Lukman, SS., Pendidikan Islam Dalam Perspektif Tasawuf
83
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF TASAWUF ABU HAMID AL-GHAZALI
Lukman SS Abstract : Islamic Education was initiated by al-Ghazali in general tends to emphasize the values hereafter (afterlife) of the worldly values, with the intention of straightening the road and all the learning activities geared to achievingcloseness to God which culminated to the introduction of (ma'rifah) Allah. Learners and educators put character (adab) in berintraksi and communicating, so that knowledge gained is not wasted in vain. Of education is not merelyemphasize the cognitive aspects (understanding), but also the affective and psychomotor aspects (appreciation and practice). Science and charity as a wholethat can not be separated, as in pelaksanakan unity between faith and good deeds. While the goal of Islamic education oriented to the achievement of God's guidance. For Islamic educational material, no material fard 'ain and shall kifaya, the matter shall ain is a way to know God with all the rule, while the material isrequired to maintain kifayah live in peace (social context). Kata kunci: Pendidikan Islam, penghayatan pengamalan, tasawuf AlGhazali. A. PENDAHULUAN Imam al-ghazali adalah ulama besar ahli syari’at penganut mazhab syafi’i dalam hukum fiqih, dan seorang teolog sefaham mazhab Asy’ari yang amat kritis. Beliau seorang pemikir, mistikus, fundamentalis, kompromis, sekaligus pendidik besar di dunia Islam.
Sesudah memasuki usia lanjut
mulai meragukan dalil akal yang menjadi tiang tegaknya mashab Asy’ariah di samping dalil wahyu. Sesudah mengalami keraguan terhadap kemampuan akal baik dalam filsafat ataupun penggunaannya dalam ilmu kalam, akhirnya justru mendapat kepuasan kepada penghayatan kejiwaan dalam sufisme, yakni mempercayai kemutlakan dalil kasyfi (suatu dalil yang diperoleh melalui anugerah langsung dari Allah, ilmu laduni, yang tidak diperoleh melalui ta’limiyah). Untuk memperoleh pemahaman dan penghayatan keagamaan yang mendalam, selain harus memahami aspek eksoterik (lahir), terutama pengusaan terhadap syariat, seseorang
harus melalui orientasi esoterik
83
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
84
(bathiniah), terhadap konsep-konsep agama sesuai dengan rumusan syariat. Pendekatan esoterik (bathiniah) perlu dilakukan sepanjang tidak keluar dari prinsip-prinsip syariat. Pola pikir al-Ghazali ini dapat ditelusuri dalam karya monumentalnya “Ihya Ulumuddin”. Keempat jilid itu merupakan isyarat akan adanya proses gradual tadi, karena jilid pertama dan kedua merupakan pembahasan yang bersifat syari’at, dan selanjutnya meningkat ke arah pendekatan esoterik, sesuai dengan perkembangan pemikirannya dalam pencarian kebenaran. Landasan pikir yang dikembangkannya adalah apa yang dikenal dengan istilah syari’at, thariqat, dan hakekat yang terpadu secara utuh. Oleh karena itu penghayatan keagamaan itu bersifat gradual dan komulatif antara syari’at dan sufisme. Sebelum memasuki dunia tasawuf, harus terlebih dahulu memahami syari’at, tetapi untuk dapat memahami syariat secara benar dan mendalam, harus melalui proses thariqat. Thariqat merupakan sistem esoteris yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi, yaitu hakikat. Karena itu pendidikan yang digalakkan agar mampu memenuhi unsur jasmani dan rohani. Karena itu lewat pendidikan manusia diarahkan untuk menjadi ahli ibadah (abid), serta mampu mengemban tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Pendidikan belakangan ini terasa
