naivikul 2006).
53
18.00
20.00
15.00
Swelling power (%)
Swelling power (%)
25.00
15.00 10.00 5.00 0.00
12.00 9.00 6.00 3.00 0.00
55
65
75
85
95
55
Suhu (oC)
65
75
85
95
Suhu (oC)
native
hmt 25% 2 jam
native
hmt 25% 4 jam
hmt 25% 7 jam
hmt 25% 4 jam
(A)
hmt 25% 2 jam
(B)
18.00
18.00
15.00
15.00
Solubility (%)
Solubility (%)
Gambar 20. Grafik respon HMT terhadap swelling power tapioka (A) dan maizena (B)
12.00 9.00 6.00
12.00 9.00
6.00
3.00
3.00
0.00
0.00 55
65
75
85
95
55
Suhu (oC)
65
85
95
Suhu (oC)
native
hmt 25% 2 jam
native
hmt 25% 4 jam
hmt 25% 7 jam
hmt 25% 4 jam
(A)
75
hmt 25% 2 jam
(B)
Gambar 21. Grafik respon HMT terhadap solubility tapioka (A) dan maizena (B) Kelarutan (solubility) merupakan pelepasan molekul terdisosiasi yang keluar dari granula selama pengembangan. Peristiwa ini menunjukkan perubahan ketidakteraturan granula yang terjadi selama gelatinisasi (Tester dan Morrison 1990). Penurunan kelarutan akibat modifikasi HMT lebih terlihat pada maizena dengan meningkatnya perlakuan waktu proses walaupun pada pemanasan awal (60o dan 70oC), kelarutannya lebih tinggi dari native-nya (data pada Lampiran 7). Penurunan kelarutan juga ditemukan pada HMT pati sorgum putih (Olayinka et al. 2008) dan beras (Zavareze et al. 2010). Sementara HMT pada tapioka memberikan pola tidak berbeda dengan native kecuali pada HMT 4 jam. Hal demikian juga ditemukan pada pati sorgum merah (Adebowale et al. 2005) dan beras (Hormdok dan Noomhorn 2007). Maizena HMT 25% 4 jam menunjukkan penurunan kelarutan terbesar (Lampiran 7). Penurunan kelarutan ini disebabkan adanya interaksi tambahan yang terjadi antara amilosaamilosa dan amilosa-amilopektin selama HMT yang juga berpengaruh terhadap penurunan daya
54
kembang granula (Hoover dan Vasanthan 1994; Olayinka et al. 2008). Olayinka et al. (2008) menambahkan adanya sejumlah komplek amilosa-lipid juga berperan dalam penurunan daya kembang dan kelarutan. Dari hasil penelitian yang diperoleh terlihat modifikasi HMT dengan microwave terlihat lebih rentan terjadi pada maizena yang memiliki amilosa lebih besar. Pengaruh kandungan amilosa terhadap pengaruh modifikasi HMT dengan teknik microwave juga diungkapkan oleh Lewandowicz et al. (1997; 2000) pada pati kentang, tapioka, dan serealia. Amilosa merupakan molekul pati yang menyusun sebagian besar daerah amorphous. Daerah ini lebih rentan terhadap imbibisi air dan penetrasi panas akibat susunan molekulnya yang renggang. Pergerakan molekul air dan penetrasi panas menyebabkan asosiasi amilosa atau kristalisasi dengan sebagian amilopektin. Hal tersebut terlihat dengan adanya penurunan daya kembang dan kelarutan yang menyebabkan perubahan karakteristik pemastaan dan gelatinisasi pati termodifikasi (Donovan et al. 1983).
3. Profil Absorpsi Air dan Minyak Pengaruh modifikasi HMT terhadap absorpsi air dan minyak pati termodifikasi disajikan pada Gambar 22 dan 23. Modifikasi HMT memberikan pengaruh kenaikan absorpsi air pada pati termodifikasi (data pada Lampiran 8). Besarnya kenaikan tergantung dari waktu pemanasan yang diterapkan. Peningkatan absorpsi air akibat HMT juga dilaporkan pada pati sorgum (Adebowale et al. 2005; Olayinka et al. 2008).
Absorpsi air (g/ g)
1.60 1.20 0.80 0.40 0.00 native
HMT 25% 2 jam tapioka
HMT 25% 4 jam
HMT 25% 7 jam
maizena
Gambar 22. Diagram absorpsi air pada pati native dan termodifikasi
Peningkatan absorpsi air pada pati termodifikasi HMT disebabkan oleh meningkatnya kecenderungan hidrofilik (Adebowale et al. 2005; Olayinka et al. 2008). Peningkatan tersebut terlihat dipicu dengan meningkatnya waktu perlakuan (Gambar 22, Lampiran 8). Menurut Kaletunç dan Breslauer (2003), daerah amorphous lebih muda dimasuki oleh air karena strukturnya tidak beraturan. Dengan kata lain, daya absorpsi air dipengaruhi kadar amilosa. Lu et al. (1996) menyatakan bahwa HMT dapat menyebabkan degradasi molekul amilopektin dan meningkatkan molekul amilosa. Peningkatan amilosa dapat membantu penyerapan air yang lebih banyak. Modifikasi HMT memberikan pengaruh terhadap peningkatan absorpsi minyak pada pati termodifikasi baik pada tapioka maupun maizena (Gambar 23). Peningkatan absorpsi minyak akibat HMT dilaporkan pada pati sorgum putih (Olayinka et al. 2008) dan singkong (Abraham 1993). Abraham (1993) menyatakan bahwa peningkatan absorpsi minyak pada pati termodifikasi
55
disebabkan adanya lapisan dengan kecenderungan lipofilik yang menyelimuti granula pati terbentuk akibat HMT.
Absorpsi minyak (g/g)
1.60 1.20 0.80 0.40
0.00 native
HMT 25% 2 jam tapioka
HMT 25% 4 jam
HMT 25% 7 jam
maizena
Gambar 23. Diagram absorpsi minyak pada pati native dan termodifikasi
4. Profil Freeze-thaw Stability Hoover dan Manuel (1996) menyatakan bahwa freeze-thaw stability adalah kemampuan pasta pati menjaga integritasnya ketika dikenakan siklus termal berulang dengan penyimpanan suhu ruang dan beku. Retrogradasi diekspresikan sebagai volume air yang terpisah akibat pengerutan gel. Air yang keluar merupakan hasil dari asosiasi ikatan hidrogen inter- dan intramolekuler amilosa selama penyimpanan pada suhu beku. Karakteristik fungsional ini sangat penting terutama untuk formulasi produk yang menggunakan penyimpanan beku maupun refrgerasi (Mweta et al. 2008). Pengaruh modifikasi HMT terhadap freeze-thaw stability pada tapioka dan maizena disajikan pada Gambar 24 dan 25. Tapioka HMT 25% 7 jam memiliki nilai persentase sineresis terendah dibandingkan perlakuan modifikasi lainnya. Freeze-thaw stability dilakukan sebanyak empat siklus. Baik tapioka maupun maizena menunjukkan pola yang sama yaitu freeze-thaw meningkat secara perlahan dari siklus pertama dan kemudian menurun pada siklus dua (tapioka) atau tiga (maizena). Pola naik-turun pada siklus freeze-thaw yang serupa juga pernah dilaporkan oleh Yuan dan Thompson (1998). Penurunan freeze-thaw pada siklus yang semakin meningkat dapat berhubungan dengan peningkatan rigiditas dan elastisitas pasta dengan terbentuknya formasi jaringan spons. Peningkatan rigiditas gel akan menyebabkan gel menjadi lebih tahan terhadap kerusakan akibat sentrifugasi. Peningkatan elastisitas menyebabkan pasta memiliki kemampuan untuk mengembalikan pasta ke bentuk semula akibat sentrifugasi. Hal ini mengakibatkan air dapat terjaga dalam matriks pasta. Yuan dan Thompson (1998) serta Abera dan Rakshit (2003) mengobservasi adanya reabsorpsi oleh gel. Abera dan Rakshit (2003) menambahkan reabsorpsi terjadi akibat sudah terbentuknya porous pada gel. Hal inilah yang menyebabkan sineresis pada gel kemudian menurun.
56
Sineresis (%)
40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 0 native
1
2 Siklus ke-
HMT 25% 2 jam
3
4
HMT 25% 4 jam
5
HMT 25% 7 jam
Gambar 24. Grafik respon HMT pada freeze-thaw tapioka
Oleh karena itu, penentuan modifikasi mana yang memberikan sineresis terendah menjadi sulit oleh adanya kecenderungan reabsorpsi air pada gel. Perlakuan modifikasi yang memberikan freeze-thaw stability terbaik dilihat dari rendahnya sineresis pada siklus pertama hingga sebelum siklus freeze-thaw menurun yang diduga akibat adanya reasorbsi. Tapioka HMT 25% 7 jam dan maizena HMT 25% 2 jam memiliki kecenderungan freeze-thaw stability yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya (data pada Lampiran 9).
Sineresis (%)
40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 0
1 native
2 Siklus keHMT 25% 2 jam
3
4
5
HMT 25% 4 jam
Gambar 25. Grafik respon HMT terhadap freeze-thaw maizena
Menurut Suriani (2008), pada penyimpanan beku, air dalam larutan pasta pati akan berubah menjadi kristal-kristal es. Oleh karena itu, apabila pasta pati yang telah beku di-thawing, kristal es tersebut akan kembali cair dan air akan keluar terpisah dari struktur pasta pati. Freezethaw yang dialami membuat kristal air yang telah mencair tidak mampu berasosiasi kembali dengan pati dan amilosa menjadi rapuh sehingga memudahkan keluarnya air (Vaclavik dan Christian 2003). Pada pati termodifikasi HMT, amilosa yang terlepas dari granula akibat granula tergelatinisasi memiliki jumlah dan jarak antar molekul amilosa yang tidak terlalu besar (Hoover dan Manuel 1996). Hal ini disebabkan modifikasi HMT dapat menurunkan pelepasan amilosa saat granula tergelatinisasi dengan meningkatkan gaya antar ikatan pada daerah amorphous. Oleh karena itu, pada pati termodifikasi, jumlah air yang keluar saat thawing lebih rendah dibanding pati native-nya.
