METODE
Penelitian Kualitatif Anggota IKAPI No. 127/JTI/2011 Anggota APPTI No. 036/KTA/APPTI/X/2012
Dewi Rokhmah Iken Nafikadini Erdi Istiaji
UNIVE
R
TY
9 786029 030648
R BE
SI
Jember University Press Jl. Kalimantan 37 Jember 68121 Telp. 0331-330224, psw. 319, 320 E-mail:
[email protected]
JEM
ISBN978-602-9030-64-8 602903064-7 ISBN:
Membangun Generasi Menuju Insan Berprestasi
Buku Ajar
METODE PENELITIAN KUALITATIF
Oleh:
Dewi Rokhmah, S.KM., M.Kes. Iken Nafikadini, S.KM., M.Kes. Erdi Istiaji, S.Psi., M.Psi., Psikolog
METODE PENELITIAN KUALITATIF
Diterbitkan oleh UPT Penerbitan UNEJ Jl. Kalimantan 37 Jember 68121 Telp. 0331-330224, Voip. 0319, Fax. 0331-339029 E-mail:
[email protected]
Hak Cipta @ 2014
Cover: Noerkoentjoro W.D. Layout: Happy Febriyanti
Perpustakaan Nasional RI – Katalog Dalam Terbitan 001.42 D m
Dewi Rokhmah, dkk Metode Penelitian Kualitatif/oleh Dewi Rokhmah, dkk.--Jember: Jember University Press, 2014 viii, 124 hlm. ; 23 cm. ISBN: 978-602-9030-64-8 1. METODE PENELITIAN I. Judul
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak tanpa ijin tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, maupun microfilm.
KATA PENGANTAR Buku Ajar Metodologi Penelitian Kualitatif dalam bahasa Indonesia belum banyak ditulis oleh para pakar penelitian, akan tetapi realisasi dalam bentuk praktik lapangan sudah banyak dilaksanakan oleh kalangan peneliti, mahasiswa maupun praktisi yang lain. Kehadiran buku ringkas dan padat ini paling tidak akan memenuhi kehausan informasi tentang metode penelitian kualitatif bagi kalangan mahasiswa dan praktisi penelitian. Menjelaskan tentang penelitian kualitatif sebenarnya tidak mudah, karena dalam praktiknya sangat beragam. Para peneliti yang menganut paradigma berbeda, akan memberikan rincian maupun varian penelitian kualitatif yang berbeda pula. Hampir setiap pakar memiliki persepsi dan penjelasan yang berbeda tentang ragam penelitian kualitatif. Pengalaman lapangan masing – masing peneliti ketika melaksanakan penelitian, akan memperkaya pengetahuan tentang penelitian serta akan memudahkan menjelaskan berbagai jenis penelitian kualitatif yang pernah dilakukannya. Semakin banyak pengalaman dan semakin sering melakukan jenis penelitian kualitatif tertentu, akan semakin rinci cara menjelaskannya. Untuk menambah wawasan tentang berbagai jenis penelitian kualitatif, maka mahasiswa sebaiknya perlu terus melakukan penelusuran literatur yang lain. Banyak buku-buku teks tentang Metode Penelitian Kualitatif yang ditulis dalam bahasa asing, bisa dijadikan rujukan untuk memahami lebih dalam tentang jenis penelitian ini. Memang tidak mudah untuk memahami penelitian kualitatif hanya dengan pendalaman literatur yang ada secara abstrak. Setiap peneliti yang memiliki komitmen melaksanakan penelitian kualitatif, sudah seharusnya mampu mengembangkan berfikir secara abstrak. Melalui kemampuan abstraksi itulah seorang peneliti kualitatif akan mampu membangun narasi-narasi hasil penelitian. Oleh karena itu, wawasan pengalaman di lapangan juga perlu dicoba, untuk mempraktikkan berbagai ragam penelitian kualitatif tersebut. Dalam iklim akademik yang bebas dan semakin kompetitif sekarang ini perbedaan pandangan serta kemampuan menjelaskan temuan penelitian adalah kekuatan bagi kemunculan variasi ilmu. Semoga kehadiran buku ini dapat membantu para mahasiswa dan praktisi penelitian untuk memahami dan memperluas wawasan tentang penelitian kualitatif. Jember, 5 Januari 2015 Prof. Dr. Hary Yuswandi, M.A iii
PRAKATA Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT. karena atas izin-Nya buku ajar mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif dapat diselesaikan. Mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif adalah mata kuliah yang ditempuh oleh mahasiswa peminatan dan menjadi bahan rujukan untuk pembuatan skripsi. Oleh karena itu hadirnya buku ajar mata kuliah ini memang sangat dibutuhkan. Buku ajar ini memenuhi kepentingan mahasiswa dalam mempelajari metodologi penelitian yang bersifat kualitatif. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya buku ajar ini. Harapan kami semoga buku ajar ini bermanfaat bagi mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat. Tentu saja kami tetap menerima saran dan kritik terhadap isi buku ajar ini demi perbaikannya kedepan. Jember, 22 September 2014 Tim Penyusun
iv
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar ................................................................................. iii Prakata .............................................................................................. iv Daftar Isi ........................................................................................... v Daftar Gambar .................................................................................. vii Daftar Tabel ...................................................................................... viii BAB 1
KONSEP DASAR PENELITIAN KUALITATIF ........... 1.1 Pengertian Penelitian Kualitatif ................................. 1.2 Karakteristik Penelitian Kualitatif ............................. 1.3 Rangkuman ............................................................... 1.4 Latihan/Tugas ............................................................ 1.5 Pengayaan Bacaan .....................................................
1 1 2 3 4 4
BAB 2
PENDEKATAN PENELITIAN KUALITATIF ............... 2.1 Macam-macam Pendekatan Penelitian Kualitatif ..... 2.2 Rangkuman ............................................................... 2.3 Latihan/Tugas ............................................................ 2.4 Pengayaan Bacaan .....................................................
5 5 15 15 15
BAB 3
TEKNIK PENYUSUNAN PROPOSAL PENELITIAN KUALITATIF ................................................................... 3.1 Tujuan dan Manfaat dalam Penelitian Kualitatif ...... 3.2 Rumusan Masalah dalam Penelitian Kualitatif ......... 3.3 Rangkuman ............................................................... 3.4 Latihan/Tugas ............................................................ 3.5 Pengayaan Bacaan .....................................................
17 17 18 19 20 20
METODE PENGUMPULAN DATA PENELITIAN KUALITATIF ................................................................... 4.1 Teknik Pengumpulan Data ........................................ 4.2 Rangkuman ............................................................... 4.3 Latihan/Tugas ............................................................ 4.4 Pengayaan Bacaan .....................................................
21 21 33 34 34
ANALISIS DATA PENELITIAN KUALITATIF ........... 5.1 Teknik Analisis Data ................................................. 5.2 Rangkuman ...............................................................
35 35 44
BAB 4
BAB 5
v
5.3 Latihan/Tugas ............................................................ 5.4 Pengayaan Bacaan .....................................................
44 44
BAB 6
VERIFIKASI DATA PENELITIAN KUALITATIF ....... 6.1 Teknik Pengumpulan Data ........................................ 6.2 Rangkuman ................................................................ 6.3 Latihan/Tugas ............................................................ 6.4 Pengayaan Bacaan .....................................................
45 45 52 53 53
BAB 7
PENGGUNAAN TEORI DALAM PENELITIAN KUALITATIF ................................................................... 7.1 Teori Interaksionisme Simbolik ................................ 7.2 Teori HBM ................................................................ 7.3 Kerangka Teori Bloom .............................................. 7.4 Teori Belajar Sosial ................................................... 7.5 Rangkuman ................................................................ 7.6 Latihan/Tugas ............................................................ 7.7 Pengayaan Bacaan .....................................................
55 55 64 67 70 79 79 80
PENYUSUNAN PROPOSAL PENELITIAN KUALITATIF ................................................................... 8.1 Komponen dan Sistematika Penyusunan Proposal .... 8.2 Rangkuman ................................................................ 8.3 Latihan/Tugas ............................................................ 8.4 Pengayaan Bacaan .....................................................
81 81 83 83 83
PENYUSUNAN LAPORAN PENELITIAN KUALITATIF ................................................................... 9.1 Komponen dan Sistematika Penyusunan Laporan .... 9.2 Rangkuman ................................................................ 9.3 Latihan/Tugas ............................................................ 9.4 Pengayaan Bacaan .....................................................
85 85 88 88 88
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... INDEKS ......................................................................................... LAMPIRAN .....................................................................................
89 91 93
BAB 8
BAB 9
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 4.1 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 6.1 Gambar 7.1 Gambar 7.2 Gambar 7.3 Gambar 7.4 Gambar 7.5
Macam-Macam Teknik Pengumpulan Data .............. Analisis Konten pada Penelitian Kualitatif ............... Model Interaktif Komponen Analisis ........................ Bagan Uji Keabsahan Data ....................................... Kerangka Teori Interaksionisme Simbolik ................ Example of Turning Point in a Developing Relationship................................................................ Bagan Teori HBM menurut Rosenstok ..................... Bagan Teori HBM menurut Safarino ........................ Pribadi, Lingkungan dan Tingkah Laku Saling Mempengaruhi ...............................................
vii
22 36 44 46 60 61 65 67 71
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 6.1 Tabel 7.1
Perbandingan Standar Kuantitatif Dan Kualitatif ...... Strategi Pengubahan Sumber Ekspekstasi Efikasi .....
viii
52 75
BAB 1 KONSEP DASAR PENELITIAN KUALITATIF
Standar Kompetensi: Mahasiswa mampu melakukan penyusunan penelitian kualitatif. Kompetensi Dasar : Mahasiswa dapat memahami konsep dasar penelitian kualitatif. Keterkaitan kompetensi dasar dengan standar kompetensi adalah bahwa konsep dasar penelitian kualitatifadalah bagian dari dasar metode penelitian kualitatif. Kompetensi dasar pada bagian bab ini merupakan bagian dari standar kompetensi pada mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif. Ruang Lingkup Materi: Bab ini berisi uraian definisi penelitian kualitatif dan karakteristik penelitian kualitatif. Uraian: 1.1 Pengertian Penelitian Kualitatif Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2010). Metode penelitian kualitatif dinamakan sebagai metode baru, karena popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini disebut juga sebagai metode artistik karena proses penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang ditemukan di lapangan (Sugiyono, 2007). Selanjutnya Sugiyono (2007) menjelaskan bahwa metode kualitatif dapat disebut juga sebagai metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya dan disebut sebagai metode kualitatif karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif.
2|Metode Penelitian Kualitatif Tidak jauh berbeda dengan Sugiyono, Kahija (2006) mengartikan penelitian kualitatif sebagai proses mendeskripsikan dan memahami dunia pengalaman subyek/partisipan dengan berpangkal pada tradisi-tradisi dan rancangan-rancangan penelitian kualitatif tertentu.Kahija yang menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu proses deskriptif didukung oleh Mukhtar (2013) yang mengartikan penelitian kualitatif deskriptif sebagai suatu metode yang digunakan untuk menemukan pengetahuan terhadap subyek penelitian pada suatu saat tertentu. Penelitian kualitatif deskriptif selain mendiskusikan berbagai kasus yang sifatnya umum tentang berbagai fenomena sosial yang ditemukan, juga harus mendeskripsikan hal-hal yang bersifat spesifik yang dicermati dari sudut kemengapaan dan kebagaimanaan, terhadap suatu realitas yang terjadi baik perilaku yang ditemukan dipermukaan lapisan sosial, juga yang tersembunyi di balik sebuah peilaku yang ditunjukkan. Dalam bukunya yang berjudul Aplikasi Penelitian Kualitatif Dalam Pemantauan dan Evaluasi Program Kesehatan, Kresno et al (1999) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai sejenis penelitian formatif yang secara khusus memberikan teknik untuk memperoleh jawaban atau informasi mendalam tentang pendapat dan perasaan seseorang. Penelitian ini memungkinkan kita mendapatkan hal-hal yang tersirat (insight) mengenai sikap, kepercayaan, motivasi dan perilaku target populasi. 1.2 Karakteristik Penelitian Kualitatif Menurut Miles dan Haberman (1995) serta Zetline (1998) yang dikutip oleh Fatchan (2011) menerangkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertitik tolak dari realitas sosial dengan asumsi pokok bahwa tingkah laku atau tindakan (actions) manusia mempunyai makna bagi pelakunya dalam konteks tertentu yaitu : a. Pada dasarnya manusia selalu bertindak sesuai dengan makna terhadap semua yang ditemui dan dialami di dunia ini; b. Makna yang ditemui dan dialami timbul dari interaksi antar individu; c. Manusia selalu menafsirkan makna yang ditemui dan dialami sebelum ia bertindak, tindakan yang dijalankan sejalan dengan makna terhadap berbagai barang yang digunakan Kirk dan Miller (1986) dalam Fatchan (2011) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif bermula dari suatu pengamatan yang bersifat kualitatif yang mencatat segala gejala yang terjadi dalam alam dan kehidupan manusia secara alamiah. Dicatat dengan menggunakan uraian kata-kata dalam suatu kalimat tertentu. Tidak menggunakan gradasi atau
Konsep Dasar Penelitian |3
tingkatan angka (misal persentase, rerata, kai kuadrat, korelasi, path analisis atau berbagai jenis statistik lainnya). Obyek dalam penelitian kualitatif adalah obyek yang alamiah, atau natural setting, sehingga metode penelitian ini sering disebut sebagai metode naturalistik. Obyek yang alamiah adalah obyek yang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga kondisi pada saat peneliti memasuki obyek, setelah berada di obyek dan setelah keluar dari obyek relatif tidak berubah (Soegiyono, 2010). Berdasarkan beberapa definisi di atas Fatchan (2011) menyimpulkan bahwa rambu-rambu penelitian kulitatif antara lain : a. Penelitian yang berlatar alamiah b. Berbagai gejala yang dijumpai di lapangan oleh peneliti tidak boleh dimanipulasi, tetapi direkam seperti apa adanya c. Perolehan data dilakukan dengan cara observasi partisipasi atau pengamatan berperanserta (paarticipant observation), wawanccara mendalam, studi dokumentasi, dan sejenisnya dengan instrumen utamanya adalah peneliti sendiri d. Pengamatan dan wawanccara terhadap subyek penelitian bersifat mendalam dan holistik (secara utuh-menyeluruh) e. Data yang diperoleh berupa deskripsi kata-kata atau kalimat yang tertulis yang mengarah pada tujuan penelitian (fokus penelitian) yang telah ditetapkan semula. Walaupun demikian tidak diharamkan menggunakan angka-angka jika memang hal itu sangat diperlukan f. Deskripsi yang diperoleh bersifat kontekstual sesuai dengan karakter kawasan atau subyek penelitiannya serta tradisi teoritik yang mendasarinya (pisau analisis teori yang digunakan) g. Interpretasi data dan konsep teoritik / proposisi dibangun dari bawah (grounded theory), yakni dari perolehan data di lapangan (hasil deskripsi dari temuan lapangan), bukan dari konsep atau teori si peneliti. Walaupun demikian, jika kita gunakan atau berangkat dengan konsep yang kosong (tanpa ada kajian pustaka) dalam suatu penelitian kualitatif adalah naif. Itu artinya, kajian teoritik (kajian pustaka) atau temuan penelitian terdahulu dalam suatu rancangan penelitian kualitatif tetap diperlukan. 1.3 Rangkuman 1. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi , analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.
4|Metode Penelitian Kualitatif 2. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertitik tolak dari realitas sosial dengan asumsi pokok bahwa tingkah laku atau tindakan manusia mempunyai makna bagi pelakunya dalam konteks tertentu yaitu : a. Pada dasarnya manusia selalu bertindak sesuai dengan makna terhadap semua yang ditemui dan dialami di dunia ini; b. Makna yang ditemui dan dialami timbul dari interaksi antar individu; c. Manusia selalu menafsirkan makna yang ditemui dan dialami sebelum ia bertindak, tindakan yang dijalankan sejalan dengan makna terhadap berbagai barang yang digunakan 1.4 Latihan/Tugas: 1. Jelaskan pengertian dari penelitian kualitatif! 2. Jelaskan mengapa metode kualitatif disebut juga sebagai metode etnographi? 3. Sebutkan dan jelaskan rambu-rambu penelitian kualitatif! 1.5 Pengayaan Bacaan Babbie, Earl. 1986. The Practice of Social Research. Fourth Edition. Eadsworth Publishing Co.: Belmont, California. A Division of Wadsworth, Inc.
BAB 2 PENDEKATAN PENELITIAN KUALITATIF
Standar Kompetensi: Mahasiswa mampu melakukan penyusunan penelitian kualitatif. Kompetensi Dasar:Mahasiswa dapat memahami pendekatan penelitian kualitatif. Keterkaitan kompetensi dasar dengan standar kompetensi adalah bahwa pendekatan penelitian kualitatifadalah bagian dari dasar metode penelitian kualitatif. Kompetensi dasar pada bagian bab ini merupakan bagian dari standar kompetensi pada mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif. Ruang Lingkup Materi: Bab ini berisi uraian macam-macam pendekatan penelitian kualitatif. Uraian 2.1 Macam-macam Pendekatan Penelitian Kualitatif Banyak pakar yang sudah mencoba menguraikan macammacam/jenis pendekatan penelitian kualitatif. Masing-masing menjabarkan tergantung dari sudut pandang dan faham penelitian yang dianutnya. Menurut Mukhtar (2013) penelitian deskriptif yang pada umumnya bertolak pada penelitian sosial, model (jenis) apapun yang dipilih atau analisa data yang bagaimanapun yang digunakan, pada prinsipnya dapat saja dilakukan sepanjang peneliti tetap dalam paradigma penelitian kualitatif deskriptif. Mukhtar (2013) membagi jenis-jenis penelitian deskriptif kualitatif dalam 6 kelompok, yakni Analisis Dokumen, Penelitian Historis, Analisis Isi, Studi Kasus, Etnografis, dan Penelitian Naturalistik. Sedangkan menurut Fatchan (2011) dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Kualitatif” membagi pendekatan penelitian kualitatif dalam 9 macam, yaitu Fenomenologi, Konstruksionistik, Etnometodologi, Etnografi, Interaksi Simbolik, Heuristik, Hermeneutik, Historis dan Inquiri Filosofi. Lain halnya dengan Kahija (2006) yang membagi pendekatan penelitian kualitatif menjadi 5 macam, yaitu Biografis, Fenomenologis, Studi Kasus, Etnografis dan Grounded Theory. Murti (2010) membagi pendekatan
6|Metode Penelitian Kualitatif penelitian ini dalam 3 komponen dimana salah satu komponen justru merupakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan menurut Murti (2010) ini adalah pendekatan dengan paradigma Positivistik (lebih mengarah pada metode kuantitatif), Fenomenologi, dan Hermeneutik (dua pendekatan terakhir ini lebih mengarah pada metode kualitatif). Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing jenis penelitian : A. Analisis Dokumen (Document Analysis) Penelitian analisis deskriptif sering juga dipahami dengan analisis informasi (information analysis) dan kadang-kadang sulit dipisahkan dengan atau dianggap sama dengan model penelitian analisis isi (content analysis). Selain itu penelitian ini juga sering dikaitkan dengan penelitian sejcarah (historis research), padahal keduanya memiliki perbedaan dari segi data yang cukup signifikan. Dalam analisis dokumen menggunakan data/informasi yang relatif baru atau belum terlalu lama, sehingga memiliki aktualitas yang cukup tinggi (Mukhtar, 2013). Menurut Mukhtar (2013), dalam penelitian jenis ini data yang digunakan cenderung berupa benda-benda tertulis, walaupun tidak mustahil dalam bentuk film, foto, peta dan sebagainya. Data-data yang digunakan dapat berupa dokumen yang telah berlalu atau yang masih dipergunakan. Data dapat diperoleh dari sumber-sumber perpustakaan atau di tempat-tempat dimana dokumen tersebut berada. Selain itu dikenal pula dokumen personel / pribadi, yakni dokumen yang sumber datanya diperoleh dari informan atau orang (personel). B. Penelitian Historis (Historis Studies) Menurut Mukhtar (2013) penelitian historis adalah penelitian yang dilakukan dengan penelaah dokumen serta sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa lampau dan dilakukan secara sistematis. Penelitian historis identik dengan penelitian dokumen, perbedaannya terletak dari sudut data. Dalam penelitian sejcarah, data yang digunakan jauh lebih lama, diantcaranya telah berabad-abad atau yang sudah layak bernilai sejcarah seperti perang salib, perang dunia kedua, revolusi kemerdekaan RI, dan sebagainya (Mukhtar, 2013). Fatchan (2011) mendeskripsikan penelitian historis sebagai salah satu jenis penelitian yang hendak mengkonstruksi kondisi masa lalu secara sistematis, obyektif dan akurat yang mana dalam penelitian ini bukti-bukti dikumpulkan, dievaluasi, dianalisis, dan disintesiskan. Selanjutnya dengan bukti-bukti itu dirumuskanlah suatu kesimpulannya. Kadangkala penelitian jenis ini digunakan untuk membuktikan hipotesis tertentu (Fatchan, 2011).
Pendekatan Penelitian Kualitatif |7
Data penelitian historis diperoleh melalui deskripsi berbagai catatan, artefak, atau berbagai jenis laporan verbal lainnya. Hasil penelitiannya biasanya berupa ncaratif deskriptif (ncarativedescription), atau analisis terhadap berbagai peristiwa pada masa lampau(Fatchan, 2011). Data-data penelitian historis pada umumnya dititikberatkan pada upaya menelaah dokumen hasil hasil rekaman pcara ahli dari berbagai bidang, misalnya ahli jurnalistik, ahli hukum, kedokteran, penulis harian, fotografi dan lainnya. Analisis data dengan jenis penelitian histori, kekuatannya tergantung dari keauntetikan data / akurasi data dan interpretasi data yang dilakukan oleh si peneliti. C. Analisis Isi (Content Analysis) Mukhtar (2013) mendefinisikan analisis isi sebagai suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis ini mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemprosesan data ilmiah. Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan, membuka wawasan baru, menyajikan “fakta” dan panduan praktis pelaksanaannya. Menurut Krippendorf (1993) yang dikutip oleh Mukhtar (2013) dikatakan secara tegas bahwa sebagai alat ilmu pengetahuan ia harus handal (reliable), utamanya ketika peneliti lain, dalam waktu yang bcarangkali berbeda, menerapkan teknik yang samaterhadap data yang sama, maka hasilnya harus sama. Penelitian ini banyak dilakukan pada berbagai penerbitan media cetak seperti buku-buku, majalah dan koran. Selain itu, penelitian ini dapat dilakukan untuk menganalisis Undang-Undang, peraturan pemerintah, surat keputusan presiden, keputusan menteri, laporan-laporan dan juga naskah-naskah(Mukhtar, 2013). D. Studi Kasus (Case Studies) Kahija (2006) mendefinisikan studi kasus sebagai suatu penelitian satu/beberapa kasus dengan menggali informasi dari beberapa sumber. Dalam bukunya Mukhtar (2013) mengungkapkan bahwa metode penelitian ini sangat cocok digunakan saat seorang peneliti ingin mengungkap sesuatu dengan bertolak pada pertanyaan “How” atau ”Why”. Dilihat dari sudut kegunaannya, studi kasus dapat dipakai untuk penelitian kebijakan, ilmu politik, dan administrasi umum, pendidikan, psikologi, dan sosiologi, studi organisasi dan manajemen, lingkungan dan agama, dan sebagainya (Mukhtar, 2013). Menurut Mukhtar (2013) penelitian jenis ini dibedakan menjadi 3 tipe, yakni Studi Kasus Eksplanotaris, Studi Kasus Eksploratoris, dan
8|Metode Penelitian Kualitatif Studi Kasus Deskriptif. Studi kasus eksplanatoris sangat baik untuk melihat penjelasan-penjelasan atau suatu peristiwa yang sama atau berbeda, dan menunjukkan rangkaian kasus seperti itu dapat berlaku atau diaplikasikan pada situasi atau peristiwa yang lain. Sedangkan studi kasus eksplorotaris dapat dipergunakan untuk mengungkapkan suatu kejadian atau peristiwa, dimana berlangsungnya suatu peristiwa yang bersifat berkelanjutan (continue) antcara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang berikutnya. Untuk studi kasus deskriptif sangat baik dipergunakan untuk melacak suatu peristiwa atau hubungan antar pribadi, menggambarkan subbudaya yang sudah jcarang menjadi topic penelitian dan menemukan fenomena kunci seperti kemajuan karir, prestasi dan berbagai realitas yang muncul dalam masyarakat. E. Penelitian Etnografis (Etnografis Studies) Menurut Fatchan (2011) penelitian kualitatif dengan menggunakan kajian etnografis berakar dari disiplin ilmu antropologi, yang lebih memusatkan pada permasalahan pokok : Apakah yang dimaksud dengan kebudayaan dalam kelompok masyarakat tertentu?Artinya bahwa etnografi adalah suatu upaya untuk memeriksa kebudayaan dengan segi-segi yang mendasarinya. Muhadjir (1990) yang dikutip oleh Mukhtar (2013) juga menjelaskan bahwa penelitian dengan model etnografis bertolak dari landasan dasar filsafat phenomenologi dari Weber yang dikenal juga dengan “verstehen”. Penelitian deskriptif model etnografi merupakan suatu deskripsi tentang suatu ccara berfikir, hidup berperilaku individu atau sekelompok masyarakat. Pendapat Mukhtar (2013) ini sejalan dengan pendapat ahli Kahija (2006) bahwa etnografis cenderung mendeskripsikan dan menginterpretasikan kelompok sosial atau budaya tertentu. Dalam bukunya Kahija menulis :Inti dari etnografi adalah “Alami langsung dengan MELAKUKANNYA! Di dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan ini, peneliti belajar untuk terjun langsung dan tinggal di lapangan. Peneliti perlu mengobservasi dan berpartisipasi langsung dalam kehidupan subjek-subjek penelitian. Dengan begitu, peneliti bisa mendeskripsikan secara detail dan teliti. Perlu di catat bahwa dalam pendekatan ini, peneliti tidak dianjurkan untuk menjelaskan, tetapi mendeskripsikan. Oleh karena itulah etnografi mengajarkan peneliti untuk menjadi seorang peneliti yang penuh perhatian, sehingga dalam hal ini kemampuan observasi sangat diperlukan (Kahija, 2006).
Pendekatan Penelitian Kualitatif |9
Kajian ini dapat menggambarkan secara mendalam tentang suatu kebudayaan berdasarkan atas keberadaan individu dan kelompoknya, yang berkaitan dengan apa yang dilakukan, apa yang diketahui, serta berbagai jenis peralatan dan barang yang dibuat dan dipergunakannya (Fatchan, 2011). Lebih lanjut Fatchan menjelaskan tentang kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan diartikan sebagai perolehan pengetahuan yang digunakan orang untuk menafsirkan penglaman dan membuahkan tingkah laku. Kebudayaan merangkum tentang apa yang dilakukan manusia, apa yang diketahuinya, dan barang-barang apa yang dibuat serta dipergunakannya (Fatchan, 2011). Dalam suatu penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan etnografi ini mengarah pada upaya untuk menjelaskan tindakan atau tingkah laku manusia, yang kemudian mendeskripsikannya secara lengkap tentang apa yang diketahuinya, hingga menjadikan mereka bertingkah laku atau bertindak sesuai dengan nuraninya (akal sehatnya) dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya. Tujuan utama penelitian dengan pendekatan ini adalah untuk mengungkap berbagai makna yang oleh peserta atau pelaku kebudayaan dianggap sebagai hal yang sudah sewajarnya atau semestinya, lalu berupaya menjelaskan pemahaman baru yang didapat di dalamnya. Penelitian model etnografi menganjurkan agar mengkonstruksi konsepnya berdasarkan proses induktif atas empiric yang dikonstruksikan atas sesuatu berdasarkan cara pandang atau pola perilaku masyarakat sebagai subyek penelitian. Dalam istilah lain dikenal dengan pemahaman dari sudut emik (Mukhtar, 2013). F. Penelitian Naturalistik (Naturalistic Inquiry) Penelitian jenis ini dikembangkan oleh Lincoln dan Guba. Mukhtar (2013) mendefinisikan penelitian naturalistik sebagai penelitian deskriptif yang mengungkap realitas secara alamiah apa adanya, sekalipun demikian penelitian ini tetap memberikan makna di balik peristiwa alamiah yang ditunjukkan subyek. Penelitian ini sangat banyak digunakan dalam penelitian sosial kemasyarakatan, karena prinsip penelitian ini lebih menekankankepada perilaku sosialdan makna di balik tindakan sosial (Mukhtar, 2013). G. Fenomenologi Fatchan (2011) mengartikan pendekatan fenomenologi sebagai studi tentang cara memahami dan mengungkap berbagai fenomena (gejala-gejala yang muncul atas kesadaran masing-masing manusia) yang
10 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f ada dalam konteks kehidupan masyarakat. Dalam memahami apa yang ada di balik gejala yang tampak itu (noumena) digunakanlah panca indra. Lebih lanjut Fatchan (2011) menjelaskan bahwa tujuan penelitian dengan menggunakan pendekatan ini adalah pemahaman respon atas keberadaan individu manusia/kelompok/masyarakat, serta pengalaman yang dipahami dalam berinteraksi. Penelitian ini bersifat induktif dengan mengandalkan atau memahami makna yang ada dibalik fenomena (noumena) yang dideskripsikan secara rinci. Penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi bersumber atas dasar kajian ilmu filsafat dimana kajian ini bertujuan untuk memahami makna kejadian, gejala yang timbul, dan atau interaksi bagi individu dalam kondisi dan situasi tertentu dalam kehidupan sehari-hari di suatu masyarakat tertentu (Fatchan, 2011). Fatchan sependapat dengan beberapa ahli (Water, 1994:31 ; Sparringa, 2000:1457 ; Dimyati, 2000:67 ; Collin, 1997:217) bahwa Fenomenologi mengkaji masuk ke dalam dunia makna yang terkonsep / terkonstruksi dalam diri individu yang kemudian digejalakan dalam bentuk fenomena. Dengan kata lain, ia menerobos ke dalam untuk mengungkap makna apa yang ada dibalik fenomena yang ditampilkan oleh individu dalam kehidupannya sehari-hari. Asumsi dari pendekatan fenomenologi adalah bahwa bagi individu melakukan interaksi dengan sesamanya ada banyak cara penafsiran pengalaman, makna dari pengalaman itulah yang sebenarnya membentuk realitas tindakan yang ditampakkan atau digejalakan (Fatchan, 2011). Kahija (2006) mengartikan fenomenologis sebagai penelitian pada makna pengalaman hidup beberapa orang tentang fenomena/konsep tertentu. Kahija dalam bukunya yang berjudul “Pengenalan dan Penyusunan Proposal/Skripsi Penelitian Fenomenologis, menjelaskan bahwa manfaat fenomenologi adalah menunjukkan bahwa dalam melakukan penelitian kualitatif peneliti perlu mengurung rasa sok tahu dan sok ngerti. Tindakan mengurung ini oleh Edmund Husserl disebut dengan bracketing. Peneliti yang menggunakan pendekatan fenomenologi harus menjadi pendengar yang baik sehingga subjek penelitian merasa ingin menceritakan seluruh pengalamannya. Murti (2010) menekankan fenomenologi kepada konstruksi (bangunan) yang dibuat masing-masing individu tentang kehidupan dunia. Kehidupan dunia masing-masing individu berbeda satu dengan yang lainnya dan perilaku individu hanya dapat dipahami dengan cara menempatkannya dalam konteks kehidupan individu yang bersangkutan. Murti (2010) mengutip dari Rice dan Ezzy (2000) bahwa fenomenologi mencatat semua perilaku yang berhubungan dengan perilaku sebelumnya
P e n d e k a t a n P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 11
(cues) dalam memahami responden. Itulah sebabnya fenomenologi kerap menggunakan teknik wawancara mendalam. H. Konstruksionistik Kajian dengan menggunakan pendekatan ini bersumber atas dasar kajian ilmu historik. Menurut Fatchan (2011) kajian dengan menggunakan pendekatan ini bertujuan untuk memahami makna yang dikonstruksi oleh individu yang difenomenakan dalam suatu kejadian, gejala yang timbul, dan atau interaksi bagi individu dalam kondisi dan situasi tertentu dalam kehidupan sehari-hari pada suatu masyarakat tertentu. Pendekatan ini sama halnya dengan pendekatan fenomenologi dimana pendekatan ini berusaha masuk ke dalam dunia makna yang terkonsep (terkonstruksi) dalam diri individu yang kemudian digejalakan dalam bentuk fenomena. Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada permasalahan menyangkut esensi dan struktur pengalaman dari tindakan yang digejalakan dalam kehidupan masyarakat. Secara lebih jelas Fatchan (2011) menjelaskan bahwa pendekatan ini mengandung apa yang tampak pada suatu tindakan itu mengandung banyak makna. Makna yang ada berbeda pada masing-masing individu pelaku, karenanya diperlukan pemahaman secara interpretatif (interpretative understanding) untuk dapat mengungkap berbagai makna yang ada dibalik fenomena yang ada. Titik bidiknya mengarah pada berbagai makna yang dikonstruksi oleh masing-masing individu yang digejalakan dalam bentuk berbagai tindakan (actions) (Fatchan, 2011). Dalam memahami tindakan dari individu peneliti dapat menggunakan pendekatan konstruksionistik. Dalam hal ini peneliti hendaknya berasumsi bahwa individu adalah pembangun bagi suatu masyarakat. Begitu juga sebaliknya, masyarakat juga sebagai pembangun individu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Berger dan Luckman (1996) yang dikutip oleh Fatchan (2011), dijelaskan bahwa berbagai tindakan manusia tidak terlepas dari proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi merupakan proses dimana berbagai tindakan individu memberi pengaruh pada kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya. Internalisasi merupakan proses dimana berbagai tindakan dari individu dipengaruhi oleh kondisi kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya. Sedangkan objektivasi merupakan proses dimana tindakan individu dilakukan secara objektif sejalan dengan keberadaan individu tersebut dan kondisi masyarakatnya. Tindakan objektif individu muncul setelah mengalami proses internalisasi dan eksternalisasi.
