PENDIDIKAN KARAKTER DAN KAITANNYA DENGAN KESANTUNAN BERBAHASA Dyah Rohma Wati Akper 17 Karanganyar, Surakarta
[email protected] Abstrak Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berkenaan dengan fungsi pendidikan nasional tersebut, pendidikan tidak hanya mencetak generasi yang cerdas secara intelektual tetapi juga berakhlak mulia. Penanaman pendidikan karakter menjadi dasar untuk mewujudkan cita-cita tesebut. Bahasa merupakan alat untuk komunikasi dan interaksi. Dengan menggunakan bahasa, keharmonisan dapat tercipta. Keharmonisan tercipta karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang santun. Nilai-nilai pada pendidikan karakter menuntut pada keterlibatan aspek kesantunan berbahasa untuk diaplikasikan. Sehingga, prinsip dalam kesantunan berbahasa menjadi bagian dari aplikasi nilai-nilai dalam pendidikan karakter. Kata kunci: kesantunan berbahasa, pendidikan karakter, nilai-nilai, pendidikan karakter PENDAHULUAN Pendidikan karakter merupakan pilar utama sebuah bangsa selain dari pendidikan agama. Apabila merunut secara historis, istilah pendidikan karakter sebenarnya telah lama digunakan, yaitu dengan istilah pendidikan budi pekerti dan pendidikan moral Pancasila. Tujuan umum dari pendidikan sebenarnya tidak hanya membentuk manusia yang cerdas secara intelektual, tetapi juga untuk membentuk manusia yang berkarakter dan berakhlak mulia. Adanya fenomena yang muncul akhirakhir ini, seperti kasus korupsi dan suap oleh para wakil rakyat, mengetuk hati kita bahwa sebenarnya penanaman karakter sangat penting selain dari kemampuan intelektual yang perlu dimiliki. Dunia pendidikan merupakan media yang strategis dalam aplikasi pendidikan karakter. Peran pendidik (guru, dosen) dalam aplikasi pendidikan karakter ini memegang peranan yang sangat besar, karena mereka berperan sebagai , direktor, manajer, fasilitator, dan sebagai sumber belajar (Brown 1994) . Akan tetapi ironis, karena terkadang ditemui di lapangan bahwa terdapat para pendidik kurang mencerminkan bahwa dirinya mempunyai karakter yang santun. Hal ini tampak dari cara penyampaian atau kritikannya pada kinerja peserta didik. Fakta di atas membuka cakrawala kita bahwa faktor bahasa khususnya kesantunan berbahasa mempunyai andil dalam pendidikan karakter. Kesantunan berbahasa menurut Tarigan (2009:41) adalah menghormati atau menjalankan prinsip-prinsip sopan-santun. Brown dan Levinson(1987) memfokuskan
436
teori kesantunan pada konsep muka(face). Muka di dalam pengertian kiasan ini dikatakan terdiri dari dua wujud , yaitu muka positif dan muka negatif. Prinsip-prinsip tentang kesantunan juga dikemukakan oleh Leech (1983) yang terdiri dari (a) maksim kebijaksanaan (tact maxim),(b) maksim kedermawanan (generosity maxim), (c) maksim penghargaan (approbation maxim), (d) maksim kesederhanaan (modesty maxim), dan (e) maksim kemufakatan (agreement maxim). Dalam artikel ini, penulis ingin memaparkan kaitan antara kesantunan dalam berbahasa yang dalam artikel ini dijabarkan menurut prinsip yang digunakan Leech. PEMBAHASAN Hakikat Pendidikan Karakter Upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang diamanatkan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), sesungguhnya sudah tertuang dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional – UUSPN dalam Balitbang Kemdiknas, 2011). Dengan demikian, RPJPN dan UUSPN merupakan landasan yang kokoh untuk melaksanakan secara operasional pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai prioritas program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010): pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan seluruh warga sekolah untuk memberikan keputusan baik-buruk, keteladanan, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Atas dasar apa yang telah diungkapkan di atas, pendidikan karakter bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik ( Balitbang Kemdiknas, 2011) Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Untuk lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter, telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dalam Balitbang Kemdiknas, 2011)
437
