PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-1 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN VAN HIELE UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA SMP KARUNADIPA PALU TERHADAP KONSEP BANGUN- BANGUN SEGIEMPAT M. Nur Yadil Pendidikan Matematika, FKIP Univesitas Tadulako
ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas untuk mengatasi masalah pembelajaran geometri SMP Karunadipa Palu. Untuk mencapai maksud tersebut, maka peneliti menerapkan pembelajaran geometri model Van Hiele. Dalam penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah tiga siswa kelas I SMP Karunadipa Palu tahun ajaran 2008/2009 khususnya tahap berpikirnya berada pada tahap visualisasi. Sedangkan bahan ajar dibatasi pada bangun-bangun segiempat yang terdiri dari jajargenjang, persegipanjang, belah ketupat, persegi, trapesium dan layang-layang. Sedangkan rancangan penelitian tindakan kelas ini mengikuti model Spiral Kemmis dan Mc Taggart yang meliputi tahap perencanaan, tahap tindakan, tahap observasi/ evaluasi dan tahap refleksi. Penelitian ini dibagi dalam tiga siklus kegiatan, masing-masing sebagai berikut: (1) siklus pertama dengan bahan ajar jajargenjang dan persegipanjang, (2) siklus kedua dengan bahan ajar persegi dan belah ketupat dan (3) siklus ketiga dengan bahan ajar trapesium dan layang-layang. Sedangkan data dikumpul melalui tes , lembar observasi dan hasil wawancara. Pada umumnya data bersifat kualitatif. Oleh karena itu pengolahan data menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa skenario pembelajaran yang dirancang pada setiap siklus dapat meningkatkan pemahaman siswa dari tahap berpikir visualisasi ke tahap analitik. Kata Kunci: Van Hiele, pembelajaran, pemahaman, Bangun Segiempat, dan konsep.
A. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu matapelajaran sekolah yang sulit dipahami siswa pada umumnya. Mungkin karena obyek kajian matematika sifatnya abstrak dan hanya ada dalam mental atau pikiran yang mempelajarinya. Meskipun demikian bila sajian materi matematika itu dikemas sedemikianrupa dengan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
81
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pendekatan pembelajaran tertentu dan disesuaikan dengan perkembangan inteletual siswa, maka akan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang akan dipelajarinya. Bangun-bangun segiempat merupakan bagian materi geometri dari matapelajaran matematika SMP. Menurut Kurikulum 2006 (KTSP) materi ini diajarkan pada semester pertama di kelas I SMP. Berdasarkan kurikulum tersebut kajian materinya meliputi pengertian bangun-bangun segiempat, sifat-sifat bangun-bangun segiempat, keliling dan luas bangun-bangun segiempat. Berdasarkan
pengalaman
mengajar
para
guru
matematika
yang
mengajarkan konsep-konsep bangun-bangun segiempat di SMP Karuna Dipa Palu ternyata materi tentang pengertian dari bangun-bangun segiempat tersebut sangat sulit dipahami siswa. Dalam hal ini siswa sangat sulit memahami pengertian bangun-bangun segiempat itu bila disajikan dalam bentuk definisi formal. Pada umumnya siswa hanya menghafal saja definisi itu tanpa memahami makna dari definisi tersebut. Sebagai akibatnya siswa sulit untuk memahami sifat-sifat dan hubungan antara sifat dari bangun-bangun segiempat tersebut. Sebagai contoh dari hasil tes yang merupakan hasil survey awal kami dari calon peneliti ditemukan bahwa ada siswa berpendapat bahwa jajargenjang merupakan persegipanjang dengan alasan bahwa bentuk kedua bangun datar tersebut serupa. Bila kondisi tersebut tidak ditangani secara intensif oleh pengajar (guru matematika), maka siswa akan mengalami kesulitan yang lebih fatal lagi dalam memahami konsep-konsep bangun-bangun ruang (kubus, balok, limas dan lainlain). Karena untuk memahami konsep-konsep bangun-bangun ruang dalam geometri siswa terlebih dahulu harus memahami dengan baik konsep-konsep bangun-bangun datar (bangun-bangun segiempat). Hal ini sesuai dengan pendapat Hudojo (1990:4) bahwa “...mempelajari konsep B yang mendasarkan pada konsep A, seseorang perlu memahami lebih dahulu konsep A. Tanpa memahami konsep A, tidak mungkin orang tersebut akan dapat memahami konsep B”. Berdasarkan
beberapa
hasil
penelitian
(Sunardi:2000,
Kho:1996,
Fuys,dkk:1988, Burger & ShaughnessyL 1986) menyatakan bahwa tahap berpikir Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
82
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
siswa SMP dalam belajar geometri dicapai tertinggi pada tahap dua (abstraksi) dan sebagian besar mereka berada pada tahap nol (visualisasi). Padahal berdasarkan teori perkembangan intelektual dari Piaget bahwa siswa SMP ideal tahap berpikirnya berada pada tahap formal. Akibat dari fenomena tersebut bahwa siswa yang berada pada tahap berpikir visualisasi pada umumnya mereka mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep geometri yang disajikan secara formal. Hal ini berarti pembelajaran dengan pendekatan informal- induktif perlu untuk kelompok siswa yang berada pada tahap berpikir visualisasi. Salah satu pembelajaran geometri yang menggunakan pendekatan informal – induktif adalah pembelajaran geometri model Van Hiele. Menurut Van Hiele apabila pembelajaran ini dirancang dengan tepat akan dapat meningkatkan tahap berpikir siswa. Dengan demikian berarti akan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep yang akan dipelajarinya. Dengan demikian, atas dasar pemikiran dan fenomena di atas kami calon peneliti tertarik untuk mengkaji masalah tersebut lewat suatu penelitian tindakan kelas khusus untuk kelompok siswa yang berada pada tahap berpikir visualisasi.
b. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada bagian pendahuluan di atas, maka masalah penelitian ini dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: “Bagaimanakah skenario pembelajaran model Van Hiele yang dapat meningkatkan pemahaman siswa SMP Karuna Dipa Palu dalam memahami konsep bangunbangun segiempat?”.
c. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut: a. menghasilkan perangkat (skenario) pembelajaran tertentu untuk meningkatkan pemahaman siswa SMP dalam memahami konsep bangun-bangun segiempat. Tentu skenario pembelajaran yang dimaksud mengacu pada model pembelajaran
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
83
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Van Hiele khusus untuk kelompok siswa yang tahap berpikirnya visualisasi (kasus tertentu). b. membantu guru matematika dalam rangka meningkatkan pemahaman kelompok siswa yang tahap berpikirnya visualisasi dalam memahami konsep bangun-bangun segiempat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi: a. guru matematika SMP Karuna Dipa Palu dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran geometri. Karena kegiatan pembelajaran yang dilakukan selama ini bersifat mekanistik sehingga perlu ada suatu inovasi pembelajaran yang bersifat konstruktivis. Selain itu juga hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan banding atau bekal pengetahuan bagi guru matematika SMP Karuna Dipa Palu khususnya dalam rangka merancang pembelajaran untuk kegiatan remidi. b. siswa SMP Karuna Dipa Palu dalam rangka meningkatkan kemampuan dirinya untuk dapat memahami konsep bangun-bangun segiempat. c. pihak sekolah dalam rangka menambah khasanah perangkat pembelajaran geometri SMP yang dimilikinya. Selain itu pula sebagai bahan informasi bagi pihak sekolah (SMP) Karuna Dipa Palu dalam rangka mengambil kebijakan perbaikan dan inovasi dalam bidang pendidikan.
B. METODE PENELITIAN Penelitian tindakan kelas ini termasuk penelitian tindakan partisipan. Siswa kelas I SMP Karuna Dipa tahun ajaran 2007/2008 yang dijadikan subyek penelitian. Kriteria siswa yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah siswa yang tahap berpikirnya dalam memahami konsep bangun-bangun segiempat berada pada tahap visualisasi. Jenis data dalam penelitian ini pada umumnya bersifat kualitatif. Data ini diperoleh dari hasil observasi selama tindakan dan setelah tindakan pembelajaran pada setiap siklus.
Data
ini
juga
diperoleh dari hasil wawancara
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
sebelum
84
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dan setelah tindakan pembelajaran bila semua siklus telah selesai. Data kualitatif juga diperoleh dari hasil observasi dalam bentuk catatan lapangan para observer. Wawancara dengan menggunakan Pedoman wawancara Terstruktur yang diadopsi dari Eksprimental Task yang terdapat pada Appendix A (pp.35-53) dalam Final Report Assessing Children’s Intellectual Growth In Geometry. Pedoman wawancara ini untuk menjaring siswa yang menjadi subyek penelitian. Selain itu juga untuk menentukan tahap berpikir siswa dalam memahami konsep bangun-bangun segiempat setelah diberikan tindakan pembelajaran (bila semua siklus telah berakhir). Observasi dengan menggunakan Pedoman Observasi Terstruktur untuk mengetahui kesesuian pelaksanaan tindakan pembelajaran yang dilakukan dengan rancangan dan perangkat pembelajaran yang digunakan. Sedangkan perangkat pembelajarannya terdiri atas (1) Skenario pembelajaran yang merupakan rencana pembelajaran (RP) dan, (2) Lembaran Kerja Siswa (LKS). Perangkat pembelajaran ini dibuat sedemikian rupa mengacu pada teori pembelajaran geometri menurut Van Hiele. Rancangan penelitian tindakan kelas ini mengikuti model Spiral Kemmis dan Mc Taggart yang terdiri atas tahap perencanaan, tahap tindakan, tahap observasi/ evaluasi dan tahap refleksi. Indikator keberhasilan tindakan pembelajaran pada setiap siklus ditentukan oleh Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) minimal dicapai 75% dari keseluruhan TPK pada tes tindakan pembelajaran pada siklus tersebut. Bila pada suatu siklus indikator keberhasilan itu belum dicapai, maka akan dilanjutkan tahap-tahap kegiatan seperti diuraikan diatas dengan memperbaiki rancangan dan perangkat pembelajaran yang digunakan. Bila pada suatu siklus tertentu indikator keberhasilannya tercapai maka kegiatan-kegiatan pada siklus tersebut dinyatakan berakhir dan akan dilanjutkan pada siklus berikutnya dengan materi (bahan ajar) yang lain. Bila semua bahan ajar tersebut telah selesai diajarkan dengan mengalami beberapa siklus dan setiap tindakan pada siklus tersebut berhasil, maka kegiatan penelitian selanjutnya mewawancarai subyek penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang dianggap telah baku tersebut untuk menentukan tahap berpikir siswa setelah diberikan pembelajaran Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
85
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dengan menerapkan model pembelajaran Van Hiele. Bila tahap berpikir subyek penelitian telah mencapai tahap analitik, maka skenario (perangkat) pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini cukup berhasil dapat meningkatkan pemahaman siswa SMP Karunadipa Palu dalam memahami konsep bangun-bangun segiempat. Demikian sebaliknya bila ada subyek penelitian tahap berpikirnya belum pencapai tahap analitik, maka akan dilakukan pengecekan kembali terhadap kelemahan atau kekurangan pada perangkat pembelajaran tersebut. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil tindakan pada siklus I Dari hasil tindakan pembelajaran yang telah dilaksanakan pada siklus pertama ini diperoleh hasil bahwa hasil wawancara dan tes tindakan I menunjukan bahwa: 1. Subyek penelitian 1 (S1) mampu menentukan sifat-sifat persegi panjang dan jajargenjang dengan lengkap. S1 juga mencoba mendefinisikan persegi panjang dan jajargenjang, tetapi salah. S1 dapat menggambar jajargenjang dan persegipanjang serta diagonal-diagonalnya dengan sempurna. 2. Subyek penelitian 2 (S2) hanya dapat menetukan sebagian sifat-sifat persegipanjang dan jajargenjang serta dapat menggambar kedua bangun tersebut dengan sempurna. Tetapi ia tidak dapat mendefinisikan kedua bangun tersebut. 3. Sedangkan
subyek
penelitian
3
(S3)
dapat
menentukan
sifat-sifat
persegipanjang dan jajargenjang serta dapat menggambar kedua bangun tersebut dengan sempurna. S3 mencoba mendefinisikan kedua bangun tersebut, tetapi kurang tepat (salah). Berdasarkan hasil tes tindakan 1 ini, ternyata S3 dalam menggunakan istilah –istilah dalam geometri. Misalnya susut-sudut dalam persegipanjang sama panjang dan titik-titik sudutnya sama besar. Padahal yang ia maksudkan adalah besar sudutnya bukan titik sudutnya. Dengan demikian penguasaan ketiga subyek penelitian tentang materi ini cukup baik, hal ini ditandai dengan ketuntasan TPK utama (100%) dicapai. Dengan kata lain tindakan pembelajaran yang telah dilaksanakan pada siklus Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
86
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pertama ini cukup berhasil. Hasil ini dapat memberi rekomandasi peneliti untuk melanjutkan penelitian ini pada siklus berikutnya. Hasil Tindakan Siklus II Berdasarkan hasil tes tindakan 2 serta hasil wawancara kepada subyek penelitian, diperoleh informasi bahwa: 1. Subyek penelitian 1 (S1) dapat menentukan sifat-sifat persegi dan belah ketupat meskipun tidak lengkap. S1 ini belum dapat menentukan definisi kedua bangun tersebut. Kemampuan verbal yang dimiliki S1 ini relatif kurang, sehingga dalam proses pembelajaran perlu dibimbing secara hati-hati oleh guru sehingga tingkat pemehamannya terhadap konsep yang diajarkan dapat lebih meningkat. 2. Subyek penelitian 2 (S2) dapat menentukan sifat-sifat persegi dan belah ketupat dengan lengkap. Tetapi S2 belum mampu mendefinisikan kedua bangun tersebut, ia hanya mengulangi saja menulis sifat-sifat persegi dan belah ketupat. Hal ini berarti S2 belum memahami cara mendefinisikan suatu konsep. Berdasarkan hasil wawancara S2 ini beranggapan bahwa belah ketupat merupakan jajargenjang yang dibalik. Hal ini berbarti konversi siswa terhadap suatu gambar merupakan hal yang perlu diperhatikan dengan baik oleh guru dalam mengajarkan geometri. 3. Subyek penelitian 3 (S3) dapat menentukan sifat-sifat persegi dan belah ketupat dengan lengkap, tetapi mereka tidak dapat mendefinisikan kedua bangun tersebut. Ternyata ketiga subyek penelitian itu dapat menentukan sifat-sifat persegi dan belah ketupat. Hal ini berarti kedua TPK utama yakni siswa dapat menentukan sifatsifat persegi dan belah ketupat dalam tindakan pembelajaran pada siklus ini telah tercapai (100%). Hal tersebut juga menggambarkan tingkat penguasaan siswa terhadap bahan ajar mencapai di atas 85%. Dengan demikian tindakan pembelajaran yang dilaksanakan pada siklus dua cukup berhasil, sehingga kegiatan penelitian ini dapat dilanjutkan pada siklus berikutnya. Hasil Tindakan Siklus III Berdasarkan hasil wawancara dan tes tindakan 3 diperoleh informasi bahwa:
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
87
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
1. Subyek penelitian 1 (S1) dapat menentukan sifat-sifat trapesium dan layang-layang meskipun belum lengkap. S1 juga dapat mendefinisikan trapesium dengan tepat, tetapi belum dapat mendefinisikan layang-layang dengan lengkap. 2. Sedangkan subyek penelitian 2 (S2) dapat menentukan sifat-sifat trapesium dan layang-layang meskipun belum lengkap, tetapi S2
mampu mendefinisikan
trapesium dan layang-layang meskipun belum sempurna. 3. Subyek penelitian 3 (S3) dapat menentukan sifat-sifat trapesium dan layang-layang dengan lengkap, tetapi tidak mampu mendefinisikan kedua bangun tersebut dengan sempurna. Dengan demikian TPK yang dirumuskan dalam tindakan pembelajaran pada siklus ini dapat dicapai. Ternyata semua bahan ajar (materi) bangun-bangun segiempat itu hanya dilaksanakan dalam tiga siklus dan setiap tindakan dalam siklus tersebut cukup berhasil. Sedangkan hasil wawancara dengan menggunakan Pedoman Wawancara yang diadopsi dari Eksprimental Task yang terdapat pada Appendix A (pp.35-53) dalam Final Report Assessing Children’s Intellectual Growth In Geometry terhadap ketiga subyek penelitian ini setelah ketiga siklus tersebut selesai, diperoleh hasil ketiga subyek penelitian itu telah mencapai tahap berpikir analitik. Hal ini berarti skenario pembelajaran yang dirancang berdasarkan teori pembelajaran Van Hiele dapat meningkatkan tahap berpikir siswa dari tahap visualisasi ke tahap analitik khususnya pada topik bangun- bangun segiempat.
D. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ternyata skenario
pembelajaran model Van Hiele yang digunakan dalam
pembelajaran pada pokok bangun-bangun segiempat dapat meningkatkan pemahaman siswa. Skenario pembelajaran itu terdiri dari Rencana Pembelajaran (RP 01, RP 02 dan RP 03) dan Lembar Kerja Siswa (LKS 1.1, LKS1.2, LKS 2.1, LKS Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
88
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
2.2, LKS 3.1 dan LKS 3.2). Peningkatan pemahaman siswa dimaksud dari tahap berpikir visualisasi ke tahap berpikir analitik. Perangkat pembelajaran ini dapat dilihat pada lampiran laporan penelitian ini. 2. Pembelajaran dalam seting kelompok yang sifatnya heterogen ternyata sangat membantu siswa dalam memahami suatu konsep. Karena melalui negosiasi ide dalam diskusi tingkat perkembangan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang diajarkan dapat lebih meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Vygotsky bahwa dalam pembelajaran kelompok hakekat sosial belajar memegang peranan sangat penting.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi .1999. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Bekti, Susilo. 2000. Pengembangan paket pembelajaran geometri pokok bahasan segiempat berpandu pada langkah-langkah pembelajaran Van Hiele untuk meningkatkan tahap berpikir siswa dari tahap visualisasi ke tahap analitik. Tesis. PPS Unesa . Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M. 1990. Assessing Children’s Intelectual Growth in Geometry . Final Report . Oregon : Oregon State University . Carey,Lou and Dick, Walter. 1978. The Systematic Design of Instruction (3rd ed). United States Of America, Harper Collins. Clements, D.H & Battista, M.T. 1992. Geometry and Spatial Reasoning. Handbook of research on mathematics teaching and learning. NCTM. Dahar, Ratna Willi. 1989. Teori- Teori Belajar. Erlangga.Jakarta Depdikbud. 1993. GBPP SLTP Mata Pelajaran Matematika. Kurikulum Pendidikan Dasar.Proyek Peningkatan SMA , Tenaga Edukatif dan BPG Jawa Timur. Depdiknas. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SLTP. Diknas Jakarta. Fuys, D; Geddes, D:& Tischer, R. 1988. The Van Hiele Model of Thingking in Geometry Among Adolescents. JRME , Monograph no.3 Reston: NCTM.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
89
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Ibrahim, Muslimin. 2001. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Menurut Jerold E. Kemp & Thiagarajan. A reference used in the Overseas Fellowship Program Contextual Learning Materials Development Proyek Peningkatan Mutu SLTP, Jakarta. Mudhoffir. 1990. Teknologi Instruksional. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Kho, Ronaldo. 1996. Tahap Berpikir Dalam Belajar geometri Siswa-siswa kelas II SMP Abepura berpandu Model Van Hiele. Tesis. PPS IKIP Malang . Pandoyo dkk.1994. Matematika 1b untuk SLTP. Balai Pustaka. Jakarta. Ratumanan, T.G. 2001. Pengenalan Teori Vygotsky dan Implikasinya Dalam Pendidikan Matematika. Buletin Pendidikan Matematika. Tahun 3, no.1 PS Pend.Matematika FKIP Universitas Patimura Ambon. Ruseffendi . 1985. Pengajaran Matematika Modern. Tarsito Bandung. Soebakri. 1998. Penguasaan Tingkat Penalaran Geometrik Siswa SMU Negeri Kodya Surabaya (Suatu Paradigma Evaluasi Penguasaan Tingkat Penalaran Geometrik). Tesis. PPS IKIP Surabaya. Soedjadi & Moesono, Djoko.1994. Matematika 2a untuk SLTP . Balai Pustaka .Jakarta. Soedjadi.1996. Diagnosis Kesulitan Siswa Sekolah Dasar Dalam Belajar Matematika (Kajian kualitatif pembelajaran topik yang sering menjadi masalah). Laporan Penelitian. FPMIPA IKIP Surabaya . --------- . 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia . Dikti . Jakarta. --------- . 1993. Fungsi Penelitian Kelas Secara Mandiri oleh Pengajar Matematika sehubungan dengan Orientasi Matematika Sekolah Dalam Era Perkembangan IPTEK ( Suatu upaya perbaikan implisit dan mencari model pengajaran ). Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Tahun 15, no. 64 IKIP Surabaya . Suparno ,P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Yogyakarta. Suwarsono ,ST .2000. Permasalahan-Permasalahan Dalam Pembelajaran Geometri dan Pemikiran Tentang Upaya-upaya Pemecahannya .Makalah seminar nasional geometri FPMIPA Univeritas Negeri Surabaya . Soekamto , T & Winataputra, U.S.1995. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Depdikbud Dikti. Jakarta. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
90
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Sunardi.2000a. Pembelajaran Geometri SLTP dan Problematikanya. Makalah disajikan pada seminar nasional pengajaran matematika sekolah menengah di Universitas Negeri Malang . FPMIPA Universitas Negeri Malang. -------- . 2000b. Teori Van Hiele sebagai dasar Pengembangan Bahan Pembelajaran Geometri SLTP . Makalah kuliah Psikologi Kognitip. PPS Universitas Negeri Surabaya. -------- . 2000c. Hubungan Tingkat Berpikir Siswa Dalam Geometri dan Kemampuan Siswa dalam Geometri. Jurnal Matematika .Universitas negeri Malang. --------. 2000d. Tingkat Perkembangan Konsep Geometri Siswa Kelas 3 SLTP Di Jember. Proseding Konferensi Naional X Matematika ITB, 17-20 Juli 2000. Usiskin ,Z,& Senk,S. 1990. Evaluating a Test of Van Hiele Levels : A Response to Crowley and Wilson. Journal for Research in Mathematics Education. Vol.21, no 3. Reston : NCTM.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
91
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-2 MODEL PENGAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA GURU SMP Drs. Syaiful, M.Pd Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FKIP Universitas Jambi E-mail:
[email protected] Abstrak Penelitian ini mencobakan suatu model pengajaran Pemecahan Masalah Matematika (PMM) di SMP. Rancangan penelitian berbentuk eksperimen dengan tes awal dan tes akhir. Subyek sampel penelitian adalah 18 guru matematika di SMP di Jambi. Pemilihan penelitian guru dilakukan dengan cara mengundang partisipasi mereka secara sukarela. Sampel guru dipilih sedemikian rupa sehingga mewakili semua tingkat kelas (I, II, dan III) yang berasal dari SMP. Perlakuan diberikan secara bertingkat, yaitu peneliti mengajarkan PMM kepada sampel guru, kemudian mereka mengajarkan PMM kepada siswa di kelasnya masingmasing. Perlakuan kepada guru dilakukan sebanyak 7 kali pertemuan dengan sekitar 3 jam tiap pertemuan. Perlakuan kepada siswa dilaksanakan kepada subyek sample guru sesuai dengan jadwal masing-masing dan dengan materi yang sama untuk tiap tingkat kelas yang sama. Penelitian ini melibatkan beberapa macam instrument, yaitu tes untuk guru sebagai tes awal dan tes akhir, skala pendapat model Likerst dan angket tentang PMM untuk guru, dan 6 set tes PMM untuk siswa, masing-masing 2 set tes (tes awal dan tes akhir) untuk siswa kelas I, II, dan III. Instrumen untuk guru dibuat oleh peneliti, dan penelitian untuk siswa dibuat oleh guru dan diperiksa kembali bersama-sama dengan peneliti. Dari hasil penelitian menemukan bahwa hasil belajar PMM guru tergolong baik, sedang hasil belajar PMM siswa masih tergolong kurang, dan pendapat guru tentang PMM cenderung positif. Selanjutnya ditemukan pula pengajaran PMM memberikan perolehan belajar yang berarti untuk siswa kelas III. Meskipun guru menyatakan kesetujuannya terhadap pengajaran PMM di SMP, dan ada kenaikan skor pendapat guru terhadap PMM, perlakuan tidak memberikan peningkatan yang berarti mengenai derajat kepositifan pendapat guru terhadap PMM. Kata Kunci: PBM, pemecahan masalah matematika (PPM), model pengajaran
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
92
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pendahuluan Proses berfikir banyak diperlukan orang dalam memecahkan berbagai masalah. Dalam beberapa hal mungkin sekali masalah perhitungan dapat diselesaikan dengan menggunakan bantuan alat hitung yang sederhana atau yang canggih. Sebaliknya proses berfikir dalam pemecahan memerlukan kemampuan intelektual tertentu yang akan mengorganisasi strategi yang ditempuh sesuai dengan data dan permasalahan yang dihadapi. Kemampuan intelektual seperti di atas akan melatih orang berfikir kritis, logis dan kreatif, dimana cara berfikir semacam ini sangat diperlukan dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin kompleks. Pentingnya pemilikan kemampuan penyelesaian masalah oleh siswa dalam matematika dikemukakan oleh Branca (1980) sebagai berikut: 1) kemampuan penyelesaian masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika, 2) penyelesaian masalah meliputi metode, prosedur, dan strategi merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika, dan 3) penyelesaian masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika. Sebagai implikasi dari pendapat di atas, maka kemampuan penyelesaian masalah hendaknya dimiliki oleh semua anak yang belajar matematika mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Polya(1956) dalam bukunya “How To Solve It” menguraikan secara rinci empat langkah penyelesaian masalah disertai dengan ilustrasi masalah, pertanyaan yang membimbing pemahaman tiap langkah, soal latihan, dan menyelesaikannya dalam matematika. Keempat langkah itu adalah: 1) memahami masalah, 2) merencanakan penyelesaian atau mencari alternatif penyelesaian, 3) melaksanakan rencana atau perhitungan, dan 4) memeriksa atau menguji kebenaran perhitungan atau penyelesaian. Serupa dengan Polya (1956), Novak (1977) mengemukakan lima urutan kegiatan dalam penyelesaian masalah sebagai berikut: 1) memahami masalah, 2) memilih atau mencari pengetahuan yang Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
93
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
relevan, 3) menyeleksi kemungkinan penyelesaian, 4) mengolah data, dan 5) menilai kembali permasalahan Dua penelitian (Utari dkk, 1993): Utari dalam Sanusi 1993) dengan menggunakan tes yang berdasarkan langkah pemecahan masalah Polya, menemukan masih rendahnya keterampilan siswa SMP (Utari, 1993) dan (Utari dalam Sanusi, 1993) dalam menyelesaikan masalah matematika. Penemuan di atas mendorong peneliti untuk merancang suatu model pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika pada guru SMP. Secara rasional bila guru telah memiliki keterampilan pemecahan masalah matematika yang memadai, diharapkan mereka dapat melaksanakan pengajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah dan pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan keterampilan pemecahan masalah matematika siswanya. Dengan memperhatikan pentingnya pemilikan keterampilan pemecahan masalah matematika untuk semua yang belajar matematika, maka penelitian ini dirasakan semakin perlu untuk dilaksanakan.
Perumusan Masalah Penelitian ini mencoba suatu model pengajaran yang dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah matematika subyek. Perlakuan diberikan secara bertingkat, yaitu: peneliti memberikan perlakuan terhadap beberapa guru matematika SMP, yang sedang mengikuti studi lanjut di Program Studi Pendidikan Matematika, dan selanjutnya mereka memberikan perlakuan serupa kepada siswanya. Dengan demikian penelitian ini menelaah efek perlakuan terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika pada guru dan siswa SMP. Secara umum keberhasilan belajar seseorang antara lain dipengaruhi oleh kesiapan belajar yang bersangkutan. Terdapat dua macam kesiapan belajar yaitu yang bersifat kognitif dan yang bersifat afektif. Kesiapan belajar secara kognitif antara lain berkaitan dengan penguasaan subyek terhadap pengetahuan dan jenis belajar yang relevan dan pernah dipelajari dengan tuntutan belajar yang sedang dihadapi. Kesiapan belajar secara efektif antara lain berhubungan dengan kesediaan subyek untuk melaksanakan belajar, dan pandangan subyek terhadap obyek atau proses yang Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
94
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dipelajarinya. Dalam penelitian ini kesiapan belajar yang ditelaah dibatasi pada subyek guru.
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini ingin mengungkap empat pertanyaan utama yaitu: 1)
Bagaimana kualitas hasil belajar pemecahan masalah matematika guru dan siswa SMP, ditinjau pada tiap langkah pemecahan masalah, secara keseluruhan, dan pada tiap tingkat kelas siswa?
2) Adakah perolehan belajar yang berarti mengenai pemecahan masalah matematika pada guru dan siswa SMP, ditinjau pada tiap langkah pemecahan dan secara keseluruhan dan pada tiap tingkat kelas siswa? 3)
Adakah perubahan pendapat guru terhadap proses belajar mengajar pemecahan masalah matematika?
4)
Apakah kelemahan dan keunggulan PBM pemecahan masalah matematika di tingkat SMP?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a) meneliti kualitas hasil belajar pemecahan masalah matematika guru dan siswa SMP, ditinjau pada tiap langkah pemecahan, secara keseluruhan dan pada tiap tingkat kelas siswa. b) meneliti kecendrungan dan perubahan pendapat guru tentang pendekatan proses belajar mengajar pemecahan masalah matematika, setelah mereka mendapat perlakuan. c)
mengembangkan model pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan penyelesaian masalah matematika pada guru dan siswa SMP. Dengan kata lain yang akan diteliti sejauh mana perolehan belajar yang dicapai guru dan siswa sesudah perlakuan.
d)
Meneliti kelemahan dan keunggulan pendekatan proses belajar mengajar pemecahan masalah matematika di SMP.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
95
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Manfaat Penelitian Pembahasan mengenai proses belajar mengajar dan hasil belajar dalam pemecahan masalah pada berbagai bidang studi, terutama pada matematika, untuk siswa pada berbagai tingkat sekolah pada dasarnya adalah sangat penting. Terdapat beberapa alasan yang mendasari rasionalitas di atas.. Pertama, kemampuan pemecahan masalah pada dasarnya merupakan satu diantara tujuan umum pengajaran matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika. Kedua, pemecahan masalah merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika. Ketiga, penyelesaian masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika. Studi mengenai pengembangan PBM pemecahan masalah dapat dicobakan terhadap subyek pada tiap tingkat kelas dan tiap tahap kognitif siswa, asalkan disesuaikan dengan kesiapan belajar subyek. Dalam kaitan ini dapat dikembangkan bermacam-macam pendekatan baik mengenai PBM maupun dalam menyusun instrument untuk pemecahan masalah matematika. Dengan menelaah kelemahan dan keunggulan PBM pemecahan masalah, dan dengan mempertimbangkan keterbatasan waktu belajar di sekolah, pendekatan PBM ini dapat dicobakan untuk topik-topik
tertentu yang merupakan topik esensial.
Penguasaan keterampilan pemecahan masalah merupakan topik esensial, dapat dikembangkan oleh subyek terhadap topik lain, bidang studi lain, bahkan untuk bertindak cerdas dalam kehidupan sehari-hari. Melalui PBM pemecahan masalah diharapkan akan terbina sikap belajar yang positif, kreatif dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan. Sikap belajar di atas akan memberikan sumbangan terhadap pribadi yang tangguh, karena pada dasar hidup di masyarakat adalah penuh tantangan. Dalam penelitian ini dilaksanakan PBM pemecahan masalah terhadap guru yang kemudian akan diterapkan kepada siswanya. Oleh karena itu penelitian ini memberikan manfaat ganda pada saat yang bersamaan, yaitu meningkatkan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
96
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
kemampuan pemecahan masalah terhadap guru serta mencoba mengajarkannya kepada siswa yang kemudian diharapkan akan meningkatkan kemampaun pemecahan masalah pada siswanya
Metode Penelitian Disain dan Sampel Penelitian Penelitian ini merupakan suatu studi eksperimen yang melibatkan guru matematika SMP dan siswanya. Eksperimen dilakukan secara bertingkat dengan disain seperti terlihat pada gambar 1. Kelas eksperimen
0 01 X1 0 01 ------------------------------------------------- Sampel guru 0 01 Kelas eksperimen 02 X2 03 -----------------------------------------------Sampel siswa Kelas control 03 Keterangan : 0 : Skala pendapat guru terhadap PBM Pemecahan Masalah. 01 : Tes awal dan tes akhir PMM (tes yang sama) untuk guru disusun oleh peneliti. 02 :Tes awal PMM untuk siswa (terdiri dari 3 set, masing-masing satu set untuk Tiap kelas, disusun oleh guru dan peneliti. 03 : Tes akhir PMM untuk siswa (terdiri dari 3 set, masing-masing satu set untuk tiap kelas, disusun oleh guru dan peneliti X1 : Pendekatan PBM pemecahan masalah untuk guru oleh peneliti. X2 : Pendekatan PBM pemecahan masalah untuk siswa oleh guru. Gambar 1. Disain Penelitian Untuk memperoleh kualitas pelayanan terhadap guru dan tingkat ketelitian dalam analisis data yang memadai maka penelitian ini bekerja dengan ukuran sampel guru yang kecil. Subyek sample terdiri dari 18 orang guru matematika SMP dan 806 orang siswanya, dengan rincian seperti table berikut
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
97
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Catatan: * Satu kelas siswa dari tiap guru ** Satu kelas siswa dari tiap guru kelompok kontrol ditambah 1 kelas siswa dari guru yang sama pada kelompok eksperimen untuk kelas I, II, dan III. Pemilihan subyek sampel guru kelompok eksperimen (12 0rang) dilakukan dengan cara mengundang partisipasi guru matematika SMP yang bersamaan waktu ini mereka sedang mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Jambi.. Dari 12 orang guru kelompok eksperimen, 3 orang guru masing-masing seorang guru kelas I, II, dan III juga mengajar pada siswa kelompok kontrol. Subyek sampel guru pada kelompok kontrol (6 orang) dipilih dengan cara mengundang partisipasi (secara sukarela) guru matematika yang bersesuaian kelas dari tiap subyek kelompok eksperimen pada SMP yang sama. Dengan demikian siswa kelas kontrol terdiri dari 3 kelas siswa yang diajar oleh guru kelompok eksperimen, dan 6 kelas siswa yang diajar oleh guru kelompok kontrol; siswa kelompok eksperimen terdiri dari 9 kelas siswa dari guru kelompok eksperimen, dan 3 kelas dari guru kelompok eksperimen yang tidak disertai kelompok kontrol. Pengolahan data siswa dari ketiga guru kelompok eksperimen di atas dilakukan secara terpisah dari kelompok eksperimen yang lainnya. Beberapa alasan yang mendasari cara pemilihan subyek guru seperti di atas adalah: (1) dengan mengambil subyek guru yang sedang melanjutkan studi, memudahkan pelaksanaan perlakuan dari peneliti dan tidak mengganggu jadwal kegiatan mengajar subyek guru; (2) dengan kesertaan mereka secara sukarela, subyek akan melaksanakan program (perlakuan kepada siswanya) tanpa merasa terpaksa; (3) dengan mengambil subyek guru kelompok kontrol dari sekolah yang sama dengan guru kelompok eksperimen akan mengurangangi faktor keragaman keadaan awal subyek siswa.
Perlakuan Penelitian Eksperimen dalam penelitian ini diberikan dengan tahap sebagai berikut: 1) Subyek guru dilatih mengembangkan pendekatan PBM pemecahan masalah matematika. Latihan dilaksanakan dalam 10 kali pertemuan sekitar 3 – 4 jam tiap pertemuan. Dalam perlakuan ini disediakan satu makalah dan satu set hand out Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
98
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
mengenai; pengertian pemecahan masalah, perencanaan pemecahan masalah dalam PBM matematika, tahap-tahap pemecahan masalah, menyusun dan mengevaluasi tes pemecahan masalah matematika, merancang PBM yang sesuai untuk siswa pada kelas yang berkaitan. 2) Berdasarkan penjelasan pada butir 1) subyek guru menyusun tes dan pendekatan PBM PMM untuk siswa masing-masing. Hasil tes yang disusun guru, kemudian dibahas bersama dengan peneliti, dan disunting oleh peneliti untuk disiapkan sebagai tes akhir PMM guru. 3) Berdasarkan hasil tes untuk guru, kemudian dilakukan penyederhanaan bahasa agar mudah dipahami siswa, dan pengurangan banyaknya butir tes agar sesuai dengan waktu yang tersedia. Diperoleh dua set tes PMM untuk tiap tingkat kelas siswa (untuk tes awal dan tes akhir). 4) Subyek guru kelompok eksperimen melaksanakan pendekatan PBM pemecahan masalah matematika untuk siswa di kelas masing-masing, dengan pokok bahasan yang sama untuk tiap kelas yang sama. Perlakuan dari guru dimulai dengan pemberian tes awal PMM, dan diakhir dengan tes akhir PMM. Pemantauan pelaksanaan PBM guru kelas eksperimen dijaring melalui angket yang diberikan setelah tes akhir untuk siswa. Pengajaran yang diberikan guru kelompok kontrol berjalan seperti biasa dengan pokok bahasan yang sama dengan yang diberikan subyek guru kelompok eksperimen. Rincian pokok bahasan yang diberikan pada penelitian ini adalah: 1). Himpunan, kalimat matematika, persaman dan pertidaksamaan sudut, dan bilangan cacah untuk kelas I. 2). Teorema Phytagoras, perbandingan, keliling dan luas persegipanjang, dan jajar genjang untuk kelas II. 3). Aritmatika, jarak dan waktu, lingkaran, kesebangunan, operasi aljabar, bangun ruang, barisan bilangan, persamaan dan pertidaksamaan untuk kelas III. Karena pelaksanaan tes awal pada kelompok kontrol pada beberapa sekolah bersamaan waktu dengan kegiatan lain maka data tes awal tersebut tidak lengkap. Selanjutnya data awal kelompok kontrol dalam penelitian ini tidak diolah.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
99
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Instrumen Penelitian dan Pengembangannya Penelitian ini melibatkan 3 macam instrument yaitu: Tes Pemecahan Masalah Matematika (Tes PMM), Skala pendapat tentang PMM, dan angket untuk guru tentang pelaksanaan pengajaran PMM. Tes PMM terdiri dari 7 set, yaitu tes PMM awal untuk guru dan 2 set tes PMM untuk siswa kelas I, II, III SMP, masing-masing sebagai tes awal dan tes akhir. Pengembangan instrument dilakukan sebagai berikut: 1). Tes Pemecahan Masalah Matematika (tes PMM). a). Tes awal PMM untuk subyek guru. Tes disusun oleh peneliti khusus untuK studi ini, berdasarkan langkah-langkah Polya (1954) dan model intrumen yang dikembangkan oleh IPSP (Schoen dan Ohmke, 1980). Materi tes dipilih mengenai matematika SMP dengan asumsi subyek guru telah menguasai materi tes dengan baik. Ditinjau dari kecocokan antara kisi-kisi tes dengan butir tes yang bersangkutan, tes menunjukkan mempunyai kesaihan isi yang memadai. b). Tes akhir PMM untuk guru, tes awal dan akhir PMM untuk siswa. Tes akhir PMM untuk guru yang juga merupakan tes awal dan tes akhir PMM untuk siswa terdiri dari 2 set, dan disusun oleh guru bersama-sama peneliti selama perlakuan terhadap guru. Cara ini dilaksanakan untuk beberapa tujuan, yaitu: (1) sebagai usaha untuk menilai apakah subyek guru telah menguasai cara menyusun dan menilai PMM untuk siswa. (2) sebagai tes akhir PMM subyek guru. (3) untuk meninjau kesaihan isi dan kesaihan muka tes PMM, terutama untuk siswa. Tes PMM awal mengenai materi yang sudah diajarkan guru sebelum perlakuan PMM diberikan dan tes PMM akhir mengenai materi yang diajarkan guru kepada siswa dalam perlakuan guru terhadap siswa. Tes disusun bedasarkan langkah-langkah Polya (1954) dan model instrument yang dikembangkan oleh IPSP (Schoen dan Ohmke, 1980). Berdasarkan kecocokan antara kisi-kisi tes dan butir yang bersangkutan, tes Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
100
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
akhir PMM untuk guru yang juga merupakan tes awal dan akhir PMM untuk siswa, telah memiliki kesaihan isi dan kesaihan muka yang memadai. Reliabelitas tes PMM untuk siswa kelas I, II, dan III yang ditinjau melalui koefesien Cronbach, berturut-turut diperoleh sebesar 0, 48, 0,59, dan 0,60 untuk tes awal, dan 0,76, 0,74, dan 0,58 untuk tes akhir. Hasil di atas menunjukkan bahwa tes PMM mempunyai derajat ketegapan (reliabelitas) antara sedang dan tinggi dan dipandang telah memadai untuk diujikan, menunjukkan tes mempunyai koefesien reliabelitas tes memadai. 2). Skala pendapat terhadap PBM pemecahan masalah matematika. Skala pendapat terdiri dari 3 sub skala yaitu mengenai: (1) pandangan konstruktivisme dalam pemecahan masalah; (2) pandangan cara PMM harus diajarkan; dan (3) pandangan bahwa pemecahan masalah mendukung pencapaian pemahaman yang lebih baik. Pengembangan Skala dilakukan sebagai berikut: a). Skala disusun dalam model Skala Likert dalam lima pilihan. Skala dikembangkan dengan cara memodifikasi model skala pendapat dalam studi Pui Yee (1993). Berdasarkan kecocokan antara kisi-kisi dengan butir skala yang bersangkutan, skala pendapat telah memiliki kesaihan isi yang memadai. b). Skala diuji cobakan kepada 24 orang guru matematika SMP, untuk medapatkan butir-butir yang memadai. Butir skala yang dapat dipakai adalah butir yang mempunyai respon pada kelima pilihan jawabannya (sangat tidak setuju, tidak setuju, netral, setuju, dan sangat tidak setuju). Berdasarkan kriteria tersebut, dari 42 butir skala terpilih sebanyak 38 butir terdiri dari 22 butir positif dan 16 butir negative. Pemberian skor tiap pilihan jawaban (5 pilihan) dilakukan berdasarkan “pembobotan deviasi normal dari kategori respons” (Edwarrs, 1969). c). Reliabelitas skala ditinjau dari koefesien korelasi motode parohan untuk butir ganjil dan genap. Perhitungan menghasilkan koefesien r = 0,67 untuk separoh tes, dan 0, 81 untuk keseluruhan tes dengan n = 24 yang menunjukkan releabilitas skala yang memadai. 3). Angket Pelaksanaan Pengajaran PMM.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
101
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Angket ditujukan kepada subyek guru untuk memperoleh umpan balik dan informasi mengenai pelaksanaan PBM pemecahan masalah matematika yang dilaksanakan guru terhadap siswanya.
Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1). Perhitungan rata-rata dan simpangan baku skor tes pemecahan masalah matematika untuk guru dan siswa pada awal dan akhir perlakuan, baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol, tiap langkah PMM dan secara keseluruhan untuk tiap tingkat kelas. 2). Perhitungan perolehan belajar pemecahan masalah matematika pada guru dan siswa pada kelompok eksperimen dan kontrol, tiap langkah PMM dan secara keseluruhan untuk tiap tingkat kelas. 3). Perhitungan rata-rata dan simpangan baku skor skala pendapat terhadap PBM pemecahan masalah matematika untuk guru pada awal dan akhir perlakuan, baik pada kelas eksperiment maupun kelas kontrol, secara keseluruhan dan berdasarkan tingkat kelas. 4). Perhitungan perubahan pendapat guru terhadap PBM pemecahan masalah matematika pada kelompok eksperimen dan kontrol secara keseluruhan dan pada tiap tingkat kelas. 5). Pengujian hipotesis perbedaan rerata skor PMM guru, skor PMM siswa, dan pendapat guru terhadap PMM dengan menggunakan uji statistik t, setelah pengujian kenormalan distribusi data yang terkait.
Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan penelitian ini memberikan beberapa kesimpulan yang bervariasi. Beberapa temuan tersebut adalah: 1). Mengenai kualitas penguasaan pemecahan masalah matematika (PMM) guru dan siswa; a) Penguasaan PMM guru yang mendapat pengajaran PMM tergolong baik, namun sebaliknya; b) ditinjau pada tiap tingkat kelas dan secara keseluruhan, Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
102
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
penguasaan PMM siswa SMP terutama kelas II masih belum memuaskan. Proses PMM masih merupakan proses yang sulit untuk siswa SMP. 2). Mengenai pengajaran dan hasil belajar PMM pada guru dan siswa SMP; a) ditinjau dari segi pemahaman mengenai tahap-tahap PMM, cara menyusun soal latihan dan tes PMM serta cara pemberian skornya, pengajaran PMM pada guru memberikan peningkatan pemahaman proses PMM yang baik; b) ditinjau dari keadaan awal dan akhir, pengajaran PMM bagi guru memberikan perolehan belajar PMM yang bermakna, dengan kata lain terdapat peningkatan hasil belajar guru dalam PMM; c) untuk siswa, meskipun hasil belajar PMM masih tergolong belum memuaskansekitar 44% dari skor ideal, pengajaran PMM memberikan perolehan belajar yang bermakna pada siswa kelas II dan II SMP, terutama pada siswa kelompok pandai. Pada siswa kelas III, pengajaran PMM belum memberikan peningkatan hasil belajar yang bermakna. Namun jika ditinjau dari besarnya persentase siswa yang mencapai skor di atas`kalisifikasi cukup, pengajaran PMM pada siswa memberikan peningkatan hasil belajar yang bermakna. 3). Mengenai pendapat guru terhadap pengajaran PMM, dan pelaksanaannya; a) ditinjau berdasarkan tingkat kelas dan secara keseluruhan, pendapat guru mengenai pengajaran PMM di SMP tergolong positif. Ditinjau antar tingkat kelas, terdapat peningkatan derajat kepositifan pendapat pada guru kelas yang makin tinggi. Meskipun terdapat peningkatan derajat kepositifan pendapat guru setelah pengajaran PMM, namun secara khusus pengajaran PMM belum memberikan peningkatan derajat kepositifan pendapat guru terhadap PMM. Peningkatan derajat kepositifan pendapat guru “mungkin” lebih banyak ditentukan oleh tingkat kematangan siswa dari guru yang bersangkutan; b) meskipun hasil belajar siswa dalam PMM belum memuaskan, guru setuju dengan pengajaran PMM di SMP antara lain untu: memberikan variasi bentuk soal latihan matematika, dan mendorong siswa belajar lebih aktif; c) Kelemahan dan kelebihan pengajaran PMM di SMP. Beberapa hambatan pelaksanaan PMM di SMP diantaranya adalah: bentuk soal masih baru bagi siswa. Siswa belum terbiasa dengan bentuk soal PMM; sukar menyusun soal latihan/tes bentuk PMM terutama untuk butir yang mengukur tahap “mencari alternative penyelesaian”; pelaksanaan pengajaran Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
103
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
PMM memerlukan waktu relative lebih lama; dalam tes sumatif matematika dan pengajaran bidang studi lain proses pemecahan masalah belum merupakan aspek yang akan diujikan. Kebaikan pengajaran PMM diantaranya adalah: memberikan variasi bentuk soal yang baru sehingga diharapkan siswa lebih kreatif dan tidak bosan, terutama untuk siswa yang padai. Implikasi dan Saran-Saran Meskipun penelitian ini ditinjau dari berbagai segi, memberikan kesimpulan tentang pengajaran PMM di SMP yang bervariasi, namun implikasi dari temuan penelitian mendukung rasional bahwa pengajaran PMM di SMP merupakan satu bentuk alternative pengajaran yang dapat dilaksanakan, dikembangkan, dan disempurnakan lebih lanjut. Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, antara lain dikemukakan saran sebagai berikut: 1). Pengajaran PMM pada dasarnya pernah dilaksanakan oleh guru dalam latihan/tes, sehingga beberapa bentuk soal pada dasarnya sudah dikenal oleh siswa. Keterbatasan penelitian ini antara lain, adalah untuk menyelesaikan soal bentuk PMM memerlukan waktu belajar yang cukup, siswa belum terbiasa dengan bentuk soal PMM, dan waktu belajar yang terbatas karena menghadapi persiapan tes sumatif. Oleh karena itu pengajaran PMM di SMP perlu dibiasakan, dan dikembangkan lebih lanjut, dengan memilih topik-topik yang relevan. Saran tersebut pada dasarnya merupakan pemikiran rencana pengajaran yang dapat merangsang siswa berpikir, dan beroreantasi pada tantangan di masa depan. 2). Saran untuk penelitian selanjutnya. Secara umum proses PMM masih merupakan aspek yang sukar untuk siswa SMP. Namun demikian aspek proses PMM adalah suatu aspek penting dalam belajar matematika. Proses PMM melibatkan beberapa aspek proses prasyarat yang lebih rendah. Ada kemungkinan hasil belajar siswa berkaitan dengan tahap struktur hasil belajar siswa. Oleh karena itu disarankan dilakukan suatu studi mengenai keterkaitan tahap struktur hasil belajar dalam matematika dan penguasaan PMM, dan studi mengenai alternative pengajaran matematika yang memungkinkan peningkatan tahap struktur hasil belajar siswa dan aspek kognitif Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
104
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
tingkat tinggi lainnya untuk berbagai tingkat sekolah dan atau tingkat kepandaian siswa. Daftar Pustaka Arikunto S, (1998), Prosedur Penelitian Suatu Penedekatan Praktek. Rineka Cipta, Jakarata Anonim, (2003) Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMA da MA. Diknas, Jakarta Branca, N. A (1980). “Problem Solving as Agoal, Process, and Basic Skill”, dalam Krulik, S. dan Reys, R. E. Problem Solving in School Mathematics. NCTM. Butts, T, (1980). “ Posing Problem Properly”, dalam Krulik, S. dan Reys, R.E. Problem Solving in School Mathematics. NCTM Krulik, S, dan Rudnick, L. A, (1980). Developing Problem Solving Skiils Mathematics Teacher. Vol. 78, No. 9, Desember 1985 Margono S, (1997), Metodologi Penelitian Pendidikan. Rineka Cipta, Jakarta. Polla G, 2001), Upaya Mencipta Pengajaran Matematika yang Menyenangkan. Buletin Pelangi Pendidikan, Vol.2, Jakarta Polya, G, (1956), Haw to Solve IT. Pui Yee, F, (1993). Teachers Pedagogical Beliefs in Teaching Mathematical Problem Solving in Primary School. Makalah Conference on Mathematics Education (SEACMEA) dan Konferensi Matematika Nasional ke tujuh, di Surabaya, 7 – 11 1993 Ruseffendi, E.T. (1997), Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinnya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA, Bandung: Tarsito Schoen, H. L, dan Oehmke, T. “A New Approach to The Mesurement of Problem Solving Skiils”. NCTM. Skemp, R.R (1975), The Psychology of Learning Mathematics, Harsmonsworth: Penguin Book. Utari, S dkk, (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajat Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Pada Siswa di Kodya Bandung, Laporan Penelitian Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
105
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Utari, S dkk, (1991). Hubungan Antara Kegiatan Belajar, Pelaksanaan Perkuliah, dengan Hasil Belajar Mahasiswa Dalam Matakuliah Kalkulus I, Laporan Penelitian.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
106
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-3 PERILAKU METAKOGNISI ANAK DALAM MATEMATIKA: KAJIAN BERDASARKAN ETNIS DAN GENDER PADA SISWA SMP DI KALIMANTAN BARAT Dwi Astuti dan Bambang Hudiono Pend.Matematika Univ.Tanjungpura Abstrak Luaran penelitian ini berupa temuan teori ataupun hipotesis yang mengungkap karakteristik aktivitas metakognisi anak dalam keterkaitannya dengan kemampuan akademis dalam bidang matematika yang dikaji dari perbedaan etnis dan gender. Penelitian ini adalah penelitian investigasi yang dapat dipandang sebagai bagian dari penelitian pengembangan tentang kemampuan metakognisi dalam matematika. Siswa yang terlibat sebagai partisipan adalah siswa SMP kelas VIII dari empat daerah di Kalimantan Barat yang terbagi dalam empat etnis dan dua jenis kelamin. Instrumen yang digunakan berupa angket metakognisi, perangkat tes pemecahan masalah, dan pedoman wawancara. Sistematika penyajian analisis data disusun dengan menggunakan langkah analisis kuantitatif (statistik deskriptif dan statistik inferensial), dan analisis kualitatif. Dari analisis deskriptif terdapat pengaruh etnis dan gender terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika dan kemampuan metakognisi siswa. Namun dari uji statistik, diperoleh simpulan bahwa kemampuan metakognisi untuk ke-empat etnis tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Sedangkan dari uji Anova: rata-rata skor kemampuan dasar dan pemecahan masalah untuk keempat etnis, tidak identik. Dari hasil Post Hoc Test disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika etnis Cina dengan etnis Dayak dan antara etnis Dayak dengan etnis Melayu memiliki perbedaan rata-rata skor yang signifikan. Berdasarkan uji t dengan equal variance not assumed kemampuan pemecahan masalah dan metakognisi untuk siswa laki-laki maupun siswa perempuan, tidak berbeda secara signifikan. Begitu juga tidak ada interaksi antara etnis dan gender dalam kemampuan memecahkan masalah matematika, dan dalam kemampuan metakognisi. Dalam menghadapi soal pemecahan masalah matematika aktivitas metakognisi siswa sebelum, selama, setelah dan dalam menghadapi soal sudah terlihat tetapi belum optimal, masih dalam rentang kategori rendah sampai sedang. Kata kunci: Metakognisi, Pemecahan Masalah Matematika
Pendahuluan Dalam pembelajaran matematika, kemampuan metakognisi dapat tergali dan teramati ketika siswa memecahkan masalah. O’Neil dan Abedi (1996) menyatakan bahwa metakognisi adalah kesadaran seseorang untuk merancang, menerapkan, dan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
107
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
memonitor strategi kognisinya. Untuk memecahkan permasalahan yang kompleks, sangat diperlukan kemampuan metakognisi. Siswa sebagai pemecah masalah yang baik jika dapat membimbing usahanya sendiri dengan menemukan cara dan informasi dan mengkaitkannya antara pengetahuan awal yang telah dimiliki dengan situasi masalah yang dihadapi (Lerch, 2004). Kajian beberapa tahun terakhir menunjukkan pentingnya metakognisi dalam perolehan dan penerapan keterampilam belajar dalam berbagai domain inkuiri (Alexander, Fabricus, Fleming, Zwahr & Brown, 2003). Menurut Sperling (2004) kajian metakognisi ada dua aspek, yaitu pengetahuan tentang kognisi yang merujuk pada tingkatan pemahaman siswa terhadap memori dan cara mereka belajar; dan regulasi kognisi merujuk pada bagaimana siswa dapat mengatur sistem belajar yang dimiliki. (Boekaerts, 1997; Fernandez-Duque, Baird & Posner, 2000). Mestre (1989) menyatakan bahwa budaya berpengaruh terhadap cara belajar matematika. Upaya komprehensif untuk mengembangkan kemampuan matematika, harus memperhitungkan faktor budaya, bahasa, sosioekonomi, dan sikap. Bahkan, Shipman & Shipman (1985) menyatakan bahwa gaya kognisi dari kelompok etnis sejenis, lebih baik dari pada kelompok dari berbagai etnis. Ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh kelompok etnis terhadap aktivitas kognisi siswa. Kalimantan Barat merupakan propinsi yang penduduknya terdiri dari beberapa kelompok etnis, diantaranya etnis Cina, Dayak, Melayu, Madura, Jawa dan etnis lain yang masih kuat memegang adat budayanya masing-masing. Untuk itu timbul pertanyaan ” Bagaimanakah
keragaman perilaku metakognisi anak dari berbagai
kelompok etnis dan gender dalam menyelesaikan permasalahan matematika di Kalimantan Barat? Luaran penelitian ini berupa temuan teori ataupun hipotesis yang mengungkap karakteristik aktivitas metakognisi anak dalam keterkaitannya dengan kemampuan akademis dalam bidang matematika yang dikaji dari perbedaan etnis dan gender.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
108
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian investigasi yang dapat dipandang sebagai bagian dari penelitian pengembangan tentang kemampuan metakognisi dalam matematika. Kajian investigasi ditekankan pada keterkaitan beberapa variabel seperti kemampuan metakognisi anak dalam matematika, kemampuan siswa dalam memecahkan permasalahan matematika, dan latar belakang siswa baik secara etnis dan gender. Siswa yang terlibat sebagai partisipan adalah siswa SMP kelas VIII dari empat daerah di Kalimantan Barat berjumlah 219 orang, yang terbagi dalam empat etnis dan dua jenis kelamin. Instrumen yang digunakan berupa angket metakognisi, perangkat tes pemecahan masalah, dan pedoman wawancara. Prosedur penelitian meliputi: pemberian tes pemecahan masalah untuk melihat penalaran dan kemampuan akademis siswa, juga untuk menyegarkan proses kognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika, pemberian angket metakognisi dalam bentuk skala likert yang terdiri dari empat kelompok pertanyaan berkaitan dengan self monitoring yaitu: sebelum, ketika, setelah, dan strategi ketika menghadapi soal pemecahan masalah matematika, dan wawancara terhadap wakilwakil dari kelompok, baik berdasarkan kemampuan, etnis, dan gender.
Hasil dan Pembahasan Kemampuan Dasar dan Pemecahan Masalah Matematika Untuk melihat kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika dari para siswa, diamati dari hasil pengerjaan soal kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika yang dilakukan oleh para siswa yang dikaji berdasarkan etnis dan gender. Ringkasan skor para siswa berdasarkan etnis dan gender disajikan pada tabel 1 berikut ini.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
109
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
TABEL 1 RINGKASAN SKOR HASIL PENGERJAAN SOAL KEMAMPUAN DASAR DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PARA SISWA KELAS VIII SMP BERDASARKAN ETNIS DAN GENDER DI KALIMANTAN BARAT
Etnis 1. Cina
2. Dayak 3. Melayu 4. Lain
Jenis Kelami n
Skor Terting gi
Skor Terend ah
1
26
1
2 1 2 1 2
26 15 26 20 29
1 1 1 1 3
Rera ta 10,9 1 9,74 7,29 6,92 9,62 12,1 6 8,4 9,00
35,19
Ukura n Samp el 43
31,42 23,52 22,32 31,03 39,22
57 14 26 21 45
5,780 3,561 5,137 6,289 8,099
5 8
6,269 4,375
Rerata dalam %
1 18 2 27,10 2 16 5 29,03 Keterangan: Skor maksimal = 31 Jenis Kelamin: 1 = laki-laki; 2 = Perempuan
Simpanga n Baku 6,023
Data tabel 1 memperlihatkan, secara deskriptif kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika siswa perempuan untuk etnis Melayu lebih baik dibanding siswa perempuan dari etnis yang lain dan lebih baik dibanding siswa laki-laki dari semua etnis dengan rata-rata skor 12,16 dari skor maksimal 31, kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika untuk siswa laki-laki dicapai kelompok etnis Cina dengan rata-rata skor 10,96. Skor tertinggi dicapai oleh siswa perempuan dari etnis Melayu yaitu 29. Namun demikian secara umum kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika siswa di Kalimantan Barat masih tergolong rendah karena presentasi rata-rata skor nya sekitar 30 % dari skor maksimal.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
110
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Metakognisi Siswa Untuk melihat kemampuan metakognisi siswa, diamati dari hasil angket metakognisi yang terdiri dari empat kelompok pertanyaan yaitu: sebelum, ketika (selama), setelah, dan strategi ketika menghadapi soal pemecahan masalah matematika. Setiap aspek terdiri dari beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku aktivitas metakognisi yang dapat dijawab oleh siswa dengan kategori: ya (setuju), kadang-kadang (tidak yakin), dan tidak (tidak setuju). Ringkasan skor para siswa berdasarkan etnis disajikan pada tabel 2. TABEL 2 RINGKASAN SKOR HASIL JAWABAN ANGKET METAKOGNISI PARA SISWA KELAS VIII SMP BERDASARKAN ETNIS DAN SELF MONITORING DI KALIMANTAN BARAT Rerata Rerata (%) Simpangan Baku Ukuran Sampel Sebelum 1 8,02 66,83 2,00 100 2 8,13 67,75 1,539 40 3 8,18 68,17 1,672 66 4 8,92 74,33 1,847 13 Total 8,14 67,83 1,818 219 Selama 1 6,90 69 1,580 100 2 6,78 67,8 1,968 40 3 7,65 76,5 1,544 66 4 6,92 69,2 2,100 13 Total 7,11 71,1 1,706 219 Setelah 1 5,54 69,25 1,660 100 2 5,53 69,12 1,396 40 3 6,06 75,75 1,201 66 4 5,69 71,12 1,182 13 Total 5,70 71,25 1,471 219 Jawab Soal 1 6,22 51,83 2,521 100 2 5,80 48,33 2,151 40 3 6,18 51,5 2,155 66 4 6,08 50,67 1,656 13 Total 6,12 51,00 2,296 219 Keterangan: 1: etnis Cina, 2: etnis Dayak, 3: etnis Melayu, 4: etnis Lain
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
111
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Dari data tabel 2 terlihat bahwa secara deskriptif kemampuan metakognisi para siswa dari kelompok etnis lain (selain etnis Cina, Dayak dan Melayu) yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas sebelum memecahkan masalah, lebih tinggi dari siswa-siswa etnis Cina, Dayak dan Melayu. Kemampuan metakognisi kelompok siswa dari etnis Cina yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas sebelum memecahkan masalah paling rendah dibanding etnis lainnya. Kemampuan metakognisi yang berkaitan dengan aktivitasaktivitas selama dan setelah memecahkan masalah paling tinggi dicapai siswa dari kelompok etnis Melayu , dan terendah dicapai oleh siswa dari kelompok etnis Dayak. Kemampuan metakognisi yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas dalam menghadapi soal, rerata skor tertinggi dicapai oleh siswa dari kelompok etnis Cina, dan skor terendah dicapai oleh siswa dari kelompok etnis Dayak. Namun demikian secara klasikal kemampuan metakognisi yang berkaitan dengan aktivitas sebelum, selama, dan setelah menyelesaikan masalah matematika tergolong sedang karena persentase rerata skor kemampuan metakognisinya sekitar 70% dan kemampuan metakognisi yang berkaitan dengan aktivitas menghadapi soal pemecahan masalah matematika, tergolong rendah karena persentase rerata skor kemampuan metakognisinya kurang dari 60%. Untuk melihat kemampuan metakognisi siswa berdasarkan etnis dan gender, dapat dilihat melalui ringkasan skor para siswa yang disajikan pada tabel 3 berikut ini. TABEL 3 RINGKASAN SKOR HASIL JAWABAN ANGKET METAKOGNISI PARA SISWA KELAS VIII SMP BERDASARKAN ETNIS DAN GENDER DI KALIMANTAN BARAT Jenis Rerata Ukuran Simpangan Etnis Rerata Kelamin dalam % Sampel Baku 1. Cina 1 26,14 62,24 43 5,379 2 27,09 64,50 57 5,432 2. Dayak 1 25,64 61,05 14 5,242 2 26,54 63,19 26 5,508 3. Melayu 1 27,90 66,43 21 5,999 2 28,13 66,98 45 3,769 4. Lain 1 26,40 62,86 5 3,435 2 28,38 67,57 8 5,208 Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
112
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Keterangan: Skor maksimal = 42 Jenis Kelamin: 1 = laki-laki; 2 = Perempuan Dari data tabel 3 terungkap bahwa etnis dan gender berpengaruh terhadap kemampuan metakognisi siswa. Hal ini telihat bahwa kemampuan metakognisi siswa perempuan untuk etnis lain lebih baik dibanding semua siswa dari etnis Cina, Dayak, dan Melayu. Kemampuan metakognisi siswa perempuan untuk etnis Melayu lebih baik dibanding siswa laki-laki maupun perempuan dari etnis Cina dan Dayak. Kemampuan metakognisi siswa perempuan untuk setiap etnis lebih baik dibanding siswa lakilakinya. Kemampuan metakognisi untuk siswa laki-laki rata-rata tertinggi dicapai oleh siswa laki-laki dari etnis Melayu, disusul kemudian siswa laki-laki dari etnis lain, etnis Cina dan rata-rata paling rendah dicapai siswa laki-laki dari etnis Dayak.
Hubungan Metakognisi dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Jika hasil pengamatan kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika dihubungkan dengan hasil pengamatan kemampuan metakognisi siswa, secara lengkap ringkasan skor para siswa disajikan pada tabel 4. TABEL 4 RINGKASAN SKOR HASIL PENGERJAAN SOAL KEMAMPUAN DASAR DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SERTA SKOR HASIL JAWABAN ANGKET METAKOGNISI PARA SISWA KELAS VIII SMP BERDASARKAN ETNIS DAN GENDER DI KALIMANTAN BARAT
Etnis 1.
2.
3.
1
Rerat a K.D. & PM 10,91
Rerata K.D. & PM dalam % 35,19
2
9,74
1
Rerata MK
Rerata MK dalam %
Simp. Baku MK
Ukuran Sampel
6,023
26,14
62,24
5,379
43
31,42
5,780
27,09
64,50
5,432
57
7,29
23,52
3,561
25,64
61,05
5,242
14
2
6,92
22,32
5,137
26,54
63,19
5,508
26
1
9,62
31,03
6,289
27,90
66,43
5,999
21
Jenis Kelamin
Simp.Baku K.D &
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
113
PROSIDING
4.
ISBN : 978-979-16353-3-2
2
12,16
39,22
8,099
28,13
66,98
3,769
45
1
8,4
27,10
6,269
26,40
62,86
3,435
5
2
9,00
29,03
4,375
28,38
67,57
5,208
8
1
9,82
31,68
5,831
26,52
63,14
5,831
83
2
9,96
32.13
6,677
27,40
65,24
6,677
136
Total Keterangan: Skor maksimal = 31 Etnis : 1 = Cina, 2 = Dayak, 3 = Melayu, 4 = etnis lain Jenis Kelamin: 1 = laki-laki; 2 = Perempuan KD & PM = Kemampuan Dasar dan Pemecahan Masalah Matematika MK = Meta Kognisi Dari data tabel 4 tersebut dapat terungkap secara deskriptif: kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika siswa perempuan untuk etnis Melayu lebih baik dibanding siswa perempuan dari etnis yang lain tetapi tidak demikian halnya dengan kemampuan metakognisinya, kemampuan metakognisi tertinggi dicapai oleh siswa perempuan dari etnis lain. Kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika dan kemampuan metakognisi siswa perempuan untuk etnis Melayu lebih baik dibanding siswa laki-laki dari semua etnis. Kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika siswa laki-laki untuk etnis Cina lebih baik dibanding siswa laki-laki dari etnis yang lain, tetapi tidak demikian halnya dengan kemampuan metakognisinya, kemampuan metakognisi tertinggi dicapai oleh siswa laki-laki dari etnis Melayu. Untuk kelompok siswa laki-laki dari etnis Cina dan Dayak kemampuan dasar dan pemecahan matematikanya lebih baik dibanding kelompok siswa perempuannya. Akan tetapi kemampuan metakognisi kelompok siswa perempuan lebih baik dibanding dengan kelompok siswa laki-laki. Sedangkan untuk kelompok siswa perempuan dari etnis Melayu dan etnis lain, kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika serta kemampuan metakognisinya lebih baik dibanding kelompok siswa laki-laki. Untuk memberikan gambaran lebih lanjut tentang analisis deskriptif yang telah dikaji, berikut diungkap analisis statistik dengan bantuan program SPSS 17. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan rata-rata skor secara signifikan, dilakukan uji ANOVA dan diperoleh simpulan bahwa rata-rata skor kemampuan dasar dan pemecahan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
114
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
masalah untuk keempat etnis, tidak identik. Dari uji statistik t dapat disimpulkan bahwa untuk etnis Cina dengan etnis Dayak memiliki perbedaan rata-rata skor yang signifikan dengan nilai probabilitas 0,033; demikian juga antara etnis Dayak dengan etnis Melayu memiliki perbedaan rata-rata skor yang signifikan dengan nilai probabilitas 0,004. Untuk yang lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Selainjutnya berdasarkan uji ANOVA dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor kemampuan metakognisi siswa untuk keempat etnis, identik. Dan berdasarkan hasil Post Hoc Test disimpulkan kemampuan metakognisi untuk ke-empat etnis tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keterkaitan antara perbedaan jenis kelamin atau gender terhadap kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan metakognisi yang dikaji menggunakan uji t, disimpulkan baik untuk siswa laki-laki maupun siswa perempuan, kemampuan pemecahan masalahnya dan kemampuan metakognisinya tidak berbeda secara signifikan. Selain daripada itu dari hasil uji statistik diperoleh simpulan bahwa tidak ada interaksi antara etnis dan gender dalam kemampuan memecahkan masalah matematika dan dalam kemampuan metakognisi.
Aktivitas Metakognisi Siswa Dalam menghadapi soal pemecahan masalah matematika aktivitas metakognisi siswa sebelum, selama, setelah dan dalam menghadapi soal sudah terlihat tetapi belum optimal, masih dalam rentang kategori rendah sampai sedang. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, dari aktivitas sebelum menyelesaikan soal, sebagian besar siswa mencoba membaca soal dengan cara diulang-ulang sampai merasa paham, kemudian mengingat soal-soal yang pernah diajarkan guru dan menyelesaikan dengan rumus sampai diperoleh jawab soal tersebut tanpa menuliskan terlebih dahulu apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Selama menyelesaikan soal siswa lebih sering mengerjakan dengan mengingat soal-soal yang pernah dikerjakan sebelumnya, dan menggunakan cara lain jika siswa tidak ingat cara yang pernah diajarkan guru itupun dengan cara menebak, hanya sebagian siswa saja yang berusaha mengaitkan dengan konsep-konsep yang pernah diperoleh sewaktu masih di Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
115
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
sekolah dasar. Untuk mengecek hasil pekerjaan, siswa lebih sering mengerjakan kembali dengan cara yang sama. Aktivitas setelah menyelesaikan soal, dari hasil angket metakognisi sebagian besar siswa menyatakan bahwa mereka melakukan evaluasi atau memeriksa kembali hasil pemecahan masalah, ternyata berdasarkan hasil wawancara yang dimaksud disini adalah mengecek langkah-langkah pengerjaan dan perhitunganperhitungan matematikanya bukan menginterpretasikan perhitungan matematika ke masalah. Kemudian dalam menghadapi soal yang sulit atau yang merupakan masalah bagi mereka, sebagian besar siswa cenderung meninggalkan soal tersebut (pasrah), hanya beberapa siswa yang menyatakan berusaha mencari jawab karena tertantang.
Simpulan Berdasarkan temuan penelitian bahwa perbedaan etnis yang terdiri dari etnis Cina, etnis Dayak, etnis Melayu, dan etnis lain, tidak menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan
dalam
rata-rata
kemampuan
metakognisinya.
Kemampuan
metakognisinya dalam kategori rentangan relatif rendah sampai sedang (berada pada kisaran 61%). Kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika, menurut etnis yang berbeda, secara deskriptif menunjukkan adanya perbedaan rata-rata kemampuan, etnis Melayu (37%) diikuti dengan etnis Cina (34 %), etnis lain (29 %) dan terakhir etnis Dayak (23,5%). Dari hasil uji statistik (Post Hoc Test ) dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika etnis Cina dengan etnis Dayak dan antara etnis Dayak dengan etnis Melayu memiliki perbedaan rata-rata skor yang signifikan dengan nilai probabilitas masing-masing 0,033 dan 0,004. Untuk yang lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Secara keseluruhan kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika-nya dalam kategori rendah. Hal ini diperlihatkan dari rata-rata kemampuannya kurang dari 50%. Secara umum, ada pengaruh gender terhadap kemampuan metakognisi dan terhadap kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika. Hal ini ditunjukkan: kemampuan metakognisi siswa perempuan (27,40) lebih tinggi dari kemampuan metakognisi siswa laik-laki (26,52). Dan kemampuan pemecahan masalah matematika Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
116
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dari siswa perempuan (9,96) lebih tinggi dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa laki-laki (9,82). Namun demikian, perbedaan kemampuan tersebut tampak relatif kecil. Kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika untuk etnis Cina dan Dayak, secara deskriptif kelompok siswa laki-laki lebih baik dibanding kelompok siswa perempuan. Akan tetapi kemampuan metakognisinya kelompok siswa perempuan lebih baik dibanding dengan siswa laki-laki. Sedangkan kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika serta kemampuan metakognisi untuk etnis Melayu dan etnis lain, secara deskriptif kelompok siswa perempuan lebih baik dibanding kelompok siswa laki-laki. Dalam menghadapi soal pemecahan masalah matematika aktivitas metakognisi siswa sebelum, selama, setelah dan dalam menghadapi soal sudah terlihat tetapi belum optimal, masih dalam rentang kategori rendah sampai sedang.
Saran Berdasarkan temuan dan hasil penelitian yang dituangkan dalam kesimpulan, terdapat beberapa saran yang dapat diajukan yaitu bahwa pembelajaran matematika pada sekolah menengah pertama perlu lebih menekankan pada kemampuan memecahkan masalah matematika, dan perlu perancangan pengembangan model pembelajaran yang memuat perpaduan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan metakognisi yang disesuaikan dengan konteks berdasarkan etnis dan lingkungan siswa.
Daftar Pustaka Alexander, J., Fabricus, W., V., Fleming, V., Zwahr, M., & Brown, S. (2003). The development of metacognitive causal explanations, Learning and Individual Differences, 13. 227-238. Boekaerts, M. (1997). Self-regulated learning: A new concept embraced by researchers, policy makers, educators, teachers and students, Learning and Instruction, 7 (2). 161-186. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
117
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Ernest, P. 1989. The impact of beliefs on the teaching of mathematics. In P. Ernest (Ed.), Mathematics teaching: The state of the art. London, England: Falmer Press. Fernandez-Duque, D., Baird, J., & Posner, M. (2000). Awareness and Metacognition, Consciounes and Cognition, 9, 324-326. Hitt, F. 2001. Construction of mathematical concepts and internal cognitive frames. [on-line].Available:http://www.matedu.cinvestav.mx/Hitt-w.pdf.[11 Juni 2002]. Janvier, C. 1987. Translation processes in mathematics education, In C. Janvier (Ed.). Problem of representation in the teaching and learning of mathematics. London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Lerch, C. (2004). Control decisions and personal beliefs: their effect on solving mathematical problems, Journal of Mathematical Behaviour, 23, 21-36. Lesh, R., Post, T., & Behr, M. 1987. Representations and translations among representations in mathematics learning and problem solving. In C. Janvier (Ed.). Problem of representation in the teaching and learning of mathematics. London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Mestre, J. (1989). Impact of culture of learning math. College Prep. Volume 5: Counseling students for higher education. New York: The College Board, Inc. Niss, G. 1996. Goals of Mathematics Teaching. In A.J. Bishop, K. Clements, C. Keitel, J. Kilpatrick, & C. Laborde (Eds.). International handbook of mathematics education. Netherlands; Kluwer Academic Publisher. O’Neil, H. F., Jr., & Abedi, J. (1996). Reliability and validity of a state metacognitive inventory: Potential for alternative assessment. Jpurnal of Educational Research, 89. 234 – 245. Schoenfield, A.H. 1987. What’s all the fuss about metacognition? In A.H. Schoenfield (Ed.). Cognitive scence and mathematics education. Hillsdale, NJ:Lawrence Erlbaum Associates. Schoenfield, A.H. 1992 . Learning to think mathematically: Problem solving, metacognition, and sense making in mathematics. In D.A. Grouws (Ed). Handbook of research on mathematics teaching and learning. NCTM. New York : Macmilan Publishing Company. Shipman, S. & Shipman, V. (1985). Cognitive style: Some conceptual, methodological and applied issues. Review of Research in Education, 12. 229-291. Sperling, R. (2004). Metacognition and self-regulated learning constructs, educational Research and Evaluation, 10 (2). 117-139.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
118
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-4 KOMPETENSI GURU SEKOLAH DASAR DALAM MEMAHAMI MATEMATIKA SD Budiyono Prodi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran sejauh mana kompetensi guru-guru sekolah dasar dalam memahami pelajaran matematika SD. Untuk memperoleh data hasil penelitian digunakan instrumen tes kemampuan menyelesaikan matematika SD. Subyek dalam penelitian ini adalah guru-guru sekolah dasar Pokjar UT Borobudur dan Tegalrejo Kabupaten Magelang semester VIII tahun Akademik 2008/2009. Dari hasil analisis data diperoleh hasil bahwa kompetensi guruguru Sekolah Dasar dalam memahami matematika SD termasuk rendah (66,80%). Kata kunci: kompetesi guru SD, matematika SD. A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Penguasaan (pemahaman) guru pada konsep pembelajaran harus baik. Apalagi untuk mata pelajaran matematika yang sampai saat ini masih dirasakan sulit oleh sebagian besar siswa sebagai peserta didik maupun bagi guru se bagai pendidik. Pentingnya akan penguasaan terhadap matematika bagi siswa, maka diperlukan peninjauan dan perbaikkan yang terus menerus pada metode pengajaran matematika di sekolah-sekolah. Oleh karena itu guru matematika yang profesional harus selalu mengikuti perkembangan-perkembangan baru di dalam silabus yang sering berubah. Penguasaan konsep-konsep dasar matematika merupakan langkah pertama menuju pengajaran yang efektif. Dengan demikian guru harus memberikan pengalaman-pengalaman untuk membangun konsep-konsep dasar bagi muridnya. Alasan mengambil penelitian tentang kompetensi pemahaman operasi hitung, notasi matematika, dan garis bilangan pada guru SD karena guru SD Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
119
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
merupakan pendidik dasar bagi siswanya yang mengajarkan konsep-konsep awal pembelajaran . Jika kemampuan guru SD tentang kompetensi pemahaman operasi bilangan, notasi matematika, dan garis bilanagan dalam kategori baik sekali maka kemungkinan pembelajaran pada murid juga baik. Selain itu jarang sekali penelitian pada guru SD atau sangat sedikit penelitian pada guru SD, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Penelitian tentang penguasaan guru SD pada kompetensi pemahaman operasi hitung, notasi (lambang) matematika, dan garis bilangan sangat penting dilakukan, mengingat bahwa matematika tidak lepas dari operasi hitung, notasi matematika, dan garis bilangan. Menggunakan garis bilangan merupakan tahap pengenalan konsep operasi hitung bilangan bulat secara semi konkret atau semi abstrak. Pada sekolah dasar penyampaian topik bilangan bulat ilustrasinya kurang tepat dan terlalu abstrak, padahal dalam usia sekolah dasar proses abstraksi siswa masih perlu dibantu media lain, seperti halnya menggunakan garis bilangan. Seberapa besar kemampuan seorang guru sekolah dasar dalam menggunakan garis bilangan ini sangat penting karena dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Kemampuan menggunakan garis bilangan pada guru sekolah dasar sangat menarik untuk diteliti oleh penulis karena tehnik penyampaian seorang guru dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa apalagi pada sekolah dasar. Karena pendidikan matematika pada jenjang sekolah dasra mempunyai peranan yang sangat penting, sebab jenjang ini merupakan pondasi yang sangat menentukan dalam membentuk sikap, kecerdasan, dan kepribadian anak. 2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimana gambaran kompetensi guru sekolah dasar dalam memehami kompetensi hitung matematika SD ? b. Bagaimana gambaran kompetensi guru-guru sekolah dasar memahami notasi / simbol matematika SD ? Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
120
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
c. Bagaimana gambaran guru-guru sekolah dasar dalam memahami garis bilangan untuk pembelajaran operasi hitung matematika SD ? 3. Tujan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang halhal berikut ini : a. Kompetensi guru sekolah dasar dalam memahami konsep operasi hitung matematika SD. b. Kompetensi guru sekolah dasar memahami notasi / simbol matematika SD. c. Kompetensi guru sekolah dasar dalam memahami garis bilangan dalam pembelajaran matematika SD. 4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Sebagai bahan acuan bagi guru SD dalam pembelajaran operasi bilangan, notasi / simbol matematika dan penggunaan garis bilangan. 2. Memberikan informasi bagi pengambil kebijaksanaan dalam menindak lanjuti hasil penelitian ini. B. Metode Penelitian 1. Variabel Penelitian . Variabel dalam penelitian ini adalah kompetensi konsep operasi hitung, notasi matematika dan garis bilangan dalam mata pelajaran matematika SD guru SD Pokjar Borobudur dan guru SD Pokjar Tegalrejo Tahun Akademik 2008 /2009. 2. Populasi Penelitian Populasi penelitian ini adalah guru SD Pokjar Borobudur dan guru SD Pokjar Tegalrejo sebanyak 112 orang dengan perincian guru SD Pokjar Borobudur sebanyak 43 orang dan guru SD Pokjar Tegalrejo 69 orang. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
121
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
3. Sampel Sampel penelitian ini adalah guru SD Pokjar Borobudur dan Tegalrejo sebanyak 81 orang. 4. Tehnik Sampling Tehnik sampling yang digunakan penelitian ini adalah purposive random sampling. 5. Tehnik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik tes. 6. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan berbentuk tes tentang operasi bilangan, notasi, dan garis bilangan dalam matematika, berturut-turut sebanyak 25, 25 dan 30 soal . 7. Tehnik Analisis Data Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara deskriptif, akan dibahas cara penyajian data dengan tabel distribusi frekuensi tentang pemahaman operasi bilangan, notasi, dan garis bilangan. Selanjutnya dari distribusi tersebut dihitung nilai rerata dari pemahaman operasi bilangan, notasi bilangan, dan garis bilangan.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
122
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasarkan hasil pengolahan data didapat hasil statistik yang disajikan dalam tabel-tabel berikut. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kompetensi Guru Sekolah Dasar dalam Pemahaman Operasi Hitung, Guru SD Pokjar Borobudur dan Guru SD Pokjar Tegalrejo Tahun Akademik 2008/2009 No
Kelas
fi
xi
fi x i
1
12 − 21
3
16,5
49,5
2
22 − 31
0
26,5
0
3
32 − 41
4
36,5
146
4
42 − 51
7
46.5
325,5
5
52 - 61
31
56,5
1.782,5
6
62 − 71
25
66,5
1.663,5
7
72− 81
10
76,5
765
8
82− 91
1
86,5
86,5
Σ f i = 81
Σ f i x i = 4786,5
Dari tabel 1 di atas diperoleh rerata kompetensi pemahaman operasi hitung sebagai berikut. rerata ( x ) = 59,09 Selanjutnya, diperoleh standar deviasi kompetensi pemahaman operasi hitung sebagai berikut. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
123
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
S = 13,21 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kompetensi Guru Sekolah Dasar dalam Pemahaman Notasi Matematika Guru SD Pokjar Borobudur dan Guru SD Pokjar Tegalrejo Tahun Akademik 2008/2009 No
Kelas
fi
xi
fi xi
1
28 − 37
3
32,5
97,5
2
38 − 47
1
42,5
42,5
3
48−57
9
52,5
472,5
4
58 − 67
9
62,5
562,5
5
68 − 77
11
72,5
797,5
6
78 − 87
16
82,5
1.320
7
88 − 97
30
92,5
2.775
8
98 − 107
2
102,5
205
Σ f i = 81
Σ f i x i = 6.272,5
Dari tabel 2 di atas diperoleh rerata kompetensi pemahaman notasi matematika sebagai berikut. rerata ( x )= 77,44 Selanjutnya, diperoleh standar deviasi kompetensi pemahaman notasi matematika sebagai berikut. S = 17,18
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
124
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Tabel 3.
Kompetensi Pemahaman Garis Bilangan Guru SD Kelompok Belajar Borobudur dan Tegalrejo Tahun Akademik 2008/2009
No.
Instrumen
Persentase
1
Peragaan penjumlahan dua bilangan bulat positif
100,00 %
2
Peragaan penjumlahan bilangan bulat negatif dan
77,78 %
positif yang menghasilkan bilangan bulat positif 3
Peragaan penjumlahan bilangan bulat negatif dan
76,67 %
positif yang menghasilkan bilangan bulat negatif 4
Peragaan penjumlahan dua bilanga bulat negatif
55,56 %
5
Peragaan pengurangan dua bilangan bulat positif yang
97,78 %
menghasilkan bilangan bulat positif 6
Peragaan pengurangan dua bilangan bulat positif yang
95,56 %
menghasilkan bilangan bulat negatif 7
Peragaan pengurangan bilangan bulat negatif dan
67,78 %
bilangan bulat positif 8
Peragaan pengurangan bilangan bulat positif dan
64,44 %
negatif 9
Peragaan pengurangan dua bilangan bulat negatif
78,89 %
yang menghasilkan bilangan bulat positif 10
Peragaan pengurangan dua bilangan bulat negatif
82,22 %
yang menghasilkan bilangan bulat negatif 11
Peragaan perkalian dua bilangan bulat positif
92,22 %
12
Peragaan perkalian dua bilangan bulat positif dan
16,67 %
negatif
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
125
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
13
Peragaan pembagian dua bilangan bulat positif
23,33 %
14
Peragaan pembagian dua bilangan bulat positif dan
37,78 %
negatif 15
Peragaan pembagian dua bilangan bulat negatif
65,56 %
16
Pada garis bilangan memperagakan penjumlahan dua
24,44 %
bilangan bulat positif atau bukan 17
Pada garis bilangan memperagakan bilangan bulat
26,67 %
positif dan negatif yang menghasilkan bilangan bulat negatif 18
Pada garis bilangan memperagakan penjumlahan
80,00 %
bilangan bulat positif dan negatif yang menghasilkan bilangan bulat positif 19
Pada garis bilangan memperagakan penjumlahan dua
87,78 %
bilangan bulat negatif 20
Garis bilangan memperagakan pengurangan dua
72,22 %
bilangan bulat positif yang menghasilkan bilangan bulat positif 21
Garis bilangan memperagakan pengurangan dua
26,67 %
bilangan bulat positif yang menghasilkan bilangan bulat negatif 22
Garis bilangan memperagakan pengurangan bilangan
56,67 %
bulat positif dan negatif 23
Garis bilangan memperagakan pengurangan bilangan
71,11 %
bulat negatif dan positif 24
Garis bilangan memperagakan pengurangan dua
74,44 %
bilangan bulat negatif yang menghasilkan bilangan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
126
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
bulat positif 25
Garis bilangan memperagakan pengurangan dua
85,56 %
bilangan bulat negatif yang menghasilkan bilangan bulat negatif 26
Garis bilangan memperagakan perkalian dua bilangan
28,89 %
bulat positif 27
Garis bilangan memperagakan perkalian bilangan
75,56 %
bulat positif dan negatif 28
Garis bilangan memperagakan pembagian dua
40,00 %
bilangan bulat positif 29
Garis bilangan memperagakan pembagian bilangan
66.67 %
bulat positif dan negatif 30
Garis bilangan memperagakan pembagian dua
67,78 %
bilangan bulat negatif
Dari tabel 3 dihitung nilai rerata kompetensi pemahaman garis bilangan pada guru SD kelompok belajar Borobudur dan Tegalrejo, diperoleh: rerata ( x ) = 63,89 Selanjutnya, diperoleh juga standar deviasi kompetensi pemahaman garis bilangan pada guru SD kelompok belajar Borobudur dan Tegalrejo, sebagai berikut. S = 22,99
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
127
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pembahasan Dalam pengolahan data yang telah dilakukan diperoleh rerata dan standar deviasi kompetensi pemahaman operasi hitung, notasi matematika, dan garis bilangan pada guru SD Pokjar Borobudur dan guru SD Pokjar Tegalrejo Tahun Akademik 2008 / 2009. Dari pengumpulan data, diperoleh skor tertinggi untuk kompetensi pemahaman operasi hitung adalah 21 dan skor terendah untuk kompetensi pemahaman operasi hitung adalah 3. Skor tertinggi untuk kompetensi pemahaman notasi matematika adalah 25 dan skor terendahnya adalah 7.Skor tertinggi untuk kompetensi pemahaman garis bilangan 30 dan skor terendahnya adalah 5. Dari hasil pengolahan data diperoleh persentase tertinggi kompetensi pemahaman operasi hitung adalah 84% dan persentase terendahnya adalah 12%. Persentase tertinggi untuk kompetensi pemahaman notasi matematika adalah 100% dan persentase terendahnya sebesar 28%, persentase tertinggi untuk kompetensi pemahaman garis bilangan adalah 100 % dan persentase terendah adalah 16, 67 %. Dari perhitungan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi diperoleh rerata kompetensi pemahaman operasi hitung penguasaan pada guru SD Pokjar Borobudur dan guru SD Pokjar Tegalrejo Tahun Akademik 2008/2009 ada-lah 59,09, rerata kompetensi pemahaman notasi matematika sebesar 77,44, dan rerata kompetensi pemahaman garis bilangan sebesar 63,89. Hal itu berarti persentase kompetensi pemahaman operasi hitung, notasi matematika dan garis
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
128
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
bilangan seluruh guru SD Pokjar Borobudur dan guru SD Pokjar Tegalrejo Tahun Akademik 2008/ 2009 termasuk kategori rendah. Dari hasil perhitungan diperoleh standar deviasi kompetensi pemahaman operasi hitung besarnya adalah 13,21, standar deviasi untuk notasi matematika sebesar 17,18, dan standar deviasi kompetensi pemahaman garis bilangan sebesar 22,99. Dari hasil tersebut terlihat perbedaan antarakompetensi pemahaman operasi hitung, notasi matematika dan garis bilangan. Rerata persentase kompetensi pemahaman notasi matematika lebih tinggi dibanding rerata kompetensi pemahaman operasi hitung dan garis bilangan. Untuk itu dapat dikatakan bahwa guru SD Pokjar Borobudur dan Pokjar Tegalrejo lebih menguasai kompetensi pemahaman notasi matematika.
D. Simpulan dan Saran Simpulan dari penelitian ini adalah bahwa kompetensi guru sekolah dasar dalam pemahaman konsep operasi hitung, notasi / simbol dan konsep garis bilangan dalam matematika sekolah dasar masih belum memuaskan (termasuk dalam kategori rendah). Hal ini ditunjukan oleh rerata yang nilainya kurang dari 80 % (batas tuntas belajar). Saran yang diberikan adalah untuk menjadi guru yang profesional pertama harus menguasai konsep-konsep yang ada dalam matematika dan selanjutnya menguasai metode-metode pembelajaran matematika.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
129
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Daftar Pustaka Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Ja-karta: PT Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2006a. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Ri-neka Cipta Masykur, Moch. 2007. Mathematikal Intelligence. Jogjakarta: Ar-ruzz Media.. Muhsetyo, Gatot. 2008. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Sudjana, Nana dan Ibrahim.2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sumantri, Bambang. 1988. Metode Pengajaran Matematika untuk Sekolah Dasar. Jakarta: Erlangga.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
130
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-5 JENIS-JENIS KESALAHAN DALAM MENYELESAIKAN SOAL PERSAMAAN DIFFERENSIAL BIASA (PDB) STUDI KASUS PADA MAHASISWA SEMESTER V PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO Budiyono dan Wanti Guspriati Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo ABSTRAK Jenis-jenis Kesalahan dalam Menyelesaikan Soal Persamaan Differensial Biasa (PDB) Studi Kasus pada Mahasiswa Semester V Program Studi Pendidikan Matematika Tahun Akademik 2008/2009 dimaksudkan untuk mengetahui jenis kesalahan apa yang banyak dilakukan dalam menyelesaikan soal Ujian mata kuliah PDB pada mahasiswa semester V Program Studi Pendidikan Matematika sesuai dengan jenis-jenis kesalahan yang telah teridentifikasi, mengetahui kriteria ketuntasan dalam menyelesaikan soal Ujian mata kuliah PDB pada mahasiswa semester V Program Studi Pendidikan Matematika. Teknik pengumpulan sampel yang digunakan adalah unrestricted random sampling. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode tes. Pengolahan data yang digunakan adalah (1) Menghitung persentase jenis kesalahan, (2) Mengelompokkan jenis-jenis kesalahan Dari hasil penelitian diperoleh: (1) jenis kesalahan yang banyak dilakukan dalam menyelesaikan soal mata kuliah PDB yaitu tentang kesalahan mendifferensi-alkan fungsi /ke x sebesar 83,33% dalam penyelesaian soal PD eksak.(2) kriteria ketuntasan dalam menyelesaikan soal Ujian mata kuliah PDB, untuk kelompok kriteria ketuntasan yang persentasenya terdapat sebanyak 20 jenis kesalahan, termasuk dalam kriteria sangat tuntas sekali dan untuk jenis kesalahan yang persentasenya >20% menurut pengelompokkan yaitu kelompok yang persentasenya terdapat sebanyak 8 jenis kesalahan termasuk dalam kriteria tuntas, kelompok yang persentasenya terdapat sebanyak 18 jenis kesalahan termasuk dalam kriteria agak tuntas, kelompok yang persentasenya terdapat sebanyak 4 jenis kesalahan termasuk dalam kriteria tidak Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
131
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
tuntas, dan untuk kelompok yang persentasenya terdapat sebanyak 2 jenis kesalahan termasuk dalam kriteria tidak tuntas sama sekali.
