“PENGARUH PELATIHAN THINKING SKILLS TERHADAP KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING MAHASISWA BARU”
Disusun Oleh : Eko Imam Santosa 04320074 Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si.
PRODI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008
NASKAH PUBLIKASI
“Pengaruh Pelatihan Thinking Skills Terhadap Kemampuan Problem Solving Mahasiswa Baru”
Telah Disetujui Pada Tanggal : _________________________
Dosen pembimbing utama:
(Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si.)
“Pengaruh Pelatihan Thinking Skills Terhadap Kemampuan Problem Solving Mahasiswa Baru”
Eko Imam Santosa Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si. INTISARI Problem solving penting untuk diteliti karena problem solving yang baik akan membuat mahasiswa mampu mengembangkan solusi yang sistematis dan logis untuk memecahkan masalahnya. Mahasiswa baru memiliki banyak tuntutan yang harus dipenuhi dan apabila tidak dapat dipenuhi maka setiap tuntutan tersebut akan berubah menjadi masalah yang dapat menghambat kuliah. Idealnya seorang mahasiswa harus mampu memenuhi tuntutan yang ada dan harus mampu memecahkan masalah yang dihadapi, namun kenyataannya masih banyak mahasiswa yang tidak mampu mengatasi permasalahan yang dihadapinya secara efektif dan efisien. Problem solving sendiri erat kaitannya dengan thinking skills, oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk menguji hipotesis bahwa ada pengaruh pelatihan thinking skills terhadap kemampuan problem solving mahasiswa baru. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa baru prodi psikologi yang mengambil kelas bahasa indonesia sebagai kelompok eksperimen. Jumlah subjek pada awalnya adalah 71 subjek eksperimen, namun pada postest didapatkan subjek yang tidak gugur dan datanya dapat dianalisis adalah sejumlah 9 subjek. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dibuat oleh peneliti sendiri, berbentuk skala dengan berdasarkan pada aspek-aspek problem solving dari Mayer (1992). Aspekaspek tersebut antara lain kemampuan menyimpan dan mampu mengakses unit pengetahuan dengan lebih cepat. Kemampuan untuk menghubungkan masalah khusus pada hal yang lebih umum dengan berdasar pada konsep yang sudah ada. Kemampuan untuk membedakan tipe-tipe masalah sehingga mampu mengelompokkan masalah berdasarkan strategi pemecahan yang dikembangkan dan problem solver yang baik mampu mengembangkan strategi umum atau global untuk memecahkan masalah namun bekerja dengan mempertimbangkan alternatif-alternatif pada strategi umum sebagai sebuah kemajuan atas solusi yang dibuat. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah SPSS (Statistical Programme for Social Science) 11.0 for Windows. Paired sample T Test digunakan untuk menguji apakah terdapat pengaruh pelatihan thinking skills terhadap kemampuan problem solving mahasiswa baru. Dari hasil analisis didapatkan hasil bahwa ada peningkatan nilai rerata dari 106.67 menjadi 107.67, kemudian dari hasil uji Paired sample T Test didapatkan t = -1.376 dan p= 0.206 (p < 0,05) data ini memperlihatkan bahwa pelatihan thinking skills yang diberikan tidak mempengaruhi kemampuan problem solving subjek secara signifikan. Kata Kunci : Pelatihan Thinking Skills, Problem Solving, Mahasiswa baru
PENGANTAR Siswa yang telah lulus dari SMA biasanya akan memiliki cita-cita untuk melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Bila mereka telah diterima di perguruan tinggi maka hal ini akan membawa berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan juga membawa banyak tuntutan yang harus dipenuhi. Tuntutan dan perubahan yang ada apabila tidak dapat terpenuhi oleh individu maka akan dapat berubah menjadi masalah. Setiap masalah yang muncul haruslah diatasi dan diselesaikan dengan efektif agar masalah yang sama tidak muncul kembali. Paragraf selanjutnya akan memaparkan beberapa contoh dari tuntutan yang akan berubahmenjadi masalah bila tidak dapat diselesaikan oleh individu. Misalnya