© 2003J Jaka Suyana Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Oktober 2003
Posted 25 October, 2003
Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
PENERAPAN TEKNOLOGI KONSERVASI HEDGEROWS UNTUK MENCIPTAKAN SISTEM USAHATANI LAHAN KERING BERKELANJUTAN Oleh:
JAKA SUYANA NRP : A 262030021 / DAS E-mail:
[email protected]
A. Pendahuluan Lahan sawah di Pulau Jawa terus berkurang, sementara itu perluasan areal sawah di luar Jawa memerlukan waktu lama dan dana yang besar. Oleh sebab itu lahan kering harus lebih berperan dalam menopang swasembada pangan. Namun, pertanian lahan kering mempunyai banyak permasalahan, antara lain lahannya marginal dengan ketersediaan air yang terbatas, terbatasnya varietas tanaman yang sesuai, belum berkembangnya teknologi budidaya, serta rendahnya pendapatan petani (Anonim, 1995). Kendala utama yang dihadapi dalam pengelolaan lahan kering adalah cepatnya penurunan produktivitas tanah. Pada tanah yang bervegetasi hutan asli, unsur hara terpelihara dalam daur tertutup, sehingga sangat sedikit terjadi kehilangan unsur hara.
Kehilangan hara lewat pencucian ke bawah akan
diimbangi penyerapan oleh akar tanaman ke atas, selanjutnya daur tanaman akan kembali ke permukaan tanah (William and Joseph, 1970). Pembangunan pertanian di lahan kering jauh lebih komplek apabila dibandingkan dengan di dataran rendah. Potensi sumberdaya ini sangat dibatasi oleh kemiringan lahan, tingkat erosi, aksesibilitas terhadap infrastruktur, pasar
dan kemudahan untuk memperoleh fasilitas, serta keadaan sosial-ekonomi masyarakat setempat (Satari, 1988). Erosi tanah pada lahan kering telah merupakan salah satu masalah ekologi yang mengkawatirkan, tingkat erosi yang terjadi pada beberapa daerah aliran sungai (DAS) di Jawa telah mencapai 3,5 mm/tahun (Pickering, 1977). Oleh karena itu kesuburan tanah terus merosot, keseimbangan hidrologi terganggu, sumber-sumber air mengering, ketersediaan air untuk irigasi dataran rendah berkurang, serta terjadinya peningkatan frekuensi dan ukuran banjir. Pada kasus-kasus yang ekstrim lahan kering tersebut sudah sangat menurun kesuburannya, sehingga dapat dikategorikan sebagai lahan kritis dan dibiarkan tidak lagi digarap. Walaupun demikian, sebagian besar lahan kering belum mencapai tingkat titik dimana usaha bercocok tanam tidak lagi berproduksi.
Dengan demikian, masih ada kesempatan untuk pelaksanaan
program penerapan teknik konservasi tanah dalam skala luas secara efektif, sehingga keberlanjutan sistem produksi pertanian dapat dipertahankan. B. Karakteristik Sistem Usahatani Lahan Kering Sistem usahatani di lahan kering belum banyak dipahami secara mendalam, biasanya terletak di DAS bagian hulu dan tengah.