PENDAHULUAN I.
Latar Belakang
Persamaan Differensial Biasa merupakan salah satu mata kuliah yang ada pada Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purworejo. Pada mata kuliah ini banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam belajar dan menyelesaikan soal latihan PDB, dari kesulitan tersebut sehingga menyebabkan terjadinya kesalahan pada saat menyelesaikan soal ujian. Salah satu cara untuk mengetahui kesalahan-kesalahan yang dilakukan mahasiswa yaitu dengan melakukan identifikasi kesalahan mahasiswa dalam menyelesaikan soal ujian mata kuliah PDB. Kesalahan yang dilakukan mahasiswa perlu untuk diidentifikasi, agar dapat diketahui apa saja jenis kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa. Kesalahan tersebut nantinya dapat dikurangi ketika menyelesaikan soal yang sama. Hal ini menunjukan bahwa pada saat menyelesaikan soal ujian tersebut adalah yang sulit atau materi tersebut sulit untuk dikuasai oleh mahasiswa.
II. Rumusan Masalah Permasalahan yang penulis kemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Jenis kesalahan apa yang banyak dilakukan dalam menyelesaikan soal Ujian mata
kuliah PDB pada mahasiswa semester V Program Studi Pendidikan Matematika sesuai dengan jenis-jenis kesalahan yang telah teridentifikasi? 2.
Bagaimana kriteria ketuntasan dalam menyelesaikan soal ujian mata kuliah PDB
pada mahasiswa semaster V program Studi Pendidikan Matematika? Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
132
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
III. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian tentang Identifikasi kesalahan dalam Menyelesaikan soal Ujian Mata Kuliah Persamaan Differensial Biasa (PDB) yang dilakukan peneliti bertujuan untuk: 1.
mengetahui jenis kesalahan apa yang banyak dilakukan dalam menyelesaikan soal
ujian mata kuliah PDB pada mahasiswa semester V Program Studi Pendidikan Matematika sesuai dengan jenis-jenis kesalahan yang telah teridentifikasi; 2.
mengetahui kriteria ketuntasan dalam menyelesaikan soal ujian mata kuliah PDB
pada mahasiswa semaster V program Studi Pendidikan Matematika. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
memberikan informasi dibagian mana mahasiswa melakukan kesalahan dalam
penyelesaian jawaban pada soal Persamaan Differensial Biasa; 2.
mengetahui kesalahan-kesalahan yang dilakukan sehingga dapat dicari alternatif
pemecahannya agar tidak terjadi kesalahan yang berlanjut; 3..
pada dosen dan mahasiswa agar bisa mengetahui kesalahan yang dikarenakan
kurang pahamnya materi prasyarat seperti kalulus 1 dan kalkulus II; dan 4.
dapat digunakan sebagai acuan peneliti selanjutnya.
METODE PENELITIAN
I.
Waktu dan Tempat Penelitian
Peneltian dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan bulan Juli 2009 di Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purworejo.
II. Subyek dan Sampel Penelitian Semua mahasiswa semester V Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purworejo Tahun Akademik 2008/2009. Berdasarkan subyek maka sampel yang diambil dalam penelitian
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
133
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
ini sejumlah 40 mahasiswa. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah unrestricted random sampling.
III. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal-soal tes dalam bentuk uraian sebanyak 22 soal dari Ujian Tengah dan Akhir Semester. IV. Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang digunakan dalam pengolahan data pada penelitian ini secara terperinci dilakukan sebagai berikut. 1.
Menghitung persentase jenis kesalahan
2.
Mengelompokkan jenis-jenis kesalahan
HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN I.
Hasil Penelitian
Untuk jenis kesalahan yang persentasenya terdapat sebanyak 20 jenis kesalahan, dan untuk jenis kesalahan yang persentasenya >20% menurut pengelompokkan yaitu kelompok yang persentasenya terdapat sebanyak 8 jenis kesalahan, kelompok yang persentasenya terdapat sebanyak 18 jenis kesalahan, kelompok yang persentasenya terdapat sebanyak 4 jenis kesalahan, dan untuk kelompok yang persentasenya terdapat sebanyak 2 jenis kesalahan.
II. Pembahasan Berikut adalah jenis-jenis kesalahan yang terjadi pada saat mahasiswa menyelesaiakan soal Persamaan Differensial Biasa (PDB). 1. Kesalahan menyebutkan pengertian tingkat dan menentukan tingkat (order) tertinggi pada PD diperoleh persentase sebesar 43,36%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak dapat menyebutkan pengertian dari tingkat.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
134
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
2. Kesalahan menyebutkan pengetian derajat dan menentukan derajat tertinggi pada PD diperoleh persentase sebesar 51,56%, kesalahan ini terjadi karena mahasiswa tidak dapat menyebutkan pengertian dari derajat. 3. Kesalahan menyamakan penyebut bentuk pecahan pada PD yang mudah diperoleh persentase sebesar 27,55%, kesalahan tersebut terjadi karena kurangnya pehaman pada materi prasyarat yaitu pada kalkulus I. 4. Kesalahan menentukan bentuk baku integral diperoleh persentase sebesar 7,14%, kesalahan terjadi karena tidak paham pada materi prasyarat yaitu pada mata kuliah kakulus II. 5. Kesalahan menyatakan bahwa bentuk PD tersebut adalah suatu PD yang tidak Mudah, karena tidak bisa diubah kebentuk dengan suatu fungsi x atau dengan suatu fungsi y yang merupakan bentuk pd yang mudah diperoleh persentase sebesar 45,91%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak tahu bentuk suatu PD yang mudah. 6. Kesalahan mengubah bentuk PD tingkat 1, menjadi bentuk , dengan fungsi x dan fungsi y diperoleh persentase sebesar 58,51%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak mengetahui bentuk PD yang mudah. 7.
Kesalahan menyederhanakan bentuk persamaan pada integral ke y dan
menentukan hasil integral ke y diperoleh persentase sebesar 62,77%, kesalahan teersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham mata kuliah prasyarat pada mata kuliah kalkulus I. 8.
Kesalahan menyederhanakan bentuk persamaan pada integral ke x dan
menentukan hasil integral ke x diperoleh persentase sebesar 62,77%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham materi pada mata kuliah prasyarat yaitu pada kalkulus I. 9.
Kesalahan menentukan bentuk baku dalam penyelesaian integral ke y diperoleh
persentase sebesar 18,94%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham pada materi matakuliah prasyarat kalkulus II. 10. Kesalahan menentukan bentuk fungsi homogen diperoleh persentase sebesar 25,98%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak tahu bentuk fungsi homogen. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
135
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
11. Kesalahan menentukan hasil fungsi pada koefisien dx yang merupakan suatu fungsi homogen diperoleh persentase sebesar 54,87%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham materi mata kuliah prasyarat kalkulus I. 12. Kesalahan menentukan hasil fungsi
pada koefisien dx yang merupakan suatu
fungsi homogen diperoleh persentase sebesar 5,51%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham materi mata kuliah prasyarat kalkulus I.. 13. Kesalahan menyatakan bahwa suatu PD tersebut bukan merupakan PD yang homogen diperoleh persentase sebesar 32,28%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak tahu suatu bentuk fungsi homogen. 14. Kesalahan karena tidak menggunakan substitusi maka dalam menyelesaikan PD yang Homogen diperoleh persentase sebesar 49,33%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham materi matakuliah prasyarat yaitu kalkulus I.. 15. Kesalahan menentukan bentuk PD yang merupakan koefisien-koefisien linear dengan bentuk yang pertama yaitu (ax + by + c)dx + (px+qy+r)dy = 0, untuk dan yang merupakan suatu PD yang homogen diperoleh persentase sebesar 46,06%. Kesalahan tersebut terjadi karena tidak tahu bentuk PD homogen.. 16. Kesalahan karena tidak mengambil substitusi maka , dan disubstitusikan ke PD tingkat 1 diperoleh persentase sebesar 9,01%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidan tahu bentuk penyelesaian suatu PD homogen.. 17. Kesalahan mendifferensialkan fungsi ke y diperoleh persentase sebesar 25,64%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham materi mata kuliah prasyarat kalkulus I. 18. Kesalahan mendifferensialkan fungsi ke x diperoleh persentase sebesar 83,33%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham materi mata kuliah prasyarat kalkulus I. 19. Kesalahan menentukan sarat PD tidak Eksak diperoleh persentase sebesar 19,23% kesalahan tersebut terjadi karena tidak tahu bentuk PD eksak. 20. Kesalahan menentukan sarat PD Eksak diperoleh persentase sebesar 14,11%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak tahu bentuk suatu PD eksak.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
136
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
21. Kesalahan karena tidak bisa menentukan bentuk baku penyelesaian PD Eksak atau diperoleh persentase sebesar 43,52%, kesalahan tersebut terjadi karena tidak bisa menentukan bantuk baku penyelesaian suatu PD eksak. 22. Kesalahan menentukan bentuk baku turunan pada fungsi f1 diperoleh persentase sebesar 25,92% kesalahan tersebut terjadi karena tidak paham materi mata kuliah prasyarat yaitu kalkulus I. 23. Kesalahan menentukan hasil determinan Wronsky dari f1, f2, dan f3 dengan bentuk
diperoleh persentase sebesar 56,48%, kesalahan tersebut terjadi karena
mahasiswa tidak paham materi mata kuliah prasyarat yaitu kalkulus II. 24. Kesalahan menentukan hasil determinan Wronsky dari f1, f2, dan f3 dengan bentuk diperoleh persentase sebesar 52,77%, kesalahan terjadi karena tidak paham materi mata kuliah prasyarat yaitu kalkulus I. 25. Kesalahan dalam menyimpulkan hasil dari determinan Wronsky 0 yang tidak merupakan bebas linear pada
diperoleh persentase sebesar 44,44%, kesalahan
tersebut terjadi karena mahasiswa tidak tahu bentuk determinan Wronsky. 26. Kesalahan menentukan turunan pada fungsi f1 diperoleh persentase sebesar 23,80%, kesalahan terjadi karena tidak tahu materi mata kuliah prasyarat yaitu kalkulus II tentang turunan fungsi. 27.
Kesalahan menentukan hasil fungsi f1 yang disubstitusikan ke PD Orde Dua
sehingga PD ruas kiri = ruas kanan diperoleh persentase sebesar 9,52%, kesalahan terjadi karena tidak tahu materi prasyarat. 28. Kesalahan menentukan bentuk baku dengan substitusi dan diperoleh persentase sebesar 45,94%, kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk baku penyelesaian pada PD Bernoulli. 29. Kesalahan dalam menyelesaikan bentuk PD Bernoulli untuk dan pada persamaan yang telah direduksi menjadi PD Orde Satu diperoleh persentase sebesar 51.35%, terjadi kesalahan karena tidak tahu bentuk penyelesaian pada PD Bernoulli. 30. Kesalahan penulisan rumus baku dari diperoleh persentase sebesar 43,18, terjadi kesalahan karena tidak tahu bentuk rumus baku dari determinan Wronsky.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
137
PROSIDING
31.
ISBN : 978-979-16353-3-2
Kesalahan menentukan hasil persamaan
dengan dan
diperoleh persentase
sebesar 65,90%, kesalahan terjadi karena tidak paham materi mata kuliah prasyarat kalkulus I. 32.
Kesalahan menentukan hasil pada persamaan diperoleh persentase sebesar
18,18%, kesalahan terjadi karena tidak paham materi prasyarat pada mata kuliah kalkulus I. 33. Kesalahan penulisan solusi umum PD
diperoleh persentase sebesar 18,18%,
kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk solusi umum PD. 34.
Kesalahan menentukan persamaan karakteristik pada PD Li near Orde Dua
Homogen dengan koefisian konstanta diperoleh persentase sebesar 24,46% kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk persamaan karakteristiknya. 35. Kesalahan menentukan hasil akar-akar m1 dan m2 yang merupakan akar kompleks diperoleh persentase sebesar 51,06%, kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk akar kompleks. 36.
Kesalahan menuliskan solusi basis ,
diperoleh persentase sebesar 18,09%,
kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk solusi umum.. 37.
Kesalahan menentukan persamaan karakteristik pada PD Linear Orde Dua
Homogen dengan koefisian konstanta diperoleh persentase sebesar 17,39%, kesalahan terjadi karena tidak dapat menentukan persamaan karakteristik. 38. Kesalahan menentukan hasil akar-akar m1 dan m2 yang merupakan akar kembar diperoleh persentase sebesar 56,52%, kealahan terjadi karena tidak paham materi mata kuliah pra syarat yaitu kalkulus I. 39. Kesalahan menuliskan solusi basis dan diperoleh persentase sebesar 14,51%, terjadi kesalahan karena tidak tahu bentuk solusi basis. 40. Kesalahan menuliskan solusi umum diperoleh persentase sebesar 16,7%, terjadi kesalahan karena tidak tahu bentuk solusi umum. 41. Kesalahan menentukan nilai a, b, dan c dari persamaan pada PD Orde Dua yang merupakan PD Cauchy atau PD Euler diperoleh persentase sebesar 8,86%.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
138
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
42. Kesalahan menentukan hasil akar-akar m1 dan m2 yang merupakan akar kompleks pada PD Cauchy diperoleh persentase sebesar 18,50%, kesalahan terjadi karena tidak paham pada materi prasyarat yaitu pada mata kuliah kalkulus I. 43.
Kesalahan menuliskan solusi basis ,
diperoleh persentase sebesar 15,49%,
kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk solusi basis. 44. Kesalahan menuliskan solusi umum
diperoleh persentase sebesar 29,57%,
kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk solusi umum pada PD Cauchy Euler. 45. Kesalahan dalam penulisan simbol solusi komplementer diperoleh persentase sebesar 53,08%, terjadi kesalahan karena tidak tahu bentuk solusi komplementer. 46. Kesalahan dalam penulisan simbol solusi partikuler diperoleh persentase sebesar 53,08%, kesalahan tersebut terjadi karena tidak tahu bentuk solusi patikuler. 47.
Kesalahan menentukan hasil koefisien-koefisien dan
pada solusi
diperoleh
persentase sebesar 80,24%, kesalahan tersebut terjadi karena tidak paham materi prasyarat yaitu materi pada mata kuliah kalkulus lanjut. 48.. Kesalahan menentukan hasil pada solusi umum diperoleh persentase sebesar 18,51%, kesalahan tersebut terjadi karena paham materi pada mata kuliah prasyarat yaitu pada kalkulus I dan II.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Astuti, Puji Erni. 2006. Identifikasi Kesalahan dalam Menyelesaikan Ujian Tengah dan Akhir Semester Mata Kuliah Kalkulus Lanjut pada Mahasiswa Semester III Program Studi Pendidikan Matematika. Skripsi UMP.
Hadi, Sutrisno. 2004. Metode Research.. Andi Yogyakarta. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
139
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Hamalik, Oemar. 2005. Metode Belajar dan Kesulitan-kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito.
Hudojo, Herman. 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Deapan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional.
_______________. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Nababan. Persamaan differensial Linear Orde Dua Homogen. Narbuko, Cholid dkk. 2007. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Nugraheni, Atika. 2003. Jenis-jenis Kesulitan dalam Menyelesaikan Soal Cerita yang Berkaitan dengan Pokok Bahasan dan Peluan pada Siswa kelas II Semester I SMU Pancasila Purworejo Tahun Pelajaran 2002/2003. Skripsi UMP.
Riduwan. 2007. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru dan Karyawan dan Peneliti Pemula. Jakarta: Alfabeta.
Sudjana, 2005. Metode Statistik. Bandung: Tarsito. Sudjana, Nana. 2002. Penilaian Hasil Proses belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2006. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sufiyah, Siti. 2002. Analisis Kesalahan Penyelessaian Soal Persamaan Differensial Biasa Orde satu pada Mahasiswa Semester V Uiversitas Muhammadiyah Purworejo. Skripsi UMP.
Sudaryat, Sueb. Persamaan Differensial Tingkat Satu Derajat Satu. Wardiman. 1981 Persamaan Differensial. Yogyakarta: Citra Offset Yk.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
140
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-6 PEMBELAJARAN FPB DAN KPK DENGAN DAN TANPA ALAT PERAGA PADA SISWA KELAS V SD NEGERI BLENGORKULON KECAMATAN AMBAL KABUPATEN KEBUMEN TAHUN PELAJARAN 2008/2009
Abu Syafik dan Siti Khanifah Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo ABSTRAK Pembelajaran FPB dan KPK dengan dan Tanpa Alat Peraga pada Siswa Kelas V SD Negeri Blengorkulon kecamatam Ambal kabupaten Kebumen Tahun pelajaran 2008/2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) kriteria hasil pembelajaran FPB dan KPK kelompok eksperimen; (2) kriteria hasil pembelajaran FPB dan KPK kelompok kontrol; dan (3) perbedaan rerata nilai prestasi belajar antara kelompok eksperimen dan kontrol. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2008 sampai bulan Juli 2009. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas V SD N Blengorkulon Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Tahun Pelajaran 2008/2009. Teknik pengumpulan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh. Metode dalam mengumpulkan data adalah meto-de tes. Kriteria hasil pembelajaran bahasan FPB dan KPK kelompok eksperi-men memuaskan dengan persentase tertinggi 100% dan persentase terrendah sebesar 48%. Sedangkan kriteria hasil pembelajaran bahasan FPB dan KPK kelompok kontrol kurang memuaskan dengan persentase tertinggi 100% dan persentase terrendah sebesar 41,66%.. Hasil pembelajaran FPB dan KPK keSeminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
141
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
lompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, ini ditinjau dari besarnya rerata dan standar deviasi, yaitu rerata pada kelompok eksperimen sebesar 79,99% dengan standar deviasi sebesar 131,20%, dan rerata pa-da kelompok kontrol sebesar 70,82% dengan standar deviasi sebesar 146,78%.
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Matematika merupakan bahan kajian yang memiliki obyek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran yang deduktif, matematika juga sebagai ilmu dasar dari semua ilmu pengetahuan yang melalui suatu tahapan yang harus dimiliki siswa setelah melalui proses tahapan program pembelajaran. Ilmu matematika diajarkan disetiap jenjang pendidikan, sehingga diharapkan matematika mempunyai kontribusi yang berarti bagi bangsa dimasa sekarang dan yang akan datang.. Dalam kurikulum matematika Sekolah Dasar, terdapat salah satu bahasan FPB dan KPK yang diajarkan dari kelas empat sampai kelas lima. Dalam mempelajari FPB dan KPK banyak melibatkan pemahaman materi pendukung dan prosedur-prosedur pembelajaran, oleh karena itu guru hendaknya menggunakan alat peraga yang dapat mempermudah pemahaman materi FPB dan KPK. Banyak kendala yang dihadapi oleh siswa dalam menyelesaikan soal-soal FPB dan KPK. Banyak siswa yang masih bingung membedakan cara-cara menyelesaikan FPB dan KPK. Dalam menghadapi masalah tersebut hendaknya guru menggunakan alat peraga sebagai alat bantu dalam pembelajaran, karena usia anak Sekolah Dasar akan mudah menerima materi yang diajarkan oleh guru jika diberikan dalam bentuk permainan.
2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah penelitian di atas selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
142
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
1.
bagaimana hasil pembelajaran FPB dan KPk antara kelompok eks-
perimen dan kelompok kontrol pada siswa kelas V SD Negeri Blengorkulon,
Kecamatan
Ambal
Kabupaten
Kebunen
Tahun
Pelajaran
2008/2009? 2.
bagaimana kemampuan siswa kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol dalam menyelesaikan soal-soal FPB dan KPK pada siswa kelas V SD Negeri Blengorkulon, Kecamatan Ambal, Kabupaten Ke-bumen Tahun Pelajaran 2008 / 2009? 3.
bagaimana perbedaan prestasi belajar matematika pada bahasan
FPB dan KPK pada siswa kelas V SD Negeri Blengorkulon Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Tahun Pelajaran 2008 / 2009? 4.
sejauh mana peranan alat peraga dalam pembelajaran FPB dan KPK
pada siswa kelas V SD Negeri Blengorkulon Kecamatan Ambal Ka-bupaten Kebumen Tahun Pelajaran 2008 / 2009? 3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk: 1.
mengetahui bagaimana hasil pembelajaran FPB dan KPK kelom-
pok eksperimen dan kelompok kontrol pada siswa kelas V SD Ne-geri Blengorkulon Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Tahun Pelajaran 2008/2009? 2.
mengetahui kemampuan kelompok eksperimen dan kelompok
kon-trol dalam menyelasiakan soal-soal FPB dan KPK pada siswa kelas V SD Negeri Blengorkulon Kecanatan Ambal Kabupaten Kebu-men Tahun Pelajara 2008/2009? 3.
mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan prestasi belajar
matematika pada bahasan FPB dan KPK antara kelompok eksperi-men dan kelompok kontrol pada siswa kelas V SD Negeri Blengor-kulon Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Tahun Pelajaran 2008/2009?
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
143
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
4.
mengetahui pengaruh alat peraga dalam pembalajaran FPB dan
KPK pada siswa kelas V SD Negeri Blengorkulon Kecanatan Am-bal Kabupaen Kebumen Tahun Pelajara 2008/2009? 4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.
untuk penulis, dapat menambah pengalaman dan pengetahuan se-
hingga dapat dijadikan pedoman untuk mengadakan penelitian di-masa yang akan ating serta mengembangkan pikiran dalam rang-ka mengembangkan disiplin ilmu yang dimiliki; 2.
untuk guru dan calon guru, dapat dijadikan masukan untuk me-
nentuan model pembelajaran matematika di dalam kelas sehingga tercipta suasana belajar yang bervariasi dan tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan; 3.
untuk siswa, dengan adanya penelitian ini maka siswa dapat me-
ngetahui beraneka ragam alat peraga yang dapat digunakan untuk mempelajari matematika dengan mudah dan sangat menyenang-kan; dan 4.
bahan informasi bagi penelitian sejenis berikutnya.
METODE PENELITIAN 1.
Waktu dan Tempat penelitian Penelitian di laksanakan di SD Blengorkulon Kecamatan Ambal Ka-bupaten
Kebumen. Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan, dimulai da-ri bulan Oktober 2008 sampai dengan Juli 2009
2.
Subyek dan Sampel Penelitian Semua siawa kelas V SD Negeri Blengorkulon Kecamatan Ambal Kabupaten
Kebumen Tahun Pelajaran 2008/2009.Berdasarkan subyek ma-ka sampel yang diambil dalam penelitian ini sejumlah 42 siswa. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah unrestricted random sampling. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
144
PROSIDING
3.
ISBN : 978-979-16353-3-2
Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal-soal
tes dalam bentuk uraian sebanyak 25 soal tentang FPB dan KPK semester I.
4.
Teknik Analisis Data Langkah-langkah yang digunakan dalam pengolahan data pada pene-litian
ini secara terperinci dilakukan sebagai berikut. 1. Mengubah jawaban benar menjadi skor 2. Menghitung persentase kemampuan 3. Menghitung rerata dan standar deviasi 4. Menguji normalitas data dengan Khai kuadrat 5. Menguji homogenitas data 6. Menguji hipotesis dengan uji-t
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN I.
Hasil Penelitian
Dari hasil pengumpulan data diperoleh jumlah jawaban benar dalam pokok bahasan FPB dan KPK kelompok eksperimen (kelompok yang menggunakan alat peraga) dan kelompok kontrol (kelompok tanpa alat peraga). Jumlah jawa-ban benar tersebut penulis sajikan dalam tabel 1 dan 2 berikut.
Tabel 2. Daftar Jumlah Jawaban Benar Kelompok Eksperimen.
No.
Kode Sampel
Jumlah Jawaban Benar
1
A.01
16
2
A.02
19
3
A.03
22
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
145
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
4
A.04
19
5
A.05
19
6
A.06
16
7
A.07
15
8
A.08
9
A.09
18
10
A.10
20
11
A.11
20
12
A.12
14
13
A.13
17
14
A.14
15
15
A.15
24
16
A.16
19
17
A.17
17
18
A.18
15
19
A.19
14
20
A.20
16
21
A.21
18
22
B.01
23
23
B.02
12
24
B.03
19
25
B.04
22
26
B.05
23
27
B.06
23
28
B.07
23
29
B.08
23
30
B.09
23
31
B.10
25
15
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
146
PROSIDING
Tabel 3.
ISBN : 978-979-16353-3-2
32
B.11
19
33
B.12
24
34
B.13
24
35
B.14
24
36
B.15
23
37
B.16
25
38
B.17
22
39
B.18
25
40
B.19
22
41
B.20
24
42
B.21
23
Daftar Jumlah Jawaban Benar Kelompok Kontrol. 1
A.01
16
2
A.02
14
3
A.03
12
4
A.04
11
5
A.05
11
6
A.06
10
7
A.07
11
8
A.08
16
9
A.09
17
10
A.10
13
11
A.11
12
12
A.12
17
13
A.13
12
14
A.14
10
15
A.15
13
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
147
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
16
A.16
11
17
A.17
12
18
A.18
13
19
A.19
11
20
A.20
10
21
A.21
15
22
B.01
23
23
B.02
20
24
B.03
22
25
B.04
21
26
B.05
24
27
B.06
21
28
B.07
24
29
B.08
18
30
B.09
23
31
B.10
21
32
B.11
23
33
B.12
24
34
B.13
24
35
B.14
22
36
B.15
23
37
B.16
21
38
B.17
19
39
B.18
24
40
B.19
22
41
B.20
19
42
B.21
19
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
148
PROSIDING
II.
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pembahasan
Dari tahap pengolahan data ada tujuh kegiatan yang dilakukan oleh pe-nulis, yaitu mengubah jawaban benar menjadi skor, menghitung persentase kemampuan, menghitung rerata dan standar deviasi, menguji normalitas data, menguji homogenitas data, dan menguji hipotesis dengan uji-t. Dari tabel 3 dan 4 yaitu daftar skor kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dalam menghitung skor diperoleh skor tertinggi kelompok eksperi-men adalah 25 dan kelompok kontrol sebesar 24. Skor terrendah kelompok eksperimen sebesar 14 dan kelompok kontrol sebesar 10. Dari tabel 5 dan 6 yaitu daftar persentase kelompok eksperimen dan ke-lompok kontrol, diperoleh persentase kemampuan tertinggi kelompok eksperi-men sebesar 100% dan kelompok kontrol 100%. Persentase kemampuan ter-rendah kelompok eksperimen 48,00% dan kelompok kontrol sebesar 41,66%. Dalam menghitung rerata, diperoleh rerata kelompok eksperimen sebesar 79,99% dan rerata kelompok kontrol sebesar 70,82%. Hal itu berarti per-sentase kelompok eksperimen sebesar 79,99% dan persentase kelompok kon-trol sebesar 70,82%. Dalam menghitung standar deviasi, diperoleh standar deviasi kelompok eksperimen sebesar 131,20% dan standar deviasi kelompok kontrol sebesar 146,78. Artinya penyimpangan data sebesar satu standar deviasi kelompok eksperimen terhadap rerata 79,99% adalah 131,20% dan penyimpangan data sebesar satu standar deviasi kelompok kontrol terhadap rerata 70,20% adalah 146,78%. Dalam menguji normalitas data diperoleh harga c²hitung kelompok eksperi-men sebesar 257,30% dan c²hitung kelompok kontrol sebesar 119,21%, sehing-ga perbandingan harga c²hitung dengan harga c²tabel sebagai berikut. Dengan membandingkan harga c²hitung dengan harga c²tabel pada kelompok eksperimen, maka untuk a = 0,05 dan dk = 40 diperoleh harga c²hitung ≥ c²tabel atau 257,30 ≥ 43,77. Dengan membandingkan harga c²hitung dengan harga c²tabel Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
149
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
kelompok kontrol, maka untuk a = 0,05 dan dk = 40 diperoleh harga c²hitung ≥ c²tabel atau 119,21 ≥ 43,77, sehingga data normal. Dari perhitungan dengan taraf signifikan 5 % atau 0,05 dan dengan dk = n - 2 = 40, diperoleh nilai ttabel sebesar 1,68. Hal ini menunjukkan bahwa thitung > ttabel atau 2,51 > 1,68. Maka sesuai dengan kriteria homogenitas dapat dikatakan data tidak homogen. Dalam menguji normalitas data diperoleh sebesar 3146,30%, B sebe-sar 293,81%, dan c²hitung sebesar 17,549%. Dari perhitungan dengan taraf sig-nifikan 5% atau 0,05 dengan dk = 41 diperoleh harga c²hitung > harga c²tabel atau 17,549 > 0,308. Maka sesuai dengan kriteria normalitas data dapat di-katakan data tidak normal. Pengujian hipotesis ditentukan dengan uji-t, menentukan daerah penerimaan dan penolakan dengan taraf signifikan sebesar 5% dengan uji dua pihak. Jika thitung > ttabel maka thitung berada dalam daerah penerimaan, dan se-baliknya jika thitung < ttabel maka thitung berada dalam daerah penolakan. Dengan taraf signifikan 5% atau 0,05 dan dengan dk = n - 2 = 40, diperoleh nilai ttabel sebesar 1,68 dan ni-lai thitung sebesar 0,75. Hal ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel atau 0,75 < 1,68. Sesuai dengan kriteria maka Ho diterima dan Ha ditolak. Hasil pembelajaran FPB dan KPK kelompok eksperimen lebih baik dari-pada kelompok kontrol, hasil tersebut dipengaruhi oleh proses belajar meng-ajarnya. Pada kelompok eksperimen proses belajar mengajarnya mengguna-kan alat peraga. Dalam proses belajar kelompok eksperimen lebih aktif dan cepat menangkap materi pelajaran, karena siswa tertarik dengan penggunaan alat peraga yang mudah digunakan. Kelompok eksperimen juga lebih cepat mengerjakan instrumen yang diberikan. Apabila dilihat dari rata-rata kelom-pok eksperimen memperoleh rata-rata yang lebih baik daripada kelompok kontrol. Hasil pembelajaran FPB dan KPK kelompok kontrol belum dapat menunjukkan hasil yang baik. Hal ini karena proses belajar mengajarnya ti-dak menggunakan alat peraga dan menggunakan metode konfensional dimana peneliti menjelaskan dan siswa memperhatikan. Metode seperti ini membuat siswa tidak kreatif. Dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
150
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pengerjaan instrumen kelompok kontrol lebih lam-bat daripada kelompok eksperimen dan hasilnya belum baik. Apabila dilihat dari rerata kelompok kontrol memperoleh rerata yang rendah. Dalam mempelajari pokok bahasan FPB dan KPK dapat berhasil dengan baik apabila menggunakan alat peraga, karena siswa akan dengan mudah me-ngerti materi dan akan lebih cepat dalam menyelasaikan instrumen. Dengan alat peraga juga siswa lebih kreatif karena suasana belajar berbeda dari biasa-nya. Tetapi alat peraga bukanlah satu-satunya media untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, hal ini harus disesuaikan dengan pokok bahasan yang akan disampaikan kepada siswa. Penggunaan alat peraga juga harus menarik dan praktis supaya siswa dapat dengan mudah menggunakannya. Dari metode-metode yang dipakai peneliti dalam memberikan materi FPB dan KPK ternyata mengajar menggunakan alat peraga lebih tepat digunakan. Dengan menggunakan alat peraga siswa akan senang belajar matematika dan menyukai pelajaran matematika. Hal ini terbukti dari hasil pembelajaran ke-lompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Muhsetyo, Gatot. 2008. Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. Jakarta: Universitas Terbuka. Sudjana, Nana. 2008. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sudjana, Nana dan Ibrahim. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru. Riduwan. 2004. Statistik Penelitian untuk Pemula. Bandung: Alfabeta. Sagala, Syaiful. 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Sugiyono. 2006. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
151
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Sukmadinata, Syaodih Nana. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
152
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-7 KARAKTERISTIK PROSES BERPIKIR SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR PADA SAAT MELAKUKAN AKTIVITAS MEMBAGI Sulis Janu Hartati Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya Dosen S1 Sistem Informasi STIKOM Surabaya Email:
[email protected] ABSTRAK Pembagian termasuk konsep matematika yang sulit dipahami oleh siswa kelas III Sekolah Dasar. Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu usaha yang diperlukan adalah mengetahui karakteristik proses berpikir siswa, khususnya pada saat melakukan aktivitas membagi. Hal ini dipandang penting karena aktivitas membagi merupakan konsep empirik untuk memahami konsep pembagian. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menggali karakteristik proses berpikir siswa kelas III Sekolah Dasar pada saat melakukan aktivitas membagi. Penelitian dilakukan secara eksploratif, dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, karakteristik proses berpikir siswa pada saat melakukan aktivitas membagi meliputi 2 aktivitas mental, yaitu: asimilasi dan akomodasi. Kata Kunci: Aktivitas Membagi, Berpikir, Proses Berpikir, Karakteristik, Konsep Empirik, Aktivitas Mental, Asimilasi, Akomodasi.
1. Pendahuluan Berdasarkan pengamatan terhadap 2 siswa kelas III Sekolah Dasar (SD) dalam menyelesaikan 10 soal pembagian diindikasikan bahwa mereka menyelesaikan soalsoal tersebut hanya menggunakan prosedur pembagian yang terbatas (Hartati, 2009). Setelah digali lebih lanjut melalui wawancara dan catatan siswa ditemukan bahwa pengetahuan siswa tentang prosedur pembagian tergolong pengetahuan figuratif. Pengetahuan figuratif dihasilkan oleh berpikir figuratif (Piaget, dalam Soeparno, 2001). Ciri-ciri yang ditemukan adalah: perilaku meniru atau mengulang materi yang terakhir dipelajari. Dari temuan tersebut dapat diartikan bahwa siswa belum memahami prosedur pembagian. Menurut Silver (1986), untuk memahami pengetahuan prosedural dibutuhkan pemahaman pengetahuan konseptual yang terkait. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
153
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pemahaman siswa, yang diteliti, tentang prosedur pembagian tidak terhubung dengan konsep pengurangan, maupun perkalian. Akibatnya siswa gagal membangun relasi antara prosedur pembagian dengan prosedur pengurangan berulang, maupun prosedur perkalian. Pemahaman yang demikian disebut dengan pemahaman ”instrumental”, yaitu pemahaman yang merujuk pada
kinerja prosedur melalui
hafalan (Skemp, 1982). William Brownell dan para pendukung pembelajaran “bermakna” aritmetika seperti Skemp, Byers & Hersvovics menyatakan bahwa pemahaman prosedur perhitungan tidak dapat dicapai tanpa dasar pengetahuan konseptual yang solid (Silver, 1986). Menurut Silver (1986), kelancaran pengetahuan prosedural tidak harus didasarkan pada pengetahuan konseptual, namun demikian pengetahuan prosedural menjadi sangat terbatas jika tidak dihubungkan dengan dasar pengetahuan konseptual. Suatu usaha yang dipandang dapat meningkatkan pengetahuan siswa tentang prosedur pembagian, adalah menggali karakteristik proses berpikir siswa pada saat melakukan aktivitas membagi. Harapannya adalah pengetahuan siswa tentang prosedur pembagian meningkat dari pengetahuan figuratif menjadi pengetahuan operatif. Karakteristik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ciri khusus. Sedangkan yang dimaksud dengan berpikir adalah aktivitas kognitif yang terjadi secara internal dalam otak (tidak tampak, tetapi dapat disimpulkan berdasarkan perilaku yang tampak), melibatkan manipulasi pengetahuan untuk menghasilkan pengetahuan baru. Proses berpikir adalah rangkaian aktivitas kognitif pada saat berpikir. Oleh karena itu perumusan masalah yang diajukan adalah: ‘bagaimanakah karakteristik proses berpikir siswa kelas III SD pada saat melakukan aktivitas membagi?’. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik proses berpikir siswa kelas III SD pada saat melakukan aktivitas membagi. Hal ini dipandang penting karena aktivitas membagi merupakan konsep empirik untuk memahami prosedur pembagian, yang merupakan operasi aritmetika yang sulit dipahami bagi siswa kelas III SD (Hartati, 2009). Manfaat dari penelitian ini adalah membantu guru Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
154
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
mengestimasi sumber representasi siswa, khususnya yang berkaitan dengan konsep pembagian. 2. Pembahasan Penelitian diawali dengan memilih subjek, yaitu 2 orang siswa kelas III SD yang menggunakan aspek berpikir figuratif pada saat menyelesaikan soal-soal pembagian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengamati secara langsung anak yang sedang berpikir ketika melakukan aktivitas membagi. Kemudian mendiskripsikan pemikiran subjek dengan wawancara klinis (Piaget, dalam Ginsburg, 1983; Hunting, 1997; McDonough, Clarke, and Clarke, 2002; dan Voutsina and Jones, 2004) berbasis tugas. Tugas diberikan dalam bentuk suruhan untuk melakukan aktivitas membagi. Objek digunakan dalam penelitian adalah sekantong kelereng. Perilaku yang diamati dari subjek meliputi: (1) bahasa yang diucapkan, (2) coretan atau simbol-simbol ketika melakukan aktifitas membagi, (3) gerak-gerik atau ekspresi wajah ketika melakukan aktifitas membagi, dan (4) jawaban tertulis ketika menyelesaikan aktifitas membagi. Instrumen yang digunakan meliputi: (1) lembar soal, yang memuat suruhan-suruhan untuk melakukan aktivitas membagi, (2) alat tulis, (3) 4 kantong kelereng, masingmasing berisi 25 kelereng, dan (4) 11 buah boneka kecil dan 11 buah gelas aqua kosong. Isi instrumen lembar soal adalah seperti berikut: ‘(1) Ambilah 1 kantong kelereng yang tersedia, (2) ada berapa kelereng dalam kantong, (3) tulis lambang bilangannya, (4) bagilah kelereng tersebut kepada 5 orang, setiap orang menerima kelereng sama banyak, (5) berapa kelereng yang diterima setiap orang, (6) tulis lambang bilangan kelereng yang diterima setiap orang’. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, kedua subjek dapat melakukan suruhan 1, dan 2 secara otomatis. Kedua subjek melakukan suruhan ke-2 dengan cara yang sama, yaitu menghitung kelereng satu persatu. Namun demikian, subjek ke-1 sebelum melakukan aktivitas membilang, dia mengeluarkan semua kelereng dari kantong, sementara subjek ke-2 mengeluarkan kelereng satu persatu bersamaan dengan proses membilang. Pada saat melakukan suruhan ke-3, kedua subjek terlihat ragu, mereka bertanya ‘lambang bilangan itu apa?’. Setelah diberikan contoh lambang bilangan, Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
155
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
mereka dapat mengerjakannya. Kedua subjek memberi sebutan lambang bilangan dengan angka. Suruhan ke-4 dikerjakan dengan cara yang berbeda (Hartati, 2009). Subjek ke-1 melakukannya dengan cara mengambil sejumlah kelereng, tanpa pola, dari kantong dan membaginya satu per satu ke 5 orang sampai kelerengnya habis. Subjek ke-2 melakukannya dengan cara mengambil kelereng menggunakan pola yang sama, yaitu setiap kali mengambil 2 kelereng dari kantong, kemudian memberikannya kepada 1 orang. Aktivitas ini diulang sampai kelereng dalam kantong tinggal 5 buah. Aktivitas terakhir yang dilakukan adalah mengambil ke 5 kelereng secara bersamaan kemudian memberikannya satu per satu ke setiap orang. Suruhan ke-5 dilakukan secara otomatis, tidak mengajukan pertanyaan lagi tentang lambang bilangan. Kemudian suruhan ke-6 juga dilakukan secara berbeda oleh kedua subjek. Subjek ke-1 menghitung kembali jumlah kelereng yang diterima masing-masing orang dengan cara membilang kelereng pada setiap orang. Sementara subjek ke-2 melakukan penghitungan dalam hati, hanya dengan melihat atau mengamati masing-masing kelereng yang diterima setiap orang. Instrumen yang dipilih subjek untuk melakukan aktivitas membagi sama, yaitu: (1) alat tulis yang disediakan, (2) sekantong kelereng, dan (3) 5 buah gelas aqua yang kosong. Bahasan hasil pengamatan dalam makalah ini dibatasi pada aktivitas yang terkait dengan aktivitas matematika. Oleh karena itu, bahasan dimulai dengan hasil pengamatan pada suruhan ke-2. Suruhan ke-2 dilakukan oleh kedua subjek secara otomatis, sepertinya tidak berpikir. Perilaku tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) sifat otomatis yang dinampakan kedua subjek pada saat melakukan suruhan ke-2 menunjukkan bahwa kedua subjek mengenali perintah pada suruhan tersebut, (2) mereka menghubungkan perintah tersebut dengan aktivitas membilang, yang merupakan konsep empirik (KE) dari konsep bilangan. Ini berarti, mereka mengasimilasi suruhan ke-2. Asimilasi adalah proses kognitif yang mengintegrasikan presepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema yang sudah ada dalam pikiran individu (Piaget, dalam Suparno, 2001). Menurut Skemp (1982), asimilasi adalah proses masuknya informasi baru yang sesuai dengan skema yang sudah dimiliki. Asimilasi tidak menyebabkan skema berubah, Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
156
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
tetapi mengembangkan skema yang sudah terbentuk. Skema adalah pengetahuan matematika (yang asli) yang sudah dimiliki yang terorganisasi pola-pola tindakan yang bertujuan (Skemp, 1982). Skema bukanlah benda nyata yang dapat dilihat, tetapi merupakan rangkaian proses dalam sistem kesadaran individu. Hasil pengamatan suruhan ke-3 menunjukkan bahwa kedua subjek tidak mengenali istilah ‘lambang bilangan’. Perilaku yang dinampakkan kedua subjek adalah mempertanyakan
‘hakekat
pertanyaan
yang
diajukan,
dengan
mengajukan
pertanyaan: lambang bilangan itu apa?’. Setelah dilakukan komunikasi matematika, ditemukan bahwa subjek mengenali lambang bilangan sebagai ‘angka’. Fenomena demikian disebut dengan akomodasi. Akomodasi mengacu pada proses pengubahan struktur mental supaya konsisten dengan realitas luar. Akomodasi terjadi ketika skema harus dimodifikasi, atau skema baru harus dibuat untuk menerangkan pengalaman baru. Setelah cocok, pengalaman baru tersebut kemudian mengalami proses adaptasi. Adaptasi adalah proses terbentuknya skemata baru melalui proses asimilasi dan akomodasi, sebagai mana yang dijelaskan oleh Piaget (dalam Bhattacharya & Han, 2001), prinsip utama teori
pertumbuhan intelektual dan pengembangan biologis
adalah adaptasi dan organisasi, selengkapnya: ‘according to Piaget, two major principles guide intellectual growth and biological development: adaptation and organization’. Setiap individu harus beradaptasi terhadap stimulus yang diterimanya, secara fisik dan mental, supaya dapat bertahan dalam lingkungannya. Proses adaptasi meliputi asimilasi dan akomodasi. Akomodasi adalah proses pengembangan skema lewat pengubahan atau modifikasi skema lama untuk menyesuaikan dengan informasi atau pengalaman baru yang masuk dalam pikiran individu. Menurut Piaget (Bhattacharya & Han, 2001), skema adalah struktur mental yang dibangun oleh konsep-konsep yang saling berelasi. Hasil pengamatan suruhan ke-2, ke-4, dan ke-5 dilakukan oleh subjek secara berbeda karena struktur berpikir kedua subjek berbeda (Hartati, 2009). Menurut pemikiran Piaget (dalam Steffe, Glaserveld, et all, 1983; Bhattacharya, & Han, 2001), pengetahuan secara aktif dibangun oleh pemikiran subjek, kognisi berfungsi adaptif, Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
157
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dalam pengertian biologi cenderung kearah yang cocok. Kognisi menurut dia, melayani pengorganisasian dunia pengalaman subjek, bukan penemuan suatu realitas ontological objektif. Menurut Piaget (dalam Suparno, 2001) pengetahuan bukan merupakan refleksi suatu realitas, tetapi semata-mata merupakan suatu organisasi dari pengalaman subjek tentang dunia. Pengetahuan hanya dapat dipahami dengan jalan memeriksa kejadian-kejadiannya. Hasil pengamatan suruhan ke-4, dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) kedua subjek langsung mengenali aktivitas membagi, (2) kedua subjek menghubungkan aktivitas membagi dengan aktivitas mengurangi, yang dilakukan secara berulang sampai objek yang dibagi habis,
dan (3) berdasarkan penggalian data lewat
wawancara, kedua subjek mengenali istilah atau konsep ‘sama banyak’ secara matematika, dan (4) perilaku yang ditunjukkan oleh kedua subjek dapat diartikan bahwa keduanya memahami ‘KE membagi’ pada situasi partitif (Silver, 1986). Hasil penggalian data lewat wawancara menunjukkan bahwa keduanya mengatakan ‘kalau membagi harus sampai habis’, dan masing-masing banyaknya sama. Jawaban subjek seperti pengertian situasi partitif yang ditulis oleh Silver (1986), adalah suatu kegiatan membagi ke dalam beberapa bagian dengan banyaknya bagian diketahui dan masingmasing bagian ukurannya sama, kemudian diminta menentukan ukuran masing-masing bagian. Perilaku kedua subjek tersebut mirip dengan hasil penelitian Stefe, von Glaserfeld, Richard, & Cobb pada tahun 1983 tentang anak-anak yang belajar konsep penjumlahan. Dicontohkan oleh mereka bahwa, anak-anak pada usia antara 3-6 tahun belajar bahwa 2 kumpulan objek, masing-masing jumlahnya tertentu, dapat digabungkan dan banyaknya objek gabungan ditentukan dari banyaknya masingmasing kumpulan objek semula. Mereka mendapatkan bahwa menghitung secara berulang-ulang sekumpulan objek yang diberikan memberikan jumlah yang sama, tak peduli sesering apa dilakukan dan bagaimana cara melakukannya (Stefe, von Glaserfeld, Richard, & Cobb, 1983). Hasil pengamatan suruhan ke-6 dapat dijelaskan sebagai berikut: subjek sudah mengenali istilah 'lambang bilangan’. Ini berarti, setelah melakukan suruhan ke-3 subjek berhasil memahami konsep bilangan. Indikatornya adalah subjek sudah dapat Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
158
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
menghubungkan antara aktivitas membilang yang merupakan KE dari bilangan dengan objek matematika (OM) yang disebut bilangan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 1 berikut: Konsep empirik (KE) Kegiatan menghitung sekumpulan objek Diberi Simbol dg
Simbol dari Bilangan
Objek matematika (OM)
Gambar 1: hubungan antara KE dan OM pada Konsep Bilangan
Menurut Mitchelmore dan White (2004), pada saat siswa belajar ide matematika dasar, 3 hal yang penting yang harus diperhatikan adalah: (1) mereka belajar konsep empirik, (2) mereka belajar tentang objek matematika, dan (3) mereka belajar tentang hubungan antara konsep empirik dan objek matematika yang merupakan potonganabstrak. Siswa yang gagal membuat hubungan antara potongan-abstrak objek matematika dengan konsep empirik yang bersesuaian akan mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Pendapat Mitchelmore dan White selengkapnya sebagai berikut: ‘When students learn a fundamental mathematical idea in the way described above, three things happen: They learn an empirical concept, they learn about a mathematical object, and they learn about the relationship between the empirical concept and the mathematical object’. Hasil penelitian Vygotsky (Confrey, 1994) tentang pembagian dapat dijadikan contoh dari uraian di atas. Dia mengajukan 2 soal pada siswa kelas III. Soal tersebut adalah “bagaimana cara membagi 696 permen untuk 3 anak?”, dan “bagaimana cara membagi 174 permen untuk 2 anak?”. Masalah tersebut diselesaikan dengan cara sangat beragam oleh anak-anak dengan bantuan alat, kotak Dienes. Namun kesulitan muncul pada kelompok siswa yang menggunakan prosedur pembagian secara pendek, yang diajarkan oleh orang tua mereka, khususnya soal yang ke-2, yaitu “membagi 174 permen untuk 2 anak”. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
159
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pada saat siswa ke sekolah, mereka mempunyai pemahaman intuitif tentang beberapa konsep matematika, termasuk bilangan, pengukuran dan probabilitas. Contoh, siswa taman kanak-kanak dan kelas 1 SD menyelesaikan masalah penggabungan, pemisahan, atau pembandingan kuantitas secara intuitif dengan melakukan aktivitas penyelesaian masalah dengan sekumpulan objek (Carpenter & Lehrer, 1999). Perluasan strategi ini, kemudian dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan konsep penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian (Carpenter, Fennema, Fuson, Hiebert, Human, Murray, Oliver, & Wearne, 1999). Berdasarkan bahasan hasil pengamatan, proses berpikir kedua subjek pada saat melakukan aktifitas membagi disajikan dalam Gambar 2 berikut: Rangsangan dari luar
Ketidakseimbangan (disekuilibrium)
Asimilasi
Akomodasi
Pengembangan Skemata
Keseimbangan (ekuilibrium)
Gambar 2: Proses Berpikir Lewat Kerangka Asimilasi dan Akomodasi
Menurut Piaget (Suparno, 2001), unsur paling penting dalam perkembangan pemikiran seorang anak adalah ekuilibrium. Ekuilibrium merupakan mekanisme internal, yang mengatur diri seseorang ketika berhadapan dengan rangsangan atau tantangan dari luar. Rangsangan dari luar menimbulkan ketidakseimbangan, atau disekuilibrium, atau konflik dalam diri seseorang. Konflik berpikir inilah yang Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
160
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
menantang untuk melakukan asimilasi dan akomodasi terhadap skema awal anak. Proses untuk menjadi ekuilibrium itu disebut ekuilibrasi. Kalau sudah sampai ke keseimbangan lagi, proses dapat diulang lebih lanjut. Dengan demikian, proses berpikir seseorang semakin lama akan semakin kompleks.
3. Simpulan dan Saran Berdasarkan uraian pada pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik proses berpikir subjek yang diteliti meliputi: a) Jika subjek mempunyai pengalaman yang sama atau hampir sama dengan suruhan yang diberikan, maka aktivitas mental yang dilakukan subjek adalah proses asimilasi. b) Jika pengalaman subjek tidak sesuai dengan suruhan yang diberikan, maka aktivitas mental yang dilakukan subjek adalah proses akomodasi.
Daftar Pustaka Bhattacharya, K. & Han, S.. 2001. Piaget and Cognitive Development. In Orey, M. (Ed), emerging prespectives on learning, teaching, and technology. Diakses pada tanggal 23 Januari 2008 dari http://projects.coe.uga.edu/epltt/. Confrey, Jere. 1994. A Theory Of Intellectual Development, Part I. Journal For The Learning Of Mathematics 14, 3. Canada: FLM Publishing. Confrey, Jere. 1994. A Theory Of Intellectual Development, Part II. Journal For The Learning Of Mathematics 14, 3. Canada: FLM Publishing. Hartati, J., Sulis. 2009. Strategi Mengkonstruksi Konsep Pembagian Siswa Kelas III SD dengan Pembelajaran Kontekstual. Prosiding: Seminar Nasional Matematika LSM XVII. Yogjakarta: Universitas Negeri Yogjakarta. Hartati, J., Sulis. 2009. Pentingnya Mengetahui Berpikir Struktur Siswa Dalam Pembelajaran. Prosiding: Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Hunting, P., Robert. 1997. Clinical Interview Methods In Mathematics Education Research And Practice. The Journal of Mathematical Behavior, 16, Issue 2, 145165. USA: Elsevier Science Inc. All rights reserved. McDonough, A., Clarke, B. A., & Clarke, D. M..2002. Understanding assessing and developing young childrens mathematical thinking: The power of the one-to-one interview for preservice teachers in providing insights into appropriate pedagogical practices. International Journal of Education Research, 37(2), 211226. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
161
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Mitchelmore, M., and White, P..2004. Abstraction In Mathematics and Mathematics Learning. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Educations. Vol 3, p. 329-336. Silver, E. A..1986. Using Conceptual And Procedural Knowledge: A Focus On Relationships. In J. Hiebert (Ed.), "Conceptual And Procedural Knowledge: The Case Of Mathematics". (pp. 181-197). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum. Skemp, Richard R.. 1982. The Psychology Of Learning Mathematics. Great Britain: Hazell Watson &Vney Ltd. Soedjadi, R.. 2007. Masalah Kontekstual Sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Surabaya: PSMS Unesa. Steffe, L.P., von Glaserveld, E., Richards, J., & Cobb, P. 1983. Children’s Counting Types: Phylosophy Theory And Applications. New York: Praeger. Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Jogjakarta: Kanisius. Voutsina, C., and Jones, K. .2004. Studying Change Processes in Primary School Arithmetic Problem Solving: issues in combining methodologies. Proceedings of the British Society for Research into Learning Mathematics, 24(3), 57-62.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
162
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-8 PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN DENGAN MATHEMATICAL DISCOURSE DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Hamdani PMIPA FKIP Untan Pontianak ABSTRAK Penelitian ini merupakan studi pengembangan model pendekatan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematik dengan menerapkan mathematical discourse. Tujuannya adalah menyediakan pendekatan pembelajaran dengan menerapkan mathematical discourse untuk mengembangkan komunikasi matematik. Metode penelitian adalah penelitian pengembangan atau development research, dengan pengumpulan data dilakukan melalui :dokumentasi, observasi kelas, angket, dan wawancara. Subyek penelitian adalah guru-guru matematika sekolah menengah di Kota Pontianak dan kabupaten Sambas, sedangkan teknik analisis data yang digunakan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif untuk saling melengkapi. Hasil penelitian menunjukkan aspek-aspek komunikasi pada beberapa buku referensi beragam. Komunikasi matematika masih dipahami oleh sebagian besar guru sebagai tanya jawab antara guru dan siswa saja. Pengembangan model pembelajaran dengan mathematical discourse yang sesuai digunakan guru adalah pembelajaran yang memberikan ruang untuk pengajuan pertanyaan, adu argumentasi, negosiasi pendapat antar seluruh warga kelas. Kata Kunci: Komunikasi pembelajaran
matematika,
mathematical
discourse,
pendekatan
Pendahuluan Dalam Curriculum and Evaluation Standards (NCTM,1989:6) dinyatakan bahwa salah satu kemampuan dasar berpikir matematika yang diharapkan dimiliki siswa yaitu berkomunikasi secara matematika. Sejumlah pakar, seperti Baroody (1993); Miriam dkk (2000) mengemukakan bahwa komunikasi matematika tidak hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan, tetapi labih luas lagi, yaitu kemampuan siswa dalam hal bercakap, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
163
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Untuk meningkatkan kemampuan tersebut, menurut Janvier (1987:27) adalah dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk mengembangkan dan mengintegrasikan ketrampilan berkomunikasi melalui berbagai representasi eksternal, seperti deskripsi verbal, grafik, tabel, ataupun formula. Aktivitas tersebut, disamping memberi peran matematika sebagai bahasa, juga sekaligus menekankan matematika sebagai aktivitas (doing mathematics) dimana dalam aktivitas bermatematika, tidak hanya terfokus pada solusi akhir tetapi juga pada prosesnya yang mencakup proses translasi seperti interpretasi, pengukuran, pensketsaan, permodelan dan lain-lain. Dalam pembelajaran matematika, komunikasi merupakan suatu cara berbagi ide dan mengklarifikasi pemahaman. Melalui komunikasi, ide-ide menjadi obyek refleksi, diskusi, dan pengembangan. Proses komunikasi juga membangun makna dan kekokohan ide. Ketika siswa ditantang berfikir dan bernalar tentang matematika dan mengkomunikasikan hasilnya kepada yang lain secara verbal ataupun tertulis, mereka belajar untuk menjadi lebih memahami dan lebih yakin. ”When students attempt to articulate their thoughts and reason wiyh others about mathematics, they are pressed to clarify their own thinking” (Chapin, O’Connor, & Anderson, 2003: NCTM, 1991) Namun demikian, pembelajaran matematika yang berlangsung selama ini, tidak menunjukkan adanya peluang untuk pengembangan kemampuan komunikasi. Pengembangan kemampuan komunikasi matematik dikalangan siswa, tidak akan optimal jika tidak difasilitasi dengan pembelajaran yang menunjang. Pembelajaran yang dimaksudkan ”mathematical discourse”. Melalui aktivitas pembelajaran ini guru memungkinkan mengamati aktivitas siswa dan melihat kemajuan siswa dalam kemampuannya mengumpulkan informasi, mengorganisir dan menafsirkan informasi, serta menyajikan dan berbagi informasi. Kazemi (1998) menyatakan bahwa ”deeper conceptual understanding happends throught discourse
when students reason,
communicate, and reflect upon the mathematics of these explatory tasks”. Oleh karena itu merupakan hal menarik untuk mengkaji permasalahan sebagai kajian penelitian, yaitu : Model pengembangan pembelajaran dengan mathematical discourse seperti Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
164
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
apakah yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik pada siswa sekolah menengah pertama ? Tujuan dari penelitian ini adalah dihasilkannya sebuah model pengembangan pembelajaran matematika dengan melibatkan mathematical discourse yang berorientasi pada peningkatan kemampuan komunikasi matematik. Penelitian ini dipandang bermanfaat terhadap pembaharuan dalam pendekatan pembelajaran. Melalui pendekatan ini diharapkan siswa lebih aktif dalam
pembelajaran
dan
mengekspresikan
ide,
setiap
siswa
dapat
mengkomunikasikan masalah dengan cara yang dimiliki dan dipahami. Metode Penelitian Penelitian ini berupa suatu pengembangan model pendekatan pembelajaran untuk tujuan mengoptimalkan potensi kemampuan berfikir matematik siswa melalui pengembangan kemampuan komunikasi matematik. Pendekatan penelitian yang digunakan
pada prinsipnya mengikuti langkah-langkah yang
disarankan
dalam
Developmental Research, berupa siklus yang diawali dengan pengembangan model pendekatan secara konseptual dan dilanjutkan dengan tahapan implementasi. Penelitian dilaksanakan di Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak dan kabupaten Sambas dengan subyeknya adalah guru-guru matematika sekolah menengah. . Penjaringan dan pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara, seperti: dokumentasi, observasi kelas, angket, dan wawancara. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif untuk saling melengkapi. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan, yaitu: tahap pengembangan, perancangan, uji coba dalam lingkup terbatas; dan tahap eksperimentasi yang lebih luas sekaligus sebagai validasi. Diakhir penelitian, diharapkan dihasilkan sebuah model pembelajaran yang melibatkan intervensi mathematical discourse untuk mengembangkan kemampuan matematika komunikasi siswa. Model pembelajaran ini diharapkan dapat disusun dalam bentuk buku panduan yang yang dapat digunakan oleh guru sebagai salah satu alternatif model pembelajaran matematika. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
165
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Hasil dan Pembahasan Indikator dari komunikasi matematika untuk siswa setingkat SMP adalah sebagai berikut: •
Membuat model dari situasi melalui lisan, tulisan, benda-benda konkrit, gambar, grafik, dan metode-metode aljabar
•
Menyusun refleksi dan membuat klarifikasi tentang ide-ide matematika
•
Mengembangkan pemahaman dasar matematika termasuk aturan-aturan definisi matematika
•
Menggunakan kemampuan membaca, menyimak, dan mengamati untuk menginterpretasi dan mengevaluasi suatu ide matematika
•
Mendiskusikan
idea-idea,
membuat
konjektur,
menyusun
argumen,
merumuskan definisi, dan generalisasi, •
Mengapresiasi nilai-nilai dari suatu notasi matematis termasuk aturan— aturannya dalam mengembangkan ide matematika.
Untuk mengungkap tercakupnya indikator komunikasi pada buku referensi matematika, berikut ini diungkap hasil analisis dari buku matematika SMP terbitan Grasindo dan buku matematika SMP terbitan Intan Pariwara. Berdasarkan kajian, secara kualitas sajian pada buku terbitan Intan Pariwara dianggap lebih memadai daripada buku terbitan Grasindo, khususnya aspek-aspek komunikasi matematika. Hal yang dianggap kurang pada buku terbitan Grasindo adalah pada aspek menggunakan kemampuan membaca, menyimak, dan mengamati untuk menginterpretasi dan mengevaluasi suatu ide matematika dan pada aspek mengapresiasi nilai-nilai dari suatu notasi matematika termasuk aturan-aturannya dalam mengembangkan ide matematika. Hal yang menonjol dari buku terbitan Intan pariwara adalah selain memenuhi semua aspek komunikasi matematika, adalah menonjolkan aktivitas siswa dan paparannya lebih komunikatif. Selain itu, soal-soal yang ditampilkan lebih variatif dan kontekstual
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
166
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Dari hasil observasi pembelajaran matematika, komunikasi matematika yang sudah dilakukan adalah tanya jawab antara guru - siswa ketika membahas materi pelajaran atau ketika menjawab suatu soal matematika. Diskusi atau adu argumentasi antara siswa – guru, maupun siswa-siswa masih relatif jarang dilakukan. Hal ini nampak ketika siswa merespon pertanyaan guru, respon tersebut tidak ditindak lanjuti dengan pertanyaan “mengapa?” atau meminta siswa yang lain untuk menanggapi respon yang diberikan oleh temannya tadi. Ini menunjukkan bahwa komunikasi matematika masih dipahami sebagai tanya jawab antara guru dan siswa saja. Berdasarkan data yang diperoleh dari angket, bahwa walaupun pembelajaran guru masih berpola konvensional (item 3), dimana guru menjelaskan konsep kemudian memberikaan tugas kepada siswa, guru juga melaksanakan percakapan atau diskusi, baik antar siswa, maupun antara guru dan siswa (item 2). Namun, percakapan atau diskusi yang terjadi masih sebatas tanya jawab antar siswa, maupun antara guru dan siswa. Artinya discourse yang terjadi masih dalam kadar yang rendah. Untuk memperoleh gambaran tentang pembelajaran dengan Mathematical Discourse, berikut disajikan cuplikan dari pembelajaran materi Persamaan garis lurus. Guru
: 1. Menjelaskan tujuan pembelajaran. 2. (Menggali prasyarat) Untuk mempelajari persamaan garis lurus, harus dipahami dulu titik pada sistim koordinat Cartesius. Sekarang siapa yang bersedia ke depan untuk menempelkan paku pada posisi yang diminta? 3. (Karena banyak yang angkat tangan, guru menunjuk siswa E1-1). Silahkan siswa E1-1 ke depan.
Guru
: Coba siswa E1-2 sebutkan titik sembarang dan mintalah siswa E1-1 untuk menempatkan paku sesuai yang diminta.
Siswa E1-2
: Titik lima koma empat.
Siswa E1-1
: (Menempatkan paku berwarna merah dengan benar).
Guru
: Coba siswa E1-1, tempatkan paku lain pada sumbu
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
167
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
koordinat yang x nya negatif, dan minta temanmu untuk menyebutkan posisinya. Siswa E1-1
: (Menempatkan paku biru di (-2,6) kemudian menyebut nama temannya) Siswa E1-3.
Siswa E1-3
: Min dua koma enam.
Guru
: Ada yang mau mengomentari jawaban tersebut? (Karena tidak ada jawaban, guru berkomentar). Meskipun jawaban tersebut tidak salah, namun penyebutan yang lebih tepat adalah “negatif dua koma enam”.
Dari cuplikan tersebut tampak bahwa guru sebagai fasilitator. Bila perlu guru dapat mengambil keputusan untuk menjaga aktivitas belajar siswa. Misalnya guru langsung menunjuk seseorang untuk ke depan atau melakukan pembenaran konsep yang dipandang tidak tepat. Dari langkah ini selain kesiapan untuk mempelajari materi baru juga ada pembenaran terhadap konsep yang telah dimiliki siswa. Selanjutnya, guru memasuki tahap pengembangan dengan cuplikan sebagai berikut. : (Menyajikan masalah dalam bentuk lembar kerja untuk Guru
didiskusikan dalam kelompok kecil dan memberi kesempatan pada siswa untuk membaca dan mempelajarinya). Coba kerjakan dan didiskusikan masalah pada lembar kerja tersebut.
Siswa
: (Beberapa siswa secara bersamaan) Bingung Bu, tolong dijelaskan.
Guru
: Baiklah, akan Ibu terangkan sebentar, setelah itu kamu kerjakan (Dengan tanya jawab menanamkan pengertian garis y = mx + c dan menyajikannya dalam berbagai representasi, seperti: tabel pasangan koordinat, diagram Cartesius, mendaftar beberapa titik pada garis, dan daftar pasangan berurut).
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
168
PROSIDING
Guru
ISBN : 978-979-16353-3-2
: (Setelah selesai menerangkan guru berkeliling dan berhenti di kelompok IV) Silahkan dicoba.
Siswa E1-4
: (Sambil mengamati lembar kerja, bertanya pada siswa E1-5 yang dianggap lebih tahu) Mengapa di kolom ini isinya (0,4)?
Siswa E1-5
: (Mengajak teman sekelompoknya memperhatikan) 0 adalah nilai x. y = 2.0 + 4 = 4. Jadi P (0,4). Satunya, 0 adalah nilai y. 0 = 2x + 4 atau -2x = 4 atau x = -2 Jadi Q (-2,0).
Siswa E1-6
: (Tampak kebingungan) Bagaimana cara mendapatkan x = -2? Saya belum jelas.
Siswa E1-5
: (Tidak dapat menjawab) Bu, bagaimana cara menjelaskannya?
Guru
: (Melakukan intervensi) Bagaimana bisa yakin bahwa jawaban x = -2 itu benar?
Siswa E1-5
: Sebab kalau –2 dikalikan –2 hasilnya 4.
Guru
: Apakah yang lain punya pendapat?
Siswa E1-7
: Kalau positif semua, mudah Bu. Misalnya 2x = 4, x = 4 / 2 = 2.
Guru
: Apa bedanya dengan yang tadi?
Siswa E1-5
: Oh ya Bu, sama. –2x = 4, x = 4/ -2 = -2.
Guru
: Silahkan dilanjutkan pekerjaannya ( guru berpindah ketempat lain ).
Selama siswa berdiskusi, guru mengomentari hasil siswa. Kemampuan membicarakan dan diskusi sangat bermanfaat, di antaranya: siswa yang melakukan diskusi; siswa dapat memahami konsep dengan bahasanya sendiri;
melalui
percakapan memungkinkan melakukan klarifikasi sehingga terjadi pemahaman konsep yang lebih baik. Jika siswa memiliki kesulitan, guru dapat melakukan intervensi, baik melalui pertanyaan terarah maupun tidak terarah agar sampai pada pemahaman matematika yang diharapkan. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
169
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Simpulan Upaya pengembangan kemampuan komunikasi matematika oleh guru matematika sekolah menengah pertama selama ini dapat ditinjau dari beberapa aspek: •
Kurikulum Berdasarkan kajian terhadap buku ajar matematika sekolah menengah
pertama, tampak bahwa aspek-aspek komunikasi matematika sudah termuat di dalamnya, walaupun kadar komunikasi matematika antara buku yang satu dengan buku lainnya berbeda-beda. •
Pemahaman guru Hasil wawancara dan angket terhadap guru menunjukkan bahwa pemahaman
guru berkaitan dengan komunikasi matematika sudah dimiliki oleh guru. Sebanyak 96 % responden menyatakan bahwa dalam setiap proses pembelajaran sudah terjadi percakapan baik antar siswa, maupun antara guru dan siswa. Namun, komunikasi matematika masih dipahami sebagai tanya jawab antara guru dan siswa saja. Kadar komunikasi atau discourse yang terjadi masih dalam taraf yang rendah. Diskusi yang terjadi yang belum memberi ruang untuk diskusi multi arah sehingga siswa dapat adu argumentasi, negosiasi pendapat, pengajuan pertanyaan dan sebagainya. Pengembangan model pembelajaran dengan mathematical discourse yang sesuai digunakan guru untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematika adalah pembelajaran yang menekankan pada pembentukan cara berpikir secara matematika sekaligus pemahaman konsep. Pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran yang memberikan ruang untuk pengajuan pertanyaan, adu argumentasi, negosiasi pendapat antar seluruh warga kelas. Peran guru adalah sebagai fasilisator yang mendorong siswa untuk terlibat dalam discourse. Mengajukan pertanyaan terarah/ tidak terarah; melakukan konkritisasi ide (memperjelas ide); mengarahkan kekeliruan siswa; menyaring berbagai ide dari siswa; memberikan waktu tunggu pada siswa untuk solusi; menciptakan suasana siswa yang bebas terbuka untuk berbagi dan mengeluarkan ide; menciptakan diskusi dalam kelaompok kecil maupun diskusi kelas. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
170
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
DAFTAR PUSTAKA Acuna, C. (2001). Highschool students’ conceptions of graphic representations associated to the construction of a straight line of positive abscissas. Proceedings of the 25rd International Conference for the Psychology of Mathematics Education. Cuernavaca, Mexico : Cinvestav. Baroody, A.J (1993) Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8, Helping Children Think Mathematically, New York: macmillan Publishing Company Chapin, O’Connor, Anderson (2003). Clasroom Discussing Using Math Talk to Help students learn, grades 1-6. Sausalito CA: Math Solution Publications Berk, K.N., & Carey, P. (2000). Data analysis with microsoft excel. New York: Duxbury Press. Erland, & Kuyper, J.(1998) Cognitive skills and accelerated learning memory training using interactive media improves academic performance in reading and math: Journal of Accelerated Learning and Teaching. 23, 3-58. Hamdani. (2007). Peran mathematical discourse dalam pengembangan kemampuan komunikasi matematika pada siswa SMP. Pontianak: Universitas Tanjungpura. Hiebert, J., & Carpenter, T.P. (1992). Learning and teaching with understanding. In D.A. Grouws (Ed). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. NCTM. New York: Macmilan Publishing Company. Janvier, C. (1987). Translation processes in mathematics education. In C. Janvier (Ed). Problems of Representation in the Teaching and Learning of Mathematics. London: Lawrence Erlbaum Associates. Kazemi, E (1998) Discourse that promotes conceptual understanding . Teaching Children mathematics 4(7), 410-414 Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B. (2001). Adding it up : Helping children learn mathematics. Washington, DC. : National Academy Press. Lesh, R., Post, T., & Behr, M. (1987). Representations and translations among representations in mathematics learning and problem solving. In C. Janvier (Ed.). Problem of representation in the teaching and learning of mathematics. London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Ludlow, A. S. (2001). The object-process duality of representation: A peircean perspective. In H. Hitt (Ed.). Working group on representations and mathemtics visualization (1998 - 2001). [on-line]. Available:http://www. matedu. cinvestav. mx/Adalira.pdf. [11 Juni 2002]. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
171
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
McCoy, L.P., Baker, T.H., & Little, L.S. (1996). Using multiple representations to communicate: An algebra chllenge. In P.C. Elliot (Ed). Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Miriam (2000) Using Communication to develop students ‘mathematical Literacy, Mathematics Teaching in the Midle School. Virginia: NCTM National Assessment of Educational Progress. (2000). Mathematics framework for the 1996 and 2000. Washington: NAEP. NCTM (1989). Curriculum and evaluation standards for school mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. National Council of Teachers of Mathematics. (1991). Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: NCTM. Rivera, D. P. (1996). Using cooperative learning to teach mathematics to students with learning disabilities [Online]. Tersedia: http://www.ldonline. org/ld_indepht/ math_skills/coopmath.html [7 Mei 2002]. Rose, C., & Nicholl, M.J. (1977). Accelerated learning for the 21ST century. London: Judy Piatkus. Ruseffendi, E.T. (1991) Pengantar kepada membantu guru mengembangkan kompetensinya dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Ruseffendi, E.T. (1994). Dasar-dasar penelitian pendidikan dan bidang non-eksakta lainnya. Semarang : IKIP Semarang Press. Ruseffendi, E.T. (1998) Statistika dasar untuk penelitian pendidikan. Bandung : IKIP Bandung Press. Sidi, I.D. (2001). Menuju masyarakat belajar. Jakarta : Paramadina. Silver, E.A., Shapiro, L.J., & Deutsch, A. (1993). Sense making and the solution of division problems involving remainders : An examination of middle school students’ solution processes and their interpretations of solutions. Journal For Research in Mathematics Education. 24, 117-135.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
172
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Lampiran: ANGKET DISCOURSE (PERCAKAPAN) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA N o 1 2 3
5 6
Item
setuju
Raguragu
Tidak setuju
Istilah discourse dalam pembelajaran belum pernah saya dengar atau saya pelajari sebelumnya Menurut saya dalam setiap pembelajaran selalu terjadi percakapan aantar siswa dan antara guru dan siswa Dalam pembelajaran, sebaiknya guru menjelaskan konsep dan contoh, setelah itu memberikan tugas kepada siswa Yang utama dalam proses pembelajaran adalah siswa dapat menyelesaikan soal atau latihan dengan cepat dan benar sesuai dengan cara yang diajarkan guru Memhamai soal-soal cerita adalah salah satu bentuk berkomunikasi secara matematika Saya kurang setuju dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan dengan cara diskusi, karena waktunya tidak efektif
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
173
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-9 FUNGSI DAN PENTINGNYA PERTANYAAN DALAM PEMBELAJARAN Tina Yunarti Pendidikan Matematika Universitas Lampung
[email protected] ABSTRAK Tujuan utama dalam pembelajaran matematika adalah meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan mempersiapkan siswa dalam dunia kerja. Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah selayaknya kita mengajarkan siswa tentang “how to think” sebagai pengganti dari “what to think”. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa adalah melalui pertanyaan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa seseorang akan berpikir jika dihadapkan oleh suatu masalah atau pertanyaan. Ada empat fungsi berikut peran penting pertanyaan yang dibahas secara teoritis. Dengan menyadari akan pentingnya peranan pertanyaan dalam pembelajaran, guru diharapkan dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang baik dan efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Kata Kunci: fungsi, peran penting, pertanyaan, kemampuan berpikir
1. Pendahuluan Matematika merupakan sebuah cara untuk berpikir, sebuah alat komunikasi, sebuah alat untuk mempelajari bidang ilmu lain, dan sebuah usaha intelektual (Konming, 2003). Matematika pun dapat dipelajari dengan banyak cara dengan tujuan meningkatkan aktivitas belajar siswa, merangsang ketertarikan dan rasa ingin tahu siswa pada matematika, menawarkan pada siswa peluang-peluang yang sering muncul untuk diprediksi dan didiskusikan validitasnya, serta menolong siswa memonitor pemahamannya (Terrell, 2003). Jika digeneralisasikan, maka tujuan utama dalam pembelajaran matematika adalah meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan mempersiapkan siswa dalam dunia kerja (Donald Norman dalam Schafersman, 1991). Bisa saja timbul pertanyaan berikut: Bukankah dengan mengajarkan matematika (secara tradisional sekalipun) kepada siswa berarti kita sudah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
174
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
mengajarkan mereka untuk berpikir? Dengan kata lain, tidak diperlukan keterampilan khusus dalam mengajar karena matematika sendiri sudah memuat logika berpikir. Jawaban yang diperoleh dari banyak studi adalah: tidak. Kita sudah seharusnya mengajarkan siswa tentang “how to think” sebagai pengganti dari “what to think” (Clement and Lochhead dalam Schafersman, 1991). Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa adalah melalui pertanyaan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa seseorang akan berpikir jika dihadapkan oleh suatu masalah. Umumnya, masalah-masalah yang dihadapi tersebut dipresentasikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan. Thinking is not driven by answers but by questions (The Critical Thinking Community, 2009a). Agar dapat berpikir, kita harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang pemikiran
kita.
Dalam
pembelajaran,
pertanyaan-pertanyaan
tersebut
bisa
dimunculkan baik oleh guru maupun siswa. Makalah ini bertujuan untuk mengupas fungsi dan pentingnya peranan pertanyaan dalam pembelajaran, khususnya matematika, secara teoritis. Dengan menyadari akan pentingnya peranan pertanyaan dalam pembelajaran, guru diharapkan dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang baik dan efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa.
2. Jenis-Jenis Pertanyaan Seni bertanya merupakan suatu keterampilan yang harus dikuasai guru. Melalui keterampilan ini guru tidak saja dapat memperoleh inti sari dari informasi yang faktual tetapi juga dapat menolong siswa dalam menghubungkan konsep, membuat kesimpulan, meningkatkan kesadaran, mendorong kemampuan berpikir kreatif dan imajinatif, mendorong proses berpikir kritis, dan mengeksplor lebih dalam tentang pengetahuan, berpikir, dan pemahaman siswa (Wilson, 1997). Lebih jauh, menurut Wilson (1997), ada lima jenis dasar dari pertanyaanpertanyaan.
a. Faktual Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
175
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban-jawaban yang jujur dan sederhana namun masuk akal berdasarkan fakta atau kesadaran yang nyata. Jenis pertanyaan ini umumnya merupakan level terendah dari proses kognitif atau afektif dan jawaban-jawaban yang diberikan biasanya adalah “benar” atau “salah” Contoh: Apakah benar jumlah sudut dalam sebarang segitiga adalah 180o?
b. Konvergen Jawaban untuk jenis pertanyaan ini biasanya berada dalam suatu selang ketelitian yang dapat diterima dan sangat berhingga. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa saja berada dalam level-level kognisi yang berbeda seperti: pemahaman, aplikasi, analisis, atau lainnya dengan penjawab membuat kesimpulan atau dugaan berdasarkan pada kesadaran pribadi, atau pada bahan yang dibaca, disajikan, atau diketahui. Contoh: Tentukan rata-rata hitung dari data berikut: 54, 12, 30, 24, dan 60
c. Divergen Jenis pertanyaan ini mengizinkan siswa untuk menggali kesempatan-kesempatan yang berbeda dan mengkreasikan banyak variasi, alternatif, atau skenario yang berbeda. Kebenaran diperoleh berdasarkan proyeksi-proyeksi logis, bisa saja kontekstual, atau sampai pada pengetahuan dasar, dugaan, kesimpulan, proyeksi, kreasi, intuisi, atau imajinasi. Jenis pertanyaan ini sering meminta siswa untuk menganalisis, mensintesis, atau mengevaluasi sebuah dasar pengetahuan, lalu memperhitungkan atau memperkirakan hasil-hasil yang berbeda. Menjawab pertanyaan-pertanyaan divergen ini dapat dibantu dengan fungsi-fungsi afektif tingkat tinggi. Jawaban umumnya berada dalam selang yang lebar yang dapat diterima. Umumnya kebenaran dinyatakan secara subjektif berdasarkan pada kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan. Seringkali pertanyaan ini ditujukan untuk merangsang berpikir imajinatif dan kreatif, atau menginvestigasi sebab dan akibat suatu hubungan, atau membangkitkan pemikiran yang lebih mendalam, atau membangkitkan penyelidikan yang lebih luas. Setiap orang harus disiapkan untuk Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
176
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
menghadapi fakta bahwa tidak terdapat jawaban tunggal atau pasti untuk jenis pertanyaan ini. Pertanyaan-pertanyaan divergen dapat juga diberikan dalam konteks yang lebih besar yang digunakan untuk memimpin suatu penyelidikan yang kemudian
dikenal
dengan istilah
“pertanyaan-pertanyaan essensial” yang
merupakan kerangka isi dari sebuah materi pelajaran/perkuliahan. Contoh: Jarak kota A ke kota B adalah 35 km. Jarak kota C ke kota B adalah 48 km. Berapakah jarak kota A ke kota C? d. Evaluatif Tipe pertanyaan ini membutuhkan tingkat kognitif dan atau keputusan emosional yang cukup rumit. Dalam usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan evaluatif siswa dapat mengkombinasikan proses-proses berpikir logis berganda dan atau proses-proses berpikir afektif atau menggunakan kerangka kerja komparatif. Seringkali sebuah jawaban dianalisis pada level-level berganda dan dari perspektif yang berbeda sebelum si penjawab sampai pada informasi yang disintesiskan dengan cara yang baru atau kesimpulan-kesimpulan. Contoh: Tentukan persamaan dan perbedaan antara daerah layang-layang dengan jajar genjang e. Kombinasi Pertanyaan jenis ini merupakan campuran dari ke-4 jenis pertanyaan di atas. Contoh: Luas persegi panjang ABCD adalah 120 cm2. Pada sisi CD terletak titik-titik E dan F, sehingga CE : EF : FD = 1 : 2 : 1. Perpanjangan AF dan BE berpotongan di G. Tentukan luas ∆ ABG!
3. Fungsi dan Pentingnya Pertanyaan dalam Pembelajaran Jika kita menanyakan para guru, apakah mereka selalu menggunakan pertanyaan dalam mengajar, maka bisa dipastikan jawabannya adalah: ya. Para guru, tanpa melihat efektifitas mengajar mereka, merasa bahwa memberi pertanyaan merupakan langkah termudah untuk melibatkan siswa dalam pembelajaran interaktif. Kondisi ini terus berlangsung sampai kemudian muncul suatu pendapat yang
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
177
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang berbobot dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa yang menandakan pembelajaran yang sebenarnya. Sebagian besar guru percaya bahwa memberi pertanyaan yang efektif membutuhkan kemampuan untuk menyebarkan perhatian secara acak, yang dibentuk atau diekspresikan secara intuitif selama pembelajaran. Mereka sering berpikir bahwa semakin banyak pertanyaan yang diberikan berarti semakin baik pula keterlibatan siswa dalam pembelajaran (Krishnan, E.R., 2009). Hal ini tentu saja keliru karena tidak semua pertanyaan dapat membuat siswa terlibat aktif. Kesalahpahaman lainnya adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan open-ended hanya untuk siswa-siswa dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Krishnan, E.R., 2009). Padahal, apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut diberikan secara terstruktur dan sistematis serta menggunakan strategi pembelajaran yang tepat maka bisa dipastikan semua siswa akan mampu memikirkannya. Seorang guru tidak dapat mendorong siswa mengajukan pertanyaan hanya dengan berdiri di depan kelas seraya berkata,”Ada pertanyaan?” Meskipun itu dilakukan dengan setulus hati, akan tetapi hal tersebut tidak serta merta membuat siswa mau bertanya. Terdapat banyak tekanan yang memaksa siswa untuk tidak bertanya (Brain, 1998). Rasa malu, takut, rendah diri, dan ketidakpedulian merupakan faktor-faktor yang banyak dijumpai dalam banyak kasus. Satu-satunya cara untuk mendorong siswa bertanya adalah dengan menciptakan “lingkungan tanya-jawab” di kelas. Guru harus mendorong siswa untuk bertanya melalui variasi tekhnik-tekhnik pengajaran (Brain, 1998). Satu dari sekian banyak metode yang digunakan di sekolah menengah dan dasar adalah hapalan yang meliputi kegiatan tanya-jawab cepat yang dipandu guru. Metode ini sering digunakan dengan maksud untuk menilai sejauh mana siswa menguasai isi pelajaran (Wilen, 1992). Dengan demikian, hanya kemampuan menanyakan ingatan siswa saja yang dapat memberikan guru pengetahuan esensial mengenai pengembangan ide-ide atau pengetahuan matematika siswa yang mungkin saja tidak tercapai (Martino & Maher, 1999). Dengan kata lain, guru harus melengkapi diri dengan serangkaian pertanyaan logis dan sistematis yang dapat mempertajam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
178
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
persepsi siswa, menyaring pemikiran mereka, dan menghubungkan sesuatu yang tidak diketahui dengan sesuatu yang diketahui (Dantonio & Beisenherz, 2001). Sebuah strategi pembelajaran yang efektif selalu meminta guru untuk mengubah peran mereka dari penyebar pengetahuan semata menjadi pendidik serba bisa, seperti sebagai fasilitator, konsultan, konselor, dan assesor. Tidak masalah peran apa yang dimainkan guru, komunikasi antara guru dan siswa tidak dapat dihindari. Guru dapat memberikan kesempatan-kesempatan pada siswa untuk mengekspresikan diri secara terbuka, mendiskusikan pekerjaan mereka di dalam kelas dan di depan umum untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka (Kon-ming, 2003). Adapun fungsi-fungsi pertanyaan dalam pembelajaran di kelas adalah sebagai berikut:
a. Merangsang Aktivitas Berpikir Memberi pertanyaan merupakan bagian penting dari kemampuan guru untuk menghasilkan atmosfer kelas yang kondusif untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematika (Burns, 1985). Selain itu, pertanyaan-pertanyaan guru dapat menstimulasi pemikiran siswa, memfasilitasi diskusi-diskusi kelas, membangkitkan ekspresi, dan menyelidiki proses berpikir sebaik mungkin (Dilon, 1982; Wilen, 1992).
Hal ini penting sekali untuk siswa-siswa muda yang memiliki aktivitas
mental yang sangat dependen. Wilen (1992) mengatakan bahwa sebuah pertanyaan dapat menumbuhkan rasa ingin tahu dan merangsang aktivitas mental siswa. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan guru, siswa harus membuat penggunaan
operasi-operasi
berpikir
mereka,
seperti
membandingkan,
menkontraskan, atau mengelompokkan, dan lain-lain. Sesudah siswa memberikan jawaban mereka, Bulgar et al (2002) menyarankan untuk menggunakan pertanyaan-pertanyaan responsif untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan, untuk menolong siswa mengembangkan kebenaran (justifikasi) yang sesuai, dan untuk mengalihkan perhatian mereka saat mereka terlibat dalam penalaran yang salah. Selain itu, hal tersebut digunakan untuk membantu siswa menguji ide-ide mereka dan ide-ide orang lain. Kedalaman proses elicit ini sangat bermakna untuk Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
179
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
para siswa (Wilen, 1992). Dengan demikian, memberi pertanyaan merupakan sesuatu yang berguna untuk menjelaskan dan memperluas pemikiran (Sund & Carin, 1978). Pertanyaan-pertanyaan dapat menjadi sebuah katalis yang menghimbau siswa untuk melakukan justifikasi terhadap ide-ide mereka dan menjelaskan ide-ide tersebut kepada siswa lain. Hal ini, pada gilirannya, memiliki pengaruh dalam mengembangkan pemikiran yang lebih dalam mengenai ide-ide yang termuat dalam situasi-situasi masalah (Bulgar et al, 2002).
b. Memfasilitasi Komunikasi Melalui pertanyaan-pertanyaan, guru dapat mengkomunikasikan elemen-elemen pelajaran dengan siswa mereka. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan guru, siswa harus mampu meningkatkan pandangan mereka, mengatur ekspresi mereka, menunjukkan
hasil
belajar
mereka,
dan
memainkan
pemikiran
logis
mereka.Sebagai tambahan, melalui ide-ide yang didiskusikan, siswa dapat belajar melalui teman-teman mereka. Martini & Maher (1999) menganjurkan agar siswa diberi kesempatan untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam pembelajaran mereka dan siswa lain. Hal ini akan membangun komunitas kelas yang mendatangkan partisipasi aktif siswa, kepercayaan diri siswa, dan kemajuan dalam belajar (Kon-ming, 2003). Jika pertanyaan itu dimunculkan oleh siswa, maka siswa belajar untuk memberi pertanyaan yang baik dan menerima umpan balik dari pertanyaan-pertanyaan tersebut
Seorang siswa yang memberikan sebuah pertanyaan, berarti sudah
menempatkan dirinya sebagai seorang peneliti. (Brain, 1998). Wilen (1992) menjelaskan bahwa untuk menarik perhatian dalam mendapatkan respon-respon yang afektif seperti perasaan, sikap, apresiasi, ketertarikan, dan nilai-nilai maka penjelasan mereka dapat memberi lebih banyak makna personal untuk seluruh pembelajaran. Komunikasi dari respon-respon afektif ini dijembatani oleh pertanyaan-pertanyaan guru yang sesuai dan tepat waktu. Itulah yang membuat Hunkins (1976) menegaskan bahwa untuk menyelidiki ketertarikan-ketertarikan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
180
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dan perasaan-perasaan menuju sebuah gejala dapat diidentifikasikan melalui pengalaman dan pertanyaan-pertanyaan kognitif level rendah.
c. Memperkuat Konseptualisasi Jika sebagai guru kita mengetahui apa yang sudah dipahami siswa maka kita dapat menolong mereka menggunakan pemahaman yang mereka miliki tersebut untuk membentuk pengetahuan baru (Vace, 1993). Ini merupakan langkah pertama untuk menolong siswa membentuk konsep pembelajaran baru dengan mengidentifikasi pengetahuan awal mereka melalui pertanyaan-pertanyaan ingatan. Selama proses pembelajaran, guru harus mengalihkan pertanyaanpertanyaan untuk mendapatkan lebih banyak respon, menggali pertanyaanpertanyaan untuk mendapatkan respon yang lebih baik, dan memeriksa pertanyaan-pertanyaan untuk pemahaman yang benar (Kon-ming, 2003). Jawaban-jawaban yang bersifat ingatan dapat dipandang sebagai sebuah batu loncatan untuk bentuk pemahaman yang lebih tinggi dan ini lebih baik jika hanya dipandang sebagai produk akhir pembelajaran (Ryan, 1971). Melalui bertanya, guru
dapat
mengevaluasi
kesiapan,
pengembangan
konsep
pendukung,
memperkuat pemahaman, dan meminta siswa untuk teliti (Wilen, 1992). Selanjutnya, pembelajaran afektif sama pentingnya dengan pembelajaran kognitif. Oleh sebab itu, Wilen (1992) juga menyarankan agar pertanyaan-pertanyaan guru dapat menolong siswa bekerja memahami suatu nilai, misal menolong siswa menjelaskan seberapa kuat keyakinannya terhadap sebuah nilai. . d. Menilai Pembelajaran Pertanyaan-pertanyaan akan memberitahu guru bahwa siswa-siswanya dapat memahami dan memikirkan tentang apa yang dikatakan guru (Brain, 1998). Ini merupakan hal yang umum dilakukan guru untuk menilai hasil pembelajaran melalui pertanyaan-pertanyaan formal maupun informal. Diagnosa tingkat penguasaan siswa diperoleh berdasarkan jawaban-jawaban mereka (Wilen, 1992). Yang harus diperhatikan, jika guru berbicara terlalu tinggi melebihi level siswa, Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
181
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
maka siswa akan berhenti untuk memahami dan berpikir serta tidak ingin bertanya lebih lanjut (Brain, 1998). Hasil yang diperoleh antara jawaban lisan siswa dengan jawaban tertulis mereka saat ujian bisa saja berbeda. Umumnya guru lebih memilih nilai ujian tertulis siswa karena menurut mereka pertanyaan-pertanyaan lisan tidak selalu dipersiapkn dengan baik. Siswa pun cenderung mengerjakan soal-soal ujian tertulis lebih serius dibandingkan menjawab pertanyaan-pertanyaan secara lisan (Kon-ming, 2003). Selain hal-hal di atas, pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru akan memberi tahu guru bahwa siswa-siswanya tengah tidur atau terjaga (Brain, 1998)
4. Simpulan dan Saran Dari ke-4 fungsi pertanyaan di atas tampak bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di kelas memiliki peran penting sebagai alat untuk: (1) menstimulus kemampuan kognitif dan afektif siswa; (2) menguji kebenaran; (3) memunculkan atau mengkomunikasikan ide; (4) memperkuat konseptualisasi; (5) mengevaluasi atau merefleksi suatu kegiatan atau perbuatan yang telah dilakukan. Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pertanyaan di dalam kelas, ada baiknya setiap guru menguasai keterampilan bertanya sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Pemberian pertanyaan hendaknya dilakukan secara sistematis dan terstruktur dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami siswa sehingga siswa mudah menerima pelajaran dengan baik. Kalimat pertanyaan tidak perlu panjang. Yang penting, usahakan setiap pertanyaan dapat dijawab siswa dengan mudah sehingga pada akhirnya menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa. Beri kesempatan juga pada siswa untuk bertanya dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam suasana kelas yang kondusif.
