PENDIDIKAN SENI RUPA BERBASIS PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD) DENGAN PENDEKATAN EKSPRESI BEBAS Kamsidjo B.U. (Penulis adalah seorang magister pendidikan seni, dosen seni rupa FBS UNNES)
Abstrak Kebijakan pendidikan nasional selama ini cenderung mengedepankan pendidikan sains dan teknologi, sehingga pendidikan seni tampak dimarjinalkan. Situasi pengajaran seni di lapangan masih mengalami situasi dilematis, terutama di bidang pendidikan seni rupa secara umum belum sesuai dengan harapan. Untuk itu, pemberdayaan pendidikan anak usia dini (PAUD) perlu diupayakan. Dengan pendekatan ekspresi bebes diharapkan pendidikan seni rupa anak menjadi lebih natural. Anak dapat memberikan ide/gagasan dan perasaan yang dimiliki anak dapat diekspresikan. Kata kunci: pendidikan anak usia dini, pendekatan ekspresi bebas, pendidikan seni rupa
Pendahuluan Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, Pemerintah Negara Republik Indonesia tengah mengambil langkah strategis yang bersifat kondusif. Salah satunya diwujudkan dalam pelayanan pendidikan dengan skala prioritas utama. Bahkan lebih ditekankan bahwa pendidikan yang bernilai tinggi harus dimulai sejak anak masuk usia dini. Sebagai bukti otentik kepedulian pemerintah terhadap pendidikan anak usia dini dapat diamati pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yang di dalamnya memuat tentang rumusan pendidikan anak usia dini yang tercakup dalam Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 14 yang dinyatakan bahwa: “ Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya peminaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Untuk memberikan layanan pendidikan seluas-luasnya kepada seluruh anak, pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan usia dini jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau juga bentuk lain yang sederajat. Untuk jalur pendidikan nonformal, pendidikan anak usia dini diselenggarakan dalam kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), sedangkan in-formal diselenggarakan dalam bentuk pendidikan keluarga. Dari bentuk-bentuk penyelenggaraan pendidikan tersebut mengindikasikan bahwa (a) layanan pendidikan perlu diberikan kepada anak usia dini, (b) pendidikan formal dan non formal keduanya memberikan andil kesempatan anak usia dini memperoleh hak didik secara layak, (c) untuk mendukung berlangsungnya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini perlu melibatkan masyarakat.
1
Hasil penelitian di lapangan, bahwa jumlah anak usia dini yang belum memperoleh pendidikan dewasa ini jumlahya sangat besar. Dipaparkan oleh Jalal dan Dedi Supriadi (2001), bahwa sekitar 1% dari anak-anak usia 1-4 tahun yang baru memperoleh layanan pendidikan melalui Taman Penitipan Anak (TPA). Kemudian sekitar 12,65 % dari anak usia 4-6 tahun terlayani melalui Taman Kanak Kanak (TK), dan sekitar 0,24 % yang terlayani melalui Kelompok Bermain (KB). Rendahnya kualitas sumber daya manusia baik di tingkat regional, maupun internasional dewasa ini telah memperoleh perhatian dan penilaian serius dari para pengambil kebijakan pendidikan. Dalam penelitian Jalal (2002) menyatakan bahwa dari laporan United Nation Development Program (UNDP) yang disampaikan tahun 2001, Indonesia menempati peringkat 102 dari 162 negara yang diteliti dan berada jauh dari negaranegara ASEAN lainnya seperti: Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunai Darussalam yang berada diperingkat 40-an. Pada tahun 2002 peringkat itu menurun menjadi 110 dari 170 negara. Disisi lain fakta rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia dapat dilihat dari rendahnya prestasi yang dicapai oleh anak-anak sekolah dalam berkompetisi di tingkat regional dan internasional. Hasil kajian International Educational Achievement (IEA) menunjukkan kemampuan siswa SD di Indonesia di bidang membaca berada di urutan ke-38 dari 39 negara. Hasil penelitian The Third International Mathematics And Sciene Study Raport tahun 1999 menunjukkan bahwa kemampuan siswa di bidang Pengetahuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berada diurutan 32 dari 38 negara di bidang Matematika berada diurutan ke-34 dari 38 negara. Rendahnya prestasi yang dicapai anak-anak sekolah asal Indonesia , diduga karena faktor rendahnya kulitas masukan semenjak