PENGARUH NILAI ORGANISASI DAN ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR TERHADAP KINERJA KARYAWAN
The study was aimed to investigate the impact of organization values and organizational citizenship behavior on employee performance. This study will be conducted at government employee. This research will use employee performance questionaire, organization values questionaire and organizational citizenship behavior questionaire to collect the data. The analysis of this data used multiple regression. The result showed that regression model of organization values and OCB on employee performance had not match (F = 2,81 ; p>0,05). Regression equation showed that OCB had significant impact on employee performance (Standardized B = 0,425 ; t = 2,095 ; p = 0,042). Stepwise regression analysis showed that OCB had significant impact on employee performance (F = 5,168 ; p<0,05). The conclusion of this study that hypotesis was rejected, but stepwise analysis showed that OCB could be a predictor on employee performance with effective contribution was 10%. Keyword : Employee performance, Organization values, Organizational citizenship behavior Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh nilai organisasi dan organizational citizenship behavior terhadap kinerja karyawan. Penelitian ini dilakukan pada pegawai dengan jabatan Pelaksana pada Biro Sumber Daya Manusia Kementerian. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner yang terdiri dari kuesioner untuk mengukur kinerja karyawan, nilai organisasi, dan organizational citizenship behavior. Data dari penelitian ini dianalisis menggunakan regresi ganda. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa model regresi dengan prediktor nilai organisasi dan OCB dengan kriterium kinerja karyawan tidak cocok (F = 2,81 ; p>0,05). Persamaan regresi menunjukkan OCB memiliki peran signifikan (Standardized B = 0,425 ; t = 2,095 ; p = 0,042). Pada analisis stepwise menunjukkan OCB berpengaruh signifikan terhadap kinerja kar yawan (F = 5,168 ; p<0,05). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa hipotesis ditolak, namun pada analisis stepwise didapatkan OCB dapat menjadi prediktor dari kinerja karyawan dengan sumbangan efektif sebesar 10%. Kata kunci : Kinerja karyawan, Nilai organisasi, Organizational citizenship behaviour
Pemerintah saat ini menghadapi empat permasalahan dalam hal birokrasi, yaitu berbagai keluhan masyarakat atas kurang direspon oleh aparatur, belum ada
data awal yang pasti dan sama, tolak ukur keberhasilan belum jelas, dan belum adanya analisa yang jelas mengenai pemberantasan korupsi yang belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan (Effendi, 2006). Untuk mengatasi empat permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan reformasi birokrasi yaitu perubahan dari government (pemerintah; peran pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaraan pemerintah) ke governance (tata pemerintahan; penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintah, bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan, mengelola sumber daya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, mengandung unsur demokratis, adil, transparan, dan rule of law) (Effendi, 2006). Dapat diartikan melalui reformasi birokrasi, pemerintah melakukan perubahan pola pikir, pola sikap dan pola tindakan dari penguasa menjadi pelayan masyarakat (Effendi, 2006). Perubahan ini sulit untuk diterima dan dilakukan oleh beberapa pegawai negeri sipil, sehingga memungkinkan adanya perilaku pegawai yang resistance, seperti masih berbelit-belitnya proses birokrasi yang dirasakan oleh masyarakat (Okezone, 2011), selain itu pelayanan publik yang belum memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat (Okezone, 2012). Artinya ketika pegawai negeri sipil masih belum mampu melayani kebutuhan masyarakat dengan baik sesuai dengan konsep good governance yang menjadi acuan dalam reformasi birokrasi memungkinkan berdampak pada menurunkan kinerjanya. Kinerja merupakan salah satu perilaku penting dalam bekerja karena kinerja pegawai sangat mempengaruhi kinerja organisasi (Kelidbari, Dizgah, & Yusefi,