5. Daftar Pustaka Brain, M. 1998. Emphasis on Teaching: The Importance of Questions. [Online]. Tersedia: http://www.bygpub.com/eot/eot2.htm Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
182
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Bulgar,S., Schorr,R.Y. & Maher,C.A. (2002). Teachers’ questions and their role in helping students build an understanding of division of fractions. In Cockburn,A.D. & Nardi,E. (Eds). International Group for the Psychology of Mathematics Education : PME 26,University of East Anglia, 21-26 July 2002, Norwich UK : proceedings, 161-168. Norwich : School of Education and Professional Development, University of East Anglia. Burns,M. (1985). The role of questioning. The Arithmetic Teacher, 32(6), 14-16. Dantonio,M. & Beisenherz,P.C. (2001). Learning to question, questioning to learn: Developing effective teacher questioning practices. Boston: Allyn and Bacon. Dillon, J.T. (1982). The effect of questions in education and other enterprise. Journal of Curriculum Studies, 14(2), 127-152. 26 EduMath 17 (12/2003) Hunkins,F.P. (1976). Involving students in questioning. Boston: Allyn and Bacon Krishnan,E.R. 2009. Teaching with HEART: Using questions as part of your teaching strategy; Encourage students to interact in class. Bangkok Post Life. [Online]. Tersedia: http://www.bangkokpost.com/life/education/23896/using-questionsas-part-of-your-teaching-strategy Wilson, L.E. 1997. Newer Views of Learning-TYpes of Questions. [Online]. Tersedia: http://www.uwsp.edu/education/lwilson/learning/quest2.htm Martino,A.M. & Maher,C.A. (1999). Teacher questioning to promote justification and generalization in Mathematics: What research practice has taught us. The Journal of Mathematics Behavior, 18(1), 53-78. Ryan,F.L. (1971). Exemplars for the new social studies: Instructing in the elementary school. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Schafersman, S D.1991. An Intoduction to Critical Thinking. [Online]. Tersedia: http://www.freeinquiry.com/critical-thinking.html [May 25th 2009] Sund,R.B. & Carin,A. (1978). Creative questioning and sensitive listening technique: A self concept approach. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Tang, K.M. (2002). An investigation on alternative thinking in mathematics education [in Chinese]. EduMath, 14, p.28-34. Tang K.M. 2003. Empowering Student Thinking in Learning Mathematics by Effective Questioning. EduMath 17 (12/2003) Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
183
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Terrell, M. 2003. Asking good questions in the mathematics classroom. AMS-MER Workshop Excellence in Undergraduate Mathematics: Mathematics for Teachers and Mathematics for Teaching, March 13-16, 2003; Ithaca College, Ithaca, New York. The Critical Thinking Community (Foundation for Critical Thinking). 2009a. Critical Thinking: Basic Questions & Answers. [Online]. Tersedia: http://www.criticalthinking.org/aboutCT/CTquestionsAnswers.cfm. [May 24th 2009] The Critical Thinking Community (Foundation for Critical Thinking). 2009b. The Role of Questions in Teaching, Thinking and Learning. [Online]. Tersedia: http://www.criticalthinking.org/page.cfm?PageID=521&CategoryID=71[May 24th 2009]. Vace,N.N. (1993). Implementing the professional standards for teaching mathematics: Questioning in the mathematics classroom. Arithmetic Teacher, 41(2), 88-91 Wilen,W.W. (1992). Questions, questioning techniques and effective teaching (3rd Ed.). Washington, D.C.: NEA Professional Library, National Education Association
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
184
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-10 MEMBANDINGKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA YANG PEMBELAJARANNYA MENGGUNAKAN MODEL KOOPERATIF TIPE JIGSAW DENGAN TIPE STAD PADA MATERI LINGKARAN Supratman Prodi Pend. Matematika, MIPA, FKIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya
ABSTRAK Pembelajaran matematika dapat disampaikan dengan menggunakan berbagai model pembelajaran yang diduga membuat siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran yang dapat dipilih di antaranya adalah model pembelajaran kooperatif. Pada model pembelajaran kooperatif terdapat berbagai tipe di antaranya adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan tipe Student Teams Achievement divisions (STAD) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan tipe Student Teams Achievement divisions (STAD) pada materi lingkaran, siswa kelas VIII MTsN Cikatomas Tahun Ajaran 2007/2008 yang terdiri dari 4 kelas sebanyak 141 orang. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement divisions (STAD) lebih baik dibandingkan dengan yang pembelajarannya menggunakan tipe Jigsaw pada materi lingkaran. Kata Kunci: Hasil belajar siswa matematika siswa, Tipe Jigsaw, Student Teams Achievement divisions (STAD)
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pembelajaran matematika mempunyai peranan yang penting untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan nalar serta membentuk sikap peserta didik, oleh karena itu proses komunikasi yang terjadi antara guru sebagai Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
185
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pengajar dan siswa sebagai pembelajar dalam pembelajaran harus berlangsung harmonis. Interaksi antar guru dan siswa akan menentukan berhasil tidaknya pembelajaran matematika yang diterapkan. Proses pembelajaran matematika saat ini dilihat dari prestasi belajar yang dicapai siswa dalam bidang studi matematika belum mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) khususnya untuk SMP Negeri 1 Cineam. Rata-rata hasil Ujian Akhir Semester Ganjil untuk mata pelajaran matematika hanya mencapai rata-rata 52,60 untuk kelas VIII. Hal ini menunjukkan bahwa belum Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk mata pelajaran matematika belum tercapai. Karena KKM yang ditentukan untuk mata pelajaran matematika kelas VIII SMP Negeri 1 Cineam 60,00. Pembelajaran yang selama ini dilaksanakan oleh guru matematika adalah pembelajaran klasikal dengan menggunakan metode ekspositori. Siswa hanya aktif mencatat materi sesuai dengan yang ditugaskan atau yang dituliskan oleh guru di papan tulis. Dampaknya hasil belajar siswa tidak sesuai harapan yaitu tidak mencapai KKM. Oleh karena itu guru matematika perlu mencari strategi baru untuk memperbaiki proses pembelajaran sehingga hasil belajar siswa optimal. Dari beberapa model pembelajaran yang ditawarkan salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif. Wardani, Sri (2006:2) menyatakan bahwa belajar kooperatif adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4 – 6 orang, dengan struktur kelompok heterogen, selain itu dikemukakan juga bahwa model “Cooperative Learning” yaitu suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada peserta didik agar bekerja sama selama berlangsungnya proses pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif terdiri dari beberapa tipe di antaranya yaitu: tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD), tipe Jigsaw, tipe Investigasi Kelompok (IK), tipe Pendekatan Struktural (PS), tipe Teams Games Tournaments (TGT), tipe Nomber tipe Teams Assisted Individualization (TAI), dan sebagainya.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
186
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Masing-masing tipe tentu memiliki kelebihan atau kekurangan dibandingkan dengan tipe lainnya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membandingkan hasil belajar matematika, antara yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dengan tipe Jigsaw. Pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) menurut Slavin(Ginanjar, 2001:15) “Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat melakukan kerja sama dengan anggota kelompoknya dalam menghadapi
persoalan.” Sedangkan model
pembelajaran tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) menurut Anita (2003:68) “Salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pembelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal.” Oleh karena itu, model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) maupun tipe Jigsaw diduga dapat meningkatkan aktivitas siswa dan kerja sama di antara anggota kelompok. Penelitian ini dibatasi pada materi lingkaran kompetensi dasar 4.2. Menghitung keliling dan luas lingkaran di kelas VIII SMP Negeri 1 Cineam Semester II Tahun Ajaran 2007/2008 dengan membandingkan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dengan tipe Jigsaw. Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis tertarik melaksanakan penelitian dengan judul, “Perbandingan Hasil Belajar Matematika Antara yang Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) Dengan Jigsaw (Studi Terhadap Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Cineam Tahun Ajaran 2007/2008)”.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah manakah yang lebih baik antara hasil belajar matematika yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dengan tipe Jigsaw?.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
187
PROSIDING
C.
ISBN : 978-979-16353-3-2
Definisi Operasional 1.
Model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Inti utama pembelajaran kooperatif adalah pembentukan kelompok heterogen yaitu terdiri dari 4 – 6 orang, berdasarkan kemampuan akademik terdiri dari siswa kelompok atas, kelompok sedang dan kelompok bawah. Model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) pada pelaksanaan proses pembelajarannya menggunakan 5 tahap yaitu: tahap penyajian materi, tahap kegiatan kelompok, tahap tes individual, tahap perhitungan skor pembelajaran individual dan tahap pemberian penghargaan kelompok. Penyajian materi pada proses pembelajaran melalui diskusi kelompok.
2.
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah pembelajaran yang diterapkan melalui aktivitas-aktivitas membaca, diskusi kelompok ahli, laporan kelompok, kuis, perhitungan skor kelompok dan menentukan penghargaan kelompok. Kelompok ditentukan berdasarkan kemampuan akademik secara heterogen terdiri dari 4 – 6 orang siswa untuk setiap kelompok. Dalam pelaksanaannya model pembelajaran tipe Jigsaw menggunakan 5 tahap yaitu : (1) Pembentukan kelompok siswa, setiap anggota kelompok
ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu
kemudian perwakilan siswa-siswa atau perwakilan dari kelompok-kelompok bertemu dalam kelompok ahli. (2) Setelah masing-masing perwakilan dari kelompok ahli menguasai materi yang ditugaskan kemudian mereka kembali ke kelompok asal. (3) Siswa diberi tes/kuis. (4) Tahap skor perkembangan individu. (5) tahap penghargaan kelompok.
3.
Hasil Belajar
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
188
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Hasil belajar adalah merupakan uraian untuk menjawab pertanyaan “apa yang digali, dipahami dan dikerjakan siswa”. Pada penelitian ini hasil belajar dilihat dari rata-rata skor ulangan harian.
D.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar matematika mana yang lebih baik antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dan tipe Jigsaw.
E.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut : 1.
Masukan bagi guru matematika bahwa dalam proses pembelajaran dapat menggunakan salah satu tipe dalam model pembelajaran kooperatif untuk memperbaiki proses pembelajaran.
2.
Agar siswa terbiasa belajar dalam kelompok sehingga dapat saling membantu bila di antara anggota kelompoknya ada yang belum mengerti atau memahami materi yang telah diajarkan.
II PROSEDUR PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto,(2006:160) “Metode Penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya”. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode eksperimen, dengan menggunakan dua kelompok eksperimen. Kelompok eksperimen 1 dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dan kelompok eksperimen 2 dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
1. Variabel Penelitian Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
189
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Menurut Margono, ( 2005:13), variabel dapat juga diartikan sebagai pengelompokan yang logis dari dua atribut atau lebih misalnya variabel jenis kelamin (laki-laki dan wanita), variabel ukuran industri (kecil, sedang, dan besar), variabel sumber modal (modal dalam negeri dan modal asing), dsb.
Berdasar pendapat di atas dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dan tipe Jigsaw, sedangkan variabel terikatnya adalah hasil belajar siswa pada materi lingkaran.
2.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui ulangan harian. Ulangan harian digunakan untuk mengukur sejauh mana kemampuan dan pemahaman yang dimiliki siswa setelah pembelajaran pada materi lingkaran, melalui model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Ulangan harian dilaksanakan dua kali, yaitu setelah pembelajaran satu kompetensi dasar selesai dilaksanakan.
3. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal ulangan harian berbentuk uraian. Ulangan harian digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa. Sebelum instrumen digunakan pada sampel penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan uji coba di luar sampel yaitu di kelas IX A untuk menguji validitas dan reliabilitasnya.
a) Uji Validitas Instrumen Untuk menguji validitas butir soal ulangan harian akan digunakan rumus korelasi product moment angka kasar menurut Suherman, (2003:120) dirumuskan sebagai berikut: Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
190
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
r xy =
N ∑ xy − ( ∑ x)( ∑ y ) {N ∑ x 2 − (∑ x) 2 }{N ∑ y 2 − (∑ y ) 2 }
Keterangan : r xy = koefisien korelasi antara variabel x dengan variabel y N = banyak subyek (testi) / responden x
= skor item
y
= skor total Klasifikasi interpretasi koefisien korelasi menurut J.P. Guilford
(Suherman, 2003:113) adalah sebagai berikut : 0, 90 ≤ r xy ≤ 1,00 validitas sangat tinggi (sangat baik) 0, 70 ≤ r xy < 0,90 validitas tinggi (baik) 0, 40 ≤ r xy < 0,70 validitas sedang (cukup) 0, 20 ≤ r xy < 0,40 validitas rendah (kurang) 0, 00 ≤ r xy < 0,20 validitas sangat rendah r xy < 0,00 validitas tidak valid Hasil perhitungan uji validitas per butir soal pada ulangan harian materi lingkaran dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1 Hasil Perhitungan Uji Validitas Materi Lingkaran Soal Ulangan
Nomor
Harian
Soal
I
1
0,85
Validitas Tinggi
Digunakan
2
0,74
Validitas Tinggi
Digunakan
3
0,71
Validitas Tinggi
Digunakan
4
0,55
Validitas Sedang
Digunakan
5
0,80
Validitas Tinggi
Digunakan
rxy
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
Kriteria
Keterangan
191
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Soal Ulangan
Nomor
Harian
Soal
II
1
0,80
Validitas Tinggi
Digunakan
2
0,73
Validitas Tinggi
Digunakan
3
0,76
Validitas Tinggi
Digunakan
4
0,77
Validitas Tinggi
Digunakan
5
0,71
Validitas Tinggi
Digunakan
Kriteria
rxy
Keterangan
b) Uji Reliabilitas Instrumen Untuk mengukur reliabilitas butir soal ulangan harian akan digunakan rumus Cronbach Alpha (Suherman, 2003:154) sebagai berikut: 2 n ∑ Si r 11 = 1 − S t2 n − 1
Keterangan : r
= koefisien reliabilitas
n
= banyaknya soal
∑ S i2
= jumlah varian skor
S t2
= varian skor total Klasifikasi interpretasi derajat reliabilitas menurut J.P. Guilford
(Suherman, 2003:139) adalah sebagai berikut : r 11 < 0,20
reliabilitas sangat rendah
0,20 ≤ r 11 < 0,40
reliabilitas rendah
0,40 ≤ r 11 < 0,70
reliabilitas sedang
0,70 ≤ r 11 < 0,90
reliabilitas tinggi
0,90 ≤ r 11 ≤ 1,00
reliabilitas sangat tinggi
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
192
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Dari hasil perhitungan uji reliabilitas instrumen ulangan harian pada materi lingkaran untuk ulangan harian ke-1 diperoleh nilai koefisien reliabilitas (r11) sebesar 0,79, sedangkan hasil perhitungan uji reliabilitas butir soal ulangan harian ke-2 diperoleh nilai koefisien reliabilitas (r11) sebesar 0,80. Berdasarkan klasifikasi di atas, reliabilitas untuk soal ulangan harian ke-1 dan soal ulangan harian ke-2 pada materi lingkaran masuk ke dalam kategori reliabilitas tinggi
4. Populasi dan Sampel a. Populasi Margono, S (2005:118 ) menyatakan, “Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan.” Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Cineam Tahun Pelajaran 2007/2008. Agar lebih jelas, populasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Penyebaran Data Populasi Jumlah Siswa No
Kelas
Jumlah Laki-laki
Perempuan
1
VIII A
22
18
40
2
VIII B
19
21
40
3
VIII C
19
14
33
4
VIII D
15
16
31
5
VIII E
17
15
32
6
VIII F
17
14
31
7
VIII G
15
15
30
124
113
237
Jumlah
Sumber: TU SMP Negeri 1 Cineam Tasikmalaya Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
193
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
b. Sampel Margono, S (2005:121) menyatakan, “Sampel adalah bagian dari populasi sebagai contoh (master) yang diambil dengan menggunakan cara tertentu.” Sesuai dengan pendapat tersebut dalam penelitian ini penulis mengambil sampel secara acak (random) menurut kelas sebanyak dua kelas dari seluruh kelas yang menjadi populasi, dengan alasan setiap kelas mempunyai karakteristik yang sama dilihat dari kemampuan akademik yaitu terdiri dari siswa yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang dan kurang. Pengambilan sampel diundi dan keluar dua kelas yaitu kelas VIII A dengan jumlah siswa 40 orang, untuk pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dan kelas VIII B dengan jumlah siswa 40 orang, untuk pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
5. Desain Penelitian Menurut Arikunto,(2006:51) menyatakan bahwa desain penelitian adalah rencana atau rancangan yang dibuat peneliti sebagai ancar-ancar kegiatan yang akan dilakukan. Dari pendapat tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa desain penelitian adalah rancangan yang menyebabkan alur dan arah penelitian.
Menurut
Ruseffendi,(1994:46)
bahwa
desain
eksperimen
perbandingan kelompok statistik melibatkan paling tidak dua kelompok. Kelompok pertama memperoleh perlakuan khusus yang kita rencanakan ( X atau X1 ) dan kelompok lain tidak atau (kelompok kedua ini) hanya memperoleh perlakuan biasa ( X2 ) sedangkan notasi O artinya diadakan postes bila perlakuan yang lazim kita lihat ada dua macam ( X1 dan X2 ) untuk kelompok yang berbeda maka desain penelitiannya adalah sebagai berikut : A
X1
O
A
X2
O
Keterangan : Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
194
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
A =
Acak Kelas
O =
Tes Akhir (Postes)
X1 =
Perlakuan terhadap kelompok eksperimen 1 berupa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
X2 =
Perlakuan terhadap kelompok eksperimen 2 berupa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data a. Teknik Pengolahan Data 1) Penskoran untuk ulangan harian Memberi skor tiap butir soal terhadap hasil ulangan harian dengan rumus menurut Depdiknas (Widaningsih, Dedeh, 2007:60) SBS =
a ×c b
Keterangan: SBS = skor butir soal a
= skor mentah yang diperoleh
b
= skor mentah maksimum butir soal
c
= bobot butir soal
2) Penskoran Tugas Kelompok dan Tugas Individu Setiap tugas kelompok dan tugas individu diberi penskoran dan pembobotan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan materi, kedalaman materi dan tingkat kesukaran. Soal diberi bobot yang berbeda sesuai dengan kedalaman materi dan tingkat kesukaran soal. Skor yang diberikan untuk tugas individu dan tugas kelompok menggunakan skala 100. 3) Penskoran Akhir Skor akhir merupakan rata-rata dari skor ulangan harian ke-1 dan skor ulangan harian ke-2. Karena ulangan harian dilaksanakan dua kali. Untuk menghitung skor akhir peneliti menggunakan rumus:
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
195
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Skor Akhir =
UH 1 + UH 2 2
Keterangan : UH 1
= Skor ulangan harian ke-1
UH 2
= Skor ulangan harian ke-2
b. Teknik Analisis Data Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah data hasil ulangan harian, setelah data diperoleh dilakukan pengolahan dan analisis data untuk menguji hipotesis penelitian. Langkah-langkah untuk menguji hipotesis menurut Nurgana, Endi (1993:34) sebagai berikut: a) Menentukan sampel yang representatif b) Mengetes normalitas dari masing-masing kelompok 1) Mencari rata-rata ( x ) 2) Mencari deviasi standar (σn-1) 3) Membuat daftar distribusi frekuensi observasi dan frekuensi ekspektasi 4) Menghitung nilai chi kuadrat (χ2) 5) Menentukan derajat kebebasan (db) 6) Menentukan nilai chi kuadrat (χ2) dari daftar 7) Penentuan normalitas Pasangan hipotesis: H0 : sampel berasal dari populasi berdistribusi normal H1 : sampel berasal dari populasi berdistribusi tidak normal Kriteria pengujian: Jika χ2hitung < χ2daftar, terima H0, maka populasi berdistribusi normal dan jika χ2hitung > χ2daftar, tolak H0 maka populasi berdistribusi tidak normal.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
196
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
c) Jika keduanya berdistribusi normal dilanjutkan dengan homogenitas variansnya. Langkah-langkah untuk menentukan homogenitas 2 (dua) varians menurut Nurgana, (1993:38) yaitu: 1) Mencari nilai Fhitung Dengan rumus: Fhitung =
vb vk
Keterangan: vb = n1−1 vk = n2−1 2) Menghitung derajat kebebasan (db) Rumus: db1 = n1 – 1 db2 = n2 – 1 d) Jika ternyata kedua variannya homogen dilanjutkan dengan tes t, langkah-langkah tes t menurut Nurgana, (1993:39) yaitu: 1) Mencari deviasi standar gabungan Rumus: dsg =
(n1 − 1)v1 + (n2 − 1)v2 n1 + n2 − 2
2) Mencari nilai thitung Rumus: thitung =
x1 − x 2 1 1 dsg + n1 n2
3) Menentukan derajat kebebasan (db) Rumus: db = n1 + n2 – 2 4) Menentukan nilai t dari daftar 5) Menguji hipotesis Pasangan hipotesis: H0 : µx2 < µx1 H1 : µx2 > µx1 Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
197
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Keterangan: µx1 = parameter rerata kelompok eksperimen 1 µx2 = parameter rerata kelompok eksperimen 2
Kriteria pengujian adalah: Tolak H0 jika thitung > t (1−α)(db) dengan α taraf nyata pengujian. Pada keadaan lainnya H0 diterima. e) Jika ternyata salah satu atau dua distribusi tersebut tidak normal, langkah selanjutnya menggunakan statistika tak parametrik. Dalam hal ini menggunakan tes Wilcoxon yaitu: 1) Membuat daftar rank 2) Menentukan nilai W f) Jika kedua distribusi tersebut normal, tetapi variannya tidak homogen dilanjutkan dengan tes t’. 1) Mencari nilai t menurut Nurgana, E. (1993:44) x1 − x 2 v1 v2 + n1 n2
Rumus: t =
2) Menghitung nilai kritis t dan pengujian hipotesis Rumus: nk1 = w1 =
v1 n1
w2 =
v2 n2
w1t1 + w2 t 2 w1 + w2
III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Data Hasil Penelitian Pada penelitian terdapat dua kelas eksperimen yaitu kelas VIII B dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan kelas VIII A dengan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
198
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) pada materi lingkaran. Agar penelitian sesuai dengan rencana, maka peneliti sudah menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), bahan ajar, tugas kelompok berupa Lembar Kerja Siswa (LKS), ulangan harian, dan tugas individu. Pada saat pembelajaran berlangsung, pada kedua kelas eksperimen siswa diberi LKS sebagai tugas kelompok yang harus dikumpulkan setelah selesai dikerjakan. Skor yang diperoleh selengkapnya terdapat pada lampiran F. Skor rata-rata untuk kedua kelas eksperimen dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data Rata-rata skor Tugas Kelompok Materi Lingkaran Rata-rata Skor
Rata-
Kelas II
Eksperimen 1 (Jigsaw) 97,0
89,4
93,5
89,1
95,3
92,8
Eksperimen 2 (STAD)
81,4
85,2
83,6
86,1
84,2
84,9
III
IV
V
rata
I
Berdasarkan data pada Tabel 4.1 terlihat dari pertemuan ke-1 sampai pertemuan ke-5 rata-rata skor tugas kelompok pada kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan dengan rata-rata skor tugas kelompok pada kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Selisih rata-rata skor keseluruhan antara kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 adalah 8,6. Setiap pembelajaran selesai dilaksanakan, pada kedua kelas eksperimen siswa diberi tugas individu yang harus dikerjakan di luar waktu pembelajaran. Hasil yang diperoleh untuk rata-rata skor tugas individu dapat dilihat pada Tabel 2. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
199
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Tabel 2 Data Rata-rata skor Tugas Individu Materi Lingkaran Rata-rata Skor Kelas
Rata-rata I
II
III
IV
V
Eksperimen 1 (Jigsaw) 84,1
79,5
83,0
79,5
85,4
82,3
Eksperimen 2 (STAD)
78,5
80,3
79,5
79,0
79,2
78,8
Berdasarkan data pada Tabel 4.2 terlihat dari pertemuan ke-1 sampai pertemuan ke-5 rata-rata skor tugas individu pada kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan dengan rata-rata skor tugas individu pada kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Selisih rata-rata skor keseluruhan antara kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 adalah 3,1. Selama penelitian berlangsung, ulangan harian dilaksanakan dua kali. Ulangan harian dianggap sebagai postes. Rata-rata skor ulangan harian untuk kedua kelas eksperimen disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Data Rata-rata Skor Ulangan Harian Materi Lingkaran Rata-rata Skor Ulangan Harian Kelas
Rata-rata Ke-1
Ke-2
Eksperimen 1 (Jigsaw)
69,6
72,4
71,0
Eksperimen 2 (STAD)
66,9
68,8
67,8
Berdasarkan data pada Tabel 3 terlihat dari rata-rata skor ulangan harian ke-1 dan rata-rata skor ulangan harian ke-2 pada kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan dengan rata-rata skor ulangan harian pada kelas Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
200
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Selisih rata-rata skor ulangan harian keseluruhan antara kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 adalah 2,2. Pengujian Persyaratan Analisis Hasil perhitungan yang berkaitan dengan syarat-syarat yang diperlukan dalam pengujian hipotesis sebagai berikut: Tes Normalitas Distribusi dari Masing-masing Kelompok Analisis skor ulangan harian pada materi lingkaran melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Rata-rata ( x ) = 76,25 Deviasi standar (σn-1) = 8,21 Menghitung nilai χ 2 didapat χ 2 = 3,85 Menentukan derajat kebebasan (db) didapat db = 3 Menghitung nilai χ 2 dari daftar didapat χ 20,99(3) = 11,3 Penentuan normalitas Ternyata χ
2
hitung
< χ
2 0,99(3),
terima Ho, maka populasi berdistribusi
normal. Analisis skor ulangan harian pada materi lingkaran melalui model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Rata-rata ( x ) = 86,33 Deviasi standar (σn-1) = 10,62 Menghitung nilai χ 2 didapat χ 2 = 2,18 Menentukan derajat kebebasan (db) didapat db = 3 Menghitung nilai χ 2 dari daftar didapat χ 20,99(3) = 11,3 Penentuan normalitas Ternyata χ
2
hitung
< χ
2 0,99(3),
terima Ho, maka populasi berdistribusi
normal. Tes Homogenitas Varians Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
201
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pasangan hipotesis:
H0 : V1 = V2 H1 : V1 ≠ V2
Keterangan: V1 = Variansi kelompok pertama V2 = Variansi kelompok kedua Kriteria pengujian adalah: Tolak H0 jika F > Fα(n Vb −1) (n Vk −1) dengan α taraf nyata pengujian, artinya variansi kedua populasi tidak homogen. Dalam hal lainnya H0 diterima. Mencari Nilai Fhitung didapat Fhitung = 1,67 Menentukan derajat kebebasan db1 = 29 db2 = 29 Menentukan nilai F dari daftar untuk α = 1%, diperoleh F 0,01(29/29) = 2,42 Menentukan homogenitas Ternyata Fhitung < F 0,01(29/29), maka H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya kedua varians tersebut homogen.
Pengujian Hipotesis Hasil perhitungan dari pengujian hipotesis, menggunakan uji perbedaan dua ratarata sebagai berikut: Pasangan hipotesis: H0 : µx2 < µx1 H1 : µx2 > µx1 Keterangan: µx1 = parameter rerata kelompok eksperimen 1 µx2 = parameter rerata kelompok eksperimen 2
Kriteria pengujian adalah:
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
202
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Tolak H0 jika thitung > t1−α dengan α taraf nyata pengujian. Dalam hal lainnya Ho diterima. a) Mencari deviasi standar gabungan (dsg) didapat dsg = 9,49 b) Mencari nilai t didapat thitung = 4,11 c) Menentukan derajat kebebasan didapat db = 58 d) Menentukan nilai t dari daftar untuk α = 1%, diperoleh t0,99(58) = 2,393 Dari hasil perhitungan diperoleh t = 4,11 dan t 0,99(58) = 2,393. Ternyata thitug > t 0,99(58),
maka H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya hasil belajar matematika siswa
yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) lebih baik dibandingkan dengan yang pembelajarannya menggunakan tipe Jigsaw.
Pembahasan Hasil pengujian hipotesis diperoleh hasil belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan dengan yang pembelajarannya menggunakan tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) pada materi lingkaran. Berdasarkan hasil pengolahan data dapat digambarkan pada diagram batang untuk pembelajaran materi lingkaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Berdasarkan diagram batang pada Gambar 1 terlihat perbedaan rata-rata skor untuk pembelajaran materi lingkaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dilihat dari ulangan harian, yang lebih baik adalah yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
203
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
DIAGRAM BATANG PERBANDINGAN HASIL BELAJAR SISWA
71 70 69 68 67 66 Rerata Skor Ulangan Harian Tipe Jigsaw
Tipe STAD
Gambar1. Diagram Batang Perbandingan Hasil belajar Siswa Pada saat pembelajaran berlangsung siswa diberi tes individu untuk menghitung skor perkembangan kelompok yang hasilnya untuk kriteria kelompok. Kriteria kelompok yang diperoleh untuk setiap pertemuan pada kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 dapat dilihat pada Tabel 4 Berdasarkan Tabel 4. untuk seluruh pembelajaran pada kelas eksperimen 1 hanya ada tiga pertemuan yang mendapat sebutan kelompok tanpa kriteria, yaitu pada pertemuan ke-2, ke-3, dan ke-4. Jika dijumlahkan ada 9 kelompok yang tanpa kriteria dari pembelajaran ke-1 sampai dengan pembelajaran ke-5 dan terdapat 5 kelompok dari seluruh pembelajaran yang memperoleh kriteria kelompok super team. Sedangkan pada kelas eksperimen 2 dari pertemuan ke-1 sampai pertemuan ke-5 terdapat 17 kelompok yang tidak memperoleh kriteria, dan hanya satu pertemuan yaitu pertemuan ke-4 yang semua kelompok memperoleh kriteria. Terdapat 4 kelompok yang memperoleh kriteria super team. Tabel 4 Perolehan Kriteria Kelompok
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
204
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Kelas Eksperimen 1 (Jigsaw)
Pertemuan 1 2 3 4 5
Eksperimen 2 (STAD)
1 2 3 4 5
Kriteria Kelompok Good Great Super Team Team Team I,VIII II,III,IV,V, VI VII III,IV,V I,VII, VIII III,V,VI,V II,VIII II I,VII VIII IV I,V,VII II,III,VI,VI II II,V,VIII VI,VII V,VII IV I,II,III I,II,V IV I,II,III,V,V VIII I,VII VI -
Tanpa Kriteria II,VI I,IV II,III,IV,V,VI I,III,IV VI,VIII III,IV,VI,VII,VIII I,II,III, IV,V,VII,VIII
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terdapat tahap-tahap dalam penyelenggaraannya yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok. Pada kegiatan ini keterlibatan guru dalam proses belajar mengajar semakin berkurang dalam arti guru tidak lagi menjadi pusat kegiatan. Guru berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan dan memotivasi siswa untuk belajar mandiri serta menumbuhkan rasa tanggung jawab. Diharapkan juga siswa akan merasa senang berdiskusi tentang materi lingkaran dalam kelompoknya. Siswa dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dan juga dengan gurunya sebagai pembimbing. Guru tetap mengendalikan aturan hanya siswa yang menjadi pusat kegiatan kelas. Karena dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terdapat dua kali pengelompokan yaitu kelompok asal dan kelompok ahli, dalam pelaksananya memerlukan waktu yang lebih banyak dibandingkan dengan waktu yang digunakan dalam pembelajaran lainnya di luar Jigsaw. Pelaksanaan penelitian yang dilakukan pada model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) sama dengan persiapan untuk Jigsaw yaitu mulai dari mempersiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran, menyiapkan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
205
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
bahan ajar, Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk tugas kelompok, tes individu dan tugas individu serta ulangan harian. Pengelompokannya sama-sama heterogen berdasarkan kemampuan akademik. Pada model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) siswa sepertinya pada kelompok pembelajaran yang biasa dilakukan. Hanya pada pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) terdapat tes individu yang dilaksanakan pada setiap pembelajaran sehingga dari hasil tes individu itulah siswa memperoleh penghargaan kelompok. Jika dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam aktivitas siswa lebih baik yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw karena siswa merasa senang dengan adanya perubahan kelompok dari kelompok asal bergabung ke kelompok ahli kemudian mereka kembali lagi kepada kelompok asal. Hal ini menimbulkan perasaan tidak jenuh yang dialami siswa, sesuai dengan pendapat Karli, Hilda dan Margaretha S.Y. (2002:70) bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat melatih siswa untuk mendengarkan pendapat-pendapat orang lain dan merangkum pendapat teman-teman dalam satu kelompoknya.
III. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pengolahan dan analisis data serta pengujian hipotesis maka diperoleh kesimpulan, hasil belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan dengan yang pembelajarannya menggunakan tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD.
Saran Berdasarkan simpulan di atas, terdapat beberapa saran sebagai berikut: Kepada kepala sekolah diharapkan dapat memfasilitasi diterapkannya berbagai model pembelajaran seperti kooperatif tipe Jigsaw dan tipe Student Teams Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
206
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Achievement Divisions (STAD), sehingga guru matematika mempunyai pilihan dalam mengajarkan suatu materi. Sebaiknya guru matematika mencoba menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dalam pembelajaran matematika. Kepada peneliti selanjutnya diharapkan meneliti pada materi yang lain dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Bumi Aksara. Budiningsih, (2005). Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Rineka Cipta. Depdiknas. (2005). Teori Belajar. Jakarta: Depdiknas. Ibrahim, Muslimin et.al. (2000). Pembelajaran Kooperatif, Surabaya : University Press. Karli, Hilda dan Margaretha S.Y. (2002). Model-Model Pembelajaran, Bandung : Bina Media Informasi. Lie, Anita. (2005). Cooperative Learning. Jakarta: Gramedia Widiasarana Informatika Margono, S. (2005). Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta. Nurgana, Endi. (1993). Statistika Penelitian, Bandung : C.V. Permadi. Ruseffendi. E. T. (2001). Pengantar Kepada Membantu Guru mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA, Bandung : Tarsito. Ruseffendi. E. T. (1994). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya , Semarang : IKIP Semarang. Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning. Allyn dan Bacon. Needham Heights, Massachsetts. Sudjana. (1996). Metode Statistika, Bandung : Tarsito. Suherman, Eman. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika, Bandung : UPI. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
207
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Suherman, Eman. (2004). Model-Model Pembelajaran, Bandung : Tidak di Publikasikan. Sukmadinata, Nana Syaodih. (2003). Landasan Psikologi Pendidikan, Bandung : Remaja Rosda Karya. Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung : JICA.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
208
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-11 BERFIKIR KREATIF DALAM KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA Akhmad Jazuli Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Dalam makalah ini akan dibahas kemampuan komunikasi matematika yang dikaitkan dengan kemampuan berfikir kreatif. Kemampuan komunikasi matematika meliputi kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui tulisan, kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui bahasa, dan kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui gambar, grafik sera bentuk visual lain. Sedangkan berfikir kreatif secara kognitif pada umumnya memenuhi empat ciri yaitu : fluency, flexibility, originality dan elaboration. Hasil pembahasan, diperoleh bentuk definisi operasional kemampuan komunikasi matematika yang fluency, flexibility, originality dan elaboration. kata kunci : berfikir kreatif, komunikasi matematika.
1. PENDAHULUAN Permasalahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita adalah rendahnya kualitas dalam proses berfikir matematika. Hal ini ditunjukkan pada rendahnya penalaran dan kemampuan dalam memecahkan masalah. Menurut NCTM (2000) proses berfikir matematika dalam pembelajaran matematika meliputi lima kompetensi standar yang utama yaitu kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, kemampuan koneksi, kemampuan komunikasi dan kemampuan representasi. Rendahnya kemampuan ini akan berakibat pada rendahnya kualitas sumber daya manusia, yang ditunjukkan dalam rendahnya kemampuan berfikir kritis dan kreatif. Sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan tersebut. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tahun 2006 merekomendasikan bahwa dalam pembelajaran perlu diciptakan suasana aktif, kritis, analisis, dan kreatif dalam pemecahan masalah. Oleh karena itu perlu dikaji secara teoritis tentang keterkaitan kemampuan berfikir kreatif terhadap kemampuan matematika, khususnya kemampuan komunikasi matematika.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
209
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Tujuan kajian ini adalah untuk merumuskan definisi operasional dalam pembelajaran pada aspek kemampuan komunikasi matematika siswa ditinjau dari berfikir kreatif. Adapun manfaatnya adalah untuk memberikan alternatif kepada para guru/pengajar dalam menjabarkan tujuan pembelajaran yang dapat mengungkap berfikir kreatif pada kemampuan komunikasi matematika.
2. PEMBAHASAN a. BERFIKIR KREATIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Dalam pembelajaran matematika, siswa sering dihadapkan pada suatu masalah yang rumit atau masalah yang tidak rutin. Oleh karena itu berfikir kreatif dalam pembelajaran matematika itu sangat dibutuhkan.
Berfikir kreatif
berhubungan erat dengan berfikir kritis. Keduanya merupakan kemampuan manusia yang sangat mendasar,
yang dapat mendorong seseorang untuk
senantiasa memandang setiap masalah secara kritis serta mencoba untuk menyelesaikannya secara kreatif. Perlu dibahas keterkaitan antara kreativitas dan berfikir kreatif. Menurut Harris (2004), pengertian kreativitas meliputi
beberapa aspek, yaitu dapat
diartikan sebagai : •
suatu kecakapan. bahwa kreativitas adalah kecakapan untuk menghayal atau banyak akal untuk sesuatu yang baru. Kreativitas bukan kecakapan untuk menghasilkan sesuatu yang tidak ada (hanya tuhan yang dapat melakukannya), tetapi kecakapan
untuk membentuk ide baru dengan mengkombinasi,
mengubah, atau menerapkan kembali ide-ide yang ada. Suatu ide-ide yang kreatif adalah menakjubkan dan brilian, •
suatu sikap. bahwa kreativitas adalah sikap untuk menerima perubahan dan kebaruan. Keinginan untuk bermain dengan ide dan kemungkinan, fleksibilitas keluar, kebiasaan menyenangi yang bagus, ketika mencari jalan/cara untuk mengembangkannya. Sebagai contoh coklat yang dibungkus strobery, bagi orang yang kreatif, ingin merealisasikan bahwa ada kemungkinan-kemungkinan yang lain. seperti kacang dibungkus mentega.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
210
PROSIDING
•
ISBN : 978-979-16353-3-2
Suatu proses. bahwa orang yang kreatif adalah orang bekerja keras dan kontinu untuk mengembangkan ide dan penyelesaian dengan membuat peningkatan dan perbaikan secara perlahan-lahan untuk kerjanya. Selanjutnya
Harris (2004) mengemukakan beberapa metode yang telah
diidentifikasi untuk memproduksi hasil-hasil kreatif. Ada lima macam metode yang lazim, yaitu : •
Evaluasi, adalah metode untuk peningkatan pengembangan. Ide-ide baru menjadi batang dari ide-ide yang lain; penyelesaian baru menjadi batang dari penyelesaian sebelumnya. Penyelesaian baru lebih tajam dikembangkan atas penyelesaian yang sebelumnya.
•
Sintesis, adalah metode untuk mengkombinasikan dua atau lebih ide yang ada menjadi ide baru. Tentunya ide yang baru tersebut lebih ungggul dari ide-ide awal yang dikombinasikan..
•
Revolusi, adalah metode untuk melakukan perubahan. Kadang-kadang ide brilian muncul dan menjadi sebuah ide yang benar-benar berbeda. Perubahan yang nyata dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya.
•
Penerapan kembali, adalah metode menggali kembali sesuatu yang sudah ada, menjadi sesuatu yang sesuai dengan kondisi yang sekarang. Melihat pada sesuatu yang kuno dalam era yang baru. Muncul prasangka, harapan dan asumsi dan mendapati bagaimana sesuatu dapat diterapkan kembali. Kuncinya adalah untuk melihat di luar masa lalu atau aplikasi yang ditetapkan untuk beberapa ide, solusi, atau sesuatu dan untuk melihat bagaimana aplikasi yang lain mungkin.
•
Mengubah arah, banyak kreatif terjadi bila perhatian dinaikan dari satu sudut masalah ke yang lain. Ini sering disebut insight kreatif (kreatif sadar) Menurut Supriadi (1994) tak ada definisi kreativitas yang dapat mewakili
pemahaman yang beragam tentang kreativitas. Hal ini disebabkan oleh dua alasan yaitu : (1) kreativitas merupakan ranah psikologis yang kompleks dan multidimensional yang mengundang berbagai penafsiran yang beragam, (2) definisi
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
211
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
kreativitas memberikan tekanan yang beragam tergantung dasar teori yang mendasarinya. Menurut Munandar (2002), Kreativitas dapat dipandang sebagai produk dari hasil pemikiran atau prilaku manusia dan sebagai proses pemikiran berbagai gagasan dalam menghadapi suatu persoalan atau masalah. Kreativitas juga dapat dipandang sebagai proses bermain dengan gagasan-gagasan atau unsur-unsur dalam fikiran, sehingga merupakan suatu kegiatan yang penuh tantangan bagi siswa yang kreatif. Menurut Costa (2001) Kreativitas dan berfikir kreatif keduanya secara konsep terkait tetapi tidak identik. Kreativitas merupakan payung gagasan yang di dalamnya ada berfikir kreatif. Menurut De Potter (dalam Supriadi, 1994) terdapat 4 langkah penting dalam berfikir kreatif yaitu : (1) tidak selalu mudah puas dan tidak selalu mau menerima apa adanya. (2) tidak terpaku pada satu cara (3) selalu ingin mempertajam rasa ingin tahu (4) selalu melakukan pelatihan otak.
b. CIRI-CIRI BERFIKIR KREATIF Menurut Guilford (dalam Hudgins, 1983) tentang kreativitas berkaitan dengan berfikir divergen yang faktor utamanya adalah fluency, flexibility, dan elaboration. Torrance (dalam Hudgins,1983) menambahkan faktor originality sebagai konsep yang fundamental dalam berfikir divergen. Menurut Evans (1991) komponen berfikir divergen terdiri atas problem sensitivity, fluency, flexibility, dan originality dengan penjelasan sebagai berikut : (1) problem sensitivity (kepekaan masalah) adalah kemampuan mengenal adanya suatu masalah atau mengabaikan fakta yang kurang sesuai untuk mengenal masalah yang sebenarnya. (2) fluency (kelancaran) adalah kemampuan membangun banyak ide. Semakin banyak ide yang didapat berpeluang untuk mendapatkan ide yang bagus. (3) flexibility (keluwesan) adalah kemampuan membangun ide yang beragam, yaitu kemampuan untuk mencoba berbagai pendekatan dalam memecahkan masalah.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
212
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
(4) originality (keaslian) adalah kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang luar biasa yang tidak umum. Menurut Munandar (2002) kreativitas seseorang tidak muncul begitu saja, tapi perlu ada pemicu. Kratifitas adalah hasil dari proses interaksi antara individu dengan lingkungannya, yang berarti bahwa lingkungan dapat menunjang atau menghambat kreativitas seseorang.
Selanjutnya Munandar menjelaskan ciri-ciri ketrampilan
berfikir kreatif adalah sebagai berikut : (1) ketrampilan berfikir lancar (fluency) (2) ketrampilan berfikir luwes (flexibility) (3) ketrampilan berfikir orsinil (originality) (4) ketrampilan berfikir rinci (elaboration) Ervynck (2002) memberikan definisi tentatif tentang kreativitas matematika. Dikatakan bahwa kreativitas matematika adalah kemampuan untuk memecahkan masalah dan atau mengembangkan struktur berfikir, melakukan perhitungan yang aneh dari disiplin logika deduktif, dan kemampuan membangun konsep yang terintegrasi ke dalam inti yang penting dalam matematika. Menurut William (dalam Killen,1998) menyatakan bahwa ada 8
prilaku
siswa terkait dengan kreativitas atau berfikir tingkat tinggi. (1) fluency
: kemampuan untuk menghasilkan sejumlah besar ide, produk dan respon
(2) flexibility
: kemampuan untuk memperoleh pendekatan yang berbeda, membangun berbagai ide, mengambil jalan memutar dalam jalan pikirannya, dan mengadopsi situasi baru.
(3) originality
: kemampuan untuk membangun ide, yang tidak biasa, ide cerdas yang mengubah cara dari yang nyata.
(4) elaboration
: kemapuan untuk memotong, mengembangkan atau membubuhi ide atau produk.
(5) risk taking
: mempunyai keberanian untuk menyatakan sendiri kesalahan atau
kritikan, tebakan dan
mempertahankan ide sendiri Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
213
PROSIDING
(6) complexity
ISBN : 978-979-16353-3-2
: mencari berbagai alternatif, membawa keluar dari kekacauan, dan menyelidiki ke dalam masalah atau ide yang rumit.
(7) curiosity
: keinginan untuk tahu dan kagum, bermain dengan suatu ide, membuka situasi teka teki dan mempertimbangkan sesuatu yang misteri
(8) imaginaton
: mempunyai kekuatan untuk visualisasi dan membangun mental image dan meraih di luar lingkungan nyata.
Menurut Costa (2001) Berfikir kreatif meliputi cognitive skill (kecakapan kognisi), metacognitive skill (kecakapan metakognisi) dan afective skill (kecakapan sikap). Kecakapan-kecakapan ini dapat diterapkan dalam kehidupan di semua bidang. Berfikir kreatif masuk dalam domain kreativitas dan merefleksikan sifat beraneka ragam gagasan yang lebih luas. Selanjutnya Costa menjabarkan kecakapan kognisi dan kecakapan sikap yang lebih detil. Kecakapan kognisi dalam berfikir kreatif meliputi : (1) mengidentifikasi masalah dan peluang (2) mengajukan pertanyaan yang lebih baik dan berbeda (3) menilai relevan dari data yang tidak relevan (4) memisahkan masalah produktif dan peluang (5) mengutamakan persaingan pilihan dan informasi (6) menaikan diantara ide produksi [fluency] (7) menaikan produksi kategori yang berbeda dan macam-macam ide [flexibility] (8) menaikan produksi ide baru atau ide yang berbeda [originality] (9) melihat hubungan diantara pilihan (option) dan pengganti (alternatif). (10) menghentikan pola fikir lama dan kebiasaan
(11) membuat koneksi baru (12) merinci, mengembangkan
atau menyaring ide, situasi atau rencana [elaboration] (13) melihat dengan cermat kriteria (14) mengevaluasi pilihan. Dari beberapa pendapat para pakar tentang berfikir kreatif, ada beberapa ciri umum secara kognisi yang dapat didefinisikan sebagai berikut : (1) fluency
: dapat lancar memberikan banyak ide untuk menyelesaikan suatu masalah (termasuk banyak dalam memberikan contoh).
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
214
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
(2) flexibility
: dapat memunculkan ide baru (untuk mencoba dengan cara lain) dalam menyelesaikan masalah yang sama.
(3) originality
: dapat menghasilkan ide yang luar biasa untuk menyelesaikan suatu masalah. (dapat menjawab menurut caranya sendiri)
(4) elaboration
: dapat mengembangkan ide dari ide yang telah ada atau merinci masalah menjadi masalah yang lebih sederhana.
c. KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA Dalam NCTM (2000) direkomendasikan lima kompetensi standar yang utama dalam pembelajaran matematika yaitu kemampuan Pemecahan Masalah (Problem Solving), kemampuan Komunikasi (Communication), kemampuan Koneksi (Connection), kemampuan Penalaran (Reasoning), dan kemampuan Representasi (Representation). Dalam pembahasan ini hanya akan dibahas tentang kemampuan komunikasi matematika saja. Komunikasi matematika adalah kemampuan siswa dalam hal menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafis, katakata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri. (NCTM, 1991). Kusumah Y.S.(2008), menyatakan bahwa komunikasi merupakan bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Melalui komunikasi ide matematika dapat dieksploitasi dalam berbagai perspektif; cara berfikir siswa dapat dipertajam; pertumbuhan pemahaman dapat diukur; pemikiran siswa dapat dikonsolidasikan dan diorganisir; pengetahuan matematika dan pengembangan masalah siswa dapat ditingkatkan; dan komunikasi matematika dapat dibentuk. Tingkat
kemampuan
komunikasi
matematika
beragam,
sesuai
dengan
tingkat/jenjang dalam pendidikannya. Menurut NCSM (1988) matematika sebagai komunikasi adalah siswa akan belajar bahasa dan notasi matematika. Untuk contoh mereka akan memahami Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
215
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
nilai tempat dan notasi sain.
Mereka akan belajar untuk menerima ide
matematika melalui mendengar, membaca dan melihat. Mereka akan dapat menyajikan ide matematika dengan berbicara, menulis, menggambar dan grafik, dan mendemonstrasikan dengan
model-model konkrit. Mereka akan dapat
mendiskusikan matematika dan menyampaikan pertanyaan tentang matematika. Menurut NCTM (1989) komunikasi matematika lebih ditekankan pada kemampuan siswa dalam hal : (1) Membaca dan menulis matematika dan menafsirkan makna dan ide dari tulisan itu. (2) Mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang ide matematika dan hubungannya. (3) Merumuskan definisi matematika dan membuat generalisasi yang ditemui melalui investigasi. (4) Menuliskan sajian matematika dengan pengertian. (5) Menggunakan kosa kata/ bahasa, notasi struktur secara matematika untuk menyajikan ide menggambarkan hubungan dan pembuatan model. (6) Memahami, menafsirkan, dan menilai ide yang disajikan secara lisan, dalam tulisan atau dalam bentuk visual.(7) Mengamati dan membuat konjektur, merumuskan pertanyaan, mengumpulkan dan menilai informasi. (8) Menghasilkan dan menyajikan argumentasi yang meyakinkan. Menurut tim MKPBM (2001) mengatakan bahwa untuk memungkinkan terjadinya komunikasi yang lebih bersifat multiarah dapat diterapkan model pembelajaran diskusi kelompok kecil atau yang lebih dikenal dengan istilah small group discussion. Menurut Kramarski (2002) mengatakan bahwa untuk mempertinggi kemampuan mengkomunikasikan penalaran matematika secara alami adalah dengan memberi kesempatan belajar kepada siswa dalam kelompok kecil dimana mereka dapat berinteraksi. Baroody
(1993)
menjelaskan
bahwa
komunikasi
perlu
ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran matematika di kalangan siswa, tidak hanya sekedar alat bantu berfikir, alat bantu menemukan pola, alat bantu dalam menyelesaikan masalah atau menarik kesimpulan, tetapi komunikasi juga berperan dalam aktifitas sosial, sebagai wahana interaksi antar siswa, dan interaksi antar guru dan siswa. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
216
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematika adalah kemampuan untuk menyatakan suatu ide matematika melalui tulisan, bahasa, gambar, grafik dan bentuk-bentuk visual lainnya. Sehingga mampu memberikan suatu argumentasi untuk pemecahan suatu masalah.
d. KAITAN BERFIKIR KREATIF DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA Dalam pembahasan ini akan dikaitkan beberapa indikator berfikir kreatif yang termasuk dalam kecakapan kognitif (flunency, flexibility, originality, dan elaboration)
terhadap jenis kemampuan
matematika
yaitu kemampuan
komunikasi matematika untuk dilihat keterkaitan dan kontribusi berfikir kreatif terhadap kemampuan matematika tersebut. Kemampuan berfikir kreatif yang meliputi indikator-indikator tersebut secara teoritik dapat dikaitkan dengan kemampuan komunikasi. Dengan berfikir kreatif, siswa peka dan luwes dalam melihat berbagai keterkaitan untuk menyatakan sesuatu. Hal ini dapat mendukung kemampuan untuk melakukan komunikasi, yaitu kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui tulisan, bahasa, dan berbagai bentuk visual seperti gambar dan grafik. Oleh karena itu untuk merumuskan definisi operasional dalam mencapai kemampuan komunikasi matematika yang berkaitan dengan berfikir kreatif dapat digambarkan sebagai berikut :
kemampuan
Berfikir kreatif
Komunikasi matematika
indikator
fluency
flexibility
originality
elaboration
Tulisan Bahasa Bentuk visual
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
217
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
(1) komunikasi yang fluency, yaitu dapat menyatakan suatu ide matematika dengan memberikan contoh-contoh yang banyak yang meliputi: •
memberikan contoh komunikasi yang banyak dalam bentuk tulisan.
•
memberikan contoh komunikasi yang banyak dalam bentuk bahasa
•
memberikan contoh komunikasi yang banyak dalam bentuk visual seperti gambar dan grafik.
(2)
komunikasi yang flexibility, yaitu dapat menyatakan suatu ide matematika dengan berbagai cara yang meliputi: •
memberikan komunikasi dalam bentuk tulisan dengan berbagai cara.
•
memberikan komunikasi dalam bentuk bahasa dengan berbagai cara
•
memberikan komunikasi dalam bentuk visual seperti gambar dan grafik dengan berbagai cara
(3)
komunikasi yang originality, yaitu dapat menyatakan suatu ide matematika dengan caranya sendiri yang meliputi: •
memberikan komunikasi dalam bentuk tulisan.dengan caranya sendiri.
•
memberikan komunikasi dalam bentuk bahasa dengan caranya sendiri
•
memberikan komunikasi dalam bentuk visual seperti gambar dan grafik dengan caranya sendiri.
(4)
komunikasi yang elaboration, yaitu dapat merinci komunikasi dengan detil yang meliputi: •
merinci komunikasi dalam bentuk tulisan secara detil
•
merinci komunikasi dalam bentuk bahasa secara detil
•
merinci komunikasi dalam bentuk visual secara detil.
e. KESIMPULAN 1) Kemampuan berfikir kreatif ranah kognisi secara umum meliputi : a) fluency b) flexibility c) originality Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
218
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
d) elaboration 2) Kemampuan komunikasi matematika meliputi : a) kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui tulisan. b) kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui bahasa. c)
kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui gambar, grafik dan bentuk visual lain.
3) Definisi operasional kemampuan komunikasi matematika pada tingkat berfikir kreatif dibangun berdasarkan : a) kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui tulisan secara fluency, flexibility, oroginality dan elaboration. b) kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui bahasa secara fluency, flexibility, oroginality dan elaboration. c)
kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui gambar, grafik dan bentuk visual lain secara
fluency, flexibility, oroginality dan
elaboration.
DAFTAR PUSTAKA Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning and CommunicationK-8 Helping Children Think Mathematically. New York: Macmillan Publishing Company. BSNP (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Dirjen Dikdasmen. Costa, A.L. (2001). Developing Mind A Resource book for Teaching Thinking. Virginia USA :ASCD. Ervynck, G.(2002), Mathematical Creativity (dalam David Tall, Advance Mathematical Thinking), New York : Kluwer Academic Publisher. Harries, T. & Barmby, P. (2006). Representing Multiplication. Proceeding of the British Society for Research into Learning Mathematics. 26(3), 25 – 30. Hudgins, B.B. dkk.(1983). Educational Psychology. USA : F.E. Peacock Inc. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
Publishers,
219
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Killen, R. (1998), Effective Teaching Strategies, Australia : social science press. Kusumah,Y.S. (2008), Konsep, Pengembangan, dan Implementasi Computer Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking (Pidato Pengukuhan Jabatan Profesor, 23 Oktober 2008), Bandung : UPI Munandar, S.C.U.(2002). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : PT Rineka Cipta. National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. National Council of Teachers of Mathematics. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. National Council of Teachers of Mathematics. (1991). Professional for teaching Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. National Council of Supervisors of Mathematics. (1988). Component of essential Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Supriadi, D. (1994), Kreativitas Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung : Alfabeta. Tim MKPBM (2001). Strategi Pembelajaran matematika kontemporer. Bandung : UPI
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
220
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-12 PEMANFAATAN INTERNET DALAM MEMPERSIAPKAN GURU MENGAJAR DI KELAS RSBI Agustin Ernawati1) Sitti Maesuri Patahuddin2) Abstrak Internet adalah salah satu sumber belajar yang tidak terbatas. Para guru seharusnya dapat memanfaatkan internet tersebut dalam menfasilitasi siswa belajar. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), yang menuntut guru harus mampu memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), termasuk internet. Saat ini SD Lab Unesa memulai merintis satu kelas bertaraf internasional. Namun demikian, pada umumnya guru-guru SD Lab Unesa belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk mengajar menggunakan teknologi internet dan mengajar menggunakan bahasa Inggris. Oleh karena itu, kegiatan pengabdian masyarakat dengan pendekatan design research (DR) ini dimaksudkan menfasilitasi guru memanfaatkan internet dalam belajar dan mengajar matematika, sekaligus untuk membangun kemampuan bahasa Inggris mereka. Makalah ini menyajikan sebagian dari kegiatan tersebut, yaitu mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran matematika para guru SD Lab Unesa yang memanfaatkan website-website matematika berbahasa Inggris. Kata kunci: internet, RSBI. PENDAHULUAN Sekolah Dasar Laboratorium (SD Lab) Unesa, tempat kami melakukan kegiatan pengabdian masyarakat, adalah sekolah yang berlokasi di dalam Kampus Unesa Ketintang dan pengelolaannya di bawah naungan Yayasan Dharma Wanita Unesa. Awal tahun ajaran 2009/2010, sekolah tersebut sedang merintis terbentuknya kelas RSBI 1 2
Agustin Ernawati adalah anggota Institute for Educational Development (IFED), Surabaya. Sitti Maesuri Patahuddin adalah dosen Jurusan Matematika FMIPA Unesa dan ketua (IFED), Surabaya.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
221
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
(Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Untuk tahap awal direncanakan hanya satu kelas dari Kelas 1 dan 2. Dengan adanya rencana tersebut, tantangan bagi guru yang akan mengajar di Kelas RSBI adalah penguasaan kemampuan berbahasa Inggris di samping penguasaan materi ajar. Selain itu, guru juga diharapkan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), termasuk internet, ke dalam pembelajaran di kelas. Hal ini sesuai dengan salah satu kompetensi pedagogi yang harus dimiliki oleh para guru (Departemen Pendidikan Nasional, 2007). Pada kenyataannya, guru-guru SD Lab Unesa belum dibekali pengetahuan tentang pembelajaran matematika menggunakan bahasa Inggris serta pemanfaatan internet sebagai sumber belajar. Hal ini tidak sejalan dengan kenyataan bahwa fasilitas internet di sekolah tersebut telah tersedia meskipun masih terbatas. Internet sebagai sumber belajar yang tidak terbatas menyediakan berbagai aplikasi yang memungkinkan adanya interaksi dengan pengguna internet lain baik secara interpersonal maupun massal. Banyak studi yang telah mengevaluasi sumbersumber pembelajaran matematika yang tersedia melalui internet yang bisa digunakan dalam pembelajaran (Dengate, 2001; Engelbrecht, 2005; Herrera, 2001; Moyer, 2002). Hal ini sejalan dengan tujuan penggunaan internet dalam pembelajaran matematika yaitu untuk mencari objek ajar matematika, sebagai alat belajar siswa {Gibson, 2004; Patahuddin, 2008; Patahuddin & Dole, 2006 ) dan untuk menunjang kemampuan dan pengetahuan siswa tentang teknologi (Patahuddin, 2008; Patahuddin & Dole, 2006. Di samping itu, pembelajaran dengan menggunakan internet dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, meningkatkan keinginan untuk mengambil resiko (take risk) dan kemauan bereksperimen atau mengeksplorasi beberapa cara yang berbeda dalam menyeesaikan masalah matematika (Moor, 2000 ). Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dikembangkan pertemuanpertemuan rutin untuk membantu mempersiapkan guru, khususnya guru kelas rendah, dalam mengajar di kelas RSBI. Dalam proses ini, peneliti memanfaatkan internet sekaligus memfasilitasi guru belajar menggunakan internet dengan website-website berbahasa Inggris. Penggunaan website-website berbahasa Inggris ini dimaksudkan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
222
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
untuk membantu guru dalam meningkatkan pemahaman mereka tentang bahasa Inggris, khususnya tentang mengajarkan konsep matematika menggunakan bahasa Inggris. Makalah
ini
menyajikan
secara
singkat
karakteristik
dari
program
pengembangan profesionalisme guru di SD Lab Unesa serta pemanfaatan internet dalam mempersiapkan guru mengajar di Kelas RSBI.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Design Research (DR). Tiga fase yang dilaksanakan dalam penelitian ini meliputi; (1) perencanaan/perancangan, yaitu mempersiapkan eksperimen dalam hal ini workshop atau pertemuan rutin. Perencanaan meliputi menetapkan tujuan pada pertemuan rutin, menyiapkan materi serta segala sesuatu yang dibutuhkan selama pelaksanaan eksperimen. (2) eksperimen, yaitu melaksanakan pertemuan rutin sesuai dengan yang telah direncanakan, yang dilanjutkan dengan refleksi antarfasilitator. Refleksi ini dilakukan untuk mengevaluasi pelaksanaan pertemuan yang menghasilkan data berupa catatan lapangan selama pertemuan. (3) analisis restrospektif, yaitu menjadikan hasil analisis data sebagai bahan laporan kegiatan untuk selanjutnya dijadikan salah satu dasar dalam merencanakan pertemuan selanjutnya. Keikutsertaan guru-guru kelas rendah SD Lab Unesa dalam kegiatan ini merupakan sebuah kesadaran dalam diri guru yang berkeinginan untuk belajar memanfaatkan internet dalam mengajarkan matematika. Guru-guru tersebut terdiri atas, tiga guru kelas 1, tiga guru kelas 2, dua guru kelas 3 serta 2 guru cadangan. Penelitian yang telah berjalan dua bulan ini dilaksanakan seminggu sekali, yaitu tiap hari Jum’at atau Sabtu (kondisional), hal ini disesuaikan dengan aktivitas fasilitator (dalam hal ini peneliti) serta guru (dalam hal ini guru-guru SD Lab Unesa). Sedangkan lokasi penelitian dilaksanakan di lingkungan SD Lab Unesa dengan ruang pertemuan yang belum pasti (terkadang di ruang multimedia, ruang guru, ruang kelas, maupun ruang lab komputer) karena pelaksanaannya menyesuaikan dengan kondisi sekolah.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
223
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui catatan lapangan (fieldnotes), video, foto, serta informal interview. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif, bersifat ongoing (terus-menerus), coding, merumuskan hipotesis serta membuat kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bagian ini menyajikan secara singkat karakteristik, pemanfaatan internet serta respon guru selama program pengembangan dalam mempersiapkan guru mengajar di kelas RSBI. 1. Karakteristik Program Pengembangan Guru di SD Lab Unesa Karakteristik dari workshop/kegiatan ini adalah mempertimbangkan peran dari peserta. Hal ini berarti, setiap masukan, ide maupun harapan guru selalu menjadi pertimbangan utama bagi fasilitator. Hal ini tampak sejak awal pertemuan, yaitu ketika brainstroming (curah pendapat) pada pertemuan perkenalan awal antara fasilitator dan guru. Melalui kegiatan tersebut, diperoleh informasi tentang kebutuhan guru untuk belajar lebih banyak bahasa Inggris, khususnya dalam mengajarkan matematika menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, guru menghendaki agar materi yang dibahas pada pertemuan rutin disesuaikan dengan materi yang sedang atau akan dipelajari di kelas. Dengan pertimbangan tersebut, maka topik yang dibahas pada pertemuan selanjutnya adalah waktu (time). Selain pertimbangan tersebut, permasalahan pembelajaran di kelas juga menjadi salah satu pertimbangan dalam mengambil topik diskusi antarguru. Hal ini terjadi ketika fasilitator bersama guru melakukan reviu terhadap kurikulum SD/MI khususnya untuk kelas rendah. Hasil diskusi antarguru setelah melakukan reviu kurikulum menunjukkan bahwa materi tentang waktu yang perlu dikuasai anak adalah mengingat urutan hari dan membaca jam menggunakan kosakata bahasa Inggris serta menentukan letak jarum jam. Selain temuan tersebut, kesulitan yang sering dijumpai guru dalam mengajarkan waktu adalah kesulitan anak, khususnya siswa kelas satu, dalam berpikir balik (irreversible) tentang urutan hari. Selain itu, anak mengalami kesulitan dalam belajar membaca jam yang melibatkan 15, 30 Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
224
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
maupun 45 menit menggunakan kosakata bahasa Inggris. Penggunaan “to” dan “past”, juga merupakan salah satu kesulitan yang diungkapkan guru. Hal ini dikarenakan, dari sisi guru itu sendiri, guru belum dibekali oleh pengetahuan tentang pembelajaran waktu menggunakan bahasa Inggris
sebelumnya.
Sedangkan tuntutan sekolah, guru kelas RSBI harus mampu menguasai kemampuan dalam mengajarkan matematika juga kemampuan dalam berbahasa Inggris. Selain pertimbangan dalam mengambil topik diskusi, informasi di atas merupakan suatu masukan bagi fasilitator untuk mengetahui kemampuan matematika atau kompetensi pedagogi yang saat ini dimiliki guru. Karakteristik lain dalam workshop ini adalah menekankan pada peningkatan kemampuan berbahasa Inggris guru, khususnya yang yang digunakan dalam percakapan pembelajaran dan yang berhubungan dengan topik matematika (mathematical vocabularies). Untuk memfasilitasi guru dalam membangun pengetahuan bahasa Inggris, khususnya yang berhubungan dengan topik waktu (time), peneliti memberikan aktivitas berpasangan untuk menyelesaikan crossword puzzle (teka-teki). Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa guru mengalami kesulitan dalam mengeja penulisan. Selain itu, beberapa guru merasa kebingungan dalam mengingat urutan hari, sebagai contoh, Selasa itu Tuesday atau Thursday, Senin itu Sunday atau Monday. Selain kesulitan tersebut, guru mengungkapkan bahwa, melalui kegiatan ini mereka menemukan kosakata baru dalam bahasa Inggris tentang waktu, diantaranya, leap year/ tahun kabisat, century/ abad, decade/ dekade dan beberapa kosakata yang lain. 2. Pemanfaatan Internet Penugasan menggunakan crossword puzzle merupakan salah satu bentuk pemanfaatan internet dalam workshop ini. Hal ini dikarenakan lembar tugas crossword puzzle tersebut dibuat menggunakan fasilitas yang disediakan oleh http://puzzle-maker.com/. Berikut ini contoh lembar crossword puzzle yang dimaksud.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
225
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Gambar 1 Contoh crossword puzzle
Pemanfaatan lain dilakukan fasilitator dalam mengatasi salah satu kesulitan yang dihadapi guru dalam mengajarkan cara membaca jam menggunakan bahasa Inggris. Dengan menggunakan salah satu website
yang menyediakan sebuah
aplikasi media belajar yang bernama ‘Analog and Digital Clocks Animation’, fasilitator menunjukkan salah satu peran internet dalam pembelajaran. Berikut ini tampilan dari media tersebut.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
226
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Analog clock
Digital clock
Time in words Gambar 2 Contoh Aplikasi Media Belajar dari sebuah website
Untuk
lebih
jelas
dapat
dilihat
pada
http://www.mathisfun.com/measure/index.html. Sedangkan untuk mengatasi kesulitan siswa dalam menggunakan kata ’to’ dan ‘past’ ketika membaca jam dapat dijelaskan dengan menggunakan bagan sederhana seperti berikut. to
past
7 Gambar 3 Bagan Waktu Sederhana
Berdasarkan hasil diskusi pada pertemuan sebelumnya tentang kesulitan guru dalam mengajarkan cara membaca jam, fasilitator menetapkan untuk memantapkan cara guru membaca jam dalam bahasa Inggris. Hal yang dilakukan adalah memberikan sebuah LKS tentang waktu. LKS tersebut meminta guru untuk menuliskan waktu dalam kata-kata serta menggambarkan letak jarum jam sesuai Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
227
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dengan gambar yang diberikan. LKS yang diberikan merupakan hasil pemanfaatan salah satu website yang menyediakan kemudahan bagi pengguna untuk membuat LKS
sesuai
kriteria
yang
tersedia.
Website
tersebut
adalah
http://themathworksheetsite.com/telling_time.html. Untuk lebih memantapkan guru tentang peran internet dalam membantu guru mengajar matematika, fasilitator menyajikan secara singkat tentang tinjauan beberapa website yang telah dreviu sebelumnya oleh fasilitator. Salah satu website yang disajikan adalah http://www.mathsisfun.com/ yang menyediakan ulasan materi secara singkat, permainan dan LKS sebagai latihan. Topik matematika yang dibahas antara lain numbers (bilangan), geometry (geometri), algebra (aljabar), measurement (pengukuran), dan beberapa topik lain. Website lain yang disajikan adalah
http://www.homeschoolmath.net/worksheets/grade_2.php
yang
menyediakan free math worksheet sehingga kita bisa membuat LKS mandiri. Website http://www.mathfactcafe.com/time/timemoney.aspx, http://math.about.com/od/tellingtimeworksheets/ss/Timehalf-hr.htm, dan http://www.superteacherworksheets.com/index.html
merupakan
beberapa
contoh website yang menyediakan beberapa LKS yang dapat diunduh guru maupun dapat dibuat sendiri. Dalam penyajian ini, diinformasikan kepada guru bahwa tekateki, LKS dan kajian tentang internet tersebut dibuat dengan memanfaatkan internet. Informasi tersebut mendorong keinginan guru untuk langsung berinteraksi dengan internet pada pertemuan selanjutnya. Hal ini mendorong fasilitator
untuk
merancang
pertemuan
yang
melibatkan
guru
dalam
mengeksplorasi internet. Sebagai tindak lanjut dari rancangan pertemuan tersebut, fasilitator menyiapkan sebuah blog sebagai media belajar bagi guru. Blog tersebut adalah http://ict-sdlab.blogspot.com/. Dalam blog ini fasilitator menyajikan posting yang ditujukan sebagai panduan bagi guru dalam mengeksplorasi website pembelajaran matematika. Berikut ini potongan halaman blog tersebut.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
228
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Gambar 3 Potongan halaman blog
Dengan menggunakan fasilitas dua unit komputer yang terkoneksi dengan internet, guru antusias dalam mengeksplorasi website secara bergantian. Karena terbatasnya komputer yang terkoneksi tersebut, maka tiap komputer digunakan oleh empat hingga lima orang. Akan tetapi keterbatasan ini bukan merupakan halangan bagi guru untuk berinteraksi dengan internet. Melalui blog tersebut, guru diminta untuk melakukan eksplorasi terhadap beberapa website yang telah direkomendasikan oleh fasilitator. Selain melakukan eksplorasi website, guru diminta untuk memilih salah satu website yang paling mereka senangi. Selanjutnya masing-masing guru diminta untuk presentasi hasil eksplorasi dari website yang terpilih. Adapun daftar website yang dimaksud adalah sebagai berikut. Tabel 1 Daftar Website Pembelajaran Matematika No Website Uraian 1. http://puzzle-maker.com/ Melalui website ini guru dapat membuat crossword puzzle maupun word search puzzle. 2. http://www.mathsisfun.com/ Website ini berisi beberapa topik matematika diantaranya numbers (bilangan), geometry (geometri), algebra (aljabar), measurement Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
229
PROSIDING
No
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. 10
ISBN : 978-979-16353-3-2
Website
Uraian (pengukuran), dan beberapa topik lain. Topik tersebut berupa ulasan materi secara singkat, permainan dan LKS sebagai latihan serta linklink ke website-website lain yang terkait. http://www.homeschoolmath. Website ini menyediakan fasilitas free math net/worksheets/ worksheet sehingga bisa membuat LKS mandiri. http://www.kidport.com/Grad Website ini menyediakan activities atau e1/math/MathIndex.htm kegiatan interaktif yang melibatkan pengguna khususnya siswa untuk bermain sekaligus belajar. Aktivitas yang ditawarkan diklasifikasikan dalam beberapa topik. Selain activities, website ini juga menyediakan lesson atau contoh pembelajaran materi tertentu. http://math.about.com/od/w Website ini menyediakan berbagai LKS yang orkshee2/a/Grade1WS.htm dapat diunduh secara gratis oleh guru sesuai dengan topik dan kelasnya. http://www.ixl.com/math/pra Website ini menyediakan berbagai latihan ctice/ interaktif yang disesuaikan dengan topik dan kelasnya. Selain itu juga memberikan explanation atau penjelasan tambahan apabila siswa memasukkan jawaban yang salah. http://www.beenleigss.eq.edu Dengan sangat interaktif dan menarik, website .au/requested_sites/mathsby ini dikemas sebagai permainan yang dapat outcome/index.html membantu siswa dalam belajar matematika. Apabila guru menggunakan website ini untuk kelas tertentu, misalnya kelas rendah, sebaiknya guru memilih beberapa topik dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kurikulum. http://www.woodlandsSeperti pada beberapa website yang junior.kent.sch.uk/maths/mea interaktif, website ini juga menyajikan sures.htm" \l "Time berbagai kegiatan interaktif siswa yang dikemas dengan menarik, khususnya tentang time atau waktu. Topik yang lain juga tersedia dalm website ini, sepertinya number skills, data & probability, dan beberapa topik yang lain. http://www.mathfactcafe.co Website ini menyediakan aplikasi bagi guru m/time/default.aspx untuk membuat LKS tentang waktu yang dapat disesuaikan dengan keperluan dengan http://themathworksheetsite. memilih beberapa pilihan yang tersedia. com/telling_time.html
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
230
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
3. Respon Guru Selama kegiatan workshop, peneliti (fasilitator) sering melakukan pengamatan terhadap aktivitas guru baik ketika di dalam maupun di luar workshop. Selama mengikuti workshop, guru memberikan respon yang cukup positif. Hal ini tampak ketika guru melakukan persiapan, melalui tanya jawab, diperoleh informasi bahwa guru mengalami kesulitan ketika harus presentasi menggunakan bahasa Inggris. Akan tetapi, hal itu bukan merupakan hambatan, karena beberapa guru tidak segan latihan presentasi dengan menghadap tembok bahkan berbicara sendiri (private speech). Aktivitas seperti ini mengindikasikan bahwa guru memberikan respon positif terhadap kegiatan tersebut. Melalui wawancara informal di luar kegiatan tersebut, diperoleh informasi bahwa guru mengalami kesulitan dalam belajar bahasa Inggris. Selain itu, kurang dekatnya guru dengan TIK khususnya komputer dan internet juga merupakan kesulitan yang dijumpai guru, khususnya dalam mempersiapkan diri untuk mengajar di Kelas RSBI. Akan tetapi dengan fasilitas komputer yang terkoneksi internet, beberapa guru mengungkapkan bahwa mereka sering belajar mandiri di luar pertemuan rutin. Kemajuan terlihat ketika beberapa guru mulai mengenal situs pertemanan serta mahir dalam memainkan beberapa permainan (games) yang tersedia dalam website pembelajaran
matematika,
seperti
http://www.beenleigss.eq.edu.au/requested_sites/mathsbyoutcome/index.html. Hal lain yang tidak kalah penting adalah guru mengungkapkan bahwa blog yang telah disiapkan fasiliator sangat membantu dalam memanfaatkan internet untuk pembelajaran matematika. Bahkan guru-guru lain yang tidak tergabung dalam pertemuan rutin juga memanfaatkan blog tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
231
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pertemuan rutin yang dilakukan di SD Lab Unesa merupakan salah satu usaha memfasilitasi guru dalam mempersiapkan diri mengajar di kelas RSBI, khususnya melalui pemanfaataan internet yang telah tersedia di SD Lab Unesa. Karakteristik yang menonjol dari workshop ini adalah mempertimbangkan peran dari guru serta menekankan
pada
peningkatan
kemampuan
berbahasa
Inggris.
Sedangkan
pemanfaatan internet dalam workshop ini antara lain dalam membuat crossword puzzle, menyajikan animasi tentang cara membaca jam, pembuatan LKS mandiri, serta memfasilitasi guru belajar internet dengan membuatkan sebuah blog. Respon guru dalam workshop ini cukup positif, terutama setelah guru dilibatkan langsung dengan internet. Seiring perkembangannya, sangat dimungkinkan akan terjadi peningkatan layanan internet di lingkungan SD Lab Unesa. Melihat pentingnya pertemuan rutin seperti ini, maka perlu diperkuat komunitas belajar antarguru, salah satunya melalui kegiatan sharing website. Selain itu, untuk jangka panjang, pertemuan ini perlu dilanjutkan hingga guru mampu mengimplementasikan di kelas, khususnya pembelajaran matematika dengan memanfaatkan internet.
DAFTAR PUSTAKA Dengate, B. (2001, June). Pedagogical integrity and the Internet. Australian Mathematics Teacher, 57, 8-15. Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Retrieved. from http://www.depdiknas.go.id/produk_hukum/permen/permen_16_2007.pdf. Engelbrecht, J., & Harding, A. (2005). Teaching undergraduate mathematics on the Internet. Part1: Technologies and taxonomy. Educational Studies in Mathematics, 58(2), 235 - 252. Gibson, S., & Skaalid, B. (2004). Teacher professional development to promote constructivist uses of the Internet: A study of one graduate-level course. Journal of Technology and Teacher Education, 12(4), 577-592. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
232
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Herrera, T. A. (2001, March). A valid role for the Internet in the mathematics classroom. The Australian Mathematics Teacher, 51, 24-28. Moor, J., & Zazkis, R. (2000). Learning mathematics in a virtual classroom: Reflection on experiment. Journal of Computers in Mathematics and Science Teaching, 19(2), 89-113. Moyer, P. S., & Bolyard, J. J. (2002, March). Exploring representation in the middle grades: Investigations in geometry with virtual manipulatives. The Australian Mathematics Teacher, 58, 19-25. Patahuddin, S. M. (2008). Exploiting the Internet for teacher professional development and mathematics teaching and learning: An ethnographic intervention. Unpublished Dissertation, The University of Queensland, Brisbane. Patahuddin, S. M., & Dole, S. (2006). Using the Internet for mathematics teaching, learning and professional development in the primary school. In Dhindsa & Harkirat (Eds.), The Eleventh International Conference of the Sultan Hassanal Bolkiah Institute of Education (Vol. 1, pp. 230-240). Universiti Brunei Darussalam: Educational Technology Centre UBD.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
233
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-13 PENGGUNAAN PERMAINAN ONLINE DALAM BELAJAR MATEMATIKA Alfath Famela Rokhim3 Sitti Maesuri Patahuddin4 Abstrak Dunia anak adalah dunia bermain. Pertanyaan yang muncul: Dapatkah anak bermain sambil belajar? Perkembangan pesat teknologi internet serta harganya yang semakin terjangkau telah membuka kesempatan yang luas untuk belajar, termasuk belajar matematika dengan menyenangkan. Hal ini karena, tak terhingga banyaknya website-website permainan matematika yang tersedia melalui internet, baik untuk membangun mental math anak, maupun mengembangkan berfikir kritis mereka. Dalam makalah ini, disajikan beberapa contoh dan deskripsi singkat website permainan matematika serta pembahasan hasil ujicoba terbatas pada sekelompok siswa SD. A. Pendahuluan Internet mengalami perkembangan yang signifikan baik di dalam negeri dan luar negeri (Internetworldstats, 2009; Patahuddin, 2009). Salah satu wujud dari perkembangan ini adalah internet telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat meliputi banking, belanja online, e-learning, dan bahkan sarana bermain anak-anak. Ke (2007) mengadakan penulisan studi kasus permainan matematika. Penulisan ini mengenai penerapan latihan dan praktik permainan pada 15 siswa kelas 4 dan 5 di sekolah selama 5 minggu. Salah satu fokus penelitian ini menganalisis interaksi siswa dengan permainan komputer matematika dan permainan berbasis
3 4
Anggota IFED (Institut for Educational Development) Dosen Universitas Negeri Surabaya dan Ketua IFED
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
234
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
lingkungan, serta mengetahui jawaban dari apakah dengan bermain dapat memperbaiki hasil pembelajaran matematika siswa. Metode penelitian yang digunakan oleh Ke adalah kombinasi kualitatif dan kuantitatif. Peneliti tersebut memberikan pretest sebelum siswa mengikuti permainan matematika dengan komputer, dan setelah itu siswa diberi post test. Pretes dan post test digunakan untuk mengetahui keterampilan kognitif matematika, keterampilan metakognitif dan sikap siswa terhadap matematika secara kuantitatif. Sedangkan selama siswa dikenai perlakuan bermain komputer matematika, ia menggunakan beberapa metode seperti observasi lapangan, thinkaloud, dan analisis rekaman permainan yang dilakukan siswa. Dari data-data tersebut, Ke mengidentifikasi pola-pola yang unik yang
muncul pada siswa,
kemudian menggunakan cross-analisis kasus tematik untuk mengetahui persamaan dan perbedaan tanggapan seluruh partisipan dan dengan tujuan menemukan
tema
yang
berulang-ulang
dan
mengorganisasikan
dan
mengkategorisasikan data ke dalam analisis sistematis. Hasil kuantitatif menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang kredibel hubungan antara kemampuan kognitif matematika atau kemampuan metakognitif siswa dengan permainan komputer matematika. Namun ada bukti yang kredibel yang mendukung efek yang signifikan permainan komputer terhadap sikap belajar siswa. Hasil analisis kualitatif juga menjelaskan tentang aspek kognitif dan afektif siswa dalam berinteraksi dengan komputer yang desainnya yang berbeda-beda, juga interaksi dengan teman sebaya, dan lingkungan kelas offline. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permainan yang terlalu matematis kurang menarik perhatian siswa. Hal ini diindikasikan dengan perilaku siswa yang cenderung hanya sekedar memenuhi tujuan untuk segera menyelesaikan permainan tanpa merasa terlibat sepenuhnya. Temuan lain adalah permainan komputer dengan menggunakan teman sebaya menyebabkan siswa lebih ekspresif dan lebih komunikatif dibandingkan ketika mereka belajar tanpa menggunakan permainan.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
235
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Mengacu pada hasil penelitian Ke, penulis tertarik untuk mengetahui dan menganalisis lebih jauh website pembelajaran matematika yang dapat dikerjakan oleh siswa dalam suasana bermain. Oleh karena itu dalam makalah ini dipaparkan beberapa contoh website yang menyiapkan permainan online yang potensial digunakan siswa untuk belajar matematika.
B. Metode Berangkat dari kesadaran kecenderungan anak yang suka bermain serta pemahaman penulis tentang benyaknya website-website permainan matematika yang tersedia melalui internet maka langkah yang dilakukan penulis adalah mereviu sejumlah pilihan yang tersedia di website IFED (www.ifed.or.id). Website-website permainan dicoba berulang kali oleh penulis sambil menganalisis
jalannya
permainan,
kecocokan
dengan
usia
anak,
dan
kesesuaiannya dengan kurikulum SD. Selanjutnya penulis melibatkan beberapa teman sejawat untuk turut mencoba website tersebut dan memberi tanggapan, serta mengujikan beberapa website yang terpilih terhadap satu siswwa Kelas V SD. C. Pembahasan Berikut ini paparan beberapa contoh website permainan pembelajaran matematika disertai dengan gambar masing-masing permainan. 1. Bang on time Permainan ini adalah menentukan letak jarum pendek dan panjang dari jam analog yang terus bergerak dan pemain harus menekan tombol “Stop The Clock”, ketika jarum pendek dan panjang jam yang bergerak menempati posisi angka-angka sesuai dengan tulisan/perintah yang tertera di bawah jam. Permainan yang dapat diakses melalui http://resources.oswego.org/games/BangOnTime/clockwordres.html ini akan menampilkan umpan balik “SPOT ON” jika pemain menempatkan jarum-jarum tersebut secara tepat, “NO SCORE” jika pemain salah menempatkan jarumjarum tersebut atau “SO CLOSE” jika pemain kurang tepat menempatkan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
236
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
jarum beberapa menit dari letak jarum jam seharusnya. Hal lain yang menarik, laju gerak jarum jam tersebut dapat diatur, dari yang paling lambat ke paling cepat. Jadi bilamana anak baru belajar kosakata-kosakata bahasa Inggris atau baru mempelajari materi ini, mereka pun tetap dapat mengikuti permainan tersebut. Game ini diilustrasikan pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1 : Game Bang On Time 2. Division Mine Dengan setting meletakkan barang tambang ke dalam bak-bak sejumlah hasil dari operasi bilangan-bilangan pada permainan ini, pemain harus menjawab secara benar pertanyaan yang ditampilkan dengan cara mengeklik satu dari tiga pilihan jawaban yang disediakan di bagian bawah permainan. Berikut Gambar 2 yang menampilkan permainan Division Mine dan dapat diakses di alamat http://bbc.co.uk/schools/ks1bitesize/numerancy/division/fs.shtml.
Gambar 2: Game Division Mine 3. Fantastic fish shop Fantastic fish shop adalah salah satu permainan yang dapat digunakan untuk melatihkan “mental math”, dalam hal ini perkalian. Tingkat kesulitannya pun dapat dipilih yaitu easy (mudah), medium (sedang), dan hard (sulit). Pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
237
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
permainan ini, pemain bertindak sebagai penjual ikan. Seorang penjual seharusnya melayani pelanggan sesuai permintaan. Jika penjual membuat satu kali kesalahan, pelanggan mungkin dapat memaafkannya, tapi jika membuat kesalahan dua kali, pelanggan akan kecewa meninggalkannya. Kehilangan pelanggan bagi penjual adalah ancaman dalam suatu bisnis jual beli. Dalam permainan ini, sebagai penjual, untuk melayani pelanggan secara benar, kita harus mampu menjawab dua soal perkalian. Caranya adalah mengambil ikan dari akuarium yang berlabel bilangan yang merupakan jawaban soal perkalian yang diberikan. Jika kedua jawaban benar, maka pelanggan berekspresi bahagia dan ada umpan balik “thanks”. Jika pemain melakukan kesalahan dua kali maka pelanggan berekspresi kecewa dan meninggalkan toko tersebut. Tingkat kepuasan pelanggan pun terekam seperti diilustrasikan pada Gambar 3 di bawah akuarium. Permainan ini dapat diakses dengan alamat www.multiplication.com/flashgames/FishShop.htm.
Gambar C: Game Fantastic Fish Shop 4. Fraction dart Game ini bertujuan untuk memperkirakan nilai dari suatu pecahan. Tombol ↑ atau ↓ pada keyboard dapat digunakan untuk mengatur angka yang tampil sebagai pembilang. Untuk mengatur angka yang muncul sebagai penyebut dapat menggunakan tombol ← atau → pada keyboard. Setelah menentukan nilai pecahan, langkah selanjutnya adalah menekan tombol Throw Dart. Bersamaan dengan ditekannya tombol Throw Dart, sebuah dart melesat menuju target. Jika pemain tepat dalam menentukan pecahan yang mewakili posisi target –dalam game ini target adalah sebuah balon- maka dart dapat Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
238
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
mengenai balon. Jika tidak tepat menentukan nilai pecahannya, maka dart tidak akan mengenai balon. Game ini dapat diakses melalui www.ciese.org/math/activities/fractiondarts/fractiondartslesson1.html.
Gambar D: Game Fraction Dart 5. Fraction monkey Game yang beralamat di www.sums.co.uk/playground/n6a/playground.htm adalah game yang dapat digunakan untuk mengasah kemampuan pemain mengenai pecahan. Cara memainkan game ini adalah dengan memindahkan monyet yang memegang kartu bertuliskan pecahan dan meletakkannya pada bagian yang sesuai. Jika pemain meletakkan monyet pada tempat yang benar, maka tanda centang berwarna hijau akan muncul di bawah posisi monyet. Namun jika pemain gagal menempatkan monyet pada posisi yang benar maka monyet akan terjun bebas dan berparasut.
Gambar E: Fraction Monkey 6. Mental machine2 Untuk pemain yang menginginkan permainan yang menguji keterampilan menghitung matematika, permainan ini menyajikan sepuluh pertanyaan dan menyajikan skor di akhir game. Permainan berpengantar bahasa Inggris ini dapat diakses melalui situs
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
239
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
www.amblesideprimary.com/ambleweb/mentalmaths/mentalmachine2.html. Pemain tinggal mengisi jawaban pertanyaan pada textbox yang disediakan dan menekan tombol berbentuk lingkaran dengan segitiga di tengahnya untuk menampilkan pertanyaan selanjutnya.
Gambar F: Game Mental Machine 2 7. Power line Jika hanya sekedar menjumlahkan beberapa bilangan saja sudah menjadi hal yang biasa dilakukan, maka permainan berikut bisa menjadi pilihan untuk menguji keterampilan menghitung siswa sekaligus melatihkan berfikir kritis siswa. Hal ini karena pada permainan tersebut pemain tidak hanya diminta mengoperasikan bilangan tetapi juga bilangan-bilangan yang disediakan sedemikian sehingga hasil operasinya pada satu garis sama dengan jumlah yang diminta soal seperti tercantum di bawah “Power Line Total”. Cara memainkan permainan ini adalah dengan men-drag bilangan-bilangan yang disediakan ke dalam lingkaran-lingkaran kosong yang tersedia. Permainan ini dapat diakses melalui www.primarygames.co.uk/pg2/powerlines1.html.
Gambar G: Game Power Line 8. Stop the clock
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
240
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Permainan ini meminta pemain memasangkan jam digital dengan jam analog dengan cara men-drag atau memindahkan kotak berisi jam digital ke atas jam analog yang bersesuaian seperti diilustrasikan pada Gambar H. Di bawah gambar jam analog, terdapat pencatat waktu yang dapat merekam waktu yang diperlukan pemain untuk menyelesaikan permainan tersebut. “TRY AGAIN” adalah umpan balik yang diterima pemain jika pemain salah dalam mencocokkan jam digital dengan jam analog. “STOP THE CLOCK” akan muncul jika pemain benar mencocokkan seluruh jam yang ada. Dengan demikian, melalui permainan ini anak bisa juga melatih kecepatan dalam menjawab soal-soal matematika. Permainan ini dapat diakses melalui http://resources.oswego.org/games/stoptheclock/sthec3.html.
Gambar H : Game Stop The Clock 9. Telling time to practice Pada permainan Telling time to practice ini, pemain diminta menggerakkan letak jarum panjang dan pendek jam sesuai dengan perintah yang tertulis di bawah jam. Wow!, Great, Super, Not quite adalah beberapa ucapan untuk pemain yang berhasil menempatkan jarum jam secara tepat. Nice try akan diperoleh pemain yang ini dan Ask your parents akan diterima pemain jika belum berhasil menjawab betul 10 soal pada permainan ini. Permainan ini beralamat di www.worsleyschool.net/socialarts/telling/time.html.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
241
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Gambar I: Game Telling Time Practice
10.
Tic tac toe squares
Pemain
dapat
memenangkan
permaian
yang
beralamat
di
www.funbrain.com/cgi-bin/ttt.cgi ini jika berhasil menghasilkan tanda X dalam satu baris secara horizontal, vertikal, dan diagonal. Untuk menghasilkan tanda X, pemain harus menjawab benar soal yang disajikan. Berikut tampilan Game Tic Tac Toe Squares.
Gambar J: Games Tic Tac Toe Squares 11.
World cup
Game dengan setting permainan sepak bola ini dimainkan dengan cara mengeklik salah satu pilihan jawaban dari pertanyaan yang ditayangkan. Pada menu utama, pemain dapat memilih jenis soal dan atribut pemain bola. Jenis soal yang ditawarkan meliputi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Bola dapat memasuki gawang jika jawaban yang dipilih benar. Game ini dapat diakses melalui www.mrnussbaum.com/football/index.html.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
242
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Gambar K: Games Worrld Cup dengan soal penjumlahan
Tabel Deskripsi Singkat Website Permainan Matematika Online No
Website
Materi
1. Bang On Time
Mengenal waktu
2. Division Mine
Pembagian
3. Fantastic Fish Perkalian Shop 4. Fraction Dart
Pecahan
5. Fraction Monkey
Pecahan
6. Mental Machine 2
Perkalian, penjumlahan,
Deskripsi singkat Permainan yang dilakukan dengan cara menghentikan gerak jarum jam analog sesuai dengan waktu yang tertulis di bawah jam. Permainan ini dapat digunakan untuk siswa kelas 2 dan 3 SD. Pemain memilih bilangan yang benar sebagai hasil dari soal yang diajukan. Materi pada permainan ini dapat digunakan untuk siswa kelas 2 dan 3 SD. Pemain bertindak sebagai penjual ikan dan harus dapat melayani permintaan pelangga. Menentukan nilai pecahan yang sesuai dengan posisi target dalam permainan. Permainan ini dapat digunakan oleh siswa Kelas 3 SD. Monyet yang membawa kartu bernilai sebuah pecahan pada tempat yang sesuai dengan nilai tsb. Permainan ini dapat digunakan oleh siswa Kelas 3 SD. Permainan yang menampilkan 10 pertanyaan matematika dengan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
243
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
penjumlahan, Pembagian
7.
8.
9.
10.
11.
skor pencapaian di akhir permainan. Siswa kelas 3 dan 4 SD dapat menggunakan permainan ini. Power Line Penjumlahan Pemain diminta untuk meletakkan bilangan-bilangan yang disediakan dalam suatu pola. Siswa kelas 3 dan 4 dapat menggunakan permainan ini. Stop The Clock Waktu Meletakkan jam-jam digital di atas jam analog yang sesuai. Permainan yang dapat digunakan Kelas 2 dan 3 SD. Telling Time to Waktu Mengatur letak jarum pendek Practice dan panjang jam analog sesuai dengan permintaan soal. Permainan yang dapat digunakan Kelas 2 dan 3 SD. Tic Tac Toe Penjumlahan Memunculkan tanda X segaris Squares dalam posisi vertikal, horizontal, dan diagonal. Untuk memunculkan tanda, pemain harus benar dalam menjawab pertanyaan. Siswa kelas 2, 3 dan 4 SD dapat menggunakan permainan ini. World Cup Penjumlahan, Pemain dapat memasukkan bola Math pengurangan, ke dalam gawang jika berhasil perkalian, dan menjawab benar. Siswa kelas 2, 3 pembagian dan 4 SD dapat menggunakan permainan ini.
