PENDAPATAN KELUARGA, PENGETAHUAN, SIKAP, KONSUMSI SERTA STATUS GIZI ANAK KELUARGA PETERNAK IKAN LELE (Clarias gariepinus)
A NUR RAHMAH KURNIA SARI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRACT A NUR RAHMAH KURNIA SARI. Family income, Knowledge, Attitude, Consumption and Children Nutritional Status of Catfish (Clarias gariepinus) Farmer’s Family. Under direction of Clara M Kusharto An adequate nutrition must be consumed by school-age children to fulfill the basic need of nutrients for their progressive growth. Food consumption is influenced by maternal nutrition knowledge and family income. The purpose of this study was to analyze correlation between family income, maternal nutrition knowledge, attitude, and catfish consumption with children nutritional status of farmers family in Parung, Bogor. This research was conducted in June 2012 used cross sectional study. A total number of 31 catfish farmers are purposively selected with inclusive criteria:(1) has fishpond either owned or profit-sharing system, (2) has a primary school children, (3) willing to be interviewed. Primary data consists of family and children characteristics, nutritional knowledge, attitude, catfish consumption and dietary intake. Secondary data is characteristics of a research site. The study showed that there was no correlation between maternal nutritional knowledge, family income and children nutritional status with food consumption, there was no correlation between family income, and children nutritional status with catfish consumption, there was correlation between maternal nutrition knowledge with catfish consumption (p<0.05), and there was no correlation exist between maternal nutrition knowledge and family income with children nutritional status. Keywords: family income, knowledge, attitude, catfish consumption, nutritional status
RINGKASAN A NUR RAHMAH KURNIA SARI. Pendapatan Keluarga, Pengetahuan, Sikap, Konsumsi serta Status Gizi Anak Keluarga Peternak Ikan Lele (Clarias gariepinus). Dibimbingan oleh CLARA M KUSHARTO Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang memegang peranan strategis dalam pembangunan kualitas sumberdaya manusia harus mampu menyediakan makanan yang cukup dan berkualitas untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarganya terutama anak-anak. Pemenuhan gizi sangat penting terutama bagi anak dalam usia pertumbuhan. Dalam tingkat keluarga pemenuhan gizi keluarga sangat dipengaruhi oleh pengetahuan gizi ibu dan pendapatan rumah tangga tersebut. Zat gizi yang tergolong kurang dikonsumsi anak-anak Indonesia adalah protein hewani, yang mengandung asam-asam amino lebih lengkap daripada protein nabati. Protein dibutuhkan tubuh dalam pembentukan tulang. Ikan merupakan sumber protein hewani yang beresiko lebih kecil bagi kesehatan manusia karena memiliki kandungan asam lemak omega-3 yang berperan dalam melindungi jantung. Lele merupakan salah satu komoditas air tawar unggulan berkat kandungan protein dan lemak tak jenuhnya yang tinggi sehingga dapat mendukung proses metabolisme tubuh (Viali 2012). Harganya yang relatif terjangkau membuat ikan ini layak menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani guna meningkatkan gizi masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat pendapatan keluarga, pendidikan, sikap, dan konsumsi pangan terutama ikan lele dan status gizi anak keluarga peternak lele. Tujuan khusus penelitian ini adalah 1) Mengidentifikasi karakteristik responden, 2) Mengidentifikasi tingkat pendapatan responden, 3) Menganalisis pengetahuan dan sikap gizi ibu terutama pengetahuan mengenai manfaat lele, 4) Menganalisis kebiasaan konsumsi lele, 5) Mengidentifikasi hubungan antara pendapatan, pengetahuan gizi ibu dengan konsumsi lele serta konsumsi pangan, dan 6) Mengidentifikasi hubungan antara pendapatan, pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak. Penelitian dilakukan secara cross sectional study, di Desa Cogrek Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Responden dipilih secara acak terhadap peternak lele dengan kriteria inklusi; sedang membudidayakan ikan lele baik milik sendiri maupun dengan sistem bagi hasil, memiliki 1 orang anak usia sekolah serta bersedia menjadi sampel penelitian. Berdasarkan kriteria tersebut, maka diperoleh sampel sebanyak 31 responden. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari karakteristik keluarga, karakteristik contoh, pengetahuan gizi, sikap, praktek konsumsi lele, dan asupan gizi contoh. Data sekunder yaitu karakteristik lokasi penelitian. Pengolahan data dan analisis dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) 16.0 for Windows, dan Microsoft Excel. Hubungan antara beberapa variabel diuji menggunakan uji korelasi spearman ataupun uji pearson. Responden adalah 31 keluarga peternak lele yang sedang melakukan budidaya baik merupakan usaha sendiri maupun dengan sistem bagi hasil dan memiliki anak berusia sekolah dasar. Usia responden dikelompokkan kedalam usia dewasa awal atau pada rentang usia 20-40 tahun. Sebagian besar ayah contoh (38,7%) bekerja sebagai buruh non tani, sebanyak 16,1% bekerja sebagai peternak lele yang memiliki lahan dan modal sendiri. Sebagian besar pekerjaan ibu contoh adalah sebagai ibu rumah tangga. Berdasarkan garis kemiskinan
iii
Provinsi Jawa Barat, sebanyak 71% responden berada di atas garis kemiskinan dengan pendapatan perkapita antara Rp 112.500 – Rp 6.316.667 per bulan dan rata-rata pendapatan perkapita adalah Rp 924.097 ± 1.294.424 per bulan. Sebanyak 35,5% dari usaha ternak lele responden merupakan milik sendiri, sedangkan 64,5% merupakan usaha bagi hasil. Bagi hasil merupakan salah satu cara budidaya yang banyak dilakukan di daerah tersebut dimana responden menyediakan tempat untuk membudidayakan lele dan merawat ikan budidaya sejak benih hingga siap panen. Sedangkan yang menyediakan benih, pakan, dan segala keperluan budidaya lainnya adalah pemilik modal. Lele yang dibudidayakan dipanen setiap dua bulan sekali. Hasil panen kemudian dijual ke pedagang pengumpul ataupun pedagang eceran yang ditentukan oleh pemilik modal. Hasil penjualan lele yang diperoleh nantinya akan dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik modal dengan responden berdasarkan hasil penjualan lele yang diternakkan. Dalam penelitian ini, pendapatan yang diperoleh responden dari beternak lele berkisar antara Rp 200.000,00 hingga Rp 1.500.000,00 untuk dua bulan. Contoh dalam penelitian ini adalah anak peternak lele dimana sebagian besar contoh berusia 9 tahun dengan rata-rata usia contoh adalah 9,16 ± 1,63 tahun. Sebanyak 54,8% contoh yang berjenis kelamin laki-laki dan 45,2% contoh yang berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar contoh berstatus gizi normal Sebanyak 58,1% responden memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tergolong rendah (< 60%). Rata-rata pengetahuan gizi responden adalah 54,68 ± 16,327. Hal ini kemungkinan disebabkan responden yang awam atau tidak pernah mendengat istilah gizi. Sebagian besar responden atau 83,9% memiliki sikap yang positif (>80%) dengan rata-rata sikap gizi responden adalah 88,06 ± 14,473. Sebagian besar responden mengkonsumsi lele < 2 kali per minggu yaitu sebanyak 51,6% dengan rata-rata frekuensi konsumsi lele keluarga peternak adalah 2,39 ± 0,667 kali per mingggu. Tingkat kecukupan energi dan protein sebagian besar contoh berada dalam kategori defisit tingkat berat (<70% AKG). Tingkat kecukupan zat besi, kalsium, fosfor, vitamin A dan vitamin C juga tergolong kurang (<77% AKG). Uji korelasi pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi pangan dengan pengetahuan gizi, pendapatan keluarga, dan status gizi (p>0,05). Tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi dengan status gizi (p>0,05). Tidak terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi (p>0,05). Uji korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara pendapatan keluarga, konsumsi pangan dan status gizi dengan jumlah konsumsi lele (p>0,05), dan terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan konsumsi lele contoh (r= 0,377 p<0,05).
PENDAPATAN KELUARGA, PENGETAHUAN, SIKAP, KONSUMSI SERTA STATUS GIZI ANAK KELUARGA PETERNAK IKAN LELE (Clarias gariepinus)
A NUR RAHMAH KURNIA SARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
v
Judul Skripsi : Pendapatan Keluarga, Pengetahuan, Sikap, Konsumsi serta Status Gizi Anak Keluarga Peternak Ikan Lele (Clarias gariepinus) Nama
:
A Nur Rahmah Kurnia Sari
NIM
:
I14080013
Menyetujui:
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. drh. Clara M Kusharto, MSc NIP. 19510719 198403 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wata’ala, karena hanya dengan nikmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang
berjudul “Pendapatan Keluarga, Pengetahuan, Sikap, Konsumsi serta Status Gizi Anak Keluarga Peternak Ikan Lele (Clarias gariepinus)” ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam serta keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. drh. Clara M Kusharto, M.Sc selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing, memberikan saran, masukan, dan arahannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Sri Anna Marliati, MS selalu dosen pembimbing akademik 3. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan koreksi demi perbaikan skripsi. 4. Bapak Agus dan keluarga, Teh Elis sekeluarga, dan warga RT 3 dan 5 Desa Cogrek, Kecamatan Parung yang bersedia menjadi responden penelitian ini 5.
Kedua orang tua Drs. Gazali, MM.Pd, Dra. Hj. Sri Jayatiningsih, serta kakak (Sri Uthami Verlitha Sari, S.Kh) dan adik-adikku (Ihda Mardhiyatil Azizah, Nurul Hidayatil Azizah) yang senantiasa memberi dukungan moral, spiritual, material dan kasih sayangnya.
6.
Sahabat-sahabatku di GM 45 Genk Ukhty (Gita Wahyu A, Azni Ratnarosada, Fannisa Fitridina, Alna Hotama), Euis Intarina, Asep Subarna, teman-teman ID (Ayu Sekar, Novfitri Syuryadi, Pratiwi Ari P) dan teman-teman GM 45 lainnya atas semangat, perhatian serta kebersamaannya.
7.
Teman satu bimbingan: Rahman Setiawan, Nilam Betarina, Mely Choirul, Ai Kustiani atas semangat dan kerjasamanya.
8.
Teman-teman pembahas seminar: Desti Sagita P, Aldi El Gustian, Ilma Ovani yang telah memberikan saran selama seminar.
9.
Keluarga besar Al-Baroqah (Mba Didi, Mba Dhilah, Amal, Anya, Fety, Hikmah, Ichi, Fitri) atas canda tawa, semangat, dan motivasi selama pembuatan skripsi. Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan hal-hal yang
tidak berkenan selama penyusunan skripsi. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, November 2012 A Nur Rahmah Kurnia Sari
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Benteng Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan pada tanggal 23 Februari 1991. Merupakan anak kedua dari empat orang bersaudara pasangan Drs. Gazali, MM.Pd dan Dra. Hj. Sri Jayatiningsih. Pendidikan formal yang ditempuh penulis yaitu TK RA Nurul Yaqin tahun 1995 hingga 1996, kemudian melanjutkan ke SDI Benteng 1 hingga tahun 2002, tahun 2002 hingga 2005 melanjutkan studi ke SMP Negeri 2 Benteng, dan tahun melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Benteng hingga tahun 2008. Penulis diterima sebagai Mahasisiwa Gizi Masyarakat angkatan 45, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Eko-Agrifarma sebagai staf anggota HRD 2009/2010, ketua HRD 2010/2011. Penulis pernah menjadi sukarelawan pada program IPB Goes to Field periode Februari 2011 dengan tema “Pemulihan Lahan Pertanian Pasca Erupsi Merapi,” Program Penerapan Teknologi Biopori untuk Pemulihan Lahan Salak Dusun Pule, Kecamanan Srumbung, Kabupaten Magelang. Selama masa kuliah, penulis memperoleh beasiswa PPA/BBM. Pada bulan Juli-Agustus 2011 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Desa Pagergunung, Kecamatan Wanayasa Kabupaten Banjarnegara dan pada April 2012 penulis mengikuti Internship Dietetik (ID) di Rumah Sakit Kanker Dharmais.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR .............................................................................................xii DAFTAR LAMPIRAN .………………………………………………………………...xiii PENDAHULUAN
…………………………………………………………………..1
Latar Belakang ................................................................................................. 1 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 3 Tujuan Umum ............................................................................................. 3 Tujuan Khusus............................................................................................ 4 Hipostesis ........................................................................................................ 4 Kegunaan Penelitian ........................................................................................ 4 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5 Anak Usia Sekolah ........................................................................................... 5 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) .............................................................. 6 Karaktristik Sosial Ekonomi Keluarga ............................................................... 9 Besar Keluarga ........................................................................................... 9 Pendapatan Keluarga ................................................................................. 9 Pendidikan ................................................................................................ 10 Pengetahuan Gizi ........................................................................................... 11 Sikap .............................................................................................................. 13 Praktek ........................................................................................................... 13 Konsumsi Pangan .......................................................................................... 14 Status Gizi...................................................................................................... 15 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 17 METODE PENELITIAN...................................................................................... 19 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 19 Cara Pengambilan Contoh ............................................................................. 19 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................................ 20 Pengolahan dan Analisis Data ....................................................................... 21 Definisi Operasional ....................................................................................... 23 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 25 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................... 25 Karakteristik Keluarga .................................................................................... 26 Besar Keluarga ......................................................................................... 26 Usia………………………….…………………………………………………. .26 Tingkat Pendidikan ................................................................................... 27 Pekerjaan ................................................................................................. 28 Pendapatan per Kapita ............................................................................. 29 Karakteristik Contoh ....................................................................................... 33 Usia .......................................................................................................... 33 Jenis Kelamin ........................................................................................... 34 Berat Badan dan Tinggi Badan ................................................................. 34 Status Gizi Contoh ......................................................................................... 35 Pengetahuan Gizi Ibu ..................................................................................... 36
ix
Sikap Ibu ........................................................................................................ 38 Praktek Konsumsi Lele Contoh ...................................................................... 40 Konsumsi Pangan Contoh .............................................................................. 42 Frekuensi Makan contoh .......................................................................... 42 Frekuensi Konsumsi Pangan Contoh ........................................................ 42 Konsumsi Pangan Contoh ........................................................................ 46 Hubungan pendapatan keluarga dengan konsumsi pangan .......................... 51 Hubungan pengetahuan gizi dengan konsumsi pangan ................................ 54 Hubungan pengetahuan gizi dengan status gizi anak.................................... 55 Hubungan konsumsi pangan dengan status gizi anak ................................... 55 Hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi anak ............................. 57 Hubungan jumlah konsumsi lele dengan pendapatan,status gizi, pengetahuan gizi ........................................................................................... 57 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 59 Kesimpulan .................................................................................................... 59 Saran ............................................................................................................. 60 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 61
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan (per orang per hari) anak umur 7-12 tahun ................................................................................... 6
2.
Kandungan gizi daging ikan lele per 100 gram.............................................. 7
3.
Kandungan asam amino esensial ikan lele ................................................... 8
4.