2011; Satwika, 2012). Artinya ketika seorang pegawai mampu bekerja dengan baik maka kinerjanya akan meningkat yang berdampak langsung pada meningkatnya kinerja organisasi. Koesmono (2005) menyatakan kinerja pegawai dapat meningkat apabila organisasi mampu memberikan motivasi dan memperhatikan kepuasan kerja mereka yang berdampak langsung pada kinerja organisasi. Kinerja merupakan kombinasi antara kemampuan dan sifat (ability and traits), usaha (effort) dan dukungan (support) yang diukur melalui hasil produksi atau hasil kerja yang telah dicapai oleh pegawai (Bernardin & Russel, 1998; Klehe & Anderson, 2007; Kreitner & Kinicki, 2010; Streers & Porter, 1983). Artinya kinerja harus dapat diobservasi dan diukur (McConnell, 2003). Pada organisasi modern, penilaian kinerja memberikan mekanisme penting bagi manajemen yang digunakan untuk menjelaskan tujuan-tujuan dan standarstandar kinerja dan untuk memotivasi kinerja pegawai di waktu berikutnya (Mrayyab & Al-Faouri, 2008; Wahyuni, 2011). Cascio dan Aguinis (2005) membagi pengukuran kinerja menjadi dua, yaitu pengukuran objektif yang mengukur data produksi dan karyawan serta pengukuran subjektif yang tergantung pada penilaian individu. Tujuan penilaian kinerja adalah untuk menilai kinerja seseorang, bukan faktor di luar kendalinya. Cascio dan Aguinis (2005) menambahkan bahwa fokus pengukuran objektif bukan pada perilaku, tetapi lebih pada hasil atau hasil dari perilaku individu yang relevan dengan tujuan organisasi. Performance appraisal merupakan cara dalam mengukur kinerja pegawai. Bila dilihat sebagai suatu intervensi, performance appraisal dilakukan sebagai
sarana untuk meningkatkan kinerja pegawai dan dengan tujuan untuk peningkatan efektivitas organisasi dan operasional organisasi secara keseluruhan (Rahman & Shah, 2012). Kinerja pegawai berkorelasi positif dengan komitmen organisasi (Khan, Ziauddin, Jan & Ramay, 2010), motivasi kerja pegawai (Najafi, Hamidi, Ghiasi, Shahhoseini & Emami, 2011), nilai organisasi (Rosenthal dan Masarech, 2003), dan organizational citizenship behaviour (Bommer, Dierdorff & Rubbin, 2007). Mrayyab dan Al-Faori (2008) mengungkapkan bahwa kinerja merupakan seberapa baik suatu pekerjaan dapat diselesaikan sesuai dengan standar yang ditentukan. Setiap organisasi memiliki standarnya masing-masing dalam mencapai tujuannya demi meningkatkan efektivitas organisasi, salah satunya adalah nilai organisasi. Borman et al (dalam Kelidbari, Dizgah & Yusefi, 2011) dan Motowidlo (dalam Borman, Ilgen & Kimoski, 2003) menyatakan kinerja merupakan perilaku yang timbul dari yang diharapkan oleh nilai organisasi. Hal ini berarti kinerja seorang pegawai akan meningkat apabila ia mampu menginternalisasikan nilai-nilai organisasi dan diaplikasikan ke dalam cara ia bekerja. Dengan demikian, organisasi harus menyadari bahwa nilai yang dianut berdampak pada pegawai, kinerja, dan outcomes (Branson, 2008). Nilai merupakan dasar paling kokoh dari suatu budaya organisasi (Deal & Kennedy dalam Tadjoedin, Mangkuprawira, Sumardjo & Saefuddin, 2009) yang berdampak pada kinerja pegawai dan organisasi (Schein dalam Posner, 2010) . Nilai sebagai karakteristik fundamental dimana antara pegawai dan organisasi saling berbagi (Finegan, 2000) sehingga nilai berisikan keyakinan atau prinsip-
prinsip inti organisasi yang menjelaskan kepada pegawai mengenai hal-hal yang harus menjadi perhatian dan membantu mengarahkan perilaku pegawai demi keberhasilan organisasi (Speculand & Chaudhary, 2008). Dengan demikian, nilai organisasi tersebut diterjemahkan pegawai ke dalam perilaku kemudian akan menjadi standar atau panduan pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya yang berdampak langsung pada kinerja pegawai dan organisasi (Cerrington, 1994; Rosenthal & Masarech, 2003; Speculand & Chaudhary, 2008). Cascio dan Aguinis (2005) membagi kinerja menjadi dua aspek, yaitu kinerja tugas dan kinerja kontekstual, akan tetapi kinerja tugas dan kinerja kontekstual tidak selalu berjalan seiring. Kinerja kontekstual sebagai bentuk perilaku sukarela sesuai dengan konsep yang diajukan Organ (dalam Ryan, 2002) yaitu Organizational Citizenship Behavior (OCB). Organ, Podsakoff dan Mackenzie (2006) menjelaskan OCB merupakan bentuk perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward formal organisasi tetapi dapat meningkatkan efektivitas organisasi dan mendukung berfungsinya organisasi secara efektif (Robbins & Judges, 2008). OCB
dapat
meningkatkan
keefektifan
organisasi
seiring
dengan
meningkatnya kinerja pegawai baik segi kuantitas maupun kualitas (Konovsky & Pugh,
1994;
Satwika,
2012).