D. Simpulan dan saran: Berdasarkan hasil review dan analisis penulis terhadap website-website permainan matematika yang disajikan dalam makalah ini, dapat disimpulkan beberapa karakteristik website permainan matematika. Pertama, website dengan tipe website yang dapat dimanfaatkan untuk melatihkan mental math, misalnya sekedar berlatih untuk memantapkan keterampilan siswa dalam menghitung. Sebagai contoh Mental Machine, World Cup, Fraction Monkey, dan Division Mine. Hal ini tentu berbeda dari apa yang Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
244
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
disajikan di buku. Pengguna internet dapat memperoleh feedback dengan segera tanpa menunggu feedback dari guru. Dengan demikian website-website tsb dapat dimanfaatkan siswa secara mandiri misal dalam mempersiapkan diri mereka mengikuti tes. Kedua, website permainan yang tidak hanya melatihkan keterampilan berhitung, tetapi juga menuntut siswa berpikir kritis atau menggunakan strategi/taktik dalam penyelesaiannya. Contoh website yang memenuhi karakter tersebut adalah Fantastic Fish Shop, Fraction Dart, Power Line, dan Tic Tac Toe Squares. Ketiga, website permainan yang melibatkan kecepatan untuk menyelesaikan permainan tetapi tetap menawarkan level kesulitan yang berbeda-beda. Beberapa contoh yang termasuk dalam website ini adalah Telling Time To Practice, dan Stop The Clock. Menyadari potensi internet yang sangat besar dalam membantu siswa belajar matematika dengan cara menyenangkan melalui permainan maka penulisan lebih lanjut yang mengujicobakan website-website tersebut diperlukan.
Daftar pustaka Bang On Time. (http://resources.oswego.org/games/BangOnTime/clockwordres.html, diakses 24 Nopember 2009) Division Mine. (www.bbc.co.uk/schools/ks1bitesize/numeracy/division/fs.shtml, diakses 24 Nopember 2009) Fish Shop. (www.multiplication.com/flashgames/FishShop.htm, diakses 24 Nopember 2009) Fraction Dart. (www.ciese.org/math/activities/fractiondarts/fractiondartslesson1.html, diakses 24 Nopember 2009) Fraction Monkey. (www.sums.co.uk/playground/n6a/playground.htm, diakses 24 Nopember 2009) IFED. 2009. (www.ifed.or.id, diakses 24 Nopember 2009) Ke, Fengfeng. 2007. A Case Study of Computer Gaming for Math: Engaged Learning from Gameplay? Computer and Education (p.1609-1620)
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
245
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
MentalMachine.(www.amblesideprimary.com/ambleweb/mentalmaths/mentalmachin e2.html, diakses 24 Nopember 2009) Power Line. (www.primarygames.co.uk/pg2/powerlines/powerlines1.html, diakses 24 Nopember 2009) Stop
The Clock. (http://resources.oswego.org/games/stoptheclock/sthec3.html, diakses 24 Nopember 2009)
Telling
Time. (www.worsleyschool.net/socialarts/telling/time.html, Nopember 2009)
diakses
24
Tic Tac Toe Squares. (www.funbrain.com/cgi-bin/ttt.cgi, diakses 24 Nopember 2009) World Cup Math. (www.mrnussbaum.com/football/index.html, diakses 24 Nopember 2009)
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
246
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-14 SPEKTRUM HASIL BELAJAR ANALISIS REAL MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA IKIP PGRI MADIUN TAHUN AKADEMIK 2008/2009 Oleh: Darmadi IKIP PGRI Madiun (
[email protected])
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana spektrum hasil belajar mahasiswa program studi pendidikan matematika IKIP PGRI Madiun sehingga program pengembangan model pembelajaran analisis real yang akan dilakukan dapat lebih tepat, efektif, praktis dan efisien. Analisis dilakukan pada hasil belajar analisis real 96 mahasiswa program studi pendidikan matematika IKIP PGRI Madiun tahun akademik 2008/2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spektrum hasil belajar mahasiswa program studi pendidikan matematika di IKIP PGRI Madiun Tahun Akademik 2008/2009 adalah sebagai berikut: 1) paham konsep 36,46%, 2) prosedural 6,25%, 3) multiprosedural 17,71%. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dalam pengembangan model pembelajaran analisis real termasuk penyusunan perangkat dan sebagainya mestinya dimulai dari pemahaman konsep. Katakunci: spektrum hasil belajar analisis real A. Pendahuluan Permasalahan yang dihadapi peneliti sebagai dosen program studi pendidikan matematika di IKIP PGRI Madiun tahun akademik 2008/2009 muncul pada pembelajaran analisis real. Analisis real merupakan suatu mata kuliah wajib dengan tujuan memperkenalkan dan memperdalam pemahaman mahasiswa pada matematika dengan pembuktian deduksi formal. Pemahaman definisi formal sampai pembuktian dan sifat-sifatnya merupakan tantangan tersediri bagi mahasiswa. Untuk beberapa mahasiswa tantangan ini menimbulkan kesulitan sehingga membuat frustrasi.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
247
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Permasalahan ini juga menjadi suatu tantangan bagi dosen pengampu untuk menanganinya. Salah satu alternatif penyelesaian yang diambil adalah dengan pengembangan metode pembelajaran analisis real. Telah banyak peneliti yang mengembangkan model pembelajaran dengan perangkatnya. Namun, untuk model pengembangan pembelajaran analisis real bagi mahasiswa pendidkan matematika selama ini belum pernah dilakukan atau mungkin bagi peneliti belum ditemukan. Pengembangan model pembelajaran analisis real yang akan dikembangkan pada penelitian ini adalah pengembangan model pembelajaran berbasis teori David Tall. Produk pengembangan model pembelajaran yang diharapkan adalah model pembelajaran analisis real sesuai teori David Tall. Model pembelajaran harus memuat landasan teoritis, komponen, dan pelaksanaan pembelajaran sesuai model. Perangkat pembelajaran terdiri dari Buku Siswa LKS, LJLKS, RP, Paket Kuis, Paket Tes Penguasaana Bahan Pelajaran, dan Paket Tes Tingkat kemampuan analisis mahasiswa dalam matakuliah analisis real. Penelitian ini merupakan bagian dari investigasi awal. Untuk pengembangan model pembelajaran analisis real yang perlu dilakukan adalah 1) melakukan investigasi awal, 2) mendesain model pembelajaran yang dikembangkan, 3) merealisasi dan mengkunstruksi model pembelajaran baru, dan 4) melakukan tes, evaluasi, dan merevisi model pembelajaran yang telah dikembangkan. Prinsip pembelajaran analisis real yang diidekan David Tall dimulai dari dunia pertama (emboded word) atau dunia kedua (procept word) baru dapat mencapai dunia ketiga (formal word). Analisis real termasuk dunia ketiga (formal word). Dunia pertama merupakan pembelajaran yang dimulai dari gambar-gambar sehingga diperoleh konsep, definisi, dan sifat-sifatnya. Dunia ini membangun konsep-konsep imajeri yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Dunia kedua merupakan pembelajaran yang dimulai dari proses perhitungan-perhitungan sehingga diperoleh konsep, definisi, dan sifatsifatnya. Dunia ini membangun cara-cara pemikiran, logika dan penyajian tertulis secara formal. Dunia ketiga merupakan pembelajaran yang dimulai dari definisi-definisi formal yang diturunkan dengan logika deduksi sehingga diperoleh teorema beserta lemma-lemmanya.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
248
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Karakteristik analisis real dalam penyajiannya lebih cenderung melalui dunia kedua karena bersifat formal. Pada dunia kedua belajar dimulai dari tahap prosedural, proses sampai diperoleh konsep. Tahap prosedural merupakan tahap awal yang bisa dipilah kembali menjadi tahap preprosedural, tahap prosedural, dan tahap multiprosedural. Tahap-tahap berpikir ini disebut spektrum prosedural. Berdasarkan teori David Tall, spektrum hasil belajar meliputi: 1) preprosedural yaitu tahapan dimana mahasiswa tidak mampu menyelesaikan atau menyelesaikan tetapi hanya bagian perbagian saja namun tetap terhitung belum mampu, 2) prosedural yaitu tahapan dimana mahasiswa mampu menyelesaikan namun masih selangkah demi selangkah, 3) multiprosedural yaitu tahapan dimana mahasiswa mampu menyelesaikan secara efisien, 4) proses yaitu tahapan dimana mahasiswa mampu menyelesaikan dengan alternatif-alternatif konseptual, dan 5) prosept yang ditunjukkan dengan kemampuan berpikir menggunakan simbol matematika. Teori tersebut dipandang berdasarkan pemrosesan informasi individu dari awal (elementary) sampai tingkat yang tinggi (advanced). Namun dengan pertimbangan dari karakteristik serta alokasi waktu matakuliah analisis real maka spektrum hasil belajar pada penelitian ini sedikit dimodifikasi menjadi 1) pemahaman konsep, 2) prosedural, dan 3) multiprosedural. Penelitian ini merupakan investigasi awal dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana spektrum hasil belajar mahasiswa program studi pendidikan matematika IKIP PGRI Madiun sehingga program pengembangan model pembelajaran analisis real yang akan dilakukan dapat lebih tepat, efektif, praktis dan efisien.
B. Metode Penelitian Analisis dilakukan pada hasil belajar analisis real mahasiswa program studi pendidikan matematika IKIP PGRI Madiun tahun akademik 2008/2009. Jumlah mahasiswa yang menempuh matakuliah analisis real pada semester VI tahun akademik 2008/2009 berjumlah 179 mahasiswa. Mahasiswa semester VI dikelompokkan menjadi 7 kelas yaitu kelas VIA, VIB, VIC, VID, dan VIE. Dari sampling, VIA, VIB, dan VID terpilih sebagai sample penelitian. Jumlah mahasiswa VIA adalah 21 mahasiswa, jumlah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
249
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
mahasiswa VIB adalah 43 mahasiswa, jumlah mahasiswa kelas VID adalah 32. Dengan demikian jumlah sampel pada penelitian ini adalah 96 mahasiswa. Spektrum hasil belajar pada penelitian ini meliputi: 1) paham konsep, 2) prosedural, dan 3) multiprosedural. Jika mahasiswa mampu memahami konsep dari suatu definisi dikatakan paham konsep. Jika mahasiswa mampu menggunakan konsep definisi dalam pembuktian sederhana, maka dikatakan telah masuk prosedural. Jika mahasiswa mampu menghubungan dua (atau lebih) konsep untuk mendapatkan konsep baru (termasuk teorema) dikatakan masuk kelompok multiprosedural. Urutan spektrum disesuaikan dengan urutan perkembangan kemampuan mahasiswa dalam belajar analisis real. Penskoran msing-masing butir disajikan dalam bentuk angka 0, ½, dan 1. Nilai 0 artinya mahasiswa belum mampu, belum bisa memulai samasekali atau belum menunjukkan kemampuannya. Nilai ½ artinya mahasiswa sudah menunjukkan fenomena mampu namun kurang teliti seperti kurang memperhatikan sketsa atau perhitungan sehingga masih terjadi kesalahan. Nilai 1 artinya mahasiswa telah mampu atau bisa. Total nilai disajikan dalam bentuk prosentase untuk masing-masing tahapan. C. Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa spektrum hasil belajar mahasiswa program studi pendidikan matematika di IKIP PGRI Madiun Tahun Akademik 2008/2009 adalah sebagai berikut: 1) paham konsep 36,46%, 2) prosedural 6,25%, 3) multiprosedural 17,71%. Data hasil penelitian menunjukkan demikian mungkin dikarenakan dosen pengampu terlalu menekankan pemahaman konsep definisi dan sedikit penerapan untuk pembuktian maupun menggabungkan konsep baru. Hal ini dilakukan dosen karena berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan didukung dari hasil tanya jawab langsung pada mahasiswa yang mengharuskan penjelasan lebih pada pemahaman konsep. Mungkin ini lebih bermakna daripada dipaksakan sementara mahasiswa tidak mampu memahami.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
250
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Berdasarkan hasil penelitian di atas tampak bahwa 63,54% mahasiswa belum mampu memahami konsep definisi formal, 93,75% mahasiswa belum mampu sampai tahap prosedural yaitu masih kesulitan dalam menggunakan definisi formal untuk pembuktian, dan 82,29% mahasiswa belum mampu mencapai tahap multiprosedural yaitu masih kesulitan menggabungkan dua konsep atau lebih untuk mendapatkan konsep atau sifat baru. Oleh karena itu dalam pengembangan model pembelajaran analisis real termasuk penyusunan perangkat dan sebagainya mestinya dimulai dari pemahaman konsep.
DAFTAR PUSTAKA David Tall. 2006. A Theory of Mathematical Growth through Embodiment, Symbolism and Proof3. Mathematics Education Research Centre University of Warwick, UK Eddie Gray, Marcia Pinto, Demetra Pitta, David Tall. 1999. Knowledge Construction and Diverging Thinking in Elementary & Advanced Mathematics. Darmadi. 2008. Miskonsepsi pada Turunan dan Integral. Studi Kasus di Semester IVE Program Studi Pendidikan Matematika IKIP PGRI Madiun Tahun Akademik 2007/2008. Laporan Penelitian. Program Studi Pendidikan Matematika FP MIPA IKIP PGRI Madiun. ______. 2009. Spektrum Hasil Belajar Kalkulus Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika IKIP PGRI Madiun Tahun Akademik 2008/2009. Laporan Penelitian. Program Studi Pendidikan Matematika FP MIPA IKIP PGRI Madiun. ______. 2009. Proses Pembentukan Definisi Pada Awal Pembelajaran Analisis Real. Laporan Penelitian. Program Studi Pendidikan Matematika FP MIPA IKIP PGRI Madiun.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
251
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-15 PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DITINJAU DARI GAYA BELAJAR SISWA
Endang Rahayu Jurusan Pendidikan Matematika IKIP PGRI Madiun
Abstrak: Pembelajaran konstruktivisme membantu siswa membangun konsep/prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi (proses pemerolehan informasi) dan proses transformasi (proses pengolahan informasi). Gaya belajar siswa adalah kombinasi dari cara bagaimana siswa menyerap informasi (modalitas), modalitas dibedakan menjadi modalitas visual, auditorial dan kinestetik. Penelitian dengan Cluster Random Sampling. pada siswa kelas X SMK Bidang Keahlian Teknologi, Pertanian dan Kesehatan. Analisis data menunjukkan ada pengaruh pembelajaran konstruktivisme dan gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa tetapi tidak ada interaksi antara pembelajaran konstruktivisme dan gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa. Kata-kata Kunci: Pembelajaran Konstruktivisme, Gaya Belajar Siswa
Perubahan paradigma dalam pendidikan yaitu dari paradigma mengajar menjadi paradigma belajar mengisyaratkan adanya kemauan untuk berubah menjadi yang lebih
baik
dari
kalangan
praktisi
pendidikan maupun
akademisi
yang
dimplementasikan dalam perubahan proses dalam pembelajaran di sekolah dari yang sebelumnya hanya berorientasi/berpusat pada guru dalam mengajar menjadi berorientasi/berpusat kepada siswa untuk belajar. Cronbach berpendapat (dalam Adrian, 2004): Learning is shown by change in behaviour as result of experience; belajar ditunjukkan dari perubahan pada tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman atau belajar dapat dilakukan secara baik dengan jalan mengalami. Hilgard dan Bower (dalam Purwanto, 1984) “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
252
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya)”. Dari definisi-definisi di atas ada beberapa hal yang mencirikan pengertian belajar yaitu: 1) belajar merupakan perubahan tingkah laku yang mengarah kepada perubahan yang lebih baik atau sebaliknya, 2) belajar terjadi melalui pengalaman atau latihan, 3) dalam belajar perubahan harus dalam jangka waktu yang relatif panjang atau merupakan akhir dari suatu periode waktu tertentu, 4) perubahan tingkah laku tersebut terjadi pada aspek fisik mapun psikis baik berupa keterampilan, kecakapan, kebiasaan maupun sikap. Belajar dalam arti yang terbatas –siswa di sekolah- dapat berarti penguasaan/penambahan materi pelajaran dalam berbagai kompetensi yaitu kompetensi kognitif, afektif maupun psikomotorik yang terjadi melalui proses interaksi aktif dari individu yang sedang belajar dengan lingkungan di sekitarnya. Pendekatan konstruktivisme yang menganggap pembentukan pengetahuan sebagai suatu proses konstruksi yang terus menerus, terus berkembang dan terus berubah memaknai belajar sebagai proses aktif siswa mengonstruksi sesuatu. Dalam bidang matematika, pendekatan pembelajaran konstruktivisme adalah pembelajaran
yang
membantu
siswa
untuk
membangun
konsep-konsep
matematika dan prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi yaitu proses pemerolehan informasi dan proses transformasi yaitu proses pengolahan informasi dalam diri siswa Menurut paham konstruktivisme pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skemata sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi asimilasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skemata yang baru. Seorang yang belajar itu berarti
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
253
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
membentuk pengertian atau pengetahun secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1998). Yang terpenting dalam proses pembelajaran konstruktivisme ini adalah siswa yang harus aktif mengembangkan pengetahuan. Penekanan belajar siswa secara aktif perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa (Suparno, 1998) Salah satu teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang disebut juga teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori ini berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkontruksi ilmu pengetahuan (Ruseffendi, 1988). Tiga dalil pokok Piaget mengemukan 1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi
dengan urutan yang sama,
maksudnya setiap manusia mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, 2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan 3) gerak melalui tahap-tahap yang dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangkan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi) (Ruseffendi, 1998). Hanbury (dalam Suparno 1998) mengemukan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, yaitu 1) siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, 2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, 3) strategi siswa lebih bernilai, dan 4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling tukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya. Pentahapan yang lengkap dalam implementasi pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran matematika adalah: Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
254
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
1) Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu guru memancing dengan pertanyaan-pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering dijumpai sehari-hari oleh siswa dan mengkaitkannya dengan konsep yang akan dibahas. Selanjutnya siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep tersebut. 2) Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian dan mengintepretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Secara keseluruhan tahap ini akan terpenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena dalam lingkungannya. 3) Tahap ketiga, siswa memikirkan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasi siswa, ditambah dengan penguatan guru. Selanjutnya siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari. 4) Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan maupun melalui pemunculan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu dalam lingkungan siswa tersebut.
METODOLOGI Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 1. Pengumpulan data dengan metode dokumentasi untuk memperoleh data NEM SMP Bidang studi Matematika yang digunakan untuk uji keseimbangan, tes prestasi berupa tes obyektif yang dilakukan setelah selesai pembelajaran dan instrumen tes telah diujicobakan untuk standart kompetensi Menerapkan Konsep Dasar Logaritma. dan angket yang dilakukan sebelum materi Logarima diberikan untuk mempeoleh data tentang gaya belajar siswa dan sebelumnya instrument angket juga telah diujicobakan pada kelompok siswa yang mempunyai karakteristik yang sama dengan subyek penelitian. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
255
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
2. Melakukan proses pembelajaran di kelas eksperimen dan mengamati proses pembelajaran di kelas kontrol 3. Analisis data dengan menggunakan Anava dua jalan.
HASIL Data prestasi belajar siswa yang diperoleh dari tes yang telah diujicobakan pada subyek ujicoba yang mempunyai karakteristik yang sama dengan subyek penelitian untuk mengetahui aspek validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya beda dari soal tes untuk bidang studi matematika dengan Standart Kompetensi Menerapkan Konsep Logaritma sebanyak 25 butir soal dan waktu mengerjakan 75 menit untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol disajikan dalam tabel berikut:
Tabel : Prestasi Belajar Matematika Siswa Prestasi Belajar Matematika
Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
n
70
70
∑ Xi
1060
1282
Mean ( X )
15.1429
18.3143
∑ X2
16586
24169
Standart Deviasi (S)
2.7834
2.2037
Variansi (S2)
7.7474
4.8563
Nilai Minimal
9
12
Nilai Maksimal
19
21
Nilai maksimal dan nilai minimal dalam tabel di atas merupakan nilai hasil tes prestasi belajar matematika yang diperoleh siswa untuk masing-masing kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sedangkan nilai maksimal dari soal tes adalah 25 karena tiap soal mempunyai bobot nilai yang sama yaitu 1.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
256
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Sedangkan data gaya belajar siswa yang diperoleh dari angket tertutup tentang gaya belajar siswa untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol disajikan dalam tabel berikut:
Tabel : Gaya Belajar Siswa Pembelajaran
Konvensional
Konstruktivisve
Total
Prosentase
Visual
37
29
66
47%
Auditorial
23
23
46
33%
Kinestetik
10
18
28
20%
Total
70
70
140
100%
Gaya Belajar
Sebelum dilakukan uji hipotesis yaitu Anava Dua Jalan dengan Sel Tidak Sama terlebih dahulu dilakukan dilakukan uji pendahuluan yaitu uji keseimbangan, dan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas untuk mengetahui apakah sampel-sampel penelitian memenuhi uji pendahuluan dan uji prasyarat untuk melakukan uji Anava. 1. Uji Keseimbangan Uji keseimbangan digunakan untuk melihat apakah kelas kontrol dan kelas eksperimen merupakan kelas yang seimbang atau mempunyai kemampuan awal sama. Data yang akan diuji berupa data Nilai Ebtanas Murni SMP untuk bidang studi Matematika. Dari langkah-langkah uji t diperoleh thitung = - 1.73995 dan ttabel = ± 1.96. Dengan daerah kritik DK = {t t < -t (α/2 ; v) atau t > t (α/2 ; v)} maka thit ∉ DK maka H0 diterima dan kesimpulannya adalah kedua sampel kelas penelitian mempunyai kemampuan awal yang sama atau seimbang. 2. Uji Prasyarat a. Uji Normalitas
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
257
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
2) Uji Normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel penelitian berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Dan karena sampel penelitian mengandung variabel bebas yang terdiri dari variabel baris dengan 2 kategori yaitu pendekatan pembelajaran konstruktivisme dan pendekatan pembelajaran konvensional serta variabel kolom yang terdiri dari 3 kategori yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar kinestetik maka dilakukan 5 kali uji normalitas yaitu dengan menggunakan Uji Liliefors dan hasil dari Uji Normalitas disajikan dalam tabel berikut: Tabel : Hasil Uji Normalitas Populasi
N
Lmak
Ltabel
Keputusan
Konvensional
70
0.0853 0.1059 H0 diterima
Konstruktivisme
70
0.0934 0.1059 H0 diterima
Gaya Belajar Visual
66
0.0976 0.1091 H0 diterima
Gaya Belajar Auditorial
48
0.097
Gaya Belajar Kinestetik
28
0.1112 0.1670 H0 diterima
0.1306 H0 diterima
Dari tabel di atas diketahui bahwa sampel penelitian berasal dari populasi yang berdistribusi normal. b. Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel penelitian mempunyai variansi sama. Karena sampel terdiri dari 2 kategori yaitu pendekatan pembelajaran dan gaya belajar siswa maka uji homogenitas dilakukan dua kali yaitu Uji homogenitas untuk Pendekatan Pembelajaran dan Uji Homogenitas untuk Gaya Belajar Siswa. Hasil uji homogenitas dengan Uji Bartlet diperoleh: Tabel : Hasil Uji Homogenitas Uji Homogenitas
χ2hit
χ2tabel = χ(α; k-1)
Keputusan
Pembelajaran
3.5426
3.841
H0 diterima
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
258
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Gaya Belajar
1.727978 5.991
H0 diterima
Dari tabel di atas dapat disimpulkan kedua sampel penelitian mempunyai variansi yang sama/homogen untuk variabel pembelajaran dan untuk variabel gaya belajar siswa. 3. Uji Hipotesis Setelah uji prasyarat Anava telah terpenuhi dilakukan Uji Anava Dua Jalan dengan Sel Tidak Sama. Hasilnya disajikan dalam tabel berikut: Tabel : Rangkuman Hasil Anava Dua Jalan Sumber Variansi
JK
DK
Pembelajan(A)
397.9566
Gaya belajar(B)
116.501
2
Interaksi(AB)
16.9312
Galat Total
RK
1 397.9566
Fobs
Fα
Keputusan
58.7615
3.84 H0 ditolak
58.2505
8.6012
3.00 H0 ditolak
2
8.46558
1.2500
3.00 H0 diterima
907.5024
134
6.7724
1438.891
139
Dari tabel di atas dapat disimpulkan a. Karena Fa = 58.7615 > Ftabel = 3.84 maka H0A ditolak atau ada perbedaan efek
antar baris terhadap variabel terikatnya atau dengan kata lain pendekatan pembelajaran berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika siswa. b. Karena Fb = 8.6012 > Ftabel = 3.00 maka H0B ditolak atau ada perbedaan efek
antar kolom terhadap variabel terikatnya atau dengan kata lain terdapat pengaruh gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa. c. Karena Fab = 1.25 < Ftabel = 3.00 maka H0AB diterima atau tidak ada interaksi
antara efek baris dan efek kolom terhadap variabel terikatnya dengan kata lain perbedaan prestasi belajar matematika siswa antara siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran konstruktivisme dan pendekatan pembelajaran konvensioanl berlaku sama (konsisten) pada masing-masing gaya belajar siswa dan perbedaan prestasi belajar antara siswa dengan gaya
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
259
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar kinestetik berlaku sama (konsisten) untuk tiap-tiap pendekatan pembelajaran.
4. Uji Komparasi Ganda Dari hasil kesimpulan uji hipotesis pada butir a dan butir b di atas maka perlu diadakan uji lanjut pasca Anava atau Uji Komparasi Ganda. Untuk itu data hasil Anava disajikan dalam bentuk tabel berikut:
Tabel : Rataan Masing-Masing Sel Pembelajaran Konstruktivisme Konvensional Rataan Marginal
Gaya Belajar Visual Auditorial Kinestetik 18.48276 18.913043 17.27778 15.75676 15.217391 12.7 17.11976 17.065217 14.98889
Rataan Marginal 18.2245266 14.5580494
Karena efek baris yaitu pendekatan pembelajaran hanya terdiri dari 2 kategori maka yaitu pendekatan pembelajaran konvensional dan pendekatan pembelajaran konstruktivisme maka tidak perlu dilakukan komparasi ganda antar baris. Jadi efek baris dapat langsung dilihat pada rataan marginalnya untuk pendekatan pembelajaran konvensional diperoleh nilai rataan marginal adalah 14.5580 dan untuk pendekatan pembelajaran konstruktivisme diperoleh nilai rataan marginalnya adalah 18.2245 sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran konstruktivisme lebih baik daripada siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran konvensional. Untuk efek kolom yaitu gaya belajar siswa karena mempunyai 3 kategori yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar kinestetik maka akan diadakan uji komparasi ganda antar kolom dengan Metode Scheffe dan hasilnya disajikan dalam tabel berikut: Tabel : Metode Scheffe untuk Anava Dua Jalan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
260
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Komparasi
( X .i − X . j )
2
1 + 1 n .i n. j
Daerah RKG
F
Kritik
μ1 vs μ2
0.002975
0.0368906 6.772406 0.01190627
6
μ1 vs μ3
4.540602
0.0508658 6.772406 13.1808839
6
μ2 vs μ3
4.31114
0.0574534 6.772406 11.0798346
6
Dari tabel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa: a. Untuk Komparasi antara μ1 vs μ2 H0 diterima atau tidak ada perbedaan yang
signifikan antara prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai gaya belajar visual dan gaya belajar auditorial. b. Untuk Komparasi antara μ1 vs μ3 H0 ditolak atau ada perbedaan yang
signifikan antara prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai gaya belajar visual dan gaya belajar kinestetik. c. Untuk Komparasi antara μ2 vs μ3 H0 ditolak atau ada perbedaan yang
signifikan antara prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai gaya belajar auditorial dan gaya belajar kinestetik.
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis data diketahui 1) prestasi belajar matematika siswa dilihat dari pendekatan pembelajaran yang diberikan, 2) prestasi belajar matematika siswa menurut gaya belajar siswa sedangkan untuk 3) perbedaan prestasi belajar matematika
siswa
antara
siswa
yang
diberikan
pendekatan
pembelajaran
konstruktivisme dengan pendekatan pembelajaran konvensional selalu sama (konsisten) untuk tiap-tiap gaya belajar siswa dan perbedaan prestasi belajar antara siswa dengan gaya belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar kinestetik selalu sama (konsisten) untuk tiap-tiap pendekatan pembelajaran akan dibahas lebih lanjut berikut ini: 1. Prestasi belajar matematika siswa dilihat dari pendekatan pembelajaran. Dengan jumlah siswa yang sama untuk masing-masing kelas kontrol dan eksperimen yaitu 70 siswa, prestasi belajar matematika siswa dengan pendekatan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
261
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pembelajaran konvensional mempunyai nilai rata-rata 15.1429 dengan nilai minimal 9, nilai maksimal 19 dan ada 31 siswa yang memperoleh nilai di bawah rata-rata sedangkan 39 siswa memperoleh nilai di atas rata-rata. Sedangkan untuk pendekatan pembelajaran konstruktivisme diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar matematika siswa 18.3143 dengan nilai minimal 12, nilai maksimal 21, terdapat 32 siswa memperolah nilai di bawah nilai rata-rata dan 38 siswa memperoleh nilai di atas nilai rata-rata. Jika dilihat dari jumlah siswa yang memperoleh nilai di atas rata-rata untuk masing-masing jenis pendekatan pembelajaran yaitu 38 siswa untuk pendekatan pembelajaran konstruktivisme dan 39 siswa untuk pendekatan pembelajaran konvensional maka selisih jumlahnya tidak banyak, tetapi jika dilihat dari nilai variansinya yaitu 7.7474 untuk kelas kontrol dan 4.8563 untuk kelas eksperimen maka terlihat kelas eksperimen mempunyai sebaran data yang lebih baik karena nilai yang diperoleh siswa banyak berada disekitar nilai rata-rata dan range (selisih antara nilai maksimal – nilai minimal) lebih kecil. Selain itu jika dilihat dari rataan marginal dari pendekatan pembelajaran konstruktivisme adalah 18.2245 dan rataan marginal untuk pendekatan pembelajaran konvesional adalah 14.5580 maka dapat dikatakan prestasi belajar matematika siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran konstruktivisme lebih baik daripada siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran konvensional. Siswa dengan pendekatan pembelajaran konstruktivisme mempunyai nilai yang
lebih
baik
dibandingkan
siswa
dengan
pendekatan
pembelajaran
konvensional karena pada proses pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran konstruktivisme guru lebih berorientasi kepada siswa, dengan membuat suasana pembelajaran yang mendukung siswa untuk belajar secara aktif baik secara individu maupun kerja kelompok. Situasi pembelajaran yang menyenangkan dan tidak monoton akan membuat siswa aktif dan nyaman belajar. Belajar menjadi hal yang tidak menakutkan bagi siswa karena jika siswa salah atau mengalami kesulitan dalam belajar matematika tidak perlu malu untuk bertanya baik kepada temannya sendiri maupun guru. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
262
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Siswa didorong untuk bekerja secara berkelompok sehingga suasana persaingan tidak
mencolok
dan siswa
didorong untuk mengungkapkan
pengetahuan atau konsep awal yang telah diperolehnya baik secara individu maupun interaksi dengan kelompoknya sehingga menambah rasa percaya diri siswa dalam mengerjakan dan memahami materi yang diberikan. Dengan menciptakan situasi yang memungkinkan siswa untuk belajar mandiri dan menyenangkan akan membuat siswa lebih tenang dalam mengerjakan soal tes sehingga siswa lebih percaya diri dan tidak berusaha untuk mencontek temannya atau membuka buku catatan atau buku pelajaran. 2. Prestasi belajar matematika siswa dilihat dari jenis gaya belajar Jika dilihat dari jenis gaya belajar siswa prestasi belajar matematika siswa untuk siswa dengan gaya belajar visual diperoleh nilai rataan marginalnya adalah 17.1976, untuk siswa dengan gaya belajar auditorial nilai rataan marginalnya adalah 17.06522 dan untuk siswa dengan gaya belajar kinestetik nilai rata-rata adalah 14.98889. Jika dilihat hanya dari nilai rataan marginal siswa yang memiliki gaya belajar visual prestasi belajar matematikanya paling baik dibandingkan siswa yang mempunyai gaya belajar auditorial dan kinestetik. Tapi dari hasil komparasi ganda menunjukkan bahwa siswa dengan gaya belajar visual dan gaya belajar auditorial tidak ada perbedaaan yang signifikan prestasi belajar matematikanya. Hal ini juga terlihat dari selisih rataan marginalnya yang kecil antara siswa dengan gaya belajar visual dan gaya belajar auditorial. Tapi jika dibandingkan dengan siswa dengan gaya belajar kinestetik, siswa dengan gaya belajar visual mempunyai nilai rata-rata yang lebih baik dan hasil komparasi gandanya menyatakan ada perbedaan yang signifikan antara keduanya. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika siswa dengan gaya belajar visual lebih baik dari siswa dengan gaya belajar kinestetik dan tidak lebih baik dari siswa dengan gaya belajar auditorial. Siswa visual mempunyai catatan yang rapi, lebih mudah untuk mengingat apa yang dibaca sehingga memudahkan siswa untuk mengulang pelajaran dengan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
263
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
membuat catatan/coretan dibuku sehingga akan lebih memahami materi pelajaran atau mampu membangun konsep dengan baik. Jika dilihat dari nilai rata-rata, siswa auditoral lebih baik dari pada siswa siswa dengan gaya belajar kinestetik dan dari uji komparasi ganda terlihat jika perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa dengan gaya belajar kinestetik signifkan. Dapat disimpulkan bahwa siswa dengan gaya belajar auditorial prestasi belajar matematikanya lebih baik dari pada siswa dengan gaya belajar kinestetik tetapi sama baiknya dengan siswa dengan gaya belajar visual. Siswa dengan gaya belajar auditorial lebih mudah memahami materi pelajaran jika dilakukan sambil diskusi dengan teman dalam kelompok maupun diluar kelompoknya, mendengarkan penjelasan yang diberikan guru dengan kritis Hal ini memudahkan mereka untuk memahami suatu konsep dari materi pelajaran yang disampaikan oleh guru maupun teman diskusinya. Siswa dengan gaya belajar kinestetik mempunyai perbedaan yang signifikan prestasi belajar matematika dibandingkan siswa dengan gaya belajar visual dan kinestetik. Dapat dikatakan prestasi belajar matematika siswa dengan gaya belajar visual dan gaya belajar auditorial lebih baik daripada siswa dengan gaya belajar kinestetik. Siswa kinestetik aktif dalam kelompoknya dan mampu atau mudah mengingat jika materi pelajaran dapat diperagakan dengan bantuan alat/media pembelajaran. Mereka mempunyai keterampilan untuk menggunakan alat/media pembelajaran. Karena tidak semua pelajaran dapat dilakukan dengan peragaan atau dengan alat peraga/media pembelajaran (baik disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana di sekolah maupun suasana pembelajaran di kelas yang tidak mendukung) membuat siswa dengan gaya belajar kinestetik tidak mampu berkembang sebaik siswa dengan gaya belajar visual maupun auditorial. Jadi gaya belajar visual dan auditorial memberikan prestasi belajar matematika siswa lebih baik daripada gaya belajar kinestetik.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
264
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
3. Prestasi belajar matematika siswa jika dilihat dari pendekatan pembelajaran dan gaya belajar siswa. Perbedaan prestasi belajar matematika siswa antara siswa yang diberikan pendekatan
pembelajaran
konstruktisme
dan
pendekatan
pembelajaran
konvensional selalu sama (konsisten) pada tiap-tiap gaya belajar siswa hal ini menunjukkan bahwa siswa kelas X di SMK berada dalam tahap dan perkembangan umur yang cukup siap untuk belajar mandiri yang tidak terlalu tergantung penuh pada orang lain (guru di sekolah maupun orang tua di rumah). Sesuai dengan tahap perkembangan mental dari Piaget siswa kelas X termasuk dalam tahap abstrak dimana siswa mampu membangun konsep atau memahami suatu konsep dengan baik karena mereka dalam tahap usia yang cukup matang dan siap untuk belajar. Siswa mampu mengenali kebiasaan–kebiasaan yang dapat membuat mereka dapat belajar dengan optimal atau dapat dikatakan mereka mampu mengoptimalkan gaya belajar yang dipunyai khususnya untuk siswa dengan gaya belajar visual dan audiorial jika dalam proses pembelajaran guru menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional (menerangkan, mencatat dan memberikan latihan soal). Selain itu prestasi belajar matematika siswa dipengaruhi oleh banyak faktor lainnya bukan hanya faktor pendekatan pembelajaran dan gaya belajar siswa saja.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil analisis data dan pembahasan maka dapat disimpulkan: 1. Prestasi belajar matematika siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran konstruktivisme lebih baik daripada siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran konvensional.. 2. a. Siswa dengan gaya belajar visual lebih baik prestasi belajar matematikanya dibandingkan siswa dengan gaya belajar kinestetik, tetapi tidak lebih baik dari siswa dengan gaya belajar auditorial.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
265
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
b. Siswa dengan gaya belajar auditorial lebih baik prestasi belajar matematikanya dibandingkan siswa dengan gaya belajar kinestetik 3. Perbedaan prestasi belajar matematika siswa antara siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran konstruktivisme dan pendekatan pembelajaran konvensional selalu sama (konsisten) untuk tiap-tiap gaya belajar demikian juga antara siswa dengan gaya belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar kinestetik terhadap pendekatan pembelajaran. B. Implikasi Hasil Penelitian Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas berimplikasi pada proses pembelajaran matematika di kelas. Adapun implikasinya dibedakan menjadi: 1. Implikasi Teoritis -
Guru lebih berorientasi pada siswa dalam proses belajar mengajar di kelas, lebih memahami siswa dan menciptakan suasana pembelajaran yang bermakna tetapi tidak menakutkan bagi siswa, sehingga dalam membangun suatu konsep siswa diberikan waktu untuk menemukan, mengalami dan mengeksplorasi pengetahuan matematika melalui proses interaksi diri siswa dengan lingkungan disekitarnya baik berupa bahan belajar, teman sekelas/diskusi maupun guru.
-
Guru mampu memberikan penguatan materi jika pemahaman konsep atau konsep yang dibangun siswa sudah tepat, mampu mengetahui jika siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep atau membangun suatu konsep dan mengetahui dan dapat membenarkan kesalahan konsep yang dialami siswa.
2. Implikasi Praktis. -
Untuk menghadapi siswa yang cenderung bergaya belajar visual guru dapat menggunakan alat/media pembelajaran yang menarik perhatian siswa visual seperti menggunakan VCD, LCD maupun komputer. Atau dapat mengajarkan bagaimana membuat catatan yang baik dengan merangkum ataupun menggunakan peta konsep
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
266
PROSIDING
-
ISBN : 978-979-16353-3-2
Untuk siswa auditorial guru dapat membantu siswa dengan menggunakan intonasi atau pengucapan yang jelas dan bahasa yang baik dan benar dalam menjelaskan materi yang akan disampaikan. Guru dapat meminta siswa untuk menerangkan materi tugas yang telah dibuatnya atau membacakan rangkuman/kesimpulan yang telah dibuatnya.
-
Untuk siswa kinestetik yang cenderung aktif dapat diberikan tugas untuk memperagakan hasil diskusi yang telah dilakukan bersama kelompok atau temannya.
C. Saran Saran-saran yang dapat diberikan antara lain: 1. Guru harus lebih siap menerapkan pendekatan pembelajaran konstruktivisme dalam proses pembelajaran. 2. Guru dapat lebih kreatif dan inovatif dalam proses pembelajaran sehingga pembelajaran yang bermakna bagi siswa dapat tercapai. 3. Siswa dapat berperan lebih aktif dalam proses pembelajaran sehingga proses transfer ilmu dengan guru sebagai fasilitator dapat terpenuhi.. 4. Sekolah dapat memberikan dukungan sarana dan prasarana belajar bagi siswa untuk memperlancar proses pembelajaran. Selain itu sekolah memberikan kesempatan bagi guru untuk pengembangkan pembelajaran dikelas dengan pembelajaran yang inovatif, kreatif dan menyenangkan bagi siswa. 5. Kelemahan penelitian terjadi disebabkan oleh keterbatasan peneliti dalam mengembangkan instrument penelitian yang memenuhi kriteria. Selain itu juga keterbatasan waktu penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Adrian, 2004. Mengajar Berdasarkan Tipelogi Belajar Siswa. Diambil dari www.depdiknas.go.id/jurnal/ 44/ editor.html tanggal 20 Oktober 2004. Agus Suharjana. 2005. Pengaruh Penggunaan Metode Konstruktivis Dengan Alat Peraga Terhadap Prestasi Belajar Matematika Topik Pecahan Ditinjau Dari Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
267
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Gaya Belajar Pada Siswa Kelas VII Semester 1 SMP Negeri di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Asmin, 2006. Implementasi Pembelajaran Matematika Realistic (RME) dan Kendala yang Muncul di Lapangan. Diambil dari www.depdiknas.go.id/jurnal/ 44/ editor.html. Budiyono A, 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta: UNS Press. ________ B, 2004. Statistika Dasar. Surakarta: UNS Press. De Porter, Bobbi & Hernacki, Mike, 2001, Quantum Learning, Bandung: Kaifa. Don Kumanireng, 2005. Konstruktivisme dan Pembelajaran Lima Level. Diambil dari www.depdiknas.go.id/jurnal/ 44/ editor.html. Hamzah. 2006. Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme. Diambil dari www.depdiknas.go.id/jurnal/ 44/ editor.html. Herman
Hudojo. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pembelajaran Kontruktivistik. (Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika PPS IKIP Malang). Malang.
______________. 2003. Guru Matematika Kontruktivis. (Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma) Yogyakarta Joesmani, 1988. Pengukuran Dan Evaluasi Dalam Pengajaran. Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Kusaeri , 2000. Penerapan Pendekatan Diskusi Dalam Pembelajaran Persamaan Kuadrat Pada Siswa Kelas 1 SMU Negeri 1 Magetan. Disertasi tidak diterbitkan. Madiun: Program Pascasarjana Universitas Widya Mandala. Muhibbin Syah, 1999. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. Ngalim M Purwanto, 2004. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Paul Suparno. 2005. Konstruktivisme dan Dampaknya terhadap Pendidikan.. Diambil dari Kompas Online. ___________. 1998. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
268
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Poppy Yaniawati. 2003. Pendekatan Open Ended: Salah Satu Alternatif Model Pembelajaran Matematika yang Berorientasi pada Kompetensi Siswa. (Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma) Yogyakarta. Rose, Colin, and J. Nicholl, Malcolm. 2001. Accelerated Learning For The 21st Century. Bandung: Yayasan Nuansa. Rusdy A Siroj. 2005. Cara Seseorang Memperoleh Pengetahuan dan Implikaisnya Pada Pembelajaran Matematika. Diambil dari www.depdiknas.go.id/jurnal/ 44/ editor.html. Ruseffendi. 1998. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Soehardjo, 1992. Strategi Belajar Mengajar Matematika. UNS Press. Makalah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Bidang Pendidikan MIPA FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sutarto Hadi. 2003. Paradigma Baru Pendidikan Matematika. (Makalah disajikan pada pertemuan Forum Komunikasi Sekolah Inovasi Kalimantan Selatan di Rantau Kabupaten Tapin, 30 April 2003). Wheatley. G.H. 1991. Constructivist Perspective on Science an Mathematic Learning. Science Education Journal. W.S Winkel. 2002 Psikologi Pendidikan Dan Evaluasi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Y Marpaung. 2003. Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah (Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma) Yogyakarta Zainuddin Maliki, 2006. Paradigma Baru Pendidikan. (Makalah Seminar disajikan dalam Konferensi Pendidikan Muhammdiyah tanggal 2 September 2006) Malang
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
269
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-16 KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KECERDASAN EMOSIONAL Armiati (Dosen Matematika UNP/Mahasiswa S3 Matematika UPI) Email:
[email protected] Abstrak Seringkali kita menemukan siswa yang cerdas dalam matematika, tetapi tidak mampu menyampaikan hasil pemikirannya, apa yang ia pikirkan hanya dia sendiri yang mengerti. Tidak jarang pula kita menemukan siswa yang terlalu ngotot dengan pendapatnya, tidak mau menerima masukan dari orang lain. Hal ini menyiratkan kelemahan mereka dalam berkomunikasi. Padahal sebagai makhluk social setiap orang perlu melakukan komunikasi dengan orang lain. Selain itu kondisi ini juga menyiratkan emosi yang tidak terkontrol. Dalam makalah ini akan dikaji komunikasi matematis dan kaitannya dengan kecerdasan emosi. Key word: komunikasi matematis, kecerdasan emosi
1. Pendahuluan Komunikasi merupakan bagian penting dalam setiap kegiatan manusia. Setiap saat orang melakukan kegiatan kumunikasi. Untuk dapat berkomunikasi secara baik, orang memerlukan bahasa. Matematika merupakan salah satu bahasa yang juga dapat digunakan dalam berkomunikasi. Tetapi kenyataannya banyak siswa/mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam bermatematika. Matematika dianggap sebagai barang mewah, dimana wajar kalau banyak orang yang tidak mampu memilikinya. Dilain pihak, siswa-siswa yang cerdas dalam matematika seringkali kurang mampu menyampaikan hasil pemikirannya. Mereka kurang mampu berkomunikasi dengan baik, seakan apa yang mereka pikirkan hanyalah untuk dirinya sendiri. Suatu keadaan yang sangat kontradiksi, dimana matematika itu sendiri merupakan bahasa, tatapi banyak siswa yang kurang mampu berkomunikasi dengan matematika. Keadaan ini tidak saja berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi, tetapi juga berkaitan dengan kecerdasan emosi.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
270
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Komunikasi matematika bukanlah kemampuan yang sudah ada, tetapi kemampuan
itu
perlu
dikembangkan
dalam
pembelajaran.
Untuk
dapat
mengembangkian kemampuan tersebut perlu dikaji apa dan bagaimana kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud secara teoritis. Kemampuan komunikasi seseorang juga sangat dipengaruhi oleh kondisi emosi. Menurut Goleman (2006,p.7), “emosi adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi”. Artinya seseorang akan mampu berkomunikasi jika ada dorongan untuk melakukannya.
2. Pembahasan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1998, komunikasi (communication) berasal dari bahasa Latin “communis” yang artinya “sama” dalam arti “sama makna” mengenai satu hal. Sementara dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI, 1996) disebutkan bahwa secara terminology komunikasi berarti proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain. Dari dua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan dari seseorang kepada yang yang lain sehingga mereka mempunyai pengertian yang sama terhadap hal yang mereka bicarakan. Untuk dapat berkomunikasi diperlukan alat. Alat utama dalam melakukan komunikasi adalah bahasa. Matematika merupakaan salah satu bahasa yang juga dapat digunakan dalam berkomunikasi selain bahasanya sendiri. Matematika merupakan bahasa yang universal, dimana untuk satu symbol dalam matematika dapat dipahami oleh setiap orang dengan bahasa apapun didunia, misalnya dalam matematika untuk menyatakan jumlah digunakan lambang ∑, dan semua orang memahami bahwa lambang itu menyatakan jumlah. Menurut The Intended Learning Outcomes (ILOs), komunikasi matematika adalah suatu keterampilan penting dalam matematika yaitu kemampuan untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren kepada teman, guru dan lainnya Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
271
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
melalui bahasa lisan dan tulisan. Melalui keterampilan ini siswa mengembangkan dan memperdalam pemahaman matematika mereka bila mereka menggunakan bahasa matematika yang benar untuk berbicara dan menulis tentang apa yang mereka kerjakan.
Bila
siswa
berbicara
dan menulis
tentang
matematika, mereka
mengklarifikasi ide-ide mereka dan belajar bagaimana membuat argument yang meyakinkan dan merepresentasikan ide-ide matematika secara verbal, gambar dan symbol. Baroody (dalam Chap Sam dan Cheng Meng, 2007) menyatakan ada dua alasan untuk fokus pada komunikasi matematika. Alasan
pertama adalah matematika
merupakan bahasa yang esensial bagi matematika itu sendiri. Matematika tidak hanya sebagai alat berpikir yang membantu siswa untuk mengembangkan pola, menyelesaikan masalah dan memberikan kesimpulan, tetapi juga sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikiran, memvariasikan ide secara jelas, tepat dan singkat. Alasan kedua adalah belajar dan mengajar matematika merupakan suatu aktifitas sosial yang melibatkan sekurangnya dua pihak yaitu guru dan siswa. Berkomunikasi dengan teman adalah kegiatan yang penting untuk mengembangkan keterampilan komunikasi, sehingga siswa dapat belajar seperti seorang ahli matematika dan mampu menyelesaikan masalah dengan sukses. Baroody (1993) menyebutkan ada lima aspek komunikasi, yaitu represenrasi (representing), mendengar (listening), membaca (reading), diskusi (discussing) dan menulis (writing). Tetapi dalam standart kurikulum matematika NCTM (2000), representasi tidak lagi termasuk dalam komunikasi tetapi menjadi salah satu standart yang juga perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Sehubungan dengan hal ini berarti aspek dalam komunikasi tidak lagi memuat representasi. Kemampuan mendengar (listening) dengan baik sangat diperlukan oleh siswa, karena ia tidak akan mampu mencerna materi yang sedang disajikan guru jika ia tidak mampu menangkap informasi melalui mendengar. Tanpa mendengar ia juga tidak dapat menangkap topik inti yang sedang dibicarakan dalam suatu diskusi sehingga iapun tidak dapat memberikan komentar. Sehubungan dengan hal ini, Baroody (1993) menyebutkan bahwa mendengar dengan hati-hati pertanyaan teman dalam suatu Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
272
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
kelompok dapat membantu siswa mengkonstruksi lebih lengkap pengetahuan matematika dan mengatur strategi untuk menjawab yang lebih efektif. Kemampuan mendengar yang diharapkan dalam komunikasi adalah kemampuan mendengar kritis, karena hal ini dapat mendorong siswa berpikir tentang jawaban sambil mendengar. Pirie (1990, h. 105) menyebutkan bahwa dalam komunikasi diperlukan pendengar dan pembicara. Kondisi ini hanya bisa terjadi, jika kepada siswa/mahasiswa diberi kesempatan dan didorong untuk berdiskusi, berbagi pendapat dengan temantemannya. Membaca (reading) yang dimaksud dalam aspek komunikasi adalah membaca aktif. Membaca aktif berarti ketika membaca seseorang harus fokus pada paragrafparagraf yang diperkirakan mengandung informasi penting, paragraf yang memuat informasi yang relevan dengan konsep yang sedang dipelajari atau dengan masalah yang sedang ia hadapi. Melalui membaca aktif siswa akan dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Ketika membaca aktif siswa akan mampu mengaitkan pengetahuan yang telah ia miliki dengan informasi yang sedang ia baca. Dalam membaca aktif siswa tidak hanya terlibat secara fisik tetapi juga secara mental. Artinya ketika seseorang sedang membaca, pikiran dan perasaannya juga terlibat dalam kegiatan tersebut. Seseorang yang terlihat sedang membaca tetapi pikirannya tidak tertuju kepada apa yang sedang ia baca, tidak dapat dikatakan sebagai membaca aktif. Dalam komunikasi matematis kemampuan membaca harus ditinjau dari aspek tujuan membaca. Karena keterlibatan mental disaat seseorang sedang membaca akan dipengaruhi oleh tujuan tersebut. Tujuan membaca antara lain adalah; mencari informasi, melihat hubungan atau mencari sesuatu yang tersirat dalam bacaan tersebut. Membaca yang bertujuan mencari informasi berarti ketika membaca seseorang harus mencermati dan menemukan informasi-informasi penting yang terkandung dalam bacaan yang sedang dihadapinya. Ia harus menandai informasi yang ia dapatkan. Jika tujuan membaca adalah melihat hubungan, selain melihat informasi yang ada dalam bacaan, siswa/mahasiswa juga harus dapat menemukan hubungan antara satu informasi dengan informasi lainnya. Sedangkan membaca yang bertujuan mencari sesuatu yang tersirat, selain melihat apa yang tersurat dalam bacaan siswa Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
273
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
juga harus mampu melihat pesan-pesan yang tersirat dalam bacaan yang sedang dibaca. Artinya komunikasi matematis menuntut kemampuan membaca aktif. Menurut Siegel (1996) melalui kegiatan membaca matematis siswa telah dibantu membuat pemahaman tentang konsep dan prosedur secara matematika, melihat hubungan antara matematika dan kehidupan nyata, mengembangkan secara luas pandangan terhadap matematika, mengembangkan strategi untuk saling berbagi informasi dan menilai sendiri ide-ide mereka dan lain sebagainya. Aspek berikutnya dari komunikasi adalah diskusi (discussing). Seorang siswa akan mampu berdiskusi dengan baik jika ia mempunyai kemampuan mendengar dan membaca, serta keberanian yang memadai. Dalam diskusi diperlukan kemampuan komunikasi secara lisan (oral-communication skill). Kemampuan ini dapat diasah melalui latihan secara teratur yang dirancang oleh guru. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain; (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan hasil pekerjaannya di kelas, (2) membiasakan siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, (3) membuat permainan matematika, dan sebagainya. Menulis merupakan aspek keempat dari kemampuan komunikasi. Menulis yang baik menuntut pemikiran yang baik (Whimbey, Lochhead, Linden, Welsh, 2001, h.298). Menulis adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran. Menurut Mayer (dalam Masingila & Wisniowska, 1996, h.96), menulis adalah proses bermakna dimana siswa secara aktif membangun hubungan antara konsep yang sedang ia pelajari dengan konsep yang sudah ia pahami. Melalui kegiatan ini siswa dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran. Agar kegiatan menulis menjadi bermakna, maka harus diperhatikan tujuan dari menulis tersebut. Beberapa tujuan menulis antara lain adalah; membuat catatan agar tidak lupa, membuat penjelasan secara rinci, dan membuat tulisan agar dapat dibaca dan dipahami oleh orang lain. Berkaitan dengan kemampuan komunikasi, kemampuan menulis yang diharapkan tentulah kemampuan yang dapat bermanfaat secara maksimal, yaitu kemampuan menulis yang bertujuan agar tulisannya dapat dibaca dan dipahami oleh orang lain.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
274
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Sipka (1989) memberikan dua kategori yang berkaitan dengan kemampuan menulis matematika, yaitu informal dan formal. Kemampuan menulis matematis yang termasuk kategori informal adalah (a) in-class writing; (b) math autobiographies; (c) reading logs; (d) journals;dan (e) letters. Sedangkan kemampuan menulis matematis yang termasuk dalam kategori formal adalah (a) proof; (b) process papers; (c) summaries of journal; (d) solution of journal problem; (e) research papers; dan (f) lecture/learning notes Kemampuan-kemampuan ini tidak mungkin dapat muncul dengan sendirinya, tetapi perlu dilatihkan dalam kegiatan pembelajaran. Hal yang dapat dilakukan guru untuk
mendorong
siswa
dalam
menulis
antara
lain
adalah
dengan
meminta/menugaskan siswa membuat pertanyaan (question), membuat penjelasan (explanation), membuat definisi dengan bahasa mereka sendiri, atau membuat rangkuman. Komunikasi dapat dilakukan jika siswa/mahasiswa mempunyai pemahaman tentang materi atau konsep yang akan dikomunikasikan dan mempunyai keberanian untuk melakukan. Pemahaman ini dapat terjadi berdasarkan hasil pemikiran rasional yang merupakan dimensi kecerdasan kognitif dan intelektual. Kecerdasan kognitif dan intelektual lebih dikenal dengan IQ. Sebelumnya kecerdasan kognitif dan intelektual dianggap sebagai kecerdasan yang sangat menentukan dalam kehidupan seseorang. Namun belakangan disadari bahwa ada kecerdasan lain yang tak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan non intelektual (non- kognitif) berupa emosi, faktor-faktor pribadi dan sosial. Kecerdasan non-inetelektual inilah yang akan menuntun siswa/ mahasiswa untuk mempunyai keberanian dalam melakukan komunikasi. Seorang ahli psikologi David Wechsler (dalam Mubayidh, 2006, p. 13) mendefinisikan kecerdasan sebagai ”kemampuan sempurna (komprehensif) seseorang untuk berprilaku terarah, berpikir logis dan berinteraksi secara baik dengan lingkungannya”. Sejak akhir tahun tiga puluhan beberapa ahli (seperti Thorndike, Wechsler, Hempil) telah meyakini peranan kecerdasan non-intelektual ini dalam keberhasilan seseroang, tetapi untuk beberapa tahun pendapat ini diabaikan. Mulai pada dekade 90-an barulah dimensi non-intelektual untuk menilai kecerdasan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
275
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
seseorang diperhitungkan. Dimensi non inteletual mulai dipandang sebagai faktor penting yang menetukan keberhasilan manusia, baik dalam kehidupan pribadinya maupun dalam aktifitas lainnya. Seperti telah disebutkan kecerdasan non-intelekrual diantaranya adalah emosi. Beberapa ahli memberikan definisi tentang kecerdasan emosional. Salovey dan Mayer (dalam Mubayidh, 2006, p. 15) menyebutkan kecerdasan emosional sebagai ”suatu kecerdasan sosial yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau baik emosi-dirinya maupun emosi orang lain, dan juga kemampuan dalam membedakan emosi-dirinya dengan emosi orang lain, dimana kemampuan ini digunakannya untuk mengarahkan pola pikir dan perilakunya”. Sementara Goleman (2006, p.45) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah ” kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa”. Kedua definisi ini menyiratkan bahwa kecerdasan emosional dapat menuntun seseorang untuk selalu bertindak hati-hati, tidak meledak-ledak, tidak emosional dan selalu dapat berempati terhadap apa yang sedang dirasakan orang yang sedang dihadapinya. Definisi lainnya tentang kecerdasan emosional dikemukakan oleh Mubayidh (2006, p. 7) yaitu ”kemampuan untuk menyikapi pengetahuan emosional dalam bentuk menerima, memahami dan mengelolanya”. Menurut definisi ini terdapat empat dimensi dari kecerdasan emosional, yaitu (1) mengenali, menerima, dan mengekspresikan emosi (kefasihan emosional), dengan cara: • mampu membaca emosi yang tergambar pada wajah, suara, gerak anggota
badan, alunan musik, intisari cerita atau hikayat, dan juga mampu mengungkapkan emosi-emosi ini dengan baik • mampu membedakan emosi orang lain, bentuk, dan tulisan, baik melalui suara,
ekspresi wajah dan tingkah laku • mampu membedakan emosi yang jujur dan emosi yang dibuat-buat, atau emosi
yang biasa dan mendalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
276
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
(2) menyertakan emosi dalam kerja-kerja intelektual, dengan cara • mampu mengaitkan emosi tertentu dengan tindakan responsif akal atau mampu
mengaitkan emosi dengan kegiatan berpikir, memberikan penilaian atau memecahkan suatu masalah • mampu memasukkan emosi dalam kegiatan intelektual untuk menganalisa atau
memahami • mampu mengurutkan prioritas berpikir • mampu mengarahkan memori, membuat penilaian dan keputusan akhir • emosi mendorong manusia untuk menerima pandangan dan pendapat yang
beragam • sikap dan pengarahan yang diberikan emosi mempengaruhi metode seseorang
dalam memecahkan masalah tertentu (3) memahami dan menganalisa emosi, dengan cara • mampu menafsirkan tanda-tanda yang disampaikan emosi (sedih, bahagia) • mampu memahami emosi-emosi yang rancu, campur aduk antara cinta dan
benci, takut atau terkejut • mampu mengetahui perubahan dari satu emosi ke emosi lainnya, seperti dari
marah menjadi rela atau lega • memahami nilai emosi dalam kehidupan dan keberlangsungan hidupnya
(4) mengelola emosi, dengan cara • mampu bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya • mampu mengubah emosi negatif menjadi proses belajar yang membangun,
memandang emosi negatif sebagai sebuah kesempatan untuk berkembang • mampu membantu orang lain untuk mengenali dan memanfaatkan emosinya • mampu melestarikan hubungan terbuka dan interaktif dengan emosi yang
menyenagkan maupun menyedihkan • mampu mendekati dan menjauhi emosi tertentu sesuai dengan makna dan
pemikiran yang dibawanya • mampu memantau emosi sendiri atau orang lain Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
277
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
• mampu meringankan emosi negatif dan memperkuat emosi positif
Selanjutnya dicermati kembali aspek-aspek yang terdapat dalam kemapuan komunikasi matematis, yaitu listening, reading, discussing, dan writing kemudian dikaitkan dengan kecerdasan emosional.
Listening
adalah kemampuan untuk
mencerna informasi yang diterima melalui pendengaran. Seseorang tidak akan mampu mencerna informasi yang ia dengar jika ia tidak mempunyai kemampuan menerima dan mengelola emosinya. Reading (membaca) yang dimaksud dalam aspek komunikasi adalah membaca aktif. Membaca aktif hanya dapat dilakukan jika seseorang mampu bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya dan mampu mengubah emosi negatif menjadi proses belajar yang membangun serta memperkuat emosi positifnya. Artinya ketika mebaca aktif ia melibatkan kecerdasan intelektual dan non-intelektual. Ketika berdiskusi seseorang harus mampu mengelola emosinya, agar ia menyadari kapan ia harus menjadi pendengar atau kapan ia harus mengungkapkan pendapatnya. Kemampuan writing sangat membutuhkan kepiawaian memasukkan emosi dalam kegiatan intelektual untuk menganalisa atau memahami, mengurutkan prioritas berpikir, mampu mengarahkan memori, membuat penilaian dan keputusan akhir. Dari semua ini terlihat bahwa kemampuan komunikasi matematis akan dapat berkembang dengan baik jika dalam waktu yang bersamaan kecerdasan emosional juga berkembang. Menurut Agustian (2001, p.xliii) pendidikan di Indonesia selama ini, terlalu menekankan arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja, jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosional yang mengajarkan: integritas; kejujuran; komitmen; visi; kreatifitas; ketahanan mental; kebijaksanaan; keadilan; prinsip kepercayaan; penguasaan diri atau sinergi, padahal justru inilah yang terpenting. Pendapat ini menyiratkan kepada kita bahwa lemahnya kemampuan komunikasi siswa/mahasiswa selama ini bisa jadi karena sistem pendidikan kita yang masih sangat mengabaikan aspek kecerdasan emosional yang dapat digolongkan dalam aspek afektif.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
278
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
3. Penutup Salah satu alasan mengapa komunikasi matematis menjadi penting adalah karena matematika tidak hanya sebagai alat berpikir yang membantu siswa untuk mengembangkan pola, menyelesaikan masalah dan memberikan kesimpulan, tetapi juga sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikiran, memvariasikan ide secara jelas, tepat dan singkat. Ada empat aspek komunikasi matematis, yaitu mendengar (listening), membaca (reading), diskusi (discussing) dan menulis (writing). Komunikasi dapat dilakukan jika siswa/mahasiswa mempunyai pemahaman tentang materi atau konsep yang akan dikomunikasikan dan mempunyai keberanian untuk melakukan. Kecerdasan non-inetelektual (emosional) akan menuntun siswa/ mahasiswa untuk mempunyai keberanian dalam melakukan komunikasi. Kecerdasan emosional dapat menuntun seseorang untuk selalu bertindak hati-hati, tidak meledakledak, tidak emosional dan selalu dapat berempati terhadap apa yang sedang dirasakan orang yang sedang dihadapinya. Lemahnya kemampuan komunikasi siswa/mahasiswa selama ini bisa jadi karena sistem pendidikan kita yang masih sangat mengabaikan aspek kecerdasan emosional yang dapat digolongkan dalam aspek afektif
Daftar Bacaan [1] Agustian, Ary Ginanjar. (2001). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ). Jakarta: Penerbit Arga [2] Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8, Helping Children Think Mathematically. New York: Merril, an inprint of Macmillan Publishing , Company. [3] Chap Sam, LIM,. Cheng Meng, CHEW . (2007). Mathematical Communication in Malaysian Bilingual Classrooms. Paper to be presented at the 3rd APEC-Tsukuba International Conference 9 -14 2007 at Tokyo and Kanazawa, Japan [online] [4] Goleman, Daniel. ( 2006). Kecerdasan Emosional. Edisi Bahasa Indonesia terjemahan T. Hermaya. Jakarta: PT SUN [5] Masingila, J.O., & Wisniowska, E.P. (1996). Developing and Assesing Mathematical Understanding in Calculus Through writing. In P.C Elliot, and M.J. Kenney (eds). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. USA: NCTM
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
279
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
[6]Mubayidh, Makmun. (2006). Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak. Referensi Penting bagi Para Pendidik & Orang Tua. Edisi Bahasa Indonesia terjemahan Muhamad Muchson Anasy. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar [7] Siegel, Marjorie. (1996). Using Reading to Construct Mathematical Meaning. In P.C Elliot, and M.J. Kenney (eds). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. USA: NCTM [8] Sipka, T. (1989). Writing in Mathematics: A Plethora of Possibilities. Using Writing to Teach Mathematics. (ed) Andrew Sterrett. Mathematical Association of America (MAA Notes Series) Whimbey, Arthur,. Lochhead, Jack,. Linden, Myra J,. Wels, Carol. (2001). What is Write for thinking. In Developing Minds a Resource Book For Teaching Thinking. Edited by Arthur L. Costa. USA: ASCD
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
280
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-17 PENGEMBANGAN LKS BERBASIS ICT PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP RSBI Sitti Maesuri Patahuddin Siti Rokhmah Mohamad Nur Pusat Sains dan Matematika Sekolah (PSMS) Unesa ABSTRAK Perkembangan teknologi internet yang cepat dan tuntutan kebijakan sekolah RSBI yang mengharapkan integrasi teknologi dan pembelajaran yang berbahasa Inggris menjadi motivasi utama dalam mengekplorasi cara memanfaatkan website matematika berbahasa Inggris untuk pembelajaran matematika di RSBI. Artikel ini mendeskripsikan proses pengembangan LKS berbasis ICT dan membahas hasil ujicoba terbatas pada siswa tersebut mencakup pemahaman materi matematika dan respon siswa. Implikasi dari hasil pengembangan dan ujicoba ini juga didiskusikan dalam kaitannya penerapan pada kelas besar, peran LKS, kesesuaian dengan kurikulum, serta isu berkaitan dengan bahasa Inggris. Kata kunci: internet, website matematika berbahasa Inggris, LKS berbasis ICT, RSBI
PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3 (Sekretaris Negara Republik Indonesia, 2003) dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 61 Ayat 1 tentang sekolah bertaraf internasional (Departemen Pendidikan Nasional, 2007), maka apabila terdapat sekitar 500 kabupaten/kota di Indonesia, maka di masa yang akan datang terdapat sekitar 200.000 sekolah bertaraf internasonal (SBI) di seluruh Indonesia. Profil lulusan siswa SBI yang diharapkan, menurut Effendy (2009) antara lain kemampuan memecahkan masalah, kemampuan dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan penguasaan materi pelajaran. Effendi juga mengemukakan bahwa kualitas pengajaran di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) harus ditingkatkan. Di samping guru dituntut mampu menggunakan media/sumber belajar Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
281
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
berbasis TIK dalam pembelajaran, guru juga dituntut melaksanakan pembelajaran dalam bahasa Inggris secara efektif. Namun demikian, meminta para guru untuk mengubah pengajarannya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris bukanlah hal yang mudah. Temuan peneliti di lapangan, guru matematika sering kurang percaya diri dalam berkomunikasi bahasa Inggris dan bahkan sering terjadi, kemampuan bahasa Inggris siswa di kelas RSBI melebihi kemampuan gurunya. Akibatnya, pembelajaran matematika (berbahasa Inggris) yang berkualitas sulit tercapai. Bersamaan dengan tuntutan pengajaran dengan bahasa Inggris, guru maupun siswa diharapkan mampu memanfaatkan teknologi yang telah tersedia, termasuk teknologi internet. Pertanyaan yang menarik untuk dicermati: apakah untuk memenuhi tuntutan di atas, pemanfaatan website matematika berbahasa Inggris dapat dijadikan sebagai salah satu solusi. Penelitian oleh Patahuddin (2009) di Sekolah Dasar di Australia tentang pemanfaatan internet untuk pembelajaran dan pengajaran matematika, menunjukkan bahwa penggunaan internet dapat memperkaya pembelajaran matematika siswa, membantu guru melayani kebutuhan belajar siswa yang berbeda-beda. Pertanyaan lain yang muncul, jika kita ingin mengajarkan matematika dengan website maka website mana sajakah yang visible digunakan untuk pembelajaran matematika di Indonesia. Website pembelajaran matematika yang selama ini dieksplorasi oleh peneliti adalah website yang berbahasa Inggris. Hal ini menjadi tantangan karena jika belajar matematika itu sendiri sudah dianggap sulit atau pun membosankan bagi anak, bagaimana jika ditambah kesulitannya dengan penggunaan bahasa Inggris. Sementara itu, berdasarkan penelusuran peneliti dalam lima tahun terakhir website-website pembelajaran matematika yang telah tersedia dalam bahasa Indonesia masih terbatas. Temuan
Rokhmah
(2009)
dalam
penelitiannya
tentang
pembelajaran
matematika menggunakan website berbahasa Inggris di salah satu RSBI di Sidoarjo memberikan indikasi positif. Meskipun siswa tampak kesulitan dalam aspek bahasa tetapi banyak siswa yang antusias dalam belajar matematika dengan website tersebut. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
282
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Hal ini dikarenakan, mereka dapat belajar sekaligus dua hal, yaitu bahasa Inggris dan matematika. Selain itu, animasi pada website merupakan tambahan variasi dalam belajar matematika. Penelitian Rokhmah juga menunjukkan bahwa penggunaan internet bagi para siswa bukanlah hal yang asing atau sulit bagi mereka. Mereka telah menggunakan secara terbatas pada situs pertemanan seperti friendster, facebook, dan google. Para siswa tersebut juga mengakui bahwa belajar matematika dengan menggunakan internet merupakan hal yang baru dan menyenangkan. Menyadari bahwa di satu sisi banyak sekali sumber-sumber belajar yang tersedia melalui internet yang dapat digunakan untuk membantu pemahaman matematika siswa, di sisi lain pemanfaatan sumber-sumber belajar tersebut dapat menjadi tantangan tersendiri (baik aspek teknis maupun strategi pembelajaran dan pengajarannya), maka makalah ini mendeskripsikan proses pengembangan LKS yang mengintegrasikan website-website matematika berbahasa Inggris serta hasil dari ujicoba terbatas LKS tersebut. Website pembelajaran Matematika Ketersediaan
website-website
pembelajaran
sangat
berpengaruh
pada
kelancaran proses pembelajaran dengan menggunakan internet. Guru dituntut untuk mampu menentukan website yang sesuai dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Banyak studi yang telah mengevaluasi sumber-sumber pembelajaran matematika yang tersedia melalui internet yang bisa digunakan dalam pembelajaran (misalnya Engelbrecht & Harding, 2005; Moyer & Bolyard, 2002). Salah satu organisasi profesi yang telah lebih dulu meluncurkan website pembelajaran matematika adalah NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) dari Amerika. Salah satu website yang diluncurkan oleh NCTM adalah http://illuminations.nctm.org. Website tersebut menyediakan sumber-sumber belajar online yang bisa digunakan guru dalam pembelajaran matematika. Dalam website ini siswa juga bisa learning by doing karena banyak aktifitas yang interaktif yang bisa dilakukan siswa selama belajar dengan menggunakan website tersebut.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
283
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pembelajaran Matematika dengan Internet Saat ini, perhatian terhadap pentingnya internet dalam pendidikan semakin meningkat. Beberapa studi telah dilakukan kaitannya dengan penggunaan Internet di sekolah dasar dan menengah pertama (Alejandre & Moore, 2003; Gerber, Shuell & Harlos, 1998), di sekolah menengah atas (Hsu, Cheng, & Chiou, 2003) dan di perguruan tinggi atau universitas (Foster, 2003; Timmerman, 2004; Varsavsky, 2002). Tujuan penggunaan internet dalam pembelajaran matematika adalah untuk mencari objek ajar matematika, sebagai alat belajar siswa (Gibson & Oberg, 2004; Patahuddin & Dole, 2006; Patahuddin, 2009), dan untuk menunjang kemampuan dan pengetahuan siswa tentang teknologi (Patahuddin & Dole, 2006; Patahuddin, 2009). Pembelajaran dengan menggunakan internet dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, meningkatkan keinginan untuk mengambil resiko (take risk) dan kemauan bereksperimen atau mengeksplorasi beberapa cara yang berbeda dalam menyeesaikan masalah matematika (Moor & Zazkis, 2000). Internet, dalam hal ini website pembelajaran matematika, sangat membantu guru memfasilitasi siswa belajar (Gibson & Oberg, 2004; Patahuddin & Dole, 2006; Patahuddin, 2009). Guru tidak perlu membuat website karena sudah banyak tersedia di internet. Akan tetapi masih didominasi oleh website berbahasa Inggris. Hal ini sekaligus akan membantu guru dalam pembelajaran matematika di RSBI yang dituntut untuk menggunakan bahasa Inggris.
METODE PENELITIAN Penelitian pengembangan ini mengacu pada siklus pengembangan instruksional Fenrich (1997). Langkah-langkah pengembangan tersebut meliputi fase analysis, planning, design, development, dan implementationseperti tampak pada Gambar 1. Pada siklus tersebut, evaluation and revision merupakan kegiatan berkelanjutan yang dilakukan pada tiap fase di sepanjang siklus pengembangan tersebut. LKS berbasis ICT yang dikembangkan dilengkapi dengan Kunci LKS, kit alat dan bahan serta vocabulary list. Pengembangan dilakukan dalam periode OktoberNovember 2009 dan diujicobakan pada tiga orang siswa Kelas VII RSBI SMP Al Hikmah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
284
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Surabaya pada tanggal 30 Oktober 2009. Proses ujicoba bertempat di ruang laboratorium IPA yang dilengkapi koneksi internet Wi-fi. Ketiga siswa dipilih oleh guru matematikanya (1 berkemampuan tinggi, 1 sedang, dan 1 rendah) masing-masing membawa laptop. Instrument utama penelitian ini adalah tim peneliti. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan log book atau diary penelitian. Pada saat pelaksanaan ujicoba, tim peneliti yang dibantu oleh seorang pengamat mengumpulkan data menggunakan catatan lapangan, kamera video dan foto. Data lain juga bersumber dari hasil kerja siswa pada ketiga LKS serta angket respon siswa terhadap pembelajaran matematika berbasis ICT. Data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Proses analisis ini berlangsung secara berkelanjutan, baik dengan menggunakan mindmapping, diskusi antar tim peneliti, metode triangulasi untuk melihat kesesuaian data dari sumbersumber yang berbeda, misalnya dari percakapan informal dengan guru, dari catatan lapangan, dan video proses pembelajaran.
PROSES PENGEMBANGAN LKS BERBASIS ICT Fase analisis Pada tahap ini, peneliti mereviu berbagai macam website pembelajaran matematika berbahasa Inggris. Selanjutnya menganalisis kurikulum matematika SMP dan mereviu kembali website-website pembelajaran matematika yang sesuai dengan kurikulum matematika SMP. Hasil reviu tersebut disajikan dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Daftar Contoh Website Pembelajaran Matematika dan Topik Matematika yang Tercakup Topik No . 1 2 3
Website
Bilanga n
Aljaba r
Geome tri
Pengukur an
http://illuminations.nctm.org http://nlvm.usu.edu http://math.com
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ -
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
Statistik & Peluang √ √ 285
PROSIDING
4 5 6 7 8 9 1 0
ISBN : 978-979-16353-3-2
http://www.webmath.com http://nrich.maths.org http://oneweb.utc.edu http://math.rice.edu/~lanius/les sons http://aplusmath.com/games/in dex.html http://coolmath.com
√ √ -
√ √ -
√ √ √
√ √ -
√ √ -
√
√
√
-
√
√
√
√
-
-
-
√
√
-
-
http://mathisfun.com
√
√
√
√
√
Berdasarkan hasil pertimbangan kecocokan materi yang ada di kurikulum dan website yang telah ditemukan, ditetapkan materi LKS berbasis ICT, yaitu segitiga dan segi empat dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar sperti terlihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dan website Segitiga dan Segi Empat N Kelas/ oSemest Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Contoh Website . er Memahami konsep Mengidentifikasi sifat-sifat http://math.com/sch segi empat dan segitiga berdasarkan sisi dan ool/subject3/lessons/ segitiga serta sudutnya S3U2L2GL.html 1 VII/2 menentukan http://illuminations.n ukurannya ctm.org/ActivityDetai l.aspx?ID=142 Memahami konsep Menghitung keliling dan luas http://illuminations.n segi empat dan bangun segitiga serta ctm.org/ActivityDetai 2 VII/2 segitiga serta menggunakannya dalam l.aspx?ID=21 menentukan pemecahan masalah ukurannya
Fase perencanaan dan perancangan Setelah website dan materi ajar ditetapkan, peneliti memikirkan cara mengajarkan topik terpilih dan mengemasnya dalam LKS berbasis ICT serta mempertimbangkan alat dan bahan yang diperlukan. Pada tahap perancangan, peneliti memfokuskan perhatian untuk mengkonstruksi LKS yang dapat membantu siswa memanfaatkan website matematika berbahasa Inggris untuk membangun pemahaman matematika siswa dan membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
286
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pada fase ini, peneliti juga memprediksi hal-hal yang mungkin terjadi dalam pembelajaran dengan LKS tersebut serta memikirkan antisipasinya. Misalnya peneliti memprediksi ada kemungkinan siswa belum terbiasa dengan istilah matematika, meskipun mereka mungkin mampu berbahasa Inggris sehari-hari. Oleh karena itu, peneliti menyiapkan vocabulary list berisi istilah-istilah bahasa Inggris dan terjemahannya untuk materi segitiga dan segi empat. Peneliti juga menyediakan kamus matematika online yang ada dalam http://math.com. Prediksi yang lain adalah banyaknya link dalam website memungkinkan siswa membuka halaman (page) yang tidak sesuai dengan LKS dan akibatnya dapat membingungkan siswa. Oleh karena itu, peneliti mengantisipasi dengan menuliskan alamat lengkap website yang langsung menuju pada halaman yang dimaksud pada LKS. Instruksi yang diberikan pun diupayakan sejelas mungkin dan website yang dipilih memuat animasi yang bisa merangsang ketertarikan siswa dalam belajar matematika. Prediksi lain dari peneliti adalah siswa mungkin tidak fokus mengerjakan LKS, terutama yang terkait dengan website. Misalnya siswa asal mengeklik, tidak mengerjakan tugas sesuai petunjuk LKS. Oleh karena itu, siswa diminta mendokumentasikan hasil kerjanya dengan menggunakan print screen. Dengan demikian hasil kerja siswa tersebut dapat diprint ditempelkan pada LKS. Dalam LKS tersebut pun dibuat beberapa tabel yang perlu dilengkapi oleh siswa berdasarkan temuannya melalui website, dan beberapa ruang kosong untuk menuliskan jawaban siswa atas pertanyaan yang diberikan. Sehingga siswa tetap diminta untuk menunjukkan bukti hasil belajar siswa menggunakan website berbahasa Inggris. Dengan demikian, hal terpenting pada tahap perancangan ini adalah memikirkan proses pembelajaran menggunakan website untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Fase pengembangan LKS matematika berbasis ICT yang diujicobakan sebanyak 3. Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Tujuan Pembelajaran serta website yang digunakan pada masing-masing LKS secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
287
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Tabel 3. Daftar LKS, deskripsi tujuan dan website yang digunakan Kompetensi Standar Kompetensi Tujuan pada LKS Dasar Memahami konsep Mengidentifika LKS 01 segi empat dan si sifat-sifat Tujuan: segitiga serta segitiga 1. Mengklasifikasikan segitiga berdasarkan panjang sisimenentukan berdasarkan sisi dan besar sudutnya. ukurannya sisi dan 2. Menjelaskan sudutnya jenis-jenis segitiga berdasarkan panjang sisi-sisi dan besar sudutnya Memahami konsep Mengidentifika LKS 02 segi empat dan si sifat-sifat Tujuan: segitiga serta segitiga 1. Mengklasifikasikan segitiga menentukan berdasarkan berdasarkan panjang sisiukurannya sisi dan sisi dan besar sudutnya. sudutnya 2. Mengkonstruksi berbagai macam segitiga dengan menggunakan software yang tersedia secara online. Memahami konsep Mengidentifika LKS 03 segi empat dan si sifat-sifat Tujuan: segitiga serta kubus, balok, 1. Menemukan rumus luas menentukan prisma, dan persegi panjang. ukurannya limas serta 2. Menemukan rumus luas bagianjajargenjang dengan bagiannya mengacu pada luas persegi panjang
Website http://math.com/ school/subject3/le ssons/S3U2L2GL.h tml
http://illumination s.nctm.org/Activit yDetai.aspx?ID=14 2
http://illumination s.nctm.org/Activit yDetai.aspx?ID=21
LKS matematika berbasis ICT yang telah direviu secara intensif oleh Tim Peneliti dan telah melalui beberapa kali revisi, diujicobakan pada 3 siswa seperti dijelaskan sebelumnya. Hasil analisis pengamatan dan video, membantu proses revisi selanjutnya. Misalnya perlunya kata print screen dicetak tebal pada LKS dan perlu mengubah format vocabulary list, yaitu harus dipisahkan kosa kata berdasarkan masing-masing LKS. Tiga LKS matematika berbasis ICT yang dikembangkan adalah: LKS Klasifikasi Segitiga berdasarkan panjang sisi dan besar sudutnya, dan LKS untuk mengkonstruksi
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
288
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
berbagai macam jenis segitiga serta LKS Luas Segi Empat dalam hal ini persegi panjang dan jajargenjang. Hasil Ujicoba LKS Matematika Berbasis ICT Pada LKS 01 siswa banyak belajar tentang mathematics vocabulary tentang segitiga yang belum mereka ketahui sebelumnya. Setelah belajar melalui LKS dan website yang terkait, siswa mampu mengklasifikasikan segitiga, baik berdasarkan panjang sisinya, besar sudutnya, maupun berdasarkan kedua-duanya. Mereka tidak hanya mampu mengklasifikasikannya ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tetapi mereka juga mampu menjelaskan karakteristik dari masing-masing segitiga tersebut. Dalam kegiatan dengan LKS 02 siswa mampu mengkonstruksi segitiga siku-siku dan segitiga sama kaki, baik melalui hands-on activity maupun virtual hands-on, jika diberikan satu segmen garis dan segmen garis tersebut menjadi salah satu sisi dari segitiga tersebut. Meskipun awalnya siswa hanya mampu menunjukkan satu bentuk dari masing-masing segitiga, tetapi pada akhirnya siswa mampu membuat lebih dari tiga bentuk segitiga yang berbeda. Bahkan di akhir kegiatan mereka mampu menyimpulkan bahwa akan terbentuk tak hingga banyaknya segitiga dengan syarat seperti yang tersebut di atas. Setelah belajar dengan LKS 03 siswa dapat menentukan luas jajargenjang dengan mengacu pada luas persegi panjang. Website dengan animasi memberikan ilustrasi proses terjadinya jajargenjang menjadi persegipanjang. Pada akhir kegiatan, siswa dapat menyimpulkan bahwa setiap jajargenjang dapat dibentuk menjadi persegi panjang. Selain itu, siswa dapat mendemonstrasikan cara membuat persegi panjang dari model jajargenjang yang terbuat dari kertas karton dengan memotongnya menjadi dua. Awalnya ada siswa yang beranggapan bahwa untuk membuat persegi panjang dari jajargenjang harus memotong jajargenjang tersebut menjadi dua bagian yang sama, seperti yang dicontohkan dalam website. Akan tetapi setelah mencoba sendiri membuat persegi panjang dari berbagai macam bentuk jajargenjang, siswa tersebut menyimpulkan bahwa tidak harus memotong jajargenjang menjadi dua bagian yang Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
289
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
sama untuk membuat sebuah persegi panjang tergantung dari bentuk jajargenjang tersebut. Pada akhir kegiatan, siswa dapat menyimpulkan bahwa jika jajargenjang dapat dibentuk menjadi persegi panjang maka luas jajargenjang tersebut sama dengan luas persegi panjang yang dibentuk sehingga rumus luas jajargenjang sama dengan rumus luas persegi panjang sama dengan panjang kali lebar. Berdasarkan pengamatan, tampak bahwa pada kegiatan pembelajaran berbasis ICT ini, siswa mengalami mindson, virtual hands-on, dan hands-on. Respon Siswa Pada akhir kegiatan ujicoba siswa dibagikan angket untuk mengetahui respon mereka terhadap pembelajaran dengan LKS berbasis ICT. Berdasarkan hasil analisis angket tersebut, diketahui bahwa semua siswa belum pernah menggunakan website pembelajaran matematika di sekolah. Hal ini sejalan dengan dugaan kami bahwa guru belum terbiasa menggunakan internet di sekolah, sebab gurunya pun belum mengetahui password yang harus digunakan untuk dapat terkoneksi dengan internet. Temuan lain, siswa senang dan berminat mengikuti pembelajaran ini karena mereka dapat belajar banyak hal yang belum mereka ketahui sebelumnya dari internet. Mereka merasa belajar dengan menggunakan internet seru dan tidak membosankan. Mereka juga menyatakan bahwa belajar dengan menggunakan internet dapat meningkatkan motivasi belajar matematika mereka, seperti tergambar pada respon siswa di bawah ini.
Website-website yang digunakan selama pembelajaran ini menurut mereka menarik karena bagus, terdapat animasi dan materinya cukup jelas serta mempermudah pemahaman mereka terhadap materi. Selain itu, adanya peran pendamping, dalam hal ini guru, yang selalu bertanya dan menjawab pertanyaan siswa, juga membantu siswa belajar. Secara umum siswa tidak mengalami hambatan selama pembelajaran ini. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
290
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Hanya saja pada pelaksanaan LKS 1, waktu pelaksanaan tidak sesuai dengan yang direncanakan karena siswa memerlukan waktu lebih untuk mengingat istilah-istilah matematika dalam bahasa Inggris tersebut. Pada ujicoba ini terdapat siswa yang sangat positif pandangannya tentang penggunaan website berbahasa Inggris dalam pembelajaran matematika, meskipun dua siswa lainnya masih sering bertanya arti kata-kata tertentu. Berdasarkan pengamatan, secara umum mereka dapat mengerti kata-kata yang ada dalam website sebab dalam banyak kesempatan meraka diminta menerjemahkan dan mereka mampu malakukannya, antara lain seperti tampak pada kutipan transkrip berikut. Guru : I want to listen to Ammar to explain to Nukman about how to do this Siswa : Nukman, The classification of the triangle based on the length of the sides it means klasifikasi segitiga berdasarkan panjang sisi-sisinya, yaitu Isosceles, scalene, and equilateral. Selama ujicoba berlangsung satu siswa mengeluhkan tentang tempat dan waktu pelaksanaan. Hal ini karena mereka sudah terbiasa belajar di ruang berAC (Air Condition) sedangkan di Lab IPA tersebut tidak tersedia AC. Akibatnya, siswa yang sama pun menyarankan agar tidak melakukan ujicoba dalam waktu yang lama (pukul 07.30-16.00). Meskipun muncul keluhan tersebut, ketiga siswa ujicoba tetap terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
PENUTUP Keberadaan LKS berbasis ICT tampak membantu proses pembelajaran matematika siswa. Penggunaan LKS pada saat pembelajaran matematika dengan internet tentu tidak menjadi satu keharusan namun upaya mengantisipasi apa yang akan terjadi pada siswa ketika diminta belajar dengan internet harus dipertimbangkan. Misalnya, kemungkinan waktu download suatu website yang lambat sehingga waktu belajar terganggu. Demikian juga, kemungkinan siswa mengeklik website-website lain. Pelaksanaan ujicoba ini hanya dilakukan pada tiga orang siswa. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah penggunaan LKS berbasis ICT ini dapat diterapkan pada kelas besar. Jawabannya tentu sangat terkait dengan situasi kelas. Pembelajaran dengan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
291
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
internet tentunya dipengaruhi oleh banyaknya komputer yang terkoneksi dengan internet. Dalam kasus ujicoba terbatas ini, terdapat siswa dapat membaca dan menavigasi internet relatif mudah tanpa bantuan yang banyak dari peneliti. Ini berarti, jika dalam suatu kelas terdapat siswa-siswa yang sudah berkarakteristik mandiri, maka mereka dapat belajar sesuai dengan kecepatan mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan temuan Patahuddin (2009) bahwa internet menjadi salah satu alat yang sangat “powerful” untuk melayani para siswa yang mempunyai kecepatan berbeda dalam proses belajar matematika. Berdasarkan pengalaman dalam mengembangkan LKS berbasis ICT, hal yang paling menantang adalah menemukan website-website yang bersesuaian dengan kurikulum yang sedang berlaku. Kurikulum tampak linier atau mempunyai urutan-urutan tertentu, sedangkan sifat internet yang “multilink” menyebabkan tidak linier. Websitewebsite matematika yang tersedia di Internet tidak dikembangkan secara kaku berdasarkan suatu kurikulum tertentu. Demikian pula dengan kurikulum yang tidak dikembangkan berdasarkan pada pertimbangan yang cermat akan karakteristik dari teknologi internet. Hal ini relevan dengan temuan Patahuddin, ketika pengamatan dilakukan di kelas satu di SD di Australia, dimana siswa belajar tentang penjumlahan. Tetapi seorang anak merasa bahwa materi yang ada pada website itu terlalu mudah, maka dengan inisiatifnya sendiri, siswa tersebut mengeklik website yang berkaitan dengan pengurangan. Guru yang melihat hal ini melarang siswa melakukan hal tersebut karena materi itu dianggapnya untuk siswa Kelas II. Guru juga mempertimbangkan jika siswa tersebut diberi kebebasan maka dikhawatirkan akan mempengaruhi siswa lainnya. Dengan demikian, tantangan yang muncul adalah bagaimana guru menyikapi isu antara kurikulum dan potensi internet untuk mendukung pembelajaran matematika. LKS yang dikembangkan berbahasa Inggris. Di satu sisi, ada tuntutan bagi siswa RSBI untuk lebih aktif menggunakan bahasa Inggris. Akan tetapi, di sisi lain bahasa bisa menjadi penghambat pemahaman siswa bila bahasa itu sendiri tidak dikuasai secara optimal. Pada pelaksanaan ujicoba ini, peneliti mengantisipasi kemungkinan tersebut dengan menyediakan Mathematics vocabulary list yang berisi istilah-istilah khusus Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
292
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
matematika. Penyediaan cukup membantu anak. Hal lain, bahwa ternyata dengan seringnya siswa menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris, siswa jadi dapat menguasainya. Istilah jenis-jenis segitiga baru dikenal oleh siswa pada saat mengerjakan LKS pertama, dan pada proses pengerjaan LKS 02 dan 03, istilah-istilah tersebut tampaknya sudah dhafalkan oleh anak. Ini mengindikasikan bahwa jika siswa dibiasakan menggunakan sumber-sumber belajar bahasa Inggris (secara mudah menggunakan website-website matematika yang berbahasa Inggris), tuntutan siswa RSBI yang bisa lancar menggunakan teknologi dan lancar berbahasa Inggris dapat sekaligus dicapai oleh para siswa. Hal ini menjadi salah satu solusi bagi guru untuk memfasilitasi siswa belajar matematika dengan menggunakan bahasa Inggris, khususnya bila bahasa Inggris siswa lebih baik dari kemampuan bahasa Inggris guru.
DAFTAR PUSTAKA Alejandre, S., & Moore, V. (2003, September). Technology as a tool in the primary classroom. Teaching Children Mathematics, 16-19. Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Pedoman Penjaminan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional. Retrieved. from.