saat SMA seorang siswa tidak dituntut untuk mencari referensi sendiri karena semuanya telah terdapat dalam kurikulum ada. Setiap siswa hanya diwajibkan untuk memahami setiap materi dari buku yang telah disediakan oleh pihak sekolah sesuai dengan kurikulum yang ada. Mereka yang bisa memahami materi dalam setiap buku ajar dengan baik akan dianggap telah mampu dan bisa mendapatkan nilai maksimal. Hal ini berbeda dengan di perkuliahan yang setiap mahasiswanya dituntut untuk tidak hanya memiliki satu buku ajar namun harus memiliki banyak buku referensi untuk memperluas wawasan mereka terhadap suatu materi. Keinginan untuk memiliki berbagai referensi dan keinginan untuk mampu memahami materi
dari
berbagai referensi akan menjadi masalah bila tidak dapat terpenuhi, suatu hal dapat berubah menjadi masalah apabila seseorang berada pada situasi yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Hal lainnya adalah bahwa di perkuliahan seorang mahasiswa yang pintar akan sangat dimungkinkan untuk bisa lulus lebih cepat daripada mahasiswa yang kurang pintar. Hal ini dikarenakan adanya sistem SKS yang diterapkan oleh perguruan tinggi sehingga cepat tidaknya seseorang akan tergantung dari banyak tidaknya SKS yang diambil tiap semester (Buku Panduan Akademik FPSB UII 2004), ini berbeda dengan saat SMA yang setiap siswanya harus lulus atau naik kelas dalam waktu yang sama, yaitu satu tahun sekali tanpa ada kesempatan bagi mereka yang berprestasi untuk lulus lebih cepat. Perbedaan dengan saat SMA ini bila tidak disiasati akan menempatkan seseorang pada situasi yang tidak menyenangkan yang dapat berakibat pada terganggunya kuliah seseorang. Masalah lainnya dari segi lingkungan tempat tinggal, mahasiswa baru akan menempati lingkungan baru dan suasana yang baru yang tentu saja juga membawa berbagai permasalahan baru pula. Hal tersebut harus diikuti dengan berbagai penyesuaian yang dilakukan oleh mahasiswa baru agar dapat merasa nyaman dengan lingkungan barunya. Masalah muncul ketika adanya ketidaknyamanan yang dikarenakan rencana yang dibuat oleh individu untuk melakukan penyesuaian tidak membuahkan hasil yang memuaskan seperti pendapat Piaget (Elliot, 1999). Kondisi ini menuntut subjek lebih mandiri untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan makan, minum, tempat kos, pakaian, belajar hingga berinteraksi dengan lingkungan sehingga melakukan interaksi dengan lingkungan yang masih asing bisa menjadi persoalan lain bagi mahasiswa tersebut.
Masalah juga dapat muncul saat seseorang tidak mampu mendapatkan keinginan untuk membeli barang-barang selain barang-barang kebutuhan untuk kehidupan sehari-hari. Misalnya kebutuhan untuk membeli berbagai keperluan lain seperti buku-buku referensi ataupun hanya sekedar untuk bersenang-senang, kenyataannya tidak semua mahasiswa baru mampu terpenuhi keinginannya. Bagi mereka yang berkecukupan maka hal ini bukanlah sebuah masalah. Namun bagi yang orang tuanya kurang mampu maka keinginan tersebut kemungkinan tidak dapat terpenuhi.
Hal ini akan menjadi sebuah masalah karena keinginan untuk
mendapatkan apa yang diinginkan mengalami banyak hambatan atau bahkan bisa jadi tidak dapat tercapai sama sekali. Beberapa hal diatas adalah contoh nyata dari situasi yang dialami oleh mahasiswa baru dan dapat dianggap sebagai masalah bagi mahasiswa baru karena terdapat hambatan yang menghalangi (Chauhan, 1978) dan tidak adanya kesesuaian atara kondisi yang ada dengan kondisi yang diinginkan oleh subjek (Hayes, 1978) (Elliot, 2000). Setiap permasalahan haruslah diselesaikan agar mereka bisa lebih siap dalam menjalankan perannya sebagai seorang mahasiswa. Kenyataannya bagi sebagian orang berbagai permasalahan diatas dapat diatasi dengan baik dan efektif namun bagi sebagian lainnya permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik. Pemecahan masalah yang tidak efektif seringkali membuat masalah yang sama muncul kembali meskipun sebelumnya telah mampu diselesaikan oleh individu.