12 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f I. Etnometodologi Menurut Fatchan (2011) dalam bukunya yang berjudul “Metodologi Penelitian Kualitatif” kajian pendekatan etnometodologi memusatkan perhatiannya pada : “Bagaimanakah orang-orang memahami aktivitas kehidupannya sehari-hari, sebagaimana mereka menerimanya dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itulah Fatchan (2011) menyebut etnometodolgi sebagai suatu studi tentang orang-orang guna menciptakan keteraturan sosial. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh beberapa ahli (Ritzer, 1992:373; Waters, 1994:36; Sparringa, 2000:588; Dimyati, 2000:131) yang dikutip oleh Fatchan (2011) bahwa kajian etnometodologi berakar dari disiplin ilmu sosiologi, arah kajian memfokus pada pertanyaan bagaimana individu memahami berbagai aktivitas kehidupannya di setiap hari (everyday life) dalam suatu kelompok masyarakatnya. Kajian ini mengarah pada kelompok, institusi, atau organisasi sosial sebagai suatu yang dibangun dari pengalaman yang berbeda-beda dari berbagai individu yang berbedabeda pula. Jika fenomenologi lebih menitikberatkan pada kajian tindakan individu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, maka etnometodologi lebih mengarah pada tindakan suatu kelompok atau organisasi tertentu. Seperti halnya fenomenologi, etnometodologi melihat suatu organisasi sosial sebagai suatu yang harus dibangun diluar berbagai pengalaman yang berbeda-beda dari berbagai individu yang berbeda pula. Pendekatan ini lebih ditujukan kepada pengamatan terhadap suatu tingkah laku atau tindakan manusia dalam kelompoknya. Penelitian mengarah pada pemahaman terhadap tingkah laku atau tindakan suatu kelompok masyarakat tertentu (Fatchan, 2011). J. Interaksi Simbolik Kajian dengan pendekatan ini terpusat pada pertanyaan : Bagaimanakah seperangkat simbol dan dipahaminya secara bersama terhadap makna simbol yang menampakkan diri dalam kehidupan anggota masyarakat dan kelompoknya?. Adapun teori yang mendasari kajian ini adalah disiplin ilmu sosiologi dan psikologi sosial. Asumsi teoritiknya adalah bahwa dalam kehidupan masyarakat itu senantiasa berbentuk interaksi simbolik yang terbentuk melalui interaksi dan komunikasi, baik antar individu, individu dengan kelompok, dan atau antar kelompok, dengan menggunakan seperangkat simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar (Fatchan, 2011). Proses belajar yang dimaksud adalah pemahaman pada simbolsimbol dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut.
P e n d e k a t a n P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 13
Walaupun demikian menurut Fatchan (2011), norma, nilai sosial, serta manka dari simbol-simbol memberikan pembatasan terhadap tindakan manusia. Meski demikian, manusia dengan akal pikirnya mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan yang ingin dicapai. Sehingga dengan demikian, masing-masing individu mempunyai interpretasi sendiri terhadap berbagai simbol yang menjadi ajang dalam interaksi yang dilakukannya. Pada penerapan model ini, studi yang dilakukan memusatkan perhatiannya pada bagaimanakah seperangkat lambang dan pemahamannya terhadap lambang tersebut berkembang di masyarakat (dengan memberikan makna dalam interaksi antar anggota masyarakat dalam kelompok). Pendekatan ini lebih berorientasi pada pengamatan terhadap suatu tingkah laku atau tindakan manusia secara individu da dalam lingkungan kehidupan kesehariannya, baik manusia ayau alam sekitarnya, terhadap berbagai simbol yang ada di sekitarnya (Fatchan, 2011). K. Heuristik Pendekatan ini dilandasi oleh ilmu psikologi humanistik, dimana fokus kajian dari pendekatan heuristik ini adalah pada permasalahan utama tentang Bagaimanakah pengalaman setiap person dalam berbagai fenomena, dan berupaya mengungkapkan secara intensif tentang halyang berkaitan dengan bagaimana esensi pengalaman orang lain (yang berpenglaman sama) dalam fenomena yang sama. Inti dari pendekatan ini adalah lebih ditujukan kepada pengamatan terhadap tindakan manusia secara orang perorang dalam suatu kehidupan masyarakat(Fatchan, 2011). L. Hermeneutik Murti (2010) dalam bukunya menjelaskan asal muasal kata hermenutik. Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani “hermeneuein” yang artinya “interpretasi” (penafsiran). Menurut Rice dan Ezzy (2000) seperti dikutip oleh Murti (2010), hermenutik adalah “critical theory of interpretation”, memfokuskan kepada makna dan interpretasi (penafsiran). Artinya, epistemologi hermeneutik menekankan peran pemahaman subjektif dalam membentuk pengetahuan (Murti, 2010). Kajian pendekatan hermeneutik didasarkan atas kajian dari teologi, filsafat ilmu, dan sastra kritis. Kajian ini lebih mengarah pada permasalahan suatu kondisi tertentu yang menyebabkan manusia bertindak untuk menghasilkan sesuatu dan menginterpretasikan makna dari tindakannya itu. Asumsinya bahwa pemahaman terhadap orang lain
14 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f akan mungkin tercapai jika dapat memahami terhadap dirinya sendiri terlebih dahulu. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan pcara ahli (Sparringa, 2000; Miles and Huberman, 1994:11) bahwa suatu pemahaman berarti menciptakan hubungan di antara keduanya, hubungan itu akan semakin erat jika dilakukan oleh orang yang hendak memahami, dimana orang tersebut melakukan pemahaman terlebih dahulu terhadap dirinya (Fatchan, 2011). Menurut Fatchan (2011) studi permasalahan pada pendekatan ini dipusatkan pada permasalahan : Dibawah kondisi apakah tindakan manusia mengambil tempat atau menghasilkan sesuatu? Dan bagaimana hasil tindakan manusia tersebut dimungkinkan untuk diinterpretasikan maknanya?Pemahaman hermenuistik ini selalu merupakan pemahaman terhadap pra-pengertian. Pemahaman situasi orang lain hanya mungkin tercapai melalui pemahaman atas situasi diri sendiri terlebih dahulu. Pemahaman berarti menciptakan komunikasi antar kedua situasi tersebut. Komunikasi tersebut akan semakin intensif apabila situasi yang hendak difahami, oleh fihak yang hendak memahami diaplikasikannya pada dirinya sendiri. M. Inquiri Filosofi (Philosophycal Inquiry) Suatu penelitian yang menggunakan analisis intelektual guna memperjelas makna, membikin nilai-nilai menjadi nyata, mengidentifikasi etika, bahkan juga studi tentang hakikat ilmu. Penelitian filosofis berdasarkan atas isu dan ide (issue or idea) dari semua perspektif literatur. Ia menguji atau menelaah secara mendalam mengenai makna suatu konsep. Ia berupaya merumuskan dalam bentuk pertanyaan atau memikirkan jawabannya. Selanjutnya ia menyarankan implikasi atas berbagai jawaban tersebut (Fatchan, 2011). Berdasarkan penjelasan Salladien yang dikutip oleh Fatchan (2011), beberapa kategori atau jenis penelitian inkuiri filosofis yang sering digunakan antara lain : 1. Studi fondasional (fondational study) melibatkan analisis atas fenomena tertentu yang dianut bersama 2. Studi analisis filosofis (philosophycal analysis) suatu upaya menguji makna dan mengembangkan teori yang diperoleh melalui analisis konsep ataupun analisis linguistik 3. Analisis etik (ethical analysis) menerapkan analisis intelektual atas masalah etik apabila dikaitkan dengan konsep hak, tugas, kesadcaran, keadilan, pilihan, dan tanggung jawab. Analisis etik sesungguhnya sebagai alat penggiring bagi munculnya final rational tatkala dimensi etik diragukan
P e n d e k a t a n P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 15
4. Teori kritik sosial, merupakan metoda kualitatif yang tergolong unik. Diawali dari konsep kritik sosial (social critical concept). Peneliti menggali pemahaman mengenai ccara seseorang berkomunikasi dan bagaimana ia mengembangkan makna simbolik suatu konsep di masyarakat. Penelitian ini sering diterapkan di dunia politik, sering dijumpai pada suatu kawasan dimana pemerintahannya bersifat otoriter. N. Biografis Kahija (2006) menjelaskan bahwa pendekatan kualitatif biografis meneliti satu individu dan pengalaman-pengalaman hidupnya secara mendalam. O. Grounded Theory Kahija (2006) mendefinisikan Grounded Theory sebagai penelitian fenomena pada beberapa subjek dengan tujuan untuk memunculkan teori. 2.2 Rangkuman Jenis-jenis penelitian deskriptif kualitatif dibagi dalam 6 kelompok, yakni Analisis Dokumen, Penelitian Historis, Analisis Isi, Studi Kasus, Etnografis, dan Penelitian Naturalistik. Sedangkan menurut Fatchan (2011) pendekatan penelitian kualitatif dibagi dalam 9 macam, yaitu Fenomenologi, Konstruksionistik, Etnometodologi, Etnografi, Interaksi Simbolik, Heuristik, Hermeneutik, Historis dan Inquiri Filosofi. Lain halnya dengan Kahija (2006) yang membagi pendekatan penelitian kualitatif menjadi 5 macam, yaitu Biografis, Fenomenologis, Studi Kasus, Etnografis dan Grounded Theory. 2.3 Latihan/Tugas Carilah jurnal ilmiah nasional/internasional terakreditasi sebanyak 5 jurnal dan kategorikan tiap-tiap jurnal tersebut masuk pada kategori yang mana di pendekatan penelitian kualitatif. 2.3 Pengayaan Bacaan Babbie, Earl. 1986. The Practice of Social Research. Fourth Edition. Eadsworth Publishing Co. : Belmont, California. A Division of Wadsworth, Inc.
16 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f
BAB 3 TEKNIK PENYUSUNAN PROPOSAL PENELITIAN KUALITATIF
Standar Kompetensi: Mahasiswa mampu melakukan penyusunan penelitian kualitatif. Kompetensi Dasar:Mahasiswa dapat memahami teknik penyusunan proposal penelitian kualitatif. Keterkaitan kompetensi dasar dengan standar kompetensi adalah bahwa teknik penyusunan proposal penelitian kualitatifadalah bagian dari dasar penyusunan proposal penelitian kualitatif. Kompetensi dasar pada bagian bab ini merupakan bagian dari standar kompetensi pada mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif. Ruang Lingkup Materi: Bab ini berisi uraian tujuan dan manfaat, serta rumusan masalah dalam penelitian kualitatif. Uraian 3.1 Tujuan dan Manfaat dalam Penelitian Kualitatif Di dalampenelitian kualitatif tujuan harus dinyatakan dengan jelas, tegas dan eksplisit. Tujuan ini harus mampu memberikan arah akan kemana penelitian ingin dibawa. Di samping itu, tidak jarang tujuan penelitian juga mengandung makna filosofis yang berlandaskan hermeneutic (Fatchan, 2011). Tujuan penelitian kualitatif tingkat tinggi adalah ditariknya suatu kesimpulan “untuk memahami” (understanding) seperti di dalam penelitian kuantitatif.Akan tetapi dalam penelitian kualitatif mengarah pada memahami makna dan atau memahami pemahaman individu sebagai subjek penlitian.Kendatipun demikian dalam penelitian kualitatif tingkat rendah (misalnya baru belajar penelitian kualitatif) tidak diharamkan pada tingkat/tataran deskripsi rinci tentang kondisi/keadaan sesungguhnya (naturalistik) terhadap sesuatu hal (Fatchan, 2011).
18 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 3.2 Rumusan Masalah dalam Penelitian Kualitatif Semua penelitian selalu berangkat dari suatu masalah. Suatu masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara, tentatif dan akan berkembang atau berganti setelah peneliti berada di lapangan. Hal ini karena masalah yang dibawa peneliti masih remang-remang, gelapkompleks dan dinamis. Masalah sering disebut sebagai fokus penelitian. Penetapan fokus ini dapat dipastikan jika peneliti sudah berada di tempat penelitian atau lapangan penelitian. Tujuan penetapan fokus penelitian adalah sebagai penetapan fokus yang mana dapat membatasi wilayah penelitian, jika masalah penelitian berhadapan dengan kontradiksi yang berlainan. Kedua, penetapan fokus bertujuan untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi atau memasukkan-mengeluarkan suatu informasi yang baru diperoleh di lapangan. Jadi, dengan penetapan fokus secara jelas dan mantap ini aan membantu peneliti dalam membuat keputusan yang tepat mengenai data yang akan dikumpulkan atau data yang harus dibuang (Muhtar, 2013). Menurut Fatchan (2011) ada 3 kemungkinan masalah yang dibawa oleh peneliti sebelum dan sesudah peneliti memasuki lapangan penelitian. Yang pertama, masalah yang dibawa oleh peneliti tetap, sehingga dari awal penelitian sampai ahir penelitian masalah tersebut tetap sama. Yang kedua, masalah yang dibawa peneliti setelah memasuki penelitian menjadi berkembang yaitu memperluas atau memperdalam masalah yang telah dipersiapkan. Dan yang ketiga adalah masalah yang dibawa peneliti setelah memasuki lapangan berubah total sehingga peneliti harus mengganti masalanhya. Ada perbedaan antara masalah dengan rumusan masalah. Dalam Fatchan (2011) dikemukakan bahwa masalah merupakan penyimpangan antara yang seharusnya dengan yang terjadi. Sedangkan rumusan masalah menurut Fatchan adalah pertanyaan penelitian yang disusun berdasarkan masalah yang harus dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data. Dimana data tentang masalah bisa berasal dari dokumentasi hasil penelitian, pengawasan, evaluasi, pengamatan pendahuluan, dan pernyataan orang-orang yang patut dipercaya. Sugiyono (2008) menjelaskan bahwa berdasarkan level of explanation maka secara umum terdapat 3 bentuk rumusan masalah, yaitu rumusan masalah deskriptif, komparatif, dan asosiatif. Rumusan masalah deskriptif adalah suatu rumusan masalah yang memandu peneliti untuk mengeksplorasi dan atau memotret situasi sosial yang akan diteliti secara menyeluruh, luas dan mendalam. Sedangkan rumusan masalah komparatif adalah rumusan masalah yang memandu peneliti untuk membandingkan antara konteks sosial atau domain satu dibandingkan dengan yang lain.
T e k n i k P e n y u s u n a n P r o p o s a l | 19
Rumusan masalah asosiatif merupakan rumusan masalah yang memandu peneliti untuk mengkonstruksi hubungan antara situasi sosial atau domain satu dengan yang lainnya. Rumusan maslah asosiatif ini terbagi menjadi 3, yaitu, hubungan simetris (suatu gejala yang munculnya bersamaan sehingga buan merupakan hubungan sebab akibat atau interaktif), hubungan kausal (bersifat sebab akibat), dan hubungan reciprocal (hubungan yang saling mempengaruhi). Biasanya dalam suatu penelitian kualitatif hubungan yang ditemukan adalah hubungan reciprocal atau interaktif. (Sugiyono, 2008) Prinsip-prinsip membangun masalah dalam Mukhtar (2013) antara lain: a) Teori dasar dari situasi sosial b) Maksud membangun masalah c) Hubungan faktor d) Membatasi penelitian e) Kriteria inklusi-eksklusi f) Bentuk bangunan atau rumusan masalah Sedangkan teknik merumuskan masalah penelitian menurut Mukhtar (2013) yakni: a) Uraikan teori-teori yang terkait dengan variabel atau judul penelitian b) Uraikan semua peraturan atau regulasi yang terkait dengan judul penelitian c) Uraikan atau bentangkan data lapangan studi pendahuluan d) Analisis data pendahuluan e) Bangun kalimat kunci berupa statement atau pertanyaan 3.3 Rangkuman 1. Tujuan penelitian kualitatif tingkat tinggi adalah ditariknya suatu kesimpulan “untuk memahami” (understanding) seperti di dalam penelitian kuantitatif. Akan tetapi dalam penelitian kualitatif mengarah pada memahami makna dan atau memahami pemahaman individu sebagai subjek penlitian. 2. Suatu masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara, tentatif dan akan berkembang atau berganti setelah peneliti berada di lapangan. Hal ini karena masalah yang dibawa peneliti masih remangremang, gelap-kompleks dan dinamis.
20 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 3.4 Latihan/Tugas Carilah jurnal ilmiah nasional/internasional terakreditasi sebanyak 3 jurnal dan tulis untuk masing-masing jurnal tersebut tujuan, manfaat dan rumusan masalah penelitian. 3.5 Pengayaan Bacaan Babbie, Earl. 1986. The Practice of Social Research. Fourth Edition. Eadsworth Publishing Co. : Belmont, California. A Division of Wadsworth, Inc.
BAB 4 METODE PENGUMPULAN DATA PENELITIAN KUALITATIF
Standar Kompetensi: Mahasiswa mampu melakukan penyusunan penelitian kualitatif. Kompetensi Dasar: Mahasiswa dapat memahami metode pengumpulan data penelitian kualitatif. Keterkaitan kompetensi dasar dengan standar kompetensi adalah bahwa metode pengumpulan data penelitian kualitatifadalah bagian dari dasar penyusunan laporan penelitian kualitatif. Kompetensi dasar pada bagian bab ini merupakan bagian dari standar kompetensi pada mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif. Ruang Lingkup Materi: Bab ini berisi uraian tentang teknik survei, teknik observasi, teknik wawancara, teknik penelaahan catatan lapangan dan memo, teknik elisitasidokumen, teknik penelaahan data pada pengalaman personal, dan teknik partisipasi dalam penelitian aksi. Uraian 4.1 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan (Sugiyono, 2010). Teknik pengumpulan/pengambilan data kualitatif pada dasarnya bersifat tentatif karena penggunaannya ditentukan oleh kontes permasalahan dan gambaran data yang mau diperoleh. Peneliti kualitatif merupakana kind of prefessional do-it yourself person yang mengimplikasikan keputusan-keputusan profesional peneliti sesuai dengan kontes permasalahan, fakta sasaran penelitian dan target hasil yang ingin dicapai. (Fatchan, 2011) Menurut Fatchan (2011) sejumlah teknik pengumpulan data kualitatif yang umum digunakan adalah survei, partisipasi, observasi, interview, catatan lapangan dan memo analitik, elisitasi dokumen,
22 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f pengalaman personal, dan partisipasi dalam kaji tindak. Berbagai teknik pengumpulan data itu sebenarnya merupakan “methodologial trade” yang bisa dimodifikasi sesuai dengan kepentingan si peneliti.
Gambar 4.1 Macam-macam teknik pengumpulan data Sumber :Modifikasi Fatchan, 2010 dan Sugiyono (2010) Sedangkan Sugiyono (2010) membagi pengumpulan data dalam berbagai aspek. Dalam bukunya yang berjudul Memahami Penelitian Kualitatif,disebutkan bahwa pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara.
M e t o d e P e n g u m p u l a n D a t a | 23
Bila dilihat dari setting-nya, data dapat dikumpulkan pada setting alamiah (natural setting), pada laboratorium dengan metode eksperimen, di rumah dengan berbagai responden, pada suatu seminar, diskusi, di jalan, dan lain-lain. Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunaan sumber data primer, dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Selanjutnya bila dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat dilakuan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), dokumentasi dan gabungan/triangulasi. (Sugiyono, 2010) a. Teknik Survei Teknik ini biasanya digunakan untuk memahami pendapat dan sikap sekelompok masyarakat tertentu hal ini bertujuan untuk memperoleh kedalaman dan kelengkapan informasi. Menurut Ibrahim dalam Fatchan (2011) langkah kegiatan teknik survei adalah sebagai berikut : 1. Menuliskan masalah yang akan dikaji dan menggambarkan berbagai kemungkinan rincian dan jaringan butir permasalahan yang terkait dengna permasalahan yang diajukan 2. Memilah-milah satuan “variabel” yang terkait dengan rincian maslaah yang akan dikaji (sesuai dengan klasifikasi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dsb.) 3. Meninjau ulang dan menilai butir-butir informasi yang ingin diperoleh dan mengurutkannya sesuai dengan satuan kelompok, sekuensi dan hubungan sistemisnya. 4. Menuliskan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan informasi yang ingin diperoleh sambil menggambarkan kemungkinan jawabannya. 5. Menentukan kemungkinan bentuk jawaban pertanyaan yang paling sesuai apabila dibandingkan dengan bentuk informasi yang ingin diperoleh. Bentuk jawaban tersebut mungkin berupa jawaban singkat yang terbuka, atau bahkan berupa skala pilihan, seperti : sangat...., cukup...., tidak...., atau kemungkinan bentuk skala lain. 6. Menuliskan petunjuk pengisian yang dianggap tepat dan jelas guna menghindari kemungkinan kesalahan dalam pengisian atau miss komunikasi. 7. Menilai kemungkinan terdapatnya pertanyaan yang mendua. Arti, menghindari pilihan kata dan kalimat yang informasinya tidak jelas, dan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya bisa tumpang tindih.
24 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 8. Menyusun kuisioner sesuai dengan petunjuk pengisian dan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan. Kuisioner yang telah disusun bisa disampaikan melalui pertemuan dalam kelompok, penyampaian secara individual, melalui surat, melalui email, majalah, koran, atau situs di internet. Pemerkayaan informasi selanjutnya selain dapat diperoleh melalui interview, dialog secara kelompok, juga bisa ditempuh melalui kegiatan observasi. b. Teknik Observasi Observasi dihubungkan dengan upaya-upaya : merumuskan masalah, membandingkan masalah (yang dirumuskan dengan kenyataan di lapangan), pemahaman secara detail permasalahn (guna menemukan detail pertanyaan) yang akan dituangkan dalam kuisioner, ataupun untuk menemukan strategi pengambilan data dan bentuk perolehan pemahaman yang dianggap paling tepat (Fatchan, 2011). Menurut Sanafiah Faisal dalam Sugiyono (2010) observasi dibagi menjadi observasi berpartisipasi, secara terang-terangan dan tersamar, dan yang tidak berstruktur. 1. Observasi partisipatif Dalam observasi ini peneliti turur serta dan terlibat dalam kegiatan sehari-hari orang yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamata, peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan oleh sumber data dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan demikian data yang diperoleh akan lebih lengkap dan tajam serta sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang tampak. Seperti yang talah digambarkan pada skema di atas, observasi jenis ini digolongkan menjadi empat: a) Observasi yang pasif Dalam hal ini peneliti datang ke tempat kegiatan orang yang diteliti namun tidak ikut dalam kegiatan yang dilakukan tersebut. b) Observasi yang moderat Dalam mengumpulkan data, peneliti ikut observasi partisipatif dalam beberapa kegiatan, namun tidak semuanya. Peneliti menyeimbangkan untuk menjadi “orang dalam” dan ”orang luar” c) Observasi yang aktif Dalam hal ini peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan narasumber, tetapi belum sepenuhnya lengkap. d) Observasi yang lengkap Dalam hal ini peneliti seperti tidak melakukan penelitian. Peneliti sudah terlibat sepenuhnya pada apa yang dilakukan narasumber
M e t o d e P e n g u m p u l a n D a t a | 25
sehingga suasan yang tercipta terlihat sangat natural. Untuk melakukan observasi jenis ini dibutuhkan keterlibatan peneliti yang tinggi terhadap akitivitas kehidupan narasumber. 2. Observasi terus terang dan tersamar Dalam melakukan penelitian jenis ini, peneliti menyatakan terus terang kepada narasumber bahwa ia sedang melakukan penelitian. Artinya, dalam hal ini aktivitas peneliti sudah diketahui oleh narasumber dari awal penelitian hingga akhir penelitian. Namun suatu saat peneliti juga tidak terus terang atau tersamar dalam melakukan observasi, hal ini untuk menghindari kalau suatu data yang dicari merupakan data yang masih dirahasiakan karena dimungkinkan jika disampaikan terus terang maka peneliti tidak diijinkan untuk melakukan observasi. 3. Observasi tak terstruktur Observasi tak berstruktur merupakan observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi. Hal ni dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang apa yang akan diamati. Dalam melakukan pengamatan peneliti tidak menggunakan instrumen yang telah baku, tetapi hanya ramburambu pengamatan(Sugiyono, 2010). Dalam observasi tak terstruktur ini fokus observasi berkembang selama kegiatan observasi berlangsung. Jika masalah sudah jelas seperti penelitian kuantitatif maka observasi bisa dilakukan secara terstruktur dengan menggunakan pedoman observasi. Misalnya adalah penelitian pada suku terasing yang belum diketahui oleh peneliti. Obyek dalam observasi menurut Spradley dalam Sugiyono (2010) disnamakan dengan situasi sosial yang terdiri atas 3 komponen, yaitu place (tempat), actor (pelaku), dan activities (aktivitas). Tiga elemen ini dapat diperluas, sehingga apa yang dapat peneliti amati adalah : 1. Space : ruang dalam aspek fisiknya 2. Actor : semua orang yang terlibat dalam situasi sosial 3. Activity : seperangkat kegiatan yang dilakukan orang 4. Object : benda-benda yang terdapat di tempat itu 5. Act : perbuatan atau tindakan-tindakan tertentu 6. Event : rangkaian aktivitas yang dilakukan orang-orang 7. Time : urutan kegiatan 8. Goal : tujuan yang ingin dicapai orang-orang 9. Feeling : emosi yang dirasakan dan diekspresikan orang-orang
26 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f Adapun tahapan-tahapan dalam melakukan observasi menurut Spradley dalam Sugiyono (2010) meliputi: 1. Observasi deskriptif Bila dilihat dari segi analisis maka dalam hal ini peneliti melakukan analisis domain karena mampu mendeskripsikan semua yang ia temui. Observasi deskriptif ini dilakukan peneliti saat memasuki situasi sosial tertentu sebagai obyek penelitian. Pada tahap ini peneliti belum membawa masalah yang dia teliti, oleh karena itu pengamatan yang dilakukan berupa pengamatan umum dan menyeluruh, mengamati pada apa semua yang ia dengar, lihat dan dirasakan sehingga dalam tahap ini hasil pengamatan masih belum tertata. 2. Observasi terfokus Dalam tahap ini peneliti sudah mempersempit dan memfokuskan pada aspek tertentu (biasanya disebut sebagai mini tour observation). Dinamakan observasi terfokus karena dalam tahap ini peneliti melakukan analisis taksonomi yang mana bisa menemukan titik fokus. Namun meski sudah memfokuskan pada domain tertentu, hasil pengamatan masih belum terstruktur. 3. Observasi terseleksi Dalam tahap ini peneliti telah menguraikan fokus yang ditemukan sehingga data yang diperoleh lebih rinci. Menurut Sugiyono (2010) dengan melakukan analisis komponensial terhadap fokus. Maka pada tahap ini peneliti telah menemukan karakteristik, kontraskontras/perbedaan dan kesamaan antar kategori serta menemukan hubungan antara satu kategori dengan kategori yang lain. Pada tahap ini peneliti diharapkan telah menemukan pemahaman mendalam atau hipotesis. Dalam melakukan observasi perlu dilakukan pencatatanpencatatan, catatan observasi ini menurut Kahija (2006) terbagi atas : 1. Observasi empiris, yaitu observasi yang murni berdasarkan tangkapan indra peneliti. Indar yang paling banyak bekerja adalah mata dan telinga. 2. Observasi interpretatif, yaitu observasi yang berisi interpretasi/penafsiran peneliti ketika indra peneliti sedang mengobservasi. c. Teknik Interview(Wawancara) Kahija ( 2006) mendefinisikan wawancara adalah metode pengumpulan data dimana satu orang menanyakan pertanyaan ke orang lain baik berhadapan langsung face to face, berhadapan lewat layar, atau berbicara lewat telepon.Secara teoritis wawancara biasanya terbagi dalam
M e t o d e P e n g u m p u l a n D a t a | 27
3 jenis, yakni wawancara terstruktur, tidak terstruktur dan semi struktur. Namun, Kahija menyarankan agar peneliti menggunakan bentuk semistruktur. Wawancara baik dilakukan secara face-to-face maupun via telepon akan selalu terjadi kontak pribadi, oleh karena itu jika akan melakukan wawancara maka peneliti harus memilih waktu yang tepat kapan dan dimana harus melakukan wawancara yang disesuaikan dengan kesanggupan responden (narasumber). Hal ini disebabkan jika pemilihan waktu dan tempat yang salah maka akan terjadi bias pada data hasil wawancara. Sejalan dengan yang disampaikan Kahija di atas, Fathan mendefinisikan interviu sebagai salah satu cara pengambilan data yang dilakukan melalui kegiatan komunikasi lisan dalam bentuk terstruktur, semi terstruktur, dan tak struktur. (Fatchan, 2011). Dalam bukunya Sugiyono (2010) menjelaskan bahwa wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemui permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi. Dalam penelitian kualitatif sering menggabungkan teknik observasi partisipatif dengan wawancara mendalam. Selama melakukan observasi, peneliti juga melakukan interview kepada orang-orang yang ada di dalamnya. 1. Wawancara terstruktur (structured interview) Fatchan (2011) mengatakan bahwa interviu (wawancara) yang terstruktur merupakan bentuk interviu yang sudah diarahkan oleh sejumlah pertanyaan secara ketat. Menurut Sugiyono (2010) wawancara jenis ini digunakan sebagai teknik pengumpulan data bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Dalam hal ini sebelum wawancara dilakukan, pengumpul data telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya juga sudah dipersiapkan. Dalam wawancara ini para responden diberi pertanyaan sama dan pengumpul data mencatatnya. 2. Wawancara semi terstruktur (semistructure interview) Dalam wawancara semi terstruktur meskipun interviu sudah diarahkan oleh sejumlah daftar pertanyaan tidak tertutup kemungkinan memunculkan pertanyaan baru yang idenya muncul secara spontan sesuai dengna konteks pembicaraan yang dilakukannya (Fatchan, 2011).