Mutu
Effendy. (2009). Eksperimen dengan Program S1 MIPA Sekolah Menengah Bertaraf Internasional (SBI). Unpublished power point presentation. Universitas Negeri Malang. Engelbrecht, J., & Harding, A. (2005). Teaching undergraduate mathematics on the Internet. Part1: Technologies and taxonomy. Educational Studies in Mathematics, 58(2), 235 - 252. Foster, B. (2003). On-line teaching of mathematics and statistics. Teaching Mathematics and its Applications, 22(3), 145-153. Gerber, S., Shuell, T. J., & Harlos, C. A. (1998). Using the Internet to learn mathematics. Journal of Computers in Mathematics and Science Teaching, 17(2/3), 113-132. Gibson, S., & Oberg, D. (2004). Visions and realities of Internet use in schools: Canadian perspectives. British Journal of Educational Technology, 35(5), 569-585. Hsu, Y.-S., Cheng, Y.-J., & Chiou, G.-F. (2003). Internet use in a senior high school: a case study. Innovations in Education and Teaching International, 40(4), 356368.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
293
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Moor, J., & Zazkis, R. (2000). Learning mathematics in a virtual classroom: Reflection on experiment. Journal of Computers in Mathematics and Science Teaching, 19(2), 89-113. Moyer, P. S., & Bolyard, J. J. (2002, March). Exploring representation in the middle grades: Investigations in geometry with virtual manipulatives. The Australian Mathematics Teacher, 58, 19-25. Patahuddin, S. M. (2009). Exploiting the Internet for Teacher Professional Development and Mathematics Teaching and Learning: An Ethnographic Intervention. Unpublished Dissertation, The University of Queensland, Brisbane. Patahuddin, S. M., & Dole, S. (2006). Using the Internet for mathematics teaching, learning and professional development in the primary school. In Dhindsa & Harkirat (Eds.), The Eleventh International Conference of the Sultan Hassanal Bolkiah Institute of Education (Vol. 1, pp. 230-240). Universiti Brunei Darussalam: Educational Technology Centre UBD. Rokhmah, S. (2009). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Internet di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Unpublished S1, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Sekretaris Negara Republik Indonesia. (2003). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Retrieved 16 September 2009. From http://www.dikti.go.id/Archive2007/UUno20th2003Sisdiknas.htm. Timmerman, M. (2004, April). Using the Internet: Are prospective elementary teachers prepared to teach with technology? Teaching Children Mathematics, 410-415. Varsavsky, C. (2002, July). Fostering student engagement in undergraduate mathematics learning using a text-based online tool. Paper presented at the 2nd International Conference on the Teaching of Mathematics (ICTME2), Greece.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
294
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-18 PENERAPAN GLOBAL LEARNING DAN MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEBAGAI JARINGAN KONSEP Drs. Mustangin, M.Pd Universitas Islam Malang
[email protected] Agustin Debora MS SMPN 1 Pajarakan, Kabupaten Probolinggo
[email protected] Pendahuluan Matematika sebagai ilmu dasar (basic science) merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin untuk mengembangkan daya pikir manusia. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Matematika sebagai mata pelajaran, perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Permasalahan yang dihadapi guru sampai saat ini adalah rendahnya hasil belajar matematika sebagai akibat kurang optimalnya proses pembelajaran. Rendahnya hasil belajar matematika secara umum disebabkan oleh karena adanya kesulitan belajar yang dialami oleh siswa. Salah satu faktor penyebab kesulitan belajar adalah faktor pedagogis (Widdiharto,2008:9), di mana faktor ini adalah faktor utama yang dapat mengkondisikan belajar matematika menjadi lebih mudah atau justru menyebabkan siswa mengalami kesulitan belajar. Dalam hal ini seharusnya guru dapat mengelola pembelajaran dan menerapkan metodologinya secara tepat, sehingga faktor pedagogis tersebut dapat mengoptimalkan hasil belajar siswa. Oleh karena itu evaluasi pembelajaran sebaiknya diawali dari faktor pedagogis. Pada pokok bahasan tertentu, matematika dapat dipandang sebagai jaringan konsep karena terdiri dari beberapa konsep yang satu sama lain saling terkait. Dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
295
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pembelajaran matematika sebagai jaringan konsep, kesulitan utama yang dialami oleh siswa
adalah
mengaitkan
konsep
yang
satu
dengan
konsep
yang
lain
(Widdiharto,2008:6). Seringkali rencana pembelajaran yang didesain oleh guru sangat dipengaruhi oleh buku penunjang yang menjadi referensi guru dan siswa di dalam kelas,
sehingga
proses
pembelajaran
di
dalam
kelas
belum
optimal
mempertimbangkan konsepsi yang ada pada siswa. Matematika sebagai jaringan konsep jika disajikan secara analitik ataupun parsial sangat menyulitkan siswa dalam menganalisis keterkaitan antar konsep. Hal ini mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami sebuah masalah. Permasalahan di atas secara umum disebabkan oleh karena jaringan konsep yang diterima siswa tidak diperoleh secara utuh. Adanya fakta bahwa siswa tidak paham dan lupa menjadi fenomena yang sangat penting dalam kesulitan belajar pada pembelajaran matematika sebagai jaringan konsep. Guru sebagai manajer dalam proses belajar mengajar sangat diharapkan mampu menyelesaikan masalah ini. Oleh karena itu konsepsi guru tentang perkembangan psikologi kognitif serta pandangan guru tentang konsepsi siswa merupakan bagian terpenting dalam konteks ini. Proses berpikir serta berbagai kecerdasan yang dimiliki oleh siswa, sebagai modalitas dan gaya belajar, semaksimal mungkin dapat dikelola menjadi sebuah strategi pembelajaran yang efektif dan harmonis. Berikut ini akan dibahas tentang proses berpikir di dalam otak, fungsi belahan otak kiri dan fungsi belahan otak kanan, modalitas dan gaya belajar, mind mapping sebagai bagian dari longterm memory system, serta desain pembelajaran globalanalitik dalam menyajikan matematika sebagai jaringan konsep.
Proses Berpikir di Dalam Otak
a. Membangun Otak Sendiri Otak manusia memiliki kapasitas yang sangat luar biasa. Otak manusia memiliki 100 miliar sel otak. Setiap kali satu stimulus (gambar, suara atau sentuhan) mencapai salah satu indra, sel otak menciptakan pikiran atau kesan yang keluar dari sel otak dan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
296
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
menyusuri salah satu benang (dendrit), kemudian kesan ini menyeberang ke sel otak yang lain. Proses ini terus berlanjut melibatkan jutaan sel otak yang terhubung sel yang berurutan. Setiap kali reaksi berantai terjadi, koneksi baru terbentuk di antara sel-sel otak. Sebagian ini menjadi koneksi yang permanen jika terjadi berulang-ulang. Itulah sebabnya manusia dapat mengingat banyak hal tanpa perlu mengerahkan upaya secara sadar. Bukan jumlah sel otak yang menentukan hebatnya otak manusia, melainkan jumlah koneksi yang terjadi di antara sel-sel otak. Beberapa ilmuwan menyimpulkan bahwa kecerdasan tidaklah tetap. Semakin sering manusia menggunakan otaknya, semakin banyak pula koneksi antara sel-sel otaknya. Semakin banyak koneksi yang terjadi di antara sel-sel otak, maka semakin besar pula potensi untuk berpikir cerdas. Hal ini berarti bahwa sesungguhnya, KITA ADALAH ARSITEK OTAK KITA SENDIRI.
Bagian otak yang Terangsang
Bagian otak yang Tidak terangsang
b. Fungsi Belahan Otak Kiri dan Fungsi Belahan Otak Kanan Manusia menyerap informasi melalui enam jalur utama : lihat, dengar, kecap, sentuh, bau atau apa yang kita lakukan. Secara umum otak kiri manusia memproses logika, kata-kata, matematika, analitik dan urutan, yang disebut pembelajaran akademis. Otak kanan memproses irama, rima, musik, gambar atau imajinasi, dan global yang disebut dengan aktivitas kreatif. Colllin Rose memberikan contoh sederhana tentang bagaimana aspek-aspek otak yang berbeda dapat bekerja sama secara terpadu. ”Jika kita mendengarkan sebuah lagu, otak kiri akan memproses syairnya dan otak kanan memproses musiknya”. Betapa luar biasanya kerja otak manusia. Kita tidak perlu bekerja keras untuk itu. Kita menghafalnya atau mengingatnya begitu cepat karena otak kiri dan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
297
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
otak kanan kita keduanya terlibat, begitu pula dengan pusat emosi otak pada sistem limbik. Pusat emosi otak manusia juga berhubungan erat dengan sistem penyimpanan memori jangka panjang. Oleh karena itu kita perlu mengetahui sedikit cara ingatan bekerja dan cara meningkatkannya. Semua manusia telah dianugerahi ingatan yang sudah bagus, tinggal bagaimana cara kita mengoptimalkannya. Manusia memiliki memori jangka pendek dan jangka panjang. Memori jangka pendek dirancang untuk menyimpan informasi sementara. Manusia cenderung mengingat hal-hal yang aneh, ganjil, lucu atau ekstrim. Oleh karena itu jika ingin mengingat sesuatu, dicoba sebisa mungkin untuk mengaitkan dengan gambaran yang lucu atau aneh. Ini adalah ingatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ingatan yang kuat. Lebih dari 60% otak digunakan untuk pemrosesan visual. Membuat diagram, grafik, sketsa, warna atau garis bawah sangat membantu.
Modalitas dan Gaya Belajar Howard Gardner(1983) dalam teori Multiple Intelligence, mengemukakan bahwa
siswa sebagai tokoh pebelajar dianugerahi dengan “delapan kecerdasan”
sejak mereka lahir, yaitu : (1) kecerdasan logika matematika, (2) kecerdasan linguistik, (3) kecerdasan spasial, (4) kecerdasan kinestetik, (5) kecerdasan musikal, (6) kecerdasan intrapersonal, (7) kecerdasarn interpersonal, serta (8) kecerdasan naturalis. Setiap kecerdasan peranannya sama pentingnya dalam pencapaian sebuah potensi. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
298
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Dari ragam kecerdasan yang dimiliki serta didukung oleh kemampuan indrawi manusia, dalam proses belajar manusia dapat menjadi karakteristik modalitas belajar dan gaya terima belajar siswa.
a.Modalitas Belajar Modalitas belajar adalah suatu cara bagaimana otak menyerap informasi yang masuk melalui panca indra secara optimal. Menurut Howard Gardner, modalitas belajar dapat dikarakteristikkan sebagai gaya belajar Auditory, Visual, Reading dan Kinesthetic. •
Auditory
Orang yang memiliki gaya belajar auditory, belajar dengan mengandalkan indra pendengarannya untuk bisa memahami sekaligus mengingatnya. Karakteristik belajar ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama untuk menyerap informasi.
•
Visual
Orang yang memiliki gaya belaja visual, belajar dengan menitikberatkan ketajaman penglihatannya. Konkretnya, pebelajar visual lebih mudah menerima informasi lewat materi bergambar, selain itu mereka memiliki kepekaan yang kuat terhadap penggunan warna.
•
Reading
Orang yang memiliki gaya belaja reading, belajar dengan menitikberatkan pada tulisan atau catatan. Karakteristik belajar ini benar-benar menempatkan bacaan atau tulisan sebagai alat utama untuk menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, untuk bisa memahami dan mengingat informasi tertentu, yang bersangkutan haruslah membaca atau menuliskannya terlebih dahulu. •
Kinesthetic
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
299
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Orang yang memiliki gaya belajar kinesthetic mengharuskannya menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar dapat mengingatnya. Karakter pertama yang dimiliki tipe pebelajar ini adalah menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar dapat terus mengingatnya. Karakter berikutnya dicontohkan sebagai orang yang tak tahan duduk manis berlama-lama mendengarkan penyampaian informasi. Mereka yang memiliki karakteristik ini dianjurkan untuk belajar melalui pengalaman dengan menggunakan berbagai model peaga, contoh kegiatan di laboratorium atau belajar dengan bermain di luar.
b. Spectrum Dari segi memandang sesuatu, manusia memiliki dua kecenderungan, yaitu abstrak atau konkret. Sedangkan dari sisi bagaimana mengelola informasi, manusia cenderung mengolahnya secara sekuensial (teratur/urut) atau random (acak). Anthony Gregorc menggabungkan kedua faktor di atas menjadi 4 karakter gaya berpikir seseorang. Tiap orang memiliki salah satu gaya berpikir yang dominan di antara 4 tipe yang ada. •
Concret Sequensial (CS)
Orang dengan tipe ini adalah orang yang cenderung teratur dan rapi. Mereka selalu mengerjakan tugas tepat waktu, terencana dan tidak suka dengan hal-hal yang bersifat mendadak. Pada umumnya perfeksionis, sehingga segala sesuatunya ingin dikerjakan dengan sempurna dan terencana.
•
Abstract Sequensial (AS)
Biasanya merupakan pemikir yang cerdas dan punya ide-ide brilian. Orang tipe ini senang mengetahui dan berpikir apa yang tidak dipikirkan orang lain. Senang membuatnya senang berdiskusi bahkan berdebat, hingga kadang mereka lupa bahwa orang di sekitarnya sama sekali tidak paham dengan ide-idenya yang terlalu “tinggi”. Lebih menyukai belajar secara individu, dan mereka lebih sering disebut “konseptor ulung” dan handal menganalisis informasi.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
300
PROSIDING
•
ISBN : 978-979-16353-3-2
Abstract Random (AR)
Segala sesuatu sering dikaitkan dengan perasaan dan emosi, sehingga mereka terkenal sangat sensitive. Semua menjadi menyenangkan jika moodnya sesuai, namun menjadi buruk jika tidak memilki emosi positif terhadap sesuatu. Mudah kehilangan konsentrasi, banyak pertimbangan dan suka mencoret-coret tanpa arti di bukunya. Mereka juga sangat menjaga hubungan dengan orang lain, cenderung menghindari konflik dan sangat perhatian pada lingkungan sekitarnya. Ekspresi spontan yang mereka miliki dikarenakan kesulitan mereka mengngkapkan sesuatu secara verbal kepada orang lain. •
Concret Random (CR)
Sering dianggap sebagai orang kreatif karena senang mencoba menyelesaikan sesuatu dengan caranya sendiri. Karena asyiknya, mereka cenderung lupa waktu. Terkenal sebagai “Deadliner”, karena sering mengerjakan sesuai dengan batas akhir, meski memiliki banyak waktu sebelumnya. Tipe ini dapat mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu. Spontanitas dan impulsive menjadi ciri khas tipe ini, karena begitu banyak ide yang muncul spontan dari kepala mereka. Orang tipe CR biasanya cukup dipercaya untuk menjadi pemimpin, meskipun sering menimbulkan
situasi
kritis
karena
sifat
“deadliner”nya.
Mereka
sering
bereksperimen meskipun mungkin banyak orang lain tidak menyenanginya.
c. Gaya Terima Seorang
peneliti
psikolog,
Herman
Witkin
melalui
studi
risetnya
mengemukakan ada dua karakteristik gaya belajar yang dimiliki seseorang, yaitu gaya belajar Global dan gaya belajar Analitik. •
Belajar Analitik Orang yang berpikir secara analitik ketika memandang segala sesuatu
cenderung lebih terperinci, spesifik, terorganisir, urut atau teratur, namun pada umumnya cenderung kurang dapat memahami sesuatu secara menyeluruh. Sehingga dalam mengerjakan sesuatu selalu dilakukan tahap demi tahap. Mereka dapat menemukan fakta-fakta namun seringkali kurang memahami gagasan utamanya. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
301
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Begitu juga dengan siswa, belajar dengan analitik berarti mempelajari suatu topik atau pokok bahasan tertentu diawali dengan mempelajari sub-sub konsep atau pokok bahasannya, tanpa memandang konsep atau pokok bahasan terbesar yang memuat hal yang sedang dipelajari. Jika kita kembali membahas tentang fungsi otak kiri dan fungsi otak kanan, belajar analitik diproses oleh belahan otak kiri, sementara proses memandang sesuatu secara utuh, terjadi pada belahan otak sebelah kanan. Hal ini mengakibatkan siswa mengalami kesulitan ketika menganalisa keterkaitan antar sub konsep. Selain itu berpikir analitis atau linier masih diproses pada belahan otak kiri dimana hanya shortterm memory yang diproses di dalamnya, sehingga fenomena “lupa” besar kemungkinan masih terjadi. •
Belajar Global. Orang yang berpikir secara global, cenderung melihat segala sesuatu secara
menyeluruh, dengan gambaran yang besar, memuat konsep secara utuh, sehingga mereka dapat melihat hubungan antar satu bagian dengan bagian yang lain. Pebelajar global juga dapat melihat hal-hal yang tersirat, serta dapat menjelaskannya dengan kalimat-kalimatnya sendiri. Mereka dapat melihat berbagai pilihan dalam mengerjakan tugasnya, sehingga mereka dapat mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus dalam satu kurun waktu. Pribadi pebelajar global dapat bekerjasama dengan orang lain, fleksibel, senang bekerja keras untuk menyenangkan orang lain, senang menerima dan member pujian, sehingga ini berdampak mereka membutuhkan banyak dorongan semangat untuk memulai pekerjaannya. Ciri khas yang lain mereka kurang rapi, walaupun mereka ingin merapikannya, sehingga pebelajar global cenderung untuk merapikan sistem pekerjaannya. Demikian pula bila gaya belajar global ini kita terapkan untuk siswa, maka jaringan konsep yang diberikan dapat dipahami secara utuh, sehingga memudahkan mereka dalam menganalisa keterkaitan antar konsep. Bila dikaitkan dengan fungsi otak, proses berpikir global terjadi pada belahan otak kanan. Dengan demikian sistem
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
302
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
longterm memory secara tidak sengaja telah berlangsung, sehingga berbagai konsep yang telah dipelajari tidak akan mudah terlupakan.
Mind Mapping dalam Longterm Memory Pemetaan pikiran mirip dengan outlining, namun lebih menarik secara visual, serta pembuatannya melibatkan kedua belahan otak. Joyce Wycoff (2003:66) mengutip pernyataan Michael Gelb bahwa kekuatan istimewa pemetaan pikiran adalah melatih otak melihat secara menyeluruh sekaligus secara terperinci, dan dalam hal ini terjadi integrasi antara logika dan daya khayal. Tony Buzan bersama Michael Gelb koleganya pada tahun 1960-an mengembangkan pemetaan pikiran sebagai pendekatan yang melibatkan seluruh otak, serta telah mengajarkannya kepada ribuan orang. Oleh karena itu pemetaan pikiran telah banyak digunakan di dunia pekerjaan maupun pendidikan. Pemetaan pikiran merupakan catatan nonlinier dengan unsur-unsur: (1) fokus pusat yang berisi citra atau lambang gambar masalah atau informasi yang dipetakan, diletakkan di tengah halaman; (2) gagasan dibiarkan mengalir bebas tanpa penilaian; (3) kata-kata kunci digunakan untuk menyatakan gagasan; (4) hanya satu kata kunci ditulis perbaris; (5) gagasan kata kunci dihubungkan ke fokus pusat dengan garis: (6) warna digunakan untuk menerangi dan menekankan pentingnya sebuah gagasan; (7) gambar dan lambang digunakan untuk menyoroti gagasan dan merangsang pikiran agar membentuk kaitan yang lain. Untuk mengaitkan beberapa gagasan atau konsep, kita dapat menggunakan garis, panah atau lambang. Kita dapat mengembangkan sistem lambang yang merupakan bentuk singkat untuk berkomunikasi dengan diri kita sendiri. Sistem manapun yang cocok bagi kita sah-sah saja, karena pemetaan pikiran adalah cara kita memanfaatkan pikiran secara maksimal. Dalam pembelajaran matematika, peranan mind mapping sangat penting. Karena matematika sebagai jaringan konsep memuat beberapa konsep yang saling terkait dan merupakan hubungan sebab akibat, maka peta pikiran yang akan dibuat tidak berbeda jauh dengan peta konsep sebagai catatan linier. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
303
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Tanda atau simbul-simbul yang digunakan serta warna sangat mempengaruhi dalam penguatan pemahaman dan memorinya. Tiap konsep dapat dinyatakan dengan satu kata gagasan dan sedapat mungkin divisualkan dengan satu lambang atau gambar.
Desain Pembelajaran Global-Analitik dengan Bantuan Mind Mapping Sebagaimana ketika orang bermain menyusun puzzle. Misalkan Andre bermain dengan kondisi awal bagian-bagian puzzle yang acak. Dedi bermain puzzle dengan kondisi awal yang utuh, kemudian bagian-bagian puzzle diacak. Sedangkan Yuda bermain puzzle dengan kondisi awal acak, tetapi ada satu gambar utuh yang menggambarkan posisi bagian-bagian puzzle. Jelas sekali bahwa Yuda lebih mudah dan cepat memainkan puzzle daripada permainan yang dilakukan Dedi. Namun jika dibandingkan dengan permainan Dedi dan Yuda, maka permainan yang dilakukan oleh Andre jauh lebih sulit. Dari gambaran permainan di atas, Andre bermain dengan cara analitik/linier. Dia harus mencoba-coba mencari keterkaitan antara potongan demi potongan dari gambar. Sementara Andre tidak tahu gambar apa sebenarnya yang sedang disusunnya. Keadaan ini jelas memakan waktu dan tenaga untuk berpikir, bahkan ada peluang bahwa Andre tidak berhasil menyusun puzlenya, karena dari awal ia tidak mengetahui bentuk gambar secara utuh. Dari fakta di atas, nampak bahwa Andre mengalami kasulitan dalam menyelesaikan permainannya. Dedi bermain dengan cara global tanpa alat bantu. Dalam permainannya Dedi diberi kesempatan satu kali untuk melihat gambar utuh yang akan disusunnya kembali. Ketika menyusun puzlenya, Dedi dapat mengimajinasikan/mengingat kembali gambar utuh puzzlenya di awal permainan. Hal ini sangat membantu Dedi ketika menyusun puzlenya, karena Dedi telah mengetahui gambar apa yang akan disusunnya. Namun ada satu kelemahan yang mungkin terjadi yaitu jika Dedi lupa akan gambar detailnya, karena gambar di awal hanya dilihatnya satu kali. Lain halnya dengan Yuda yang bermain global dengan menggunakan alat bantu gambar utuh puzzlenya. Yuda akan lebih mudah dan cepat dalam menyusun puzlenya. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
304
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Gambar utuh dapat dilihatnya berulang-ulang sepanjang permainannya berlangsung. Sehingga Yuda dengan tepat dan cepat memilih potongan-potongan puzzle yang akan disusunnya. Dengan demikian kerumitan permainan dapat diminimalkan, serta ada efisiensi waktu dan tenaga. Hal yang paling penting dalam permainan Yuda adalah kemudahan dan ketepatan pada hasil yang diharapkan. Demikian pula dengan proses pembelajaran matematika. Pada beberapa Standar (SK) Kompetensi ataupun Kompetensi Dasar (KD), materi pokok matematika disajikan sebagai jaringan konsep. Contoh pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMP adalah Aritmatika Sosial, Perbandingan, Himpunan, Persamaan Garis Lurus, Sistem Persamaan Linier Dua Variabel, Bangun Datar Segiempat, Bangun Datar Segitiga, Lingkaran, Bangun Ruang Sisi Datar, dan Bangun Ruang Sisi Lengkung. Guru diharapkan mampu mendesain pembelajaran dengan metodologi yang efektif, efisien dan mudah bagi siswanya. Dalam hal ini pembelajaran global sangat memudahkan siswa untuk memahami jaringan konsep matematika secara utuh. Sebagaimana analog permainan yang dibawakan oleh Yuda pada contoh di atas, peranan Mind Mapping sangat membantu dalam visualisasi konsep yang utuh. Dalam permainan ini prinsip berpikir dan belajar sebagaimana Collin Rose(1999:19-20) paparkan, selain penggunaan fungsi otak kiri; pemberdayaan fungsi otak kanan juga telah dilakukan. Demikian pula dengan desain pembelajaran yang menyajikan matematika sebagai jaringan konsep. Prinsip-prinsip yang sebaiknya dirancang adalah: (1) penyajian pembelajaran global; (2) penyajian pembelajaran global-analitik/linier; (3) penggunaan peta pikiran pada seluruh proses penyelesaian masalah. Penyajian pembelajaran global. Pada awal pertemuan dalam satu Standar Kompetensi ataupun satu Konpetensi Dasar, secara umum dibahas tentang jaringan konsep secara utuh tentang keterkaitannya, fungsinya, kapan menggunakannya, serta bagaimana menggunakannya. Pada proses ini guru dapat menggunakan berbagai pendekatan, misalnya dengan diskusi kelas, atau studi pustaka ataupun studi lapangan; yang kesemuanya dikondisikan dengan potensi siswa, lingkungan serta waktu yang tersedia. Dengan diperolehnya pemahaman jaringan konsep yang utuh, maka hasilnya Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
305
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dituangkan dalam catatan mind mapping. Karena yang dibahas adalah matematika, tentunya seluruh konsep ada hubungan sebab akibat, sehingga bentuk peta pikiran yang dihasilkan dapat mengadopsi sifat catatan linier, dengan melibatkan berbagai simbul yang dirasa sangat membantu dalam mengoptimalkan lonterm memorynya. Penyajian pembelajaran global-analitik/linier. Pada tahap ini pembelajaran dirancang mengkombinasikan antara pembelajaran global dengan pembelajaran analitik. Ini adalah bagian inti dari pembahasan jaringan konsep matematika. Bagian demi bagian satu konsep dibahas dengan detail. Pada bagian pembelajaran ini sangat dibutuhkan desain pembelajaran yang mengkonstruksi sebuah konsep. Sementara itu mind mapping atau peta konsep yang telah dibuat tetap dipaparkan, kemudian hasil konstruksi
sebuah
konsep
diletakkan
pada
peta
pikiran
untuk
meyempurnakan/melengkapkan keterkaitan dalam peta pikiran antara gagasan utama dengan konsep detailnya. Hal ini dilakukan dalam beberapa pertemuan hingga seluruh konsep yang ada telah dapat dibangun detailnya dan terhubung dengan gagasan utama atau konsep utamanya. Menyelesaikan masalah dengan bantuan mind mapping. Pada tahap ini pembelajaran dapat didesain berbasis masalah. Setiap masalah yang dimunculkan, peta pikiran sebaiknya juga ditampilkan. Kemudian data atau gambaran dari masalah disubstitusikan pada peta pikiran, sehingga masalah yang diberikan dapat dipahami secara tepat, dengan demikian konsep yang digunakan untuk menyelesaikan masalah juga akan dipilih dengan tepat. Demikian dilakukan berulang dan dicoba pada beberapa varian masalah, hingga diperoleh data assessment bahwa siswa sangat menguasai seluruh jaringan konsep matematika yang sedang dibahas. Dari tiga hal di atas guru diharapkan mampu mendistribusikan waktu yang ada untuk mendesain satu jaringan konsep pada tiga prinsip tahap pembelajaran di atas. Secara prinsip tahap ke dua dan ke tiga urutan penyajiannya dapat dikondisikan sesuai dengan materi pokok yang sedang dibahas. Jika materi pokok tersebut mengandung beberapa aksioma yang sebelumnya harus dipahami siswa, sebaiknya pembelajaran analitik diletakkan setelah pembelajaran global. Namun jika pendekatan konsep dapat
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
306
PROSIDING
ISBN : 978-979 979-16353-3-2
menggunakan basis masalah, maka pembelajaran global-analitik global analitik dapat disajikan bersama-sama sama dengan pembelajaran berbasis masalah. Pada intinya, sebelum siswa masuk pada pembahasan detail, sebaiknya siswa menerima gagasan/informasi secara utuh, sehingga secara secara otomatis siswa dapat menganalisa seluruh keterkaitan yang ada dalam jaringan konsep. Terutama jika dalam hal ini dibantu oleh mind mapping mapping, maka proses optimalisasi longterm memory telah berjalan. Oleh karena itu kemampuan guru dalam mengorganisir tahap-tahap tah penyajian pembelajaran yang efektif sangat menentukan keberhasilan siswa.
Contoh Pembahasan Persamaan Linier dalam Pembelajaran Global-Analitik Global Analitik yang disajikan dalam Mind Mapping Pertemuan 1 (2x40 menit) Membahas Gradien, Gradien pada bidang Cartecius, Cartecius, menemukan persamaan garis melalui satu titik dengan gradien tertentu, menemukan gradien persamaan garis, menemukan persamaan garis melalui dua titik.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan ndidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
307
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pertemuan 2 ( 2x40 menit) Menemukan sifat gradien 2 garis sejajar dan gradien 2 garis tegak lurus. Mengkaitkan sifat gradien 2 garis dengan bentuk persamaan garis. Pertemuan 3 ( 2x40menit) Melukis persamaan garis. Pertemuan 4,5,6(6x40menit) Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan persamaan garis, dengan bantuan mind mapping.
Penutup Matematika sebagai ilmu dasar (basic science) mempunyai peran penting dalam mengembangkan daya pikir siswa. Matematika sebagai mata pelajaran, perlu diberikan kepada semua peserta didik untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Oleh karena itu, maka setiap guru harus selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Salah satu aspek penting yang harus dilakukan guru adalah mengembangkan desain pembelajaran dengan melakukan inovasi-inovasi baru khususnya yang terkait dengan metodologi pembelajaran. Guru diharapkan mampu mendesain pembelajaran dengan metodologi yang efektif, efisien dan mudah bagi siswanya. Dalam hal ini pembelajaran global sangat memudahkan siswa untuk memahami jaringan konsep matematika secara utuh. Desain pembelajaran yang menyajikan matematika sebagai jaringan konsep, sebaiknya dirancang dengan prinsip-prinsip: (1) penyajian pembelajaran global; (2) penyajian pembelajaran global-analitik/linier; (3) penggunaan peta pikiran pada seluruh proses penyelesaian masalah. Guru diharapkan mampu mendistribusikan waktu yang ada untuk mendesain satu jaringan konsep pada tiga prinsip tahap pembelajaran di atas. Secara prinsip tahap ke dua dan ke tiga urutan penyajiannya dapat dikondisikan sesuai dengan materi Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
308
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pokok yang sedang dibahas. Jika materi pokok tersebut mengandung beberapa aksioma yang sebelumnya harus dipahami siswa, sebaiknya pembelajaran analitik diletakkan setelah pembelajaran global. Namun jika pendekatan konsep dapat menggunakan basis masalah, maka pembelajaran global-analitik dapat disajikan bersama-sama dengan pembelajaran berbasis masalah. Pada intinya, sebelum siswa masuk pada pembahasan detail, sebaiknya siswa menerima gagasan/informasi secara utuh, sehingga secara otomatis siswa dapat menganalisa seluruh keterkaitan yang ada dalam jaringan konsep. Terutama jika dalam hal ini dibantu oleh mind mapping, maka proses optimalisasi longterm memory telah berjalan. Semoga makalah ini bias menjadi initial point yang tepat untuk introspeksi diri khususnya para guru dalam memberikan layanan prima untuk anak-anak didiknya dan kehadiran para guru senantiasa dirindukan oleh siswanya. Selamat mencoba.
DAFTAR PUSTAKA Rose,Colin. 1999. Kuasai Lebih Cepat , Buku Pintar Accelerated Learning, Bandung : KAIFA Dryden, Gordon & Dr. Jennette Vos. 2003. The Learning Revolution ( Revolusi Cara Belajar ), Bandung : Kaifa. Wycoff, Joyce. 2003. Menjadi Super Kreatif Melalui Metode Pemetaan Pikiran. Bandung: Kaifa. DePorter, Bobbi.2002. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
309
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-19 MENINGKATKAN KOMPETENSIGURU MATEMATIKA DAN IPA SMP MELALUI KEGIATAN LESSON STUDY Dwikoranto Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Unesa E-mail:
[email protected] Abstrak: Telah dikembangkan kegiatan lesson study guru-guru IPA dan Matematika di wilayah Selatan Kota Surabaya. Pada tahap perencanaan teridentifikasi masalah bahwa pembelajaran IPA dan Matematika kurang diminati siswa sehingga aktivitas, motivasi belajar, kreativitas siswa masih rendah, alat peraga fisika dan matematika di sekolah sangat terbatas, dan siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan persoalan fisika yang mengandung persamaan matematika. Alternatif solusinya dikembangkan rencana pembelajaran termasuk komponen-komponennya seperti bahan ajar, teaching material dan strategi pembelajaran yang dapat memberi pengalaman belajar kepada siswa melalui kegiatan eksplorasi, mengembangkan alat peraga pembelajaran fisika dan matematika yang bersifat local material dan mengembangkan pembelajaran fisika dan matematika yang kontekstual, handson activities dan daily life. Pada tahap pelaksanaan dan refleksi diperoleh temuan bahwa siswa tampak sangat antusias pada saat melakukan percobaan dan analisis matematika sederhana, namun untuk abstraksi yang lebih tinggai pada mata pelajaran IPA dan matematika masih kurang. Dalam mengikuti pembelajaran, sebagian besar siswa dapat berinteraksi dengan baik namun belum tumbuh aktivitas siswa untuk mengungkapkan gagasan atau ide-ide. Guru model bisa menciptakan proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan menegaskan konsep sementara siswa melakukan eksplorasi untuk menemukan konsep. Keutuhan struktur pembelajaran terlaksana dengan baik, sekalipun masih belum sempurna. Keterampilan mengajar seperti penguasaan materi, penggunaan media pembelajaran, pengelolaan kelas, keterampilan bertanya dan keterampilan memotivasi tergolong baik. Kegiatan lesson study sangat potensial dalam peningkatan kualitas keprofesionalan guru yang berdampak pada peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran dan menciptakan proses interaksi antar berbagai pihak terkait. Kata kunci : Kompetensi Guru, Lesson Study.
PENDAHULUAN Upaya meningkatkan kualitas pendidikan secara nasional merupakan salah satu agenda yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Upaya ini diarahkan agar setiap lembaga pendidikan selalu berupaya untuk memberikan jaminan kualitas kepada pihak-pihak yang bekepentingan atau masyarakat. Jaminan yang dimaksud adalah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
310
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
suatu jaminan bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah sekolah atau lembaga pendidikan sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi dan sesuai pula dengan harapan masyarakat. Apabila setiap lembaga penyelenggara pendidikan selalu berupaya untuk memberikan jaminan kualitas dan upaya ini dilakukan secara terus menerus, maka diharapkan kualitas pendidikan secara nasional akan terus meningkat. Peningkatan kualitas pendidikan ini diharapkan berdampak pada peningkatan kualitas sumber daya manusia secara nasional. Halini sangat penting, mengingat dewasa ini kita dihadapkan pada berbagai kesempatan dan tantangan, baik yang bersifat nasional maupun global, Padahal berbagai kesempatan dan tantangan tersebut hanya dapat diraih dan dijawab apabila sumber daya manusia yang kita miliki berkualitas. Kita menyadari kenyataan yang menunjukkan bahwa dewasa ini kualitas penyelenggaraan pendidikan pada berbagai lembaga pendidikan cukup bervariasi. Hal ini dapat diamati pada berbagai aspek, baik aspek-aspek yang terkait dengan masukan instrumental, seperti: kurikulum, tenaga pengajar, bahan ajar; maupun masukan lingkungan, seperti: kondisi lingkungan fisik dan manajerial kepala sekolah; aspekaspek yang terkait dengan proses, seperti: proses belajar mengajardan sarana serta prasarana yang dibutuhkan maupun aspek-aspek yang terkaitdengan keluaran, seperti: hasil ujian dan keterserapan lulusan oleh pasar tenaga kerja. Guru sebagai ujung tombak dalam melaksanakan misi pendidikan di lapangan merupakan faktor sangat penting dalam mewujudkan system pendidikan yang bermutu dan efisien. Oleh karena itu guru dituntut untuk memiliki kompetensi yang lebih kompleks untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi di era reformasi dan globalisasi dewasa ini (Suyanto, 2000). Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah telah mensahkan Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosenyang menuntut penyesuaian penyelenggaraan pendidikan dan pembinaan guru agar guru menjadi profesional. Standar guru yang tertuang dalam UURI No 14tahun 2005 tersebut, menyatakan bahwa guru memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogic (kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik), kompetensi kepribadian (kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
311
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
menjadi teladan peserta didik), kompetensi sosial (kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakatsekitar), dan kompetensi professional (kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam). Disamping itu pemerintah juga menaruh perhatian terhadap mutu proses pembelajaran. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakanbahwa:“ Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktifserta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa , kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”.Upaya pemerintah tersebut harus ditindaklanjuti sehingga mutu pendidikan menjadi kenyataan yang akan berdampak terhadap pembangunan Indonesia di masa mendatang. Upaya peningkatan mutu guru dan proses pembelajaran senantiasa dilakukan melalui berbagai pelatihan guru, namun belum memberikan dampakyang diharapkan. Hal ini disebabkan guru yang dilatih adalah yang setelah kembali dari pelatihan kesulitan mengimbaskan pada guru-guru lain di daerahnya bahkan tidak sedikit kesulitan mengimplementasikan hasil-hasil pelatihan disekolahnya sendiri. Hasil kajian menunjukkan bahwa pembelajaran di sekolah masih banyak dilakukan secara konvensional / pembelajaran berpusat pada guru(Sardjono,2000). Sementara hasil kajian lain menunjukkan pula bahwa masih banyak guru IPA dan matematika yang menggunakan metode ceramah sehingga siswa beranggapan bahwa IPA bersifat hafalan. Guru kurang dapat mengaitkan konsep-konsep IPA dan matematika dalam proses pembelajaran di kelas dengan fenomena dalam kehidupan sehari-hari. Guru kurang kreatif dan terampil dalam memanfaatkan sarana prasarana yang ada, misalnya keterampilan menggunakan alat-alat laboratorium serta mengajak siswa untuk membuat model-model alat sederhana untuk praktik. Guru tidak mempersiapkan rencana pembelajaran setiap melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar, tidak memotivasi siswa untuk menyenangi mata pelajaran IPA, sistem pembelajaran Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
312
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
monoton dan tidak muncul variasi. Siswa lebih ditekankan pada penguasaan penyelesaian soal bukan penguasaan keterampilan (Sidi,2000). Secara faktual ditemukan beberapa masalah yang di hadapi guru-guru di lapangan seperti yang terekam dalam hasil angket, observasi, dan wawancara dengan guru-guru sekolah-sekolah mitra Jurusan Pendidikan Fisika dan Matematika FPMIPA Unesa sebagai berikut: 1) Guru mengalami kesulitan dalam merencanakan pembelajaran berdasarkan kurikulum. Metoda yang dikembangkan masih didominasi metoda ceramah. Rencana pembelajaran yang dikembangkan masih lemah dalam merencanakan kegiatan awal. Langkah langkah pembelajaran masih kurang memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran sains, 2) Guru kesulitan memanfaatkan dan mengembangkan media pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dicapai siswa, 3) Guru mengalami kesulitan mengimplentasikan pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku. Struktur pembelajaran yang dikembangkan masih kurang menunjukkan struktur pembelajaran sains, 4) Guru mengalami kesulitan mengembangkan materi ajar menjadi bahan ajar, dan 5) Guru mengalami kesulitan dalam aspek penilaian terhadap hasil belajar siswa sesuai dengan tuntutan kurikulum. Dari temuan-temuan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa permasalahan yang terkait dengan kemampuan guru yaitu: penguasaan materi ajar, penguasaan pedagogik, kemampuan menterjemahkan kurikulum dalam merancang pembelajaran , kemampuan melakukan asesmen, dan keterampilan mengajar. Untuk itu perlu ada upaya pembinaan terhadap kompetensi guru tersebut yang lebih difokuskan pada upaya pemberdayaan guru sesuai kapasitas serta permasalahan yang dihadapainya masing-masing. Lesson Study merupakan model pembinaan yang dapat dijadikan alternative solusi masalah-masalah yang dihadapi para guru. Lesson Study adalah suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsipprinsip kolegalitas, dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Sumar Hendayana, dkk, 2007). Lesson Study bukan metoda atau strategi pembelajaran, tetapi kegiatan. Lesson Study dapat menerapkan berbagai metoda/strategi pembelajaran Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
313
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
yang sesuai dengan situasi , kondisi, dan permasalahan yang dihadapi guru. Dalam Lesson Study sejumlah guru mata pelajaran tertentu di daerah tertentu secara periodik bersama-sama mengemukakan, menganalisis, dan mencari solusi masalah masalah yang ihadapi. Solusi yang dipilih dituangkan dalam suatu rancangan dan implementasi pembelajaran.
MEKANISME KEGIATAN LESSON STUDY Lesson Study dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu Plan (merencanakan), Do melaksanakan), dan See (merefleksi) yang berkelanjutan. Tahap Perencanaan (Plan) dilakukan melalui kegiatan workshop antara sejumlah guru yang berasal dari sekolahsekolah wilayah sasaran untuk menganalisis permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran. Permasalahan dapat berkaitan dengan materi ajar, pedagogik maupun fasilitas pembelajaran. Permasalahan yang berkaitan dengan materi ajar misalnya bagaimana menyusun bahan ajar atau bagaimana menjelaskan suatu konsep. Permasalahan yang berkaitan dengan pedagogik misalnya metode apa yang harus digunakan agar pembelajaran lebih efektif dan efisien. Permasalahan yang berkaitan dengan fasilitas misalnya bagaimana mengembangkan peralatan dan mensiasati kekurangan fasilitas pembelajaran. Selanjutnya secara bersama-sama peserta workshop mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Jika solusinya harus dicobakan dalam suatu pembelajaran, maka solusi itu dituangkan dalam RPP. Kegiatan perencanaan dilakukan dalam beberapa pertemuan untuk menyepakati scenario yang akan ditampilkan, merancang dan melengkapi/mengembangkan media yang telah ada, menyusun LKS dan metoda evaluasi yang digunakan serta kapan open class dilakukan dan siapa yang akanmenyajikan model pembelajaran. Pertemuan-pertemuan berikutnya membahas kajian rancangan alat dan sekaligus rancangan percobaannya. Bahan- bahan yang diperlukan dan pembuatan alat disediakan dan dilakukan secara kolaboratif. Selanjutnya dilakukan uji coba alat kemudian menyusun scenario pembelajaran dalam bentuk RPP yang utuh. Tahap Pelaksanaan (Do) dilakukan berupa open class. Seorang guru membuka kelas untuk mengimplementasikan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
314
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pada tahap perencanaan. Guru tersebut mengundang selain guru-guru dan dosen yang terlibat dalam perencanaan juga guru- guru dan dosen lain dan kepala sekolah untuk menjadi observer dalamn pembelajaran yang dilaksanakan. Tahapan pelaksanaan open class dimulai dengan pengantar dan penjelasan umum oleh kepala sekolah yang bersangkutan, dilanjutkan dengan penjelasan oleh guru model berkaitan dengan model pembelajaran yang telah disusun dan aktivitas siswa yang diharapkan. Dalam mengobservasi kegiatan pembelajaranb para observer memfokuskan perhatian pada aktivitas siswa: selama pembelajaran diamati bagaimana interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan bahan ajar, siswa dengan media pembelajaran, saatsaat kapan siswa nampak antusias dan kapan siswa nampak bosan. Bagaimana siswa beinteraksi dalam kelompoknya, bagaimana distribusi dan komposisi siswa dalam kelompok. Siswa mana yang paling aktif dan siswa mana yang Nampak mengalami kesulitan. Kelompok mana yang aktif dan mana yang kurang aktif. Siswa yang diamati oleh seorang observer biasanya terbatas hanya satu atau dua kelompok agar pengamatannya
lebih
fokus.
Selama
proses
pengamatan,
observer
tidak
diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun, dan observer mengambil posisi yang tidak mengganggu kegiatan pembelajaran Tahap Refleksi (See) dilaksanakan sesaat setelah berakhirnya pembelajaran, diskusi antara guru dan observer dipandu oleh kepala sekolah yang bersangkutan. Tahap ini diawali dengan pengarahan kepala sekolah mengenai tata cara refleksi, kemudian guru penyaji menyampaikan kesan-kesan atau penilaian diri terhadap pembelajaran
yang
baru
saja
dilaksanakannya,
selanjutnya
para
observer
menyampaikan hasil pengamatan atau komentar dan lesson learnt dari pembelajaran terutama berkenaan dengan aktivitas siswa. Hasil pengamatan para observer diharapkan menjadi bahan masukan untuk perbaikan pembelajaran berikutnya.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
315
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
HASIL KEGIATAN LESSON STUDI GURU-GURU IPA DAN MATEMATIKA 1. Tahap Perencanaan (Plan) Wilayah: Selatan, tempat di Sekolah senter: SMPN 22 (Jl. Gayungsari Barat X/ 38). Partisipan: guru IPA dan Matematika
36 orang, Kepala sekolah: 1 orang,
Pengawas: 2 orang dan Nara Sumber 4 orang. a. Tahap Identifikasi Masalah Tahap ini dilaksanakan pada pertemuan MGMP tanggal 18 Agustus 2009. Diskusi dipandu oleh nara sumber dari LPTK. Diskusi cukup dinamis, terutama ketika para guru engungkapkan permasalahan yang dihadapi dalam mengimplementasikan pembelajaran fisika. Masing-masing guru mengungkapkan permasalahan yang berbeda. Misalnya: Motivasi siswa, keterbatasan alat peraga, dan kesulitan dalam penggunaan matematika. Setiap permasalahan didiskusikan pula upaya mengatasinya, setiap guru memberikan pengalamannya, sehingga termotivasi untuk membuat pembelajaran yang dapat mengatasi semua permasalah tersebut. Seluruh guru terlibat aktif dalam diskusi, masalah-masalah yang teridentifikasi: 1) Selama ini pembelajaran fisika tidak diminati siswa, karena selain materinya sulit dipahami juga banyak menggunakan rumus matematika. Pembelajaran yang hanya bersifat ceramah membuat siswa menjadi tambah berkurang motivasi belajarnya. Pembelajaran fisika yang bagaimana yang dapat mengaktifkan siswa? Alternatif solusi: memberikan pengalaman belajar kepada siswa melalui kegiatan eksplorasi, 2) Alat peraga fisika di sekolah
sangat
terbatas
baik
kuantitas
maupun
kualitasnya.
Bagaimana
mengembangkan alat peraga pembelajaran fisika yang terbatas? Alternatif solusi: mengembangkan alat peraga pembelajaran fisika yang bersifat local material, 3) Kesulitan yang banyak dialami siswa dalam menyelesaikan persoalan fisika yang mengandung persamaan matematika. Pembelajaran fisika yang bagaimana yang dapat mengatasi kesulitan siswa dalam menyelesaikan persoalan fisika yang menggunakan operasi matematika? Alternatif solusi: mengembangkan pembelajaran fisika yang kontekstual, hands-on activities dan daily life. Setiap guru ditugaskan untuk membuat Rencana Pembelajaran yang akan dibahas pada kegiatan MGMP pertemuan berikutnya. Penentuan topik didasarkan pada Kurikulum 2004 dan program sekolah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
316
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
yang disesuaikan dengan jadwal implementasi 20 September 2009 di SMP 36 Surabaya. Berdasarkan hasil diskusi karena pada umumnya guru mengajar pada kelas VIII, maka ditetapkan topik yang ada di kelas VIII. Penentuan topik didiskusikan oleh seluruh guru dengan mengacu pada masalah yang akan diatasi. Topik yang dipilih adalah Hukum Kirchooff. Guru-guru berperan aktif dalam diskusi, semua guru turut menyumbangkan saransaran untuk memperkaya ide-ide, selanjutnya menentukan topik yaitu Hukum Kirchooff. Nara sumber memberikan motivasi dalam memandu jalannya diskusi danmemberikan masukkan.
b. Tahap Perencanaan Pembelajaran Tahap ini dilaksanakan pada pertemuan MGMP tanggal 18 Agustus 2009.Masing-masing guru telah membuat Rencana pembelajaran untuk didiskusikan. Setelah diskusi yang dipandu oleh Narasumber akhirnya diputuskan satu Rencana pembelajaran yaitu tentang Hukum Kirchooff. Dalam diskusi hanya empat orang guru yang terlibat, sedangkan lainnya kurang aktif. Komponen dalam Rencana Pembelajaran yaitu: a) Hands-on Activity: Dalam diskusi nara sumber mengarahkan agar dalam pembelajaran mengandung unsur hands-on activity. Guru menanggapi dengan baik, hal ini tampak dengan adanya usulan agar siswa membuat rangkaian listrik sederhana dan dapat mengamati arus listrik pada rangkaian dengan ampermeter, b) Local Material: Unsur local material pada rencana pembelajaran tampak baterai, kabel, tempat baterai dari karton, seloptape, bola lampu senterl, c) Daily Life: Dalam mendiskusikan skenario pembelajaran guru mendiskusikan pada tahap pendahuluan siswa diajak membahas tentang aplikasi Hukum Kirchooff dalam kehidupan sehari-hari.
c. Tahap Ujicoba Teaching Material Tahap ini dilaksanakan pada pertemuan MGMP tanggal 22 Agustus 2009.Diskusi dipandu oleh nara sumber membahas tentang Rencana Pembelajaran yang telah dilengkapi dengan LKS, dan instrument penilaian. Rencana Pembelajaran dibuat guru model bekerja sama dengan guru lain. Dalam diskusi empat orang guru aktif dalam diskusi, sedangkan empat guru lainnya kurang aktif termasuk guru fisika di Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
317
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
sekolah yang bersangkutan. Selanjutnya ujicoba teaching material dilakukan dengan mencoba alat peraga dan alat praktikum yang dikembangkan. Semua guru mencoba dan cukup berhasil. Proses pengadaan teaching material, LKS dan alat evaluasi akan diusulkan kepada sekolah. Pengadaan alat peraga dan praktikum sebagian ditugaskan pada siswa. Peran Nara sumber dari LPTK yaitu memandu diskusi dan memberikan masukkan bila diperlukan. Misalnya pada saat adanya pertentangan pendapat antara guru model dan guru lain. Peran Fasilitator MGMP cukup baik, terutama dalam memfasilitasi kegiatan Lesson Study, juga terlibat aktif dalam diskusi.
2. Tahap Pelaksanaan (Do) Wilayah: Selatan, tempat : SMPN 36 Surabaya. Pada tanggal 20 September 2008. Partisipan: guru IPA 36 orang, Kepala sekolah: 2 orang, Pengawas: 1 orang dan Nara Sumber 4 orang. Hal-hal yang teramati pada tahap pelaksanaan: Pendahuluan: Kegiatan diawali dengan sambutan dari Kepala Sekolah yang memberikan pengarahan dan memotivasi kepada guru agar dapat mengambil manfaat dari kegiatan Open Lesson. Nara sumber memberikan pengarahan tentang teknik mengamati oleh pada guru observer dan teknik pelaksanaan kegiatan refleksi. Proses Pembelajaran: 1) Aktivitas siswa pada awal pembelajaran yaitu siswa tampak memperhatikan dan menjawab pertanyaan apersepsi dan penggalian konsepsi awal. Tetapi tidak ada siswa yang bertanya pada kegiatan ini, 2). Aktivitas siswa pada kegiatan inti siswa belajar secara berkelompok dan tampak didominasi oleh satu atau dua orang siswa. Tidak ada interaksi antar kelompok. Semua siswa berpartisipasi dan terampil dalam menggunakan alat peraga. Dalam mengambil kesimpulan siswa mengalami kesulitan sehingga dibantu oleh guru. LKS yang diberikan dapat dipahami oleh siswa. Siswa tidak diajak untuk berpikir kritis dan tidak ada siswa yang bertanya jika mengalami kesulitan. Siswa tidak mempresentasikan hasil kegiatannya, 3) Pada kegiatan penutup revieu diarahkan oleh guru. Keterlibatan pengamat: kehadiran observer dan video shooting tidak mengganggu konsentrasi siswa belajar. Para
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
318
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
observer menempati di sisi kelas dan melakukan pengamatan sambil mengisi lembar observasi. Observer cukup antusias dalam mengamati pembelajaran.
3. Tahap Refleksi (See) Tahap refleksi dilakukan setelah tahap implementasi selesai. Hal-hal yang teramati pada tahap refleksi: 1) Guru model merasa grogi jika diawasi, oleh karena itu ada langkah skenario yang terlewatkan. Kurang ada keterkaitan dengan kegiatan sebelumnya. Waktu kelebihan selama 10 menit, 2) Guru pengamat (observer) memberikan komentar tentang ada anak yang menyontek dalam mengisi LKS, tes awal dan tes akhir bukan berasal dari hasil praktek, tapi hafal dari syair nyanyian. Kegiatan praktikum yang dilaksanakan sulit disimpulkan oleh siswa, 3) Kepala sekolah dari SMPN 36 Surabaya memberikan komentar sebagai berikut: Anak-anak bosan setelah aktivitas selesai, tidak ada kerjasama antar kelompok, dan siswa belum berani mencoba hal yang baru. Tanggapan dari Guru Model: 1) Proses pembelajaran kurang berjalan dengan lancar sehingga ada langkah-langkah pembelajaran yang terlewati. Hal ini disebabkan karena adanya pengamat sehingga saya merasa grogi dan kaku, 2) Siswa dalam menggunakan LKS masih ada yang mengalami kesulitan terutama dalam memperoleh bayangan yang diperkecil dan terbalik. Upaya yang dilakukan guru adalah membantu siswa untuk memperoleh bayangan tersebut, 3) Instrumen penilaian sulit diterapkan karena siswa banyak yang berubah posisi tempat duduk, sedangkan komponen penilaian cukup banyak, 4) Repon siswa cakup baik, walaupun ada beberapa anakyang kurang bersemangat, tetapi dengan adanya nyanyian anak-anak tersebut menjadi kembali bersemangat, 5) Saran untuk kegiatan MGMP adalah memotivasi peserta agar dapat terus hadir dalam kegiatan lesson study. Tanggapan dari Guru Observer: 1) Menurut Guru Observer, pembelajaran yang adi dilaksanakan sudah inovatif terutama dalam memotivasi anak dalam belajar, 2) Jika model tersebut diterapkan, yang menjadi kendala adalah pengkondisian proses pembelajaran yang dihadapi anak ke arah pembaharuan. Cara mengatasinya adalah dengan sosialisasi pada siswa, 3) Media pembelajaran yang digunakan dapat diadopsi dan dimodifikasi. Yang harus dipersiapkan supaya menjadi pembelajaran lebih baik Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
319
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
adalah pengkajian materi ajar sehingga semua media yang digunakan dapat tepat guna, 4) Yang menjadi fokus perhatian adalah keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Siswa mulai belajar pada saat materi yang diajarkan dapat dipahami oleh siswa, siswa akan berhenti belajar ketika materi yang diberikan tidak bisa diikuti siswa, 5) Guru model menyatakan bersedia, dan ingin merasakan adanya tantangan tersebut, 6) Menurut observer lesson study dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Manfaat kegiatan ini adalah memberikan penyegaran terhadap langkah-langkah pembelajaran yang telah terlupakan. Diharapkan kegiatan lesson study dapat berjalan secara berkesinambungan. Tanggapan dari Fasilitator MGMP: 1) Kegiatan lesson study sangat bermanfaat, kalau betul-betul dilaksanakan di KBM sehari-hari dan kalau dilaksanakan berkelanjutan. Lesson study ini sudah mengalami banyak kemajuan baik dari kesiapan administrasi maupun saat implementasi pembelajaran. Tampak sudah terlihat gambaran peningkatan pengetahuan tentang lesson study pada peserta MGMP, 2) Manfaat lesson study bagi anggota MGMP adalah diperolehnya pengalaman dan pembelajaran bagi peserta sehingga rencana yang sudah disusun dapat dipraktekan di sekolah masing-masing, 3) MGMP dapat melaksanakan lesson study tanpa keterlibatan LPTK karena pengalaman yang sudah diberikan sudah cukup untuk melaksanakan secara mandiri. Kepala Sekolah harus terus diajak untuk mendukung kegiatan Lesson Study -MGMP ini, 4) Kesulitan yang dihadapi adalah mengkoordinir para peserta agar tetap berpartisipasi dan apakah semua kepala sekolah terutama swasta tetap akan mendukung, 5) Komunikasi antara sekolah dan LPTK sebaiknya tetap dipelihara, karena kami tetap memerlukan nara sumber untuk mendapatkan masukan yang berkaitan dengan pembelajaran Sains. Diharapkan ada kegiatan membuat metode KBM yang efektif, dan berlatih membuat alat-alat pembelajaran yang mudah, murah sehingga membantu siswa dalam memahami pelajaran. Tanggapan dari Siswa: 1) Menurut tiga orang siswa, pelajaran fisika terkadang sulit dan kadang mudah. Kesulitan yang dihadapi jika materinya berkaitan dengan rumus matematika. Mudah dipelajari jika ada kegiatan praktikum, 2) Menurut siswa pembelajaran yang baru dialami cukup menyenangkan karena ada kegiatan menyanyi, yang tidak perah dilakukan sebelumnya. Pembelajaran fisika yang biasa Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
320
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dilakukan adalah diskusi, membuat alat sederhana seperti termometer, cerobong asap, termos sederhana, 3) Siswa merasa senang setelah mengikuti pembelajaran, terutama pada kegiatan menyanyi, praktikum dan diskusi kelompok, 4) Kesulitan yang dialami adalah pada saat mencari bayangan yang jelas, kecil dan terbalik, 5) Kehadiran pengamat tidak ngganggu kami belajar. Kegiatan pembelajaran tadi lebih baik dari pada biasanya karena ada nyanyian, berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, ada percobaannya dan mengkaitkan dengan agama.
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil observasi dan refleksi kegiatan lesson study tersebut diperoleh temuan bahwa rata-rata siswa mulai belajar pada saat guru memberikan apersepsi dan penggalian konsepsi awal. Siswa tampak lebih aktif dan sangat antusias pada saat melakukan percobaan. Dalam mengikuti pembelajaran, sebagian besar siswa berinteraksi dengan baik terhadap guru, terhadap bahan ajar dan terhadap sesama teman, dan siswa sudah mampu mengapresiasi percobaan. Namun proses pembelajaran
yang
dikembangkan
belum
mampu
memacu
siswa
untuk
mengungkapkan gagasan atau ide-ide, siswa tampak mengalami kesulitan dalam menarik kesimpulan berdasarkan percobaan, belum ada interaksi antar kelompok dan LKS yang digunakan masih menimbulkan sedikit kebingungan siswa, maka alternatif langkah
pemecahannya
yaitu
pengelolaan
kelas
perlu
ditingkatkan
untuk
meningkatkan aktifitas siswa baik dalam kelompok maupun antar kelompok, LKS dikembangkan untuk memberikan kesempatan pada siswa untuk lebih kreatif dan terbuka serta cakupan materi sebaiknya tidak terlalu banyak, tetapi lebih memberikan kesempatan belajar bagi siswa sehingga siswa memiliki pengalaman belajar yang bermakna. Merujuk kepada berbagai hasil penelitian dan kajian tentang pembelajaran maka dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran IPA hendaknya guru memperhatikan halhal sebagai berikut: a) mempertimbangkan pengetahuan awal siswa, b) memandang pembelajaran sebagai proses transformasi konsepsi yang menyebabkan terjadinya perubahan konsepsual pada diri siswa, c) melibatkan siswa dalam kegiatan IPA melalui Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
321
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
percobaan karena perubahan konseptual atau pengetahuan dikonstruksi siswa melalui partisipasi aktif dalam aktivitas handon dan mind-on, d) memperhatikan interaksi sosial dengan melibatkan siswa dalam kegiatan diskusi kelompok atau kelas (Bell, 1993). Berdasarkan hasil observasi dan tanggapan guru model, guru pengamat (observer), fasilitator MGMP, dan Kepala Sekolah, maka kegiatan lesson study telah mampu menumbuhkan ompetensi guru.Kemampuan guru dalam mengatasi permasalahan pembelajaran tergolong baik, guru terbiasa melakukan identifikasi masalah pembelajaran yang dihadapinya dan terpacu untuk memikirkan alternatif cara pemecahan masalah melalui kolaborasi dan mutual learning dengan guru lainnya sehingga kesulitankesulitan dalam melaksanakan pembelajaran dapat teratasi, baik yang berhubungan dengan materi pembelajaran maupun pengadaan bahan dan alat percobaaan. Terkait dengan kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran, pada awalnya rencana pembelajaran yang dikembangkan oleh masing masing guru cukup
bervariasi
terungkapnya
dan
upaya
masing-masing untuk
menggali
memiliki
kelemahan,
konsepsi
awal
siswa,
misalnya: tidak
tidak
jelasnya
metode/strategi yang digunakan untukmemotivasi aktivitas belajar siswa, kurang tampak adanya kreativitas dalam mengembangkan alat/media pembelajaran, serta pengembangan rancangan asesmen yang belum memadai. amun melalui kegiatan lesson study terutama pada tahap perencanaan yang dilakukan secara kolaborasi kelemahan tersebut dapat diatasi. Kemampuan guru dalam pelaksanaan pembelajaran tergolong baik . Guru model lesson study, bisa menciptakan proses pembelajaran menjadi lebihn menarik dan tidak membosankan. Guru lebih mudah dalam menegaskan konsep sementara siswa bisa melakukan eksplorasi untuk menemukan konsep. Keutuhan struktur pembelajaran seperti kelengkapan fase-fase pembelajaran dan kesinambungan antar fase pembelajaran dapat terlaksana dengan baik, sekalipun masih belum sempurna. Dari sisi keterampilan mengajar seperti penguasaan materi, penggunaan media pembelajaran, pengelolaan kelas, keterampilan bertanya dan keterampilan memotivasi juga tergolong baik. Kegiatan lesson study seperti yang telah dilakukan akan memberikan manfaat bagi guru seperti meningkatnya pengetahuan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
322
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
guru tentang materi ajar dan pembelajarannya, meningkatnya pengetahuan guru tentang cara mengobservasi aktivitas siswa, menguatnya hubungan kolegalitas baik antar guru maupun observer selain guru, menguatnya hubungan antara pelaksanaan pembelajaran sehari-hari dengan tujuan pembelajaran jangka panjang, meningkatnya motivasi guru untuk senantiasa berkembang, dan meningkatnya kualitas rencana pembelajaran (termasuk komponen-komponennya seperti bahan ajar, teaching material berbasis handsondan minds-on , dan strategi pembelajaran.
KESIMPULAN Lesson Study sebagai suatu kegiatan yang diawali dengan pengembangan perencanaan secara bersama, proses pembelajaran terbuka dengan melibatkan sejumlah observer, dan refleksi atau diskusi pasca pelaksanaan pembelajaran, merupakan suatu kegiatan yang sangat potensial dalam peningkatan kualitas keprofesionalan guru IPA dan Matematika (membangun kompetensi guru) yang berdampak pada peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran dan menciptakan proses interaksi antar berbagai pihak, yaitu guru, dosen, kepala sekolah, pengawas, pejabat dinas pendidikan , dan lain-lain.
SARAN Kegiatan lesson study seyogianya dikembangkan secara terus menerus agar sosok guru yang profesional yang memiliki sejumlah kompetensi seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005 agar guru menjadi profesional dan berdampak positif terhadap peningkatan mutu proses pembelajaran seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan kelak akan tumbuh dengan sendirinya dan terwujud menjadi kenyataaan.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
323
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
DAFTAR PUSTAKA Bell, B. F.(1993). Children’s Science, Constructivism and Learning in Science.Victoria: Deakin University. Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Fisika SMP/MTs. Jakarta:Balitbang Depdiknas Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Depdiknas, (2001), Standar Kompetensi Guru SLTP. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.Indonesia. (2005). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Sardjono. (2000). Permasalahan Pendidikan MIPA di Sekolah dan Upaya Pemecahannya. Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan MIPA. FPMIPA UM Malang. Sidi, I. D. (2000). Pendidikan IPA di Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah, Makalah pada Seminar dan Lokakarya Pendidikan MIPA di Indonesia. Bandung: ITB. Sumar Hendayana, dkk. (2007). Lesson Study “Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). UPI PRESS. Suyanto, S. (2000). Reformasi Pola Pengembangan Guru Menyongsong Era Globalisasi dan Otonomi. Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Pendidikan MIPA di Era Globalisasi . FMIPA
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
324
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-20 LKS MATEMATIKA BERBASIS ICT UNTUK MEMFASILITASI SISWA BERPIKIR KRITIS Siti Rokhmah Sitti Maesuri Patahuddin Mohamad Nur Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa
ABSTRAK Kemampuan berpikir kritis adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh siswa di era perkembangan internet yang pesat. Hal ini berimplikasi pada pentingnya peran guru dan perangkat pembelajaran dalam memfasilitasi siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis mereka. Makalah ini memaparkan aspek-aspek berpikir kritis dari LKS matematika berbasis ICT yang dikembangkan peneliti di Pusat Sains dan Matematika Sekolah (PSMS) Unesa. Kata kunci: LKS berbasis ICT, internet, website matematika berbahasa Inggris,berpikir kritis, RSBI.
Pendahuluan Salah satu butir Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) SMP/SMPLB, yaitu
menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
(Permendiknas No. 23/2006). Hal ini menjadi salah satu dasar dikembangkannya LKS berbasis ICT yang memfasilitasi perkembangan berpikir kritis siswa. Menurut Traherne yang dikutip oleh Johnson (2002), bahwa tak ada yang lebih mudah dari berpikir, demikian juga tidak ada yang lebih sulit dari berpikir dengan baik. Ini mengindikasikan bahwa berpikir kritis bukanlah hal yang mudah bagi setiap orang dan oleh karena itu berpikir kritis perlu ditumbuhkembangkan sejak kecil. Menurut Johnson (2002: 100) bahwa: Critical thinking is a clear, organized process used in such mental activities as problem solving, decision making, persuading, analyzing Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
325
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
assumptions, and scientific inquiry. Criticl thinking is the ability to reason in an organized way. It is the ability to systematically evaluate the quality of one’s own reasoning and that of others.
Jadi orang yang berpikir kritis adalah orang yang menggunakan proses yang jelas, terorganisasi dalam kegiatan-kegiatan mental misalnya dalam pemecahan masalah, pengambilan keputusan, proses mempengaruhi orang lain, manganalisis asumsi-asumsi, dan dalam melakukan inkuiri yang bersifat ilmiah. Berpikir kritis merupakan kemampuan mengajukan alasan secara terorganisasi, dan sekaligus kemampuan untuk mengevaluasi secara sitematis kualitas dari penalaran yang dilakukan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain. Johnson menjelaskan bahwa berpikir kritis memungkinkan siswa mendeteksi kebenaran dalam kejadian-kejadian dan informasi yang mereka terima setiap hari. Berpikir kritis merupakan proses yang sistemetatis yang memungkinkan siswa memformulasikan dan mengevaluasi apa yang mereka percayai atau pernyatanpernyataan mereka. Berpikir kritis merupakan yang terorganisir yang memungkinkan mereka mengevaluasi bukti-bukti, asumsi-asumsi, logika, atau bahasa yang mendasari pernyatan yang dibuat oleh orang lain. Johnson juga menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam dan pemahaman tersebut memungkinkan seseorang melihat ide-ide yang mendasari ide-ide yang memberi arah dalam kehidupan seharihari kita. Pemahaman menyampaikan makna di balik suatu kejadian. Sedangkan kemampuan berpikir kritis menurut Mulyanto (2008) adalah kemampuan membuat kesimpulan dan menilai keaslian serta kebenaran sesuatu dengan beradasarkan pada pengetahuan yang telah dimiliki. Selain itu menurut Halpen (dalam Achmad 2007), menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Sejalan dengan hal itu, Anggelo (dalam Achmad 2007) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
326
PROSIDING
menganalisis,
ISBN : 978-979-16353-3-2
mensintesis,
mengenal
permasalahan
dan
pemecahannya,
menyimpulkan, dan mengevaluasi. Begitu kompleknya kemampuan yang harus dimiliki siswa untuk dapat berpikir kritis, maka dalam era teknologi yang sangat pesat ini, pengembangan kemampuan berpikir siswa perlu dikembangkan sejak dini. Hal ini perlu di dukung oleh guru yang berkompeten dan perangkat pembelajaran yang dapat digunakan untuk menfasilitasi perkembangan berfikir kritis siswa. Makalah ini secara khusus akan menganalisis aspek-aspek berpikir kritis dari LKS matematika berbasis ICT yang telah dikembangkan peneliti di Pusat Sains dan Matematika Sekolah (PSMS) Unesa.
Metode Penelitian Penelitian pengembangan LKS berbasis ICT mengacu pada model pengembangan Fenrich (1997), meliputi fase analysis,
planning,
design,
development,
implementation, evaluation and revision. Tetapi tahap implementasi belum dilakukan. Pengembangan ini dilaksanakan bulan Oktober – November 2009 dan diujicobakan pada tiga siswa kelas VII RSBI SMP Al Hikmah Surabaya pada tanggal 30 Oktober 2009. Ujicoba dilaksanakan di ruang laboratorium IPA yang mempunyai koneksi internet Wifi. Pada fase analisis peneliti mencari dan mereviu website-website pembelajaran matematika, mencermati isi kurikulum matematika SMP dan kembali mereviu websitewebsite pilihan yang telah ditelusuri sebelumnya yang sesuai dengan kurikulum tersebut. Selanjutnya peneliti menetapkan segitiga dan segi empat sebagai materi yang akan dikembangkan dalam LKS berbasis ICT serta menentukan website-website matematika berbahasa Inggris yang bersesuaian. Pada tahap perencanaan dilakukan perancangan skenario pembelajaran, perencanaan rinci tentang aktifitas siswa, identifikasi alat dan sarana penunjang pembelajaran seperti komputer/laptop, jaringan internet, dan printer. Tahap selanjutnya adalah perancangan LKS berbasis ICT, yaitu mengintegrasikan website matematika berbahasa Inggris untuk membantu siswa mencapai tujuan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
327
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
belajar matematika dan memfasilitasi siswa untuk mencapai SKL yang sesuai dengan kurikulum. Pada fase development dilakukan telaah atau evaluasi terhadap LKS berbasis ICT beserta perangkat pelengkapnya (Kunci LKS, Lembar Penlaian beserta kuncinya, kit alat dan bahan serta vocabulary list). Instrumen utama adalah Tim Peneliti dengan menggunakan diary penelitian. Pada saat pelaksanaan ujicoba, Tim Peneliti yang dibantu oleh seorang pengamat mengumpulkan data menggunakan catatan lapangan, camcorder dan kamera. Data lain juga bersumber dari hasil kerja siswa pada ketiga LKS dan angket respon siswa. Data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Catatan pengamatan dianalisis untuk mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan maksud penelitian seperti yang telah disebutkan. Video pada dasarnya digunakan untuk mengecek ketepatan catatan atau melengkapinya, misalnya mencermati cara tim peneliti memfasilitasi mereka, mengecek kembali aktifitas-aktifitas yang dilakukan siswa. Kelebihan video ini adalah kejadian-kejadian yang terekam dapat diputar berkali-kali sehingga membantu peneliti dalam proses analisis khususnya dalam membuat interpretasi pada data yang telah dikumpulkan.
Pembahasan Dalam penelitian pengembangan ini, LKS yang diujicobakan sebanyak tiga. LKS 01 tentang klasifikasi segitiga, LKS 02 tentang mengkonstruksi segitiga dan LKS 03 tentang luas persegi panjang dan jajargenjang. Dalam makalah ini peneliti membatasi pada analisis aspek berpikir kritis. Berikut akan dideskripsikan bagian dari LKS dan salah satu website yang memfasilitasi siswa berpikir kritis. Aspek berpikir kritis LKS Pada kegiatan hands on activity LKS 01 siswa diminta membuat beberapa model segitiga yang berbeda dengan menggunakan stik kayu yang disediakan. Siswa mampu membuat berbagai macam bentuk segitiga dengan jenis yang terbatas (segitiga sama kaki, segitiga sama sisi dan segitiga siku-siku). Akan tetapi mereka belum banyak Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
328
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
mengetahui mathematics vocabulary terkait materi segitiga tersebut. Guru sebagai fasilitator membimbing siswa dalam melakukan investigasi, seperti melakukan tanya jawab seputar perbedaan masing-masing segitiga yang mereka buat. Mereka menjelaskan bahwa perbedaannya ada pada panjang sisi (sama atau tidak) dan besar sudutnya (sama atau berbeda). Berdasarkan penjelasan dan tulisan pada sticky notes, mereka belum bisa menentukan karakteristik segitiga tersebut dalam bahasa Inggris dengan benar. Sebagai contoh, siswa menyebut sama kaki dengan “same feet”, siku-siku dengan “90 degrees”, dan sama sisi dengan “same angles”. Contoh hasil kerja siswa tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil kerja siswa pada Kegiatan 1 LKS 01 Pada LKS 02 siswa diminta menempatkan titik C sehingga terbentuk segitiga siku-siku dan segitiga sama kaki ABC jika diberikan ruas garis AB, di mana AB menjadi salah satu sisi dari segitiga tersebut. Awalnya siswa hanya dapat membuat masing-masing satu jenis segitiga. Setelah dibimbing oleh guru, seperti “bisakah kamu membuat segitiga siku-siku dan sama kaki yang lain?’ dan “berapa banyak segitiga siku-siku dan sama kaki yang bisa kamu buat?”, akhirnya siswa mampu membuat berbagai macam (lebih dari 4) bentuk, baik segitiga siku-siku maupun segitiga sama kaki. Hasil kerja siswa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Dalam kegiatan ini salah satu siswa, disetujui oleh dua siswa lain, mengatakan bahwa segitiga yang mungkin terbentuk tak hingga banyaknya.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
329
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Gambar 2. Berbagai macam segitiga siku-siku yang dibuat salah satu siswa Sedangkan pada LKS 03, siswa diminta mendemonstrasikan cara membuat persegi panjang dari model jajargenjang yang terbuat dari kertas karton. Awalnya ada siswa yang beranggapan bahwa untuk membuat persegi panjang dari jajargenjang harus memotong jajargenjang tersebut menjadi dua bagian yang sama. Akan tetapi setelah mencoba sendiri membuat persegi panjang dari berbagai macam bentuk jajargenjang, siswa tersebut menyimpulkan bahwa tidak harus memotong jajargenjang menjadi dua bagian yang sama untuk membuat sebuah persegi panjang tergantung dari bentuk jajargenjang tersebut. Seperti tampak pada Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3. Hasil demonstrasi siswa membentuk persegi panjang dari sebuah jajargenjang
Pada akhir kegiatan siswa dapat menyimpulkan bahwa jika jajargenjang dapat dibentuk menjadi persegi panjang maka luas jajargenjang tersebut sama dengan luas persegi panjang yang dibentuk sehingga rumus luas jajargenjang sama dengan rumus luas persegi panjang sama dengan panjang kali lebar. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
330
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Contoh website memuat aspek berpikir kritis Banyak sekali sumber-sumber belajar matematika yang telah tersedia melalui internet, termasuk materi yang dapat digunakan untuk memacu berpikir kritis siswa. Beberapa contoh seperti yang digunakan dalam LKS berbasis ICT yang dikembangkan oleh tim peneliti. Namun demikian hal yang perlu disadari bahwa materi-materi yang telah tersedia itu dapat tidak berarti atau tidak bermanfaat dalam membangun berpikir kritis siswa, misalnya siswa hanya sekedar membacanya tanpa ada upaya untuk mengeksplorasi lebih jauh apa yang dibacanya atau tanpa keingintahuan siswa pada materi yang disajikan melalui internet tersebut. Pendampingan guru atau arahan guru dalam mengoptimalkan internet sebagai alat belajar sangat diperlukan. Sebagai contoh, pada website illumination, ketika pengguna internet mengunjungi http://illuminations.nctm.org/ActivityDetail.aspx?ID=142, halaman web yang muncul adalah seperti pada Gambar 4 berikut. Di bawah judul Triangle Classification, terdapat pertanyaan dimana titik C seharusnya ditempatkan sehingga terbentuk segitiga sikusiku ABC, dan segitiga lainnya.
Gambar 4. Tampilan awal http://illuminations.nctm.org/ActivityDetail.aspx?ID=142 Di bawah subjudul Exploration, pengguna internet dapat mengeklik Show Randon Triangle, hasilnya akan muncul gambar segitiga dengan ukuran sisi dan sudut-sudutnya diberikan, seperti terlihat pada Gambar 5. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
331
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Selanjutnya siswa dapat dengan bebas menggerakkan titik C ke segala arah (yaitu 360 derajat) dan bersamaan dengan itu, ukuran setiap sudut maupun sisi juga diberikan pada layar. Dengan demikian siswa dapat mengamati kapan salah satu sudut segitiga menjadi 90 derajad.
Gambar 5. Tampilan website ketika ”Show Random Triangle” diklik Hal yang menarik dari website ini adalah, ketika siswa mengunjungi website ini, petunjuk pada Instruction atau pun pertanyaan pada sub judul Exploration tidak tampak. Hal ini baru tampak jika pengguna mengeklik tanda tambah pada kedua subjudul tersebut, seperti tampak pada Gambar 6 berikut. Petunjuk-petunjuk tersebut dapat dimanfaatkan guru dalam mempersiapkan dirinya menfasilitasi belajar siswa dengan internet atau membantu guru dalam memacu siswa berpikir kritis. Dengan demikian, hal-hal yang tidak positif yang mungkin terjadi dapat dihindari misalnya siswa mengeklik tanpa ada arah yang jelas atau tanpa pemikiran yang cermat. Meskipun pada kegiatan internet pada saat-saat tertentu, siswa tentunya perlu diberi kesempatan untuk mengeksplorasi internet secara lebih bebas. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
332
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Gambar 6. Tampilan website ketika Instructions dan Exploration diklik
Kelebihan lain dari website tersebut adalah tersedianya animasi yang dapat dimanfaatkan siswa untuk menjelaskan bahwa tak terhingga banyaknya segitiga sikusiku yang dapat terbentuk. Dengan adanya Show/Hide buttons, dimungkinkan bagi para pengguna untuk menunjukkan alasan rasional mengapa banyak sekali kemungkinan menempatkan titik C tersebut. Pada Gambar 7, tampak segitiga hijau yaitu segitiga siku-siku dan dua garis sejajar. Bilamana titik C ditempatkan di sebarang tempat di sepanjang dua garis lurus (garis hijau) tersebut, maka salah satu sudut segitiga tersebut 90 derajad.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
333
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
(a)
(b) Gambar 7. Tampilan website ketika Show/Hide buttons diklik
Lebih jauh, siswa dapat mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan lain, misalnya letak garis AB di ubah. Hal ini dimungkinkan karena titik A dan titik B dapat digerakkan secara bebas, sehingga bisa tampak gambar lain, misalnya pada Gambar 7a (sebelum titik A atau B digeser) dan Gambar 7b (setelah titik A atau B digeser) di atas. Simpulan dan Saran LKS berbasis ICT yang dikembangkan dengan pertimbangan aspek berpikir kritis ternyata pada pelaksanaan ujicoba aspek tersebut muncul. Sumber utama ide LKS ini ditemukan dari website matematika berbahasa Inggris yang penulis belum temukan dalam buku-buku paket matematika yang telah beredar. Banyak sumber belajar yang tersedia di internet yang dapat digunakan guru dalam membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Salah satu contohnya telah dideskripsikan dalam makalah ini, dan masalah-masalah dalam website tersebut belum ditemukan dalam buku paket. Kelebihan lain dibandingkan dengan buku, pada website ini disiapkan gambar yang dapat dimanipulasi oleh siswa untuk meyakinkan banyaknya segitiga yang dapat dikonstruksi pada situasi yang diberikan. Dengan menggunakan website, pembelajaran menjadi lebih dinamis dan siswa dapat lebih mudah memperoleh
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
334
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, A. (2007). Memahami Berpikir Kritis. Retrieved October, 2009, from http://researchengines.com/1007arief3.html. Direktorat Pembinaan SMP Ditjen Mandikdasmen (Mei 2007). Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Sekolah Menengah Pertama – Bertaraf Internasional (SMP-SBI). Retrieved 16 September 2009. from http://www.scribd.com/doc/19318295/skl-smp-sbi-semua-mapel. Johnson, E. B. (2002). Contextual Teaching and Learning. Corwin Press, Inc. California. Mulyanto, A. (2008). Tuntutan di Era Krisis: Pembiasaan Berpikir Kritis dengan Pembiasaan membaca Kritis. Retrieved October, 2009, from http://www.fkipuninus.org/index.php/artikel-fkip-uninus-bandung/artikel-pendidikan/58. NCTM. (2009). Triangle Classification. Retrieved October, 2009, from http://illuminations.nctm.org/ActivityDetail.aspx?ID=142.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
335
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-21 MENGOPTIMALKAN MEMORI JANGKA PANJANG SISWA SMPN 1 PAJARAKAN DALAM MEMAKNAI KONSEP GARIS SINGGUNG PERSEKUTUAN DUA LINGKARAN DENGAN PENYANDIAN
Agustin Debora MS, SMPN 1 Pajarakan Drs. Mustangin, M.Pd., Universitas Islam Malang Dra. Santi Irawati, M.Si,Ph.D., Universitas Negeri Malang
PENDAHULUAN Sudah menjadi wacana yang sangat umum, bahwa banyak siswa mengalami kesulitan belajar terutama pada mata pelajaran matematika. Di kalangan guru, yang sering menjadi pembahasan adalah, ketika siswa diberi penjelasan tentang suatu topik mereka menyatakan mengerti, namun pada saat mengerjakan soal banyak siswa yang masih melakukan kesalahan. Dalam hal ini seolah-olah kesalahan ditimpakan kepada siswa. Guru yang senantiasa berupaya meningkatkan profesionalitasnya, fenomena ini menjadi bahan yang sangat perlu untuk segera diselesaikan dengan mengidentifikasi penyebabnya. Jika dianalisa penyebabnya, Widiharto (2008:6) mengutip tulisan Brueckner dan Bond, Cooney.Davis dan Henderson (1975) mengelompokkan penyebab kesulitan belajar menjadi lima faktor, yaitu : (1) Faktor Fisiologis, (2) Faktor Sosial, (3) Faktor Emosional, (4) Faktor Intelektual, dan (5) Faktor Pedagogis. Adapun kesulitan-kesulitan belajar yang dialami siswa yang ditulis oleh Rachmadi R (2008:14), setelah mempelajari konsep, hal-hal yang sering terjadi pada siswa adalah : * tidak memahami, samar-samar, segera lupa atau lupa sebagian, atau sangat memahami. Kesulitan yang terjadi di atas sangat terkait dengan : (1) Ketidakmampuan memberi nama singkat atau nama teknis, (2) Ketidakmampuan menyatakan arti istilah yang menandai konsep, (3) Ketidakmampuan mengingat, (4)
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
336
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Ketidakmampuan memberikan contoh konsep tertentu, (5) Kesalahan klasifikasi, dan (6) Ketidakmampuan mendeduksikan informasi berguna dari suatu konsep. Dari kesulitan belajar di atas, tidak semuanya dapat dijawab dengan mengoptimalkan faktor intelektual yang diproses di belahan otak kiri saja. Ada beberapa kesulitan di atas yang dapat diselesaikan dengan mengoptimalkan fungsi otak kiri dan otak kanan secara sinergis. Selama ini yang terjadi adalah hanya fungsi otak kiri saja yang masih digunakan. Dalam makalah ini akan dibahas proses berpikir di otak manusia, yaitu proses mengingat di dalam otak ajaib kita, serta cara mengubah memori jangka pendek menjadi memori jangka panjang. Pengetahuan in sebaiknya perlu diketahui dan dipahami oleh guru sebagai dasar perencanaan pembelajaran yang efektif dan mudah bagi siswanya, sebagai bagian dari kemampuan pedagogis seorang guru. Adapun dalam pembahasan ini, penulis memilih kurikulum SMP pada kompetensi dasar mengitung panjang garis singgung persekutuan luar dan persekutuan dalam dua lingkaran, karena dari hasil evaluasi pembelajaran siswa, sejak penulis berkarya hingga munculnya ide pembelajaran ini, hasil evaluasi yang diperoleh siswa masih di bawah KKM yang ditentukan oleh sekolah. Siswa dianugerahi otak yang begitu ajaib. Jika beranjak dari cara kerja otak manusia, ada hal yang belum tepat diberikan kepada siswa. Ada hal yang terlewatkan, dan ini sangat disayangkan. Selama ini guru belum memaksimalkan fungsi otak yang memproses long-term memory, sedangkan yang diberikan kepada mereka masih sebatas short-term memory, dan tiba-tiba mereka dipaksa untuk diuji kemampuannya. Melalui pembahasan ini, diharapkan mampu menyelesaikan persoalan tentang kesulitan belajar. Dengan demikian seseorang akan lebih terbuka dengan banyak hal dan tantangan. Semakin banyak siswa tahu cara belajar yang efektif dan efisien, semakin banyak hal yang akan dicari oleh mereka. Harapan dan tujuan jangka panjang dari pembahsan masalah ini adalah menjadikan siswa kita, anak-anak kita menjadi manusia yang penuh percaya diri dan mereka akan menjadi insan yang jujur dengan kemampuannya.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
337
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Sebagaimana yang tertulis di atas, fakta yang terjadi adalah lupa akan konsep yang pernah dipelajari. Alasan tersebut menarik dan klasik, yang sudah berlangsung sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia dan dialami siswa secara umum. Hal ini berarti bahwa permasalahan yang harus dikupas, dipahami serta harus dicoba adalah (1) Bagaimanakah proses mengingat di dalam otak ajaib kita? (2) Bagaimanakah cara mengubah memori jangka pendek menjadi memori jangka panjang? (3) Bagaimana implementasinya, jika kedua hal di atas kita integrasikan dalam pembelajaran yang membahas tentang GSPDL? Siswa dianugerahi otak yang begitu ajaib. Jika beranjak dari cara kerja otak manusia, ada hal yang belum tepat diberikan kepada siswa. Ada hal yang terlewatkan, dan ini sangat disayangkan. Selama ini guru belum memaksimalkan fungsi otak yang memproses Long-term Memory, sedangkan yang diberikan kepada mereka masih sebatas Short-term Memory, dan tiba-tiba mereka dipaksa untuk diuji kemampuannya. Dari bagan di bawah ini, dapat dilihat kesenjangan perlakuan antara yang seharusnya dilakukan dengan yang telah dilakukan. Ada beberapa hal penting yang seharusnya menjadi hak siswa yang belum kita berikan kepada mereka. YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN
YANG TELAH DILAKUKAN
FAKTA BARU FAKTA BARU ↓ ↓ SHORT-TERM MEMORY SHORT-TERM MEMORY ↓ ↓ MENGULANG ↓ ↓ MEREKAM ↓ ↓ MENYIMPAN ↓ ↓ LONG-TERM MEMORY ↓ ↓ MENGINGAT MENGINGAT Sehingga pada RPP yang akan dilaksanakan perlu direncanakan untuk proses : (1) mengulang, (2) merekam dalam bentuk sandi, (3) menyimpan, dan (4) mengingat. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menyelesaikan persoalan tentang mengingat, sehingga seseorang akan lebih terbuka dengan banyak hal dan tantangan. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
338
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Tidak ada lagi siswa lupa dengan teori-teori yang harus digunakan, dan dengan cepat segera menyelesaikannya. Melalui pembahasan ini, diharapkan mampu menyelesaikan persoalan tentang kesulitan belajar. Dengan demikian seseorang akan lebih terbuka dengan banyak hal dan tantangan. Semakin banyak siswa tahu cara belajar yang efektif dan efisien, semakin banyak hal yang akan dicari oleh mereka. Harapan dan tujuan jangka panjang dari pembahsan masalah ini adalah menjadikan siswa kita, anak-anak kita menjadi manusia yang penuh percaya diri dan mereka akan menjadi insan yang jujur dengan kemampuannya. Diharapkan siswa mengetahui dan merasakan betapa ajaibnya otak mereka, serta mengembangkannya pada mata pelajaran yang lain. Selain itu, ketika di rumah mereka dapat menerapkannya sebagai pola belajar sehari-hari sebelum mereka menimba ilmu di sekolah. Pada akhirnya guru mengetahui hal yang paling tepat untuk siswa atau anakanak. Jika dikombinasikan dengan kreativitas serta kondisi yang ada, maka ”pelayanan untuk anak-anak kita” dapat dipandang sebagai sebuah karya seni. Semua menjadi lebih mudah, lebih harmonis dan efektif jika kita persepsikan ”mengajar sebagai sebuah seni”. Profesionalitas bukan sebuah impian, melainkan sesuatu yang telah siap kita raih.
Definisi Operasional 1) Fakta Baru. Kegiatan menggali informasi dari fakta yang telah ditemukan (explorasi 1) 2) Short Term Memory Berhubungan dengan apa yang sedang dipikirkan atau dialami seseorang pada suatu saat ketika menerima stimulus dari lingkungannya. Durasi informasi yang tersimpan di dalam Short-term Memory adalah 15-20 detik saja. 3) Mengulang. Mengulang kegiatan seperti yang dialami pada penemuan fakta baru ( eksplorasi 2). 4) Merekam/Penyandian. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
339
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Dengan imaginasi melakukan simbulisasi atau pencitraan untuk informasi baru yang telah diterima. 5) Long-term Memory Merupakan memory penyimpanan yang relatif permanen, yang dapat menyimpan informasi meskipun informasi tersebut tidak diperlukan lagi. Informasi yang tersimpan di dalam Long-term Memory diorganisir ke dalam bentuk struktur pengetahuan tertentu atau yang disebut skema. 6) Mengingat Mempertahankan di dalam ingatan.
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN Kapasitas otak yang sangat luar biasa baru kita sadari. Otak kita memiliki 100 miliar sel otak. Setiap kali satu stimulus (gambar,suara atau sentuhan) mencapai salah satu indra, sel otak menciptakan pikiran atas kesan yang keluar dari sel otak dan menyusuri salah satu benang (dendrit), kemudian kesan ini menyeberang ke sel otak yang lain. Proses ini terus berlanjut melibatkan jutaan sel otak yang terhubung sel yang berurutan. Setiap kali reaksi berantai terjadi, koneksi baru terbentuk di antara sel-sel otak. Sebagian ini menjadi koneksi yang permanen jika terjadi berulang-ulang. Itulah sebabnya kita dapat mengingat banyak hal tanpa perlu mengerahkan upaya secara sadar.
Bukan jumlah sel otak yang menentukan hebatnya otak kita, melainkan jumlah koneksi yang terjadi di antara sel-sel otak kita. Beberapa ilmuwan menyimpulkan bahwa kecerdasan tidaklah tetap. Semakin sering kita menggunakan otak, semakin banyak pula koneksi antara sel-sel otak kita. Semakin banyak koneksi yang terjadi di antara sel-sel otak kita, maka semakin besar
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
340
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pula potensi kita untuk berpikir cerdas. Hal ini berarti bahwa sesungguhnya, KITA ADALAH ARSITEK OTAK KITA SENDIRI. Bagian otak yang Terangsang
Bagian otak yang Tidak terangsang
Kita menyerap informasi melalui enam jalur utama : lihat, dengar, kecap, sentuh, bau atau apa yang kita lakukan. Secara umum otak kiri kita memproses logika, kata-kata, matematika dan urutan, yang disebut pembelajaran akademis. Otak kanan kita memproses irama, rima, musik, gambar atau imajinasi, yang disebut dengan aktivitas kreatif. Colllin Rose memberikan contoh sederhana tentang bagaimana aspek-aspek otak yang berbeda dapat bekerja sama secara terpadu. ”Jika kita mendengarkan sebuah lagu, otak kiri akan memproses syairnya dan otak kanan memproses musiknya”. Betapa luar biasanya kerja otak kita. Kita tidak perlu bekerja keras untuk itu. Kita menghafalnya atau mengingatnya begitu cepat karena otak kiri dan otak kanan kita keduanya terlibat, begitu pula dengan pusat emosi otak pada sistem limbik. Pusat emosi otak kita juga berhubungan erat dengan sistem penyimpanan memori jangka panjang. Oleh karena itu kita perlu mengetahui sedikit cara ingatan bekerja dan cara meningkatkannya. Semua manusia telah dianugerahi ingatan yang sudah bagus, tinggal bagaimana cara kita mengoptimalkannya.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
341
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Manusia memiliki memori jangka pendek dan jangka panjang. Memori jangka pendek dirancang untuk menyimpan informasi sementara. Contohnya, nomor telepon yang dicari dari buku telepon, atau mendengar pembicaraan seseorang dengan sepintas. Informasi ini hanya diingat selama dibutuhkan. Coba kita bandingkan dengan melihat gerakan jari–jari ketika menekan nomor telepon, kemudian kita coba mengulangnya satu atau beberapa kali sambil kita merasakannya, apalagi ada suara tone pada nomor yang ditekan, kemudian kita coba menirukan suara tone pada nomor telepon yang ditekan, maka nomor telepon ini akan lebih lama diingat dari pada hanya melihat nomor telepon dari buku telepon. Dari kedua contoh di atas dapat kita bandingkan keterlibatan indra kita. Pada contoh pertama yang dilibatkan hanya indra penglihatan saja dan tidak ada proses pengulangan. Sedangkan pada contoh yang kedua, indra yang terlibat adalah penglihatan, gerak, pendengaran dan rasa, serta ada proses mengulang. Jadi aspek audio-visual-kinestetiknya nampak dalam proses mengingat sesuatu. Manusia cenderung mengingat hal-hal yang aneh, ganjil, lucu atau ekstrim. Oleh karena itu jika ingin mengingat sesuatu, dicoba sebisa mungkin untuk mengaitkan dengan gambaran yang lucu atau aneh. Ini adalah ingatan yang dilakukan oleh orangorang yang memiliki ingatan yang kuat. Lebih dari 60% otak digunakan untuk pemrosesan visual. Membuat diagram, grafik, sketsa, warna atau garis bawah sangat membantu. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
342
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Ada beberapa sifat penyandian yang bisa saling melengkapi, di antaranya :
1) Penyandian Akustik (bunyi, suara, lagu) 2) Penyandian Visual (gambar) 3) Penyandian Fisik/Kinestetik (gerakan) 4) Penyandian Verbal (operasi bilangan dan logika) Teori Memori menyatakan lupa sebagai kegagalan pada satu atau lebih stadium tersebut.