Kategori status gizi menurut IMT/U ............................................................. 16
5.
Jenis data dan cara pengumpulan data ...................................................... 20
6.
Penggunaan lahan di Desa Cogrek ............................................................ 25
7.
Sebaran besar keluarga contoh .................................................................. 26
8.
Sebaran usia ayah dan ibu ......................................................................... 27
9.
Sebaran tingkat pendidikan ayah dan ibu ................................................... 27
10. Sebaran pekerjaan ayah contoh ................................................................. 28 11. Sebaran pekerjaan ibu contoh .................................................................... 29 12. Sebaran pendapatan perkapita keluarga responden ................................... 29 13. Sebaran kepemilikan ternak lele responden ............................................... 31 14. Sebaran pemanfaatan lele responden ........................................................ 32 15. Rata-rata alokasi pengeluaran rumah tangga keluarga peternak lele .......... 32 16. Sebaran usia contoh ................................................................................... 34 17. Sebaran jenis kelamin contoh ..................................................................... 34 18. Rata-rata berat badan dan tinggi badan contoh .......................................... 35 19. Sebaran status gizi contoh .......................................................................... 36 20. Sebaran jumlah jawaban benar dari soal pengetahuan gizi ........................ 37 21. Sebaran tingkat pengetahuan gizi responden ............................................. 38 22. Sebaran sikap responden untuk setiap pernyataan..................................... 39 23. Sebaran sikap responden ........................................................................... 39 24. Frekuensi konsumsi lele selama seminggu ................................................. 40 25. Anggota keluarga yang mengkonsumsi lele ................................................ 41 26. Jumlah lele yang dikonsumsi dalam sehari ................................................. 41 27. Pangan sumber protein lain yang dikonsumsi ............................................. 41 28. Sebaran contoh menurut frekuensi makan .................................................. 42 29. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi pangan................................. 43 30. Sebaran konsumsi rata-rata contoh ............................................................ 47 31. Hasil uji korelasi pearson antara konsumsi pangan dengan pendapatan .... 52
xi
32. Hasil uji korelasi pearson antara konsumsi pangan dengan pengetahuan gizi .............................................................................................................. 54 33. Hasil uji korelasi pearson antara konsumsi pangan dengan status gizi ....... 56
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pemilikiran hubungan pendapatan, pengetahuan gizi ibu dengan konsumsi lele dan status gizi anak ................................................. 18
2.
Sebaran tingkat kecukupan energi dan protein contoh................................ 48
3.
Sebaran tingkat kecukupan vitamin dan mineral contoh ............................. 49
4.
Kontribusi konsumsi lele terhadap TKE dan TKP contoh ............................ 50
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Hasil korelasi pearson antara pendidikan dengan konsumsi pangan .......... 66
2.
Hasil korelasi spearman antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi ibu............................................................................................................... 67
3.
Hasil korelasi spearman antara pendapatan dengan pemilikan lahan ......... 67
4.
Hasil korelasi spearman antara jumlah konsumsi lele dengan pendapatan, pengetahuan gizi dan status gizi ................................................................. 67
5.
Hasil korelasi pearson antara pendapatan, pengetahuan gizi, sikap, praktek, dan status gizi ............................................................................... 68
6.
Hasil korelasi spearman antara pengetahuan gizi, sikap dan praktek ......... 68
7.
Hasil korelasi pearson antara konsumsi, pengetahuan gizi dan status gizi . 69
8.
Kuesioner penelitian ................................................................................... 70
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan nasional adalah upaya untuk meningkatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang sekaligus merupakan proses pengembangan keseluruhan sistem penyelenggaraan negara untuk mewujudkan tujuan nasional. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, dibutuhkan pangan yang cukup dan berkualitas sejak masa kanak-kanak karena generasi ini merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan. Pemenuhan pangan berkualitas ini dapat dilakukan mulai dari lingkungan keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang memegang peranan strategis dalam pembangunan kualitas sumberdaya manusia, harus mampu menyediakan makanan yang
cukup dan berkualitas untuk mendukung
pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarganya terutama anak-anak (Arisman 2007). Di tingkat keluarga pemenuhan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pengetahuan gizi ibu dan pendapatan rumah tangga. Pendapatan yang rendah pada umumnya mendorong seseorang untuk menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka persentase pengeluaran untuk memenuhi kebutahan pangannya akan semakin kecil. Pengetahuan gizi berpengaruh terhadap pengambilan sikap dan perilaku pemilihan makanan. Rendahnya pengetahuan tentang makan yang bergizi dapat menyebabkan anak memilih makan yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Pendidikan gizi yang diberikan dapat meningkatkan pengetahuan gizi subyek secara signifikan. Penelitian yang dilakukan pada 60 orang remaja di India menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan gizi dapat menyebabkan peningkatan konsumsi energi, dan zat gizi lainnya (Kaur et al. 2007). Pengetahuan seseorang akan mempengaruhi konsumsi makanan. Kurangnya pengetahuan dan salahnya konsep tentang kebutuhan pangan akan mempengaruhi konsumsi pangan (Larasati & Ratnaningsih 2006). Anak usia sekolah merupakan investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Kualitas suatu bangsa di masa depan ditentukan kualitas anak-anak saat ini. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh kembang
2
anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang baik juga benar. Secara nasional prevalensi kekurusan pada anak umur 6-12 tahun adalah 12,2% yang terdiri dari 4,6% sangat kurus dan 7,6% kurus. Prevalensi kekurusan pada anak laki laki lebih tinggi (13,2%) daripada anak perempuan (11,2%). Menurut tempat tinggal, prevalensi kekurusan anak di perkotaan sedikit lebih rendah dari anak di perdesaan yaitu berturut-turut sebesar 11,9% dan 12,5%. Prevalensi kekurusan berhubungan terbalik dengan pendidikan kepala rumah tangga yaitu semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga semakin rendah prevalensi kekurusan. Prevalensi kekurusan paling rendah pada rumah tangga yang kepala rumah tangganya yang berpendidikan tamat D1 ke atas yaitu 8,9%. Sedangkan menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga terlihat paling tinggi pada jenis pekerjaan berpenghasilan tidak tetap (petani/nelayan/buruh) yaitu sebesar 12,8%. Prevalensi kekurusan juga berhubungan terbalik dengan keadaan ekonomi rumah tangga, semakin baik keadaan ekonomi rumah tangga semakin rendah prevalensi kekurusannya. Pada keadaan ekonomi rumah tangga terendah terlihat prevalensi kekurusan tertinggi yaitu 13,2% dan pada keadaan ekonomi rumah tangga yang tertinggi prevalensinya 9,2% (Riskesdas 2010). Zat gizi yang tergolong kurang dikonsumsi anak-anak Indonesia adalah protein hewani, yang mengandung asam-asam amino lebih lengkap daripada protein nabati. Protein dibutuhkan tubuh dalam pembentukan tulang. Masa anakanak adalah masa dimana pembentukan tulang terjadi lebih lambat dibandingkan pada usia lainnya namun penting untuk memenuhi zat gizi yang cukup untuk mencapai puncak pertumbuhan massa tulang (peak bone mass) terutama protein dan mineral. Ikan merupakan penyedia kebutuhan protein yang cukup tinggi dimana protein ikan memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan mudah dicerna. Protein ikan mengandung lisin dan metionin yang lebih tinggi dibanding protein susu dan daging (Astawan 2011). Ikan merupakan sumber protein hewani yang merupakan sumber yodium, vitamin D, protein dan asam lemak terutama PUFA yang berperan dalam mencegah terjadinya penyakit jantung (CVD). PUFA dapat membantu menurunkan angka kematian akibat CVD (Bemrah et al 2008). Konsumsi ikan dan pangan hasil laut lainnya dianjurkan karena memiliki manfaat dalam mencegah terjadinya penyakit degeneratif kronis. Konsumsi ikan dapat mencegah beberapa jenis kanker dan penyakit kardiovaskular. Konsumsi
3
ikan dan minyak ikan dapat menurunkan resiko penyakit jantung koroner, kematian dan kematian mendadak. Saat ini tingkat konsumsi ikan pada masyarakat Indonesia lebih rendah dibandingkan Malaysia dan Singapura. Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan sepanjang 2011 konsumsi ikan Indonesia hanya sebanyak 31,5 kilogram per kapita, jauh di bawah Malaysia dan Singapura yang mencapai 55,4 kilogram dan 37,5 kilogram per kapita. Sedangkan standar organisasi pangan dunia yaitu standar Food Agricutural Organization (FAO) sebesar 26 – 30 kg/kap/th (FAO 2012). Lele merupakan salah satu komoditas air tawar unggulan berkat kandungan protein dan lemak tak jenuhnya yang tinggi sehingga dapat mendukung proses metabolisme tubuh. Daging lele juga baik untuk merangsang perkembangan otak dan tulang pada anak. Faktor lain yang menjadi kelebihan dari ikan ini adalah harganya yang relatif terjangkau sehingga layak menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani guna meningkatkan gizi masyarakat (Viali 2012). Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.32/MEN/2010 tentang penetapan kawasan minapolitan menetapkan lima lokasi pengembangan minapolitan lele yang akan dipacu memproduksi hingga 30 ton per hari. Sentra-sentra besar tersebut akan berada di daerah Bogor, Boyolali, Pacitan, Gunung Kidul, dan Blitar (Kementrian Kelautan dan Perikanan 2010). Terdapat tiga kecamatan yang merupakan sentra produksi lele terutama jenis lele dumbo di Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Parung,
Ciseeng dan Gunung Sindur. Dinas perikanan
Kabupaten Bogor mencatat pada tahun 2010 kecamatan-kecamatan tersebut memproduksi masing-masing 7000 ton, 6000 ton dan 10.000 ton. Kontribusi produksi ketiga kecamatan tersebut mencapai lebih dari 90% total produksi Kabupaten Bogor (Viali 2012). Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat pendapatan keluarga, pengetahuan, sikap, konsumsi pangan terutama ikan lele dan status gizi anak keluarga peternak lele.
4
Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik responden 2. Mengidentifikasi tingkat pendapatan responden 3. Menganalisis pengetahuan, dan sikap responden terutama pengetahuan mengenai manfaat lele 4.
Menganalisis kebiasaan konsumsi lele contoh
5. Mengidentifikasi
hubungan
antara
pendapatan,
pengetahuan
gizi
responden dengan konsumsi lele serta konsumsi pangan contoh 6. Mengidentifikasi
hubungan
antara
pendapatan,
pengetahuan
gizi
responden, konsumsi lele contoh dan konsumsi pangan contoh dengan status gizi contoh Hipotesis
Terdapat hubungan antara pendapatan keluarga, pengetahuan, dan sikap dengan konsumsi lele
Terdapat hubungan antara pendapatan keluarga, pengetahuan gizi ibu, konsumsi lele contoh dan konsumsi pangan contoh dengan status gizi contoh Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai kontribusi pendapatan keluarga, pengetahuan, sikap dan konsumsi pangan terhadap status gizi anak. Selain itu penelitian ini dapat berguna juga bagi pemerintah atau instansi yang terkait agar dapat memberikan pendidikan gizi mengenai konsumsi makanan yang seimbang kepada keluarga terutama ibu agar dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anaknya.
TINJAUAN PUSTAKA Anak Usia Sekolah Anak usia sekolah antara 6-12 tahun tergolong kedalam late childhood dan merupakan usia dimana anak belajar bertanggung jawab terhadap sikap dan perilakunya. Pada usia tersebut, anak mulai masuk sekolah sehingga mereka mulai masuk kedalam dunia baru, dimana mulai banyak berhubungan dengan orang-orang diluar keluarganya dan berkenalan dengan suasana dan lingkungan baru dalam hidupnya. Hal ini dapat mempengaruhi kebiasaan makan mereka (Moehji 2003). Beberapa karakteristik anak usia sekolah antara lain senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung (Notoatmodjo 2003). Pertumbuhan
anak
sekolah
relatif
lebih
lambat
dibandingkan
pertumbuhan pada waktu bayi dan prasekolah. Masa sekolah merupakan masa persiapan untuk pertumbuhan pesat pada usia remaja (Papila & Olds 1979 dalam Khapipah 2000). Berat badan anak usia 7 -10 tahun bertambah sekitar 2 kg dan tinggi 5 – 6 cm/tahun dan berat badan mereka akan bertambah 4 – 4,5 kg/tahun saat menjelang puber (Arisman 2007). Meskipun
laju
pertumbuhan
anak
sekolah
dasar
lebih
lambat
dibandingkan sebelumnya, namun anak sekolah dasar membutuhan makanan dengan jumlah dan kualitas yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. Peningkatan jumlah zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan aktivitas fisik anak sekolah. Selain itu untuk melindungi anak terhadap penyakit infeksi dan menular (Harper, Deaton & Driskel 1986 dalam Saloso 2011). Kelompok anak sekolah pada umumnya mempunyai kondisi gizi yang lebih baik daripada kelompok balita, karena kelompok umur sekolah mudah dijangkau oleh berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh kelompok swasta. Meskipun demikian masih terdapat berbagai kondisi gizi anak sekolah yang tidak memuaskan, misal berat badan yang kurang, anemia defisiensi Fe, defisiensi vitamin C dan pada daerah-daerah tertentu juga ditemukan defisiensi Iodium (Sediaoetama 1996). Kebiasaan makanan yang sehat sangat penting ditanamkan sejak kecil untuk mencegah terjadinya kekurangan gizi, pertumbuhan terhambat, dan masalah nutrisi anak yang akut lainnya. Selain itu, hal ini juga untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan kronis jangka panjang seperti obesitas, penyakit jantung koroner, diabeters tipe 2, dan stroke (Anonim 2010).