28 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f Menurut Sugiyono (2010) wawancara jenis ini sudah termasuk dalam kategori in-depth interview dimana pelaksanaannya lebih bebas dibandingkan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, karena pihak yang diwawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Dalam wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan. 3. Wawancara tak berstruktur (unstructured interview) Interviu tak terstruktur (terbuka) merupakan interviu dimana peneliti hanya hanya berfokus pada pusat-pusat permasalahan tanpa diikat format-format tertentu secara ketat (Fatchan, 2011). Sugiyono (2010) mendefinisikan wawancara tidak terstruktur sebagai jenis wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan diterapkan. Dalam melakukan wawancara tidak terstruktur, peneliti lebih banyak mendengarkan apa yang diceritakan oleh responden sebab peneliti belum mengetahui secara pasti data apa yang akan diperoleh nantinya.Pada teknik jenis ini di awal wawancara peneliti boleh bertanya hal-hal yang tidak terkait dengan tujuan. Jika sudah terbuka kesempatan untuk menanyakan sesuatu yang menjadi tujuan maka segera dipertanyakan pada responden. Fatchan (2011) menjelaskan bahwa pelaksanaan wawancara bisa dilakukan secara individual atau kelompok dimana dalam hal ini peneliti sebagai interviewer bisa melakukan interviu secara directive atau nondirective. Dilakukan secara directive bila peneliti selalu berusaha mengarahkan topik pembicaraan sesuai dengan fokus permasalahn yang ingin dipecahkan. Interviu dilakukan secara nondirectivebila peneliti bukannya ingin memfokuskan pembicaraan pada masalah tertentu melainkan ingin mengeksplorasi suatu masalah. Adapun langkah-langkah dalam melakukan wawancara yang dipaparkan oleh Sanafiah Faisal dalam Sugiyono (2010) adalah sebagai berikut : a. Menetapkan kepada siapa wawancara akan dilakukan b. Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan c. Mengawali atau membuka alur wawancara d. Melangsungkan alur wawancara e. Mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya
M e t o d e P e n g u m p u l a n D a t a | 29
f. Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan g. Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh Sedangkan Fatchan dalam bukunya mengemukakan lebih detail tentang langkah-langkah dalam penggunaan teknik wawancara, yakni : a. Menuliskan butir-butir wawancara yang akan dicari jawabannya (secara detil/hanya garis besar tergantung dari bentuk interview) b. Diskusi dengan teman terkait daftar pertanyaan yang sudah dibuat c. Menentukan tema interviu dan antisipasi kemungkinan informasi yang ingin diperoleh d. Memahami partisipan dengan benar e. Tidak mengarahkan pertanyaan pada pemberian jawaban secara sugesti f. Jangan membiarkan partisipan memberikan jawaban secara panjang lebar yang melampaui batas informasi dari yang seharusnya g. Tidak menginterupsi jawaban dengan pertanyaan yang berbau penafsiran, penggalian pendapat secara subjektif ataupun klarifikasi atas suatu kesimpulan yang memancing munculnya opini h. Menjaga sekuensi pembicaraan sesuai dengan urutan permasalahan atau sekuensi informasi yang ingin diperoleh i. Melaksanakan interviu dengan memanfaatkan bahan rekaman, menciptakan suasana dialogis yang segar, menjauhkan suasana pembicaraan dari suasana emosional. Jenis-jenis pertanyaan digolongkan menjadi 6 pertanyaan oleh Molleong dalam Sugiyono (2010), secara singkat terdiri atas : 1. Pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman 2. Pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat 3. Pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan 4. Pertanyaan tentang pengetahuan 5. Pertanyaan yang berkenaan dengan indera 6. Pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang atau demografi d. Teknik Penelaahan Catatan Lapangan dan Memo Catatan lapangan dan memo analitik merupakan teknik pengambilan data yang dilakukan melalui observasi yang digabungkan dengan interaksi dalam bentuk dialog secara partisipatoris. Dengan cara ini peneliti diharapkan bisa memperoleh sejumlah fakta dan informasi atas sebuah fokus permasalahan yang evidensinya diperoleh dari dari berbagai dimensi (Fatchan, 2011). Fatchan menambahkan bahwa pada teknik ini peneliti perlu mencatat tanggal, tempat/setting terjadinya peristiwa/munculnya fakta, dan fokus penelitiannya. Pencatatan dilakukan berdasarkan pada apa yang
30 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f terjadi di lapangan. Apa yang dicatat bukan hanya terkait dengan fakta yang terlihat tetapi juga dengan fakta yang diperoleh dari hasil interaksi atau interview. e. Teknik ElisitasiDokumen Penelitian kualitatif tidak hanya merujuk pada kejadian-kejadian sosial yang ada dalam masyarakat tetapi bisa juga merujuk pada dokumen-dokumen (berbagai dokumen bisa dalam bentuk teks misalnya bacaan, rekaman radio maupun audio visual). Biasanya dalam hal ini peneliti sedang melakukan penelitian terhadap naskah, karya sastra, dan seni pertunjukkan. Oleh karena itu Fatchan (2011) mengemukakan bahwa dalam hal ini teknik pengumpulan data dapat dilakukan melalui elisitasi teks sesuai dengan fokus permasalahan yang dikerjakan dan evidensi yang nantinya akan diajukan. f. Teknik Penelaahan Data pada Pengalaman Personal Menurut Clandnn dan Conelly dalam Fatchan (2011) konteks pengalaman atau experience dalam hal ini adalah the stories people live people berupa buku harian narasi, tuturan pengalaman kesjarahan (secara lisan), surat maupun jurnal. Factor yang harus diperhatikan dalam teknik ini adalah interaksi dan kontinuitas.Interaksi yang dimaksud berkaitan dengn pertalian pengalaman personal secara individual dengan aspek eksistensial maupun relasi sosialnya.Sedangkan kontinyuitas dalam hal ini lebih mengacu pada karakterstik pengalaman yang dikemukakan (ditinjau dalam segi ruang dan waktu). Teknik pengumpulan datanya selain bersifat inward, outward, backward, dan forward.Pada tataran inward peneliti melakukan pengumpulan data yang terfokus pada aspek personalnya. Sementara pada tataran outward peneliti melakukan kajian eksistensial aau relasi sosialnya. Peneliti juga perlu memperhatikan pengumpulan data yang terkait dengan masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Hal yang demikian disebut dengan pengumpulan data dengan perspektif backward dan forward (Fatchan, 2011). g. Teknik Partisipasi dalam Penelitian Aksi Teknik jenis ini berbeda dengan sejumlah teknik di atas.Pada beberapa teknik di atas bisa jadi pengambilan data mengacu pada pada data natural sedangkan pada teknik jenis partisispasi dalam penelitian aksi atau yang biasa disebut dengan penelitian kaji tindak pengambilan data yang dilakukan lebih mengacu pada hasil intervensi peneliti sebagai praktisi yang telah dipersiapkan peneliti. Reason dalam Fatchan (2011)
M e t o d e P e n g u m p u l a n D a t a | 31
mengatakan pengambilan data demikian lazim digunakan dalam penelitian tindakan/kaji tindak/action research. Sebelum melakukan oengambilan data peneliti terlebih dahulu menyusun konsepsi yang dijadikan landasan (Fatchan, 2011). Landasan ini sejalan dengan dengan bentuk tindakan yang akan dilakukan dalam program aksi. Dalam penelitian teknik ini pihak kelompok sasaran harus terlibat.Pihak penelitipun harus ikut terlibat sebagai praktisi atau sebagai controller. Data-data ini bisa diambil melalui kegiatan interview, observasi, maupun hasil kegiatan.Sebagai data yang terkait dengan kaji tindak data, pada dasarnya lebih bersifat akumulatif. Dari penelitian dengan menggunakan teknik ini peneliti diharapkan bisa mendapatkan informasi terkait kondisi awal, permasalahan yang muncul, proses tindakan yang dilakukan, keterlibatan kelompok sasaran dalam aktivitas tindakan, hasil tindakan, dan data ang berkenaan dengan kegiatan tindakan yag dilakukan (Fatchan, 2011). h. Dokumentasi Dokumen adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu.Bisa dalam bentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.Dokumen berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.Dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain.Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni yang dapat berupa gambar, patung, film dan lain-lain (Sugiyono, 2010). Hasil penelitian akan semakin dapat dipercaya/kredilitasnya semakin tinggi jika didukung dengan sejarah pribadi kehidupan di masa kecil, di sekolah, di tempat kerja, di masyarakat dan autobigrafi, didukung dengan foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah ada. Namun tidak semua dokumen memiliki kredibiltas yang tinggi, misalnya autobiografi yang ditulis untuk dirinya sendiri cenderung subyektif (Sugiyono, 2010). i. Triangulasi/gabungan Dalam teknik pengumpulan data triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada (Sugiyono, 2010).Dalam hal ini jika peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan teknik ini maka sebenarnya peneliti mencoba untuk melakukan pengumpulan data sekaligus menguji kredibilitas data.
32 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f Misalnya dengan melakukan triangulasi teknik maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda untuk mendapatkan data dai satu sumber yang sama. Triangulasi sumber berarti peneliti melakukan pengumpulan data dari sumber yang berbeda namun dengan teknik yang sama. j. FGD FGD (Focus Group Discussion) atau yang biasa disebut sebagai diskusi kelompok terfokus adalah suatu metode yang digunakan dalam diskusi kelompok, dimana seorang moderator bertindak sebagai pemimpin dan pengendali diskusi kelompok. Peserta terdiri dari delapan hingga sepuluh orang, menyatakan pandangan-pandangan mereka tentang berbagai isu yang menjadi perhatian penelitian (Murti, 2010). Kresno et al (1999) menjelaskan pengertian FGD sebagai salah satu teknik dalam mengumpulkan data kualitatif, dimana sekelompok orang berdiskusi dengan pengarahan dari seorang moderator atau fasilitator mengenai suatu topik. Selanjutnya secara rinci Kresno et al (1999) menjelaskan karakteristik Fokus Grup Diskusi, diancaranya : a. Peserta terdiri dari 6-12 orang Kelompok harus cukup kecil sehingga memungkinkan setiap individu untuk mendapat kesempatan mengeluarkan pendapatnya, tetapi di samping itu juga cukup memperoleh pandangan anggota kelompok yang bervariasi. Karena apabila peserta kelompok terdiri lebih dari 12 orang akan timbul kecenderungan semua peserta FGD ingin mengeluarkan pendapatnya sehingga beberapa orang mungintidak mendapat kesempatan untuk berbicara. Sedangkan jika kelompok dihadiri hanya 4-6 orang maka akan memberi lebih banyak kesempatan kepada para peserta untuk berdiskusi namun ide-ide yang diperoleh nantinya akan terbatas. b. Peserta tidak saling mengenal Peserta FGD ini mempunyai ciri-ciri yang sama. Ciri-ciri yang sama ini ditentukan oleh tujuan dari studi, dimana ciri yang sama ini digunakan sebagai dasar dalam pemilihan peserta FGD. Alasan mengapa tidak memasukkan peserta yang saling mengenal pada satu kelompok adalah berkaitan dengan analisis data FGD. Orang yang bertugas menganalisa hasil FGD tidak dapat mengisolasi faktorfaktor apa yang mempengaruhi peserta FGD. Apakah hasil studi berkaitan sepenuhnya dengan materi yang didiskusikan ataukah pendapat peserta telah dipengaruhi oleh akibat adanya interaksi antar mereka sebelumnya.
M e t o d e P e n g u m p u l a n D a t a | 33
c. Fokus Grup Diskusi adalah suatu proses pengumpulan data FGD berbeda dengan diskusi kelompok lainnya seperti Delphi proccess, Brainstorming, Nominal groups.Menurut Kresno et al (1999) FGD bertujuan untuk mengumpulkan data mengenai persepsi peserta terhadap sesuatu, misalnya pelayanan, tidak mencari konsensus, tidak mengambil kkeputusan mengenai tindakan apa yang harus diambil. Ketiga contoh teknik diskusi kelompok yang disebutkan di atas biasanya bertujuan untuk memecahkan masalah, mengidentifikasi konsensus dan pemecahan yang disetujui oleh semua pihak. d. Fokus Grup Diskusi mengumpulkan data kualitatif Dalam FGD digunakan pertanyaanyang terbuka sehingga memungkinkan peserta untuk memberikan jawabannya disertai dengan penjelasan-penjelasannya. Oleh karena itu FGD akan memberikan data yang mendalam mengenai persepsi dan pandangan peserta. Moderator hanya berfungsi sebagai pengcarah, pendengar, pengamat dan menganalisa data dengan menggunakan proses induktif. e. Fokus Grup Diskusi menggunakan diskusi yang terfokus. Topik diskusi ditentukan terlebih dahulu dan di atur secara berurutan. Pertanyaan sedemikian rupa sehingga dimengerti oleh peserta diskusi. Lama waktu FGD menurut Kresno et al (1999) biasanya dilangsungkan selama 60-90 menit. FGD yang pertama kali biasanya lebih lama jika dibandingkan dengan FGD selanjutnya, karena pada FGD yang pertama semua informasinya masih baru. Sedangkan unuk jumlah FGD yang harus dilaksanakan untuk suatu studi tergantung kepada kebutuhan proyek, sumber dana, serta apakah masih ada informasi baru yang harus dicari. FGD sebaiknya dilaksanakn di suatu tempat dimana peserta dapat secara bebas dan tidak merasa takut untuk mengeluarkan pendapatnya. Jika ingin mendiskusikan tentang pendapat masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, maka puskesmas bukan tempat yang tepat untuk berdiskusi. 4.2 Rangkuman 1. Teknik survei digunakan untuk memahami pendapat dan sikap sekelompok masyarakat tertentu hal ini bertujuan untuk memperoleh kedalaman dan kelengkapan informasi. 2. Teknik observasi dihubungkan dengan upaya-upaya: merumuskan masalah, membandingkan masalah, pemahaman secara detail permasalahn yang akan dituangkan dalam kuisioner, ataupun untuk menemukan strategi pengambilan data dan bentuk perolehan
34 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f pemahaman yang dianggap paling tepat. Observasi dibagi menjadi observasi berpartisipasi, secara terang-terangan dan tersamar, dan yang tidak berstruktur. 3. Teknik wawancara adalah metode pengumpulan data dimana satu orang menanyakan pertanyaan ke orang lain baik berhadapan langsung face to face, berhadapan lewat layar, atau berbicara lewat telepon.Secara teoritis wawancara biasanya terbagi dalam 3 jenis, yakni wawancara terstruktur, tidak terstruktur dan semi struktur. 4. Teknik penelaahan catatan lapangan dan memomerupakan teknik pengambilan data yang dilakukan melalui observasi yang digabungkan dengan interaksi dalam bentuk dialog secara partisipatoris. 4.3 Latihan/Tugas Cariah satu jurnal ilmiah nasional/internasional/karya ilmiah dengan pendekatan kualitatif, pelajari terlebih dahulu penelitian tersebut, mulai dari tujuan dan rumusan masalahnya. Pelajari siapa target sasarannya lalu buatlah panduan wawancara sedehana (disesuaikan dengan jurnal/karya ilmiah tersebut). Setelah itu turunlah ke lapangan (sesuaikan target sasaran dengan jurnal/karya ilmiah yang didapat). Buatlah latihan untuk mengumpulkan data-data kualitatif yang telah Anda pelajari di bab 4. 4.3 Pengayaan Bacaan Babbie, Earl. 1986. The Practice of Social Research. Fourth Edition. Eadsworth Publishing Co. : Belmont, California. A Division of Wadsworth, Inc.
BAB 5 ANALISIS DATA PENELITIAN KUALITATIF
Standar Kompetensi : Mahasiswa mampu melakukan penyusunan penelitian kualitatif. Kompetensi Dasar : Mahasiswa dapat melakukan analisis data penelitian kualitatif. Keterkaitan kompetensi dasar dengan standar kompetensi adalah bahwa analisis data penelitian kualitatif adalah bagian dari penyusunan laporan penelitian kualitatif. Kompetensi dasar pada bagian bab ini merupakan bagian dari standar kompetensi pada mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif. Ruang Lingkup Materi: Bab ini berisi uraian tentang teknik analisis data dalam penelitian kualitatif. Uraian 5.1 Teknik Analisis Data Dalam proses penelitian kualitatif, peneliti melakukan tiga langkah persiapan, yaitu memilih situasi sosial, melakukan observasi partisipan, dan membuat catatan etnografis. Setelah ketiga langkah awal ini dilakukan maka peneliti harus melakukan observasi deskriptif dan selanjutnya melakukan analisis data (Mukhtar, 2013). Dalam bukunya, Fatchan (2011) menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif dikenal ada 2 strategi analisis data, yakni : a. Model strategi deskriptif kualitatif b. Model strategi analisis verifikasi kualitatif Kedua model tersebut kadangkala dilakukan sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama. Berdasarkan “isi” pada data yang diperoleh, dijumpai beberapa teknik analisis data kualitatif yang sering diterapkan oleh para peneliti. Teknik analisis data itu diantaranya sebagai berikut : Teknik Analisis Isi (Content Analysis), Analisis Domain (Domain Analysis), Analisis Taksonomi (Tacsonomic Analysis), Analisis Komponensial (Componential Analysis), Analisis Tema Kultural (Discovering Cultural Analysis), Analisis Komparatif Konstan (Constant Comparative), Observasi Terfokus (Focused Observation), Observasi
36 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f Terseleksi (Selected Observation), Analisis Tema (Theme Analysis), Analisis Interaktif,Optimal Matching Analysis, dan Teknik Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis). Sedangkan Sugiyono (2010) dan Mukhtar (2013) dalam bukunya menyebutkan 4 teknik analisis data kualitatif, yakni analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema budaya. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing teknik yang dimaksud: 1. Teknik Analisis Isi (Content Analysis) Teknik analisis ini sering dijumpai dalam analisis verifikasi kualitatif. Analisis ini merupakan upaya-upaya klarifikasi lambanglambang yang dipakai dalam komunikasi dan menggunakan kriteria dalam klarifikasi pada saat membuat prediksi (Fatchan, 2011). Menemukan Lambang atau Simbol
Klarifikasi data berdasarkan atas lambang / simbol yang ditemukan
Prediksi dari hasil analisis data
Gambar 5.1 Analisis Konten pada Penelitian Kualitatif Sumber : Fatchan, 2011 2. Teknik Analisis Domain (Domain Analysis) Setelah peneliti memasuki objek penelitian yang berupa situasi sosial (place, actor, dan activity), lalu melakukan observasi partisipatif dan mencatat hasil observasi, melakukan observasi desriptif, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis domain. Menurut Sugiyono (2010) analisis domain merupakan langkah pertama dalam penelitian kualitatif. Langkah selanjutnya adalah analisis taksonomi yang mana aktivitasnya adalah mencari bagaimana domain yang dipilih itu dijabarkan menjadi lebih rinci. Selanjutnya analisis komponensial yang aktivitasnya adalah menarik perbedaan yang spesifik setiap rincian dari hasil analisis taksonomi. Terakhir baru analisis tema yang ativitasnya adalah menari hubungan di antara domain dan bagaimana hubungan secara keseluruhan baru selanjutnya dirumuskan dalam suatu bentuk tema atau judul penelitian. Definisi teknik analisis domain menurut Spadley (1980) yang dikutip oleh Fatchan (2011) adalah proses untuk menemukan bagianbagian, unsur-unsur atau domain (kelompok: kebiasaan-kebiasaan/gejala-
A n a l i s i s D a t a P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 37
gejala/pola-pola) makna sosial/budaya yang terkandung dalam kategori yang lebih kecil. Gambaran sosial atau budaya (kebiasaankebiasaan/gejala-gejala/pola-pola) baru terungkap, jika makna budaya yang ditemukan ditambah/dikaitkan dengan beberapa deskripsi temuan yang disarankan oleh data. Sedangkan pola-pola tersebut merupakan gambaran dari makna budaya dan makna yang diberikan (diinformasikan) oleh individu subjek penelitian (Fatchan, 2011). Teknik analisis ini digunakan untuk menganalisis gambaran objek penelitian secara umum, sering diterapkan dalam penelitian yang bersifat eksplorasi. Sehingga diharapkan target untuk memperoleh gambaran umum dapat tercapai. Analisis domain domain dalam pengertian luas, misalnya analisis pesantren meliputi analisis kyai, nyai, guru, santri, tukang kebun, pemasak dan sejenisnya (Fatchan, 2011). Sependapat dengan hal ini menurut (Mukhtar, 2013) analisis domain menampilkan keseluruhan jenis temuan yang diperoleh dalam penelitian. Secara umum, domain budaya ini dikelompokkan dalam 9 dimensi, yakni ruang, objek, tindakan, aktivitas, kejadian, waktu, pelaku, tujuan dan perasaan. 3. Teknik Analisis Taksonomi (Tacsonomic Analysis) Setelah peneliti melakukan analisis domain, sehingga ditemukan domain-domain atau kategori dari situasi sosial tertentu, maka selanjutnya domain yang dipilih oleh peneliti dan selanjutnya ditetapkan sebagai fokus penelitian perlu diperdalam lagi melalui pengumpulan data di lapangan. Pengumpulan data dilakukan secara terus menerus melalui pengamatan, wawancara mendalam dan dokumentasi sehingga sehingga data yang terkumpul menjadi banyak. Sehingga dalam tahap ini diperlukan analisis taksonomi. Oleh karena itulah analisis taksonomi disebut sebagai analisis terhadap keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain yang telah ditetapkan. Dengan demikian domain yang telah ditetapkan menjadi cover term oleh peneliti dapat diurai secara lebih rinci dan mendalam melalui analisis taksonomi. Menurut Fatchan (2011) analisis taksonomi merupakan suatu model analisis yang terfokus pada domain ataupun subdomain tertentu saja, sehingga hasilnya terbatas dibandingkan dengan teknik analisis domain. Dengan kata lain, teknik analisis taksonomi merupakan kelanjutan dari analisis domain (Fatchan, 2011). Mukhtar (2013) mengatakan bahwa sebagaimana domain budaya, taksonomi merupakan seperangkat kategori yang disusun berdasarkan hubungan semantis adalah yang tunggal. Perbedaan utama diantara keduanya adalah taksonomi menunjukkan hubungan yang lebih banyak
38 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f diantara hal-hal yang ada di dalam domain budaya. Lebih lanjut, taksonomi membedakan dari sebuah domain dalam satu hal, yaitu ia menunjukkan adanya hubungan diantara semua kategori khusus yang ada di dalam domain (Mukhtar, 2013). Sebagaimana analisis domain, analisis taksonomi juga dibangun dari istilah populer, istilah analitis dan campuran dari keduanya. Sehingga ada beberapa peneliti yang mencoba menggabungkan antara analisis domain dengan analisis taksonomis ke dalam suatu proses dengan alasan bahwa analisis taksonomis sebenarnya merupakan perluasan dari analisis domain. Akan tetapi sebaiknya analisis ini dilakukan secara terpisah(Mukhtar, 2013). Dibawah ini merupakan prosedur analisis terhadap domain dalam Mukhtar (2013) yang ada di dalam situasi budaya : 1. Memilih sebuah domain untuk melakukan analisis taksonomis 2. Mencari persamaan yang didasarkan atas beberapa hubungan semantis 3. Mencari kategori khusus tambahan 4. Mencari domain yang lebih besar dan lebih inklusif yang termasuk dalam bagian domain yang dianalisis 5. Membangun taksonomi tentatif 6. Melakukan observasi terfokus untuk memeriksa analisis data 7. Membangun taksonomi pelengkap Menurut Fatchan (2011) setelah peneliti menemukan makna domain dalam bentuk deskripsi tertentu yang dilakukan melalui focused observation selanjutnya adalah melakukan analisis dengan teknik analisis taksonomi yang berguna untuk mengungkapkan bagaimana dan mengapa makna yang terkandung tersebut diatur serta dikaitkan secara sistematik. Sehingga dalam analisis ini akan ditemukan pola hubungan antar temuan fokus / antar domain budaya. Beberapa hal yang akan ditemukan saat menggunakan teknik analisis taksonomi menurut Fatchan (2011) adalah sebagai berikut : 1. Deskripsi rinci tentang fokus (domain yang diteliti) 2. Bentuk hubungan/kaitan antar/fokus (domain) dan 3. Ditemukannya tingkatan dari masing-masing fokus (domain) yang mana ketiga kategori di atas didasarkan atas sudut pandangan dari subjek, peneliti atau gabungan dari keduanya. Dengan begitu kebenarannya adalah kebenaran alamiah dan ilmiah. Dikatakan alamiah karena dilihat dari sudut pandang subjek dan disebut ilmiah karena dilihat dari sudut pandang peneliti yang dilakukan secara kritik dan analitik.
A n a l i s i s D a t a P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 39
4. Teknik Analisis Komponensial (Componential Analysis) Dalam analisis taksonomi yang diuraikan adalah domain yang telah ditetapkan menjadi fokus. Pada analisis komponensial, yang dicari untuk diorganisasikan dalam domain bukanlah keserupaan dalam domain, tetapi justru yang memiliki perbedaan atau yang kontras (Sugiyono, 2010). Analisis komponensial berupaya memilah-milah dan menggambarkan perbedaan yang ditemukan dalam data catatan lapangan. Fatchan (2011) mendefinisikan Component Analysis sebagai suatu upaya pencarian yang dilakukan secara sistematik terhadap sifat-sifat (komponen) yang berkaitan dengan kategori-kategori (fokus) yang ditemukan. Berbeda dengan analisis taksonomi yang menggunakan pendekatan non kontras antar elemen, analisis jenis ini lebih mudah sebab menggunakan pendekatan “kontras antar elemen”, sehingga sangat mudah untuk menganalisis gejala-gejala (Fatchan, 2011). Menurut Spradley (1980) yang dikutip oleh Fatchan (2011) tujuan dari analisis ini adalah untuk mencari perbedaan (kontras), memilahmilah, mengelompokkan, dan memasukkan semua informasi ke dalam peta/skema/model (display) atau paradigma. Mukhtar (2013) mendefinisikan analisis komponensial sebagai penelitian sistematik yang dilakukan untuk mengetahui komponen makna budaya yang digabungkan dengan kategori budaya. Ketika seseorang peneliti menemukan perbedaan diantara elemen-elemen dalam sebuah domain, maka perbedaan ini sebaiknya dipikirkan sebagai sifat atau komponen makna budaya tersebut. Analisis komponensial melihat unitunit dari makna yang telah ditetapkan seseorang dalam kategori budaya. Lebih lanjut Mukhtar (2013) menyusun langkah-langkah dalam membuat analisis komponensial, yakni : 1. Memilih suatu domain untuk dianalisis 2. Menginventaris seluruh perbedaan yang ditemukan 3. Menyiapkan lembaran kerja paradigma 4. Mengidentifikasi dimensi-dimensi perbedaan yang memiliki nilai yang sama 5. Mengkombinasikan antara dimensi hubungan perbedaan dengan salah satunya yang memiliki nilai ganda 6. Menyiapkan petanyaan kontras untuk atribut yang hilang 7. Menghubungkan observasi selektif untuk menemukan informasi yang hilang 8. Menyiapkan sebuah paradigma secara lengkap
40 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 5. Teknik Analisis Tema Kultural (Discovering Cultural Analysis) Fatchan (2011) menjelaskan bahwa teknik analisis ini sering disebut sebagai teknik analisis tematik dimana setiap domain/tema akan menjadi simpul dari masing-masing sub-tema. Bentuk analisis ini seperti sarang laba-laba, dimana berbagai tema sebagai simpul pusatnya. Sanapiah Faisal (1990) yang dikutip oleh Sugiyono (2010) mengatakan bahwa analisis tema atau discovering cultural themes sesungguhnya merupakan upaya mencari “benang merah” yang mengintegrasikan lintas domain yang ada. Sehingga dengan ditemukannya benang merah dari hasil analisis domain, taksonomi, dan komponensial tersebut maka selanjutnya akan dapat tersusun suatu “kontruksi bangunan” situasi sosial/objek penelitian yang sebelumnya masih gelap atau remang-remang dan setelah dilakukan penelitian maka akan menjadi lebih jelas dan terang. (Sugiyono, 2010) Mukhtar (2013) memberikan strategi dalam melakukan analisis tema, yaitu sebagai berikut : 1. Membandingkan budaya 2. Mencari domain yang lebih besar yang meliputi bidang budaya 3. Mencari persamaan diantara dimensi perbedaan 4. Mengidentifikasi domain yang terorganisir 5. Membuat diagram skematis dalam kawasan budaya 6. Penelitian tema yang lebih umum 7. Teknik kontrol sosial yang informal 8. Mengelola hubungan sosial yang tidak mengenai individu tertentu 9. Menulis ringkasan mengenai kawasan budaya 6. Teknik Analisis Komparatif Konstan (Constant Comparative) Dalam penelitian Grounded Theory biasanya menggunakan analisis komparatif konstan yang pada dasarnya mengekspose “analisis deskriptif”. Beberapa pakar menyebutnya sebagai “analisis ekstrim”. Aktualisasinya digunakan untuk membanding-bandingkan kejadian saat peneliti menganalisis. Analisis ini dilakukan secara terus-menerus sepanjang penelitian berlangsung sehingga didapatkan komparasi fakta atau realitas yang benar-benar valid (konstan) (Fatchan, 2011). 7. Teknik Observasi Terfokus (Focused Observation) Realitanya situasi ssosial yang paling sederhanapun mengandung banyak makna yang kompleks. Sehingga diperlukan peneliti untuk tinggal lama di lokasi penelitian. Agar bisa memusatkan perhatian pada permasalahan tertentu maka diperlukan fokus penelitian yang berfungsi sebagai pengendali.