Hipotesis Tindakan Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan lupa yang terjadi pada siswa kita, dapat diselesaikan dengan tahap-tahap sebagaimana terurai di atas. Penulis berusaha mengkombinasikannya sehingga dapat dinyatakan dalam bagan berikut, serta dapat dijadikan dasar dalam prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas.
Ada beberapa sifat penyandian yang bisa saling melengkapi, di antaranya :
1) Penyandian Akustik (bunyi, suara, lagu) 2) Penyandian Visual (gambar) 3) Penyandian Fisik/Kinestetik (gerakan) 4) Penyandian Verbal (operasi bilangan dan logika)
Teori
Memori
menyatakan
lupa
sebagai
kegagalan pada satu atau lebih stadium tersebut.
Desain Pembelajaran yang Mengoptimalkan Otak Kiri dan Otak Kanan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
343
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Mendesain sebuah pembelajaran sebaiknya mempertimbangkan beberapa hal yang ada pada siswa dan mengacu pada proses berpikir. Sebagaimana tertulis pada kajian proses mengingat di dalam otak, maka rencana pembelajaran yang mengoptimalkan Longterm Memory System seyogyanya mengakomodasi tahap-tahap sebagai berikut . 1) Fakta Baru Pada fase ini berlangsung proses ”eksplorasi”. Siswa menemukan fakta, kemudian mengkonstruksinya hingga menjadi sebuah konsep. Pendekatan kontekstual penting sekali dalam hal ini, dan dapat dikemas dengan pengelolaan kelas dalam kegiatan individu ataupun berkelompok. Pada tahap ini, informasi telah diterima oleh indra siswa kita, direspon oleh otak sebagai koneksi-koneksi antar sel-sel otak. 2) Mengulang Fase ini adalah mengulang kegiatan eksplorasi sebagaimana pada tahap menemukan fakta baru. Jika dimungkinkan, kegiatan ini sebaiknya dilakukan secara individu, karena justru pada tahap ini terjadi proses mempertahankan koneksi-koneksi yang terjadi antara sel-sel pada otak siswa. 3) Menyandikan Ini adalah tahap yang paling penting pada pembahasan ini. Konsep yang telah didapat, diwujudkan dalam sebuah atau beberapa bentuk sandi. Bentuk sandi yang dapat digunakan adalah sandi visual, sandi audio, sandi fisik/kinestetik, ataupun sandi verbal. 4) Menyimpan Menyimpan adalah mempertahankan koneksi-koneksi pada sel-sel otak. Tahap ini adalah mengimaginasikan simbul-simbul yang telah dibuat, semakin sering mengimaginasikannya, semakin permanen simbul itu tersimpan di dalam otak. Pada awalnya sebaiknya guru sesering mungkin mengkondisikan proses ini di dalam kelas walaupun dilakukan hanya beberapa saat ketika mengawali sebuah pembelajaran. Pada akhirnya siswa akan dapat melakukannya sendiri sebagai pola belajar di rumah ataupun di sekolah. 5) Mengingat Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
344
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Ini adalah tahap memanggil sandi ketika dihadapkan pada sebuah persoalan yang harus diselesaikan. Pada saat siswa menemukan sebuah persoalan, mereka akan mengkaitkan dengan fakta yang telah mereka temukan sebelumnya, kemudian mengimaginasikan sandi yang telah mereka miliki. 6) Menyelesaikan Masalah Masih mengambil contoh persoalan di atas, dalam hal ini ada 2 konsep yang diperlukan, yaitu konsep garis singgung persekutuan luar dua lingkaran dan teorema Pythagoras. Oleh karena itu ada dua sandi yang dipanggil dan digunakan, yaitu sepeda (sandi visual) dan jari-jari (sandi visual dan sandi verbal). Contoh masalah : Panjang garis singgung persekutuan luar dua lingkaran adalah 24 cm. Sedangkan jarak antara kedua pusat lingkaran adalah 25 cm. Jika jari-jari lingkaran terkecil adalah 5 cm, tentukan selisih jari-jari kedua lingkaran tersebut.
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (PTK), dengan tujuan untuk mengkaji secara mendalam beberapa aspek penting dalam pembelajaran matematika, yaitu: a.
Kemampuan menemukan fakta baru.
b.
Kemampuan menyimpulkan.
c.
Kemampuan merekam dalam bentuk SANDI VISUAL atau KINESTETIK.
d.
Kemampuan mengingat kembali.
e.
Kemampuan menyelesaikan persoalan.
Subyek, Tempat dan Waktu Subyek : Siswa kelas VIIIB & VIIIE SMPN 1 Pajarakan Probolinggo Tempat
: SMPN 1 Pajarakan Probolinggo Jln. Condong – Pajarakan Kulon Kec. Pajarakan – Kab.Probolinggo.
Waktu
: Tahun Pelajaran 2008/2009 Semester.2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
345
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Kelas VIIIB : Senin, 16 Maret 2009 & Kamis, 19 Maret 2009 Kelas VII E : Senin, 16 Maret 2009 & Kamis, 19 Maret 2009
Prosedur Pelaksanaan 1) Perencanaan Kegiatan awal untuk melaksanakan penelitian ini adalh menyiapkan semua piranti yang dibutuhkan ketika pelaksanaan. Adapun yang perlu disiapkan adalah : (1) Alat & bahan eksplorasi, (2) RPP dan Rubrik Autentik Assesment, (3) Lembar Kerja Siswa, (4) Instrumen Penelitian 2) Pelaksanaan KEGIATAN PENDAHULUAN : Review : Teorema Pythagoras. Definisi garis singgung sebuah lingkaran. KEGIATAN INTI:
WAKTU
5 menit
PENEMUAN FAKTA BARU EXPLORASI 1 Dilaksanakan kelompok. 1. Membuat 2 lingkaran dengan jari - jari yang berbeda. R1 = 6cm dan R2 = 2cm. ( Disiapkan di rumah ) 2. Meletakkan kedua lingkaran berdampingan dengan jarak antara kedua pusat lingkaran adalah 10 cm, kemudian direkatkan dengan 12 menit lem. 3. Membuat garis singgung persekutuan luarnya. 4. Menentukan titik singgungnya. 5. Menghubungkan titik singgung dengan pusat lingkarannya. 6. Membuat garis yang sejajar garis singgung yang melalui titik pusat lingkaran yang terkecil. 7. ADAKAH ”PYTHAGORAS” DI SANA ? 8. Membuat kesimpulan sementara (dalam diskusi kelompok). Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
346
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
9. Menguji dengan teo. Pythagoras.
MENGULANG EXPLORASI 2 Dilaksanakan individu 1. Mengulang kegiatan explorasi 1 dengan R1 dan R2 yang ditentukan 10 menit oleh siswa. ( Disiapkan di rumah ) 2. Membuat kesimpulan dari kegiatan explorasi 2. 3. Apakah hasilnya sama dengan kegiatan explorasi 1 ? 4. Uji dengan Teo. Pythagoras. Diskusi kelas
5 menit
Membuat kesimpulan Konsep Garis Singgung Persekutuan 2 Lingkaran MEREKAM & MENYIMPAN DENGAN SANDI •
Apakah diperlukan sebuah RUMUS untuk menyatakan konsep garis singgng persekutuan dua lingkaran ?
1. Imaginasikan / bayangkan ketika explorasi. 2. Imaginasikan sketsa konsep yang ada. 3. Sketsalah konsep di atas kertas →SANDI VISUAL 4. Imaginasikan, dengan jari tangan kita, sketsalah konsep tanpa kertas
10 menit
→SANDI KINESTETIK. 5. Ulangi hingga jari kita terbiasa. →SANDI KINESTETIK 6. Sketsalah kembali konsep di atas kertas →SANDI VISUAL Dapat kita bayang sebagai sebuah sepeda
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
347
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
MEMANGGIL SANDI 1. Diberikan sebuah persoalan. 2. Menyatakan persoalan dalam bentuk sketsa/gambar. 3. Sketsa konsep dalam bentuk sandi 15 menit 4. Kaitkan antara sketsa persoalan dengan sketsa konsep. 5. Menggunakan
konsep
dalam
bentuk
sandi
visual
untuk
menyelesaikan sebuah persoalan.
MEYELESAIKAN MASALAH QUIS. Panjang garis singgung persekutuan luar dua lingkaran adalah 24 cm. Sedangkan jarak antara kedua pusat lingkaran adalah 25 cm. Jika jari-jari lingkaran terkecil adalah 5 cm, tentukan selisih jari-jari kedua lingkaran 13 menit
tersebut. PENUTUP :
10 menit
Refleksi Angket.
3) Observasi Selama tahap pelaksanaan penulis dibantu rekan-rekan melakukan observasi terhadap (1) Tiap tahap kegiatan eksplorasi, (2)
Mencoba mengulang eksplorasi
dengan data lain, (3) Merekam-menyimpan kesimpulan dalam bentuk sandi visual, kinestetik
dan verbal, (4) Memanggil sandi dengan mensketsa sandi, (5)
Menggunakan konsep dalam bentuk sandi untuk menyelesaikan persoalan.
4) Refleksi dan Instrumen Penelitian (1) Analisis hasil observasi meliputi: (a) Kegiatan eksplorasi1, (b) Kegiatan eksplorasi 2, (c) Merekam-menyimpan (d) Memanggil sandi, (e) Menyelesaikan masalah → Quis (2) Indikator keberhasilan proses dan instrumen penelitian Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
348
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
OBSERVASI PROSES
Pencapaian yang diharapkan Ketuntasan KKM klasikal
Menemukan Fakta Baru (explorasi 1 )
80 %
80 %
Mengulang Menemukan Fakta Baru (explorasi 2 )
100%
80%
Sandi Visual Sandi Kinestetik Sandi Verbal
100% 100% 100%
80% 80% 80%
Memanggil Sandi
80%
80%
Menyelesaikan Masalah
70%
80%
Merekam
CARA MENGUKUR
ALAT UKUR
Lembar Rubrik penilaian Observasi keg keg. Explorasi 1. explorasi 1. Lembar Rubrik penilaian Observasi keg keg. explorasi 2. explorasi 2. Lembar observasi Rubrik sandi sandi visual visual Lembar observasi Rubrik sandi sandi kinestetik kinestetik Lembar observasi Rubrik sandi sandi visual & visual & verbal. verbal. Rubrik Lembar observasi memanggil memanggil sandi sandi Rubrik Lembar penilaian penyelesaian penyelesaian masalah masalah
HAL YANG DIOBSERVASI
ALAT UKUR Lemb. Angket Refleksi Siswa
SISWA Lemb. Observasi Siswa
Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, tes dan dokumentasi. Teknik observasi dan dokumantasi digunakan untuk merekam kualitas seluruh aktivitas siswa. Sedangkan tes digunakan untuk mengukur kualitas hasil belajar. Data dari rekaman kualitas kegiatan dan hasil belajar siswa dianalisis kemudian dibandingkan dengan hasil belajar dari kompetensi dasar sebelumnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil observasi penelitian, diperoleh data sebagai berikut : Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
349
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
PROSES
∑ siswa
% siswa
RENTANG SKOR
RENTANG SKOR
0
2
3
5
0
2
3
5
Menemukan Fakta Baru (explor 1 )
2
78
2.5%
97.5%
Mengulang Fakta Baru (explor 2 )
2
78
2.5%
97.5%
MEREKAM Sandi Visual
2
78
2.5%
97.5%
Sandi Kinestetik
2
78
2.5%
97.5%
Sandi Verbal
2
78
2.5%
97.5%
Memanggil Sandi
2
2
76
2.5%
2.5%
95%
Menyelesaikan Masalah
2
2
76
2.5%
2.5%
95%
Keterangan :
0 = tidak ada hasil 3 = ada hasil, sebagian benar 2 = ada hasil, salah 5 = ada hasil, benar sempurna Dari seluruh kegiatan hanya terdapat 2 orang dari 80 orang yang tidak dapat
sama sekali karena keterbatasan kemampuan mereka, 78 orang lainnya dapat melakukan kegiatan eksplorasi dengan benar baik secara kelompok ataupun mandiri. Demikian pula pada proses penyandian, ini adalah bagian yang paling penting, 78 orang dapat melakukannya dengan benar dan cepat. Namun pada saat menyelesaikan masalah, ada dua orang yang gagal dalam penghitungan karena keterbatasan mereka dalam operasi bilangan bulat. Adapun analisa hasil dari tiap tahap kegiatan adalah sebagai berikut : 1. Menemukan Fakta Baru. Kegiatan “menemukan fakta baru” adalah menemukan / membangun konsep Garis singgung Persekutuan Luar Dua Lingkaran dengan pendekatan Kontekstual. Baik secara berkelompok dan kemudian dilanjutkan kegiatan individu sebagai tahap “pengulangan”, siswa diarahkan membuat sketsa GSPLuarDL dan dengan diskusi Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
350
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
kelompok dan diskusi kelas diperoleh konsep GSPLuarDL dengan utuh. Hal detail yang dibahas dalam diskusi kelas adalah : panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran, jarak kedua pusat lingkaran, panjang jari-jari kedua lingkaran dan selisih jari-jari kedua lingkaran. Hasil kegiatan di atas 2 siswa gagal sama sekali dan 78 siswa berhasil mensketsanya dengan benar. Artinya : ketercapaian indikator kegiatan tiap individu yang berhasil mencapai 100% dan ketercapaian klasikal mencapai 97,5%. Fakta di atas menunjukkan bahwa konsep panjang GSPLuarDL dapat dibangun cukup dengan membuat sketsanya tanpa harus melukisnya dengan detail dan benar.
2.Merekam a. Merekam Konsep Fakta Baru
INDIKATOR No PENILAIAN
MEREKAM/MENYIMPAN DENGAN SANDI Imaginasi sandi Sketsa sandi di atas kertas dengan jari SANDI VISUAL SANDI KINESTETIK ∑siswa % siswa dengan ∑siswa dengan % siswa dengan dengan skor skor skor skor 0 5 0 5 0 5 0 5 1 1
39 39
HASIL 2 Keterangan: 0 = gagal
78
1.
2.5%
97.5%
2.5% 97.5% 5 = berhasil
1 1
39 39
2.5%
97.5%
2
78
2.5%
97.5%
Karena kegiatan ini baru pertama kali dilakukan oleh siswa, maka peran guru memandu ketika merekam dalam bentuk sandi sangat menentukan proses dan hasil imaginasinya. Memulai proses di otak kanan. Diawali mengimaginasikan proses menemukan fakta dan dilakukan berulang-ulang, kemudian siswa dipandu mengimaginasikan dengan gerakan jari-jarinya ketika mereka menemukan fakta baru. (Sandi Kinestetik/Fisik). Dilakukan berulang-ulang sampai tidak ada satupun sketsa yang terlewat. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
351
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Proses berikutnya adalah membuat sketsa di atas kertas tentang sandi kinestetiknya sehingga menjadi sandi visual. Dilakukan berulang-ulang hingga tidak ada satupun sketsa yang terlewat. Hasil kegiatan ini,
2 siswa gagal sama sekali dan 78 siswa dapat
mengimajinasikan dan mensketsa sandi kinestetik dan sandi visualnya dengan benar. Artinya : ketercapaian indikator kegiatan tiap individu mencapai 100% dan ketercapaian klasikal mencapai 97,5%, serta dicapai oleh siswa yang sama pada kegiatan “menemukan fakta baru”. Kesimpulan sementara : Jika siswa dapat menemukan fakta baru dengan benar, maka pada kegiatan mengimajinasikan dan menyandikannya juga dapat melakukannya dengan benar. b. Merekam Konsep GSPLuarDL MEREKAM/MENYIMPAN DENGAN SANDI INDIKATOR No PENILAIAN
Sketsa sandi di atas kertas SANDI VISUAL ∑siswa % siswa dengan dengan skor skor
Sketsa sandi di atas kertas SANDI VERBAL ∑siswa dengan skor
% siswa dengan skor
0
5
0
5
0
5
0
5
1.
1 1
39 39
2.5%
97.5%
1 1
39 39
2.5%
97.5%
2.
1 1
39 39
2.5%
97.5%
1 1
39 39
2.5%
97.5%
2
78
2.5%
97.5%
2
78
2.5%
97.5%
T. Pythagoras HASIL Keterangan:
0 = gagal
5 = berhasil
Kegiatan ini mulai mengaitkan dua buah sandi dari dua konsep yang berbeda, yaitu sandi visual GSPLuarDL dengan sandi visual jari dari Teorema Pythagoras. Hal ini dapat dilihat dari mengaitkan dua gambar berikut :
x Gs r
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
352
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Konsep akhir yang diperoleh, siswa dapat membuat konsep GSPLuarDL dengan utuh, dalam bentuk sandi visual dan sandi verbal, tanpa rumus, sebagaimana yang tertulis dari beberapa buku, yaitu :
(( P P )
GS = Dengan :
1 2
2
− (rbesar − rkecil ) 2
)
GS = panjang garis singgung persekutuan luar dua lingkaran P 1 P 2 = jarak kedua pusat lingkaran. r besar = panjang jari-jari lingkaran terbesar r kecil = panjang jari-jari lingkaran terkecil
3. Mengingat INDIKATOR
Mengingat – memanggil sandi ∑ siswa
No
RENTANG SKOR
PENILAIAN 0
Kaitkan antara sketsa 1 persoalan dengan 1 sketsa konsep HASIL Menggunakan konsep 1 2. dalam bentuk sandi visual untuk 1 menyelesaikan sebuah persoalan Keterangan : 0 = tidak ada hasil 2 = ada hasil, salah 1.
2
% siswa RENTANG SKOR
3
5
0
1 1
38 38
1 1
38 38
2
3
5
2.5%
2.5%
95%
2.5%
2.5%
95%
3 = ada hasil, sebagian benar 5 = ada hasil, benar sempurna
Mengingat, dalam hal ini adalah memanggil kembali konsep yang disimpan dalam bentuk sandi. Dalam kegiatan ini siswa dihadapkan pada suatu persoalan yang berkaitan dengan konsep yang telah dibahas. Soal yang diberikan adalah sebagai berikut : Panjang garis singgung persekutuan luar dua lingkaran adalah 24 cm. Sedangkan jarak antara kedua pusat lingkaran adalah 25 cm. Jika jari-jari lingkaran terkecil adalah 5 cm, tentukan selisih jari-jari kedua lingkaran tersebut. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
353
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Yang dilakukan siswa adalah mensketsa soal, kemudian memanggil sandi yang terkait dengan persoalan yang diberikan. Langkah berikutnya adalah substitusi data dari persoalan ke dalam sketsa konsep, sehingga data yang dicari atau yang ditanyakan di dalam soal secara langsung dapat dilihat pada sketsa konsep yang telah diberi data. Hasil kegiatan ini adalah 2,5% dari jumlah siswa gagal sama sekali, 2,5% dari jumlah siswa belum tepat mensubstitusikan data ke dalam sketsa konsep karena keterbatasan kemampuan bahasa, dan 95% dari jumlah siswa dapat melakukan semua tahap memanggil sandi dengan sempurna. Sehingga ketercapaian indikator kegiatan tiap individu yang berhasil mencapai 100% dan ketercapaian klasikal mencapai 95%, serta dicapai oleh siswa yang sama pada kegiatan “merekam dengan sandi”. Kesimpulan sementara : Jika siswa dapat merekam dengan sandi visual, kinestetik dan verbal dengan benar, maka pada kegiatan mengingat siswa juga dapat melakukannya dengan benar.
4. Menyelesaikan Masalah ∑ siswa RENTANG SKOR
INDIKATOR No PENILAIAN
0
2
3
5
% siswa RENTANG SKOR 0
2
Menggunakan konsep dalam 1 1 38 1. bentuk sandi visual 2.5% untuk 1 1 38 menyelesaikan sebuah persoalan Menyelesaikan 1 1 38 2. penghitungan 2.5% 1 1 38 matematis HASIL 2 2 76 2.5% Keterangan : 0 = tidak ada hasil 3 = ada hasil, sebagian benar 2 = ada hasil, salah 5 = ada hasil, benar sempurna
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
3
5
2.5%
95%
2.5%
95%
2.5%
95%
354
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Kegiatan ini adalah menyelesaikan penghitungan matematis dari penyelesaian masalah.
tahap
Jika substitusi data ke dalam konsep salah, maka proses
penghitungan akan salah. Masih mengambil contoh persoalan di atas, dalam hal ini ada 2 konsep yang diperlukan, yaitu konsep garis singgung persekutuan luar dua lingkaran dan teo. Pythagoras. Oleh karena itu ada dua sandi yang dipanggil dan digunakan, yaitu sepeda (sandi visual) dan jari-jari (sandi visual dan sandi verbal). Contoh penyelesaian 24 24 25
24
25 ∆r
(∆r) 2 = 25 2 - 24 2 (∆r) 2 = 625 - 576 (∆r) 2 = 49 ∆r =
49
∆r = 7 Jadi selisih jari-jari kedua lingkaran tersebut adalah 7 cm. Dari penyelesaian di atas dapat dibandingkan dengan penyelesaian berikut. (GS) 2 = (P 1 P 2 ) 2 - ( r b - r k ) 2 24 2
= 25 2
- ( rb - 5 )2
576
= 625
- ( rb - 5 )2
( r b - 5 ) 2 = 625 - 576 ( r b - 5 ) 2 = 49 rb - 5
=
rb - 5
= 7
49
rb = 7 + 5 r b = 12 Selisih jari-jari kedua lingkaran tersebut adalah : Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
355
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
∆r = r b - r k ∆r = 12 - 5 ∆r = 7 Jadi selisih jari-jari kedua lingkaran tersebut adalah 7 cm.
Dari kedua model penyelesaian di atas dapat diamati beberapa kemudahan yang dapat dimanipulasi dan dijelaskan oleh konsep dalam bentuk sandi, antara lain : (1) tidak perlu menulis rumus GSPLDL, (2) dari sketsa konsep langsung dapat ditunjuk bagian “selisih jejari 2 lingkaran”, tanpa harus mencari r b terlebih dahulu, (3) cukup dilakukan dengan satu proses penghitungan, tidak perlu dengan dua tahap penghitungan. Hasil kegiatan ini adalah 2,5% dari jumlah siswa sama sekali tidak dapat menyelesaikan, 2,5% dari jumlah siswa salah substitusi data sehingga salah melakukan penghitungan, dan 95% dari jumlah siswa dapat menyelesaikan penghitungan dengan benar. Sehingga ketercapaian indikator kegiatan tiap individu yang berhasil mencapai 100% dan ketercapaian klasikal mencapai 95%, serta dicapai oleh siswa yang sama pada kegiatan “mengingat-memanggil sandi”. Ada catatan yang menarik dari kegiatan ini. Ada beberapa siswa yang sangat menguasai triple Pythagoras. Cukup dengan mensketsa, tanpa menghitung, mereka langsung dapat menjawab secara lisan dengan benar. Bahkan ada satu siswa, cukup dengan mengimaginasikan sketsanya, dan sangat menguasai triple Pythagoras, secara spontan langsung menyebutkan jawabannya dengan benar. Kesimpulan : Jika siswa dapat mengingat dan memanggil sandi dengan benar, maka pada kegiatan menyelesaikan masalah,
siswa juga dapat melakukannya
dengan benar.
5. Penyajian konsep hasil pilihan siswa. Pada akhir pembahasan, dari hasil angket 100% dari jumlah siswa lebih memilih menyimpan konsep dalam bentuk sandi visual daripada dalam bentuk rumus. Alasan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
356
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
mereka sangat sederhana : “ lebih mudah “. Ada beberapa siswa yang mengemukaan alasan mereka yaitu “lebih mudah dan unik, sehingga mudah sekali mengingatnya.”
BENTUK KONSEP PILIHAN SISWA GARIS SINGGUNG PERSEKUTUAN LUAR DUA LINGKARAN BENTUK RUMUS
GS =
(( P P ) 1 2
2
BENTUK SANDI
− (rbesar − rkecil ) 2
)
x r
0 Siswa yang memilih
80 Siswa yang memilih
BENTUK KONSEP PILIHAN SISWA GARIS SINGGUNG PERSEKUTUAN DALAM DUA LINGKARAN BENTUK RUMUS BENTUK SANDI
GS =
(( P P ) 1 2
2
− (rbesar + rkecil )
2
)
Gs
r1
Gs
r2 P
P1
1
0 Siswa yang memilih
80 Siswa yang memilih
Dari hasil pembahasan di atas, nampak jelas bahwa kriteria ketuntasan yang diharapkan dalam penelitian ini dapat dicapai dalam satu siklus.
Bahkan jika
dibandingkan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal 65% yang distandardkan oleh sekolah serta dari Kriteria Ketuntasan Klasikal 80% telah terlampaui dalam proses penelitian ini. Sehingga tidak ada alasan rasional yang mengharuskan penelitian ini
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
357
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
harus dilakukan dalam dua siklus. Hal ini menunjukkan bahwa betapa mudahnya menyajikan matematika jika fungsi otak kiri dan otak kanan difungsikan secara sinergis.
PENUTUP Kesimpulan Tidak dapat dipungkiri, dengan dasar kajian teori perkembangan kognitif dan fakta yang ada, pada akhirnya matematika dapat disajikan sebagai hal yang mudah. Prinsip penemuan fakta ( dalam hal ini Contextual Teaching Learning ), pengulangan dan multi indrawi dilanjutkan dengan penyandian telah mengoptimalkan fungsi otak kiri dan otak kanan secara sinergis. Dengan demikian kita sebagai guru telah memperlakukan siswa kita dengan benar sebagai layaknya insan yang utuh. Semua potensi dan kecerdasan mereka digunakan dengan optimal.
Matematika disajikan dan disimpan secara unik dan
harmonis sebagai bagian dari memori jangka panjang serta dikuasai secara utuh, sehingga segala persoalan yang berkaitan dengan garis singgung persekutuan dua lingkaran dapat dipahami secara utuh dan diselesaikan dengan mudah dan cepat
Saran Guru sebagai pengendali dalam proses belajar mengajar sangat diharapkan mampu menyelesaikan masalah yang dialami oleh siswanya. Oleh karena itu kompetensi pedagogis guru tentang perkembangan psikologi kognitif serta pandangan guru tentang konsepsi siswa merupakan bagian terpenting dalam konteks ini. Proses berpikir serta berbagai kecerdasan yang dimiliki oleh siswa, sebagai modalitas dan gaya belajar, semaksimal mungkin dapat dikelola menjadi sebuah strategi pembelajaran yang efektif dan harmonis. Oleh karena itu guru adalah satu-satunya tokoh penting dalam pengelolaan pembelajaran. Laksana seorang “chef”, guru matematika diharapkan mampu menyajikan matematika menjadi sebuah sajian menu yang mudah dinikmati, rasanya berkesan, penyajiannya menarik , bermanfaat serta dicari kembali oleh penikmatnya.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
358
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Jika pada setiap desain pembelajaran guru juga memfungsikan otak kanan, suka tidak suka, guru dan siswa secara bersama-sama telah membangun kreatifitas. Oleh karena itu, guru dipacu untuk menjelajah beberapa bentuk konsep yang disimbulkan, sehingga simbul-simbul itu memudahkan siswa menyimpan konsep matematika yang telah mereka peroleh. Bagi lembaga sekolah, sebaiknya membudayakan pola belajar di atas sebagai bagian dari program MOS dan menjadi bagian dalam program “character building” di sekolah. Sehingga Rencana Pembelajaran yang dirancang guru terintegrasi dengan budaya belajar di sekolah, serta terpadu dengan pola belajar mata pelajaran yang lain. Bagi pengambil kebijakan Pendidikan Nasional, sebagai bagian dari upaya peningkatan profesionalisme guru, hendaknya konsep belajar ini juga diintegrasikan sebagai materi pelatihan pada setiap kegiatan pelatihan guru. Di satu sisi ini sebagai bagian dari domain guru, di sisi lain guru memiliki banyak pilihan yang terbaik untuk siswanya.
DAFTAR PUSTAKA Rose,Colin. 1999. Kuasai Lebih Cepat , Buku Pintar Accelerated Learning, Bandung : KAIFA Atkinson, Rita L, Richard C. Atkinson, Edward E Smith, Daryl J Bem, 1953, Introduction to Psycology, 11th.ed. ( Pengantar Psikologi, Edisi Kesebelas,Jilid 1), Batam : Interaksara. Dryden, Gordon & Dr. Jennette Vos. 2003. The Learning Revolution ( Revolusi Cara Belajar ), Bandung : Kaifa. Rakhmat, Jalaluddin. 1992. Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Wycoff, Joyce. 2003. Menjadi Super Kreatif Melalui Metode Pemetaan Pikiran. Bandung: Kaifa. DePorter, Bobbi.2002. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
359
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Nurhadi & Senduk,A.G. 2003. Pembalajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Widdiharto, Rachmadi. 2008. Diagnosa Kesulitan Belajar Matematika SMP dan Alternatif Proses Remidinya. Yogyakarta: P4TKMatematika.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
360
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-22 PERANAN REPRESENTASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Kartini (Dosen Pendidikan Matematika FKIP UNRI) Email:
[email protected] Abstrak Dalam pembelajaran matematika selama ini siswa tidak pernah atau jarang diberikan kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri. Siswa cendrung meniru cara guru dalam menyelesaikan masalah. Akibatnya, kemampuan representasi matematis siswa tidak berkembang. Padahal, representasi matematis sangat diperlukan dalam pemahaman konsep maupun penyelesaian masalah matematik. Selain itu, representasi matematis juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis. Secara umum representasi sangat berperan dalam peningkatan kompetensi matematika. Tulisan ini akan membahas secara teoritis tentang representasi matematis dan peranannya dalam pembelajaran matematika. Keyword: representasi matematis, pemahaman konsep, komunikasi matematis, pemecahan masalah. A. Pendahuluan Pengajaran matematika tidak sekedar menyampaikan berbagai informasi seperti aturan, definisi, dan prosedur untuk dihafal oleh siswa tetapi guru harus melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar. Keikutsertaan siswa secara aktif akan memperkuat pemahamannya terhadap konsep-konsep matematika. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip kontruktivisme yakni pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali melalui keaktifan siswa sendiri untuk menalar, siswa aktif untuk mengkontruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju kearah yang lebih kompleks, guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan. Setiap siswa mempunyai cara yang berbeda untuk mengkontruksikan pengetahuannya. Dalam hal ini, sangat memungkinkan bagi siswa untuk mencoba berbagai macam representasi dalam memahami suatu konsep. Selain itu representasi juga berperan dalam proses penyelesaian masalah matematis. Sebagaimana Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
361
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dinyatakan Brenner bahwa proses pemecahan masalah yang sukses bergantung kepada
keterampilan
merepresentasi
masalah
seperti
mengkonstruksi
dan
menggunakan representasi matematik di dalam kata-kata, grafik, tabel, dan persamaan-persamaan, penyelesaian dan manipulasi simbol (Neria & Amit, 2004: 409). Namun demikian dalam pembelajaran matematika selama ini siswa tidak pernah atau jarang diberikan kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri. Siswa cendrung meniru langkah guru dalam menyelesaikan masalah. Akibatnya, kemampuan representasi matematis siswa tidak berkembang. Padahal representasi matematis sangat diperlukan dalam pembelajaran matematika, baik bagi siswa maupun bagi guru. Mungkin ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan guru tentang representasi matematis dan peranannya dalam pembelajaran matematika. Makalah ini akan mengkaji secara teoritis tentang representasi matematis dan peranannya dalam pembelajaran matematika.
B. Pembahasan Konsep tentang representasi merupakan salah satu konsep psikologi yang digunakan dalam pendidikan matematika untuk menjelaskan beberapa phenomena penting tentang cara berfikir anak-anak (Janvier dalam Radford, 2001). Namun sebelumnya Davis, dkk (dalam Janvier, 1987) menyatakan bahwa sebuah representasi dapat berupa kombinasi dari sesuatu yang tertulis diatas kertas, sesuatu yang eksis dalam bentuk obyek fisik dan susunan ide-ide yang terkontruksi didalam pikiran seseorang. Sebuah representasi dapat dianggap sebagai sebuah kombinasi dari tiga komponen: simbol (tertulis), obyek nyata, dan gambaran mental. Kalathil dan Sherin (2000) lebih sederhana menyatakan bahwa segala sesuatu yang dibuat siswa untuk mengekternalisasikan dan memperlihatkan kerjanya disebut representasi. Dalam pengertian yang paling umum, representasi adalah suatu konfigurasi yang dapat menggambarkan sesuatu yang lain dalam beberapa cara (Goldin, 2002). Selanjutnya dalam psikologi matematika, representasi bermakna deskripsi hubungan antara objek dengan simbol (Hwang, et al., 2007). Representasi adalah sesuatu yang melambangkan objek atau proses. Misalnya kata-kata, diagram, grafik, Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
362
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
simulasi komputer, persamaan matematika dan lain-lain. Beberapa representasi bersifat lebih konkrit dan berfungsi sebagai acuan untuk konsep-konsep yang lebih abstrak dan sebagai alat bantu dalam pemecahan masalah (Rosengrant, D, et. al , 2005). Sejalan dengan itu repsentasi dipandang sebagai yang digunakan seseorang untuk memikirkan dan mengkomunikasikan ide-ide matematik dengan cara tertentu sebagaimana yang dikemukakan Ostad (http://www.idp-europe.org / indonesia/bukuinklusi/pdf/13-Memahami_dan_Menangani Bilangan. pdf)
Untuk memikirkan dan
mengkomunikasikan ide-ide matematika, maka kita perlu merepresentasikannya dengan cara tertentu. Komunikasi memerlukan representasi fisik, yaitu representasi eksternal, dalam bentuk bahasa lisan, simbol tertulis, gambar atau objek fisik. Sebuah ide matematika tertentu sering dapat direpresentasikan dengan salah satu dari bentuk representasi itu atau dengan kesemua bentuk representasi itu. Namun, dalam belajar matematika representasi tidak terbatas hanya pada representasi fisik saja. Untuk berfikir tentang ide matematika kita perlu merepresentasikannya secara internal, sedemikian rupa sehingga memungkinkan pikiran kita beroperasi. Oleh karena itu, istilah representasi dapat juga dipergunakan bila menggambarkan proses kognitif untuk sampai pada pemahaman tentang suatu ide dalam matematika. Anak dapat diekspos pada sejumlah perwujudan fisik, misalnya ”lima”, dan kemudian mulai mengabtraksikan konsep lima tersebut. Dalam proses ini, anak tersebut dapat membangun sebuah representasi internal (representasi mental, representasi kognitif, gambaran mental, skema). Dalam kasus-kasus tertentu, representasi mempunyai kaitan erat dengan konsep matematika, seperti grafik dengan fungsi, yang sulit untuk memahami dan memperoleh konsep tanpa menggunakan representasi tertentu. Namun, setiap representasi tidak dapat menggambarkan secara seksama konsep matematika, karena memberikan informasi hanya untuk bagian aspeknya saja. Representasi-representasi berbeda yang mengacu pada konsep yang sama akan saling melengkapi dan semuanya bersama-sama berkontribusi untuk pemahaman global darinya (Gagatsis & Shiakalli dalam Gagatsis & Elia, 2005). Oleh karena itu, tiga anggapan untuk penguasaan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
363
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
konsep dalam matematika ialah sebagai berikut. Pertama, kemampuan untuk mengidentifikasi konsep dalam beragam representasi (multiple representasi). Kedua kemampuan untuk menangani secara fleksibel konsep dalam sistem-sistem representasi tertentu. Ketiga, kemampuan untuk menterjemahkan konsep dari sistem representasi ke sistem representasi lainnya (Lesh, et. al dalam Gagatsis & Elia, 2005). Representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari gagasan-gagasan atau ide-ide matematika yang ditampilkan siswa dalam upayanya untuk mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya. Adapun standar representasi yang ditetapkan National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) untuk program pembelajaran dari pra-taman kanak-kanak sampai kelas 12 adalah bahwa harus memungkinkan siswa untuk: 1. membuat dan menggunakan representasi untuk mengatur, mencatat, dan
mengkomunikasikan ide-ide matematika, 2. memilih, menerapkan, dan menterjemahkan antar representasi matematika untuk
memecahkan masalah, 3. menggunakan
representasi
untuk
memodelkan
dan
menginterpretasikan
fenomena fisik, sosial, dan matematika. (NCTM, 2000). Representasi yang dihadirkan oleh siswa tidak mesti yang konvensional atau yang sudah biasa kita kenal tapi dapat merupakan representasi yang tidak konvensional yang dapat mereka mengerti. Sebagaimana yang dijelaskan dalam NCTM. Penting bagi kita mendorong para siswa untuk merepresentasikan berbagai gagasan mereka di dalam cara-cara yang mereka mengerti, bahkan jika representasirepresentasi pertama mereka tidak konvensional. Penting juga bahwa mereka mempelajari bentuk-bentuk representasi yang konvensional untuk mempermudah belajar matematika dan komunikasi mereka dengan orang lain tentang gagasangagasan matematis. (NCTM, 2000) Dari beberapa defenisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa representasi matematis adalah ungkapan-ungkapan dari ide-ide matematika (masalah, pernyataan, definisi, dan lain-lain) yang digunakan untuk memperlihatkan (mengkomunikasikan) Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
364
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
hasil kerjanya dengan cara tertentu (cara konvensional atau tidak konvensional) sebagai hasil interpretasi dari pikirannya. Sejumlah
pakar
(Goldin;
2002,
Ostad,
http://www.idp-europe.org
/
indonesia/buku-inklusi/pdf/13-Memahami_dan_Menangani Bilangan. pdf, Hiebert dan Carpenter dalam Harries dan Barmby, 2006) membagi representasi menjadi dua bagian yakni representasi eksternal dan internal. Representasi eksternal, dalam bentuk bahasa lisan, simbol tertulis, gambar atau objek fisik. Sementara untuk berfikir tentang gagasan matematika maka mengharuskan representasi internal. Representasi internal (representasi mental) tidak bisa secara langsung diamati karena merupakan aktivitas mental dalam otaknya. Schnotz (dalam Gagatsis, 2004) membagi representasi eksternal dalam dua kelas yang berbeda yaitu representasi descriptive dan depictive. Representasi descriptive terdiri atas simbol yang mempunyai struktur sembarang dan dihubungkan dengan isi yang dinyatakan secara sederhana dengan makna dari suatu konvensi, yakni teks, sedangkan representasi depictive termasuk tanda-tanda ikonic yang dihubungkan dengan isi yang dinyatakan melalui fitur struktural yang umum secara konkret atau pada tingkat yang lebih abstrak, yaitu, display visual. Lebih lanjut Gagatsis dan Elia (2004) mengatakan bahwa untuk siswa kelas 1, 2 dan 3 sekolah dasar, representasi dapat digolongkan menjadi empat tipe, yaitu representasi verbal (tergolong representasi descriptive), gambar informational, gambar decorative, dan garis bilangan (tergolong representasi depictive). Perbedaan antara gambar informational dan gambar decorative adalah pada gambar decorative, gambar yang diberikan dalam soal tidak menyediakan setiap informasi pada siswa untuk menemukan solusi masalah, tetapi hanya sebagai penunjang atau tidak ada hubungan langsung kepada konteks masalah. Gambar informational menyediakan informasi penting untuk penyelesaian masalah atau masalah itu didasarkan pada gambar. Shield & Galbraith (dalam Neria & Amit, 2004) menyatakan bahwa siswa dapat mengkomunikasikan penjelasan-penjelasan mereka tentang strategi matematika atau
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
365
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
solusi dalam bermacam cara, yaitu secara simbolis (numerik dan/atau simbol aljabar), secara verbal, dalam diagram, grafik, atau dengan tabel data. Lesh, Post dan Behr (dalam Hwang, et. al., 2007) membagi representasi yang digunakan dalam pendidikan matematika dalam lima jenis, meliputi representasi objek dunia nyata, representasi konkret, representasi simbol aritmatika, representasi bahasa lisan atau verbal dan representasi gambar atau grafik. Di antara kelima representasi tersebut, tiga yang terakhir lebih abstrak dan merupakan tingkat representasi yang lebih tinggi dalam memecahkan masalah matematika. Kemampuan representasi bahasa atau verbal adalah kemampuan menerjemahkan sifat-sifat yang diselidiki dan hubungannya dalam masalah matematika ke dalam representasi verbal atau bahasa. Kemampuan representasi gambar atau grafik adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematik ke dalam gambar atau grafik. Sedangkan kemampuan representasi simbol aritmatika adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematika ke dalam representasi rumus aritmatika. Dari beberapa penggolongan representasi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya representasi dapat digolongkan menjadi (1) representasi visual (gambar, diagram grafik, atau tabel), (2) representasi simbolik (pernyataan
matematik/notasi
matematik,
numerik/simbol
aljabar)
dan
(3)
representasi verbal (teks tertulis/kata-kata). Penggunaan semua jenis representasi tersebut dapat dibuat secara lengkap dan terpadu dalam pengujian suatu masalah yang sama atau dengan kata lain representasi matematik dapat dibuat secara beragam (multiple representasi). Penggunaan beragam representasi akan memperkaya pengalaman belajar siswa. McCoy, et al (1996) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika di kelas, representasi tidak harus terikat pada perubahan satu bentuk ke bentuk lainnya dalam satu cara, tetapi bisa dua cara atau bahkan dalam multi cara. Misalnya disajikan representasi berupa grafik, guru dapat meminta siswa membuat representasi lainnya seperti
menyajikannya
dalam
tabel,
persamaan/model
matematika
atau
menuliskannya dengan kata-kata. Jadi dalam pembelajaran matematika tidaklah selalu harus guru memberikan suatu masalah verbal atau Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
suatu situasi masalah yang 366
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
kemudian guru meminta siswa menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai representasi, namun dengan multiple representasi, guru dapat meminta siswa melakukan hal sebaliknya. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan representasi matematis adalah kemampuan mengungkapkan ide-ide matematika (masalah, pernyataan, solusi, definisi, dan lain-lain) kedalam salah satu bentuk: (1) Gambar, diagram grafik, atau tabel; (2) Notasi matematik, numerik/simbol aljabar; dan (3) Teks tertulis/kata-kata, sebagai interpretasi dari pikirannya. Pentingnya representasi dalam pembelajaran matematika telah banyak diteliti seperti penelitian Kalathil & Sherin (2000), Neria & Amit (2004), Gagatsis & Elia (2004), Elia (2004), Michaelidou, N, et al. (2004), Amit dan Fried (2005), Harries & Barmby (2006), Hwang, dkk (2007), dan lain-lain. Kalathil & Sherin (2000) dalam studinya melaporkan bahwa ada tiga fungsi representasi eksternal yang dihasilkan siswa dalam belajar matematika. 1) Representasi digunakan untuk memberikan informasi kepada guru mengenai bagaimana siswa berpikir mengenai suatu konteks atau ide matematika. 2) Representasi digunakan untuk memberikan informasi tentang pola dan kecenderungan (trend) diantara siswa. 3) Representasi digunakan oleh guru dan siswa sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran. Michaelidou, et. al. (2004) dan Harries & Barmby (2006) melaporkan tentang peran representasi dalam memahami konsep matematika di kelas. Kedua penelitian ini representasi ditafsirkan sebagai alat dalam merepresentasikan gagasan-gagasan matematika. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Kalathil & Sherin (2000) dan Confrey & Smith (dalam Michaelidou, et. al, 2004). Hal yang serupa juga dinyatakan Hiebert dan Carpenter
(dalam Harries dan Barmby, 2006) bahwa matematika
dipahami jika representasi mentalnya adalah bagian dari jaringan representasi. Dengan kata lain, pembuatan dan pertukaran antar representasi penting untuk memahami matematika. Gagatsis & Elia (2004) melaporkan bahwa empat representasi, yaitu repersentasi verbal, gambar informasional, gambar dekoratif, dan garis bilangan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
memberikan 367
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pengaruh yang signifikan pada kemampuan pemecahan soal matematika siswa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brenner, et. al (dalam Neria dan Amit, 2004) bahwa proses pemecahan masalah yang sukses tergantung pada keterampilan-keterampilan representasi masalah termasuk membuat dan menggunakan representasi matematika dalam kata, grafik, tabel, persamaan, manipulasi penyelesaian dan simbol. Selanjutnya Gagatsis & Elia (2004) melaporkan disamping model pembelajaran yang menggunakan keempat representasi dan faktor kemampuan umum siswa dalam memecahkan masalah lebih baik dari pada model belajar yang hanya menggunakan salah satu kemampuan representasi dalam memecahkan masalah. Hal ini sesuai dengan Proses pemecahan masalah yang sukses tergantung pada keterampilan-keterampilan representasi masalah termasuk membuat dan menggunakan representasi matematika dalam kata, grafik, tabel, persamaan, manipulasi penyelesaian dan simbol (Brenner, et. al dalam Neria dan Amit, 2004). Hwang, et. al (2007),
meneliti tentang pengaruh kemampuan multiple
representasi dan kreativitas terhadap pemecahan masalah matematika dengan menggunakan sistem multimedia whiteboard. Dari studi ini, diperoleh hasil bahwa skor siswa yang menggunakan representasi rumus lebih baik dari siswa yang menggunakan representasi verbal dan gambar (grafik atau simbol). Kemampuan elaborasi (kemampuan memecahkan masalah menggunakan berbagai ilustrasi dan penjelasan) adalah faktor paling penting yang mempengaruhi keterampilan multiple representasi dalam pemecahan masalah matematis. Elia (2004) melaporkan bahwa model representasi memberikan pengaruh yang signifikan dalam cara memecahkan masalah (soal). Namun demikian, representasi (gambar informasional atau garis bilangan) tidak selalu membuat cara menyelesaikan masalah menjadi lebih mudah, tetapi justru lebih sulit. Hal ini disebabkan oleh proses mentalnya lebih rumit dibandingkan model-model representasi lainnya. Siswa dapat mengkomunikasikan penjelasan-penjelasan mereka mengenai strategi atau solusi matematika dalam berbagai cara: simbolis (angka dan simbol aljabar), secara verbal, secara diagram, secara grafik, atau dengan tabel data (Shield dan Galbraith dalam Neria dan Amit, 2004). Sehubungan dengan hal itu Neria dan Amit Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
368
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
( 2004) meneliti model-model model representasi yang dipilih siswa kelas sembilan dalam mengkomunikasikan langkah-langkah pemecahan masalah dan justifikasi mereka, serta untuk menyelidiki hubungan antara model-model representasi dan tingkat prestasi siswa. Studi ini melaporkan bahwa bahwa mayoritas siswa lebih menyukai representasi numerik dan verbal, dan minoritas siswa menyukai representasi aljabar. Hasil ini mungkin berhubungan dengan kesulitan siswa pada abstraknya aljabar dan cara aljabar yang diajarkan di sekolah. Hal ini sesuai temuan (Hembree, 1992, Shield & Galbraith, 1998, dalam Neria dan Amit, 2004) bahwa siswa mengalami kesulitan dalam abstraksi aljabar dan hanya siswa yang berbakat dan berani yang melakukannya. Hal yang sama juga dikemukakan (Herscovics & Lichevski, 1994, Lee & Wheeler, 1989, dalam Neria dan Amit, 2004) untuk dapat menggunakan bahasa aljabar, siswa perlu terbiasa pada model berfikir yang lebih berbeda dan lebih abstrak dibanding terbiasa dalam aritmatika, dan siswa cendrung untuk mundur pada dasar yang solid seperti bilangan atau kata.
C. PENUTUP Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa representasi matematis adalah ungkapan-ungkapan dari ide-ide matematika (masalah, pernyataan, definisi, dan lain-lain) yang digunakan untuk memperlihatkan (mengkomunikasikan) hasil kerjanya dengan cara tertentu (cara konvensional atau tidak konvensional) sebagai hasil interpretasi dari pikirannya. Sedangkan kemampuan representasi matematis adalah kemampuan mengungkapkan ide-ide matematika (masalah, pernyataan, solusi, definisi, dan lain-lain) kedalam salah satu bentuk: (1) Gambar, diagram grafik, atau tabel; (2) Notasi matematik, numerik/simbol aljabar; dan (3) Teks tertulis/kata-kata, sebagai interpretasi dari pikirannya.
Representasi sangat berperan dalam membantu peningkatan pemahaman siswa terhadap konsep matematika.
Kemudian representasi juga dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi, dan pemecahan masalah matematis siswa. Secara umum representasi sangat berperan dalam peningkatan kompetensi matematika siswa. Selain Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
369
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
itu representasi siswa dapat memberikan informasi kepada guru mengenai bagaimana siswa berpikir mengenai suatu konteks atau ide matematika, tentang pola dan kecenderungan siswa dalam memahami suatu konsep. Oleh karena itu guru perlu mencari cara yang tepat untuk dapat menghadirkan representasi siswa dalam pembelajaran matematika. Daftar Pustaka Amit, M & Fried, M,N. (2005). Multiple Representations In 8th Grade Algebra Lessons: Are Learners Really Getting It . In Chick, H. L. & Vincent, J. L. (Eds.). Proceedings of the 29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 2, pp. 57-64. Elia, I. (2004). Multiple representations in mathematical problem solving : Exploring sex differences.[Online].Tersedia: http://prema.iacm.forth.gr/does/ws1/papers/iliada%20 Elia.pdf. Gagatsis, A. & Elia, I. (2004). The Effects Of Different Modes Of Representation On Mathematical Problem Solving. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 2, pp. 447–454. Gagatsis, A. (2004). The Role of Representasi in Secondary Mathematics Education. Proceedings of 10th International Congress on Mathematical Education. 141146. Gagatsis, A. & Elia, I. (2005). A Review Of Some Recent Studies On The Role Of Representations In Mathematics Education In Cyprus And Greece. [Online].Tersedia: http://cerme4.crm.es/Papers%20definitius/1/gagatsis.pdf. Goldin, G. A. (2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving. In L.D English (Ed). International Research in Mathematical Education IRME, 197218. New Jersey: Lawrence Erbaum Associates. Hwang, et al. (2007). Multiple Representation Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Educational Technology & Society, Vol 10 No 2, pp. 191-212. Harries, T. & Barmby, P. (2006). Representing Multiplication. Proceeding of the British Society for Research into Learning Mathematics. 26(3), 25 – 30.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
370
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Janvier, C. (1987). Problem of Representation in the Teaching and Learning of Mathematics. Hillsdale. New Jersey/London: Lawrence Erlbaum. Kalathil, R.R., & Sherin, M.G. (2000). Role of Students' Representations in the Mathematics Classroom. In B. Fishman & S. O'Connor-Divelbiss (Eds.), Fourth International Conference of the Learning Sciences (pp. 27-28). Mahwah, NJ: Erlbaum. McCoy,L.P., et. al (1996). Using Multiple Representation to Communicate: an Algebra Challenge. In P.C. Elliot & M.J. Kenney (Ed). Yearbook Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Reston. VA: NCTM. Michaelidou, N, et al. (2004). The Number Line as a Representasion Decimal Number. Journal for Research in Mathematics Education. 38, 173 – 192. National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Neria, D. & Amit, M. (2004). Students Preference of Non-Algebraic Representations in Mathematical Communication. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematical Education, 2004. Vol. 3 pp 409 – 416.
Ostad, S.A. Memahami dan Menangani Bilangan. [Online].Tersedia : http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/pdf/13Memahami_dan_Menangan_Bilangan.pdf Radford, L. (2001). Rethinking Representations. [Online].Tersedia: http://www.matedu.cinvestav.mx/Radford.pdf Rosengrant, D, et.al (2005). An Overview of Recent Research on Multiple Representations. [Online]. Tersedia: http://paer.rutgers.edu/ScientificAbilities/Downloads/Papers/DavidRosperc2006. pdf
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
371
PROSIDING
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
ISBN : 978-979-16353-3-2
372
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-23 Hypothetical Learning Trajectory dan Peningkatan Pemahaman Konsep Pengukuran Panjang
Ariyadi Wijaya Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA – Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Suatu kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari proses perencanaan dan desain. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau lesson plan merupakan salah satu bentuk nyata proses perencanaan pembelajaran. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sangat bermanfaat sebagai panduan guru dalam melaksanaan kegiatan pembelajaran. Pendidikan Matematika Realistik memberikan perhatian pada perumusan hypothetical learning trajectory sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran sekaligus sebagai suatu tindakan antisipatif terhadap kemungkinan masalah yang dihadapi siswa dalam proses pembelajaran. Artikel ini menyajikan contoh perumusan hypothetical learning trajectory untuk pembelajaran pengukuran panjang. Kata kunci: hypothetical learning trajectory, pengukuran panjang I.
Pendahuluan Suatu proses pembelajaran yang ideal tidak bisa dipisahkan dengan proses perencanaan dan desain pembelajaran. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau lesson plan merupakan salah satu bentuk nyata proses perencanaan dan desain pembelajaran. Akan tetapi, pada kenyataannya suatu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran hanya memuat hal-hal yang bersifat formalitas dalam bentuk “paket standar” pembelajaran, yaitu gambaran singkat tentang kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Informasi selain ketiga tahap pembelajaran tersebut hanyalah sekedar ringkasan materi yang akan disampaikan. Sangat jarang guru menyiapkan hipotesis alternatif strategi pemecahan masalah yang digunakan siswa sehingga proses pembelajaran cenderung kurang bersifat open ended. Adanya hipotesis alternatif strategi pemecahan masalah yang digunakan siswa
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
373
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
akan membantu guru dalam menentukan strategi penanganan terhadap kemungkinan kesulitan yang dihadapi siswa. Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik menekankan pada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pembelajaran, yaitu hypothetical learning trajectory (rute belajar) siswa dan pengembangan model. Pentingnya hypothetical learning trajectory bisa dianalogikan dengan perencanaan rute perjalanan. Jika kita memahami rute-rute yang mungkin untuk menuju tujuan kita maka kita bisa memilih rute yang baik. Selain itu, kita juga bisa menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi dalam perjalanan jika kita paham rute tersebut. Sebagai contoh adalah kita bisa mengantisipasi kehabisan bahan bakar jika kita tahu posisi pom bensin. Sedangkan pengembangan model sangat penting untuk membawa pengetahuan informal siswa (modal awal siswa yang terbentuk melalui kegiatan berbasis pengalaman) menuju konsep matematika formal (sebagai tujuan akhir pembelajaran matematika). Namun, dalam artikel ini hanya akan dibahas peran perumusan hypothetical learning trajectory dalam peningkatan pemahaman konsep pengukuran panjang. Pada umumnya, pembelajaran tentang Pengukuran dilakukan secara langsung pada tahap formal (Castle & Needham, 2007; Kamii & Clark, 1997 and Van de Walle & Folk, 2005). Pembelajaran tentang Pengukuran langsung terpusat pada penggunaan penggaris sebagai suatu bentuk prosedur yang instrumental. Salah satu akibat dari pendekatan tersebut adalah siswa kurang memahami konsep pengukuran dan mereka akan cenderung melakukan pengukuran sebagai suatu bentuk prosedur instrumental. Kurangnya pemahaman konsep pengukuran menjadi salah satu penyebab ketidakmampuan siswa dalam mengukur panjang suatu benda yang tidak diletakkan pada posisi “0” di penggaris (Kamii & Clark, 1997; Kenney & Kouba in Van de Walle, 2005 and Lehrer et al, 2003). Sebagai contoh, lihat ilustrasi berikut:
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
374
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Siswa yang kurang memahami konsep pengukuran akan menjawab bahwa panjang pensil adalah 9 (cm) karena pangkal pensil terletak pada posisi “9”. Buys & de Moor (2005) dan Castle & Needham (2007) berpendapat bahwa pembelajaran tentang pengukuran bagi siswa sekolah dasar sebaiknya diawali dengan kegiatan mengukur yang bermakna. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya penggunaan kegiatan berbasis pengalaman (experience-based activities) yang memuat konsep dasar pengukuran. Dalam kegiatan berbasis pengalaman, pengetahuan informal tentang pengukuran
digunakan sebagai
jembatan untuk penggunaan penggaris sebagaai alat ukur baku. Prinsip dasar pembelajaran
berbasis
pengalaman
sejalan
dengan
prinsip
Pendidikan
Matematika Realistik yang menekankan matematika bukanlah suatu obyek yang harus ditransfer kepada siswa, melainkan matematika merupakan suatu bentuk kegiatan manusia (Freudenthal, 1991). Oleh karena itu, Freudenthal menekankan pada pentingnya koneksi antara matematika dengan realitas melalui situasi permasalahan yang berkontribusi pada pembentukan konsep matematika. II. Hypothetical Learning Trajectory Menurut Simon (1995), ada tiga komponen utama dari learning trajectory, yaitu: tujuan pembelajaran (learning goals), kegiatan pembelajaran (learning activities) dan hipotesis proses belajar siswa (hypothetical learning process). Tujuan pembelajaran sebagai komponen pertama mengindikasikan perlunya perumusan tujuan pembelajaran sebagai bentuk hasil yang akan kita tuju atau capai setelah proses pembelajaran. Penentuan tujuan pembelajaran sangat bermanfaat dalam penentuan arah dan strategi pembelajaran yang akan digunakan. Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan maka kegiatan pembelajaran (learning activities) sebagai “jalan” untuk mencapai tujuan pembelajaran bisa dirancang. Kegiatan pembelajaran disusun menjadi beberapa sub-sub kegiatan dengan sub-sub tujuan pembelajaran. Komponen terakhir adalah hipotesis proses belajar siswa yang berguna untuk merancang tindakan ataupun strategi alternatif untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin dihadapi siswa dalam proses pembelajaran. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
375
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Artikel ini akan menyajikan contoh Hypothetical Learning Trajectory untuk pembelajaran pengukuran panjang, yaitu: A. Tujuan pembelajaran Jika mengacu pada kurikulum, maka tujuan pembelajaran pengukuran panjang adalah: − Mengenal panjang suatu benda melalui kalimat sehari-hari (pendek,
panjang) dan membandingkannya − Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan waktu dan panjang − Menggunakan alat ukur panjang tidak baku dan baku yang sering digunakan − Menggunakan satuan panjang tidak baku dan baku yang sering digunakan − Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan panjang benda
B. Kegiatan pembelajaran Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan maka kegiatan pembelajaran bisa dirancang. Namun, hal yang harus dilakukan sebelum merancang kegiatan pembelajaran adalah memahami kesatuan konsep pengukuran panjang secara utuh sehingga urutan atau tahapan kegiatan pembelajaran sesuai dengan konsep dasar pengukuran panjang. Van De Walle dan Folk (2005) mendefinisikan pengukuran sebagai suatu proses pembandingan atribut suatu benda dengan atribut yang sama dari suatu alat ukur. Ada beberapa tahapan untuk mencapai kegiatan pengukuran, yaitu tahap perbandingan, tahap estimasi atau perkiraan dan tahap pengukuran. Prosedur berikut menggambarkan tahapan dari pengukuran panjang: a.
Perbandingan panjang (comparing length) Perbandingan pengukuran
merupakan yang
dapat
suatu
bentuk
dilakukan
paling
dengan
sederhana cara
dari
“covering”
(memadukan/menempelkan benda-benda yang akan dibandingkan) ataupun
“matching”
dibandingkan).
Cara
(memadankan sederhana
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
benda-benda
untuk
yang
akan
mengekspresikan
hasil 376
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
perbandingan panjang adalah dengan kata “lebih panjang” atau “lebih pendek”. Ada dua macam perbandingan, yaitu: − Perbandingan langsung
Perbandingan langsung dilakukan jika benda-benda yang akan dibandingkan bisa diletakkan berdekatan sehingga bisa dibandingkaan secara langsung. − Perbandingan tidak langsung
Ketika benda yang akan dibandingkan tidak bisa diletakkan secara berdampingan maka kita membutuhkan “pihak ketiga” untuk membandingkan benda tersebut. Pada perbandingan tidak langsung, “pihak ketiga” digunakan sebagai referensi atau acuan. Pada perkembangan tahap pengukuran maka “pihak ketiga” tersebut akan dikembangkan sebagai unit pengukuran. b.
Perkiraan panjang (estimating length) Perkiraan panjang merupakan bentuk perbandingan panjang yang dilakukan secara mental. Mental benchmarks sangat dibuthkan untuk melakukan estimasi panjang.
c.
Pengukuran panjang (measuring length) Perbandingan tidak langsung merupakan awal munculnya pengukuran. “Pihak ketiga” yang digunakan pada perbandingan tidak langsung dikembangkan menjadi unit pengukuran.
Prosedur atau tahapan pengukuran tersebut dapat digambarkan dalam skema alur belajar siswa sebagai berikut:
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
377
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Prosedur atau tahapan pengukuran tersebut dibentuk berdasarkan konsep dasar pengukuran. Lehrer (2003) membagi konsep dasar pengukuran panjang menjadi dua ide utaama, yaitu: konsepsi unit (conceptions of unit) dan konsepsi skala (conceptions of scale). Kedua konsep utama tersebut digambarkan dalam table berikut: Konsep Dasar
Konsepsi Unit
Deskripsi
•
Iterasi unit
•
Unit yang identik
• •
Unit pengukuran perlu diulang untuk mendapatkan hasil pengukuran Suatu panjang bisa dibagi menjadi sub-sub yang identik
Tiling
Unit pengukuran harus “memenuhi” benda yang diukur
Partisi
Suatu unit bisa dibuat menjadi unit yang lebih kecil
Konsepsi Skala
•
Titik NOL
Setiap titik atau posisi (pada alat ukur) bisa digunakan sebagai titik awal pengukuran
•
Presisi
Pemilihan unit pengukuran sangat berpengaruh pada tingkat presisi pengukuran. Semakin kecil unit pengukuran maka akan menghasilkan pengukuran yang lebih presisi
Kombinasi antara prosedur dan konsep dasar pengukuran panjang menghasilkan
rumusan
kegiatan
instruksional
untuk
pembelajaran
pengukuran panjang. Tabel berikut menggaambarkan satu set kegiatan instruksional untuk pembelajaran pengukuran yang dirumuskan oleh Van de Walle dan Folk (2005): Pengetahuan konseptual yang harus dikembangkan
Jenis aktivitas yang digunakan
1. Memahami jenis atribut 1. Kegiatan perbandingan berdasarkan atribut (misal: membandingkan panjang, Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
378
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
atau dimensi yang akan diukur
membandingkan berat dll)
2. Memahami bagaimana 2. Penggunaan model unit pengukuran cara melakukan berbentuk fisik (jengkal, kaki, langkah, dll) covering ataupun untuk memadukan (cover) atau matching untuk memadankan (match) membandingkan atribut benda yang akan diukur 3. Memahami cara kerja 3. Memadukan alat ukur baku (misal penggaris) dengan alat ukur yang tidak baku (misal alat ukur rangkaian manik-manik) untuk memahami bagaimana cara kerja alat ukur baku.
Skema
berikut
menggambarkan
contoh
rangkaian
kegiatan
pembelajaran pengukuran panjang yang disusun berdasarkan alur belajar siswa. Experience-based Activities
Perbandingan tidak langsung
Bermain kelereng
Unit pengukuran yang tidak baku
Kekekalan panjang Patil Lele atau Benthik
Unit pengukuran yang baku
Unit yang identik Mengukur dengan manikmanik
“Bridge” Activities
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 Alat ukur tidak baku Membuat (yaitu: “Penggaris buatan siswa”)
379
penggaris
Mengukur dengan penggaris “buta”
t
Iterasi unit
Mengukur sebagai Covering
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Catatan: • Penggaris buta : penggaris yang hanya terdiri dari garis-garis tanpa bilangan ukuran • Penggaris normal: penggaris biasa yang dimulai dari angka NOL • Penggaris patah: penggaris yang tidak dimulai dari NOL, melainkan sebarang bilangan
C. Hipotesis proses belajar siswa Salah satu unsure yang sangat penting dari Hypothetical Learning Trajectory adalah hipotesis proses belajar siswa. Ketika mendesain kegiatan pembelajaran, guru sebaiknya menyusun hipotesis tindakan atau reaksi siswa pada setiap tahap pembelajaran. Pada tahap awal perencanaan pembelajaran, hipotesis tersebut didasarkan pada perkiraan pengetahuan awal (pre knowledge) yang sudah dimiliki siswa serta berdasarkan pengalaman atau praktik pembelajaran topik tersebut pada tahun sebelumnya.
Pada
tahap selanjutnya, hipotesis
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
dielaborasikan pada
380
PROSIDING
perencanaan
ISBN : 978-979-16353-3-2
harian
serta
disebut sebagai
hypothetical
learning
trajectory
(Gravemeijer, 2004). Contoh hipotesis proses belajar siswa dalam pembelajaran tentang pengukuran panjang adalah sebagai berikut: 1. Dalam kegiatan mengukur panjang benda dengan jengkal Ketika siswa mengukur panjang suatu benda yang panjang seharusnya adalah dua setengah jengkal, maka siswa menekuk jengkal terakhir supaya mendapatkan bilangan bulat untuk banyak jengkal (yaitu: mereka mendapatkan hasil tiga jengkal). Untuk lebih jelasnya lihat gambar berikut:
Panjang seharusnya adalah tiga setengah jengkal
Siswa menekuk jengkal terakhir sehingga diperoleh tiga jengkal
Pada kejadian ini siswa masih belum memahami konsep pecahan dan siswa juga belum memahami konsep identical unit atau unit yang identik, yaitu bahwa panjang unit ukuran adalah tetap. Untuk mengatasi hal ini, guru bisa mengajak siswa untuk mengukur benda tersebut dengan menggunakan unit ukuran yang tidak fleksibel, misalkan pensil.
2. Dalam kegiatan mengukur panjang benda dengan kalung manik-manik Karakteristik kalung manik-manik adalah konkret dan mudah dioperasikan sehingga siswa tidak mengalami masalah berarti dalam mengukur benda dengan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
381
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
menggunakan kalung manik-manik. Tapi sangat mungkin ada siswa yang mengalami kesulitan, contoh adalah seperti diilustrasikan pada gambar berikut:
½ 50 ½ 50
Kejadian tersebut menunjukkan kalau siswa masih bingung membedakan unit ukuran apa yang digunakan untuk mengukur, yaitu antara panjang satu utas kalung atau banyak manik-manik dalam satu kalung. “Lima puluh” menunjukkan kalau siswa menggunakan manik-manik pada kalung sebagai unit ukuran. Tetapi ketika siswa menjawab ½, hal ini menunjukkan kalau siswa menggunakan panjang satu utas kalung sebagai unit ukuran. Untuk mengatasi hal ini, guru bisa mengajukan pertanyaan: “Apa yang kamu gunakan untuk mengukur sehingga kamu peroleh hasil 50? Bagaimana kamu bisa mendapatkan hasil ½ ?” Selanjutnya guru bisa mengajak siswa untuk mengukur panjang benda yang lebih pendek dari satu utas kalung. 3. Dalam keegiatan membuat penggaris berdasarkan panjang kalung manik-manik Gambar berikut menunjukkan contoh kemungkinan bentuk penggaris buatan siswa:
1 2 3
Gambar 1. Siswa menuliskan bilangan “1” pada strip pertama
1 2 3
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 Gambar 2. Siswa menuliskan bilangan “1” pada ruas pertama
382
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
0 1 2
Gambar 3. Siswa menuliskan bilangan “0” pada strip pertama
− Gambar 1 menunjukkan kalau siswa masih belum memahami konsep
menguku sebagai covering space. Siswa mengukur dengan menghitung banyaknya strip/garis pada penggaris. Untuk mengatasi hal ini, siswa bisa meminta siswa mengukur suatu benda dengan kalung manik-manik dan penggaris buatan mereka. Ketika siswa menemukan kalau hasil pengukuran dengan penggaris selalu satu lebih banyak dari hasil mengukur dengan kalung, maka siswa diminta mendiskusikan hal tersebut dengan teman mereka. − Gambar 2 menunjukkan kalau siswa sudah memahami kalau mengukur
sebagai covering space, yaitu mengukur adalah banyaknya ruas (daerah antara dua garis) yang sesuai dengan panjang benda. Namun, siswa tersebut belum memahami penulisan bilangan pada penggaris sebagai upaya memudahkan pembacaan hasil pengukuran. − Gambar 3 menunjukkan kalau siswa sudah memahami konsep mengukur
sebagai covering space dan juga tujuan penulisan bilangan ukuran. 4. Dalam kegiatan mengukur dengan penggaris “buta” Beberapa kemungkinan aktivitas atau jawaban siswa ketika mengukur dengan penggaris “buta” adalah sebagai berikut:
− Siswa menghitung banyaknya strip/garis pada penggaris.
Siswa yang menggunakan strategi ini belum memahami konsep mengukur sebagai covering space karena mereka tidak menghitung banyaknya ruas. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
383
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
− Siswa menghitung banyaknya ruas
Siswa yang menggunakan strategi ini sudah memahami bahwa mengukur adalah covering space. Untuk siswa yang belum memahami bahwa mengukur adalah covering space, maka guru dapat melakukan kegiatan berikut: Guru dapat kembali menggunakan kalung manik-manik untuk memberikan pemahaman tentang konsep mengukur sebagai covering space. Guru meminta siswa mengukur panjang suatu benda dengan penggaris buta dan kalung manik-manik. Ketika siswa mengukur dengan manik-manik, siswa menghitung
banyaknya
manik-manik.
Guru
mengajak
siswa
untuk
membandingkan kalung dengan penggaris untuk mengamati diwakili oleh apakah manik-manik pada penggaris (lebih jelas lihat ilustrasi berikut). 1
2
3
1
2
3
Dua manik-manik sama panjang dengan dua ruas
1
2
3
1 ruas merupakan representasi 1 manik
1 ruas sama panjang dengan 1 manik-manik
5. Dalam kegiatan mengukur dengan penggaris “patah” Pada kegiatan mengukur dengan penggaris patah, siswa diminta untuk mengukur panjang benda dengan menggunakan penggaris yang tidak dimulai dari “0”.
10 atau 8?
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
384
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Kemungkinan strategi siswa adalah sebagai berikut:. − Siswa akan menjawab kalau panjang pensil adalah 10 karena pangkal pensil
terletak pada garis dengan nomor “10”. Siswa yang melakukan strategi ini belum memahami konsep zero point, yaitu bahwa sembarang bilangan/posisi
bisa digunakan sebagai titik awal
pengukuran. Siswa tersebut hanya membaca (read out) penggaris. Strategi yang bisa dilakukan oleh guru adalah dengan memberikan penggaris patah yang “ekstrim”, misal yang diawali pada posisi/nomor “25”. Jika siswa masih menggunakan strategi read out maka siswa akan memperoleh hasil bahwa panjang pensil adalah 33. Diharapkan siswa memiliki kepekaan panjang (ssense of length) bahwa pensil yang pendek tidak mungkin memiliki panjang 33 sehingga siswa bisa diajak untuk memberi perhatian pada titik awal pengukuran (yaitu 25). − Siswa tidak mempedulikan bilangan-bilangan pada penggaris dan langsung
menghitung banyak garis. Guru dapat melakukan kegiatan atau strategi yang sama dengan strategi yang digunakan pada kegiatan mengukur dengan penggaris “buta”. − Siswa tidak mempedulikan bilangan-bilangan pada penggaris dan mereka
menghitung banyak ruas. Untuk membantu siswa memahami cara menggunakan penggaris, maka guru dapat memberi tugas untuk mengukur panjang benda secepat mungkin. Dengan diminta supaya cepat dalam mengukur maka siswa diharapkan tidak lagi melakukan penghitungan ruas tetapi mulai memperhatikan bilangan-bilangan pada penggaris.
III.
Kesimpulan Berdasarkan uraian contoh penerapan hypothetical learning trajectory, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
385
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
1. Hypothetical learning trajectory memberikan pemahaman pada guru tentang betapa pentingnya memperhatikan pengetahuan awal siswa dan juga perbedaan kemampuan siswa dalam menyusun desain pembelajaran. 2. Hypothetical learning trajectory dapat digunakan sebagai petunjuk guru dalam membagi tahapan pembelajaran, yaitu dengan membuat beberapa sub tujuan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang utama. 3. Hypothetical learning trajectory bermanfaat sebagai panduan pelaksanaan pembelajaran sekaligus memberikan berbagai alternatif strategi ataupun scaffolding untuk membantu siswa mengatasi kesulitan dalam memahami konsep yang dipelajari. Daftar Pustaka: Castle, K. & Needham, J. (2007). First Graders’ Understanding of Measurement. Early Childhood Education Journal 35, 215 – 221. Freudenthal, H. (1991). Revisiting Mathematics Education: China Lectures. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academics Publisher. Gravemeijer, K. (2004). “Local Instruction Theories as Means of Support for Teachers in Reform Mathematics Education”. Mathematical Thinking and Learning, 6(2), 105128. Henshaw, J.M. (2006). Does Measurement Measure up? How Numbers Reveal & Conceal the Truth. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Kamii, C., & Clark, F. B. (1997). Measurement of length: The need for a better approach to teaching. School Science and Mathematics, 97(3), 116–121. Lehrer, R.; Jaslow, L. & Curtis, C. (2003). “Developing an Understanding of Measurement in the Elementary Grades”. In Clement, H.D. & Bright, G. (Eds.), Learning and Teaching Measurement (pp. 57 – 67). Reston: NCTM. Simon, M. A. & Tzur, Ron. (2004). Explicating the Role of Mathematical Tasks in Conceptual Learning: An Elaboration of the Hypothetical Learning Trajectory. Mathematical Thinking & Learning 6 (2), 91-104. Stephen, M & Clements, H. D. (2003). Linear and Area Measurement in Prekindergarten to Grade 2. In Clement, H.D. & Bright, G. (Eds.), Learning and Teaching Measurement (pp. 100 – 121). Reston: NCTM. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
386
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Van de Wall, J. & Folk, S. (2005). Elementary and Middle School Mathematics. Teaching Developmentally. Toronto: Pearson Education Canada Inc Zack, V. & Graves, B. (2001). Making mathematical meaning through dialogues: “Once you think of it the Z minus three seems pretty weird”. Educational studies in mathematics 46, 229-271.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
387
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-24 PEMBELAJARAN KELILING DAN LUAS LINGKARAN DENGAN STRATEGI REACT PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 6 KOTA MOJOKERTO
Abdussakir, M.Pd (Dosen Jurusan Matematika UIN Malang) Nur Laili Achadiyah, S.Pd (Guru Matematika SMPN 6 Kota Mojokerto)
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran keliling dan luas lingkaran dengan strategi REACT. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian tindakan kolaboratif. Berdasarkan hasil penelitian ini, pembelajaran keliling dan luas lingkaran dengan strategi REACT dapat memahamkan siswa kelas VIII SMPN 6 Kota Mojokerto. Meskipun demikian, dibutuhkan waktu yang lebih banyak daripada pembelajaran dengan metode ekspositori. Keywords: pembelajaran, keliling, luas, strategi REACT. Matematika secara garis besar dibagi ke dalam 4 cabang yaitu aritmetika, aljabar, geometri, dan analisis (Bell, 1978:27). Geometri merupakan cabang matematika yang menempati posisi penting untuk dipelajari karena geometri digunakan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari (Van de Walle, 1990:269). Selain itu, geometri mempunyai peran penting dalam mempelajari cabang matematika yang lain dan menyediakan sarana yang dapat digunakan untuk mempermudah memecahkan masalah dengan penggunaan gambar, diagram, dan sistem koordinat. Pada dasarnya geometri mempunyai peluang yang lebih besar untuk dipahami siswa daripada cabang matematika yang lain, namun kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak siswa yang sulit belajar geometri. Prestasi belajar siswa dalam geometri masih rendah (Purnomo, 1999:6) dan perlu ditingkatkan (Bobango, 1993:147). Bahkan, di antara berbagai cabang matematika, geometri menempati posisi yang paling memprihatinkan (Sudarman, 2001:3). Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
388
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Kesulitan siswa dalam mempelajari geometri juga terjadi pada materi keliling dan luas lingkaran. Sesuai diskusi dengan guru, dari pengalamannya selama mengajar di SMP Taman Siswa Mojokerto dan SMPN 6 Kota Mojokerto, diperoleh informasi bahwa masih banyak siswa kelas VIII yang mengalami kesulitan memahami rumus keliling dan luas lingkaran. Jika siswa ditanya berapa keliling atau luas lingkaran yang diketahui jari-jari atau diameternya, siswa tidak langsung menjawab. Ada yang mengatakan lupa rumusnya dan ada yang salah menggunakan rumus. Apalagi jika ditanya mengapa rumus keliling atau luas lingkaran adalah 2πr (atau πd) atau πr2 (atau
1 2 πd ), siswa tidak dapat memberikan jawaban sama sekali. Kesulitan ini sangat 4 mempengaruhi pemahaman siswa pada materi selanjutnya, misalnya materi volum kerucut dan tabung. Kesulitan siswa dalam memahami rumus keliling dan luas lingkaran diduga disebabkan cara guru mengajar. Guru hanya terpaku pada metode ceramah dengan menuliskan rumus, memberikan contoh soal, dan memberikan tugas-tugas. Siswa sekedar menerima dan menghafal rumus keliling dan luas lingkaran. Akibatnya, pengetahuan yang diperoleh siswa hanya bertahan sementara karena pengetahuan tersebut tidak dikonstruk sendiri oleh siswa. Kesulitan siswa dalam mempelajari keliling dan luas lingkaran perlu diatasi dengan strategi pembelajaran yang sesuai. Strategi merupakan kiat atau siasat yang sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar dan tujuannya yang berupa hasil belajar dapat tercapai secara optimal. Di samping menguasai materi, guru dituntut memiliki keterampilan menyampaikan materi yang akan disampaikan dan guru harus mampu memilih serta menggunakan suatu strategi pembelajaran yang tepat pada suatu materi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hudojo (1988:96) bahwa strategi belajar mengajar yang selanjutnya menentukan hasil belajar. Dengan pemilihan strategi yang tepat akan memudahkan proses terbentuknya pengetahuan pada siswa. Lebih lanjut Hudojo (1998:2) menyatakan bahwa strategi pembelajaran
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
389
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
yang jitu dalam menghadapi masa depan serba tidak menentu adalah membelajarkan siswa dengan melibatkan intelektual siswa secara maksimal. Untuk melaksanakan pembelajaran yang diharapkan dapat mengembangkan daya matematika siswa dan meningkatkan keaktifan siswa maka diperlukan adanya suatu strategi pembelajaran yang tepat sesuai tujuan pembelajaran. Strategi pembelajaran
yang
diharapkan
dapat
mengaktifkan,
memahamkan,
dan
mengembangkan daya pikir siswa adalah strategi yang dapat (a) mengaitkan materi dengan situasi nyata dan pengetahuan awal siswa, (b) melibatkan siswa dalam pemecahan masalah dan manipulasi alat peraga, (c) melibatkan siswa untuk belajar secara kooperatif, dan (d) memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri, mengaplikasikan, dan mentransfer konsep yang dipelajari. Strategi pembelajaran yang memenuhi kriteria tersebut adalah strategi REACT. Strategi ini memfokuskan pada pembelajaran yang dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa. Strategi REACT memuat lima komponen, yaitu mengaitkan
(Relating),
mengalami
(Experiencing),
menerapkan
(Applying),
bekerjasama (Cooperating), dan mentransfer (Transferring). Mengaitkan (Relating), mempunyai arti bahwa dalam belajar, materi harus dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa atau dikaitkan dengan pengetahuan awal siswa. Mengalami (Experiencing), mempunyai arti bahwa siswa belajar dengan mengalami secara langsung (doing mathematics) melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Menerapkan (Applying), yaitu belajar dengan menempatkan konsepkonsep untuk diaplikasikan pada masalah yang bersifat realistik dan relevan. Bekerjasama (Cooperating), yaitu belajar dalam konteks saling berbagi, saling menanggapi, dan berkomunikasi dengan siswa lainnya. Mentransfer (Transferring), yaitu menggunakan pengetahuan dalam konteks baru atau situasi baru, yaitu konteks atau situasi yang belum tercakup dalam kelas (Crawford, 2001:3-13). Penerapan strategi REACT mempunyai berbagai kelebihan, yaitu dapat memperdalam
pemahaman
siswa,
mengembangkan
sikap
positif
siswa,
mengembangkan sikap menghargai diri sendiri dan orang lain, membuat belajar secara Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
390
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
inklusif, mengembangkan rasa saling memiliki, mengembangkan keterampilan untuk masa depan, mengembangkan sikap menyukai lingkungan, dan menjelaskan pentingnya materi dan aplikasinya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik menerapkan strategi REACT untuk membangun pamahaman siswa kelas VIII SMPN 6 Kota Mojokerto pada pembelajaran materi keliling dan luas lingkaran. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimanakah pembelajaran keliling dan luas lingkaran dengan strategi REACT pada siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Kota Mojokerto? Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan paparan secara jelas dan rinci tentang pembelajaran keliling dan luas lingkaran dengan strategi REACT yang dapat memahamkan siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Kota Mojokerto. METODE Penelitian ini dimaksudkan sebagai usaha untuk membantu siswa memahami rumus keliling dan luas lingkaran dengan strategi REACT. Dalam usaha membangun pemahaman tersebut, peneliti berperan sebagai perancang tindakan dan guru sebagai pelaksana pembelajaran. Oleh sebab itu, rancangan penelitian yang dipandang cocok dengan tujuan tersebut adalah penelitian tindakan kolaboratif. Lokasi penelitian ini adalah SMP Negeri 6 Kota Mojokerto. SMP ini dipilih karena masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami rumus keliling dan luas lingkaran. Selain itu, di SMP ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai pembelajaran dengan strategi REACT. Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-3 semester genap SMP Negeri 6 Kota Mojokerto. Siswa kelas VIII-3 terdiri atas 36 siswa dengan 21 siswa lakilaki dan 15 siswa perempuan. Subyek wawancara terdiri dari 4 siswa yang terdiri dari 1 siswa berkemampuan tinggi, 1 siswa berkemampuan sedang dan 2 siswa berkemampuan rendah. Pengambilan 4 subyek dengan kriteria tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan skor tes ulangan harian siswa. Subyek wawancara juga dipertimbangkan yang mudah diajak berkomunikasi.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
391
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi hasil tes, hasil wawancara, hasil observasi, dan hasil catatan lapangan. Sesuai data yang dikumpulkan dalam penelitian, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi (1) tes, (2) wawancara, (3) observasi, dan (4) catatan lapangan. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan selama dan sesudah pengumpulan data. Analisis data dilakukan pada tahap refleksi dari siklus penelitian. Analisis data yang dilakukan menggunakan analisis data kualitatif model alir yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992:18) yang terdiri dari tahap (1) mereduksi data, (2) menyajikan data, dan (3) menarik kesimpulan dan verivikasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Data Pratindakan Sebelum pelaksanaan tindakan, peneliti dan guru berdiskusi tentang rencana pelaksanaan tindakan dan skenario pembelajaran yang akan dilakukan. Peneliti perlu memastikan bahwa guru memahami sungguh-sungguh strategi yang akan digunakan, karena guru yang akan melaksanakan pembelajaran di kelas. Selain itu, peneliti dan guru menyiapkan RPP, LKS, instrumen penelitian, daftar kelompok, dan subyek wawancara. Kelompok siswa tidak dibentuk oleh guru, karena siswa kelas VIII-3 SMPN 6 Mojokerto sejak awal sudah terbentuk ke dalam kelompok-kelompok sesuai keinginan siswa. Kelompok terdiri dari 4 orang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai pendapat Slavin (dalam Eggen dan Kauchak, 1996:286) bahwa kelompok yang sangat ideal terdiri dari 4 orang. Pada tanggal 24 Januari 2009, guru menjelaskan kepada siswa tentang rencana kegiatan pembelajaran pada Kamis, 29 Januari 2009. Guru menjelaskan secara garis besar langkah-langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan. Guru juga meminta siswa sesuai kelompok masing-masing untuk membawa benda-benda berbentuk tabung (seperti potongan pipa, kaleng, tutup topless, dan lainnya), benang, gunting, penggaris, kalkulator, kertas manila 2 warna, kertas karton, lem, busur, dan jangka yang akan digunakan dalam pembelajaran. Penggunaan media belajar ini sesuai Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
392
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dengan pendapat Eggen dan Kauchak (1996:305) bahwa siswa perlu diberi sumbersumber belajar yang mendukung pelaksanaan penyelidikan.
Data Tindakan Pembelajaran rumus keliling dan luas lingkaran dilaksanakan pada hari Kamis, 29 Januari 2009. Pembelajaran dimulai dengan siswa sudah menempati posisi masingmasing berdasarkan kelompoknya. Pembelajaran dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap inti dan tahap akhir. Pada tahap awal, guru menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa tentang pentingnya materi kaitannya dengan materi lain dan aplikasinya dalam kehidupan, membangkitkan pengetahuan awal siswa tentang luas persegi panjang dan konsep lingkaran, dan terakhir menjelaskan tugas dan tanggung jawab kelompok. Pada tahap awal, komponen REACT yang muncul adalah mengaitkan (relating) dan bekerjasama (cooperating). Tahap awal diakhiri dengan pembagian Lembar Kerja Siswa (LKS). Tahap awal membutuhkan waktu sekitar 15 menit (dalam RPP 10 menit). Tujuan pembelajaran perlu disampaikan kepada siswa sebelum membahas materi. Penyampaian tujuan berfungsi agar siswa dapat mengetahui arah kegiatan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahar (1988:174) bahwa penyampaian tujuan pembelajaran selain dapat memotivasi juga dapat memusatkan perhatian siswa terhadap aspek yang relevan dalam pembelajaran. Motivasi belajar sangat penting peranannya dalam rangka menyiapkan siap untuk belajar. Siswa yang termotivasi akan lebih siap untuk belajar dan akan mencapai hasil belajar yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Orton (1992:9-10) bahwa siswa yang termotivasi, tertarik dan mempunyai keinginan untuk belajar akan belajar lebih banyak. Kegiatan mengingat kembali materi prasyarat sangat perlu dilakukan untuk mempermudah siswa memahami materi yang akan dipelajari. Jika siswa tidak paham materi prasyarat, maka siswa akan sulit mempelajari materi keliling dan luas lingkaran. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
393
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Hal ini sesuai pendapat Skemp (1987:20) bahwa jika pemahaman konsep kurang sempurna, maka konsep lain yang berkaitan dengan konsep tersebut akan berada dalam keadaan bahaya. Tahap inti terdiri dari dua kegiatan, yaitu pelaksanaan diskusi kelompok dan penyajian laporan. Sebelum melaksanakan diskusi kelompok, masing-masing kelompok diminta untuk memahami Lembar Kerja Siswa (LKS). Pada kegiatan diskusi, masingmasing kelompok bekerja dengan bantuan Lembar Kerja Siswa (LKS) dan alat peraga. LKS terdiri dari tiga bagian, yaitu LKS I untuk menentukan nilai π dan rumus keliling lingkaran, LKS II untuk menentukan rumus luas lingkaran, dan LKS III untuk soal-soal aplikasi dan transfer. Siswa diminta untuk mengerjakan LKS secara berurutan mulai LKS I sampai LKS III. Pada saat diskusi menyelesaikan LKS I, siswa mengukur diameter dan keliling masing-masing alat peraga yang telah dibawa dan mencatat ke dalam tabel dalam LKS. Siswa mengukur diameter dengan penggaris. Keliling diukur menggunakan benang dengan cara dililitkan pada alat peraga, menandai benang, memotong benang, dan terakhir mengukur panjang benang. Pada kegiatan ini, sebagian besar kelompok berbagi tugas. Ada anggota kelompok yang bertugas mengukur dan ada yang bertugas mencatat. Ada juga kelompok yang masing-masing anggota kelompoknya mengukur sendiri-sendiri dan mencatatnya ke dalam tabel. Setelah siswa mengukur diameter dan keliling semua alat peraga yang dibawa, siswa menghitung nilai KELILING : DIAMETER dan memasukkan nilainya pada kolom terakhir tabel LKS I. Sebagian kelompok ada yang menghitung dengan kalkulator dan sebagian lagi menghitung dengan HP (handpone). Proses ini dengan bantuan LKS mengarahkan siswa untuk menemukan nilai bilangan π. Setelah siswa mengetahui bahwa π diperoleh dari Keliling : Diameter, maka mereka tidak mengalami kesulitan untuk menemukan bahwa Keliling = π × Diameter. Selanjutnya, melalui LKS I siswa diarahkan untuk melakukan penggunaan notasi simbol untuk menyatakan rumus keliling lingkaran. Sesuai pengamatan di kelas dan hasil LKS siswa, semua kelompok dapat menyatakan dengan benar bahwa Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
394
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
K = π × d atau K = πd Namun demikian, ketika simbol d diganti r sebagian besar kelompok (7 kelompok) menuliskan K = π × 2r. Hanya 2 kelompok yang menuliskan K = π × 2r = 2πr. Guru akhirnya memberikan bimbingan agar semua kelompok dapat menuliskan menjadi K = 2πr. Pada kegiatan LKS I ini, komponen REACT yang muncul adalah mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), mengaplikasikan (applying), dan bekerjasama (cooperating). Penggunaan LKS I terbukti sangat membantu arah kerja siswa menemukan rumus keliling lingkaran. Siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri secara aktif dengan bantuan LKS. Hal ini sesuai dengan pendapat Clements & Battista (2001) bahwa pengetahuan harus dibentuk dan ditemukan oleh siswa secara aktif. Pengetahuan matematika dikonstruksi siswa dengan melakukan refleksi fisik dan mental, yaitu berbuat dan berpikir.pendapat. Pada LKS II, siswa diarahkan untuk menemukan rumus luas lingkaran. Pertama siswa dalam kelompok membuat 2 lingkaran berukuran sama pada kertas manila dengan warna yang berbeda. Masing-masing lingkaran dibagi dua bagian dan menyatukannya bagian-bagian tadi menjadi lingkaran baru dengan dua warna berbeda seperti pada gambar.