Bagi seorang problem solver yang baik harus mampu memandang sebuah permasalahan dengan lebih menyeluruh dan memahami masalah dengan lebih mendalam sehingga keputusan yang akan diambil akan menjadi lebih tepat sasaran Bila hal tersebut dilakukan maka masalah akan dapat diselesaikan dengan lebih efektif sehingga masalah yang sama tidak akan muncul kembali.
Untuk
melakukannya seseorang harus memiliki problem solving yang baik. Stein & Book (2002) mendefinisikan problem solving sebagai sebuah kemampuan untuk mengenali dan merumuskan masalah, serta menemukan dan menerapkan pemecahan yang ampuh. Selain itu seorang problem solver juga harus mampu mengembangkan berbagai srategi pemecahan dan mengembangkan pendekatanpendekatan yang lebih mutakhir untuk masalah-masalah baru serta mampu secara hati-hati memonitor strategi dan proses pemecahan masalah (Sternberg, 1999). Baik dalam proses memahami maupun proses pemecahan masalah (problem solving) seorang problem solver harus menggunakan ketrampilan berpikir (thinking skills) yang dimilikinya. Ketrampilan berpikir ini akan membantu problem solver dalam mengoptimalkan tiap proses yang harus dijalani oleh problem solver untuk menyelesaikan masalah. Alvino (Cotton, 1991) mengartikannya sebagai kumpulan ketrampilan-ketrampilan yang mengatur proses mental seseorang. Ketrampilanketrampilan yang dimaksud dapat berupa ketrampilan-ketrampilan dasar atau utama,
ketrampilan yang lebih tinggi dan juga ketrampilan cadangan. Sehingga
asumsi yang muncul adalah bahwa dengan meningkatkan ketrampilan berpikir yang dimiliki seseorang maka juga akan meningkatkan kemampuan problem solving
seseorang yang akhirnya akan membuat seseorang mampu membuat penyelesaian masalah dengan lebih efektif. Suatu hal yang menarik karena menurut beberapa ahli ternyata thinking skills adalah suatu ketrampilan yang dapat diajarkan. Seperti pendapat dua tokoh Cotton (1990) dan Wilson (2000) yang menyebutkan bahwa thinking skills dapat diajarkan dan dapat ditingkatkan sehingga penelitian ini dibuat dengan didalamnya berisikan pelatihan beberapa ketrampilan berpikir untuk meningkatkan thinking skills seseorang. Dari alasan tersebut, peneliti ini ingin mengetahui pengaruh pelatihan thinking skills yang diberikan terhadap kemampuan problem solving mahasiswa baru. Beberapa ketrampilan berpikir yang akan dilatihkan antara lain : ketrampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir analitis, berpikir strategis dan metakognitif. Berpikir kritis penting dalam proses pemecahan masalah karena akan menghindari kesalahan dalam berpendapat, untuk mengevaluasi pendapat dan membuat keputusan yang baik (Hichcock, 1983). Kemudian berpikir kreatif digunakan untuk membuat berbagai pendekatan ataupun solusi yang lebih relevan dengan masalah yang baru (Weisberg 1988, 1995 dalam Sternberg ,1999). Berpikir analitis juga penting dalam proses pemecahan masalah terutama saat mengidentifikasi masalah, ide, pendapat ataui hal lainnya (Kirk, 1999) dan juga untuk mengevaluasi berbagai kesalahan yang mungkin terjadi serta evaluasi solusi yang telah dilakukan (Cottrell, 1999:188). Problem solving yang baik juga menuntut untuk membuat strategi yang tepat bagi permasalahannya (Anderson, 2000) dan yang terakhir adalah ketrampilan
metakognitif yang digunakan oleh problem solver untuk menumbuhkan kesadaran akan proses berpikir yang sedang terjadi sehingga dapat dimonitor (Sternberg, 1999) dan dapat dilakukan kontrol agar problem solving menjadi lebih efektif (Jacob, 2000). Penelitian ini berisi pelatihan-pelatihan ketrampilan berpikir yang diharapkan dengan adanya pelatihan ini akan mampu meningkatkan kemampuan problem solving mahasiswa baru. Penelitian ini ingin membuktikan asumsi yang menyebutkan bahwasanya
dengan
melatihkan
ketrampilan
berpikir
maka
akan
dapat
meningkatkan problem solving mahasiswa baru. Sehingga pada kesehariannya nanti mahasiswa dapat menyelesaikan permasalahannya dengan baik dan dapat terhindar dari pelarian-pelarian serta kegiatan-kegiatan yang kurang bermanfaat.