A n a l i s i s D a t a P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 41
Fatchan (2011) mengatakan bahwa seorang peneliti biasanya dihadapkan pada beberapa fokus penelitian. Masing-masing fokus seharusnya dikuak datanya dan dianalisis secara “terpisah”, namun demikian kelak mungkin akan terjadi hubungan antar fokus yang diteliti tersebut. Dengan begitu, pendalam terhadap masing-masing fokus walaupun dipilah, juga harus dilakukan pengkaitan (“cross”) antar fokus, walau tergantung perkembangan perolehan data lapangan. Kondisi begitu mengharuskan analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak dini dan secara berulang-ulang. Peneliti setelah memilih satu fokus harus berupaya mengungkapnya lebih mendalam. Sehingga dengan demikian akan ditemukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada pertanyaan terstruktur yang berguna untuk mengungkap lebih intensif tentang fokus yang dikaji (saat inilah in depth interview dilakukan). Hasil selanjutnya bisa disajikan dalam bentuk deskripsi alamiah. 8. Teknik Observasi Terseleksi (Selected Observation) Teknik ini digunakan untuk memahami situasi sosial secara menyeluruh dan utuh. Dalam aplikasinya, teknik ini harus dilakukan secara selektif dan mengarah dengan cara mengajukan pertanyaanpertanyaan yang lebih mendalam dan kritis. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa ditujukan untuk peneliti saat melakukan observasi partisispasi maupun kepada subjek yang diteliti saat wawancara mendalam. Fatchan (2011) menjelaskan perbedaan antara Focused Observation dengan Selected Observation. Focused observation menghasilkan berbagai pertanyaan terstruktur sedangkan pertanyaanpertanyaan yang dihasilkan pada Selected observation mengarah pada pertanyaan kritis/kontras. Analisis ini akan menghasilkan beberapa perbedaan antar kategori, antarfokus, dan antardomain. 9. Teknik Analisis Tema (Theme Analysis) Menurut Fatchan (2011) analisis ini berupaya memahami bahwa suatu budaya sebenarnya harus digambarkan secara utuh-menyeluruh yang berlaku pada konteks tertentu. Biasanya analisis ini digunakan pada konteks latar budaya, dimana masing-masing budaya mempunyai pola yang berbeda jika latar konteksnya berbeda. Sehingga gambaran utuhmenyeluruh yang diperoleh adalah dalam karakter konteks tertentu. Temuan penelitiannya berupa deskripsi rinci yang berlatar konteks budaya tertentu.
42 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 10. Teknik Analisis Interaktif Menurut Miles dan Huberman yang di kutip oleh Fatchan (2011) analisis data merupakan kegiatan yang tersusun atas : 1. Pengurutan data sesuai dengan rentang permasalahan atau urutan pemahaman yang ingin diperoleh 2. Pengorganisasian data dalam formasi, kategori ataupun unit pemerian tertentu sesuai dengan antisipasi peneliti 3. Interpretasi peneliti berkenaan dengan signifikansi butir-butir ataupun satuan data sejalan dengan pemahaman yang diperoleh 4. Penilaian atas butir ataupun satuan data, sehingga membuahkan kesimpulan : baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, signifikan atau tidak signifikan. Model teknik analisis ini diajukan oleh Huberman dan Miles (1994). Fatchan menambahkan bahwa saat peneliti melakukan analisis perlu memperhatikan tahap kegiatan interaktif, yakni : a. Penataan data mentah b. Pemilahan data c. Pengkodean data d. Pemertalian koherensi data secara analitis e. Identifikasi hubungan makna antara data yang satu dengan data yang lain f. Tranposisi data g. Pemaparan makna, informasi ataupun karakteristik secara empirik h. Penulisan ulang (kelanjutan poing) 11. Teknik Optimal Matching Analysis Analisis data model Optimal Matching Analyisis (OMA)ini dapat ditemukan dalam kajian sosiologi. Teknik ini bisa disebut sebagai Teknik Pemadanan Maksimal (TPM). Menurut Chan yang dikutip oleh Fatchan (2011) menjelaskan cara kerja yang ditempuh dalam model OMA sebagai berikut : 1. Melakukan pengelompokan atau clustering 2. Menyusun tipologi 3. Membuat perbandingan atas tipologi data yang tersusun 4. Menghapus data maupun tipologi yang berulang atau tumpang tindih 5. Memadankan data yang memiliki hubungan atau kemiripan dalam satuan cluster, dan 6. Memadankan dan menguntai cluster data penelitian menjadi untaian teks.
A n a l i s i s D a t a P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 43
12. Teknik Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) Menurut Aminuddin yang dikutip oleh Fatchan (2011) cara kerja model ini dapat ditempuh melalui kegiatan : 1. Memahami untaian data sebagai teks analitis 2. Menghubungkan representasi makna kata-kata maupun kalimat sebagai unsur pembentuk teks secara analitis 3. Menentukan pengertian ataupun value yang termuat dalam teks secara kontekstual dan intertekstual sesuai dengan pola praanggapan, asumsi, maupun konsepsi teoritik yang digunakan peneliti, serta 4. Melakukan komparasi antara kesimpulan dan justifikasi yang dibuahkan dengan konkretisasi data maupun dengan kenyataan konkret sebagaiman terdapat dalam dunia pengalaman peneliti. Dalam praktiknya biasanya para peneliti menggunakan gabungan dari teknik-teknik di atas. Gabungan ini bisa antara dua teknik atau lebih. Dalam bukunya, Fatchan (2011) menyusun alur kronologik suatu penelitian : 1. Melakukan pemilahan data sesuai dengan karakteristiknya, satuan serta cara perolehannya 2. Dengan domain analisis membantu peneliti untk menemukan pola-pola yang kemudian ditindak lanjuti dengan pengumpulan data lapangan hingga ditemukan deskripsi yang rinci 3. Dengan taksonomi analisis peneliti dapat memilah-milah kesamaan-kesamaan yang ada diantara unsur-unsur yang terdapat dalam domain. Hal ini dapat diungkap melalui observasi terfokus (focused observation) 4. Selected obseravation berupaya mengidentifikasi perbedaanperbedaan diantar unsur dalam domain 5. Componential analysis berupaya memilah-milah dan menggambarkan erbedaan yang ditemukan dalam data catatan lapangan. Tujuannya untuk mencari perbedaan (kontras), memilah-milah, mengelompokkan, dan memasukkan semua informasi ke dalam peta / skema / model atau paradigma. 6. Theme analysis adalah analisis yang digunakan pada konteks latar budaya, dimana masing-masing budaya mempunyai pola yang berbeda jika latar konteksnya beda. Selain teknik yang disebutkan di atas, ahli Miles dan Huberman juga memberikan model teknik analisis yang lain, yaitu model analisis data berlangsung atau mengalir (flow model analysis). Seperti yang dikutip oleh Mukhtar (2013), bahwa ada 4 aktivitas yang dilakukan melalui pendekatan ini yaitu, pengumpulan data, reduksi data, display
44 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f data, verifikasi/menarik kesimpulan.Dibawah ini adalah model interaktif komponen analisis:
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Display Data
Menarik Kesimpulan / Verifikasi
Gambar 5.2 Model interaktif komponen analisis Sumber : Fatchan (2011) 5.2 Rangkuman Teknik analisis data itu diantaranya sebagai berikut : Teknik Analisis Isi (Content Analysis), Analisis Domain (Domain Analysis), Analisis Taksonomi (Tacsonomic Analysis), Analisis Komponensial (Componential Analysis), Analisis Tema Kultural (Discovering Cultural Analysis), Analisis Komparatif Konstan (Constant Comparative), Observasi Terfokus (Focused Observation), Observasi Terseleksi (Selected Observation), Analisis Tema (Theme Analysis), Analisis Interaktif,Optimal Matching Analysis, dan Teknik Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis). 5.2 Latihan/Tugas: Pada bab 4 Anda telah mengumpulkan data kualitatif. Analisislah data kualitatif Anda tersebut dengan memilih salah satu teknik analisis yang telah Anda pelajari di bab 5 ini. 5.3 Pengayaan Bacaan Babbie, Earl. 1986. The Practice of Social Research. Fourth Edition. Eadsworth Publishing Co. : Belmont, California. A Division of Wadsworth, Inc.
BAB 6 VERIFIKASI DATA PENELITIAN KUALITATIF
Standar Kompetensi : Mahasiswa mampu melakukan penyusunan penelitian kualitatif. Kompetensi Dasar : Mahasiswa dapat melakukan verifikasi data penelitian kualitatif. Keterkaitan kompetensi dasar dengan standar kompetensi adalah bahwaverifikasi data penelitian kualitatif adalah bagian dari penyusunan laporan penelitian kualitatif. Kompetensi dasar pada bagian bab ini merupakan bagian dari standar kompetensi pada mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif. Ruang Lingkup Materi: Bab ini berisi uraian tentangberbagai macam uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif. Uraian 6.1 Teknik Verivikasi Data Verifikasi hampir sama dengan konsep validitas dan reliabilitas dalam penelitian kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif, istilah validitas dan reliabilitas kurang dikenal (validitas dan reliabilitas lebih dikenal di dalam penelitian kuantitatif). Verifikasi atau trustworthiness bisa dikatakan meliputi validitas dan reliabilitas dalam penelitian kuantitatif. Inti verifikasi menurut Kahija (2006) adalah bagaimana peneliti bisa meyakinkan pembaca dan dirinya sendiri bahwa penelitiannya sudah berjalan dengan benar dan dapat dipercaya. Lincoln dan Guba dalam Kahija (2006) mengemukakan 4 macam standar verifikasi, yaitu kredibilitas, transferabilitas, konfirmabilitas dan dependabilitas. Sependapat dengan Kahija (2006) dalam bukunya Sugiyono (2010) pengujian keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi 4 hal yang digambarkan seperti di bawah ini:
46 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f Uji Kredibilitas Data
Uji Keabsahan Data
Uji Transferability
Perpanjangan Pengamatan Peningkatan Kerekunan Triangulasi
Uji Depenability Diskusi dengan Teman Uji Confirmability
Analisis Kasus Negatif Member Check
Gambar 6.1 Bagan Uji Keabsahan Data Sumber : Sugiyono (2010) (dengan sedikit modifikasi) 6.1.1 Uji Kredibilitas Seperti yang terlihat dalam skema di atas, ada beberapa macam uji kredibilitas, meliputi perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif dan member check. Adapun penjelasan dari masingmasing proses yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut : 6.1.1.1 Perpanjangan Pengamatan Perpanjangan pengamatan dapat meningkatkan kepercayaan atau kredibiltas data karena melalui perpanjangan pengamatan peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru. Sehingga dengan perpanjangan pengamatan ini hubungan antara peneliti dengan narasumber akan semakin akrab, terbentuk raport, semakin terbuka, saling mempercayai. Menurut Sugiyono (2010) bila telah terbentuk raport maka telah terjadi kewajaran dalam penelitian, dimana kehadiran peneliti tidak lagi mengganggu perilaku yang dipelajari. Perpanjangan pengamatan ini difokuskan terhadap data yang telah diperoleh. Bila setelah di cek kembali ke lapangan ternyata data yang sudah diperoleh sebelumnya tidak berubah itu artinya sudah kredibel atau dapat dipercaya. Lama waktu perpanjangan pengamatan yang dilakukan tergantung pada kedalaman, keluasan, dan kepastian data. Menurut Sugiyono (2010) kedalam artinya apakah peneliti ingin menggali data sampai pada tingkat makna. Makna berarti data di balik yang tampak.
V e r i f i k a s i D a t a P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 47
Keluasan artinya banyak sedikitnya informasi yang diperoleh. Data yang pasti adalah adta yang valid sesuai dengan apa yang terjadi. Jika data setelah dicek ke lapangan sudah benar dan tidak berubah maka waktu perpanjangan pengamatan dapat diakhiri. Apa yang disampaikan Sugiyono (2010) selaras dengan apa yang disampaikan Kahija (2006) bahwa peneliti perlu survei dan terlibat di lapangan untuk membangun kepercayaan (rapport), mempelajari situasi sosial dan budaya di lingkungan subjek, dan meyakinkan diri sendiri bahwa yang diteliti benar-benar bisa dilanjutkan Fatchan menyebut hal ini sebagai Prolonged Engagement, artinya bahwa para peneliti harus tinggal di tempat penelitian dalam waktu yang cukup lamam misalnya 4 bulan. Dimana dalam waktu 4 bulan ini sebaiknya tidak termasuk saat peneliti membuat proposal. Dengan ini diharapkan peneliti lebih dekat dengan objek yang diteliti sehingga informasi yang diungapan kealamiahannya lebih akurat. Contoh konkritnya adalah dengan menyewa rumah atau indekos di tempat penelitiannya. 6.1.1.2 Meningkatkan ketekunan Dengan meningkatkan ketekunan maka peneliti dapat melakukan pengecekan kembali apakah data yang telah ditemukan itu salah atau tidak. Selain itu dengan meningkatkan ketekunan maka peneliti dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati. Sehingga dengan demikian kredibilitas data dapat terwujud. Membaca berbagai referensi buku, hasil penelitian maupun dokumentasi-dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan ketekunan. Jika wawasan peneliti menjadi semakin luas dan tajam maka hal ini dapat dimanfaatkan untuk memeriksa data yang ditemukan apakah sudah benar dan adpat dipercaya atau tidak. Fatchan (2011) mengemukakan bahwa melakukan pengamatan dengan tekun dimaksudan untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari, sehingga penyelidikan lebih dapat dipusatkan pada hal-hal tersebut secara rinci. Dalam hal ini Fathan memberikan contoh bahwa seorang peneliti kualitatif bisa senantiasa untuk hadir dalam berbagai kegiatan di daerah penelitiannya, misalnya aara tahlilan, pertemuan desa, kerja bakti, rapat warga, pengajian, dan lain-lain.
48 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 6.1.1.3 Triangulasi Triangulasi merupakan teknik yang digunakan untuk menguji keterpercayaan data (memeriksa keabsahan data atau verifikasi data) atau dengan istilah lain dikenal dengan “trustworthiness” dengan memanfaatkan hal-hal lain yang ada di luar data tersebut untuk keperluan mengadakan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang telah dikumpulkan (Mukhtar, 2013). Triangulasi data adalah suatu upaya memeriksa keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu di luar data tersebut, misalnya mempertemukan atau cross check antara temuan data hasil observasi dan data hasil wawancara (Fatchan, 2011). Menurut Kahija di dalam teknik triangulasi peneliti berusaha menemukan berbagai sudut pandang lain untuk mengecek benar atau tidaknya data yang sudah ditemukan. Berbagai sudut pandang ini menurut Kahija bisa diperoleh dari buku-buku, pekar-pakar yang bersedia diajak berdiskusi, peneliti-peneliti lain (lewat jurnal atau diskusi), dan metodemetode lain (misalnya tidak hanya wawancara tapi juga observasi). Fatchan (2011) menyebutkan bahwa dalam upaya memeriksa keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu di luar data tersebut, antara lain terhadap sumber data, metode, penyidik atau cara perolehan data. Misalnya mempertemukan (cross check) data antara temuan data hasil observasi dan data hasil wawancara terhadap masalah “cara memupuk tanaman padi”. Agar peneliti tidak bingung maka masing-masing temuan data sebaiknya diberikan kode khusus. Dengan demikian ada 3 macam triangulasi yang secara detail dijelaskan oleh Sugiyono (2010) yaitu : a) Triangulasi sumber Triangulasi sumber digunakan untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data yang sudah diperoleh melalui beberapa sumber. Misalnya untuk menguji gaya kepemimpinan seseorang, maka pengumpulan dan pengujian data yang telah diperoleh dilakukan ke bawahan yang dipimpin, ke atasan yang menugasi, dan ke teman kerja dalam satu kelompok kerja.dat hasil pengujian terhadap ketiga sumber ini tidak dapat dirata-rata seperti halnya penelitian kuantitatif, melainkan dideskripsikan, dikategorisasikan pandangan yang sama, yang berbeda dan mana yang spesifik dari ketiga sumber data tersebut. Setelah data dianalisis dan menghasilkan kesimpulan maka selanjutnya dimintakan kesepakatan atau member check terhadap tiga sumber data tersebut.
V e r i f i k a s i D a t a P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 49
b) Triangulasi teknik Teknik ini dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu di cek dengan observasi, dokumentasi atau kuesioner. Jaika data yang ditemukan berbeda-beda maka peneliti perlu mengadakan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau pihak yang lain untuk memastikan data mana yang dianggap benar. Atau mungkin semuanya benar, karena sudut pandangnya berbeda-beda. c) Triangulasi waktu Kredibilitas data dapat dipengaruhi oleh waktu. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar, belum banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel. Untuk itu dalam rangka pengujian kredibilitas dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan melalui wawancara, observasi ataupun teknik yang lainnya dalam waktu atau situasi yang berbeda. Jika data yang dihasilkan berbeda maka perlu dilakukan pengujian berulangkali hingga ditemukan data yang pasti. Menurut Sugiyono (2010) triangulasi juga dapat dilakukan dengan cara mengecek hasil penelitian dari tim peneliti lain yang diberi tugas melakukan pengumpulan data. 6.1.1.4 Analisis kasus negatif Kasus negatif dapat didefinisikan sebagai kasus yang tidak sesuai atau berbeda dengan hasil penelitian hingga pada saat tertentu. Analisis kasus negatif dapat meningkatkan kredibilitas data karena dengan mengenalisis kasus negatif berarti peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan denga data yang telah ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan temuan berarti data yang ditemukan sudah bisa dipercaya. 6.1.1.5 Diskusi dengan teman Diskusi dengan teman atau biasa disebut peer debriefing atau peer review. Menurut Kahija (2006) artinya adalah hasil penelitian di cek oleh teman sebaya (bukan junior atau senior). Dengan catatan, teman sebaya ini harus punya pemahaman umum pada inti penelitian yang dilakukan. Teman sebaya ini diharapkan bisa memeriksa persepsi, insight, dan analisis peneliti. Peer reviewer ini dibutuhkan karena bisa menjadi
50 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f teman curhat bila ada masalah di lapangan dan sebagai pengeritik bila ada sesuatu yang dianggap tidak beres. 6.1.1.6 Mengadakan member check Member check menurut Sugiyono (2010) adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Jika pemberi data menyepakati data yang ditemukan peneliti maka data tersebut valid dan kredibel/dapat dipercaya. Namun jika sebaliknya maka peneliti perlu mendiskusikan dengan pemberi data. Jika perbedaan yang ditemukan terlalu tajam maka peneliti harus mengubah temuannya dan harus menyesuaikan dengan apa yang diberikan pemberi data. Sependapat dengan hal di atas, Fatchan (2011) mengatakan tujuan member check adalah agar diperoleh pengertian dan kesimpula yang tepat dan melihat-lihat kekurangan yang adauntuk dimantapkan. Fatchan menambahkan bahwa upaya ini bisa dilakukan dengnan kelompok anggota peneliti (teman sejawat dan bahkan para subjek penelitian) yang mempunyai kualifikasi keahlian di bidang yang diteliti. Ahli yang lain yakni Kahija (2006) mengungkapkan hal yang sama yakni member check diartian sebagai peneliti datang menemui responden atau subjek yang sudah diwawancarainya untuk mengecek kebenaran data dan interpretasi yang dilakukan peneliti. 6.1.2 Uji Transferabilitas Standar pengujian ini menurut Kahija (2006) penting untuk pembaca karena dalam hal ini peneliti akan membantu pembaca untuk melihat kemungkinan menerapkannya dalam situasi lain yang mirip atau serupa. Standar transferabilitas merupakan standar yang dinilai oleh pembaca laporan. Suatu hasil penelitian dianggap memiliki transferabilitas tinggi apabila pembaca laporan memilik pemahaman yang jelas tentang fokus dan isi penelitian (Fatchan, 2011). Peneliti dalam membuat laporannya harus memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis dan dapat dipercaya supaya orang lain/pembaca dapat memahami hasil penelitian kualitatif tersebut. Jika pembaca sudah memahami kejelasan hasil penelitian kualitatif tersebut, pembaca dapat memutuskan dapat atau tidaknya menerapkan aplikasi hasil penelitian tersebut di tempat lain atau pada kondisi lain yang mirip.
V e r i f i k a s i D a t a P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 51
Sanafiah Faisal dalam Sugiyono (2010) mengemukakan bahwa bila pembaca laporan penelitian memperoleh gambaran yang sedemikian jelasnya, “semacam apa” suatu hasil penelitian dapat diberlakukan (transferability) maka laporan tersebut memenuhi standar transferabilitas. Untuk menunjang transferabilitas perlu dilakukan (Kahija 2006) : 1. Deskripsi yang tebal. Laporan dengan sendirinya akan tebal karena peneliti kualitatif membuat laporan yang lebih mendetail agar peluang atau kemungkinan pembaca bisa mentarnsfer temuan penelitian dalam situasi lain yang serupa 2. Sampling purposif dengan karakteristik subjek yang jelas, sehingga pembaca akan lebih mudah mentransfer hasil penelitian pada subjeksubjek lain yang memiliki karakteristik yang hampir sama 6.1.3 Uji Dependabilitas Standar dependabilitas menurut Kahija (2006) penting untuk meyakinkan pembaca bahwa penelitian yang dilakukan konsisten atau dengan kata lain penelitian bisa diulang pada subjek yang sama/mirip dalm konteks yang sama/mirip dengan hasil yang sama/mirip. Konsistensi peneliti dalam keseluruhan proses penelitian menyebabkan penelitian dianggap memiliki dependabilitas tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan pengecekan atau penilaian ketepatan peneliti dalam mengkonseptualisasikan data secara ajeg (Fatchan, 2011). Sugiyono (2010) mengungkapkan sering terjadi peneliti tidak melakukan proses penelitian ke lapangan tetapi bisa memberikan data. Peneliti seperti ini perlu diuji dependabilitasnya. Kalau proses penelitian tidak dilakukan tetapi ada data penelitian maka penelitian yang dilakukan tidak reliableatau dependable. Untuk itu pengujian dependability dilakukan dengan cara melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Caranya dilakukan oleh auditor yang independen, atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian (Sugiyono, 2010). 6.1.4 Uji Konfirmabilitas Standar konfirmabilitas lebih terfokus pada pemeriksaan dan pengecekkan (checkin dan audit) kualitas hasil penelitian, apakah benar hasil penelitian didapat dari lapangan. Audit konfirmabilitas umumnya bersamaan dengan audit dependabilitas (Fatchan, 2011). Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Sugiyono (2010) bahwa dalam penelitian kualitatif uji konfirmabilitas mirip dengan uji dependabilitas sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersama-
52 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f sama. Menguji konfirmabilitas berarti menguji hasil penelitian dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan maka penelitian tersebut telah memenuhi standar konfirmabilitas. Dalam bukunya Kahija mengemukakan bahwa konfirmabilitas ditunjang oleh beberapa hal, yakni : 1. Data mentah hasil wawancara. Yang meliputi baik hasil rekaman maupun catatan-catatan di lapangan. 2. Proses analisis yang benar dari horisonalisasi sampai makna/esensi. 3. Pembahasan yang benar. 4. Pemeriksaan materi audiovisual. Hasil wawancara dan observasi (termasuk kaset-kaset) perlu diperiksa 5. Pemeriksaan asumsi pribadi. Harus diakui bahwa peneliti kualitatif memang rawan dengan bias (prasangka, pra-penilaian, pengalaman masa lalu). Di bawah ini merupakan tabel perbandingan keempat standar kualitatif dengan kuantitatif menurut Kahija (2006). Tabel 6.1 Perbandingan standar kuantitatif dan kualitatif Kuantitatif Validitas Internal
Kualitatif Kredibilitas
Validitas Eksternal
Transferabilitas
Reliabilitas
Dependabilitas
Objektivitas
Konfirmabilitas
Tujuan Untuk melihat apakah penelitian sudah berjalan dengan benar Untuk melihat apakah penelitian bisa ditransfer / dialihkan dalam situasi lain yang mirip atau serupa Untuk melihat apakah penelitian konsisten Untuk melihat apakah peneliti bersifat netral
Sumber : Kahija (2006) 6.2 Rangkuman Verifikasi hampir sama dengan konsep validitas dan reliabilitas dalam penelitian kuantitatif. Verifikasi data dalam penelitian kualitatif memiliki makna bagaimana peneliti bisa meyakinkan pembaca dan dirinya sendiri bahwa penelitiannya sudah berjalan dengan benar dan dapat dipercaya, serta sesuai dengan kaidah keilmuan. Terdapat 4 macam
V e r i f i k a s i D a t a P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 53
standar verifikasi, yaitu kredibilitas, transferabilitas, konfirmabilitas dan dependabilitas. 6.3 Latihan/Tugas Verifikasilah data kualitatif yang telah Anda analisis di Bab 5, verifikasilah data tersebut dengan menggunakan uji-uji verifikasi yang telah Anda pelajari di Bab 6 ini. 6.4 Pengayaan Bacaan Babbie, Earl. 1986. The Practice of Social Research. Fourth Edition. Eadsworth Publishing Co. : Belmont, California. A Division of Wadsworth, Inc.
54 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f
BAB 7 PENGGUNAAN TEORI DALAM PENELITIAN KUALITATIF
Standar Kompetensi: Mahasiswa mampu melakukan penyusunan penelitian kualitatif. Kompetensi Dasar:Mahasiswa dapat mengaplikasikan teori perilaku dalam penelitian kualitatif. Keterkaitan kompetensi dasar dengan standar kompetensi adalah bahwa pengaplikasian teori dalam penelitian kualitatif adalah bagian dari penyusunan laporan penelitian kualitatif. Kompetensi dasar pada bagian bab ini merupakan bagian dari standar kompetensi pada mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif. Ruang Lingkup Materi: Bab ini berisi uraian tentangteori Interaksionisme Simbolik, teori Health Belief Model (HBM), Teori Social Learning, Teori Bloom. Uraian 7.1 Teori Interaksionisme Simbolik Interaksionisme simbolis merupakan aliran sosiologi Amerika yang lahir dari tradisi psikologi.Interaksionisme simbolis adalah sebuah pendekatan sosiologis dan lebih dari sekedar teori tetapi juga sebagai konsep kerangka kerja metodologi untuk penelitian sosial yang menekankan pada aksi dan arti dari aksi tersebut. Objek dan kejadian fisik tidak mempunyai arti kecuali pengertian yang diberikan oleh manusia dalam interaksi sosial sehari-hari. Blumer, merujuk pada karakter interaksi yang berlangsung antar manusia. Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak langsung selalu didasarkan atas penilaian tersebut. Oleh karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh beberapa simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Turner (1982) mengungkapkan bahwa manusia menggunakan simbol-simbol dalam berkomunikasi dengan yang lain. Dengan memahami sifat, bahasa lisan dan bahasa tubuh, manusia dapat
56 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f berkomunikasi secara efektif. Dengan membaca dan mengiterpretasi bahasa tubuh orang lain, manusia berkomunikasi dan berinteraksi. Mereka saling memahami secara bersama-sama untuk mengantisipasi keasalahpahaman diantara mereka. ini adalah ide inti dalam interaksionisme simbolik. Ini memerlukan pemahaman bahwa manusia manusia bukanlah tipikal yang merespon secara langsung terhadap rangsangan, tetapi memberikan arti dari stimulus dan bertindak berdasarkan arti dari stimulus tersebut. Menurut Blumer (1969) interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis : 1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan beberapa makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. 2) Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. 3) Beberapa makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial berlangsung. 7.1.1 Pendekatan Dalam Teori Interaksi Simbolik Longmore (1998) menyebutkan bahwa ada dua orang ahli pendahulu dalam perspektif simbolik interaksionis yaitu H.G Blumer dan M.H Kuhn. Blumer menguraikan beberapa jenis interaksionisme, dikenal dengan pendekatan situasional atau Chicago School yang menekankan pada munculnya dan pemahaman diri dalam interkasi interpersonal (faceto-face). Pendekatan yang lain adalah struktural atau Iowa School yang dipelpori oleh Kuhn dengan menjelaskan ciri-ciri struruktural kelompok sosial dan aturan main bagi individu-individu dalam berhubungan atau berinterkasi.Mengenai dua pendekatan interaksionisem simbolik dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pendekatan Situasional Pendekatan ini secara khusus berusaha mengkategorikan asumsi dasar interaksionisme simbolik, dimana memberikan koreksi terhadap orientasi makro dari ilmu sosial. Longmore (1998) berpendapat bahwa pendekatan situasional memandang bahwa peran kreasi dan re-creates individu berdasarkan satu situasi dengan situasi yang lainnya, serta dengan perbedaan diantara mereka. Hal ini memungkinkan karena individu-individu dapat membangun suatu makna, memiliki diri (self), dan relasi diantara manusia sehingga dapat bertukar beberapa arti.