kurang mengarah kepada
pembentukan insan kamil, terutama manusia yang mampu menjadi khalifah Allah (wakil Tuhan di bumi), yakni manusia sempurna yang mampu berkomunikasi aktif, baik dengan Tuhan sebagai pencipta maupun makhluk lain sebagai penciptaan-Nya. Oleh karena itu pendidikan dapat dikatakan berhasil jika mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan, yaitu mampu menyempurnakan manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Lukman, SS., Pendidikan Islam Dalam Perspektif Tasawuf
85
B. PEMBAHASAN 1. Pendidikan Tasawuf Dewasa
ini
pendidikan
keseimbangan/kesinergian
masih
kurang
memperhatikan
aspek
antara aspek spiritual dengan intelektual, antara
kebenaran dengan kegunaan dalam diri manusia itu sendiri. pendidikan masih banyak menghasilkan
Sehingga
insan/manusia yang berkarakter
individualis, materialis, dan prakmatis, yang akibatnya kurang peka dengan kondisi dan situasi sosial yang terjadi di masyarakat. Kebutuhan pendidikan intelektual sudah tercapai pada anak didik, namun masih terjadi pendangkalan dalam masalah spiritual. Dengan kata lain aspek eksoterik (lahiriyah) terpenuhi, tetapi aspek esoterik (bathiniah) belum terpenuhi. Pendidikan perlu berorientasi kepada pemenuhan dua aspek; yaitu aspek jasmani dan rohani. Orientasi tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh al-Ghazali didasarkan tentang keadaan diri manusia itu sendiri, yaitu manusia terdiri dari dua unsur: jasad dan ruh atau jiwa. Keduanya mampunyai sifat yang berbeda tetapi saling mengikat. Jasad tidak akan dapat bergerak tanpa ruh atau jiwa, begitu juga jiwa atau ruh tidak akan mampu bertindak tanpa melalui jasad. Itulah sebabnya pendidikan tidak hanya menekankan pada aspek kognitif (pemahaman) saja, tetapi juga memperhatikan secara serius dari segi afektif dan psikomotorik (penghayatan dan perilaku). Oleh karenanya tujuan pendidikan itu untuk mendorong kehendak manusia supaya membentuk hidup suci. Menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan, mendorong kehendak untuk berbuat baik, membina sikap kritis rasional terhadap norma yang sedang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Pendidikan
tasawuf
yang
diajarkan
oleh
al-Ghazali
mampu
menggairahkan/menggugah masyarakat untuk mempelajari dan mengamalkan ilmu-ilmu agama dengan penuh ketekunan. Tasawuf yang diajarkan oleh alGhazali ini mampu mengkompromikan antara syariat dan hakikat, sehingga mampu memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’i dan terlebihlebih kalangan para sufi.
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
86
Diantara unsur positif dari pendidikan tasawuf adalah dukungan untuk menghidupkan dan memantapkan keyakinan agama, serta menyuburkan kegairahan dalam ketekunan pengamalan agama. Pendidikan tasawuf dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritual Islam) serta sarana menghidupkan/memantapkan iman. Sehingga ajaran tasawuf itu mampu meningkatkan kepercayaan dan menimbulkan kenyakinan yang mantap serta tak tergoyahkan. Kemantapan kenyakinan agama ini tentu menghidupkan rasa yang amat agamis yang mendorong ketekunan beribadah dan pengamalan agama serta menjadi sarana pembinaan akhlak keagamaan yang amat indah. Oleh karena itu pendidikan tasawuf mampu mengkanter pendangkalan spiritual dan rasa agama, yang dapat berakibat munculnya
