urnal Penelitian J Volume 1, No. 2 Desember 2013
ISSN : 2337-4179
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Alamat Redaksi / Penerbit : Jl. Khatib Sulaiman No. 1 Padang, Telp. (0751) 7054374, Fax. (0751) 55676 Email :
[email protected] Jurnal Penelitian
Volume 1
Nomor 2
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Halaman 103 - 204
Padang Desember 2013
ISSN 2337-4179 103
Alamat Redaksi / Penerbit : Jl. Khatib Sulaiman No. 1 Padang, Telp. (0751) 7054374, Fax. (0751) 55676 Email :
[email protected]
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
104
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
105
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
106
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
107
POTENSI DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO POTENSI DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO AGRIBISNIS (LKM-A) SEBAGAI SUMBER PEMBIAYAAN AGRIBISNIS (LKM-A) SEBAGAI SUMBER PEMBIAYAAN USAHA PRODUKTIF PETANI KECIL USAHA PRODUKTIF PETANI KECIL Nasrul Hosen Nasrul Hosen
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat Teknologi (BPTP) Barat Jl.Balai RayaPengkajian Padang-Solok KM 40.Pertanian Sukarami, Solok,Sumatera Fak.0755-31138 Jl. Raya Padang-Solok KM 40. Sukarami, Solok, Fak.0755-31138
Naskah masuk: :12 24 Oktober 2013 Naskah 2013 Naskahmasuk masuk : 24November Oktober 2013
Naskah diterima 15 Desember 2013 Naskahditerima diterima:: :15 15Desember Desember2013 2013 Naskah
POTENTIAL AND CHALLENGES OF AGRIBUSINEESS DEVELOPMENT OF POTENTIAL AND CHALLENGES OF AGRIBUSINEESS DEVELOPMENT OF MICROFINANCE INSTITUTION (MFI-A) AS A SOURCE OF MICROFINANCE INSTITUTION (MFI-A) AS A SOURCE OF SMALL BUSINESS FINANCING PRODUCTIVE FARMERS SMALL BUSINESS FINANCING PRODUCTIVE FARMERS ABSTRACT ABSTRACT The development of agriculture sector, especially the subsector like food crops is relatively slow The development agriculture sector, on especially the subsector food cropsis is slow beside the number of of farmer that depend this subsector is plenty.like Cash capital therelatively main problem beside the number of farmer that depend on thisAlthough subsectorthere is plenty. Cashcredit capitalscheme is the main for farmer to develop the small agribussnis. is bank that problem support for farmer to develop the small agribussnis. Although there is bank credit scheme that the development of agriculture (micro business), however, small farmers generally do notsupport access the development of agriculture (micro business), however, small farmers generally do not access to the Bank . Therefore, since 2008, the Ministry of Agriculture through the Rural Agribusiness to the Bank . Program Therefore,(PUAP) since 2008, the Ministry of AgricultureGapoktan through the Agribusiness Development has facilitated the strengthening fundRural growth capital for Development Program (PUAP)for hasbusiness facilitated the strengthening Gapoktansector. fund growth capital for LKM-A as a source of financing development focus agricultural Until 2012, there LKM-A as a source of financing for business development focus agricultural sector. Until 2012, there are 995 Gapoktan that had grown into LKM-A, which 842 are an operational unit which become are 995 Gapoktan had grown into LKM-A, which 842 areand anneed operational unit which become an asset for villagethat economic development that very valuable to get serious and ongoing an asset for village economic development that very valuable and need to get serious and ongoing guidance from stakeholders in the region. LKM-A as a farmer-owned Microfinance Institutions guidance from stakeholders inhas thedemonstrated region. LKM-A as a in farmer-owned Microfinance in every villages/urban/rural, efficacy the management of capitalInstitutions funds with in every villages/urban/rural, has demonstrated efficacy in the management of capital with assets and development indicators in general has reached more than Rp. 100 million and funds even some assets and development indicators in general has reached more than Rp. 100 million and even some LKM-A has reached its assets above Rp. 1.0 billion. In total asset growth of LKM- A with an initial LKM-A hasRp. reached its assets above Rp. 1.0 billion. In end totalinasset of LKMA with anbillion initial capital of 99.5 billion which began in 2008 and 2012growth has grown to Rp.121.9 capital of Rp. 99.5 billion whichbegan begantoingrow, 2008efficient and endproduction in 2012 has grown tobeing Rp.121.9 billion (up 22.5%). Productive business techniques through the (up 22.5%). Productive business began to grow, efficient production techniques being through the application of technological innovation and scale of household -scale agro-processing enterprises application technological innovation scale of household to grow and of grow new businesses such asand small-scale marketing -scale results.agro-processing Farmers’ incomeenterprises increases to grow and grow new businesses such as small-scale marketing results. Farmers’ income with an increase in productivity and scale. Various undertakings have been made by theincreases relevant with an increase in productivity and scale.ofVarious have been made by the relevant institutions in speeding the empowerment LKM-A,undertakings including managers capacity, facilitate good institutions in speeding the empowerment of LKM-A, including managers good financial accounting system and networking with formal sources of capitalcapacity, (Bank). facilitate The challenge financial accountingon system and networking withLKM-A formalprofessional sources of capital (Bank). The challenge ahead is mentoring an ongoing basis to the and appropriate legal entity. ahead is mentoring on an ongoing basis to the LKM-A professional and appropriate legal entity. Policy advice to the next suggestion is LKM-A as a source of financing for the development of Policy advice to the nextserious suggestion is LKM-A a source of financing for the development of agriculture sector, needs attention in the as form of coaching and mentoring on an ongoing agriculture sector, needs serious attention in the form of coaching and mentoring on an ongoing basis by stakeholders towards self-reliance, and professionals. basis by stakeholders towards self-reliance, and professionals. Keywords: LKM -A, capital, agricultural, institutional, empowerment Keywords: LKM -A, capital, agricultural, institutional, empowerment ABSTRAK ABSTRAK Perkembangan sektor pertanian dan khususnya subsektor tanaman pangan relatif lamban. Padahal Perkembangan sektor pertanianhidupnya dan khususnya subsektor ini tanaman pangan Modal relatif lamban. Padahal jumlah petani menggantungkan pada subsektor lebih banyak. tunai merupakan jumlah petani menggantungkan hidupnya pada subsektor ini lebih banyak. Modal tunai merupakan kendala bagi petani dalam mengembangkan usaha produktif sektor pertanian. Meskipun tersedia kendala bagi petani mengembangkan usaha produktif sektor pertanian. tersedia skim kredit bank yangdalam mendukung pengembangan usaha pertanian (usaha mikro),Meskipun akan tetapi petani skim bank tidak yang mendukung pengembangan usaha (usaha mikro), akan tetapi petani kecil kredit umumnya akses ke Bank. Oleh karena itu pertanian Kementerian Pertanian melalui program kecil umumnya Usaha tidak akses ke Bank. Oleh(PUAP) karena sejak itu Kementerian Pertanian melaluiGapoktan program Pengembangan Agribisnis Perdesaan tahun 2008 telah memfasilitasi Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) sejak tahun 2008 telah memfasilitasi Gapoktan dana penguatan modal untuk penumbuhan LKM-A sebagai sumber pembiayaan yang fokus untuk dana penguatanusaha modalproduktif untuk penumbuhan LKM-A sebagai sumber yang fokus tahun untuk pengembangan sektor pertanian. Gapoktan yang pembiayaan sudah tumbuh sampai pengembangan usaha sektorsudah pertanian. Gapoktan yang sudah tumbuh sampai tahun 2012 sebanyak 995 danproduktif LKM-A yang operasional 842 unit merupakan asset pembangunan 2012 sebanyak 995 dan LKM-A yang sudah operasional 842 unit merupakan asset pembangunan ekonomi nagari/desa yang sangat berharga dan perlu mendapat pembinaan yang serius dan ekonomi nagari/desa yang sangat berharga dan perlu mendapat pembinaan yang serius dan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
103
berkelanjutan oleh pemangku kepentingan di daerah. LKM-A sebagai Lembaga Keuangan Mikro milik petani di setiap nagari/kelurahan/desa, sudah menunjukkan keberhasilan dalam pengelolaan dana modal dengan indikator berkembangnya asset dan secara umum sudah mencapai lebih dari Rp. 100 juta dan bahkan sebagian LKM-A assetnya sudah mencapai di atas Rp. 1,0 milyar. Usaha produktif mulai berkembang, teknik produksi menjadi efisien melalui penerapan inovasi teknologi dan skala usaha pengolahan hasil skala rumah tangga bertambah serta tumbuh usaha baru seperti pemasaran hasil skala kecil. Pendapatan petani meningkat sejalan dengan peningkatan produktifitas dan skala usaha. Berbagai upaya telah dilakukan oleh instansi terkait dalam memacu percepatan pemberdayaan LKM-A, diantaranya peningkatan kapasitas SDM pengelola, fasilitasi sistim pembukuan keuangan yang baik dan membangun jejaring dengan sumber modal formal (Bank dan BUMN). Tantangan ke depan adalah pendampingan secara berkelanjutan menuju LKM-A yang profesional dan legalitas hukum yang sesuai. Saran kebijakan ke depan adalah LKM-A sebagai sumber pembiayaan untuk pengembangan usaha produktif petani, perlu mendapat perhatian serius dalam bentuk pembinaan dan pendampingan secara berkelanjutan oleh pemangku kepentingan menuju keswadayaan, profesional dan legal. Kata kunci:, LKM-A, modal, usaha pertanian, kelembagaan, pemberdayaan
PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sumber pendapatan bagi sebagian besar penduduk Sumatera Barat. Sementara sumbangannya terhadap PDRB relatif rendah, tahun 2011 sekitar 22,81%. (BPS Sumatera Barat. 2012). Dari data di atas terlihat bahwa pendapatan petani relatif rendah dibanding sektor lainnya, karena 22,81% PDRB terdistribusi kepada 65,7% rumah tangga tani. Skala usaha petani relatif sempit, karena luas penguasaan lahan sempit, rata-rata sawah 0,30 ha dan lahan kering 0,25 ha. Akibatnya pendapatan petani rendah dan sulit berkembang. Untuk melakukan optimasi sumberdaya yang dimiliki petani agar pendapatan meningkat, kendala utama adalah keterbatasan modal tunai. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki, langkah yang harus ditempuh adalah mengembangkan usaha produktif melalui peningkatan indeks pertanaman (IP), penerapan teknologi adaptif dan menambah serta memilih usaha pertanian yang paling menguntungkan. Pengembangan usaha produktif harus fokus, diantaranya dengan pendekatan komoditas unggulan, kawasan dan jelas target produksi yang akan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
dihasilkan, sehingga bisa diperhitungkan potensi skala usaha yang optimal per petani dan per kawasan, sesuai potensi permintaan pasar. Persoalan utama petani kecil adalah lemahnya modal dalam mengembangkan usaha. Akibatnya penerapan teknologi menjadi lamban dan skala usaha tidak berkembang. Umumnya petani kecil tidak akses terhadap sumber modal formal seperti perbankan, sehingga tidak jarang petani terperangkap ke dalam praktek sistim ijon atau rentenir yang merugikan petani. Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) adalah lembaga keuangan milik petani dan dikelola oleh petani, salah satu alternatif membantu petani mempermudah akses ke sumber modal. Pembiayaan LKM-A fokus untuk pengembangan usaha produktif sektor pertanian. LKM-A merupakan salah satu usaha otonom disamping usaha lainnya dibawah naungan Gapoktan. Gapoktan (gabungan kelompok tani) terdiri dari sejumlah kelompok tani (Poktan) berperan dalam mengorganisir dan memotivasi petani anggota untuk mengembangkan usaha produktif agar terjadi pengembangan 104
komoditas sehamparan dan diharapkan mampu menerapkan inovasi teknologi dalam skala luas. Pengembangan usaha pertanian membutuhkan teknologi adaptif, disini penyuluhan dan ketersediaan teknologi spesifik lokasi berperan besar. Akan tetapi bila tidak didukung oleh ketersediaan modal bagi petani, penerapan inovasi teknologi akan berjalan lamban. Gapoktan telah diberdayakan melalui program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) oleh Kementerian Pertanian sejak tahun 2008 dan terus berlanjut sampai tahun 2014. (Kementan. 2008). PUAP memberikan bantuan penguatan modal sebesar Rp. 100 juta per Gapoktan dan selanjutnya Gapoktan harus menumbuhkan LKM-A untuk mengelola modal tersebut untuk digulirkan diantara petani dan akhirnya diharapkan modal tersebut berkembang. Pada akhirnya indikator benefit yang strategis adalah berfungsinya Gapoktan yang memiliki lembaga keuangan yang kuat didukung oleh usaha otonom lainnya guna melayani kebutuhan usaha produktif sektor pertanian menjadikan kelembagaan petani tersebut sebagai lembaga ekonomi petani di perdesaan yang dimiliki dan dikelola oleh petani. (Kementan. 2013) Tulisan ini bertujuan mengemukakan potensi dan tantangan pengembangan LKM-A sebagai lembaga pelayanan modal guna mendukung pengembangan usaha produktif sektor pertanian di pedesaan. METODOLOGI Kajian ini merupakan bentuk analisis data sekunder dengan sumber data laporan perkembangan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) bersumber dari laporan para Penyelia Mitra Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Tani (PMT) dan Sekretariat Tim Pembina PUAP Provinsi Sumatera Barat tahun 2012, dan review hasil kajian tentang manfaat keberadaan gapoktan dan LKM-A terhadap perbaikan sistim produksi dan pendapatan petani. (Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2010) Khusus untuk LKM-A tahun 2008 dan 2009 dilakukan eksplorasi lapangan untuk melakukan identifikasi asset beberapa contoh LKM-A pada empat kabupaten. Parameter yang diukur adalah jumlah gapoktan, jumlah LKM-A yang operasional dengan indikator asset di atas Rp. 100,0 juta, besaran asset dari neraca pada akhir tahun 2012. Untuk mengukur kendala, manfaat dan harapan ke depan oleh LKM-A dilakukan FGD pada beberapa gapoktan/LKM-A contoh di kabupaten terpilih. (Astuti, M dan Joko Christanto. 2000) HASIL DAN PEMBAHASAN KONTRIBUSI EKONOMI KOMODITAS PANGAN Pertanian menjadi andalan karena sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Subsektor yang dominan dalam PDRB adalah tanaman pangan dan hortikultura kemudian diikuti oleh perkebunan dan peternakan. Analisis potensi pengembangan ekonomi wilayah diperlukan untuk mengetahui secara makro sektor dan subsektor yang mempunyai potensi pengembangan yang relatif besar ke depan. Khusus pada sektor pertanian dalam arti luas (termasuk kehutanan dan perikanan) hasil evaluasi kontribusi subsektor terhadap PDRB menunjukkan subsektor tanaman pangan memberikan kontribusi relatif besar (11,44%) dibanding subsektor lainnya, akan tetapi rata-rata laju pertumbuhannya 105
per tahun relatif lamban rendah (4,03%) pengembangan (Bappeda 2012). Disini peran (Tabel 1). Dengan memperhatikan kapasitas LKM-A secara mikro diharapkan mampu ekonomi dari masing-masing subsektor dan mendorong perumbuhan subsektor prioritas laju pertumbuhan nilai tambah kontribusi dalam sektor pertanian guna mendukung masing-masing subsektor dalam perekoketahanan dan kemandirian pangan di nomian daerah akan diketahui potensi Sumatera Barat. ekonomi subsektor yang mendapat prioritas Tabel 1. Kontribusi dan pertumbuhan PDRB subsektor dan sektor pertanian selama lima tahun (2007-2011) di Sumatera Barat. No.
Sektor/subsektor
1. 2. 3. 4. 5.
Pertanian Tanaman Pangan dan hortikultura Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan
Kontribusi terhadap PDRB 2011 (%) 22,81 11,44 5,75 1,84 1,24 2,53
Jumlah modal LKM-A yang sudah terealisasi mendukung pengembangan usaha produktif petani anggota gapoktan sampai tahun 2012 berjumlah Rp. 995,0 Milyar. Modal tersebut sudah berkembang, karena sebagian LKM-A telah berjalan sejak tahun 2008 dan setiap tahun jumlah LKM-A yang memperoleh bantuan modal dana PUAP terus bertambah, sehingga pada akhir tahun 2012 jumlah LKM-A yang memperoleh bantuan modal PUAP berjumlah 995 buah Gapoktan/LKM-A. LKM-A tersebut terus berkembang dan sebagian LKM-A sudah berkerjasama dengan Bank untuk tambahan modal dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) guna memenuhi permintaan petani anggotanya. Jumlah dana yang tersedia di pedesaan untuk pengembangan usaha produktif bidang pertanian tersebut cukup besar, bila digunakan sesuai tujuan program. Usaha produktif petani bervariasi, karena itu alokasi penggunaan modal LKM-A menurut kelompok usaha (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan usaha non budidaya seperti pengolahan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Nilai PDRB (Rp. Juta) 2007 2011 8.039 9.414 4.030 4.723 2.024 2.375 631 758 468 513 885 1.043
Laju pertumbuhan (%) 4,03 4,05 4,08 4,69 2,32 4,19
hasil skala rumah tangga dan pemasaran skala kecil) menjadi relatif kecil, apalagi bila dipilah menurut jenis komoditas/ usaha. Tanaman pangan yang dominan diusahakan adalah padi sawah dan jagung dengan jumlah petani pengguna terbanyak dibanding kelompok usaha lainnya (Tabel 2). Penggunaan dana pinjaman dari LKM-A tersebut umumnya digunakan untuk perbaikan teknik produksi dan benih/bibit varietas unggul menuju paket teknologi rekomendasi, agar supaya produktifitas meningkat dan pengelolaan usaha menjadi efisien. Pada gilirannya diharapkan pendapatan petani meningkat.
106
Tabel 2. Rata-rata penggunaan dana PUAP dan jumlah petani pengguna menurut kelompok usaha periode tahun 2008-2012, di Sumatera Barat Penggunaan Modal Usaha Pangan Hortikultura
Rata-rata alokasi dana PUAP (Rp.000) 48.773.236,4 18.289.963,6
Persentase (%) Jumlah Petani Persentase (%) 40,0 15,0
62.998 14.472
52,01 11,95
Perkebunan Peternakan
6.096.654,5 14.631.970,9
5,0 12,0
8.090 15.986
6,68 13,20
Usaha non budidaya
34.141.265,5
28,0
17.875
14,76
Jumlah 121.933.091,0 Sumber:Sekretariat PUAP 7
100,0
121.108
100,00
POTENSI DAN KENDALA PENGEMBANGAN LKM-A 1. Potensi LKM-A Sejak tahun 2008-2012 dimana Gapoktan dan LKM-A dikembangkan, jumlah gapoktan yang tumbuh sebanyak 995 unit dengan jumlah LKM-A aktif dan menjalankan peran sesuai tupoksinya sebanyak 842 unit yang tersebar pada 18 kabupaten/kota. Perkembangan aset LKM-A tersebut bervariasi tergantung kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat (Tabel 3). (Sekretariat PUAP, 2012) Tabel 3. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Komoditi Utama Padi, jagung Cabe, ketang, hortikultura lainnnya Kakao, karet, gambir Unggas, Ternak kecil, Sapi potong Produk olahan/ pemasaran hasil skala kecil
LKM-A secara bertahap berkembang menuju lembaga keuangan mikro yang profesional, melalui pendampingan yang intensif oleh Penyelia Mitra Tani (PMT) dan penyuluh pendamping di setiap nagari/ kelurahan/desa. Sasaran akhirnya adalah LKM-A menjadi lembaga keuangan yang mampu bermitra dengan perbankan atau BUMN/D agar kinerjanya lebih optimal mendorong pembangunan ekonomi di wilayah kerjanya dalam arti luas.
Distribusi jumlah gapoktan/LKM-A dan pertumbuhan aset tahun 2008-2012 menurut kabupaten/kota di Sumatera Barat. Kabupaten/Kota
Dharmasraya Pesisir Selatan Sijunjung Agam Pasaman Pasaman Barat Lima Puluh Kota Solok Selatan Solok Padang Pariaman Tanah Datar Ko. Padang Ko. Pariaman Ko. Payakumbuh Padangpanjang Ko. Solok Ko. Sawahlunto Ko. Bukittinggi Jumlah
Jumlah gapoktan (unit) 66 111 68 88 41 64 98 38 74 78 71 48 65 33 15 9 14 14 995
Jumlah LKM-A (unit) 51 79 54 79 39 60 93 36 68 76 68 34 55 29 9 2 4 6 842
Jumlah petani anggota (orang) 8132 10545 6757 6220 5163 7822 18681 3878 11760 8607 14940 6363 4953 2415 1842 825 1200 1005 121.108
Jumlah asset Desember 2012 (Rp000) 9.994.591 11.403.100 8.066.101 12.347.486 4.567.078 10.206.759 12.215.876 4.714.733 8.250.000 8.601.374 9.755.289 5.417.080 6.935.319 4.001.556 1.588.000 918.000 1.427.000 1.523.749 121.933.091
Sumber : Sekretariat PUAP, 2012 Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
107
Berbagai upaya telah dilakukan untuk pemberdayaan LKM-A menuju tercapainya sasaran akhir di atas. Peningkatan kapasitas SDM pengelola telah dilakukan baik oleh pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota termasuk pihak perbankan diantaranya Bank Indonesia (BI) dan Bank Nagari. PMT telah dilatih sebagai konsultan keuangan mitra bank (KKMB) oleh BI. Berbagai fasilitas untuk kelancaran operasional juga sudah difasilitasi seperti perangkat komputer diikuti dengan pelatihan operasional software agar supaya LKM-A menjadi profesional. Namun, keberhasilan LKM-A tergatung pada keberhasilan petani dalam mengembangkan usaha produktif mereka dan begitu juga sebaliknya. Pembiayaan bagi pelaku usaha menjadi produktif, menguntungkan dan berkembang sehingga tidak terjadi kredit macet. Oleh karena itu LKM-A ini dibangun atas prinsip saling membutuhkan dan partisipasi masyarakat dalam membangun LKM-A merupakan kunci sukses LKM-A ke depan. Dampak keberadaan LKM-A secara umum sudah mampu menggerakkan roda perekonomian di pedesaan dengan bergulirnya dana penguatan modal awal dengan total kumulatif selama kurun waktu 5 tahun (2008-2012) dengan modal awal sebesar Rp. 99,5 milyar dan berkembang menjadi Rp. 121,9 milyar pada akhir tahun 2012 dengan pertumbuhan selama lima tahun 22,5%. Dukungan berbagai pihak untuk penguatan lembaga keuangan mikro ini ke depan sangat diharapkan. Pendampingan oleh personal/lembaga independen di samping tenaga fungsional sesuai tupoksinya perlu mendapat perhatian serius oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
2. Tantangan Pengembangan LKM-A LKM-A sebagai lembaga keuangan mikro milik petani untuk pemberdayaan memerlukan minimal 4 hal pokok yaitu: (i) Pendampingan berkelanjutan; (ii) Sumberdaya pengelola yang terampil dan amanah; (iii) Fasilitas operasional yang memadai diantaranya kantor yang layak (aman, nyaman dan tata letak strategis), fasilitas mendukung kenyamanan bekerja dan sistem administrasi yang tertib dan terukur; (iv) Legalitas hukum. Khusus untuk mendukung penguatan LKM-A Kementerian Pertanian menunjuk dan menempatkan sejumlah tenaga pendamping yaitu Penyelia Mitra Tani (PMT) pada setiap kabupaten/kota pelaksana program PUAP. Pendamping usaha produktif dan kelembagaan petani ditetapkan penyuluh pendamping setempat melalui Surat Keputusan Bupati/walikota. Jumlah PMT terbatas dan sampai tahun 2013 rasio PMT per LKM-A adalah 24-25 LKM-A per PMT. Sementara kondisi ideal adalah 15-20 LKM-A per PMT, tergantung pada sebaran lokasi dan kondisi infrstruktur wilayah kabupaten/kota. Dampaknya negativenya adalah sekitar 15% LKM-A belum berjalan sesuai harapan dan LKM-A yang sudah aktif pertumbuhan asset relativ lamban. LKM-A sebagai pelayanan jasa keuangan merupakan faktor kunci keberhasilan gapoktan dalam mendorong pengembangan usaha pertanian, agar eksistensinya dirasakan manfaat oleh petani dan masyarakat di wilayah kerja nagari/ kelurahan/desa secara umum. Kapasitas SDM pengelola LKM-A bervariasi dan rata-rata relatif lemah. Meskipun sistim pendampingan formal oleh PMT belum berakhir, namun memerlukan fasilitasi 108
pemberdayaan SDM oleh pemangku kepentingan guna percepatan kemandirian LKM-A. LKM-A sebagai unit jasa keuangan dibawah naungan kelembagaan seperti disajikan pada Gambar 1, gapoktan ber-peran mendorong pemberdayaan LKM-A. Kewenangan LKM-A adalah diberikan kewenangan mengelola modal untuk pembiayaan usaha produktif atas kesepakatan bersama. Hubungan struktural dan fungsional antara gapoktan dan LKM-A belum sepenuhnya berjalan baik. Kekompakan antara gapoktan dan LKM-A perlu dibina agar pemahaman tentang kelembagan ini menjadi kuat dan persepsi yang sama agar supaya kelembagaan petani keberadaannya sudah menyeluruh ini menjadi kondusif.
Jumlah pengelola LKM-A tergantung struktur LKM-A yang disepakati dalam musyawarah anggota.(Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2012 ), (Badan PSDM Pertanian. 2007), (Hendaryana R. 2010. Pertanian. ) Sebagian LKM-A dikelola oleh 5 orang yaitu: manejer umum, pembiayaan, pembukuan, penggalangan dana dan kasir, dan sebagian lagi ada LKM-A yang dikelola oleh 3 orang yaitu: manejer umum merangkap pembiayaan, pembukuan merangkap penggalangan dana dan kasir. LKM-A secara langsung atau tidak langsung mampu mengatasi masalah modal petani dan menciptakan kesempatan kerja. Dengan adanya LKM-A, eksistensi gapoktan sebagai kelembagaan petani sudah dirasakan manfaatnya oleh petani.
Pembinaan dan pendampingan oleh PMT dan penyuluh
Laporan keuangan ke pengurus Gapoktan
Penyaluran pinjaman modal usaha produktif ke petani anggota Gapoktan
Pengembalian pinjaman ke LKM-A PETANI/PELAKU USAHA Pembinaan dan pendampingan oleh penyuluh
Pengembangan usaha (perbaikan teknik produksi dan skala usaha) USAHA PRODUKTIF (on-farm dan off-farm)
Gambar 1. Kedudukan LKM-A sebagai sumber pembiayaan bagi petani dalam sebuah kelembagaan tani Gapoktan.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
109
Legalitas hukum menjadi mutlak diperlukan, terkait dengan fungsi LKM-A sebagai jasa keungan. Sampai saat ini sebagian LKM-A berlindung dibawah badan hukum koperasi serba usaha gapoktan dan sebagian kecil berbadan hukum koperasi simpan pinjam (KSP). LKM-A lainnya dikukuhkan dengan akte notaris. Undangundang Republik Indonesia No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro mengisyaratkan bahwa LKM diarahkan berbadan hukum koperasi atau perseroan terbatas (PT). Undang-undang ini harus dipahami oleh berbagai pihak terkait dalam pemberdayaan LKM-A ke depan, agar supaya LKM-A yang sudah tumbuh dan berkembang, esksistensinya tetap berjalan. KERAGAMAN KINERJA LKM-A Perkembangan asset LKM-A tidak sepenuhnya ditentukan oleh umur (jangka waktu) berjalannya sebuah LKM-A tersebut, terbukti bahwa ada LKM-A yang berdiri tahun 2008 asetnya lebih rendah dibanding yang berdiri tahun 2009 dan sebaliknya. Kajian Hosen et al.(Hosen, N., Harmaini, Nirwansyah dan Nurnayetti. 2012) fokus untuk melihat pertumbuhan asset dengan membanding tahun awal berdiri dengan asset awal rata-rata Rp. 100 juta per LKM-A dengan jumlah asset keadaan Juni tahun 2012. Percepatan pertumbuhan asset tersebut bervariasi antar LKM-A, begitu juga pertumbuhan jumlah anggota LKM-A tersebut. Rata-rata peningkatan anggota berbanding lurus dengan peningkatan asset LKM-A (Tabel 4). Asset LKM-A menunjukkan peningkatan selama kurun Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
waktu 4-5 tahun. Peningkatan asset ini belum menunjukkan angka yang signifikan, namun ada kecenderungan meningkat berarti perguliran dana berjalan lancar. Kepercayaan masyarakat sudah mulai tumbuh dengan indikator terjadi peningkatan jumlah anggota. Semakin banyak anggota berarti berarti potensi simpanan anggota akan semakin besar dan sekaligus akan memperkuat permodalan LKM-A. Bila anggota sedikit dan bahkan cenderung berkurang, berarti kepercayaan masyarakat terhadap LKM-A masih kurang dan perguliran dana akan lamban dan bahkan bisa stagnan, akhirnya asset akan tidak berkembang. Secara total selama 5 tahun program PUAP berjalan (2008-2012) di Sumatera Barat, LKM-A telah menyalurkan pembiayaan untuk pengembangan usaha mikro sektor pertanian menurut kelompok usaha sebagai berikut: untuk pengembangan tanaman pangan 40,0%, hortikultura 15,0%, perkebunan 5,0%, peternakan 12,0%, dan sisanya 28,0 % untuk usaha non budidaya (pengolahan hasil skala rumah tangga dan pemasaran hasil skala kecil). LKM-A adalah lembaga keuangan yang menyediakan jasa keuangan miikro yang tidak berbentuk bank dan juga tidak berbentuk koperasi sudah diminati khususnya oleh masyarakat tani di pedesaan. Hal ini ditunjukkan oleh semakin meningkatnya jumlah anggota yang akses permodalan ke LKM-A (Tabel 4).
110
Tabel 4. Perkembangan jumlah anggota dan asset LKM-A Gapoktan PUAP contoh pada beberapa kabupaten/kota pelaksana PUAP 2008 dan 2009 di Sumatera Barat Keadaan Awal Kabupaten/ Kota
Tahun
Limapuluh Kota
2008 2008 2009
2009 Tanah Datar
2008 2008 2009 2009
Padang Pariaman
2008 2008 2009 2009
Solok
2008 2008 2009 2009
Nama LKM-A, Nagari
Jumlah Anggota
Sabatang Manjadi, Taeh Baruah, Payakumbuh Genta Kobra Prima, Koto Baru, Payakumbuh Bulakan Sri Cahaya, Tj. Gadang Rumah, Lareh Sago Halaban Sitanang Terpadu, Sitanang, Lareh sago Halaban Bina karya, Balimbing, Rambatan Mitra Bersama, Situmbuk, salimpaung Elok Basamo, Rambatan
80
Jumlah asset (Rp.000) 100.000
75
Keadaan Juli 2012
Pertum buhan Anggota (%)
Pertum buhan asset (%)
458,7
136,9
447
Jumlah asset (Rp.000) 236.905,-
100.000
167
125.190,-
123
25,2
92
100.000
207
150.131,-
125
50,1
59
100.000
120
111.540,-
103
11,5
90
100.000
217
228.841,-
141
128,8
100
100.000
141
135.367
41
35,4
76
100.000
300
161.239,-
295
61,2
Lona Saiyo, Parambahan, V Kaum Awan bajuntai, V Koto Kp. Dalam Saiyo Sakato, Sei. Geringging
47
100.000
111
123.500,-
136
23,5
30
100.000
37
192.950,-
23
92,9
35
100.000
37
107.747,-
6,0
7,7
Usaha Bersama, Sungai Durian, Patamuan Mitra S-3, Sei. Sariak
53
100.000
63
150.000,-
18,9
50,0
50
100.000
50
121.412,-
0
21,4
Mutiara Sukarami, Linjung Koto Tinggi, G. Talang Telaga Zam-Zam, Bukik Sileh, Lembang Jaya Gema Lunanti, Selayo Kubang Meja, Paninjauan, X Koto Diatas
100
100.000
140
180.141,-
40
80,1
120
100.000
211
115.000,-
75,8
15,0
139 143
100.000 100.000
145 150
163.638,130.159,-
4,3 4,9
63,6 30,2
Hasil kajian (Yekti, A. 2009) yang dilakukan di Kecamatan Piyungan, Yogyakarta bahwa LKM dibawah naungan gapoktan sebagai LKM non formal lebih mengena dikalangan pelaku usaha yang ditunjukkan oleh jumlah petani (100%) yang pernah akses terhadap LKM, sedangkan ke sumber modal lainnya seperti Bank Umum, koperasi, pegadaian sumber pinjaman informal lain-nya relatif tendah. Menurut (Wijoyo 2005) bahwa LKM lebih cocok bagi pelaku usaha mikro karena sifatnya yang fleksibel Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Jumlah anggota
dan sesuai dengan sifat dan skala usaha petani. Direktorat Pembiayaan Kementerian Pertanian (Direktorat Pembiayaan. 2004) mengemukakan bahwa LKM dikembangkan berdasarkan semangat untuk membantu dan memfasilitasi masyarakat miskin atau berpendapatan rendah, baik untuk konsumtif maupun produktif keluarga miskin. Dalam implementasinya LKM dianggap lebih efisien dari lembaga keuangan yang lain karena kedekatannya pada masyarakat yang dilayani dan mengurangi biaya-biaya transaksi. 111
PENUTUP Kesimpulan (i) Usaha pertanian rakyat mempunyai konstribusi cukup besar dalam perekonomian Sumatera Barat tercermin dari kontribusi pertanian secara umum dalam BDRB. Untuk meningkatkan kontribusi sektor pertanian oleh petani kecil diperlukan sumber pembiayaan yang mudah diakses dan jasa keuangan yang murah salah satunya adalah dari LKM-A. (ii) Jumlah LKM-A yang sudah tumbuh dan berkembang sebanyak 842 unit, berpotensi tumbuh lebih banyak sesuai jumlah gapoktan (955 unit) sampai akhir tahun 2012 yang diberdayakan melalui program PUAP Kementerian Pertanian. (iii) LKM-A sebagai Lembaga Keuangan Mikro, fokus memberikan solusi terhadap kendala modal bagi petani kecil, sudah menunjukkan keberhasilan dalam pengelolaan keuangan dengan indikator berkembangnya asset secara total sejak tahun 2008 dengan modal awal Rp. 95,5 milyar dan pada tahun 2012 berkembang mencapai Rp. 121 milyar yang tersebar pada 955 unit gapoktan. Modal tersebut digunakan untuk pembiayaan pengembangan usaha pertanian tanaman pangan 40%, hortikultura 15%, perkebunan 5%, peternakan 12% dan usaha non budidaya (pengolahan hasil dan pemasaran) 28%. (iv) Tantanngan ke depan adalah system pendampingan yang mampu memacu percepatan pemberdayaan LKM-A dan legalitas hukum yang cocok. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Rekomendasi Saran ke depan adalah LKM-A sebagai sumber pembiayaan untuk pengembangan usaha produktif petani, perlu mendapat perhatian serius dalam bentuk pembinaan dan pendampingan secara berkelanjutan oleh pemangku kepentingan menuju keswadayaan, profesional dan legal.
DAFTAR PUSTAKA Astuti, M dan Joko Christanto. 2000. PRA berperspektif SAGA (SocioEconomic and Gender Analysis). Modul Lokakarya SAGA. Kerjasama ARM-II Badan Litbang Pertanian dengan PSW-UGM. Yogyakarta. Badan PSDM Pertanian. 2007. Konsep Dasar LKM-Agribisnis. Materi dalam TOT PUAP di Ciawi 2007. Balai BesarPengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2010. OBMNE ”Outcome Based Monitoring and Evaluation). Petunjuk Teknis. BBP2TP Bogor, Badan Litbang Pertanian. Bappeda 2012. Road map penguatan system inovasi daerah (SIDa) Provinsi Sumatera Barat. Badan Perencanan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Barat. Padang. BPS Sumatera Barat. 2012. Sumatera Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Sumatera Barat. Padang. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2012. Profil LKM-A “ Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis”. Dinas Pertanian Tanaman pangan Provinsi Sumatera Barat. Padang.