6
Kebutuhan energi anak pada golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada anak golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan yang relatif cepat, terutama penambahan tinggi badan. Sejak usia 10-12 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Adapun jumlah energi dan protein yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi bagi anak umur 7-12 tahun tertera pada tabel berikut. Tabel 1 Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan (per orang per hari) anak umur 7-12 tahun Golongan Umur 7-9 tahun 10 –12 tahun (pria) 10 –12 tahun (wanita) *WNPG 2004
Berat 25 kg 35 kg 37 kg
Tinggi 120 cm 138 cm 145 cm
Energi 1800 kkal 2050 kkal 2050 kkal
Protein 45 g 50 g 50 g
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan ikan lele hasil perkawinan silang antara induk betina asli jenis Taiwan (C.fuscus) dan induk jantan asal Kenya, Afrika (C.mosambicus) (Suyanto 2002). Lele dumbo merupakan jenis lele yang ukuran tubuhnya besar. Ukuran tubuh inilah yang membuatnya disebut dengan lele dumbo. Kata dumbo sendiri diduga berasal dari kata "jumbo" yang berarti berukuran raksasa. Lele dumbo termasuk ikan karnivora, namun pada usia benih lebih bersifat omnivora. Induk lele dumbo sudah dapat dipijahkan setelah berumur 2 tahun dan dapat memijah sepanjang tahun (Agustina et al 2010). Pertumbuhan badan ikan lele dumbo cukup cepat baik panjang maupun beratnya, yakni mencapai empat kali lipat jika dibandingkan dengan ikan lele lokal. Ikan lele merupakan jenis ikan lele pemakan dasar kolam (bottom feeder) dan lebih banyak menempati dasar kolam. Ikan lele dumbo termasuk kedalam jenis ikan lele pemakan segalanya. Ikan lele ini aktif mencari mangsanya pada saat lingkungan dalam keadaan gelap, khususnya pada malam hari. Ikan lele lebih senang hidup pada aliran air yang tenang dimana aliran airnya tidak terlalu deras. Viveen dalam Aan (2003) menambahkan bahwa ikan lele mampu hidup dalam lumpur bahkan kadang mampu berjalan di darat dalam rangka mencari makanan atau perlindungan. Lele dumbo memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mulut besar, warna kelabu sampai hitam. Di sekitar mulut terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam, masingmasing terdapat sepasang kumis. Hanya kumis bagian mandibula yang dapat
7
digerakkan untuk meraba makanannya. Kulit lele dumbo berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan bagian samping (lateral). Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri yang keras dan runcing yang disebut patil. Patil lele dumbo tidak beracun (Suyanto 2002). Komposisi dari ikan lele menurut Soetomo (2000) terdiri dari protein (17%-37%), lemak (4,8%), mineral (1,2%), vitamin (1,2%) dan air (75,1%). Menurut Suzuki (1981) dalam Granada (2011), komposisi kimia daging ikan yaitu kandungan protein sebesar 15-24%, lemak 0,1-22%, karbohidrat 1-3%, air 6684% dan bahan organik sebesar 0,8-2%. Pada umumnya bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50% dari berat ikan. Kandungan energi dalam 100 gram ikan lele adalah 133 Kal dan protein 17 gram. Kandungan gizi ikan lele dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 2 Kandungan gizi daging ikan lele per 100 gram. Zat gizi Energi Protein Lemak Kalsium Fosfor Besi Vitamin A Vitamin B Air Sumber: Mudjiman (1984)
Kandungan 113 Kal 17,0 g 4,5 g 20,0 mg 200,0 mg 1,6 mg 150,0 si 0,05 mg 76,00 mg
Dilihat dari komposisi gizinya ikan lele juga kaya fosfor. Nilai fosfor pada ikan lele lebih tinggi daripada nilai fosfor pada telur yang hanya 100 mg. Peran mineral fosfor menempati urutan kedua setelah kalsium. Di dalam tubuh, fosfor yang berbentuk kristal kalsium fosfat, 80 persen berada pada tulang dan gigi. Fungsi utamanya sebagai pemberi energi dan kekuatan untuk metabolisme lemak dan pati, sebagai penunjang kesehatan gigi dan gusi, untuk sintesis DNA serta penyerapan dan pemakaian kalsium (Astawan 2011). Berdasarkan perbandingan kalium dan natrium yang mencapai 24,5:1, ikan lele dapat digolongkan sebagai makanan sehat untuk jantung dan pembuluh darah. Makanan tergolong makanan sehat untuk jantung dan pembuluh darah bila mengandung rasio kalium terhadap natrium minimal 5:1. Kalium diketahui bermanfaat untuk mengendalikan tekanan darah, terapi darah tinggi, serta membersihkan karbondioksida di dalam darah. Kalium juga bermanfaat untuk
8
memicu kerja otot dan simpul saraf. Kalium yang tinggi juga akan memperlancar pengiriman oksigen ke otak dan membantu memperlancar keseimbangan cairan tubuh. Protein ikan lele mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup. Totas kandungan asam amino esensial dalam daging ikan lele adalah 49,9%. Asam amino yang paling banyak terkandung dalam ikan lele adalah asam amino lisin yaitu 10,5% dari total protein. Leusin adalah asam amino terbanyak kedua dalam daging ikan lele yaitu 9,5% dari total protein. Ikan lele mengandung protein dengan kadar lisin dan leusin lebih tinggi dibanding daging sapi. Leusin sangat diperlukan untuk pertumbuhan anak-anak dan menjaga kesetimbangan nitrogen pada orang dewasa. Leusin juga berguna untuk perombakan dan pembentukan protein otot. Sementara lisin sangat dibutuhkan tubuh untuk membantu proses pertumbuhan (Astawan 2011). Kandungan asam amino ikan lele dapat dilihat dalam tabel berikut Tabel 3 Kandunan asam amino esensial ikan lele Asam amino Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Fenilalanin Treonin Valin Triptofan Total esensial Non esensial Sumber: Astawan (2011)
% Protein 6,3 2,8 4,3 9,5 10,5 1,4 4,8 4,8 4,7 0,8 49,9 50,1
Mudjiman (1984) menyebutkan daging ikan lele mempunyai penampakan warna putih dengan serat yang lembut dan rasa yang gurih. Daging lele juga baik untuk merangsang perkembangan otak dan tulang pada anak, mambantu penyerapan
kalsium,
menjaga
keseimbangan
nitrogen
dalam
tubuh,
menghasilakan antibodi, hormon serta enzim. Namun daging ikan lele yang mempunyai ukuran lebih besar kadang- kadang kurang dapat diterima konsumen apabila disajikan dalam bentuk yang utuh, karena rasa yang kurang gurih dan dagingnya masih lembek meskipun sudah digoreng sampai kering.
9
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari mengelola sumberdaya secara bersama. Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran suatu rumah tangga. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan distribusi (pembagian) makanan yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas dam kuantitas makanan secara langsung akan mempengaruhi status gizi keluarga dan individu. Keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang besar akan berusaha membagi makanan dengan jumlah terbatas agar dapat mencukupi untuk seluruh anggota kelurga. Sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga (Sukandar 2007). Pendapatan Keluarga Tingkat kesejahteraan keluarga diukur dari tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan yang tinggi memberi peluang lebih tinggi bagi keluarga dalam memilih bahan pangan baik jumlah maupun jenisnya. Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang dari pekerjaan yang dilakukannya untuk mencari nafkah dalam bentuk uang. Pendapatan yang diukur biasanya bukan hanya pendapatan yang diterima oleh seorang individu, tetapi diukur semua pendapatan yang diterima oleh semua anggota keluarga dimana konsumen berada. Jumlah pendapatan keluarga dapat mempengaruhi ketersediaan pangan disebuah keluarga, karena pendapatan akan memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan daya belinya. Daya beli sebuah rumah tangga bukan hanya ditentukan oleh pendapatan dari satu orang, tetapi dari seluruh anggota rumah tangga yang bekerja (Sumarwan 2002). Persentase pengeluaran pangan keluarga akan cenderung semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan dan cenderung beralih kepangan yang berenergi lebih mahal seperti tinggi protein dan lemak daripada tinggi karbohidrat (Arkadi 2003). Penduduk yang berpendapatan rendah pada umumnya menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan, sedangkan makin tinggi pendapatan seseorang maka persentase pengeluaran untuk memenuhi kebutahan pangannya akan semakin kecil (Tambunan 2001).
Pengeluaran akan lebih banyak digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pakaian, perumahan, rekreasi dan jasa lainnya.
10
Menurut Soekirman (1994), secara teoritis terdapat hubungan positif antar pendapatan dengan permintaan pangan. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka semain tinggi daya beli keluarga tersebut terhadap pangan. Hal ini membawa pengaruh terhadap semakin beragam dan banyaknya jumlah pangan yang dikonsumsi. Konsumsi makanan baik jumlah maupun mutunya dipengaruhi oleh pendapatan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh di Sri Langka tahun 2003 mengenai peranan pendapatan keluarga dalam mengurangi malnutrisi di Sri Langka menunjukkan bahwa pendapatan keluarga, besar keluarga, usia anak, jenis kelamin, urutan kelahiran, dan tingkat pendidikan ibu merupakan faktor yang penting dalam meningkatkan status gizi seseorang (Ekanayake et al 2004). Pendidikan Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak terutama pemberian makan, pola konsumsi dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Rahmawati (2006) menyatakan bahwa ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anaknya. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung akan memilih makanan yang murah namun memiliki kandungan gizi yang tinggi sesuai dengan pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil, sehingga kebutuhan gizinya dapat terpenuhi dengan baik. Menurut Nurmansyah (2006), tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi seseorang yang disebabkan oleh pola pikir dan pengalamannya.
Seseorang
yang
mempunyai
pengetahuan
dan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi cenderung akan memilih pangan yang lebih baik kualitasnya daripada yang berpendidikan rendah. Selain melihat dari sisi kualitas pangan yang dikonsumsinya, konsumen dengan pendidikan yang lebih tinggi juga
akan melihat
lebih
jauh
terhadap keburukan
dan resiko dalam
mengkonsumsi pangan, serta cenderung berperilaku lebih kritis dalam pembelian dan pemilihan suatu produk. Madanijah
(2004)
menyatakan
terdapat
hubungan
positif
antara
pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Tingkat pengetahuan gizi ibu sangat
11
berperan dalam menyusun pola makan keluarga mulai dari perencanaan belanja, pemilihan bahan pangan, pengolahan, dan menghidangkannya bagi keluarga (Madilah 2002). Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi serta interaksi antara zat gizi dengan status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah (Suhardjo 1996 dalam Primandala 2011). Pengetahuan dapat diperoleh seseorang melalui pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Tingkat
pengetahuan
gizi
seseorang
berpengaruh
terhadap
sikap
dan
perilakunya dalam memilih makanan, yang akhirnya akan berpengaruh terhadap keadaan gizi orang tersebut (Khomsan 2007). Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Sukandar 2007). Tingkat
konsumsi
pangan
masyarakat
ditentukan
oleh
tingkat
pengetahuan terhadap pangan dan gizi. Apabila kemampuan daya beli tidak diimbangi
dengan
pengetahuan
gizi
yang
baik,
penyakit
akibat
ketidakseimbangan gizi akan tetap menjadi masalah. Defisit pangan dalam tingkat rumah tangga disertai distribusi pangan antar anggota keluarga yang tidak baik serta pengetahuan gizi dan perilaku gizi yang belum memadai berakibat pada munculnya kurang gizi (Arkadi 2003). Cicely William dalam Sukandar (2007) menyatakan studi yang dilakukan di Afrika Barat menunjukkan bahwa gizi kurang yang terjadi di daerah tersebut bukan disebabkan oleh kemiskinan harta, akan tetapi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gizi keluarga khususnya gizi pada anak-anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nutrition Assesment Educational Project di Washington tahun 1999, menyatakan bahwa rendahnya perhatian terhadap masalah gizi sebagian besar disebabkan oleh rendahnya pengetahuan tentang gizi. Banyak penelitian menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara pengetahuan gizi dengan konsumsi pangan, namun ada beberapa penelitian yang menemukan hubungan antara keduanya dengan kekuatan korelasi yang rendah. Penelitian yang dilakukan di Inggris pada 1040 orang menunjukan terdapat hubungan antara pengetahuan gizi dengan konsumsi sayur dan buah. Individu dengan pengetahuan gizi yang baik, 25 kali lebih menyukai
12
mengkonsumsi buah dan sayur dibandingkan yang memiliki pengetahuan gizi yang rendah (Worsey 2002) . Sanjur (1982) menyatakan bahwa pengaruh pengetahuan gizi terhadap konsumsi
makanan
tidak
selalu
linear,
artinya
semakin
tinggi
tingkat
pengetahuan gizi ibu belum tentu konsumsi makanan menjadi baik. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara sendiri tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Orang yang memiliki pendidikan yang rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibanding dengan orang yang memiliki pendidikan yang tinggi. Hal ini disebabkan orang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi akan rajin dalam mendengarkan informasi tentang gizi sehingga pengetahuan gizinya baik (Madanijah 2004) Pengetahuan gizi berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan penentuan jumlah makanan yang akan dikonsumsi. Tingkat pengetahuan gizi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan konsep mengenai objek tertentu. Tingkat konsumsi pangan dan gizi masyarakat ditentukan oleh tingkat pengetahuan terhadap pangan dan gizi. Apabila kemampuan daya beli tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang baik, maka dapat menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan gizi. Pengukuran pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen berbentuk pilihan berganda (multiple choice test). Di dalam menyusun instrumen ini diperlukan jawaban-jawaban yang sudah tertera di dalam tes, dan responden hanya memilih jawaban yang menurutnya benar. Multiple choice test ini dapat digunakan untuk mengukur aspek yang terkait di dalam ranah kognitif. Bentuk soal seperti ini akan menghilangkan antivalensi dari persoalan yang ditanyakan sehingga pertanyaan dapat dijawab sesuai dengan yang diminta. Soal ini memiliki reabilitas yang tinggi dan dengan menggunakan opsi jawaban sebanyak empat butir dapat mengurangi kesempatan menebak. Dengan jumlah soal 20 butir, cukup untuk mengukur domain pengetahuan gizi tertentu (Khomsan 2000). Kategori pengetahuan gizi dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu baik, sedang dan kurang. Cara pengkategorian dilakukan dengan menetapkan cut off point dari skor yang telah dijadikan persen. Kategori pengetahuan gizi yaitu baik
13
apabila skor > 80%, sedang apabila skor 60 – 80%, dan kurang apabila skor < 60% (Khomsan 2000). Sikap Sikap adalah ekspresi sederhana dari bagaimana kita suka atau tidak suka terhadap beberapa hal (Rahayuningsih 2008). Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimilus atau objek. Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidak senangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari orang terdekat. Orang terdekat dapat mengakrabkan
terhadap
sesuatu,
atau
sebaliknya
dapat
menyebabkan
penolakan. Sikap belum merupakan suatu perilaku tetapi sikap akan mengarah kepada perilaku, karena sikap merupakan hasil pertimbangan dari semua keputusan yang dilakukan melalui perilaku. Sikap merupakan fungsi dari pengetahuan, pendapat, keyakinan dan penilaian seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin baik sikap seseorang diharapkan akan membentuk perilaku yang baik pula (Contento 2007). Menurut Suhardjo (1989) dalam Maria (2012) sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh pengalaman dan respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan tersebut sejak masa kanak-kanak. Pengalaman yang diperoleh ada yang dirasakan menyenangkan atau sebaliknya tidak menyenangkan, sehingga individu dapat mempunyak sikap suka atau tidak suka terhadap makanan. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan pendapat responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo 2007). Praktek Menurut Sanjur (1982) pengetahuan gizi menentukan praktek secara langsung. Praktek adalah respon seseorang terhadap stimulus. Setelah mendapatkan stimulus, diadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan apa yang ia ketahui atau dinilainya baik (Notoatmodjo 2003). Sikap seseorang dapat sangat mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan. Meskipun demikian, sikap yang sudah positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan yang nyata.