faham serba formalisme dan kejatuhan moral. Hanya saja
berkenaan dengan urutan pembelajarannya bahwa sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan akidah terlebih dahulu, bahkan harus menjalankan syari’at secara tekun dan sempurna. Al-ghazali membagi kehidupan itu menjadi tiga bagian: yakni pertama, sesuatu yang dapat mengantarkan kebahagiaan akhirat dan buahnya dapat dinikmati di sana, yaitu ilmu dan amal; kedua hal-hal yang bersifat duniawi dan tak ada buah sama sekali di akhirat, yaitu bersenang-senang dengan nikmat secara berlebih-lebihan, bahkan bisa menumbuhkan kemaksiatan; dan ketiga pemakaian hal-hal yang mubah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup secara wajar untuk mencapai tujuan pertama, yaitu tercapainya ilmu dan terwujudkanya amal. Pembagian di atas,
dipahami bahwa
ilmu dan amal yang dapat
membawa manusia mencapai keselamatan. Ilmu merupakan jalan atau pintu untuk beramal. Seorang yang beramal tanpa ilmu maka amalannya ditolak, sedangkan orang yang berilmu tetapi tidak diamalkan maka ia berdosa. Ilmu dan amal merupakan kunci untuk memperoleh kesuksesan hidup manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Ilmu syariat (agama) harus dipelajari dan
diamalkan pada setiap orang yang ingin membelajari tarikat dan hakekat. Untuk
Lukman, SS., Pendidikan Islam Dalam Perspektif Tasawuf
87
mencapai ma’rifat diperlukan urutan pelaksanaan yang secara sistematis, yaitu: syari’at, tarikat, hakekat dan puncaknya ma’rifat. 2. Pendidikan Islam Pada umunya kata pendidikan dibedakan dengan kata pengajaran, yaitu ta’dib (pendidikan), dan tarbiyah atau ta’lim (pengajaran). ta’dib biasanya mengarah pada pendidikan dalam arti pembentukan akhlak. Sehingga pendidikan penekannya pada aspek nilai, sedangkan pengajaran pada aspek intelek. Istilah-istilah yang pengertiannya terkait dengan pendidikan, yaitu rabba, allama, dan addaba. Misalnya: (1) kata rabba واﺣﻔﺾ ﻟﮭﻤﺎ ﺟﻨﺎح اﻟﺬل ﻣﻦ اﻟﺮﺣﻤﺔ وﻗﻞ رب ارﺣﻤﮭﻤﺎ ﻛﻤﺎ رﺑﯿﺎﻧﻲ ﺻﻐﯿﺮا Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku kasihanilah keduanya sebagaimana mereka telah mendidikku sejak kecil” (2) kata ‘allama
ﻋﻠﻢ اﻻﻧﺴﺎن ﻣﻠﻢ ﯾﻌﻠﻢDia yang
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (3) addaba (ادﺑﻮا اوﻻدﻛﻢ ﻋﻼ ﺛﻼﺛﺔ ﺣﺼﺎل ﺣﺐ ﻧﺒﯿﻜﻢ وﺣﺐ اھﻞ ﺑﯿﺘﮫ وﻗﺮاءة اﻟﻘﺮان )اﻟﺤﺪﯾﺚ رواه اﻟﺪ ﯾﻼﻣﻰ Didiklah anak-anakmu atas tiga perkara: mencintai nabimu, mencintai ahli keluarganya, dan membaca Al-Qur’an (Hadits Riwayat ad-Dailamy). Kata rabba yang masdarnya tarbiyyatan memiliki beberapa arti: mengasuh, mendidik, memelihara. ‘allama yang masdarnya ta’liman berarti mengajar yang lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. Kata addaba yang masdarnya ta’diban mendidik,
dalam arti sempit mendidik budi pekerti dan secara lebih luas
meningkatkan peradaban. Di dalam Islam tidak dibedakan antara keduanya, baik ta’dib maupun ta’lim tidak hanya menekankan teori mengesampingkan praktik, atau sebaliknya, menekankan praktik mengabaikan teori, tidak hanya menekankan ilmu mengabaikan amal, atau sebaliknya, menekankan amal mengabaikan ilmu. Keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam al-Qur’an dikenal dengan istilah iman dan amal shalih.