Kendala
lingkungan dan kondisi sosial-ekonomi petani, serta keterbatasan sentuhan teknologi konservasi yang sesuai menyebabkan kualitas dan produktivitas dari sistem usahatani yang ada masih sangat terbatas. Notohadiprawiro (1988), menyarankan pengertian lahan kering adalah lahan tadah hujan (rainfed) yang dapat diusahakan secara sawah (lowland, wetland) atau secara tegal atau ladang (upland). Lahan kering pada umumnya berupa lahan atasan, kriteria yang membedakan lahan kering adalah sumber air. Sumber air bagi lahan kering adalah air hujan, sedangkan bagi lahan basah disamping air hujan juga dari sumber air irigasi. Menurut Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1993), luas lahan kering di Indonesia berjumlah 33,7 juta hektar (berupa tegalan, ladang, kebun campuran, semak, dan alang-alang), dan dari jumlah tersebut diperkirakan sekitar 18 juta hektar telah mengalami degradasi. Berlainan dengan lahan sawah
1
dataran rendah, agroekologi lahan kering sangat beragam, karena elevasi dan jenis tanah yang berbeda, relatif peka erosi, adopsi teknologi rendah, dan ketersediaan modal kecil (Manwan et al.,1988). Pada umumnya usahatani lahan kering yang dilakukan petani hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Oleh karenanya pemilihan jenis tanaman yang diusahakan masih berorientasi pada jenis komoditas subsistens, seperti padi gogo, jagung, kacang tanah, dan ubi kayu. Sistem usahatani yang demikian, disadari maupun tidak akan mempercepat terbentuknya lahan kritis. Lahan kering marginal dan yang berstatus kritis biasanya dicirikan oleh solum tanah yang dangkal, kemiringan lereng curam, tingkat erosi telah lanjut, kandungan bahan organik sangat rendah, serta banyaknya singkapan batuan dipermukaan (Suwardjo et al., 1995). Sebagian besar lahan marginal tersebut dikelola oleh petani miskin, yang tidak mampu melaksanakan upaya-upaya konservasi, sehingga makin lama kondisinya makin memburuk. Lahan tersebut pada umumnya terdapat di wilayah desa tertinggal, dan hasil pertaniannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup penggarap bersama keluarganya (Karama dan Abdurrachman, 1995). Problematika petani miskin yang semakin terdesak menggunakan lahan marginal akan menyebabkan petani dan lahan terjebak dalam lingkaran yang saling memiskinkan. Petani miskin di lahan yang miskin akan terus saling memiskinkan apabila faktor-faktor penyebabnya tidak dibenahi (Sinukaban, 1997). Pemilihan skala prioritas mana yang harus ditanggulangi lebih dahulu apakah kemiskinan atau kerusakan lingkungan menghadapkan pada pilihan yang sulit.
Pilihan yang sulit ini menyebabkan pemutusan siklus yang saling
memiskinkan ini haruslah dilakukan secara bersamaan antara pengendalian kerusakan lingkungan dan pengentasan kemiskinan (Sinukaban dan Sihite, 1993). Pada kondisi lahan yang telah terdegradasi berat tidak mudah untuk ditingkatkan produktivitasnya, makin parah tingkat kekritisan lahan makin serius gangguan terhadap lingkungan dan makin sukar untuk meningkatkan produktivitas lahannya.
Lahan-lahan demikian harus direhabilitasi sesegera
mungkin dengan baik, sehingga tidak terancam erosi lagi dan produktivitas lahan dapat ditingkatkan. Mengingat lahan kering marginal dan kritis tersebut sebagian
2
besar terletak di DAS bagian hulu dan tengah, maka pembangunan usahatani konservasi di lahan kering tersebut bukan saja bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan kesejahteraan penduduknya, tetapi fungsinya lebih jauh lagi untuk menyelamatkan lingkungan hidup disekitarnya termasuk sampai daerah hilir. Penggunaan teknologi konservasi hedgerows diharapkan mampu berperan sebagai stabilisator dan daya pengembang sistem usahatani lahan kering yang kondusif, yang dalam pengembangannya menuju pertanian yang lestari dan akrab lingkungan.
Dengan penerapan teknologi konservasi hedgerows di dalam
sistem usahatani lahan kering memungkinkan para petani dapat melakukan pengelolaan lahan yang berwawasan lingkungan secara bertahap sesuai dengan kesediaan tenaga kerja keluarga dan kemampuan modal petani.
Mengingat
dalam teknologi hedgerows relatif tidak banyak membutuhkan tenaga kerja dan modal dibandingkan teknik konservasi sipil teknis. Sehingga memungkinkan para petani di lahan kering untuk menciptakan sistem rehabilitasi dan konservasi lahan ditempatnya secara mandiri untuk mendukung sistem produksi pertanian secara berkelanjutan. C. Prinsip Penerapan Teknologi Konservasi Hedgerows Pada Sistem Usahatani Lahan Kering Upaya memperbaiki lahan marginal dan kritis sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu melalui reboisasi dan penghijauan, tatapi upaya tersebut masih jauh dari berhasil.