14
Praktek terjadi setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, dan selanjutnya ia akan melaksanakan dan mempraktekkan apa yang sudah diketahui. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan nyata diperlukan suatu faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas (Notoatmodjo 2007). Pengukuran praktek dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran langsung dilakukan dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden, sedangkan pengukuran tidak langsung dilakukan dengan wawancara terhadap kegiatan yang telah dilakukan (recall). Konsumsi Pangan Konsumsi pangan secara garis besar adalah kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dengan jenis tunggal atau beragam. Konsumsi makanan diartikan sebagai jumlah makanan yang dinyatakan dalam bentuk energi dan zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral). Ada beberapa hal yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu kuantitas, ragam pangan yang tersedia dan diproduksi, pendapatan, serta tingkat pengetahuan gizi (Wulandari 2000). Konsumsi makanan adalah faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang (Sediaoetama 1996 dalam Dasuki 2002). Konsumsi makanan yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan masalah gizi. Sanjur (1982) menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun keluarga. Penilaian konsumsi pangan dilakukan sebagai cara untuk mengukur konsumsi pangan yang kadang-kadang merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menilai status gizi. Terdapat empat metode untuk mengetahui konsumsi pangan secara kuantitatif, yaitu metode inventaris, metode pendaftaran, metode mengingat-ingat dan metode penimbangan. Metode mengingat-ingat (metode recall) dilakukan dengan mencatat jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada masa lalu (biasanya 24 jam). Penentuan jumlah hari recall ditentukan oleh keragaman jenis konsumsi antar waktu, tipe responden dalam memperoleh pangan. Biaya yang digunakan dalam melakukan metode recall sangat murah dan tidak memakan waktu yang banyak. Namun, metode ini memiliki kekurangan yaitu data yang dihasilkan kurang akurat
15
karena mengandalkan daya ingat seseorang, sangat bergantung pada keahlian tenaga pencatatan dalam mengkonversi URT kedalam satuan berat, adanya variasi URT antar daerah dan ada variasi interpretasi besarnya ukuran antar responden (besar, sedang, kecil) (Kusharto & Sa’diyyah 2006). Status Gizi Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu (Soekirman 1994). Menurut Riyadi (2001), status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilisasi zat gizi makanan. Status gizi seseorang berubah dari masa ke masa, hal ini karena status gizi merupakan interaksi dari berbagai faktor. Menurut Riyadi (2001), faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi adalah konsumsi pangan dan status kesehatan. Konsumsi pangan, salah satunya dipengaruhi oleh akses terhadap pangan, dan akses terhadap pangan ditentukan oleh tingkat pendapatan seseorang.
Untuk mencapai
status gizi
baik
diperlukan pangan
yang
mengandung cukup zat gizi, aman untuk dikonsumsi dan dapat memenuhi kebutuhan tubuh yang ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: umur, jenis kelamin, aktivitas fisik, berat badan dan tinggi badan, keadaan fisiologis dan kedaan kesehatan (Hermina 1993 dalam Yulita 2012) Ada beberapa cara untuk mengukur status gizi seseorang yaitu dengan pengukuran antropometrik, biokimia, clinic dan dietary assesment. Dari keempat cara tersebut, pengukuran antropometrik merupakan pengukuran yang relatif sederhana dan banyak dilakukan. Pengukuran antropometrik antara lain pengukuran berat badan (BB), dan tinggi badan (TB). Gibson (2005) menyatakan bahwa pada anak-anak indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan tinggi badan menurut umur (TB/U). Indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi saat ini karena perubahan berat badan seseorang sangat stabil. Namun, indikator ini tidak spesifik karena berat badan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh umur tetapi juga berat badan. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi di masa lampau, dan indeks BB/TB menggambarkan status gizi saat ini secara spesifik dan sensitif. WHO (2007) menyatakan bahwa pengukuran status gizi anak usia 5 hingga 19 tahun tidak lagi menggunakan indikator BB/TB akan tetapi
16
menggunakan indikator indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Klasifikasi status gizi berdasarkan nilai Z-skor secara lengkap disajikan pada Tabel 4 berikut Tabel 4 Kategori status gizi menurut IMT/U Indikator IMT/U
Obese Overwight Normal Kurus/wasted Sangat kurus Sumber: WHO 2007
Kriteria
Standar >+2 SD >+1 SD - +2 SD -2 SD - +1 SD -3 SD - <-2 SD >- 3 SD
KERANGKA PEMIKIRAN Anak usia sekolah termasuk kedalam salah satu kelompok rawan pangan karena berada dalam masa pertumbuhan dan sangat aktif. Kondisi ini mengharuskan seorang anak mengkonsumsi makanan yang mengandung bermacam zat gizi yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan aktifitasnya dalam jumlah yang cukup. Konsumsi pangan merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi anak yang dipengaruhi oleh kebiasaan makan dan pengetahuan gizi, sikap serta praktek. Kebiasaan makan seorang anak merupakan kebiasaan yang diterapkan orang tua sejak anak tersebut masih kecil. Asupan gizi yang lengkap dan seimbang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk tumbuh dan berkembang sesuai usianya. Konsumsi pangan ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan sosial ekonomi keluarga yang meliputi jumlah anggota keluarga, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua. Selain itu, pengetahuan gizi, sikap, dan praktek ibu juga berpengaruh terhadap
kebiasaan
makan
yang
diterapkan
kepada
anak-anaknya.
Pengetahuan, sikap, dan praktek itu dipengaruhi oleh usia orang tua, pendidikan orang tua, serta persepsi orang tua terhadap suatu makanan. Pengetahuan gizi ibu yang baik akan dapat meningkatkan status gizi keluarganya. Dengan pengetahuan gizi yang baik, ibu akan bijak memilih bahan makanan yang akan dikonsumsi. Pengetahuan gizi yang kurang atau penerapan pengetahuan gizi yang tidak baik dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan masalah gizi. Pengetahuan gizi berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan penentuan jumlah makanan yang dikonsumsi. Pola konsumsi pangan individu atau keluarga dapat berfungsi sebagai cerminan dari kebiasaan makan individu atau keluarga. Kebiasaan makan yang diteliti dalam penelitian ini adalah kebiasaan mengkonsumsi lele dan konsumsi makanan utama (lengkap) diluar konsumsi konsumsi lele. Semakin tinggi frekuensi makan lengkap, maka akan memberi peluang semakin meningkatnya frekuensi konsumsi pangan hewani seperti lele. Konsumsi pangan lengkap 3 kali sehari akan memeberikan peluang terpenuhinya kebutuhan gizinya dibandingkan hanya makan 1-2 kali sehari.
Frekuensi dan jumlah konsumsi pangan yang
memenuhi kebutuhan juga akan memberikan peluang semakin terpenuhinya kecukupan gizi anak.
18
Karakteristik individu Persepsi Usia pendidikan
Karakteristik Keluarga: Jumlah anggota keluarga Pendapatan keluarga
Pengetahuan, Kebiasaan makan
Konsumsi Pangan
Konsumsi lele
Makan Utama
Status kesehatan
Status gizi
dan infeksi
anak
Keterangan:
Sikap, Praktek
Aktifitas fisik
= Variabel diamati = Variabel tidak diamati = Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan pendapatan, pengetahuan gizi dengan konsumsi lele dan status gizi anak
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan secara cross sectional study yaitu seluruh variabel diamati pada saat yang bersamaan pada waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di Desa Cogrek Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa Desa Cogrek di Kecamatan Parung merupakan salah satu sentra peternakan lele di Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Juni 2012. Cara Pengambilan Contoh Responden dalam penelitian ini adalah keluarga peternak lele dalam hal ini yang nantinya akan diukur pengetahuan dan sikapnya adalah ibu (istri peternak lele). Responden dipilih terhadap keluarga peternak lele dengan kriteria inklusi; sedang membudidayakan ikan lele baik kepunyaan sendiri maupun dengan sistem bagi hasil, memiliki setidaknya 1 orang anak usia sekolah serta bersedia menjadi responden penelitian. Contoh dalam penelitian ini adalah anak keluarga peternak lele yang berusia antara 6-12 tahun. Jumlah peternak lele yang tercatat di kantor Kecamatan Desa Cogrek sebanyak 82 orang. Berdasarkan jumlah tersebut, dilakukan pengukuran jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan rumus Lemeshowb dkk, 1997 n= n= n = 67 orang sampel minimal adalah 67 orang, untuk mengantisipasi adanya sampel yang drop out maka ditambah ± 10% menjadi 74 orang. n = jumlah sampel minimal yang diperlukan N = populasi = derajat kepercayaan ( 0.05 ) p = proporsi (0.5) q = (1 – p) d = presisi (limit error) Berdasarkan rumus diatas, diketahui bahwa sampel minimal yang harus diambil adalah sebanyak 74 orang. Namun dalam kenyataannya, jumlah peternak lele yang sedang melakukan ternak lele tidak mencapai jumlah tersebut karena berbagai macam faktor diantaranya ada peternek lele yang tidak memiliki
20
anak berusia sekolah dasar, ada beberapa peternak lele yang sedang tidak melakukan budidaya, dan ada beberapa peternak yang mengganti ternaknya dengan ikan air tawar jenis lain seperti gurame, patin, nila. Sehingga penelitian ini menggunakan metode snowball sampling yaitu teknik sampling yang semula anggota sampelnya berjumlah sedikit kemudian anggota sampel (responden) menunjuk temannya untuk menjadi sampel sehingga jumlahnya akan semakin banyak. Berdasarkan metode dan kriteria yang ditentukan, maka diperoleh 31 orang responden dan contoh. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari data identitas responden dan contoh, data status sosial ekonomi keluarga, data antropometri anak, pengetahuan gizi responden, sikap responden, praktek konsumsi lele contoh, dan konsumsi pangan contoh. Data sekunder berupa data gambaran umum wilayah, luas peternakan lele, serta data-data yang lain yang mendukung penelitian ini. Data identitas responden dan contoh, status ekonomi keluarga, pengetahuan gizi responden, sikap responden dan praktek konsumsi lele contoh diperoleh dengan cara pengisian lembar kuesioner (Lampiran 8). Data antropometri menggunakan
contoh
dikumpulkan
timbangan
injak
dengan
digital
dan
pengukuran
berat
badan
pengukuran
tinggi
badan
menggunakan microtoise, kemudian dihitung status gizi contoh. Data kosumsi lele dan pangan lainnya dalam satu bulan terakhir dikumpulkan menggunakan Food Frequency Questionare (FFQ) yang telah dikembangkan, dan data konsumsi pangan contoh diperoleh dengan metode recall 2 x 24 jam. Tabel 5 Jenis data dan cara pengumpulan data No 1 2
Jenis Data Karakteristik contoh, responden Karakteristik sosial ekonomi keluarga
-
3
Antropometri anak
-
Variabel Jenis kelamin Usia Pendidikan orang tua Pendapatan orang tua Pekerjaan orang tua Jumlah anggota keluarga Berat badan Tinggi badan
Cara pengumpulan data
Wawancara menggunakan kuesioner
BB ditimbang menggunakan timbangan digital. Sedangkan, TB diukur menggunakan microtoise
21
Lanjutan tabel 5 No 4
Jenis Data Pengetahuan gizi responden
5 6
Sikap responden Praktek konsumsi lele contoh
7
Konsumsi pangan contoh
8
Variabel Pengetahuan gizi responden mengenai gizi dan manfaat lele - Sikap responden - Praktek pemberikan makanan termasuk konsumsi lele - Konsumsi pangan 2 x 24 jam - Konsumsi pangan dalam sebulan terakhir Letak geografis, sarana dan prasarana
Cara pengumpulan data
-
Gambaran umum lokasi penelitian
Wawancara dan kuesioner
-
Recall 2 x 24 jam FFQ
Arsip desa
Pengolahan dan Analisis Data Tahapan proses pengolahan data yang dilakukan adalah editing, coding, entry data, tabulasi dan analisis statistik. Data diolah menggunakan Microsoft Excel 2007. Data besar keluarga diolah dengan mengelompokkan berdasarkan jumlah anggota keluarga, yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥ 8 orang) (Hurlock 1998). Data usia orangtua dikelompokkan menjadi empat kategori menurut Papalia & Old (2008) yaitu remaja (<20 tahun), dewasa awal (20-40 tahun), dewasa tengah (41-65 tahun), dewasa akhir (>65 tahun). Data tingkat pendidikan orang tua digolongkan menjadi enam kategori, yaitu
tidak
sekolah,
SD/sederajat,
SLTP/sederajat,
SLTA/sederajat,
dan
Perguruan Tinggi. Pendapatan perkapita keluarga dikategorikan menjadi dua kategori yaitu keluarga miskin dan keluarga tidak miskin berdasarkan garis kemiskinan
Jawa
Barat
untuk
desa
tahun
2011
yaitu
sebesar
Rp.209.777/kapita/bulan (BPS 2011). Pengetahuan gizi contoh diperoleh dengan menilai jawaban responden terhadap 20 pertanyaan mengenai gizi secara umum, kandungan gizi lele, dan manfaat mengkonsumsi lele. Sikap gizi responden diperoleh dengan melakukan penilaian terhadap jawaban responden terhadap 10 pertanyaan mengenai sikap terhadap konsumsi lele. Jawaban yang benar diberi skor 1 dan jawaban yang salah diberi skor 0. Data pengetahuan dan sikap gizi dihitung dengan cara menjumlahkan skor jawaban yang benar, kemudian dipersentasekan untuk
22
mengetahui skor yang diperoleh. Skor tersebut kemudian digolongkan ke dalam tiga kriteria tingkat pengetahuan gizi (Khomsan 2000) sebagai berikut : 1. Baik dengan skor >80% 2. Sedang dengan skor 60-80% 3. Kurang dengan skor <60% Penilaian praktek konsumsi lele diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Pertanyaan kuesioner meliputi frekuensi makan utama, konsumsi pangan hewani dan konsumsi lele. Kebiasaan makan dinilai dengan kategori selalu (>6 kali/minggu), sering (3-6 kali/ minggu), jarang (1-2 kali/minggu), sangat jarang (<1 kali/minggu), dan tidak pernah (0 kali/minggu). Data pendidikan gizi, sikap dan praktek konsumsi lele kemudian diuji menggunakan uji korelasi spearman untuk mengetahui hubungan antar variable tersebut. Data konsumsi pangan (recall) dikonversi dalam bentuk energi (kkal), protein (g), vitamin A (RE), vitamin C (mg), besi (mg), kalsium (mg), dan fosfor (mg) menggunakan Daftar Konversi Bahan Makanan (DKBM). Konversi dihitung dengan rumus (Hardinsyah & Briawan 1994) sebagai berikut : Kgij = { (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) } Keterangan: Kgij Bj Gij BDDj
: konversi zat gizi-i dalam bahan makanan-j : berat makanan j yang dikonsumsi (gram) : kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j : bagian bahan makanan-j yang dapat dikonsumsi
Tingkat konsumsi energi, protein, vitamin A, vitamin C, besi, kalsium, dan fosfor dihitung dengan membandingkan jumlah zat gizi yang dikonsumsi dengan kecukupan yang dinyatakan dalam persen. Penilaian untuk tingkat konsumsi energi dan protein dibagi dalam lima kategori (Depkes 1996) yaitu: 1. Defisit tingkat berat (<70%) 2. Defisit tingkat sedang (70 - 79%) 3. Defisit tingkat ringan (80 – 89%) 4. Normal (90 – 119%) 5. Lebih (120%) Penilaian tingkat konsumsi vitamin A, vitamin C, besi, kalsium dan fosfor menurut Gibson (2005) dibagi dalam dua kategori yaitu 1. Kurang (<77%) 2. Cukup (77%)
23
Data hasil pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) diolah untuk menentukan nilai Z-skor. Ada tiga nilai Z-skor, yaitu Z-skor berdasarkan BB menurut umur (BB/U), Z-skor berdasarkan TB menurut umur (TB/U) dan Z-skor berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Pada penelitian ini, nilai Z-skor yang digunakan adalah nilai Z-skor berdasarkan berat badan menurut tinggi badan. WHO (2007) menyatakan bahwa pengukuran status gizi anak usia 5 hingga 19 tahun tidak lagi menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan indikator indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Hal ini dikarenakan indikator tersebut mampu menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang pendek, seperti menurunnya nafsu makan akibat sakit atau karena menderita diare (Riskesdas 2010). Penetuan Z-skor dilakukan menggunakan software WHO Antro 2007. Hasil penentuan Z-Skor terhadap masing-masing individu kemudian dibandingkan dengan distribusi baku rujukan WHO/NCHS. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) 16.0 for Windows, dan Microsoft Excel 2007. Hubungan antara beberapa variabel diuji menggunakan uji korelasi spearman ataupun uji pearson. Definisi Operasional Contoh adalah anak keluarga peternak lele. Anak peternak lele yang diukur status gizinya adalah anak yang memenuhi kriteria: anak laki-laki atau perempuan, berusia antara 6 – 12 tahun, tinggal bersama orang tua dan orang tua anak tersebut memiliki kolam peternakan lele yang sedang membudidayakan lele baik milik sendiri maupun dengan sistem bagi hasil Responden adalah keluarga peternak lele, dalam hal ini yang diukur pengetahuan dan sikap gizinya adalah ibu contoh (istri). Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang hidup dalam satu bangunan rumah dan makan dari pendapatan yang sama. Besar keluarga diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu kecil ( 4 orang), sedang (5 – 7 orang), dan besar ( 8 orang). Pendapatan keluarga adalah sejumlah uang yang didapatkan oleh seluruh anggota keluarga dari pekerjaan tetap maupun dari beternak lele.