METODE PENELITIAN Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa baru angkatan 2007 dengan rentang usia 16 tahun sampai 20 tahun, laki-laki dan perempuan. Sampel adalah sebagian dari populasi dan yang digunakan oleh peneliti adalah mahasiswa baru dari fakultas psikologi dan ilmu sosial budaya UII yang mengambil mata kuliah bahasa indonesia, kelas yang peneliti ambil adalah kelas D dan E. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan bentuk rancangan Non Randomized Pretest- Posttest One Group Group Design yaitu dengan melakukan pre tes sebelum perlakuan diberikan dan melakukan pasca tes sesudah perlakuan terhadap satu kelompok yaitu kelompok eksperimen.
Perlakuan yang dimaksud adalah memberikan pelatihan thinking skills selama 7 kali sesi pertemuan dengan durasi waktu tiap sesi adalah 100 menit. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Problem Solving yang dibuat oleh peneliti dan menggunakan aspek-aspek Problem Solving dari Mayer (1992) sebagai acuan dalam pembuatan aitem-aitemnya. Subjek diminta untuk mengisi skala problem solving ini agar dapat terukur kemampuan problem solvingnya dan sebagai tambahan data, penulis juga menggunakan hasil observasi serta reflective journal. Skor yang dipakai adalah selisih dari skor posttest dengan skor pretest kelompok eksperimen. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis statistik paired sample t-test dengan menggunakan SPSS versi 11.0 for windows.
HASIL PENELITIAN Tabel 1 Kategorisasi Skala Problem Solving (pretest) kelompok eksperimen Persentase Kategori Rumus Norma Jumlah Sangat Rendah X = 59.2 0% Rendah 59.2 < X = 81.4 0% Sedang 81.4 < X = 103.6 2 22.22% Tinggi 103.6 < X = 125.8 7 77.78% Sangat Tinggi X > 125.8 0% Jumlah 9 100 % Tabel 2 Kategorisasi Skala Problem Solving (posttest) kelompok eksperimen Kategori Rumus Norma Jumlah Persentase Sangat Rendah X = 59.2 0% Rendah 59.2 < X = 81.4 0% Sedang 81.4 < X = 103.6 2 22.22% Tinggi 103.6 < X = 125.8 7 77.78% Sangat Tinggi X > 125.8 0% Jumlah 9 100 % Berdasarkan tabel 1 dan 2 diketahui bahwa skor problem solving subjek sebagian besar berada dalam kategori tinggi yaitu ada 7 subjek (77.78%) dan hanya 2 orang subjek saja yang berada dalam kategori sedang (22.22%). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok eksperimen memang telah memiliki kemampuan problem solving yang tinggi bahkan sebelum diberikan pelatihan thinking skills. Setelah diberikan pelatihan, diketahui bahwa tidak ada perubahan jumlah pada tiap kategori dalam kelompok eksperimen.