sekolah dasar (Jalal 2002) salah satu factor yang ditengarai sebagai penyebabnya yakni karena kurangnya pemahaman akan pentingnya pendidikan usia dini. Pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia untuk pembangunan masa depan. Becker (dalam Rifa’i 2004:6) menyatakan bahwa pendidikan merupakan investasi pembangunan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan investasi di bidang lainnya. Anak yang memperoleh pendidikan berkulaitas akan mampu mengaktualisasikan seluruh potensinya secara optimal yang pada akhirnya dapat menjadi pelaku ekonomi produktif sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara, bukan saja menjadi aset yang didayagunakan untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi alam dan lingkungannya secara produktif, kompetitif dan mampu bersaing di pasar global. Investasi di bidang pendidikan akan memberi dampak yang lebih besar bagi kemajuan bangsa dan negara. Apalagi pendidikan yang berkualitas itu diberikan sejak anak usia dini. Wilson (1986) mengatakan bahwa kunci utama keberhasilan pendidikan pada anak terletak pada kualitas pendidikan yang diselenggarakan sejak usia dini. Perlakuan yang ideal dalam mendidik anak usia dini diwujudkan melalui bentuk merawat, memelihara, membimbing, dan bermain. Perlakuan positif jika tindakan pendidikan yang dilakukan disesuiakan dengan situasi dan kondisi perkembangan usia anak. Tindakan positif diungkapkan dalam bentuk tindakan dari ucapan yang beralasan, mendorong, konsisten, menyejukkan, peduli, rileks, dan bertanggung jawab terhadap
2
anak. Adapun tindakan negatif yang tidak wajar untuk anak adalah tindakan orang tua atau pendidik yang disesuaikan dengan dirinya sendiri. Tujuan pendidikan seni berbasis anak usia dini ini yaitu meningkatkan (a) kesadaran guru akan pentingnya pendidikan anak usia dini, dan (b) pengetahuan, sikap dan keterampilan guru di dalam mengasuh, merawat, dan mendidik anak. Setiap anak perlu diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang tanpa ada tekanan dari pihak guru. Freud, seorang psikolog terkemuka menyatakan bahwa tugas utama seorang pendidik adalah tidak menekan perasaan anak dan sebaliknya menyalurkannya ke arah yang positif. Margaret Naumbreg, salah seorang pendidik seni rupa yang terpengaruh oleh pandangan Freud, menyatakan bahwa setiap larangan yang bersifat menekan bertentangan dengan temuan baru dalam bidang biologi, psikologi, dan pendidikan. Untuk itu, diperlukan cara yang konstruktif dan kreatif untuk mengarahkan kekuatan vital anak (Efland 1990). Sejalan dengan itu pemberian kebebasan dan keluasan pada anak untuk mengungkapkan isi hati sesuai dengan kondisi pribadinya merupakan ungkapan isi hati sebagai bentuk kebebasan ekspresi jiwa. Kegiatan berekspresi yang dilakukan secara alamiah sesuai irama gerak hati anak, berdampak positif bagi perkembangan pribadi anak meliputi, intelektual, emosional, kreativitas
dan
perkembangan sosial anak (Salam 2005:12) Pendidikan seni berbasis anak, tercermin pada bentuk pendidikan yang menggunakan pendekatan ekspresi bebas. Pendekatan ekspresi bebas ini bercirikan pemberian kesempatan bagi anak untuk menyatakan dirinya secara tak terganggu melalui isi hati anak. Menurut Freud, menempatkan wujud ekspresi dalam pandangan ini dapat dianggap memiliki indikator kesehatan jiwa, atau terapi pembersihan jiwa. Kegiatan ekspresi yang dapat berjalan secara wajar dapat berdampak positif bagi perkembangan jiwa anak, meliputi: intelektual, emosional, kreativitas dan sikap sosial anak (Salam 2005:12) Dalam kehidupan ekspresi seni anak pada usia dini, mereka memiliki sifat yang ekspresif. Dengan kata lain, mereka memiliki kecenderungan mengungkapkan isi hatinya di sembarang tempat, waktu dan cara yang khas anak. Seperti membuat corat-coret dengan alat sebenarnya, yakni: pensil, kapur, arang yang berlangsung di sembarang tempat, lantai, tembok, kursi, jendela, dan sebagainya. Akan tetapi kehidupan ekspresi yang erat dengan kehidupan seni anak-anak ini umummnya kurang mendapat tanggapan dari guru/ masyarakat lantaran kurang paham tentang maksud perbuatan anak. Acapkali justru anak-anak mendapat hardik, cercaan, atau larangan sehingga anak menjadi ketakutan dan tidak berani mencoba-coba lagi. Jelas, di sini sangat merugikan perkembangan psikologi anak.