Pegawai
yang
saling
membantu
dalam
menyelesaikan pekerjaan agar lebih efisien membuat tingkat moral menjadi lebih baik. Turnipseed dan Rassuli (dalam Ahmadi, 2011) memberikan contoh perilaku tersebut seperti kerjasama dengan rekan kerja, mengerjakan tugas tambahan tanpa komplain, tepat waktu, sukarela dan membantu orang lain, menggunakan waktu
dengan efisien, menghemat sumber daya, berbagi ide dan secara positif merepresentasikan organisasi. Secara sederhana, OCB merupakan perilaku sukarela pegawai dalam melakukan pekerjaan ekstra tanpa adanya paksaan namun memberikan kontribusi untuk keefektifan organisasi. Penelitian yang dilakukan Chahal & Metha (2010) mengemukakan bahwa OCB dapat memberikan efek positif terhadap kinerja organisasi misalnya mengurangi ketidakhadiran, turnover, stress psikologis, retensi pegawai serta meningkatkan loyalitas dan kepuasan karyawan dan konsumen. Oleh karena itu, OCB merupakan variabel yang sangat berpengaruh dalam peningkatan kinerja pegawai. Teori pertukaran sosial (Crips & Turner, 2007; Myers, 2010) menjelaskan perilaku individu dengan individu-individu lainnya di lingkungan saling mempengaruhi. Perilaku individu didasarkan pada perhitungan untung rugi, sehingga apabila perilaku tersebut merugikan dirinya maka tidak ditampilkan. Dalam konteks kinerja, misalnya seorang pegawai membantu pegawai lainnya menyelesaikan laporan penting, maka pegawai tersebut memberi dirinya sendiri waktu untuk meningkatkan kinerja pegawai lain dan mungkin juga kinerja dirinya sendiri. Selanjutnya pegawai tersebut juga akan dibantu oleh pegawai lainnya untuk meningkatkan kinerjanya sebagai balas budi. Dengan demikian, semakin seseorang melakukan pekerjaannya melebihi deskripsi peran yang diberikannya (altruism, courtesy, sportmanship, civic virtue dan conscientiousness) maka kinerja pegawai akan semakin meningkat.
KINERJA KARYAWAN Kinerja merupakan kombinasi antara kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat diukur dari outcomes yang dihasilkan sesuai dengan fungsi pekerjaan secara spesifik atau aktivitas selama periode waktu tertentu (Bernardin & Russel, 1998). Kinerja dapat dilihat dari tiga segi, yaitu perilaku-perilaku yang ditunjukkan seseorang dalam bekerja, hasil nyata atau outcomes yang dicapai pekerja dan penilaian-penilaian pada faktor-faktor seperti dorongan, loyalitas, inisiatif, potensi kepemimpinan dan moral kerja (Cascio, 2003). Cascio dan Aguinis (2005) mendefinisikan kinerja sebagai perilaku atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu yang relevan dengan tujuan organisasi. Variasi kinerja antar pegawai tersebut memberi pengertian bahwa kinerja sebagai hal yang merefleksikan kontribusi pegawai berupa perilaku yang meningkatkan atau menurunkan efektivitas organisasi dari suatu posisi (Borman, 1991). Performance appraisal merupakan cara dalam mengukur kinerja pegawai. Bila dilihat sebagai suatu intervensi, performance appraisal dilakukan sebagai sarana untuk meningkatkan kinerja pegawai dan dengan tujuan untuk peningkatan efektivitas organisasi dan operasional organisasi secara keseluruhan (Rahman & Shah, 2012).
NILAI ORGANISASI Nilai merupakan elemen kunci terhadap budaya dan etika organisasi (Cummings & Worley, 2005; Lawrence & Lawrence, 2010). Pada level organisasi terdapat persetujuan umum bahwa budaya organisasi melibatkan seperangkat
kognisi yang dibagikan kepada anggota, kognisi tersebut diperoleh melalui pembelajaran sosial dan proses sosialisasi dan terdiri dari nilai-nilai, pemahaman umum, dan pola dari keyakinan dan harapan (Rousseau dalam Lawrence & Lawrence, 2010). Nilai organisasi merupakan standar yang dibuat sebagai referensi untuk menilai perilaku yang relevan dengan organisasi. Perilaku tersebut dapat diterima oleh organisasi karena interaksi dengan lingkungan eksternal dan norma perilaku individu dalam organisasi (Lawrence & Lawrence, 2010). Sederhananya, nilai merupakan kumpulan kolektif perilaku yang dirasakan oleh organisasi yang penting untuk keberhasilannya dan tidak dapat dikompromikan (Speculand & Chaudhary, 2008). Kouzes dan Posner (dalam Tadjoedin, dkk, 2009) berpendapat nilai merupakan cara berperilaku (mode of conduct) yang sangat spesifik atau merupakan pilihan akhir dari keberadaan (end-state of selection and existence). Deal dan Kennedy (dalam Tadjoedin, dkk, 2009) mengungkapkan bahwa nilai dapat memberikan suatu kesamaan pandangan untuk mencapai tujuan dari organisasi dan petunjuk perilaku keseharian bagi semua yang bekerja di dalam satu organisasi. Dengan kata lain, nilai atau budaya organisasi merupakan sebuah sistem makna yang dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain (Robbins & Judge, 2008).
ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) Organizational Citizenship Behavior (OCB) berhubungan dengan pekerjaan yang dilakukan pegawai, namun tidak terkait dengan sistem reward formal dan
OCB ini bermanfaat bagi efektivitas organisasi (Turnipseed, 1996). Hal serupa dikemukakan oleh Organ, Podsakoff, dan Mackenzie (2006) yang mendefinisikan OCB sebagai bentuk perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward formal organisasi, tetapi secara agregat meningkatkan efektivitas organisasi dan mendukung berfungsinya organisasi secara efektif. Organ, Podsakoff, dan Mackenzie (2006) menyebutkan ada lima dimensi OCB, yaitu : (1) Altruism, merupakan perilaku pegawai dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya, (2) Conscientiousness, merupakan perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang diharapkan organisasi. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas pegawai, (3) Sportmanship, merupakan perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam sportmanship akan meningkatkan iklim yang positif diantara pegawai, sehingga berdampak pada pegawai akan cenderung lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain serta turut menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan, (4) Courtesy, dikarakteristikkan dengan menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah-masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain, (5) Civic virtue, merupakan perilaku yang
mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni.
PENGARUH NILAI ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN Nilai merupakan karakteristik fundamental dimana antara pegawai dan organisasi saling berbagi yang berisikan keyakinan atau prinsip-prinsip inti organisasi yang menjelaskan kepada pegawai mengenai hal-hal yang harus menjadi perhatian dan membantu mengarahkan perilaku demi keberhasilan organisasi (Finegan, 2000; Speculand & Chaudhary, 2008). Internalisasi nilai organisasi kepada pegawai akan mengarah pada peningkatan hasil kinerja (Meglino, Ravlin, & Adkins dalam Fitzgerald & Ddesjardins, 2004). Penyusun berasumsi dinamika yang terjadi yaitu ketika seorang pegawai merasa bahwa nilai-nilai organisasi sesuai dengan nilai-nilai pribadinya dan dapat terinternalisasi dengan baik dalam bentuk perilaku, maka secara sadar atau tidak sadar nilai organisasi tersebut akan bertindak sebagai standar atau tuntunan bagi pegawai dalam bekerja sehingga akan berdampak pada meningkatnya kinerja pegawai tersebut. Rosenthal dan Masarech (2003) dan Schein (dalam Posner, 2010) menyatakan bahwa nilai organisasi yang diinternalisasi kepada pegawai akan membentuk budaya kinerja yang tinggi. Locke (dalam Zhang & Zheng, 2009)
menyatakan bahwa kinerja berpengaruh pada pencapaian tujuan dan nilai organisasi yang kemudian meningkatkan kepuasan kerja. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa aspek dari budaya organisasi, khususnya nilai budaya (values) bisa berdampak pada kinerja, produktivitas dan service quality (Burke, 1995).
PENGARUH OCB TERHADAP KINERJA KARYAWAN OCB didefinisikan sebagai perilaku membantu dengan sukarela serta diluar dari prasyarat pekerjaan namun berfungsi untuk meningkatkan efektivitas organisasi (Organ dalam Ryan, 2002). Bentuk perilaku menolong mampu meningkatkan kohesivitas dan sense of belonging dalam kelompok (dalam hal ini kelompok kerja/tim) yang akan menghasilkan kinerja tinggi serta turnover yang rendah (Podsakoff, Mackenzie, Paine, & Bachrach, 2000). Dinamika yang terjadi adalah ketika seorang pegawai membantu pegawai lainnya menyelesaikan laporan penting, maka pegawai tersebut memberi dirinya sendiri waktu untuk meningkatkan kinerja pegawai lain dan mungkin juga kinerja dirinya sendiri. Selanjutnya pegawai tersebut juga akan dibantu oleh pegawai lainnya untuk meningkatkan kinerjanya sebagai balas budi. Dengan demikian, semakin seseorang melakukan pekerjaannya melebihi deskripsi peran yang diberikannya (altruism, courtesy, sportmanship, civic virtue dan conscientiousness) maka kinerja pegawai akan semakin meningkat (Satwika, 2012). Organ (dalam Ahmadi, 2011) mengemukakan OCB tidak hanya berpengaruh pada kinerja, namun juga berpengaruh pada bagaimana seorang atasan mengevaluasi bawahannya.