112
Direktorat Pembiayaan. 2004. Kelembagaan dan pola pelayanan keuangan mikro untuk sektor pertanian (pedoman dan kebijakan). Direktorat PembiayaanDirjen BSP. Kementerian Pertanian. Jakarta. Hendaryana R. 2010. Apresiasi pengelolaan dan operasional LKM-Agribisnis. Petunjuk operasional. BBP2TP Bogor, Badan Litbang Pertanian. Hosen, N., Harmaini, Nirwansyah dan Nurnayetti. 2012. Akselerasi Adopsi Inovasi dan Pengembangan LKM-A pada kegiatan Usaha Bersama Berbasis Komoditas Gapoktan pelaksana PUAP tahun 2008 dan 2009 di Sumatera Barat. Laporan Teknis. BPTP Sumatera Barat. Kementan, 2013. Pedoman umum Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) tahun 2013. Kementerian Pertanian. Jakarta Kementan. 2008. Pedoman umum Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) tahun 2008. Departemen Pertanian. Jakarta. Sekretariat PUAP, 2012. Laporan perkembangan PUAP 2008-2012 di Sumatera Barat. Sekretariat PUAP. Tim Pembina PUAP Provinsi Sumatera Barat. Wijoyo, Wiloeyo Wiryo. 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya konkrit memutus mata rantai kemiskinan. Jurnal “ kajian Ekonomi dan Keuangan” edisi khusus Desember 2005. Jakarta. Yekti, A. 2009. Peranan Lembaga Keuangan Formal dan Informal bagi masyarakat pertanian di Indonesia. Jurnal pertanian. STTP Yogyakarta. Hal 91-103.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
113
STUDI KASUS GEMPA BUMI DAN TSUNAMI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP BIOFISIK LAHAN PERTANIAN DI KEPULAUAN MENTAWAI SUMATERA BARAT Edy Mawardi dan Ramlan
BPTP Sumatera Barat dan BPTP Aceh Naskah masuk : 24 Oktober 2013
Naskah Naskahditerima diterima: :155 Desember 2013
CASE STUDY OF EARTHQUAKE AND TSUNAMI AND ITS INFLUENCE ON BIOPHYSICAL AGRICULTURAL LAND IN THE MENTAWAI ISLANDS WEST SUMATRA Abstract This case study aims to determine the effect of the earthquake and tsunami Mentawai against damage farmlands and recommend handling the problem . This case study is a descriptive quantitative and qualitative research through support and prime secondary data obtained in the form of free survey and laboratory analysis . Earthquake followed by tsunami that caused extensive damage to agricultural land located in coastal areas within 0-750 meters from the shoreline of 0-14 meters high from sea level . Soil salinity levels decreased significantly due to high precipitation, the texture is quite rough , and the conditions that enable the acceleration region fisografi dry salt . Soil fertility levels throughout the Mentawai Islands offshore wilkayah general category is low . Advice given from the results of this case study is ( 1 ) to relocate the residential and agricultural area should be directed at the food crop area is more than 750 meters from the seafront or in an area of over 14 meters high from the sea level , ( 2 ) Planting return oil as the region’s major flagship commodity requires the selection of seeds, and pembibitannya techniques , ( 3 ) pewilayahan commodities in disaster-prone areas is economically profitable and has ability to minimize impacts, and ( 4 ) develop agricultural systems by considering the conditions local social and cultural community Keywords: earthquake, tsunami, biophysical, land, disaster Abstrak Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh gempa bumi dan tsunami Mentawai terhadap kerusakan lahan pertanian dan merekomendasikan penanganan masalahnya. Studi kasus ini merupakan penelitian deskriptif kuantitif dan kualitatif melalui dukungan data skunder dan primer dalam bentuk survey lapangan dan analisis laboratorium. Gempa yang diikuti tsunami menyebabkan kerusakan yang luas terhadap lahan pertanian berada pada wilayah pesisir dalam jarak 0-750 meter dari garis pantai dengan tinggi tempat 0-14 meter dari permukaan laut. Tingkat salinitas tanah menurun secara nyata karena tingginya curah hujan, tekstur agak kasar, dan kondisi fisiografi daerah yang memungkinkan percepatan pencucian garam. Tingkat kesuburan tanah sepanjang wilayah pesisir Kepulauan Mentawai umumnya termasuk kategori rendah. Saran yang diberikan dari hasil studi kasus ini adalah (1) merelokasi kawasan pemukiman dan areal pertanian tanaman pangan perlu diarahkan pada kawasan yang berjarak lebih dari 750 meter dari pinggir laut atau pada daerah dengan tinggi tempat diatas 14 meter dari permukaan laut, (2) Penanaman kembali tanaman kelapa sebagai komoditas unggulan utama daerah ini membutuhkan pemilihan benih unggul dan teknik pembibitannya, (3) pewilayahan komoditas pada kawasan yang rawan bencana ini yang menguntungkan secara ekonomis dan mempunyai kemampuan dalam meminimalkan dampak, dan (4) mengembangkan sistem usaha pertanian dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya lokal masyarakat Kata Kunci: Gempa, tsunami, biofisik, lahan, bencana
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
114
PENDAHULUAN Latar Belakang Gempa bumi (7,2 SR) disertai tsunami yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat merupakan salah satu dari tiga musibah bencana nasional yang terjadi pada tanggal 25 Oktober 2010. Tsunami (bahasa Jepang: tsu=pelabuhan, nami=gelombang) yang terbentuk akibat gempa bumi ini menghancurkan sebagian besar kawasan sepanjang pesisir barat Pulau Pagai Selatan. Kerusakan yang sama terjadi pada beberapa dusun di Desa Silabu dan Betumonga yang teletak di pantai bagian barat Pagai Utara dan kerusakan yang lebih kecil melanda sebagian dusun di Desa Bosua dan Berlolou di Sipora Selatan. Wilayah yang lebih aman terletak pada kawasan sepanjang pantai timur Pagai Selatan, Pagai Utara,dan Sipora Selatan. Musibah gempa dan tsunami
ini
menyebabkan kematian penduduk dan hilang lebih dari 500 orang serta menyebabkan kerusakan infrastruktur pemukimannya. Data lapangan ini menunjukkan terjadinya kerusakan prasarana berupa jembatan dan jalan, rumah penduduk rusak berat maupun rusak ringan, fasilitas umum dan sosial dan beberapa sarana pelayanan umum lainnya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kerusakan yang lebih parah ternyata terjadi juga pada sektor pertanian akibat kerusakan lahan pertanian yang selama ini menjadi tulang punggung kehidupan sebagian besar masyarakat di daerah ini. Mustafa (2010) mengungkapkan bahwa potensi gempa dan tsunami Kepulauan Mentawai Sumatera Barat Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
terdapat pada episentrum laut pada segmen Siberut dan segmen Sipora-Pagai. Sedangkan episentrum darat Sumatera Barat yang tidak akan menimbulkan tsunami berpotensi terjadi pada segmen Singkarak, Sianok, dan Muara Labuah. Dalam kasus tsunami Mentawai tahun 2010, musibah ini terjadi pada episentrum Sipora-Pagai yang berpusat disebelah barat Pulau Pagai Selatan dan berdampak juga pada sebagian wilayah Pulau Pagai Utara dan Sipora. Selanjutnya, Emzalmi (2010) mengemukakan jejak sejarah tsunami pada wilayah sepanjang pantai barat Pulau Sumatera pernah terjadi di Bengkulu (1883), Sumatera Barat (1861), Krakatau (1883), dan Aceh (2004). Untuk itu, penanganan dan antisipasi masalah kawasan yang rawan musibah bencana ini perlu diformulasikan guna meminimalkan dampaknya baik terhadap korban manusia maupun infrastruktur daerah pemukimannya termasuk sektor pertanian. Pengalaman musibah tsunami Aceh menunjukkan bahwa areal pertanian yang terlanda bencana alam ini berubah menjadi lahan bermasalah akibat tanah tertutup sedimen salin setebal 1-10 cm. Permukaan tanah menjadi keras dan retak-retak bila kekeringan yang menyebabkan sebagian besar lahan tersebut tidak produktif untuk usaha pertanian untuk waktu yang cukup lama. Selanjutnya, Puslitbang Tanah dan Agroklimat melaporkan bahwa lahan pertanian yang terkena intrusi air laut akibat gelombang tsunami akan mengalami salinisasi sedang sampai berat pada jarak 0-3 km dari pantai. Tingkat kerusakan tanaman yang disebabkan salinitas tergantung pada jenis tanaman, varietas, fase pertumbuhan, 115
dan faktor lingkungannya (Puslitbangtanak, 2005). Perubahan yang terjadi pada kawasan terlanda gelombang tsunami Kepulauan Mentawai sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Upaya pemulihan daerah yang dilanda bencana pasca tsunami ini membutuhkan kajian lapangan tentang pengaruh tsunami terhadap biofisik lahan pertanian dan pemukiman sebagai upaya rehabilitasi kehidupan masyarakat Kepulauan Mentawai dalam jangka panjang. Untuk itu, permasalahan yang timbul akibat tsunami Kepulauan Mentawai perlu diidentifikasi secara cepat untuk dijadikan dasar penataan selanjutnya. Serangkaian upaya penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi sebagaimana tercantum dalam UU No. 24 tahun 2007 (Kabuik, 2010). Tujuan kegiatan Studi kasus ini merupakan langkah awal yang dilakukan secara cepat untuk mengetahui kondisi kerusakan areal pertanian Kepulauan Mentawai pasca bencana gempa bumi dan tsunami dengan rincian tujuan sebagai berikut: (1) Melakukan identifikasi tingkat kerusakan tanaman dan sifat fisik maupun kimia tanah akibat gempa dan tsunami Mentawai (2) Memberikan saran kebijakan rehabilitasi dan penataan lahan pertanian aman dan berkelanjutan pada kawasan rawan bencana gempa dan stunami Mentawai. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitif dan kualitatif. Langkah penelitian meliputi pemilihan lokasi, survey lapangan dan analisis laboratorium dalam rangka pengumpulan dan analisis data lokasi pasca bencana gempa dan tsunami. Pemilihan Lokasi Kegiatan studi kasus pengaruh gempa dan tsunami Kepulauan Mentawai terhadap biofisik lahan pertanian dilakukan pada Dusun Purorougat (Desa Malakkopak) dan Dusun Surat Aban (Desa Bulasat) di Kecamatan Pagai Selatan. Penetapan kedua dusun ini sebagai lokasi penelitian berdasarkan tingkat keparahan yang merupakan representasi kawasan yang cukup parah terkena musibah bencana gempa dan stunami Kepulauan Mentawai. Kegiatan survey lapangan dilaksanakan mulai tanggal 23 sampai 28 November 2010. Sedangkan analisis tanah dan tanaman dilaksanakan pada laboratorium BPTP Sumatera Barat. Survey Lapang Kegiatan survey lapang dilakukan untuk mendapatkan beberapa data sebagai berikut: (1) Kerusakan Tanaman dan Ternak Untuk mendapatkan data tentang kerusakan tanah dan tanaman dilakukan dengan mempedomani data skunder dari tim survey lainnya dan observasi langsung di lapangan. Lokasi observasi diprioritaskan pada lahan-lahan utama pertanian yang mencakup lahan sawah, palawija dan lahan perkebunan. Pada setiap lokasi dilakukan pengambilan sampel tanah komposit kedalam 116
0-20, 20-40, dan 40-60 cm. Sampel tanah diambil berdasarkan homogenitas tanah dan transek yaitu tegak lurus dari garis kontur dan untuk dataran pantai mengikuti sequent daerah pesisir. Sampel tanaman pasca Tsunami diambil pada tanaman yang rusak (layu atau mati) dan tanaman sehat (tanaman yang tidak kena tsunami). Untuk tanaman semusim diambil daun tanaman yang telah membuka sempurna (daun dewasa) atau seluruh tanaman yang masih muda (umur 1-2 bulan). Sedangkan untuk tanaman tahunan diambil daun yang telah dewasa masing-masing 250 gram. Khusus untuk tanaman kelapa dan sawit diambil daun sepertiga pelepah bagian tengah dari pelepah ke 17 dari atas (biasanya pada deretan putaran lingkaran pelepah yang ketiga dari pucuk). Daun tanaman dibersihkan dan dikeringanginkan serta disimpan dalam kantong kertas karsing atau kertas koran. (2) Kerusakan Tanah Untuk pengamatan yang lebih rinci dilakukan pembuatan lobang profil tanah dengan ukuran (100-150) x 150 x 150 cm. Pada salah satu dinding yang tidak terkena cahaya mata hari dilakukan pengamatan terhadap susunan horizon/lapisan. Pada setiap horizon atau lapisan diambil sampel tanah untuk analisis kimia dan contoh tanah tidak terusik (undistrubed sample) menggunakan ring sampel untuk analisis sifat fisika tanah. Pengambilan contoh tanah diawali pada horizon terbawah dan secara berurutan sampai horizon/lapisan teratas (top soil). Pada lapisan atas perlu pula dicatat tebal lapisan timbunan (lumpur dan pasir) sekaligus Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
diambil sampel tanah untuk analisis kimia. Bersamaan dengan pengambilan contoh tanah diamati pula keadaan drainase, bentuk wilayah, kelerengan, vegetasi dominan, dan penggunaan lahan. (3) Pengukuran salinitas Pengukuran salinitas menggunakan alat Grund Conductivity Meter (GCM) Elctromacnetic Induction ( EM 38) dengan cara meletakkan diatas permukaan tanah secara horizontal (EM/h) dan vertical (EM/v). Pengukuran secara horizontal memperoleh data kadar salinitas permukaan tanah antara 0 – 35 cm dan secara vertical diperoleh kadar salinitas pada kedalaman tanah 35 – 150 cm. Dari hasil pengukuran dengan EM 38 akan diperoleh data dalam mS/m (mili siment per meter). Rumus yang digunakan dalam mengukur salinitas adalah :
dS/m = mS/m 100 Dimana : mS/m = Hasil Pengukuran EM 38 dS/m = deci Siment per meter
Ece = Slope x ECe + Intercept Dimana : Eca = Apparent Elctrical Conductivity ( Pengukuran dilapangan) Ece = Extract Elctrical Conductivity Slope dan intercept = Konstanta
117
Tabel 1. Penilaian Konstanta Konversi dari Eca ke ECe Saturation percentage (SP) SP 30 40 50 60 70
Ece = slope x Eca + intercept
TEKSTUR Lempung berpasir Lempung Liat ringan Liat Sangat liat
SLOPE 6,9 5,4 4,0 3,3 2,8
INTERCEPT -0,9 -1,5 -1,9 -2,1 -2,1
Tabel 2. Standar Salinitas Tanah Berdasarkan Tekstur TEKSTUR (Persentase Pasir)
ECa (dS/m) Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Pasir Berlempung (25 – 35)
0,4
0,4 – 0,7
0,7 – 1,3
> 1,3
Lempung (35 – 45)
0,4
0,7 – 1,1
1,1 – 1,9
> 1,9
Liat berlempung – liat ringan (45 – 55)
< 1,0
1,0 – 1,5
1,5 – 2,5
> 2,5
Liat Sedang – Berat (55 – 70)
< 1,25
1,25 – 1,9
1,9 – 3,0
> 3,0
Tabel 3. Batas Toleransi Tidak Terjadi Kehilangan Hasil (Ayer & Westcot, 1976) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis Tanaman
ECe (dS/M) Batas Toleransi Tidak Terjadi Kehilangan Hasil
Padi Jagung Kacang Tanah Kacang Kedelai Semangka Kubis Wortel Timun Bawang Merah Terong Cabai Tomat
HASIL DAN PEMBAHASAN Saksi mata penduduk lokal Pulau Pagai Selatan yang selamat dari musibah mengungkapkan bahwa stunami yang terjadi 15 menit setelah gempa terjadi 3 kali gelombang air dengan tinggi berkisar antara 9-15 meter. Gelombang besar ini membawa batu karang yang menghancurkan kawasan pertanian dan pemukiman pada hamparan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
2–3 1,7 3,2 1,5 – 2 1,5 – 2 2 -3 1,5 – 2 2–3 1,5- 2 2,5 – 3 2–3 2,5 – 5
0-700 meter dari pinggir pantai kearah daratan. Kerusakan yang terjadi diperparah akibat hilangnya hutan bakau, terutama di daerah pemukiman. Kerusakan Tanaman dan Ternak Kecamatan Pagai Selatan, Pagai Utara, dan Sipora Selatan merupakan daerah terkena lansung dampak Gempa dan tsunami tanggal 25 Oktober 2010. 118
Hasil identifikasi awal Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Mentawai mengungkapkan
kerusakan tanaman padi sawah, sagu, talas, dan pisang masing-masing hanya seluas 80, 5, 37,dan 108 ha (Tabel 4).
Tabel 4. Kerusakan Komoditas pangan utama pada beberapa kecamatan dan desa akibat Gempa Tsunami Mentawai. Tahun 2010 No 1. 2.
3.
Kecamatan/ Desa Pagai Selatan Malakopak Bulasat Pagai Utara Betu Monga Silabu Saumanganyak
Padi Sawah 70 10
Jenis Tanaman (ha) Sagu Talas 5 -
Sipora Selatan Beriulou Bosua Jumlah
80
5
Pisang
3 30
8 75
4
22 3
37
108
Sumber: Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Mentawai (2010)
Tabel 5. Kerusakan tanaman perkebunan pada beberapa kecamatan dan desa akibat gempa tsunami Mentawai. Tahun 2010 No 1.
2.
3.
Kecamatan/ Desa
Kelapa (ha)
Kakao (ha)
Pinang (ha)
Nilam (ha)
Pagai Selatan Malakopak Bulasat Ma Pagai Utara Betu Monga Silabu Saumanganyak
765 234
36 8
5 -
5 -
143 2,5 3,5
20 -
27 -
-
Sipora Selatan Beriulou Bosua
70 68
3 2
-
-
1.286
69
32
5
Jumlah
Sumber: Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Mentawai (2010)
Kelapa merupakan tanaman yang paling luas mengalami kerusakan akibat gempa dan tsunami dengan total luas 1.286 ha dan sekitar 75,8% dari luas kerusakan ini terjadi di Kecamatan Pagai Selatan. Luasnya kerusakan tanaman kelapa ini disebabkan sebagian besar terhampar pada kawasan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
pantai dan berdekatan dengan pusat gempa. Sedangkan tanaman perkebunan lain yang mengalami kerusakan adalah tanaman kakao, pinang, dan nilam masing-masing sebesar 69, 32, dan 5 ha (Tabel 5). Kerusakan tanaman kelapa tidak hanya karena musibah tsunami tapi juga disebabkan pengaruh lainnya 119
yang perlu dikaji lebih mendalam. Luasnya kerusakan kelapa yang berwarna kuning diperkirakan mencapai 400 ha di Dusun Surat Aban. Kerusakan yang sama ternyata meluas pada beberapa areal perkebunan kelapa di Kepulauan Mentawai. Usaha peternakan yang paling besar mengalami kematian akibat gempa dan tsunami adalah ayam buras dan babi dengan jumlah masing-masing sebesar 4.618 dan 1.166 ekor. Selanjutnya, anjing dan itik merupakan usaha peternakan penduduk
yang mengalami kerusakan masing-masing sebesar 185 dan 203 ekor. Dari hasil identifikasi kerusakan awal terhadap usaha tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan ini terungkap bahwa kerusakan yang paling besar terjadi di Kecamatan Pagai Selatan. Untuk itu, kegiatan identifikasi mendalam akibat gempa dan tsunami ini perlu dilakukan pada lokasi korban bencana yang mewakili karakteristik kerusakan di Kecamatan Pagai Selatan (Tabel 6).
Tabel 6. Kerusakan ternak pada beberapa kecamatan dan desa akibat Gempa Tsunami Mentawai. Tahun 2010 No 1.
2.
3.
Kecamatan/ Desa
Jenis Ternak (ekor) Ayam buras
Babi
Anjing
Itik
Pagai Selatan Malakopak Bulasat Ma Pagai Utara Betu Monga Silabu Saumanganyak
1.400 992
210 501
15
100
1.098 163
591 2
95 -
81 -
Sipora Selatan Beriulou Bosua
965 -
245 117
60 -
22 -
Jumlah 4.618 1.166 170 Sumber: Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Mentawai
3.2 Kerusakan Lahan Dusun Purorougat Hasil pengamatan transek (garis penampang) pada lahan Dusun Purorougat terlihat bahwa tinggi tempat pada lahan yang jaraknya 750 km dari garis pantai mencapai 14 meter. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ketinggian lokasi > 14 meter termasuk lahan pertanian dan pemukiman yang aman dan tidak mengalami kerusakan akibat tsunami. Transek dari studi kasus pada wilayah musibah ini dibagi atas Segmen I (S I) dengan vegetasi sebelumnya tanaman talas dan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
203
sagu, Segmen II (S II) daerah pemukiman, Segmen III (S III) areal kebun kelapa, dan Segmen IV (S IV) kebun campuran. Hasil pengukuran salinitas tanah Dusun Purourogat memperlihatkan tingkat salinitas pada lokasi 100 meter dari laut (S I) 1 bulan setelah tsunami termasuk kategori sedang, sedangkan pengukuran sepanjang 1.000 meter umumnya termasuk kategori ringan.
120
SI
S II
S III
S IV
Laut Jarak dari laut
0 -103 meter
103 -171 meter
171 -411 meter
411 -750 meter
Tinggi tempat
1,5 meter dari muka laut
1,5 - 6 meter dari muka laut
6 -10 meter dari muka laut
14 meter dari muka laut
Salinitas Tekstur Kedalam tanah
Sedang Pasir 60 m
Ringan Pasir 61 cm
Ringan Liat berpasir > 60 cm
Ringan Liat berpasir > 100 cm
Vegetasi pra stunami
Kebun talas dan sagu
Pemukiman penduduk
Kebun kelapa
Ke bun campuran kelapa, pisang, dan lainnya
Gambar 1. Transek areal pertanian dan pemukiman Dusun Purorogat Kecamatan Pagai Selatan Penurunan tingkat salinitas yang cukup tinggi selama 1 bulan pasca tsunami kemungkinan disebabkan curah yang hujan tinggi dan kondisi tekstur tanah agak kasar
pada permukan tanah di daerah ini. Tingkat salinitas secara lebih terperinci dalam berbagai jarak 0-1.000 meter dari laut ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil pengamatan salinitas lahan pasca tsunami berdasarkan jarak dari pantai di Dusun Purorougat kecamatan Pagai Selatan. Tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
0 – 35 Cm (dS/m) 1.76 0.82 0.51 0.44 1.20 1.14 0.77 0.86 0.90 1.01
Kedalaman 30 – 150 Cm (dS/m) 1.73 0.82 0.63 0.53 1.20 0.84 0.76 0.95 0.96 0.91
Dari data Tabel 8 terungkap bahwa reaksi tanah (pH) tanah Dusun Purorougat pada jarak 10, 250, 375, 500, 625, dan 750 meter dari laut dan kedalaman 0-20 cm masing-masing 6,75; 6,81; 6,84; 6,89; 6,90; dan 6,28. Nilai pH tanah pada seluruh lapisan 0-20 cm bereaksi netral, sedangkan nilai pH tanah pada kedalaman tanah 20Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Tingkat Salinitas Sedang Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan
Jarak dari Pantai ( Meter) 0-100 100 – 200 200 – 300 300 - 400 400 – 500 500 – 600 600 – 700 700 – 800 800 – 900 900 – 1000
40 cm dan 40-60 cm bereaksi agak masam sampai sedang. Reaksi tanah yang agak masam terlihat pada daerah yang berjarak 625 dan 750 meter dari pinggir laut. Kandungan C-organik tanah pada permukaan tanah (0-20 cm) bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi (1.34-6.53 %). Kondisi yang sama terlihat pada kandungan 121
C-organik tanah pada kedalaman 20-40 cm dan 40-60 cm yang bervariasi dari rendah sampai tinggi (1.08-3.38). Variasi kandungan C-organik tanah ini terkait dengan bentuk usaha tani tanaman talas pada lahan rawa dengan kandungan bahan organik tinggi, areal perkebunan kelapa, dan kebun campuran dengan sistem usaha pertaniannya
kurang intensif. Kandungan N-total tanah pada kedalaman tanah 0-20 cm bervariasi dari rendah (0,17%) sampai sangat tinggi (0,83%). Nilai yang sama terlihat dari hasil pengamatan N-total tanah pada kedalaman 20-40 cm dan 40-60 cm yang bervariasi dari rendah (0,07%) sampai sedang (0,32%).
Tabel 8. Data hasil analisa tanah berdasarkan jarak dari laut pada beberapa tingkat kedalaman tanah di Dusun Purorougat. Tahun 2010 Parameter uji pH (H2O)
pH (KCl)
C-organik (%)
N- total (%)
C/N
K-dd (Cmol/kg)
Na-dd (Cmol/kg)
Ca Ekstrak NH4Oac 1 N pH 7(me/100 gr) Mg Ekstrak NH4Oac 1 N pH 7 (me/100 gr) P2O5 Ekstrak Olsen (ppm)
Cu Ekstrak 0,1 N HCl
(ppm)
Zn Ekstrak 0,1 N HCl (ppm)
Kedalaman tanah 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Nilai pengamatan berdasarkan jarak lokasi dari laut 10 m 250 m 375 m 500 m 625 m 6,72 6,81 6,84 6,89 6,90 6,40 5,76 7,45 4,53 6,98 6,59 7,36 4,0 6,55 6,81 6,36 6,47 6,44 6,13 5,76 6,71 4,21 6,76 6,59 6,59 5,19 2,21 6,52 1,73 1,34 5,81 3,02 2,18 1,42 2,21 3,38 2,05 1,39 2,20 0,31 0,83 0,17 0,24 0,52 0,27 0,32 0,17 0,14 0,24 0,21 0,11 0,07 7,13 7,86 10,18 5,58 11,17 11,18 6,81 8,35 15,79 14,08 9,76 12,64 31,43 1,46 0,64 0,19 0,19 1,27 1,21 0,32 0,32 0,41 1,40 0,13 0,13 0,45 7,30 3,72 0,70 0,56 3,48 7,02 2,02 0,45 2,15 5,84 1,04 0,38 1,39 3,7 2,79 2,81 3,45 2,64 3,15 2,55 2,75 2,57 3,57 3,21 2,38 2,92 5,96 4,27 4,09 5,77 4,70 4,97 3,61 4,75 4,49 6,08 5,07 4,30 4,92 14,78 23,26 18,70 13,91 19,78 14,13 16,96 11,09 10,00 12,61 15,22 8,91 11,74 14 21 20 22 19 24 24 24 21 26 25 16 18 11 18 20 17 10 18 22 18 21 19 21 9 11
750 m 6,28 4,92 6,37 5,71 4,22 5,19 3,46 1,25 1,08 0,31 0,17 0,13 11,16 7,35 8,31 0,32 0,29 0,19 0,73 0,56 0,45 3,72 3,32 2,77 5,48 5,15 4,54 20,00 12,17 10,43 20 23 23 13 17 20
122
Parameter uji Mn Ekstrak 0,1 N HCl (ppm)
Fe Ekstrak 0,1 N HCl (ppm)
KTK (Cmol/kg)
H-dd (Cmol/kg)
Al-dd (Cmol/kg)
Kedalaman tanah 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm
10 m 26 31 34 68 82 87 33,33 35,38 26,41 0,3 0,2 0,2 0,3 0,2 0,2
Bila dilihat dari pengamatan nisbah C/N yang sebagian besar termasuk kategori rendah dan sedang maka C-organik tanah telah mengalami pelapukan sempurna. Selanjutnya, nisbah kation-kation dapat ditukar dapat dijadikan indikator tingkat
Nilai pengamatan berdasarkan jarak lokasi dari laut 250 m 375 m 500 m 625 m 29 37 47 31 20 49 33 23 28 26 92 105 110 93 69 124 81 74 91 101 34,87 28,72 28,85 16,67 25,90 30,51 35,90 18,97 15,90 16,15 0,3 0,2 0,2 0,2 0,3 0,2 0,2 0,1 0,3 1,8 0,3 0,2 0,2 0,0 0,3 0,2 0,0 0,1 0,0 11,4
750 m 29 21 24 114 81 85 28,20 35,38 23,08 0,2 0,2 0,4 0,0 0,0 0,0
kesuburan tanah. Nisbah Ca/K, Ca/Mg, dan Mg/K ideal untuk pertumbuhan tanaman yang optimal masing-masing adalah 13,5/1, 6,5/1, dan 2/1 (Weterman, 1990). Nisbah Ca/K, Ca/Mg, dan Mg/K tanah dari hasil pengamatan lapangan.
Tabel 9. Nisbah Ca/K, Ca/Mg, dan Mg/K tanah Dusun Purourogat Kecamatan Pagai Selatan. Tahun 2010. Lokasi pengamatan 10 meter
250 meter
375 meter 500 meter
625 meter
750 meter
Kedalaman tanah 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Ca/K 2,53 2,60 2,55 4,36 7,97 24,69 14,79 18,16 8,59 18,31 2,08 6,27 6,49 11,63 11,45 14,58
Nilai nisbah Ca/Mg 0,62 0,63 0,59 0,65 0,71 0,63 0,69 0,60 0,58 0,55 0,56 0,57 0,59 0,68 0,64 0,61
Mg/K 4,08 4,11 4,34 6,67 11,28 39,0 21,53 38,37 14,84 33,08 3,70 10,95 10,93 17,13 17,76 23,89
123
Nisbah Ca/K tanah pada titik pengamatan 10 meter dari laut dengan 3 kedalaman tanah lebih sempit dibandingkan nisbah Ca/K ideal (13,5/1), sehingga pupuk K tidak harus diberikan. Hal ini ditunjukkan K-dd tanah pada titik pengamatan 0-20 cm, 20-40 cm, dan 40-60 cm masing-masing sebesar 1,46; 1,21; dan 1,40 Cmol/kg yang termasuk kategori sangat tinggi. Nisbah yang Ca/K yang lebih sempit dan tidak berbeda jauh dibandingkan nisbah Ca/K ideal memberikan gambaran kawasan ini tidak memerlukan pemberian pupuk K dalam budidaya tanaman (Tabel 9). Nisbah Ca/Mg dari seluruh contoh tanah lebih sempit dibandingkan nisbah Ca/Mg ideal (6,5/1). Hasil pengamatan ini menunjukkan pupuk Mg tidak dibutuhkan pada lokasi dan terlihat juga dari hasil analisa Mg tanah yang lebih tinggi dari batas kritisnya sebesar 0,50 Cmol/kg. Nisbah Mg/K yang lebih lebar dibandingkan nisbah Mg/K ideal (2/1) pada pengamatan memperlihatkan dari hasil seluruh lokasi pengamatan tidak menyebabkan pupuk K harus diberikan pada semua lokasi daerah ini. Hasil analisa K contoh tanah pada lokasi berjarak 0-250 meter dan 500-750 meter pada beberapa kedalaman tidak memerlukan pupuk K karena lebih tinggi dibandingkan batas kritisnya sebesar 0,30 Cmol/kg. Sedangkan pada lokasi yang berjarak 375 -500 meter dari laut memerlukan sedikit pemberian pupuk K bila areal ini digunakan untuk budidaya tanaman pangan. Fosfor tersedia ekstraksi Olsen semua contoh tanah pada beberapa jarak dan kedalaman bervariasi dari sedang sampai tinggi. Ketersedian P sedang terlihat pada Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
contoh tanah dari lokasi 10 meter pada seluruh kedalaman (0-20, 20-40,dan 40-60 cm), dan pada jarak 375 meter, dan jarak 500 meter pada kedalaman 0-20 cm. Ketersedian P yang termasuk kategori sedang terdapat pada jarak 500 meter dan 750 meter dengan kedalaman 20-40 cm dan 40-60 cm Secara umum, pemberian pupuk P pada lokasi ini hanya memerlukan takaran yang kecil dari 50 kg perhektar untuk budidaya tanaman pangan secara intensif. Kandungan Cu yang diekstrak 0,1 N HCL 25% pada semua jarak dan kedalaman berkisar antara 16 – 26 ppm, sedangkan kandungan Zn diekstrak 0,1 N HCL 25% berkisar antara 9-20 ppm. Selanjutnya, hasil analisa Fe dan Mn ini termasuk sangat tinggi dari semua contoh tanah dan kandungan Fe dan Mn sangat tinggi tidak akan meracun tanaman pada tanah kering dalam kondisi teroksidasi. Pada kondisi tanah kering, Al merupakan unsur yang meracun tanaman bila kandungannya > 20% dalam tanah dan kisaran kandungan meracun tergantung pada tingkat toleransi tanaman. Bila mempedomani hasil analisa contoh tanah ini yang termasuk kategori rendah pada semua jarak dan kedalaman maka kandungan Al tanah Dusun Purourogat tidak meracun tanaman. Kapasitas tukar kation (KTK) sangat berperan dalam kesuburan tanah dimana KTK tinggi mengindikasikan kemampuan menyerap dan melepaskan unsur juga tinggi. Namun hasil analisa contoh tanah daerah ini menggambarkan KTK yang termasuk kategori sedang, sehingga kemampuan menjerap dan melepas unsur hara juga sedang. Selanjutnya, tekstur tanah pada 124
areal yang berjarak 500 meter lempung liat berpasir sejalan dengan rendahnya K dapat dipertukarkan (K-dd) pada areal yang sama. Penurunan kandungan K tanah kemungkinan terjadi melalui proses pencucian dalam sistem tanah yang memiliki persentase pasir yang tinggi. Kondisi berbeda terlihat pada
areal yang berjarak 10 meter, 625 meter, dan 750 meter dari laut dengan tekstur lempung liat berdebu. K-dd tanah yang berjarak 10 meter, 625 meter, dan 750 meter ternyata lebih besar dibandingkan K dd pada areal yang berjarak 250 meter, 375 meter, dan 500 meter.
Tabel 9.Hasil analisa tekstur tanah pada jarak 750 meter dari laut di Dusun Purourogat Kecamatan Pagai Selatan. Tahun 2010 Jarak sampel T1 = 10 meter
T2 = 250 meter
T3 = 375 meter T4 = 500 meter
T5 = 625 meter
T6 = 750 meter
Kedalaman tanah 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm 0-20 cm 20-40 cm 40-60 cm
Hasil pengamatan sifat fisika tanah berjarak 700 meter menunjukkan bahwa berat volume tanah pada kedalaman 0-10 cm, 20-30 cm, 30-40 cm, 40-60 cm, dan > 60 cm berkisar antara 1,10 -1,52. Pengukuran permeabilitas hanya dilakukan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm dengan berat volume yang lebih kecil dibandingkan
Pasir 0,36 0,37 2,20 12,76 10,86 23,47 28,88 31,29 40,35 38,52 2,71 0,10 0,10 1,96 9,46 34,39
Tekstur (%) Debu 61,55 56,04 55,01 57,33 40,52 64,94 60,46 15,86 14,20 53,79 50,12 59,94 54,71 51,74 40,24 17,27
Liat 38,09 43,59 42,79 29,91 48,62 11,59 10,66 52,85 45,45 7,69 47,17 39,96 45,19 46,30 50,30 48,34
lapisan tanah dibawahnya. Permeabilitas pada kedalaman tanah 20 - >60 cm terlihat tidak menetes sejalan dengan berat volume yang makin besar. Selanjutnya, porositas atau total ruang pori pada kedalaman 0-20 m lebih bear dibandingkan porositas tanah lapisan dibawahnya.
Tabel 10. Hasil pengamatan berat isi, permeabilitas, dan porositas tanah pada jarak 700 meter dari laut di Dusun Purourogat Kecamatan Pagai Selatan. Tahun 2010 Kedalaman tanah 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-60 cm >60 cm
Berat isi/BV (gr/cc) 1,10 0,78 1,38 1,34 1,52 1,43
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Jenis pengamatan Permeabilitas Cm3/jam 29,30 1,30 Tidak menetes Tidak menetes Tidak menetes Tidak menetes
Porositas/TRP (%/vol) 58,48 70,57 49,92 49,43 42,64 46,04 125
Hasil pengamatan tanaman kelapa, pisang, talas,dan mangga menunjukkan tidak terlihat adanya pengaruh salinitas terhadap yang termasuk komoditas utama daerah ini. Batas toleransi tanaman kelapa dan mangga terhadap salinitas berkisar 4-8
Hasil analisa daun tanaman kelapa menunjukkan kadar N dan K tanaman masing-masing sebesar 1,42 dan 0,23% ternyata masih dibawah batas kritis N (1,7%) dan K (0,45%) yang ditetapkan Subiksa et al (2006), sedangkan kadar P sebesar 0,15 % berada pada batas cukup. Nilai hasil analisa N,P, dan K tanaman pisang masing-masing sebesar 2,63; 0,31; dan 0,46% ternyata masih termasuk kategori rendah. Jones (1991) menetapkan kecukupan N, P, dan K untuk tanaman pisang masing-masing sebesar 3,54,5%, 0,2-0,4%, dan 3,8-5,0%.
Tabel 11. Hasil analisa tanaman terkena tsunami di Dusun Purourogat Kecamatan Pagai Selatan. Tahun 2010 Jenis tanaman Kelapa Pisang Talas Mangga
N 1,42 2,63 2,77 0,96
Keragaan tanaman talas yang cukup baik dilapangan menunjukkan bahwa tanaman ini tidak mengalami kekurangan unsur hara N,P, dan K. Kekurangan justru terlihat pada tanaman mangga dengan nilai kecukupan N, P, dan K tanaman ini masingmasing sebesar 1,0-1,5%; 0,08-0,25%; dan 0,4-0,9%. Bila mengacu pada hasil analisa tanaman mangga dan nilai kecukupannya maka kekurangan N dan K di daerah ini. Berdasarkan analisa kimia dan fisika contoh tanah Dusun Puruorogat terungkap bahwa musibah tsunami tidak meninggalkan lumpur laut yang menyebabkan peningkatan salinitas tanah yang dapat meracun tanaman. Warna kuning daun tanaman kelapa dimungkinkan akibat tanaman kekurangan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Jenis pengamatan (%) P 0,15 0,31 0,39 0,11
K 0,23 0,46 0,32 0,02
N dan serangan Cescopora yang melanda 30% dari areal pertanaman kelapa daerah ini. Kerusakan tanaman yang terkena musibah tsunami hanya menyebabkan kerusakan fisik tanaman akibat gelomang besar tsunami. 3.3 Kerusakan Lahan Dusun Surat Aban Surat Aban merupakan dusun yang paling ujung selatan dari Pulau Pagai Selatan dan termasuk dusun yang mengalami kerusakan yang cukup besar. Hasil pengamatan penampang vertikal (transek) dari dusun Surat Aban terungkap bahwa 0-100 meter dari pinggir laut merupakan areal perkebunan kelapa rakyat dengan tinggi tempat berkisar dari 5-6 meter dari muka laut. Areal persawahan pada jarak 126
100-140 meter terbentuk dari lahan rawa dan diikuti areal perkebunan kelapa dan kebun
SI
Laut ============ Jarak dari laut Tinggi tempat Tekstur Kedalam solum tanah Salinitas Kesuburan tanah Vegetasi pra stunami
campuran yang terkena tsunami mencapai 700 meter dari pinggir laut. .