Mengenali Dunia Seni Rupa Anak Memahami dunia seni rupa anak-anak berarti memahami dunia menggambar bagi anak-anak (Garha 1999:24). Perkembangan seni rupa menggambar bagi anak-anak erat kaitannya dengan perkembangan jiwanya. Sebagai temuan Viktor Lownfeld yang menyatakan bahwa usia anak dalam menggambar dapat dibagi dalam fase-fase. Yang pertama fase coreng moreng merupakan anak usia 2-4 tahun, fase prabagan
3
anak usia 7-9 tahun, fase awal realism anak usia 9-13 tahun, dan fase realism anak usia 13-17 tahun (Muharam 1991:34). Fase-fase ini juga menunjukkan urutan perkembangan kematangan psokologi anak. Soeparwato (2004:5) menjelaskan bahwa perkembangan berkaitan dengan perubahan. Secara kualitatif dan kuantitatif perkembangan merupakan peradaban yang terarah dan koheren yang menunjukkan ada hubungan yang nyata antara perubahan yang terjadi dan perubahan yang telah mendahului maupun yang mengikutinya. Untuk itu, dalam memahami perilaku perkembangan menggambar anak, berikut ini diuraikan tentang perkembangan jiwa anak dan perkembangan menggambar anak. Ditinjau dari sudut psikologi perkembangan masa anak dibagi menjadi tiga bagian (1) masa bayi, sejak lahir sampai akhir tahun kedua; (2) masa anak awal, masa kanak-kanak, dari tahun ketiga sampai enam tahun masa prasekolah, kelompok bermain TK; dan (3) masa anak sekolah usia enam tahun sampai dengan duabelas tahun dan tiga belas tahun yang biasa disebut masa usia sekolah, karena pada masa ini mereka duduk di SD (Munandar 1987:1). Perkembangan jiwa anak, di dalamnya terdapat masa peka, berkaitan erat dengan jenis-jenis kegiatan yang dilakukan anak. Masa peka memiliki pengertaian sebagai momentum yang tepat untuk sebuah perkembangan tertentu. Jika pada masa peka itu anak belajar sesuatu yang sesuai dengan keinginan dan kemauan serta kemampuannya dapat diprediksi akan mengalami pertumbuhan/ perkembangan yang pesat. Pendidik/guru akan sukses melakukan pengajaran pada subjek didik atau siswa, jika ia mampu membelajarkan siswa tepat dengan perkembangan jiwa anak/masa peka anak. untuk itu, hal yang perlu mendapatkan perhatian guru yakni setiap tahap perkembangan yang satu dan tahap perkembangan yang lain. Secara umum dari hasil penelitian para ahli, gambar anak-anak terlihat ada titik temu dalam menggambarkan fase-fse atau tahapan gambar anak-anak antara lain : adalah Carrado Rici, Kerchenstainer, William Stern, Cyril Burt, Margaret Meat dan Viktor Lowenfeld, dimulai pada fase coreng moreng wujud gambar anak berupa goresan-goresan mendatar, tegak dan melingkar. Gambar ini belum mewujudkan suatu ungkapan. Fungsinya hanyalah merupakan latihan koordinasi antara motorik tangan dengan gerak mata (Garha 1975:24). Masa perkembangan menggambar pada jenis goresan ini umumnya terjadi hingga anak usia 4 tahun. Pada perkembangan berikutnya yakni fase prabagan. Fase ini masih menunjukkan goresan, mendatar dan melingkar-melingkar yang telah terjadi satu kesatuan. Sejak itu goresan yang dihasilkan anak berwujud sebagai pernyataan, yaitu gambar yang sudah dapat di asosiasikan dengan bentuk tertentu. Umumnya wujud pertama yang muncul berbentuk gambar bagan manusia yang sangat sederhana. Hal ini disebabkan diantara benda-benda yang sering dilihat anak-anak adalah manusia terutama ayah dan ibunya. Masa prabagan ini perkembangan hingga anak usia 7 tahun. Sejalan dengan pengalaman anak dan perkembangan usia, pragambar berbentuk bagan sederhana tersebut terus berkembang dan mendekati bentuk bagan yang lebih sempurna.
4
Pada tahap berikutnya merupakan bentuk prabagan yang mendekati kesempurnaan. Masa in disebut masa bagan yang perkembangannya hingga usia 9 tahun, kira-kira anak SD kelas II dan kelas III. Perkembangan fase ini terdapat perkecualiannya bilamana ada perbedaan perkembangan anak sebayanya. Pada akhir tahap ini perkembangan akal sudah mulai mempengaruhi dunia ciptaan anak-anak. Sikap kritis mereka sudah mengarahkan gambar-gambar yang mereka buat ke arah bentuk-bentuk yang mendekati kenyataan. Pada saat ini kewajaran dan spontasnitas anak sudah mulai menurun, karena pertimbangan akal sudah mulai menguasai dunia ciptaan mereka, umumnya anak-anak kelas III hingga kelas IV berada pada fase ini (Garha 1991:30). Sejalan dengan tahap perkembangan anak, pada akhir tahap masa bagan anak telah berusia 9 tahun masuk ke usia 10 tahun. Sikap kritis dan realistis sudah mengarahkan gambar-gambar yang mereka buat, yakni bentuk-bentuk yang mendekati kenyataan walaupun masih bersifat subjektif. Selain itu, sikap kritis dan realistis serta sikap sosial yang lebih berkembang medorong anak ke pembuatan gambar yang didasari kenyataannya. Bentuk-bentuk bagan yang dulu mereka senangi kini mereka tinggalkan menuju ke bentuk realistis (Garha 1975:30). Pada masa awal realisme ini terdapat cara-cara dalam membuat kesan ruang dalam gambar. Berbeda dengan orang dewasa yang menggunakan alat bantu untuk mencapai kesan ruang. Dikemukakan ada beberapa cara anak dalam memberi kesan ruang pada gambar yang dibuatnya antara lain : 1) Cara penumpukan, sebagai cara lain untuk memperoleh kesan ruang pada gambar yang dibuatnya dengan cara penumpukkan. Benda-benda dalam gambar disusun secara bertumpuk. Benda yang terletak lebih dekat ditempatkan pada sisi sebelah bawah. Makin jauh letak benda makin mendekati sisi kertas bagian lain. 2) Perseptif burung, kesan gambar seakan-akan di buat penggambarnya dari tempat yang sangat tinggi hingga bentuk yang dibuat tidak saling menghalangi. Seakan-akan burung terbang dan melihat pemandangan yang terletak dibawahnya, sehingga kesan ruang dapat dicapainya (Garha 1975:34). 