57
5. Profil Kejernihan Pasta Kandungan amilosa diketahui dapat mempengaruhi kejernihan pasta pati di mana semakin rendah kandungan amilosa maka semakin tinggi pula kejernihan pasta yang dihasilkan (ditunjukkan dengan nilai transmitan yang tinggi). Gambar 26 menunjukkan tapioka memiliki nilai transmitan yang lebih tinggi dari maizena. Kejernihan pasta tidak secara langsung dipengaruhi oleh asal tanaman. Kejernihan pasta dipengaruhi oleh penetrasi dan penyerapan air yang menyebabkan pengembangan granula yang kemudian meningkatkan transmitan cahaya (Mboungeng et al. 2008).
40.00
%T
30.00 20.00 10.00 0.00 native
HMT 25% 2 jam tapioka
HMT 25% 4 jam
HMT 25% 7 jam
maizena
Gambar 26. Diagram kejernihan pasta pati native dan termodifikasi
Modifikasi HMT berpengaruh terhadap penurunan kejernihan pasta pada pati termodifikasinya (Gambar 26, Lampiran 10). Hal ini ditunjukkan dengan semakin rendah nilai transmitan yang diperoleh dengan meningkatnya waktu pemanasan. Menurut Abraham (1993), penurunan kejernihan pasta disebabkan terbentuknya lapisan keras pada granula akibat modifikasi. Lapisan keras pada permukaan dapat terbentuk akibat meningkatnya rigiditas granula yang disebabkan oleh HMT. Peningkatan rigiditas menyebabkan air sulit berpenetrasi ke dalam granula. Lu et al. (1996) menambahkan bahwa HMT memicu terjadinya degradasi molekul besar (amilopektin) sehingga meningkatkan molekul kecil (amilosa). Degradasi molekul ini terlihat pada penurunan daerah kristalin yang umumnya dibentuk oleh amilopektin. Amilosa merupakan molekul yang berperan pada proses retrogradasi pati. Proses ini menyebabkan pasta pati menjadi lebih opak (Mweta et al. 2008) sehingga menurunkan nilai transmitan pada pati termodifikasi. Selain itu adanya komponen tak larut seperti lipid yang dapat membuat kompleks dengan amilosa mengakibatkan kejernihan pasta menjadi lebih rendah (Collado dan Corke 2003). Kecenderungan pati maizena termodifikasi membentukan kompleks amilosa-lipid mengakibatkan penurunan kejernihan pasta pati yang cukup besar seperti yang terlihat pada Gambar 26.
6. Profil Derajat Putih Derajat putih merupakan salah satu penilaian mutu suatu bahan pangan berbentuk tepung khususnya yang berasal dari ekstraksi pati. Derajat putih merupakan daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan benda tersebut dibandingkan dengan standar BaSO4. Lampiran 11 menunjukkan tapioka memiliki derajat putih rendah dari yang disyaratkan oleh SNI. Rahman
58
(2007) menyatakan bahwa derajat putih sangat dipengaruhi kemurnian proses ekstraksi pati. Ketidakmurnian pati yang terekstrak dapat disebabkan oleh tingginya kandungan serat dan pengotor lainnya sehingga pati terlihat kurang cerah (Rahman 2007; Mboungeng et al. 2008). Modifikasi HMT turut mempengaruhi perubahan pada derajat putih pati termodifikasi baik tapioka dan maizena. Gambar 27 menunjukkan HMT berpengaruh terhadap penurunan derajat putih pada pati termodifikasi. Semakin lama waktu pemanasan maka derajat putih semakin menurun. Pemanasan selama modifikasi mendorong terjadinya reaksi browning yang dipicu oleh adanya komponen non karbohidrat (lemak, protein, dan enzim polifenolase) (Sabrina 1990). Reaksi browning menyebabkan pati termodifikasi menjadi lebih gelap.
Derajat putih (%)
100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 native
HMT 25% 2 jam tapioka
HMT 25% 4 jam
HMT 25% 7 jam
maizena
Gambar 27. Diagram derajat putih pati native dan termodifikasi
7. Profil Tekstur Gel Profil tekstur pati native dan termodifikasi disajikan pada Tabel 17. Sementara Gambar 28 memperlihatkan kurva analisis profil tekstur gel yang diperoleh melalui software Exponent Lite TE32.Tapioka native pada konsentrasi yang sama (21%) memiliki kekerasan yang lebih rendah (132.51 gf) dibanding maizena native (482.07 gf). Hal ini disebabkan oleh perbedaan kandungan amilosa yang dimiliki kedua pati. Maizena yang memiliki amilosa yang lebih tinggi (33.37%) akan lebih mudah membentuk gel. Peningkatan terbesar kekerasan gel terlihat pada perlakuan HMT 25% 2 jam pada tapioka (170.24 gf) dan maizena (549.06 gf). Pembentukan gel pada pati berkaitan dengan fenomena pengembangan dan hidrasi granula pati yang terjadi pada daerah amorphous. Pengembangan granula yang tinggi akan menghambat asosiasi amilosa saat retrogradasi (Collado dan Corke 1999). Sementara pada kelarutan granula yang tinggi, gel akan menjadi lebih keras akibat pelepasan amilosa yang membentuk matriks gel kontinu (Hormdok dan Noomhorn 2007). Namun, studi pada pati ubi jalar (28.5% amilosa), peningkatan kekerasan gel ditemukan pada perlakuan HMT 25% 4-16 jam dengan penurunan daya kembang dan kelarutan granula (Collado dan Corke 1999). Hormdok dan Noomhorn (2007) menambahkan pada kelarutan yang rendah, peningkatan kekerasan gel pati dapat terjadi. Peningkatan tersebut diakibatkan oleh meningkatnya rigiditas granula (Jacobs et al. 1995). Elastisitas digunakan untuk mengetahui seberapa besar gel dapat kembali ke kondisi semula setelah diberikan tekanan pertama (Simi dan Abraham 2008). Penurunan elastisitas gel terjadi pada tapioka dengan kondisi yang memiliki respon elastisitas terendah adalah HMT 25% 2 jam (0.90). Sementara pada maizena HMT nilai elastisitas gel tidak berubah akibat perlakuan HMT
59
(Tabel 17). Daya kohesif merupakan indeks bagaimana gel dapat bertahan pada kerusakan kedua relatif terhadap kerusakan pertama (Simi dan Abraham 2008). Daya kohesif berhubungan dengan kekuatan intermolekuler pada sistem gel, Penurunan daya kohesif juga menunjukkan adanya penurunan kekuatan intermolekuler (Numfor 1999). Modifikasi HMT pada maizena menyebabkan penurunan daya kohesif (Tabel 17). Sedangkan pada tapioka, HMT memberikan pengaruh daya kohesif berbeda yang dipengaruhi waktu pemanasan, daya kohesif terendah dimiliki oleh tapioka HMT 25% 2 jam. Kelengketan terendah dimiliki tapioka HMT 25% 4 jam, sementara pada maizena, HMT memberikan respon kelengketan berbeda yang dipengaruhi waktu pemanasan. Nilai kelengketan terendah pada HMT maizena dimiliki oleh HMT 25% 4 jam.
F 21T 1
Force (g) 1 140
3
4
5
6
2T
Kekerasan 120
100
80
60
40
A1
20
A2
0 0
2
4
6
8
10
12
14
Time (sec)
T1
T2
-20
-40
Keterangan: Luas kurva (A1 dan A2), waktu yang ditempuh produk akibat tekanan (T1 dan T2), kekerasan diperoleh dari gaya maksimum (F) pada puncak kurva 1, elastisitas (T2/T1), daya kohesif (A2/A1), kelengketan (A2/A1 * kekerasan)
Gambar 28. Kurva analisis profil tekstur gel Tabel 17. Respon HMT terhadap atribut tekstur gel pati termodifikasi Perlakuan
Kekerasan
k. air (%)
(gf)
Elastisitas
Daya
Kelengketan
kohesif
- waktu (jam) Tapioka native
132.51 ± 5.50
0.98 ± 0.00
0.65 ± 0.02
86.78 ± 5.91
HMT 25-2
170.24 ± 51.93
0.90 ± 0.01
0.64 ± 0.00
101.81 ± 32.47
HMT 25- 4
116.64 ± 7.97
0.99 ± 0.01
0.66 ± 0.01
77.12 ± 3.97
HMT 25- 7
139.49 ± 8.89
0.95 ± 0.05
0.65 ± 0.00
90.91 ± 6.11
Maizena native
482.07 ± 23.22
0.99 ± 0.00
0.64 ± 0.00
308.79 ± 14.26
HMT 25- 2
549.06 ± 37.07
0.99 ± 0.01
0.63 ± 0.01
345.57 ± 18.82
HMT 25- 4
279.71 ± 39.02
0.99 ± 0.01
0.63 ± 0.00
175.07 ± 24.54
60
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN Penelitian pendahulan dilakukan untuk menentukan mode dan lama waktu pemanasan sehingga diperoleh mode pemanasan low pada waktu 2 dan 4 jam memberikan pengaruh pada peningkatan suhu proses serta perubahan profil amilografi yang diinginkan. Profil amilografi yang diinginkan adalah suhu pasting yang tinggi dan viskositas pasta yang stabil pada berbagai tingkat pemanasan. Modifikasi HMT dengan microwave mampu mengubah karakteristik fungsional yang dianalisis menggunakan RVA, DSC, dan mikroskop polarisasi (PLM). Perubahan karakteristik pada pati termodifikasi dipengaruhi oleh perlakuan sumber pati, pengaturan kadar air, dan lamanya pemanasan. Modifikasi HMT mampu meningkatkan suhu pasting (PT) dan menurunkan viskositas (PV, BV, FV, dan SV) pada maizena. Penurunan viskositas pada maizena termodifikasi semakin besar dengan meningkatnya kadar air dan waktu pemanasan. Sementara pada tapioka, HMT memberikan pengaruh yang berbeda pada tiap perlakuannya. Peningkatan suhu pasting (PT) diamati semakin besar dengan peningkatan perlakuan kadar air. Modifikasi HMT juga meningkatkan suhu puncak gelatinisasi (Tp) dan memperbesar kisaran suhu gelatinisasi (T c-To) pada tapioka dan maizena. Modifikasi HMT juga mempengaruhi perubahab sifat birefringence dan munculnya lubang pada pusat granula. Perubahan sifat birefringence dan munculnya lubang pada pusat granula tapioka termodifikasi terlihat pada perlakuan HMT dengan kadar air 25% dan waktu pemanasan selama 7 jam. Sementara pada maizena perubahan sifat birefringence granula sudah teramati pada kadar air 25% pada waktu pemanasan yang lebih singkat yaitu pada modifikasi selama 2 jam. Secara garis besar, perubahan peningkatan kadar air memiliki peran penting untuk mengubah karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Modifikasi pati pada perlakuan kadar air 25% mampu memberikan pati termodifikasi HMT dengan suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dan stabilitas termal yang lebih baik terhadap pengaruh pemanasan dan pengadukan. Hal ini dikarenakan kadar air berperan penting dalam peningkatan dan distribusi panas pada microwave. Kadar air dan energi panas diperlukan untuk pergerakan dan reorientasi heliks ganda yang akan mengubah konformasi struktural granula. Perubahan ini disebabkan adanya peningkatan interaksi ikatan intra- dan intermolekuler granula termasuk pembentukan komplek amilosa-lipid pada maizena HMT. Pati termodifikasi dengan perlakuan kadar air 25% lalu dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh HMT dengan microwave terhadap karakteristik fungsional pati termodifikasi. Pemanasan microwave pada modifikasi HMT terlihat dapat menurunkan kristalinitas, menurunkan daya kembang dan kelarutan granula, meningkatkan absorpsi air dan minyak, merubah sifat kestabilan gel terhadap freeze-thaw, serta menurunkan kejernihan pasta pati dan derajat putih. Selain itu, pemanasan microwave pada modifikasi HMT juga terlihat mengubah profil tekstur gel.