Tabel 10 Deskripsi statistik
Sebelum Sesudah
N
Mean
9 9
106.67 107.67
Std. Deviation 10.308 9.887
Tabel 11 Selisih Nilai Pre-Post Antara Kelompok Eksperimen Gain Skor Eksperimen No. Posttest Pretest Gain 1 110 115 5 2 107 109 2 3 107 107 0 4 111 113 2 5 116 116 0 6 111 111 0 7 117 115 -2 8 84 87 3 9 97 96 -1
Minimum
Maximum
84 87
117 116
Ket. naik naik tetap naik tetap tetap Turun Naik turun
Berdasarkan tabel diatas diperoleh data sebagai berikut: Tabel 12 Selisih Nilai Pre-Post Kelompok Eksperimen (n=9) Keterangan naik turun tetap jumlah
Jumlah 4 2 3 9
Berdasarkan hasil analisis statistik one-sample Kolmogorov-Smirnov Test diketahui bahwa sebaran skor pada kelompok eksperimen mengikuti kurve normal (K-Z = 0.872; p= 0.432 , p>0.05 pretest dan K-Z = 0.753 p= 0. 623, p>0.05 untuk posttest). Skor pretest dan posttest problem solving kelompok eksperimen diolah dengan menggunakan paired sample t test untuk mengetahui pengaruh
pelatihan thinking skill terhadap kemampuan problem solving. Asumsinya adalah bahwa pemberian pelatihan akan mempengaruhi kemampuan problem solving subjek. Dengan analisis paired sample t test didapatkan hasil, setelah dilakukan pelatihan thinking skills, kemampuan problem solving subjek mengalami peningkatan sebesar 1 poin. Hal ini dapat dilihat dalam rerata skor pretest yang berjumlah 106.67 menjadi 107.67 pada rerata posttest. Pada hasil analisis juga didapatkan t = -1.376 dan p= 0.206 (p < 0,05) data ini memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kemampuan problem solving sebelum dan setelah mengikuti pelatihan thinking skills. Dengan demikian hipotesis ditolak, hal ini berarti bahwa ada peningkatan kemampuan problem solving yang tidak signifikan pada subjek setelah mengikuti pelatihan thinking skills.
PEMBAHASAN Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada peningkatan skor mean kemampuan problem solving pada subjek antara sebelum perlakuan dengan sesudah perlakuan namun secara statistik perbedaan yang terjadi tidaklah signifikan. Harus diakui bahwa penelitian ini kurang memenuhi kaidah eksperimen yang ada. Penelitian eksperimen ini terbatasi oleh sistem yang ada dikarenakan penelitian ini harus mengikuti jadwal kuliah bahasa indonesia yang telah ditentukan oleh fakultas, kemudian penulis juga tidak dapat memilih
subjek penelitiannya secara bebas karena semua subjek penelitian adalah mahasiswa baru yang mengikuti kuliah bahasa indonesia. Kelemahan lainnya adalah kurangnya controlling terhadap variabelvariabel yang mungkin berpengaruh terhadap problem solving. Beberapa hal yang turut mempengaruhi problem solving selain faktor expertise atau keahlian adalah faktor mental set subjek, functional fixedness kemudian insight dan non insight problems. Mental set berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan penyelesaian yang sama dengan pengalaman sebelumnya. Seperti terlihat dalam tabel 1 tentang kategori, subjek penelitian sebagian besar berada dalan kategori tinggi. Asumsi yang muncul adalah bahwa subjek memang telah memiliki kemampuan problem solving yang baik dan juga telah memiliki berbagai skema yang menurut subjek paling efektif dan paling baik tentang penyelesaian berbagai masalah. Kecenderungan yang muncul adalah jawaban subjek secara konsisten tidak berubah, baik saat pretest maupun saat posttest, karena subjek akan secara konsisten mempertahankan skema yang telah dimiliki tentang masalah dan cara penyelesaiannya. Functional fixedness akan mempengaruhi problem solving seseorang, karena ini berkaitan dengan cara pandang individu terhadap kegunaan suatu benda atau hal. Hasil yang tidak signifikan ini bisa jadi merupakan pengaruh dari cara pandang individu yang tidak berubah terhadap objek masalah, subjek tidak membuka pikiran terhadap berbagai kegunaan alternatif suatu benda. Ini
akan memunculkan kekakuan jawaban karena subjek memiliki paten yang kuat terhadap kegunaan suatu hal. Baik mental set maupuan functional fixedness akan mempengaruhi jawaban seseorang dalam pengisisan skala ini. Seseorang yang memiliki mental set yang kuat kemudian memiliki functional fixedness yang tidak fleksibel
akan
memiliki
kekakuan
dalam
menjawab
pertanyaan.