3) Cara tutup menutup, cara pemecahan masalah kesan ruang yang lain lebih mendekati cara yang biasa dilakukan orang dewasa ialah dengan cara tutup-menutup. Benda yang terletak di belakang benda lain, yang tidak penting akan terhalang oleh benda yang terletak di depannya. Cara mereka memecahkan kesan ruang tentu tidak salah dan seyogyanya tidak perlu memaksakan cara pemecahan kesan ruang yang belum sejalan dengan tahap perkembangan anak, perspektif burung. Sebagaimanan cara pemecahan kesan ruang pada gambar anak terdapat juga pada lukisan orang dewasa terutama pada seni lukis tradisional di Bali
Mengenali Dunia Seni Rupa Anak Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ditandai oleh timbulnya perhatian peneliti untuk memahami dunia anak. Hasil temuan mereka membuka mata para pendidik, termasuk pendidik seni rupa. Henry Turner
5
Bailey (Efland, tanpa tahun), seorang tokoh pendidik seni rupa pada masa itu menulis: ”Paidology (ilmu tentang anak) mengungkapkan banyak hal, tentang jejek anak dalam pendidikan.” Uhlin (1975) menunjuk Corrado Ricci, seorang penyair Italia, sebagai pelopor peneliti terhadap karya seni rupa anak. Laporan Corrado Rocci tentang gambar anak yang diamatinya di bawah jembatan layang saat berteduh dari hujan di musim dingin pada tahun 1882, merangsang minat peneliti untuk menelusuri makna ekspresi seni sebagai cerminan pengalaman anak. Khusus menyangkut perkembangan anak dalam menggambar, studi awal yang dilakukan oleh Lichwark pada tahun 1887 dan Baldin pada tahun 1898 mencoba untuk menemukan kesamaan antara perkembangan anak dalam menggambar dengan teori evolusi umat manusia yang populer pada masa itu. Perkembangan kemampuan anak selanjutnya akan mengikuti pola perkembangan seperti yang secara evolusioner terjadi pada umat manusia. Pada tahun 1892, James Sully, seorang filosof dan psikolog Inggris, memulai memperkenalkan istilah skema (bagan) untuk menamai pola gambar anak yang sederhana sebagai simbol dari sesuatu. Selanjutnya pada tahun 1893, Earl Barnes dalam laporannya tentang gambar anak mencatat adanya fase perkembangan anak dalam menggambar yang dikaitkan dengan usia. Namun, Herman Lukens juga pada tahun 1896 yang mula pertama menyusun fase perkembangan anak dalam menggambar berdasar perkembangan usia dengan uraian sebagai berikut: (1) hingga masa 4 tahun anak berada pada tahap coreng-moreng; (2) usia 4 hingga 8 tahun merupakan masa keemasan yang bercirikan menggambar sambil berceritera; (3) usia 9 hingga 14 tahun merupakan masa kritis yang ditandai oleh timbulnya kesadaran baru anak yang membuatnya tidak lagi puas dengan gambar yang dihasilkannya. Perkembangan menggambarnya kemudian menjadi mandek; dan (4) usia 14 tahun yang merupakan masa kelahiran kembali oleh munculnya kemampuan kreatif dari beberapa orang anak yang berbakat (Uhlin 1972;19). Peneliti yang lain, juga mencoba untuk menggambarkan pola perkembangan menggambar anak dengan versi yang berbeda antara lain oleh Max Verwon pada tahun 1907 dan Cyril Burt pada tahun 1921. Selain pola perkembangan menggambar anak, berbagai konsep kemudian lahir dari upaya peneliti terhadap dunia seni rupa anak. Sigfried Levenstein dari Leipzig memperkenalkan konsep “ berceritera” (story telling) bagi gambar anak, Max Verwon memperkenalkan istilah ideoplastik dan fisioplastik (ideoplastic and physioplastic) dalam menggambar perkembangan gambar anak, Willian Stern menunjuk adanya hubungan antara menggambar dan perkembangan berbahasa. Studi terhadap dunia seni rupa anak segera menyebar luas berkat terbitnya berbagai jurnal pendidikan seni rupa. Gagasan yang dimuat pada jurnal ini tentu saja merangsang terjadinya pertukaran pikiran di antara pendidik seni rupa yang kemudian menimbulkan kesadaran bahwa metode pengajaran menggambar di sekolah seyogyanya memperhatikan temuan ilmiah seperti adanya keunikan serta pola perkembangan anak dalam berkarya seni rupa. Kegiatan pembelajaran di sekolah hendaknya mempertimbangkan keunikan dan pola perkembangan tersebut. J.L Todd (dalam Logan 1955), seorang kepala sekolah seni rupa di Philadelphia, Amerika Serikat, misalnya, mempertanyakan mengapa anak tidak bisa melakukannya?