B. SARAN Beberapa saran yang dapat diberikan sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Perlu dilakukan pengendalian terhadap pengurangan kadar air saat persiapan sampel dan selama modifikasi untuk memperoleh kondisi modifikasi pada kadar air yang tepat (sesuai target). 2. Perubahan kadar air selama proses HMT perlu dicegah agar proses HMT berlangsung pada kadar air yang diinginkan (sesuai target). 3. Pengukuran suhu selama proses HMT yang dilakukan secara inline process.
62
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Analysis of the Association of Official Agriculture Chemistry. 1995. Official Methods of Analysis, 16th Edition. AOAC International, Gaithersburg, Maryland. [CIAT] International Center of Tropical Agriculture. 2009. Postharvest deterioration of the roots. http://www.ciat.cgiar.org. [11 Januari 2011] [CRA] Corn Refiners Association. 2006. Corn Starch. CRA, Washington D.C. [FAO] Food and Agricultural Organization. 2006. Starch market adds value to cassava. Agriculture, Biosecurity, Nutrition, and Consumer Protection Dept., Food and Agricultural Organization of the United Nations, Italia. Abera, S. dan K. Rakshit. 2003. Comparison of physicochemical and functional properties of cassava starch extracted from fresh root and dry chips. Starch/ Stärke 55: 287-296. Abraham,T.E. 1993. Stabilization of paste viscosity of cassava starch by heat moisture treatment. Starch/ Stärke 45: 131-135. Adebowale, K.O., Olu-owolabi, B.I, Olayinka O.O., dan O.S. Lawal. 2005. Effect of heat moisture treatment and annealing on physicochemical properties of red shorgum starch. African Journal of Biotechnology 4:928-933. Ahmad, L. 2009. Modifikasi Fisik Pati Jagung dan Aplikasinya untuk Perbaikan Kualitas Mi Jagung. [Tesis]. Program Pascasarjana, IPB, Bogor. Anderson, A.K. dan H.S. Guraya. 2006. Effects of microwave heat-moisture treatment on properties of waxy and non-waxy rice starches. Food Chemistry 97: 318-323. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, S. Yasni, dan S. Budiyanto. 1989. Petunjuk Praktikum Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Balagopalan, C., G. Padmaja, S.K. Nanda, dan S.N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed, and Industry. CRC Press, Inc., Florida. BeMiller, J.N. dan W. Lafayette. 1997. Starch modification: challenges and prospects. Starch/ Stärke 4: 127-131. Buffler, C.R. 1992. Microwave Cooking and Processing: Engineering Fundamentals for the Food Scientist. Van Nostrand Reinhold, New York. Charley, H. 1982. Food Science. John Willey and Sons Inc., Canada. Chaoenrein, O. Tatirat, dan J. Muadklay. Use of centrifugation-filtration for determination of syneresis in freeze-thaw starch gels. Carbohydrate Polymers 73: 143-147. Cheetam, N.W.H. dan L. Tao. 1998. Variation in crystalline type in maize starch granules: an x-ray powder diffraction study. Carbohydrate Polymers 36: 277-284. Chung, H-J., Q. Liu, dan R. Hoover. 2009. Impact of annealing and heat-moisture treatment on rapidly digestible, and resistant starch levels in native and gelatinized corn, pea, and lentil starches. Carbohydrate Polymers 75: 436-447. Collado, L.S. dan H. Corke. 1999. Heat moisture treatment effects on sweet potato differing in amylose content. Food Chemistry 65: 329-346.
Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates, dan H. Corke. 2001. Bihon-type of noodles from heatmoisture treated sweet potato starch. Journals of Food Science 66 (4): 604-609. Cooke, D. dan M.J. Gidley. 1992. Loss of crystalinity and molecular order during starch gelatinization: origin enthalpic transition. Carbohydrate Research 227: 103-112. Copeland, L., J. Blazek, H. Salman, dan M.C. Tang. 2009. Form and functionality of starch. Food Hydrocolloid 23: 1527-1534. Departemen Kesehatan. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Departemen Kesehatan RI Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Donovan, J.W., K. Lorenz, dan K. Kulp. 1983. Differential scanning calorimetry of heat-moisture treated wheat and potato starches. Cereal Chemistry 58: 46. Dubois, M., Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, dan Smith F. 1956. Calorimetric method for determination of sugar and related substance. Analytical Chemistry 28 : 350-356 Dufour, D., J.J. Hurtada, dan C.C. Wheatley. 2000. Characterization of starches from non-cereal crops cultivated in tropical America: comparative analysis of starch behaviour under different stress conditions. In: Howeler, R. 2006. Cassava in Asia: trends in cassava production, processing, and marketing. Makalah pada Workshop Partnership in Modern Science to Develop a Strong Cassava Commercial Sector in African and Appropiate varieties by 2020. Bellagio, Italia 2-6 Mei 2006. El-Sharkawy, M.A. 2004. Cassava biology and physiology. Plant Molecular Biology (56), 481-501. Eliasson, A.C. dan M. Gudmundsson. 2006. Starch : physicochemical and functional aspects. In: Eliasson, A.C (ed). 2006. Carbohydrate in Food 2nd Edition. CRC Taylor & Fancis, Boca Raton. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan 1. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Febriyanti, T. dan M.A. Wirakartakusumah. 1990. Studi karakteristik fisiko kimia dan fungsional tepung beberapa varietas singkong (Manihot esculenta Crantz.). Bul. Pend. Ilmu Tek. Pangan II (1), 23. Fellows, P. 2000. Food Processing Technology Principles and Practice 2nd Edition. Woodhead Pub. Ltd dan CRC Press, Inggris. Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry 3rd Edition. Marcel Dekker Inc., New York. Ferrero, C., M.N. Martin, dan N.E. Zantzky. 1994. Corn starch-xanthan gum interaction and its effect on the stability during storage of frozen gelatinized suspensions. Starch/ Stärke 46: 300-305. Franco, C.M.L., R.A.F. Cabral, dan D.Q Tavares. 2002. Structural and physicochemical characteristic of lintnerized and sour cassava starches. Starch/Stärke 54 : 469-475. French, D. 1984. Organization of starch granules. In: Whistler, R.L., J.N. BeMiller, dan E.F. Paschall (ed). 1984. Starch Chemistry and Technology 2nd Edition. Academic Press Inc., Orlando. Gernat, C. S. Radosta, H. Anger, dan G. Damaschun. 1993. Crystalline parts of three different conformations detected in native and enzymatically degraded starch. Starch/ Stärke 45: 309314. Goebel, N.K., J. Grider, E.A. Davis, dan J. Gordon. 1984. The effects of microwave energy and convection heating on wheat starch granule transformations. Food Microstructure 3: 73-82.