24
Kebiasaan makan adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan makan dan makanan seperti kebiasaan konsumsi lele, makanan kesukaan, makanan pantangan, frekuensi makan, frekuensi konsumsi lele. Konsumsi pangan adalah berbagai jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari dengan menggunakanan metode food recall 2 x 24 jam. Pengetahuan gizi adalah kemampuan contoh dalam menjawab hal-hal yang berhubungan dengan gizi, meliputi fungsi zat gizi, pangan sumber zat gizi tertentu, fungsi protein, manfaat lele, yang diukur dengan menilai skor jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan. Sikap terhadap lele adalah kecenderungan ibu dalam memilih, mengkonsumsi, menerima atau menolak ikan lele dalam rumah tangga yang diketahui dengan pernyataan setuju atau tidak setuju. Konsumsi lele adalah jenis, frekuensi konsumsi, alasan konsumsi lele selama sebulan terakhir. Status gizi anak adalah keadaan gizi contoh yang diperhitungkan dengan zscore dan di klasifikasikan menurut WHO 2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Cogrek terletak di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor dengan luas daerah 511,856 Ha. Desa Cogrek terletak 6 Km dari Ibu Kota Kecamatan Parung, 55 km dari Ibu Kota Kabupaten Bogor dan 56 km dari Ibu Kota Negara. Desa yang terdiri dari 5 dusun, 39 RT dan 8 RW ini, memiliki ketinggian 100 meter dpl, dengan suhu udara 28 – 34°C dan curah hujan 200 mm/tahun. Desa ini berbatasan dengan Sebelah utara
: Cibinong, Cibadung Kecamatan Gunung Sindur
Sebelah selatan
: Desa Bojong Indah Kecamatan Parung, dan Desa Cihoe Kecamatan Ciseeng
Sebelah timur
: Desa Warjaya Kecamatan Parung
Sebelah barat
: Desa Cihoe dan Desa Kuripan Kecamatan Ciseeng
Luas daerah Desa Cogrek adalah 511,856 Ha yang terdiri dari tanah sawah, tanah kering. Dan tanah untuk keperluan umum. Penggunaan lahan di Desa Cogrek dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 6 Penggunaan lahan di Desa Cogrek Jenis pengunaan lahan Jalan Sawah dan ladang Bangunan umum Empang Pemukiman Pekuburan Jumlah (sumber: arsip Desa Cogrek)
Luas (Ha)
% 5 283 61,276 9 150 3,58 511,856
0,97 55,28 11,97 1,75 29,30 0,69 100,00
Pada bulan Mei 2012 desa ini memiliki penduduk sebanyak 15.472 jiwa, yang terdiri dari 8.091 jiwa penduduk laki-laki dan 7.381 jiwa penduduk perempuan Dari segi pendidikan, sebagian besar penduduk memiliki tingkat pendidikan tamat SD/sederajat. Mata pencaharian sebagian besar penduduk yaitu petani/peternak, buruh kasar, buruh tani, pedagang, pegawai negeri sipil, ABRI dan karyawan/pegawai swasta. Ikan lele merupakan komoditi utama perikanan budidaya di Kabupaten Bogor. Terdapat tiga kecamatan di Kabupaten Bogor yang merupakan sentra produksi lele yaitu, Kecamatan Parung, Ciseeng, dan Gunung Sindur. Sebagai salah satu daerah sentra usaha budidaya lele, di desa ini terdapat 62,5 Ha empang dan 6 Ha waduk dengan produksi ikan air tawar mencapai 12.000 ton/tahun.
26
Selain ikan lele, yang diproduksi sekitar 1200 ton/tahun, di desa ini juga dibudidayakan berbagai jenis ikan air tawar lainnya yaitu ikan mujair dengan produksi 5 ton/tahun, ikan patin dengan produksi 15 ton/tahun, dan ikan gurame dengan produksi 15 ton/tahun. Hasil tersebut kemudian dijual ke tengkulak maupun ke pedagang pengecer untuk selanjutnya dipasarkan di Daerah Bogor dan sekitarnya. Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari mengelola sumberdaya secara bersama. Harlock (1998) membagi keluarga menjadi tiga kategori yaitu kecil ( 4 orang), sedang (5 – 6 orang), dan besar ( 7 orang). Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran suatu rumah tangga. Selain itu, besar keluarga juga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan distribusi (pembagian) makanan yang dikonsumsi dalam keluarga. Data keluarga responden dapat dilihat pada tabel berikut ini Tabel 7 Sebaran besar keluarga responden Keluarga peternak
Besar keluarga
n
% 15 12 4 31
Kecil ( 4 orang), Sedang (5 – 6 orang), Besar ( 7 orang) Total
48 39 13 100
Rata-rata besar keluarga responden adalah 4,77±1,283 orang. Jumlah anggota keluarga resonden beragam antara 3 orang hingga 8 orang dalam satu rumah tangga. Sebagian besar responden adalah keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga 4 orang dengan persentase 48%. Jumlah anggota keluarga menentukan perhatian orang tua terhadap anaknya. Semakin sedikit jumlah anggota keluarga maka perhatian orang tua kepada anaknya akan semakin meningkat.
Kualitas
dan
kuantitas
makanan
secara
langsung
akan
mempengaruhi status gizi keluarga dan individu. Semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang (Suhardjo 1989). Usia Sebaran usia ayah paling banyak berada pada usia 20-40 tahun atau berada pada kelompok usia dewasa awal. Rata-rata usia ayah adalah 38,84 ± 8,379 tahun. Sebaran usia ibu juga paling banyak berada pada rentang usia 20-
27
40 tahun atau pada kelompok dewasa awal. Rata-rata usia ibu adalah 33,74±5,477 tahun. Berikut sebaran usia ayah dan ibu Tabel 8 Sebaran usia ayah dan ibu ayah
Usia
n
Remaja (<20 tahun) Dewasa Awal (20 - 40 tahun) Dewasa Madya (41 - 65 tahun) Dewasa Lanjut (> 65 tahun) Total
ibu %
0 20 11 0 31
n
%
0,0 64,5 35,5 0,0 100
0 29 2 0 31
0,0 93,5 6,5 0,0 100
Orang tua muda, terutama ibu, cenderung memiliki pengalaman yang kurang dalam merawat dan membesarkan anak sehingga umumnya mereka membesarkan anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, usia muda menyebabkan perhatian orang tua terbagi antar kepentingan pribadi dengan kepentingan anaknya sehingga kualitas perawatan tidak akan maksimal (Hurlock 1998). Tingkat Pendidikan Tingkat
pendidikan
berdasarkan
latar
belakang
pendidikan
yang
ditamatkan. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak terutama pemberian makan, pola konsumsi dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan yang baik maka ia akan dengan mudah menerima informasi yang diberikan terutama dalam hal cara mengasuh anak yang baik, cara menjaga kesehatan anak, pendidikan anak dan lain-lain (Soetjiningsih 1995). Berikut adalah tabel sebaran pendidikan ayah dan ibu : Tabel 9 Sebaran tingkat pendidikan ayah dan ibu Tingkat Pendidikan SD Sederajat SMP Sederajat SMA Sederajat PT Total
Ayah n
Ibu %
17 9 5 0 31
n
54,8 29,0 16,1 0,0 100,0
24 6 1 0 31
% 77,4 19,4 3,2 0,0 100,0
Sebagian besar tingkat pendidikan ayah maupun ibu contoh adalah SD sederajat yaitu ayah sebesar 54,8 % dan ibu sebesar 77,4%. Tingkat pendidikan tertinggi yang ditempuh oleh ayah dan ibu contoh adalah SMA sederajat yaitu berturut-turut 16,1% dan 3,2%. Secara umum tingkat pendidikan orang tua contoh tergolong rendah dan diasumsikan bahwa sebagian besar orang tua contoh memiliki pekerjaan dengan pendapatan yang rendah pula.
28
Menurut Nurmansyah (2006), tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi seseorang yang disebabkan oleh pola pikir dan pengalamannya.
Seseorang
yang
mempunyai
pengetahuan
dan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi cenderung akan memilih pangan yang lebih baik kualitasnya daripada yang berpendidikan rendah. Selain melihat dari sisi kualitas pangan yang dikonsumsinya, konsumen dengan pendidikan yang lebih tinggi juga
akan melihat
lebih
jauh
terhadap keburukan
dan resiko dalam
mengkonsumsi pangan, serta cenderung berperilaku lebih kritis dalam pembelian dan pemilihan suatu produk. Penelitian yang dilakukan di India menunjukkan bahwa pendidikan ibu sangat berpengaruh dalam meningkatkan nilai gizi makanan anaknya, terutama dalam perencanaan pangan. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan dapat mengetahui kandungan gizi dalam setiap makanan (Ekanayake et al 2004). Orang yang berpendidikan tinggi cenderung akan memilih makanan yang murah namun memiliki kandungan gizi yang tinggi sesuai dengan pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil, sehingga kebutuhan gizinya dapat terpenuhi dengan baik Pekerjaan Pekerjaan orang tua akan mempengaruhi kondisi ekonomi keluarga karena berhubungan dengan pendapatan dan penghasilan keluarga. Pekerjaan orang tua dapat memperlihatkan bagaimana tingkat ekonomi contoh penelitian. Keadaan ekonomi akan bepengaruh terhadap daya beli seseorang dalam memenuhi kebutuhan pangan. Sebagian besar ayah contoh (38,7%) bekerja sebagai buruh non tani. Mereka bekerja sebagai peternak lele dengan sistem bagi hasil. Selain itu, ada pula ayah contoh yang bekerja sebagia peternak lele yang memiliki lahan dan modal sendiri yaitu sebanyak 16,1%. Selain peternak, sebagian ayah contoh bekerja di bidang lain seperti pedagang, wiraswasta, dan karyawan. Tabel 10 Sebaran pekerjaan ayah contoh Pekerjaan Ayah Peternak Lele Buruh Non Tani Pedagang Wiraswasta Lainnya Total
n
% 5 12 2 6 6 31
16,1 38,7 6,5 19,4 19,4 100,0
29
Sebagian besar atau 80,6% pekerjaan ibu contoh adalah sebagai ibu rumah tangga yang menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Namun, ada juga ibu contoh yang bekerja, baik sebagai buruh pabrik, ataupun membuka usaha warung di rumahnya. Berikut disajikan sebaran pekerjaan ibu contoh Tabel 11 Sebaran pekerjaan ibu contoh Pekerjaan Ibu
n
%
IRT Pedagang Karyawan Total
25 2 4 31
80,6 6,5 12,9 100
Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang dapat memperngaruhi gaya hidup suatu keluarga. Keluarga yang memiliki pendapatan yang rendah pada umumnya terdorong untuk menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka persentase pengeluaran untuk memenuhi kebutahan pangannya akan semakin kecil. Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima (Suhardjo 1989) Berdasarkan penelitian yang dilakukan di India, anak yang memiliki ibu yang bekerja cenderung akan mengkonsumsi makanan yang rendah protein, energi, kalsium, dan lisin dibandingkan anak yang ibunya tidak bekerja (Ekanayake et al 2004). Pendapatan per Kapita Pendapatan per kapita merupakan jumlah pendapatan dalam satu rumah tangga yang dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam rumah tersebut. Pendapatan perkapita tersebut kemudian dibandingkan dengan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat untuk menentukan apakah keluarga tersebut tergolong kedalam keluarga miskin atau tidak. Garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat untuk daerah desa per September 2011 adalah Rp 209.777/kapita/bulan. Keluarga yang memiliki pendapatan < Rp 209.777/kapita/bulan dikatakan sebagai keluarga miskin dan keluarga yang memiliki pendapatan ≥Rp 209.777/kapita/bulan dikatakan sebagai keluarga tidak miskin Tabel 12 Sebaran pendapatan per kapita keluarga responden Pendapatan per kapita < Rp 209777 ≥ Rp 209777 Total
n
% 9 22 31
29 71 100
30
Pendapatan perkapita keluarga contoh berkisar antara Rp 112.500 – Rp 6.316.667 per bulan dengan rata-rata pendapatan perkapita adalah Rp 924.097 ± 1.294.424 per bulan. Berdasarkan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat, 29% contoh berada di bawah garis kemiskinan dan 71% contoh berada di atas garis kemiskinan. Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makanan. Jumlah pendapatan keluarga dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, karena pendapatan akan memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan daya belinya. Daya beli sebuah rumah tangga bukan hanya ditentukan oleh pendapatan dari satu orang, tetapi dari seluruh anggota rumah tangga yang bekerja (Sumarwan 2002). Diharapkan dengan pendapatan yang tinggi dapat memberikan peluang yang besar dalam pemilihan makanan yang baik dalam jumlah dan jenisnya. Semakin meningkatnya pendapatan seseorang, akan mengubah susunan menu makanan yang dikonsumsinya. Keluarga yang memiliki pendapatan yang tinggi akan memiliki peluang yang lebih besar untuk memilih pangan yang bergizi bagi keluarganya. Penelitian yang dilakukan pada 527 orang di Mealbourne menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi memiliki hubungan positif dengan kualitas makanan seseorang. Hasil ini sama dengan hasil penelitian lain yang dilakukan di Australia dan di seluruh dunia yang menunjukkan adanya konsumsi pangan yang rendah atau adanya pengurangan pemenuhan makanan dibandingkan dengan standar pada orang dengan kondisi sosial ekonomi rendah. Pada penelitian ini, seseorang dengan kondisi sosial ekonomi rendah cenderung memiliki konsumsi pangan yang rendah dibandingkan dengan kebutuhan (McLeod et al 2011). Pendapatan keluarga peternak berhubungan dengan status kepemilikan ternak lele yang dibudidayakan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji spearman bahwa pendapatan berhubungan nyata (p<0,05) dengan kepemilikan ternak lele namun hubungannya negatif (r=-0,607) (Lampiran 3). Berdasarkan Tabel 13 di bawah diketahui bahwa 35,5% dari usaha ternak lele responden merupakan milik sendiri, sedangkan 64,5% merupakan usaha bagi hasil. Bagi hasil merupakan salah satu cara budidaya yang banyak dilakukan di daerah tersebut dimana responden menyediakan tempat untuk membudidayakan lele dan merawat ikan budidaya sejak benih hingga siap panen. Sedangkan yang
31
menyediakan benih, pakan, dan segala keperluan budidaya lainnya adalah pemilik modal. Berikut disajikan tabel sebaran kepemilikan ternak lele Tabel 13 Sebaran kepemilikan ternak lele responden Kepemilikan Milik Pribadi Bagi Hasil Total
n
% 11 20 31
35,5 64,5 100,0
Lele yang dibudidayakan dipanen setiap dua bulan sekali. Hasil panen kemudian dijual ke pedagang pengumpul ataupun pedagang eceran yang ditentukan oleh pemilik modal. Hasil penjualan lele yang diperoleh nantinya akan dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik modal dengan responden sesuai dengan hasil penjualan lele yang diternakkan. Dalam penelitian ini, pendapatan yang diperoleh responden berkisar antara Rp 200.000,00 hingga 1.500.000,00 untuk dua bulan. Pendapatan ini merupakan pendapatan bersih yang diberikan oleh pemilik modal kepada responden. Pendapatan yang diperoleh tersebut bergantung pada jumlah lahan (kolam ikan) yang dimiliki dan digunakan untuk budidaya, jumlah benih yang dilepaskan, dan jumlah/berat lele yang dipanen. Semakin banyak benih yang ditebarkan pada awal musim budidaya maka kemungkinan semakin besar pula jumlah lele yang dipanen nantinya. Begitu pula dengan jumlah lahan, semakin banyak lahan yang digunakan untuk budidaya maka jumlah panen akan semakin meningkat pula sehingga pendapatan akan semakin meningkat. Prinsip bagi hasil yang dilakukan ini, dalam penerapan di Bank Syariah, disebut dengan syirkah. Syirkah adalah akad persetujuan antara dua orang atau lebih dalam menjalankan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Masing-masing pihak akan memberikan modal untuk menjalankan usaha, kemudian pembagian keuntungan yang diperoleh dari bagi hasil didasarkan pada nisbah (%) bagi hasil. Untuk menjalankan prinsip ini (syirkah) tidak diharuskan adanya kesamaan modal dan pengelolaannya. Boleh saja modal antara pihak yang satu berbeda dengan pihak yang lain sesuai dengan kemampuan dan sebagaimana perbedaan dalam hal tanggung jawab ketika mengelola usaha. Kemudian keuntungan dari usaha dibagi berdasarkan persyaratan yang ditetapkan masingmasing pihak saat memulai usaha. Sementara untuk menentukan kerugian, disesuaikan dengan jumlah modal yang diberikan (Naja 2011).