6
Mengapa mereka harus diikat dengan aturan harus menggambar kubus, bulatan atau berbagai entuk abstrak lainnya?. Pendekatan Ekspresi Bebas
Pendekatan ekspresi bebas dalam Pendidikan Seni Rupa amat populer di Indonesia, khususnya di kalangan pendidik seni rupa. Istilah ini mendominasi wacana pendidikan seni rupa terutama pada dekade 1970-an. Sejalan dengan digantinya nama mata pelajaran “menggambar” menjadi “seni rupa” pada kurikulum sekolah, dianggap perlu untuk diasosiasikan terutama menyangkut latar belakang penggantian nama itu. Salah satu alasan utama mengapa mata pelajaran menggambar digantikan namanya karena pada mata pelajaran menggambar melekat citra sebagai pelatihan teknik keterampilan belaka yang tidak peduli akan kebutuhan kejiwaan anak. Sesunguhnya ada upaya sebelumnya dari pendidik untuk menghilangkan citra pelajaran menggambar sebagai hanya sekadar pelatihan keterampilan seperti yang terungkap dalam buku Ekspresi dan Kemungkinannya di SR tetapi upaya ini kurang begitu berdampak terhadap praktik pengajaran mengambar di kelas. Dengan nama seni rupa, diharapkan lebih mudah untuk memunculkan citra baru sebagai kegiatan pembelajran yang peduli akan kebutuhan kejiwaan anak. Hal ini dimungkinkan karena seni rupa menawarkan beragam kegiatan. Pendekatan ekspresi bebas bercirikan pada pemberian kesempatan bagi anak untuk menyatakan dirinya secara tak terganggu melalui seni rupa dalam kegiatan pembelajaran. Pendekatan ini tidak lahir begitu saja, melainkan ada keadaan yang melatarbelakanginya. Ketika seni rupa untuk pertama kalinya diajarkan di sekolah umum dalam bentuk mata pelajaran “menggambar” pada permulaan abad ke-19, tujuan yang ingin dicapai adalah menjadikan anak pandai menggambar yang tercermin pada kemampuannya untuk menirukan wujud apa yang terdapat di alam ini ke dalam bidang datar. Itulah sebabnya, pelajaran menggambar di sekolah mengutamakan koordinasi mata dan tangan. Apa yang diamati oleh mata dapat secara akurat diterjemahkan oleh tangan melalui goresan pensil atau pewarna lain. Semakin akurat citra yang digoreskan, semakin berhasillah gambar tersebut. Untuk itu, guru berupaya sekuat tenaga untuk menjadikan anak terampil menerjemahkan apa yang diamatinya ke atas bidang dambar yang melalui pemberian beragam latihan. Bagi anak yang duduk di kelas permulaan, latihan berupa pembuatan goresan sederhana dalam berbagai variasinya seperti garis lurus, garis lengkung, segi tiga, segi empat, lingkaran, dan sebagainya. Bagi anak yang duduk di kelas lanjutan, diperkenalkan ilmu perspektif dan kegiatan menggambar alam secara langsung. Diyakini secara meluas pada abad ke-19 bahwa sifat keluguan gambar anak disebabkan karena mereka belum mendapatkan latihan yang sesuai yang memungkinkan berkembangnya keterampilan serta ketajaman matanya dalam mengamati objek sehinga mampu melahirkan karya seni rupa yang bersifat naturalistis yang menjadi kecenderungan pada masa itu (Efland, tanpa tahun).
7
Ketika dunia industri memerlukan keterampilan menggambar untuk keperluan desain, maka pengajaran menggambar di sekolah pun mengikuti tren ini dengan pemberian materi pelajaran untuk keperluan industri. Di balik pergeseran orientasi ini, metode pengajaran menggambar yang digunakan pada dasarnya sama yakni bersifat direktif dengan latihan yang ketat bagi anak terampil menggambar. Metode pengajaran menggambar seperti disebutkan di atas, lambat laun dianggap tidak layak untuk dilakukan. Ada berbagai faktor yang menjadi pemicu lahirnya anggapan tersebut, antara lain temuan berbagai studi tentang anak, pengaruh pandangan Freud serta terjadinya gerakan pembaruan dalam dunia seni rupa. Pembaruan dalam dunia seni rupa yang besar dampaknya dalam pendidikan seni rupa pada akhirnya abad ke-19 adalah gerakan ekspresionisme. Ekspresionisme timbul sebagai reaksi terhadap seni rupa mimesis yang telah mentradisi didunia barat sejak zaman klasik Yunani. Seni rupa mimesis berpijak pada pandangan bahwa seni rupa merupakan tiruan alam. Ini berarti, kualitas suatu karya seni rupa ditentukan oleh kepersisannya dengan wujud yang ada di alam ini. Itulah sebabnya, karya seni rupa mimesis kemudian digolongkan sebagai karya naturalism/realism. Ekspresionisme menantang pandangan yang telah mentradisi ini dengan menyatakan bahwa seni rupa adalah wujud pernyataan perasaaan atau batin. Pada ekspresionime, isi batin dinyatakan secara emosional melalui goresan yang “liar” serta warna yang mencolok sebagaimana yang terlihat pada karya lukisan Vincent Van Gogh atau Henri Matisse. Warna yang digunakan untuk menyatakan suatu bentuk tidaklah mesti sesuai dengan warna alamiah bentuk tersebut. Sang seniman bebas untuk memilih warna sesuai dengan keinginan subjektifnya sebagai cerminan dari kecemasan atau suasana hatinya yang bergelora. Semangat “ kebebasan untuk menyatakan perasaan” yang digelorakan oleh kaum ekpresionis menyadarkan para pendidik seni rupa bahwa bila seniman dewasa dapat secara bebas menyalurkan perasaaan melalui goresan, warna, atau bentuk, mengapa anak dalam kegiatan menggambar atau melukisnya harus diatur secara ketat? Mengapa guru di sekolah tidak berusaha untuk mengikuti perubahan orientasi dalam dunia seni rupa dari upaya meniru gejala alam ke pemberian kebebasan untuk menyatakan perasaan secara subjektif? Bukankah masyarakat luas tampaknya juga dapat menerima perubahan ini? Akhirnya, karya seni rupa/gambar anak yang spontan dan naïf, diakui sebagai karya seni rupa yang sejajar dengan karya orang dewasa (Wilson 1997). Sesunggguhnya, pengakuan terhadap karya seni rupa anak telah ada pada tahun 1830-an seperti yang terungkap pada tulisan Rodolpgo Topffer (dalam Leeds 1989) yang menyatakan bahwa anak menggambarkan alam bukanlah sebagai representasi dari alam yang dipandang sebagai keindahan tetapi sebagai cerminan dari keinginan yang meskipun kelihatannya kasar tetapi ia lahir dari kekuatan pikiran hanya saja pengakuan Topffer yang sangat maju pada zamannya ini relatif tidak memberi pengaruh terhadap dunia pendidikan seni rupa. Ketiga faktor yang telah disebutkan di atas, secara bersama-sama melahirkan kesadaran baru di kalangan pendidik untuk mengadakan reformasi terhadap praktik pengajaran seni rupa/menggambar yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi alamiah anak, maka lahirlah pendekatan baru kemudian popular dengan nama pendekatan ekspresi bebas.