64
Greenwood, C.T. 1976. Starch. In: Pomeranz, Y (ed). Advance in Cereal Science and Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc., St. Paul Minesota. Gunaratne, A. dan R. Hoover. 2002. Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate Polymers 49: 425-437. Herawati, D. 2009. Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun. [Tesis]. Program Pascasarjana, IPB, Bogor. Hodge, J.E. dan E.M. Osman. 1976. Carbohydrates. In: Fennemea, O.R (eds). 1976. Principles of Food Science. Marcel dekker Inc., New York. Hoover, R. dan T. Vasanthan. 1994. Effect of heat moisture-treatment on the structure and physicochemical properties of cereal, legume, and tuber starches. Carbohydrate Research 252: 33-53. Hoover, R. dan H. Manuel. 1996. The effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of normal maize, waxy maize, dull waxy maize, and amylomaize V starches. Journals of Cereal Science 23, 153-162. Hoover, R. dan H. Manuel. 1996. The effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of legume starches. Food Research International Vol. 29 (8): 731750. Hoover, R. 2001. Composition, molecular structure, and physicochemical properties of tuber and root starches: a review. Carbohydrate Polymers 45: 253-267. Hormdok, R. dan A. Noomhorn. 2007. Hydrothermal treatments of rice starch for improvement of rice noodle quality. LWT – Food Science and Technology 40: 1723-1731. Hoseney, R.C. 1998. Principal of Cereal Science and Technology 2 nd Edition. American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Howeler, R. 2006. Cassava in Asia: trends in cassava production, processing, and marketing. Makalah pada Workshop Partnership in Modern Science to Develop a Strong Cassava Commercial Sector in African and Appropiate varieties by 2020. Bellagio, Italia 2-6 Mei 2006. Hustiany, R. 2006. Modifikasi Asilasi dan Suksinilasi Pati Tapioka debagai Bahan Enkapsulasi Komponen Flavor. [Disertasi]. Program Pascasarjana, IPB, Bogor. Jacobs, H., R.C. Eerlingen, W. Clautwaert, dan J.A. Delcour. 1995. Influence of annealing on the pasting properties of starches from varying botanical sources. Cereal Chemistry 72: 480-487. Jacobs, H. dan J.A. Delcour. 1998. Hydrothermal modifications of granular starch, with retention of the granular structure: a review. Journals of Agriculture and Food Chemistry 46 (8): 28952905. Jane, J., Y.Y. Chen, L.F. Lee, A.E. McPherson, K.S. Wong, dan M. Radosavljevic. 1999. Effects of amylopectin branch chain length and amylase content on the gelatinization and pasting properties of starch. Cereal Chemistry 76 (5): 629-637. Johnson, L.A. 1991. Handbook of Cereal Science and Technology (Corn: Production, Processing, and Utilization). Marcel Dekker Inc., New York. Karim, A.A., M.H. Norziah, dan C.C. Seow. 2000. Methods for the study of starch retrogradation. Food Chemistry 71: 9-36.
65
Karim, A.A., L.C. Toon, V.P. Lee, W.Y. Ong, A. Fazilah, dan T. Noda. 2007. Effects of phosphorus contents on the gelatinization and retrogradation of potato starch. Journal of Food Science 72 (2): 132-138. Kilara, A. 2006. Interactions of ingridients in food systems : an introduction. In : Gaonkar, A.G dan A. McPherson (eds). 2006. Ingridient Interactions : Effect on Food Quality 2nd Edition. CRC Taylor & Francis,London. Kaletunç, G. dan K.J. Breslauer. 2003. Characterization of Cereals and Flours. Marcel Dekker Inc., New York. Kim, Y.S., D.P. Wiesenborn, J.H. Lorenzen, dan P. Berglund. 1996. Suitable of edible bean and potato starches for starch noodles. Cereal Chemistry 73 (3): 302-308. Lawal, O.S. dan K.O. Adebowale. 2005. An assessment of changes in thermal and physicochemical parameters of jack bean (Canavalia ensiformis) starch following hydrothermal modifications. European Food Research and Technology 221: 631-638. Lestari, O.A. 2009. Karakterisasi Sifat Fisiko-kimia dan Evaluasi Nilai Gizi Biologis Mi Jagung Kering Disubtitusi Tepung Jagung Termodifikasi. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Lewandowicz, G., J. Fornal, dan A. Walkowski. 1997. Effect of microwave radiation on potato and tapioca starches. Carbohydrate Polymers 34: 213-220. Lewandowicz, G., T. Jankowski, dan J. Fornal. 2000. Effect of microwave radiation on physicochemical properties and structure of cereal starches. Carbohydrate Polymers 42: 193199. Lim, S.T., E.H. Chang, dan H.J. Chung. 2001. Thermal transition characteristic of heat-moisture treated corn and potato starches. Carbohydrate Polymers 46: 107-115. Lorlowhakarn, K. dan O. Naivikul. 2006. Modification of rice flour by heat-moisture treatment (HMT) to produce rice noodles. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 40 (Suppl.): 135-143. Lu, S., C-Y. Chen, dan C.Y. Lii. 1996. Gel-cromatography fractionation and thermal characterization of rice starch affected by hydrothermal treatment. Cereal Chemistry 73 (1): 5-11. Lu, D.M. dan L.S. Yang. 2006. Effect of different moisture contents on crystallized state of microwave modified tapioca starch. Chinese J Struct Chem 25 (1): 21-24. Malumba, P., C. Massauz, C. Deroanne, T. Masimango, dan F. Béra. 2009. Influence of drying temperature on functional properties of wet-milled starch granules. Carbohydrate Polymers 75: 299-306. Mboungeng, P.D., D. Tenin, J. Scher, dan C. Tchiégang. 2008. Physicochemical and functional properties and ame cultivars of Irish potato dan cassava starches. Journals of Food Technology 6 (3): 139-146. Miles, M.J., V.J. Morris, P.D. Orford, dan S.G. Ring. 1985. The roles of amylose and amylopectin in the gelation and retrogradation of starch. Carbohydrate Research 135: 271-281. Mishra, S. dan T. Rai. 2006. Morphology and functional properties of corn, potato, and tapioca starches. Food Hydrocolloids 20: 557-566. Moorthy, S.N. 2004. Tropical source of starch. Di dalam: Eliasson, A.C. (eds). 2004. Starch in Food: Structure, Function, and Applications. CRC Press, Boca Raton.
66
Mweta, E.D., M.T. Labuschagne, E. Koen, I.R.M. Benesi, dan J.D.K. Saka. 2008. Some properties of starches from cocoyam (Colocasia esculenta) and cassava (Manihot esculenta Crantz.) grown in Malawi. African Journals of Food Science (2): 102-111. Noda, T., Y. Takahata, T. Sato, H. Ikoma, dan H. Mochida. 1996. Physicochemical properties of starches from purple and orange fleshed sweet potato roots at two level fertilizer. Starch/ Stärke 48: 395-399. Numfor, F.A. 1999. Physicochemical changes in cassava starch and flour associated with fermentation, effect on textural properties. Journals of Food Technology African 4 (1): 31-35. Ofori,
E. dan N.K. Baffour. 2010. Agrometerology and maize production. http://www.agrometeteorology.org/files-folder/repository/chapter13C_gamp.pdf [24 Juli 2010]
Olayinka, O.O., K.O. Adebowale, dan R.I.O. Owolabi. 2008. Effect of heat moisture treatment n physicochemical properties of white shorgum starch. Food Hydrocoloids 22: 225-230. Pangestuti, B.D. 2010. Karakterisasi Tapioka dari Beberapa Varietas Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz). [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Peroni, F., T. Rocha, dan C. Franco. 2006. Some structural and physicochemical characteristics of tuber and root starches. Food Science Technology International 12 (6): 505-513. Pomeranz, Y. 1985, 1991. Functional Properties of Food Components. Academic Press Inc., London., Pongsawatmanit, R., T. Temsiripong, dan T. Suwonsichon. 2007. Thermal and rheological properties of tapioca starch and xyloglucan mixtures in the presence of sucrose. Food Research International 40: 239-248. Pukkahuta, C., B. Suwannawat, S. Shobsngob, dan S. Varavinit. 2008. Comparative study of pasting and thermal transition characteristics of osmotic pressure and heat-moisture treated corn starch. Carbohydrate Polymers 72: 527-536. Purwani, E.Y., Widaningrum, R. Tharir, dan Muslich. 2006. Effect of moisture treatment of sago starch on its noodle quality. Indonesian Journals of Agriculture Science 7 (1): 8-14. Radley, J.A. 1976. Starch Production Technology. In: Rahman, A.M. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tapioka dan MOCAL (Modified Cassava Flour) sebagai Penyalut Kacang pada Produk Kacang Salut. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Rahman, A.M. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tapioka dan MOCAL (Modified Cassava Flour) sebagai Penyalut Kacang pada Produk Kacang Salut. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Rajkó, R., G. Szabó, C. Vidal-Valverde, dan E. Kovács. 1997. Designed experiments for reducing antinutritive agents in soybean by microwave energy. Journal of Agricultural and Food Chemistry 45: 3565-3569. Robyt, J.F. 2008. Starch: structure, properties, chemistry, and enzymology. Di dalam: Fraser-Reid, B, K. Tatsuka, dan J. Thiem (ed). 2008. Glycoscience. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg. Rukmana, R.H. 1997. Ubi Kayu, Budidaya, dan Pasca Panen. Kanisius, Jakarta. Sabrina, E. 1990. Karakterisasi Tepung Singkong dari Beberapa Varietas Ubi Kayu. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Sathe, S.K. dan D.K. Salunkhe. 1981. Isolation partial characterization and modification of the great northen bean (Phaseolus vulgaris) starch. Journal of Food Science 46 (2): 617-621.
67
Singh, N., J. Singh, L. Kaur, N.S. Sodhi, dan B.S. Gill. 2003. Morphological, thermal, and rheological properties of starches from different botanical sources. Food Chemistry 81: 219-231. Singh, K.S. dan N. Singh. 2007. Some properties of corn starches II: Physicochemical, gelatinization, retrogradation, pasting, and gel textural properties. Food Chemistry 110: 1499-1507. Simi, C.K. dan T.E. Abraham. 2008. Physicochemical rheological and thermal properties of Njavara rice (Oryza sativa) starch. Journals of Agriculture and Food Chemistry 56: 12105-12113. Song, Y. dan J. Jane. 2001. Characterization of barley starches of waxy, normal, and high amylose varieties. Carbohydrate Polymers 41: 365-377. Srichuwong, S., T.C. Sunarti, T. Mishima, N. Isono, dan M. Hisamatsu. 2005. Starches from different botanical sources I: contribution of amylopectin fine structure to thermal properties and enzyme digestibility. Carbohydrate Polymers 60: 529-538. Stute, R. 1992. Hydrothermal lmodification of starches: The difference between annealing and heat/moisture-treatment. Starch/ Stärke, 44: 205-214. Subekti, N.A., Syarifuddin, R. Efendi, dan S. Sunarti. 2007. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Suriani, A.I. 2008. Mempelajari Pengaruh Pemanasan dan Pendinginan Berulang terhadap Karakteristik Sifat Fisik dan Fungsional Pati Garut (Marantha arundinacea) Termodifikasi. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian,IPB, Bogor. Swinkels, J.J.M. 1985. Source of starch, its chemistry and physic. In :Beynum, G.M.A.V dan J.A. Roels (eds). 1985. Starch Conversion Technology. Marcel Dekker Inc., New York. Taggart, P. 2004. Starch as an ingredient: manufacture and applications. In: Eliasson, A.C. (eds). 2004. Starch in Food: Structure, Function, and Application. CRC Press, Boca Raton. Tester, R.F. dan W.R. Morrison. 1990. Swelling and gelatinization of cereal starches I: effect of amylopection, amylose, and lipids. Cereal chemistry 74: 750-757. Tester, R.F. 1997. Starch: the polysaccarhide fractions. In: Frazier, P.J., P. Richmond, dan A.M. Donald. Starch, Structure, and Functionality. Royal Society of Chemistry. Tester, R.F. dan J. Karkalas. 2002. Starch. In: Steinbüchel, A. (Series Eds). Vandamme, E.J., S. de Baets, A. Steinbüchel. (eds). Biopolymers Vol. 6. Polysaccharides from Eukaryotes. Wiley, VCH, Weinhem, 381-438. Tester, R.F., J. Karkalas, dan X. Qi. 2004. Starch – composition, fine structure, and architecture. J Cereal Science 39: 151-165. Vaclavik, V.A. dan E.W. Christian. 2008. Essentials of http://www.springerlink3.metapress.com [11 Januari 2011]
food
science
2nd
edition.