Demikian pula
anjuran pembuatan teras juga masih dianggap mahal dan pemborosan tenaga bagi petani (Nurhayati Hakim et al., 1993). Kegiatan konservasi tanah akan mudah diterapkan petani jika selain efektif dalam mengendalikan erosi, produktivitas lahan juga dapat ditingkatkan. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa metode vegetatif banyak direkomendasikan karena selain dapat menekan erosi juga dapat menjamin peningkatan produktivitas lahan (Abdurrachman et al., 1984; Sukmana dan Suwardjo, 1991). Selama ini sebenarnya sudah cukup banyak paket teknologi usahatani konservasi yang telah dikembangkan, namun untuk menciptakan sistem pertanian
3
lestari secara mandiri tidaklah cukup hanya dengan satu usaha saja. Teknologi konservasi hedgerows adalah salah satu komponen usaha pelestarian yang harus dipadukan dengan serangkaian kegiatan yang bersifat teknis, sosial budaya, dan kebijaksanaan. Teknologi konservasi hedgerows secara teknis mencerminkan bentuk-bentuk pagar hidup dari tanaman legum pohon, tanaman penguat teras, dan tanaman penutup tanah yang diatur mengikuti garis-garis kontur (Ginting dan Sukandi, 1992; Sudaryono, 1995). Menurut Hawkins et al (1991), usahatani dengan teknologi konservasi hedgerows merupakan suatu praktek usahatani dengan memadukan tindakan konservasi secara sipil teknis (mekanik) dan biologis (vegetatif) dengan pengaturan tata ruang tanaman semusim, tanaman tahunan, tanaman legum untuk konservasi sekaligus sebagai penghasil pupuk organik dan hijauan pakan ternak, serta rumput; dengan memperhatikan bentuk muka dan ciri bentang lahan. Sistem tanam pada usahatani konservasi dengan teknologi hedgerows merupakan kombinasi antara tanaman penguat teras, tanaman penutup tanah, tanaman semusim, dan tanaman tahunan. Tanaman semusim dan tanaman tahunan merupakan tanaman yang biasa diusahakan petani setempat. Tanaman semusim terdiri atas tanaman serealia dan palawija, seperti padi gogo, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi kayu. Sedangkan tanaman tahunan diantaranya mangga, petai, nangka, melinjo, dan kelapa (Sudaryono, 1995). Adapun jenis-jenis tanaman yang umum digunakan dalam tanaman pagar, penguat teras dan penutup tanah, meliputi : (a) jenis leguminosa perdu maupun pohon yang sering digunakan sebagai penguat teras dan tanaman pagar dalam sistem pertanaman lorong, seperti : Lamtoro, Kaliandra, Flemingia, Gliriside, dan Hiris; (b) jenis rumput yang sering digunakan sebagai tanaman penguat teras, yaitu meliputi jenis rumput yang ditanam di bibir teras (biasanya rumput yang membentuk rumpun seperti rumput gajah, setaria, dan benggala), dan jenis rumput yang ditanam di tampingan teras (biasanya tumbuh menjalar seperti Brachiaria sp, Cynodon dactylon, Paspalum conjugatum, Penicum repens); dan (c) tanaman penutup tanah, diantaranya Mucuna sp dan Centrosema sp (Abdurrachman dan Prawiradiputra, 1995; Sudaryono,1995).
4
Teknologi konservasi hedgerow mempunyai peluang besar untuk diadopsi petani lahan kering, karena tanaman hedgerows selain berfungsi mengendalikan aliran permukaan dan erosi, juga memproduksi biomassa pertanian yang berguna untuk rehabilitasi dan penyubur tanah, menghasilkan hijauan pakan ternak yang kaya nutrisi, dan menghasilkan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga dan industri pedesaan (pembakaran bata merah, batu gamping, dan sebagainya). Pola usahatani dengan teknologi hedgerows melibatkan beberapa jenis tanaman akan menghasilkan ekosistem yang saling menguntungkan, misalnya residu atau daun yang diambil dari hasil pangkasan tanaman pagar yang dilakukan secara periodik dapat dipakai sebagai mulsa atau dimasukkan ke dalam tanah sebagai pupuk hijau bagi tanaman semusim (Baldy and Stigter, 1997). Hasil pangkasan pupuk hijau yang dipakai sebagai mulsa akan dapat mengurangi penguapan lengas tanah, mengendalikan gulma, dan menstabilkan suhu tanah daerah perakaran sehingga memberi jaminan pertumbuhan akar tanaman secara baik (Hawkins et al., 1991).