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
88
Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak terorganisasikan selain terorganisasinya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikannya kepada Allah bagi orang yang mau membuatnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi. Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa manusia mempunyai dua tujuan hidup. Pertama sebagai perantara yang harus tercapai di dunia. Kedua, sebagai tujuan akhir yang akan dicapai diakhirat nanti. Tujuan yang akan dicapai di dunia berupa kesenangan-kesenangan duniawi seperti wanita, anak-anak, harta, sarana transportasi, hewan, sawah ladang, dan lainlain. Kebahagiaan di sini sangat relatif, tidak ada batasan yang jelas, terutama tentang bagaimana dan kapan seseorang mencapai dan merasa puas terhadap yang dipandangnya sebagai sesuatu nikmat. Al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia untuk beramal – sebagai rasa syukur – harus melalui tiga tahapan: pengetahuan (ilmu), keadaan tertentu di dalam pribadi (hal) dan amal (tindakan).
Bahkan al-Ghazali mengatakan manusia tidak akan mencapai
tujuan hidupnya kecuali melalui ilmu dan amal. Dan tidak akan dapat beramal kecuali dengan mengetahui cara pelaksanaan amal, dengan demikian pangkal kebahagiaan dunia dan akhirat, sebagai tujuan hidup, adalah ilmu. Al-Ghazali berusaha mengembalikan akidah kepada akidah umat yang dianut dan diajarkan oleh nabi Muhammad Saw., umat Islam harus mengetahui Islam dari sumber yang asli, dan melarang untuk taklid buta, karena akan mengakibatkan kelemahan, keterbelakangan, keawaman, kebodohan. Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pendidikan Islam berorientasi pada teori dan praktik, ilmu dan amal, iman dan amal shaleh. Ilmu perlu dipraktikkan/diamalkan, sebaliknya mengamalkan agama perlu berdasarkan ilmu atau syariat agama Islam, sebagaimana yang telah diajarkan dalam alQur;an dan hadits. Sebagaimana pendidikan tasawuf al-ghazali sebagai ciri dari tasawuf sunni, yaitu memagari pengamalan kasyfinya pada al-Qur’an dan assunnah Rasul. Iman perlu diwujudkan dalam perilaku/tingkah laku sehari-hari
Lukman, SS., Pendidikan Islam Dalam Perspektif Tasawuf
89
dalam bentuk amal shaleh (akhlak yang mulia), karena pada hakekatnya akhlak yang baik merupakan implementasi atau perwujudan dari dari iman. Amal shaleh tanpa dilandasi oleh iman, yang merupakan esensi dari akidah Islamiyah, maka perbuatan baik itu tak ubahnya sebagai perilaku kemanusiaan belaka. 3. Pendidikan Islam Dalam Perspektif al-Ghazali Karakteristik tasawuf secara umum, terlihat ada tiga sasaran “antara” dari tasawuf, pertama, tasawuf yang bertujuan untuk aspek moral, meliputi: mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Dengan kata lain tasawuf dilakukan sebagai upaya untuk memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran Islam. Kedua tasawuf yang bertujuan untuk ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyf al hijab. Ketiga tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistik folosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, dan apa arti dekat dengan Tuhan. Dalam memperhatikan
penyelenggaraan pembentukan
pendidikan
kesempurnaan
al-Ghazali
manusia,
sangat
sehingga
tidak
mengutamakan intelektual saja dengan mengesampingkan aspek moral, pendidikan yang dilaksanakan mempunyai dua sisi aspek jasmani dan rohani. Adapun unsur - unsur pembentuk pendidikan dari al-Ghazali dapat dilihat dalam pernyataan berikut ini: “Sesungguhnya hasil ilmu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi.
Ilmu yang berkembang melalui
pengajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang”. Kata hasil di atas itu menunjukkan adanya proses, sedangkan kata mendekatkan diri pada Allah adalah merupakan tujuan, dan ilmu menujukkan alat/instrument untuk mencapai tujuan.
Sedangkan pengajaran merupakan
keterangan dari ilmu, yaitu disampaikan melalui pengajaran.
sehingga
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
90
pendidikan atau pengajaran merupakan alat/jalan untuk menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia, dan menanamkan nilai kemanusiaan. Seseorang yang ingin memperoleh derajat, pangkat, dan segala macam kemuliaan lainnya manakala mereka benar-benar mempunyai motivasi hendak meningkatkan kualitas dirinya melalui ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itu untuk diamalkan. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat,
menuju
pendekatan dari kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna (insan kamil).