Kecendenrungan untuk memunculkan respon atau jawaban yang sama akan besar dan hal ini terlihat dalam hasil skala problem solving yang menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan berkaitan dengan skor yang terukur dari keseluruhan subjek. Insight dan non insight problems, penulis tidak meilhat pengaruh dari insight dan non insight problems ini karena alat ukur yang digunakan tidak memungkinkan penulis untuk memiliki asumsi tentang pengaruh insight dan non insight problems terhadap hasil skor problem solving. Untuk alat ukur yang menuntut subjek untuk menyelesaikan kasus akan terlihat bagaimana insight dan non insight problems ini berperan. Dalam skala yang penulis buat sangat menekankan pada penggunaan prosedur pemecahan yang ada sedangkan ketika insight problem digunakan untuk menyelesaikan masalah maka hal ini tidak sesuai dengan aspek-aspek yang Mayer (1992) paparkan. Saat insight problem digunakan maka solusi masalah tiba-tiba muncul kedalam pikiran dan masalah terselesaikan dengan benar seperti diutarakan Baron (Zulaifah, 2007).
Penggunaan insight problem ini akan terlihat dalam alat ukur yang menggunakan kasus sebagai parameter. Hal lainnya yang turut membuat tidak adanya perubahan yang signifikan seperti yang dipaparkan Cook dan Chambell (Latipun, 2006) antar lain faktor historis, maturasi, pengujian, instrumentasi, regresi statistik, bias dalam seleksi, subjek keluar, difusi atau imitasi perilaku, demoralisasi dan interaksi kematangan dengan seleksi. Beberapa diantara faktor-faktor pengganggu tersebut ditemukan oleh penulis dalam penelitian ini. Berikut ini adalah analisis mengenai faktor pengganggu dan kelemahan dari penelitian ini. Analisis pertama, berkurangnya subjek penelitian dapat mempengaruhi hasil penelitian, Cook dan Campbell (Latipun, 2006). Saat pretest jumlah subjek adalah 71 orang namun setelah dilakukan posttest jumlah subjek yang dapat dianalisis hanya tinggal 9 orang subjek. Subjek yang hilang jumlahnya sangat besar sehingga hasil mampu mempengaruhi hasil penelitian. Data dilapangan menunjukkan bahwa skor problem solving kelompok subjek dari awal memang sudah tinggi sehingga pelatihan yang diberikan tidak terlalu berpengaruh terhadap kemampuan problem solving subjek tersebut. Skor problem solving yang berada dalam kategori tinggi ini dapat dilihat dalam tabel 1 dan 2 yang memperlihatkan bahwa 77.78% subjek berada dalam kategori tinggi dan 22.22% berada dalam kategori sedang. Penulis menemukan kelemahan dalam alat ukur yang digunakan sehingga mempengaruhi validitasnya. Hal ini berkaitan dengan aitem-aitem
yang dibuat, yang ternyata ada yang tidak sesuai dengan aspek problem solving. Hal ini terjadi karena kurangnya ekplorasi penulis terhadap teori dan aitem yang ada. Hal ini berakibat pada adanya beberapa aitem yang dibuat tidak relevan mengukur apa yang sebenarnya ingin diukur oleh penulis. Tidak dilakukannya tryout sebelum dilakukan pretest juga turut mempengaruhi validitas alat ukur ini, seharusnya tryout dapat dilakukan untuk meminimalisir kesalahan dalam pembuatan aitem yang ada. Aitem yang tidak sesuai dengan aspek problem solving dari Mayer (1992) adalah aitem nomer 1 dan nomer 2 yang memang tidak memiliki kesesuaian dengan aspek yang digunakan. Kemampuan problem solving akan lebih tepat diukur dengan menggunakan metode kasus atau pemberian soal sehingga dapat diketahui efektifitas pemecahan masalah yang dibuat oleh subjek. Berkaitan dengan instrumentasi penulis menemukan bahwa kemampuan pemberi materi, observer dan tester dalam pelatihan juga turut mempengaruhi validitas ini. Ini berkaitan dengan cara penyampaian materi yang berpengaruh pada situasi kelas dan juga mempengaruhi kondisi subjek. Selain seperti disebutkan diatas, hal lainnya yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah melakukan perencanaan bagaimana perlakuan akan diberikan,
bagaimana
administrasi
dari
stimulus
kemudian
bagaimana
mengukur dan mengobservasi respon yang ada (Mcguigan, 1968). Materi yang ada dalam modul penelitian sebenarnya telah cukup baik karena telah di gunakan sebelumnya oleh Kumara, dkk (2003) namun
modifikasi modul penelitian ini dirasakan kurang maksimal karena penulis belum mengeksplorasi modul secara optimal. Eksplorasi modul ini penting karena pemahaman yang baik terhadap modul atau materi juga akan mempengaruhi bagaimana pelatihan ini akan diberikan. Faktor motivasi untuk mengikuti tiap sesi dalam pelatihan ini akan turut mempengaruhi kemampuan problem solving subjek. Ini berkaitan dengan daya tangkap subjek saat mengikuti sesi-sesi dalam pelatihan. Akan berbeda hasil yang didapatkan antara orang yang termotivasi mengikuti tiap sesi dengan baik dengan orang yang tidak serius mengikuti tiap sesi dalam pelatihan. Orang yang termotivasi akan lebih lebih bisa menangkap materi pelatihan dengan baik karena mereka akan lebih fokus dan lebih bersemangat untuk mengikuti tiap sesi pelatihan dibandingkan orang yang motivasinya rendah untuk mengikuti tiap sesi.