S II
S III
0-100 meter
100-140 meter
140-650 meter
5-6 meter dari muka laut Pasir 1-30 C m
4- 5 meter dari 6-10 m dari muka laut muka la ut Pasir Liat berpasir 40-60 C m >60 C m
Sedang Rendah Tanaman kelapa
Ringan Rendah Sawah
Ringan -sedang-tinggi Sedang Tanaman kelapa dan kebun campuran
Gambar 2. Transek areal pertanian dan pemukiman Dusun Surat Aban Kecamatan Pagai Selatan Pada lokasi Sarat Aban tingkat salinitas beragam dari rendah sampai tinggi. Pada jarak 0 – 200 meter dari tepi pantai dalam katagori ringan, sedangkan pada jarak 250 – 450 meter dan 500 – 600 meter dari pantai masuk dalam katagori sedang, dan pada titik 450 – 500 meter dan 600 – 650 meter termasuk pada kategori tinggi. Tingkat salinitas kategori ringan pada jarak 200 meter di Dusun Surat Aban sejalan dengan tekstur tanah berpasir dengan ketebalan 40 cm dan lapisan bawahnya berkarang. Proses pencucian akibat curah hujan yang tinggi setelah tsunami memungkinkan terjadinya penurunan kadar garam dalam sistem tanah ini. Namun secara umum pengaruh salinitas pada areal pertanian di daerah musibah tsunami tidak Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
menghambat pertumbuhan tanaman secara signifikan, terutama untuk tanaman kelapa dan padi sawah yang lebih toleran terhadap tingkat salinitas dalam tanah daerah ini. Menurut Makarim,Pane,dan Setyono (2005) penurunan hasil padi semakin banyak bila ECe lebih dari 4 mmho/cm seiring dengan meningkatnya kadar garam. Kerusakan oleh garam bisa disebabkan oleh tekanan osmosis, pengaruh ion-ion tertentu, antagonisme antar ion, keracunan yang disebabkan ionion yang lepas dari komplek pertukaran, dan pengaruh aktivitas ion-ion.
127
Tabel 12. Hasil pengamatan salinitas pada berbagai jarak dari pantai di Dusun Surat Aban Kecamatan Pagai Selatan. Tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kedalaman 0 – 35 Cm (dS/m) 0.13 0.13 1.63 1.74 1.41 1.32 1.47 2.09 1.89 1.86 1.93
30 – 150 (dS/m) 0.23 0.19 1.66 1.71 1.40 1.32 1.44 2.04 1.88 1.83 1.94
Reaksi tanah (pH) pada areal persawahan masing-masing sebesar 7.19 (pH H2O) dan 6.50 (pH KCL) yang termasuk kategori tinggi. Meskipun tanah ini bereaksi basa namun akan mengarah pada netral bila tanah sawah digenangi dan tidak menganggu pertumbuhan tanaman padi (Ponanamperuma, 1978). Selanjutnya, kandungan C organik tanah sawah (3.20) dinilai tinggi dan harus dipertahankan minimal pada nilai 2%. Nilai C organik tanah sawah yang tinggi ini sejalan dengan kandungan N-total tanah sebesar 0,87% yang juga dinilai sangat tinggi, sedangkan nisbah C/N tanah sawah 3.68 dinilai sangat rendah. Kondisi yang sangat rendah terlihat
Tingkat Salinitas Ringan Ringan Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Tinggi
Jarak dari Pantai ( Meter) 0-100 100 – 200 200 – 250 250 - 300 300 - 350 350 - 400 400 - 450 450 - 500 500 - 550 550 - 600 600 - 650
pada unsur Fosfor tersedia ekstraksi Olsen semua contoh tanah sawah Dusun Surat Aban termasuk kategori sangat rendah. Hasil analisa unsur K (0,57 Cmol/ kg), Ca (3,15 me/100 gr), Mg (5,42 me/100gr), dan Na (2,78 Cmol/ Kg) masingmasing sebesar kategori sedang, rendah, dan tinggi. Namun nilai KTK tanah ini 15,39 Cmol/kg termasuk sangat rendah yang mengindikasikan rendahnya kemampuan menjerap dan melepaskan unsur hara dalam sistem tanah. Selanjutnya, kandungan Fe dan Mn tanah yang sangat tinggi kurang menguntungkan bagi pertumbuhan padi bila tanah sawah ini tergenang terus menerus.
Tabel 13. Hasil pengamatan salinitas pada berbagai jarak dari pantai di Dusun Surat Aban Kecamatan Pagai Selatan. Tahun 2010 Jenis Pengamatan pH (H2O) pH (KCl) C-organik (%) N-total (%) C/N P2O5 Ekstrak Olsen (ppm) K-dd (Cmol/kg) Na-dd (Cmol/kg) KTK-dd (Cmol/kg) Al-dd (Cmol/kg) H-dd (Cmol/kg) Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Nilai
Keterangan1)
7,19 6,50 3,20 0,87 3,68 2,83 0,57 2,78 15,39 0,0 0,2
Tinggi Tinggi Tinggi Sangat tinggi Rendah Sangat rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Sangat rendah Sangat rendah 128
Jenis Pengamatan Ca Mg Cu Zn Mn Fe
Ekstrak NH4Oac pH 7 (me/100 gr) Ekstrak NH4Oac pH 7 (me/100 gr) Ekstrak 0,1 N HCl (ppm) Ekstrak 0,1 N HCl (ppm) Ekstrak 0,1 N HCl (ppm) Ekstrak 0,1 N HCl (ppm)
Nilai
Keterangan1)
3,15 5,42 23 15 32 79
Rendah Tinggi Sedang Sedang Sangat tinggi Sangat tinggi
Keterangan: 1) Faperta Unand Padang (1979)
Nisbah Ca/K tanah sebesar 4,5 lebih sempit dibandingkan nisbah Ca/K ideal (13,5/1), sehingga pupuk K sedikit dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman padi. Hal ini ditunjukkan K-dd tanah pada 0,57 Cmol/kg yang termasuk kategori sedang. Nisbah Ca/Mg contoh tanah lebih sempit dibandingkan nisbah Ca/Mg ideal (6,5/1).
Nampaknya pemberian pupuk Mg tidak dibutuhkan bila mempedomani Mg tanah ini termasuk kategori tinggi dengan batas kritis 0,50 Cmol/kg. Selanjutnya, Nisbah Mg/K (nilai 9,51) lebih lebar dari nisbah Mg/K ideal (2/1) memperlihatkan daerah ini tidak memerlukan pupuk K dalam jumlah besar.
Tabel 14. Hasil analisa jaringan tanaman pasca tsunami di Dusun Surat Aban Kecamatan Pagai Selatan. Tahun 2010 Jenis Pengamatan (%) N P Kelapa1) 0,09 0,26 Kelapa 1,56 0,18 Padi 2,73 0,33 Talas 2,49 0,26 Keterangan:1) Areal perkebunan Kelapa yang berwarna kuning di lapangan Jenis tanaman
Hasil analisa jaringan tanaman kelapa yang menunjukkan kadar N, P, dan K tanaman masing-masing sebesar 0,09; 0,26; dan 0,48%. Bila mempedomani batas kritis N (1,7%), P (0,25%), dan K (0,45%) maka terlihat bahwa N tanaman kelapa yang daunnya berwarna kuning jauh dibawah batas kritisnya. Hasil analisis N tanaman kelapa yang daunnya tidak berwarna kuning masing-masing sebesar 1,56 tidak berbeda jauh dari batas kritis N, sedangkan P dan K tanaman kelapa yang daunnya berwarna kuning jauh lebih rendah dari batas kritisnya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa musibah tsunami mengakibatkan kerusakan tanaman kelapa secara fisik bukan karena kimia Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
K 0,45 0,08 0,44 0,40
tanah. Hasil analisa N, P, dan K tanaman padi masing-masing sebesar 2,73; 0,33; dan 0,44%. Nilai hasil analisis tanaman padi ini menunjukkan permasalahan kekurangan unsur hara makro ini hanya terlihat pada K tanaman dengan batas kecukupan 0,80,9%. Selanjutnya, hasil analisa N, P, dan K tanaman talas yang kena musibah tsunami secara berturut-turut sebesar 2,49; 0,26; dan 0,40% termasuk batas cukup bagi pertumbuhan tanaman ini untuk berproduksi baik. Secara umum, hasil analisis hara tanaman pada daerah pertanian Dusun Surat Aban mengindikasikan kekurangan kalium sebagaimana yang terjadi juga di Dusun 129
Purorogat. Sedangkan dampak tsunami tidak terjadi terhadap sifat fisk dan kimia tanah daerah pertanian ini. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil studi kasus musibah gempa dan stunami ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Gempa yang diikuti tsunami menyebabkan kerusakan yang luas terhadap usaha pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan. Kerusakan yang paling besar terjadi pada areal perkebunan kelapa rakyat sebagai komoditas andalan masyarakat yang berada pada wilayah pesisir dalam jarak 0-750 meter dari garis pantai dengan tinggi tempat 0-14 meter dari permukaan laut. (2) Tingkat salinitas tanah dalam waktu 1 bulan setelah stunami umumnya sedang dan rendah serta tidak terlihat adanya endapat lumpur laut di permukaan tanah. Menurunnya masalah salinitas secara nyata disebabkan tingginya curah hujan, tekstur agak kasar, dan kondisi fisografi daerah yang memungkinkan percepatan pencucian garam. (3) Tingkat kesuburan tanah sepanjang wilayah pesisir Kepulauan Mentawai umumnya termasuk kategori rendah yang ditandai kekurangan unsur hara makro, terutama N dan K yang sangat luas di daerah ini. Kekurangan unsur hara ini bagi tanaman sejalan dengan hasil analisa tanah dan tanaman pasca tsunami. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Rekomendasi Dari hasil studi kasus musibah gempa dan tsunami ditetapkan beberapa saran sebagai berikut: (1) Relokasi kawasan pemukiman dan areal pertanian tanaman pangan perlu diarahkan pada kawasan yang berjarak lebih dari 750 meter dari pinggir laut atau pada daerah dengan tinggi tempat diatas 14 meter dari permukaan laut. Sedangkan kawasan sepanjang pantai yang berjarak kurang dari 750 meter dimanfaatkan untuk areal pertanaman kelapa dan bakau. (2) Penanaman kembali tanaman kelapa sebagai komoditas unggulan utama daerah ini membutuhkan pemilihan benih unggul dan teknik pembibitannya. Untuk itu, peran dan bantuan breeder kelapa untuk menseleksi pohon induk unggul lokal guna menghasilkan tanaman memiliki produktifitas tinggi pada tingkat petani. (3) Pewilayahan komoditas pada kawasan yang rawan bencana ini yang menguntungkan secara ekonomis dengan mempertimbangkan kondisi sosial budaya lokal dan mempunyai kemampuan dalam meminimalkan dampak bencana tsunami (4) Kegiatan Demfarm yang terintegrasi disertai penguatan penyuluhan perlu dibangun guna mempercepat inovasi teknologi pada tingkat petani
130
DAFTAR PUSTAKA Agus, F. dan IGM. Subiksa. 2005. Status Hara Tanah Terpengaruh Lumpur Tsunami dan Implikasi Pengelolaannya. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Desember Padang.
2010.
PKS
Kota
Badan Pusat Statitik. 2008. Survey Ekonomi Nasional 2008. BPS Jakarta.
Puslitbangtanak. 2005. Delineasi tingkat kerusakan serta pengembangan teknologi rehabilitasi lahan pertanian pasca tsunami di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Rapim Badan Litbang Pertanian.
Bappeda Kepulauan Mentawai dan BPS Mentawai 2010. Kepulauan Mentawai dalam angka 2009. Bappeda Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Ponanamperuma, F.N. 1978. Electrochemical Changes in Submerged Soilsand Growth of Rice. In Soils and Rice. IRRI., Los Banos, Laguna, Philippines: p 421-441.
Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2007. Sumatera Barat. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Periode 20072012. Marine & Coastal Resources Management Project, ADB Loan 1770-INO(SF).
R.S. Ayers and D.W. Westcot. 1976. Water Quality for Agriculture Organization of the United Nation Rome. Westerman, R. L. 1990. Soil Testing and Plant Analysis. Third Edition. Soil Science Society of America, Inc. Madison, Wisconsin, USA. 784 p.
Emzalmi. 2010. Menuju Kota Padang yang Siaga Bencana. Disampaikan pada Seminar Imitigasi Bencana Tsunami Sumbar, tanggal 12 Desember 2010. PKS Kota Padang. Fakultas Pertanian Unand Padang. 1979. Survey tanah dan kesesuaian lahan untuk Kebun Percobaan Balittan Sukarami. Kerjasama Balittan Sukarami dan Faperta Unand Padang Las, I., A.K. Makarim, H. Pane, A. Setyono. 2005. Budidaya padi pada lahan rusak ringan-sedang akibat tsunami. Buku Panduan. Balai Penelitian Tanaman Padi. Mustafa, B. 2010. Bencana Gempa dan Permasalahannya. Disampaikan pada Seminar Imitigasi Bencana Tsunami Sumbar, tanggal 12 Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
131
STRATEGI PENINGKATAN JARINGAN JALAN DI KOTA PADANG PANJANG TAHUN 2014 DAN 2019 Momon Peneliti Pertama Bidang Penelitian dan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Barat Jl. Khatib Sulaiman No. 1 Padang Email :
[email protected] &
[email protected] Naskah masuk : 20 November 2013
Naskah diterima : 2 Desember 2013
STRATEGY OF IMPROVEMENT ROAD NETWORK IN PADANG PANJANG FOR THE YEAR 2014 DAN 2019 Abstract The purpose of this study was to look at the performance of the road network in 2014 and 2019 and carry out management strategies to improve the performance of the road network in the plan. The study uses secondary data to build a road network modeling and loading process is carried out using the User Equilibrium. Prior to the imposition of first tested the validity and calibration performed using statistical test methods Paired Sample t test. From the analysis it can be concluded that the strategy 1 and 2 to improve network performance with marked decreases derngan road sections were jammed by 30.4% and 34.78. While Strategy 3 (three), improvement of the road network performance are characterized by significant reduction in road sections are jammed at 100%. Key Word : Transportation Model, Traffic Assigment, Cube Base Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kinerja jaringan jalan tahun 2014 dan 2019 dan melakukan strategi-strategi penanganan untuk meningkatkan kinerja jaringan jalan pada tahun 2019. Penelitian menggunakan data sekunder untuk membangun pemodelan jaringan jalan dan dilakukan proses pembebanan dengan menggunakan metode User Equilibrium. Uji validitas dan kalibrasi pemodelan dengan menggunakan uji statistik metode Paired Sample t test telah memenuhi persyaratan. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa Strategi 1 (satu) dan 2 (dua) dapat meningkatkan kinerja jaringan dengan ditandai dengan berkurang ruas-ruas jalan yang macet sebesar 30,4% dan 34,78. Sedangkan Strategi 3 (tiga), peningkatan kinerja jaringan jalan cukup signifikan yang ditandai dengan berkurangnya ruas-ruas jalan yang macet sebesar 100%. Kata Kunci : Pemodelan Transportasi, Pembebanan Jaringan Jalan, Cube Base
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
132
PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan dan Perkembangan kota adalah dua hal yang berbeda. Pertumbuhan kota mempunyai penekanan pada peningkatan kuantitas unsur fisik kota seperti peningkatan luas daerah budidaya, luas daerah terbangun, jumlah unit bangunan, kelengkapan infrastruktur kota, dan sebagainya. Sedangkan perkembangan kota mempunyai dimensi yang lebih luas dari pertumbuhan kota. Perkembangan kota menyangkut aspek yang bukan saja dalam hal peningkatan kuantitas fisik, tetapi juga menyangkut kompleksitas masalah sosial, dinamika kependudukan, dan ekonomi, yang lebih bersifat kualitatif. Kota Padang Panjang merupakan salah satu kota perlintasan yang berada di Propinsi Sumatera Barat yang menghubungkan antara Kota Padang, Kota Bukittinggi dan kota-kota lainnya di Sumatera Barat. Menurut data Sumatera Barat Dalam Angka (2009), Kota Padang Panjang mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan jumlah penduduk meningkat dari tahun 2006 sebesar 50.279 jiwa menjadi 54.218 jiwa pada tahun 2008. Semakin berkembang suatu kota, tentu saja tingkat aktivitasnya semakin tinggi dan akan mempengaruhi permintaan akan transportasi untuk memobilisasi masyarakat. Kebutuhan mobilisasi ini membutuhkan prasarana transportasi berupa jaringan jalan dan moda angkutan. Didalam data Kota Padang Panjang Dalam Angka (2009), terjadi peningkatan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor dari tahun Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
2005 sampai dengan 2008, yaitu pada tahun 2005 sebesar 4.908 kendaraan bermotor meningkat menjadi 7.636 kendaraan bermotor tahun 2008, sedangkan prosentase rata rata pertumbuhan kendaraan bermotor setiap tahun di Kota Padang Panjang sebesar 10.27%. Pertumbuhan kendaraan bermotor tidak diiringi dengan peningkatan prasarana jalan, ini terlihat dari data survei PKL Taruna STTD Bekasi (2009), dimana panjang jalan pada tahun 2006 sampai dengan 2008 masih sepanjang 55.02 km. Jika ini dibiarkan terus menerus akan menyebabkan menurunnya tingkat pelayanan jalan terutama pada jam-jam sibuk pagi, siang dan sore hari. Penurunan tingkat pelayanan jaringan jalan antara lain ditunjukkan dengan penurunan kecepatan operasi kendaraan, kemacetan pada kawasan-kawasan tarikan perjalanan Jika permintaan akan transportasi ini tidak didukung oleh prasarana atau sistem jaringan jalan yang memadai tidaklah mustahil suatu hari nanti terjadi penurunan kinerja jalan sehingga menimbulkan masalah yang mengganggu kelancaran lalu lintas. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan akan datang dimana kebijakan tersebut dapat memberikan peningkatan kinerja jaringan dan juga meningkatkan aksesibilitas masyarakat Berdasarkan hal tersebut diatas perlu dikaji kinerja jaringan jalan Kota Padang Panjang baik tahun dasar maupun tahun rencana yang akan membebani ruas jalan, sehingga diketahui ruas-ruas jalan mana saja yang akan mengalami permasalahan yang ditandai dengan penurunan kapasitas dan kecepatan. Dari hasil evaluasi ini maka peneliti mengembangkan strategi-strategi 133
untuk mengatasi penurunan kinerja jalan pada tahun rencana yang nantinya akan memberikan masukan kepada instansi terkait dalam pengambilan kebijakan manajemen lalulintas dan pembangunan/ perbaikan sarana fisik jalan. Ada penelitian terdahulu sejenis yang membahas tentang Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan (RUJTJ) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2002 yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Barat. Objek dalam penelitian RUJTJ ini adalah jaringan jalan nasional dan jaringan propinsi dengan memodelkannya menggunakan software/program Transplan, sedangkan proses pembebanannya menggunakan metode all or nothing. Output penelitiannya adalah adanya peningkatan dan pembangunun jalan serta melakukan manajemen rekayasa lalu lintas pada jalan nasional dan provinsi pada tahun rencana untuk mengatasi permasalahan kemacetan lalu lintas. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini bertujuan untuk : 1. Melakukan pemodelan transportasi pada tahun dasar di daerah studi; 2. Membuat peramalan transportasi pada tahun 2014 dan 2019; 3. Mengetahui kondisi kinerja jaringan jalan pada tahun 2014 dan 2019; 4. Membuat strategi penanganan manajemen lalu lintas dan pembangunan / perbaikan sarana fisik jalan pada tahun 2019. 5. Memberikan rekomendasi peningkatan jaringan jalan di Kota Padang Panjang Pada Tahun 2019 Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kesesuaian model jaringan jalan yang dibangun pada software Cube dengan Kondisi eksisting lalu lintas. 2. Bagaimana kondisi lalu lintas pada tahun 2014 dan 2019 3. Bagaimana kondisi kinerja jaringan jalan pada tahun 2014 dan 2019 4. Bagaimana kondisi kinerja Jaringan Jalan setelah dilakukan penanganan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas 5. Apa saja rekomendasi yang diusulkan untuk peningkatan jalan di Kota Padang Panjang Pada Tahun 2019. 1. Perencanaan Transportasi Di dalam perencanaan sektor transportasi perlu ada pendekatan umum dalam proses perencanaan, dimana semua faktor yang terkait dianalisis sesuai dengan permasalahan yang ada. Menurut Black (1981), ada beberapa langkah (pendekatan sistem) proses perencanaan yaitu :
134
Menurut Papacostas (1987), transportasi merupakan sebuah fasilitas yang dapat mengatasi hambatan ruang yang dialami manusia dan barang dalam melakukan berbagai aktivitas untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Sedangkan tujuan perencanaan transportasi lebih pada proses prediksi permintaan transportasi dalam menyusun alternatif pemecahan masalah 2.
Pembebanan Lalu Lintas (Traffic Assignment)
Ofyar Z. Tamin (1997), mengemukakan bahwa, ada 4 (empat) metode dalam pembebanan lalu lintas yaitu : a. Metode All-Or- Nothing Metode ini tidak memperdulikan pengaruh kendala kapasitas suatu ruas jalan, Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
apakah ruas jalannya macet atau sebaliknya. Seluruh pengguna jalan (pelaku perjalanan) akan memilih ruas jalan yang jaraknya dekat, waktunya singkat dan ongkosnya murah b. Metode User Equilibrium Pengguna jalan akan memilih ruas jalan yang tingkat kemacetannya rendah serta mempertimbangkan variabel jarak terpendek, waktu tersingkat, ongkos termurah. c. Metode Stokastik Murni Pengguna jalan tidak dipengaruhi sedikitpun oleh kondisi ruas jalan yang macet (kendala kapasitas), sehingga masingmasing individu pelaku perjalanan memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang rute terbaik (jarak pendek, waktu singkat, ongkos termurah). d. Metode Pengguna Stokastik Setiap ruas jalan memiliki peluang sama untuk dipilih pengguna ruas jalan, karena masing-masing pengguna memiliki persepsi yang berbeda-beda (relatif) terhadap rute/ruas jalan yang ongkos perjalanannya murah 3. Kinerja Jalan Didalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, 1997) , menyatakan bahwa ukuran kinerja ruas jalan ditentukan dari beberapa indikator yaitu Kapasitas, Derajat Kejenuhan (v/c ratio) dan kecepatan perjalanan. Didalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, menyatakan untuk mengukur kualitas pelayanan dari ruas jalan adalah dengan 135
menggunakan tingkat pelayanan. parameter ruas jalan tersebut antara lain tingkat pelayanan (V/C Ratio) dan kecepatan.
kuantitatif dengan menggunakan data volume lalu lintas dan OD Matrik hasil obsevasi lapangan siswa PKL STTD Bekasi.
METODOLOGI 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian Pengumpulan Data Sekunder Pembangunan Model
Kinerja Jaringan Jalan Tahun 2014 dan 2019 Strategi Penanganan Indikator : - VC Ratio - Total Kendaraan-Km - Total Kendaraan-Jam - Kecepatan Rata-Rata
Indikator : - VC Ratio - Total Kendaraan-Km - Total Kendaraan-Jam - Kecepatan Rata-Rata
Perbandingan Kesimpulan
Gambar 2. Proses Penelitian
2.
Tempat dan waktu penelitian Lokasi penelitian Perencanaan Peningkatan Jaringan Jalan ini dilakukan di Kota Padang Panjang, Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009 dalam rentang waktu bulan Oktober – Desember tahun 2009. 3. Teknik pengumpulan data Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari hasil survei mahasiswa STTD (sekolah tinggi Transportasi Darat) dan instansi terkait seperti, Dinas Prasarana Jalan, Bappeda.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
4.
Analisa data Analisis menggunakan program Cube versi 4.0.1 produksi Citilabs, UK (1998), untuk membangun model dan melakukan pembebanan jaringan jalan. Untuk kalibrasi peneliti menggunakan uji statistik. Menurut V. Wiratna (2011), untuk melihat ada tidaknya perbedaan rata-rata dua sampel maka dapat menggunakan Paired Sample t test Uji t (untuk dua sampel yang berpasangan). Sedangkan validasi, teknik yang dilakukan adalah dengan cara membandingkan antara pembebanan hasil model dengan volume lalu lintas hasil survai. Ofyar Z. Tamin (1997) menyebutkan jika penyimpangan 136
oleh program Cube versi 4.0.1, sehingga jaringan dan segala atributnya dapat dijadikan data masukan untuk melakukan pemo-delan transportasi.
hasil model < 20 % maka dapat diterima dan digunakan untuk analisis selanjutnya. Untuk Peramalan dilakukan dengan menggunakan metode pertumbuhan geometrik dengan rumus Pt = Po (1 + r)n untuk mendapatkan matrik asal tujuan tahun 2014 dan 2019.
2.
Estimas Matrik Dalam penelitian ini, dilakukan estimasi matriks OD menggunakan metode non konvensional. Metode non konvensional yang digunakan yang dibangkitkan dengan data volume lalulintas (lampiran 1) dengan teknik kalibrasi Metode Kemiripan Maksimum. Estimsi O/D matrik tahun 2009 didapat menggunakan alat bantu Program Cube versi 4.0.1. Hasil estimasi O/D matrik dapat dilihat pada Tabel 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Pembangunan Jaringan Untuk melakukan Estimasi Matrik dan pembebanan lalu lintas dengan program Cube versi 4.0.1 terlebih dahulu diperlukan pembangunan model jaringan jalan. Untuk pembangunan model jaringan jalan, peneliti menggunakan program lain, seperti Arcview yang memilik file type shp. yang dapat dibaca Tabel 1. O/D Matrik Perjalanan (smp/jam) OD
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
oi
1
0
4
34
23
2
7
44
0
0
17
33
1
8
11
3
8
4
1
6
42
7
10
264
2
0
0
3
7
1
5
17
0
0
14
0
0
5
3
2
3
2
1
5
0
1
2
72
3
5
17
0
22
55
33
0
0
0
4
33
0
25
6
7
2
2
0
6
10
9
3
239
4
1
10
36
0
7
11
24
0
0
52
0
1
26
12
4
22
1
0
3
49
4
15
278
5
11
0
1
0
0
1
35
9
45
71
24
0
8
0
0
37
1
0
0
6
5
20
277
6
13
0
0
0
0
0
0
0
0
1
37
0
0
0
0
1
0
0
0
3
0
1
58
7
8
33
0
54
23
9
0
0
0
8
55
1
17
1
0
1
1
0
0
17
14
3
246
8
2
0
3
0
14
1
8
0
1
35
0
60
0
27
3
9
0
0
7
2
17
35
223
9
3
0
3
0
45
0
0
0
0
82
1
127
0
1
1
1
3
0
1
10
12
1
292
10
43
2
5
13
3
21
0
18
43
0
15
0
0
20
2
1
2
2
4
1
1
0
196
11
44
1
11
11
6
16
1
0
0
32
0
1
1
14
4
7
10
2
13
14
12
12
211
12
0
0
0
2
0
1
0
31
149
5
16
0
0
1
0
1
0
0
0
20
0
1
229
13
9
5
41
75
0
37
0
0
0
1
0
0
0
3
7
0
2
126
38
1
3
1
348
14
91
0
1
0
0
3
0
22
0
0
0
4
3
0
44
4
22
0
0
20
5
19
237
15
23
0
0
0
0
0
0
1
4
4
0
1
1
1
0
1
0
0
2
9
110
2
159
16
30
2
5
11
5
7
0
7
9
2
25
0
0
16
5
0
1
1
4
1
1
19
151
17
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
13
0
8
1
0
0
0
39
0
1
0
1
66
18
4
0
0
0
0
0
0
1
4
1
9
0
83
0
1
0
0
0
0
1
22
0
125
19
90
0
1
0
0
0
0
0
0
2
0
0
46
0
0
0
0
2
0
0
0
0
141
20
91
4
2
17
1
0
4
1
3
3
32
31
0
35
19
1
5
8
12
0
199
118
584
21
44
0
0
0
3
0
15
0
0
0
12
0
8
187
0
0
0
0
9
119
0
99
496
22
43
0
10
6
6
25
0
12
19
1
18
0
0
22
9
26
3
3
27
113
70
0
413
dd
557
80
156
242
170
178
148
102
277
334
324
228
238
362
110
126
59
183
137
439
491
361
5303
Sumber : Hasil Analisa
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
137
Dari data estimasi O/D matrik dilakukan pembebanan lalu lintas untuk melihat kondisi eksisting tahun 2009. 3. Output Model Pembebanan Lalu Lintas Kondisi Eksisting Tahun 2009 Hasil pembebanan lalu lintas dengan menggunakan metode user equilibrium menunjukkan tidak terlihat ruas-ruas jalan
yang mengalami kepadatan atau kemacetan lalu lintas. Umumnya seluruh ruas jalan di Kota Padang Panjang derajat kejenuhannya dibawah 0,75. Ruas jalan yang memiliki derajat kejenuhan (v/c ratio) yang paling tinggi adalah Jalan Sudirman 3 dengan derajat kejenuhan (v/c ratio) adalah 0,53 Untuk Analisis kinerja jaringan jalan Kota Padang Panjang dapat dilihat pada tabel 2:
Tabel 2 : Kinerja Jaringan Jalan Kondisi Eksisting No
Indikator Jaringan Jalan
1 Panjang Perjalanan 2 Waktu Perjalanan 3 Kecepatan rata-rata 4 VCR > 0,85 Sumber : Hasil Analisa
Dari tabel 2 menujukkan bahwa panjang perjalanan seluruh yang membebani Kota Padang Panjang adalah 18.260,71 kendkm dengan waktu perjalanan sebesar 509,60 kend-jam. Kecepatan rata – rata jaringan jalan adalah sebesar 35.85 km/jam serta vc ratio diatas 0,85 sama dengan 0 4.
Pembebanan Lalu Lintas Tahun 2014 Untuk mendapatkan kondisi kinerja ruas jalan di Kota Padang Panjang tahun
Satuan
Nilai
kend-km kend-jam km/jam -
18.260,71 509,60 35,85 0
2014 maka dilakukan pembebanan lalu lintas dengan memasukan data O/D Matrik tahun 2014 yang didapat dari hasil proyeksi. Data O/D Matrik didapat dari data proyeksi dengan menggunakan formula pertumbuhan geomerik dengan asumsi pertumbuhan kendaraan bermotor 10.27 untuk semua jenis kendaraan. Dari hasil pembebanan, maka terlihat beberapa ruas jalan mengalami penurunan antara lain :
Tabel 3 : Kinerja Ruas Jalan Kondisi Tahun 2014
1 2 3 4
Ruas Jalan Dari Ke 191 193 125 128 132 133 182 191
5
112
No
114
V/C Ratio
Tingkat Pelayanan
Kondisi
Jl. Bukit Kandung 3 Jl. Sudirman 1 Jl. Sudirman 3 Jl. Bukit Kandung 2
0.76 0.78 0.83 0.88
D D D E
Padat Padat Padat Padat Merayap
Jl. St. Syahrir 1
0.93
E
Padat Merayap
Nama Jalan
Sumber : Hasil Analisa
Sedangkan analisis kinerja jaringan jalan dari output program Cube dapat juga
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
dilihat pada tabel 4:
138
Tabel 4 : Kinerja Jaringan Jalan Tahun 2014 No 1 2 3 4
Indikator Jaringan Jalan Panjang Perjalanan Waktu Perjalanan Kecepatan rata-rata VCR > 0,85
Satuan kend-km kend-jam km/jam -
Nilai 24,967.24 697.34 35.80 2
Sumber : Hasil Analisa
Dari tabel 4 menunjukkan bahwa panjang perjalanan seluruh yang membebani Kota Padang Panjang adalah 24.967,24 kendkm dengan waktu perjalanan sebesar 697,34 kend-jam. Kecepatan rata – rata jaringan jalan adalah sebesar 35.80 km/jam, serta vc ratio diatas 0,85 adalah 2 (yaitu) ruas jalan Jl. Bukit Kandung 2 dan Jl. St. Syahrir 1 4.
Pembebanan Lalu Lintas Tahun 2019 Untuk mendapatkan kondisi kinerja
ruas jalan di Kota Padang Panjang tahun 2019 maka dilakukan pembebanan lalu lintas dengan memasukan data O/D Matrik tahun 2019 yang didapat dari hasil proyeksi. Data O/D Matrik didapat dari data proyeksi dengan menggunakan formula pertumbuhan geomerik dengan asumsi pertumbuhan kendaraan bermotor 10.27 untuk semua jenis kendaraan. Dari hasil pembebanan, maka terlihat beberapa ruas jalan mengalami penurunan antara lain :
Tabel 5. Kinerja Ruas Jalan Tahun 2019 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Ruas Jalan Dari Ke 103 112 148 133 119 120 119 115 115 119 167 170 159 155 170 167 114 116 155 148 123 116 196 198 191 193 123 125 132 128 159 167 116 114 128 132 167 159 125 128 182 191 132 133 112 114
Nama Jalan Jl. Sutan Syahrir 2 Jl. Sudirman 4 Jl. Anas Karim 2 Jl. Rasuna Said 1 Jl. Rasuna Said 1 Jl. Sudirman 9 Jl. Sudirman 7 Jl. Sudirman 9 Jl. M. Yamin 3 Jl. Sudirman 6 Jl. M. Yamin 2 Jl. Raya Pd. Panjang 3 Jl. Bukit Kandung 3 Jl. M. Yamin 1 Jl. Sudirman 2 Jl. Sudirman 8 Jl. M. Yamin 3 Jl. Sudirman 2 Jl. Sudirman 8 Jl. Sudirman 1 Jl. Bukit Kandung 2 Jl. Sudirman 3 Jl. St. Syahrir 1
VC Ratio 0.86 0.88 0.89 0.91 0.92 0.95 0.97 0.98 0.98 0.99 1.01 1.02 1.03 1.04 1.04 1.05 1.05 1.07 1.09 1.14 1.22 1.22 1.23
Tingkat Pelayanan E E E E E E E E E E F F F F F F F F F F F F F
Kondisi Padat Merayap Padat Merayap Padat Merayap Padat Merayap Padat Merayap Padat Merayap Padat Merayap Padat Merayap Padat Merayap Padat Merayap Macet Macet Macet Macet Macet Macet Macet Macet Macet Macet Macet Macet Macet
Sumber : Hasil Analisa Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
139
Sedangkan analisis kinerja jaringan jalan dari output program Cube dapat juga dilihat
pada tabel 6 :
Tabel 6 : Kinerja Jaringan Jalan Tahun 2019 No
Indikator Jaringan Jalan
1 Panjang Perjalanan 2 Waktu Perjalanan 3 Kecepatan rata-rata 5 VCR > 0.85 Sumber : Hasil Analisa
Satuan kend-km kend-jam km/jam -
Dari tabel 6 menunjukkan bahwa panjang perjalanan seluruh yang membebani Kota Padang Panjang adalah 41.523,75 kend-km dengan waktu perjalanan sebesar 1.195,08 kend-jam. Kecepatan rata – rata jaringan jalan adalah sebesar 34.75 km/jam serta vc ratio yang diatas 0,85 adalah 23 ruas jalan yang terlihat pada tabel 4. 6. Strategi Penanganan Dari hasil proyeksi lalu lintas pada tahun rencana terdapat permasalahanpermasalahan dibeberapa ruas jalan yang ditandai dengan adanya penurunan kinerja jaringan jalan tahun 2014 dan 2019. Dan yang paling signifikan sekali penurunan kinerja ruas jalan adalah pada tahun 2019,
Nilai 41.523.75 1.195.08 34,75 23
karena pada tahun tersebut ruas jalan yang kondisinya macet (vc ratio > 1,00) sebesar 6 % atau 13 ruas jalan dari seluruh ruas jalan yang ada dan juga ruas jalan yang kondisinya mulai padat merayap (vc ratio 0,85 – 1,00) sebesar 5 % atau 10 ruas jalan dari seluruh ruas jalan yang ada. Dari permasalahan ini, peneliti hanya melakukan strategi penanganan pada tahun 2019 yang nantinya dijadikan pengambilan keputusan dalam menyelesaikan permasalahan transportasi di Kota Padang Panjang . Strategi yang dilakukan dalam penanganan permasalahan lalu lintas di Kota Padang Panjang dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini :
Tabel 7 : Strategi Pemecahan Masalah No
Uraian
1
Strategi 1
2
Strategi 2
3
Strategi 3
Upaya pemecahan masalah Penerapan Sistem Satu Arah (SSA) : Jl. Hamid Hakim 1, Rahman El Yunusiah, M. Yamin 1, M. Yamin 2, Sudirman 1, Sudirman 2, Sudirman 3, M. Syafei. 1. Penerapan Sistem Satu Arah (SSA) : Jl. Hamid Hakim 1, Rahman El Yunusiah, M. Yamin 1, M. Yamin 2, Sudirman 1, Sudirman 2, Sudirman 3, M. Syafei. 2. Penambahan Lebar Efektif Jalan, selebar 2 meter di Ruas Jalan Imam Bonjol 1 1. Penerapan Sistem Satu Arah (SSA) : Jl. Hamid Hakim 1, Rahman El Yunusiah, M. Yamin 1, M. Yamin 2, Sudirman 1, Sudirman 2, Sudirman 3, M. Syafei 2. Penambahan Lebar Efektif Jalan, selebar 2 meter di Ruas Jalan Imam Bonjol 1 3. Pelebaran Jalan. (Tabel 8)
Sumber : Hasil Analisa
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
140
Tabel 8 : Pelebaran Ruas Jalan Ruas Jalan Dari Ke 1 119 120 2 182 191 3 191 193 4 123 125 5 116 114 6 115 119 7 196 198 8 159 155 9 159 167 10 167 170 11 112 114 12 103 112 Sumber : Hasil Analisa No.