32
Ternak lele hasil budidaya tersebut kemudian dimanfaatkan oleh responden untuk dikonsumsi ataupun dijual. Dari tabel diketahui bahwa 22,6% keluarga
responden
hanya
menjual
ikan
lele
hasil
budidaya
tanpa
mengkonsumsinya, dan 77,4% keluarga responden menjual ikan hasil budidaya dan juga mengkonsumsi sebagian ikan yang dihasilkan. Keluarga yang hanya menjual ikan hasil budidaya biasanya disebabkan oleh salah satu atau seluruh anggota keluarga tersebut tidak mengkonsumsi daging ikan lele. Berikut disajikan sebaran pemanfaatan ikan lele responden Tabel 14 Sebaran pemanfaatan lele responden Lele yang dihasilkan Dijual Dijual dan dikonsumsi Total
n
% 7 24 31
22,6 77,4 100,0
Hasil penjualan ikan lele, selanjutnya digunakan responden untuk memenuhi keperluan rumah tangga, ditabung ataupun digunakan untuk investasi. Selain itu, untuk responden yang memiliki usaha lele milik sendiri, sebagian hasil penjualan akan digunakan untuk membeli benih, pakan dan keperluan budidaya lainnya untuk kembali memulai usaha budidaya lele. Selain melalui pendapatan perkapita, tingkat kesejahteraan rumah tangga dapat pula ditentukan melalui pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran dalam keluarga ada dua yaitu pengeluaran pangan dan non pangan. Pengeluaran pangan adalah sejumlah pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga (Mufrokhah 2005). Pengeluran non pangan merupakan alokasi pengeluaran untuk kebutuhan selain pangan seperti untuk pendidikan, kesehatan, pembayaran listrik dan PAM, pembelian pakaian, dan lain-lain (Roswita 2005). Pada penelitian ini diketahui pengeluaran perkapita perbulan peternak lele berkisar antara Rp 114.000,00 hingga Rp 2.039.750,00 dengan rata-rata pengeluaran perkapita perbulan adalah Rp 475.452,14. Pengeluaran rumah tangga keluarga peternak terdiri dari pengeluaran untuk pangan, non pangan dan pengeluaran ternak untuk responden yang memiliki lahan sendiri. Berikut disajikan rata-rata alokasi pengeluaran keluarga peternak lele Tabel 15 Rata-rata alokasi pengeluaran rumah tangga keluarga peternak lele
minimal maksimal rata-rata
Total 114.000,00 2.039.750,00 525.397,66
Pangan 40.000,0 445.000,0 179.608,4
Pengeluaran/kap % Non pangan 5,5 24.400,0 78,6 486.666,7 50,4 156.631,1
% 6,7 56,6 33,3
Ternak 1.750,0 1.700.000,0 189.158,1
% 0,5 83,3 46,1
33
Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran untuk pangan keluarga peternak adalah Rp 179.608,4 sedangkan rata-rata pengeluaran total untuk non pangan (non pangan ditambah dengan ternak) adalah Rp 345.789,2. Pengeluaran pangan keluarga responden berkisar antar 5,5% - 78,6% dengan pengeluaran rata-rata 50,4%. Hasil ini sedikit lebih tinggi dibandingkan data persentase pengeluaran pangan rata-rata perkapita di Indonesia pada tahun 2011 yaitu 49,45% (BPS 2012). Pengeluran non pangan (non pangan ditambah ternak) berkisar antara 21,4% hingga 94,5% dengan rata-rata pengeluaran non pangan sebesar 49,6%. Hasil ini sedikit lebih rendah dibandingkan data persentase pengeluaran non pangan rata-rata perkapita di Indonesia pada tahun 2011 yaitu 50,55% (BPS 2012). Sebagian besar responden memiliki pengeluaran perbulan untuk pangan lebih besar dibandingkan dengan non pangan. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga responden relatif masih rendah. Walaupun diketahui bahwa 71% responden berada di atas garis kemiskinan namun jika dilihat dari persentase pengeluaran pangan maka keluarga reponden termasuk keluarga miskin.
Hal
ini
terbukti
dengan
masih
tingginya
pengeluaran
pangan
dibandingkan dengan pengeluaran non pangan. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka porsi pengeluarannya akan bergeser dari pengeluaran untuk pangan menjadi pengeluaran non pangan (Mufrokhah 2005). Hal ini sejalan dengan Hukum Engel yang menyatakan bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran pangan dan bukan pangan terhadap keseluruhan pengeluaran, merupakan salah satu cerminan kesejahteraan penduduk. Semakin besar proporsi pembelian pada produk bukan pangan, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraannya (Arkadi 2003). Karakteristik Contoh Usia Usia mempengaruhi kematangan seorang anak untuk masuk sekolah dasar. Golongan umur anak sekolah belum mencapai dewasa dan merupakan generasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam konsumsi pangannya. Pola makan pada saat ini perlu mendapat perhatian khusus, karena pola konsumsi saat ini akan terbawa terus sampai dewasa. Sebaran usia contoh dapat dilihat pada tabel berikut ini :
34
Tabel 16 Sebaran usia contoh Total
Usia (tahun)
n
%
7 8 9 10 11 12 Total
6 6 7 4 5 3 31
19,4 19,4 22,6 12,9 16,1 9,7 100,0
Contoh dalam penelitian ini adalah anak peternak lele yang masih duduk di bangku sekolah dasar atau berada dalam usia antara 7 – 12 tahun. Total contoh dalam penelitian ini sebanyak 31 anak. Kebanyakan contoh memiliki usia 9 tahun yaitu 22,6%. Rata-rata usia contoh adalah 9,16 ± 1,63 tahun, dengan usia terendah adalah 7 tahun dan usia tertinggi adalah 12 tahun. Jenis Kelamin Menurut
Hurlock
(1998),
jenis
kelamin
anak
mempengaruhi
perkembangan secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung terjadi sebelum dan sesudah lahir, sedangkan yang tidak langsung hanya terjadi sesudah lahir. Pengaruh langsung berasal dari kondisi hormon. Kondisi hormon inilah yang mempengaruhi timbulnya perbedaan dalam perkembangan fisik dan psikologis anak perempuan dan laki-laki. Dari 31 orang contoh, terdapat 54,8% contoh yang berjenis kelamin lakilaki dan 45,2% contoh yang berjenis kelamin perempuan. Data tersebut menunjukkan bahwa populasi laki-laki pada peternak lele lebih besar dibandingkan populasi perempuan. Sebaran jenis kelamin contoh dapat dilihat melalui tabel dibawah ini : Tabel 17 Sebaran jenis kelamin contoh Jenis Kelamin
n
Laki-Laki Perempuan Total
% 17 14 31
54,8 45,2 100,0
Berat Badan dan Tinggi Badan Pengukuran berat badan dan tinggi badan menggambarkan pertumbuhan dan komposisi tubuh yang secara sederhana menggambarkan keadaan gizi seseorang.
Berat
badan
merupakan komponen
yang
diperlukan untuk
menentukan status gizi dan menghitung kebutuhan energi contoh. Berat badan akan memberikan gambaran mengenai massa tubuh termasuk otot dan lemak (Jellife & Jellife 1989). Perkembangan berat badan seseorang akan searah
35
dengan pertambahan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Tinggi badan memberikan gambaran keadaan pertumbuhan skeletal dimana tinggi badan akan tumbuh seiring dengan pertambahan usia (Gibson 1990 dalam Mahyar 2010). Berikut adalah tabel rata-rata berat badan dan tinggi badan kedua jenis contoh: Tabel 18 Rata-rata berat badan dan tinggi badan contoh Variabel Minimum Maksimum
Tinggi Badan (cm) 107,0 143,5
Berat Badan (kg) 17 38
Dari tabel di atas diketahui bahwa rata-rata berat badan contoh 23,8±6,44 kg dan rata-rata tinggi badan contoh 125,1±9,79 cm. Berat badan merupakan komponen yang sensitif terhadap segala perubahan mendadak yang terjadi dalam tubuh, misalnya akibat terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan, atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Tinggi badan merupakan komponen yang kurang sensitif terhadap defisiensi gizi tertentu dalam jangka waktu yang pendek. Karena pengaruhnya baru akan terlihat pada jangka waktu yang relatif lama (Jellife & Jellife 1989). Berdasarkan jenis kelamin, terdapat perbedaan komposisi tubuh antar laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki memiliki lebih banyak massa otot tubuh (lean body mass) per centimeter tinggi badan dibanding anak perempuan. Sedangkan anak perempuan memiliki persentase berat lemak lebih tinggi dari pada laki-laki, tetapi perbedaan keduanya tidak nampak signifikan sampai mereka memasuki usia remaja. Asupan energi dalam masa pertumbuhan pada umur yang sama dan jenis kelamin yang sama tergantung pada aktivitas yang dilakukan. Status Gizi Contoh Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu (Soekirman 1994). Status gizi seseorang berubah dari masa ke masa, hal ini karena status gizi merupakan interaksi dari berbagai faktor. Menurut Riyadi (2001), faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi adalah konsumsi pangan dan status kesehatan. Penentukan status gizi contoh dilakukan dengan menggunakan software WHO Antro. Hasil yang diperoleh kemudian dikategorikan menjadi gizi kurang ( z -2 SD), normal (-2 SD z +2 SD), dan gizi lebih (z +2 SD). Adapun sebaran status gizi contoh dapat dilihat dari tabel berikut ini :
36
Tabel 19 Sebaran status gizi contoh Status Gizi
IMT/U n
Gizi kurang Normal Gizi lebih Total
% 7 22 2 31
22,6 71,0 6,5 100,0
Hasil di atas menunjukkan sebagian besar contoh yaitu 71% berstatus gizi normal dan 26.6% contoh berstatus gizi kurang. Diperoleh juga bahwa masih ada contoh yang berstatus gizi lebih yaitu sebanyak 6,5%. Seseorang yang sehat dan memiliki gizi yang baik tidak akan mudah terserang penyakit karena daya tahan tubuh yang kuat. Daya tahan tubuh akan meningkat pada keadaan gizi yang baik. Indikator yang biasa digunakan untuk menentukan status gizi anak adalah IMT/U, dikarenakan indikator IMT/U mampu menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang pendek, seperti menurunnya nafsu makan akibat sakit atau karena menderita diare (Riskesdas 2010). Status gizi seseorang ditentukan berdasarkan konsumsi gizi dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat-zat gizi tersebut. Status gizi normal menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas makanan yang telah memenuhi kebutuhan tubuh. Seseorang yang berada dia bawah ukuran berat badan normal memiliki risiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan seseorang yang berada di atas ukuran normal memiliki risiko tinggi penyakit degeneratif. Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi serta interaksi antara zat gizi dengan status gizi dan kesehatan. Pengetahuan dapat diperoleh seseorang melalui pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya dalam memilih makanan, yang akhirnya akan berpengaruh terhadap keadaan gizi orang tersebut (Khomsan 2007). Responden diberikan 20 buah pertanyaan dalam bentuk pilihan ganda. Pertanyaan tersebut mengenai jenis dan manfaat zat gizi, sumber zat gizi, zat gizi yang terdapat dalam ikan lele dan manfaat mengkonsumsi ikan lele. Berikut adalah sebaran pertanyaan dan jumlah responden yang menjawab benar untuk setiap pernyataan :
37
Tabel 20 Sebaran jumlah jawaban benar dari soal pengetahuan gizi No.