Zuhdi dalam Rohali (2011:76) merumuskan 16 nilai dasar yang perlu dikembangkan dalam pendidikan karakter yaitu (1) taat beribadah, (2) jujur, (3) bertanggung jawab, (4) disiplin, (5) memiliki etos kerja, (6) mandiri, (7) sinergis, (8) kritis,(9) kreatif dan inovatif, (10) visioner, (11)kasih sayang dan peduli, (12) ikhlas, (13) adil, (14) sederhana, (15) nasionalisme, (16) internasionalisme. Selaras dengan pendapat di atas, Gufron dalam Rohali (2011: 76) menyatakan bahwa secara umum, karakter yang baik itu dapat dirumuskan menjadi 12 pilar utama yaitu (1) kedamaian (peace), (2) menghargai (respect),(3) kerjasama (cooperation), (4) kebebasan (freedom), (5) kebahagiaan (happinnes), (6)kejujuran (honesty), (7) kerendahan hati (humility), (8) kasih sayang (love), (9) tanggung jawab (responsibility), (10) kesederhanaan (simplicty), (11) toleransi (tolerance) dan (12) persatuan (unity). Kesantunan Berbahasa Kesantunan berbahasa menurut Tarigan(2009: 41) adalah menghormati atau menjalankan prinsip-prinsip sopan-santun. Robin Lakoff (dalam Rahardi, 2009:27) menyatakan bahwa melihat kesantunan tuturan juga dapat dicermati dari tiga hal, yakni sisi keformalannya, ketidaktegasannya, dan peringkat kesejajaran atau kesekawanannya. Selain itu, kesantunan sebuah tuturan juga dapat diukur dengan mempertimbangkan jauh dekatnya jarak sosial, jauh dekatnya peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur, dan tinggi rendahnya peringkat tindak tutur (Brown dan Levinson dalam Rahardi, 2009: 27). Teori kesantunan berbahasa juga dikaitkan dengan nosi muka (face). Semua orang yang rasional memiliki muka (dalam arti kiasan) dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Menurut mereka nosi muka itu dapat dibedakan menjadi muka negatif(negative face) dan muka positif (positive face). Pada wajah negatif (negative face) , penutur dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial, mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sedangkan muka positif (positive face) berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara penutur dan mitra tutur, mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau dimilikinya itu) diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya. Prinsip Kesantunan Berbahasa Leech (1983) 1.Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) Maksim ini menerapkan dua prinsip yaitu a) minimize cost to other dan b) maximise benefit to other. Dengan kata lain, maksim ini menuntut para penutur untuk meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Sebagai contoh, perhatikan tuturan berikut. Ibu Kos : « Bulan depan saja bayarnya kalo kamu belum punya uang. Kamu pakai saja uangmu dulu untuk bayar kuliah » Anak Kos: « Aduh, maaf bu, saya jadi merepotkan » 2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) Maksim ini mensyaratkan dua prinsip yaitu a) minimize benefit to self, dan b) maximise cost to self. Dengan kata lain, agar maksim ini dapat dilaksanakan, maka setiap peserta tutur harus meminimalkan keuntungan diri sendiri dan memperbesar kerugian pada diri
438
sendiri. Dalam hukum ekonomi, hal ini bertentangan, tetapi dalam prinsip sopan santun, hal ini menjadi kewajiban. Contoh penggunaan maksim ini sebagai berikut. Mahasiswa : « Boleh saya bawakan tas Ibu ? » Dosen : « Tidak usah, terima kasih,bisa saya bawa sendiri kok » 3. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim) Maksim penghargaan mensyaratkan dua prinsip utama yaitu a) minimize dispraise of other dan b) maximize praise of other. Penerapan maksim ini mewajibkan para penuturnya untuk meminimalkan hinaan pada orang lain dan memaksimalkan penghargaan pada orang lain. Istri : “Bagaimana Yah, sayur lodehnya, maaf baru belajar masak” Suami : ”Wah enak kok ma, agak asin sedikit, tapi enak”. 4. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim) Maksim kesederhaan menuntut penutur dan mitra tutur untuk a) minimize praise of self dan b) maximize dispraise of self, yaitu meminimalkan penghargaan pada diri sendiri, dan memaksimalkan penghargaan pada orang lain. Maksim ini mengajarkan pada kita untuk bersikap dan berbicara secara sederhana, tidak menonjolkan ego, dan tidak merasa ”gumedhe”. Sebagai contoh, perhatikan tuturan berikut. Karyawan: « Selamat atas terpilihnya Bapak sebagai Dekan » Dekan : « Terima kasih, tetapi saya tidak akan dapat bekerja tanpa bantuan semua pihak di kampus ini ». 5. Maksim Pemufakatan (Agreement Maxim) Maksim kemufakatan mengharuskan dua prinsip sebagai berikut a) minimize disagreement between self and other dan b) maximize agreement between self and other. Penutur dan mitra tutur pada maksim ini harus meminimalkan ketidakcocokan antara penutur dan mitra tutur, dan memaksimalkan kecocokan antar mereka. Ketidak cocokan merupakan salah satu fitrah manusia, tetapi jika ketidak cocokan itu disampaikan dengan bahasa yang tidak sopan, maka dapat menimbulkan salah faham dan pertikaian. Perhatikan contoh berikut. sidang ». Perhatikan tuturan berikut. Santi : « Soto Lamongan di jalan Sumatra enak, ya!. » Sinta : « Iya, benar sekali. Saya suka makan Soto di sana. » 6. Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim) Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian mengharuskan penutur untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada mitra tuturnya. Bersimpati berarti ikut merasakan secara tidak langsung atas kesedihan dan mala petaka yang dialami oleh orang lain. Contoh berikut menunjukkan penggunaan maksim kesimpatisan. Adi: « Kenapa menangis ? » Ida: « Kakeku meninggal » Adi: « Innalillahi…, kita iklas saja, yang penting doakan agar semua amal baik kakek diterima Allah » Kesantunan Berbahasa dan Pendidikan Karakter Bahasa digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Dengan bahasa manusia juga dapat bertukar informasi, saling bertanya, saling menghargai, dan saling menyapa. Kita sering mendengar sebuah peribahasa “ bahasa menunjukkan
439
bangsa” dalam peribahasa ini tersirat makna bahwa bahasa atau tuturan menunjukkan tabia’at atau baik buruknya seseorang. Bahasa yang diungkapkan seseorang seyogyanya merupakan ungkapan bahasa yang santun. Banyak fenomena yang timbul dimasyarakat timbul karena permasalahan bahasa yang kurang santun atau bentuk tuturan yang menyinggung. Singkat kata, ketidaksantunan bahasa dapat memicu perpecahan, pertengkaran maupun ketidakharmonisan dalam interaksi dengan sesama. Kesantunan berbahasa menurut Tarigan (2009: 41) adalah menghormati atau menjalankan prinsip-prinsip sopan-santun. Ada beberapa prinsip yang berkaitan dengan Kesantunan berbahasa ini: Pertama, prinsip muka (face). Dalam prinsip muka terbagi dalam positive face , yang berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara penutur dan mitra tutur dan negative face , dimana penutur dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial.. Kedua, prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech (1983), prinsipprinsip ini terdiri dari (a) maksim kebijaksanaan (tact maxim),(b) maksim kedermawanan (generosity maxim), (c) maksim penghargaan (approbation maxim), (d) maksim kesederhanaan (modesty maxim), dan (e) maksim kemufakatan (agreement maxim). Diantara 18 nilai-nilai dalam pendidikan karakter ada beberapa poin yang dapat dikaitkan dengan kesantunan berbahasa diantaranya: menghargai prestasi, bersahabat, peduli lingkungan, dan peduli sosial. Kesantunan dalam berbahasa dapat terintegrasi dalam sub-nilai dalam pendidikan karakter tersebut. Secara metodologi Samuel Smiles (dalam Pantu. A dan Luneto. B : 161) mengatakan ... Tanamlah pikiran maka kita akan memetik tindakan,tanamlah tindakan maka kita akan memetik kebiasaan, dan tanamlah kebiasaan maka kita akan memetik karakter, dan tanamlah karakter makakita akan memetik nasib (destiny). Berkenaan dengan Metode Samuel Smiles tersebut, sebagai seorang pembelajar (siswa, mahasiswa) maupun pengajar (guru dosen) hendaknya selalu mengaplikasikan kesantunan berbahasa dalam interaksi atau komunikasi, karena kesantunan berbahasa akan membentuk menjadi pribadi yang santun dan berkarakter. SIMPULAN Penerapan prinsip-prinsip kesantunan dalam tindak komunikasi sehari-hari dapat mencegah timbulnya friksi-friksi dan gejolak sosial di masyarakat, yang pada akhirnya dapat menciptakan keharmonisan kehidupan berkeluarga, berteman, dan bermasyarakat. Tekanan karakter kesantunan ini tidak hanya pada pembelajar (mahasiswa, murid), tetapi juga pada tataran pengajar (dosen, guru), dan semua pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran. Kesantunan dalam berbahasa hendaknya bisa tumbuh menjadi kebiasaan yang akhirnya tumbuh menjadi karakter pribadi sebagai pijakan untuk menumbuhkan nilainilai pendidikan karakter. DAFTAR PUSTAKA Brown, Douglas H., 1994. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy.California: Longman. Leech ,Geoffrey N . 1983 . Principles of Pragmatics. London: Longman. Pantu A & Luneto B. 2014. Pendidikan Karakter Dan Bahasa. Sulawesi Utara: Institut Agama Islam Sultan Amai Gorontalo. Al-Ulum. Volume. 14
440
Nomor 1. Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik.Yogyakarta: Erlangga Rohali. 2011. Kesantunan Berbahasa Sebagai Pilar Pendidikan Karakter: Perspektif Sosiopragmatik. FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun I, Nomor 1, Oktober 2011 Tarigan, Hendri Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Tim Penyusun. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan http://www.academia.edu/5578937/Kesantunan_Dalam_Berbahasa
441