Oleh karena itu
pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah
kepada pendekatan diri kepada Allah dan mencapai kesempurnaan insan, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidup yang sempurna baik di dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakekat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya: pertama, tujuan dan tugas hidup manusia. Manusia hidup bukan karena kebetulan dan sia-sia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu.
Tujuan diciptakan manusia
sesungguhnya itu untuk mengabdi kepada Allah Swt., indikasi tugasnya berupa ibadah (sebagai ‘abd Allah) dan tugas sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalifah Allah); kedua, memperhatikan sifat-sifat dasar (nature), manusia, yaitu konsep tentang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai beberapa potensi bawaan, seperti fitrah, bakat, minat, sifat dan karakter, yang berkecenderungan pada al-hanif (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam sebatas kemampuan, kapasitas, dan ukuran yang ada; Ketiga tuntutan masyarakat. Tuntutan ini baik berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan zaman (dunia modern); keempat, dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam, dimensi ini mengandung nilai yang dapat mementingkan kesejahteraan hidup
Lukman, SS., Pendidikan Islam Dalam Perspektif Tasawuf
91
manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan menurut al-Ghazali meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang ialah mendekatkan diri kepada Allah. Pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada Tuhan Pencipta alam. Tujuan jangka pendek ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai itu manusia harus mengembangkan ilmu pengetahuan, baik termasuk dalam fardu ‘ain maupun fardhu kifayat. Manusia selain
melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, untuk
mendekatkan diri kepada Allah, juga harus senantiasa mengkaji ilmu-ilmu fadhu ain, ilmu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas akhirat dengan baik, terdiri dari ilmu tauhid, ilmu syari’at dan ilmu sirri. Sedangkan ilmu yang berkaitan dengan keduniaan termasuk ilmu fadlu kifayah, tidak setiap manusia dituntut untuk memiliki semua jenis yang ada, tetapi cukup dikembangkan melalui orang-orang tertentu yang telah memiliki kemampuan dan keterampilan khusus, seperti: ilmu kedokteran dan aritmatik. Berkaitan dengan ilmu yang berkaitan dengan tugas-tugas di akhirat serta berhubungan untuk menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan ini, maka al-Ghazali merumuskan tujuan pendidikan itu sebagai berikut: 1. Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan dengan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah. 2. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia. 3. Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengembangkan tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya. 4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela. 5. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
92
Tujuan pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insan, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia dunia dan akhirat. AlQushashi, pernah menghimbau kaum muslimin agar meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan menggunakan waktu untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat, menjalankan tugas-tugas keduniaan untuk mencapai pemenuhan spiritual. Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab guru profesional, alGhazali menyebutkan beberapa hal sebagai berikut: a. Guru adalah orang tua kedua di depan murid; seorang guru akan berhasil melaksanakan tugasnya apabila mempunyai rasa tanggung jawab dan kasih sayang terhadap muridnya sebagaimana orang tua terhadap anaknya sendiri. b. Guru sebagai pewaris ilmu nabi; seorang guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat, harus mengarahkan kepada tujuan hidup muridnya yaitu mencapai hidup bahagia dunia dan akhirat.