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian dan analisis data yang telah dilakukan: 1. Pelatihan
thinking
skills
tidak
berpengaruh
sercara
signifikan
terhadap
kemampuan problem solving pada mahasiswa baru. Dengan demikian hipotesis ditolak.
SARAN Untuk peneliti selanjutnya yang berminat untuk meneliti hal ini, kami menyarankan: 1. Diharapkan untuk peneliti lain untuk dapat lebih tertib dalam melakukan penelitian dan mentaati tiap prosedur penelitian eksperimen dengan lebih baik. 2. Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang valid maka peneliti lain diharapkan dapat menggunakan alat ukur yang lebih matang dan lebih valid. Akan lebih tepat apabila kemampuan problem solving diukur dengan menggunakan soalsoal atau kasus-kasus sehingga subjek benar-benar malakukan pemecahan sebuah masalah. Bila menggunakan kasus maka diharapkan peneliti dapat membuat standarisasi skoring agar skoring yang dilakukan tidak mengalami bias. Peneliti lain juga dapat menggunakan alat ukur yang berbeda untuk pretest dan posttest namun harus dengan tingkat kesulitan yang sama. 3. Agar variabel lain tidak terlalu mempengaruhi jalannya eksperimen maka dapat dilakukan pengontrolan tempat eksperimen agar sesuai dengan keadaan yang ideal. Misalnya pelatihan dilakukan di tempat yang telah dipersiapkan untuk
meminimalkan gangguan yang mungkin terjadi. Pelatihan dapat dilakukan selama 3 hari berturut-turut kemudian dapat menggunakan sarana out bound , pemberian materi dan muhasabah. Akan lebih baik lagi apabila setelah pelatihan selesai, dilakukan checking atau pengukuran kemampuan lagi agar peneliti dapat memantau efek pelatihan setelah selang waktu dari pelatihan. Pengecekan ini dapat dilakukan beberapa kali dengan selang waktu yang sama, misalnya tiap 1 bulan sekali selama beberapa bulan kedepan. 4. Sebelum pelatihan hendaknya dilakukan pengayaan materi untuk para trainer dan fasilitator agar saat pelatihan berlangsung trainer dan fasilitator memang benar-benar menguasai materi dan memiliki pemahaman yang sama berkaitan dengan materi yang akan diberikan. Ini menjaga agar tidak ada kekeliruan dalam penyampaian materi pelatihan dan bertujuan untuk menyamakan kemampuan tiap pemateri. 5. Dapat dilakukan penambahan materi yang lebih relevan dengan konteks lain saat penelitian serupa dilakukan. 6. Peneliti lain diharapkan lebih mampu mengontrol faktor-faktor lain yang akan mengganggu penelitian sehingga didapatkan hasil yang lebih valid.