Vermeylen, R.B., Goderis, dan J.A. Delcour. 2006. An X-ray study of hydrothermally treated potato starch. Carbohydrate Polymers 64 2: 364-375. Wang, S., J. Y. Tang, R.P. Cavalieri, dan D.C. davis. 2003. Differential heating of insects in dried nuts and fruits associated with radio frequency and microwave treatments. American Society of Agricultural Engineering 46: 1-8. Wattanachant, S., S.K.S. Muhammad, D.M. Hashim, dan R.A. Rahman. 2002. Characterization of hydroxypropylated crosslinked sago starch as compared to commercial modified starches. Journals of Science and Technology 24 (3): 439-450.
68
Wattanachant, S., S.K.S. Muhammad, D.M. Hashim, dan R.A. Rahman. 2003. Effect of crosslink reagent and hydroxypropilation levels on dual-modified sago starch properties. Food Chemistry 80: 463-471. Watcharatewinkul, Y., C. Puttanlek, V. Rungsardthong, dan D. Uttapap. 2009. Pasting properties of a heat-moisture treated canna starch in relation to its structural characteristic. Carbohydrate Polymers 75: 505-511. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wirakartakusumah, M.A., R. Syarief, dan D. Syah. 1989. Pemanfaatan teknologi pangan dalam pengolahan singkong. Makalah pada Seminar Nasional Peningkatan Nilai Tambah Singkong, Univ. Padjadjaran, Bandung 10 Oktober 1989. Bulletin Pusbangtepa IPB 7 (18): 27-42. Wirakartakusumah, M.A., A. Kamarudin, dan A.M. Syarif. 1992. Sifat Fisik Pangan. Depdikbud PAU Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta. Wurzburg, O.B. 1968. Starch in the food industry. In: Furia, T.E. (eds). 1968. Handbook of Food Additives. The Chemical Rubber Co., Ohio. Zavareze, E.d.R. dan A.R.G. Dias. 2010. Impact of heat-moisture treatment and annealing in starches: a review. Carbohydrate Polymers, doi:10.1016/j.carbpol.2010.08.064. Zavareze, E.d.R., C.R. Storck. L.A.S.d. Castro, M.A.Schrimer, dan A.R.G. Dias. 2010. Effect of heat.moisture treatment on rice starch of varying amylose content. Carbohydrate Polymers, doi:10.1016/j.carbpol.2009.12.036. Zobel. 1988. Starch crystal transformations and their industrial importance. Starch/ Stärke 40: 1-7. Zylema, B.J., J.A. Grider, J. Gordon, dan E.A. Davis. 1985. Model wheat starch systems heated by microwave radiation and conduction with equalized heating times. Food Research International 30: 493-502. Zondag, M.D. 2003. Effect of Microwave Heat-Moisture and Annealing Treatments on Buckwheat Starch Characteristic. [Research Paper]. The Graduate School University of Wisconsin, Stout USA. Zhao, S., X. Shanbai, C. Qiu, dan Y. Xu. 2007. Effect of microwaves on rice quality. Journal of Store Product Research 43: 496-502.
69
LAMPIRAN
70
Lampiran 1. Diagram alir proses penggilingan basah maizena (CRA, 2006)
Biji jagung
Pembersihan
SO2 0,12-0,2%
Steeping (22-50 jam)
Pemisahan germ
germ
Penggilingan
Pengayakan
serat
Sentrifugasi
Pencucian hydroclone
Pengeringan
Pati jagung
71
Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan tapioka (Pangestuti, 2010)
Singkong
Pengupasan
Kulit
Pencucian
Singkong segar
Pemarutan
Parutan singkong
Air
Ekstraksi
Pengepresan
Pengendapan ± 18 jam
Ampas
Supernatan
Endapan pati
o
Pengeringan 70 C (oven)
Penggilingan
Tapioka kasar
Pengayakan 100 mesh
Tapioka halus
72
Lampiran 3. Karakteristik pati native A. Karakteristik fisik pati native
no
sampel
1
tapioka
2
maizena
densitas kamba
densitas padat
(g/ml)
(g/ml)
duplo 1
0,57
0,56
0,80
0,80
2
0,56
± 0,00
0,80
± 0,00
1
0,47
0,47
0,63
0,63
2
0,47
± 0,00
0,63
± 0,00
B. Karakteristik kimia pati native
no
sampel
duplo 1
1
2
2
protein
lemak
karbohidrat
(%bb)
(%bk)
(%bk)
(%bk)
(%bk)
6,11
6,08
0,92
0,72
±
0,72
0,03
±
0,04
92,21
±
92,25 ±
2
6,04
0,05
0,92
0,01
0,71
0,00
0,05
0,01
92,28
0,06
1
11,57
11,57
0,17
0,17
0,64
0,62
0,44
0,44
87,21
87,23
maizena
sampel
0,93
±
± 11,57
duplo 1
1
abu
tapioka
2
no
air
0,00
pH 4,62
tapioka
4,63
± 0,17
0,00
± 0,60
0,02
± 0,44
0,00
± 87,26
0,03
pati
amilosa
amilopektin
serat kasar
(%bk)
(%bk)
(%bk)
(%bk)
87,87
±
87,87
28,59
±
28,51
59,29
±
59,36
1,17
±
1,15 ±
2
4,64
0,01
87,87
0,00
28,44
0,10
59,43
0,10
1,12
0,04
1
6,69
6,69
70,64
70,92
33,37
33,37
37,27
37,55
0,38
0,38
maizena
± 2
6,68
0,01
± 71,20
0,00
± 33,37
0,00
± 37,83
0,39
± 0,38
0,00
73
Lampiran 4. Analisis kadar air pati pra-HMT A. Tapioka Perlakuan (k.air (%) :waktu (jam) HMT 20: 2
U 1
2
HMT 20: 4
1
2
HMT 25: 2
1
2
HMT 25: 4
1
2
HMT25: 7
1
2
m sampel (g)
kadar air aktual pra HMT m cawan m sam+cwn (g) kering (g) %
1.0281
4.735
5.5636
19.40
1.0398
4.6042
5.4377
19.84
1.041
3.0808
3.9336
18.08
1.091
3.1267
3.9792
21.86
1.0281
4.735
5.5636
19.40
1.0398
4.6042
5.4377
19.84
1.041
3.0808
3.9336
18.08
1.091
3.1267
3.9792
21.86
1.084
5.7704
6.5908
24.32
1.0794
5.5411
6.3593
24.20
1.0329
2.5797
3.3637
24.10
1.0359
2.823
3.6039
24.62
1.084
5.7704
6.5908
24.32
1.0794
5.5411
6.3593
24.20
1.0833
3.0467
3.8655
24.42
1.0899
2.7477
3.5768
23.93
1.0379
2.5797
3.3637
24.46
1.0359
2.823
3.6039
24.62
1.0195
3.1372
3.9098
24.22
1.015
3.3815
4.1506
24.23
rata-rata 19.62
19.97
19.62
19.97
24.26
24.36
24.26
24.17
24.54
24.22
74
B. Maizena Perlakuan (k. air (%): waktu (jam) HMT 20: 2
U
m sampel (g)
1
1.0375
5.8575
6.6891
19.85
1.0774
5.9006
6.7691
19.39
1.0278
5.5379
6.3625
19.77
1.0176
5.7705
6.5894
19.53
1.0375
5.8575
6.6891
19.85
1.0774
5.9006
6.7691
19.39
1.0278
5.5379
6.3625
19.77
1.0176
5.7705
6.5894
19.53
1.0178
4.6668
5.434
24.62
1.0285
4.6459
5.4255
24.20
1.0225
5.804
6.5669
25.39
1.018
5.8595
6.6371
23.61
1.0178
4.6668
5.434
24.62
1.0285
4.6459
5.4255
24.20
1.0225
5.804
6.5669
25.39
1.018
5.8595
6.6371
23.61
2
HMT 20: 4
1
2
HMT 25: 2
1
2
HMT 25: 4
kadar air aktual pra HMT m cawan m sam+cwn (g) kering (g) %
1
2
ratarata 19.62
19.65
19.62
19.65
24.41
24.50
24.41
24.50
75
Lampiran 6. Analisis profil amilografi pati native dan termodifikasi HMT A. Tapioka Karakteristik pasta RVA (cP) Perlakuan k. air
PT
rata-
o
rata
SD
PV
rata
70.03
0.04
5401
5444
(%): waktu (jam)
U
( C)
native
1
70
2
70.05
1
70
2
70.05
1
70.05
2
70.45
1
70.4
2
70.4
1
70.05
2
70.45
1
70.45
2
70.5
HMT 20: 2
HMT 20: 4
HMT 25: 2
HMT 25: 4
HMT 25:7
rata-
rata-
0.04
5501
rata
SD
BV
rata
SD
SV
rata
SD
61
2239
2302
89
3162
3142
28
776
756
29
25
5536 70.25
0.28
5525
92
5395 70.40
0.00
5590
0.28
5030
5626
51
0.04
5751 5858
52
2230
2388
5056
36
1952
2227
5
76
2224 2253
3295
27
3290
2402
20
3202
3231
83
49
3078
3224
31
21
3527 3605
37
816
874
3069
13
769
800
23
55
817 833
SD
3015
3058
60
3064
14
3026
28
3269
9
2851
168
3064
32
3054
3046 3006
867
11
3262 3275
770
1
771 3566
rata
3074
859
3060 2239
841
783
3246 1987
867
FV
3100
814
3172
2021 5805
3314
735
3276