8
Kerangka Dasar Pendekatan Ekspresi Bebas Perlunya ekpspresi anak untuk disalurkan dalam kegiatan pendidikan telah banyak disuarakan oleh peneliti dan pendidik seni rupa pada akhir abad ke-19 sebagai dampak dari temuan ilmiah dan perkembangan dunia seni. Akan tetapi, Franz Cizek juga yang disebut sebagai bapak dari pendekatan ekspresi bebas dalam pendidikan seni rupa. Franz Cizek lahir pada tahun 1865 dan memasuki Vienna Academy of Fine Art pada usia 20 tahun. Sejak masih kuliah, ia telah mulai tertarik pada seni rupa anak seperti yang tercermin pada koleksinya. Ketertarikan Cizek pada seni rupa anak seperti yang tercermin pada koleksinya. Ketertarikan Cizek pada seni rupa anak erat hubungannya dengan pandangan pribadinya sebagai seniman yang mendapatkan pengaruh pandangan modernisasi yang memang mulai bangkit pada masa itu. Ia bersama kelompoknya melakukan perkembangan terhadap seni rupa yang bersifat akademik dan memperjuangkan kehadiran seni rupa no-realistis yang kreatif (Efland, tanpa tahun). Pada tahun 1897 ia berhasil mendapatkan izin untuk mendirikan lembaga pendidikan seni rupa untuk anak yang kemudian diintregrasikan pada Vienna School for Arts And Crafts (kunstgewerbeschule) pada tahun 1904. Ia mengajar di tempat ini hingga pensiun pada usia 73 (Efland 1990). Franz Cizek dipandang sebagai ”bapak” dari pendekatan ekspresi bebas berkat pandangan dan apa yang dipraktikannya di tempat ia mengajar. Ia mengatakan (dalam Macdonald 1970) bahwa “seni rupa anak adalah seni rupa yang hanya bias diciptakan oleh anak” dan “gambar anak haruslah diberi kebebasan untuk tumbuh bagaikan kembang, bebas dari gangguan orang dewasa “pernyataan Franz Cizek yang mengatkan “metode adalah racun bagi seni rupa” merupakan tonggak bagi pendekatan ekspresi bebas. Di kelas yang dibinanya, ia tidak member petunjuk kepada anak kecuali mereka memintanya. Apa yang diberikannya hanyalah simpati danpengertian untuk merangsang imajinasi anak. Cizek (dalam Efland tanpa tahun) tidak setuju bila anak meniru bentuk alam atau pergi ke museum untuk mengamati karya seniman terkemuka oleh karena menurutnya, ekspresi kreatif haruslah berasal dari dalam diri anak sendiri. Pandangan Franz Cizek tentang “kegiatan-sendiri” anak dalam berkarya seni rupa sangat berpengaruh di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun permulaan abad ke-20. Ide bahwa anak harus dibebaskan dari pengaruh orang dewasa dalam proses berkaryanya, kemudian menjadi popular dengan nama “pendekatan ekspresi bebas: atau “pendekatan ekspresi kreatif.” Dengan Pendekatan ekspresi bebas, tugas guru adalah memberikan pengalaman kepada anak yang dapat merangsang munculnya ekspresi pribadi sang anak. Cara yang ditempuh olehguru antara lain dengan memberikan beragam pengalaman atau membantu anak untuk mengingat pengalaman pribadinya yang tersembunyi. Pendekatan ekspresi bebas yang diperkenalkan oleh Cizek kemudian dikembangkan dan lebih dipopulerkan oleh dua orang tokoh pendidik seni rupa yang juga memiliki reputasi internasional yakni Voktor Lowenfeld dan Herberd Read. Amat sulit untuk meringkaskan pandangan tentang pendidikan seni rupa. Sowenfeld melalui bukunya yang terkenal The Nature of Creative Activity dan Creative and Mental Growth, pada dasarnya memusatkan
9
perhatiannya pada pertumbuhan mental dan kreatif anak dan memandang bahwa seni rupa merupakan suatu wahana yang dapat digunakan untuk memudahkan pertumbuhan tersebut. Voktor Lowenfeld sangat dipengaruhi oleh pandangan Freud yang menempatkan seni rupa sebagai wujud ekspresi dari dorongan alam bawah sadar. Seni rupa berdasarkan pandangan ini dapat dipandang sebagai indikator kesehatan jiwa dan ekspresi seni rupa yang merupakan terapi pembersihan jiwa. Bagi lowenfeld, ekspresi seni rupa yang dilaksanakan secara alamiah berdampak positif bagi perkembangan intelektual, emosional, kreativitas dan perkembangan social anak. Pendidikan seni rupamenurut lowenfeld seyogyanya menjadi ajang pemberian pengalaman yang menarik yang menyadarkan anak akan lingkungannya. Pendidikan seni rupa, sebagaimana dikatakannya hendaknya memperhatikan proses pembelajaran yang terjadi pada diri anak. Pendidik harus mengamati