Pernyataan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Ciri pangan bergizi (b. Beranekaragam) Pangan sumber energi (b. nasi dan roti) Ciri makanan berformalin (a. kenyal dan tahan lama) Zat gizi makro (b. karbohidrat, lemak, protein) Manfaat mengkonsumsi garam beryodium (b. mencegah gondok) Batas usia pemberian ASI ekslusif (b.6 bulan) Konsumsi air per hari (c. 8 gelas) Pangan sumber zat besi (c. hati dan sayuran hijau) Fungsi zat besi (b. pembentukan darah) Pangan sumber protein hewani (c. susu, telur) Zat gizi yang banyak terdapat pada lele (a. protein) Fungsi protein (c. membantu pertumbuhan) Mineral yang banyak terdapat pada lele (a. kalsium) Fungsi kalsium (b. pertumbuhan tulang dan gigi) Kadar lemak dalam daging lele (b. rendah) Dampak mengkonsumsi lemak terlalu banyak (b. jantung koroner) Asam lemak yang terdapat dalam lele (a. omega 3) Golongan yang diperbolehkan mengkonsumsi lele (c. semua boleh mengkonsumsi) Pangan sumber protein selain lele (a. tahu, tempe) Pangan sumber kalsium selain lele (a. susu)
16 17 18 19 20
jawaban benar n % 16 51,6 17 54,8 26 83,9 6 19,4 29 93,5 16 51,6 29 93,5 13 41,9 6 19,4 30 96,8 10 32,3 23 74,2 8 25,8 17 54,8 4 12,9 17
54,8
8
25,8
24
77,4
18 23
58,1 74,2
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa dari 20 buah pertanyaan seputar gizi yang diberikan, sebagian besar responden cenderung menjawab salah pada pertanyaan mengenai zat gizi makro, fungsi zat besi, kandungan mineral dalam ikan lele, kadar lemak ikan lele, dan asam lemak yang terkandung dalam ikan lele. Hal ini kemungkinan disebabkan responden yang awam atau tidak pernah mendengat istilah zat gizi, seperti zat gizi makro, asam lemak, omega 3 omega 6, kalsium, karbohidrat, protein, lemak, dan mineral. Pertanyaan yang paling banyak dijawab benar oleh responden adalah pertanyaan mengenai ciri makanan berformalin, manfaat mengkonsumsi garam beryodium, konsumsi air per hari, dan pangan sumber protein hewani. Hal ini mungkin disebabkan karena responden sering mendengar istilah tersebut baik dari media massa maupun dari penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah. Jumlah jawaban benar yang diperoleh responden kemudian dijumlahkan dan dipersentasekan untuk melihat tingkat pengetahuan gizi responden. Kategori pengetahuan gizi kemudian dibagi menjadi tiga kelompok yaitu baik, sedang dan kurang. Pengkategorian dilakukan dengan menetapkan cut off point dari skor yang telah dijadikan persen. Kategori pengetahuan gizi yaitu baik apabila skor > 80%, sedang apabila skor 60 – 80%, dan kurang apabila skor < 60% (Khomsan 2000). Berikut adalah tabel sebaran tingkat pengetahuan gizi responden :
38
Tabel 21 Sebaran tingkat pengetahuan gizi responden Total
Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu
n
Tinggi (> 80%) Sedang (60-80%) Rendah (< 60%)
% 3 10 18 31
Total
9,7 32,3 58,1 100,0
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa 58,1% responden memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tergolong rendah (< 60%) dan hanya 9,7% responden yang memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tergolong tinggi (> 80%). Rata-rata pengetahuan gizi responden adalah 54,68 ± 16,327. Pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap sikap, pemilihan bahan makanan dan penentuan jumlah makanan yang akan dikonsumsi oleh keluarganya. Tingkat pengetahuan gizi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan konsep mengenai objek tertentu. Tingkat konsumsi pangan dan gizi masyarakat ditentukan oleh tingkat pengetahuan terhadap pangan dan gizi. Apabila kemampuan daya beli tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang baik, maka dapat menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan gizi. Pengetahuan gizi yang cukup diharapkan dapat mengubah perilaku seseorang yang kurang benar sehingga dapat memilih bahan makanan yang bergizi. Akan tetapi, tingkat pengetahuan gizi ibu yang rendah bukan berarti ibu tersebut tidak mampu memilih dan menyajikan makanan yang sehat dan bergizi bagi keluarganya. Hal ini disebabkan orang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi akan rajin dalam mendengarkan informasi tentang gizi melalui berbagai sumber, misalnya melalui televisi, radio, media cetak, maupun melalui orang lain sehingga pengetahuan gizinya baik (Madanijah 2004). Sikap Ibu Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidak senangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari orang terdekat. Penilaian sikap dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan memberikan pernyataan-pernyataan hipotesis kepada responden kemudian ditanyakan pendapatnya melalui kuesioner. Pernyataan yang diberikan sejumlah 10 bulir pernyataan, kemudian responden memilih setuju atau tidak setuju. Berikut adalah sebaran pernyataan dan sikap responden untuk setiap pernyataan :
39
Tabel 22 Sebaran sikap responden untuk setiap pernyataan Setuju
No
Pernyataan
1
Lele mengandung zat gizi yang baik untuk anak saya Saya tidak memperbolehkan anak saya untuk mengkonsumsi lele Anak usia sekolah membutuhkan makanan bergizi tinggi Ikan lele mengandung protein yang baik untuk anak saya Ikan lele sebaiknya hanya dikonsumsi oleh orang tua saja Konsumsi lele yang paling baik adalah sebulan sekali Anak saya hanya saya berikan makanan yang disukainya saja Selain ikan lele, saya juga menyediakan lauk hewani lainnya untuk anak saya Omega 3 dalam daging ikan lele baik untuk perkembangan otak anak saya Selain dikonsumsi langsung ikan lele juga saya olah menjadi makanan lain
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak setuju n % 2 6,5
n 29
% 93,5
3
9,7
28
90,3
31
100,0
0
0,0
29
93,5
2
6,5
2
6,5
28
90,3
3
9,6
22
71,0
9
29
18
58,1
31
100,0
0
0,0
31
100,0
0
0,0
26
83,9
5
16,1
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa dari 10 buah pertanyaan seputar gizi yang diberikan, sebagian besar responden cenderung menjawab tidak setuju pada pertanyaan “Anak hanya diberikan makanan yang disukainya saja” (58,1%), “saya tidak memperbolehkan anak saya untuk mengkonsumsi lele” (90,3%), “lele sebaiknya dikonsumsi oleh orang tua saja” (90,3%) dan “lele paling baik dikonsumsi sebluan sekali” (71%). Semua responden setuju pada pernyataan “anak sekolah membutuhkan makanan bergizi tinggi”, “menyediakan lauk hewani selain lele untuk anaknya” dan “omega 3 yang ada dalam daging ikan lele baik untuk perkembangan otak anak”. Jumlah jawaban benar yang diperoleh responden kemudian dijumlahkan dan dipersentasekan untuk melihat sikap gizi responden. Kategori sikap kemudian dibagi menjadi tiga kelompok yaitu baik (positif), sedang (netral) dan kurang (negatif). Pengkategorian dilakukan dengan menetapkan cut off point dari skor yang telah dijadikan persen. Kategori pengetahuan gizi yaitu baik (positif) apabila skor > 80%, sedang (netral) apabila skor 60 – 80%, dan kurang (negatif) apabila skor < 60% (Khomsan 2000). Berikut adalah tabel sebaran sikap responden Tabel 23 Sebaran sikap responden Tingkat Sikap Positif (>80%) Netral (60 – 80%) Negatif (<80%) Total
n
% 26 4 1 31
83,9 12,9 3,2 100,0
40
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa sebagian besar responden atau 83,9% memiliki sikap yang positif (>80%), dan hanya 3,2% responden yang memiliki sikap yang negatif (< 80%).
Rata-rata sikap gizi responden adalah
88,06 ± 14,473. Sikap belum merupakan suatu perilaku tetapi sikap akan mengarah kepada perilaku, karena sikap merupakan hasil pertimbangan dari semua keputusan yang dilakukan melalui perilaku. Sikap merupakan fungsi dari pengetahuan, pendapat, keyakinan dan penilaian seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin baik sikap seseorang diharapkan akan membentuk perilaku yang baik pula (Contento 2007). Praktek Konsumsi Lele Contoh Praktek atau perilaku merupakan suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu. Setelah mendapatkan stimulus, diadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan apa yang ia ketahui atau dinilainya baik (Notoatmodjo 2003). Pengukuran praktek dilakukan secara tidak langsung dengan mewawancarai contoh. Praktek konsumsi lele contoh dilakukan dengan menanyakan frekuensi konsumsi lele contoh selama seminggu. Berikut disajikan tabel frekuensi konsumsi lele contoh selama seminggu Tabel 24 Frekuensi konsumsi lele selama seminggu Frekuensi konsumsi lele/minggu Hampir setiap hari 3 - 6 kali/minggu 1 - 2 kali/minggu Tidak pernah Total
n
% 1 12 16 2 31
3,2 38,7 51,6 6,5 100,0
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mengkonsumsi lele 1-2 kali per minggu yaitu sebanyak 51,6%. Sebagian contoh mengkonsumsi lele 3 – 6 kali per minggu yaitu sebanyak 38,7%. Dari 31 contoh, terdapat 6,5% contoh yang di dalam keluarganya tidak pernah tersedia daging ikan lele. Hal ini disebabkan keluarga tersebut tidak menyukai daging ikan lele. Terdapat pula contoh yang tidak menyukai daging ikan lele namun di dalam keluarga tersebut tetap tersedia hidangan ikan lele untuk anggota keluarga lain yang menyukai daging lele. Rata-rata frekuensi konsumsi lele keluarga peternak adalah 2,39 ± 0,667 kali per minggu.
41
Tabel 25 Anggota keluarga yang mengkonsumsi lele Yang Mengkonsumsi Lele dalam Kel Semua Ayah Ibu Saja Ada yang Tidak Mengkonsumsi Lele Total
n
% 23 1 7 31
74,2 3,2 22,6 100,0
Tabel diatas menunjukkan anggota keluarga yang mengkonsumsi lele. Hampir semua contoh 74,2% mengkonsumsi lele bersama seluruh anggota keluarganya. Terdapat 22,6 % contoh yang satu atau lebih anggota keluarganya tidak mengkonsumsi lele. Anggota keluarga tersebut antara lain ibu (responden), menantu, nenek, kakek, dan ayah. Hal ini disebabkan contoh ataupun keluarga contoh tidak menyukai daging ikan lele. Terdapat pula keluarga contoh dimana hanya ayah dan ibu yang mengkonsumsi daging ikan lele sedangkan contoh tidak mengkonsumsi daging ikan lele (3,2%). Tabel 26 Jumlah lele yang dikonsumsi dalam sekali makan Jumlah yang Dikonsumsi
n
%
< 2 ekor 3 - 5 ekor > 5 ekor Total
2 16 13 31
6,5 51,6 41,9 100,0
Dalam sekali makan, 51,6% keluarga contoh menghabiskan 3 – 5 ekor lele, dan 41,9% menghabiskan > 5 ekor lele setiap harinya. Daging lele yang disajikan biasanya diolah dengan cara digoreng, dipepes, dipanggang, dibakar, dipecak atau pun dibuat balado. Selain menyediakan lele, keluarga contoh juga menyediakan pangan sumber protein lain yang biasa dikonsumsi oleh keluarga. Pangan sumber protein yang diberikan yaitu pangan hewani seperti telur ayam, ikan asin, ikan basah, daging ayam. Selain pangan hewani, ada pula keluarga contoh yang menyediakan pangan nabati seperti tahu dan tempe. Berikut disajikan pangan sumber protein lain yang disediakan oleh keluarga contoh Tabel 27 Pangan sumber protein lain yang dikonsumsi Pangan Sumber Protein Lain yang Dikonsumsi Telur Ayam Tempe, Tahu Ikan Asin Lainnya Total
n
% 6 14 6 5 31
19,4 45,2 19,4 16,1 100,0
Tahu dan tempe merupakan pangan sumber protein yang paling sering dikonsumsi oleh keluarga contoh yaitu sebesar 45,2%. Selain itu, telur ayam (19,4%) dan ikan asin (19,4%) juga merupakan pangan sumber protein lain yang
42
banyak dikonsumsi oleh keluarga contoh. Bahan pangan ini memiliki harga yang relatif murah dan mudah diperoleh. Hal ini yang membuat sebagian besar contoh mengkonsumsi bahan makanan ini untuk memenuhi kebutuhan protein keluarganya. Konsumsi Pangan Contoh Frekuensi Makan contoh Lebih dari separuh contoh (74,2%) memiliki frekuensi makan antara 2 sampai 3 kali per hari. Rata-rata frekuensi makan responden adalah 2,19±0,47 kali. Frekuensi makan akan mempengaruhi tingkat konsumsi energi. Semakin sering seseorang makan maka akan semakin banyak jumlah energi yang masuk ke dalam tubuhnya. Berikut disajikan tabel sebaran frekuensi makan contoh Tabel 28 Sebaran contoh menurut frekuensi makan Konsumsi Pangan Sehari
n
3 kali 2 - 3 kali 1 - 2 kali total
% 7 23 1 31
22,6 74,2 3,2 100,0
Makan 3 kali sehari adalah hal yang umum bagi masyarakat Indonesia. Mereka yang makan 3 kali sehari mempunyai peluang lebih besar mencukupi kebutuhan gizinya dibandingkan hanya makan 1-2 kali sehari. Khomsan (2002) menyatakan frekuensi makan sebaiknya 3 kali sehari
untuk menghindari
kekosongan lambung. Secara kualitas dan kuantitas akan sulit memenuhi kebutuhan gizi apabila hanya dari satu atau dua kali makan dalam sehari. Keterbatasan volume lambung menyebabkan tidak bisa makan sekaligus dalam jumlah banyak. Jarak antara dua waktu makan yang panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk makan lebih banyak dan melebihi batas. Frekuensi Konsumsi Pangan Contoh Selain jumlah konsumsi pangan dengan metode recall dan perhitungan terhadap TKE, penilaian konsumsi pangan juga dilakukan terhadap frekuensi konsumsi pangan yang diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner food frequency questionnaire (FFQ). Penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Konsumsi kualitatif digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui kebiasaan konsumsi contoh. Data konsumsi kualitatif yang diambil meliputi kebiasaan makan, kebiasaan konsumsi makanan pokok, kebiasaan konsumsi
43
pangan hewani, konsumsi pangan nabati, kebiasaan konsumsi sayur, dan kebiasaan konsumsi buah. Frekuensi kelompok pangan dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu setiap hari (> 6 kali/minggu), sering (3-6 kali/ minggu), jarang (1-2 kali/minggu), sangat jarang (<1 kali/minggu), dan tidak pernah (0 kali/minggu). Berikut disajikan sebaran bahan pangan yang biasa dikonsumsi oleh responden Tabel 29 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi pangan Bahan pangan Pangan pokok Beras Jagung Mie Pangan hewani Ikan basah Ikan asin Lele Telur Susu Pangan nabati Tempe Tahu Kacang merah Sayuran Bayam kangkung Wortel Buah-buahan Jambu Pepaya Pisang Jeruk Jajanan Minuman kemasan Chiki Gorengan Permen Lontong Biskuit
tidak pernah n %
<1 kali /minggu n %
1-2 kali /minggu n %
3-6 kali /minggu n %
>6 kali /minggu n %
0 4 0
0,0 12,9 0,0
0 1 1
0,0 3,2 3,2
0 13 9
0,0 41,9 29,0
0 13 10
0,0 41,9 32,3
31 0 11
100 0,0 35,5
0 0 2 2 13
0,0 0,0 6,5 6,5 41,9
2 0 5 4 4
6,5 0,0 16,1 12,9 12,9
11 4 11 12 6
35,5 12,9 35,5 38,7 19,4
12 5 12 7 2
38,7 16,1 38,7 22,6 6,5
6 22 1 6 6
19,4 71,0 3,2 19,4 19,4
0 0 0
0,0 0,0 0,0
0 0 1
0,0 0,0 3,2
8 7 13
25,8 22,6 41,9
12 13 17
38,7 41,9 54,8
11 11 0
35,5 35,5 0,0
2 3 1
6,5 9,7 3,2
8 9 3
25,8 29,0 9,7
13 15 21
41,9 48,4 67,7
8 4 6
25,8 12,9 19,4
0 0 0
0,0 0,0 0,0
1 1 4 2
3,2 3,2 12,9 6,5
22 5 14 3
71,0 16,1 45,2 9,7
4 17 9 13
12,9 54,8 29,0 41,9
4 7 3 11
12,9 22,6 9,7 35,5
0 1 1 2
0,0 3,2 3,2 6,5
0 0 0 2 1 0
0,0 0,0 0,0 6,5 3,2 0,0,
0 0 1 14 4 2
0,0 0,0 3,2 45,2 12,9 6,5
5 8 10 10 21 17
16,1 25,8 32,3 32,3 67,7 54,8
16 22 16 5 5 12
51,6 71,0 51,6 16,1 16,1 38,7
10 1 4 0 0 0
32,3 3,2 12,9 0,0 0,0 0,0
Pada tabel diatas disajikan frekuensi konsumsi pangan contoh. Pangan pokok dalam penelitian ini adalah pangan pokok yang paling sering di konsumsi contoh meliputi nasi, jagung dan mie. Tabel tersebut menunjukkan seluruh contoh
(100%)
mengkonsumsi
nasi
>6
kali/minggu.