P e n g g u n a a n T e o r i P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 57
2. Pendekatan Struktural Pendekatan ini dipelopori oleh Kuhn dan mahasiswanya. Pendekatan ini didukung oleh metode survey, pengukuran yang obyektif dan analisa secara kuantitatif (Meltzer et al, 1975). Kuhn menekankan pada pentingnya pribadi (core self) seseorang sebagai satu objek. Turner (1982), menyatakan bahwa dalam bersosialisasi, manusia mendapatkan serangkaian arti dan sikap tentang diri mereka, inti diri akan dibentuk dan memaksa seseorang untuk mendefinisikan situasi dengan membatasi beberapa isyarat yang akan terlihat dan dimasukkan dalam situasi sosial. Longmore (1998) menyebutkan bahwa pendekatan struktural bertentangan dengan konsep self dan society yang menggambarkan perilaku tidak sekedar muncul dan tidak ditentukan, tetapi ditentukan melalui variabel pendahulu yang mempunyai aspek self, seperti sejarah, pembangunan dan kondisi sosial.Turner (1982) menyatakan bahwa berbeda dengan skema Blumer, Kuhn menekankan “kekuatan pribadi (core self) dan keterkaitan kelompok untuk memaksa terjadinya interaksi”. Kuhn cenderung menunjukkan bahwa perilaku individual sangat memaksa dan dibentuk oleh core self dan membutuhkan situasi kebersamaan. Kuhn menekankan bahwa pembentukan dan perubahan struktur sosial sebagai dampak dari interaksi. Kemudian,ketika strukturstruktur itu terbentuk, maka akan memaksa terjadinya interaksi. “Beberapa struktur sosial menjadi relatif stabil, khususnya ketika self core manusia ditempatkan dalam posisi jaringan khusus. 7.1.2 Aplikasi Interaksionisme Simbolik dalam Penelitian Seksualitas Seksualitas dapat diartikan ciri, sifat atau peranan seks, dorongan seks, dan kehidupan seks.Fonseca (1970) menyebutkan bahwa seksualitas menggambarkan sebuah kualitas manusia, sebuah aspek kekuatan dan tujuan tertentu manusia secara alamiah, dan merupakan dimensi kemanusiaan yang penting. Fogels dan Woods (1981) menyebutkan seksualitas adalah proses pengakuan secara terus menerus, penerimaan, dan ekspresi seorang diri sebagai seksual yang diinginkan. Menarik dalam membedakan antara seks, aktifitas seksual, fungsi seksual dan seksualitas. Seks disebut juga jenis kelamin yaitu seperangkat organ biologis yang dimiliki manusia sebagai anugerah dan kodrat Tuhan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan yang tidak dapat dipertukarkan. Perilaku seksual adalah ekspresi seksualitas verbal dan non verbal, dan termasuk aktifitas genital dan nongenital.Fungsi seksual berarti fungsi-fungsi badaniah secara alamiah yang dimulai dalam “utero”, dan beberapa subyek mengukur secara sengaja sebagai
58 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 58nálisi.Seksualitas bukan sekedar aktivitas seksual atau fungsi seksual. Seksualitas mendasari berbagai pengalaman manusia secara lengkap dan berkontribusi dalam hidup kita dalam berbagai jalan. Untuk memahami seksualitas manusia, beberapa teori menguraikan dari kategori biologi, psikologi, dan perspektif sosial kultural. Berbagai kategori di atas tidak saling eksklusif, tetapi agak tumpang tindih dan saling terkait dalam seksualitas manusia. Perspektif biologi meliputi aspek anatomi dan psikologi seksualitas, seperti : organ seks, hormon, syaraf, otak pusat. Seksualitas dari segi psikologi meliputi dimensi intrapsikis individual dan persepsi hubungan interpersonal. Hal ini merupakan dimensi yang penting dalam self- concept dengan menghargai seksualitas. Blummer (1982) menyebutkan pada dekade sekarang ini penelitian seks didominasi tiga konsep seksualitas manusia. Pertama, tradisi klinis yang disimbolkan oleh penelitian Freud dimana menjelaskan perkembangan 58nálisis58 individu melalui makna dari 58nálisis intensif pada memori masa anak-anak dan tidak disadari. Kedua, disimbolkan dari penelitian Kinsey (1940) dengan pendekatan social bookkeeping yang menjelaskan frekuensi dan makna distribusi sosial dari perilaku seksual melalui interview, kuesioner dan statistik komputasi. Ketiga, dibangun dalam penelitian Master dan Johnson (1966) dengan metode eksperiment yang menjelaskan arti fisiologi dari membangkitkan seksual observasi laboratorium yang dikontrol. Pendekatan interaksionisme simbolik menitikberatkan pada diri (self) secara sosial alamiah. Teori ini menitikberatkan bagaimana munculnya diri, membangun dan menjaga keberlanjutan proses interaksi. Menyambung interaksi dengan yang lain, mempelajari secara siapa dia, dan menjadi percaya dengan dia secara jelas dan diri yang berarti (Sandstrom et al, 2001). 7.1.3 Konsep Sexual meaning, self, identity, sosialization Sexual meaning, self, identity, dan proses konstruksi sosial, dan pola sosial menjadi kajian utama kerangka kerja sosiologis yang disebut sebagai interaksionisme simbolik, yang dikenalkan bangun oleh G.H Mead pada tahun 1934 (Turner, 1982).Longmore (1998) menyebutkan bahwa sebagai suatu kerangka teori yang menitikberatkan pada interaksi mikro diantara individu-individu, interaksionisme simbolik unit 58nálisis utamanya adalah individu. Pendekatan situasional pada penelitian seks berkontribusi dalam memahami proses interpersonal dan strategi personal termasuk dalam formasi indentitas, dan termasuk proses sosialisasi dalam
P e n g g u n a a n T e o r i P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 59
berbagai subkultur seksual. Sementara pendekatan struktural menitkberatkan seksualitas adalah konstruksi sosial. Selanjutnya sebagai upaya memahami interaksionisme simbolik dalam penelitian seksualitas perlu dipahami beberapa konsep yang meliputi :sexual meaning, self identity, dan sosiazation. Sexual meaning adalah bagaimana individu mengartikan aksi individu dalam seksual yang dialami. Seorang waria kemungkinan mengartikan seksual berbeda dengan waria yang lain atau bahkan orang lain. Self identity, terdiri dari dua kata yang masing-masing memiliki arti tersendiri. Longmore (1998) menyebutkan konsep self adalah proses kognitif dari kesadaran diri (self awareness). Keadaran diri berarti kemampuan manusia untuk menjadi subjek dan objek sekaligus.Sementara itu pendekatan struktural berpendapat bahwa konsep diri (self concept) adalah hasil atau konsekuensi dari kesadaran diri yang tersusun dari variasi identitas, sikap, kepercayaan, nilai, dan motif.Styker (1980 dalam Longmore (1998) menyebutkan bahwa indentity berarti karakteristik diri dimana individu membuat ciri khas dirinya sebagai anggota kelompok, seperti pola sosial, keanggotaan dan kategori-kategori. Socialization berarti proses interaksi sosial oleh individuindividu yang selektif sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, sikap, nilai, motif, norma, kepercayaan, dan bahasa kelompok dimana mereka akan atau menjadi anggota kelolompok (Longmore, 1998).Sosialisasi seksual dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk orang tua, teman sebaya, dan media massa (DeLamater dan Hyde, 1998). Keluarga merupakan tempat sosialisasi awal terutama pada masa kecil. Orang tua dan anggota keluarga lainnya merupakan guru yang menjadi contoh dalam budaya seksual. Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat menyusun kerangka teori interaksionisme simbolik yang tersusun atas :sexual meaning, self, identity, dan sosialisasi.
60 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f
Sexual Meaning Self concept Identity
Skrip Seksual: - Cultural Script - Interpersonal Script - Intra-psychic Script
Sosialization
Gambar 7.1 Kerangka Teori Interaksionisme Simbolik 7.1.4 Skrip Seksual Apa yang dijelaskan dalam studi ini adalah untuk menunjukkan asal skrip seksual sebagai awal munculnya dalam perilaku seksual. Seperti situasi, dimana partisipan berusaha membuat rasa seksual sendiri dan situasi seksual, dapat terlihat sebagai sesuatu yang ragu dan membingungkan. Dalam bentuk arti seksual, akan selalu ada elemen yang baru, tidak diduga dan tidak pasti sebagai aktor yang bersama-sama muncul dalam bertindak. Akan ada juga elemen yang tidak teratur, yang mengalir dari komitmen seseorang, juga sebagai bagian dari keberadaan arti abstrak seksual dan sebagai bagian dari perspektif rutin dengan orang lain. Bagaimana skrip ini muncul secara historis, sosial dan personal adalah perhatian utama dari ahli interkasi simbolik. Skrip seksual muncul secara historis. Mereka menamakan sumber sebagai konstruksi budaya seksual, dan tergantung pada kapan dan bagaimana kepentingan konsep seksualitas dalam skrip secara umum. Dalam masyarakat Jawa, seperti kepercayaan, kelas sosial, sosial ekonomi, dan nilai-nilai ideal, sebagai mana adanya konsep isin (malu) dan sungkan (sopan). Skrip umum akan membimbing perilaku dan kepercayaan orang jawa tentang bentuk-bentuk orang yang cocok sebagai pasangan untuk aktivitas seksualnya. Skrip seksual interpersonal mempertimbangkan bagaimana individu menatap kehidupan masa lalu dan kejadian sekarang dan bagaimana mereka mengantisipasi masa depan, untuk menempatkan mereka pada ketersediaan tetapi skripsual yang terpilih. Skrip seksual waria, dapat dibentuk secara nyata melalui konsep hidup tradisional, dan sebagai bagian dari pengalaman seksualnya, konsep hidup modern
P e n g g u n a a n T e o r i P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 61
(global) dan pasangan mereka. Mereka mendefinisikan perilaku seksual yang ada dan tipe hubungan yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Akhirnya skrip intrapsikis menggali kebutuhan psikis individu untuk mendapatkan kesenangan dari beberapa skrip. Proses individu, seperti tingkat karakteristik dari hasrat, kematangan dan kepribadian, mungkin mempengaruhi perilaku seksual individu. Tentu saja tidak semua pasangan mengikuti secara persis untuk semua aspek dari skrip seksual masyarakat pada umumnya. Beberapa pasangan juga mungkin membangun idiom syncratic sendiri, skrip hubungan seksual dimana mereka memelihara kontinuitas keseluruhan dari hubungan mereka (gambar 7.2).
Gambar 7.2. Example of Turning Point in a Developing Relationship Pathways to First Time, pada beberapa waktu yang lampau, beberapa pasangan menunggu sampai mereka menikah sebelum melakukan hubungan seksual. Sebagai contoh Kinsey (1953) menemukan beberapa wanita yang lahir sebelum tahun 1900, 73% dari mereka tidak
62 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f melakukan hubungan seks sampai mereka menikah. Sekarang beberapa pasangan, buyut mereka (atau minimal nenek mereka) menunggu pernikahan, tetapi kebanyakan pasangan sudah melakukan hubungan seks sebagai rangkaian dari kencan (Adam, 1986), termasuk perkencanan/pacaran tidak serius dan pacaran serius. Christopher dan Cate (1985) telah menggolongkan pasangan menurut seberapa cepat dalam hubungan mereka melakukan hubungan seksual. Keterlibatan hubungan seksual diteliti dengan menanyai sekitar 21 perilaku hubungan seksual (dari satu menit ciuman bibir ke seks oral sampai orgasme) untuk empat poin penting dalam hubungan mereka. Empat poin ini adalah: kencan pertama, kencan biasa, mempertimbangkan pasangan, merasa diri mereka sebagai pasangan. Dengan informasi retrospektif ini, Christopher dan Cate mengenali empat cara hubungan seksual, yaitu : 1) Terdapat 7% pasangan melakukan hubungan seksual pada awal hubungan, seringnya pada kencan pertama (rapid-involvement couple). 2) Terdapat 31% pasangan dilaporkan adanya peningkatan hubungan dalam perilaku seksual sampai tahap ke empat dari perkencanan (gradual-involvement couple). 3) Terdapat 44% pasangan cenderung menunda hubungan seksual sampai menganggap diri mereka sebagai “pasangan” (delayed-involvement couple). 4) Terdapat 17% pasangan tidak akan berhubungan seksual sampai mereka merasa dirinya menjadi pasangan (low-involvement couple). TheSexual Decision-Making Process, Beberapa peneliti mempelajari proses pengambilan keputusan pada orang-orang yang masih virgin dan pasangan yang belum terlibat hubungan seksual mengapa mereka tidak melakukan hubungan seksual. Peneliti yang lain melakukan penelitian pada dewasa muda yang membuat keputusan dalam pertunangan sebelum menikah dan mengapa mereka melakukan hubungan seksual, serta mengapa mereka melakukan hubungan seksual pada saat awal perkencanan. Sedangkan D’augelli, at all (1975, 1977) membedakan alasan untuk tidak melakukan hubungan seksual menjadi dua, yaitu: a. Adamant Virgins (berpegang teguh pada keperawanan) Memutuskan untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah karena mempunyai kepercayaan yang sangat kuat bahwa hubungan seks harus dilakukan setelah menikah. Paham ini dipengaruhi oleh keluarga dan agama.
P e n g g u n a a n T e o r i P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 63
b. Potential non Virgins Mereka tidak melakukan hubungan seksual karena tidak dalam situasi yang baik atau tidak dalam cinta yang cukup. Mereka juga takut untuk hamil. Namun terdapat peluang bagi mereka untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Peaplau (1977) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa lakilaki dan perempuan pada pasangan yang tidak melakukan hubungan seksual sama sekali (abstain), mempunyai alasan tersendiri mengapa mereka tidak melakukan hubungan seksual, yaitu : (1) Partner tidak menginginkan hubungan seksual pada saat sekarang; (2) Bertentangan dengan moral dan agama; (3) Alasan takut hamil; (4) Terlalu awal untuk sebuah hubungan. Christopher and Cate (1984) menemukan empat alasan atau motivasi utama yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan hubungan seksual pertama kali, yaitu : a. Positive Affection (Kasih Sayang)/Komunikasi Adanya cinta pada pasangan, kemungkinan untuk menikah, prioritas kencan dengan pasangan karena akan menikah. b. Arousal/Receptivity (Daya Penerimaan) Seseorang tertarik secara fisik langsung memprioritaskan untuk melakukan hubungan seksual, partner yang tertarik secara fisik juga langsung memprioritaskan untuk melakukan hubungan seksual. c. Obligation (Kewajiban/Keharusan) dan Tekanan Seseorang merasa wajib untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan, tekanan partner pada orang tersebut untuk melakukan hubungan seksual, beberapa teman dari orang tersebut melakukan hubungan seksual. d. Keadaan di saat itu Rencana awal dari seseorang untuk meningkatkan kesempatan untuk melakukan hubungan seksual, jumlah alkohol dan obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasangan, kencan pada even yang spesial/khusus. Christopher and Cate mempelajari kelompok yang masih belum pernah melakukan hubungan seksual terhadap tingkatan komunikasi bagaimana yang mereka harapkan dengan pasangannya sebelum mereka memutuskan untuk melakukan hubungan seksual. Mereka memilih kencan biasa, kencan/pacaran serius, bertunangan, menikah. Subjek yang melakukan hubungan seksual pertama kali dengan pasangannya pada saat tahapan kencan biasa masuk dalam kategori melihat fisik sebagai faktor yang lebih penting dan faktor hubungan keterikatan kurang penting. Studi yang dilakukan pada wanita dewasa oleh Leigh (1989) di San Francisco mengungkapkan alasan penting
64 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f mengapa mereka melakukan hubungan seksual adalah untuk kesenangan, menyenangkan pasangannya, merebut hati pasangan, dan mengurangi ketegangan. 7.2 Teori HBM Health Belief Model seringkali dipertimbangkan sebagai kerangka utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia dan telah mendorong penelitian perilaku kesehatan sejak tahun 1950. Menurut Rosentock (1966) HBM digunakan untuk meramalkan perilaku peningkatan kesehatan yaitu didasarkan pada perilaku individu yang ditentukan oleh motif dan kepercayaan individu itu sendiri. Jadi dapat diartikan bahwasannya teori HBM ini menjelaskan bagaimana status peningkatan kesehatan itu dapat dikontrol sendiri oleh masing-masing individu itu sendiri. Hambatan untuk mengambil suatu tindakan. Meskipun keyakinan yang menetapkan bahwa suatu tindakan tertentu dapat mengurangi ancaman kesehatan, keraguan masih berlangsung. Jika kesiapan rendah dan negatif, aspek tindakan dipandang sebagai tinggi, hambatan tersebut dibangun untuk mencegah tindakan. (Rosenstock, 1966) Menurut teori HBM, kemungkinan individu akan melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian kesehatan (Health Belief) yaitu ancaman yang dirasakan dari keadaan sakit atupun luka. Keadaan sakit atu luka ini biasa disebut Perceived Threat of Injury or Illness, dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian atau disebut Benefits and Cost. Dalam teori HBM terdapat beberapa penilaian, Penilaian Pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap resiko yang akan muncul. Dapat diambil keputusan bahwa pada sejauh mana dalam pemikiran tiap-tiap individu bahwasannya suatu penyakit ataupun kesakitan tersebut benar-benar merupakan suatu ancaman bagi dirinya sendiri. Pada intinya mereka dapat merasakan bahwa ketika ancaman akan penyakit atau kesakitan tersebut meningkat maka perilaku untuk hal pencegahan akan meningkat juga seiring bertambahnya rasa ketidak nyamanan akan kesakitan tersebut. Penilaian tentang ancaman yang dirasakan ini berdasarkan pada : a. Ketidak kebalan yang dirasakan (perceived vulnerability) yang dapat diartikan bahwa seseorang dapat mengembangkan masalah kesehatan menurut kondisi mereka masing-masing. b. Keseriusan yang dirasakan (perceived severity) yaitu dimana seseorang mengevaluasi keseriusan tersebut bila mereka
P e n g g u n a a n T e o r i P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 65
mengembangkan masalah kesehatannya atau membiarkan penyakitnya tidak segera ditangani. Sedangkan untuk Penilaian Kedua adalah perbandingan antara keuntungan dan kerugian dari prilaku dalam usaha untuk memutuskan melakukan tindakan pencegahan atau tidak. Jadi seseorang tersebut berpikir akan keuntungan dan juga kerugiannya dari apa yang akan dilakukan nanti, entah itu mengobati atau tidak. Tambahan untuk penilaian yang terdahulu, petunjuk untuk berperilaku (cues to action) diduga tepat untuk memulai proses perilaku atau disebut sebagai keyakinan terhadap posisi yang menonjol (salient position) berasal dari informasi dari luar atau nasehat mengenai permasalahan kesehatan misalnya nasehat orang lain, media massa, kampanye, pengalaman dari orang lain yang pernah mengalami hal yang sama dan sebagainya. Ancaman, keseriusan, ketidak kekebalan dan pertimbangan keuntungan dan juga kerugian dipengaruhi oleh : 1. Variabel Demografi yaitu usia, jenis kelamin, latar belakang budaya. 2. Variabel Sosiopsikologis yaitu kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial. 3. Variabel Struktural yaitu pengetahuan dan pengalaman tentang masalah. Kebutuhan akan kesehatan seseorang terbagi dua yaitu kebutuhan objektif yaitu diidentifikasi oleh petugas kesehatan berdasarkan penilaiannya yang profesional dan juga kebutuhan subjektif yang didasarkan individu menentukan sendiri apakah dirinya mengandung penyakit, berdasarkan perasaan dan penilaiannya sendiri.
Gambar 7.3 Bagan Teori HBM menurut Rosenstok
66 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f Berikut merupakan beberapa bentuk dari model teori HBM yaitu : 1) Menurut Rosentock (1982) a. Kerentanan yang akan dirasakan (perceived susceptibility) merupakan suatu persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit. Jadi pada dasarnya setiap individu menurut poin ini bilamana seorang individu tersebut rentan untuk terkena suatu penyakit atau kesakitan maka dia akan lebih cepat untuk bertindak agar tidak sampai penyakit tersebut menyerangnya. Dan kerentanan yang akan dirasakan tergantung dari persepsi masingmasing individu tersebut. b. Keparahan yang dirasakan (perceived seriousness) pandangan dari individu terhadap suatu penyakit yang dideritanya. Dan pada pandangan ini dapat memberikan dorongan agar mencari pengobatan untuk penyakit yang sedang diderita, dan keseriusan ini ditambah akibat dari suatu penyakit misal ; kematian, pengurangan fungsi fisik dan mental, kecacatan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial. c. Persepsi dan Manfaat (perceived benefits) setiap individu akan mempertimbangkan apakah alternatif itu memang bermanfaat dapat mengurangi ancaman penyakit, persepsi ini juga dapat berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya sehingga tindakan ini mungkin dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari kelompoknya. d. Persepsi Halangan (perceived Barriers) merupakan persepsi terhadap aspek negatif yang menghalangi individu untuk melakukan suatu tindakan kesehatan, misal ; mahal, bahaya, pengalaman yang tidak menyenangkan dan rasa sakit. e. Isyarat untuk bertindak (cues to action) ada beberapa faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut dan isyarat itu dapat bersifat : Internal ; berasal dari dalam individu itu sendiri, misalkan yaitu gejala yang dirasakan dari penyakitnya. Eksternal ; berasal dari interaksi interpersonal, misal : media massa, pesan, nasehat, anjuran, atau konsultasi dengan petugas kesehatan. 2) Menurut Sarafino (1990) Bagan dari penggambaran Sarafino lebih sederhan, dan pada bagian ini mencoba mengelompokkan menjadi dua kelompok besar
P e n g g u n a a n T e o r i P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 67
persepsi ancaman dan persepsi manfaat dan halangan yang mempengaruhi isyarat untuk berperilaku. Persepsi Ancaman (perceived Threats) merupakan persepsi dari perpaduan ancaman dan kerentanan makin berat resiko suatu penyakit dan makin besar resiko individu itu terserang suatu penyakit tersebut, makin dirasakan ancamannya, yang merupakan hasil perpaduan antara persepsi keseriusan dan kerentanan.
Gambar 7.4 Bagan Teori HBM menurut Safarino 7.3 Teori Bloom Perilaku seseorang adalah sangat kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) membedakan adanya 3 area, ranah, wilayah atau domain perilaku, yakni kognitif (cognitive),afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan pembagian domain oleh Bloom ini, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku (Notoatmodjo, 2010) sebagai berikut : a. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu sesorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu
68 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Secara garis besar dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan yaitu: 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai recall(memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. 2. Memahami(comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. 3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. 4. Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan memisahkan, kemudianmancari hubungan antara komponenkomponen yang terdapat dalam suatu masalahatau objek yang diketahui. 5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. b. Sikap (attitude) Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Komponen pembentuk sikap menurut Allport (1954) yaitu: 1. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek 3. Kecenderungan untuk bertindak, artinya sikap adalah komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka
P e n g g u n a a n T e o r i P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 69
Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut: 1. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek) 2. Menanggapi (responding) Menanggapi diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. 3. Menghargai (valuing) Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespon. 4. Bertanggung jawab (responsible) Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang diyakininya. c. Tindakan atau praktik (practice) Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak. Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, seperti adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Menurut kualitasnya ada 3 tingkatan tindakan, yaitu: 1. Praktik terpimpin (guided response) Apabila subjek telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. 2. Praktik secara mekanisme (mechanism) Apabila seseorang telah melakukan sesuatu hal secara otomatis. 3. Adopsi (adoption) Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakanatau perilakuyang berkualitas. Berikut ini contoh penggunaan Teori Bloom dalam penelitian Kualitatif berjudul peran guru dalam pendidikan kesehatan reproduksi pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Domain perilaku yang pertama menurut Bloom adalah pengetahuan. Pengetahuan guru terkait dengan kesehatan reproduksi dalam penelitian ini mencakup tentang pengetahuan guru mengenai kesehatan reproduksi pada siswi tunagrahita secara umum, pengetahuan guru mengenai perbedaan jenis kelamin pada siswi tunagrahita, pengetahuan guru mengenai menstruasi pada siswi tunagrahita, dan pengetahuan guru mengenai pelecehan seksual padasiswi
70 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f tunagrahita. Domain perilaku yang kedua menurut Bloom adalah sikap, yang dimaksud sikap dalam penelitian ini adalah sikap guru terhadap kesehatan reproduksi pada siswi Tunagrahita secara umum, sikap guru terhadap pemberian materi perbedaan jenis kelamin pada siswi tunagrahita, sikap guru terhadap pemberian materi menstruasi pada siswi tunagrahita, dan sikap guru terhadap pemberian materi pelecehan seksual pada siswi tunagrahita.Kepercayaan merupakan salahsatu komponen dari sikap, yang dalampenelitian ini adalah kepercayaan guru terhadap kemampuan siswi tunagrahita dalam menjaga kebersihan pada saat menstruasi dan menjaga diri dari risiko pelecehan seksual. Domain perilaku yang ketiga adalah tindakan, yang dimaksud tindakan dalam penelitian ini adalah tindakan guru dalam menumbuhkan kesehatan reproduksi secara umum pada siswi tunagrahita, tindakan guru dalam menumbuhkan atau memberikan pendidikan perbedaan jenis kelamin pada siswi tunagrahita, tindakan guru dalam memberikan pendidikan menstruasi pada siswi tunagrahita, serta tindakan guru dalam memberikan pendidikan pelecehan seksual pada siswi tunagrahita. 7.4 Teori Belajar Sosial Bandura berpandangan walaupun prinsip sosial cukup menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme. Pertama, Bandura berpendapat manusia dapat berpikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri. Kedua, Bandura menyatakan banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi satu orang dengan orang lain (Gumilar, 2007). Teori Belajar Sosial dari Bandura didasarkan pada tiga konsep (Gumilar, 2007): a. Determinis Resiprokal : Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. b. Lebih dari Reinforcement : Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforsemen. Menurut Bandura, reinforsemen penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. c. Kognisi dan Regulasi diri : Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkkungan, menciptakan dukungan kognitif dan mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri.
P e n g g u n a a n T e o r i P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 71
Bandura berpendapat, seseorang berperilaku tertentu karena adanya interaksi antara orang, lingkungan, dan perilaku orang tersebut, menghasilkan perilaku berikutnya.Dari konsep ini, bisa dikatakan bahwa perilaku mempengaruhi lingkungan, atau lingkungan atau orang mempengaruhi perilaku.Bandura menjelaskan tentang hubungan antara Tingkah laku (T), Pribadi (P) dan Lingkungan (L), yaitu:
P
L Gambar 7.5 Pribadi, Lingkungan dan Tingkah mempengaruhi. (Sumber : Gumilar, 2007)
T Laku
saling
Teori Belajar Sosial dari Bandura yang paling luas diteliti adalah Efikasi Diri dan Penelitian Observasi (Penelitan Modeling). A. Belajar Melalui Efikasi Diri (Self Efficacy) Bandura (2001) yakin bahwa manusia (human agency) adalah makhluk yang sanggup mengatur dirinya, proaktif, reflektif dan mengorganisasikan dirinya. Selain itu, mereka juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi tindakan mereka sendiri demi menghasilkan konsekuensi yang diinginkan (dalam Feist & Feist, 2008).Oleh sebab itu, Bandura memperkenalkan konsep self-efficacy. Bandura (2001) mendefinisikan self-efficacy sebagai “keyakinan manusia pada kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya” (dalam Feist & Feist, 2006). Sedangkan apabila self-efficacy diaplikasikan ke dalam dunia kerja, maka menurut Stajkovic & Luthans (1998), selfefficacy dapat didefinisikan sebagai “keyakinan seseorang tentang kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, sumber daya kognitif dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan tugas dan dalam konteks tertentu” (dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009). Keyakinan efficacy dikatakan mempengaruhi bagaimana seseorang melihat dan menginterpretasi suatu kejadian. Mereka yang
72 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f memiliki self-efficacy yang rendah dengan mudah yakin bahwa usaha yang mereka lakukan dalam menghadapi tantangan yang sulit akan siasia, sehingga mereka cenderung untuk mengalami gejala negatif dari stres. Sementara mereka yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan cenderung untuk melihat tantangan sebagai sesuatu yang dapat diatasi yang diberikan oleh kompetensi dan upaya yang cukup (Bandura dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009). Pandangan Hughes, Ginnett & Curphy (2009) melihat selfefficacy terdiri dari dua jenis; Positive self-efficacy dan Negative selfefficacy. Self-efficacy dikatakan positif ketika keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa ia percaya mempunyai kuasa untuk menciptakan apa yang ia inginkan atau harapkan. Sedangkan, self-efficacy yang negatif ketika keyakinan yang dimiliki seseorang membuat dirinya lemah atau melemahkan dirinya sendiri. Penelitian mengungkapkan bahwa orang yang secara sederhana percaya bahwa ia dapat menyelesaikan suatu tugas tertentu dengan baik, seringkali mengerahkan usaha yang cukup untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sebaliknya, orang yang memiliki selfefficacy yang negatif seringkali menyerah dalam menghadapi kesulitan. 1. Pengertian Self-efficacy Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Self-efficacy mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986,) Baron dan Byrne (2000) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Di samping itu, Schultz (1994) mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan. Berdasarkan persamaan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu. 2. Dimensi Self-efficacy Bandura (1997) mengemukakan bahwa self-efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu :
P e n g g u n a a n T e o r i P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 73
a. Tingkat (level) Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki self-efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugastugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya. b. Keluasan (generality) Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki self-efficacy pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan self-efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas. c. Kekuatan (strength) Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Self-efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Self-efficacy menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy mencakup dimensi tingkat (level), keluasan (generality) dan kekuatan (strength). 3. Sumber-Sumber Self-efficacy Bandura (1986) menjelaskan bahwa self-efficacy individu didasarkan pada empat hal, yaitu: a. Pengalaman akan kesuksesan Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya terhadap self-efficacy individu karena didasarkan pada pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan self-efficacy individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya self- efficacy, khususnya jika kegagalan terjadi ketika self-efficacy individu belum benar-benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan selfefficacy individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar.
74 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f b. Pengalaman individu lain Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber self-efficacynya. Selfefficacy juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan self-efficacy individu tersebut pada bidang yang sama. Individu melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan individu terhadap kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan yang memungkinkan selfefficacy individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman individu akan kemampuannya sendiri. c. Persuasi verbal Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang diinginkan. d. Keadaan fisiologis Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya. Berdasarkan penjelasan di atas, self-efficacy bersumber pada pengalaman akan kesuksesan, pengalaman individu lain, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis individu.