apayang terjadi pada anak saat ia sedang bergelut dengan media seni rupa anak adalah yang utama sedang seni rupa sendiri hanyalah suatu alat. Lowenfeld juga memandang bahwa lomba seni rupa selayaknya tidak dilakukan (Eisner 1966:12). Dilontarkannya gagasan yang menghubungkan antara seni dan kesehatan mental ini timbul oleh karena disadari bahwa melalui kegiatan berolah seni rupa, seseorang dapat menyalurkan perasaan, keprihatinan, dan kecemasannya melalui media lain. Lowenfeld (1972:8) mengatakan bahwan anak yang mengalami frustasi pada mata pelajaran lain seperti membaca, mengarang atau berhitung, dapat mengalihkan kegiatannya pada seni rupa untuk melepas frustasinya itu oleh karena pada seni rupa tidak dikenal jawaban yang benar atau salah Herberd Read terkenal dengan gagasan Education Through Art yang menekankan bahwa naluri berolah seni rupa bagi anak adalah suatu yang universal, sesuatu yang tumbuh secara alamiah pada diri anak dalam mengomunikasikan dirinya. Orang dewasa atau pendidik, tidak seyogyanya menginvestasikan hal tersebut melalui berbagai dalih seperti demi “adat-istiadat,” “persaingan kerja,” “pembentukan karakter,” atau “pendisiplin jiwa.” Menurutnya, semua itu akan secara nyata menggusur minat alamiah anak yang akan berarti merusak kebahagiaan dan kesenangan anak dalam menikamati kebebasan (Read 1978:10). Pendeknya, ekspresi-diri tak bisa diajarkan dan peranan guru hanyalah sebagai fasilitator. Implementasi Pendidikan Seni Rupa Berbasis Pendidikan Anak Usia Dini dengan Pendekatan Ekspresi Bebas Pendekatan ekspresi bebas secara murni diimplementasikan oleh pendidik seni rupa yang dalam merancang kegiatan pembelajarannya menggunakan model Emerging Curriculum, yakni kegiatan pembelajaran yang tidak dirancang sebelumnya tetapi berkembang sesuai keinginan anak. Dengan cara ini, guru menanyakan kepada anak kegiatan apa yang ingin dilakukannya dan kemudian menyiapkan segala sesuatunya untuk memberi kemudahan bagi anak dalam melaksanakan kegiatan itu. Ada kemungkinan, oleh karena satu dan lain hal anak tiba-tiba berubah pikiran, maka guru pun harus segera menyesuaikan diri dengan keinginan sang anak. Implementasi pendekatan ekspresi bebas semacam ini tentu saja cocok
10
dilakukan di sanggar seni yang bersifat non-formal. Untuk sekolah formal yang memiliki kurikulum serta jadwal yang ketat akan sulit untuk dilakukan. Karena menyadari sulitnya menerapkan pendekatan ekspresi bebas secara murni di sekolah, maka pendidik seni rupa mengembangkan pendekatan ekspresi bebas yang bersifat “terarah.” Dengan pendekatan yang terarah ini, guru melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan jadwal yang ditetapkan tetapi dengan siasat tertentu agar supaya anak dapat mengekspresikan dirinya sesuai dengan apa yang diharapkan. Siasat tersebut berupa kegiatan “pemanasan” untuk merangsang dan memberikan motif berekspresi kepada anak. Kegiatan pemanasan atau biasa pula disebut pemberian motivasi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: (1) berceritera atau berdialog dengan anak untuk membangkitkan perhatian dan merangsang lahirnya motif yang dapat dijadikan dasar dalam berkarya. Tema ceritera atau dialog tertentu saja yang menyentuh kehidupan anak. Ceritera atau dialog akan menarik bila yang menyentuh kehidupan anak. Ceritera atau dialog akan menarik bila guru memperhatikan foro, gambar, atau film; (2) memberikan anak pengalaman kontak langsung dengan alam secara sadar, misalnya dengan mengajak anak untuk mencermati keadaan sekelilingnya yagng mungkin selama ini diabaikan seperti detail bunga-bungaan yang tumbuh di sekeliling sekolah, kawat listrik dan telepon yang simpang-siur, pejalan kaki serta kendaraaan yang lalu-lalang. Untuk mengarahkan perhatian anak, guru dapat mengajukan pertanyaaan seperti: “berapa meter tinggi tiang listrik?” “bagaimana sikap pejalan kaki yang akan menyeberang jalan? atau “berapa centimeter diameter kembang matahari yang ada di halaman sekolah?” (3) mendemonstrasikan proses penciptaan karya seni rupa yang akan diajarkan. Pemberian motivasi kepada murid dapat dilaksanaka dalam waktu yang singkat (kurang dari 5 menit), tetapi dapat pula dilaksanakan dalam