Nama Jalan Jl. Anas Karim 2 Jl. Bukit Kandung 2 Jl. Bukit Kandung 3 Jl. M. Yamin 1 Jl. M. Yamin 3 Jl. Rasuna Said 1 Jl. Raya Pd. Panjang 3 Jl. Sudirman 7 Jl. Sudirman 8 Jl. Sudirman 9 Jl. Sutan Syahrir 1 Jl. Sutan Syahrir 2
Dari hasil pembebanan jaringan jalan dengan memasukan ke-3 (tiga) strategi
Lebar Jalan Sebelum (meter)
Lebar Jalan Sesudah (meter)
6 6 6 9.5 7 5 6 7 7 7 8.4 9.5
7 10 10 12 10 7 9 10 10 10 12 11
pada tabel 7 diatas, diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 9 : Perbandingan Presentasi VC Ratio Tahun 2009 2014 2019 2019
Keterangan Kondisi Eksisting Kondisi 2014 Kondisi 2019 Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3
Lancar (0,00 - 0,74) 100 97.67 86.98 86.47 87.92 90.34
Presentase Nilai VC Ratio Padat Padat Merayap (0,75 - 0,84) (0,85 - 1,00) 0 0 1.40 0.93 2.33 4.65 5.80 3.86 4.83 3.86 9.66 0.00
Macet (> 1,00) 0 0.00 6.05 3.86 3.38 0.00
Sumber : Hasil Analisa
Dari tabel 9 diatas terlihat bahwa pada kondisi 2014 belum terjadi kemacetan lalu lintas, hanya beberapa ruas terjadi peningkatan vc ratio 0,85 – 1,00 sebesar 0,93%, namun pada kondisi 2019 terjadi kemacetan (vc ratio > 1,00) di bebarapa ruas jalan sebesar 6,05% atau 13 ruas jalan dibandingkan dengan tahun 2014. Peningkatan vc ratio di beberapa ruas jalan pada tahun 2019 mulai menurun ketika dilakukan beberapa strategi penanganan. Pada Strategi 1 (satu) tahun 2019, hasil pembebanan lalu lintas menunjukkan bahwa terjadinya penurunan kemacetan lalu lintas dari 6,05% (tahun 2019) menjadi 3,86% Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
atau terjadi peningkatan kinerja sebesar 2.19% dari kondisi tahun 2019, begitu juga pada ruas jalan kondisinya padat merayap terjadi penurunan dari 4,65% (tahun 2019) menjadi 3,86% atau terjadi peningkatan kinerja sebesar 0.79% dari kondisi tahun 2019 Pada strategi 2 (dua) tahun 2019, berdasarkan hasil pembebanan lalu lintas, sedikit terjadi penurunan kemacetan lalu lintas dari 3,86% menjadi 3,38% atau terjadi peningkatan kinerja sebesar 0,48% dari strategi 1. Jika dibandingkan dengan kondisi 2019, penurunan kemacetan lalu lintas dari 6,05% menjadi 3,38% atau terjadi 141
peningkatan kinerja sebesar 2,67% dari kondisi tahun 2019. Sedangkan untuk strategi 3 tahun 2019, kemacetan di beberapa ruas jalan tidak terjadi lagi, begitu juga dengan ruas jalan yang padat merayap. Penurunan kemacetan tersebut dari 3,38% menjadi 0,00% atau terjadi peningkatan kinerja sebesar 3,38% dari strategi 2 atau 6,05% dari kondisi tahun 2019.
menyeluruh dari upaya penanganan lalu lintas, tidak hanya dapat dilihat dari indikator kinerja ruas jalan. Akan tetapi juga perlu dilihat dari perbandingan indikator kinerja jaringan jalan kondisi eksisting dan kondisi setelah dilakukan penanganan: Adapun perbandingan kinerja jaringan jalan kondisi eksisting dengan kondisi setelah dilakukan penanganan dapat dilihat pada tabel 10 dibawah ini :
7. Perbandingan Kinerja Jaringan Jalan Untuk mendapatkan gambaran Tabel 10. Perbandingan Kinerja Jaringan Jalan Strategi 1, 2, 3.. Tahun 2019
No
Indikator Jaringan Jalan
Satuan
Tahun 2019
Nilai
Selisih
%
Nilai
Selisih
%
Nilai
Selisih
1
Panjang Perjalanan
kend-km
41,523.75
42,001.98
478.23
1.15
42,001.02
477.27
1.15
41,992.22
468.47
1.12
2
Waktu Perjalanan
kend-jam
1,195.08
1,213.69
18.61
1.56
1,213.67
18.59
1.56
1,176.20
- 18.88
- 1.56
3
Kecepatan ratarata
km/jam
34.75
34.61
-0.14
-0.40
34.64
- 0.11
-0.32
35.7
0.95
2.74
5
VCR > 0.85
-
23
16
-7
-30.4
15
- 8.00
-34.78
0
- 23.00
100.00
6
Perubahan Fisik Jalan dan Dampaknya
Strategi1
Tidak ada
Dari hasil perbandingan kinerja jaringan jalan di atas, dapat dilihat bahwa upaya penanganan dengan melakukan manajemen lalu lintas dan perubahan fisik jalan memberikan kontribusi terhadap peningkatan kinerja jaringan. Peningkatan kinerja jaringan jalan di indikasikan dari ruas jalan yang vc rationya diatas 0,85 sudah mulai menurun dengan perbandingan persentase untuk strategi 1 (satu) turun sebesar 30,4%, strategi 2 (dua), turun sebesar 34,78 dan strategi 3 (tiga) turun sebesar 100% dari kondisi eksisting, Sedangkan untuk kecepatan rata-rata kendaraan mengalami fluktuasi di beberapa strategi. Presentase kenaikan dan penurunan kecepatan rataJurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Strategi2
Tidak ada
Strategi 3 %
Ada Dampak: - Pengurangan lebar trotoar - Penyediaan anggaran untuk pembebasan lahan
rata dapat dilihat bahwa strategi 1 (satu), kecepatan rata-rata kendaraannya turun 0,40% (dari 34,75 km/jam ke 34,61 km/ jam), strategi 2 (dua), kecepatan rata-rata kendaraannya turun 0,32% (dari 34,75 km/ jam ke 34,64 km/jam), sedangkan strategi 3 (tiga), kecepatan rata-rata kendaraannya naik sebesar 2,74% (dari 34,75 km/jam ke 35,7 km/jam) bila dibandingkan kondisi eksisting. Dari beberapa strategi yang dilakukan diatas, terbukti bahwa strategi 3 (tiga) lebih baik dari strategi lainnya, tetapi dampaknya adalah terjadi pengurangan lebar trotoar dan penyediaan anggaran untuk pembebasan lahan. 142
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan data-data yang diperoleh serta analisis penelitian dan pembahasan mengenai perencanaan peningkatan kinerja jaringan jalan tahun 2014 dan tahun 2019, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu sebagai berikut: a. Berdasarkan Uji validitas dan kalibrasi pemodelan dengan menggunakan uji statistik metode Paired Sample t test telah memenuhi persyaratan untuk dilakukan proses peramalan dan pembebanan jaringan jalan b. Berdasarkan hasil analisis pembebanan lalu lintas pada jaringan jalan di Kota Padang Panjang dengan menggunakan program Cube, menunjukkan bahwa pada tahun 2009 dan tahun 2014, kinerja jaringan jalan di Kota Padang Panjang cukup baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil analisis kinerja jaringan jalan pada tahun 2014 menunjukkan tahun 2014 vc ratio dibawah 0,75 sebesar 97,67% atau 210 ruas jalan , vc ratio 0,75 – 0,84 sebesar 1,40% atau 3 ruas jalan, vc ratio 0,85 – 1 sebesar 0,93% atau 2 ruas jalan, dan vc ratio > 1,00 sebesar 0%. Sedangkan pembebanan lalu lintas tahun 2019, diketahui terjadi penurunan kinerja jaringan yang diindikasikan dengan beberapa ruas jalan mengalami kemacetan (vc ratio > 1,00) sebesar 6,05% atau 13 ruas jalan, vc ratio 0,85 – 1,00 sebesar 4,65% atau 10 ruas jalan, vc ratio 0,75 – 0,84 sebesar 2,33% atau 5 ruas jalan dan vc ratio dibawah 0,75 sebesar 86,98% atau 187 ruas jalan. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
c. Penerapan strategi 1 (Sistem Satu Arah) di daerah CBD pada tahun 2019 ternyata kinerja jaringan jalan di Kota Padang Panjang belum menunjukkan kinerja yang optimal atau lebih baik. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan hasil analisis kinerja jaringan jalan pada strategi 1 (satu) masih terdapat kemacetan sebesar 3,86% atau 8 ruas jalan (vc ratio > 1,00), v/c ratio diantara 0,85 -1,00 sebesar 3,86% atau 8 ruas jalan, vc ratio diantara 0,75 – 0,84 sebesar 5,80% atau 12 ruas jalan dan vc ratio dibawah 0,75 sebesar 86,47% atau 179 ruas jalan. d. Untuk penerapan strategi 2 (sistem satu arah dan penambahan lebar efektif jalan) di daerah CBD , hanya dapat mengurangi kemacetan sebesar 1% atau 1 ruas jalan dibandingkan penerapan strategi 1 (satu) sedangkan untuk strategi 3 (pelebaran jalan dan SSA) ternyata dapat meningkatkan kinerja jaringan jalan di Kota Padang Panjang. Hal ini terlihat, tidak terdapat ruas jalan yang macet (vc ratio > 1,00) maupun vc rationya 0,85 – 1,00 artinya secara keseluruhan ruas jalan di Kota Padang Panjang berkinerja baik. Rekomendasi Dengan memperhatikan hasil analisis maupun kesimpulan hasil penelitian, maka peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut : a. Melakukan normalisasi terhadap jalan Imam Bonjol 1 dari parkir badan jalan sehingga lebar efekif jalan tersebut menjadi lebih lebar b. Perlunya penerapan Sistem Satu Arah (SSA) pada ruas Jl. Hamid Hakim 1, 143
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Rahman El Yunusiah, M. Yamin 1, M. Yamin 2, Sudirman 1, Sudirman 2, Sudirman 3, M. Syafei. Perlunya peningkatan jalan pada ruas jalan Jl. Anas Karim 2, Jl. Bukit Kandung 2, Jl. Bukit Kandung 3, Jl. M. Yamin 1, Jl. M. Yamin 3, Jl. Rasuna Said 1, Jl. Raya Padang Panjang 3, Jl. Sudirman 7, Jl. Sudirman 8, Jl. Sudirman 9, Jl. Sutan Syahrir 1, Jl. Sutan Syahrir 2. Perlunya konsistensi pengawasan dan pemeliharaan, terhadap prasarana jaringan jalan untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul di masa yang akan datang. Perlunya pengawasan terhadap trotoar agar tidak ditempati oleh area PKL (pedagang kaki lima) sehingga tidak menurunkan kapasitas jalan. Sebelum menjalankan hasil rekomendasi riset, pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi terhadap rekomendasi agar pelaksanaan/penerapan hasil rekomendasi tepat sasaran dan tidak terjadi konflik sosial. Perlunya kajian tentang angkutan umum secara menyeluruh yang dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi jalan raya. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang dampak pertumbuhuan kendaraan terhadap kinerja simpang, terutama simpang-simpang di CBD (Central Bussines District) Perlunya penyediaan anggaran untuk pembebasan dan peningkatan jalan di masa yang akan datang
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2009. Sumatera Barat Dalam Angka. Padang. Badan Pusat Statistik. 2009. Padang Panjang Dalam Angka. Padang Panjang. Black, J.A. 1981. Urban Transport Planning: Theory and Practice. London: Cromm Helm. Citilabs. 1998, Cube 4.0.1 User’s Manual Software , United Kingdom Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI). Jakarta. Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Barat. 2002. Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan. Padang. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2006. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas. Jakarta. Papacostas, C.S. 1987. Fundamental of Transportation Engineering. Prentice Hall Inc, Englewood Cliffs. New Jersey. Sekolah Tinggi Transportasi Darat. 2009. Laporan Umum Lalu Lintas Angkutan Jalan. Bekasi. Tamin, O.Z. 1997. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Penerbit ITB, Bandung Wiratna, V.S. 2008. SPSS Untuk Penelitian Skripsi, Tesis, Disertasi dan Umum, Penerbit Global Media Informasi.
144
MODEL HYBRID DALAM PRAKTIK DEMOKRASI LOKAL MELALUI PELAKSANAAN OTONOMI NEGARA DI SUMATERA BARAT Asrinaldi A dan Yoserizal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Kampus Limau Manis, Padang 25163 e-mail:
[email protected] e-mail:
[email protected] Naskah masuk : 18 November 2013
Naskah diterima : 27 Desember 2013
HYBRID MODELS IN THE PRACTICE OF LOCAL DEMOCRACY THROUGH DECENTRALIZATION IN WEST SUMATRA Abstract State Autonomy is an important concept in discussing local democracy in the implementation of regional autonomy in Indonesia. Through this state autonomy, then government can control the negative impact of democracy. However, the strong of state autonomy can also threaten the regional autonomy because of denying of local values. Therefore, in implementing of state autonomy should combine the implementation of modern government at lowest level with socio cultural system in local society. In line with this, the article describes how to the development of the state autonomy concept accordance with implementation of local democracy in West Sumatra. This article describes a hybrid model that can be developed to strengthen the legitimacy of the government and local socio cultural systems. How these hybrid models? This article attempts to identify further related to the implementation of this hybrid model. Key Words: State autonomy, local democracy and hybrid model Abstrak Otonomi negara adalah konsep penting dalam membahas praktik demokrasi lokal dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Melalui otonomi negara pemerintah dapat mengendalikan dampak negatif demokrasi. Namun, kuatnya otonomi negara juga dapat mengancam pelaksanaan otonomi daerah karena mengenepikan nilai lokal. Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi negara perlu digabungkan pelaksanaannya melalui pemerintahan modern terendah sesuai dengan sistem sosiobudaya lokal masyarakat. Sejalan dengan itu, artikel ini menjelaskan pengembangan konsep otonomi negara terkait praktik demokrasi lokal di Sumatera Barat. Artikel ini menjelaskan adanya model hybrid yang dapat dikembangkan untuk memperkuat legitimasi pemerintah dan sistem sosiobudaya masyarakat lokal. Bagaimanakah model hybrid tersebut? Artikel ini mengidentifikasi lebih lanjut pelaksanaan model hybrid tersebut. Kata Kunci: Otonomi negara, demokrasi lokal dan model hybrid. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
145
PENDAHULUAN Masalah lain yang juga ditemukan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah semakin menguatnya gejala politik praktis di birokrasi. Fenomena ini muncul karena kepala daerah cenderung melibatkan birokrasi untuk mendukung kepentingan politiknya. Akibatnya fungsi birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik tidak berjalan maksimal (Agus Dwiyanto, 2011; Leo Agustino, 2011). Hal lain yang juga menjadi kendala dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah terjadinya eksploitasi terhadap sumber daya alam di daerah. Dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), kepala daerah memberi izin kepada pengusaha untuk menggarap hutan yang sebenarnya dilindungi oleh negara. Akibatnya terjadi kerusakan yang luar biasa terhadap hutan lindung (Aspinall & Fealy, 2003). Munculnya permasalahan dalam penyelenggaraan otonomi daerah ini diakibatkan oleh lemahnya penerapan aturan oleh pemerintah. Padahal penerapan fungsi regulasi ini adalah gambaran kedaulatan negara, seperti yang dijelaskan Fukuyama (2005), pelaksanaan fungsi regulasi ini adalah gambaran adanya fungsi minimum negara. Negara harus dapat menciptakan dan menegakan hukum dalam kehidupan warganya sehingga dapat diciptakan ketertiban. Pandangan yang sama juga dinyatakan oleh Christensen & Laegreid (2006:9) tentang pentingnya kebijakan pengaturan yang dilakukan agensi yang otonom seperti negara untuk mewujudkan tujuan melalui intervensi yang dilakukannya ke dalam masyarakat. Yang menarik, fungsi regulasi ini Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
terkait dengan sifat otonomi negara yang menjadi dasar pelaksanaan tujuan suatu negara. Otonomi negara merupakan kemampuan negara melaksanakan fungsinya untuk mewujudkan tujuan bersama dalam masyarakat tanpa dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang dapat “membelokkan” tujuan negara. Otonomi negara ini juga terkait dengan politik kekuasaan pusat dalam melaksanakan fungsinya. Skocpol (1985) menjelaskan pada dasarnya negara memiliki organisasi yang melaksanakan fungsinya yang dikenal dengan pemerintah. Lebih jauh Skocpol berpendapat bahwa otonomi negara ini merupakan gambaran adanya institusi negara yang rasional dalam membuat dan melaksanakan keputusannya di seluruh wilayah kekuasaannya. Oleh karenanya, artikel ini mencoba menjelaskan bagaimana mengembangkan otonomi negara ini terkait dengan praktik demokrasi lokal? Namun, dari satu sisi juga tidak mengancam pencapaian tujuan bernegara melalui pelaksanaan otonomi daerah. Dapatkah otonomi negara tersebut dikembangkan berdasarkan sistem sosiobudaya masyarakat lokal? Seperti apa pengembangannya? Adakah model hybrid penyelenggaraan fungsi pemerintahan terendah sekaligus memperkuat otonomi negara? Hal ini sangat beralasan karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosiobudaya yang beragam. Untuk menjelaskan pengembangan konsep otonomi negara berdasarkan sistem sosiobudaya lokal ini, maka penjelasan dalam artikel ini dibagi ke dalam dua aspek penting. Pertama, terkait dengan upaya mengembangkan potensi otonomi negara berdasarkan sistem sosiobudaya lokal. Dan Kedua, menjelaskan 146
model hybrid penyelenggaraan pemerintah terendah di Sumatera Barat berdasarkan sistem sosiobudaya lokal tersebut. Otonomi Negara: Membangun Demokrasi Berdasarkan Sistem Sosiobudaya Masyarakat Lokal Misalnya, menurut Skocpol (1979), negara bukan hanya sebagai tempat bertemunya kepentingan kelas dominan yang terutama kepentingan ekonomi saja. Namun, negara pada hematnya adalah institusi bebas yang menentukan caranya menjalankan kekuasaan sehingga kestabilan dalam wilayahnya dapat diwujudkan (1979:9-11). Dari sini dapat dilihat pandangan Skocpol tentang otonomi negara yang justru fokus pada faktor kekuasaan negara yang dominan dalam mengendalikan masyarakat. Dari kecenderungan ini dapat diketahui bahwa pengertian otonomi negara seperti ini amatlah dipengaruhi oleh konsep negara yang didefinisikan oleh Weber (1964:156): “[t]he claim of modern state to monopolize the use force is as essential to it as its character of compulsory jurisdiction and of continous organization.” Jika dirujuk definisi otonomi negara di atas, maka mestilah dipahami dengan melihat kepada adanya kekuatan tertentu yang mengendalikan kekuasaan negara tersebut sehingga negara dapat bertindak secara otoritatif ke atas masyarakatnya. Kekuatan untuk bertindak dan memaksakan itulah disebut dengan elite negara. Menurut Stepan (1978) juga menjelaskan negara sebagai organisasi yang dominan dalam menjalankan kekuasaannya. Menurutnya, negara adalah organic-statism yang memiliki fungsi yang terpusat, terutamanya dalam menciptakan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
kestabilan dan ketertiban dalam masyarakat. Pandangan Stepans ini agak berbeda dengan sarjana Marxis yang melihat negara sebagai cara menghasilkan pengeluaran (mode of production). Selain itu, pandagan Stepan ini juga berbeda dengan sarjana pluralis yang melihat negara sebagai cara untuk mewujudkan kepentingan rasional individu. Negara organic-statism, menurut Stepan (1978:33) memiliki sifat: “…clearly interventionist and strong. However, it is important to understand that a just and stable organic order is not necessarily to be equated with established order.” Lebih jauh, Stepan juga menjelaskan bahwa dalam negara organic-statism terdapat peranan organisasi pemerintah yang menentukan penyelenggaraan kekuasaan negara. Mengapa? Ini karena negara adalah proses administrasi yang berkesinambungan, memiliki keabsahan, birokratis serta memiliki sistem paksaan yang tidak hanya dalam konteks hubungan struktur antara masyarakat sipil dan institusi-institusi publik, tetapi lebih dari itu adanya mekanisme dominasi dan pengendalian terhadap aktivitas masyarakat sipil. Di sinilah dapat dilihat wujudnya otonomi negara tersebut. Singkatnya, konsep otonomi negara dalam kajian ini jelas merujuk kepada apa yang dijelaskan oleh Skocpol di atas yang menyebutkan otonomi negara sebagai bentuk kemampuan negara yang merumuskan kepentingannya dan terbebas dari pengaruh kepentingan kelas dominan dalam masyarakat kapitalis. Walaupun begitu, konsep otonomi negara ini dapat dikembangkan lagi, yaitu dengan cara memfokuskan pada penjelasan “bentuk kemampuan negara merumuskan kepentingannya secara bebas.” Bagaimanapun, pengertian ini memiliki 147
hubungan dengan kekuatan negara yang harus dikaitkan dengan strategi pemerintah pusat dalam melaksanakan kekuasan negara. Strategi pemerintah pusat ini terkait dengan mengendalikan demokrasi di tingkat lokal. Pengendalian terhadap demokrasi lokal tersebut dikaitkan dengan pengembangan sistem sosiobudaya masyarakat lokal sebagai basis legitimasi negara. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendasarkan kajian pada kaedah grounded theory. Kaedah ini dipilih karena memudahkan peneliti membangun konsep mengendalikan demokrasi lokal yang dilakukan pemerintah pusat, khususnya yang terkait dengan penguatan sistem sosiobudaya masyarakat lokal. Oleh karena itu, untuk menganalisis permasalahan di atas, maka penelitian ini memfokuskan pada tiga daerah penelitian, yaitu Nagari Sarilamak Kabupaten Limapuluh Kota, Nagari Manggopoh Kabupaten Agam dan Nagari Koto Gaek Kabupaten Solok. Ketiga daerah ini dipilih secara sengaja karena memenuhi kriteria sebagai daerah yang sistem sosiobudaya masyarakatknya masih berkembang dengan baik. Analisis data bersumber pada data wawancara sebagai data primer dan data sekunder sebagai data tambahan untuk memahami masalah yang diteliti. Informan dalam penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive sampling) sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dengan pengembangannya berdasarkan teknik snowball sampling agar mendapatkan informan yang relevan sesuai dengan permasalahan yang dikaji.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Memperkuat Otonomi Negara dan Mengembangkan Demokrasi Berdasararkan Sistem Sosiobudaya Masyarakat Lokal Dalam banyak hal, otonomi daerah yang dilaksanakan juga harus dikendalikan agar tujuan bernegara tidak dibelokkan oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan terhadap itu. Kecenderungan ini banyak dijumpai di daerah. Kelompok elite lokal menjadi dominan dalam aktivitas politik dan pemerintahan karena mereka menguasai sumber daya lokal. Akibatnya demokrasi lokal tidak dapat berkembang sesuai dengan kepentingan masyarakat. Mereka menguasai institusi lokal yang menjadi wadah demokrasi berkembang. Penguasaan ini berdampak pada praktik demokrasi yang hanya berorientasi pada kepentingan orang kuat lokal (local strongmen). Mengapa ini terjadi? Aspek budaya dan tradisi yang hidup dalam masyarakat membenarkan tindakan elite lokal karena mereka menjadi bagian dari kelompok budaya tersebut. Realita ini juga dijumpai dalam masyarakat Sumatera Barat. Besarnya pengaruh adat dan budaya beserta legitimasi pemimpinnya dalam penyelenggaraan pemerintahan menjadi alasan bagi pemerintah daerah untuk mengembalikan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat terendah berdasarkan budaya masyarakat lokal ini. Kebijakan “kembali ke nagari” adalah realita kebudayaan masyarakat yang disandingkan dengan pelaksanaan pemerintahan terendah. Namun, bagaimana format penyelenggaraan bernagari ini justru tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Dalam banyak hal yang terjadi justru penyelenggaraan 148
pemerintahan terendah yang mereduksi hakikat kehidupan bernagari dalam masyarakat Sumatera Barat (Asrinaldi & Yoserizal, 2011). Keadaan ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah, terutama dalam menguatkan demokrasi lokal. Walaupun bagaimanapun, demokrasi lokal tepatnya dapat dilaksanakan karena menjadi bagian kebiasaan masyarakat lokal (Kahin, 2005). Demokrasi lokal di Sumatera Barat dapat diidentifikasi dengan berperannya lembaga pemerintahan di nagari seperti Badan Musyawarah Nagari, badan yang menjadi kekuatan penyeimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari di bawah kendali wali nagari. Begitu juga dalam menempatkan institusi Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang mengalami reduksi peran yang sistematis. Lembaga KAN pada masa sekarang menjadi lembaga yang mengurusi masalah adat istiadat. Artinya, peran lembaga adat hanya berkisar pada urusan pemberian gelar penghulu di nagari (sako) dan pengurusan harta warisan di nagari (pusako). Padahal pada masa lalu, KAN menempati posisi yang strategi, selain menjadi lembaga penasehat sengketa yang ada di nagari, juga menjadi lembaga tertinggi yang menentukan arah perjalanan nagari.1. Biasanya yang menjadi wali nagari adalah orang pilihan musyawarah para penghulu (artistokrat adat) dan biasanya wali nagari juga berasal dari kelompok penghulu adat ini. Artinya, wali nagari ini bukanlah sembarang orang, namun mereka yang dipilih memenuhi kriteria yang disepakti bersama. Jelas ini berbeda dengan keadaan sekarang. Wali nagari dipilih secara langsung dengan melibatkan seluruh masyarakat. Akan tetapi Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
persyaratannya yang tidaklah seketat yang dulu karena disesuaikan dengan dinamika demokrasi dalam masyarakat. Memang terlihat ada perubahan yang signifikan dari model bernagari yang mengkombinasikan nilai sosiobudaya masyarakatnya dengan kehidupan politik modern. Karenanya jabatan wali nagari tidak lagi di dominasi oleh kaum penghulu adat, tapi sudah terbuka dikompetisikan termasuk oleh masyarakat biasa. Inilah perubahan mendasar dalam penyelenggaraan nagari saat ini. Di satu sisi, perubahan ini membawa dampak yang berarti bagi perluasan partisipasi masyarakat. Namun, di sisi lain jabatan wali nagari mengalami degradasi yang tidak lagi dijabat oleh kelompok arirokrat, seperti penghulu yang ada di nagari. Apa yang dilakukan pemerintah di tingkat lokal ini merupakan gambaran wujudnya otonomi negara dalam penyelenggaraan demokrasi di tingkat lokal yang semakin berkembang. Tentu dengan perkembangan masyarakat ini, negara juga harus dapat mengembangkan potensi otonominya sehingga legitimasinya dapat diperkuat. Namun, idealnya potensi otonomi negara ini dapat dikembangkan dengan cara mensinergikannya dengan sistem sosiobudaya masyarakat di Sumatera Barat. Pertama yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi otonomi negara adalah dengan memperkuat kembali sistem sosiobudaya masyarakat lokal. Jelas, sistem sosiobudaya ini adalah bagian dari sumber ideologi negara yang terus berkembang sehingga menuntut negara terus memperbaharui nilai dasarnya. Nilai dasar ideologi tersebut jelas hidup dan berkembang dalam masyarakat, termasuk di dalamnya sistem sosiobudaya etnis Minangkabau. 149
Mengembangkan potensi otonomi negara dari sistem sosiobudaya masyarakat lokal ini dapat dilakukan dengan cara menghidupkan kembali nilai demokrasi yang dipraktikkan oleh masyarakat. Misalnya, di Sumatera Barat nilai demokrasi yang masih hidup dalam praktik bernagari adalah tradisi musyawarah dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari. Ini dapat dilihat di nagari Sarilamak, Kabupaten Limapuluh Kota. Seperti yang dijelaskan oleh Zulfahmi angota Badan Musyawarah (Bamus) Nagari Sarilamak yang menjelaskan: “Pembuatan kebijakan di Nagari Sarilamak selalu mengutamakan musyawarah dan mufakat yang melibatkan semua pihak dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari. Jadi proses pembuatan kebijakan tidak hanya melibatkan Wali Nagari dan perangkatnya saja.” Dukungan untuk melaksanakan musyawarah dan mufakat dalam penyelengaraan ini juga dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota. “Ini sudah menjadi kebijakan pemerintah daerah mendukung demokrasi lokal dapat diselenggarakan di setiap nagari”, kata Camat Harau Elvi Rahmi. Selain pelaksanaan musyawarah dan mufakat, dukungan terhadap praktik demokrasi lokal di nagari juga dilakukan dengan cara mensinergikan kegiatan adat dengan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat terendah. Misalnya, sebelum melaksanakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat nagari, masyarakat nagari berdiskusi di tingkat jorong merencanakan usulan yang dibawa dalam forum Musrenbang tersebut. Bahkan pemerintah kabupaten menjadikan jorong sebagai basis utama pelayanan publik di nagari berdasarkan nilai adat dan budaya Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
setempat. Contohnya dapat dilihat dalam penguatan peran kelompok petani pemakai air di Jorong Aie Putih di nagari Sarilamak dalam mengelola irigasi di daerah mereka. “Masyarakat bersama-sama membuat kesepakatan untuk mengelola saluran irigasi agar dapat dimanfaatkan secara maksimal.” Dalam hal ini, pembangunan irigasi yang dibantu pemerintah daerah diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola sesuai dengan kebiasaan mereka yang diwariskan secara turun temurun. Jadi, rangsangan yang diberikan pemerintah daerah dalam bentuk pembangunan di nagari ini menghidupkan kembali tradisi adat masyarakat lokal. Secara tidak langsung hal ini dapat menguatkan legitimasi pemerintah dalam melaksanakan fungsinya di daerah. Di lain pihak, sistem sosiobudaya yang berkembang dalam masyarakat menjadi pengikat individuindividu di nagari untuk saling bekerjasama dan saling menghargai sehingga integrasi sosial ini menjadi modal dalam melaksanakan fungsi pemerintahan. Inilah bagian penting dari proses pembentukan modal sosial seperti yang dijelaskan Deth (2008:200) “a relationship among individuals; that is, as a property of individuals, found in networks of individual citizens.” Aspek inilah yang menjadi asas dalam mewujudkan tujuan demokrasi melalui pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Jika modal sosial ini berkembang, maka secara tidak langsung legitimasi pemerintah semakin kuat. Jika legitimasi menguat, maka negara tidak perlu menggunakan kekuatan despotiknya dalam mewujudkan tujuan negara. Malah dalam keadaan ini, negara dapat mewujudkan tujuan tersebut hanya dengan menggunakan kekuasaan infrastrukturnya (cf. Mann, 150
1986). Kekuasaan infrastruktur negara ini terkait dengan cara negara masuk ke dalam aktivitas masyarakat melalui aturan dan kebijakan, program, dan sebagainya. Inilah yang berhasil dilakukan negara dalam kehidupan bernagari sehingga aktivitas demokrasi dapat dikendalikan. Kedua, potensi otonomi negara dapat dikembangkan, jika pembuatan aturan yang dilakukan pemerintah menggunakan sebagian atau keseluruhan aturan sosial dalam masyarakat. Walaupun negara memiliki kekuasaan despotik-kekuasaan yang menjadi ciri negara yang otonom, namun dalam perkembangan demokrasi modern, penggunaan kekuasaan ini jarang digunakan. Justru penggunaan kekuasaan despotik ini dapat mengancam legitimasi pemerintah yang berkuasa. Menurut Mann (1986), kekuasaan despotik ini cenderung digunakan pada rezim yang diktator dan kekuasaan raja yang absolute pada masa abad pertengahan hingga abad ke-18. Tidak berarti dalam negara modern, kekuasaan despotik ini tidak ada sama sekali. Kekuasaan ini digunakan, jika keadaan memaksa dan mengancam kedaulatan negara karena kerusuhan sosial yan mengarah pada revolusi sosial. Pembangunan demokrasi di tingkat lokal dapat diperkuat melalui pelaksanaan otonomi daerah secara konsisten. Sesuai dengan tujuan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, maka di setiap daerah di Indonesia muncul kekhasan dalam melaksanakan otonomi tersebut. Kehidupan bernagari menjadi model praktik berdemokrasi yang berkembang dalam realita etnik Minangkabau. Jauh sebelum NKRI terbentuk, praktik bernagari dalam aktivitas politik dan pemerintahan sudah dijalani oleh Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
masyarakat (Imran Manan, 1995). Justru sejak kemerdekaan hingga masa Orde Baru praktik bernagari ini mengalami perubahan sesuai dengan politik rezim yang berkuasa (Mestika Zet et al., 1998; Kahin, 2005). Sejauh ini pemerintah belum sepenuhnya mengembangkan pengaturan pelaksanaan demokrasi berdasarkan nilai lokal. Bahkan dalam konteks bernagari yang dikenal dengan ciri demokrasi deliberatif telah bergeser menjadi demokrasi liberal. Seperti yang dijelaskan di atas, mekanisme musyawarah dan mufakat yang menjadi ciri dalam pembuatan keputusan di nagari, seringkali mencantumkan mekanisme voting yang bersifat individual, akibatnya orientasi pembuatan keputusan tidak lagi pada permufakatan, melainkan pemilihan. Ini terjadi karena pemaknaan demokrasi dalam peraturan yang dibuat pemerintah diartikan sebagai wujud mekanisme pemilihan langsung yang melibatkan individu-individu warga negara. Walaupun tidak salah, namun telah mengaburkan hakikat demokrasi lokal di Sumatera Barat. Ketiga, otonomi negara dapat dikembangkan melalui penguatan ekonomi masyarakat berbasiskan nagari. Potensi otonomi negara dapat dikembangkan, jika kesejahteraan masyarakat meningkat. Dalam hal ini, kehidupan bernagari yang berdasarkan sosiobudaya masyarakat tidak hanya mencakup aspek politik dan pemerintahan saja melainkan juga aspek ekonomi. Nagari sebagai basis penyelenggaraan pemerintahan terendah juga memiliki fungsi ekonomi bagi masyarakatnya. Karenanya di nagari ditemukan adanya sumber-sumber ekonomi yang dikelola langsung oleh nagari. Misalnya, sumber pendapatan dari pasar nagari, tanah ulayat, hutan nagari, 151
dan sebagainya. Misalnya, di Nagari Sarilamak, keberadaan pasar serikat nagari sangat membantu nagari meningkatkan pendapatan aslinya. Pasar serikat nagari ini melibatkan empat nagari lainnya yang saling bertetangga, yaitu Nagari Tarantang, Nagari Harau dan Nagari Solok Bio-Bio. Hasil dari pengelolaan pasar ini, yaitu sebanyak 70 persen menjadi sumber pendapatan asli nagari dan sisanya sebanyak 30 persen menjadi bagian pemerintah kabupaten. Apalagi di nagari, persoalan ekonomi ini menjadi hambatan utama bagi mereka untuk berpartisipasi dalam politik. Orientasi masyarakat di nagari untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga adalah aspek utama ketimbang memenuhi kebutuhan mereka berpartisipasi. Oleh karenanya, pembangunan ekonomi yang dilakukan negara, khususnya dalam skala mikro dapat membantu meningkatkan produktivitas masyarakat. 2. Mengembangkan Otonomi Negara Berdasarkan Model Hybrid Dalam Bernagari Pada dasarnya seperti yang dijelaskan di bagian sebelumnya, otonomi negara dapat dikembangkan dari sistem sosiobudaya masyarakat lokal. Dalam kasus Sumatera Barat, pengembangan otonomi negara berbasiskan sistem sosiobudaya lokal dapat dilakukan dengan cara menguatkan peran pemerintah nagari. Selama ini, pemerintah kabupaten di Sumatera Barat sudah menguatkan kedudukan nagari sebagai basis pemerintahan terendah. Akan tetapi, keterlibatannya dalam melaksanakan fungsi pemerintahan di tingkat terendah masih sebatas “membantu” pemerintah kabupaten dalam melaksanakan kewenangannya. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Pemerintah nagari sesuai dengan hak asal usul yang dijamin oleh UU No.32/2004 belum sepenuhnya melaksanakan otonominya. Lebih jauh, pemerintah kabupaten hanya melimpahkan kewenangan yang dimilikinya kepada pemerintah nagari. Padahal hakikat bernagari adalah menggali kembali nilai lokal dan menjadi dasar dalam melaksanakan fungsi pemerintahan. Sebenarnya upaya menggali nilai lokal dan membawanya ke dalam penyelenggaraan pemerintahan modern terendah dapat dilakukan dengan cara mengkombinasikan pelaksanaannya dengan sistem sosiobudaya lokal. Inilah yang dikenal dengan model hybrid. Dengan cara menggabungkan ini dapat menumbuhkan sikap percaya masyarakat di nagari kepada pemerintah. Jelas, mengembangkan model hybrid dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat terendah di Sumatera Barat membawa manfaat kepada pemerintah dan masyarakat lokal. Pertama, program pemerintah dapat dilaksanakan dengan baik karena mendapat dukungan masyarakat. Masyarakat di nagari merasa bagian dari program yang dilaksanakan pemerintah karena sesuai dengan realita nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan mereka. Kedua, masyarakat dapat mengembangkan sistem sosiobudaya mereka dalam kehidupan modern, khususnya dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan. Dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan terendah di nagari dapat menyesuaikan dengan realita kehidupan politik modern. Lalu bagaimana mengembangkan model hybrid penyelenggaraan fungsi pemerintahan di nagari sebagai basis pemerintahan terendah di Sumatera Barat? Upaya menggabungkan model 152
penyelenggaraan pemerintahan terendah berdasarkan sistem tradisional atau sosiobudaya lokal dengan pemerintahan modern dapat dilakukan dengan memperhatikan fungsi yang dilaksanakan. Misalnya, dalam konteks penyelenggaraan fungsi pemerintahan berdasarkan sistem sosiobudaya di nagari; pada mulanya ia bertujuan untuk memenuhi kebutuhan suku dan kaum yang berada di nagari (Musyair Zainuddin, 2010). Ini beralasan karena pemerintahan nagari adalah pemerintahan yang berdasarkan pada adat dan budaya masyarakat setempat—adat selingkar nagari. Tentu fungsi sosiobudaya yang dilaksanakan pemerintahan nagari tidak sama dengan yang lain dan ini bergantung pada dinamika masyarakat masing-masing nagari. Artinya, fungsi pemerintahan dapat berkurang dan bertambah sesuai dengan realita masyarakatnya. Sebagai gambaran “republik mini” yang berada dalam NKRI, pemerintahan nagari ini pada dasarnya pemerintahan yang berpusat pada penghulu (Oki, 1977). Penghulu di nagari memiliki fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan bernagari. Seperti yang dijelaskan Idrus Hakimy (2001:56-58), penghulu dalam adat Minangkabau tidak hanya memimpin kaumnya di dunia dan akhirat, tapi juga melaksanakan peran kepemimpinan tersebut di lingkungannya. Dan yang lebih penting, penghulu adalah mereka yang menempati posisi tertinggi dalam adat alam Minangkabau. Oleh karena, nagari separuhnya adalah bentuk pemerintahan yang beradasrkan pada prinsip geneologi dan adat dan budaya Minangkabau, maka kedudukan penghulu di nagari sangat signifikan. Hal ini juga ditegaskan oleh Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Musyair Zainuddin (2010:44), Walinagari langsung menjadi Ketua Kerapatan Adat Nagari (Kerapatan Nagari adalah terdiri dari unsur-unsur Ninik Mamak/Penghulu/Datuk yang memerankan lembaga Yudikatif dalam pemerintahan) ini akan menggambarkan bahwa Walinagari adalah ninik mamak/Penghulu/Datuk. Dengan demikian Walinagari mempunyai kekuasaan yang besar yang menyatu antara pemerintahan secara umum (pemerintahan terendah) dan pemerintahan adat. Namun, akibat perkembangan zaman, peran penghulu ini mulai berkurang. Malah secara formal pemerintah daerah “sengaja” mengurangi peran tersebut karena kedudukan penghulu dalam pemerintahan terendah harus disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan asas pemerintahan modern. Realita ini dapat dilihat dengan diterbitkannya Perda No.2/2007 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari. Kedudukan penghulu adat dalam institusi KAN hanya merefleksikan pengelolaan sako dan pusako. Sako terkait dengan pemberian gelar adat dan pengurusan darjah kebangsawanan menurut adat Minangkabau. Sementara, pusako terkait dengan aspek pengembangan ekonomi anak-kemenakan di nagari. Malangnya, pengaturan ini hanya dilihat secara literal dan bukan esensi. Inilah yang coba dikendalikan oleh pemerintah provinsi sebagai wakil pusat di daerah. Padahal, jika ditinjau secara esensi, aspek sako ini memiliki makna yang luas sesuai dengan pelaksanaan fungsi negara modern dalam kontek “republik mini.” Seperti yang 153
dijelaskan Almond & Powell (1978), sistem politik dalam hal ini negara memiliki empat fungsi yang harus dilaksanakan seperti fungsi ekstraksi, distribusi, regulasi dan simbolik. Lebih jauh, aspek sako dalam nagari juga mengandung makna adanya pelaksanaan fungsi regulasi dalam sebuah negara modern. Faktanya, pemberian darjah kebangsawanan menurut adat Minangkabau tidak diberikan pada sembarang orang. Dalam aspek ini terdapat ketentuan yang harus dipenuhi oleh orang yang akan menerima gelar tersebut. Artinya, segala aturan adat yang ada di nagari berlaku dan harus dipatuhi oleh setiap orang yang akan diberi gelar kebangsawanan tersebut. Dalam gelar tersebut melekat aturan yang dilaksanakan di nagari. Inilah esensi aspek sako yang pertama. Esensi kedua dari sako tersebut adalah penegakan fungsi simbolik dari nagari. Seperti yang dijelaskan, nagari adalah republik mini yang memiliki kesatuan masyarakat hukum adat dan memiliki batas wilayah yang jelas. Akibatnya, simbol-simbol nagari seperti gelar, kesukuan, nilai adat resam penduduk, marawa bendera Minangkabau yang terdiri dari warna merah, kuning dan hitam, artefak dan ornamen lainnya yang hidup dan berkembang di nagari. Karenanya fungsi simbolik sepenuhnya dijalankan oleh KAN karena aspek ini adalah simbol kedaulatan nagari terhadap nagari atau daerah lain. Sementara, dari aspek pusako terdapat pula hakikat pelaksanaan fungsi negara modern yang hidup dalam keseharian masyarakatnya. Misalnya, esensi pusako atau harta pusaka adalah pelaksanaan fungsi ekstraksi yang dilakukan oleh penghulu adat. Ini sesuai dengan keadaan negara modern, yaitu ketika pemerintah atas nama negara menguasai sumber daya ekonomi negara Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
untuk kesejahteraan penduduknya. Begitu juga di nagari, terdapat fungsi ekstraksi yang dilakukan oleh penghulu adat yang bertanggung jawab mensejahterakan anak kemenakannya di nagari. Ini dilakukan dengan cara melaksanakan fungsi ekstraksi melalui penguasaan sumber daya alam nagari yang memiliki manfaat ekonomi bagi anak kemenakan di nagari (cf. Navis, 1984). Hakikat ini yang sekarang terlupakan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten. Fungsi lain yang juga terkandung dalam aspek pusako ini adalah fungsi distribusi. Kekayaan penghulu suku tidak hanya dimanfaatkan dan dimiliki sendiri oleh penghulu suku tersebut. Namun, pemanfaatannya juga diberikan pada seluruh anak kemenakan (penduduk) yang ada di nagari. Singkatnya, fungsi distribusi ekonomi nagari dilakukan oleh penghulu suku yang ada di KAN untuk kepentingan semua penduduk nagari yang juga anak kemenakan mereka. Jadi jelas adalah satu kekeliruan, jika KAN hanya dibatasi menyelenggarakan aspek sako dan pusako seperti yang ada dalam Perda No.2/2007 tentang pokokpokok pemerintahan nagari. Idealnya, kedudukan KAN lebih dari itu dengan memahami hakikat dari kewenangan KAN sesuai dengan fungsi negara modern. Inilah yang diabaikan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten karena terlalu mendominasi dan memaksakan hukum positif dalam penyelenggaraan adat dan budaya dalam bernagari. Padahal penyelenggaraan pemerintahan modern terendah dapat dikombinasikan dengan sistem sosiobudaya yang berkembang dalam masyarakat. Lalu pertanyaannya, bagaimana memperkuat kedudukan sistem sosiobudya ini, tapi juga tidak mengabaikan kedudukan pemerintah 154
sebagai penyelenggara pemerintahan modern? Pilihannya adalah bagaimana upaya menggabungkan prinsip penyelenggaraan negara modern di peringkat pemerintahan terendah sebagai wujudnya otonomi negara dalam kehidupan masyarakat. Namun, dari segi lain, negara juga perlu memperkuat kembali nilai adat dan budaya dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari sebagai bentuk otonomi daerah. Keduanya tidak boleh dipertentangkan, apalagi saling menegasikan seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru yang dapat menghancurkan sistem sosiobudaya masyarakat lokal (Kahin, 2005; Nordholt & Klinken, 2007). Untuk mengakomodasi hubungan tersebut, maka dibutuhkan model hybrid yang dapat diimplementasikan dalam praktik pemerintahan nagari sekarang. Lalu, seperti apa model hybrid dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari tersebut? Pertama, penyelenggaraan pemerintahan nagari yang melaksanakan fungsi pemerintahan terendah di Sumatera Barat dapat dikombinasikan dengan penyelenggaraan sistem sosiobudaya yang berkembang di nagari. Dalam konteks ini, penghulu suku yang berhimpun dalam institusi KAN dapat dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Secara umum, paling tidak ada tiga fungsi penting yang perlu dapat perhatian dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan nagari tersebut. Fungsi pertama adalah terkait dengan pelayanan publik di nagari. Hakikat fungsi pelayanan publik ini adalah menjembatani kebutuhan masyarakat yang tidak mampu mengakses apa yang dibutuhkannya. Di sinilah tanggung jawab pemerintah nagari menyediakan pelayanan tersebut. Namun, Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
karena keterbatasan pemerintah dalam memberikan pelayanan, maka pemerintah juga harus melibatkan pihak lain. Di sinilah letak pentingnya institusi KAN yang dapat membantu pemerintah nagari dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik ini. Memang, perlu ada pengaturan lebih lanjut terkait dengan pelaksanaan fungsi ini agar tidak terjadi tumpang tindih tugas pokok dan fungsi di antara kedua institusi ini. Mengapa perlu melibatkan KAN ini? Bagaimanapun yang dilayani oleh pemerintah nagari adalah keseluruhan penduduk nagari yang juga anak kemenakan dari penghulu suku dan kaum yang ada di nagari tersebut. Tentu tidak semua urusan pelayanan yang harus melibatkan penghulu adat karena layanan dasar di bidang pemerintahan yang ada di nagari cenderung bersifat teknis. Untuk itu, keterlibatan KAN disesuaikan dengan kesiapan institusi KAN tersebut dalam memberikan layanan masyarakat nagari, terutama yang dikaitkan dengan fungsi utamanya di bidang adat dan budaya. Fungsi kedua berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan di nagari. Pemerintah nagari juga memiliki keterbatasan dari segi pembiayaan dan ketersediaan lahan. Namun, secara sosiobudaya, pusako nagari sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai modal dasar pelaksanaan fungsi pembangunan di nagari. Karenanya pemerintah nagari harus mencarikan formula yang sesuai keterlibatan penghulu KAN dalam pelaksanaan fungsi tersebut. Pemanfaatan pusako nagari ini sesuai dengan falsafah budaya Minangkabau yang menjamin kesejahteraan bagi semua anak kemenakan mereka. Melalui keterlibatan penghulu ini, dapat mengatasi masalah pembiayaan dalam melaksanakan pembangunan tersebut. 155
Fungsi lain yang tidak kalah penting adalah fungsi pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, pemerintah nagari sebenarnya dapat melibatkan penghulu di nagari karena secara emosional kelompok penghulu ini lebih dekat dengan anak kemenakan mereka. Dengan pendekatan
sosiobudaya ini, maka fungsi pemberdayaan masyarakat ini dapat dioptimalkan. Dari fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan pemerintah nagari ini, maka dapat disederhanakan model hybrid dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan di nagari ke dalam tabel 1.