D. Pengembangan Teknologi Konservasi Hedgerows Pada Sistem Usahatani Lahan Kering Di Philipina, teknologi konservasi hedgerows telah dikembangkan dan digalakkan di Propinsi Davao del Sur dan di Propinsi Cebu (Medina et al., 2000). Suatu organisasi non-pemerintah bernama MBRLC (Mindanao Baptist Rural Life Center) mengembangkan dan mempromosikan adopsi teknologi SALT (Sloping Agricultural Land Technology) di Propinsi Davao del Sur, sedangkan yayasan MFI (Mag-uugmad Foundation, Inc.) mempromosikan teknologi konservasi tanah dan air pada masyarakat lahan kering di Propinsi Cebu. Di Desa Pananag Propinsi Davao del Sur, tanaman jagung merupakan tanaman semusim yang tumbuh paling luas walaupun dalam sebagian areal di tanam bersamaan tanaman umbi-umbian. Secara umum tanaman tahunan yang menghasilkan adalah kelapa dan kopi.
5
Pada waktu lampau, tradisi praktek
konservasi tanah tidak dimiliki petani. MBRLC mempromosikan teknologi SALT memperkenalkan kepada petani untuk menggunakan teknologi konservasi hedgerows dalam usahatani mereka untuk menghasilkan jagung.
Diamati oleh
petani, bahwa pengaruh teknologi hedgerows terbukti demikian baik. Kebanyakan petani sadar bahwa dengan teknologi hedgerows hasil jagung bertambah, keuntungan lain dari praktek konservasi tanah ini dapat meningkatkan kesuburan tanah dan kapasitas menahan lengas tanah akibat pemberian mulsa dengan memotongi tanaman pagar (Garcia et al., 1995b). Jenis leguminosa yang biasa digunakan dalam teknologi hedgerows adalah Flemingia, Desmodium, Leucaena, dan Gliricidia. Secara umum petani di daerah ini telah mengadopsi teknologi SALT, diantaranya sistem alley cropping, teras bangku, check dam, dan rock/stone walls (Medina et al., 2000). Contoh bentuk hedgerows menurut kontur yang ditanam di antara tanaman, disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. SALT (hedgerow intercropping) pada ladang petani di Desa Pananag, Propinsi Davao del Sur, Philipina.
6
Seperti di Propinsi Davao del Sur, sistem pertanian di Desa Tabayag Propinsi Cebu masih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsistens) dengan tanaman jagung sebagai tanaman utama. Konservasi tanah diperkenalkan oleh MFI, dengan penanaman hedgerows menurut kontur, pembangunan teras bangku, check dam, saluran drainase, dan stone walls (tumpukan/tembok batu menurut kontur). Secara kualitatif petani kebanyakan mengakui pengaruh dan arti dari beberapa strategi konservasi tanah dalam memperbaiki kesuburan tanah di lahan mereka. Kelebihan penanaman hedgerows menurut kontur pada dasar lahan dengan stone walls, diantaranya memberikan pupuk hijau dan rumput makanan ternak (Garcia et al., 1995a). Mengingat praktek konservasi dapat memberikan keuntungan secara nyata, sehingga secara sadar dan sudah dengan dipertimbangkan baik-baik kebanyakan masyarakat petani di daerah ini tetap melanjutkan mengadopsi tindakan konservasi tanah (Medina et al., 2000). Contoh bentuk penanaman jagung di antara legum pada dasar lahan dengan stone walls (tumpukan batu menurut kontur), disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Contour stone walls (tumpukan batu menurut kontur) dengan intercropping jagung dan legum di Desa Tabayag, Propinsi Cebu, Philipina
7
Di Indonesia, beberapa penelitian penerapan teknologi konservasi hedgerows telah dilakukan pada berbagai tempat, diantaranya pada lahan kering daerah hulu DAS di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Hawkins et al., 1991), pada lahan kering marginal di daerah hulu DAS Jratunseluna (Cahyati dan Haryati, 1991), pada lahan kering daerah hulu DAS Brantas (Hendarto dan Sembiring, 1991), dan pada lahan kering daerah kapur solum tipis di Jawa Timur (Sudaryono,1995). E. Hasil/Efektivitas Penerapan Teknologi Hedgerows Pada Sistem Usahatani Lahan Kering Teknologi konservasi ”hedgerows” sudah banyak diteliti untuk mengatasi berbagai permasalahan di lahan kering, dan umumnya memberikan hasil yang baik karena teknologi ini murah dan sederhana (Ginting dan Sukandi, 1992; Hendarto dan Sembiring, 1991; Sudaryono, 1995).