Dalam mengajarkan ilmu bukan semata-mata bertujuan untuk
menumpuk harta, menggapai kemewahan dunia, pangkat dan kedudukan, kehormatan dan pupularitas, tetapi yang lebih penting dari itu adalah untuk mencari atau mengharap ridha Allah, ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Jadi niat mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya. c. Guru sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid; guru perperan sebagai penunjuk jalan bagi murid-muridnya dalam mengkaji dan mempelajari ilmu pengetahuan, memberikan arahan supaya dalam belajar itu bersifat runtut, setahap-demi setahap. Hal ini mengingat bahwa manusia tidak mampu merangkum ilmu pengetahuan secara serempak dalam satu masa perkembangannya. d. Guru sebagai sentral figur bagi murid; al-Ghazali menasihatkan kepada setiap guru agar senantiasa menjadi teladan dan pusat perhatian bagi muridnya. Semua sikap, tutur kata, perbuatannya akan dicontoh oleh muridmuridnya. e. Guru sebagai motivator bagi murid; seorang guru harus mampu menciptakan situasi belajar sedemikian rupa, sehingga murid senang belajar.
Lukman, SS., Pendidikan Islam Dalam Perspektif Tasawuf
93
f. Guru sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid; guru dalam menyampaikan ilmu pengetahuan perlu memahami tingkat perkembangan intelektual anak sesuai dengan perkembangan usianya. g. Guru sebagai teladan bagi murid; apa yang keluar dari lisannya sama dengan apa yang ada di dadanya. Seorang guru haruslah mengamalkan ilmu pengetahuannya, bertindak sesuai dengan apa yang dinasihatkan kepada muridnya. Selain berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab di atas, perlunya membangun komunikasi antara guru sebagai pendidik dengan murid sebagai peserta didik.
Komunikasi kedua insan
ini menurut
al-Ghazali harus
berlangsung secara timbal balik. Komunikasi seperti ini merupakan tuntutan yang harus dipenuhi dalam proses belajar mengajar. Salah satu sifat yang harus dipenuhi adalah adanya kasih sayang, sebagaimana kasih sayang dan lemah lembut yang dicurahkan orang tua kepada anaknya sendiri, dan murid haruslah senantiasa takdzim (hormat dan tawadhu’) kepada guru sehingga apa yang diajarkan dapat diterima dengan baik, apa yang diterima bermanfaat dalam arti seluas-luasnya, baik bagi dirinya sendiri, keluarganya, maupun masyarakat atau bangsanya dunia dan akhirat. Banyak hal yang perlu dimiliki oleh seorang
guru pengajar atau
muallim, al-Ghazali menyebutkan tentang adab (etika) yang harus dimiliki oleh setiap pribadi ‘alim (ahli ilmu), yaitu: (1) selalu mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah) (2) takut (khauf) kepada murka/siksa Allah.; (3) sakinah (bersikap tenang); (4) wara’ (berhati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan); (5) tawadhu’ (rendah hati/tidak menyombongkan diri); (6) khusyu’ kepada Allah; (7) zuhud (tidak terlampau mencintai kesenangan duniawi); (8) menjauhi pekerjaan/profesi yang dianggap rendah/hina menurut pandangan adat maupun syariat; (9) menghidupkan syiar dan ajaran-ajaran Islam seperti mendirikan shalat berjamaah di masjid, menebarkan salam kepada orang lain, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan penuh kesabaran; (10) menegakkan sunnah rasul dan memerangi bid’ah. (11) menjaga (mengamalkan) hal-hal yang sangat dianjurkan oleh syari’at Islam, baik berupa perkataan, perbuatan, seperti memperbanyak membaca al-Qur’an, berzikir dengan hati
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
94