Tabel 1: Model hybrid penyelenggaraan pemerintahan modern terendah di Sumatera Barat berdasarkan sistem sosiobudaya Fungsi Pemerintahan
Kapasitas Institusi Yang Terlibat Pemerintah Nagari
KAN
Peran Yang Dilakukan
Bentuk Keterlibatan
Pelayanan publik
Tugas pokok dan fungsi dalam memberikan pelayanan publik di nagari yang belum maksimal
Membantu pemerintah nagari dalam urusan layanan publik yang sesuai dengan sumber daya yang dimiliki KAN
Pemerintah nagari melibatkan KAN pada urusan tertentu yang sesuai dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki KAN sesuai dengan fungsi kelembagaannya di bidang adat dan budaya
Keterlibatan dilakukan secara langsung melayani anak kemenakan yang juga penduduk nagari
Pembangunan
Keterbatasan dari aspek pembiayaan dan kesiapan tenaga yang ada di pemerintahan nagari
Kepemilikan pusako yang ada di nagari dapat dimanfaatkan bersamasama dengan pemerintah nagari. Bahkan dalam perencanaan pembangunan KAN dapat dilibatkan sebagai institusi yang membantu pemerintah nagari secara langsung
KAN memberi kebebasan pada pemerintah nagari memanfaatkan potensi pusako yang dimiliki. Namun, dari segi lain, KAN juga terlibat merencanakan dan mendistribusikan hasil dari pemanfaatan pusako nagari besama-sama dengan pemerintah nagari
Keterlibatan langsung, terutama dalam aspek pelaksanaan fungsi ekstraksi dan distribusi dalam pemanfaatan pusako nagari
Pemberdayaan masyarakat
Kemampuan dan akses pemerintah nagari yang terbatas menghambat pencapaian pemberdayaan masyarakat
Daya jangkau KAN melalui pendekatan geneologi dan adat dapat masuk hingga kelompok yang resisten terhadap program pemerintah nagari.
Pemerintah nagari dapat menumpukan program pemberdayaan masyarakat ini kepada institusi KAN karena kapasitas yang dimilikinya. Sinergi yang dibutuhkan di antara keduanya adalah pada program
KAN berperan langsung dalam pemberadayaan masyarakat sesuai dengan sistem sosiobudaya yang berkembang di nagari
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
156
Kedua, dalam aktivitas politik, terutama dalam pemilihan wali nagari terjadi perubahan yang signifikan. Perubahan tersebut terjadi karena peraturan yang dibuat pemerintah. Dalam PP No.72/2005 tentang pemerintahan desa yang ditindaklanjuti oleh Perda No.2 tahun 2007 tentang pokokpokok pemerintahan nagari dijelaskan juga mengenai mekanisme pemilihan wali nagari yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Padahal, mekanisme ini bertentangan dengan adat dan budaya masyarakat di nagari yang cenderung lebih mengutamakan demokrasi deliberatif. Pemilihan wali nagari yang dikenal jauh sebelum pemerintah mengintervensi baik pada masa Awal Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru maupun Orde Reformasi adalah melalui musyawarah dan mufakat yang mencerminkan adanya proses deliberasi yang melibatkan penghulu adat suku-suku yang ada di nagari. Namun, kuatnya intervensi politik rezim yang berkuasa telah mengubah tatanan nilai sosobudaya masyarakat Minangkabau. Salah satu implikasi negatif penerapan mekanisme pemilihan langsung ini adalah terjadinya persaingan politik individu yang mengarah pada konflik horizontal dalam masyarakat. Bahkan yang patut dikhawatirkan adalah semangat individualis menjadi dominan ketimbang semangat kebersamaan aspek penting yang menjadi dasar dalam memperkuat sistem kekerabatan (geneologi) di nagari. Karenanya untuk mengantisipasi semakin tergerusnya nilai sosiobudaya Minangkabau ini, maka perlu penggabungan model pemilihan wali nagari yang juga melibatkan unsur KAN. Penggabungan ini dapat dilakukan, misalnya, setelah penjaringan yang dilakukan oleh panitia pemilihan atas Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
usulan kelompok masyarakat di nagari, maka KAN—sesuai dengan fungsinya— merembukkan hasil pilihan masyarakat nagari tersebut dengan mengundang bakal calon berdiskusi dan berbagi pendapat untuk mengetahui pengetahuan, rekam jejak dan aspek kepemimpinan mereka. KAN dapat mengidentifikasi kemampuan tersebut, terutama dari aspek kepemimpinan baik teknis pemerintahan maupun adat dan budaya di nagari tersebut. Begitu juga, agar tidak terjadi konflik horizontal antar pendukung calon wali nagari setelah pemilihan, KAN dapat juga bertindak sebagai inisiator perjanjian yang dibuat di antara calon wali nagari yang bertanding sehingga hasil pemilihan nantinya dapat diterima oleh semua pihak. Selanjutnya, KAN juga memutuskan bakal calon wali nagari yang dapat menjadi calon wali nagari dan selanjutnya diserahkan kepada panitia pemilihan di nagari untuk di pertandingkan dalam pemilihan wali nagari yang melibatkan masyarakat nagari secara langsung. Dengan cara ini, maka kedudukan KAN kembali kuat, terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari dan tidak sekedar mengurusi masalah sako dan pusako dalam arti harfiah. Bagaimanapun model hybrid dalam penyelenggaraan pemerintahan terendah ini adalah tahapan awal yang dikemukakan untuk memperkuat otonomi negara dalam masyarakat. Ini bertujuan agar substansi nilai sosiobudaya masyarakat lokal tidak hilang ketika asas pemerintahan modern dilaksanakan. Dengan cara ini, maka konsolidasi demokrasi dilaksanakan dapat berjalan dengan baik hingga ke lapisan akar rumput.
157
PENUTUP Kesimpulan Pelaksanaan otonomi negara dapat dilaksanakan dengan baik, jika pemerintah juga memperkuat sistem sosiobudaya masyarakat lokal, terutama dalam melaksanakan fungsi pemerintahan di tingkat lokal. Melalui pengembangan sistem sosiobudaya lokal ini, sebenarnya pemerintah sekaligus dapat memperkuat legitimasi politiknya. Hal disebabkan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Walaupun dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan tersebut harus sesuai dengan aturan yang berlaku, namun pemerintah tetap dapat melaksanakannya, namun tidak menghilangkan kultur masyarakat lokal dalam melaksanakan politik dan pemerintahan. Caranya adalah dengan mengkombinasikan penyelenggaraan fungsi pemerintahan terendah dengan prinsip pemerintahan modern dengan sistem sosiobudaya lokal masyarakat. Apalagi di daerah Sumatera Barat yang mayoritas penduduknya adalah etnik Minangkabau yang dikenal dengan kepemimpinan penghulu adatnya. Rekomendasi Kombinasi yang dikenal dengan model hybrid dapat diselenggarakan dengan melibatkan pemerintah nagari dan KAN; dalam melaksanakan fungsi pemerintahan dan pelaksanaan demokrasi di tingkat terendah. Walaupun ini baru dalam tahapan awal, model hybrid dalam berdemokrasi ini menjadi poin permulaan untuk dikembangkan sesuai dengan semangat otonomi daerah di dalam kerangka otonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Andalas yang telah menyediakan dana penelitian melalui Skim Hibah Fundamental Tahun 2011 dan 2012.
DAFTAR PUSTAKA Agus Dwiyanto, (2011). Mengembali-kan kepercayaan publik melalui reformasi birokrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Almond, G. A. & Powell, G.B. (1978). Comparative politics: system, process and policy. Cetakan ke-2. Boston: Little Brown & Company. Aspinall, E & Fealy, E. (Eds.). (2003). Introduction: decentralisation, democratisation and the rise of the local. Dlm. E. Aspinall & G. Fealy (Eds.). Local power and politics in Indonesia: decentralization & democratization, hal. 1-14. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Asrinaldi & Mohammad Agus Yusoff. (2008). Peranan negara kuat dalam pelaksanaan demokrasi lokal di Indonesia: Kasus di Sumatera Barat. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik 12(2): 115-134. Asrinaldi & Yoserizal. (2011). Praktik Pemerintahan Terendah Dalam Pembangunan dan Implikasinya Terhadap Demokrasi Lokal Di Sumatera Barat. Jurnal Transformasi Pemerintahan, 3(2):85-103.
158
Christensen, T & Laegreid, P. (2006). Agencification and regulatory reform. Dlm. Tom Christensen T & Per Laegreid (Eds.) Autonomy and regulation: coping with agencies and in the modern state, hal.849. Massachusetts: Edward Elgar Publishing. Van Deth, J. W. (2008). Introduction: social capital and democratic politics. Dlm. Dario Castiglione, Jan W van Deth & Guglielmo Wolleb (Eds.). The handbook of social capital, hal. 199207. Oxford: Oxford University Press. Fukuyama, F. (2005). Memperkuat negara, tata pemerintahan dan tata dunia abad 21. Terj. A. Zaim Rofiqi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hadiz, V.R. (2005). Reorganizing political power in Indonesia: a reconsideration of so-called ‘democratic transition’. Dlm. M. Erb, Priyambudi Sulistiyanto & C. Faucher (Eds.). Regionalism in post-Suharto Indonesia, hal. 36-53. London: RoutledgeCurzon. Idrus Hakimy, (2001). Pokok-pokok pengetahuan adat alam Minangkabau. Bandung: Rosda Karya. Imran Manan, (1995). Birokrasi modern dan otoritas tradisional di Minangkabau (nagari dan desa di Minangkabau). Padang: Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau. Kahin, A. (2005). Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatera Barat dan politik Indonesia 1926-1998. Terj. Azmi dan Zulfahmi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Leo Agustino, (2011). Sisi gelap otonomi daerah: sisi gelap desentralisasi di Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Indonesia berbanding era sentralisasi. Bandung: Widya Padjajaran Mann, M. (1986). The autonomus power of the state: its origins, mechanisms and results. Dlm. J. A. Hall (Eds.). States in history, hlm. 109-136. New York: Basil Blackwell. Mestika Zet, Edy Utama & Hasril Chaniago. (1998). Sumatera Barat di panggung sejarah 1945-1995. Jakarta: Sinar Harapan. Musyair Zainuddin. (2010). Implementasi pemerintahan nagari berdasarkan hak asal-usul adat Minangkabau. Yogyakarta: Ombak. Navis, A.A. (1984). Alam terkembang jadi guru: adat dan kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers. Nordholt, H.S & Klinken, G.V. (2007). Pendahuluan. Dlm. H. S. Nordholt & G. V Klinken (pnyt.). Politik lokal di Indonesia, hlm. 1-41. Terj. Bernard Hidayat. Jakarta: YOI & KITLV. Nordlinger, E. A. (1981). On the autonomy of the democratic state. Cambridge: Harvard University Press. Oki, A. (1977). Social change in the West Sumatran village: 1908-1945. Tesis Ph.D Australian National University. Rotberg, R.I. ( 2002). The new nature of nation-state failure. The Washington Quarterly 25(3): 85-96. Sidel, J. T. (2005). Bossism and democracy in the Phillippines, Thailand and Indonesia: toward and alternative framework for study of ‘local strongmen”. Dlm. John Harris, Kristian Stokke & olle Tornquist (Eds.). Policising democracy: the new local politics of democratization, hal.51-74. New York: Palgrave macmillan. 159
Skocpol, T. (1979). State and revolution: old regimes and revolutionary crises in France, Russia, and China. Theory and Society 7(1/2): 7-95. Skocpol, T. (1985). Bringing the state back in: strategies of analysis in current research. Dlm. Peter B. Evans, Dietrich Rueschemeyer & Theda Skocpol (Eds.). Bringing the state back in, hal. 3-44. Cambridge: Cambridge University Press. Stepan, A. (1978). The state and society: Peru in comparative perspective. Princeton; Princeton University Press. Syarif Hidayat. (2007). “Shadow state…? bisnis dan politik di Banten. Dalam H. S. Nordholt & G. V. Klinken (Eds.). Politik lokal di Indonesia, hlm. 267303. Terj. Bernard Hidayat. Jakarta: YOI & KITLV. Weber, M. (1964). The Theory of Social Economic Organization. Terj. A. M. Henderson & T. Parsons. New York: Free Press.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
160
PANGAN FUNGSIONAL DAN PRODUK OLAHANNYA Azman1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat Jl. Raya Padang-Solok KM 40. Sukarami, Solok, Fak.0755-31138 Naskah masuk : 22 Oktober 2013
Naskah diterima : 17 Desember 2013
FUNCTIONAL FOODS AND PROCESSING PRODUCTS ABSTRACT Functional foods and processing products. This paper is a review of research results. The goal is to develop a functional food product because the product has efficacy for the prevention of disease in humans if eaten or can reduce the negative effects of a defect, prevent premature aging and improve fitness. Tomato as a functional food because tomatoes contain large amounts of lycopene which acts as an anti- oxidant, which is influential in reducing the risk of various chronic diseases such as cancer . Soursop as a functional food because it contains Annonaceae acetogenins soursop, can inhibit cancer cells to thrive. Curd as a functional food because it contains a number of curd lactic acid bacteria, the bacteria can inhibit enteric bacteria , pathogens, lowering cholesterol levels, anti- mutagenic, anti- carcinogenic, can improve the immune system, is able to prevent somatic mutations that lead to colon cancer. Functional food product is produced from natural food that serves as the prevention of a disease to nourish the body, such as tomato paste, tomato powder and mix instant soursop and curd. These products easy processing, can be developed in the domestic industry and the hope application by the community to create a healthy society . Keyword : food, product, food, processing, tomato, soursop, curd ABSTRAK Pangan fungsional dan produk olahannya. Tulisan ini merupakan review hasil-hasil penelitian. Tujuannya untuk mensosialisasikan pangan fungsional dan produk olahannya pada masyarakat oleh karena pangan fungsional mempunyai fungsi untuk pencegahan suatu penyakit pada manusia bila dimakan atau dapat menurunkan efek negatif dari suatu penyakit, menghambat penuaan dini dan meningkatkan kebugaran tubuh. Tomat sebagai pangan fungsional oleh karena tomat mengandung likopen dalam jumlah yang besar yang berperan sebagai antioksidan, dan berpengaruh dalam menurunkan resiko berbagai penyakit kronis seperti kanker. Sirsak sebagai pangan fungsional oleh karena sirsak mengandung annonaceae acetogenins, yang dapat menghambat sel kanker untuk berkembang. Dadih sebagai pangan fungsional oleh karena dadih mengandung sejumlah bakteri asam laktat, dimana bakteri tersebut dapat menghambat bakteri enterik pathogen, menurunkan kadar kolesterol, anti mutagenik, anti karsinogenik, dapat memperbaiki sistim kekebalan tubuh dan mampu mencegah mutasi somatik yang menyebabkan kanker usus. Produk pangan fungsional adalah hasil olahan dari bahan pangan alami yang berfungsi sebagai pencegahan suatu penyakit untuk menyehatkan tubuh, diantaranya pasta tomat, serbuk instan campuran tomat dengan sirsak dan dadih. Produk-produk tersebut mudah pengolahannya, dapat dikembangkan pada industri rumah tangga dan dengan harapan dapat diaplikasikan pada masyarakat untuk menciptakan masyarakat sehat. Kata Kunci : pangan, produk, olahan, tomat, sirsak Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
161
PENDAHULUAN Saat ini dasar pertimbangan dalam memilih makanan ataupun minuman tidak lagi sekadar memenuhi kebutuhan energi, menyenangkan, atau memberi kenikmatan dengan rasa yang lezat serta penampilan yang menarik, namun juga mempertimbangkan potensi aktivitas fisiologi komponen yang dikandungnya. Potensi aktivitas yang dimaksud antara lain, dapat mencegah penyakit tertentu atau menurunkan efek negative dari suatu penyakit, dan menghambat penuaan dini serta dapat meningkatkan kebugaran tubuh. Pangan yang memenuhi fungsi tersebut, dikenal dengan istilah pangan fungsional (Widowati, et, al, 2010). Produk pangan fungsional adalah hasil olahan dari bahan pangan alami yang berfungsi untuk menyehatkan tubuh. Bahan alami diantaranya adalah susu kerbau fermentasi (dadih) dari komoditas peternakan dan tomat serta sirsak dari komoditas pertanian. Mary (1997) menambahkan, makanan yang mempunyai fungsi pencegahan penyakit atau mempunyai fungsi tertier disebut sebagai pangan atau makanan fungsional. Di negara Barat seperti di Amerika dan Eropah telah terjadi pergeseran tentang tujuan mengkonsumsi makanan, yang dalam hal ini kenikmatan bukan lagi menjadi prioritas utama di dalam memilih makanan, tetapi orang cenderung memilih makanan yang mempunyai fungsi untuk mencegah penyakit atau bahkan mengobati penyakit. Paradigma baru tersebut berkembang karena meningkatnya kesadaran akan pentingnya fungsi fisiologis suatu makanan. Diketahui bahwa penyebab terbesar penyakit yang Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
menimbulkan kematian bukanlah virus ataupun bakteri, akan tetapi disebabkan dari dalam tubuh sendiri, antara lain kesalahan diet atau kesalahan memilih makanan. Dengan demikian usaha pencegahan penyakit lebih baik dari pada mengobati penyakit itu. Sehubungan hal diatas maka perlu di kembangkan atau disosialisasikan pangan fungsional dan produk olahannya. Tulisan ini merupakan review hasil-hasil penelitian. Tujuannya untuk mengembangkan produk pangan fungsional oleh karena produk tersebut mempunyai khasiat untuk pencegahan suatu penyakit pada manusia bila di makan atau dapat menurunkan efek negatif dari suatu penyakit, menghambat penuaan dini dan meningkatkan kebugaran tubuh. Produk tersebut mudah cara pengolahannya, dengan harapan mudah diaplikasikan pada masyarakat untuk menciptakan masyarakat sehat. SEJARAH PANGAN FUNGSIONAL Konsep tentang makanan fungsional dan istilah makanan fungsional pertama kali dikembangkan oleh orang-orang Jepang. Pada prinsipnya, makanan fungsional (functional foods) merupakan makanan yang dirancang dengan memanfaatkan senyawa bioaktif tertentu. Makanan fungsional ini menempati posisi diantara makanan konvensional dan obat, serta digunakan untuk pencegahan penyakit pada tingkat awal, bukan sebagai penyembuhan penyakit pada tingkat lanjut (Hasler, 1995). Juga di Cina yang merupakan negara Timur yang telah berabad-abad lamanya mengembangkan makanan, baik yang berasal dari hewan maupun tumbuh-tumbuhan yang berfungsi 162
sebagai obat. Pemanfaatan makanan sebagai obat sampai sekarang masih di gunakan oleh sebagian besar masyarakat Cina meskipun telah berkembang pengobatan cara Barat (Huang, 1991). Jepang merupakan Negara yang mampu membawa masyarakatnya mempunyai usia harapan hidup (UHH) tertinggi di dunia. Untuk wanita pada tahun 1991 sebesar 81,8 dan laki-laki 75,8 (Matsuzaki, 1991). Pada hal pada tahun 1947 UHH rata-rata orang Jepang baik lakilaki maupun wanita sebesar 50. Pada tahun 1987, UHH orang Jepang meningkat dengan tajam melebihi UHH orang Barat. Ilmuwan Jepang secara serius mempelajari faktorfaktor apa saja yang dapat mempengaruhi panjangnya umur seseorang. Ternyata salah satu faktornya yang menentukan adalah kebiasaan makan. Hippocrates, bapak ilmu kedokteran, mengatakan “Makanan kalian akan menjadi obat bagi kalian dan obat-obat itu akan menjadi makanan” (Acarya, 1987). Di Indonesia istilah makanan fungsional bagi masyarakat masih tergolong baru dan sering disamakan dengan makanan kesehatan ataupun makanan suplemen. Selama ini makanan dikenal mempunyai fungsi primer sebagai sumber zat gizi dan fungsi sekunder sebagai pemuas selera. Dengan demikian makanan yang dikonsumsi selain harus mengandung zat gizi yang diperlukan tubuh, juga mempunyai sifat sensoris yang disenangi konsumen. Oleh karena itu gizi merupakan factor yang sangat penting yang perlu dipertimbangkan dalam memilih makanan. Namun, kebanyakan masyarakat masih mengutamakan factor Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
sensoris sehingga pemilihan makanan lebih ditekankan untuk pemenuhan selera atau kenikmatan. Maka perlu penelitianpenelitian dalam pengembangan makan funsional dilakukan serta sosialisasinya pada masyarakat. Dimana makanan fungsional ini bersifat pencegahan sebelum timbulnya penyakit. PANGAN FUNGSIONAL Pangan fungsional adalah pangan yang berkhasiat sebagai pencegahan suatu penyakit bila dikonsumsi, bukan sebagai pengobatan. Pencegahan itu terjadi karena pangan tersebut mengandung zat tertentu atau yang mempunyai fungsi yang berkaitan dengan pencegahan suatu penyakit, dengan cara memodulasi sistem kekebalan, endoktrin, sistem syarat, sistem peredaran, sistem pencernaan dan sistem seluler (Arai, 1997). Senyawa yang kemungkinan dapat memodulasi sistem fisiologis tersebut dikaji komposisinya dan fungsi fisiologisnya. Produk pangan fungsional adalah hasil olahan pangan yang disebut dengan makanan fungsional. Makanan fungsional ini menempati posisi diantara makan konvensional dan obat, serta digunakan sebagai pencegahan penyakit pada tingkat awal, bukan sebagai usaha penyembuhan pada tingkat lanjut. Di Jepang makan fungsional dikategorikan sebagai food for specified. Makanan “baru” tersebut sering pula disebut sebagai agromedical food, designer food, neuroeduticals dan pharma foods (Hasler, 1995). Pada prinsipnya makanan fungsional dirancang dengan menggunakan bahan makanan atau senyawa bioaktifnya 163
bahan dasar. Berbagai sumber makanan telah dibuktikan mengandung senyawa yang mempunyai fungsi tertier yaitu untuk pencegahan penyakit, seperti misalnya senyawa non gizi yang disebut sebagai fitokimia yang bermanfaat untuk mencegah penyakit kanker. Jumlah senyawa yang berfungsi tertier tersebut di dalam bahan makanan sangat kecil sehingga harapan untuk dapat berfungsi untuk pencegahan penyakit sering tidak terkabul. Oleh karena itu senyawa bioaktif tersebut perlu dipisahkan ataupun dimurnikan sehingga dapat ditambahkan pada makanan konvensional sehingga fungsi pencegahan penyakit menjadi lebih nyata dan terbukti. Upaya untuk mengoptimalkan makanan yang mempunyai fungsi tertier dapat dilakukan pula dengan cara membuat senyawa yang tidak bermanfaat yang terdapat
dalam makanan tersebut seperti misalnya di Jepang terdapat masyarakat yang menderita elergi setelah mengkonsumsi nasi. Oleh karena itu di upayakan menghilangkan senyawa penyebab elergi yang terdapat dalam beras tersebut. Beras bebas senyawa yang merugikan tersebut diteliti efeknya terhadap pasien yang biasa menderita elergi dan ternyata terbukti elergi tidak terjadi lagi (Ikazawa et, al, 1991). Beras yang diperlakukan khusus tersebut diproduksi dan di jual sebagai makanan fungsional pertama di Jepang pada tahun 1993 yang dikategorikan sebagai “foshu”. Menurut Arai (1997), makanan fungsional dapat dibuat dengan memaksimalkan fungsi yang dikehendaki atau meminimalkan fungsi yang tidak dikehendaki. Beberapa contoh senyawa bioaktif dalam makanan dan fungsinya (Tabel.1).