2416
5081 70.48
2224
2223
5662 70.25
2187
3122
2260 5460
rata-
HPV
2365 5519
rata-
SD
5487 70.03
rata-
2721 2792
825
11
3041 3086
76
B. Maizena Karakteristik pasta RVA (cP)
Perlakuan k. air (%):
PT
rata-
o
rata
SD
PV
rata
SD
HPV
rata
SD
BV
rata
SD
SV
rata
SD
73.90
0.28
4014
4031
24
2072
2124
74
1942
1907
49
1752
1751
1
waktu (jam)
U
native
1
73.7
2
74.1
1
74.45
2
74.5
1
73.7
2
74.15
1
74.1
2
74.5
1
74.15
2
74.05
HMT 20: 2
HMT 20: 4
HMT 25: 2
HMT 25: 4
( C)
rata-
rata-
4048 74.48
0.04
3922
2176 3962
56
4001 73.93
0.32
3911
0.28
3855
3911
85
0.07
3450 3576
2154
16
1935
3766
126
2002
1968
46
89
1629 1726
1808
40
1950
2003
1
1853
1880
99
69
1821 1850
1745
42
1861
1764
127
1729
1820
59
21
1765 1766
SD
3824
3875
72
3898
58
3787
13
3703
40
3443
69
3857
3796 3778
1700
41
1671 1836
rata
3939
1778
1674 1678
1715
FV
3926
1774
1810
2003 3513
1780
rata-
1750
1836
2000
3677 74.10
2142
rata-
1872
2165
4031 74.30
rata-
3731 3674
1766
1
3394 3492
77
Lampiran 6. Analisis swelling power pati native dan termodifikasi HMT Perlakuan k.air (%): waktu (jam) Tapioka native
HMT 25: 2
HMT 25: 4
HMT 25: 7
Maizena native
HMT 25: 2
HMT 25: 4
Swelling power (%) o
U
o
60 C
80oC
70 C
90oC
1
4.40
4.48
14.51
14.31
14.91
15.06
21.67
21.97
2
4.55
± 0.11
14.11
± 0.28
15.21
± 0.22
22.27
± 0.42
1
3.57
3.56
11.46
11.25
14.73
14.79
19.89
19.49
2
3.55
± 0.02
11.04
± 0.30
14.86
± 0.09
19.08
± 0.57
1
2.91
2.97
13.50
13.45
14.17
14.05
18.50
18.32
2
3.02
± 0.08
13.39
± 0.08
13.92
± 0.18
18.14
± 0.26
1
2.52
2.47
12.14
12.28
13.97
13.90
21.57
21.36
2
2.43
± 0.07
12.42
± 0.18
13.84
± 0.09
21.15
± 0.30
1
3.82
3.80
9.97
9.93
12.04
12.26
13.90
13.86
2
3.74
± 0.08
9.89
± 0.05
12.47
± 0.30
13.81
± 0.06
1
2.33
2.38
10.35
10.39
10.74
10.59
13.24
13.10
2
2.44
± 0.08
10.43
± 0.05
10.43
± 0.22
12.96
± 0.20
1
2.75
2.73
9.27
9.37
10.09
10.22
11.33
10.84
2
2.71
± 0.03
9.48
± 0.15
10.35
± 0.18
10.35
± 10.84
78
Lampiran 7. Analisis solubility pati native dan termodifikasi HMT Perlakuan k.air (%): waktu (jam) Tapioka native
HMT 25: 2
HMT 25: 4
HMT 25: 7
Maizena native
HMT 25: 2
HMT 25: 4
Solubility (%) o
U
o
60 C
80oC
70 C
90oC
1
3.48
3.50
6.08
6.08
9.66
9.65
12.75
12.75
2
3.57
± 0.10
6.09
± 0.01
9.64
± 0.01
12.76
± 0.01
1
4.04
4.02
8.29
8.30
8.54
8.50
16.69
16.85
2
4.00
± 0.03
8.32
± 0.02
8.45
± 0.06
17.00
± 0.22
1
3.56
3.61
5.33
5.22
5.63
5.54
10.52
10.72
2
3.65
± 0.06
5.11
± 0.16
5.46
± 0.13
10.91
± 0.28
1
5.33
5.37
6.71
6.72
7.37
7.37
12.96
12.83
2
5.40
± 0.05
6.73
± 0.01
7.37
± 0.00
12.71
± 0.17
1
0.55
0.56
3.09
3.08
9.62
9.64
13.12
13.18
2
0.56
± 0.00
3.06
± 0.01
9.65
± 0.02
13.23
± 0.08
1
2.47
2.45
6.29
6.25
7.85
7.91
10.12
10.13
2
2.43
± 0.02
6.21
± 0.06
7.96
± 0.08
10/14
± 0.01
1
2.43
2.40
5.05
5.05
5.32
5.25
8.55
8.40
2
2.37
± 0.04
5.06
± 0.01
5.18
± 0.10
8.24
± 0.22
79
Lampiran 8. Analisis absorpsi air dan minyak pati native dan termodifikasi HMT Absorpsi (g/g) Perlakuan
U
Air
Rata-rata
Minyak
Rata-rata
k.air (%): waktu (jam) Tapioka native
HMT 25: 2
HMT 25: 4
HMT 25: 7
Maizena native
HMT 25: 2
HMT 25: 4
1
1.32
1.31
1.15
1.14
2
1.29
± 0.02
1.14
± 0.00
1
1.37
1.38
1.36
1.35
2
1.39
± 0.02
1.33
± 0.02
1
1.30
1.32
1.57
1.58
2
1.33
± 0.02
1.58
± 0.00
1
1.49
1.45
1.63
1.63
2
1.40
± 0.06
1.63
± 0.00
1
0.95
0.96
1.41
1.40
2
0.97
± 0.02
1.40
± 0.01
1
1.38
1.37
1.40
1.41
2
1.35
± 0.02
1.43
± 0.02
1
1.25
1.25
1.48
1.47
2
1.24
± 0.01
1.47
± 0.01
80
Lampiran 9. Analisis stabilitas freeze-thaw pati native dan termodifikasi HMT Perlakuan k.air (%): waktu (jam) Tapioka native
HMT 25: 2
HMT 25: 4
HMT 25: 7
Maizena native
HMT 25: 2
HMT 25: 4
Sineresis pada siklus ke- (%) U
1
2
3
4
1
17.40
17.46
32.39
32.50
25.10
28.41
14.12
14.23
2
17.56
± 0.12
32.61
± 0.05
24.53
± 0.40
14.34
± 0.16
1
23.58
23.75
34.72
34.16
19.46
19.42
7.86
7.78
2
23.93
± 0.25
33.60
± 0.79
19.38
± 0.06
7.69
± 0.12
1
27.23
27.11
28.16
28.48
20.62
20.83
10.02
9.91
2
26.98
± 0.17
28.80
± 0.45
21.04
± 0.29
9.80
± 0.16
1
13.44
13.58
23.22
22.91
12.17
12.26
6.35
6.24
2
13.71
± 0.19
22.60
± 0.44
12.36
± 0.14
6.12
± 0.16
1
21.37
21.06
29.18
28.60
31.49
31.13
21.19
20.77
2
20.74
± 0.45
28.03
± 0.81
30.78
± 0.50
20.34
± 0.60
1
23.94
23.70
28.96
28.49
28.62
28.58
24.57
24.59
2
23.45
± 0.35
28.02
± 0.67
28.54
± 0.05
24.61
± 0.03
1
20.59
20.85
28.97
28.54
36.76
36.18
27.59
27.21
2
21.11
± 0.37
28.11
± 0.01
35.60
± 0.82
26.84
± 0.53
81
Lampiran 10. Analisis kejernihan pasta pati native dan termodifikasi HMT Perlakuan
Kejernihan pasta
k.air (%): waktu (jam)
U
(%T)
Rata-rata
Tapioka native
1
36.14
36.14
2
36.14
± 0.00
1
19.41
19.32
2
19.23
± 0.13
1
17.95
17.91
2
17.86
± 0.06
1
16.90
16.90
2
16.90
± 0.00
1
31.62
31.77
2
31.92
± 0.21
1
11.48
11.29
2
11.09
± 0.28
1
8.71
8.61
2
8.51
± 0.14
HMT 25: 2
HMT 25: 4
HMT 25: 7
Maizena native
HMT 25: 2
HMT 25: 4
Lampiran 11. Analisis derajat putih pati native dan termodifikasi HMT Perlakuan
Derajat putih
k.air (%): waktu (jam)
U
(%)
Rata-rata
Tapioka native
1
83.48
83.53
2
83.57
± 0.00
1
78.88
78.79
2
78.70
± 0.13
1
78.52
78.42
2
78.52
± 0.00
1
78.43
78.43
2
78.43
± 0.00
1
95.04
95.08
2
95.13
± 0.06
1
90.88
90.88
2
90.88
± 0.00
1
90.88
90.88
2
90.88
± 0.00
HMT 25: 2
HMT 25: 4
HMT 25: 7
Maizena native
HMT 25: 2
HMT 25: 4
82
Lampiran 12. Analisis profil tekstur pati native dan termodifikasi HMT Perlakuan k.air (%):
Kekerasan
Rata-
U
(gf)
rata
1
136.39
132.51
2
128.62
1
Elastisitas
Rata-
Daya
Rata-
Kelengketan
Rata-
rata
kohesif
rata
0.98
0.98
0.67
0.65
90.96
86.78
± 5.50
0.98
± 0.00
0.64
± 0.02
82.60
± 5.91
133.52
170.24
0.91
0.90
0.64
0.64
108.85
101.81
2
206.96
± 51.93
0.89
± 0.01
0.64
± 0.00
131.77
± 32.47
1
111.01
116.64
0.98
0.99
0.67
0.66
74.23
77.12
2
122.28
± 7.97
1.00
± 0.01
0.65
± 0.01
79.93
± 3.97
1
145.78
139.49
0.92
0.95
0.65
0.65
95.23
90.91
2
133.20
± 8.89
0.95
± 0.05
0.65
± 0.00
86.59
± 6.11
1
498.49
482.07
0.99
0.99
0.64
0.64
318.87
308.79
2
465.66
± 23.22
0.99
± 0.00
0.64
± 0.00
298.71
± 14.26
1
522.84
549.06
0.99
0.99
0.64
0.63
332.26
345.57
2
575.27
± 37.07
1.00
± 0.01
0.62
± 0.01
358.88
± 18.82
1
252.12
279.71
0.98
0.98
0.63
0.63
157.72
175.07
2
307.31
± 39.02
0.99
± 0.01
0.63
± 0.00
192.42
± 24.54
rata
waktu (jam) Tapioka native
HMT 25: 2
HMT 25: 4
HMT 25: 7
Maizena native
HMT 25: 2
HMT 25: 4
83
Lampiran 13. Analisis difraksi sinar X pati native dan termodifikasi Group name Data name File name Sample name Comment
: : : : :
StandardNop10 Tapioka Native Wd Tapioka_Native_Wd.RSM Tapioka Native Wd Tapioka_Native_Wd
#Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
Group: standardNop10
Data: Tapioka_Native_Wd
5.0-30.3 (deg) 35.1416 (%) 1.0000 0.7158 (kcps*deg) 1.3211 (kcps*deg)