Hubungan antara OCB dan kinerja dalam tugas merupakan hubungan satu arah, yaitu bahwa OCB mempengaruhi kinerja dalam tugas. Dalam penelitian Ahmadi (2011) yang mengaitkan antara OCB, Organizational Agility (OA) dan kinerja menemukan bahwa OA dapat memediasi hubungan antara OCB dan kinerja dan ada hubungan langsung antara OCB dan kinerja. Penelitian lain yang menghubungkan OCB dengan kinerja mengungkapkan bahwa OCB berkorelasi positif dengan kinerja (Bommer, Dierdorff & Rubbin, 2007; Khan, Afzal & Zia, 2010; Lovell, Khan, Anton, Davidson, Dowling, Post & Mason, 1999; Satwika, 2012; Skarlicki & Latham, 1995).
PENGARUH NILAI ORGANISASI DAN OCB TERHADAP KINERJA KARYAWAN Kinerja dapat dilihat dari tiga segi, yaitu perilaku-perilaku yang ditunjukkan seseorang bekerja, hasil nyata atau outcomes yang dicapai, dan penilaian-penilaian pada faktor-faktor seperti dorongan, loyalitas, inisiatif, potensi kepemimpinan dan moral kerja (Cascio, 2003). Perilaku-perilaku yang ditunjukkan seseorang saat bekerja ditentukan melalui panduan atau tuntunan yang berupa nilai organisasi. Nilai organisasi merupakan suatu kesamaan pandangan untuk mencapai tujuan dari organisasi dan petunjuk perilaku keseharian bagi semua yang bekerja di dalam satu organisasi (Deal & Kennedy dalam Tadjoedin, dkk, 2009). Artinya ketika nilai telah terinternalisasi, maka secara sadar atau tidak sadar nilai tersebut akan bertindak sebagai standar atau kriteria untuk menuntun perilaku pegawai tersebut yang
kemudian akan berdampak langsung pada kinerja karyawan dan kinerja organisasi (Cerrington, 1994; Rosenthal & Masarech, 2003; Speculand & Chaudhary, 2008). Hal serupa juga diungkapkan oleh Rosenthal dan Masarech (2003) yang menyatakan bahwa apabila organisasi berhasil menginternalisasikan nilai organisasi kepada pegawai maka akan membentuk budaya kinerja yang tinggi. Kinerja merupakan nilai organisasi yang diwujudkan dalam perilaku pegawai dalam berbagai waktu dan situasi kerja (Borman et al dalam Kelidbari, Dizgah & Yusefi, 2011). Artinya kinerja terbentuk dengan baik ketika seorang pegawai memunculkan perilaku yang sesuai dengan nilai organisasi dalam melakukan pekerjaannya. Selain perilaku-perilaku formal yang ditentukan nilai dalam bekerja, menurut Katz (dalam Konovsky & Pugh, 1994; Nueman & Kickul, 1998) terdapat perilaku kerja diluar pekerjaan formalnya. Organ (dalam Ryan, 2002) menamakan perilaku tersebut sebagai OCB, yaitu perilaku sukarela pegawai untuk melakukan pekerjaan diluar pekerjaan sehari-harinya. OCB dapat meningkatkan keefektifan organisasi seiring dengan meningkatnya kinerja pegawai baik segi kuantitas maupun kualitas (Konovsky & Pugh, 1994; Podsakoff, Ahearne, & Mackenzie, 1997; Satwika, 2012). Dalam konteks kinerja, OCB terlihat jelas ketika seorang pegawai membantu pegawai lainnya menyelesaikan laporan penting, maka pegawai tersebut memberi dirinya sendiri waktu untuk meningkatkan kinerja pegawai lain dan mungkin juga kinerja dirinya sendiri. Selanjutnya pegawai tersebut juga akan dibantu oleh pegawai lainya untuk meningkatkan kinerjanya sebagai balas budi. Dengan demikian, semakin seseorang melakukan pekerjannya