P e n g g u n a a n T e o r i P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 75
Tabel 7.1 Strategi Pengubahan Sumber Ekspekstasi Efikasi Sumber
Pengalaman Performasi
Pengalaman Vikarious
Cara Induksi Participant Modelling Performance Desensilization Performance Exposure Self-instructed Performance Live Modelling Symbolic Modelling Sugestion
Persuasi Verbal
Pembangkitan Emosi
Exhortation Self-Instruction Interpretive Treatment Attribution Relaxation Biofeedback Symbolic Desensilization Symbolic Exposure
Meniru model yang berprestasi Menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih Melatih diri untuk melakukan yang terbaik Mengamati model yang nyata Mengamati model simbolik, film, komik, cerita Mempengaruhi dengan kata-kata berdasar kepercayaan Nasihat, peringatan yang mendesak atau memaksa Memerintah diri sendiri Interpretasi baru memperbaiki interpretasi lama yang salah Menguah atribusi, penanggungajwab suatu kejadian emosional Relaksasi Menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik Memunculkan emosi secara simbolik
4. Proses-proses Self-efficacy Bandura (1997) menguraikan proses psikologis self-efficacy dalam mempengaruhi fungsi manusia. Proses tersebut dapat dijelaskan melalui cara-cara dibawah ini : a. Proses kognitif Dalam melakukan tugas akademiknya, individu menetapkan tujuan dan sasaran perilaku sehingga individu dapat merumuskan tindakan yang tepatuntuk mencapai tujuan tersebut. Penetapan sasaran pribadi tersebut dipengaruhi oleh penilaian individu akan kemampuan kognitifnya. Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian- kejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam berlatih
76 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang mempengaruhi hidupnya. Keahlian ini membutuhkan proses kognitif yang efektif dari berbagai macam informasi. b. Proses motivasi Motivasi individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Terdapat beberapa macam motivasi kognitif yang dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi penyebab yang berasal dari teori atribusi dan pengharapan akan hasil yang terbentuk dari teori nilai-pengharapan. Self-efficacy mempengaruhi atribusi penyebab, dimana individu yang memiliki self-efficacy akademik yang tinggi menilai kegagalannya dalam mengerjakan tugas akademik disebabkan oleh kurangnya usaha, sedangkan individu dengan self-efficacy yang rendah menilai kegagalannya disebabkan oleh kurangnya kemampuan. Teori nilai-pengharapan memandang bahwa motivasi diatur oleh pengharapan akan hasil (outcome expectation) dan nilai hasil (outcome value) tersebut. Outcome expectation merupakan suatu perkiraan bahwa perilaku atau tindakan tertentu akan menyebabkan akibat yang khusus bagi individu. Hal tersebut mengandung keyakinan tentang sejauhmana perilaku tertentu akan menimbulkan konsekuensi tertentu. Outcome value adalah nilai yang mempunyai arti dari konsekuensi-konsekuensi yang terjadi bila suatu perilaku dilakukan. Individu harus memiliki outcome value yang tinggi untuk mendukung outcome expectation. c. Proses afeksi Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditujukan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan. Proses afeksi berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kepercayaan individu terhadap kemampuannya mempengaruhi tingkat stres dan depresi yang dialami ketika menghadapi tugas yang sulit atau bersifat mengancam. Individu yang yakin dirinya
P e n g g u n a a n T e o r i P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 77
mampu mengontrol ancaman tidak akan membangkitkan pola pikir yang mengganggu. Individu yang tidak percaya akan kemampuannya yang dimiliki akan mengalami kecemasan karena tidak mampu mengelola ancaman tersebut. d. Proses seleksi Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Ketidakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat individu tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah atau situasi sulit. Self-efficacy dapat membentuk hidup individu melalui pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu melaksanakan aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini mampu menangani. Individu akan memelihara kompetensi, minat, hubungan sosial atas pilihan yang ditentukan. 5. Faktor-faktor yang membentuk Self-efficacy Menurut Feist & Feist (2008), manusia dapat memiliki self-efficacy yang tinggi di satu situasi namun rendah di situasi lain. Hal ini berdasarkan atas faktor-faktor yang membentuk self-efficacy pada satu pribadi. Self-efficacy pribadi itu didapatkan, dikembangkan atau diturunkan melalui satu atau lebih dari kombinasi empat sumber berikut (Bandura, 1997): (1) pengalaman-pengalaman tentang penguasaan (mastery experiences), (2) pemodelan sosial (social modeling), (3) persuasi sosial (social persuasion), (4) kondisi fisik dan emosi (physical and emotional states) (dalam Feist & Feist, 2008). Mastery Experiences Sumber yang paling kuat atau berpengaruh bagi self-efficacy adalah pengalaman-pengalaman tentang penguasaan (mastery experiences), yaitu kinerja yang sudah dilakukan di masa lalu (Bandura dalam Feist & Feist, 2008). Biasanya, kesuksesan suatu kinerja akan membangkitkan harapan terhadap kemampuan diri untuk mempengaruhi hasil yang diharapkan, sedangkan kegagalan cenderung merendahkannya (Feist & Feist, 2008). Dalam pekerjaan, menurut Gist & Mitchell (dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009) keberhasilan dalam melakukan suatu tugas (performa/kinerja) sebelumnya akan meningkatkan self-efficacy mengenai tugas tersebut, dan kesalahan yang berulang saat melakukan suatu tugas maka membuat ekspetasinya menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, kinerja seseorang dalam melakukan suatu tugas akan sangat mempengaruhi self-efficacy.
78 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f Social Modeling Social modeling atau pemodelan sosial, yaitu berbicara mengenai pengalaman-pengalaman tak terduga (vicarious experiences) yang disediakan atau dilakukan oleh orang lain. Self-efficacy akan meningkat ketika seseorang mengamati pencapaian orang lain yang setara kompetensinya, tetapi akan menurun ketika melihat kegagalan seorang rekan kerja (Feist & Feist, 2008). Menurut Bandura (1977); Gist & Mitchell (1992), social modeling adalah pemodelan perilaku orang lain yang telah berhasil menyelesaikan suatu tugas. Dengan mengamati atau mengobservasi orang lain yang berhasil menyelesaikan tugasnya, observer dapat meningkatkan atau memperbaiki performance mereka (dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009). Social Persuasion Menurut Bandura (1997), self-efficacy dapat juga diraih atau dilemahkan melalui persuasi sosial. Efek persuasi sosial agak terbatas, namun apabila dalam kondisi yang tepat akan sangat berdampak dalam meningkatkan atau menurunkan self-efficacy. Kondisi yang dimaksud ialah seseorang harus percaya kepada sang ‘pembicara’ (persuader). Bandura (1986) berhipotesis bahwa efek sebuah nasihat bagi self-efficacy berkaitan erat dengan status dan otoritas dari pemberi nasihat (dalam Feist & Feist, 2008). Social persuasion terjadi ketika seseorang memberitahu kepada seorang individu bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas dengan berhasil. Bentuk umum dari social persuasion yaitu; dorongan verbal, coaching dan menyediakan performance feedback (Bandura dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009). Physical and Emotion States Sumber terakhir dari self-efficacy adalah kondisi fisik dan emosi (Bandura, 1997). Emosi yang kuat biasanya menurunkan tingkat performa/kinerja seseorang. Ketika mengalami rasa takut yang besar, kecemasan yang kuat dan tingkat stres yang tinggi, seseorang akan memiliki self-efficacy yang rendah. Bagi beberapa psikoterapis sudah lama menyadari bahwa pereduksian/pengurangan rasa cemas atau peningkatan relaksasi fisik dapat meningkatkan kinerja (dalam Feist & Feist, 2008). Keempat sumber self-efficacy tersebut digunakan untuk menentukan apakah seseorang dikatakan kompeten atau mampu melakukan perilaku tertentu (Friedman & Schustack, 2008). Pada penelitian ini, diasumsikan bahwa melalui keempat sumber self-efficacy
P e n g g u n a a n T e o r i P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 79
tersebut seorang karyawan baru dikatakan dapat berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja baru atau dengan kata lain keempat informasi tersebut menjadi indikator dalam menggambarkan self-efficacy seorang karyawan baru. Antara self-efficacy dan performance atau kinerja kerja seseorang dikatakan saling menguntungkan atau mempengaruhi satu sama lain. Self-efficacy memimpin atau mengarahkan seseorang ke performance kerja yang lebih baik, dan sebaliknya performance kerja yang baik akan meningkatkan self-efficacy seseorang (Larsen & Buss, 2008). B. Belajar Melalui Observasi Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforsemen yang nyata. Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak teringga banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hubungan dan penguatan (Gumilar, 2007).Bandura mengusulkan tiga macam pendekatan treatment, yaitu (Gumilar, 2007): 1) Latihan Penguasaan, yaitu mengajari klien menguasai tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan. 2) Modelling terbuka, yaitu klien melihat model nyata, biasanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya meniru tingkah laku yang dikehendaki, sampai akhirnya mampu melakukan sendiri tanpa bantuan. 3) Modelling Simbolik, yaitu klien melihat model dalam film, gambar atau cerita. Kepuasan vikarious mendorong klien untuk mencoba atau meniru tingkah laku modelnya. 7.5 Rangkuman Penggunaan Teori dalam penelitian kualitatif mutlak dibutuhkan dalam rangka mempermudah peneliti mencapai tujuan penelitian. Tujuan penelitian diaplikasikan dalam fokus penelitian yang terdapat pada Teori yang digunakan. Teori yang digunakan dalam penelitian kualitatif biasanya memiliki latar belakang sosiologi, psikologi dan perubahan perilaku. 7.6 Latihan/Tugas 1. Buat kerangka konseptual karya ilmiah dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik, dan jelaskan apa saja yang akan Anda teliti dengan mencantumkan fokus penelitian.
80 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 2. Buat kerangka konseptual karya ilmiah dengan menggunakan teori Health Belief Models (HBM), dan jelaskan apa saja yang akan Anda teliti dengan mencantumkan fokus penelitian. 7.7 Pengayaan Bacaan Babbie, Earl. 1986. The Practice of Social Research. Fourth Edition. Eadsworth Publishing Co. : Belmont, California. A Division of Wadsworth, Inc.
BAB 8 PENYUSUNAN PROPOSAL PENELITIAN KUALITATIF
Standar Kompetensi: Mahasiswa mampu melakukan penyusunan penelitian kualitatif. Kompetensi Dasar:Mahasiswa dapat menyusun proposal penelitian kualitatif. Keterkaitan kompetensi dasar dengan standar kompetensi adalah bahwa penyusunan proposal penelitian kualitatif adalah bagian dari penyusunan penelitian kualitatif. Kompetensi dasar pada bagian bab ini merupakan bagian dari standar kompetensi pada mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif. Ruang Lingkup Materi: Bab ini berisi uraian tentang komponen dan sistematika penyusunan proposal penelitian kualitatif. Uraian 8.1 Komponen dan Sistematika Penyusunan Proposal Tujuan penelitian akan dicapai dengan baik jika peneliti bersedia menggunakan manajemen penelitian yang professional. Manajeman yang professional menurut Sugiyono (2010) adalah manajemen yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen secara konsisten dan berkesinambungan dalam mengelola sumber daya untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Efektif bisa diartikan sebagai seberapa besar tingkat pencapaian tujuan sedangkan efisien lebih mengacu pada optimalisasi penggunaan sumberdaya. Sumber daya yang dikelola ini menurut Sugiyono (2010) meliputi man (orang), money (uang), materials (bahan-bahan), methods (metode), machines (alat-alat), minute (waktu) dan market (pasar). Langkah pertama dalam menyusun manajemen yang baik adalah membuat perencanaan penelitian/proposal penelitian.Proposal penelitian menurut Sugiyono (2010) adalah perencanaan penelitian yang berisi langkah-langkah sistematis dan rasional yang ditetapkan oleh peneliti sehingga dapat digunakan sebagai panduan dalam melaksanakan dan mengendalikan penelitian.Setiap penelitian perlu direncanakan dengan
82 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f baik dan sistematis (baik itu termasuk penelitian kuantitatif maupun kualitatif) dalam bentuk proposal penelitian. Sistematika dalam penyusunan proposal penelitian secara garis besar terdiri dari Bab pendahuluan, Tinjauan pustaka dan metodologi penelitian serta lampiran. Perbedaan proposal penelitian kualitatif dengan kuantitaif terletak pada penggunaan istilah terutama pada Bab Metode penelitian, misalnya : variabel penelitian dan definisi operasional dalam penelitian kuantitatif menjadi fokus penelitian dan pengertian dalam penelitian kualitatif. Selain itu, dalam proposal penelitian kualitatif tidak ada sub bab hipotesis seperti pada proposal penelitian kuantitatif. Berikut ini sistematika dari proposal penelitian kualitatif : Bab 1. Pendahuluan 1.1 Latar belakang 1.2 Rumusan masalah 1.3 Tujuan penelitian 1.4 Manfaat penelitian Bab 2. Tinjauan Pustaka 1.1 Konsep Teori sesuai topik 1.2 KerangkaTeori 1.3 Kerangka Konsep Penelitian Bab 3. Metode penelitian 1.1 Jenis penelitian 1.2 Lokasi dan Waktu penelitian 1.3 Informan Penelitian 1.4 Fokus Penelitian dan Pengertian 1.5 Sumber Data, Tehnik dan Pengumpulan data 1.6 Tehnik Penyajian dan Data dan Analisis Data 1.7 Alur Penelitian Daftar Pustaka Lampiran Sebagai bahan perbandingan berikut ini komponen dan sistematika proposal penelitian menurut Sugiono (2010) tersusun atas : 1.1 Pendahuluan 1.1.1 Latar belakang masalah 1.1.2 Fokus penelitian 1.1.3 Rumusan masalah 1.1.4 Tujuan penelitian 1.1.5 Manfaat penelitian 1.2 Studi kepustakaan 1.3 Metode penelitian
P e n y u s u n a n P r o p o s a l P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 83
1.3.1 Alasan menggunakan metode kualitatif 1.3.2 Tempat penelitian 1.3.3 Instrument penelitian 1.3.4 Sampel sumber data 1.3.5 Teknik pengumpulan data 1.3.6 Teknik analisis data 1.3.7 Rencana pengujian keabsahan data 1.4 Jadwal penelitian 1.5 Organisasi penelitian 1.6 Pembiayaan 8.2 Rangkuman Proposal penelitian dalam penelitian kualitatif diperlukan sebelum pelaksanaan pengambilan data penelitian. Proposal Penelitian merupakan perencanaan penelitian yang berisi langkah-langkah sistematis dan rasional yang ditetapkan oleh peneliti sehingga dapat digunakan sebagai panduan dalam melaksanakan dan mengendalikan penelitian. Proposal Penelitian disusun agar setiap penelitian direncanakan dengan baik dan sistematis.Secara garis besar, proposal penelitian kualitatif terdiri dari bagian pendahuluan, tinjauan pustaka dan metode penelitian. 8.3 Latihan/Tugas: Buatlah proposal karya ilmiah melalui pendekatan kualitatif dengan sistematika yang sudah Anda pelajari di Bab 8. 8.4 Pengayaan Bacaan Babbie, Earl. 1986. The Practice of Social Research. Fourth Edition. Eadsworth Publishing Co. : Belmont, California. A Division of Wadsworth, Inc.
84 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f
BAB 9 PENYUSUNAN LAPORAN PENELITIAN KUALITATIF
Standar Kompetensi: Mahasiswa mampu melakukan penyusunan penelitian kualitatif. Kompetensi Dasar:Mahasiswa dapat menyusun laporan penelitian kualitatif. Keterkaitan kompetensi dasar dengan standar kompetensi adalah bahwa penyusunan laporan penelitian kualitatif adalah bagian dari penyusunan penelitian kualitatif. Kompetensi dasar pada bagian bab ini merupakan bagian dari standar kompetensi pada mata kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif. Ruang Lingkup Materi: Bab ini berisi uraian tentang komponen dan sistematika penyusunan laporan penelitian kualitatif. Uraian 9.1 Komponen dan Sistematika Penyusunan Laporan Seberapapun baik dan pentingnya teori dan temuan penelitian maka tidak akan bermanfaat bagi masyarakat jika tidak dilaporkan dengan baik pula. Oleh karena itu setiap hasil penelitian harus dilaporkan dalam bentuk laporan hasil penelitian. Menurut Mukhtar (2013) laporan hasil penelitian adalah keseluruhan temuan penelitian lapangan secara empiris yang disusun secara sistematis, prosedural dan mengikuti kaidah atau ketentuan sebuah lembaga atau institusi maupun pihak yang memberikan kebijakan pelaksanaan sebuah penelitian dengan standar ilmiah.Itu artinya ketentuan bagi sebuah lembaga pendidikan merujuk pada kebijakan atau pedoman lembaga pendidikan, demikian pula institusi pemerintah atau pihak mitra lainnya. Tahap pembuatan laporan ini merupakan tahap paling puncak dari serangkaian proses penelitian yang dilakukan yang dilakukan seseorang. Hal ini dikarenakan hasil laporan tidak hanya digunakan untuk mengupgradepengetahuan peneliti saja namun juga harus bisa memecahkan
86 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f masalah dan memberikan solusi dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan. Sistematika laporan penelitian penelitian ilmiah sangat tergantung pada pendekatan dan jenis penelitian yang dilakukan. Fraenkel dan Wallen dalam Mukhtar (2013) membuat model sistematika laporan penelitian dengan pendekatan kualitatif lapangan, yag terdiri atas : Bagian Pengantar A. Halaman judul B. Daftar isi C. Daftar gambar D. Daftar tabel Bagian pokok A. Masalah yang diteliti 1. Tujuan penelitian 2. Pengesahan penelitian 3. Pertanyaan penelitian 4. Definisi istilah (konsep) B. Latar belakang dan tinjauan literatur C. Prosedur penelitian 1. Deskripsi rancangan penelitian (pendekatan) 2. Deskripsi populasi dan sampel (situasi social dan subjek) 3. Deskripsi instrument yang digunakan 4. Keterangan langkah-langkah yang dilalui dalam penelitian (apa, kapan, dimana dan bagaimana penelitian itu dilakukan dan dianalisis) D. Hasil Penelitian E. Pembahasan F. Ringkasan dan kesimpulan 1. Ringkasan pertanyaan penelitian secara ringkas, langkah-langkah yang dilakukan, serta hasil yang diperoleh 2. Diskusi implikasi temuan yaitu pengertian dan signifikansinya 3. Saran-saran bagi penelitian lanjut (rekomendasi) G. Referensi (Bibliografi) H. Affendiks (Lampiran-lampiran) Penyusunan sistematika Laporan Penelitian Kualitatif seperti yang disebutkan di atas tidak bersifat mutlak. Karena hal ini sangat bergantung pada ketentuan yang dipakai pada Institusi setempat. Pada Lembaga Pendidikan seperti Perguruan Tinggi, biasanya ketentuan
P e n y u s u n a n L a p o r a n P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f | 87
tentang penyusunan Laporan penelitian tercantum dalam Buku Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah. Berikut ini salah satu acuan penulisan Laporan Penelitian Kualitatif berdasarkan pengalaman penulis dalam membimbing mahasiswa yang sedang melakukan sripsi penelitian kualitatif : Bagian Pengantar i. Halaman judul ii. Halaman Persembahan iii. Halaman Motto iv. Halaman Pernyataan v. Halaman Pembimbingan vi. Halaman Pengesahan vii. Abstract viii. Ringkasan Penelitian ix. Daftar isi x. Daftar Tabel xi. Daftar gambar xii. Daftar Arti dan Lambang xiii. Daftar lampiran Bagian pokok Bab 1. Pendahuluan 1.1 Latar belakang 1.2 Rumusan masalah 1.3 Tujuan penelitian 1.4 Manfaat penelitian Bab 2. Tinjauan Pustaka 1.1 Konsep Teori sesuai topik 1.2 KerangkaTeori 1.3 Kerangka Konsep Penelitian Bab 3. Metode penelitian 1.1 Jenis penelitian 1.2 Lokasi dan Waktu penelitian 1.3 Informan Penelitian 1.4 Fokus Penelitian dan Pengertian 1.5 Sumber Data, Tehnik dan Pengumpulan data 1.6 Tehnik Penyajian dan Data dan Analisis Data 1.7 Alur Penelitian Bab 4. Hasil dan Pembahasan 1.1 Proses Pengerjaan di Lapangan 1.2 Gambaran Umum Tempat Penelitian 1.3 Gambaran Umum Informan Penelitian
88 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 1.4 Hasil dan Pembahasan berdasarkan fokus penelitian Bab 5. Kesimpulan dan Saran 1.1 Kesimpulan 1.2 Saran Daftar Pustaka Lampiran 9.2 Rangkuman Laporan penelitian kualitatif merupakan penyusunan laporan dari keseluruhan proses dan temuan penelitian lapangan secara empiris yang disusun secara sistematis, prosedural dan mengikuti kaidah atau ketentuan dalam penulisan karya tulis ilmiah. Tahap pembuatan laporan ini merupakan tahap paling akhir dari serangkaian proses penelitian kualitatif yang dilakukan yang dilakukan seseorang peneliti, yang bertujuan untuk menginformasikan dan mempublikasikan hasil temuan penelitian dalam rangka memberikan kontribusiterhadap pemecahan masalah dan memberikan solusi dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan. 9.3 Latihan/Tugas: Proposal penelitian yang telah Anda buat di Bab 8 kembangkan menjadi laporan karya ilmiah, disesuaikan dengan materi-materi yang telah Anda pelajari di bab-bab yang terdahulu. 9.4 Pengayaan Bacaan Babbie, Earl. 1986. The Practice of Social Research. Fourth Edition. Eadsworth Publishing Co. : Belmont, California. A Division of Wadsworth, Inc.
DAFTAR PUSTAKA
Avey, J. B., Luthans, F., & Jensen, S. M. 2009. Psychological capital: A positive resource for combating employee stress and turnover. Human Resource Management, 48(5), 677-693. Bandura, A. 1977. Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice- Hall. Bandura, A. 2001. Social Cognitive Theory: An Agentic Perspective. Annu. Rev. Psychol, 52, 1–26. Diunduh dari www.arjournals.annualreviews.org pada tanggal 30 Agustus 2014. Bandura, A. 1986. The Social Foundation of Fought and Action. Englewood Cliffs. NJ :Prentice Hall Bandura. 1997. Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H. Freeman and Company. Baron, Robert A. & Donn Byrne. 2000. Social Psychology (9th edition). USA: Allyn & Bacon. Fatchan H.A. 2013. Metode Penelitian Kualitatif: 10 Langkah Penelitian Kualitatif : Pendekatan Konstuksi dan Fenomenologi. Malang : Universitas Negeri Malang Press. -----------------. 2011. Metode Penelitian Kualitatif: Beserta contoh Proposal Skripsi, Tesis dan Disertasi. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama. Feist, J. & Feist, G. J. 2008. Theories of Personality. (6th ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Friedman, H. S. & Schustack, M. W. 2008. Kepribadian. (1st ed). Jakarta: Erlangga. Gist, M.E. and Mitchell, T.R. 1992.“Self-efficacy: a theoretical analysis of its determinants and malleability”, Academy of Management
90 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f Review, Vol. 17 No. 2, pp. 183-211. Gumilar, G. 2007. Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory). http://www.gumilarcenter.com. Hughes, R. L., Ginnettt, R. C. & Curphy, G. J. 2009. Leadership: Enhancing theLessons of Experience. (6th ed). Singapore: McGraw-Hill. Kahija, Y,F,L,A. 2006.Pengenalan dan Penyusunan Proposal/Skripsi Penelitian Fenomenologis. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang. Larsen, R.J. & Buss, D.M. 2008. Personality Psychology: Domains of Knowledge about Human Nature. New York, NY: McGraw-Hill. Moeleong, L.J. 2004.Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Schultz, D., & Schultz, S.E. 1994. Theories of Personality 5th Edition. California : Brooks/Cole. Stajkovic, A. D., & Luthans, F. 1998b. Social cognitive theory and selfefficacy:Going beyond traditional motivational and behavioral approaches. Organizational Dynamics, 26, 62-74. Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Contoh Proposal Penelitian Kualitatif (Proposal Tesis a.n : Dewi Rokhmah pada Program Magister Bidang Promosi Kesehatan FKM Universitas Diponegoro Semarang ) Judul : GAYA HIDUP SEKSUAL WARIA NON PEKERJA SEKS KOMERSIAL KOTA SEMARANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masyarakat yang mempunyai keteraturan sosial sering kali memandang hal-hal yang diluar kewajaran sebagai sesuatu yang menyimpang dan melanggar norma. Norma sendiri dibuat dan dijadikan pedoman oleh masyarakat melalui proses kesepakatan sosial dan normanorma yang ada merujuk pada tuntunan agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat. Meskipun sesungguhnya norma-norma mengalami pergeseran-pergeseran. Pada masyarakat postmodern atau kontemporer, terdapat kecenderungan norma-norma yang dianggap mengekang dan membatasi kehidupan individu dicoba didobrak. Pada perkembangan selanjutnya, bentuk-bentuk penyimpangan perilaku sosial dianggap sebagai sebuah kewajaran.1) Munculnya waria (Wanita Pria) sebagai fenomena transeksual dianggap sebagai perilaku yang menyimpang oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini menunjukan kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar masih homophobia (ketakutan yang berlebihan terhadap kaum homoseksual). Padahal pada beberapa negara maju, pilihan sebagai waria dianggap sebagai pilihan hidup individu yang wajib dihormati.1) Di Indonesia pelaku transeksual disebut dengan istilah waria (Wanita-Pria), wadam (Wanita-Adam), banci atau bencong. Namun kehadiran mereka sebagai kelompok ketiga dalam struktur kehidupan masyarakat kita menjadi ”tidak diakui”, karena dalan hukum negara
94 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f hanya mengakui dua jenis kelamin yaitu pria dan wanita. Jenis kelamin tersebut mengacu pada keadaan fisik alat reproduksi manusia. Kelly berpendapat bahwa mengenai jenis kelamin dapat mengakibatkan masyarakat menilai tentang perilaku manusia dimana pria harus berperilaku sebagai pria (berperilaku maskulin) dan wanita harus berperilaku sebagai wanita (berperilaku feminin). 2) Dalam perspektif psikologi transeksual merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual baik dalam hasrat untuk mendapatkan kepuasan seksual maupun dalam kemampuan untuk mencapai kepuasan seksual.3) Di lain pihak, pandangan sosial beranggapan bahwa akibat dari penyimpangan perilaku yang ditunjukkan oleh waria dalam kehidupan sehari-hari akan dihadapkan pada konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan seperti mengucilkan, mencemooh, memprotes dan menekan keberadaan waria di lingkungannya.4) Kehadiran seorang waria menjadi bagian dari kehidupan sosial rasanya tidak mungkin untuk dihindari. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah pengertian waria (transeksual) berbeda dengan homoseksual (perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis) atau transvestisme (suka menggunakan pakaian wanita dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya). Istilah homoseksual erat kaitannya dengan orientasi seksual seseorang dengan jenis kelamin sesamanya. Misalnya pria tertarik dengan pria atau wanita yang tertarik dengan sesama wanita. Jadi orientasi seksual mereka sama-sama homoseksual. Pria homoseksual biasanya disebut gay, sedangakan wanita homoseksual disebut lesbian atau lesbi. Orientasi seksual waria dan homoseksual tidak memiliki perbedaan, dimana mereka tertarik pada sesama jenis. Yang membedakan keduanya adalah waria secara fisik ingin berpenampilan sebagai wanita dan secara psikologis dia mengidentifikasikan dirinya sebagai wanita. Sedangkan gay secara fisik sama seperti pria dan secara psikologis mengidentifikasikan dirinya sebagai pria. Sementara itu, Transeksual adalah orang yang identitas gendernya berlawanan dengan jenis kelaminnya secara biologis. Mereka merasa “terperangkap” di tubuh yang salah. Misalnya, seseorang yang terlahir dengan anatomi seks pria,tetapi merasa bahwa dirinya adalah wanita dan ingin diidentifikasi sebagai wanita. Transeksual-lah yang dapat menimbulkan perilaku homo atau lesbian, namun transeksual tidak dapat disamakan dengan homo. Bisa saja seorang pria transeksual tertarik pada pria lain karena merasa bahwa dia seorang wanita dan wanita mestinya tertarik pada pria. 5) Seorang transeksual khususnya seorang waria hanya akan bahagia apabila diperlakukan sebagai seorang wanita.