84
Group name Data name
: StandardNop10 : Tapioka Native Wd
# Strongest 3 peaks No.
Peak
2Theta
d
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
no.
(deg)
(A)
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
4
17.2197
5.14544
100
1.50660
105
5869
2
5
17.9786
4.92992
99
1.64000
104
7101
3
7
23.2390
3.82451
78
1.74000
82
10222
# Peak data list Peak
2Theta
d
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
no.
(deg)
(A)
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
11.3871
7.76452
4
0.06000
4
35
2
13.5284
6.53996
8
0.68000
8
465
3
15.1639
5.83808
64
1.12000
67
4212
4
17.2197
5.14544
100
1.50660
105
5869
5
17.9786
4.92992
99
1.64000
104
7101
6
19.7364
4.49463
35
0.00000
37
0
7
23.2390
3.82451
78
1.74000
82
10222
8
25.2455
3.52490
11
0.64000
12
619
9
26.3937
3.37411
8
0.42000
8
331
10
29.1700
3.05898
8
0.38000
8
312
85
# Data Information Group Data File name Sample name Comment Date & time
: : : : : :
StandardNop10 Tapioka Native Wd Tapioka_Native_Wd Tapioka Native Wd Tapioka_Native_Wd 11-03-10 08:39:04
# Measurement Condition XRAY Target : Cu Wave : Voltage : Current : Slit Divergence : Scatter : Receiving : Scanning Axis : Range : Scan mode : Theta : 2Theta : 0.0000 Speed : Step : Preset time : Full scale :
1.54060 (A) 40.0 (kV) 30.0 (mA) 1.0000 (deg) 1.0000 (deg) 0.3000 (mm) Theta-2Theta 5.0000 – 30.0000 (deg) Continuous scan 0.0000 (deg) (deg) 2.0000 (deg/min) 0.0200 (deg) 0.60 (sec) 288 (counts)
# Calculation conditions Lorentz correction [YES] Monochromator : no Theta M : 13.3000 (deg) Amorphous peak [AUTO] K parameter : 1.0000 Pitch : 30 Width : 3 Loop : 24 # Result Calculation range : 5.0 – 30.3 (deg) Crystallinity : 35.1416 (%) K parameter : 1.0000 Crystal Icr : 0.7158 (kcps*deg) Amorphous Ia : 1.3211 (kcps*deg)
86
Group name Data name File name Sample name Comment
: : : : :
StandardNop10 Tapioka 25 2a Wd Tapioka_25_2a_Wd.RSM Tapioka 25 2a Wd Tapioka_25_2a_Wd
#Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
Group: standardNop10
Data: Tapioka_25_2a_Wd
5.0-30.3 (deg) 29.5535 (%) 1.0000 0.6875 (kcps*deg) 1.6389 (kcps*deg)
87
Group name Data name
: StandardNop10 : Tapioka 25 2a Wd
# Strongest 3 peaks No. Peak
2Theta
d
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
no.
(deg)
(A)
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
6
17.9786
4.92992
100
1.68000
98
7273
2
5
17.0999
5.18122
97
1.32000
95
4955
3
9
23.2207
3.82749
88
1.95670
86
9491
# Peak data list Peak
2Theta
d
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
no.
(deg)
(A)
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
8.6510
10.21313
3
0.03000
3
12
2
10.0051
8.83371
4
0.16000
4
94
3
13.5484
6.53036
5
0.08000
5
61
4
15.1689
5.83616
58
1.19000
57
3684
5
17.0999
5.18122
97
1.32000
95
4955
6
17.9786
4.92992
100
1.68000
98
7273
7
19.8962
4.45889
35
0.00000
34
0
8
20.8542
4.425617
29
0.00000
28
0
9
23.2207
3.82749
88
1.95670
86
9491
10
26.3537
3.37914
14
1.08000
14
846
11
28.9003
3.08691
8
0.40000
8
351
88
# Data Information Group Data File name Sample name Comment Date & time
: : : : : :
StandardNop10 Tapioka 25 2a Wd Tapioka_25_2a_Wd Tapioka 25 2a Wd Tapioka_25_2a_Wd 11-03-10 08:59:01
# Measurement Condition XRAY Target : Cu Wave : Voltage : Current : Slit Divergence : Scatter : Receiving : Scanning Axis : Range : Scan mode : Theta : 2Theta : 0.0000 Speed : Step : Preset time : Full scale :
1.54060 (A) 40.0 (kV) 30.0 (mA) 1.0000 (deg) 1.0000 (deg) 0.3000 (mm) Theta-2Theta 5.0000 – 30.0000 (deg) Continuous scan 0.0000 (deg) (deg) 2.0000 (deg/min) 0.0200 (deg) 0.60 (sec) 266 (counts)
# Calculation conditions Lorentz correction [YES] Monochromator : no Theta M : 13.3000 (deg) Amorphous peak [AUTO] K parameter : 1.0000 Pitch : 33 Width : 3 Loop : 24 # Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
5.0 – 30.3 (deg) 29.5535 (%) 1.0000 0.6875 (kcps*deg) 1.6389 (kcps*deg)
89
Group name Data name File name Sample name Comment
: : : : :
StandardNop10 Tapioka 25 4a Wd Tapioka_25_4a_Wd.RSM Tapioka 25 4a Wd Tapioka_25_4a_Wd
#Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
Group: standardNop10
Data: Tapioka_25_4a_Wd
5.0-30.3 (deg) 28.4090 (%) 1.0000 0.6873 (kcps*deg) 1.7320 (kcps*deg)
90
Group name Data name
: StandardNop10 : Tapioka 25 4a Wd
# Strongest 3 peaks No.
Peak
2Theta
d
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
no.
(deg)
(A)
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
6
17.8587
4.96275
100
1.84000
101
7646
2
5
17.1199
5.17521
99
1.40000
100
4982
3
8
23.2124
3.82883
83
1.99330
84
10974
# Peak data list Peak
2Theta
d
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
no.
(deg)
(A)
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
11.3523
7.78824
5
0.17000
5
127
2
12.8790
6.86823
4
0.04330
4
19
3
14.0867
6.28200
14
0.68000
14
602
4
15.1639
5.8308
61
1.22000
62
3653
5
17.1199
5.17521
99
1.40000
100
4982
6
17.8587
4.96275
100
1.84000
101
7646
7
19.7564
4.49012
40
0.00000
40
0
8
23.2124
3.82883
83
1.99330
84
10974
9
25.3653
3.50853
12
0.74660
12
691
10
26.5634
3.35294
14
0.76000
14
568
11
28.7071
3.10724
7
0.77330
7
315
91
# Data Information Group Data File name Sample name Comment Date & time
: : : : : :
StandardNop10 Tapioka 25 4a Wd Tapioka_25_4a_Wd Tapioka 25 4a Wd Tapioka_25_4a_Wd 11-03-10 09:15:46
# Measurement Condition XRAY Target : Cu Wave : Voltage : Current : Slit Divergence : Scatter : Receiving : Scanning Axis : Range : Scan mode : Theta : 2Theta : 0.0000 Speed : Step : Preset time : Full scale :
1.54060 (A) 40.0 (kV) 30.0 (mA) 1.0000 (deg) 1.0000 (deg) 0.3000 (mm) Theta-2Theta 5.0000 – 30.0000 (deg) Continuous scan 0.0000 (deg) (deg) 2.0000 (deg/min) 0.0200 (deg) 0.60 (sec) 290 (counts)
# Calculation conditions Lorentz correction [YES] Monochromator : no Theta M : 13.3000 (deg) Amorphous peak [AUTO] K parameter : 1.0000 Pitch : 31 Width : 3 Loop : 21 # Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
5.0 – 30.3 (deg) 28.4090 (%) 1.0000 0.6873 (kcps*deg) 1.7320 (kcps*deg)
92
Group name Data name File name Sample name Comment
: : : : :
StandardNop10 Tapioka 25 7a Wd Tapioka_25_7a_Wd.RSM Tapioka 25 7a Wd Tapioka_25_7a_Wd
#Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
Group: standardNop10
Data: Tapioka_25_7a_Wd
5.0-30.3 (deg) 28.0227 (%) 1.0000 0.6408 (kcps*deg) 1.6460 (kcps*deg)
93
Group name Data name
: StandardNop10 : Tapioka 25 7a Wd
# Strongest 3 peaks No.
Peak
2Theta
d
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
no.