Tabel.1 Beberapa senyawa bioaktif dalam makanan dan fungsinya. Sumber Makanan Kedelai Kedelai Kedelai Wakame (seaweed) Beras Susu Jamur (mushroom) Wijen Jahe The Hijau Panax Ginseng C.A. mayor Telur ayam Ikan Ikan Wortel Caber merah Lobster Likorisa
Senyawa Bioaktif Sapomen Ekisimin Peptide glisimin Fukosterol Orizasistatin Laktoferin Farnesilorniko Sesaminol Gingerol Epigalokatekin gallat Ginsenoida Sistasin EPA Peptida Miofibril Karotenoid Kapsaikin Kitin Asam Glisiretenik
Fungsi Anti oksidatif Hipokolesterolemia Hipotensif Antikarsinogenik Antivirus Antibakteri Hipokolesterolemia Antioksidatif Antioksidatif Antikarsinogenik Antikarsinogenik* Antivirus Hipokolesterolemia Hipotensif Antioksidatif Antikegemukan Immunostimulan Immunostimulan
Sumber: Arai (1997) Huang (1991
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
164
Seperti hal yang telah diuraikan di atas bahwa makanan fungsional adalah hasil olahan pangan alami yang berfungsi untuk menyehatkan tubuh. Bahan alami diantaranya adalah komoditas pertanian, dan peternakan seperti halnya tomat, sirsak dan dadih dan sebagainya. Tomat Buah tomat memiliki potensi yang banyak (multiguna) antara lain bisa digunakan sebagai buah meja, makanan, minuman, sayuran, bahan pewarna, bahan kosmetik dan obat-obatan. Akhir-akhir ini ditemukan bahwa buah tomat segara dapat membangkitkan selera makan bagi penderita aneroksia (hilangnya nafsu makan akibat stress) dan likopen yang terkandung di dalam nya dapat menghambat perkembangan sel kanker. Maka dari itu komoditas tersebut terus berkembang dalam perdagangan, baik di dalam maupun di luar negeri (Kailaku et, al, 2007). Likopen adalah bahan alami yang ditemukan dalam jumlah besar pada tomat dan buah-buahan berwarna merah lain seperti semangka, papaya dan jambu (Kailaku et, al, 2007). Likopen merupakan kelompok karotenoid (seperti beta karoten). Walaupun ada sekitar 600 karotinoid, likopen adalah bentuk yang paling banyak ditemukan dalam makanan (beta karoten, terbanyak kedua). Kandungan likopen dalam tomat sangat dipengaruhi oleh peristiwa pematangan dan varietas (varietas tomat berwarna merah lebih banyak mengandung likopen dari pada verietas berwarna kuning) (Davies, 2000). Menurut Rao (2000), likopen merupakan salah satu anti oksidan yang potensial, Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
dengan kemampuan meredam oksigen tunggal dua kali lebih baik dari pada betakaroten dan sepuluh kali lebih dari pada alfa-tokoferol. Likopen berperan sebagai anti oksidan memiliki pengaruh dalam menurunkan resiko berbagai penyakit kronis termasuk kanker. Kandungan likopen pada tomat meningkat dalam tubuh bila tomat diproses menjadi saus, jus dan sari buah. Sirsak Buah sirsak mengandung vitamin c yang cukup tinggi yaitu 20 mg/100g buah segar. Disamping itu juga mengandung karbohidrat, protein dan lemak serta vitamin dan mineral. Juga sirsak mengandung zat yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh yaitu annona ceae acetogenins, merupakan kumpulan senyawa aktif yang memiliki aktivitas sikotoksik di dalam tubuh dengan cara menghambat transporta ATP atau alergi yang digunakan sel kanker untuk berkembang (Herliana et, al, 2011 dan Widyaningrum, 2011 dan Zuhud, 2011) Dadih Dadih mengandung sejumlah bakteri asam laktat yang bersifat probiotik dan banyak fungsinya yaitu diantaranya mampu mengurangi laktosa intoleran, menstimulasi kekebalan tubuh dan membantu absorpsi mineral ke dalam tubuh (Zakarian, 2002 dan Widjayati, et, al, 2004). Karena itu dadih memenuhi persyaratan sebagai produk pangan fungsional, yaitu pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Disamping itu dadih mempunyai nilai gizi yang tinggi (protein 4,5% dan lemak 6,8% 165
dimana kandungan tersebut cocok untuk dapat meningkatkan konsumsi protein hewani. Daya cerna protein dadih cukup tinggi 86 – 98% dan mengandung 16 asam amino, dimana asam amino tersebut terdiri dari 13 asam amino esensial dan 3 asam amino non esensial. Keadaan demikian menjadikan dadih sebagai makanan bergizi dan mudah diserap oleh tubuh. Vitamin A dadih adalah antara 1,70 – 7,22Iµ/g dan pH (keasaman) 0,9 – 1,2, serta terdapat 10 isolat bakteri asam laktat yang tahan terhadap pH 2 selama 2 jam, juga tahan terhadap asam empedu (Salminen, et, al, 1993). Bakteri asam laktat dalam dadih berperan dalam pembentukan tekstur dan cita rasa (Salminen, et, al, 1993). Bakteri asam laktat telah berhasil diisolasi serta di indentifikasi sebanyak 36 strain (Surono, et, al, 1983 dan Hosono, et, al, 1989). Bakteri asam laktat di akui mempunyai efek yang baik bagi kesehatan manusia, karena komponen metabolik dapat menghambat bakteri enteric, pathogen, menurunkan kadar kolesterol, anti mutagenic dan anti karsinogenik serta memperbaiki sistim kekebalan tubuh (Surono, et, al, 1997). Bakteri asam laktat mampu mencegah terjadinya mutasi somatic yang menyebabkan kanker usus (Wollowski, et, al, 2001). Bakteri asam laktat dadih adalah lactobacillus casei sub sp casei, Leuconostoc paramesenteroides, enterococcus faecalis sub sp liquetaciens, Lactococcus lactis sub sp lactis. Selain menunjukkan aktivitas anti mutagenic, juga mampu menurunkan kadar kolesterol darah 34% secara in-vitro dan invivo (Surono, dan Husono 1996). Dan pada percobaan hewan dadih mampu menurunkan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
kolesterol 39,8%. Sedangkan pemberian susu fermentasi oleh probiotik dari dadih yang dipasteurisasi dan disterilisasi mampu menurunkan kolesterol sebanyak 42 – 45% pada makanan tinggi kolesterol dan 50 – 53% pada makanan tanpa kolesterol (Prangdimurti, 2001). Tingginya kandungan kolesterol dalam darah dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah, akibat tekanan darah meningkat, dan kerja jantung terganggu. PRODUK OLAHAN MAKANAN FUNGSIONAL Pasta Tomat Produk olahan fungsional yaitu produk-produk yang berkhasiat bagi tubuh. Dari beberapa hasil penelitian produk olahan tersebut yang berasal dari tomat adalah pasta tomat, yaitu tomat konsentrat yang mengandung 24% atau lebih padatan terlarut tomat alami (Iswari, 2013). Pasta tomat mempunyai keunggulan dibandingkan dengan produk olahan tomat lainnya karena mengandung anti oksidan yang sangat tinggi. Anti oksidan ini adalah likopen yang merupakan karotenoid pigmen merah terang yang banyak ditemukan dalam buah dan buah-buahan lainnya yang berwarna merah. Likopen sangat dibutuhkan oleh tubuh dan dapat menetralkan radikal bebas (Arab, 2000). Proses pembuatan pasta tomat dapat dilihat pada Gambar 1.
166
Tomat
Bersihkan/cuci
Belah dua
0
Blancing 70 C/5 mnt
Blender/saring
Pasta
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan pasta tomat (Iswari et, al, 2011) Serbuk Instan Campuran Tomat dan Sirsak Produk olahan serbuk instan merupakan produk pangan siap saji yang berbentuk serbuk, berstruktur remah, mudah dilarutkan dengan air dingin maupun air panas, mudah dalam penyajian, mudah terdispersi dan tidak mengendap di bagian bawah wadah (Wirakartakusuma et, al, 1992). Pembuatan serbuk instan dapat dilakukan dengan teknologi tinggi dengan menggunakan alat seperti “spray dryer”, namun alat ini cukup mahal dan tidak terjangkau oleh industri rumah tangga atau industri kecil. Salah satu teknologi yang Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
dapat menggantikan “spray dryer” adalah teknologi “foam mat drying”. Teknologi sederhana dan dapat diaplikasikan ditingkat industri rumah tangga (Gambar 2). Pembusaan suatu bahan dengan penambahan zat pembuih kemudian dikeringkan disebut “foam mat drying” (Kumalaningsih, 2005). Pengeringan dengan oven tanpa pembersih (foam) memerlukan suhu yang tinggi, sehingga akan merusak mutu produk pangan yang dikeringkan (Desrosier, 1988). Pengeringan adalah pengurangan kadar air bahan hingga bakteri pembusuk tidak dapat hidup dan kerusakan dapat di atasi. Pada proses pengeringan tidak selalu air dalam bahan turun serendah mungkin, tetapi hanya sebatas dibawah nilai aw (avaitable water) minimum. Setiap jasad renik membutuhkan aw minimum yang berbeda-beda, yaitu kisaran 0,60 – 0,91 (Novary, 1996). Penelitian Iswari, et, al (2013) tentang serbuk instan campuran tomat dan sirsak pada tingkat ketuaan 100%, tomat memberikan mutu lebih baik dengan perbandingan konsentrasi 60% tomat dan 40% sirsak. Sebelum digunakan terlebih dulu tomat dan sirsak di blanching pada suhu 850 C, dihancurkan dan disaring. Hasil saringan (tiltrat) yang diperoleh di “filler” dengan destrim agar produk tidak rusak pada proses pengeringan dan waktu yang digunakan lebih cepat (menggunakan teknologi “foam mat drying”), diperoleh kadar likopen 321,4 ppm. Serbuk instan tomat 100% (tanpa sirsak) memberikan kandungan likopen tertinggi yaitu 562,1 ppm namun dari uji organoliptik kurang disukai panelis, terutama dalam test (rasa). 167
Proses pembuatan serbuk instan campuran tomat dan sirsak dengan metoda
“foam mat drying” dapat dilihat pada Gambar 2.
Tomat
Sirsak
Bersihkan/cuci
Bersihkan/cuci
Belah
Kupas
0
Blancing 70 C/5 mnt
Blender / saring
Pasta
Mixing 10 mnt
Proses Pembusaan Dektrim 150 g/1kg bhan Tween 80 ml Asam sitrat 0,5 g
0
Keringkan 60 / 24 jam (foam mat drying)
Blender dan ayak 60 mesh
Serbuk Instan
+ gula halus 30 %
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan serbuk instan campuran tomat dan sirsak dengan metoda “foam mat drying” (Kumalaningsih, 2005). Dadih Dadih merupakan produk fermentasi susu kerbau yang diproses secara tradisional dan dikemas dalam tabung bambu (Setiyanto dan Muhammad, 2005). Produk ini merupakan makanan spesifik Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Sumatera Barat, dimana harga jual lebih tinggi dibanding susu kerbau, walaupun demikian dadih rakyat yang dihasilkan umur simpannya masih pendek yaitu hanya 4-5 hari dengan mutu tidak stabil (Afdi, et, al, 2005). 168
Mutu dadih ditentukan oleh kandungan gizi, cita rasa, dan tahan disimpan lebih lama. Secara tradisional susu kerbau bisa menjadi dadih bila diproses hanya dalam tabung bambu. Namun Sughita (1995) telah membantah pendapat tersebut dengan melaporkan hasil penelitiannya bahwa dadih yang dibuat dari susu kerbau dengan memakai stater S. Lactis dalam tabung plastic PVC dapat menghasilkan dadih dengan mutu gizi lebih baik dibanding dadih rakyat dan tahan disimpan selama 15 hari pada suhu ruang.
Dadih yang diproduksi di Sumatera Barat di buat dengan bahan susu kerbau dengan mengandalkan jasad renik yang ada di alam sebagai inokulan atau tanpa menggunakan stater tambahan. Mikroba diperkirakan dapat berasal dari daun pisang sebagai penutup bambu dan dari susu sendiri (Yudoamijoyo, et, al, 1983), serta dapat juga dari tabung bambu yang digunakan (Zaharia, et, al, 1998). Cara pembuatan dadih setiap daerah berbeda-beda, namun secara umum dapat dilihat pada Gambar. 3.
SUSU KERBAU
Ditutup dengan daun pisang yang sudah di layukan di atas api dan diikat
Dimasukkan dalam tabung bambu
Disimpan dalam suhu ruang, 24 jam
DADIH
Gambar 3. Diagram alir pembuatan dadih (Suryono, 2003)
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
169
PENUTUP Kesimpulan 1. Pangan fungsional adalah pangan yang berfungsi sebagai pencegahan suatu penyakit pada manusia bila dimakan atau dapat menurunkan efek negatif dari suatu penyakit. 2. Tomat sebagai pangan fungsional oleh karena tomat mengandung likopen dalam jumlah besar dan berperan sebagai antioksidan, dan berpengaruh dalam menurunkan resiko berbagai penyakit kronis seperti kanker. Sirsak sebagai pangan fungsional oleh karena sirsak mengandung annonaceae acetogenins, yang dapat menghambat sel kanker untuk berkembang. Dadih sebagai pangan fungsional oleh karena dadih mengandung sejumlah bakteri asam laktat, dimana bakteri tersebut dapat menghambat bakteri enterik pathoten, menurunkan kadar kolesterol, anti mutagenik, anti kasino genik, dapat memperbaiki sistem kekebalan tubuh dan mampu mencegah mutasi somatik yang menyebabkan kanker usus. 3. Produk pangan fungsional adalah hasil olahan dari bahan pangan alami yang berfungsi sebagai pencegahan suatu penyakit untuk menyehatkan tubuh, diantaranya pasta tomat, serbuk instan campuran tomat dengan sirsak dan dadih. Produk-produk tersebut mudah pengolahannya dapat dikembangkan pada industri rumah tangga dan dengan harapan dapat diaplikasikan pada masyarakat untuk menciptakan masyarakat sehat.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Rekomendasi 1. Perlu dilakukan Sosialisasi pemanfaatan tomat, sirsak dan dadih untuk dikonsumsi sebagai minuman dalam pencegahan terhadap penyakit, seperti kanker, tekanan darah tinggi, jantung, diabetes dan sebagainya. 2. Perlu dikembangkan dan disosialisasikan, melalui PKK pada daerah-daerah yang berpotensi untuk dikembangkan. 3. Perlu disosialisasikan cara pengolahan dalam pembuatan pasta tomat, pembuatan serbuk instan campuran tomat dan sirsak dan cara pembuatan dadih pada masyarakat.
170
DAFTAR PUSTAKA Afdi, E., F. Artati dan Aswardi (2005). Pengkajian pasca panen dadih di Sumatera Barat. Laporan kegiatan Tahun 2005 BPTP. Sumbar. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertaninan, Departemen Pertanian. Acarya, A. A., (1991). Makanan untuk membina kejernihan pikiran. Ananda Marga Indonesia. Jakarta. Arab, L. and S. Steck. (2000). Lycopene and cardiovaskuler disease. American Journal of Clinical Nutrition. 71:1691 – 1695. Arai, S (1997). Studies on functional foods in Japan: State of The Art. In Food Factors for Cancer Prevention Springer-Verlag, Tokyo. Devies, J (2009). Tomatos and health. Journal of Social Health. June: 120 (2): 81:82. Desrosier, NW. (1988). Teknologi pengawetan pangan. Penerjemah M. Muljoharjo. Penerbit UI – Press. Jakarta. Fardiaz. D, A. Apriyantono, S. Yasni, S. Budiyanto, dan NL. Puspitasari (1992). Penuntun praktikum analisa pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Hasler, C. M (1995). Functional Foods. The western perpective. Apaper presented in the first international conference on: East – West Persfective on Functional Food. Singapore September 26 – 27.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Herliana. E, N. Rifai (2011). Khasiat dan manfaat daun sirsak menumpas kanker. Penerbit Mata Elang Media. Jakarta. Hosono, A and T. Tono – oka (1995). Binding of Huang, K. C (1991). Chinese hurbs. CRC Pres. Tokyo. Kasma iswari, Edial Afdi dan Azman (2009). Kajian teknologi pemerahan susu kerbau dengan TPC maksimum 106 CFU/ml dan perbaikan mutu dadih ditingkat peternak Sumbar. Laporan akhir, BPTP – Sumbar. Tahun 2009. Kasma Iswari, E. Afdi dan Sriwaryati (2013). Peningkatan nilai tambah komoditas hortikultura melalui pengolahan produk kesehatan dari tomat dan sirsak. Laporan akhir, BPTP – Sumbar. Tahun 2013. Mery Astuti (1997). Makan fungsional dan peraturannya. Agritech. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, Vol 17 (4):29 – 32. Matsuzaki, T. (1991) Epidemiological Studies. Relations between Longevity and Eating Habits in Japan. A paper presented in the First International Conference on Nutrition and Aging, held in Tokyio, Oktober 28 – 30. Novary. EW (1996). Penanganan dan pengolahan sayur segar penebar swadaya. Jakarta.
171
Prangdimurti, E. (2001). Probiotik dan efek perlindungannya terhadap kanker kolon. Makalah Falsafah Sains (PPS 702). Program Pasca Sarjana S3. IPB. Bogor. Rao, A.V. and L. G. Rao (2003). Lycopene and human health. Nutritional Geromics and Functional Food. 1:35-44. Salminem, S, M. Deighton and S. Gorbach (1993). Lactid acid bacteria in health and disease, in: S. Salminen and A.V. Wright (Eds). Lactid Acih Bacteria. Marcel Dekker Inc. Newyork. Surono, I. S, J.K. D. Saono, A. Tomatsu, A. Matsuyama and A. Hosono (1983). Tradisional milk product made from buffalo milk use of higher plant as coagulant in Indonesia. Jpn J Dairy and Food Sci, 32:A103-A110. Surono, I, S., D. Nurani dan A. A. Dharmawati (1997). Seleksi bakteri asam laktat dadih sebagai stater susu fermentasi. Jurnal IPTEK – Institute Teknologi Indonesia No. VII: 39-43. Surono, I.S., and A. Hosono (1996). Antimutagenicity of milk cultured with lactid acid bacteria isolated from dadih. Milchwissenschaft; 51 (91):493 – 497. Setiyanto, H., Z. Muhammad (2005). Dadih, Kendala dan pemecahannya dalam Proseding Seminar Nasional Teknologi inovatif Pascapanen, 7 – 8 September, 2005. Bogor 419 – 423. Sugitha, I. M. (1995). Dadih: Olahan susu kerbau tradisional minang, manfaat, Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
kendala dan prospek dalam era industrilisasi Sumatera Barat, di dalam Iswari, et, al., (2009). Kajian teknologi pemerahan susu kerbau dengan TPC max 106 CFU/ml dan perbaikan mutu dadih di tingkat peternak Sumbar BPTP – Sumatera Barat. Suryono (2003). Dadih, produk olahan susu fermentasi tradisional. E-mail
[email protected]. Widowati, S., S. Lubis dan M. Hadifernata (2009). Teknologi pengolahan pangan fungsional berbasis padi. Buletin teknologi pasca panen pertanian. Balai Besar dan Pengembangan Pasca panen Pertanian. Bogor. Widyaningrum. H. (2011). Sirsak sibuah ajaib 10.000 x lebih hebat dari kemoterapi. Penerbit Med Press (anggota IKAPI). Yogyakarta. Wollowski, I., G. Rechkemmer, and B.L. Pool-Zobel (2001). Protective role of porbiotics in colon cancer. Am J Clin Nutr; 73(2):451s – 455s. Wirakartakusuma, K. Abdullah, A. Syarif (1992). Sifat-sifat pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Widjayanti, E., B. Haryanto dan Sumaryono (2004). Potensi dan prospek pangan fungsional Indigenous Indonesia. Seminar Nasional Pangan Fungsional Indigenous Indonesia. Potensi, Regulasi, Keamanan, Efikasi dan Peluang Pasar. Bandung, 6 – 7 Oktober 2004. 172
Yudoamijoyo, R. M., T. Zoelfikar, S.R. Herastuti, A. Tomomatsu. A. Matsuyama and A. Hosono (1983). Chemical and Microbiological aspects of dadih in Indonesia. Jpn j of Dairy and Food Sci: 32(1); 1-10. Zuhud. E. AM. (2011). Bukti kedahsyatan sirsak menumpas kanker. Penerbit PT. Agromedia Pustaka. Jakarta. Zakaria, Y. (2002). Aktivitas mitogen dari polysakarida yang diproduksi oleh bakteri asam laktat yang diisolasi dari dadih. Dalam:Prosiding Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner. Ciawi – Bogor. 30 September – 1 Oktober, 95 – 98.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
173
OPTIMASI MANFAAT EKONOMI PERTAMBANGAN DI WILAYAH HUTAN LINDUNG UNTUK MENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI SUMATERA BARAT Oleh Ansofino Naskah masuk : 18 November 2013
Naskah diterima : 27 Desember 2013
OPTIMIZATION OF THE ECONOMIC BENEFITS OF MINING IN PROTECTED FOREST AREA TO BOOST ECONOMIC GROWTH WESTERN SUMATRAN ABSTRACT The prime focus of this research are calculation of optimal economic benefit of mining in the forest conservation area of West Sumatra. How the potential of mining in forest protection area at West Sumatera, and how impact the power of mining toward fisical and social economic aspect on society in the west Sumatra, if when carry out transfers of the forest purpose to mining function. This research use of quantitative approach, and population and sampel are household, government and private of firm which execute the mining in the protection forest at west Sumatra, especially Pasaman regency, Solok and South of Solok regency. The research result refer to the First: the Potential of mining to protected forest in the west Sumatra be found of two clasification namely coal and other mineral based on KLUI and I-O data. Estimated more than 25.067,66 ton not identified and more than 14.244,36 ton and 10.823,30 ton already identification. The total potensial of mineral resources in west Sumatra greather than not identified, if compare with it identification. Consequences, the degree of significance of economic very small because the geology conviction is very low. The Second: the impact of mining activity about environment and fisical aspect in mining region can seen from proportion for value of environmental services most important the carbon contents in make certain about protected of forest economic benefit in west Sumatra only 2.29% the present of years and 43.06% lag of years. It mean the big proportion of value carbon is the last years of value of carbon. It implication are more and more ages the protected of forest, than the value of it carbon very hight, so when the execute of falling protected forest and the mining will be impact to loss of carbon 2,29% per hectar. Ecology and production function of forest area become quaranted economic and social function. The implication KP permit to give up only indeep mining permit. Key word: Potential mining, protected forest area, and multi purpose forestry ABSTRAK Fokus utama penelitian ini adalah mengkaji optimasi manfaat ekonomi pertambangan di wilayah hutan lindung Sumatera Barat, bagaimana potensi pertambangan di wilayah hutan lindung Sumatera Barat, dan bagaimana dampak kegiatan kuasa penambangan terhadap aspek fisik dan sosial ekonomi masyarakat di provinsi Sumatera Barat, jika dilakukan alih fungsi hutan ke fungsi pertambangan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah rumah tangga, perusahaan swasta dan perusahaan pemerintah yang melakukan penambangan di wilayah hutan lindung Sumatera Barat. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
174
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertama: Potensi pertambangan pada kawasan hutan lindung Sumatera Barat dapat diklasifikasikan atas dua yakni batu bara dan pertambangan dan bahan galian lainnya berdasarkan KLUI dan data I-O sebenarnya adalah sebesar 25.067,66 juta ton terdiri dari tidak teridentifikasi sebesar 14.244,36 juta ton dan sebesar 10.823,30 juta ton telah teridentifikasi. Total potensi sumber daya mineral Sumatera Barat lebih besar tidak teridentifikasi jika dibandingkan dengan yang teridentifikasi, akibatnya tingkat kelayakan ekonominya lebih kecil karena tingkat keyakinan geologinya semakin rendah pula. Kedua: Dampak kegiatan kuasa penambangan terhadap aspek fisik dan lingkungan di wilayah penambangan dapat dilihat dari proporsi nilai jasa lingkungan terutama kandungan carbon yang ada dalam menentukan manfaat ekonomi hutan lindung di Sumatera Barat hanyalah sebesar 2,29% pada tahun sekarang dan sebesar 43,06% pada tahun sebelumnya. Artinya, nilai carbon yang besar itu proporsinya adalah nilai carbon tahun lalu, implikasinya adalah bahwa semakin lama umur hutan lindung, maka nilai kandungan carbonnya semakin tinggi. Sehingga apabila dilakukan penebangan dan penambangan di hutan lindung akan berdampak terhadap kehilangan karbon 2,29% per hektarnya. Fungsi kelestarian ekologi dan produksi menjadi beban tanggung jawab fungsi kelestarian social ekonomi. Implikasinya izin-izin KP yang diberikan; terutama hanya izin tambang dalam (SIPD), harus menjamin berjalannya fungsi kelestarian ekologi dan produksi. Kata kunci: Potensi pertambangan, hutan lindung, dan hutan multiguna PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Luas penutupan lahan hutan di provinsi Sumatera Barat menurut SK Menteri Kehutanan dan perkebunan RI No: 422/KPTS-II/1999 masih cukup besar yakni mencapai 2,6 juta ha atau sebesar 61,4% dari luas provinsi Sumatera Barat yang mencapai seluas 4,2 juta ha. Diantara luas kawasan hutan tersebut, jika dilihat menurut fungsinya ternyata luas penutupan lahan hutan Sumatera Barat didominasi oleh hutan lindung dengan luas 910.533 ha atau sebesar 37,77 persen dari luas hutan yang ada, disusul oleh hutan suaka alam dan wisata seluas 846.175 ha atau sebesar 35,09 persen. Sedangkan hutan produksi seluas 407.840 ha atau 16,92 persen dan hutan produksi terbatas mencapai 246.383 ha atau hanya 10,22 persen dari luas hutan yang ada. Luas penutupan lahan hutan ini terus mengalami Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
penurunan, dimana tahun 2008 luas penutupan lahan hutan menjadi 1.831.320 ha yang didominasi oleh fungsi hutan kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan hutan perlindungan alam (KPA) dengan luas 608.450 ha atau sebesar 33,2 persen disusul oleh hutan lindung seluas 556.880 ha atau 30,4 persen. Sedangkan hutan produksi yang dapat dikonversi itu hanya seluas 93.240 ha atau sebesar 5,1 persen. Selebihnya adalah hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas masing masing mencapai 136.600 ha (7,5 persen) dan 274.890 ha (15 persen). Berdasarkan data di atas, ternyata wilayah provinsi Sumatera Barat itu didominasi oleh kawasan hutan lindung dan kawasan hutan suaka alam dan perlindungan alam, tetapi luas hutan lindung itu terus mengalami penurunan sebesar 38,8 persen selama periode 1999 sampai tahun 2008. Penurunan fungsi kawasan hutan terbesar itu berada pada kawasan hutan produksi 175
yang dapat dikonversi yakni mencapai 50,8 persen, disusul oleh menurunnya luas hutan produksi terbatas yang mencapai 44,6%. Sedangkan kawasan hutan yang relatif sedikit menurunnya adalah fungsi hutan KSA-KPA dan hutan wisata. Untuk lebih detilnya lihat tabel 1 di bawah. Pada sisi lain, sumbangan sub sektor kehutanan terhadap pembentukan PDRB provinsi Sumatera Barat itu tahun 1991 sampai 2008 terus mengalami kenaikan dari sebesar Rp 34.705 juta tahun 1991 atau 1,8 persen menjadi Rp 468.217 juta atau 1,4 persen, tetapi sharenya terhadap nilai PDRB Sumatera Barat mengalami penurunan. Hal ini berarti bahwa eksploitasi terhadap pemanfaatan hasil hutan terus mengalami peningkatan terutama untuk hasil hutan kayu dan non kayu, tetapi nilai produksi hasil hutan terus menurun dan juga mengindikasikan bahwa peran sub sektor kehutanan dalam pembentukan nilai PDRB terus berkurang. Luasan penutupan lahan hutan terbesar pada tahun 1991 adalah fungsi hutan untuk hutan lindung yakni mencapai 910.533 ha atau sekitar 35 persen dari luas penutupan hutan di tahun 1991 tersebut. Tetapi setelah satu dekade sampai tahun 2008 ini fungsi hutan yang paling luas adalah fungsi hutan untuk peruntukan KSA-KPA yakni seluas 608.540 ha atau 32,69 persen. Namun demikian luasan total penutupan hutan di wilayah Sumatera Barat mengalami penurunan sampai mencapai 28,4 persen, inilah laju deforestasi di Sumatera Barat selama sepuluh tahun terakhir. Laju berkurangnya luasan penutupan lahan hutan terbesar itu ada pada fungsi peruntukan hutan untuk HPK, HPT dan HL, semuanya diatas rata-rata deforestasi di wilayah Sumatera Barat. Hal inilah penyebab Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
terjadi menurunnya terus share sub sektor kehutanan dalam pembentukan nilai PDRB Sumatera Barat. Artinya, melemahnya peran sub sektor kehutanan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi ternyata telah digantikan oleh semakin menguatnya peran sektor pertambangan terutama sub sektor bahan galian strategis, galian vital dan bahan galian industri. Jadi, sektor yang dominan mendorong pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat pada satu dekade terakhir ini adalah sektor pertambangan dan galian, disamping sektor pertanian dan perdagangan, hotel serta restoran. Data menunjukkan bahwa sumbangan sub sektor pertambangan terhadap pembentukan nilai PDRB tahun 1991 adalah Rp 25.946 juta atau hanya 1,3 persen, terus mengalami kenaikan tahun 2008 menjadi Rp 1.028.828 juta atau 3,1 persen. Kenaikan terbesar ternyata dialami oleh sub sektor bahan galian yakni dari 0,7% tahun 1991 menjadi 2,5% tahun 2008. Sumber daya hutan menghasilkan bermacam manfaat mulai dari manfaat jasa lingkungan, hasil hutan non kayu, sampai kepada potensi bahan tambang terutama bahan galian strategis (golongan A) misalnya minyak bumi dan batu bara, bahkan sumber daya hutan juga mengandung bahan galian vital (golongan B) seperti emas, timah hitam, pasir besi, dan biji besi. Termasuk bahan galian yang akan dijadikan input untuk industri yakni batu kali batu gamping, batu kapur, obsidian, dan lain sebagainya. Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian Semakin meningkatnya aktifitas pertambangan terutama bahan galian di berbagai kabupaten dan Kota di Sumatera Barat 176
secara signifikan telah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dari sub sektor pertambangan dan bahan galian ini, tetapi di sisi lain, ternyata telah menyebabkan semakin berkurangnya luasan penutupan hutan terutama pada hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan lindung. Artinya, terdapat trade off antara peningkatan pertumbuhan ekonomi disatu sisi dengan penurunan luasan lahan hutan lindung disisi lain. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mencoba menelusuri potensi pertambangan di hutan lindung yang memungkinkan diterapkannya teknologi yang efektif dan efisien dalam pengelolaan potensi pertambangan dan kerusakan lahan hutan di hutan lindung dapat diminimalisir. Sehubungan dengan permasalahan ini, maka dapat diajukan pertanyaan penelitian yang lebih rinci yakni: 1. Bagaimana potensi pertambangan pada kawasan hutan lindung di Sumatera Barat ? 2. Bagaimana dampak kegiatan kuasa penambangan terhadap aspek fisik dan sosial ekonomi masyarakat di provinsi Sumatera Barat ? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengambarkan potensi dan peluang ke arah pengembangan investasi bahan tambang dan bahan galian yang terdapat dalam sumber daya alam wilayah Sumatera Barat, sehingga akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat. Tujuan yang lebih rinci adalah: 1. Menginventarisasi dan mengidentifikasi wilayah potensial pengembangan pertambangan pada kawasan hutan lindung Sumatera Barat. 2. Memperkirakan dan menghitung Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
dampak kegiatan kuasa penambangan terhadap aspek fisik dan aspek sosial ekonomi masyarakat di sekitar wilayah pertambangan itu berada dan dampak ekonominya terhadap perekonomian kabupaten kota dan Sumatera Barat. METODOLOGI 1. Kerangka Analisis dan Wilayah Penelitian Unit analisis yang digunakan adalah luasan penutupan lahan hutan yang dikategorikan sebagai hutan lindung sesuai dengan penetapan kawasan lindung oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan. Optimasi pemanfaatan lahan hutan lindung baik nilai kayu, nilai habitat dan nilai bahan galian atau bahan tambang yang terdapat dibawahnya, dengan memperhatikan kendala trade off antara manfaat ekonomi hutan dari hasil kayu dan jasa lingkungannya dengan manfaat lahan hutan dari potensi bahan galian dan tambang yang ada di dalam lapisan tanahnya. Pemanfaatan lahan hutan dominan. Optimasi pemanfaatan lahan hutan secara optimal untuk pemanfaatan multi guna terkendala oleh adanya potensi bahan galian dan tambang yang memberikan aliran benefit yang lebih besar bagi masyarakat lokal. Manakah yang lebih menguntungkan antara mempertahankan hutan lindung atau melakukan penambangan bahan galian dan bahan tambang? nilai ekonomi hutan lindung akan dihitung dan dibandingkan dengan nilai ekonomi bahan galian dan bahan tambang di hutan lindung, sehingga dengan memperhatikan biaya-biaya sosial dari kedua model pemanfaatan lahan hutan multiguna ini, kemudian dapat diperoleh suatu keputusan apakah pemanfatan lahan 177
hutan multiguna lebih cenderung untuk nilai jasa lingkungannya atau untuk diekploitasi bagi usaha bahan galian atau bahan tambang. Penelitian dilakukan dengan mengambil tempat di lahan hutan lindung yang ada di provinsi Sumatera Barat yang sekaligus memiliki potensi dan usaha penggalian dan penambangan potensi pertambangan. Selanjutnya penentuan lokasi sampel ditentukan oleh keberadaan usaha pengalian dan penambangan yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi baik oleh perusahaan swasta, masyarakat lokal maupun perusahaan pemerintah, sehingga dengan teknik random dipililah masing masing satu lokasi yang mewakili usaha dan kuasa penambangan di hutan lindung oleh ketiga pelaku ekonomi tersebut diatas, sehingga lokasi penelitian adalah kabupaten Pasaman, kabupaten Solok dan kabupaten Solok Selatan. 2. Penarikan Sampel Setelah ditentukan lokasi penelitian di daerah hutan lindung yang memiliki aktifitas pertambangan oleh tiga aktor ekonomi yakni rumah tangga masyarakat dalam bentuk penambangan individual rumah tangga, pelaku penambangan yang berasal dari perusahaan swasta dan perusahaan pemerintah, kemudian dari ketiga pelaku aktifitas penambangan di hutan lindung ini ditentukan jumlah sampelnya yakni unit rumah tangga yang melakukan penambangan di hutan lindung, unit usaha perusahaan yang melakukan penambangan di hutan lindung. Sedangkan jumlah sampel yang akan diambil pada ketiga kategori sampel ini, akan dilakukan dengan teknik
purposive sampling. 3. Data dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari unit analisis dengan cara wawancara berstruktur dan wawancara mendalam, dimana pewawancara menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang akan diajukan melalui kuisioner, menyangkut dengan data pribadi unit analisis yang sudah ditentukan, data sosial ekonomi rumah tangga, perusahaan swasta dan pemerintah yang melakukan usaha penambangan baik yang mendapat izin kuasa penambangan maupun yang belum mendapat izin penambangan (illegal minning). Data sekunder digunakan untuk memperoleh informasi tentang luasan lahan hutan lindung, lokasi penambangan di hutan lindung dan potensi bahan tambang yang sudah disurvey dan di deteksi oleh Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan (DGTL) Departemen Sumber daya Energi dan Mineral berserta jajaran dinasnya di daerah kabupaten kota yang ada di provinsi Sumatera Barat, termasuk semua informasi untuk membangun model optimasi pemanfaatan hutan multiguna dengan kendala nilai habitat dan nilai potensi lahan tambang. 4. Metoda Analisis Untuk analisis pemanfaatan lahan hutan lindung secara optimal digunakan model Hartmann (1976) yang menspesifikasi model pengelolaan hutan lindung sebagai hutan multi guna yakni sebagai berikut:
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
178
Dimana: U = Utility dari pengguna hutan lindung V = nilai manfaat ekonomi hutan khusus timbernya H = nilai ekonomi habitat hutan (seperti jasa lingkungan, satwa, dan biodiversity) M = nilai ekonomi bahan galian dan bahan tambang pada lahan hutan lindung yang diamati. Model Hedonic Pricing, dimana model ini menaksir pemanfaatan hutan yang dilindungi (protected areas) dengan menggunakan konsep hedonic yakni, menaksir nilai barang dan jasa dari manfaat lahan hutan lindung dengan mengagregatkan nilai atribut yang terkait dengan manfaat hutan lindung itu sendiri bagi kepentingan ekonomi dan lingkungan masyarakat. Modelnya mengambil bentuk fungsi persamaan linear yakni: Dimana: Yi = nilai perunit dari barang dan jasa yang melekat pada manfaat hutan lindung seperti nilai kayu, nilai non kayu, nilai potensi tambang, dll β = adalah vektor dari parameter yang diestimasi, ά = intersep dari model Xi = adalah variabel independennya yang terdiri dari: luas lahan hutan lindung, stumpage value, nilai jasa lingkungan, nilai habitat, nilai bahan talan, jarak lokasi kepemukiman penduduk, kandungan sumber daya air, nilai biodiversity, dan nilai lahan.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Potensi Pertambangan dan Bahan Galian di Hutan Lindung Sumatera Barat
Dalam melihat potensi sumber daya pertambangan dan mineral dapat digunakan kerangka system klasifikasi sumber daya dan cadangan mineral yang dikemukakan oleh Mc. Kerlvey (1973) yang membagi total sumber daya mineral menjadi teridentifikasi yakni mulai dari tereka, terindikasi, dan terukur, maka semakin terukur sumber daya mineral itu, semakin bernilai ekonomis tinggi. Tidak teridentifikasi yang terdiri dari perkiraan spekulatif dan hipotetis, pada kondisi ini potensi sumber daya pertambangan memiliki nilai ekonomi yang rendah dan tingkat keyakinan geologi yang rendah pula. Untuk lebih jelasnya lihat diagram di atas. Potensi sumber daya mineral dan pertambangan Sumatera Barat diklasifikasikan atas dua secktor menurut KLUI dan I-O Sumatera Barat tahun 2007 yakni batubara (30) dan penambangan dan penggalian lainnya (31). Sehingga dengan mengacu kepada system klasifikasi ini, maka dapat dikemukakan bahwa secara aggregate jumlah total sumber daya mineral Sumatera Barat yang diklasifikasikan atas dua yakni batu bara dan pertambangan dan bahan galian lainnya berdasarkan KLUI dan data I-O sebenarnya adalah sebesar 25.067,66 juta ton terdiri dari tidak teridentifikasi sebesar 14.244,36 juta ton dan sebesar 10.823,30 juta ton telah teridentifikasi. Jumlah total potensi sumber daya mineral yang tidak teridentifikasi dapat pula diklasifikasikan atas hipotetik dan spekulatif, dan ternyata jumlah potensi sumber daya mineral dengan klasifikasi hipotetik berjumlah 14.244,36 juta ton sedangkan untuk klasifikasi spekulatif tidak ada. Pada 179
sisi lain, jumlah potensi sumber daya mineral yang teridentifikasi dapat diklasifikasikan menjadi tertunjuk dan tereka, sehingga jumlah yang tertunjuk adalah sebesar 228,15 juta ton yang semuanya dikategorikan terukur sedangkan kategori terindikasi tidak ada. Sebaliknya untuk klasifikasi tereka adalah sebesar 10.595,15 juta ton. Sehingga dapat dikatakan bahwa total potensi sumber daya mineral Sumatera Barat lebih besar tidak teridentifikasi jika dibandingkan dengan yang teridentifikasi, akibatnya tingkat kelayakan ekonominya lebih kecil karena tingkat keyakinan geologinya semakin rendah pula. Maka untuk membuat kelayakan ekonominya semakin tinggi, maka tingkat keyakinan geologinya juga seharusnya semakin tinggi pula. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan penyelidikan geologinya menjadi teridenfikasi dengan kategori terukur dan terindikasi. Jumlah total potensi pertambangan batu bara adalah sebesar 457,19 juta ton yang terdiri dari tak teridentifikasi dengan tingkat keyakinan geologi pada keyakinan hipotetik adalah sebesar 308,4 juta ton atau 67,46 persen dari total sumber daya batu bara yang dimiliki Sumatera Barat, dan potensi sumber daya batubara yang teridentifikasi dengan
tingkat keyakinan geologi tereka adalah sebesar 35,43 juta ton atau 7,75 persen, serta potensi batubara yang teridentifikasi dengan tingkat keyakinan geologi terukur adalah sebesar 113,36 juta ton atau 24,79 persen. Potensi pertambangan batubara dengan tingkat keyakinan geologi terukur yang sangat besar itu terdapat di Kota Sawahlunto yakni sebesar 112 juta ton kabupaten Solok sebesar 1,26 juta ton. Sedangkan potensi batubara dengan tingkat keyakinan geologi tereka paling besar terdapat di kabupaten Sijunjung sebesar 32 juta ton terutama di kecamatan Sinamar dan Lubuak Tarab, dan kabupaten Solok sebesar 2,68 juta ton terutama di kecamatan X Koto dan Payung Sekaki. Terakhir potensi batubara dengan tingkat keyakinan geologi hipotetik paling besar itu terdapat di kabupaten Solok Selatan sebesar 229,43 juta ton, kabupaten Pesisir Selatan sebesar 36,03 juta ton dan kabupaten Tanah Datar sebesar 25 juta ton. Artinya, setidaknya terdapat 7 kabupaten dan kota yang memiliki potensi batubara dengan tingkat keyakinan geologi hipotetik tersebut, tetapi empat kabupaten potensial tersebut ternyata potensi batubaranya terdapat di kawasan hutan lindung yakni kabupaten Pesisir Selatan, Pasaman, Solok Selatan dan Dharmasraya.