L a m p i r a n | 95
Transgender adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat mereka lahir. "Transgender" tidak menunjukkan bentuk spesifik apapun dari orientasi seksual orangnya. Orang-orang transgender dapat saja mengidentifikasikan dirinya sebagai heteroseksual, homoseksual, biseksual, panseksual, poliseksual, atau aseksual. Definisi yang tepat untuk transgender tetap mengalir, namun mencakup : (1) berkaitan dengan, atau menetapkan seseorang yang identitasnya tidak sesuai dengan pengertian yang konvensional tentang gender laki-laki atau perempuan, melainkan menggabungkan atau bergerak di antara keduanya (2) Orang yang ditetapkan gendernya, biasanya pada saat kelahirannya dan didasarkan pada alat kelaminnya, tetapi yang merasa bahwa deksripsi ini salah atau tidak sempurna bagi dirinya (3) Non-identifikasi dengan, atau non-representasi sebagai, gender yang diberikan kepada dirinya pada saat kelahirannya. 6) Dibandingkan kaum homoseksual, perilaku waria memiliki banyak permasalahan. Kaum homoseksual sama sekali tidak mengalami hambatan-hambatan sosial dalam pergaulan dan perilaku mereka, karena tidak mengalami krisis identitas.1) Terbukti tidak sedikit kaum homoseksual yang menempati posisi-posisi penting di berbagai profesi, baik sebagai politisi, birokrat, akademisi maupun profesional lainnya. Di dalam lingkungan sosial kaum homoseksual sama sekali tidak dapat diidentifikasi secara nyata, sehingga mereka lebih leluasa bergaul dan berperilaku sebagai mana laki-laki normal. Berbeda dengan kaum waria, disamping masih menghadapi berbagai tekanan-tekanan sosial, posisi mereka dalam struktur masyarakat juga kurang mendapat tempat. 1) Penolakan orang tua waria umumnya dilakukan setelah mengalami proses ”menjadi waria” dan ”hidup sebagai waria”. Banyak sekali waria yang pada mulanya keberadaan mereka ditentang habishabisan oleh keluarga mereka sendiri.1) Padahal keluarga merupakan tempat berlindung yang paling utama dan seharusnya paling nyaman. Dalam keluarga, waria sering kali dianggap sebagai aib, sehingga waria mengalami tekanan-tekanan sosial.2) Namun demikian, peran keluarga sangat penting bagi perkembangan waria. Sehingga berpengaruh pada pembentukan konsep diri waria. Konsep diri kaum waria cenderung negatif dikarenakan waria masih memiliki kebingungan identitas seksual.7) Seorang waria yang dilahirkan dalam keluarga yang harmonis, taat beragama, berpendidikan, serta sikap orang tua yang akhirnya menerima keberadaan mereka akan berpengaruh baik bagi perkembangan
96 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f waria. Sebaliknya jika sikap orang tua yang tidak menerima keberadaan waria akan berpengaruh kurang baik pada waria yang bersangkutan. Masyarakat memberikan andil untuk memberikan pendapatnya dalam hal penerimaan maupun penolakan terhadap waria. Meskipun sebagian besar masyarakat menganggap waria sebagai perilaku yang menyimpang, namun sikap mereka berbeda-beda. Pada umunya sikap masyarakat terhadap waria terbagi menjadi dua, yaitu : (1) sikap kognitifintelektual, masih banyak orang Indonesia modern yang terpelajar merasa sulit menerima waria; (2) sikap afektif-perilaku,masyarakat mau menerima khususnya pada dunia show-biz, designing, dan salon masih ditoleransi. 8) Waria memilih menjadi manusia urban (berpindah ke kota) ketika mereka tidak diterima oleh lingkungan masyarakat dan keluarga dimana mereka tinggal. Mereka mencari suatu komunitas baru yang bisa menerima keberadaan mereka, tentunya dengan orang-orang yang senasib. Mereka berharap di lingkungan baru tidak seorang pun yang pernah mengenal mereka. Di tempat tersebut mereka menciptakan identitas baru, yang setidaknya ditandai dengan nama-nama baru. 1) Dengan kata lain, mereka mencari teman atau populasi yang keadaanya serupa dengan diri mereka agar mereka dapat diterima dan dihargai sebagai individu yang utuh, sebagaimana layaknya individu yang normal.4) Ada empat karakteristik waria, yaitu (1) Pria menyukai pria; (2) Kelompok yang secara permanen mendandani diri sebagai perempuan atau berdandan sebagai perempuan; (3) kelompok yang karena desakan ekonomi; harus mencari nafkah dengan berdandan dan beraktifitas sebagai perempuan; (4) kelompok coba-coba atau memanfaatkan keberadaaan kelompok itu sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka.1) Dari keempat tipe waria tersebut, kelompok kedua yaitu yang secara permanen mendandani diri sebagai perempuan atau berdandan sebagai perempuan merupakan fenomena yang ada di kalangan kehidupan para waria yang secara umum termasuk dalam kategori transeksual atau perempuan yang terperangkap ke dalam tubuh laki-laki. Ada kemungkinan kelompok ini merupakan waria yang memang secara hormonal dalam tubuh mereka ada kelainan. Sehingga sulit sekali bagi mereka untuk menjadi manusia normal yang secara utuh berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Perlu diketahui bahwa hingga saat ini baik sektor swasta maupun pemerintah belum ada yang berani membuka peluang untuk menerima kaum waria sebagai karyawan. Peluang kerja bagi kaum waria adalah
L a m p i r a n | 97
pelayanan jasa kecantikan seperti salon, desaigner dan jasa hiburan (entertainer), dan pedagang. Berdasarkan data dari LSM Graha Mitra pada tahun 2008, dari jumlah total waria Kota Semarang beserta pekerjaannya yang berjumlah 188 orang, menunjukkan bahwa ada sekitar 42 % waria yang bekerja disektor non pelacuran yaitu sebagai entertainer, salon, guru, PNS dan karyawan swasta. Selain kehidupan waria yang cenderung berkelompok, kehidupan seksual kaum waria memiliki tradisi yang berbeda dengan kehidupan seksual laki-laki maupun perempuan pada umumnya, bahkan diantara kaum homoseksual sekalipun. Mereka juga butuh pasangan dalam melakukan aktifitas seksual. Para waria tersebut juga memiliki pasangan atau pacar atau ”lekong” dari pria yang sudah beristri. Walaupun hal ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi namun fenomena ini banyak ditemukan dikalangan waria. Kehidupan seksual yang cenderung ”berbeda” ini mengakibatkan terbentuknya suatu gaya hidup (lifestyle) seksual waria. Gaya hidup seksual (sexual lifestyle) waria merupakan perilaku sexual waria yang melekat dalam dirinya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya yang ada disekitarnya serta berdampak pada kesehatannya. Gaya hidup seksual para waria tercermin dalam melakukan aktifitas seksualnya, seperti : bergonta-ganti pasangan, tidak menggunakan kondom serta melakukan seks anal dan oral. Dalam hal pasangan seksual, bagi waria memiliki pacar atau ”suami” setidaknya untuk memenuhi dua kebutuhan, yakni melepaskan nafsu seksual dan memperoleh pasangan hidup. Tidak ada perbedaan pengertian antara pacar dan suami secara formal, karena di antara mereka sama-sama tidak memiliki ikatan yang legal. Satu perbedaan mendasar antara pacar dan suami, pacar dalam pengertian mereka adalah laki-laki yang menjadi kekasih mereka dan tidak tinggal serumah. Sebaliknya, laki-laki yang menjadi kekasih waria dan kemudian tinggal serumah, biasa disebut suami.2) Dari kondisi yang dipaparkan di atas, sebagai kelompok yang dianggap ”menyimpang” oleh masyarakat dan keluarga mereka, dan diperparah lagi dengan jumlah mereka yang minoritas mengakibatkan kehidupan waria tidak pernah lepas dari tekanan sosial berupa stigma dan diskriminasi baik oleh orang terdekat mereka dalam hal ini adalah keluarga maupun oleh masyarakat dalam bentuk cemooh, cibiran, pengusiran sampai dengan pelecehan seksual. Sehingga bisa dipastikan tekanan-tekanan sosial ini menyebabkan kehidupan waria sangat rentan dan beresiko dengan terjadinya kekerasan psikologis dan seksual yang
98 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f berdampak terhadap kemungkinan penularan dan penyebaran penyakit IMS dan HIV/AIDS. Selama dasawarsa terakhir, prevalensi IMS, terutama infeksi HIV, pada komunitas waria dilaporkan meningkat secara bermakna. Di Jakarta, hasil survey seroprevalens pada pertengahan tahun 2002 terhadap 241 waria PSK menunjukkan prevalensi HIV dan early syphilis mencapai 22% dan 19,3%. Hal ini merupakan suatu peningkatan yang bermakna jika dibandingkan dengan survey waria di Jakarta pada Juli 1995, yang hanya menemukan prevalensi HIV seropositif sebesar 7,9%. Pemeriksaan seroprevalens terhadap 20 waria PSK Yogyakarta pada Bulan Oktober 2004 mendapatkan prevalensi HIV seropositif dan sifilis seropositif (VRDL>1/4 dengan TPHA+ sebesar 30%.9) Data terbaru berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis Perilaku (STBP) pada kelompok beresiko tinggi di Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan bahwa angka prevalensi HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada waria sangat tinggi di tiga kota, yaitu 14% di Bandung, 25,2% di Surabaya, dan 34% di Jakarta.10) Berdasarkan data estimasi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa tengah, di Jawa Tengah pada tahun 2006 dilaporkan bahwa sebanyak 830 dari total 1058 waria terindikasi virus HIV. Dari jumlah tersebut 228 waria diantaranya positif mengidap virus HIV. Salah satu penyebab waria mudah terserang HIV/AIDS karena kehidupan seks para waria yang menyimpang.11) Sementara di Kota Semarang, berdasarkan data estimasi pada tahun 2006 diketahui dari 221 waria tercatat 27 orang telah mengidap HIV. Kesadaran para waria untuk test VCT masih kurang. Hanya 30-40% yang rela dan sadar dalam melakukan test VCT.12) Perilaku seksual seperti perilaku manusia umumnya bersifat simbolik. Pria dan wanita menggunakan beberapa simbol dan mengartikannya berdasarkan simbol tersebut. Perilaku seksual berhubungan dengan berbagai aktivitas, masing-masing berbeda arti (meaning), ada hubungan kedekatan tetapi tidak membatasi dalam hal mempunyai anak, pencapaian kepuasan fisik, mendapatkan kesenangan (having fun), menciptakan kedekatan, menciptakan kedekatan, pencapaian spiritualitas, dan penggunaan kekuasaan.13) Makna secara simbolik berhubungan dengan seksualitas mempengaruhi bagaimana kita berpikir tentang diri kita, bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, dan bagaimana orang lain berpikir dan berhubungan dengan kita. Tindakan manusia berkaitan dengan sesuatu berdasarkan arti atau pentingnya sesuatu tersebut bagi mereka. Sedangkan arti sesuatu adalah berasal dari sebab timbulnya, yaitu interaksi sosial, dimana seseorang menjadi anggota suatu masyarakat. Kedua maksud di
L a m p i r a n | 99
atas digabungkan dan dimodifikasi seluruhnya menjadi sebuah proses penjabaran yang digunakan oleh seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain yang ia temui. 14) Konsep interaksi simbolik pada manusia dibentuk dan ditransformasikan pada kenyataan yang diaplikasikan pada perilaku seksual yang berarti bahwa sensasi fisik yang dibentuk oleh satu komponen dari pengalaman seksual yang tidak hanya diinterpretasikan dari sistem simbolik kita pada sensasi seksual, tetapi simbolisme seksual juga dibentuk oleh pengalaman seksual (Gecas & Libby, 1976). 13) Menjadi seorang waria bukan merupakan peristiwa yang tiba-tiba. Tetapi dibentuk secara historis sejak pengasuhan dia diwaktu kecil, kemudian semakin diaplikasikan pada saat usia remaja seiring dengan proses kedewasaan seseorang dalam mengaktualisasikan dirinya pada lingkungannya bahkan menjadikannya sebagai gaya hidup (lifestyle). Seorang waria dalam melakukan relasi seksualnya sangat dipengaruhi oleh pengalaman pertama dalam melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Hubungan seksual pertama kali menjadi hal yang sangat penting didalam proses penegasan seseorang menjadi waria. Namun diantara pengalaman yang beragam itu, hal penting yang dapat ditarik sebagai satu garis tegas adalah bahwa mereka mengalaminya dalam usia yang relatif muda, yakni berkisar antara 11-15 tahun. 2) Di satu sisi, penelitian yang selama ini membahas tentang kehidupan waria lebih banyak menggambarkan tentang perilaku seksual waria yang berkaitan dengan kehidupan malam dan sebagai pekerja seks. Sedangkan penelitian yang membahas tentang gaya hidup seksual waria secara utuh dan tidak berprofesi sebagai pekerja seks sangat sedikit. Padahal waria non PSK juga memiliki banyak permasalahan, diantaranya: (1) masalah terbesar dalam hidup seorang waria adalah bukan terleta pada penerimaan masyarakat, melainkan bagaimana mendamaikan jiwa dan raganya; (2) berbagai macam pandangan dan persepsi masyarakat terhadap waria yang identik dengan perilaku seks bebas, pekerja seks (PSK), dan sebagainya. Padahal tidak semua waria menjadi PSK; (3) nilai dan norma masyarakat yang masih menganggap perilaku waria sebagai suatu bentuk penyimpangan. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengetahui secara mendalam dalam memahami gaya hidup seksual pada waria non Pekerja Seks Komersial (non PSK) di Kota Semarang. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut : Bagaimana gaya hidup seksual Waria non Pekerja Seks Komersial (non PSK) di Kota Semarang?
100 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui gaya hidup seksual Waria non pekerja seks komersial di Kota Semarang. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik waria non pekerja seks komersial di Kota Semarang. b. Mengetahui sosialisasi waria non pekerja seks komersial di Kota semarang. c. Mengetahui skrip seksual waria non pekerja seks komersial di Kota Semarang yang terdiri dari : 1) Mengetahui skrip budaya waria non pekerja seks komersial di Kota Semarang. 2) Mengetahui skrip interpersonal waria non pekerja seks komersial di Kota Semarang. 3) Mengetahui skrip intrapsikis waria non pekerja seks komersial di Kota Semarang. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan dan LSM untuk merumuskan kebijakan yang menyangkut permasalahan waria serta dalam kaitannya dengan upaya pencegahan infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS dikalangan waria. 2. Bagi Dinas Kependudukan dan Departemen Agama Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kependudukan dan Departemen Agama dalam melakukan upaya pemberdayaan dan pembinaan pada komunitas waria. 3. Bagi Perguruan Tinggi Sebagai bahan referensi bagi pengembangan keimuan dan penelitian khususnya di bidang Promosi Kesehatan Konsentrasi Kesehatan Reproduksi dan HIV/AIDS yang terkait dengan topik sensitif yaitu kehidupan waria dan HIV/AIDS. 4. Bagi masyarakat Umum Sebagai informasi bagi masyarakat agar dapat memahami kehidupan komunitas waria serta berpartisipasi dalam menangani masalah HIV/AIDS dikalangan komunitas waria.
L a m p i r a n | 101
E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang berkaitan dengan perilaku seksual waria pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. Penelitian-penelitian tersebut adalah: Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No 1.
2.
Judul & Peneliti Fenomena Perilaku Seksual dan Potensi Penularan HIV/AIDS pada Waria di Kota Yogyakarta, Palupi Triwahyuni, 2008.15)
Variabel Perilaku seksual, pengetahuan, Program pencegahan penularan HIV/AIDS, program
Infeksi Menular Demografis, Seksual pada perilaku seks, Komunitas dan klinis. Waria di Yogyakarta : Kajian Terhadap Berbagai Faktor Risiko Tingginya Prevalensi HIV, Suswardana, dkk. 2005.9)
Metode kualitatif
Kuantiatif dan kualitatif
Hasil Waria melakukan hubungan seks di cebongan atau dirumah, bentuk hubungan seks adalah oral, anal, onani, es gosrok, jepit dan mandi kucing. Pengetahan masih rendah, program pencegahan HIV/AIDS yang dibutuhkan waria adalah pengobatan gratis. Waria PSK : HIV seropositif (24,5%), sifilis seropositif (16,3%), Kondiloma Akuminata (6,12%). Keadaan sifilisseropositif ditemukan pada 50 % kasus HIVseropositif. Faktor resiko tingginya prevalensi HIV pada waria PSK adalah telah > 10 tahun menjadi PSK, rata-rata > 5 patner unprotected reseptive analsex per minggu, memiliki ratarata > 10 patner sex poer bulan, dan keadaan sifilis-seropositive.
102 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 3.
Accounting for Unsafe Sex : Interviews With Men Who Have Sex With Men, Adam, B, D. et al., 2000.16)
Perilaku pasangan, negative self image and moods, intuiting safety
Kualitatif
Perilaku seks pasangan menetukan safe atau unsafe sex, unsafe sex dapat terjadi ketika sedang menggunakan narkba atau alkohol. untuk menentukan pasangan perlu dilihat tentang status HIVnya.
F. Ruang Lingkup 1. Ruang lingkup keilmuan Penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang Promosi Kesehatan khususnya pada konsentrasi Kesehatan Reproduksi dan HIV/AIDS. 2. Ruang lingkup metode Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatifeksploratif, bertujuan untuk mengkaji fenomena gaya hidup seksual waria non PSK. 3. Ruang lingkup sasaran Sasaran penelitian ini adalah waria yang pekerjaan utamanya bukan “pekerja seks komersial” di Kota Semarang. 4. Ruang lingkup waktu Penelitian ini dimulai pada bulan Januari 2009, meliputi : persiapan proposal sampai dengan pembahasan hasil penelitian. 5. Ruang lingkup tempat Penelitian ini dilaksanakan di Kota Semarang. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Waria 1. Definisi Waria Waria sering disebut juga sebagai transsexual. Banyak ahli yang mendefinisikan transsexual dari berbagai sudut pandang. Transsexual adalah gejala merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya.22) Transsexual secara psikis merasa dirinya tidak cocok dengan alat kelamin fisiknya sehingga mereka memakai pakaian atau atribut lain dari jenis kelamin yang lain.2) Transsexual adalah seseorang yang mempunyai identitas jenis kelamin sendiri yang berlawanan dengan
L a m p i r a n | 103
jenis kelamin biologisnya.21) Transsexual adalah seseorang yang merasa memiliki kelamin yang berlawanan dimana terdapat pertentangan antara identitas jenis kelamin dan jenis kelamin biologisnya.17) Transsexual sebagai gangguan kelamin dimana penderita merasa bahwa dirinya terperangkap di dalam tubuh lawan jenisnya.3) Transsexual sebagai seseorang yang secara jasmaniah jenis kelaminnya laki-laki namun secara psikis cenderung berpenampilan perempuan.1) Transsexual umumnya cenderung menunjukkan perselisihan dengan peran jenis kelamin di usia muda. Laki-laki yang memperlihatkan minat dan sifat yang dianggap feminin. Mereka sering disebut banci oleh teman sebayanya. Seseorang yang cenderung menjadi transsexual biasanya lebih suka bermain dengan perempuan dan menghindari kegiatan yang kasar dan kacau. Transeksual adalah orang yang identitas gendernya berlawanan dengan jenis kelaminnya secara biologis. Mereka merasa “terperangkap” di tubuh yang salah. Misalnya, seseorang yang terlahir dengan anatomi seks pria, tetapi merasa bahwa dirinya adalah wanita dan ingin diidentifikasi sebagai wanita. Transeksual-lah yang dapat menimbulkan perilaku homo atau lesbian, namun transeksual tidak dapat disamakan dengan homo. Bisa saja seorang pria transeksual tertarik pada pria lain karena merasa bahwa dia seorang wanita dan wanita mestinya tertarik pada pria. 5) Memperhatikan beberapa definisi transsexual di atas, dapat disimpulkan bahwa transsexual merupakan suatu kelainan dimana penderita merasa tidak nyaman dan tidak sesuai dengan jenis kelamin anatomisnya sehingga penderita ingin mengganti kelaminnya, dari kelamin laki-laki menjadi perempuan serta penampilannya cenderung menyerupai perempuan. Berbeda dengan transeksual, transgender lebih menekankan adanya perbedaan peran seharusnya yang melekat pada diri seseorang, seorang laki-laki seharusnya berperan sebagai laki-laki dan seorang perempuan berperan sebagai perempuan. Transgender berasal dari kata trans dan gender. Gender diartikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut, centil, emosional, atau keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa.18) Transgender yang diartikan sebagai adalah orang yang cara berperilaku atau penampilannya tidak sesuai dengan peran gender pada umumnya. Transgender adalah orang yang dalam berbagai level “melanggar” norma kultural mengenai bagaimana seharusnya pria dan
104 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f wanita itu. Seorang wanita, misalnya, secara kultural dituntut untuk lemah lembut. Kalau pria yang berkarakter demikian, itu namanya transgender. 5)
2. Proses Menjadi Waria Kehadiran waria di dalam sebuah keluarga merupakan sebuah proses historis.2) Mengingat keluarga merupakan bagian yang sangat penting dalam sosialisasi primer, dimana seseorang pada masa kanakkanak mulai diperkenalkan dengan nilai-nilai tertentu dari sebuah kebudayaan. Di dalam keluarga pula seseorang dibentuk dan akhirnya menciptakan suatu kepribadian tertentu. Kebiasaan-kebiasaan dan pendidikan keluarga memegang peranan yang sangat sentral dalam memperkenalkan nilai, norma dan kebudayaan.2) Ketika seorang anak telah mencapai dewasa dan banyak mengenal nilai-nilai dari luar keluarga seringkali muncul konflik, terutama ketika nilai yang didapat dari luar bertentangan dengan nilai dalam keluarga. Munculnya fenomena waria tidak lepas dari konteks budaya. Kebiasaan pada masa anak-anak, ketika mereka dibesarkan dalam keluarga, kemudian mendapat penegasan pada masa remaja menjadi penyumbang terciptanya waria. Tidak seorangpun waria yang ”menjadi waria” karena proses mendadak. Proses menjadi waria dimulai dengan satu perilaku yang terjadi pada masa anak-anak melalui pola bermain dan bergaul.2) Perilaku yang direpresentasikan pada masa anak-anak akhirnya menunjukkan ciri yang berbeda dibandingkan dengan teman sebayanya. Pembentukan kepribadian waria merupakan proses cukup panjang, dimulai dari masa kanak-kanak hingga mendapat penegasan pada saat remaja. Cara mereka dibesarkan dengan nilai dan norma tertentu menjadi satu gambaran yang sangat khas, yang kemudian membedakan dengan cara-cara ”anak-anak normal” diasuh dan dibesarkan.2) Namun demikian ”tanda-tanda berbeda” tidak pernah disadari oleh orang tua mereka sehingga menjadi perilaku yang menetap pada saat mereka sudah beranjak remaja. Kehidupan waria memiliki keunikan tersendiri, walaupun seorang waria telah mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan, baik dalam berperilaku maupun dalam berpenampilan, namun tanpa disadari seorang waria masih dapat berperan sebagai laki-laki yang bersikap maskulin. Hal ini yang membedakan waria dengan laki-laki dan perempuan normal. Keberadaan seorang waria secara umum tidak pernah dikehendaki oleh keluarga. Respon keluarga muncul setelah mengetahui adanya perilaku tertentu yang dianggap menyimpang. Respon orang tua dianggap sebagai suatu konflik yang umumnya diakhiri dengan larinya
L a m p i r a n | 105
anak dari orang tua dan keluarga. Hal ini dilakukan sebagai upaya aktualisasi diri sebagai perempuan dengan menonjolkan ciri fisik melalui merias wajah, berpakaian perempuan, dan bertingkah laku layaknya perempuan. 2) 3. Jenis dan Ciri-ciri Waria Menurut Atmojo,4) menyebutkan jenis waria sebagai berikut : 1. Transsexual yang aseksual, yaitu seorang transsexual yang tidak berhasrat atau tidak mempunyai gairah seksual yang kuat. 2. Transsexual homoseksual, yaitu seorang transsexual yang memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ke tahap transsexual murni. 3. Transsexual heteroseksual, yaitu seorang transsexual yang pernah menjalani kehidupan heteroseksual sebelumnya, misalnya pernah menikah. Sementara untuk mengidentifikasi seorang waria, perlu diketahui beberapa ciri-cirinya adalah :19) 1. Identitas transsexual harus sudah menetap selama minimal dua tahun, dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom. 2. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari elompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi seksualnya. 3. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi horomonal dan pembedaan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan. Beberapa tanda untuk mengetahi adanya masalah identitas dan peran jenis, yaitu :20) a. Individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinyu. b. Memiliki keinginan yang kuat berpakaian sesuai dengan lawan jenis jenisnya. c. Beberapa minat dan perilaku yang berlawanan dengan lawan jenisnya. d. Penampilan fisik hampir menyerupai lawan jenis kelaminnya. e. Perilaku individu yang terganggu peran jenisnya seringkali menyebabkan ditolak lingkunganya. f. Bahasa tubuh dan nada suara seperti lawan jenisnya. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa beberapa ciri transsexsual (waria) adalah : (1) Seseorang laki-laki menampilkan identitas perempuan secara kontinyu minimal selama dua
106 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f tahun; (2) seseorang laki-laki memiliki keinginan yang kuat untuk hidup dan diterima sebagai perempuan; (3) seseorang laki-laki yang mempunyai keinginan kuat untuk berpakaian dan berperilaku menyerupai perempuan. 4. Faktor Penyebab Seseorang Menjadi Waria Penyebab seseorang menjadi waria masih menjadi perdebatan, apakah disebabkan oleh kelainan secara biologis dimana didalamnya terdapat kelainan secara hormonal dan kromosom atau disebabkan oleh lingkungan seperti trauma masa kecil, atau sering diperlakukan sebagai seorang perempuan, pernah mengalami pelecehan seksual, menyaksikan berbegai kejadian seksual dan lain sebagainya. Beberapa teori tentang abnormalitas seksual menyatakan bahwa keabnormalan itu timbul karena sugesti masa kecil. Seseorang akan mengalami atau terjangkit abnormalitas seksual karena pengaruh luar, misalnya adanya dorongan dari lingkungan tempat tinggal, pengaruh kondisi keluarga, pendidikan dari orang tua yang mengarah pada benihbenih timbulnya penyimpangan seksual, serta pengaruh budaya dan komunikasi yang intens dalam lingkungan abnirmalitas seksual. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya transsexual adalah:20) 1. Anak laki-laki yang dibesarkan tanpa ayah atau dibesarkan tanpa kehadiran ayah selama periode waktu yang panjang menunjukkan beberapa minat, sikap dan perilaku feminin. 2. Hubungan yang terlalu dekat antara anak dengan orang tua yang berlawanan dengan jenis kelaminnya. Anak dan orang tua cenderung memiliki kontak yang sangat intim baik secara fisik maupun secara psikis, dan orang tua sering melaporkan adanya hubungan yang “tidak dapat dipisahkan“. Dengan demikian anak hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk mengidentifikasi orang tua yang sama dengan jenis kelaminnya dan kurang mengembangkan perilakuperilaku peran jenisnya. 3. Beberapa orang tua, menginginkan anak dengan jenis kelamin yang lain, sehingga berusaha menjadikan anak perempuan bersikap seperti laki-laki yang tidak pernah dimilikinya atau sebaliknya. 4. Seorang ibu yang membenci dan iri terhadap kejantanan bisa membentuk perilaku yang kurang jantan pada anak laki-lakinya. Ibu mungkin mengasosiasikan maskulinitas dengan kekerasan fisik dan agresifitas, penyalahgunaan seksual dan kekasaran. Ia lebih suka anak laki-lakinya lembut. 5. Beberapa pengaruh genetik atau hormonal. Dari perspektif medis, pada waria ini terdapat kemungkinan disebabkan oleh predisposisi
L a m p i r a n | 107
hormonal, hormon faktor-faktor endokrin (kelenjar) konstitusi pembawaan, dan beberapa diantaranya basis biologis pada masa prenatal atau masa didalam kandungan.4) Pendapat lain menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya transsexual antara lain :21) 1. Faktor biologis, mempunyai peran yang dapat menentukan identitas seseorang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Goy tahun 1970 menyatakan bahwa tingkah laku maskulin dapat bertambah pada perempuan dengan dibuat-buat menyebabkan tingkat hormon lakilakinya tinggi dalam prenatal dan sebaliknya apabila pada masa prenatal anak laki-laki tingkat hormon laki0lakinya dihilangkan maka anak tersebut sering menunjukkan tingkah laku seperti perempuan. 2. Pengalaman pengetahuan sosial, seorang anak dapat terbuka dengan bermacam macam pengalaman yang mendorong tingkah laku dalam sebuah pola secara tradisional yang berhubungan dengan jenis kelamin. Anak dapat mengembangkan sebuah keakraban, memperkenalkan hubungan dengan orang tua pada jenis kelamin yang berbeda sehingga dapat diperkuat oleh reaksi anak pada masa dewasa. Anak laki-laki yang pada masa kecilnya bermain peran sebagai anak perempuan maka tingkah laku yang menyimpang tersebut dapat mempengaruhi dalam mengembangkan identitas jenis kelamin yang tidak sesuai. Sementara itu pendapat lain menyebutkan beberapa faktor terjadinya transsexual adalah : 1) a. Faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon seksual dan genetik seseorang. Hermaya,4) berpendapat bahwa peta kelainan seksual dari lensa biologi dapat dibagi ke dalam dua penggolongan besar yaitu : 1) Kelainan seksual akibat kromosom, dari kelompok ini, seseorang ada yang berfenotip pria dan yang berfenotip wanita. Pria dapat kelebihan kromososm X, dapat XXY, atau bahkan XXYY atau XXXYY. Diperkirakan kelainan ini disebabkan tidak berpisahnya kromosom seks pada saat pembelahan sel (meiosis) yang pertama dan kedua. Hal ini dikarenakan usia seorang ibu yang berpengaruh terhadap proses reproduksi. Semakin tua seorang ibu, semakin tidak baik proses pembelahan sel tersebut, akibatnya adalah semakin besar kemungkinan timbulnya kelainan seks pada anaknya. 2) Kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Menurut Moertiko,4) bahwa dalam tinjauan medis, secara garis besar kelainan perkembangan seksual telah dimulai sejak dalam kandungan. Kelompok ini dibagi menjadi empat jenis :
108 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f a) Pseudomale atau disebut sebagai pria tersamar. Ia mempunyai sel wanita tetapi secara fisik ia adalah pria. Testisnya mengandung sedikit sperma atau sama sekali mandul. Menginjak dewasa, payudaranya membesar sedangkan kumis dan jenggotnya berkurang. b) Pseudomale atau disebut sebagai wanita tersamar. Tubhnya mengandung sel pria, tetapi pada pemeriksaan gonad (alat yang mengeluarkan hormon dalam embrio) alat seks yang dimiliki adalah wanita. Ketika menginjak dewasa, kemaluan dan payudaranya tetap kecil dan sering tidak dapat mengalami haid. c) Female-pseudohermaprodite. Penderita ini pada dasarnya memiliki kromosom sebagai wanita (XX) tetapi perkembangan fisiknya cenderung menjadi pria. d) Male-pseudohermaprodite. Penderita ini pada dasarnya memiliki kromosom sebagai pria (XY) tetapi perkembangan fisiknya cenderung menjadi wanita. b. Faktor psikologis, sosial budaya yang termasuk didalamnya pola asuh lingkungan yang membesarkannya. Mempunyai pengalaman yang sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berkhayal dan memuja lawan jenis sebagai idola dan inginmenjadi seperti lawan jenisnya. Ibis mengatakan bahwa beberapa faktor terjadinya abnormalitas seksual dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu :4) a. Faktor internal, abnormalitas seksual yng disebabkan oleh dorongan seksual yang abnormal dan abnormalitas seksual yang dilakukan dengan cara-cara abnormal dalam pemuasan dorongan seksual. b. Faktor eksternal (sosial), abnormalitas yang disebabkan adanya pasangan seks yang abnormal. Sebab utama pola tingkah laku relasi seksual yang abnormal yaitu adanya rasa tidak puas dalam relasi heteroseksual.22) Berdasarkan uraian di atas, beberapa penyebab seseorang menjadi waria (transexual) adalah : (1) Faktor biologis, yaitu kelainan yang dipengaruhi hormon seksual dan genetik sesorang, secara umum perembangan seksua seseorang dimulai sejak dalam kandungan. (2) faktor psikologis, terkait dengan motivasi seseorang pria untuk berperilaku seperti seorang wanita, seperti perilaku bermain mainan anak wanita, berdandan seperti wanita, dan lain sebagainya. Keluarga juga berperan sangat penting dalam membentuk perilaku seksual, mulai dari pola asuh, perilaku orang tua dan anggota keluarga lainnya. Perlakuan orang tua yang mendorong anaknya berperilaku lemah lembut, berdandan seperti
L a m p i r a n | 109
wanita, tidak adanya figur seorang pria (khususnya figur ayah), adanya hubungan anak yang terlalu dekat dengan lawan jenisnya (wanita). (3) Faktor sosiologis, kelainan seksual yang dipengaruhi oleh pasangan seks yang abnormal. Seorang pria akan berubah menjadi waria karena pasangan seksnya adalah seorang waria. B. Perilaku 1. Definisi Perilaku Perilaku dari segi biologis, adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua mahluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, membaca dan lain-lain. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat dialami langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.23) Skinner merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori ini disebut teori S-O-R atau Stimulus-Organisme-Respon. Dalam hal ini ada 2 (dua) respon, yaitu :23) a. Respondent respons atau reflexive Respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini di sebut eliciting stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. b. Operant respons atau instrumental respons Respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : a. Perilaku Tertutup (Covert behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Misalnya, seseorang mengetahui bahwa HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks.
110 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f b.