(deg)
(A)
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
3
17.9985
4.92451
100
1.34000
102
7308
2
2
17.1598
5.16327
95
1.34000
97
4975
3
5
23.1741
3.83508
80
1.87000
82
8828
# Peak data list Peak
2Theta
d
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
no.
(deg)
(A)
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
15.2836
5.79262
59
1.44000
60
4301
2
17.1598
5.16327
95
1.34000
97
4975
3
17.9985
4.92451
100
1.34000
102
7308
4
19.9761
4.44123
35
0.00000
36
0
5
23.1741
3.83508
80
1.87000
82
8828
6
24.3669
3.64998
33
0.76000
34
1586
7
25.3653
3.50853
8
0.00000
8
0
8
26.4669
3.36494
9
0.35330
9
388
9
29.7992
2.99581
5
0.24000
5
156
94
# Data Information Group name Data name File name Sample name Comment Date & time
: : : : : :
StandardNop10 Tapioka 25 7a Wd Tapioka_25_7a_Wd.RSM Tapioka 25 7a Wd Tapioka_25_7a_Wd 11-03-10 09:15:46
# Measurement Condition XRAY Target : Cu Wave : Voltage : Current : Slit Divergence : Scatter : Receiving : Scanning Axis : Range : Scan mode : Theta : 2Theta : 0.0000 Speed : Step : Preset time : Full scale :
1.54060 (A) 40.0 (kV) 30.0 (mA) 1.0000 (deg) 1.0000 (deg) 0.3000 (mm) Theta-2Theta 5.0000 – 30.0000 (deg) Continuous scan 0.0000 (deg) (deg) 2.0000 (deg/min) 0.0200 (deg) 0.60 (sec) 290 (counts)
# Calculation conditions Lorentz correction [YES] Monochromator : no Theta M : 13.3000 (deg) Amorphous peak [AUTO] K parameter : 1.0000 Pitch : 31 Width : 3 Loop : 21 # Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
5.0-30.3 (deg) 28.0227 (%) 1.0000 0.6408 (kcps*deg) 1.6460 (kcps*deg)
95
Group name Data name File name Sample name Comment
: : : : :
StandardNop10 Maizena native Wd Maizena_native_Wd.RSM Maizena native Wd Maizena_native_Wd
#Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
Group: standardNop10
Data: Maizena_native_Wd
5.0-30.3 (deg) 31.0609 (%) 1.0000 0.8271 (kcps*deg) 1.8357 (kcps*deg)
96
Group name Data name
: StandardNop10 : Maizena native Wd
# Strongest 3 peaks No. Peak
2Theta
d
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
no.
(deg)
(A)
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
5
18.0385
4.91368
100
1.38660
103
5775
2
4
17.1199
5.17521
93
1.21340
96
4861
3
7
23.2955
3.81536
81
1.94670
83
8417
# Peak data list Peak
2Theta
d
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
no.
(deg)
(A)
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
11.4369
7.73082
5
0.12000
5
92
2
12.8608
6.87791
6
0.50000
6
298
3
15.2138
5.81904
56
1.34000
58
4090
4
17.1199
5.17521
93
1.21340
96
4861
5
18.0385
4.91368
100
1.38660
103
5775
6
20.1160
4.41066
44
1.56000
45
4300
7
23.2955
3.81536
81
1.94670
83
8417
8
25.3054
3.51670
11
0.60000
11
500
9
26.3737
3.37662
12
1.02000
12
631
10
28.6905
3.10900
7
0.22000
7
197
11
29.7293
3.00269
5
0.26000
5
139
97
# Data Information Group Data File name Sample name Comment Date & time
: : : : : :
StandardNop10 Maizena native Wd Maizena_native_Wd Maizena native Wd Maizena_native_Wd 11-03-10 07:31:24
# Measurement Condition XRAY Target : Cu Wave : Voltage : Current : Slit Divergence : Scatter : Receiving : Scanning Axis : Range : Scan mode : Theta : 2Theta : 0.0000 Speed : Step : Preset time : Full scale :
1.54060 (A) 40.0 (kV) 30.0 (mA) 1.0000 (deg) 1.0000 (deg) 0.3000 (mm) Theta-2Theta 5.0000 – 30.0000 (deg) Continuous scan 0.0000 (deg) (deg) 2.0000 (deg/min) 0.0200 (deg) 0.60 (sec) 300 (counts)
# Calculation conditions Lorentz correction [YES] Monochromator : no Theta M : 13.3000 (deg) Amorphous peak [AUTO] K parameter : 1.0000 Pitch : 32 Width : 3 Loop : 28 # Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
5.0-30.3 (deg) 31.0609 (%) 1.0000 0.8271 (kcps*deg) 1.8357 (kcps*deg)
98
Group Data File name Sample name Comment
: : : : :
StandardNop10 Maizena 25 2a Wd Maizena_25_2a_Wd Maizena 25 2a Wd Maizena_25_2a_Wd
# Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
Group: StandardNop10
Data: Maizena_25_2a_Wd
5.0-30.3 (deg) 28.7857 (%) 1.0000 0.7211 (kcps*deg) 1.7864 (kcps*deg)
99
Group name Data name
: StandardNop10 : Maizena_25_2a_Wd
# Strongest 3 peaks No. Peak
2Theta
d
no.
(deg)
(A)
1
6
18.0784
4.90293
100
1.50660
105
5683
2
5
17.2597
5.13361
92
1.48000
97
5439
3
8
23.3538
3.80597
73
1.87000
77
6605
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
(deg)
(Counts)
(Counts)
# Peak data list Peak
2Theta
d
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
no.
(deg)
(A)
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
10.1392
8.71717
3
0.03000
3
9
2
11.7188
7.54548
8
0.95330
8
435
3
13.0700
6.76829
9
0.64000
9
505
4
15.2736
5.79639
67
1.18000
70
4556
5
17.2597
5.13361
92
1.48000
97
5439
6
18.0784
4.90293
100
1.50660
105
5683
7
20.1759
4.39770
39
1.50000
41
3829
8
23.3538
3.80597
73
1.87000
77
6605
9
24.6065
3.61498
27
0.84000
28
1414
10
26.5035
3.36038
11
0.72000
12
542
11
29.0102
3.07547
6
0.46000
6
363
100
# Data Information Group Data File name Sample name Comment Date & time
: : : : : :
StandardNop10 Maizena 25 2a Wd Maizena_25_2a_Wd Maizena 25 2a Wd Maizena_25_2a_Wd 11-03-10 07:47:59
# Measurement Condition XRAY Target : Cu Wave : Voltage : Current : Slit Divergence : Scatter : Receiving : Scanning Axis : Range : Scan mode : Theta : 2Theta : 0.0000 Speed : Step : Preset time : Full scale :
1.54060 (A) 40.0 (kV) 30.0 (mA) 1.0000 (deg) 1.0000 (deg) 0.3000 (mm) Theta-2Theta 5.0000 – 30.0000 (deg) Continuous scan 0.0000 (deg) (deg) 2.0000 (deg/min) 0.0200 (deg) 0.60 (sec) 298 (counts)
# Calculation conditions Lorentz correction [YES] Monochromator : no Theta M : 13.3000 (deg) Amorphous peak [AUTO] K parameter : 1.0000 Pitch : 33 Width : 3 Loop : 21 # Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
5.0-30.3 (deg) 28.7857 (%) 1.0000 0.7211 (kcps*deg) 1.7864 (kcps*deg)
101
Group Data File name Sample name Comment
: : : : :
StandardNop10 Maizena 25 4a Wd Maizena_25_4a_Wd Maizena 25 4a Wd Maizena_25_4a_Wd
# Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
Group: StandardNop10
Data: Maizena 25 4a Wd
5.0-30.3 (deg) 24.1922 (%) 1.0000 0.7185 (kcps*deg) 2.2514 (kcps*deg)
102
Group name Data name
: StandardNop10 : Maizena_25_4a_Wd
# Strongest 3 peaks No.
Peak
2Theta
d
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
no.
(deg)
(A)
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
5
17.9786
4.92992
100
1.60000
107
4686
2
4
17.1798
5.15730
96
1.40000
103
5161
3
7
23.3338
3.80919
77
1.97000
82
8173
# Peak data list Peak
2Theta
d
no.
(deg)
(A)
I/II
FWHM
Intensity
Integrated Int
(deg)
(Counts)
(Counts)
1
11.6757
7.57323
7
0.88000
8
444
2
13.2793
6.66208
9
0.82000
10
545
3
15.3135
5.78138
63
1.38000
67
4742
4
17.1798
5.15730
96
1.40000
103
5161
5
17.9786
4.92992
100
1.60000
107
4686
6
19.5366
4.54014
43
2.92000
46
6385
7
23.3338
3.80919
77
1.97000
82
8173
8
26.5135
3.35913
14
1.10000
15
892
9
29.0701
3.06926
9
0.34000
10
312
103
# Data Information Group Data File name Sample name Comment Date & time
: : : : : :
StandardNop10 Maizena 25 4a Wd Maizena_25_4a_Wd Maizena 25 4a Wd Maizena_25_4a_Wd 11-03-10 08:10:08
# Measurement Condition XRAY Target : Cu Wave : Voltage : Current : Slit Divergence : Scatter : Receiving : Scanning Axis : Range : Scan mode : Theta : 2Theta : 0.0000 Speed : Step : Preset time : Full scale :
1.54060 (A) 40.0 (kV) 30.0 (mA) 1.0000 (deg) 1.0000 (deg) 0.3000 (mm) Theta-2Theta 5.0000 – 30.0000 (deg) Continuous scan 0.0000 (deg) (deg) 2.0000 (deg/min) 0.0200 (deg) 0.60 (sec) 308 (counts)
# Calculation conditions Lorentz correction [YES] Monochromator : no Theta M : 13.3000 (deg) Amorphous peak [AUTO] K parameter : 1.0000 Pitch : 29 Width : 3 Loop : 20 # Result Calculation range Crystallinity K parameter Crystal Icr Amorphous Ia
: : : : :
5.0-30.3 (deg) 24.1922 (%) 1.0000 0.7185 (kcps*deg) 2.2514 (kcps*deg)
104
105
106