A
B
AB
AB
Salah satu lingkaran AB selanjutnya dipotong menjadi 12 bagian yang sama dan disusun sebagai berikut. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
395
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Siswa diminta menentukan ukuran “panjang” dan “lebar” bentuk di atas. Pada tahap ini kelompok dengan mudah menyatakan bahwa “panjang”nya adalah “lebarnya” adalah jari-jari atau
1 Keliling dan 2
1 Diameter. Meskipun demikian, ada kelompok yang 2
mengukur dengan penggaris untuk memastikan bahwa “lebar”nya sama dengan jarijari lingkaran yang mereka buat pertama kali. Selanjutnya siswa diminta membagi lingkaran AB kedua menjadi bagian-bagian yang sama sebanyak mungkin dan menyusun kembali seperti pada lingkaran AB pertama. Dalam kegiatan tersebut siswa bekerja secara fisik dengan memanipulasi alat peraga dan bekerja secara mental yaitu berpikir untuk menemukan rumus luas lingkaran. Hal ini sangat baik karena didukung oleh pendapat Hudojo (1998:7) bahwa siswa perlu dilibatkan secara fisik dan mental dalam belajar serta melibatkan pengalaman konkret. Pada tahap ini, kelas menjadi ramai. Siswa dalam kelompok nampak bekerja dengan aktif dan senang. Ada yang memotong, ada yang mengelem, dan ada yang menempel. Kegiatan saling bekerjasama dan berbagi tugas dalam menyelesaikan tugas kelompok merupakan hal penting. Sesuai pendapat Eggen dan Kauchak (1996:281), keterampilan sosial tersebut merupakan aspek yang sangat penting dalam belajar kooperatif. LKS II ini mengarahkan siswa untuk menyadari bahwa potongan tadi setelah disusun kembali akan membentuk “persegipanjang” dengan panjang sehingga luasnya adalah (
1 K dan lebar r, 2
1 K × r). Karena persegipanjang tersebut diperoleh dari 2
lingkaran dengan jari-jari r, maka luas lingkaran sama dengan luas persegipanjang. Melalui alur LKS II dan bimbingan guru, siswa akhirnya melakukan manipulasi symbol sebagai berikut. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
396
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
LLingkaran = LPersegipanjang =p×l =
1 K ×r 2
=
1 (2πr) × r, 2
K = 2πr
= πr2 Lebih lanjut, dengan bimbingan guru, kelompok diminta mengganti simbol r dengan d melalui hubungan d = 2r atau r = LLingkaran = π (
1 d. Akhirnya, siswa dapat memperoleh 2
1 2 1 2 d) = πd . 2 4
Untuk sampai pada kesimpulan ini, guru melakukan bimbingan pada masing-masing kelompok. Hampir semua kelompok mengalami kesulitan dalam manipulasi simbol aljabar menemukan rumus akhir luas lingkaran. Guru memberikan bimbingan tetapi tetap berusaha agar siswa sendiri yang membentuk pengetahuan mereka melalui kegiatan penyelidikan dan diskusi. Hal ini sesuai dengan prinsip konstruktivisme bahwa guru berperan sebagai mediator dan fasilitator untuk membantu siswa membangun pengetahuan (Suparno, 1997:67). Pada kegiatan LKS II ini, komponen REACT yang muncul adalah mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), mengaplikasikan (applying), dan bekerjasama (cooperating). Perolehan luas lingkaran dengan cara membentuk persegipanjang terlebih dahulu memberikan gambaran pada siswa tentang aplikasi luas persegipanjang dan keterkaitan antara luas persegi panjang dan luas lingkaran. Keterkaitan ini akan memberikan pemahaman yang kuat pada benak siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hudojo (1998:7) bahwa informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu dalam skemata yang dimiliki siswa. Selanjutnya guru mempersilahkan kelompok untuk mengerjakan LKS III yang memuat 2 soal, yaitu soal aplikasi dan soal transfer. Berdasarkan pengamatan, semua kelompok dapat menjawab soal aplikasi dengan benar. Ketika mengerjakan soal-soal transfer, yaitu soal yang berkiatan dengan situasi baru, semua kelompok mengalami Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
397
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
kesulitan. Guru tetap meminta siswa untuk mengerjakan soal transfer dengan bimbingan secukupnya. Pada kegiatan ini, komponen REACT yang muncul adalah mengaplikasikan (applying) dan mentransfer (transferring). Ketika waktu pelajaran tinggal 10 menit (tahap inti sudah berlangsung selama 55 menit), guru meminta siswa menghentikan pekerjaannya dan mengumpulkan LKS seadanya. Guru menjelaskan bahwa pembelajaran akan dilanjutkan pada hari Sabtu, tanggal 31 Januari 2009. Guru menjelaskan bahwa pertemuan berikutnya adalah penyajian laporan. Guru menjelaskan bahwa tidak semua kelompok akan melaporkan hasil LKS. Guru akan menyeleksi kelompok pelapor tetapi tetap meminta masingmasing kelompok bersiap-siap. Kegiatan jam pelajaran habis, guru menutup pelajaran. Pada hari Sabtu, 31 Januari 2009 merupakan pertemuan kedua untuk pembelajaran keliling dan luas lingkaran. Setelah membuka pelajaran, guru meminta ketua kelompok terpilih menyiapkan diri untuk melaporkan LKS pertemuan sebelumnya. Berdasarkan pemeriksaan hasil LKS dan pertimbangan waktu, peneliti dan guru memutuskan untuk memanggil satu kelompok yang akan melaporkan hasil diskusi. Hal ini dilakukan karena hasil LKS semua kelompok adalah sama meskipun ada redaksi yang berbeda. Kelompok yang terpilih untuk menyajikan laporan adalah kelompok VI. Pemilihan kelompok VI berdasarkan pertimbangan karena hasil LKSnya paling bagus dibanding kelompok yang lain. Selain itu, kelompok VI dapat menjawab semua soal pada LKS III dengan benar. Setelah ketua kelompok VI selesai menyajikan LKSnya, guru meminta siswa memberikan tepuk tangan dan sekaligus memuji pelaksanaan diskusi kelompok yang telah berlangsung dengan baik. Selanjutnya guru memberikan penekanan lagi mengenai bilangan π, rumus keliling, dan luas lingkaran yang telah dipelajari siswa. Guru melakukan tanya jawab untuk mengetahui pemahaman siswa dengan kembali menanyakan rumus keliling dan luas lingkaran. Selain itu, guru juga meminta siswa untuk membuat simpulan. Pada akhir pembelajaran, guru sempat menanyakan respon siswa mengenai pembelajaran yang telah dilaksanakan sejak pertemuan sebelumnya. Siswa menyatakan senang, bersemangat, mengerti, dan meminta pembelajaran selanjutnya tetap berkelompok. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
398
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
wawancara merasa senang dan dapat memahami materi dengan baik. Hal ini mendukung pendapat Hill & Hill (1993:2) bahwa belajar kelompok (kooperatif) dapat menyenangkan siswa dan memperdalam pemahaman. Berdasarkan hasil tes akhir pada 5 Pebruari 2009, diperoleh bahwa 34 siswa memperoleh skor di atas 70 dan hanya 2 siswa memperoleh skor di bawah 70. Hasil ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran dalam penelitian ini sangat baik. Pemahaman siswa ini dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya perasaan senang saat belajar, situasi belajar kelompok, penggunaan LKS dan alat peraga serta manipulasi alat peraga, serta mereka sendiri yang menemukan rumus keliling dan luas lingkaran.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan paparan data dan pembahasan maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan strategi REACT dapat membantu siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Kota Mojokerto untuk membangun pemahaman pada materi keliling dan luas lingkaran. Meskipun demikian, waktu yang diperlukan adalah dua kali pertemuan. Jika dibanding pembelajaran dengan metode ekspositori, maka strategi REACT lebih banyak memakan waktu. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut. 1.
Guru matematika kelas VIII SMP disarankan untuk mempertimbangkan penerapan strategi REACT pada pembelajaran materi keliling dan luas lingkaran.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
399
PROSIDING
2.
ISBN : 978-979-16353-3-2
Guru matematika kelas VIII SMP yang menerapkan pembelajaran dengan strategi REACT hendaknya mengatur penggunaan waktu seefektif mungkin mengingat penelitian ini ternyata membutuhkan banyak waktu.
3.
Kepada peneliti yang lain disarankan untuk mengadakan penelitian mengenai penerapan strategi REACT pada materi yang lain baik di sekolah yang sama maupun sekolah yang lain.
DAFTAR RUJUKAN Bell, F.H.. 1978. Teching Learning Mathematics: In Secondary Shooles. Iowa: Wn. C. Brown Company Publishers. Bobango, J.C. 1993. Geometry for All Student: Phase-Based Instruction. Dalam Cueves (Eds). Reaching All Students With mathematics, reston, VA. Virginia: National Council of Teachers of Mathematics. Clements, D.H. & Battista, M.T.. 2001. Constructivist Learning and Teaching. (Http://www.terc.edu/investigation/relevant/html/constructivistlearning.html, diakses tanggal 02 Pebruari 2002). Crawford, M. L., 2001. Teaching and Contextually. Research, Rationale, and Techniques for Improving Student Motivation and Achievement in Mathematics and Science. Waco, Texas. CCI Publishing, Inc. Dahar, R.W. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud Eggen, P.D & Kauchak, P.P.. 1996. Strategies for Teacher: Teaching Content and Thingking Skill. Boston: Alyn & Bacon. Hill, Susan & Hill, Tim. 1993. The Collaborative Classroom: A Guide to Co-operative Learning. Victoria: Eleanor Curtin Publishing. Hudojo, H.. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: P2LPTK. Hudojo, H.. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivis. Makalah disajikan pada Seminar Nasional “Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Era Globalisasi”. PPS IKIP MALANG. Malang: 4 April.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
400
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Miles, M.B. & Huberman, A.M.. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Orton, A.. 1992. Learning Mathematics: Issues, Theory, and Practice. Great Britain: Redwood Books. Purnomo, A.. 1999. Penguasaan Konsep Geometri dalam Hubungannya dengan Teori Perkembangan Berpikir van Hiele pada Siswa Kelas II SLTP Negeri 6 Kodya Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP MALANG. Skemp, R.R.. 1987. The Psychology of Learning Mathematics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher Sudarman. 2000. Pengembangan Paket Pembelajaran Berbantuan Komputer Materi Luas dan Keliling Segitiga untuk Kelas V Sekolah Dasar. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM. Suparno, P.. 1997. Filsafat Konstuktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Van de Walle, J.A..1990. Elementary School Mathematics: Teaching Developmentally. New York: Longman.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
401
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-25 KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA: APA dan BAGAIMANA MENGEMBANGKANNYA Oleh Djamilah Bondan Widjajanti Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta E-mail:
[email protected] Abstrak Suatu soal atau pertanyaan merupakan suatu masalah apabila soal atau pertanyaan tersebut menantang untuk diselesaikan atau dijawab, dan prosedur untuk menyelesaikannya atau menjawabannya tidak dapat dilakukan secara rutin. Pemecahan masalah adalah proses yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Selain empat langkah pemecahan masalah matematika yang terkenal yang dikemukakan oleh G. Polya, dalam bukunya ”How to Solve It”, terdapat juga model pemecahan masalah yang disebut dengan Bransford’s IDEAL model dan Gick model. Mahasiswa calon guru matematika harus cukup mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dalam pemecahan masalah, mengingat termasuk di dalam tugasnya nanti ketika menjadi guru adalah membimbing siswa belajar memecahkan masalah matematika. Mengajarkan bagaimana menyelesaikan masalah merupakan kegiatan guru untuk memberikan tantangan atau motivasi kepada para siswa agar mereka mampu memahami masalah tersebut, tertarik untuk memecahkannya, mampu menggunakan semua pengetahuannya untuk merumuskan strategi dalam memecahkan masalah tersebut, melaksanakan strategi itu, dan menilai apakah jawabannya benar. Melalui perkuliahan berbasis masalah (PBL), mahasiswa calon guru matematika dapat dikembangkan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Ada banyak mata kuliah di Program Studi Pendidikan Matematika yang cocok diberikan menggunakan pendekatan PBL. Salah satu diantaranya adalah Matematika Diskret. Di dalam makalah ini diberikan contoh implementasi PBL dalam mata kuliah Matematika Diskret. Untuk dapat menjadi wahana pengembangan kemampuan pemecahan masalah, maka bahan ajar untuk mata kuliah Matematika Diskret dirancang secara khusus sedemikian hingga mahasiswa dapat belajar konsep tertentu melalui masalah yang diselesaikannya, sekaligus akan menjadi trampil menyelesaikan masalah matematis yang beragam. Kata Kunci: pemecahan masalah, mahasiswa
Pendahuluan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
402
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Salah satu tujuan belajar matematika bagi siswa/mahasiswa adalah agar ia mempunyai kemampuan atau ketrampilan dalam memecahkan masalah atau soal-soal matematika, sebagai sarana baginya untuk mengasah penalaran yang cermat, logis, kritis, dan kreatif. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah menjadi fokus pembelajaran matematika di semua jenjang. Lebih-lebih bagi seorang mahasiswa calon guru matematika, tentu tidaklah cukup jika ia hanya mempunyai kemampuan tersebut untuk dirinya sendiri, sebab kelak jika ia telah menjadi guru, ia akan mempunyai tugas yang berat yaitu menjadikan siswanya memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah matematika. Memperhatikan pentingnya seorang mahasiswa calon guru matematika mempunyai kemampuan pemecahan masalah, maka perkuliahan di Program Studi Pendidikan Matematika sudah seyogyanya difungsikan sebagai wahana bagi mahasiswa untuk meningkatkan kemampuannya. Makalah ini akan membahas apa dan bagaimana mengembangkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika. Pembahasan a. Masalah Dalam belajar matematika, pada umumnya yang dianggap masalah bukanlah soal yang biasa dijumpai siswa. Hudoyo (1988) menyatakan bahwa soal/pertanyaan disebut masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab. Dapat terjadi bagi seseorang, pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur rutin baginya, namun bagi orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan pengorganisasian pengetahuan yang telah dimiliki secara tidak rutin. Senada dengan pendapat Hudoyo, Suherman, dkk. (2003) menyatakan bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada seorang anak dan anak tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah bagi anak tersebut.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
403
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Memperhatikan pendapat-pendapat tentang masalah seperti tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa suatu soal atau pertanyaan merupakan suatu masalah apabila soal atau pertanyaan tersebut menantang untuk diselesaikan atau dijawab, dan prosedur untuk menyelesaikannya atau menjawabannya tidak dapat dilakukan secara rutin, sebagaimana Bell (1978) menyatakan bahwa “a situation is a problem for a person if he or she is aware of its existence, recognizes that it requires action, wants or needs to act and does so, and is not immediately able to resolve the situation”. b. Pemecahan Masalah Pemecahan masalah adalah proses yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Pada tahun 1983, Mayer mendefinisikan pemecahan masalah sebagai suatu proses banyak langkah dengan si pemecah masalah harus menemukan hubungan antara pengalaman (skema) masa lalunya dengan masalah yang sekarang dihadapinya dan kemudian bertindak untuk menyelesaikannya (Kirkley, 2003). Pentingnya belajar pemecahan masalah dalam matematika, banyak ahli yang mengatakannya. Menurut Bell (1978) hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi-strategi pemecahan masalah yang umumnya dipelajari dalam pelajaran matematika, dalam hal-hal tertentu, dapat ditransfer dan diaplikasikan dalam situasi pemecahan masalah yang lain. Penyelesaian masalah secara matematis dapat membantu para siswa meningkatkan daya analitis mereka dan dapat menolong mereka dalam menerapkan daya tersebut pada bermacam-macam situasi. Conney (dikutip Hudoyo, 1988) juga menyatakan bahwa mengajarkan penyelesaian masalah kepada peserta didik, memungkinkan peserta didik itu menjadi lebih analitis di dalam mengambil keputusan di dalam hidupnya. Dengan perkataan lain, bila peserta didik dilatih menyelesaikan masalah, maka peserta didik itu akan mampu mengambil keputusan, sebab peserta didik itu telah menjadi trampil tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi, dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya. Memperhatikan apa yang akan diperoleh siswa dengan belajar memecahkan masalah, maka wajarlah jika pemecahan masalah adalah bagian yang sangat penting, bahkan paling penting dalam belajar matematika. Hal ini karena pada dasarnya salah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
404
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
satu tujuan belajar matematika bagi siswa adalah agar ia mempunyai kemampuan atau ketrampilan dalam memecahkan masalah atau soal-soal matematika, sebagai sarana baginya untuk mengasah penalaran yang cermat, logis, kritis, analitis, dan kreatif. Romberg (dalam Schoenfeld, 1994) menyebutkan 5 tujuan belajar matematika bagi siswa, yaitu: (1) belajar nilai tentang matematika, (2) menjadi percaya diri dengan kemampuannya sendiri, (3) menjadi pemecah masalah matematika, (4) belajar untuk berkomunikasi secara matematis, dan (5) belajar untuk bernalar secara matematis. NCTM (2000) menyebutkan bahwa memecahkan masalah bukan saja merupakan suatu sasaran belajar matematika, tetapi sekaligus merupakan alat utama untuk melakukan belajar itu. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah menjadi fokus pembelajaran matematika di semua jenjang, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dengan mempelajari pemecahan masalah di dalam matematika, para siswa akan mendapatkan cara-cara berfikir, kebiasaan tekun, dan keingintahuan, serta kepercayaan diri di dalam situasi-situasi tidak biasa, sebagaimana situasi yang akan mereka hadapi di luar ruang kelas matematika. Di kehidupan sehari-hari dan dunia kerja, menjadi seorang pemecah masalah yang baik bisa membawa manfaat-manfaat besar. Karena menyelesaikan masalah bagi siswa itu dapat bermakna proses untuk menerima tantangan, sebagaimana dikatakan Hudoyo (1988), maka mengajarkan bagaimana menyelesaikan masalah merupakan kegiatan guru untuk memberikan tantangan atau motivasi kepada para siswa agar mereka mampu memahami masalah tersebut,
tertarik
untuk
memecahkannya,
mampu
menggunakan
semua
pengetahuannya untuk merumuskan strategi dalam memecahkan masalah tersebut, melaksanakan strategi itu, dan menilai apakah jawabannya benar. Untuk dapat memotivasi para siswa secara demikian, maka setiap guru matematika harus mengetahui dan memahami langkah-langkah dan strategi dalam penyelesaian masalah matematika. Langkah pemecahan masalah matematika yang terkenal dikemukakan oleh G. Polya, dalam bukunya ”How to Solve It”. Empat langkah pemecahan masalah matematika menurut G. Polya tersebut adalah: ” (1) Understanding the problem, (2) Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
405
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Devising plan, (3) Carrying out the plan, (4) Looking Back” (Alfeld, 1996). Hall (2000) juga membuat iktisar dari buku G Polya tersebut, dan merinci bahwa: (1) Memahami masalah, meliputi memberi label atau _able_
dan mengidentifikasi apa yang
ditanyakan, syarat-syarat, apa yang diketahui (datanya), dan menentukan solubility masalahnya, (2) Membuat sebuah rencana,
yang berarti
menggambarkan
pengetahuan sebelumnya untuk kerangka teknik penyelesaian yang sesuai, dan menuliskannya kembali masalahnya jika perlu, (3) Menyelesaikan masalah tersebut, menggunakan teknik penyelesaian yang sudah dipilih, dan (4) Mengecek kebenaran dari penyelesaiannya yang diperoleh dan memasukkan masalah dan penyelesaian tersebut kedalam memori untuk kelak digunakan
dalam menyelesaikan masalah
dikemudian hari. Hampir sama dengan Polya, Dominowski (2002) menyatakan ada 3 tahapan umum untuk menyelesaikan suatu masalah, yaitu: interpretasi, produksi, dan evaluasi. Interpretasi merujuk pada bagaimana seorang pemecah masalah memahami atau menyajikan secara mental suatu masalah. Produksi menyangkut pemilihan jawaban atau langkah yang mungkin untuk membuat penyelesaian. Evaluasi adalah proses dari penilaian kecukupan dari jawaban yang mungkin, atau langkah lanjutan yang telah dilakukan selama mencoba atau berusaha menyelesaikan suatu masalah. Kirkley (2003) menyebutkan bahwa model pemecahan masalah yang umum pada tahun 60-an, adalah Bransford’s IDEAL model, yaitu: (1) Identify the problem, (2) Define the problem through thinking about it and sorting out the relevant information, (3) Explore solutions through looking at alternatives, brainstorming, and checking out different points of view, (4) Act on the strategies, and (5) Look back and evaluate the effects of your activity. Sedangkan model pemecahan masalah yang lain, yang akhir-akhir sering digunakan adalah model dari Gick (Kirkley, 2003). Dalam model ini urutan dasar dari tiga kegiatan kognitif dalam pemecahan masalah, yaitu: (1) Menyajikan masalah, termasuk memanggil kembali konteks pengetahuan yang sesuai, dan mengidentifikasi tujuan dan kondisi awal yang relevan dari masalah tersebut, (2) Mencari penyelesaian, termasuk memperhalus tujuan dan mengembangkan suatu rencana untuk bertindak Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
406
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
guna mencapai tujuan, dan (3) Menerapkan penyelesaian, termasuk melaksanakan rencana dan menilai hasilnya. Menyangkut strategi untuk menyelesaikan masalah, Suherman, dkk. (2003) antara lain menyebutkan beberapa strategi pemecahan masalah, yaitu: (1) Act it Out (menggunakan gerakan fisik atau menggerakkan benda kongkrit), (2) Membuat gambar dan diagram, (3) Menemukan pola, (4) Membuat tabel, (5) Memperhatikan semua kemungkinan secara sistematis, (6) Tebak dan periksa, (7) Kerja mundur, (8) Menentukan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan informasi yang diperlukan, (9) Menggunakan kalimat terbuka, (10) Menyelesaikan masalah yang mirip atau yang lebih mudah, dan (11) Mengubah sudut pandang. Para guru dapat memberikan masalah yang beragam cara penyelesaiannya, sehingga para siswa berkesempatan untuk mencoba beberapa strategi untuk mendapatkan berbagai pengalaman belajar. Jika ditinjau dari jenis masalah yang diselesaikannya, Kirkley (2003) menyebutkan ada 3 jenis masalah, yaitu: (1) Masalahmasalah yang terstruktur dengan baik (well structured problems), (2) Masalah-masalah yang terstruktur secara cukup (moderately structured problems), dan (3) Masalahmasalah yang strukturnya jelek (ill structured problems). Masalah yang terstuktur dengan baik, strategi untuk menyelesaikannya biasanya dapat diduga, mempunyai satu jawaban yang benar, dan semua informasi awal biasanya bagian dari pernyataan masalahnya. Masalah yang terstruktur secara cukup, sering mempunyai lebih dari satu strategi penyelesaian yang cocok, mempunyai satu jawaban yang benar, dan masih memerlukan informasi tambahan untuk menyelesaikannya. Masalah-masalah yang strukturnya jelek, penyelesaiannya tidak terdefinisi dengan baik dan tidak terduga, mempunyai banyak perspekif, banyak tujuan, dan banyak penyelesaian, serta masih memerlukan informasi tambahan untuk menyelesaikannya. Berbagai jenis masalah perlu diberikan kepada siswa secara bertahap. Adalah penting bagi seorang guru matematika untuk memahami bahwasanya orientasi di dalam pendidikan adalah peserta didik. Menurut Hudoyo (1988) peserta didik harus dibekali bagaimana belajar itu sebenarnya. Karena itu peserta didik harus dilatih menyelesaikan berbagai jenis masalah. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
407
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Demikian pentingnya aspek pemecahan masalah ini dalam belajar matematika, sehingga NCTM (2000) menyebutkan bahwa program-program pembelajaran dari pra TK hingga kelas 12
seharusnya memungkinkan semua siswa untuk mampu: (1)
Membangun pengetahuan matematis yang baru melalui pemecahan masalah, (2) Memecahkan permasalahan yang muncul di dalam matematika dan di dalam kontekskonteks lain, (3) Menerapkan dan mengadaptasi beragam strategi yang sesuai untuk memecahkan permasalahan, dan (4) Memonitor dan merefleksi pada proses pemecahan masalah matematis.
c. Kemampuan Pemecahan Masalah Memperhatikan pengertian masalah, pentingnya siswa belajar pemecahan masalah, langkah-langkah dan strategi pemecahan masalah, seperti tersebut di atas, maka memiliki kemampuan pemecahan masalah tidak hanya penting untuk siswa, tetapi juga penting untuk mahasiswa, khususnya mahasiswa calon guru matematika. Pentingnya kemampuan pemecahan masalah bagi seorang calon guru matematika, seperti halnya kemampuan yang lain, yaitu penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi, maupun representasi matematik, terbukti dari ditentukannya standar untuk kemampuan-kemampuan tersebut dalam NCTM (National Council of Teachers of Mathematics, 2003). Seorang calon guru matematika haruslah mengetahui, memahami, dan dapat menerapkan proses dari pemecahan masalah matematika. Lebih-lebih bagi seorang calon guru matematika, tidaklah cukup hanya mempunyai kemampuan pemecahan masalah untuk dirinya sendiri, sebab kelak jika ia telah menjadi guru, ia akan mempunyai tugas yang berat, yaitu membimbing siswanya agar memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah matematika. Indikator yang dapat menunjukkan apakah seorang calon guru matematika telah mempunyai kemampuan pemecahan masalah, menurut NCTM (2003) adalah: (1) Menerapkan
dan
mengadaptasi
berbagai
pendekatan
dan
strategi
untuk
menyelesaikan masalah, (2) Menyelesaikan masalah yang muncul di dalam matematika atau di dalam konteks lain yang melibatkan matematika, (3) Membangun
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
408
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pengetahuan matematis yang baru lewat pemecahan masalah, dan (4) Memonitor dan merefleksi pada proses pemecahan masalah matematis. Terkait
dengan
indikator
pertama,
yaitu
mampu
menerapkan
dan
mengadaptasi berbagai pendekatan dan strategi untuk menyelesaikan masalah ini sangat penting bagi seorang calon guru terkait dengan tugasnya nanti dalam membimbing siswa menyelesaikan masalah. Kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang muncul di dalam matematika atau di dalam konteks lain yang melibatkan matematika, penting bagi seorang calon guru matematika agar ia mempunyai cukup ketrampilan yang akan digunakannya untuk membimbing siswa belajar matematika nantinya, apalagi jika dikaitkan dengan perlunya siswa belajar matematika dalam konteks yang beragam, sebagaimana disarankan dalam pendekatan kontekstual. Indikator ketiga, yaitu mampu membangun pengetahuan matematis yang baru lewat pemecahan masalah, terutama terkait dengan perlunya seorang calon guru matematika mampu memilih dan mengembangkan masalah dan penyelesaiannya, agar nanti iapun kelak jika telah menjadi guru akan dapat mengarahkan para siswanya belajar berbagai ketrampilan matematis, dan membangun gagasan-gagasan matematis yang penting. Memonitor dan merefleksi pada proses pemecahan masalah matematis, bermakna bahwa untuk menjadi seorang pemecah masalah yang baik, seorang calon guru matematika haruslah mampu secara kritis meninjau sendiri apa strategi penyelesaian yang sudah dipilihnya. Bransford (dalam NCTM, 2000) menyatakan bahwa para pemecah masalah yang baik menyadari apa yang sedang mereka lakukan dan seringkali memonitor, atau meninjau sendiri, kemajuan diri mereka sendiri, atau menyesuaikan
strategi-strategi
mereka
saat
menghadapi
dan
memecahkan
permasalahan. Memperhatikan uraian standar dan indikator kemampuan pemecahan masalah seperti tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa seorang calon guru matematika dikatakan telah mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis yang baik jika ia telah mampu: (1) Memahami masalah, (2) Memilih strategi yang tepat untuk Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
409
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
menyelesaikan masalah, (3) Menyelesaikan masalah dengan benar dan sistematis, dan (4) Memeriksa sendiri ketepatan strategi yang dipilihnya dan kebenaran penyelesaian masalah yang didapatkannya. Meskipun sudah terdapat panduan yang menyangkut langkah-langkah dan strategi-strategi umum untuk menyelesaikan suatu masalah seperti tersebut di atas, namun tidak berarti seseorang tidak menemui kendala dalam mempraktekkannya. Beberapa kendala yang mungkin ditemui seseorang dalam menyelesaikan masalah antara lain menyangkut salah interpretasi, ukuran masalah, dan motivasi (Dominowski, 2002). Terkait dengan kendala salah interpretasi, besar kemungkinan hal ini dikarenakan ketidakjelasan deskripsi masalahnya, kerancuan bahasa yang digunakan, atau kekurangtepatan penggunaan istilah, notasi, gambar, tabel atau grafik yang digunakan untuk merepresentasikan masalah tersebut. Dengan demikian, kemampuan untuk memecahkan masalah juga terkait erat dengan kemampuan komunikasi matematis. d. Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah: sebuah contoh Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa calon guru matematika dapat dilakukan melalui perkuliahan dengan pendekatan berbasis masalah (Problem Based Learning, PBL). Pendekatan perkuliahan berbasis masalah yang mempunyai karakteristik: (1) Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang, (2) Para mahasiswa bekerja dalam kelompok kecil, dan (3) Dosen mengambil peran sebagai ”fasilitator” dalam perkuliahan; diyakini cukup menjanjikan kemungkinan untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa. PBL menampilkan perkuliahan sebagai kegiatan pemecahan masalah bagi mahasiswa. Dalam rangka untuk menyelesaikan masalah tersebut para mahasiswa akan belajar dalam kelompok kecil, saling mengajukan ide kreatif mereka, berdiskusi, dan berfikir secara kritis (Roh, 2003). Juga, mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan pendekatan PBL mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk belajar proses matematika yang berkaitan dengan komunikasi, representasi, pemodelan, dan penalaran. Dibandingkan pendekatan pembelajaran tradisional, PBL Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
410
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
membantu para mahasiswa dalam mengonstruksi pengetahuan dan ketrampilan penalaran (Tan, 2004). Untuk memberi gambaran bagaimana cara mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa melalui PBL, berikut ini diberikan sebuah contoh implementasi PBL dalam perkuliahan Matematika Diskret untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika di FMIPA UNY. Perkuliahan Matematika Diskret, 3 sks, untuk mahasiswa semester V, secara khusus dirancang untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa calon guru matematika.. Pada prinsipnya, mata kuliah Matematika Diskret berisi bahasan konsepkonsep, prinsip-prinsip, prosedur atau algoritma tentang dasar-dasar kaidah pencacahan, permutasi, kombinasi, relasi rekurensi, fungsi pembangkit, dan graf, serta penerapannya dalam berbagai bidang. Menguasai dengan baik mata kuliah ini akan sangat membantu mahasiswa calon guru matematika dalam mempelajari penerapan matematika dalam berbagai bidang, seperti dalam teori peluang, hitung keuangan, masalah transpotasi, riset operasi, dan ilmu komputer. Mata kuliah Matematika Diskret dipandang tepat disampaikan menggunakan pendekatan berbasis masalah mengingat karakteristik topik-topik yang dibahas memuat banyak terapan dalam berbagai bidang. Buku Discrete Mathematics and Its Applications karangan Rosen, H. K terbitan McGraw-Hill tahun 1999 menyajikan banyak sekali contoh-contoh dan soal-soal Matematika Diskret yang beragam. Oleh karena itu, selalu tersedia banyak dan beragam pilihan masalah yang dapat digunakan dosen untuk memandu perkuliahan. Meskipun buku teks Matematika Diskret banyak yang menyajikan contoh dan soal yang beragam, namun masih diperlukan handout atau bahan ajar yang harus dirancang secara khusus, disesuaikan dengan pendekatan perkulihan yang dipilih, yaitu PBL. Dimulai dengan pemberian masalah, dengan tingkat kesulitan yang beragam, mulai dari yang lebih mudah ke yang lebih sukar, mahasiswa belajar memahami masalah, memilih strategi penyelesaian, menyelesaikan masalahnya, dan mengecek penyelesaian yang diperolehnya. Pada menit-menit awal perkuliahan mahasiswa diberi kesempatan untuk memahami masalah dan memikirkan strategi penyelesaiannya Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
411
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
secara mandiri/individual, kemudian baru diberikan kesempatan diskusi dalam kelompok untuk mengklarifikasi pemahaman dan strategi yang dipilihnya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Adanya topik-topik
yang berkaitan dalam
Matematika Diskret, misalnya Kombinatorika, Relasi Rekurensi, dan Fungsi Pembangit, menjadikan masalah yang harus diselesaikan mahasiswa dapat dipilih yang open-ended (multi strategi), sehingga sangat memungkinkan terjadinya diskusi, sebagaimana dianjurkan dalam PBL.
Penutup Kendala yang dihadapi seorang dosen dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa calon guru matematika antara lain adalah dalam pemilihan masalah yang dimaksudkan untuk memandu perkuliahan. Kendala ini muncul mengingat keragamam mahasiswa dalam satu kelas pada umumnya. Pertanyaan atau soal yang menjadi masalah bagi seseorang atau sekelompok mahasiswa, belum tentu merupakan masalah bagi mahasiswa atau kelompok lain. Sharing pengetahuan, wawasan, dan pengalaman antar dosen mata kuliah yang sama dapat menjadi solusi untuk kendala ini.
Daftar Pustaka Alfeld,
Peter. (1996). Understanding Mathemathics.[online]. http://www.math. utah.edu/~pa/math/polya.html. [ 10 Juli 2007].
Tersedia:
Bell, F. H. (1978). Teaching and Learning Mathematics. USA: Wm.C. Brown Company Publishers. Dominowski, R.L. (2002). Teaching Undergraduates. New Jersey: Lawrence Erlbaum Assosiates Publishers. Hall, A. (2000) Math Forum: Learning and Mathematics: Common –Sense Questions – Polya. [Online]. Tersedia: http://mathforum.org/~sarah/discussion.Sessions/ Polya.html. [15 Juli 2007]. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
412
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Hudoyo, Herman. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kirkley, Jamie. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. Plato Learning, Inc. National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Prinsiples and Standards for School Mathematics. Reston: NCTM. National Council of Teachers of Mathematics. (2003). NCTM Program Standards. Programs for Initial Preparation of Mathematics Teachers. Standards for Secondary Mathematics Teachers. [Online]. Tersedia: http://www.nctm.org/ uploadedFiles/Math_Standards/ [ 10 Maret 2008]. Roh, Kyeong Ha. (2003). Problem-Based Learning in Mathematics. Dalam ERIC Digest. ERIC Identifier: EDO-SE-03-07. [Online]. Tersedia: http://www.ericdigest.org/. [4 Desember 2007]. Rosen, H. K. (1999). Discrete Mathematics and Its Applications. Singapore: McGrawHill. Schoenfeld, H.A. (1994). Mathematical Thinking and Problem Solving. New Jersey: Lawrence Erlbaum Assosiates Publishers. Suherman, Erman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI dan IMSTEP JICA. Tan, Oon-Seng. (2004). Cognition, Metacognition, and Problem-Based Learning, in Enhancing Thinking through Problem-based Learning Approaches. Singapore: Thomson Learning.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
413
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-26 PANDANGAN MATEMATIKA SEBAGAI AKTIVITAS INSANI BESERTA DAMPAK PEMBELAJARANNYA Oleh: Sugiman Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak Perbedaan pandangan terhadap matematika mempengaruhi perbedaaan pembelajarannya. Trend sekarang memandang bahwa matematika sebagai aktivitas insani dengan menerapkan paradigma belajar. Melalui belajar matematika sekolah, siswa tidak hanya belajar matematika namun juga kegunaan matematika dalam kehidupan sehingga mereka tumbuh menjadi warga negara yang mempunyai kemampuan literasi matematis. Pembelajaran matematika di kelas bersifat kolaboratif dan bermula dengan pemberian soal pemecahan masalah yang konstekstual dan kemudian melalui tahapan enaktif, ikonik, dan simbolik siswa mengalami proses matematisasi horisontal dan vertikal. Kata kunci: aktivitas insani, literasi matematis, kolaboratif, matematisasi.
A. Pendahuluan Perbedaan pandangan terhadap matematika muncul sejak zaman dahulu sampai sekarang. Perbedaan pandangan ini dipengaruhi oleh filsafat yang dianutnya. Sedikitnya ada tiga aliran besar dalam filsafat matematika, yaitu Platonisme, Formalisme, dan Intuisionisme. Para penganut Platonisme menganggap bilangan adalah abstrak, memerlukan eksistensi objek, dan bebas dari akal budi manusia. Menurut aliran Formalisme, matematika adalah tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa
matematika
(mathematical
language).
Sedangkan
menurut
paham
Intuisionisme, matematika adalah suatu kreasi dari akal budi manusia (Anglin, 1994: p. 218-219). Aliran keempat yang sering tidak disebut adalah Eklektisisme yakni faham yang memadukan ketiga filosofi di atas. Perbedaan sudut pandang terhadap matematika mengakibatkan perbedaan dalam mengembangkan dan mengajarkan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
414
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
matematika. Seiring dengan perbedaan tersebut, berkembang pula berbagai teori belajar mengajar matematika. Sampai saat ini terdapat banyak ahli pendidikan yang mengembangkan teori belajar dan mengajar. Tokoh-tokoh tersebut misalnya Jean Piaget dengan teori perkembangan mental, Vygotsky dengan teori ZPD, Jerome S. Bruner dengan metode penemuan dan teori scaffolding, Zoltan P. Dienes mengenai pengajaran matematika, Van Hiele dalam pengajaran geometri, Albert Baruda dengan belajar menirunya, Ausubel dengan belajar bermakna, Robert M. Gagne dan B.F. Skinner dalam paham tingkah laku, dan Freudenthal dengan Matematika Realistik (Vygotsky, 1978; Hudojo, 1988; Dahar, 1996; Gravemeijer, 1994; Oakly, 2004; Ruseffendi, 2006). Secara umum terjadi perubahan trend strategi dalam pembelajaran matematika dari masa ke masa. Trend ini terjadi di seluruh dunia walaupun tidak dalam waktu yang bersamaan. Di masa lalu pada permulaan abad ke-20, otak dianggap tersusun atas fakulti-fakulti yang perlu dilatih sehinga pembelajaran matematika dianggap sebagai latihan mental (Ruseffendi, 2006: h. 129). Akibatnya materi yang diberikan adalah yang sulit, semakin sulit semakin bagus. Pada saat ini paradigma tersebut bergeser menuju pada paradigma belajar yang mana pelaksanaan pembelajaran lebih mengedepankan pada kepentingan siswa. Terkait dengan hal ini, Canfied dan Hansen (2004: hal. 3) mengutip ungkapan Meladee McCarty bahwa “Anakanak di dalam kelas kita mutlak lebih penting daripada pelajaran yang kita ajarkan kepada mereka. “ Penempatan anak yang merupakan sasaran pertama dalam sistem pendidikan sudah menjadi program UNESCO. UNESCO menetapkan arah dari pendidikan berupa learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Namun demikian dalam rembug nasional yang yang selenggarakan oleh Balitbang-Depdiknas (2007) menyebutkan bahwa empat konsep UNESCO harus ditambah dengan learning to learn agar pembelajaran dapat berlangsung sepanjang hayat, sehingga pendidikan yang diberikan dalam dunia pendidikan formal seyogyanya dapat memberikan pembelajaran untuk belajar sepanjang hayat. Konsep learning to learn telah lama dikemukakan oleh dikemukakan oleh Jerome Bruner (dalam Bell, 1981, p. 69). Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
415
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Lange (1992) memandang bahwa pembelajaran matematika yang baik adalah yang memperhatikan pada tiga dimensi tujuan, terlihat pada Gambar 1, yakni dimensi menjadikan warga yang cerdas melalui literasi matematis, dimensi penyiapan ke dunia kerja dan ke sekolah lanjutan, dan dimensi matematika sebagai suatu disiplin. Di tingkat nasional, Kurikulum 2006 menyebutkan bahwa melalui pembelajaran matematika siswa dibekali dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan ini berguna dalam memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Dunia kerja dan sekolah lanjutan
Warga yang literasi matematik
Matematika sebagai disiplin ilmu Gambar 1. Dimensi Tujuan Pembelajaran Matematika (Lange, 1992)
Dalam kenyataannya tidak mudah agar perubahan paradigma berjalan di sekolah-sekolah. Dalam sebuah seminar, secara jujur, seorang guru mengungkapkan mengenai kekurangsiapannya dalam menerapkan paradigma belajar. Ia menyebutkan bahwa para guru banyak yang takut apabila tidak bisa menjawab pertanyaan siswa, itulah sebabnya mengapa siswa tidak dirangsang guru agar bertanya dan bertanyatanya
(Panca, 2003). Perubahan paradigma tersebut tidak mungkin berlangsung
secara serta merta, namun melalui proses yang panjang dan harus diupayakan secara terus menerus. Ungkapan Panca (2003) di atas didukung dengan penemuan dari Sato (2007) yang berdasarkan pengalamannya dalam kegiatan IMSTEP-JICA di Indonesia, ia mengemukakan bahwa sebagian besar guru di Indonesia masih menerapkan metode konvensional dengan ciri-ciri: Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
416
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
1. Guru memberikan perintah pada sekelompok siswa dengan metode ceramah. 2. Pertanyaan yang diajukan guru kepada siswa masih berupa pertanyaan sederhana, seperti “apakah ini?“ dan “apakah ini benar?” 3. Apabila siswa dikategorikan dalam kelom pok “atas, “menengah”, dan “bawah”; materi buku teks yang digunakan lebih cocok bagi tingkat menengah dari kelompok atas siswa. 4. Guru cenderung mengelola pelajaran bagi tingkat menengah dari kelompok atas siswa. 5. Siswa yang mampu memetik ilmu hanyalah mereka yang dalam kelompok menengah.
Dari uraian di atas tampak bahwa problematika pembelajaran matematika di Indonesia masih terjadi, walaupun secara formal Indonesia telah meratifikasi program UNESCO. Problematika ini muncul akibat dari pandangan guru terhadap matematika yang masih dipengaruhi oleh faham matematika sebagai ilmu berhitung dan aliran matematika modern dan pandangan guru terhadap pembelajaran matematika yang masih dipengaruhi pembejajaran tradisional ataupun konvensional. Secara umum, guru belum memberdayakan siswa selama pembelajaran matematika, yang baru dilaksanakan guru masih berkisar pada pelaksanaan langkah-langkah ‘pengajaran.’ B. Matematika sebagai Aktivitas Insani Pandangan terhadap tentang apa itu matematika akan berpengaruh pada cara pembelajaran matematika itu sendiri. Oleh karena itu akan diulas sekilas tentang apa itu matematika sebagai penopang pembelajaran matematika. Sejak zaman dahulu terjadi perbedaan dalam memandang apa itu matematika. Padahal sebagaimana kita tahu, matematika itu sendiri adalah tunggal, hanya saja matematika dapat dilihat dari berbagai sudut berbeda yang sebenarnya satu sama lain saling melengkapi bukan saling kontradiksi. Plato bersama penganutnya yang disebut platonisme memandang bahwa matematika berasal dari kerajaan Tuhan yang turun ke bumi (Matematics descends from a divine realm) sedangkan Aristotheles beserta penganutnya yang Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
417
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
disebut dengan aristotelisme berpendapat bahwa matematika tumbuh dari permasalahan kehidupan insani (Mathematics ascends from the human animal) (Anglin, 1994: p. 1). Apabila ditilik dari prosesnya maka matematika pada permulaannya bermula dari masalah situasional kehidupan insani. Kemudian melalui proses idealisasi, abstraksi, dan generalisasi berkembang menuju kepada ilmu matematika formal. Pada akhirnya, dalam pembuktian matematika formal yang berlaku adalah cara berfikir yang deduktif dan menolak cara berfikir induktif. Oleh karenanya bukti dengan induksi matematikapun juga memakai cara berfikir deduktif (Ruseffendi, 2006). Dari tingkatan masalah situasional menuju tingkatan matematika formal terdapat dua tingkatan antara, yakni tingkatan referensial dan tingkatan general sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2 (Gravemeijer, 1994: p. 102). Mathematics formal General Referensial Situational
Gambar 2. Tingkatan Matematisasi Proses yang dimulai dari masalah-masalah situasional insani berpindah menuju pada matematika formal dialami oleh setiap orang. Secara mudah dikatakan bahwa setiap aktivitas insani selalu melibatkan matematika baik secara langsung maupun tidak langsung. Olah karenanya
Hans Freudenthal, seorang matematikawan dari
Belanda, mengemukakan gagasan bahwa matematika dianggap sebagai akvititas insani (mathematics as human activity) (Lange, 2000; Hadi, 2005). Kiranya pandangan Freudenthal tentang matematika sesuai bila diterapkan dalam pembelajaran matematika di sekolah.
C.
Matematika Sekolah Tidak semua siswa, bahkan mungkin hanya sedikit siswa, yang belajar matematika
akan menjadi matematikawan di kelak kemudian hari. Oleh karena alasan itulah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
418
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pembelajaran matematika di sekolah harus memperhatikan kegunaannya bagi kehidupan insani siswa. Soedjadi (1999) mendefisikan matematika sekolah sebagai bagian-bagian dari matematika yang dipilih dengan orientasi kepada kepentingan kependidikan dan perkembangan IPTEK. Perbedaan matematika sekolah dan matematika sebagai ilmu terletak pada (1) penyajian, (2) pola pikir, (3) keterbatasan semesta, dan (4) tingkat keabstrakannya. Pendefinisian matematika sekolah di atas baru terbatas pada yang berhubungan dengan objek dalam pembelajaran matematika yang bersifat langsung. Terdapat dua macam objek dalam matematika, yakni objek langsung dan tak langsung. Objek belajar matematika yang langsung meliputi konsep, fakta, prinsip, dan keterampilan. Sedangkan objek taklangsung meliputi pembuktian teorema, pemecahan masalah, belajar bagaimana belajar, pengembangan intelektual, bekerja secara individu, bekerja dalam kelompok, dan sikap positif terhadap matematika (Bell, 1981; Ruseffendi, 2006). Dengan demikian sasaran pembelajaran matematika sekolah tidak hanya pada objek langsung matematika saja, bilamana demikian maka pembelajaran matematika dapat berubah menjadi kering dari konteks, kurang bermakma (meaningless), dan sulit tersimpan dalam long-term memory siswa (Matlin, 2003). Objek tak langsung matematika tidak boleh diabaikan karena hal itu akan menghilangkan ruh yang terkandung dalam matematika. Bagaimana dengan pembelajaran matematika di Indonesia? Pada dasarnya, secara nasional, telah ditetapkan berbagai kompetensi yang harus dikuasai siswa terhadap mata pelajaran matematika. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 22 dan No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Standar Kelulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada kedua instrumen hukum tersebut telah dijelaskan bahwa pembelajaran matematika di sekolah harus meliputi objek langsung dan objek tak langsung. Siswa diharapkan menjadi literasi (melek) matematika. Peraturan Menteri di atas dalam meningkatkan kemampuan literasi matematika siswa sejalan dengan program pembelajaran
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
419
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
matematika yang dicanangkan di banyak negara di luar negeri. Programme for International Student Assessment (PISA) memaknai literasi matematika sebagai: “Mathematical literacy is an individual’s capacity to identify and understand the role that mathematics plays in the world, to make well founded judgments and to use and engage with mathematics in ways that meet the needs of that individual’s life as a constructive, concerned and reflective citizen” (PISA, 2003). Lebih lanjut PISA (2003) membagi dimensi literasi matematika menjadi berikut. 1. Dimensi isi yang meliputi: (a) ruang dan bentuk, (b) perubahan dan relasi,
(c)
kuantitas, dan (d) ketidakpastian (uncertainty). 2. Dimensi proses meliputi: (a) reproduksi definisi dan komputasi, (b) koneksi dan terintegrasi untuk pemecahan masalah, dan (c) refleksi terhadap berfikir matematis, generalisasi, dan pengertian. 3. Dimensi situasi/konteks meliputi: (a) personal, (b) pendidikan dan pekerjaan,
(d)
masyarakat, dan (e) sains atau intra-matematika. Dari penjelasan di atas tampak bahwa literasi matematika terkait dengan kemampuan siswa dalam menggunakan matematika untuk menghadapi masalahmasalah yang ada pada kehidupannya sehingga literasi matematika cocok sebagai materi matematika sekolah. Bahkan, lebih dari itu, Jacobs (2007) berpendapat bahwa literasi matematika mendidik siswa dalam memasuki budaya demokrasi.
D.
Pembelajaran Matematika Berbasis Aktivitas Insani Lange (2006) menyatakan bahwa banyak negara mempunyai tiga tujuan utama
dalam pendidikan matematika dalam kerangka agar warga negaranya menjadi insan yang melek (literasi) matematika, yaitu: 1. Menyiapkan siswa untuk bermasyarakat; 2. Menyiapkan siswa untuk melanjutkan sekolah dan bekerja; dan 3. Memperlihatkan kepada siswa tentang indahnya disiplin (the beauty of discipline). Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
420
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pertanyaannya kemudian adalah pembelajaran yang bagaimana yang dapat meningkatkan literasi matematika sehingga siswa menjadi insan yang berdaya guna bagi masyarakatnya? Dalam bukunya yang berjudul Cognition, Matlin (2003) menekankan agar konsep-konsep (matematika) bermanfaat dan tersimpan lama dalam Long-Term Memory siswa, tidak sekedar tersimpan dalam short-term memory, maka pembelajaran yang dilakukan hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip berikut. 1. Pelajaran harus bermakna (meaningfull) bagi siswa. 2. Siswa didorong untuk mengembangkan apa yang dipelajari secara kaya. 3. Siswa melakukan encoding ketika mempelajari matematika dalam bentuk elaborasi. 4. Siswa mengaitkan materi pelajaran dengan pengalaman diri sebagai bentuk dari self-reference effect. Pembelajaran
bermakna
(meaningfull)
merupakan
kata
kunci
dalam
memberdayakan siswa. Gagasan pembelajaran bermakna pertamakali dikemukakan oleh David Ausubel (Budiningsing, 2005; Ruseffendi, 2006). Ems dkk (2005) memberi nama belajar bermakna dengan Natural Learning. Ciri-ciri belajar natural menurutnya adalah: (1) Belajar akan menjadi natural bila bermakna, (2) Siswa mempelajari bagaimana menerapkan apa yang dipelajari bagi kehidupan profesionalnya, dan (3) Siswa mengembangkan kualitas diri untuk mampu menyelesaikan masalah realitas yang kompleks. Kembali ke pengertian bahwa siswa yang berdaya guna harus mempunyai kemampuan literasi matematika. Lange (2006) menyebutkan bahwa kata literasi terkait dengan masalah “nyata” yang berarti bahwa masalah tersebut bukan “murni” matematika. Pada dasarnya, siswa mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah nyata dengan menggunakan apa yang dipelajarinya di sekolah dan berdasarkan pengalaman di luar sekolah. Proses yang mendasari hal itu adalah proses matematisasi. Gagasan proses matematisasi dari Lange (2006) sejalan dengan proses penyelesaian masalah dari Polya. Ciri-ciri proses matematisasi tersebut adalah
(1)
bermula dari masalah realitas, (2) pengidentifikasian konsep matematika yang relevan dengan masalah tersebut, (3) secara bertahap membawa masalah realitas ke dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
421
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dunia matematika, (4)
menyelesaikan masalah matematika yang diperolehnya, dan
(5) memberikan makna penyelesaian terhadap masalah semula. Melalui proses matematisasi ini sebenarnya siswa melakukan belajar bermakna dengan starting point pembelajaran pada masalah-masalah kontekstual. Sebagai contoh, penulis memberikan masalah kepada para siswa kelas 3 SD Muhammadiyah Bodon Yogyakarta dengan menggunakan model dari Hudojo (2003) seperti pada Gambar 3.
Pengetahuan Objektif Matematika
Pengetahuan baru (Konsepsi siswa setelah belajar)
Rekonstruksi Matematika (Individu)
Rekonstruksi Matematika (Kolaborasi-Scaffolding) Mengkaji/Menyelidiki
Siswa A
Siswa B Mengevaluasi Perangkat belajar
Menjelaskan
Memperluas
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 Guru
Pengetahuan Subjektif Matematika
Konsepsi awal
422
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Gambar 3. Proses Konstruksi Matematika Siswa secara Kolaboratif
Problem kontekstual yang diberikan kepada siswa adalah mereka diminta menentukan banyaknya kubus maksimal yang dapat termuat dalam kotak makanan. Para siswa membawa berbagai ukuran kardus tempat makanan seperti tempat snack, tempat roti, dan tempat kue. Sedangkan kubus-kubus disediakan namun dengan jumlah yang dibatasi yakni paling banyak hanya cukup untuk menutupi alas. Dalam menyelesaikan problem, siswa bekerja secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri dari 3-4 siswa. Dari hasil observasi, para siswa ternyata menyelesaikan masalah tersebut melalui tahapan-tahapan dalam teori Bruner yakni melalui aktivitas enaktif , ikonik, dan kemudian simbolik (Ruseffendi, 2006: h. 151). Dokumentasi aktivitas siswa tampak pada Gambar 4.
a.Enaktif
c. Representasi Ikonik
b. Reprensentasi Ikonik
d. Representasi Simbolik
Gambar 4. Tiga Ragam Aktivitas Menurut Bruner Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
423
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Dari sudut pandang RME (Realistic Mathematics Education), Gambar 4 menggambarkan aktivitas matematisasi dimana melalui materi non-matematis para siswa menggunakan bahasa simbol yang informal kemudian membawanya menjadi lebih matematis (Suryanto, 2000: h. 111). Secara lebih khusus Gambar 4. a dan b merupakan aktivitas matematisasi horizontal dimana siswa masih menggunakan alat peraga dan bahasa informal matematika sedang pada Gambar 4.b siswa menunjukkan sudah berada dalam matematisasi vertikal dimana mereka telah bekerja dalam simbolsimbol matematika dalam menyelesaikan masalah (Armanto, 2003: p. 36; Hadi, 2005: h. 21-22). Permasalahan di atas dikerjakan siswa di dalam kelas secara kolaboratif dalam kelompok kecil 3-5 orang tiap kelompok. Secara teoritis, melalui kegiatan kolaborasi memungkinkan apa yang dipelajari siswa melebihi batas yang dituntut guru dan terjadinya loncotan belajar (Sato, 2007). Dalam contoh pembelajaran di atas, loncatan belajar terjadi dalam bentuk siswa mulai menggagas rumus menghitung volum kubus. Loncatan belajar ini merupakan scaffolding yang efektif ketika nanti siswa belajar volum. Contoh di atas merupakan pembelajaran yang berbasis aktivitas insani. Pembelajaran diawali dengan masalah-masalah kontekstual kemudian dilanjutkan dengan melakukan kegiatan doing math dimana dalam menyelesaikannya dengan menggunakan cara informal maupun formal matematika. Kemampuan menyelesaikan masalah tersebut merupakan ujud dari literasi matematika. E. Penutup Di Indonesia, pencanangan menciptakan generasi yang handal sudah dimulai sejak lama dengan program wajib belajarnya. Wajib belajar (wajar) 9 tahun tersebut dimulai tahun 1993. Masalah yang belum tuntas adalah dalam menentukan matematika mana yang sebaiknya diajarkan dalam wajar tersebut dan pembelajaran yang seperti apa yang cocok. Berdasarkan kajian singkat di atas, pandangan matematika sebagai aktivitas insani rupanya merupakan pilihan yang tepat dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
424
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
kerangka menjadikan warga negara Indonesia menjadi literasi dalam matematika. Kemampuan literasi matematika harus dikuasai oleh setiap warga Indonesia dalam menuju “mathematics for all”. Fungsi dari mathematics for all tentu saja harus (1) mendasari matematika lebih lanjut serta (2) dapat diaplikasikan dalam kehidupan keseharian umumnya bagi mereka yang tidak akan melanjutkan studinya (Soedjadi, 1999). Perlu diyakini bahwa secara teori kita mampu memberdayakan siswa agar menjadi insan yang berguna bagi masyarakat di sekitarnya dan sekaligus siap untuk melanjutkan studi melalui cara menerapkan pembelajaran yang bermakna. Melalui pembelajaran bermakna maka siswa akan menjadi mahir matematika karena ia tidak hanya belajar objek langsung matematika namun juga belajar objek tak langsung matematika.
Masalah yang merupakan tantangan adalah bagaimana agar teori
tersebut dapat diimplementasikan di sekolah. Untuk itu perlu kesadaran dan usaha bersama agar dalam mengajar matematika guru tidak menyampaikan matematika secara kering tanpa konteks, namun pembelajaran matematika harus disertai dengan ruh matematika itu sendiri.
F. Referensi Anglin, W.S. (1994). Mathematics: A Concise History and Pholosophy. New York: Springer Verlag. Anonim (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Anonim (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kemampuan Lulusan. Armanto, Dian (2002). Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesian Primary School: A Prototype of Local Instructional Theory. Disertasi. Enschede: PrintPartner Ipskamp. Balitbang-Depdiknas . 2007. Rembug Nasional Pendidikan Tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional. Bell, Frederick H. (1981). Teaching and Learning Mathematics: In Secondary Schools. Second Printing. Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown. Company. Budiningsih, C. Asri (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Canfied, Jack dan Hansen, Mark Vivtor (2004). Chicken Soup for The Teacher’s Soul. Alih Bahasa: Rina Buntaran. Jakarta: Gramedia. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
425
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Dahar, Ratna Wilis (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Ems, Alex van dkk. (2005). Natural Leaning dalam Twenty Two Theories. Utrecht: APS International Ltd. Gravemeijer, Koeno (1994). Developing Realistics Mathematics Education. Utrecht: CD β Press. Hadi, Sutarto (2005). Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Penerbit Tulip. Hudojo, Herman (1998). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan. Hudojo, Herman (2003). Guru Matematika Konstruktivis. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Pusat Studi Pembelajaran Matematika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 27-28 Maret 2003. Jacobs, Mark (2007). Mathematical Literacy for South Africa. Download tanggal 19 November 2007. Artikel tersedia di flightline.highline.edu/waccmath/ LinksFromConference. Lange, Jan de. 1992. No Change without Problems. Tersedia dalam CD-Rom of Freundenthal Institute for ICME9 in Japan, July 2000. Lange, Jan de. 2000. Freudenthal Institute. CD-Rom in Brochure for the 9th International Congress on Mathematical Education (ICME9) in Japan, July 2000. Lange, Jan de (2006). Mathematical Literacy for Living From OECD-PISA Perspective. Proceeding Seminar. Download 5 Oktober 2007. Tersedia di www.criced.tsukuba. ac.jp/math/apec 2006/pdf/ Matlin, Margaret W. (2003). Cognition. Fifth Edition. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Oakly, Lisa (2004). Cognitive Development.London: Routledge-Taylor & Francis Group. Panca, Hellena R. (2003). Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika dari Paradigma Mengajar ke Paradigma Belajar. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Pusat Studi Pembelajaran Matematika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 27-28 Maret 2003. PISA (2003). The PISA 2003 Assessment Framework- Mathematics, Reading, Science and Problem solving Knowledge and Skill. Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA: Perkembangan Kompetensi Guru. Edisi Revisi. Bandung: Penerbit Tarsito. Sato, Manabu. (2007). Tantangan yang Harus Dihadapi Guru. Dalam Bacaan Rujukan untuk Lesson Study: Sisttems (Strengthening In-service Training of Mathematics and Science Education at Junior Secondary Level). Dirjen PMPTK-Depdiknas dan JICA. Soedjadi (1999). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Suryanto (2000). Pendekatan Realistik: Suatu Inovasi Pembelajaran Matematika. Cakrawala Pendidikan, Juni 2000 Th. XIX No. 3.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
426
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Editor Michael Cole dkk. Cambridge: Harvara University Press.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
427
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-28 Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP melalui Penerapan Pembelajaran Kontekstual Pesisir 1) Kadir2) Abstrak: Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP melalui penerapan pembelajaran kontekstual pesisir. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan serta eksperimen. Subyek sampel penelitian dipilih secara acak dari dua kelas VIII pada SMP Negeri 1 Kapontori (sekolah sedang) dan dua kelas VIII pada SMP Negeri 1 Batauga (sekolah rendah) dan membaginya ke dalam kelas eksperimen yang mendapat pembelajaran kontekstual pesisir (PKP) dan kelas kontrol mendapat pembelajaran konvensional (PKV). Instrumen penelitian ini adalah pretes dan postes kemampuan pemecahan masalah matematik, lembar observasi aktivitas siswa dan guru, dan pedoman wawancara siswa, guru, dan tokoh masyarakat. Analisis data yang digunakan adalah uji beda rata-rata U atau uji t, ANAVA satu jalan, dan ANAVA dua jalan dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil analisis data menyimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual pesisir lebih efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP di daerah pesisir daripada pendekatan pembelajaran konvensional baik ditinjau dari peringkat sekolah maupun pengetahuan awal matematika siswa. Kata kunci: pendekatan pembelajaran kontekstual pesisir (PKP), kemampuan pemecahan masalah matematik
PENDAHULUAN Pemecahan masalah matematik merupakan salah satu dari lima standar proses dalam NCTM, selain komunikasi, penalaran dan bukti, koneksi, dan representasi matematik. Pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang paling kompleks (Gagne dalam Ruseffendi, 2006: 166) dan merupakan fokus sentral dari kurikulum matematika (NCTM, 1989 dalam Kirkley, 2003: 1). Pengembangan kemampuan pemecahan masalah matematik ini dapat membekali siswa berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Sayangnya, proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan pada jenjang pendidikan formal di daerah pesisir belum mengupayakan terbentuknya kemampuan ini. Hal ini berakibat pada rendahnya kemampuan pemecahan masalah 1)
Hasil Penelitian Hibah Doktor 2009
2)
Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Unhalu Kendari; email:
[email protected]
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
428
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
matematik siswa pesisir sebagaimana terlihat dari rendahnya daya serap siswa terhadap soal cerita dan pemecahan masalah pada ujian nasional matematika SMP (BSNP, 2007, 2008; Kadir, 2009; Kadir et al., 2009). Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa juga disebabkan oleh proses pembelajaran matematika di kelas kurang meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) dan kurang terkait langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari (Shadiq, 2007: 2). Pembelajaran seperti ini tidak sejalan dengan tujuan pemberian matematika pada siswa SMP, yaitu agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah,
dan tidak
sejalan
pula
dengan
prinsip
pengembangan KTSP, yaitu berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya serta relevan dengan kebutuhan kehidupan. Kondisi ini mendorong perlunya suatu inovasi pembelajaran matematika yang memanfaatkan berbagai konteks sumberdaya pesisir Indonesia. Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services) (Dahuri et al., 2001). Sumberdaya pesisir tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan hidup masyarakat pesisir. Bahkan, perilaku destruktif masyarakat seperti pemanfaatan perluasan daratan untuk reklamasi pantai, penebangan pohon bakau (mangrove), pencemaran perairan oleh lumpur, penambatan jangkar perahu, pencemaran limbah, tumpahan minyak, dan lain-lain (Majalah Demersial, April 2007) telah mempercepat laju kerusakan sumberdaya pesisir tersebut. Kondisi tersebut menarik untuk dijadikan masalah kontekstual dalam pembelajaran matematika. Di samping karena dibutuhkan, dan terkait dengan kehidupan sehari-hari, masalah kerusakan potensi pesisir tersebut juga perlu diperkenalkan kepada siswa agar mereka memiliki pengetahuan, kesadaran, keinginan untuk memecahkannya, dan berupaya untuk melestarikan sumberdaya pesisir yang masih ada. SDM pesisir mestinya memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik. Kemampuan ini dapat dilatihkan dalam pembelajaran matematika dengan merancang suatu pembelajaran yang memanfaatkan potensi pesisir sebagai masalah kontekstual. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
429
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Melalui pembelajaran kontekstual yang memanfaatkan potensi pesisir sebagai titik awal pembelajaran matematika atau dalam bentuk soal-soal cerita matematika atau disajikan dalam lembar kerja siswa (LKS) matematika di SMP, siswa dapat mengenal, memahami, menyadari, dan menjadi seorang good problem solver terkait potensi pesisir. Dalam tulisan ini dibahas tentang pemecahan masalah matematik, potensi pesisir dan permasalahannya serta hasil analisis terhadap data ujicoba LKS dan tes pemecahan masalah matematik. Hasil analisis tersebut berguna untuk mengetahui kualitas perangkat dan instrumen penelitian untuk mengungkap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP di wilayah pesisir.
METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan penelitian dan pengembangan (R & D) yang digunakan untuk mengembangkan model pembelajaran kontekstual pesisir (PKP) dan pendekatan penelitian eksperimen untuk menguji efektifitas model PKP dalam upaya peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP di daerah pesisir. Pengujian efektifitas ini diukur berdasarkan signifikansi peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa setelah mendapat pembelajaran dengan model PKP dan perbedaannya dengan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat pembelajaran konvensional (PKV). Pada pendekatan eksperimen, desain penelitian yang digunakan adalah desain faktorial 2 x 2 x 3, yaitu dua pendekatan pembelajaran (PKP dan PKV), dua peringkat sekolah (sedang dan rendah), dan tiga kelompok pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, dan rendah). Di samping itu juga digunakan desain pretest-postest control group design.
2. Subyek dan Lokasi Penelitian Subyek sampel penelitian ditentukan berdasarkan gabungan teknik sampel strata (stratified random sampling) dan sampel bertujuan (purposive sampling). Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
430
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Melalui teknik strata peneliti mengambil sampel kelas VIII siswa SMP pada sekolah peringkat sedang (SMPN 1 Kapontori) dan rendah (SMPN 1 Batauga) Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengambilan subyek sampel dengan teknik sampel bertujuan didasarkan pada kurangnya jumlah kelas dan jumlah siswa pada masingmasing kelas di SMP wilayah pesisir. Dari tiga kelas VIII SMPN 1 Kapontori diambil secara acak dua kelas, yaitu kelas VIIIA mendapat pembelajaran konvensional dengan jumlah siswa 23 orang dan kelas VIIIC mendapat pembelajaran PKP dengan jumlah siswa 28 orang. Sedangkan dari lima kelas VIII siswa pada SMPN 1 Batauga terambil secara acak dua kelas, yaitu kelas VIIIA mendapat pembelajaran PKP dengan jumlah siswa 36 orang dan kelas VIIIB mendapat pembelajaran konvensional dengan jumlah siswa 32 orang. Siswa kedua kelas pada masing-masing sekolah memiliki pengetahuan awal matematika yang relatif sama. Penelitian ini juga melibatkan dua orang guru matematika sebagai observer dan lima orang ahli pendidikan matematika sebagai validator model, perangkat, dan instrumen penelitian.
3. Instrumen Penelitian Untuk memperoleh data dalam peneltian ini digunakan beberapa instrumen: (1) lembar validasi LKS dan RPP; (2) tes kemampuan pemecahan masalah matematik (pretes dan postes); (3) lembar observasi untuk mencatat aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran; (4) pedoman wawancara untuk mengeksplorasi informasi tentang keterlaksanaan model dan kesulitan siswa dalam menjawab tes yang tidak dapat diperoleh dari lembar jawabannya, dan (5) catatan lapangan dan dokumentasi terkait potensi
pesisir
dan
permasalahannya.
Hasil analisis
pertimbangan
validator
menunjukkan bahwa instrumen dan perangkat penelitian ini cukup baik untuk digunakan dalam penelitian. Hasil ujicoba tes kemampuan pemecahan masalah matematik menunjukkan bahwa kelima item tes adalah valid dengan reliabilitas sedang. 4. Teknik Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dianlaisis secara dskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif yang digunakan adalah uji U, uji t uji SNAVA satu jalan, dan uji ANAVA dua jalan serta uji beda lanjut LSD pada taraf signifikansi α = 0,05. Data Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
431
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
yang dianalisis adalah data pengetahuan awal matematika siswa dan data peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika yang sudah tenormalisasi (N-Gain) yang diperkenalkan oleh Hake dan secara sederhana merupakan gain absolut dibagi dengan gain maksimum yang mungkin (ideal), yaitu g=
skor postes − skor pretes . skor maksimal ideal − skor pretes
(Meltzer, 2002: 3)
Untuk melaksanakan keseluruhan pengujian hipotesis ini digunakan paket program statistik SPSS-15 for windows pada α = 0,05.
HASIL PENELITIAN 1. Analisis Deskriptif Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik (KPMM) Data kemampuan pemecahan masalah matematik dikumpulkan dan dianalisis untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematik siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok model pembelajaran, kedua kelompok siswa baik yang mendapat pembelajaran PKP maupun yang mendapat pembelajaran PKV memiliki kemampuan awal pemecahan masalah matematik yang relatif sama. Namun setelah pelaksanaan pembelajaran, rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan PKP sebesar 45,563 dan secara signifikan lebih tinggi daripada yang mendapat pembelajaran PKV yang hanya sebesar 30,760. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang diajar dengan pembelajaran PKP sebesar 33,3 % lebih besar daripada yang mendapat pembelajaran PKV yang hanya sebesar 15,9 %. Ditinjau dari peringkat sekolah, kemampuan awal dan akhir pemecahan masalah matematik siswa sekolah peringkat sedang lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan siswa sekolah peringkat rendah. Rata-rata peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa sekolah sedang sebesar 27,59 % lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswa sekolah rendah yang hanya sebesar 23,5 %.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
432
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Ditinjau dari kelompok PAM, perbedaan kemampuan awal pemecahan masalah matematik siswa pada kelompok PAM tinggi dan kelompok PAM sedang relatif kecil. Perbedaan yang relatif besar terjadi pada siswa kelompok PAM rendah. Pada kelompok ini, kemampuan awal pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat pembelajaran PKP lebih tinggi dari siswa yang mendapat pembelajaran PKV. Namun demikian, setelah ketiga kelompok mendapatkan pembelajaran, terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematik yang signifikan dari semua kelompok siswa antara yang mendapat pembelajaran PKP dan yang mendapat pembelajaran PKV. Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat pembelajaran PKP lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran PKV. 2. Pengujian Signifikansi Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik (KPMM) Hasil pengujian signifikansi peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa (N-Gain) berdasarkan kelompok PAM, peringkat sekolah, dan model pembelajaran menunjukka bahwa ada peningkatan KPMM siswa yang signifikan untuk semua model pembelajaran, peringkat sekolah, dan kelompok PAM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran PKP dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah
matematik
siswa
lebih
besar
daripada
pembelajaran
konvensional. 3. Pengujian Perbedaan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik (KPMM) Hasil pengujian perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa (N-Gain) berdasarkan kelompok PAM, peringkat sekolah, dan model pembelajaran menunjukkan adanya perbedaan peningkatan KPMM siswa yang signifikan antara yang mendapat pembelajaran PKP dan yang mendapat pembelajaran PKV. Peningkatan KPMM siswa yang mendapat pembelajaran PKP lebih besar daripada siswa yang mendapat pembelajaran PKV. Berdasarkan peringkat sekolah, walaupun peningkatan KPMM siswa sekolah sedang lebih besar daripada siswa sekolah rendah namun perbedaan tersebut tidak signifikan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
433
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Berdasarkan pengelompokan PAM, ada perbedaan peningkatan KPMM siswa yang signifikan dari semua kelompok PAM. Perbedaan tersebut terjadi pada siswa kelompok PAM tinggi dengan rendah dan siswa kelompok PAM sedang dengan rendah. Sedangkan peningkatan KPMM pada kelompok PAM tinggi dengan sedang tidak terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan. 4. Pengujian Interaksi Peringkat Sekolah, Model Pembelajaran, dan PAM dalam KPMM Hasil uji interaksi peringkat sekolah, model pembeajaran, dan PAM menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa berdasarkan peringkat sekolah dan interaksi peringkat sekolah, model pembelajaran, dan PAM. Walaupun demikian, PAM dan model pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa penerapan pembelajaran kontekstual pesisir dapat meningkatkan secara signifikan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual pesisir memiliki peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik yang lebih besar daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Beberapa temuan lain sehubungan dengan penerapan pembelajaran kontekstual pesisir dibandingkan dengan pembelajaran konvensional dijelaskan sebagai berikut.
1. Model Pembelajaran Kontekstual Pesisir Model pembelajaran kontekstual pesisir (coast-contextual teaching and learning) adalah suatu model pembelajaran kontekstual yang proses pelaksanaannya diawali oleh penyajian masalah pesisir untuk diselesaikan secara individu pada setiap kelompok kemudian solusi masalah diajukan pada diskusi kelas. Dalam pelaksanaannya, proses ini tidak mudah untuk diikuti oleh siswa SMP di daerah pesisir. Karakteristik kemampuan awal Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
434
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pemecahan masalah matematik siswa yang rendah mengakibatkan siswa perlu lebih sering dibimbing untuk memahami masalah, membuat model matematika, memecahkan masalah, bahkan dalam operasi aljabar matematika. Kondisi ini memerlukan kerja keras guru untuk menguasai permasalahan dan proses penyelesaian masalah yang ada pada LKS, menguasai sintaks pembelajaran, menguasai kelas, mengendalikan diri, dan memiliki berbagai teknik mengajar dan pembimbingan kepada siswa untuk menghadapi berbagai situasi yang muncul di kelas SMP pesisir. Ketertarikan siswa terhadap masalah pesisir yang disajikan harus senantiasa menjadi rujukan guru untuk membangun komunikasi yang positif dengan siswa. Komunikasi tersebut dapat memperlancar proses pemecahan masalah dan penanaman konsep-konsep matematika yang dipelajari kepada siswa. 2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik (KPMM) a. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik berdasarkan model Pembelajaran Hasil analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa yang mendapat pembelajaran PKP dan siswa yang mendapat pembelajaran PKV. Perbedaan peningkatan ini sangat wajar terjadi sesuai dengan karakteristik kedua pembelajaran. Pada pembelajaran PKP, siswa belajar secara aktif dalam kelompok untuk berdiskusi memecahkan masalah pesisir yang ada pada LKS. Kegiatan ini membutuhkan kegiatan mental yang tinggi. Penggunaan masalah pesisir yang terkait dengan kehidupan siswa sehari-hari telah menggugah ketertarikan siswa untuk memecahkan masalah yang disajikan. Penggunaan masalah pesisir dengan berbagai model penyajian juga telah memberikan tantangan bagi siswa untuk memecahkannya secara kelompok atau bertanya kepada guru ketika masalah yang disajikan tidak dipahami. Kegiatan siswa tersebut sangat berbeda dengan kegiatan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran konvensional, siswa belajar berdasarkan petunjuk dan penjelasan guru sesuai dengan buku paket yang digunakan sekolah. Latihan-latihan soal yang digunakan sangat jauh dari kegiatan keseharian siswa dan kurang mengarahkan siswa pada penerapan matematika pada kehidupannya. Siswa pada kelas konvensional lebih banyak mendapat pengetahuan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
435
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dari guru daripada mencari sendiri pengetahuan matematika itu dari buku, soal atau bertanya kepada guru. Secara umum kondisi kelas kedua model ini sangat jauh berbeda dan berakibat pada perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik kedua kelompok siswa. b. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik berdasarkan peringkat sekolah Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa sekolah sedang dan siswa sekolah rendah. Rerata peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa sekolah sedang sebesar 0,276 lebih besar dari peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa sekolah rendah dengan rerata hanya sebesar 0,235. Perbedaan kedua nilai rata-rata ini hanya sebesar 0,041. Hal ini menunjukkan bahwa peringkat sekolah tidak berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. c. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik berdasarkan PAM Hasil analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa kelompok PAM tinggi, sedang, dan rendah. Semakin tinggi PAM siswa, maka semakin tinggi pula peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik yang tinggi, maka siswa harus memiliki pengetahuan awal matematika yang tinggi pula. Jika tidak, walaupun kemudian kemampuan pemecahan masalah matematik mereka meningkat, tetapi peningkatannya tidak terlalu besar, walaupun masih signifikan. Hasil-hasil penelitian di atas semakin memperjelas pentingnya penerapan pembelajaran kontekstual pesisir (PKP) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Bahwa, semakin tinggi peringkat sekolah dan pengetahuan awal matematika siswa, maka akan semakin tinggi pula peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Hasil ini mengindikasikan tidak adanya interaksi antara model pembelajaran, peringkat sekolah, dan PAM dalam peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
436
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Sesuai dengan rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan dan berdasarkan pada hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa menunjukkan bahwa pembelajaran kontekstual pesisir lebih efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP di daerah pesisir daripada model pembelajaran konvensional baik ditinjau dari peringkat sekolah maupun pengetahuan awal matematika. 2. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian ini dikemukakan beberapa saran berikut. a. Model pembelajaran kontekstual pesisir (PKP) dapat digunakan sebagai salah satu
alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP di daerah pesisir. b. Untuk menggunakan model PKP, guru harus berusaha maksimal menguasai
masalah yang disajikan dalam LKS dan proses pemecahannya sehingga dengan mudah dapat melakukan pembimbingan ketika siswa kurang memahami masalah dan melaksanakan proses penyelesaian masalah tersebut. c. Guru harus menyadari bahwa penggunaan masalah pesisir dalam pembelajaran
dengan model PKP tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematik tetapi juga untuk memberikan pemahaman dan kesadaran kepada siswa tentang potensi dan berbagai masalah terhadap potensi pesisir yang perlu dilestarikan karena nilainya yang sangat ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA Arends, R.I. (2008). Learning to Teach, Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh Jilid I. Cetakan Pertama. Penerjemah: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
437
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Arthur L. Benton. (2008). Problem Solving. U.S.: Wikimedia Foundation, Inc. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Problem_Solving.(7 April 2008). Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (2007). Laporan Hasil Ujian Nasional SMP/MTs, SMA/MA, & SMK Tahun Pelajaran 2006/2007. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas. Bay, J. (2000). Linking Problem Solving to Student Achievement in Mathematics: Issues and Outcomes. [Online] Tersedia: http://www.ngacasi.org/jsi/ 2000v1i2/problem_solv_3 [27 Mei 2008] Brenner, M. E. (1998). Development of Mathematical Communication in Problem Solving Groups by Language Minority Students. Bilingual Research Journal, 22:2, 3, & 4 Spring, Summer, & Fall.. [Online]. Tersedia: Http://www. [11 Juni 2008] Creswell, John W. (1994). Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. California: Sage Publications, Inc. Dahuri, R. et al. (1998). Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan yang Berakar dari Masyarakat. Kerjasama Ditjen Bangda dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Kelautan, IPB. Laporan Akhir. Dahuri R. et al. (2001). Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Departemen Perikanan dan Kelautan. (2002). Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang, Pesisiran Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Departemen Perikanan dan Kelautan. Foshay, R. dan Kirkley, J. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. [Online]. Tersedia: www.plato.com/downloads/papers/paper_04.pdf [27 Mei 2008] Hake, R. R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. Woodland Hills: Dept. of Physics, Indiana University. [Online]. Tersedia: http://www.physics. ndiana.du/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf [19 Maret 2009]. Huang, Hsin-Mei E. (2004). The impact of context on children's performance in solving everyday mathematical problems with real-world settings. Journal of Research in Childhood Education. [Online]. Tersedia: http://goliath.ecnext. com/coms2/gi_0199-270803/The-impact-of-context-on.html [4 Pebruari 2008] Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi SPs UPI Bandung. Tidak Diterbitkan. Johnson, E. B. (2007). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Cetakan Kedua. Penerjemah: Ibnu Setiawan. Bandung: Mizan Learning Center. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
438
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Kadir. (2009). Evaluasi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas VIII SMP. Makalah yang disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan di Universitas Lampung, tanggal 24 Januari 2009. Kadir, Wahyudin, Kusumah, Y.S., & Dahlan, J.A. (2009). Telaah Pengembangan Model Pembelajaran Kontekstual Pesisir untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP. Makalah yang disajikan pada Konferensi Nasional Pendidikan Matematika (KNPM-3) di Universitas Negeri Medan, Medan, 23 - 25 Juli 2009. Kirkley, J. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. Technical Paper #4. Indiana University: Plato Learning Inc. Latama, G. et al. (2002). Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://tumoutou.net/702_05123/group2_ 123.htm [19 Mei 2008] Majalah Demersial. (2007). Pentingnya Tata Ruang dalam Pembangunan Wilayah Pesisir. Berita: Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 14 Juni 2007. McIntosh, R. dan Jarret, D. (2000). Teaching Mathematical Problem Solving: Implementing The Vision. [Online]. Tersedia: http://www.nwrel.org/ msec/images/mpm/pdf/monograph.pdf [12 Mei 2008] Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: a Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores. Ames, Iowa: Department of Physics and Astronomy. [Online]. Tersedia: http://www.physics.iastate.edu/per/ docs/Addendum_on_normalized_gain.pdf [19 Maret 2009]. Muijs, D. & Reynolds, D. (2008). Effective Teaching Teori dan Aplikasi, Edisi Kedua. Terjemah oleh: Drs. Helly Prajitno Soetjipto, M.A. dan Dra. Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Drive, Reston, VA: The NCTM. Plomp, T. (1997). Educational and Training System Design. Enschede, The Netherlands: Univercity of Twente. Polya, G. (1985). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Second Edition. New Jersey: Princeton University Press. Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi SPs UPI Bandung. Tidak Diterbitkan. Searsh, S. J. dan Hersh, S.B. (2001). Contextual Teaching and Learning: An Overview of the Project. Dalam K.R. Howey et al. (Eds). Contextual Teaching and Learning: Preparing Teacher to Enhance Student Success I The Workplace and Beyond. USA: ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
439
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Shadiq, F. (2007). Laporan Hasil Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika dengan tema “Inovasi Pembelajaran Matematika dalam Rangka Menyongsong Sertifikasi Guru dan Persaingan Global”, yang dilaksanakan pada tanggal 15 – 16 Maret 2007 di P4TK (PPPG) Matematika Yogyakarta., Slavin, R. E. (2008). Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Penterjemah: Nurulita. Bandung: Nusa Media. Soedjadi, R. (2007). Masalah Kontekstual sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Pusat Sains dan Matematika Sekolah, UNESA, Surabaya. Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Hibah Bersaing. Bandung: FPMIPA IKIP Bandung. Tim Pustaka Yustisia. (2007). Panduan Lengkap KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) SD, SMP, dan SMA. Seri Perundangan. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Wikipedia. (2008). Mathematical Problem. U.S: Wikimedia Foundation, Inc. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Mathematical_Problem [7 April 2008].
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
440
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-30 PENGGUNAAN PEMBELAJARAN INKUIRI DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMA DI KOTA BENGKULU Risnanosanti Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Bengkulu Email:
[email protected] Abstrak Kemampuan Berpikir kritis dan kreatif merupakan dua kemampuan yang mendasar yang perlu untuk dimiliki oleh setiap orang dalam menghadapi tantangan saat ini. Sehingga rendahnya kemampuan berpikir kreatif siswa saat ini merupakan suatu permasalahan yang penting dalam pendidikan matematika. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa perlu adanya upaya dengan menerapkan suatu model pembelajaran yang memungkinkan siswa melakukan eksplorasi, memecahkan masalah, berpikir kritis dan kreatif serta menjadi siswa yang mandiri. Salah satu pembelajaran yang dapat membuat siswa melakukan eksplorasi adalah pembelajaran inkuiri. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, dan melibatkan 211 siswa kelas XI Sekolah Menengah Atas di Kota Bengkulu. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah: 1) secara umum kemampuan berpikir kreatif siswa yang memperoleh pembelajaran inkuiri lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa; 2) model pembelajaran, peringkat sekolah dan pengetahuan awal matematika berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada sekolah peringkat tinggi ; 3) terdapat interaksi antara peringkat sekolah dan model pembelajaran dalam kemampuan berpikir kreatif matematis siswa; 4) terdapat interaksi antara pengetahuan awal siswa dan model pembelajaran terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis. A. Latar Belakang Masalah Dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, orang tidak terlepas dari proses berpikir. Sehingga untuk dapat bertahan pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif tersebut, orang harus mempunyai kemampuan untuk memperoleh, memilih dan mengelola informasi. Kemampuan ini membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis, dan kreatif serta mempunyai kemauan berkerjasama yang efektif. Berpikir kritis dan kreatif merupakan perwujudan dari berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Berpikir kritis dan kreatif diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, saling berkaitan dan saling Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
441
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
menunjang. Selain itu berpikir kritis dan kreatif merupakan dua kemampuan yang mendasar, karena kedua kemampuan ini dapat mendorong seseorang untuk senantiasa memandang setiap permasalahan yang dihadapi secara kritis serta mencoba mencari jawabannya secara kreatif sehingga diperoleh suatu hal baru yang lebih baik dan bermanfaat bagi kehidupannya. Oleh karena itu program pendidikan yang dikembangkan perlu menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir yang harus dimiliki siswa. Pengembangan kemampuan berpikir ini dapat dilakukan melalui pembelajaran, salah satunya adalah pembelajaran matematika, karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya. Pengembangan kemampuan berpikir dalam pembelajaran matematika juga didukung oleh Pemerintah seperti yang terdapat dalam Standar Kompetensi Kurikulum 2006 (2006). Standar Kompetensi dalam kurikulum (2006) menyebutkan bahwa matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Kurikulum tersebut juga menyebutkan bahwa salah satu prinsip kegiatan belajar mengajar dalam matematika adalah mengembangkan kreativitas siswa. Namun, pengembangan berbagai kompetensi tersebut belum tercapai secara optimal. Berdasarkan hasil ujicoba terbatas pada beberapa orang siswa SMUN 9 Kota Bengkulu, berkaitan dengan pembelajaran matematika di kelas XI terungkap permasalahan bahwa siswa belum terbiasa dalam memecahkan soal matematika yang bersifat soal terbuka. Menurut siswa selama ini soal yang mereka peroleh adalah soalsoal yang sebelumnya sudah pernah diberikan oleh guru. Kemudian, melalui observasi diketahui bahwa dalam melaksanakan pembelajaran, guru cenderung prosedural dan lebih menekankan pada hasil belajar. Siswa belajar sesuai dengan contoh yang diberikan guru, dan soal-soal yang diberikan kepada siswa hanya soal-soal tertutup atau soal yang langsung pada pemakaian rumus yang sudah ada. Akibatnya, siswa kurang berkesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan produktivitas berpikirnya.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
442
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pengembangan kreativitas dan keterampilan bermatematika dapat dilakukan melalui pembelajaran yang mendorong timbulnya keingintahuan siswa untuk melakukan penyelidikan. Rasa ingin tahu siswa akan muncul jika diberikan suatu situasi yang menimbulkan tantangan bagi mereka. Salah satu pendekatan yang dimulai dengan memberikan rasa ingin tahu siswa adalah pendekatan inkuiri. Sebagaimana yang disarankan Silver (1997: 4) bahwa pembelajaran matematika berorientasi inkuiri yang kaya aktivitas pengajuan masalah dan pemecahan masalah dapat digunakan guru untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Selain itu setiap siswa mempunyai potensi untuk berpikir kreatif, jika potensi itu didukung oleh lingkungan maka dia akan berkembang dengan baik. Hal ini berarti lingkungan sekolah ikut mempengaruhi berkembangnya potensi berpikir kreatif matematis siswa. Sehingga faktor peringkat sekolah diprediksi juga mempengaruhi dan perlu mendapat perhatian khusus dalam perkembangan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Oleh karena itu dalam melakukan penelitian tentang pengembangan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa ini, juga diperhatikan faktor peringkat sekolah, dan pengetahuan awal yang dimiliki siswa.
B. Rumusan Masalah Beberapa faktor yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu: faktor pendekatan pembelajaran, peringkat sekolah, dan
kemampuan berpikir kreatif. Selain itu
diperhatikan juga faktor peringkat sekolah (tinggi, sedang dan rendah) dan kelompok pengetahuan awal matematika (atas, tengah, bawah) sebagai variabel kontrol. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, permasalahan dalam penelitian ini yang ingin diungkap dan dicari jawabannya dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa, ditinjau dari: a) keseluruhan, b) peringkat sekolah (tinggi, sedang dan rendah), dan pengetahuan awal matematika (atas, tengah, bawah) ? 2. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kelompok sekolah dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa? Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
443
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan pengetahuan awal matematika dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan pembelajaran inkuiri terhadap pengembangan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis secara komprehensif kualitas kemampuan berpikir kreatif matematis siswa antara yang memperoleh pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa, ditinjau dari: a) keseluruhan, b) peringkat sekolah (tinggi, sedang dan rendah), dan pengetahuan awal matematika (atas, tengah, bawah). 2. Menganalisis secara komprehensif kualitas kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran inkuiri dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa. 3. Menelaah secara mendalam tentang interaksi antara model pembelajaran dan kelompok sekolah dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. 4. Menelaah secara mendalam tentang interaksi antara model pembelajaran dan pengetahuan awal matematika dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat bagi siswa, guru, dan peneliti. 1. Bagi Siswa, dengan pembelajaran inkuiri akan memberikan dampak pada kebiasaan belajar yang baik dan berpandangan positif terhadap matematika. Dengan berkembangnya kemampuan berpikir kreatif matematis siswa, diharapkan dapat memberikan dampak pada cara siswa menanggapi suatu permasalahan yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
444
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
2. Bagi guru, pembelajaran inkuiri dapat dijadikan salah satu pembelajaran alternatif dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Guru dapat memilih pembelajaran ini untuk menggali kemampuan berpikir kreatif matematis siswa serta keaktifan siswa dalam proses pembelajarannya. 3. Bagi peneliti, memberikan pengalaman dan pengayaan pengetahuan sehingga dapat
mengembangkan
penelitian-penelitian
lanjut
yang
berguna
untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. 4. Sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada berbagai jenjang pendidikan dan perluasan materi yang berbeda.
E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian ekperimental berbentuk ‘kuasi eksperimen’ yang menerapkan pembelajaran inkuiri. Dalam penelitian ini melibatkan dua kelompok subjek secara acak kelas pada masing-masing kelompok sekolah. Selanjutnya digunakan disain kelompok kontrol pretes-postes (Ruseffendi, 2005) seperti berikut: A
O
A
O
Keterangan:
X
O O
A = Pemilihan sampel secara acak kelas ; X = Pembelajaran Inkuiri O = Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Bengkulu. Sedangkan sampelnya ditentukan dengan teknik stratified sampling. Ukuran sampel pada penelitian ini adalah 211 siswa. Instrumen penelitian ini adalah perangkat tes untuk mengukur pengetahuan awal matematika siswa, tes kemampuan berpikir kreatif matematis, dan lembar observasi aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran inkuiri.
F. Teknik Analisis Data
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
445
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pengolahan data kuantitatif yang diperoleh melalui tes pengetahuan awal matematika dan tes kemampuan berpikir kreatif matematis dilakukan melalui dua tahapan utama. Tahap pertama, menguji pensyaratan statistik yang diperlukan sebagai dasar dalam pengujian hipotesis yaitu uji normalitas dan uji homogenitas varians terhadap bagian-bagiannya maupun keseluruhannya. Tahap kedua, untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan dari masing-masing kelompok, terdapat interaksi atau tidak antara variabel bebas dengan variabel kontrol terhadap variabel terikat, digunakan uji-t dan ANOVA dua jalur dengan bantuan perangkat lunak SPSS-17 for windows.
G. Hasil Penelitian Gambaran umum kualitas kemampuan berpikir kreatif matematis siswa berdasarkan masing-masing kelompok disajikan pada tabel 1 berikut.
Tabel 1 Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan Model Pembelajaran, Peringkat Sekolah dan Pengetahuan Awal Matematika (PAM) Pembelajaran Inkuiri Biasa Sekolah Sekolah Sekolah Sekolah Sekolah Sekolah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah n 13 6 7 9 6 7 Atas Rerata 43,62 38,67 39,43 36,56 30,83 30,14 SB 5,27 3,83 2,57 5,27 11,18 7,29 n 11 22 25 20 18 22 Tengah Rerata 39,27 31,68 24,24 31,05 24,89 25,68 SB 5,24 4,61 6,81 6,63 5,93 8,09 n 13 4 5 7 8 8 Bawah Rerata 31,38 25,00 24,20 21,57 13,38 25,63 SB 7,27 8,60 4,49 3,46 2,72 7,19 n 37 32 37 36 32 37 Rerata 38,03 32,16 27,11 30,58 23,13 26,51 SB 7,89 6,24 8,41 7,60 8,89 7,77 Total n 106 105 Rerata 32,55 26,88 SB 8,81 8,54 Kel. PAM
Data Stat.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
446
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Keterangan: Skor Ideal adalah 52; SB : Simpangan Baku a. Perbandingan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Berdasarkan Kelompok Pembelajaran Perbandingan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa berdasarkan model pembelajaran, menggunakan uji-t. Hasil perhitungan dapat dilihat pada table 2 berikut. Tabel 2 Hasil Analisis Uji-t Sampel Independen Skor Kemampuan Berpikir Kreatif Berdasarkan Model Pembelajaran Skor Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Sig.(2Perb. Rerata t H0 tailed) 32,44 : 26,88 4,652 0,0000 Tolak
Model Pembelajaran Inkuiri : Biasa
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa nilai t sebesar 4,652 dan Sig. (2-tailed) = 0,0000. Nilai ini lebih kecil dari taraf signifikan 0,05 yang ditetapkan, sehingga hipotesis nol ditolak. Hasil ini memberikan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mengikuti pembelajaran inkuiri dengan kemampuan berpikir kreatif matematis yang mengikuti pembelajaran biasa.
b. Interaksi antara Kelompok Model Pembelajaran dengan Peringkat Sekolah dalam Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Untuk
mengetahui
ada
tidaknya
interaksi
antara
kelompok
model
pembelajaran dengan peringkat sekolah dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa, digunakan uji ANOVA dua jalur. Hasil Perhitungan disajikan pada table 3 berikut. Tabel 3 ANOVA Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan Model Pembelajaran dan Peringkat Sekolah Sumber
Jumlah Kuadrat
Dk
Rerata Kuadrat
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
F
Sig.
H0
447
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Model 1700,345 Pembelajaran Peringkat 2436,578 Sekolah Interaksi 713,588 Total 203207,00
1
1700,345 27,598 0,0000
Tolak
2
1218,289 19,774 0,0000
Tolak
356,794
Tolak
2 211
5,791
0,0004
Berdasarkan tabel 3. dapat disimpulkan bahwa pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig. = 0,0000) lebih kecil dari 0,05. Demikian pula peringkat sekolah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis. Ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig. = 0,0000) lebih kecil dari 0,05. Berarti terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa berdasarkan kelompok pembelajaran dan peringkat sekolah. Dari hasil uji ANOVA pada tabel 3 diperoleh nilai F = 27,598 dengan nilai probabilitas (sig.) = 0,0000. Oleh karena nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari 0,05, maka hipotesis nol ditolak. Hal ini berarti terdapat interaksi antara pembelajaran (inkuiri dan biasa) dengan peringkat sekolah (tinggi, sedang dan rendah) dalam kemampuan berpikir kreatif matematis. Secara grafik, interaksi antara pembelajaran dengan peringkat sekolah dalam kemampuan berpikir kreatif matematis diperlihatkan pada gambar 1.