Perilaku Terbuka (Overt behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang mudah diamati atau dilihat orang lain. 2. Domain Perilaku Bloom membagi perilaku manusia itu dalam 3 (tiga) domain, ranah atau kawasan, yaitu :23) a. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan (belief), takhyul (superstitions) dan penerangan-penerangan yang keliru (misinformations). Pengetahuan berbeda dengan buah pikiran (ideas), oleh karena tidak semua buah pikiran merupakan pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui kenyataan (fakta) dengan melihat dan mendengar sendiri, serta melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar, mendengarkan radio, melihat film atau TV dan lain-lain. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Ada beberapa tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif yaitu : 1. Tahu (know) Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. 2. Memahami (comprehension) Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (aplication) Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis (analysis) Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
L a m p i r a n | 111
5. Sintesis (synthesis) Suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasiformulasi yang ada misalnya, dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada. 6. Evaluasi (evaluation) Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian tehadap suatu materi atau objek. Penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. b. Sikap (attitude) Merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.23) Sikap merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. C. Perilaku Seksual Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan seksual. Perilaku seksual merupakan tindakan yang mempengaruhi proses reproduksi yang terkait dengan afeksi seksual terhadap lawan jenis, yaitu tindakan dan ekspresi seksual serta tindakantindakan yang dilakukan akibat hubungan seksual yang tidak sehat.24) Perilaku seksual yaitu, segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat untuk mempertemukan dua jenis alat kelamin, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis.25) 1. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Perilaku seksual dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :26) 1. Dorongan Seksual Dorongan seksual adalah suatu bentuk keinginan yang bersifat erotis yang mendorong orang untuk melakukan aktivitas dan hubungan seksual. Dorongan seksual mulai muncul pada masa remaja karena pengaruh hormon seks. Tanpa dorongan seksual tidak ada keinginan untuk melakukan aktivitas seksual dan hubungan seksual. Tanpa dorongan seksual, berbagai fungsi seksual yang lain menjadi terganggu. Dorongan seksual dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu hormon testosteron, rangsangan seksual yang diterima, keadaan kesehatan tubuh, faktor psikososial, dan
112 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f pengalaman seksual sebelumnya. Jika faktor-faktor tersebut mendukung, maka dorongan seksual akan baik. Sebaliknya jika faktor-faktor tersebut tidak mendukung, maka dorongan seksual menurun atau bahkan lenyap sama sekali. Seseorang yang mengalami kekurangan hormon testosteron atau mengalami gangguan, maka dorongan seksualnya akan menurun. Dorongan seksual semakin kuat jika ada rangsangan seksual dari luar, baik berupa rangsangan fisik maupun rangsangan psikis. Berbagai bentuk rangsangan fisik, seperti ciuman dan rabaan. Sedangkan rangsangan psikis dapat berupa rangsangan audio-visual, seperti suara merdu, gambar erotis dan bau parfum. Seseorang yang mengalami gangguan kesehatan, maka dorongan kesehatan juga akan menurun. Demikian halnya jika terjadi hambatan psikis, seperti kekecewaan atau tekanan mental yang berat juga menurunkan dorongan seksual. Dan jika pengalaman seksual sebelumnya selalu memuaskan, sangat mungkin dorongan seksualnya juga semakin kuat, sebaliknya jika pengalaman seksual yang dirasakan sebelumnya tidak menyenangkan atau menyakitkan seperti akibat perkosaan, maka dorongan seksual akan tertekan atau bahkan lenyap sama sekali. 2. Nilai-nilai Sosiokultural dan Moral Ekspresi dorongan seksual sangat diatur oleh nilai-nilai sosiokultural dan moral yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, misalnya dalam agama Islam yang mengatur masalah seksualitas dalam hukum nikah dan melarang adanya perzinahan atau free sex. Nilai yang mengatur standar perilaku seksual dapat pula ditentukan oleh masyarakat yang biasanya diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya, meskipun sering terjadi modifikasi dalam proses perkembangannya. Pada dasarnya nilai dan moral yang mengatur masalah seksualitas berbeda-beda ditiap daerah bergantung pada adat kebiasaan masing-masing daerah. 3. Pengetahuan Seksual Tokoh masyarakat di Indonesia masih beranggapan bahwa perilaku seksual sebagai masalah pribadi. Hal ini menyebabkan perbedaan pendapat tentang penting tidaknya pendidikan seks diluar rumah. Sehingga sebagian masyarakat Indonesia kurang mendapat pengetahuan tentang seksualitas dan akibat dari perilaku seksual berisiko, kondisi ini mengakibatkan persepsi yang salah tentang seksualitas sehingga mempengaruhi perilaku seksual yang cenderung pada perilaku seksual yang berisiko tertular PMS.
L a m p i r a n | 113
4. Fungsi Seksual Fungsi seksual juga sangat mempengaruhi perilaku seksual. Seseorang dengan fungsi seksual yang normal, perilaku seksualnya berbeda dengan mereka yang fungsi seksualnya mengalami gangguan. Misalnya, pria yang mengalami disfungsi ereksi, akan merasa kecewa dan rendah diri sehingga tertekan saat melakukan hubungan seks atau bahkan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Bentuk Perilaku Seksual Perilaku seksual sebagai bentuk ekspresi dari dorongan seksual dapat meliputi aktivitas seksual dan hubungan seksual. Aktivitas seksual adalah segala bentuk perilaku yang memberikan rangsangan seksual sehingga dapat menimbulkan reaksi seksual, kecuali hubungan seksual. Aktivitas seksual meliputi : (1) Berciuman (kissing), adalah saling melekatkan bibir atau hidung; (2) french kiss, adalah berciuman dengan bibir dan mulut terbuka dan menggunakan lidah; (3) necking, beberapa orang yang merasakan kenikmatan untuk menghisap atau menggigit dengan gemas pasangan mereka kadang-kadang pada leher, buah dada, atau paha yang menyebabkan sebuah tanda memar atau merah; (4) petting, adalah merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangannya termasuk lengan, dada, buah dada, kaki dan kadang-kadang kemaluan diluar maupun di dalam pakaian; (5) oral seks meliputi fellatio dan cunnilingus, oral seks sendiri diartikan sebagai perilaku seksual yang menggunakan mulut untuk merangsang daerah genital pasangannya. Yang dimaksud dengan fellatio adalah mencium, menjilat, dan menghisap penis. Sedangkan cunnilingus adalah mencium, menjilat dan menghisap kemaluan wanita di daerah klitoris dan vagina.25) Sedangkan hubungan seksual adalah bersatunya dua orang secara seksual, yang dilakukan setelah pasangan pria dan wanita menikah.25) Pendapat lain mengenai hubungan seks adalah kontak jasmaniah antar manusia untuk memperoleh kenikmatan.27) 3. Perilaku Seksual yang Sehat Perilaku seksual yang sehat ialah semua bentuk perilaku seksual yang dapat dinikmati dan tidak menimbulkan akibat berupa gangguan fisik atau mental. Jadi dua hal penting yang menjadi syarat suatu perilaku seksual sehat, yaitu dapat dinikmati dan tidak menimbulkan akibat buruk, baik fisik maupun mental artinya, jika perilaku seksual dapat dinikmati namun menimbulkan akibat buruk secara fisik atau mental maka perilaku seksual tersebut dinyatakan tidak sehat. Demikian halnya jika perilaku
114 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f seksual tidak berakibat secara fisik atau mental namun tidak dapat dinikmati maka dikatakan perilaku seksual yang tidak sehat.26) Akibat fisik yang dapat ditimbulkan dapat berupa rasa sakit ketika melakukan hubungan seksual, kehamilan yang tidak diharapkan, dan penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) khususnya HIV/AIDS. Beberapa akibat secara mental adalah ketidakpuasan, kekecewaan, kecemasan, perasaan bersalah, dan gejala psikosomatik seperti pusing dan sukar tidur. 4. Perilaku Seksual yang Bebas atau Tidak Sehat Menurut, perilaku seksual yang bebas atau tidak sehat adalah semua bentuk perilaku seksual yang dilakukan dengan banyak pasangan. Perilaku seksual cenderung dilakukan dengan siapa saja yang disukai dan bersedia melakukannya. Selain itu perilaku seksual bebas dapat menimbulkan beberapa akibat, antara lain penularan PMS khususnya HIV/AIDS dan kehamilan yang tidak diinginkan. Perilaku seksual bebas adalah perilaku seksual yang cenderung merupakan perilaku seksual yang tidak sehat.26) BAB III METODE PENELITIAN A. Kerangka Konsep Longmore (1998) menyebutkan bahwa seperti perilaku manusia, perilaku seksual juga merupakan simbolik, individu menggunakan beberapa simbol dan mempunyai arti yang dibentuk oleh beberapa simbol tersebut.27) Turner (1982) menyatakan bahwa interaksinisme simbolik yang dikemukakan oleh G.H Mead pada tahun 1934 meliputi sexual meaning, self, identity dan sosialization. 27) Sosialisasi merupakan suatu proses yang berperan dalam terbentuknya suatu gaya hidup. Kickbush (1986) mengatkan bahwa lifestyle (gaya hidup) adalah Perilaku pribadi dari individu waria yang dipilih secara sengaja yang berkaitan dengan kesehatan. Pengertian lain dari gaya hidup adalah suatu gabungan ekspresi dari lingkungan sosial dan budaya yang merupakan perilaku yang dikondisikan dan dipaksakan, dan merupakan keputusan pribadi, dimana saorang individu dapat memilih dari satu perilaku ke perilaku yang lain. 33) Dari dua pengertian tersebut, maka apabila kita berbicara tentang gaya hidup seksual (sexual lifestyle) waria merupakan perilaku sexual waria yang melekat dalam
L a m p i r a n | 115
dirinya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya yang ada disekitarnya serta berdampak pada kesehatannya. Gaya hidup seksual para waria tercermin dalam melakukan aktifitas seksualnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan mengenai kerangka konsep penggunaan teori interaksionisme simbolik dalam penelitian waria dan gaya hidup seksualnya (gambar 3.1).
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian B. Pengertian Berdasarkan kerangka konsep pada gambar 3.1 di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Waria Seorang wanita pria yang secara fisik memiliki jenis kelamin laki-laki tetapi memiliki sikap feminin, dalam kesehariannya berdandan, berpakaian dan berperilaku sebagai perempuan dan dalam orientasi seksualnya menyukai laki-laki. Berprofesi sebagai entertainer, salon kecantikan, karyawan, wiraswasta atau pegawai negeri sipil (PNS) atau guru.
116 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 2. Karakteristik individu Segala sesuatu yang menjadi karakterisik subyek penelitian, meliputi: usia, alamat tempat tinggal, anak ke-, jenis kelamin dan jumlah saudara kandung, pendidikan, pendidikan dan pekerjaan orang tua, alasan menjadi waria, serta punya atau tidak pasangan tetap. 3. Sosialisasi (Socialization) Sosialisasi adalah bagaimana waria bergaul di kelompoknya (teman, keluarga, lingkungan) dan masyarakat. 4. Skrip seksual (Sexual Script) Bagaimana waria dalam berinteraksi sosial serta beberapa hal yang berhubungan dengan pemilihan pasangan, tempat dan waktu yang sesuai dalam interaksi seksualnya. 5. Skrip Budaya (Cultural Script) Bagaimana pemahaman waria tentang penilaian masyarakat umum terhadap dirinya sebagai waria dan pengaruhnya terhadap kehidupan dan perilaku seksualnya. 6. Skrip Sub-Budaya Waria (Sub-cultural script of Waria) Bagaimana pemahaman waria tentang nilai-nilai yang berlaku dalam komunitas waria, termasuk dalam hal cara berpenampilan, bahasa yang digunakan, pemilihan pasangan, serta tehnik dalam berhubungan seksual. 7. Skrip Interpersonal (Interpersonal Script) Bagaimana skrip yang terbentuk antara waria dengan pasangannya, baik pada awal pacaran (dating) sampai pada keputusan untuk menjadi pasangan (couple). 8. Skrip Intrapsikis (Intrapsychic Script) Semua hal yang ada dalam pikiran wariapketika berinteraksi dengan pasangan, apa yang akan dilakukan, yang terbentuk oleh pengalaman dan pengetahuan seksual, serta sikap dan persepsi waria tentang seks. C. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode qualitative exploration dengan pendekatan fenomenologis. Karena peneliti ingin makna pengalaman hidup beberapa orang terkait fenomena atau konsep tertentu.34) Pendekatan fenomenologi menekankan aspek subyektif dari perilaku orang. Peneliti berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkannya di sekitar peristiwa dan kehidupan sehari-hari.35) Jenis penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan gambaran yang nyata dan informasi yang mendalam dari subyek
L a m p i r a n | 117
penelitian. Selain itu metode kualitatif ini digunakan oleh peneliti dengan pertimbangan : 36) 1. Realitas yang ada dikonstruksi secara sosial dan tidak bebas nilai. 2. Mengutamakan penguasaan mendalam atas fenomena secara material. 3. Menggunakan perspektif emik atau beranjak pada pandangan dari dalam subyek. 4. Emergensi dan penjelasan atas peristiwa, gejala atau fenomena. 5. Peneliti sebagai instrumen utama dengan pendekatan utama melalui wawancara mendalam. 6. Bersifat inkuiri secara alami atau naturalistik. 7. Menggunaan pola berpikir atau penarikan kesimpulan secara induktif. 8. Mencari pluralitas atau kompleksitas tautan antar fenomena yang bersifat lunak. D. Obyek dan Subyek Penelitian Obyek penelitian atau informan utama pada penelitian ini adalah waria yang berprofesi entertainer, salon kecantikan, karyawan atau pegawai negeri sipil (PNS). Sedangkan subyek penelitian adalah peneliti. Informan diambil secara purposive sampling, yaitu memilih sampel yang kaya informasi dengan kriteria inklusi sebagai berikut : a. Bekerja sebagai entertainer, salon kecantikan, karyawan, wiraswasta atau PNS/Guru. b. Merupakan waria dewasa yang usianya minimal 20 tahun, maksimal 60 tahun dengan alasan masih dalam usia seksual aktif, masih produktif, dan pertimbangan kemampuan daya ingat. Adapun alasan rentang usia responden yang berkisar antara 20-60 tahun adalah mereka termasuk dalam kategori usia dewasa madya.41) Selain itu berdasarkan informasi dari LSM Graha Mitra yang menyatakan bahwa terdapat waria dampingan yang berusia 60-65 tahun masih mendapatkan program dan memiliki perilaku seksual aktif. c. Bersedia menjadi informan penelitian. E. Sumber Data Penelitian Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan utama yaitu waria yang bekerja sebagai entertainer, salon kecantikan, karyawan atau Pegawai negeri sipil (PNS) di tempat yang telah disepakati oleh informan dan peneliti, sedangkan pengaturan waktu disesuaikan oleh informan. Data sekunder merupakan data pendukung yang berguna sebagai penunjang dan pelengkap data primer dan masih berhubungan dengan penelitian ini. Hal ini diperoleh melalui dokumentasi dan laporan dari
118 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f Dinas Kesehatan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait yang menangani waria di Kota semarang, serta studi pustaka. Pengumpulan data dilakukan pada 10 orang waria yang berbeda profesi yaitu 2 orang entertainer, 4 orang dari salon kcantikan, 1 dari karyawan, 2 wiraswasta serta 1 waria dari Guru. Adapun alasan proporsi jumlah informan seperti disebutkan diatas adalah berdasarkan pertimbangan jumlah waria berdasarkan profesinya seperti pada tabel berikut : Tabel 3.1 Jenis dan Jumlah Pekerjaan Waria Kota Semarang No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Pekerjaan Nyebong (PSK) Pengamen Entertainer Salon Guru Karyawan Wiraswasta PNS Jumlah
Jumlah 109 15 5 50 2 3 3 1 188
Persentase (%) 58 8 2,7 26 1,1 1,6 1,6 0,5 100
Sumber : Graha Mitra, Maret 2009 Satu hal yang perlu diketahui tentang isi tabel diatas adalah adanya kemungkinan perubahan baik jenis maupun jumlah pekerjaan waria di setiap bulan karena mobilitas waria yang sangat tinggi serta adanya waria yang meninggal dunia. Hal ini dapat dibuktikan dengan membandingkan isi tabel 4.6 pada Bab Hasil Penelitian. Pengumpulan data juga dilakukan pada informan pendukung yang terdiri dari 2-5 orang key person pada kelompok waria atau keluarga waria sebagai triangulasi sumber. Key person disini adalah orang yang dianggap berperan penting dalam membentuk perilaku waria. Termasuk key person adalah ketua pendampingan waria atau peer educator (pendidik sebaya) waria. Sedangkan keluarga waria adalah salah satu anggota keluarga yang berperan dalam penting dalam membentuk perilaku waria dan tinggal serumah dengan waria informan, serta dapat menerima keberadaan waria terebut dalam keluarga. Adapun metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dari informan pendukung adalah dengan indepth interview, dengan alasan kesulitan peneliti untuk dapat mengumpulan seluruh informan pendukung dalam satu waktu dan tempat tertentu. Mengingat para key person, terutama dari peer educator bertempat tinggal di wilayah dampingan yang menyebar di Kabupaten
L a m p i r a n | 119
atau Kota lain di Jawa Tengah, yaitu Kota Solo, Kendal dan Kabupaten Demak. Berdasarkan uraian di atas, dapat dibuat suatu bagan pengambilan informan penelitian (gambar 3.2).
Gambar 3.2 Bagan Proses Pemilihan Informan F. Instrumen Penelitian Peneliti merupakan instrumen utama dari penelitian yaitu sebagai human instrumen dalam pengumpulan data. Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara mendalam (indepth interview) yang berisi beberapa pertanyaan terbuka, catatan lapangan, MP3 recorder.
120 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f G. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan langkah penting dalam penelitian. Pengumpulan data akan berpengaruh pada beberapa tahap berikutnya sampai pada tahap penarikan kesimpulan. Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka, mendalam dan fleksibel, maka peneliti menggunakan metode wawancara dalam pengumpulan data. Metode wawancara merupakan yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya secara langsung dengan informan (subyek penelitian). Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Maksud wawancara antara lain: mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, peranan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lin-lain kebulatan ; merekonstruksi kebulatankebulatan sebagai kejadian yang dialami masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai sesuatu yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverivikasi, mengubah dan memperluas informasi yang diperoleh orang lain, baik manuasia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverivikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai anggota.35) Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth interview), yang berarti bahwa pewancara dapat menggali informasi atau data sebanyak-banyaknya dari informan (terwawancara). Selain itu pewancara menentukan sendiri masalah dan pertanyaan yang akan disajikan, sama untuk setiap subyek penelitian. Wawancara mendalam dilakukan kepada subyek penelitian (key informan) dan informan pendukung yaitu pasangan seksual waria. Hasil kegiatan wawancara yang mencakup pertanyaan dan jawabannya didokumentsikan dalam rekaman suara kemudian dibuat catatan lapangan. Beberapa langkah perlu disiapkan supaya wawancara dapat menghasilkan data yang valid adalah: 1. Mempersiapkan berbagai hal yang akan diungkap dalam penelitian. Peneliti mencari referensi dan informasi dari berbagai sumber mengenai perilaku seksual waria, kemudian dibuat daftar pertanyaan sebagai pedoman dalam pengumpulan data. 2. Peneliti menyiapkan beberapa peralatan berupa alar perekam suara dan alat tulis. 3. Menciptakan suasana hubungan yang baik dengan subyek penelitian yang akan diwawancarai, melakukan pendekatan personal, serta
L a m p i r a n | 121
menciptakan rasa nyaman dengan menerima apapun keadaan yang ada pada diri subyek penelitian. 4. Peneliti menyampaikan maksud adanya wawancara dan membentuk kepercayaan bahwa apapun yang peneliti lakukan terhadap subyek murni untuk kepentingan penelitian dan bersifat ilmiah. 5. Mencatat dengan segera hasil yang diperoleh. H. Validitas dan Realilibilitas Dalam penelitian kualitatif, dilakukan validitas data internal disebut dengan kredibilitas. Dimana dalam penelitian ini dapat dicapai dengan membandingkan informasi dari waria yang menjadi informan kunci dengan melakukan proses triangulasi berupa indepth interview pada informan pendukung (informan cross check) yaitu waria key person yang menjadi pimpinan pada kelompok profesi tertentu atau salah satu anggota keluarga waria informan kunci yang memang bisa diterima dan tinggal dengan keluarganya tersebut. Untuk mendukung realibilitas data pada penelitian kualitatif dilakukan dependabilitas, dapat dicapai dengan meneliti kedalaman informasi yang diungkapkan informan dengan memberi umpan balik pada informan sehingga bisa dilihat apakah mereka menganggap penemuan riset tersebut merupakan laporan yang sesuai dengan pengalaman mereka, serta dengan melakukan konsultasi dengan para ahli dalam hal ini adalah dosen pembimbing tesis.34) I. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif yang bersifat terbuka yaitu dengan menggunakan proses berfikir induktif, dimana dalam pengujiannya bertitik tolak dari data yang terkumpul kemudian disimpulkan hanya untuk fenomena ini dan tidak untuk digenerasisasikan. Data kualitatif diolah berdasarkan karakterisik pada penelitian ini dengan metode thematic content analysis, yaitu metode yang berusaha mengidentifikasi, menganalisa dan melaporkan pola-pola yang ada berdasarkan data yang terkumpul. Analisis data sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan bisa dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Usaha untuk memperoleh data yang lebih tajam terhadap data hasil temuan di lapangan, dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik analisis data kualitatif.35) Beberapa teknik analisa data khusus yang dipakai dalam penelitian kualitatif, meliputi :34)
122 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 1. Peneliti membuat dan mengatur data yang sudah dikumpulkan Setelah melakukan wawancara dan observasi, peneliti akan mentranskripsikan hasil wawancara dan observasi. Dalam transkripsi itu, peneliti akan mengatur data dengan rapi sehingga akan memudahkan dalam pembuatan transkrip. 2. Peneliti membaca dengan teliti data yang sudah diatur Setelah melakukan transkripsi, peneliti akan membaca dan memahami transkrip. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengetahui kecukupan data yang diperoleh supaya relevan dengan fokus penelitian. Proses ini juga disebut dengan coding, lewat proses ini akan didapatkan tematema penting dari pernyataan subjek dalam transkrip. 3. Peneliti mendeskripsikan pengalamannya di lapangan Pada bagian awal analisis, peneliti akan mendeskripsikan pengalaman di lapangan. Disini akan digambarkan situasi penelitian untuk memudahkan dalam memahami pernyataan-pernyataan subjek. 4. Horisonalisasi Pada tahap ini, transkrip wawancara akan diperiksa lagi untuk mengetahui pernyataan yang relevan dan tidak relevan bagi penelitian ini. Tahap ini bisa dilakukan dengan cara menandai bagian pernyataan yang relevan dan menuliskannya pada kolom yang terpisah. 5. Unit-unit makna Unit-unit makna akan ditemukan dengan terus melakukan coding dan merevisi hasil coding. Dari keseluruhan transkrip diharapkan peneliti dapat menemukan beberapa unit makna. 6. Deskripsi tekstural Deskripsi tekstural ini didasarkan pada ucapan asli subjek yang diambil dari hasil horisonalisasi. 7. Deskripsi struktural Deskripsi ini merupakan interpretasi peneliti terhadap pernyataan asli subjek. 8. Makna/esensi Dari keseluruhan unit makna, deskripsi tekstural, dan deskripsi struktural, peneliti akan mencari esensi dari pengalaman subjek. J. Tahapan Lapangan 1. Tahap Pra Lapangan Tahap persiapan dimulai dengan melakukan kegiatan : a. Pengumpulan referensi awal b. Penyusunan draf proposal c. Persiapan pengambilan data awal d. Survey awal
L a m p i r a n | 123
e. f. g. h.
Seminar proposal penelitian Revisi paska seminar proposal Melakukan perijinan penelitian Melaksanakan pengumpulan data
2. Tahap Pekerjaan Lapangan Tahap ini dilaksanakan pada Bulan April-Mei 2009. Dalam hal ini peneliti bekerja sama dengan LSM Graha Mitra selaku LSM di Propinsi Jawa Tengah, termasuk Kota Semarang yang melakukan pendampingan pada komunitas waria. Sedangakan dalam tahap pelaksanaan indept interview pada responden di Lapangan, peneliti dibantu oleh Direktur, Program Manager dan beberapa orang petugas lapangan dari Graha Mitra yang membantu menentukan responden yang sesuai dengan persyaratan inklusi yang diinginkan oleh peneliti, serta berfungsi sebagai contac person dalam pelaksanaan indepht interview di lapangan. Adapun kegiatan yang dilakukan meliputi : a. Menemui contact person b. Membuat jadwal pelaksanaan c. Pelaksanaan pengumpulan data 1) Kegiatan indepth interview (wawancara mendalam) dengan responden inti. Tabel 3.2 Kegiatan Wawancara Mendalam Dengan Responden Inti No
Kode Responden
1
LOUS
2
AR
3
LL
4
DN
5
YS
6
SV
7
EL
Waktu Rabu, 22 April 2009 Senin, 27 April 2009 Rabu, 29 April 2009 Jumat, 1 Mei 2009 Senin , 5 Mei 2009 Senin, 5 Mei 2009 Selasa 6 Mei 2009
Tempat
Lama Wawancara
Graha Mitra
2 jam
Graha Mitra
1,75 jam
Salon Dian Pusponjolo Salon Dian Pusponjolo
1,75 jam 2,25 jam
Graha Mitra
1,75 jam
Rumah SV
2,5 jam
Salon Elsa Sampangan
2 jam
124 | M e t o d e P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f 8
MR
9
CCL
10
JN
Selasa, 6 Mei 2009 Rabu, 7 Mei 2009 Kamis, 8 Mei 2009
Salon Elsa Sampangan Salon Elsa Sampangan Salon Oni Puspogiwang
2 jam 2,25 jam 2,25 jam
Sumber : Data Primer 2) Kegiatan indepth interview (wawancara mendalam) dengan informan pendukung (Triangulasi). Tabel 3.3 Kegiatan Wawancara Pendukung No
Kode Responden
1
LD
2
YN
3
YM
4
LN
5
MD
Waktu Kamis, 23 April 2009 Jumat, 24 April 2009 Jumat, 1 Mei 2009 Senin, 4 Mei 2009 Selasa, 5 Mei 2009
Mendalam
dengan
Informan
Tempat
Lama Wawancara
Graha Mitra
15 menit
Graha Mitra
20 menit
Tanggul Indah Tanggul Indah Rumah SV
15 menit 20 menit 20 menit
Sumber : Data Primer 3. Tahap Analisa Data Tahap selanjutnya adalah analisa data secara thematic content analysis yang dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Mengenal data yang diperoleh dengan membaca berulang-ulang data yang ada. b. Menghasilkan kode-kode. Menentukan tiga tema besar, yaitu: Karakteristik Responden, Sosialisasi dan Skrip Seksual yang terbagi dalam tiga sub tema (Skrip Budaya, Skrip Intrapsikis dan Skrip Interpersonal).
BIOGRAFI PENULIS
Dewi Rokhmah, S.KM, M.Kes. lahir di Malang, Jawa Timur pada 7 Agustus 1978. Ia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar sampai sekolah menengah (MIN 1, SMPN 1 dan SMAN 3) di Kota Malang. Selanjutnya ia menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya. Gelar Magister kesehatan dengan keahlian bidang promosi kesehatan dan ilmu perilaku dari pascasarjana FKM Universitas Diponegoro Semarang, pada program studi promosi kesehatan yang berkonstrasi pada kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS. Saat ini penulis berprofesi sebagai dosen tetap di Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Jember pada Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku (PKIP). Untuk meningkatkan kompetensi penulis, ia aktif melakukan studi dan mengikuti berbagai konferensi baik nasional maupun internasional, diantaranya pada tahun 2014 penulis mendapat beasiswa sebagai oral presentator dalam International Conference on Environmental and Occupation Health (ICEOH 2014) yang diselenggarakan oleh University Putra Malaysia (UPM), artikel dalam event tersebut telah terbit pada International Journal of Current Research and Academic Review (IJCRAR). Selain itu, di tahun yang sama artikel penulis dalam International Conference on Tropical and Coastal Region Eco-Development 2014 (ICTCRED 2014) yang diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro Semarang, telah terbit dalam Procedia Environmental Sciences 23 ( 2015 ) 99 – 104. Karirnya dimulai sebagai staf pengajar di FKM Universitas Jember pada tahun 2009 di bagian PKIP. Tahun 2012 menjadi sekretaris bagian PKIP FKM Universitas Jember serta sebagai sekretaris redaksi Jurnal IKESMA yang diterbitkan oleh FKM Universitas Jember. Selain itu publikasi pada jurnal juga dilakukan oleh penulis baik jurnal lokal maupun jurnal nasional terakreditasi. Salah satunya pada tahun 2012, penulis melakukan publikasi di jurnal KESMAS (Kesehatan Masyarakat Nasional) yang merupakan jurnal terakreditasi nasional yang diterbitkan oleh FKM Universitas Indonesia. Kesibukan penulis saat ini adalah aktif sebagai peneliti dan menjadi relawan di kegiatan sosial yang bergerak di bidang penanggulangan HIV dan AIDS, serta sedang melanjutkan studi S3 di Program Studi Ilmu Kesehatan FKM Universitas Airlangga Surabaya.
Iken Nafikadini, S.KM, M.Kes. lahir di Jember, Jawa Timur pada 13 November 1983. Ia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar sampai sekolah menengah dan Perguruan Tinggi di Kota yang sama yaitu Kabupaten Jember. Pendidikan S1 beliau selesaikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya. Sedangkan gelar Magister Kesehatan dengan keahlian bidang promosi kesehatan dan ilmu perilaku dari pascasarjana FKM Universitas Diponegoro Semarang, pada program studi promosi kesehatan yang berkonstrasi pada kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS. Saat ini beliau berprofesi sebagai dosen tetap di Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Jember pada Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku (PKIP). Untuk meningkatkan kompetensi penulis, ia aktif melakukan penelitian diantaranya adalah Skrip Budaya ‘Kucing’ pada Kelompok Laki-Laki Suka Seks Dengan Laki-Laki (LSL) di Kota Semarang (2009) dan Efek Paparan Pornografi terhadap Peningkatan Aktivitas Seksual Pranikah Mahasiswa Universitas Jember (2014). Karirnya dimulai sebagai staf pengajar di FKM Universitas Jember pada tahun 2011 di bagian PKIP. Sebelumnya beliau memiliki pengalaman pekerjaan sebagai berikut : Bekerja di Rumah Sakit Paru Jember menjadi Kepala Bagian P2K (Penelitian, Pengembangan dan Kerjasama) Tahun 20102011, Magang residensi di Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta, ikut dalam pelayanan program Care, Support and Treatment pada mantan pecandu yang telah terinfeksi HIV dan penjangkauan pada para pecandu, serta program PMTCT di daerah Jakarta dan sekitarnya pada November 2008 – Januari 2009, Magang residensi di Komisi Penanggulangan AIDS Nasional di Jakarta, bergabung dengan divisi pengembangan program pada Nopember 2008, Lay Support dan peer educator di Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Kabupaten Jember, dengan tugas membawa klien untuk ikut pelayanan VCT di klinik VCT Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soebandi Kabupaten Jember pada tahun 2006-2007. Kesibukan penulis saat ini adalah selain aktif sebagai dosen di Bagian PKIP FKM Universitas Jember, juga menjadi tim Badan Penjaminan Mutu Universitas Jember dari Tahun 2012 sampai sekarang.
Erdi Istiaji, S.Psi.,M.Psi., Psikolog lahir di Surabaya,13 Juni 1976. Ia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar sampai sekolah menengah di berbagai kota di Indonesia karena mengikuti dinas sang ayah. Pada jenjang S1 diselesaikan di Fakultas psikologi Universitas Muhammadiyah Malang lulus tahun 2002. Sedangkan gelar Magister Profesi Psikologi dengan keahlian Mayoring Psikologi Pendidikan, Minoring Psikologi Klinis yang diselesaikan pada program pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya lulus tahun 2007. Saat ini beliau berprofesi sebagai dosen tetap di Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Jember pada Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku (PKIP). Saat ini beliau berdomisili di Jember tepatnya di Jl. Semeru XIV/R.9 Kab.Jember Karirnya sebagai pendidik dimulai sebagai staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember, kemudian di FKM Universitas Jember pada tahun 2009 di Bagian PKIP. Untuk meningkatkan kompetensi sebagai dosen dan penulis, beliau aktif dalam berbagai kegiatan yang sangat mendukung profesi beliau sebagai psikolog, yaitu: Dosen Tetap & Kepala Departemen. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember, Dosen LB di MKU, FKG, FK, PG PAUD FKIP Universitas Jember, Fakultas Psikologi dan FIKES Universitas Muhammadiyah Jember, AKBID Bina Husada, dll, Owner n’Consultant at Heals Capable ‘Pusat Studi Kesehatan, Kebijakan Publik,Peningkatan Kapasitas’ Jember, Owner n’ Psycholog at i-deAs Psychologycal Services Jember, HRD Consultant & Psikolog di beberapa Perusahaan, Bank, Institusi Kesehatan, Lembaga Pendidikan di wilayah ex Karesidenan Besuki, Ketua HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA (HIMPSI) cabang Jember & Se Ex Karesidenan Besuki.