Di Philipina,
khususnya di Propinsi Davao del Sur dan Propinsi Cebu, kebanyakan masyarakat petani sudah secara sadar mengadopsi teknologi konservasi hedgerows dalam sistem usahataninya (Medina et al., 2000). Di Indonesia, berbagai penelitian menyebutkan bahwa dampak dan daya rehabilitasi akibat teknologi hedgerows biasanya baru akan dirasakan mulai tahun ketiga dan seterusnya.
Pada tahun pertama dan kedua, baru taraf
identifikasi model-model hedgerows yang sesuai kondisi biofisik daerah dan sosial ekonomi setempat, sehingga dapat diterima petani untuk diterapkan pada usahatani mereka. Pada tahun kesatu dan kedua, untuk lahan kering yang berstatus kritis tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan biomassa saja sudah menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Hasil penelitian penggunan teknologi hedgerows pada lahan kering daerah kapur solum tipis di Jawa Timur (Sudaryono,1995), diperoleh bahwa kinerja teknologi usahatani hedgerows dibandingkan teknologi petani didapatkan dengan penggunaan teknologi hedgerows produktivitas jagung meningkat 82%, padi gogo meningkat 33%, produktivitas kacang hijau 0,7 ton/hektar, produktivitas ubikayu 0,64 ton/hektar (gaplek), tambahan produksi rumput 0,58 ton/hektar/tahun,
dan
tambahan
biomassa
8
legum
pohon
sebesar
0,29
ton/hektar/tahun.
Menurut Cahyati dan Haryati (1991), penerapan teknologi
hedgerow telah terbukti mempunyai daya mengembalikan kesuburan tanah yang tinggi di lahan kering marginal di daerah hulu DAS Jratunseluna. Selain itu penggunaan teknologi hedgerows
pada lahan kering DAS brantas dapat
memberikan keuntungan yang nyata dalam mengurangi erosi, menyediakan pakan ternak, menekan pertumbuhan gulma, mengurangi penguapan, serta menghasilkan kayu bakar (Hendarto dan Sembiring, 1991). Berdasarkan hasil penelitian di lahan kering daerah hulu DAS di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Hawkins et al., 1991), diperoleh bahwa pengelolaan teknologi hedgerows secara berkelanjutan dalam jangka panjang akan mendatangkan nilai keunggulan komparatif dan kompetitif yang meliputi : (a) pengendalian kehilangan tanah dan hara melalui erosi; (b) peningkatan produksi biomassa melalui sisa hasil pertanian, penanaman legum untuk konservasi dan penutupan tanah; (c) peningkatan produksi bahan organik secara ”in situ”; (d) peningkatan status kesuburan tanah; (e) peningkatan produksi rumput untuk makanan ternak; (f) peningkatan hasil baik tanaman pangan, palawija, buah, sayur, dan kayu-kayuan;
dan (g) peningkatan total hasil usahatani secara
berkelanjutan.
Daftar Pustaka Anonim. 1995. Diskusi Pengembangan Teknologi Tepat Guna di Lahan Kering Untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Prosiding Dies Natalis XXXII Institut Pertanian Bogor. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Perrtanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor, 27 September 1995. Abdurrachman,A., S. Abuyamin dan U. Kurnia. 1984. Pengelolaan Tanah dan Tanaman untuk Usaha Konservasi. Pemberitaan Tanah dan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah. Bogor. Abdurrachman, A dan B.R. Prawiradiputra. 1995. Pengembangan Usahatani Konservasi di DAS Brantas dan Jratunseluna serta Implikasinya bagi Kawasan Perbukitan Kritis Yogyakarta. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usahatani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Yogyakarta, 17-19 Januari 1995.