waktu 10-15 menit. Pembangkitan motivasi dalam bentuk kontak langsung dengan alam memerlukan waktu yang relatif lama. Namun, kegiatan ini dapat dirangkaikan dengan kegiatanlain (misalnya darmawisata) sehingga tidak perlu mengambil waktu yang tersedia untuk praktik di kelas. Pada saat menjelang praktik, guru tinggal memancing ingatan anak tentang apa yang telah diamatinya untuk membangkitkan motivasinya. Setelah anak termotivasi, maka anak pun diminta untuk mengekspresikan dirinya secara bebas. Peran guru pada saat berlangsungya ekspresi terebut adalah mendampingi anak untuk memberikan bantuan dan pujilah bila diperlukan. Dalam kaitannya dengan penilaian karya anak, maka tentu saja guru harus kembali ke filosofi pendekatan ekspresi bebas yakni “ ekspresi anak bersifat unik dan alamiah dan tidak ada istilah benar dan salah dalam mengekspresikan dirinya melalui seni rupa”. Penilaian yang diberikan bersifat apresiatif, yakni bersifat menerima dan menghargai apa yang diungkapkan atau diciptakan oleh anak dengan menunjukkan kemungkinan peningkatan kualitas dari karya yang diciptakannya.
Penutup Kelancaran maupun hambatan kegiatan pendidikan seni rupa anak sangat bergantung dari kuat lemahnya motor penggerak/ motivasi dari anak. Tanggapan jiwa anak (motivasi) pada anak akan menentukan
11
produktivitas dalam mengembangkan seni dalam dirinya. Untuk itu, sebagai orang dewasa yang berada di tengah-tengah kehidupan anak-anak seyogyanya peduli akan dunia anak dalam mengembangkan bakat dan minat seni rupa anak. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seni rupa dengan pendekatan ekspresi bebas. Artinya dengan memberikan kebebasan berekspresi kepada anak untuk mengaktualisasikan ide atau perasaannya melalui aktivitas seni rupa. Pendidikan seni rupa anak diharapkan dapat mengembangkan daya kesadaran, kepekaan, estetik (apresiasi), daya cipta (kreativitas) dan memberikan kesempatan kepada subjek untuk berkreasi seni (Sutopo 1999:5). Dalam rangka membentuk manusia ideal, pendidikan seni rupa ini juga diharapkan anak terampil, sadar budaya, peka rasa (dan menjadi bagian penting dari pendidikan seni di sekolah umum) serta kreatif.
Daftar Pustaka
Depdiknas. 2003. Undang-Undang Sisdiknas. Jakarta: Depdiknas. Efland, A. D. 1990. History of Art Education. New York/London: Teachers College. Eisner, E. W. and David W. Ecker. 1996. Reading in Art Education. London: Blaisdel. Garha, O. dan Martindo D. Bongsoe. 1975. Penuntun Pendidikan Seni Rupa untuk SD. BAndung: PT Pelita Masa. Graha, O. “Mata Pelajaran Menggambar dan Pelaksanaannya di Sekolah Dasar”, Makalah Nasional Konsep dan Implementasi Pendidikan, dalam rangka Lustrum VI IKIP Semarang. Semarang, 7 April 1995. Graha, O. 1987. Memahami Dunia Kesenirupaan Anak-Anak. Bandung : Bina Cipta. Jalal, F. dan Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adecitra Karya Nusa. Jalal, F. 2002. Pentingnya Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Membangun Masa Depan Bangsa Yang Berkualitas. Makalah dalam Seminar Membangun Masa Depan Jawa Barat melalui Peningkatan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini di UPI, 16 oktober 2002. Leed, J. A. 1986. “Teaching ang The Reasons for Making Art”. Art Education. 39 (4) (hal. 17-21). Logan, F. M. 1955. Growht of Art in American Schools. New York: Harper & Brothers. Lowenfeld, V. dan W. Lambert Brittain. 1982. Creative and Mental Growth. New York: Macmillan. Macdonald, S. 1970. The History and Philoshophy of Art Education. New York: American Elsevier. Muharam. 1991. Pendidikan Kesenian II Seni Rupa. Jakarta: Dirjen Dikti LPTK. Munandar, S.C. Utami. 1987. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta : Depdikbud. Read, H. 1974. Educational Throught Art. New York: Mayflower Book. Salam, S. 2005. Paradigma dan Masalah Pendidikan Seni. Semarang: PPs, UNNES. Soeparwoto. 2004. Psikologi Perkembangan. Semarang: UPT MKK UNNES.
12
Sutopo. 1996. Peranan Pendidikan Seni Masa Kini. Semarang. Wilson, R. A. (1996). Starting Earky: Environment Educational During the Early Childhood Years. ERIC Diges. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/database/ ERIC-digests/ed402147.html (25 April 2003)
13