maupun lisan, berdo’a di siang dan malam hari, memperbanyak ibadah shalat dan berpuasa, bersegera menunaikan ibadah haji selagi mampu; (12) menggauli manusia (orang lain) dengan akhlak-akhlak terpuji seperti bersikap ramah, menebarkan salam, berbagi makanan, menahan (emosional), tidak suka menyakiti, tidak berat hati dalam memberi penghargaan (kepada yang berhak), pandai bersyukur, selalu berusaha memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan, (13) menyucikan jiwa dan raga dari akhlak-akhlak tercela. Al-Ghazali sendiri setelah menjalani hidup kesufian menyatakan bahwa akal (berpikir dan belajar) dan taklid (mengikuti) kepada nabi memang mampu memahami alam hakekat dan mendapatkan ilmu tentang hal itu. Tetapi untuk mengalami dan menghayatinya sendiri secara langsung hanya dapat dicapai melalui ilmu mukasyafat atau ilmu tasawuf yang kegiatannya merupakan almujahadah, yakni latihan-latihan kerohanian (ar-riyadhah) yang serius untuk menghilangkan sifat-sifat tercela dan meraih sifat-sifat terpuji, memutuskan (untuk sementara) hubungan dengan dunia, meningkatkaan kualitas ibadah dan menggalakkan dzikrullah serta menghidupkan diri sepenuhnya kepada Tuhan melalui jalan kesufian yang dicapai dengan petunjuk ilham, penerapan ilmu mukasyafat dan upaya al-mujahadah yang semuanya
harus sesuai
dengan
akidah dan syari’at. Menurut al-ghazali, kata riyadhah yang dinisbatkan kepada anak (shibyan/athfal), maka memiliki arti pelatihan atau pendidikan kepada anak. Pendidikan
yang
dimaksud
lebih
menekankan
pada
domain
psikomotorik dengan cara melatih. Pelatihan memiliki arti pembiasaan dan masa kanak-kanak adalah masa yang paling cocok dengan metode pembiasaan itu. Pembiasaan dinilai sangat efektif jika penerapannya dilakukan terhadap peserta didik yang berusia kecil. Karena memiliki “rekaman” ingatan yang kuat dan kondisi kepribadian yang belum matang, sehingga mudah terlarut dengan kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari. Pembiasaan anak didik berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan ajaran agama Islam. Anak kecil yang terbiasa melakukan aktivitas yang positif maka di masa masa remaja dan dewasanya lebih mudah untuk kepribadian saleh.
Lukman, SS., Pendidikan Islam Dalam Perspektif Tasawuf
95
Dari sisi pendidikan bahwa pendidikan perlu diarahkan pasa aspek mengalami atau mengamalkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh, sehingga anak didik
betul-betul
mampu
merasakan
pendidikan
tersebut.
Al-Ghazali
menekankan pendidikan akhlak, yaitu menumbuhkembangkan sifat-sifat terpuji (mahmudah) dan sekaligus menghilangkan sifat-sifat tercela (mazmumah) pada diri seseorang. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki akhlak antara lain: membiasakan diri dalam kehidupan sehari-hari untuk berusaha semampunya melakukan kebajikan dan hal-hal yang bermanfaat sesuai dengan ketentuan
syari’at,
aturan-aturan
negara,
dan
norma-norma
kehidupan
masyarakat. Berusaha untuk menjauhi hal-hal yang dilarang syara’ dan aturanaturan yang berlaku. Meneladani perbuatan-perbuatan baik dari orang lain yang dikagumi, dan dinilai sebagai orang-orang shaleh. Oleh karena itu dalam proses belajar atau pendidikan tidak sematamata mementingkan mengolah akal, tetapi perlu menggunakan aspek rasa atau qalbu. Qalb dalam pengertian kasar yaitu segumpal daging yang berbentuk bulat panjang, terletak didada sebelah kiri yang di dalamnya terdapat rongga-rongga dan disebut jantung. Sedangkan arti yang kedua adalah pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan atau ruhaniyah, yaitu hakikat manusia yang dapat menangkap pengertian, pengetahuan dan arif. Oleh karena itu dalam pendidikan pendidikan perlu mensinergiskan antara peran otak sebagai alat untuk mencari, memahami pengetahuan, dengan peran hati sebagai bentuk merasakan secara langsung
ilmu
pengetahuan
tersebut,
sehingga
dapat
diwujudkan/
diimplementasikan dalam kehidupan perilaku/tingkah laku sehari-hari. Hal ini sejalan dengan dimensi jiwa manusia menurut pemahaman terhadap ayat-ayat alQur’an meliputi: al-nafs, al-aql, al-qalb, al-ruh, dan al-fitrah. Masing-masing dimensi itu memiliki daya, kecuali al-jism atau badan, hanya memiliki daya menerjemahkan atau melahirkan perintah al-nafs. Meskipun kelihatannya al-jism memiliki daya yang lebih besar, sebab dialah yang dapat melahirkan seluruh daya jiwa manusia menjadi tingkah laku dan perbuatan nyata.