40
35
RerataSkorKBK
30
25 Sekolah Tinggi 20
Sekolah Sedang Sekolah Rendah
15
10
5
0 Inkuiri
Biasa M ode l Pe m be lajar an
Gambar 1. Interaksi antara Pembelajaran dengan Peringkat Sekolah Pada gambar 1 terlihat bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan peringkat sekolah. Hal ini karena selisih kemampuan berpikir kreatif matematis antara pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa terdapat perbedaan yang cukup jauh Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
448
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pada sekolah peringkat sedang dan rendah. Sedangkan selisih skor kemampuan berpikir kreatif antara pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa pada sekolah peringkat tinggi tidak berbeda jauh dengan sekolah peringkat sedang.
c. Interaksi antara Kelompok Model Pembelajaran dengan Pengetahuan Awal Matematika dalam Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Untuk
mengetahui
ada
tidaknya
interaksi
antara
kelompok
model
pemeblajaran dengan peringkat sekolah dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa, digunakan uji ANOVA dua jalur. Hasil Perhitungan disajikan pada table 4 berikut. Tabel 4 ANOVA Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan Model Pembelajaran dan Kelompok PAM Sumber
Jumlah Kuadrat 1845,260
Pembelajaran Kelompok 4076,274 PAM Interaksi 428,135 Total 203207,000
Sig.
H0
1
Rerata F Kuadrat 1845,260 33,884
0,000
Tolak
2
2038,137 37,425
0,000
Tolak
214,068
0,021
Tolak
dk
2 211
3,931
Berdasarkan tabel 4 dapat disimpulkan bahwa pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig. = 0,000) lebih kecil dari 0,05. Demikian pula kelompok PAM memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig. = 0,000) lebih kecil dari 0,05. Berarti terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa berdasarkan kelompok pembelajaran dan kelompok PAM. Dari hasil uji ANOVA pada tabel 4 diperoleh nilai F = 3,931 dengan nilai probabilitas (sig.) = 0,002. Oleh karena nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari 0,05, maka hipotesis nol ditolak. Hal ini berarti terdapat interaksi antara pembelajaran
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
449
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
(inkuiri dan biasa) dengan kelompok PAM (atas, tengah dan bawah) dalam kemampuan berpikir kreatif matematis. Secara grafik, interaksi antara pembelajaran dengan peringkat sekolah dalam kemampuan berpikir kreatif matematis diperlihatkan pada gambar 2 45 40 35
Skor Rerata KBK
30 Kelompok Atas
25
Kelompok Tengah 20
Kelompok Baw ah
15 10 5 0 Inkuiri
Biasa Mode l Pe m be lajaran
Gambar 2 Interaksi antara Pembelajaran dan Pengetahuan Awal Matematika Siswa dalam Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Pada gambar 2 terlihat bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan pengetahuan awal matematika siswa. Hal ini karena terdapat perbedaan selisih kemampuan berpikir kreatif matematis antara pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa pada siswa kelompok tengah dan bawah. Demikian juga selisih skor kemampuan berpikir kreatif antara pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa pada siswa kelompok atas berbeda dengan siswa kelompok tengah. Sedangkan selisih skor kemampuan berpikir kreatif antara pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa tidak berbeda untuk siswa kelompok atas dengan siswa kelompok bawah.
D. Kesimpulan Dari temuan, hasil analisis, dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bagian
sebelum ini, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: Terdapat
perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mengikuti pembelajaran inkuiri dengan kemampuan berpikir kreatif matematis yang mengikuti
pembelajaran biasa. Dengan memperhatikan nilai rata-rata kedua
kelompok tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang telah mengikuti pembelajaran inkuiri lebih tinggi atau lebih baik dari Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
450
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
kemampuan berpikir kreatif siswa yang telah mengikuti pembelajaran biasa pada gabungan ketiga peringkat sekolah. E. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Pembelajaran inkuiri baik untuk sekolah tinggi, sedang dan rendah dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Oleh karena itu hendaknya pembelajaran ini terus dikembangkan di lapangan dan dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pilihan guru dalam menentukan model pembelajaran matematika yang membuat siswa aktif secara mental dan termotivasi untuk belajar. Selain itu guru hendaknya tetap memperhatikan pengetahuan awal yang dimiliki siswa sehingga pembelajaran inkuri yang digunakan dapat mencapai hasil yang optimal. 2. Agar dapat mengimplementasikan pembelajaran inkuiri di kelas, guru perlu mempersiapkan bahan ajar yang cocok serta membuat antisipasi dari respon yang mungkin muncul dari siswa. Sehingga guru dapat memberikan scaffolding yang tepat untuk siswa. Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang disusun hendaknya memuat indikator pembelajaran inkuiri serta masalah yang menantang dan memunculkan konflik kognitif dalam diri siswa, sehingga merangsang siswa untuk melakukan ekplorasi dan penyelidikan dalam memperoleh pengetahuan baru yang lebih bermakna. 3. Berdasarkan hasil temuan di lapangan ternyata indikator kebaruan masih merupakan indikator yang memperoleh tingkat pencapaian terendah. Oleh karena itu perlu adanya suatu usaha pembudayaan pada siswa agar dapat memunculkan ide atau mengemukakan pendapatnya sendiri. Untuk memunculkan kemampuan kebaruan ini, hendaknya guru lebih sering memberi siswa soal yang meminta siswa untuk menggunakan caranya sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. 4. Bagi peneliti selanjutnya, apabila ingin mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa perlu digali secara lebih mendalam kemampuan siswa Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
451
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pada masing-masing indikator berdasarkan peringkat sekolah, pengetahuan awal matematika siswa dan secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA Fisher, R. (1995). Teaching Children to Think. Hong Kong: Stanley Thornes Ltd. Munandar, U. (1999). Kreativitas & Keberbakatan. Strategi Mewujudkan potensi kreatif & Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Munandar, U, (2002). Kreativitas dan Keberbakatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika. Diktat Kuliah: Tidak diterbitkan. Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito. Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kometensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Silver, E.A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Thinking in Problem Posing. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/ zdm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
452
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-31 PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA PADA PEMBELAJARAN DENGAN MODEL RECIPROCAL TEACHING Oleh : Abd. Qohar Dosen Jurusan Matematika F MIPA UM, Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika UPI e-mail:
[email protected]
Abstrak Dalam makalah ini akan disampaikan hasil penelitian dalam menjawab permasalahan, bagaimana pemahaman matematis siswa sekolah menengah pertama dalam pembelajaran dengan model Reciprocal Teaching dan pembelajaran konvensional. Penelitian eksperimen dengan desain kelompok hanya postes. Subjek populasi dalam penelitian adalah seluruh siswa SMP di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian ini melibatkan 254 siswa kelas 9 dari 3 sekolah SMP yang mewakili peringkat rendah, sedang, dan tinggi. Kemudian masing-masing sekolah dipilih dua kelas yang terdiri dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen diberi perlakuan dengan Model Reciprocal Teaching, dan kelas kontrol diberi perlakuan Pembelajaran matematika konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) siswa yang diajar dengan pendekatan reciprocal teaching mempunyai kemampuan pemahaman matematis lebih baik bila dibandingkan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional, baik ditinjau secara keseluruhan maupun berdasarkan level sekolah, namun pada sekolah level tinggi peningkatan tersebut tidak signifikan; (2) terdapat interaksi yang signifikan antara pembelajaran (reciprocal teaching, konvensional) dan level sekolah (tinggi, sedang,rendah) terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa. (3) tidak terdapat interaksi yang signifikan antara pembelajaran dan kemampuan awal matematika siswa (atas, tengah, bawah) terhadap kemampuan pemahaman matematis. Kata kunci : reciprocal teaching, pemahaman matematis, pembelajaran matematika PENDAHULUAN Perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat pada beberapa dekade belakangan ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari peran matematika. Hal tersebut bisa diartikan bahwa individu maupun golongan yang mempunyai kemampuan matematika yang tinggi akan bisa ikut mewarnai perkembangan ilmu dan teknologi tersebut, sebaliknya individu maupun golongan yang mempunyai kemampuan
matematika
yang
rendah
akan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
sulit
untuk
ikut
dalam 453
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
mengembangkannya. Kenyataan inilah yang mengharuskan ummat manusia yang tidak ingin ketinggalan dalam arus perkembangan ilmu dan teknologi untuk belajar matematika. Bangsa Indonesia tentu tidak ingin ketinggalan dalam penguasaan ilmu dan teknologi tersebut, sehingga Departemen Pendidikan Nasional dalam Kurikulum 2006 menyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar. Hal tersebut tidak berlebihan, sebab dengan memahami dan menguasai matematika, diharapkan bangsa Indonesia dapat menguasai dan ikut mengembangkan ilmu dan teknologi, yang pada gilirannya akan membawa pada kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Salah satu aspek yang masih perlu dikembangkan dalam mempelajari matematika adalah kemampuan pemahaman matematis. Seorang siswa kelas satu SMP yang diberi pertanyaan “Berapa 7 × 11 ?” akan dengan mudah menjawabnya dengan jawaban 77. Tetapi jika siswa tersebut diberi pertanyaan lanjutan “Jelaskan mengapa 7 × 11 = 77 ? ”, belum tentu siswa tersebut bisa menjelaskannya. Hal ini dikarenakan, untuk pertanyaan pertama hanya diperlukan prosedur rutin untuk menjawabnya.
Sedangkan
untuk
pertanyaan
kedua
diperlukan
kemampuan
pemahaman yang cukup tentang masalah tersebut untuk bisa menjawabnya. Menurut Skemp
(1976),
kemampuan
pertama
merupakan
kemampuan
pemahaman
instrumental, sedangkan kemampuan kedua merupakan kemampuan pemahaman relasional. Pemahaman relasional memiliki tingkat yang lebih tinggi dibanding dengan pemahaman instrumental. Baik pemahaman instrumental maupun pemahaman relasional perlu ditingkatkan pada pembelajaran matematika. Dalam kehidupan sehari-hari, pemahaman matematis banyak sekali dibutuhkan agar dalam memutuskan sesuatu masalah mendapatkan hasil yang optimal. Seorang pimpinan proyek yang memahami masalah optimasi akan bisa mengatur bagaimana agar para pekerja tidak banyak yang menganggur. Tukang bangunan yang paham akan teorema Pythagoras, untuk membuat sudut 90° pada suatu pondasi, tidak perlu repot dengan penggaris siku yang terlalu kecil, karena bisa dengan menggunakan tripel pythagoras untuk mengecek apakah sudutnya sudah siku-siku atau belum. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
454
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Dalam suatu telewicara radio BBC London dengan beberapa siswa SLTP di Indonesia yang diadakan tanggal 10 Juni 2008, setelah para siswa tersebut melaksanakan ujian nasional (UN) terungkap bahwa mata pelajaran yang paling sulit di antara mata pelajaran yang di UN-kan adalah matematika. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memahami matematika baik secara relasional maupun instrumental merupakan hal yang relatif lebih sulit dibandingkan dengan memahami mata pelajaran lain. Dari fakta lain di lapangan juga dapat diketahui bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa khususnya siswa SMP masih rendah, hal ini dapat dilihat dari hasil UN matematika yang nilainya relatif lebih rendah dibandingkan dengan UN pelajaran bidang studi yang lainnya. Pada tingkat internasional, prestasi matematika para siswa Indonesia juga masih rendah. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa prestasi matematika siswa-siswa sekolah Indonesia tertinggal dari prestasi matematika siswa sekolah di beberapa negara tetangga. Misalnya, dari hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tahun 1999 prestasi matematika siswa kita berada pada urutan ke 34 dari 38 negara yang berpartisipasi, pada tahun 2003 berada pada urutan ke 36 dari 45 negara yang berpartisipasi, sedangkan pada tahun 2007 berada di rutan 36 dari 49 negara yang berpartisipasi. Prestasi ini jauh di bawah prestasi siswa-siswa dari negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, di mana ketiga negara tersebut pada TIMSS tahun 2007 masing-masing berada di urutan ke-3, ke-20 dan ke-29. Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, maka untuk mengembangkan kemampuan pemahaman matematis siswa SMP dalam penelitian ini akan diterapkan reciprocal teaching. Hal ini dikarenakan reciprocal teaching merupakan salah satu model pembelajaran yang diduga kuat bisa mengembangkan kemampuan pemahaman matematis siswa. Dugaan ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Palinscar and Brown (1984) bahwa reciprocal teaching dapat meningkatkan kemampuan pemahaman siswa. Reciprocal teaching merupakan salah satu model pendekatan pembelajaran di mana siswa dilatih untuk memahami suatu naskah dan menjelaskannya pada teman sebaya, sehingga para ahli banyak yang menyebut reciprocal teaching ini sebagai peer Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
455
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
practice (latihan dengan teman sebaya).
Palinscar (1986) menyatakan
bahwa
reciprocal teaching adalah suatu kegiatan belajar yang meliputi membaca bahan ajar yang disediakan, menyimpulkan, membuat pertanyaan, menjelaskan kembali dan menyusun prediksi. Pembelajaran ini dilakukan secara kooperatif di mana salah satu anggota kelompok berperan sebagai guru (siswa guru) dan dilakukan secara bergantian. Salah seorang siswa yang bertugas sebagai siswa guru tersebut memimpin teman-teman dalam kelompoknya dalam melaksanakan tahap-tahap reciprocal teaching. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator yang memberi kemudahan, dan pembimbing yang melakukan scaffolding.
Rumusan Masalah 1. Apakah
perkembangan
kemampuan
pemahaman
matematis
siswa
yang
memperoleh Reciprocal Teaching (RT) lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional, ditinjau dari (a) keseluruhan siswa, (b) level sekolah (tinggi, sedang, rendah) ? 2. Apakah ada interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor level sekolah
terhadap perkembangan kemampuan pemahaman matematis siswa ? 3. Apakah ada interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor kemampuan awal
matematika siswa (atas, tengah, bawah) terhadap perkembangan kemampuan pemahaman matematis siswa ? Definisi Operasional a. Reciprocal teaching adalah pembelajaran dalam kelompok yang diawali dengan tugas membaca bahan ajar oleh siswa dan dilanjutkan dengan melaksanakan empat kegiatan yaitu : merangkum bacaan, membuat pertanyaan, memberikan penjelasan, dan membuat pertanyaan atau permasalahan lanjutan. Pembahasan dalam kelompok dipimpin oleh siswa dan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing. b. Kemampuan pemahaman matematis adalah kemampuan :
mengklasifikasikan
obyek-obyek matematika; menginterpretasikan gagasan atau konsep; menemukan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
456
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
contoh dari sebuah konsep; memberikan contoh dan bukan contoh dari sebuah konsep; menyatakan kembali konsep matematika dengan bahasa sendiri.
METODOLOGI PENELITIAN Subyek populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri se-Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur dan bisa diperluas untuk seluruh siswa SMP yang mempunyai karakteristik yang sama. Pemilihan subyek sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling (melalui pertimbangan) dan melibatkan sekolah yang mewakili level tinggi, level sedang dan level rendah. Level sekolah ditetapkan berdasarkan ranking hasil Ujian Nasional (lampiran). Kemudian dari klasifikasi tersebut dipilihlah tiga sekolah yaitu satu sekolah dari level tinggi, satu sekolah dari level sedang dan satu sekolah dari level rendah. Dari kelompok sekolah level tinggi, terpilih SMPN 2 Bojonegoro, dari kelompok sekolah level sedang, terpilih SMPN 7 Bojonegoro dan dari kelompok sekolah level rendah terpilih SMPN 4 Bojonegoro. Selanjutnya dari siswa kelas IX masing-masing sekolah yang sudah terpilih sebagai subyek sampel tersebut, dipilihlah secara acak masing-masing dua kelas, satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas sebagai kelas kontrol. Dari sekolah SMPN 2 Bojonegoro terpilih kelas IX-A sebagai kelas eksperimen dan kelas IX-C sebagai kelas kontrol, dari sekolah SMPN 7 terpilih kelas IX-E sebagai kelas eksperimen dan kelas IX-D sebagai kelas kontrol dan dari sekolah SMPN 4 terpilih kelas IX-C sebagai kelas eksperimen dan kelas IX-D sebagai kelas kontrol. Secara keseluruhan, siswa yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 254 siswa. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan disain kelompok kontrol hanya postes.
Unit-unit penelitian ditentukan berdasarkan kategori
pendekatan pembelajaran (reciprocal teaching (RT), Pembelajaran Konvensional (PK)), kategori level sekolah (tinggi, sedang, rendah) dan kategori kemampuan awal matematika siswa (atas, tengah, bawah). Dengan demikian untuk mengetahui adanya perbedaan kemampuan pemahaman matematis dilakukan dengan disain penelitian sebagai berikut: Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
457
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
A X O A
O
Pada disain ini, pengelompokan subjek penelitian dilakukan secara acak kelas (A), kelompok eksperimen diberi perlakukan pembelajaran dengan pendekatan reciprocal teaching (X), dan kelompok kontrol diberi perlakuan pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Masing-masing kelas penelitan diberi postes (O), tidak ada perlakuan khusus yang diberikan pada kelas kontrol. Untuk melihat secara lebih mendalam pengaruh penggunaan pendekatan tersebut terhadap kemampuan pemahaman matematis maka dalam penelitian ini dilibatkan faktor level sekolah (tinggi, sedang, rendah) sebagai variabel kontrol.
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kemampuan Pemahaman Matematis merupakan gambaran kualitas Kemampuan Pemahaman Matematis baik secara keseluruhan maupun berdasarkan jenis pendekatan pembelajaran (reciprocal teaching dan konvensional), level sekolah (tinggi, sedang, dan rendah), dan kemampuan awal matematika (atas, tengah, dan bawah) siswa. Deskripsi yang dimaksud adalah rerata, standar deviasi, dan jumlah siswa berdasarkan pendekatan pembelajaran, level sekolah, dan kemampuan awal matematika disajikan pada Tabel 1, sedangkan dalam bentuk diagram batang disajikan dalam gambar 1.
Tabel 1 Deskripsi Kemampuan Pemahaman Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, Level Sekolah, dan Kemampuan Awal Matematika
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
458
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
PENDEKATAN PEMBELAJARAN LEVEL
TOTAL
RECIPROCAL KONVENSIONAL
KEMAMPUAN AWAL SEKO-
TEACHING MATEMATIKA
LAH RE-RATA
SD
N
RE-RATA
SD
N
RE-
SD
N
TOTAL
RENDAH
SEDANG
TINGGI
RATA ATAS
18.73
2.15
11
18.54
1.66
13
18.63
1.86
24
TENGAH
18.14
2.23
22
17.05
1.54
20
17.62
1.99
42
BAWAH
15.90
1.60
10
14.91
2.55
11
15.38
2.16
21
TOTAL
17.77
2.30
43
16.95
2.27
44
17.36
2.31
87
ATAS
17.86
1.21
7
15.38
2.39
8
16.53
2.26
15
TENGAH
16.43
2.48
21
13.40
2.58
20
14.95
2.93
41
BAWAH
13.86
2.03
14
11.87
1.73
15
12.83
2.11
29
TOTAL
15.81
2.60
42
13.23
2.55
43
14.51
2.87
85
ATAS
17.75
2.06
4
13.00
1.83
4
15.38
3.11
8
TENGAH
16.17
2.01
18
11.63
2.55
16
14.03
3.21
34
BAWAH
13.45
1.34
22
11.11
1.88
18
12.40
1.97
40
TOTAL
14.95
2.29
44
11.53
2.20
38
13.37
2.82
82
ATAS
18.27
1.86
22
16.64
2.86
25
17.32
2.53
47
TENGAH
16.97
2.39
61
14.20
3.16
56
15.64
3.11
117
BAWAH
14.11
1.86
46
12.32
2.50
44
13.23
2.37
90
TOTAL
16.17
2.66
129
14.02
3.26
125
15.11
3.15
254
Keterangan: Skor ideal 22
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
459
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
20.00 18.00 16.00
Rerata
14.00 12.00
RT
10.00
KV
8.00 6.00 4.00 2.00
TINGGI
Keterangan :
SEDANG
RENDAH
Total
Bawah
Tengah
Atas
Total
Bawah
Tengah
Atas
Total
Bawah
Tengah
Atas
Total
Bawah
Tengah
Atas
0.00
TOTAL
RT = Reciprocal Teaching ; KON = Konvensional.
Gambar 1 Diagram Batang Kemampuan Pemahaman Matematis Berdasarkan Faktor Pembelajaran, Level Sekolah (Tinggi, Sedang, Rendah) dan KAM (Atas, Tengah, Bawah) Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1 di atas, dapat diungkap beberapa hal mengenai kemampuan pemahaman matematis siswa sebagai berikut. 1)
Secara keseluruhan, siswa yang pembelajarannya dengan reciprocal teaching mempunyai rerata hasil kemampuan pemahaman matematis lebih tinggi (16,17 > 14,02) dan mempunyai deviasi standar lebih kecil (2,66 < 3,26) dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional.
2)
Untuk siswa di sekolah level tinggi, siswa yang pembelajarannya dengan reciprocal teaching mempunyai rerata hasil kemampuan pemahaman matematis lebih tinggi (17,77 > 16,95) dan mempunyai deviasi standar lebih besar (2,30 > 2,27) dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
460
PROSIDING
3)
ISBN : 978-979-16353-3-2
Untuk siswa di sekolah level sedang, siswa yang pembelajarannya dengan reciprocal teaching mempunyai rerata hasil kemampuan pemahaman matematis lebih tinggi (15,81 > 13,23) dan mempunyai deviasi standar lebih besar (2,60 > 2,55) dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional.
4)
Untuk siswa di sekolah level rendah, siswa yang pembelajarannya dengan reciprocal teaching mempunyai rerata hasil kemampuan pemahaman matematis lebih tinggi (14,95 > 11,53) dan mempunyai deviasi standar lebih besar (2,29 > 2,20) dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional.
5)
Siswa dengan KAM (Kemampuan Awal Matematika) kelompok atas yang pembelajarannya
dengan
reciprocal
teaching
mempunyai
rerata
hasil
kemampuan pemahaman matematis lebih tinggi (18,27 > 16,64) dan mempunyai deviasi standar lebih kecil (1,86 < 2,86) dibandingkan dengan siswa dengan KAM kelompok atas yang diajar dengan pendekatan konvensional. 6)
Siswa dengan KAM (Kemampuan Awal Matematika) kelompok tengah yang pembelajarannya
dengan
reciprocal
teaching
mempunyai
rerata
hasil
kemampuan pemahaman matematis lebih tinggi (16,97 > 14,20) dan mempunyai deviasi standar lebih kecil (2,39 < 3,16) dibandingkan dengan siswa dengan KAM kelompok tengah yang diajar dengan pendekatan konvensional. 7)
Siswa dengan KAM (Kemampuan Awal Matematika) kelompok bawah yang pembelajarannya
dengan
reciprocal
teaching
mempunyai
rerata
hasil
kemampuan pemahaman matematis lebih tinggi (14,11 > 12,32) dan mempunyai deviasi standar lebih kecil (1,86 < 2,50) dibandingkan dengan siswa dengan KAM kelompok bawah yang diajar dengan pendekatan konvensional.
Pembahasan Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara keseluruhan baik ditinjau dari level sekolah maupun ditinjau dari kemampuan awal matematika, rerata kemampuan pemahaman matematis siswa yang diberi pembelajaran reciprocal teaching lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran konvensional. Untuk sekolah level tinggi pada kelas dengan pembelajaran reciprocal teaching reratanya 17,77 dan pada kelas Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
461
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
konvensional reratanya 16,95. Untuk sekolah level sedang
pada kelas dengan
pembelajaran reciprocal teaching reratanya 15,81 dan pada kelas konvensional reratanya 13,23. Sedangkan untuk sekolah level rendah
pada kelas dengan
pembelajaran reciprocal teaching reratanya 14,90 dan pada kelas konvensional reratanya 11,53. (Skor maksimal test pemahaman matematis adalah 22). Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa hasil kemampuan pemahaman matematis siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah model pembelajaran dan level sekolah. Pada level sekolah tinggi, sedang dan rendah serta gabungan level sekolah, ditemukan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan reciprocal teaching lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya menggunakan model konvensional. Namun demikian pada sekolah tinggi perbedaan rerata kemampuan pemahaman matematis antara siswa yang
pembelajarannya
menggunakan
reciprocal
teaching
dan
siswa
yang
pembelajarannya menggunakan model konvensional tidak signifikan. Perbedaan rerata tersebut paling besar terjadi pada sekolah rendah, yaitu 3,42, sedangkan pada sekolah sedang perbedaan reratanya adalah 2,58 dan pada sekolah tinggi perbedaan reratanya adalah 0,82. Dari hasil perhitungan dengan ANOVA menggunakan SPSS juga diketahui bahwa terdapat interaksi yang signifikan antara faktor pembelajaran dan faktor sekolah terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa. Interaksi pada faktor Pembelajaran*Sekolah angka signifikansinya 0,001.
Dengan adanya interaksi ini
menunjukkan bahwa faktor bersama antara pembelajaran dan level sekolah berpengaruh signifikan pada berkembangnya kemampuan pemahaman matematis siswa. Faktor lain yang berpengaruh pada kemampuan pemahaman matematis siswa adalah kemampuan awal matematika siswa (KAM). Pada KAM siswa kelompok atas, tengah dan bawah serta gabungan ditemukan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan reciprocal teaching lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya menggunakan model konvensional. Perbedaan rerata kemampuan pemahaman matematis antara siswa yang pembelajarannya Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
462
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
menggunakan reciprocal teaching dan siswa yang pembelajarannya menggunakan model konvensional tidak, paling besar terjadi pada kelompok KAM tengah, yaitu 2,27, sedangkan pada kelompok KAM bawah perbedaan reratanya adalah 1,79 dan pada kelompok KAM atas perbedaan reratanya paling kecil yaitu 1,63. Interaksi yang terjadi antara faktor pembelajaran dan faktor KAM terhadap kemampuan
pemahaman
matematis
siswa
tidak
signifikan.
Faktor
Pembelajaran*Sekolah angka signifikansinya di atas 0,05, yaitu 0,266. Dengan tidak adanya interaksi ini menunjukkan bahwa faktor bersama antara pembelajaran dan KAM tidak berpengaruh signifikan pada berkembangnya kemampuan pemahaman matematis siswa.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemahaman
matematis
siswa
secara
keseluruhan
yang
pembelajannya
menggunakan reciprocal teaching lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dilakukan secara konvensional, walaupun pada level sekolah tinggi tidak berbeda secara signifikan. 2. Terdapat iteraksi yang signifikan dari faktor model pembelajaran (RT dan KV) dan faktor level sekolah (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa. Rerata kemampuan pemahaman matematis antara kelas yang pembelajarannya menggunakan reciprocal teaching dan kelas yang pembelajarannya dilakukan secara konvensional pada sekolah level rendah, perbedaannya paling tinggi dibandingkan pada sekolah level sedang atau level tinggi. 3. Tidak terdapat iteraksi yang signifikan dari faktor model pembelajaran (RT dan KV) dan faktor KAM (atas, tengah, dan bawah) terhadap kemampuan pemahaman matematis. Namun demikian, rerata kemampuan pemahaman matematis siswa antara siswa yang pembelajannya menggunakan reciprocal teaching dan siswa yang pembelajarannya dilakukan secara konvensional, pada kelompok KAM tengah
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
463
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
perbedaannya paling tinggi dibandingkan pada kelompok KAM bawah atau kelompok KAM atas.
DAFTAR PUSTAKA Anderson, L.W.& Krathwohl, D.R. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing. New York: Addison Wesley Longman. Arikunto, S. (2003). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta : Bumi Aksara. Dahlan, J. A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama melalui Pendekatan Pembelajaran Open Ended. Disertasi S3 UPI.: Tidak Diterbitkan. Even, R.,& Tirosh, D.(2002). Teacher Knowledge and Understanding of Students’Mathematical Learning. In English L.D.(Ed) Handbook of International Research in Mathematics Education (pp 219-240). National Council of Teachers of Mathematics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Hendriana, H. (2002). Meningkatkan Kemampuan, Pengajuan dan Pemecahan Masalah Matematika dengan Pembelajaran Berbalik Studi Eksperimen pada Siswa Kelas I SMU Negeri 23 Kota Bandung. Tesis S2 UPI.: Tidak Diterbitkan. Kahre, S. et.al.(1999). Improving Reading Comprehension Through The Use of Reciprocal Teaching. Master’s Action Research Project. Xavier Saint University.Chicago, Illinois [On line] Tersedia: http://www.eric.ed.gov/ericdocs/data/ericdocs2sql.pdf [30 April 2008] Palinscar, A.(1986). Strategies for Reading Comprehension Reciprocal Teaching. [online]. Tersedia : http://curry.edschool.virginia.edu/go/readquest/ strat/rt.html [29 April 2008] Palinscar, A. & Brown, A. (1984). Reciprocal Teaching in Comprehension-Fostering and Comprehension-Monitoring Activities Cognition and Instruction. [online] Tersedia: http://teams.lacoe.edu/documentation/classroom/patti/23/teacher/ resources/reciprocal.html [29 April 2008] Palinscar, A.(1994). Reciprocal Teaching. [online]. Tersedia : http:// depts.washington/ edu/centerme/recipro.htm [8 Mei 2008]. Rahman, A.(2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Generalisasi Matematik Siswa SMA melalui Pembelajaran Berbalik. Tesis S2 UPI.: Tidak Diterbitkan. Reys, R. E. et. al. (1998). Helping Children Learn Mathematics 5th Edition. Boston : Allyn and Bacon. Rosyid, D. M. & Ibrahim,I. (2007). Reciprocal Teaching Sebagai Strategi. [online]. Tersedia: http://kpicenter.web.id/neo/content/view/17/1.html [29 April 2008]
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
464
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Skemp, R. R. (1976) Relational Understanding and Instrumental Understanding. Mathematics Teaching, 77, 20–26. Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi S3 UPI.: Tidak Diterbitkan. Wikipedia(2008). Constructivism_(learning_theory). [Online] Tersedia : http://en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory).htm [29 April 2008]
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
465
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-32 Menulis sebagai Strategi Belajar Matematika Oleh: Ali Mahmudi Jurusan Pend.Matematika FMIPA UNY Yogyakarta Email:
[email protected]
Abstrak Komunikasi yang baik antara guru dan siswa merupakan prasyarat mutlak bagi berhasilnya kegiatan pembelajaran. Salah satu bentuk komunikasi tersebut adalah melalui tulisan. Dalam pembelajaran, siswa dapat diminta untuk mengemukakan ide-ide mereka secara tertulis. Dengan menulis, pemikiran siswa yang masih mentah dan belum tertata akan lebih terkoordinasi secara lebih utuh. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa menulis dapat dipandang sebagai salah satu cara bagi siswa untuk belajar. Dengan kata lain, menulis dapat dipandang sebagai strategi belajar. Tulisan ini akan memaparkan bagaimana menulis menulis dapat dipandang sebagai strategi belajar matematika. Kata kunci: menulis, strategi belajar matematika
A. Pendahuluan Jika kita menengok sejarah, akan tampak nyata bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban salah satunya ditentukan oleh kegigihan para ilmuwan yang menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui tulisan, ilmu-ilmu tersusun rapi dan sistematis sehingga dapat dipelajari orang lintas generasi. Ilmu-ilmu itu selanjutnya mendasari berbagai temuan teknologi yang kita nikmati saat ini. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa tulisan para pemikir-pemikir itu telah menjadi salah satu kekuatan yang menopang kemajuan peradaban suatu bangsa. Diyakini bahwa setiap anak memiliki potensi untuk menulis. Tentu dengan kadar yang berbeda-beda. Potensi ini dapat berkembang atau sebaliknya justeru terabaikan, bergantung pada lingkungan di mana siswa tumbuh. Mengingat demikian pentingnya kemampuan
menulis
sebagaimana
dikemukakan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
di
atas,
mengembangkan
466
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
kemampuan menulis bagi anak adalah suatu keniscayaan. Sekolah perlu merancang aktivitas pembelajaran yang dapat memicu tumbuhnya kemampuan menulis anak.
Terdapat beberapa tujuan dari aktivitas menulis. Salah satunya adalah sebagai sarana berkomunikasi. Selain itu, menulis juga dimaksudkan untuk merangsang pikiran dan menata serta memperjelas pemikiran. Ide-ide yang masih mentah dan belum teratur akan lebih tertata bila dituliskan. Tujuan kedua inilah yang mendasari munculnya ide bahwa anak dapat belajar melalui aktivitas menulis. Dengan kata lain, aktivitas menulis dapat dipandang sebagai strategi belajar. Aktivitas menulis tidak hanya dimaksudkan untuk membentuk kemampuan menulis itu sendiri, melainkan dipandang sebagai cara untuk membelajarkan anak, termasuk belajar matematika. Bagaimana caranya? Secara singkat tulisan ini akan menguraikan hal itu. B. Menulis sebagai Strategi Belajar Matematika Pemberian tugas menulis dalam kegiatan pembelajaran telah mendapat dukungan yang luas. Misalnya The National Student of Mathematics for Australian School menganjurkan pemberian perhatian yang tinggi terhadap pemberian tugas menulis dalam pembelajaran matematika untuk semua tingkatan sekolah (Swinson, 1992). National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) juga merekomendasikan pemberian tugas menulis dalam pembelajaran matematika (Miller, et al, 2004). Menurut Sipka (1990), terdapat beberapa bentuk tugas menulis yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika. Secara umum, menulis dapat dikategorikan sebagai menulis informal dan menulis formal. Menulis informal misalnya: in-class writing (focus writing, free writing); math autobiographies; journal; and letters. Sedangkan yang termasuk kategori menulis formal adalah: proof, summaries of journal article, research paper, and lecture note. Menulis informal lebih memfokuskan pada kebenaran ide tulisan. Sementara pada menulis formal, selain kebenaran ide, kualitas tulisan juga diperhatikan.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
467
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pemberian tugas menulis dapat dilakukan pada sembarang tahap kegiatan pembelajaran, di awal pembelajaran, selama proses pembelajaran, maupun pada akhir pembelajaran. Pada awal pembelajaran, siswa dapat diminta untuk menuliskan hal-hal yang telah dan belum dipahami terkait dengan materi prasyarat. Hal ini memungkinkan guru untuk mengetahui miskonsepsi yang dialami siswa. Pengetahuan akan hal ini akan mempermudah guru untuk menentukan dari mana harus memulai pembelajaran dan menekankan perhatian pada miskonsepsi yang dialami siswa. Selama proses pembelajaran, tugas menulis akan membantu guru untuk mengklarifikasi gagasan dan pemahaman siswa. Sedangkan pada akhir pembelajaran, tugas menulis memungkinkan guru untuk mengetahui tingkat pemahaman yang telah dicapai siswa. Tugas dimaksud di antaranya adalah meminta siswa menuliskan pengertian suatu konsep dengan kalimat sendiri, membuat rangkuman suatu materi topik tertentu, menuliskan prosedur atau langkah-langkah dalam menyelesaikan soal, dan
sebagainya.
mengungkapkan
kesulitan-kesulitan
yang
dihadapi
dalam
menyelesaikan soal dari suatu topik tertentu. Russek (2004) memberikan contoh tugas menulis sebagai berikut.
Write a letter to classmate who could not attend class today so that she/he will understand what we did and learn as much as you did. Be as complete as possible
Reflect on your participation in class today and then complete the following statement. Select one of your choice. I learn that I …. I was surprised that I …. I discovered that I …. I was pleased that I ….
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
468
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Reflect on where you are in the course and complete the following statements. Select two Now I understand …. I still do not understand …. I can help myself by doing …. You can help me by ….
Write a letter of advice to student who is going to take this class next year. Explain to a high school senior why it is important or not important to do mathematics.
Design two mathematical bumper stickers, one funny and one serious. Contoh bentuk tugas menulis lainnya dikemukakan Miller & Swinson (Hamdani, 1999) sebagai berikut. In your own word describing why …. Explain the process you used to …. In your own word define…. Explain the errors you made in the last night homework …. Terdapat beragam bentuk tulisan siswa. Pillo dan Sovhick (Hamdani, 1999) mengemukakan salah satu tulisan siswa ketika mereka diminta menulis tentang pecahan sebagai berikut. Think a fraction is a like number of colored squares in a group of squares. Here’s an example. The fraction is 3/5. You can use basically any shape. Here’s an example of another kind of fraction. This fraction is 7/8 [1]. Miller et al (2004) juga memberikan contoh tulisan siswa ketika siswa diminta menulis tentang pengertian penalaran deduktif dan induktif beserta contohcontohnya, yaitu sebagai berikut.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
469
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Russek (2004) memberikan contoh tulisan siswa lainnya sebagai berikut. Dear Classmate … Today was not a good day to miss because we went over Scientific Notation. Scientific Notation is a system used that makes very big #’s and very small #’s easer (sic) to see and write. For example, 72,000,000 = 7.2 x 107, because if you did (this) out you would get 72,000,000. It’s just nicer. Make sure you get class next time.
Now I understand the problems that involve charts. At first I had trouble with the coin, stamp, and Integer problem. After reading the corresponding text, which I read slowly and thoroughly to make sure I absorbed every bit of info, I began the
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
470
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
homework. I breezed right through it. I find it much easier to do all the reading before I start the work. Tugas menulis yang telah dikerjakan siswa perlu diberi umpan balik oleh guru. Pemberian umpan balik dapat dilakukan secara tertulis di lembar tugas secara individual atau dapat juga diberikan secara klasikal. Pemberian umpan balik ini demikian penting agar siswa mengetahui apakah pemahaman mereka benar. C. Manfaat Menulis Terdapat berbagai manfaat dari pemberian tugas menulis. Berdasarkan hasil penelitiannya, Possamentier (1995) mengungkapkan bahwa anak yang menuliskan konsep-konsep yang baru mereka pelajari mempunyai ingatan yang jauh lebih tepat daripada siswa yang tidak belajar demikian. Selain itu, Miller et al (2004) juga mengungkapkan bahwa hasil penelitian mengindikasikan bahwa kemampuan anak untuk mengekspresikan ide-ide mereka secara tertulis dapat membantu pemahaman mereka. Manfaat menulis bagi guru dikemukakan Drake dan Amspaugh (Hamdani, 1999) yaitu sebagai berikut. (1) untuk mendiagnosis kesulitan belajar siswa dengan melihat pola-pola kesalahannya; (2) memberikan wawasan tentang dari mana pelajaran seharusnya dimulai; (3) memberikan wawasan mengapa seorang siswa tidak mempu menyelesaikan tugas-tugas individual, dan (4) memberikan gagasan tentang bagaimana memperjelas pemahaman siswa. Sedangkan bagi siswa, tugas menulis dapat membatu mereka mengkoordinasikan informasi dan pengetahuan yang dimiliki sehingga menjadi suatu pengetahuan yang utuh. Menulis juga memungkinkan siswa untuk menganalisis dan menyusun informasi yang diterima menuju pemahaman yang lebih mendalam. D. Penutup Aktivitas menulis perlu dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Bagaimanapun juga, anak memerlukan waktu untuk merasa nyaman untuk menuliskan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
471
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
apa yang mereka pikirkan. Pada tahap awal, anak tidak perlu dituntut secara ketat untuk memperhatikan aspek tata bahasa. Menuntut kesempurnaan tulisan anak adalah cara berpikir yang tidak baik dan dapat mematikan kreativitas anak. Namun, tentu saja, tetap perlu memberikan komentar secara bijak terhadap tulisan anak. Guru dapat memotivasi anak dengan cara memberikan komentar atau catatan positif atau membacakan tulisan anak yang menarik di kelas. Demikianlah, aktivitas menulis perlu dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan, sehingga berbagai manfaat sebagaimana diuraikan di atas dapat mewujud
nyata.
Aktivitas
menulis
yang
tidak
hanya
dimaksudkan
untuk
mengembangkan kemampuan menulis itu sendiri, melainkan menulis untuk belajar. E. Daftas Pustaka Hamdani, (1999). Tugas Menulis Jurnal sebagai Strategi dalam Proses Pembelajaran Matematika di SLTP. Makalah Komprehensif Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Miller, Heeron, Hornsby. (2004). Using Writing to Learn about Mathematics. [Online]. Tersedia: http://www-rohan.sdsu.edu/~ituba/math303s08/ mathideas/mmi10_01ext.pdf. [30 Nopember 2009] Possamentier, Alfred. 1995. Teaching Secondary School Mathematics, Techniques and Enrichment Unit (Fourth Edition). New Jersey-Pretice Hall. Russek, Bernadette. (1998). Writing to Learn Mathematics. [Online]. Tersedia: http://wac.colostate.edu/journal/vol9/russek.pdf. [30 Nopember 2009 Sipka, Timothy. 1990. Writing in Mathematics: A Plethora of Possibilities. In Andrew Sterrett (editor). Using Writing to Teach Mathematics. USA: The Mathematical Assosiation of America. p. 17-21). Swinson, Kevin. 1992. Wriiting Activities as Strategies for Konwledge Constuction and the Identification of Misconceptions in Mathematic. SEAMEO, Regional Center for Education in Science ang Mathematic. Vol. XV No. 2 Dec. 1992, Penang, Malaysia.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
472
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-33 PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH Sri Hastuti Noer Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Lampung Email:
[email protected] Abstrak Kemampuan berpikir matematis khususnya berpikir matematis tingkat tinggi sangat diperlukan siswa, terkait dengan kebutuhan siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir matematis terutama yang menyangkut doing math (aktivitas matematika) perlu mendapatkan perhatian khusus dalam proses pembelajaran matematika.Namun kenyataan menunujukkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa-siswa Indonesia khususnya siswa SMP masih belum memuaskan. Penelitian ini berfokus pada upaya untuk mengetahui kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP sebagai akibat penerapan pembelajaran berbasis masalah dan konvensional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IX SMP di kota Bandar Lampung. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan PBM lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional. Keyword: Berpikir Kritis, Pembelajaran Berbasis Masalah
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu harapan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika di Sekolah Menengah Pertama (SMP) berdasarkan kurikulum yang berlaku pada saat ini adalah dimilikinya kemampuan berpikir matematis. Kemampuan berpikir matematis khususnya berpikir matematis tingkat tinggi sangat diperlukan siswa, terkait dengan kebutuhan siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir matematis terutama yang menyangkut doing math (aktivitas matematika) perlu mendapatkan perhatian khusus dalam proses pembelajaran matematika.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
473
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka isu mutakhir dalam pembelajaran matematika saat ini adalah mengembangkan High Order Thinking Skills (HOTS), dan menjadikan HOTS sebagai tujuan utama dari pembelajaran matematika. Dokumen kurikulum matematika terbaru secara internasional, pada umumnya mempromosikan pendekatan berorientasi perubahan dan mengenalkan pentingnya melibatkan para siswa dalam memanfaatkan matematika melalui suatu proses yang termasuk di dalamnya adalah pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi, dan representasi. Dalam silabus matematika menyiratkan bahwa dalam pembelajaran matematika proses Working Mathematically menyertakan lima proses
yang
saling
berhubungan
yaitu
questioning,
applying
strategies,
communicating, reasoning and reflecting. Sementara dalam Kurikulum Nasional juga tercantum bahwa standar kelulusan siswa SMP untuk pelajaran matematika adalah menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai potensi yang dimilikinya, dan menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang bermuara pada penarikan kesimpulan tentang apa yang harus kita percayai dan tindakan apa yang akan kita lakukan. Bukan untuk mencari jawaban semata, tetapi yang terlebih utama adalah mempertanyakan jawaban, fakta, atau informasi yang ada. Namun kenyataan menunujukkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa-siswa Indonesia khususnya siswa SMP masih belum memuaskan. Hal ini antara lain dapat dilihat pada rendahnya persentase jawaban benar siswa kita dalam Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 1999 dan 2003 serta dalam Program for International Students Assessment (PISA) 2003. Secara internasional dua studi ini merupakan indikator hasil belajar matematika. Pada studi TIMSS terungkap bahwa siswa Indonesia lemah dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin yang berkaitan dengan jastifikasi atau pembuktian, pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematika, menemukan generalisasi atau konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
474
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
yang diberikan. Sedang dalam studi PISA, siswa Indonesia lemah dalam menyelesaikan soal-soal yang difokuskan pada mathematics literacy
yang ditunjukkan oleh
kemampuan siswa dalam menggunakan matematika yang mereka pelajari untuk menyelesaikan persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan fakta di atas, dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan reflektif siswa pada umumnya masih rendah. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia terlihat pula dari standar kelulusan Ujian Nasional (UN). Standar kelulusan untuk siswa Sekolah Menengah meskipun dari tahun ke tahun makin meningkat, namun standar ini masih tergolong rendah. Dengan standar yang rendah ini,
masih saja dikeluhkan oleh masyarakat bahwa standar
tersebut terlalu tinggi. Kenyataannya, pada ujian nasional banyak peserta didik yang tidak lulus. Selain fakta di atas, ditemui juga bahwa dalam pembelajaran matematika masih banyak guru matematika yang menganut paradigma transfer of knowledge. Dalam hal ini interaksi dalam pembelajaran hanya terjadi satu arah yaitu dari guru sebagai sumber informasi dan siswa sebagai penerima informasi. Siswa tidak diberikan banyak kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan belajar-mengajar (KBM) di kelas, dengan kata lain pembelajaran lebih berpusat pada guru, bukan pada siswa. Pembelajaran matematika yang dilaksanakan dewasa ini orientasinya lebih kepada hasil dan bukan kepada proses. Menyikapi masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan matematika, dan harapan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika, maka diperlukan upaya yang inovatif untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran matematika melalui perbaikan proses pembelajaran. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah suatu pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai basisnya. Masalah dimunculkan sedemikian hingga siswa perlu menginterpretasi
masalah, mengumpulkan informasi yang diperlukan,
mengevaluasi alternatif solusi, dan mempresentasikan solusinya. Lingkungan belajar PBM memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan matematis mereka, untuk menggali, mencoba, mengadaptasi, dan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
475
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
merubah prosedur penyelesaian, termasuk memverifikasi solusi, yang sesuai dengan situasi yang baru diperoleh. B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang di atas, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mengkuti PBM dan siswa yang belajar secara konvensional ditinjau dari kualifikasi sekolah?” C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan
hasil
penelitian
secara
komprehensif
tentang
kualitas
peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa menurut penggunaan PBM dan konvensional ditinjau dari kualifikasi sekolah. 2. Memberikan suatu kesimpulan dan implikasi teoritis penelitian yang bermanfaat bagi calon guru, guru, dosen, atau insan pendidikan lainnya dalam upaya peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa khususnya, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) pada umumnya. D. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan akan dihasilkan suatu model pembelajaran matematika yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP. Dengan demikian hal ini merupakan sumbangan berharga bagi upaya peningkatan kualitas pendidikan matematika khususnya, dan kualitas SDM umumnya dalam menjawab tuntutan masa depan.
E.
Desain Penelitian dan Proses Analisis Data
1. Metode dan Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain eksperimen dengan menggunakan kelas kontrol. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran berbasis masalah (PBM) dan pembelajaran konvensional (PK) yang dilakukan oleh guru. Variabel terikatnya adalah kemampuan berpikir kritis siswa. Variabel pengontrol dalam
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
476
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
penelitian ini kualifikasi sekolah. Desain penelitian ini adalah desain kelompok control pretes-postes (Pretest-Postest Control Group Design). 2. Prosedur Analisis Data Data pada penelitian ini diperoleh dari tes kemampuan berpikir kritis matematis. Untuk menganalisis data hasil tes digunakan statistika deskriptif dan inferensial. Proses inferensi diawali dengan uji prasyarat yakni uji normalitas dan homogenitas variansi. Setelah prasyarat ini dipenuhi, maka dilanjutkan dengan pengujian perbedaan rata-rata menggunakan uji-t. Berdasarkan pengujian asumsi diketahui bahwa populasi berdistribusi normal dan memiliki variansi yang homogen, Dengan demikian pengujian perbedaan rata-rata dapat dilakukan. F. Hasil Penelitian dan Diskusi Hasil perhitungan rata-rata tes akhir kemampuan K2R disajikan pada Tabel 1. berikut. Tabel 1. Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa berdasarkan Peringkat Sekolah Peringkat Kelompok Penelitian sekolah Eksperimen Kontrol Tinggi Sedang Gabungan
65,51 40,26 52,88
57,51 25,85 41,48
Berdasarkan data pada Tabel 1, perbandingan skor rata-rata antara kelas eksperimen dan control digambarkan pada Gambar 1. Dari gambar terlihat bahwa rata-rata kemampuan berpikir kritis pada kelompok eksperimen lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol,
Gambar 1: Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Peringkat Sekolah dan
kelompok
Penelitian Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
477
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Hasil perhitungan rata-rata gain kemampuan berpikir kritis disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2.. Skor Gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa berdasarkan Peringkat Sekolah Peringkat Sekolah Tinggi Sedang Gabungan
Rata-rata Skor Gain PBM 0,51 0,29 0,40
PK 0,40 0,12 0,26
Berdasarkan data pada Tabel 2, perbandingan skor rata-rata N-gain dari kemampuan berpikir kritis digambarkan pada Gambar 2,. Dari gambar terlihat bahwa rata-rata gain kemampuan berpikir kritis pada kelompok eksperimen lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok control,
Gambar 2: Skor N-gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Peringkat Sekolah dan kelompok Penelitian Selanjutnya untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan rata-rata kedua kelompok sampel berdasarkan peringkat sekolah dan gabungannya, dilakukan uji perbedaan rata-rata skor gain kemampuan berpikir kritismatematis dengan menggunakan uji-t. Ringkasan hasil uji perbedaan rata-rata sebagaimana yang dimaksud disajikan pada tabel 4.3 berikut ini. Tabel 3. Ringkasan Hasil Uji-t Skor Awal Kemampuan Berpikir Kritis Berdasarkan Peringkat Sekolah Peringkat
Faktor
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
Skor Gain
478
PROSIDING
Sekolah Tinggi Sedang Gabungan
ISBN : 978-979-16353-3-2
Pembelajaran PBM*PK PBM*PK PBM*PK
Perb. Ratarata 0,51 ≈ 0,40 0,29 ≈ 0,12 0,40 ≈ 0,26
T 3,94 13,613 5,519
Sig.(2tailed) 0,00 0,00 0,00
H0 Ditolak Ditolak Ditolak
Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 3, nilai probabilitas (sig.) pada masing-masing peringkat sekolah maupun kelompok gabungannya untuk kedua model pembelajaran lebih kecil dari 0,05. Ini berarti hipotesis nol ditolak. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara gain kemampuan berpikir kritis matematis pada kelompok eksperimen (PBM) dan kelompok kontrol (PK) ditinjau dari peringkat sekolah maupun kelompok gabungannnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang pembelajarannya dengan PBM lebih baik daripada siswa yang belajar secara konvensional. G. Kesimpulan, Implikasi, dan Rekomendasi Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat dikemukakan kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi. 1. Kesimpulan Terdapat perbedaan yang signifikan antara kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan menggunakan PBM dan siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika secara konvensional. Kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan
pembelajaran matematika dengan menggunakan PBM lebih baik
daripada siswa yang pembelajaran matematikanya secara konvensional baik pada peringkat sekolah tinggi, peringkat sekolah sedang dan gabungan kedua peringkat sekolah. 2. Implikasi Kesimpulan ini memberikan implikasi bahwa PBM layak dipergunakan oleh guru bidang studi Matematika di SMP sebagai alternatif untuk mengembangkan kemampuan berpiki kritis dan untuk menjawab isu kualifilkasi sekolah siswa di SMP Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
479
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dalam pembelajaran matematika, khususnya untuk pengembangan beberapa aspek kemampuan berpikir kritis 3. Rekomendasi • Pembelajaran matematika dengan PBM, hendaknya menjadi alternatif pilihan guru
di SMP; terutama untuk meningkatkan kemampuan K2R siswa. • Generalisasi penerapan PBM dalam pembelajaran matematika di SMP tidak
terbatas pada topik Kesebangunan Bangun Datar. Penerapan PBM dimungkinkan untuk topik yang lain. • Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan mengkaji aspek lain dari kemampuan
berpikir matematis tingkat tinggi. DAFTAR PUSTAKA A. Tiwari, S. (1999). Enhancing Students’ Critical Thinking through Problem-Based Learning. In J. Marsh (Ed.) Implementing Problem Based Learning Project: Proceedings of the First Asia Pacific Conference on Problem- Based Learning (pp.75-86). Hong Kong: The University Grants Committee of Hong Kong, Teaching Development Project. Anderson, J. dan Bobis, J. (2005). In Chick, H. L. & Vincent, J. L. (Eds.). Reform-Oriented Teaching Practices: A Survey Of Primary School Teachers: Proceedings of the 29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 2, pp. 65-72. Melbourne: Australia. Anonim. (2000). Critical Reflection. [Online]. Tersedia: http:// www.nwlink.com/ ~donclark/hrd/ development/reflection.html Barrows, H.S. & Tamblyn, R.M. (1980). Problem-Based Learning: An approach to Medical Education. New York: Springer. Bhattacharya, M., MacIntyre, B., Ryan , S. dan Brears, L. (2005). PBM Approach: A Model for Integrated Curriculum. Department of Technology, Science and Mathematics Education. College of Education, Massey University, NewZealand. Tersedia:http://www.tki.org.nz/r/integration/interact/communicate/faqs/ faqs_e.php#Q01 Brookfield, S. (1988). Developing Critically Reflective Practitioners: A Rationale for Training Educators of Adults. In Training Educators of Adults: The Theory and Practice of Graduate Adult Education, edited by S. Brookfield. New York: Routledge Bullen, M. (1997). A Case Study of Participation and Critical Thinking in a University Level Course Delivered by Computer Conferencing. Tersedia: http://www2.cstudies.ubc.ca/~bullen/Diss/thesis.doc. [28 Nopember 2007]
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
480
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Chung, J.C.C. & Chow, S. M.K. (1999). Imbedded PBM in an Asian context: Opportunities and challenges. In J. Marsh (ed.) Implementing Problem Based Learning Project: Proceedings of the First Asia Pacific Conference on Problem Based Learning (pp. 25-34). Hong Kong: The University Grants Committee of Hong Kong, Teaching Development Project on Enhancing Health Science Education through Problem Based Learning. Duch, B.J., Groh, S.E., dan Allen, D.E. (2001). Why Problem-Based Learning: A Case Study of Institutional Change in Undergraduate Education. In B.J. Duch, S.E. Groh, dan D.E. Allen (Eds): The Power of Problem-Based Learning. Virginia, Amerika: Stylus Publishing. Erickson, D.K. (1999). A Problem-Based Approach to Mathematics Instruction. The Mathematics Teacher. Reston, VA: NCTM. Garrison. D. R., Anderson, T. & Archer, W. (2001). Critical Thinking and Computer Conferencing: A Model and Tool to Assess Cognitive Presence. Tersedia: http://communitiesofinquiry.com/documents/ CogPres_Final.pdf Ghokhale, A.A. (1996). Effectiveness of Computer Simulation for Enhancing Higher Order Thinking. Journal of Industrial Teacher Eduacation. 33, (4). 1-8. Henningsen, M. dan Stein, M.K. (1997), Mathematical Task and Student Conigtion: Classroom Based Factors That Support and Inhibit High-Level Thinking and Reasoning, JRME, 28, 524-549. Hmelo, D., & Ferrari, M. (1997). The problem-based learning tutorial: Cultivating higher order thinking skills. Journal for the Education of the Gifted, 20(4), 401-422. Ibrahim, M. dan Nur, M. (2000). Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA University Press. Johnson, I. D. (2002). Using Problem-Based Learning (PBM) to Address the Needs of Teaching and Learning Mathematics for Students in the Non-dominant Cultures of our Society. Miami University, Oxford, Ohio, USA
Labinowicz, E.(1985). Learning from Children: New Beginnings for Teaching Numerical Thinking: A Piagetian Approach. Menlo Park, CA: Addison-Wesley. Launch Pad. (2001) Thinking Skill. Westminster Institute of Education. Oxford Brookes University. Lipman, M. (2003). Thinking in education. Cambridge: The United Kingdom at the University Press. Marzano, R.J. et al. (1994). Assessing Student Outcomes. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development. Meltzer, D.E. (2002). Addendum to :The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostics Pretest Scores. [On Line]. Tersedia: http://www.physics.iastate.edu/per/docs/Addendum_on_normalized_gain. Mullis, et.al. (2000). TIMMS 1999: International Mathematics Report. Boston: The International Study Center, Boston College, Lynch School of Education. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
481
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Mullis, et.al. (2003). TIMMS 2003: International Mathematics Report. Boston: The International Study Center, Boston College, Lynch School of Education. NCTM (2000). Defining Problem Solving. [Online]. Tersedia: http://www.learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk_2/session_03 /sectio_03_a.html NCTM. (2003). Program for Initial Preperation of Mathematics Specialists. Tersedia:http://www.ncate.org/ProgramStandars/NCTM/NCTMELEMStandars.pd f. [28 April 2007] Norris, S.P. & Ennis, R. (1989). Evaluating Critical Thinking. In R. J. Schwartz & D. N. Perkins (Eds), The Practitioners' Guide to Teaching Thinking Series. Pacific Grove, California: Midwest Publications. Office Educational Research and Improvement (OERI). (2001). School Improvement Research Series: Teaching Thinking Skills. Northwest: NW Regional Education Laboratory. Resnick, L. B. (1987).Education and Learning to Think. Committee on Research in Mathematics, Science, and Technology Education. [online] Tersedia: National Academies Press at: http://www.nap.edu/catalog/1032.html. Roh, K.H. (2003). Problem-based Learning in Mathematics. Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environmental Education. [Online]. Tersedia: http://www.ericdigest.org/2004-3/math.html Savery, J.R. dan Duffy, T.M. (1996). PBM: An Instructional Model and is Constructivist Framework. In Contructivist Learning Environments: Case Studies in Instructional Design. B.G. Wilson (ed). Englwood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications. Schoenfeld, A. H. (1994). Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, and Sense-making in Mathematics. In D. Grouws (Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and learning (pp. 334-370). New York: MacMillan. Sternberg, R.J. dan Ben-Zev, T. (Eds).(1996). The Nature of Mathematical Thinking. USA: LaurenceErlbaum Associates, Inc. Publisher Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana Tahun Ketiga. UPI Bandung. Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Bandung: Disertasi SPs UPI. Tidak diterbitkan. Torp, L. & Sage, S. (1998) Problem as Posibillities: Problem-Based Learning for K-12 Eduacation, Aurora, IL:ASCD Ward, J.D. dan Lee, C.L. (2002). A Review of Problem-Based Learning. Journal of Family and Consumer Sciences Education, Vol. 20, no.1.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
482
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Yesildare, S. dan Turnuklu, E. B. (2006). In Novotná, J., Moraová, H., Krátká, M. & Stehlíková, N. (Eds.). How to Assess Mathematical Thinking : Proceedings 30th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 1 p. 431. Prague: Czech Republik.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
483
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-34 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK Nila Kesumawati (
[email protected]) FKIP Universitas PGRI Palembang ABSTRAK Penelitian ini berfokus pada upaya untuk mengetahui perbandingan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sebagai akibat dari pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR) dan konvensional. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen, dengan subjek populasi seluruh siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama peringkat tinggi, sedang, dan rendah di Palembang. Sampel yang terlibat sebanyak 275 orang siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan pemecahan masalah. Analisis data menggunakan uji perbedaan dua rata-rata sampel independent. Untuk mengetahui kemampuan, pola jawaban, dan strategi yang digunakan siswa dalam pemecahan masalah, dilakukan analisis terhadap hasil pekerjaan siswa. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa secara keseluruhan, ada perbedaan peningkatan antara kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pendekatan PMR dengan siswa yang mengikuti pendekatan konvensional. Kata-kata kunci: pemecahan masalah matematis, pendidikan matematika realistik A. Latar Belakang Masalah Setiap berakhirnya penyelenggaraan UN, standar kelulusan selalu menjadi perhatian baik di dunia pendidikan
maupun dimasyarakat. Pada jenjang sekolah
lanjutan atas, standar kelulusan dari tahun ke tahun makin meningkat terlihat dari tahun 2007 yaitu angka standar kelulusan adalah 5,00 dari tiga mata pelajaran menjadi 5,25 pada tahun 2008 dari enam mata pelajaran. Standar kelulusan tahun 2008 didasarkan pada enam mata pelajaran membuat beban siswa menjadi lebih berat itu terlihat dari angka ketidaklulusan 2008 lebih besar 2% dari tahun 2007 yaitu sebesar 10% (Media Indonesia, 6 Juni 2008). Hal yang sama juga terjadi pada UN tahun 2009. Dinas Pendidikan Nasional memastikan standar nilai rata-rata kelulusan UN 2009 naik. Dari sebelumnya 5,25 menjadi 5,50. Nilai 4 hanya ditoleransi dua mata pelajaran saja, bila lebih dipastikan siswa tidak lulus (Sriwijaya Post, 30 Januari 2009). Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
484
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Dari setiap UN, mata pelajaran matematika selalu dimasukan sebagai mata pelajaran
yang
diujikan.
Meskipun
kurikulum
matematika
terus
menerus
disempurnakan, penelitian-penelitian dilakukan, para ahli dan praktisi pendidikan matematika berkumpul diseminar-seminar untuk menemukan solusinya, akan tetapi tetap saja matematika menjadi momok bagi siswa-siswa dalam menghadapi UN. Rendahnya penguasaan materi matematika pada siswa SMP, dapat dilihat pula pada rendahnya persentase jawaban benar para peserta Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2003 dan Program for International Students Assessment (PISA) 2003. Secara internasional ada dua indikator hasil belajar matematika, yaitu hasil tes TIMSS 2003 dan PISA 2003. Hal ini dapat dijadikan cermin bahwa materi ujian standar internasional yang diujikan belum semuanya dikuasai oleh siswa, sehingga banyak tidak bisa dijawab oleh siswa kita. Karena materi tes yang diberikan merupakan soal-soal tidak rutin (masalah matematis yang membutuhkan kemampuan penalaran). Di sekolah tempat siswa belajar matematika menekankan pada pemberian rumus, contoh soal, dan latihan soal. Mereka hanya mengerjakan soal latihan menggunakan rumus dan algoritma sehingga siswa dilatih seperti mekanik. Konsekuensinya jika mereka diberikan soal non rutin mereka akan membuat kesalahan. Namun mereka relatif lebih baik dalam menyelesaikan soal-soal tentang fakta dan prosedur (Mullis, et al., 2000). Berdasarkan kenyataan di atas, siswa kita akan membuat kesalahan jika diberikan soal non rutin. Itu berarti kemampuan pemecahan masalah siswa Indonesia masih kurang, padahal dalam pembelajaran matematika kemampuan pemecahan masalah sangat penting, sebagaimana dikemukakan oleh Branca (Gani, 2007) bahwa kemampuan pemecahan masalah sebagai jantungnya matematika. Kemampuan pemecahan masalah amatlah penting dalam matematika, yang dikemudian hari dapat diterapkan dalam bidang studi lain dan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Nasution (2000) penyelesaian masalah dapat dipandang sebagai proses siswa menemukan kombinasi aturan-aturan yang dipelajarinya lebih dahulu yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang baru. Siswa yang terlatih dengan pemecahan masalah akan terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
485
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
menganalisisnya dan akhirnya meneliti hasilnya. Keterampilan itu akan menimbulkan kepuasan intelektual dalam diri siswa, meningkatkan potensi intelektual, dan melatih siswa bagaimana melakukan penelusuran melalui penemuan. Ini berarti kemampuan pemecahan masalah merupakan hal yang harus mendapat perhatian, mengingat peranannya yang sangat strategis dalam mengembangkan potensial intelektual anak. Menurut Polla (2001: 48) “Pendidikan matematika di Indonesia, nampaknya perlu reformasi terutama dari segi pembelajarannya. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini begitu banyak siswa mengeluh dan beranggapan bahwa matematika itu sangat sulit dan merupakan momok, akibatnya mereka tidak menyenangi bahkan benci pada pelajaran matematika. Jika perlu ada suatu gerakan untuk melakukan perubahan mendasar dalam pendidikan matematika, terutama dari strategi pembelajaran dan pendekatannya.” Ini berarti untuk melakukan reformasi dalam pendekatan pembelajarannya, yaitu pendekatan pembelajaran matematika dari biasanya kegiatan terpusat pada guru ke situasi dimana siswa menjadi pusat perhatian. Guru sebagai fasilitator dan pembimbing sedangkan siswa membangun matematika untuk mereka sendiri, tidak hanya menyalin mengikuti contoh-contoh tanpa mengerti konsep matematikanya. Prinsip utama dalam pembelajaran matematika saat ini adalah untuk memperbaiki dan menyiapkan aktivitas belajar yang bermanfaat bagi siswa yang bertujuan untuk beralih dari paradigma mengajar matematika ke belajar matematika, keterkaitan siswa secara aktif dalam pembelajaran harus ditunjang dengan disediakannya aktivitas belajar yang khusus sehingga siswa dapat melakukan “doing math” untuk menemukan dan membangun matematika dengan fasilitas oleh guru. Pendekatan dalam pembelajaran matematika yang dilakukan saat ini pada jenjang persekolahan khususnya cenderung dilakukan dengan cara: “(1) guru menjelaskan pengertian konsep dalam matematika, (2) memberikan dan membahas contoh soal dari konsep tersebut, (3) menyampaikan dan membahas soal-soal aplikasi dari konsep, (4) membuat rangkuman dan (5) memberikan tugas berupa pekerjaan rumah (PR)” (Haji, 2004). Melalui pendekatan seperti di atas, kreativitas siswa kurang berkembang. Akibatnya, prestasi siswa dalam mata pelajaran matematika rendah dan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
486
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
siswa kurang menyenangi matematika. Menurut Sunoto (2002), “faktor penyebab rendahnya prestasi belajar matematika antara lain disebabkan oleh pola pembelajaran yang dilaksanakan guru, kurangnya minat siswa dalam belajar matematika, dan proses belajar mengajar yang kurang kondusif”. Menurut Suwarsono (2001), “secara umum proses belajar mengajar matematika di sekolah-sekolah di Indonesia terpusat pada guru yaitu guru menjelaskan, siswa mendengarkan sambil mencatat, guru bertanya, murid menjawab, siswa mengerjakan soal-soal latihan”. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan perubahan pendekatan dalam pembelajaran matematika dari pendekatan yang digunakan saat ini ke suatu pendekatan yang memberikan kesempatan pada siswa untuk aktif dalam belajar matematika. Salah satu pendekatan untuk mengatasi masalah tersebut adalah pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Pendekatan PMR merupakan pendekatan dalam pembelajaran matematika yang memandang matematika sebagai suatu aktivitas manusia. Pendekatan tersebut bercirikan: “(1) menggunakan masalah kontekstual, (2) menggunakan model, (3) menggunakan kontribusi murid, (4) interaktivitas, (5) terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya” (Haji, 2004). Memperhatikan uraian di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa pendekatan PMR diperkirakan dapat meningkatkan kemampuan pemahaman, pemecahan masalah, dan disposisi matematis siswa. Karena studi ini dilaksanakan di SMP, maka judul penelitiannya adalah: “Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemikiran seperti yang telah diuraikan di atas maka permasalahan dalam penelitian ini ingin diungkapkan dan dicari jawabannya dirumuskan sebagai berikut:
“Apakah pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP? C. Tujuan Penelitian
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
487
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Penelitian ini bertujuan, mengkaji secara komprehensif tentang peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan PMR dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada: (a) gabungan ketiga peringkat sekolah; (b) sekolah peringkat tinggi; (c) sekolah peringkat sedang; dan (d) sekolah peringkat rendah. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan menghasilkan suatu produk berupa prototipe model pembelajaran Bangun Ruang Sisi Lengkung Sekolah Menengah Pertama. E. Desain Penelitian dan Prosedur Analisis Data 1. Metode dan Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretes-postes (Pretest-Posttest Control Group Design). Secara singkat, desain eksperimen tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut. R O X O R O O Keterangan: X = Pembelajaran dengan pendekatan PMR. R = pengambilan sampel secara acak kelas. O = pretes = postes. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Pertama. Sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik stratified sampling (teknik strata). Sampel penelitian adalah siswa SMPN kelas IX di Palembang.
2. Prosedur Analisis Data Data pada penelitian ini diperoleh dari tes kemampuan pemecahan masalah matematis. Untuk menganalisis data hasil tes digunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Prosedur inferensi diawali melalui uji prasyarat yaitu uji homogenitas varians dan uji normalitas. Berdasarkan uji normalitas data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji perbedaan rata-rata menggunakan uji t dan uji F
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
488
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
dengan tingkat kesalahan α = 5 %. Jika data tidak berditribusi normal maka untuk menguji perbedaan rata-ratanya menggunakan uji Mann Whitney.
E. Hasil Penelitian Untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang normal gain skor tes pemecahan masalah matematis disajikan model Weiner skor rata-rata n gain tes pemecahan masalah matematis (TPMM). Tabel 1 Model Weiner Skor Rata-rata n gain Tes Pemahaman (TPHM), Pemecahan Masalah (TPMM), dan Disposisi Matematis (DM) Peringkat
Model
Sekolah
Pembelajaran
N
Rata-rata n gain TPMM
PMR
41
0,70
PMK
40
0,21
PMR
70
0,46
PMK
64
0,19
PMR
28
0,51
PMK
32
0,18
Gabungan
PMR
139
0,54
(A+B+C)
PMK
136
0,19
Tinggi (A)
Sedang (B)
Rendah (C)
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Skor peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis diperoleh melalui pretes dan postes pemecahan masalah matematis. Perbandingan skor n gain pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan model pembelajaran dan peringkat sekolah disajikan dalam diagram batang berikut ini.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
489
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
RATA-RATA N GAIN TPMM 0.7
0.7
0.6
0.51
0.5
0.54
0.46
0.4 PMR
0.3
0.21
0.19
0.2
0.19
0.18
PMK
0.1 0 A
B
C
A+B+C
PERINGKAT SEKOLAH
Rerata N Gain Pemecahan masalah Matematis Dari uji perbedaan dua rata-rata dengan uji-t diperoleh ringkasan hasil uji H0 dan hipotesis penelitian terkait pemecahan masalah matematis sebagaimana disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 2 Ringkasan Hasil Uji H0 dan Hipotesis Penelitian Terkait Pemecahan Matematis Siswa pada Taraf Signifikansi 5% No
Hipotesis Penelitian
H0
1
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada gabungan ketiga peringkat sekolah (A+B+C). (Diterima)
Ditolak
2
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada peringkat sekolah tinggi (A). (Diterima)
Ditolak
3
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada peringkat sekolah sedang (B). (Diterima)
Ditolak
4
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada peringkat sekolah rendah (C). (Diterima)
Ditolak
F. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data, pembahasan, dan temuan-temuan dalam penelitian yang telah dikemukakan pada sebelumnya dapat diperoleh kesimpulan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
490
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan PMR lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional jika didasarkan pada peringkat sekolah (tinggi, sedang, rendah) dan keseluruhan siswa. G. Implikasi Penelitian ini berhasil mengungkapkan, bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan Pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional jika ditinjau dari masing-masing peringkat sekolah dan gabungannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan beberapa implikasi dari kesimpulan penelitian sebagai berikut. 1. Penerapan
pembelajaran
kemampuan
pemecahan
matematika masalah
realistik
matematis
dapat sesuai
meningkatkan dengan
tujuan
pembelajaran sebagaimana yang ditetapkan dalam kurikulum tingkat satuan pembelajaran (KTSP). 2. Diskusi yang merupakan salah satu sarana bagi siswa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis melalui pendekatan PMR mampu menumbuhkan suasana kelas menjadi lebih dinamis, demokratis dan menimbulkan rasa senang dalam belajar matematika. 3. Peran guru sebagai mediator dan fasilitator membawa konsekuensi bagi guru lebih memahami kelemahan dan kekuatan dari bahan ajar serta karakteristik kemampuan individu siswa. Jika hal ini dilaksanakan secara berkesinambungan dan didiskusikan dengan sesama guru maka akan membawa dampak yang lebih positif terhadap pengetahuan guru di masa yang akan datang. H. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, diajukan beberapa saran sebagai berikut. 1. Pendekatan PMR konvensional
secara
dalam
signifikan
meningkatkan
lebih
baik
kemampuan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
daripada
pendekatan
pemecahan
masalah 491
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
matematis siswa SMP, ditinjau dari semua peringkat
sekolah. Dengan
demikian, PMR sangat potensial diterapkan di sekolah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. 2. Untuk menunjang keberhasilan implementasi pendekatan PMR diperlukan bahan ajar yang lebih menarik, permasalahan kontekstual dirancang agar menantang sehingga memicu terjadinya konflik kognitif yang dapat mengembangkan pemecahan masalah matematis, serta setiap aspek kemampuan berpikir yang lainnya secara optimal. 3. Bagi peneliti selanjutnya, perlu diteliti bagaimana pengaruh pendekatan PMR terhadap kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan daya matematis.
DAFTAR PUSTAKA Anderson., et al. (2001). A Taxonomi for Learning Teaching and Assessing. New York: Longman Arthur, L.B. (2008). Problem Solving. U.S.: Wikimedia Foundation, Inc. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Problem Solving. [7 April 2008] Diknas Sumsel. (2009). “Nilai 4 Masih Diteleransi (Maksimal Hanya Dua Pelajaran)”. Sriwijaya Post (30 Januari 2009). Gani, R.A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta Terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa sekolah Menengah Atas. Disertasi Doktor pada PPS UPI: tidak dipublikasikan. Haji, S. (2004). Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik Terhadap Hasil Belajar matematika Di Sekolah Dasar. Disertasi Doktor pada PPS UPI: tidak dipublikasikan. Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Disertasi Doktor pada PPS UPI: tidak dipublikasikan. Media Indonesia, 2008.
Ujian Nasional Angka Ketidaklulusan sekitar 12%. Jumat, 6 Juni
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
492
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Mullis, et.al., (2000). TIMSS 1999: International Mathematics Report. Boston: The Internasional Study Center, Boston College, Lynch School of Education. Mullis, et.al., (2003). TIMSS 2003: International Mathematics Report. Boston: The Internasional Study Center, Boston College, Lynch School of Education. Nasution, S. (2000). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. [Online]. Tersedia: http://www.nctm.org/focalpoints. [3 September 2007]. NCTM.
(2000). Defining Problem Solving. [Online]. Tersedia: http://www.learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk 2/session 03/sectio 03 a.html. [3 September 2007]. Polla, G. (2001). Upaya Menciptakan Pengajaran yang Menyenangkan. Buletin Pelangi Pendidikan. 4(2). Santoso, S. (2009). Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 17. Jakarta: Gramedia. Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer. Bandung: UPI. Sujono. (1988). Pengajaran Matematika Untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sunoto, U. (2002). “Pendekatan Ketrampilan Proses Melalui Metode Penemuan untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa”, Matematika Jurnal Matematika dan Pembelajarannya. 7 (Edisi Khusus), 618-625. Suwarsono, St. (2001). “Pembelajaran Matematika di Sekolah dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia”. Prosiding Seminar Nasional Matematika, FMIPA UNY Yogyakarta. Tim Pustaka Yustisia, (2007). Panduan Lengkap KTSP. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Zulkardi (2005). Pendidikan Matematika di Indonesia Beberapa Permasalahan dan Upaya Penyelesaiannya. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap Dalam Bidang Pendidikan Matematika Pada FKIP Unsri.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
493
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
P-35 Model Pembelajaran Computer Support Collaborative Learning (CSCL)
Eri Satria Sekolah Tinggi Teknologi Garut Jl. Mayor Syamsu No 1 Garut email :
[email protected] Abstrak Makalah ini mendiskusikan mengenai model pembelajaran Computer Support Collaborative Learning (CSCL) ditinjau secara teoritis dan mengkaji beberapa hasil penelitian yang dilandasi model pembelajaran CSCL. Kontribusi makalah ini adalah menggambarkan sebuah alternatif model pembelajaran berbasis teknologi yang teramu dengan model pembelajaran kolaboratif. Model pembelajaran CSCL mengatasi kendala lokasi dan waktu, serta memiliki kelebihan dari sisi akademik, sosial dan psikologis. Temuan penelitian Krange dan Ludvigsen (2007) adalah lebih dominannya langkah prosedural dibandingkan membangun pengetahuan yang dilakukan oleh siswa dalam kerangka kerja CSCL, hal ini memberi peluang untuk mendesain pembelajaran dalam kurikulum yang digunakan untuk memprioritaskan kepada konstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh siswa. Penelitian Laurillard (2008) menunjukkan bahwa kerangka kerja model pembelajaran CSCL merupakan sebuah tantangan pada era digital dalam penyampaian materi dan pengalaman belajar yang baru. Sementara penelitian Cress dan Kimmerle (2008) dengan menggunakan media wiki, menemukan terjadinya kolaborasi membangun pengetahuan secara internal dan eksternal pada diri siswa dalam memecahkan masalah, dilihat dari sudut pandang sistem dan kognitif. Kata kunci
: Computer Support Collaborative Learning (CSCL), wiki, konstruksi pengetuhan.
Pendahuluan Perkembangan teknologi dewasa ini semakin pesat. Penggunaan komputer sebagai bagian dari teknologi juga semakin meluas dan sudah merambah dunia pendidikan. Komputer di dalam dunia pendidikan tidak hanya digunakan sebagai media pembelajaran di kelas yang membantu guru dalam mempresentasikan bahan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
494
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
pelajaran. Komputer bisa difungsikan lebih dari sekedar hal tersebut, yaitu bisa digunakan sebagai media belajar bagi siswa. Fungsi
komputer
dalam
pembelajaran
pada
awal
perkembangannya
diklasifikasikan menjadi dua hal, yaitu computer assisted instruction (CAI) dan computer managed instruction (MAI). Namun seiring meningkatnya kebutuhan penggunaan komputer dalam pembelajaran, maka fungsi komputer diperluas menjadi tiga klasifikasi yaitu : fungsi manajemen, fungsi pembelajaran dan fungsi penelitian tindakan. Fungsi manajemen diperuntukan dalam membuat penganggaran sekolah, akuntansi, pencatatan arsip, komunikasi elektronik, pencetakan dan penelusuran informasi. Sementara itu, fungsi pembelajaran dibedakan menjadi dua, yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru dan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Fungsi penelitian tindakan mencakup aplikasi penyimpanan data dan analisis statistik yang membantu guru dalam mengolah hasil pembelajaran. Model pembelajaran computer supported collaborative learning (CSCL) merupakan bagian dari fungsi pembelajaran dengan model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Model pembelajaran CSCL merupakan kombinasi model pembelajaran kooperatif dan penggunaan komputer serta internet sebagai media dalam pembelajarannya. Dengan teknologi yang semakin canggih, individu-individu yang berada pada lokasi yang berjauhan memungkinkan untuk berkolaborasi secara on-line. Penggunaan model pembelajaran ini dapat dimanfaatkan oleh guru secara efektif, meski merupakan sesuatu hal baru yang mungkin masih banyak kendalanya. Namun diyakini pada masa mendatang model pembelajaran jarak jauh ini akan berkembang dengan pesat seiring perkembangan teknologi dan perkembangan metode pembelajaran. Model pembelajaran CSCL dipandang dari psikologi pendidikan termasuk paham konstruktivisme, yaitu siswa membangun pengetahuannya sendiri. Siswa dapat belajar secara mandiri atau berkelompok, membentuk jaringan komunikasi dan berinterkasi dengan anggota kelompoknya. Siswa dapat berinteraksi tidak terbatas pada waktu, sekolah, kota, bahkan negara yang menjadi kendala pembelajaran jarak jauh selama ini. Model pembelajaran CSCL disinyalir mampu membentuk kemandirian dan rasa Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
495
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
tanggung jawab belajaran siswa, meningkatkan motivasi belajar siswa, membentuk kemampuan metakognisi dan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pemecahan masalah.
Rumusan Masalah Bagaimana model pembelajaran CSCL ditinjau secara teoritis? Apa kelebihan dan kekurangan dari model CSCL? Bagaimana kajian hasil penelitian model CSCL sebagai alternatif model pembelajaran?
Tujuan dan Manfaat Makalah ini bertujuan : -
Mengkaji model pembelajaran CSCL secara teori.
-
Mengkaji beberapa hasil penelitian CSCL sebagai alternatif model pembelajaran berbasis teknologi.
Manfaat yang dapat diperoleh : -
Memberikan deskripsi CSCL sebagai alternatif model pembelajaran berbasis teknologi
-
Menawarkan CSCL sebagai sebuah inovasi pembelajaran
Pembahasan Pembahasan makalah ini akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu kajian teoritis model pembelajaran CSCL dan kajian beberapa hasil penelitian model CSCL.
Model Pembelajaran Computer Supported Collaborative Learning (CSCL) Perkembangan yang sangat pesat dari penggunaan komputer dalam pendidikan dan perubahan penyampaian materi berbasis web, hal ini menyebabkan ketertarikan kepada pelaku pendidikan untuk menggunakan metode pembelajaran yang tidak tradisional dalam desain dan cara penyampaian materi. Model pembelajaran kolaboratif dicobakan dan ditemukan berhasil pada akhir abad 18 oleh George Jardine Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
496
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
di Universitas Glasgow. Ia berpendapat bahwa guru seharusnya merubah aktivitasnya di kelas, dan seharusnya memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar satu sama lainnya (Gaillet dalam Robert, 2005). CSCL menawarkan suatu inovasi dan kelebihan dari penggunaan teknologi komputer dalam model pembelajaran Teknologi dipandang sebagai cara untuk mengotomatisasi pembelajaran dan dapat menghemat biaya, tanpa merubah sudut pandang pembelajaran tradisional sebagai transfer ilmu dari sumber yang berwenang kepada ingatan siswa yang relatif pasif. CSCL menggunakan media yang berbeda dari cara tradisional untuk membuat pengalaman belajar baru bagi siswa, dimana siswa dapat berinteraksi satu sama lain dalam suatu struktur pembelajaran yang didesain oleh guru untuk menciptakan situasi eksplorasi dan diskusi (Stahl, 2009). Teknologi komputer pada saat sekarang memungkinkan kepada individu-individu yang berada pada lokasi yang berjauhan untuk berkolaborasi secara online. Penggunaan alat ini semakin meningkat, contoh yang nyata adalah banyaknya peminat game online yang memungkinkan para pemain pada lokasi berbeda bekerja sama atau saling bertanding dalam sebuah permainan online. Penggunaan dalam dunia pendidikan juga dimungkinkan untuk dikembangkan, meski merupakan sesuatu yang baru, namun seiring merebaknya penggunaan internet maka model pembelajaran secara online ini dapat digunakan secara efektif. Computer Support Collaborative Learning (CSCL) adalah sebuah model pembelajaran yang membawakan keuntungan dari model pembelajaran kolaboratif dan kooperatif untuk pelaku pembelajar yang terlokalisasi dengan sebuah jaringan komputer. Tujuan dari CSCL adalah memberikan bimbingan atau dukungan kepada siswa dalam belajar bersama secara efektif. CSCL mendorong pembelajar untuk mengkomunikasikan ide dan informasi, mengkolaborasi akses informasi dan dokumen, serta
memungkinkan
pembelajar
memberikan
feedback
selama
aktivitas
pembelajaran. Selain itu, CSCL mendorong dan memfasilitasi proses pengelompokan dan dinamika kelompok yang tidak memungkinkan untuk berkomunikasi dengan tatap muka langsung.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
497
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Banyak kelebihan yang ditawarkan oleh model pembelajaran CSCL. Relevan dengan yang dikemukakan Vygotsky yang menganut paham sosial konstruktivisme, bahwa sangat penting adanya interaksi efektif yang terjadi selama proses pembelajaran. Model CSCL jika diimplementasikan dengan baik akan memberikan situasi atau lingkungan ideal bagi siswa untuk berperan aktif selama proses pembelajaran. Panitz dalam Robert (2005) mengungkapkan manfaat dari model CSCL dilihat dari akademik, sosial dan psikologi. Manfaat akademik yang dapat diperoleh dengan pembelajaran kolaboratif, yaitu : - Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa - Keterlibatan secara aktif oleh siswa selama proses pembelajaran - Meningkatkan hasil belajar - Merupakan model pemecahan masalah bagi siswa
Manfaat yang dapat diperoleh dilihat dari sisi sosial dengan pembelajaran kolaboratif, yaitu : - Menumbuhkan sikap sosial siswa - Membangun kebersamaan dan memahami perbedaan antar siswa - Membentuk suasana positif dalam kebersamaan dan saling membantu diantara
siswa Manfaat yang dapat diperoleh dilihat dari sisi psikologis yaitu : - Meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri siswa - Mengembangkan sikap positif terhadap guru
Selain yang dikemukakan oleh Panitz, masih banyak yang kelebihan dari CSCL. Secara umum model CSCL tidak memerlukan adanya ruangan kelas sebagai sesuatu yang utama. Siswa tidak wajib hadir pada waktu reguler atau ketinggalan sesi pembelajaran tidak menjadi masalah karena siswa dapat mempelajari pada saat atau waktu yang berbeda. Dialog atau diskusi dapat dilakukan kapan saja, tidak mengenal waktu, karena dimungkinkan ide-ide muncul kapan saja. Opini tidak dibatasi oleh gender, ras atau keadaan fisik seseorang, karena proses pembelajaran tidak perlu langsung bertatap muka. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
498
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Kesempatan kerja dewasa ini menuntut kemampuan komputer yang baik. Hal ini pula menjadikan model pembelajaran CSCL memberikan nilai tambah bagi siswa karena kemampuan komputer sebagai sarana penunjang sudah menjadi kemampuan standar bagi peserta pembelajaran CSCL. Model pembelajaran CSCL, selain memiliki banyak manfaat dan kelebihan dari model pembelajaran tradisional, namun ada tiga masalah yang menyertai CSCL, yaitu : - Sudut pandang stakeholder. Guru, siswa, orang tua dan administrator pendidikan
yang menentang dan meragukan kesuksesan pembelajaran CSCL. - Sudut pandang guru. Guru lebih nyaman dengan menggunakan model
pembelajaran tradisional, dan seandainya CSCL diterapkan maka diperlukan kemampuan yang relatif kompleks dibandingkan model pembelajaran dengan tatap muka. - Sudut pandang siswa. Siswa mungkin mengalami masalah dengan “CS” dan “CL”.
Kemampuan komputer menjadi prasyarat penting bagi siswa dan membangun kebersamaan dalam sebuah team atau kelompok harus ditumbuhkan pada diri siswa.
Graham dan Misanchuk (dalam Robert, 2005) menyarankan tiga langkah untuk kesuksesan dalam model pembelajaran CSCL, yaitu: - Membentuk Grup - Menstrukturkan aktivitas pembelajaran - Memfasilitasi interaksi dalam grup
Sementara itu Davis (dalam Robert, 2005) memberikan solusi untuk masalah CSCL adalah : - Membuat stategi umum - Mendesain grup - Mengorganisasi grup - Mengevaluasi grup - Menyepakati pemahaman diantara siswa - Membentuk grup pembelajaran Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
499
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
Penggunaan alat komputer merupakan hal penting dalam CSCL. Alat-alat yang dapat digunakan untuk pembelajaran kolaboratif melalui sistem online via internet adalah penggunaan wiki, blog, learning management system (LMS), course management system (CMS), online image/video sharing, aplikasi chat/file sharing, forum kolaborasi online, papan tulis online, dan dunia maya. Beberapa hasil kajian CSCL Dalam tulisan yang dikemukakan oleh Laurillard (2008), ia menyoroti perbedaan kerangka kerja yang dianut oleh paham instruksionis, sosialis, konstruktivis dan pembelajaran
kolaboratif
dengan
menggunakan
komputer
dan
yang
tidak
menggunakan komputer. Hal ini menjadi dasar untuk mendesain kebutuhan yang diperlukan dalam pembelajaran kolaboratif. Secara kontras, dalam pembelajaran pedagogik kebutuhan media menjadi hal penting dalam aspek berkomunikasi. Dalam pembelajaran kolaboratif, aspek komunikasi dapat berupa akses terhadap informasi, mengajukan pertanyaan, pemahaman terhadap konsep, merumuskan tujuan, pengulangan latihan, refleksi, diskusi, debat, artikulasi dan dokumentasi dari ide-ide yang disampaikan. Dalam kerangka kerja pembelajaran CSCL, alat-alat tradisional seperti papan tulis atau ruangan kelas, bukanlah menjadi syarat utama dalam pembelajaran kolaboratif, ada cara baru dengan yang dapat digunakan. Model CSCL menekankan kepada penggunaan teknologi komputer sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan pengalaman belajar. Cress dan Kimmerle (2008) mengkaji penggunaan wiki sebagai media untuk membangun pengetahuan dilihat dari sudut pandang sistem dan kognitif. Kerangka kerja teoritis disajikan mengenai bagaimana pembelajaran dan kolaborasi dilakukan. Terdapat tiga aspek yang diperlukan, yaitu bagaimana aspek sosial difasilitasi oleh wiki, bagaimana proses kognitif dialami oleh pengguna wiki dan bagaimana aspek sosial dan proses kognitif secara bersama diperlukan dalam proses pembelajaran. Model menggunakan pendekatan sistem yang dikemukakan Luhman yang mirip dengan teori Piaget tentang equalibrium. Model menganalisis proses sistem sosial yang terjadi seperti sistem kognitif yang terjadi dari pengguna wiki. Model menggambarkan Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
500
PROSIDING
ISBN : 978-979-16353-3-2
aktivitas pembelajaran sebagai proses internalisasi dan eksternalisasi. Individu mengalami proses asimilasi dan akomodasi dalam proses internal ketika memperoleh informasi dari wiki. Selanjutnya ketika melakukan perubahan terhadap isi informasi dari wiki, individu melakukan aktivitas eksternal dalam membentuk pengetahuannya. Kondisi equilibrium terjadi ketika individu mengalami ketidakselaran pengetahuan yang dimiliki dan informasi yang disajikan dalam wiki. Hal ini menyebabkan konflik kognitif yang mana merupakan potensi untuk melakukan proses aktivitas pembelajaran dalam membentuk pengetahuan secara kolaboratif. Krange dan Ludvigsen (2007) meneliti tentang prosedur dan konsep pemecahan masalah dengan desain pembelajaran CSCL untuk bidang pendidikan sains. Kontribusi dari kajian ini adalah menggambarkan suatu penomena mengenai interpretasi yang ada dalam kultur-sosial dan desain situasi pembelajaran. Data penelitian diperoleh dari sekolah menengah kelas sains. Media pembelajaran yang digunakan adalah video model 3D yang terdapat di web mengenai masalah biologi. Hasil penelitian menemukan langkah-langkah prosedur pemecahan masalah mendominasi dalam interaksi kegiatan belajar siswa, sementara konstruksi pengetahuan/konsep dilakukan oleh guru jika hanya diperlukan untuk memperoleh pemecahan masalah. Temuan ini didasarkan kepada siswa yang mampu menemukan pemecahan masalah yang diberikan, tetapi dia tidak memahami konsep apa yang sebenarnya sedang dia pelajari, sehingga peran guru untuk menjelaskan konsep pengetahuan menjadi hal penting. Berdasar temuan ini, maka perlu kiranya disusun suatu kurikulum berbasis CSCL yang memprioritaskan kepada siswa untuk menemukan pengetahuannya secara mandiri.
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan kajian teoritis dan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu :
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
501
PROSIDING
-
ISBN : 978-979-16353-3-2
Model pembelajaran CSCL sebagai sebuah inovasi pembelajaran yang dapat digunakan
sebagai
alternatif
model
pembelajaran
untuk
meningkatkan
kemampuan kritis siswa. -
Banyak kelebihan hal yang dapat diperoleh dengan model pembelajaran CSCL untuk mendorong pembelajaran yang berpusat pada siswa menjadi lebih baik, yaitu sisi akademik, sosial dan psikologis.
Adapun saran yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi, yaitu : -
Revisi terhadap kurikulum, dengan menyertakan model CSCL dalam pembelajaran siswa.
-
Mengeksplorasi media-media yang tersedia secara online untuk keperluan pembelajaran siswa.
Daftar Pustaka Anonim. 2009. Computer-Support Collaborative Learning. http://en.wikipedia.org/wiki/ Computer-supported_collaborative_learning [diakses 20 November 2009] Cress, U dan Kimmerle, J. 2008. A systemic and cognitive view on collaborative knowledge building with wikis. Journal Computer-Support Collaborative Learning volume 3: 105-122. Krange, I dan Ludvigsen, S. 2008. What does it mean? Students’ procedural and conceptual problem solving in a CSCL environment designed within the field of science education. Journal Computer-Support Collaborative Learning volume 3: 25-51. Laurillard, D. 2008. The pedagogical challenges to collaborative technologies. Journal Computer-Support Collaborative Learning volume 4: 5-20. Robert,T. S. 2005. Computer-Supported Collaborative Learning in Higher Education. Idea Grup Publishing, United State. Stahl. G. 2008. Yes we can!. Journal Computer-Support Collaborative Learning volume 4: 1-4.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
502