Gambar 1: Tingkat Keyakinan Geologi Sumberdaya Batubara Sumatera Barat tahun 2009 Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
180
Gambar di atas memperlihatkan bahwa potensi sumber daya batubara Sumatera Barat paling besar berada pada tingkat keyakinan geologi hipotetik, disusul oleh terukur dan yang paling kecil adalah tereka. Apabila tingkat keyakinan geologi hipotetik ini dapat ditingkatkan tingkat keyakinannya melalui penyelidikan geologi yang lebih intensif, maka dapat dipastikan potensi sumber daya batubara Sumatera Barat dapat memberikan sumbangan yang sangat besar bagi dorongan pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat ke depan. Kendala yang dihadapi selama ini adalah upaya penyelidikan terhambat dan mendapat tantangan dari status lahan hutan dan lahan diatasnya. Hampir semua penyelidikan geologi yang dilakukan di kawasan hutan harus mendapat izin terlebih dahulu dari Departemen Kehutanan yang menganggap bahwa lahan hutan itu sendiri berada di bawah kewenangannya. Selanjutnya, potensi pertambangan dan bahan galian lainnya yang dimiliki Sumatera Barat adalah sebesar 25.067,66 juta ton terdiri dari tidak teridentifikasi dengan tingkat keyakinan geologi tingkat
hipotetik adalah sebesar 13.935,96 juta ton atau sebesar 57 persen, dan total sumber daya mineral yang teridentifikasi adalah berjumlah 10.674,51 juta ton atau 43,37 persen. Diantara total sumber daya bahan tambang lainnya yang teridentifikasi itu, maka paling besar adalah berada pada tingkat keyakinan geologi tereka yang berjumlah 10.559,72 juta ton atau sebesar 98,93 persen, sedangkan tingkat keyakinan geologi terukur hanya sebesar 114, 79 juta ton dan terindikasi tidak ada. Berarti untuk potensi sumber daya pertambangan dan bahan galian lainnya ini didominasi oleh tereka yang berada setingkat di bawah terindikasi dan terukur. Barangkali itulah sebabnya usaha penambangan jenis ini dominan dilakukan oleh usaha pertambangan rakyat, karena tingkat keyakinan geologinya masih belum tinggi, akibatnya corporate yang bermodal besar belum berani untuk melakukan penanaman investasi, tetapi sungguhpun demikian nilai ekonominya lebih tinggi dari batubara dalam memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan nilai tambah ekonomi.
Gambar 2: Tingkat Keyakinan Geologi Potensi Bahan Tambangan dan Galian Lainnya di Sumatera Barat
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
181
Gambar diatas memperlihatkan bahwa potensi pertambangan dan bahan galian lainnya paling dominan berada pada tingkat keyakinan geologi hipotetik dan tereka, sedangkan tingkat keyakinan tereka dan terukur relatif kecil persentasenya. Implikasinya adalah masih harus dilakukan eksplorasi lebih intensif agar tingkat keyakinan geologi ini dapat menjadi lebih teridentfikasi bahkan pada tingkat terukur, karena pada tingkat inilah usaha pertambangan besar dapat memulai mengucurkan investasinya di wilayah Sumatera Barat. Salah satu hambatan yang paling besar itu di dalam melakukan penyelidikan geologi yang lebih intensif adalah permasalahan dengan status lahan hutan di atasnya. Hal ini ditemui di kabupaten Solok dan kabupaten Pasaman. Maka untuk membuat potensi pertambangan Sumatera Barat dapat diketahui kelayakan ekonominya, maka diperlukan koordinasi dan kemudahan perizinan dari dinas kehutanan di kabupaten Kota yang bersangkutan. Jika koordinasi lintas dinas ini belum dapat dilaksanakan
Teridentifikasi 10.823 juta ton Tertunjuk 228 juta ton Terindikasi
Terukur 228 juta ton Ekonomis Para marginal Sub ekonomis Sub marginal
maka potensi pertambangan dan sumber daya mineral di Sumatera Barat tidak dapat diketahui kelayakan ekonominya. Berdasarkan kepada gambar 3 di bawah, jumlah total sumber daya mineral Sumatera Barat yang diklasifikasikan atas dua yakni batu bara dan pertambangan dan bahan galian lainnya berdasarkan KLUI dan data I-O sebenarnya adalah sebesar 25.067,66 juta ton terdiri dari tidak teridentifikasi sebesar 14.244,36 juta ton dan sebesar 10.823,30 juta ton telah teridentifikasi. Total potensi sumber daya mineral Sumatera Barat lebih besar tidak teridentifikasi jika dibandingkan dengan yang teridentifikasi, akibatnya tingkat kelayakan ekonominya lebih kecil karena tingkat keyakinan geologinya semakin rendah pula. Untuk membuat kelayakan ekonominya semakin tinggi, maka tingkat keyakinan geologinya juga seharusnya semakin tinggi pula. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan penyelidikan geologinya menjadi teridenfikasi dengan kategori terukur dan terindikasi. Total Sumberdaya Mineral 25.067 juta ton Tidak Teridentifikasi 14.244 juta ton Tereka 10.595 juta ton
Hipotetik 14.244 juta ton
spekulatif
Cadangan Sumberdaya Mineral
Gambar 3 : Diagram Sistem Klasifikasi Sumberdaya Mineral Sumatera Barat Potensi pertambangan batu bara dengan tingkat keyakinan geologi terukur yang sangat besar itu terdapat di Kota Sawahlunto yakni sebesar 112 juta ton kabupaten Solok sebesar 1,26 juta ton. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Sedangkan potensi batubara dengan tingkat keyakinan geologi tereka paling besar terdapat di kabupaten Sijunjung sebesar 32 juta ton terutama di kecamatan Sinamar dan Lubuak Tarab, dan kabupaten Solok sebesar 182
2,68 juta ton terutama di kecamatan X Koto dan Payung Sekaki. Terakhir potensi batubara dengan tingkat keyakinan geologi hipotetik paling besar itu terdapat di kabupaten Solok Selatan sebesar 229,43 juta ton, kabupaten Pesisir Selatan sebesar 36,03 juta ton dan kabupaten Tanah Datar sebesar 25 juta ton. Terdapat 7 kabupaten dan kota yang memiliki potensi batubara dengan tingkat keyakinan geologi hipotetik tersebut, tetapi empat kabupaten potensial tersebut ternyata potensi batubaranya terdapat di kawasan hutan lindung yakni kabupaten Pesisir Selatan, Pasaman, Solok Selatan dan Dharmasraya. Kendala yang dihadapi selama ini adalah upaya penyelidikan terhambat dan mendapat tantangan dari status lahan hutan dan lahan diatasnya. Hampir semua penyelidikan geologi yang dilakukan di kawasan hutan harus mendapat izin terlebih dahulu dari Departemen Kehutanan yang menganggap bahwa lahan hutan itu sendiri berada di bawah kewenangannya. Semua kawasan penyelidikan geologi yang dilakukan selalu diklaim sebagai kawasan hutan lindung, pada hal vegetasi yang ada disana tidak menunjukkan cirri-ciri sebagai hutan lindung. Hal ini ditemui di kabupaten Solok dan kabupaten Pasaman. Maka untuk membuat potensi pertambangan Sumatera Barat dapat dikatahui kelayakan ekonominya, maka diperlukan koordinasi dan kemudahan perizinan dari dinas kehutanan di kabupaten Kota yang bersangkutan. Jika koordinasi lintas dinas ini belum dapat dilaksanakan maka potensi pertambangan dan sumber daya mineral di Sumatera Barat tidak dapat diketahui kelayakan ekonominya. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
2. Nilai Ekonomi Hutan Lindung dan Pertambangannya Penghitungan manfaat ekonomi hutan lindung dengan segala potensinya adalah dengan menggunakan model ekonometrika dinamik. Variable dependennya adalah manfaat ekonomi hutan lindung yang nilainya diperoleh dari manfaat hutan dari sektor kehutanan sendiri dan manfaat hutan lindung yang mengandung nilai ekonomi tambang yang nilainya diambil dari nilai PDRB Sumatera Barat dari sektor pertambangan. Sedangkan variable independennya adalah nilai jasa lingkungan yang datanya diperoleh dari nilai karbon per ha yang dihasilkan dari luasan hutan lindung yang ada, dimana untuk satu hektar luasan hutan lindung akan mengandung 71,65 ton/ha karbon, variabel bebas berikutnya adalah nilai timber yang diperoleh dari nilai stumpage hutan lindung yang ada, dan terakhir adalah variabel nilai ekonomi tambang untuk semua jenis bahan galian tambang. Sebelum model diregresikan dengan menggunakan data time series, maka dilakukan terlebih dahulu pengujian unit root (unit root test) yang bertujuan untuk mengetahui apakah semua variabel dalam error correction model (ECM) adalah stationer atau non stationer (Thomas, 1997 dan Verbeek, 2000), pada order process yang keberapa model time series yang dimiliki stationer atau sesuai, yang pada akhirnya dapat terhindar dari regressi palsu (spurious regression).
183
3. Hasil uji unit root untuk variabel manfaat ekonomi hutan lindung:
Koefisien dari log(me_hl)(-1) dari persamaan di atas adalah ǿ =0,7688 hasil estimasi dari ǿ adalah positif, dan t* ratio adalah juga positif 3,2403, sehingga pengujian dari critical value pada tingkat kepercayaan 0,05 tidak cukup negatif untuk menolak hipotesis non stationer, oleh karena itu, agar model menjadi stabil, maka variabel log(me_hl) menjadi first order AR process, variable ini harus di defference satu kali agar menjadi stationer. Hasilnya adalah bahwa koefisien log(me_hl) ǿ= -0,0361 dan t* rationya = -0,1733. sehingga hasil estimasi ǿ dan t* rationya cukup negatif untuk menolok hipotesis non stationer karena critical value untuk t* pada tingkat kepercayaan 0,01 (1%) ǿ = -3,8867 tingkat kepercayaan 0,05 (%) ǿ= -3,0521 dengan jumlah n= 17. Sehingga terima hipotesis H1 yang menyatakan bahwa hasil estimasi adalah stationer. Berarti dependent variabelnya yakni manfaat ekonomi hutan lindung harus memasukan 2 lag variabelnya dalam variable penjelas, tetapi tetap diestimsi dengan penjumlahan nilai koefisiennya. Setelah diestimasi antara variabel manfaat ekonomi hutan lindung dengan 2 variabel lagnya, maka diperoleh persamaan manfaat ekonomi hutan lindung yang dipengaruhi oleh lagnya dalam jangka panjang. Sehingga jumlah elastisitas β yang diestimasi adalah menjadi 0,7327. hal ini berimplikasi bahwa saling hubungan jangka panjang dalam manfaat ekonomi hutan lindung dapat diestimasi dengan: Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Kemudian, jika dihitug mean lag untuk menyimpulkan lag strukturnya, dari variable dependentnya adalah:
Yang berarti bahwa rata-rata perubahan dalam lag manfaat ekonomi hutan lindung mengambil 0,049 periode sebelum lag ini mempengaruhi manfaat ekonomi hutan lindung, maksudnya manfaat ekonomi sekarang hanya dipengaruhi oleh manfaat ekonomi hutan lindung tahun sebelumnya pada 0,049 periode atau lebih kurang 3 bulan lalu manfaat ekonomi hutan lindung sebelumnya. Jika demikian halnya maka faktor nilai jasa lingkungan yang dihitung dari nilai karbon menjadi faktor yang cukup berpengaruh di samping faktor lainnya.
!"
4. Hasil uji unit root untuk variabel nilai jasa lingkungan: Hasil uji unit root memperlihatkan bahwa variabel jasa lingkungan menjadi stationer setelah di difference 1 kali, yang berarti harus memasukan dua variabel lagnya ke dalam model manfaat ekonomi hutan lindung. Nilai t* statistic Augmented Dickey-Fuller test adalah sebesar -3,0179 dan ternyata tidak cukup negatif untuk mampu menolak hipotesis non stationer pada tingkat kepercayaan 1% dan 5% yang nilai t* sattistiknya masing-masing sebesar -4,2971 dan -3,2127. tetapi pada tingkat 184
kepercayaan 10% ternyata cukup signifikan untuk menolak non stationer yakni t* rationya adalah sebesar -2, 7475. Berarti untuk variable nilai jasa lingkungan harus memasukkan 2 lag variabelnya untuk dapat mempengaruhi manfaat ekonomi hutan lindung. Implikasinya, nilai jasa lingkungan yang diambil dari nilai karbon yang akan mempengaruhi nilai manfaat ekonomi hutan lindung adalah apabila nilai karbon dua
tahun yang lalu, atau nilai karbon yang relatif lebih padat yang ditunjukkan oleh semakin lebatnya daun pohon tegakan hutan. Semakin lebat daun pohon tegakan hutan, semakin padat karbon yang dihasilkan. Sehingga nilai jasa lingkungan berupa kandungan karbon di hutan lindung sangat dipengaruhi oleh seberapa padat nilai karbon yang diperoleh pada 2 tahun sebelumnya. Hasil estimasinya adalah sebagai berikut:
Elastisitas dari jasa lingkungan tahun sebelumnya adalah ǿ = -0,1174 hasil estimasi dari ǿ adalah negatif, dan t* rationya adalah juga negative yakni sebesar -0,3227 sehingga pengujian critical value dengan tingkat kepercayaan 0,05 % adalah sebesar -3,2127 sehingga ǿ tidak cukup negative untuk dapat menolok hipotesis non stationer, tetapi pengujian critical value dengan tingkat kepercayaan 0,10% adalah sebesar -2,7477 cukup negatif untuk mampu menolak
hipotesis non stationer. Artinya, variabel jasa lingkungan harus dimasukan satu variabel lagnya untuk dapat mempengaruhi nilai manfaat ekonomi hutan lindung. Setelah diestimasi antara variabel manfaat ekonomi hutan lindung dengan variabel jasa lingkungan dengan satu lag variabelnya, maka diperolehlah persamaan manfaat ekonomi hutan lindung sebagai berikut:
Berdasarkan hasil estimasi ini, maka jumlah elastisitas β yang diestimasi adalah -3,5215 hal ini menunjukkan bahwa saling hubungan jangka panjang antara manfaat ekonomi hutan nilai dengan nilai jasa lingkungannya terutama nilai kandungan karbon dapat diestimasi dengan: ##
Tanda negatif koefisien dari elastisitasnya menunjukkan hubungan yang terbalik antara manfaat ekonomi hutan lindung dengan nilai jasa lingkungan terutama jumJurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
lah karbon yang tersedia. Artinya, apabila jumlah karbon berkurang sebesar 1 persen, maka manfaat ekonomi hutan lindung untuk non hutan akan bertambah sebesar Rp 3,52 juta/ha, demikian pula sebaliknya. 5. Hasil uji unit root untuk variabel stumpage value Hasil uji unit root untuk variabel nilai stumpage value memperlihatkan bahwa Nilai t* statistic Augmented Dickey-Fuller test adalah sebesar -4,3009 dan ternyata sangat cukup negatif untuk mampu menolak 185
hipotesis non stationer pada semua tingkat kepercayaan 1% , 5% dan 10% yang nilai t* statistiknya masing-masing sebesar -3,8574 dan -3,0404 serta -2,6606. Sehingga variabel nilai stumpage value tidak perlu dimasukkan
variabel lagnya dalam model manfaat ekonomi hutan lindung. 6. Hasil uji unit root untuk variable nilai tambang dan galian.
Hasil uji unit root memperlihatkan bahwa nilai t* statistic Augmented DickeyFuller test adalah -4,5348 sangat cukup negative untuk menolak hipotesis non satationer pada semua tingkat kepercayaan yakni 1% adalah sebesar -3,8868 selang kepercayaan 5% adalah -3,0522 dan selang kepercayaan 10% adalah -2,6665. Sehingga variabel nilai tambang dan bahan galian pada
hutan lindung berada pada first order process (AR)1 yang berarti harus memasukan satu variabel lagnya dalam mode. Selanjutnya dengan meregresikan variabel manfaat ekonomi hutan lindung dengan variabel nilai tambang dan galian bersama satu variabel lagnya, maka diperoleh hasilnya sebagai berikut:
Maka jumlah elastisitas β yang dapat diestimasi adalah menjadi 0,8974 hal ini menujukkan bahwa saling hubungan jangka panjang antara manfaat ekonomi hutan lindung dengan variabel nilai pertambangan dan galian dapat diestimasi dengan:
Tanda positif koefisien dari elastisitasnya menjelaskan bahwa hubungan searah antara manfaat ekonomi hutan lindung dengan dengan variable nilai pertambangan dan galian sebagai nilai non hutan yang terdapat di hutan lindung, dimana peningkatan nilai tambang dan bahan galian sebesar 1% di hutan lindung, maka akan menyebabkan semakin meningkatnya manfaat ekonomi hutan lindung sebesar Rp 89,74 juta.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Berdasarkan hasil uji unit root yang telah dilakukan, maka dapat katakan bahwa masing-masing variable yang mempengaruhi manfaat ekonomi hutan lindung berada pada first order process (AR)1, kemudian variable dependennya yakni manfaat ekonomi hutan lindung memiliki satu lagnya, yang mencerminkan bahwa manfaat ekonomi hutan lindung juga dipengaruhi oleh manfaat ekonomi pada tahun sebelumnya. Tabel 1 di bawah memperlihatkan bahwa hanya variable stumpage value yang dapat diestimasi tanpa menggunakan lagnya karena pada tingkat level, variable ini telah menjadi stationer. Sedangkan variabel lainnya berada pada first order process (AR)1 termasuk juga variable dependentnya.
186
Tabel 1: Hasil uji unit root manfaat ekonomi hutan lindung No
Order AR Proses untuk mencapai Stationer
Variabel
Nilai yang dapat diestimasi
Statistik Augmented Dickey-Fuller (ADF)
1.
Manfaat ekonomi HL
(AR)1
0,7327
-4,3317***
2.
Nilai Jaslink (carbon)
(AR)1
-3,5215
-3,0179**
3.
Stumpage Value
(AR)
-0,0199
-4,3009
4.
Nilai Tambgali
(AR)1
0,8974
-4,5348***
*** signifikan pada semua level kepercayaan (1%, 5%, 10%) ** signifikan pada level kepercayaan (10%)
Implikasi dari keadaan diatas, adalah bahwa model manfaat ekonomi hutan lindung hanya dapat diestimasi dengan metoda maximum likelihood auto reggresive conditional heteroskedastisitas (ML-ARCH) yang ada dalam paket Eview 4.1. Hasil estimasi setelah memasukkan variabel lagnya baik variable dependent
maupun variable independentnya dengan menggunakan metoda Auto Reggresive moving average (ARMA). Maka berdasarkan model ARMA ini, manfaat ekonomi hutan lindung dapat diestimasi untuk meramalkan manfaat ekonomi hutan lindung Sumatera Barat dengan hasil estimasi sebagai berikut:
$%"
%&
%& ' ( )*' ( ) (%+ ", "%" -./01 201
Dari hasil estimasi diperoleh nilai parameter variabel lag manfaat ekonomi hutan lindung yakni: (1-(ǿ)= (1-(0,3277)) = 0,6723 Kemudian dapat ditentukan nilai parameter lag variable manfaat ekonomi hutan lindung ini untuk koefisien ǿ*β0 sebagai berikut: β0 = = 1,1352 Sehingga apabila dikalikan dengan nilai lag variable manfaat ekonomi hutan
lindung akan memberikan nilai konstanta yakni ǿ*β0 = 0,7632 yang akan memberikan keyakinan bahwa perubahan pada variable penjelas, maka nilai manfaat ekonomi hutan lindung itu adalah sebesar Rp 763, 2 juta/ tahun ini adalah nilai manfaat ekonomi hutan lindung tanpa nilai tegakan kayu, jasa lingkungan dan nilai tambangnya. Berdasarkan nilai koefisien β yang sudah diperoleh, maka dapat dikemukakan persamaan nilai manfaat ekonomi hutan lindung sekarang dan masa depan yakni:
4 %" %" " /5'("5 67"8"(( )" 5
Interpretasi terhadap model manfaat ekonomi hutan lindung ini adalah bahwa dengan koefisien determinasi (R2) sebesar Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
0,996 berarti 99% variasi dalam variable independent dapat menjelaskan variasi pada dependent variable atau variasi dalam 187
manfaat ekonomi hutan lindung. Kemudian dengan nilai AIC dan BIC yang lebih kecil juga dapat memberikan pengujian yang dapat dipercaya bahwa model manfaat ekonomi hutan lindung ini dapat menjelaskan variasi dalam manfaat ekonomi hutan lindung di Sumatera Barat. Oleh karena itu, berdasarkan pengujian keseluruhan, maka model ini dapat diterima dan dapat digunakan untuk menjelaskan nilai manfaat ekonomi di Hutan Lindung Sumatera Barat.
Proporsi Nilai manfaat ekonomi hutan lindung yang disebabkan oleh perubahan variabel dependennya lebih kecil dari pada perubahan yang disebabkan oleh variabel dependennya sendiri. Diantara jumlah proporsi dari seluruh variabel independennya yang mempengaruhi manfaat ekonomi hutan lindung itu adalah nilai ekonomi pertambangan dan bahan galian, untuk lebih detilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2: Hasil Uji Ekonometrika Dinamik Manfaat Ekonomi Hutan Lindung Sumatera Barat No
Variabel
Order AR Proses untuk mencapai Stationer
Koefisien manfaat ekonomi HL
Proporsi Manfaat Ekonomi HL (%)
1. 2. 3. 4. 5.
Variabel independent Nilai Jaslink (carbon)t Nilai Jaslink (carbon)t-1 Stumpage Value Nilai Tambgali (t) Nilai Tambgali (t-1) Jumlah Proporsi manfaat ekonomi
(AR) (AR)1 (AR) (AR) (AR)1
-0,0067 -0,1261 -0,0199 0,7312 -0,1430 0,4355
2,29 43,06 6,80 249,73 48,84
-0,5414 -3,0179** -4,3009 -1,0447 -4,5348***
48,74
-4,3317***
6.
HL setelah dikalikan dengan ∑ ǿ = 0,6723 Lag Dependent Variable Manfaat ekonomi HL (t-1)
Statistik Augmented Dickey-Fuller (ADF)
0,2928 (AR)1
0,3277
Jumlah Proporsi penyesuaian 0,6723 manfaat ekonomi HL *** signifikan pada semua level kepercayaan (1%, 5%, 10%) ** signifikan pada level kepercayaan (10%)
Tabel 2 diatas memperlihatkan bahwa proporsi nilai jasa lingkungan terutama kandungan karbon yang ada dalam menentukan manfaat ekonomi hutan lindung di Sumatera Barat hanyalah sebesar 2,29% pada tahun sekarang dan sebesar 43,06% pada tahun sebelumnya. Artinya, nilai karbon yang besar itu proporsinya adalah nilai karbon tahun lalu, implikasinya adalah bahwa semakin lama umur hutan lindung, maka nilai kandungan karbonnya semakin tinggi. Sedangkan proporsi stumpage value adalah sebesar 6,80% yang menentukan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
manfaat ekonomi hutan lindung di Sumatera Barat, artinya pemanfaatan kayu dan non kayu dalam hutan lindung lebih kecil proporsi manfaat ekonominya dari nilai karbon apabila dipertahankan tegakannya pada tahun sebelumnya. Implikasinya adalah bahwa karena nilai kayu pada hutan lindung lebih kecil perannya dalam membentuk nilai manfaat hutan lindung, maka tegakan kayu harus terus tidak ditebang agar nilai karbonnya semakin besar, sebab nilai karbon yang dihitung adalah dari daun-daun kayu yang ada di dalam hutan lindung. 188
Berikutnya, proporsi nilai pertambangan dan bahan galian ternyata paling besar dalam menentukan nilai manfaat ekonomi hutan lindung yakni 2,5 kali lipat dari nilai karbon dan nilai tegakan kayunya yakni mencapai 249,74% untuk tahun sekarang dan sebesar 48,84% pada tahun sebelumnya. Implikasinya adalah bahwa nilai sekarang dari manfaat ekonomi sumber daya hutan lebih tinggi dari pada nilai manfaat ekonomi hutan lindung dari pada tahun sebelumnya, oleh karena itu, usaha untuk mengkonservasi hutan lindung bagi kepentingan manfaat ekonomi masa sekarang akan lebih baik daripada melakukan eksploitasi pada tahun sebelumnya. Nilai manfaat ekonomi hutan lindung dengan adanya potensi tambang adalah sebesar 48,84%, tetapi apabila potensi pertambangan dan bahan galian itu akan ditambang atau diolah, maka nilai manfaat ekonomi hutan lindung akan menjadi 2,5 kali lipat daripada belum dieksploitasi. Jadi, berdasarkan analisis ekonometrika dinamik ini dapat dikatakan bahwa nilai ekonomi hutan lindung itu di Sumatera Barat di dominasi oleh nilai ekonomi pertambangan dan bahan galian, nilai tegakkan kayu dan nilai jasa lingkungan relative lebih kecil dibandingkan dengan nilai pertambangan dan bahan galiannya. Semakin tua umur hutan lindung semakin tinggi nilai jasa lingkungan terutama nilai kandungan carbon yang dimilikinya. Namun jika di bandingkan dengan nilai ekonomi pertambangan dan bahan galian yang terkadung didalamnya, maka semakin lama umur hutan lindung, semakin rendah nilai ekonomi pertambangan dan bahan galiannya, karena nilai ekonomi pertambangan dan bahan galian ini semakin besar pada waktu sekarang daripada waktu sebelumnya. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Artinya, discount factor terhadap umur pemanenan hasil pertambangan dan bahan galian akan sangat menentukan dalam menilai manfaat ekonomi hutan lindung. Semakin mendekati masa sekarang, maka semakin tinggi nilai ekonomi pertambangannya. Oleh karena itu, keputusan untuk memanen bahan tambang dan galian di hutan lindung sangat menguntungkan di masa sekarang dibandingkan dengan di masa lalu, apabila menunda masa pemanenan bahan tambang dan bahan galian, maka nilai ekonomi bahan tambang semakin besar. 7. Optimasi Pemanfaatan Hutan Lindung Sumatera Barat Model eksploitasi hutan lindung yang digunakan adalah model pemanfaatan hutan multi guna (Hartman, 1996). Fungsi tujuan adalah optimalisasi manfaat ekonomi hutan lindung antara aktifitas pertambangan, pemanfaatan hasil kayu dan non kayu serta manfaat jasa lingkungan dengan menghitung nilai karbon yang dihasilkan. Tipe pemanfaatan hutan lindung yakni antara mengkonservasi dan melakukan eksploitasi. Sedangkan fungsi kendala adalah biaya produksi setiap pemanfaatan hutan lindung tersebut. Model mengambil bentuk fungsi non linear dan di run dengan menggunakan solver GAMS 20.2. Hasilnya memperlihatkan bahwa nilai fungsi tujuan (objective value) yang memperlihatkan manfaat ekonomi hutan lindung dengan ketiga jenis pemanfaatan yakni pemanfaatan kayu dan non kayu, jasa lingkungan, dan pertambangan mencapai total benefitnya sebesar Rp 3.162 triliun dengan nilai koefisien produksi untuk eksploitasi sebesar 6,82 dan nilai koefisien untuk konservasi sebesar 2,14. sedangkan 189
nilai koefisien ekses produksi untuk tambang mencapai 2,35 lebih kecil dari koefisien jasa lingkungan yakni 4,74 dan nilai koefisien stumpage value hanya sebesar 3,60. artinya, nilai koefisien eksploitasi lebih besar dari nilai koefisien konservasi, maka diperoleh nilai manfaat hutan lindung sebesar Rp 3.162 triliun, tetapi nilai marginal manfaat tambang menjadi nol, dan nilai marginal manfaat jasa lingkungan mencapai Rp 211,21 milyar, serta nilai marginal stumpage value mencapai Rp 599,42 milyar. Total benefit ini telah mempertimbangkan biaya pinalti akibat kegiatan pertambangan, dengan nilai koefisien biaya penalti sebesar 1000, sedangkan koefisien biaya penalti untuk jasa lingkungan dan stumpage value adalah nol. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan eksploitasi tambang agar nilai jasa lingkungan dan nilai tegakkan kayu masih dapat diperoleh masing-masing sebesar Rp 211,21 milyar dan Rp 599,42 milyar pasca produksi, maka mengisyaratkan penggunaan teknologi tambang dalam. Artinya, pemanfaatan potensi tambang haruslah tidak merusak dan mengurangi nilai jasa lingkungan dan nilai tegakan kayu yang ada diatasnya, karena diakhir kegiatan eksploitasi harus masih menyisakan nilai jasa lingkungan dan nilai tegaklan kayu di hutan lindung Sumatera Barat. Berdasarkan hasil optimasi manfaat hutan lindung dengan konsep hutan multiguna Hartman (1976), sehingga dengan ketiga jenis pemanfaatan hutan yakni manfaat tegakan kayu dan non kayu, manfaat jasa lingkungan, dan manfaat pertambangan, dimana nilai koefisien tambang lebih besar dari kedua jenis pemanfaatan hutan lindung lainnya. Sehingga setelah dioptimasi, ternyata total benefit yang akan diperoleh dalam manfaat Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
ekonomi hutan lindung Sumatera Barat itu mencapai Rp 3.162 trilun. Excess produksi dari manfaat ekonomi hutan lindung hanya terdapat pada jenis pemanfaatan hutan untuk jasa lingkungan sebesar Rp 211,21 milyar dan manfaat stumpage value sebesar Rp 599,42 milyar, sedangkan dari manfaat tambang telah menjadi nol. Artinya, walaupun manfaat tambang yang diperoleh telah mencapai optimal, tetapi manfaat jasa lingkungan dan stumpage value masih tetap ada. Oleh karena itu, pertambangan yang dilakukan dapat dilakukan dengan teknologi tambang dalam yang mampu mempertahankan nilai jasa lingkungan dan nilai tegakan kayu di atasnya. Izin pertambangan yang diberikan haruslah dalam bentuk izin pertambangan dalam, atau penerima izin pertambangan harus benar-benar mampu menjamin nilai manfaat jasa lingkungan dan nilai tegakan kayu pasca tambang masih tetap ada. Teknologi pertambangan dalam dapat dilakukan agar vegetasi hutan di atasnya tidak mengalami kerusakan sehingga nilai tegakan kayu dan jasa lingkungan pasca tambang masih dapat diperoleh. Oleh sebab itu, izin penambangan yang akan diberikan oleh pemerintah di hutan lindung, sebaiknya izin penambangan dalam, sedangkan prosedur yang harus dilakukan oleh actor pemohon izin adalah melakukan kajian AMDAL terutama untuk mengetahui dampak social ekonomi dan dampak fisik secara total apabila dilakukan aktifitas pertambangan di hutan lindung Hal ini sejalan dengan pasal 39, UU nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batubara yang menyatakan bahwa persyaratan untuk izin usaha 190
penambangan salah satunya adalah perlunya dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum izin penambangan dikeluarkan oleh Menteri Pertambangan atau jajaran pemerintah di bawahnya untuk lokasi tambang yang hanya di satu wilayah kabupaten. Analisis mengenai dampak sosial ekonomi dan dampak fisik terhadap pertambangan dalam pada hutan lindung tentu sangatlah penting dilakukan sebelum kegiatan penambangan dalam diberikan. Pilihan teknologi penambangan dalam tentunya akan terkendala oleh besarnya social cost dan degradation cost yang harus di pertimbangkan oleh aktor pemegang izin penambangan dalam.
tingkat keyakinan geologinya semakin rendah pula. Potensi pertambangan batu bara dengan tingkat keyakinan geologi terukur yang sangat besar itu terdapat di Kota Sawahlunto yakni sebesar 112 juta ton Kabupaten Solok sebesar 1,26 juta ton. Sedangkan potensi batu bara dengan tingkat keyakinan geologi tereka paling besar terdapat di Kabupaten Sijunjung sebesar 32 juta ton terutama di Kecamatan Sinamar dan Lubuak Tarab, dan Kabupaten Solok sebesar 2,68 juta ton terutama di Kecamatan X Koto dan Payung Sekaki. Potensi pertambangan dan bahan galian lainnya (31) yang dimiliki Sumatera Barat adalah sebesar 25.067,66 juta ton terdiri dari tidak teridentifikasi dengan tingkat keyakinan geologi tingkat hipotetik adalah sebesar 13.935,96 juta ton atau sebesar 57 persen, dan total sumber daya mineral yang teridentifikasi adalah berjumlah 10.674,51 juta ton atau 43,37 persen. Diantara total sumber daya bahan tambang lainnya yang teridentifikasi itu, maka paling besar adalah berada pada tingkat keyakinan geologi tereka yang berjumlah 10.559,72 juta ton atau sebesar 98,93 persen, sedangkan tingkat keyakinan geologi terukur hanya sebesar 114, 79 juta ton dan terindikasi tidak ada.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan kepada permasalahan dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, dan dengan menggunakan sejumlah peralatan analisis hutan multiguna untuk membahas hasil dan temuan penelitian pada bab-bab pembahasan, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1.
Potensi pertambangan pada kawasan hutan lindung Sumatera Barat dapat diklasifikasikan atas dua yakni batu bara dan pertambangan dan bahan galian lainnya berdasarkan KLUI dan data I-O sebenarnya adalah sebesar 25.067,66 juta ton terdiri dari tidak teridentifikasi sebesar 14.244,36 juta ton dan sebesar 10.823,30 juta ton telah teridentifikasi. Total potensi sumber daya mineral Sumatera Barat lebih besar tidak teridentifikasi jika dibandingkan dengan yang teridentifikasi, akibatnya tingkat kelayakan ekonominya lebih kecil karena
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
2.
Dampak kegiatan kuasa penambangan terhadap aspek fisik dan lingkungan di wilayah penambangan dapat dilihat dari proporsi nilai jasa lingkungan terutama kandungan karbon yang ada dalam menentukan manfaat ekonomi hutan lindung di Sumatera Barat hanyalah sebesar 2,29% pada tahun sekarang dan sebesar 43,06% pada tahun sebelumnya. 191
Artinya, nilai karbon yang besar itu proporsinya adalah nilai karbon tahun lalu, implikasinya adalah bahwa semakin lama umur hutan lindung, maka nilai kandungan karbonnya semakin tinggi. Sehingga apabila dilakukan penebangan dan penambangan di hutan lindung akan berdampak terhadap kehilangan karbon 2,29% per hektarnya. Penerapan teknologi yang tepat guna dalam pengembangan pertambangan di hutan lindung Sumatera Barat adalah dengan menggunakan konsep pemanfaatan hutan multiguna. Implikasinya izin-izin KP yang diberikan; terutama hanya izin tambang dalam (SIPD), harus menjamin berjalannya fungsi kelestarian ekologi dan produksi dengan melakukan studi AMDAL terlebih dahulu, dengan memberikan bukti bahwa kelola social ekonomi yang akan dilakukan di hutan lindung mampu menutupi biaya degradasi (degradation cost) yang timbul akibat KP yang diberikan izin. Arah kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota adalah dengan memberikan dan menerbitkan izin KP pada kawasan hutan lindung yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi pertambangan dan bahan galian yang tinggi, dengan persyaratan bahwa nilai manfaat ekonomi pertambangan dan bahan galian lebih dua kali lipat dari nilai manfaat ekonomi untuk jasa lingkungan dan nilai tegakkan kayu dan non kayu yang ada. Apabila, nilai manfaat ekonomi pertambangan dan penggalian lebih besar dan mampu mengkonvensasi nilai-nilai ekonomi dari jasa lingkungan dan stumpage value, maka izin KP di hutan lindung dapat dilakukan. Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Rekomendasi Berdasarkan temuan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1.
Potensi pertambangan dan bahan galian Sumatera Barat yang dominan itu baru pada tingkat keyakinan geologi dan keyakinan ekonomis yang rendah, maka diperlukan usaha penelitian dan survey potensi yang lebih detil pada setiap singkapan batuan yang mengandung bahan tambang di Hutan Lindung Sumatera Barat.
2.
Usaha penelitian (eksplorasi) dan survey potensi pertambangan di hutan lindung yang dilakukan seharusnya bukan hanya survey pertambangan dan bahan galiannya, tetapi juga dilengkapi dengan penelitian dan survey yang lebih lengkap tentang seberapa besar nilai degradasi lingkungan yang akan terjadi.
3.