Susunan daya
jiwa manusia itu adalah: al-fitrah, al-ruh, al-qalb, al-‘aql, al-nafsu, al-jism. aljism bersifat keragaan atau kebendaan, al-nafsu bersifat kehidupan, karena nafsunyalah manusia mempertahankan dan melanjutkan kehidupannya; al-aql
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 1, Januari 2012
96
bersifat pemikiran dan rasional; al-qalb bersifat supra rasional, perasaan dan emosional, al-ruh bersifat spiritual, dan al-fitrah bersifat religious. Oleh karenya kebutuhan fitrah (agama) merupakan tingkatan tertinggi, maka pendidikan lebih ditekankan pada aspek-aspek spiritual agama menjadi lebih penting bagi alghazali. C. Kesimpulan Berdasarkan uraian
pada pembahasan pendidikan Islam dalam
perspektif tasawuf al-ghazali di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendidikan Tasawuf al-Ghazali adalah pendidikan yang menekan pada penghayatan dan pengamalan agama, pendalaman rasa agama, serta sarana menghidupkan/memantapkan iman. Ajaran tasawuf yang diberikannya mampu menselaraskan antara syari’at dengan hakekat. Orang yang akan mempelajari tasawuf terlebih dahulu mempelajari syari’at. Pendidikan tasawuf tidak semata-mata diperoleh melalui proses ta’limiyah ( proses belajar, mengkaji kitab), tetapi juga perlu melalui penghayatan kejiwaan atau sufisme, yakni mempercayai kemutlakan dalil kasyfi (suatu dalil yang diperoleh melalui anugerah langsung dari Allah, ilmu laduni). 2. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang menekankan
kepada
keterpaduan antara ilmu dan amal secara utuh, artinya antara ilmu dan amal tidak dapat dipisahkan, kedua-duanya sangat penting dan saling terkait. Sebagaimana juga antara iman dan amal shaleh merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. 3. Pendidikan Islam dalam perspektif al-Ghazali sangat menekankan pada kesempurnaan
manusia, memperhatikan/mengutamakan intelektual dan
kesempurnaan moral. Pendidikan yang dilaksanakan mempunyai dua sisi aspek jasmani dan rohani. Hasil suatu ilmu (pendidikan Islam itu) mampu mendekatkan diri pada Allah. Sehingga
kegiatan
pendidikan yang
diselenggarakan itu untuk mencari atau mengharap ridha Allah, ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Penulis : Drs. Lukman SS.,M.Pd. adalah Dosen Tetap STAIN Bengkulu.
Lukman, SS., Pendidikan Islam Dalam Perspektif Tasawuf
97
DAFTAR PUSTAKA Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Kencana Group, 2008. Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta, 2010. Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin Juz IV, Masyhadul Husaubum, t.t. hal. 13 Al-Ghazali, dalam Hussein Bahreis, Ajaran-ajaran Akhlak Imam al-Ghazali, Surabaya: al-Ikhlas, 1981 Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid III, hlm. 3-4 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia dan Modern, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Amin Syukur, Zuhud di abad modern, Pengantar Quraish Shihab, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Amin Syukur dan Abdul Muhayya, Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, Studi tentang Elemen Psikologi dari alQur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hal. 241 Hanna Djumhana Bastian, Integrasi psikologi Dengan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, Petuah KH.M. Hasyim Asy’ari Untuk Para Guru (kyai) dan Murid (Santri), diterjemahkan dari kitab adabul “Alim Wa Al-Muta’allim, Yogyakarta: Titian Wacana, 2007. Rivai Siregar, Tasawuf dari sufisme klasik ke neo-sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.