9
Baldy, C. and C.J. Stigter. 1997. Agrometeoroly of Multiple Cropping in Warm Climates (English edition). Institut National De La Recherche Agronomique (INRA). Paris. Cahyati, S dan U. Haryati. 1991. Analisis Perbelanjaan Parsial pada Sistem Pertanian Lorong. Risalah Lokakarya Hasil Penelitian P3HTA/UACP-FSR di Bandungan. Sistem Usahatani Konservasi di DAS Jratunseluna dan DAS Brantas. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Ginting, N.A and T. Sukandi. 1992. Agroforestry Research in Indonesia. Development in Procedures for Farming Systems Research. Agency for Agricultural Research and Development. Garcia, J.N.M., R.V. Gerrits, R.G. Bernardo, J.J. Conchada, R.A. Cramb, A.S. Perez, G.C. Saguiguit, Jr. and R.T. Yao. 1995a. Soil Conservation in an Upland Farming System in Cebu : A Socio-Economic Survey. SEARCAUQ Uplands Research Project, Survey Report No. 1. Los Banos. Pp. 28-74. Garcia, J.N.M., R.V. Gerrits, R.A. Cramb, G.C. Saguiguit, Jr., J.J. Conchada, R.T. Yao, R.G. Bernardo and A.S. Perez. 1995b. Soil Conservation in an Upland Farming System in Davao del Sur : A Socio-Economic Survey. SEARCAUQ Uplands Research Project, Survey Report No. 2. Los Banos. Pp. 28-74. Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1993. Laporan Inventarisasi/Identifikasi Lahan Marginal/Kritis pada Kawasan Lahan Usahatani Seluruh Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta. Hawkins, R., H. Sembiring, D. Lubis dan Suwardjo. 1991. The Potensial of Alley Cropping in The Uplands of East and Central Java. Upland and Agriculture Conservation Project-Farming System Research, Agency for Agriculture Research and Development. Salatiga. Hendarto, T dan H. Sembiring. 1991. Aplikasi Mulsa Hijauan Legum Penguat Teras pada Tanaman Pangan di Lahan Kering DAS Brantas. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah di Lahan Sedimen dan Vulkanik DAS Bagian Hulu. P3HTA, Salatiga. Karama, A.S dan A. Abdurrachman. 1995. Kebijaksanaan Nasional dalam Penanganan Lahan Kritis di Indonesia. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usahatani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Yogyakarta, 17-19 Januari 1995. Manwan, I., K. Suryanata, D.S. McCauley dan M.H. Sawit. 1988. Status dan Kecenderungan Perubahan Agroekosistem Lahan Kering. KEPAS. Balittan, Bogor.
10
Medina, S.M., H. Narioka, J.N.M. Garcia and Mastur. 2000. Soil Conservation and farming Systems on Slope Land in Indonesia and the Philippines. J.Jpn. Soc. Soil Phys. No. 84, p. 57-64. Notohadiprawiro, T. 1988. Pembaharuan Pandangan terhadap Kedudukan Lahan Kering dalam Pembangunan Pertanian Pangan yang Terlanjutkan. Seminar Fak. Pertanian UNISRI. Surakarta. Nurhayati Hakim, Mardinus, G. Ismail, H. Muchtar dan Yunus. 1993. Pola Pertanian Terpadu di Lahan Kering Kritis. Laporan Penelitian Tahun I Kerjasama ARMP dan Puslit. Unand. Padang. Pickering, K. 1979. Soil Conservation and Rural Institution in Java. In IDS Bulletin. Satari, G. 1988. Pendekatan Agroekosistem pada Pola Pertanian Lahan Kering. KEPAS. Balitan. Bogor. Sinukaban, N dan J. Sihite. 1993. Usahatani Konservasi dalam Pembangunan Pertanian yang Berkesinambungan. Kongres II dan Seminar Nasional Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI). Yogyakarta, 2728 Oktober 1993. Sinukaban, N. 1997. Sistem Pertanian Konservasi Kunci Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Seminar Nasional Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah Indonesia, di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 6 Oktober 1997. Sukmana, S. and H. Suwardjo. 1991. Prospect of Vegetative Soil Conservation Measure for Sustainable Agriculture. Indonesia Agriculture Research and Development Journal 13 (1&2) : 1-7. Sudaryono. 1995. Teknologi Hedgerow untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Daerah Kapur Solum Tipis di Jawa Timur. Prosiding Kongres Nasional VI HITI di Serpong, 12-15 Desember 1995. Jakarta. Suwardjo, N.L. Nurida dan Irawan. 1995. Langkah-langkah Pengembangan Usahatani Konservasi di Wilayah Perbukitan Kritis Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usahatani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Yogyakarta, 17-19 Januari 1995.
11