Kabupaten dan kota yang memiliki potensi pertambangan dan bahan galian yang nilai manfaat ekonominya lebih besar dari nilai manfaat jasa lingkungannya, perlu dilakukan penurunan statusnya menjadi hutan produksi terbatas, agar dapat dimanfaatkan potensi ekonominya ini.
192
DAFTAR PUSTAKA Alder,D. (1995). Growth Modelling for Mixed Tropical Forest, University of Oxford Tropical Forestry Paper: 30. Anwar, A (2001) Kerangka Ekonomi Fundamental Dalam Menghadapi Masalah Sumber daya Kehutanan, PWD, PPS IPB, Bogor. Barreteau, O , Bousquet, F, dan Attonaty, J. (2001). Role Playing game for opening the Black box of Multiagent systems: Method and lessons of its Application to Senegal river Valley Irrigated Systems, http://jasss. soc.surry.ac.uk/4/2/5.html, 20 May 2001. Blairr, Orr. Pickend, J.B, Amend, J. (2001). Economic Values of Protected Areas Associated with Private Property Along Michigan’s Lake Superior Shoreline, Michigan Technology University Press, tt. Boland, L.A. (1988). The Methodology of Economic Model Building, Routledge, London. Fauzi, A. (2004). Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan, Gramedia, Jakarta. Feentra, J.F. Burton, I. Smith, B.J. dan Tol, R.S.J. (1998). Hand book on Methods for Climate Change Impact Assessment and Adaptation Strategies, UNEP Vrije Universiteit Amsterdam, tt. Halvorsen, R. dan Smith, T.R. (1984). On Measuring Natural Resource Scarcity, Journal Political Economy, Vol. 62, No: 5 Oktober 1984, University of Chicago. Hartwick, J.M, dan Olewiler, N.D.(1998). The Economies of Resource Use, Addison Wesley Educational Publishers, Massachusetts. Johansson, P.O. (1996). Cost-Benefit Analysis of Environmental Change, Cambrige University Press, London.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Purnomo, H. (2003). A modeling Approach to Colaborative Forest Management, Fahutan IPB, Bogor, tt. Schlager, E. dan Ostrom, E. (1992). Property- Rights Regime and Natural Resources: A Conceptual Analysis, Land Economics, Vol. 68 No: 3 Augustus 1992. Stiglitz, J. E. (2002). Globalisasi and Its Discountents, PT Inapublikatama, Jakarta. Thomas, R.L. (1997). Modern Econometrics: an Introduction, Addison- Wesley, Harlow, England. Leonard, D dan Long N.V. (1992). Optimal Control Theory and Static Optimization in Economics, Cambridge University Press. USA. Van den Berg, JCJM, (2002). Handbook of Environmental and Resource Economics, Edwar Elgar, Northampton, USA. Hanna, S.S. (1996). Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment, Island Press, USA. Andayani, W. (tt). Ekonomi Kehutanan, Fahutan UGM, Yogyakarta. Pearce, D.W. and Turner, R.K. (1990). Economics of natural resources and the Environment, Harvester Wheatsheafs, New York. Wise, R. dan Chaco, O (2003). Tree-crop interaction and their environmental and economic Implication in the Presence of carbon-sequestratiion Payments, University of New England, NSW, Australia.tt.
193
POTENSI GAMBIR DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN LIMAPULUH KOTA Oleh Yulmar Jastra Bappeda Provinsi Sumatera Barat Naskahmasuk masuk: 28 : 28November Oktober 2013 Naskah 2013
Naskah Naskahditerima diterima: 23 : 23Desember Desember2013 2013
GAMBIR AND DEVELOPMENT POTENTIAL STUDY KONSTRIBUSION THE ECONOMIC LIMAPULUH KOTA DISTRICT Abstract Gambir and Development Potential Study Konstribusion the Economic Limapuluh Kota District has been committed in August to November in 2011 , with the aim of : Seeing the potential development of the economy konstribusion of Gambier in Limapuluh Kota District, as well as processed products that have been developed gambier. The findings showed that the commodity gambier thrive in the Limapuluh Kota District with the 15470.5 ha area planted and production reached 7743.16 tons scattered in 9 districts of the 13 districts . Potential land for gambier development in the Limapuluh Kota District of 6715.5 ha spread in the districts include districts Bukit Barisan 2291.0 ha , pangkalan Koto Baru 1815.0 ha , Lareh Sago Halaban 722.0 ha, Kapur IX 902.5 ha, and Harau 700.0 ha . In 2011 the agricultural sector of the economy is still dominant in the Limapuluh Kota District when viewed from the side of PDRB according to the business field . The agricultural sector contributes to the economy by 34.53 percent , and the trade sector , the hotel and restaurant ranks second with a contribution of 21.74 percent ( from year to year tends to increase ) and the services sector amounted to 15.21 percent and processing industry 9.64 percent ( down from 2009 ) . Diversification of processed commodity products are pretty much the gambier for drugs ; cosmetics ; foods and beverages ; chemicals and agro industry. Keywords : potential gambir , PDRB and refined products gambier
Abstrak Kajian Potensi Pengembangan Gambir dan Kontribusinya terhadap Perekonomian Kabupaten Limapuluh Kota telah dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan November tahun 2011, dengan tujuan untuk melihat potensi pengembangan gambir dan kontribusinya terhadap perekonomian Kabupaten Limapuluh Kota, serta produk olahan gambir yang sudah dikembangkan. Hasil kajian menunjukkan bahwa Komoditi gambir berkembang di Kabupaten Limapuluh Kota dengan luas pertanaman mencapai 15.470,5 ha dan produksi 7.743,16 ton yang tersebar pada 9 kecamatan dari 13 kecamatan. Potensi lahan untuk pengembangan gambir di Kabupaten Limapuluh Kota sebesar 6.715,5 ha yang tersebar pada kecamatan-kecamatan antara lain kecamatan Bukit Barisan 2.291,0 ha, Pangkalan Koto Baru 1.815,0 ha, Lareh Sago Halaban 902,5 ha Kapur IX 722,0 ha dan Harau 700,0 ha. Pada tahun 2011 sektor pertanian masih dominan terhadap perekonomian di Kabupaten Limapuluh Kota bila ditinjau dari sisi PDRB menurut lapangan usaha. Sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 34,53 persen terhadap perekonomian, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran menduduki urutan kedua dengan kontribusi sebesar 21,74 persen (dari tahun ke tahun cendrung meningkat) dan jasa-jasa sebesar 15,21 persen dan sektor industri pengolahan 9,64 persen (turun dari tahun 2009). Diversifikasi produk olahan komoditi gambir sudah cukup banyak antara lain untuk Obat-obatan; kosmetik; makanan dan minuman; bahan kimia dan agro industry. Kata Kunci: potensi gambir, PDRB dan produk olahan gambir Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
194
PENDAHULUAN Tanaman gambir (Unicaria gambir (Hunter Roxb) adalah komoditas spesifik Lokasi Sumatera Barat. Artinya komoditas ini tumbuh dan berkembang secara baik di daerah ini dan merupakan mata pencaharian pokok yang memegang peranan penting dalam penerimaan pendapatan masyarakat serta pendapatan daerah dan Negara, yaitu sebagai komoditas ekspor yang mampu memberikan sumbangan besar pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah dan Devisa untuk Negara ( Gumbira S, 2008,Bappeda 2007; Bappeda, 2011). Sentra penghasil gambir Sumatera Barat terbagi atas 2 yaitu sentra utara meliputi daerah Kabupaten 50 Kota antara lain Kecamatan Mahat, Sungai Sembilan, Pangkalan Kotobaru dan Kapur IX. Sedangkan sentra selatan adalah wilayah Kabupaten Pesisir Selatan antara lain Kecamatan Koto XI tarusan dan Kabupaten Sawahlunto Sijunjung (Nazir, 2000, Danian, 2004). Disamping dua sentra yang disebutkan di atas beberapa daerah tingkat II di Sumatera Barat yang juga tengah mengembangkan komoditi gambir adalah Kabupaten Agam dan kabupaten Pasaman. Prospek pasar dan potensi pengembangannya cukup baik karena digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai industri. Gambir banyak diusahakan dalam skala usaha tani perkebunan rakyat di Sumatera Barat dan termasuk dalam sepuluh komoditas ekspor utama provinsi ini. Ekspor gambir Indonesia lebih dari 80 persen berasal dari Sumatera Barat, dengan negara tujuan ekspor meliputi Australia, Bangladesh, Hongkong, India, Malaysia, Nepal, Pakistan, Taiwan, Jepang, Saudi Arabia, Filipina, Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Thailand dan Singapura (Gumbira, 2009, Bappeda, 2010; Bappeda, 2011). Disamping sebagai penyumbang devisa, usaha tani gambir juga merupakan mata pencaharian bagi lebih kurang 125.000 kepala keluarga petani atau sekitar 15 persen penduduk Sumatera Barat (Pemda Limapuluh Kota, 2012). Di Indonesia terutama di Sumatera Barat gambir digunakan secara tradisional untuk pelengkap makan sirih dan obat – obatan. Sedangkan di Malaysia biasa digunakan sebagai obat luka bakar, obat sakit kepala dan lumbago, dan rebusan daunnya digunakan sebagai obat diare dan disentri serta sebagai obat kumur – kumur pada sakit kerongkongan. Gambir juga dapat digunakan sebagai obat penyakit sariawan, sakit kulit, mencret dan lain – lain. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Melihat potensi pengembangan gambir 2) dan melihat konstribusinya terhadap perekonomian Kabupaten Limapuluh Kota 3) serta melihat produk olahan gambir yang sudah dikembangkan di Indonesia. METODOLOGI Lokasi pengkajian adalah Kabupaten Limapuluh Kota yang dilaksanaan pada bulan Agustus sampai dengan November tahun 2012. Metode pengkajian adalah kualitatif yang dilakukan secara bertahap: (a) Desk Study; (b) Survei petani dengan wawancara dengan petani dan penjabat Dinas terkait. (Irawan, 2006; Driyamedia, 1996; Badan Litbangtan, 1999). Desk study bertujuan untuk mengkompilasi data sekunder tentang luas dan produksi gambir, potensi daerah. Disamping itu juga menghimpun hasilhasil penelitian yang relevan dan teknologi yang telah dihasilkan mendukung pengem195
bangan komoditi gambir. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan petani dan menggunakan kuessioner. Analisis data dilakukan secara deskriptif, tabulasi (%, nisbah, rata-rata), HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Luas, produksi dan potensi pengembangan gambir
Luas tanaman gambir di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2010 seluas 24.910 ha dengan produksi 26.782 ton. Di Sumatera Barat gambir berkembang di Kabupaten Limapuluh Kota dengan luas pertanaman mencapai 15.470,5 ha dengan produksi 7.743,16 ton yang tersebar pada 9 kecamatan dari 13 kecamatan di wilayah Kabupaten Limapuluh Kota (Tabel 1).
Tabel 1. Luas tanam Produksi Gambir di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, 2011 No
Kecamatan
Belum produktif
Luas tanaman (ha) Produktif
Total
70,0
539,0
609,0
257,72
6,0
-
6,0
-
-
-
-
-
38,0
135,5
173,5
199,20
-
-
t-
-
Produksi
1
Payakumbuh
2
Akabiluru
3
Luak
4
Lareh Sago Halaban
5
Situjuh V Nagari
6
Harau
147,0
849,9
996,9
1.182,76
7
Guguak
25,0
29,0
54,0
54,0
8
Mungka
46,0
532,0
578,0
252,72
9
Suliki
71,5
83,6
155,1
-
10
Bukit barisan
21,0
2.621,0
2.642,0
1.400,0
11
Gunung Omeh
-
-
30,0
-
12
Kapur IX
280,0
5.600,0
5.880,0
1.710,0
13
Pangkalan Kt Baru
607,0
3.739,0
4.346,0
2.661,0
1.341,5 825 7.260.5 630,0 1.214,12
14.129,0 13.752,0 12,646,0 12.646,0 12.047,0
15.470,5 14.577,0 19.906,5 13.336,0 13.261,0
7.743,16 7.924,00 9.699,48 9.699,00 9.240,00
Total
2011 2010 2009 2008 2007
Sumber: KDA Lima Puluh Kota Tahun 2012
Dengan menggunakan data produksi gambir kabupaten Limapuluh Kota dan harga gambir pada tingkat petani lebih kurang sebesar Rp. 20.000,- per kg, dengan demikian total uang beredar dari komoditi gambir ini yang langsung dinikmati oleh
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
petani (pemilik dan pengolah) lebih kurang sebesar Rp. 154,863 miliar per tahun atau rata-rata Rp. 12,905 miliar per bulan. Gambir umumnya ditanam pada lahan berbukit dan bergelombang dan potensinya seperti tertera pada Tabel 2.
196
Tabel 2. Potensi lahan untuk pengembangan gambir di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, 2010. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kecamatan Kapur IX Pangkalan Koto Baru Luak Suliki Guguak Lareh Sago Halaban Akabiluru Mungka Harau Payakumbuh Bukik Barisan Situjuah Limo Nagari Gunung Omeh Jumlah
Jenis Topografi Lahan (ha)
Potensi Lahan (ha)
0
0
Datar (0 -15 ) 180,5 14,0 45,0 1.398,0 1.637,5
722,0 1.815,0 14,0 69,0 902,5 122,0 700,0 80,0 2.291,0 6.715,5
0
0
Bergelombang (>15 -30 ) 541,5 1.815,0 69,0 902,5 122,0 700,0 35,0 893,0 5.078,0
Sumber: Sumber: Dinas Perkebunan tahun 2011
Potensi lahan untuk pengembangan gambir di Kabupaten Limapuluh Kota sebesar 6.715,5 ha yang tersebar pada kecamatan-kecamatan antara lain kecamatan Bukit Barisan 2.291,0 ha, Pangkalan Koto Baru 1.815,0 ha, Lareh Sago Halaban 902,5 ha Kapur IX 722,0 ha dan Harau 700,0 ha. Gambir merupakan komoditi yang diusahakan oleh rakyat, tetapi sampai saat ini proses pengolahannya masih terbatas pada produk yang berupa ekstrak kering tersebut dengan teknologi yang sangat sederhana. Hasil olahan gambir ini dapat digunakan un-
tuk bahan baku industri obat tradisional, farmasi, pigmen, hormon pertumbuhan, biopestisida, astrigen, antiseptic, penjernih air baku bir, pemberi rasa pahit pada bir, dan sebagai penyamak kulit (Heyne, l987; Wahyono et al. l998. Dalam kehidupan sehari-hari gambir juga digunakan sebagai campuran makan sirih dan acara adat (Fiani dan Denian, l994). Jumlah dan sebaran kelompok tani gambir di Kabupaten Limapuluh Kota dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Jumlah dan sebaran kelompok tani gambir di Kabupaten Limapuluh Kota tahun 2010. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kecamatan Kapur IX Pangkalan Koto Baru Luak Suliki Guguak Lareh Sago Halaban Akabiluru Mungka Harau Payakumbuh Bukik Barisan Situjuah Limo Nagari Gunuang Omeh Jumlah
Jumlah Kelompok 20 8 9 2 14 3 17 4 77
Luas Kebun Gambir (Ha) 600 537 252 69 250 204 525 200 2.637
Sumber: Dinas Pertanian dan Perkebunan kabupaten 50 Kota, Tahun 2011
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
197
Daerah pengembangan yang besar terdapat di kecamatan Kapur IX ada 20 kelompok tani dengan luas kebun gambir 722 ha, di kecamatan Harau 17 kelompok tani gambir dengan luas 525 ha, di kecamatan Lareh Sago Halaban 14 kelompok tani gambir dengan luasan 250 ha. Rata-rata masing-masing kelompok seluas 26,48 ha. Pada umunya kawasan tanaman gambir berada pada daerah perbatasan dengan hutan lindung, hal ini yang menjadi masalah dalam perluasan areal tanaman gambir, Pemecahan masalah yang perlu ditawarkan adalah bagaimana di Kabupaten Limapuluh Kota dilakukan konversi atau alih fungsi lahan hutan lindung menjadi areal penggunaan untuk budidaya gambir dan mencari jalan keluar dalam bentuk regulasi tanah ulayat yang demikian luas untuk dapat dimanfaatkan sebagai lahan budidaya dan investasi. Gambir merupakan komoditi yang
diusahakan oleh rakyat, tetapi sampai saat ini proses pengolahannya masih terbatas pada produk yang berupa ekstrak kering tersebut dengan teknologi yang yang sangat sederhana. Hasil olahan gambir ini dapat digunakan untuk bahan baku industri obat tradisional, farmasi, pigmen, hormon pertumbuhan, biopestisida, astrigen, antiseptic, penjernih air baku bir, pemberi rasa pahit pada bir, dan sebagai penyamak kulit (Heyne, l987; Wahyono et al. l998. Dalam kehidupan sehari-hari gambir juga digunakan sebagai campuran makan sirih dan acara adat (Fiani dan Denian, l994). 2. Konstibusi gambir terhadap Perekonomian Dominannya sektor pertanian terhadap perekonomian di Kabupaten Limapuluh Kota terlihat bila ditinjau dari sisi PDRB menurut lapangan usaha (Tabel 4).
Tabel 4. Peran sector ekonomi dalam PDRB atas dasar harga berlaku (persen) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sector Pertanian Pertambangan& pengalian Industry pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel&restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan &jasa perusahaan Jasa-jasa PDRB
2007 34,58 6,91
2008 34,11 7,32
Tahun 2009 33,59 7,38
10,09 0,43
10,18 0,41
10,16 0,41
9,90 0,39
9,64 0,37
2,85 21,30
2,94 21,31
3,15 21,45
3,38 21,65
3,55 21,74
5,70
5,73
5,73
5,65
5,73
2,48
2,44
2,50
2,43
2,36
15,65 4.196.793,44
15,76 5.021.813,27
15,62 2.528.842,99
15,24 6.296.265,75
15,21 7.160.864,31
Pada tahun 2011 sektor pertanian masih dominan terhadap perekonomian di Kabupaten Limapuluh Kota bila ditinjau dari sisi PDRB menurut lapangan usaha. Sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
2010 34,29 7,40
2011 34,53 6,73
34,53 persen terhadap perekonomian, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran menduduki urutan kedua dengan kontribusi sebesar 21,74 persen (dari tahun ke tahun cenderung meningkat) dan jasa-jasa sebesar 198
15,21 persen dan sektor industri pengolahan 9,64 persen (turun dari tahun 2009). Penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB belum diiringi oleh semakin meningkatnya konstribusi sektor industri dan pengolahan yang disebabkan oleh masih rendahnya nilai tambah sektor pertanian dalam industri pengolahan hasil, karena komoditinya masih didominasi oleh produk primer dan sub sektor ini yang menjadi andalan dalam peningkatan nilai tambah dalam pembentukan PDRB Kabupaten Limapuluh Kota. Usaha perkebunan gambir merupakan salah satu usaha kegiatan ekonomi yang berperan dalam menambah pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
petani serta memberikan kontribusi terhadap perekonomian suatu daerah, dengan menambah luas areal baru lahan yang selama ini belum produktif. Selain berperan meningkatkan produksi hasil gambir, juga memberikan kesempatan kerja bagi tenaga kerja, menigkatkan upah dan pendapatan bagi tenaga kerja yang digunakan dalam perluasan dan industri pengolahan gambir. Produk domestik regional bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kondisi perekonomian daerah dalam periode tertentu. Pada tablel 5 dapat dilihat kontribusi gambir terhadap PDRB atas dasar harga berlaku di Kabupaten Limapuluh Kota.
Tabel 5. Konstribusi gambir terhadap PDRB atas dasar harga berlaku di Kabupaten Limapuluh Kota tahun 2007-2011 No.
Tahun
Produksi gambir (ton)
Harga gambir (Rp/kg)
Nilai komoditi (jt. Rupiah)
Nilai PDRB (jt. Rupiah)
Konstribusi (%)
2007 2008 2009 2010 2011
9.240,00 9.699,00 9.699,48 7.924,00 7.743,16
18.300 16.750 28.000 26.000 37.000
169.092,00 162.458,25 271.585,44 206.024,40 286.496,90
4.196.793,43 5.021.813,26 5.528.842,98 6.296.265,75 7.160.864,31
4,03 3,23 4,91 3,27 4,00
Sumber: Dinas Perkebunan Sumbar, Tahun 2012
Dari tabel 5 dapat dilihat kontribusi komoditi gambir terhadap PDRB atas harga berlaku Kabupaten Lima Puluh Kota, dimana pada tahun 2007 nilai komoditi gambir sebesar Rp 169.092,00 memberikan kontribusi sebesar 4,03 persen, selanjutnya pada tahun 2008 turun menjadi Rp 162.458,25 dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 3,23 persen dan pada tahun 2009 nilai komoditi gambir naik kembali menjadi Rp 271.585,44 dengan konstribusi terhadap PDRB Kabupaten Lima Puluh Kota menjadi 4,91 persen, hal ini disebabkan kerena harga gambir naik menjadi Rp 28.000,-/kg. Dan pada tahun 2010 harga gambir turun Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
lagi menjadi Rp 26.000,-/kg dan produksi juga turun dari pada tahun 2009. Pada tahun 2011 walau pun produksi turun tetapi dengan harga gambir yang cukup tinggi yaitu Rp 37.000,-/kg sehingga nilai komoditi gambir naik menjadi Rp 286.496,90 dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 4,00 persen. Gambir merupakan komoditi yang mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap hasil produksi sub sektor perkebunan secara keseluruhan, hampir setengah dari hasil produksi perkebunan disumbangkan dari hasil produksi gambir. Untuk mengetahui kontribusi gambir terhadap sektor perkebunan berikut disajikan 199
data kontribusi gambir terhadap sub sektor perkebunan: Untuk melihat kontribusi komoditi gambir
terhadap PDRB sektor pertanian dapat dilihat pada tabel 6.
Table 6. Konstribusi gambir terhadap PDRB sektor pertanian atas dasar harga berlaku di kabupaten Limapuluh Kota tahun 2007-2011 No.
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011
Produksi gambir (ton) 9.240,00 9.699,00 9.699,48 7.924,00 7.743,16
Harga gambir (Rp/kg) 18.300 16.750 28.000 26.000 37.000
Nilai komoditi (jt rupiah) 4.196.793,43 5.021.813,26 5.528.842,98 6.296.265,75 7.160.864,31
Nilai PDRB Sektor pertanian (jt. Rupiah) 1.451.373,71 1.713.161,14 1.857.228,89 2.159.498,40 2.473.114,92
Konstribusi (%) 11,65 9,48 14,62 9,54 11,58
Sumber: Dinas Perkebunan Sumbar, Tahun 2012
Dari tabel 6 dapat dilihat kontribusi komoditi gambir terhadap PDRB sektor pertanian Kabupaten Lima Puluh Kota. Pada tahun 2007 kontribusi komoditi gambir terhadap PDRB sektor pertanian sebesar 11,65 persen, turun menjadi 9,48 persen pada tahun 2008, hal ini disebabkan karena harga gambir turun menjadi Rp 16.750/kg, namun pada tahun
2009 harga gambir naik kembali menjadi Rp 28.000,-/kg sehingga kontribusi komoditi gambir kembali meningkat menjadi 14,62 persen, dan pada tahun 2011 kontribusi komoditi gambir kembali turun menjadi 11,58 persen, karena produksi gambir turun lagi menjadi 7.743,16 ton.
Table 7. Konstribusi gambir terhadap PDRB sektor perkebunan atas dasar harga berlaku di kabupaten Limapuluh Kota tahun 2007-2011 No.
Tahun
Produksi gambir (ton)
Harga gambir (Rp/kg)
Nilai komoditi (jt. Rupiah)
2007 2008 2009 2010 2011
9.240,00 9.699,00 9.699,48 7.924,00 7.743,16
18.300 16.750 28.000 26.000 37.000
4.196.793,43 5.021.813,26 5.528.842,98 6.296.265,75 7.160.864,31
Nilai PDRB Sector perkebunan (jt. Rupiah)
Konstribusi (%)
458.783,53 510.518,92 605.849,37 707.214,41
35,41 53,9 34,01 40,51
Sumber: Dinas Perkebunan Sumbar, Tahun 2012
Dari tabel 7 diatas dapat dilihat kontribusi komoditi gambir terhadap sub sektor perkebunan cukup besar dimana pada tahun 2008 kontribusi komoditi gambir sebesar 35,41 persen. Kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2009 dengan kontribusi 53,9 persen dan pada tahun 2010 dan turun lagi menjadi 34,01 persen dan tahun 2011 menjadi 40,51 persen. Penyebab Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
turunnya pada tahun 2010 dan tahun 2011 karena terjadinya penurunan produksi gambir. 3. Produk olah Gambir yang sudah berkembang Secara modern gambir dimanfaat di berbagai industri seperti farmasi, makanan, kosmetik, kimia dan agro industri, berikut 200
akan di uraikan kegunaan gambir dalam industri : a. Tinta Pemilu Tinta pemilu berbahan baku gambir asalan merupakan salah satu produk hilir gambir hasil penelitian para peneliti di Balai Riset dan Standarisasi ( Baristand ) Sumatera Barat. Selain melakukan penelitian mengenai tinta pemilu. Latar belakang penelitian tinta pemilu berbahan alami yang terbuat dari gambir adalah : 1. Pemilu Legislatif tahun 2004 menggunakan tinta pemilu dengan kadar AgNO3 berkisar lebih 10%-15% 2. WHO mensyaratkan pengguanaan AgNO3 di bawah 4% 3. Tinta pemilu tahun 2009 penggunaan AgNO3 adalah 3,6%-4% tahan 1-3 hari Karakteristik Tinta Pemilu Gambir Berwarna ungu, tidak mengandung bahan yang dapat menimbulkan iritasi, tidak melapisi permukaan kulit (air tetap menembus kulit pada waktu berwuduk), telah mendapatkan sertifikat halal oleh LPPOM dan MUI serta tidak luntur jika dicuci dengan sabun dan deterjen. Keuntungan penggunaan tinta alami adalah tidak merusak kulit, harga lebih murah dibandingkan tinta pemilu berbahan kimiawi, tidak merusak kesehatan dan tidak merusak lingkungan. b. Produk Katekin Katekin adalah salah satu produk turunan yang diperoleh dari komponen utama tanaman gambir. Gambir selain dari gambir murni, gambir terstandarisasi, tanin dan alkaloid. Katekin yang dihasilkan dari proses yang tepat dapat menghasilkan nilai komersial yang sangat tinggi. Penggunaan katekin gambir cukup banyak untuk kepentingan di berbagai industri yaitu industri kesehatan, kosmetik Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
(antiaging dan antioksidan), makanan dan minuman dan pewarna. Katekin murni memiliki nilai komersial yang sangat tinggi yaitu USD 150/10 mg. Pada industri farmasi, katekin digunakan dalam pembuatan berbagai macam obat seperti obat penyakit hati, permen pelega tenggorokan, obat skait perut, obat sakit gigi, obat penyakit azheimer, obat anti kanker dan pasta gigi. Pada industri kosmetika, katekin digunakan dalam pembuatan produk krim anti penuaan, krim anti jerawat, anti ketombe, perawatan rambut rusak dan sabun mandi. Pada industri pewarna, katekin digunakan sebagai bahan untuk pewarna kain wol dan sutra, pewarna kulit samak, pewarna rambut dan pewarna makanan. Saat ini, gambir di ekspor masih dalam bentuk gambir yang diproduksi secara tradisional dengan kadar katekin <50% yang nilainya relatif rendah, sedangkan pasar ekspor menghendaki kadar katekin di ats 55%. Metode inovatif ini dinilai prospektif karena dapat meningkatkan kadar katekin gambir melalui beberapa tahapan, yakni pelarutan dengan air panas, pencucuian berulang, pelarutan dengan pelarut organik dan dikeringkan dengan spray dyer. Proses pemurnian tersebut menghasilkan produk katekin dengan kadar >90%. c. Produk Olahan Gambir Universitas Andalas Laboratorium Andalas Farma telah melakukan diversifikasi pemanfaatan gambir sebagai obat-obatan, kosmetik, makanan dan minuman, bahan kimia dan agro industi. Produk obat-obatan berupa obat untuk anti diare, obat mag, diabetes militus, obat luka dan kumur-kumur. Untuk kosmetik berupa antiaging, antiacne dan anti ketombe. Untuk makanan dan minuman berupa pengawet makanan dan minuman, katevit (minuman kesehatan), teh gambir, dan permen gambir. 201
Untuk industri kimia berupa bahan untuk pengawet kayu, lem kayu, tinta gambir, dan zat pewarna. Hasil produk olahan gambir untuk penyamakan kulit yang berbahan dasar gambir telah di uji cobakan pada UPTD penyamakan kulit di kota Padang Panjang oleh Bapak Prof. DR. Anwar Kasim, dimana hasilnya lebih baik dari pada memakai tannin yang di impor dari luar negeri yang bersumber dari tanaman Mimosa (Kasim dan Mutiar, 2012) PENUTUP Kesimpulan 1. Komoditi gambir berkembang di Kabupaten Limapuluh Kota dengan luas pertanaman mencapai 15.470,5 ha dan produksi 7.743,16 ton yang tersebar pada 9 kecamatan dari 13 kecamatan. 2. Potensi lahan untuk pengembangan gambir di Kabupaten Limapuluh Kota sebesar 6.715,5 ha yang tersebar pada kecamatan-kecamatan antara lain kecamatan Bukit Barisan 2.291,0 ha, Pangkalan Koto Baru 1.815,0 ha, Lareh Sago Halaban 902,5 ha Kapur IX 722,0 ha dan Harau 700,0 ha. 3. Daerah pengembangan yang besar terdapat di kecamatan Kapur IX ada 20 kelompok tani dengan luas kebun gambir 722 ha, di kecamatan Harau 17 kelompok tani gambir dengan luas 525 ha, di kecamatan Lareh Sago Halaban 14 kelompok tani gambir dengan luasan 250 ha. Rata-rata masing-masing kelompok seluas 26,48 ha. 4. Pada tahun 2011 sektor pertanian masih dominan terhadap perekonomian di Kabupaten Limapuluh Kota bila ditinjau dari sisi PDRB menurut lapangan Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
5.
6.
7.
usaha. Sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 34,53 persen terhadap perekonomian, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran menduduki urutan kedua dengan konstribusi sebesar 21,74 persen (dari tahun ke tahun cendrung meningkat) dan jasa-jasa sebesar 15,21 persen dan sektor industri pengolahan 9,64 persen (turun dari tahun 2009). Pada tahun 2011 walau pun produksi turun tetapi dengan harga gambir yang cukup tinggi yaitu Rp 37.000,-/ kg sehingga nilai komoditi gambir naik menjadi Rp 286.496,90 dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 4,00 persen. Pada tahun 2011 kontribusi komoditi gambir terhadap PDRB sektor pertanian kembali turun menjadi 11,58 persen, karena produksi gambir turun lagi menjadi 7.743,16 ton. Diversifikasi produk turunan komoditi gambir sudah cukup banyak antara untuk Obat-obatan; kosmetik; makanan dan minuman; bahan kimia dan agro industri.
Rekomendasi 1. Untuk meningkatkan harga gambir perlu peningkatan mutu hasil olahan gambir sesuai dengan SNI 2. Untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditi gambir perlu pengembangan industri pengolahan gambir. 3. Dengan berkembangnya industri pengolahan gambir akan meningkatkan pendapatan petani dan PDRB dari kabupaten Limapuluh Kota.
202
DAFTAR PUSTAKA Badan
Litbang Pertanian. 1999. Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif. Badan Litbang Pertanian Jakarta. Baristan. 2013. Pengenalan Tinta Pemilu berbahan dasar gambir. Bahan presentasi kepada KPU Pusat yang difasilitasi oleh Kementrian Koordinasi bidang Perekonomian RI dan Kementrian Perindustrian RI. di Padang Sumatera Barat. Bakhtiar, A 1991. Manfaat Tanaman Gambir. Makalah Penataran Petani dan Pedagang Pengumpul Gambir di Kecamatan Pangkalan Kab. 50 Kota 29-30 November 1991. FMIPA Unand. Padang 23 hal. Bappeda Prov. Sumbar. 1997. Kebijaksanaan dan program pemerintah daerah untuk memacu ekspor komoditi perkebunan. Makalah seminar pengembangan produk pertanian dengan orientasi pasar bebas, Padang 27 Nop. 1997. Bappeda, 2010. Grand Design 10 (sepuluh) Unggulan Provinsi Sumatera Barat, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Bappeda Prov.Sumbar, 2011. Laporan Renca Tindak/ Action Plan 5 (lima) Industri Unggulan Sumtera Barat. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Barat. Bappeda Prov.Sumbar, 2012. Perkembangan Ekonomi Sumatera Barat (Tinjauan PDRB Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten/Kota menurut Lapangan Usaha Tahun 2007-2011). Badan Perencanaan
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Barat Dinas Perkebunan Kabupaten Limapuluh Kota, 2011. Laporan perkembangan perkebunan di Kabupaten Limapuluh Kota. Dinas Perkebunan, 2012. Buku Data Base, Informasi Harga Pasar tahun 2011. Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil tahun 2011. Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat. Denia.A. 2004. Status teknologi produksi tanaman gambir. Makalah Utama pada ekspose Teknologi Gambir, Kayumanis dan Atsiri. Di Laing Solok, Sumbar, 2 Desember 2004. Direktorat IKM, 2012. Profil investasi turtunan produk gambir. Direktorat IKM Wilayah I. Direktorat Jendral Industi Kecil dan Menengah. Kementerian Perindustrian. Jakarta. Driyamedia. 1996. Berbuat bersama berperan setara. ”Acuan penerapan Participatory Rural Appraisal (PRA). Bandung. Gumbira Sa’id E, 2008. Review kajian, penelitian dan pengembangan agroindustri strategis Nasional: kelapa sawit, kakao dan gambir J. Tek. Ind. Pert. Vol. 9(1), 45-55. Gumbira Sa’id E, K.Syamsu, E.Mardliyati; A.Herryandie; N. Afni; D.L. Rahayu 2009. Agro-Industri dan Bissnis Gambir Indonesia. IPB Bogor. Irawan. B. 2006. Pelaksanaan PRA dan Rancang Bangun Agibisnis Materi disampaikan pada Workshop Prima Tani di Ciloto tanggal 19-22 203
September 2006. BBP2TP. Bogor. Kasim. A, H. Nurdin, dan Sri Mutiar. 2012. Aplikasi Gambir Sebagai Bahan Penyamak Kulit Melalui Penerapan Penyamakan Kombinasi. Jurnal Litbang Industri Volume 2, Nomor 2, Desember 2012 NasirN. 2000. Gambir, budidaya, pengolahan, dan prospek diversifikasinya. Penerbit Yayasan Hutanku. Padang. Pemda Limapuluh Kota, 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Pemerintahan Kabupaten Limapuluh Kota tahun 2012. Pemda Sumbar, 2012. Perkembangan Ekonomi Sumatera Barat (Tinjauan PDRB Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten/Kota menurut lapangan usaha) tahun 2007-2011. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
204
PEDOMAN PENULISAN JURNAL PENELITIAN LITBANG BAPPEDA PROVINSI SUMBAR 1. Standar Umum Penulisan KTI a. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris b. Abstrak, dan kata kunci harus ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) c. Ditulis dengan menggunakan MS Word pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm), font Times New Roman ukuran 12. spasi 1,5. Batas atas, batas bawah, tepi kiri, dan tepi kanan masingmasing 3 cm dengan jumlah maksimal sebanyak 15 halaman d. Penyebutan istilah di luar bahasa Indonesia atau Inggris harus ditulis dengan huruf cetak miring (italic) 2. Struktur Karya Tulis Ilmiah a. Judul b. Nama dan Alamat Penulis c. Abstrak d. Kata Kunci e. Pendahuluan (antara lain latar belakang, perumusan masalah, tujuan, teori, dan hipotesis [bila ada] ) f. Metodologi (berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, metode analisa data) g. Hasil dan pembahasan (termasuk ilustrasi : gambar/tabel/grafik/foto/diagram dll) h. Kesimpulan i. Rekomendasi j. Ucapan Terima Kasih (bila ada) k. Daftar Pustaka l. Lampiran (bila ada) 3. Cara Penulisan Judul Judul diketik dengan huruf kapital tebal (bold) dan mencerminkan inti tulisan. Apabila judul ditulis dalam bahasa Indonesia, maka dibawahnya ditulis ulang dalam bahasa Inggris; begitu juga sebaliknya. 4. Cara Penulisan Abstrak dan Kata Kunci Abstrak ditulis dalam satu paragraf dengan huruf cetak miring (italic) berjarak satu spasi dan ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) Abstrak dalam bahasa Indonesia maksimal 250 kata, sedangkan abstrak dalam bahasa Inggris makasimal 150 kata 5. Cara Penyajian Tabel a. Judul tabel ditampilkan dibagian atas tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font Time New Roman ukuran 12 b. Tulisan ‘Tabel’ dan ‘nomor ditulis tebal (bold), sedangkan judul tabel ditulis normal 6. Cara Penyajian Gambar, Grafik, Foto, atau Diagram a. Gambar, grafik, foto, atau diagram ditampilkan ditengah halaman (center) b. Keterangan gambar, grafik, foto, atau diagram ditulis dibawah ilustrasi menggunakan font Times New Roman ukuran 12, ditempatkan ditengah (center) c. Tulisan `Gambar, Grafik, Foto, atau Diagram` dan `nomor` ditulis tebal (bold), sedangkan isi keterangan ditulis normal 7. Daftar Pustaka Di dalam daftar pustaka harus disusun berdasarkan alfabetik nama penulis dan tahun publikasi.
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
205
Jurnal Penelitian, Volume 1, Nomor 2, Desember 2013
206