REFERENSI
Azwar, Saifudin. 1992. Metode Penelitian.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, Saifudin. 1992. Reliabilitas Dan Validitas.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. 2007. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baron,J. 1994. Thinking & Deciding. New York: Cambrige university Press. Belski, Iouri, 2006. Jurnal: “Improvement of Thinking and Problem Solving Skills of Engineering Students as a Result of a Formal Course on TRIZ Thinking Tools” http://www.ep.liu.se/ecp/021/vol1/002/ecp2107002.pdf. Buku Panduan Akademik FPSB UII 2004 Buzan, Tony. 1995. Use Your Head. London: BBC Books Chauhan, S.S., 1978. Advanced Educational Psychology . New Delhi : Vikas Publishing House PVT. Ltd) Davidson, J.E. 1995. The Suddenness Of Insight. Dalam Sternberg & Davidson (Eds.). The Nature Of Insight. Massachessets: MIT Press. De Bono. Edward. 1991. Berpikir Lateral (Terjemahan). Jakarta: Erlangga De Bono. Edward. 1993. Teach Your Child How To Think. London: Penguin Books Elliot, S.N. dkk. 2000. Educational Psychology: Effective Teaching,Effective Learning. 3 rd Mc GrawHill. Gagner, R.M, The Condition Of Learning , Holt, Rinehart & Winston Inc. Florida.
Glaser, R. & Chi, M.T.H. 1988. Overview. Dalam M.TH. Chi, R. Glaser,& M.J. Farr (Eds). The Nature Of Expertise. New Jersey: Erlbaum. Halomen, Santrock. 1999, Competency : An Individual’ s Ability To Understand and Participate In A Judicial Proceeding. Psychology Context Applications 3rd Ed. USA : McGraw Hill Companies. Harsoyo. 2003. Modul Pelatihan Thinking Skills UGM. Tidak Diterbitkan Hayes, J.R., 1978. Cognitive Psychology : The Dorsey Press. Illinois Jones, Morgan D. 1998. The Thinker’ s Toolkit. New York: Crown Publishing Group. Juwita, 2006, “Hubungan Antara Tahap Perkembangan Kognitif Remaja (Formal Operasional) dengan Kemampuan Pemecahan Masalah (Problem Solving).” Skripsi (Tidak Diterbitkan).Yogyakarta: FPSB UII.
Kumara, A. 2003. Modul Pelatihan ATS. Universitas Gadjah Mada Latipun, 2006. Psikologi Eksperimen, Malang : UMM Press Levine, M., 1988. Effective Problem Solving. Prentice Hall, Inc. New Jersey. Mayer, R.E. (1992) Thinking, Problem solving, Cognition (2nd Edition). New York : Freeman. Matlin, M.W. 1998. Cognition.4th edition. Texas: Harcourt Brace and Company. McGuigan, F.J., 1968. Experimental Psychology: a Methodological Approach 2nd ed. New Jersey: Prentice Hall, inc. Nafisah K. & Hazni H.Q., The Implementation Of Problem Solving-Skill In Kuittho, Malaysia. http://www.aare.edu.au/05pap/naf05192.pdf.
Parkin, Alan. J. 2000. Essential Cognitive Psychology. Psychology Press . Taylor & Francis Group. Prihartini, H., 1994. Pelatihan Problem Solving Terhadap Strategi Coping. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Robbins,SP., 1986, Organizational Behavior concept, controversies, and applications 3 rd Ed. Prentice/ Hall International, Inc. Rahmat, J., 1988, Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya. Santoso, Tanadi. Precentation: Six Thinking Hats. Schraagen, J.M. 1993. How Experts Solve A Novel Problem in experimental design. Cognitive science.17,285-309. Stein, J. S. and Howard, E. Book, M. H. 2002. Ledakan IQ 5 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses (Cetakan V). Kaifa. Sterberg,R.J. 1999. Cognitive Psychology.2nd edition. Texas: Holt, Rinehart and Winston. Solso, R.L., 1995. Cognitive Psychology.4th edition, Allyn & Bacon, Boston Suryabrata, Sumadi. 2993. Psikologi Pendidikan Edisi IV. Jakarta Utara: PT.Raja Grafindo Persada. Willingham DT., 2007, Cognition 3rd Ed., Pearson International Edition.
Zulaifah, E. & Utami, D.S. 2007. Laporan Hibah Kompetisi Peningkatan Kualitas Pengajaran Program Studi UII . Pembelajaran Psikologi Kognitif Menggunakan Metode Active Learning Dengan Memanfaatkan Teknologi Informasi. UII (Tidak Diterbitkan)
Identitas Penulis Nama
: Eko Imam Santosa
Alamat
: Karangsari rt 02 rw 31 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta 55584
No HP
: 085643578494/0274-889608
Email
:
[email protected] /
[email protected]