Sebagian
contoh
mengkonsumsi jagung 3-6 kali/minggu dan contoh lainnya mengkonsumsi jagung 1-2 kali/minggu. Jagung yang bisa dikonsumsi diolah menjadi sayur asam atau direbus. Bahan makanan pokok lainnya yang paling sering dikonsumsi dalam
44
sehari (>6 kali/minggu) adalah mi instan dengan persentase 35,5%. Mi dijadikan makanan alternatif yang murah dan mudah diolah oleh responden (ibu) jika anak mereka (contoh) tidak memiliki nafsu makan atau digunakan sebagai pengganti sayur. Pangan hewani merupakan pangan sumber protein yang mudah dicerna dan memiliki bioavailabilitas yang tinggi. Pangan hewani yang ditanyakan dalam penelitian ini meliputi ikan basah, ikan asin, lele, telur dan susu. Pangan hewani yang paling sering dikonsumsi oleh contoh adalah ikan asin yang dikonsumsi <6 kali/minggu dengan persentase 71%. Hal ini disebabkan harga ikan asin yang murah dan terjangkau oleh keluarga contoh. Sebagian contoh (masing-masing 38,7%) mengkonsumsi ikan basah dan ikan lele dengan frekuensi 3-6 kali/minggu. Telur (38,7%) dikonsumsi contoh dengan frekuensi 1-2 kali/minggu. Selain mi, telur juga merupakan makanan yang bisanya diberikan responden untuk anaknya (contoh). Dalam penyajiannya sebagian contoh mengkonsumsi mi instan yang dicampur dengan telur untuk makan siang ataupun makan malam anaknya. Susu merupakan salah satu pangan hewani yang jarang dikonsumsi oleh contoh. Bahkan 41,9% contoh tidak mengkonsumsi susu dengan alasan tidak menyukai susu. Daging sapi dan daging ayam tidak ditanyakan dalam penelitian in karena keduanya merupakan jenis lauk hewani yang paling jarang dikonsumsi oleh contoh dalam sebulan terakhir. Ini dikarenakan harganya yang cukup mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian besar keluarga contoh. Pada tabel di atas terlihat bahwa contoh lebih sering mengkonsumsi ikan asin dibandingkan dengan ikan lele yang banyak tersedia di daerah tersebut. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya harga ikan asin yang relatif lebih murah dan dapat diperoleh oleh keluarga contoh baik dengan membeli di pasar maupun di warung. Selain itu, untuk beberapa contoh terutama contoh yang orang tuanya memiliki ternak lele dengan modal sendiri, mengaku bosan apabila terlalu sering mengkonsumsi daging lele. Bagi keluarga contoh yang memiliki ternak lele dengan sistem bagi hasil, mereka tidak dapat dengan bebas mengambil lele yang mereka ternakkan. Mereka harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik modal untuk dapat mengambil lele yang mereka ternakkan. Biasanya, mereka hanya mengambil lele 1 sampai 2 kali dalam sebulan ataupun mereka diberikan oleh tetangga mereka yang sedang mengambil lele.
45
Tempe dan tahu merupakan jenis lauk nabati yang paling sering dikonsumsi oleh contoh. Sebanyak 38,7% contoh mengonsumsi tempe 3-6 kali/minggu dan 41,9% contoh mengonsumsi tahu 3-6 kali/minggu. Tempe dan tahu merupakan pangan yang harganya murah dan mudah memperolehnya. Hal ini menyebabkan sebagian besar contoh, hampir selalu menyertakan olahan tahu dan tempe dalam menu makan mereka setiap hari. Jenis lauk nabati lainnya yang dikonsumsi contoh adalah kacang merah. Sebanyak 54,8% contoh mengkonsumsi kacang merah dengan frekuensi 3-6 kali/minggu. Kacang merah diolah menjadi sayur asam yang merupakan olahan sayur yang paling banyak dikonsumsi oleh contoh. Sayuran mengandung vitamin, mineral, serat, dan komponen lainnya yang sangat penting untuk tubuh. Sayuran yang umum dikonsumsi contoh adalah sayuran yang berdaun hijau. Menurut Almatsier (2001), sayuran berwarna hijau merupakan pangan sumber Fe nabati dan vitamin C. Sayuran hijau merupakan jenis sayuran yang jarang dikonsumsi oleh contoh. Sebagian besar contoh (41,9%) mengkonsumsi bayam dan kangkung (48,4%) dengan frekuensi 1-2 kali/minggu. Sama halnya dengan bayam dan kangkung, sebagian besar contoh (67,7%) juga mengkonsumsi wortel dengan frekuensi 1-2 kali/minggu. Sayur yang paling sering dikonsumsi contoh adalah sayur asam karena memberikan efek segar setelah mengkonsumsinya. Konsumsi sayur yang rendah oleh contoh dan keluarga contoh disebabkan adanya kesalah artian makna sayur oleh responden. Sebagian besar responden menganggap semua makanan yang memiliki kuah adalah sayur. Sebagian besar reponden menganggap bila telah menyediakan mie rebus maka ia telah menyediakan sayur untuk keluarganya. Selain sayuran, buah-buahan juga merupakan pangan sumber vitamin dan mineral. Buah-buahan yang paling sering dikonsumsi oleh contoh yaitu pepaya dan jeruk. Pepaya dan jeruk (54,8% dan 41,9%) dikonsumsi contoh dengan frekuensi 1-2 kali/minggu. Jambu dan pisang merupakan jenis buah yang sangat jarang dikonsumsi oleh contoh. Sebanyak 71% dan 45,2% contoh yang mengkonsumsi jambu dan pisang <1 kali/minggu. Buah lain yang biasa dikonsumsi adalah semangka, melon, dan apel namun hanya beberapa contoh yang mengkonsumsinya (tidak secara menyeluruh). Selain makanan pokok, dalam penelitian ini dilihat pula frekuensi konsumsi jajanan anak. Anak usia sekolah sangat menyukai makanan jajanan yang tinggi kandungan minyak dan gula serta kandungan serat yang cenderung
46
kurang. Makanan jajanan sebenarnya dapat membantu memenuhi pasokan energi sehari anak dan dapat bermanfaat apabila tepat dalam pemilihan jenis maupun waktunya. Makanan jajanan dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu (1) makanan utama atau main dish seperti nasi rames, nasi pecal dan sebagainya; (2) penganan (snack) seperti kue-kue, chiki; (3) golongan minuman seperti es teller, es buah; (4) buah-buahan segar seperti mangga, durian dan lain sebaginya (Winarno 2004). Pada penelitian ini, sebagian besar contoh mengkonsumsi jajanan chiki dan minuman seperti es tea jus yang mengandung energi dan protein yang rendah. Minuman kemasan dikonsumsi oleh sebagian besar contoh 3 – 6 kali/ minggu yaitu sebanyak 51,6%. Begitu pula dengan chiki dan gorengan sebagian besar contoh mengkonsumsi jajanan tersebut 3 -6 kali/minggu yaitu masingmasing 71% dan 51,6%. Lontong dan biskuit bisanya dikonsumsi 1-2 kali/minggu yaitu
masing-masing
66,7%
dan
54,8%.
Sedangkan
sebagian
contoh
mengkonsumsi permen kurang dari 1 kali/minggu atau sebesar 45,2%. Pada penelitian ini, dalam sehari pengeluaran rumah tangga untuk jajan anak berkisar antara Rp 5000,00 hingga Rp 15.000,00 untuk. Dimana sebagian besar contoh menghabiskan Rp 10.000,00 per hari untuk jajan. Konsumsi makanan seseorang harus beragam karena tidak ada satu jenis makanan pun yang mengandung komposisi zat gizi yang lengkap. Kekurangan zat gizi dalam suatu bahan pangan akan dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi dalam bahan pangan yang lain sehingga dapat diperoleh asupan zat gizi yang seimbang. Kekuragan asupan salah satu jenis zat gizi dalam bahan makanan dalam waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan terjadinya ketidak seimbangan gizi. Konsumsi Pangan Contoh Data konsumsi pangan contoh diperoleh melalui recall 2x24 jam. Zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus sesuai dan cukup bagi kebutuhan tubuh untuk melaksanakan berbagai kegiatan internal maupun eksternal, pemeliharaan tubuh, dan pertumbuhan bagi seseorang yang masih berada dalam tahap pertumbuhan seperti bayi, anak-anak dan remaja atau untuk aktivitas serta pemeliharaan tubuh untuk orang dewasa dan yang telah lanjut usia (Hardinsyah & Briawan 1994). Konsumsi energi dan zat gizi dipengaruhi oleh umur, berat badan, tinggi badan, pola dan kebiasaan makan, serta pendapatan (Kartasapoetra & Marsetyo 2005).
47
Konsumsi energi contoh berada dalam kisaran 425 kkal hingga 1615 kkal dengan rata-rata konsumsi energi sebesar 1062±329,36 kkal. Energi diperoleh dari karbohirat, protein, dan lemak suatu bahan pangan. Menurut Almatsier (2001), energi dibutuhkan oleh tubuh untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan, dan melakukan aktivitas fisik. Konsumsi protein contoh berada dalam kisaran 8,8 gram hingga 71,4 gram dengan rata-rata konsumsi protein contoh sebesar 29,9±13.79 gram. Konsumsi susu dan olahannya serta ikan memberikan kontribusi protein yang cukup besar terhadap pemenuhan protein contoh. Konsumsi besi contoh berkisar antara 1,4 mg sampai 14,3 mg dengan rata-rata konsumsi besi adalah 7,7±3,34 mg. Konsumsi kalsium contoh berkisar antara 0,0 mg hingga 3079,9 mg dengan rata-rata total konsumsi kalsium adalah 501,6±704,33 mg. Remaja berumur 10 sampai 19 tahun membutuhkan kalsium dan zat besi lebih banyak daripada umur sebelumnya atau sesudahnya. Puncak pertumbuhan paling pesat dicapai pada umur-umur tersebut (Apriadji 1986 dalam Amelia 2008). Konsumsi fosfor contoh berkisar antara 6,5 mg hingga 3965,3 mg dengan rata-rata total konsumsi adalah 380,8±687,68 mg. Vitamin A banyak ditemukan di hati, daging, sayuran hijau, dan sayuran atau buah berwarna jingga. Konsumsi vitamin A contoh berkisar antara 0,0 RE sampai 411,5 RE dengan rata-rata konsumsi adalah 129,9 ± 121,27 RE. Telur adalah salah satu bahan pangan yang banyak dikonsumsi oleh contoh dan memberikan kontribusi vitamin A dalam makanan contoh. Vitamin C merupakan vitamin larut air yang tidak dapat disimpan di dalam tubuh, sehingga asupan yang cukup setiap hari sangat dianjurkan. Konsumsi vitamin C contoh berkisar antara 0,0 hingga 50,1 mg dengan rata-rata konsumsi vitamin C sebesar 11,1 ± 12,81 mg. Rata-rata konsumsi contoh secara lebih lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel 30 Sebaran asupan rata-rata contoh Jenis Zat Gizi Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg)
Konsumsi zat gizi (x±SD) 1062 ± 329 29,9 ± 13,79 33,4 ± 17,39 243,4 ± 154,77 501,6 ± 704,33 380,8 ± 687,68 7,7 ± 3,34 129,9 ± 121,27 11, ± 12,81
48
Dari hasil perhitungan konsumsi contoh, kemudian dihitung tingkat kecukupan zat gizi dan dikategorikan menjadi kurang dan cukup untuk semua zat gizi. Berikut adalah grafik sebaran tingkat kecukupan energi dan protein contoh 60
54,8
54,2
% contoh
50 40 30
energi
19,4
20
12,9
12,9
10
9,7
12,9
16,1
12,9
protein
3,2
0 defisit berat defisit sedang defisit ringan
normal
lebih
tingkat kecukupan
Gambar 2 Sebaran tingkat kecukupan energi dan protein contoh Penilaian untuk tingkat konsumsi energi dan protein dibagi dalam lima kategori menurut Depkes (1996) yaitu: defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70 - 79% AKG), defisit tingkat ringan (80 – 89% AKG), normal (90 – 119% AKG) dan lebih (120% AKG). Gambar 2 di atas memperlihatkan bahwa tingkat kecukupan energi dan protein sebagian besar contoh berada dalam kategori defisit tingkat berat (<70%) yaitu energi sebanyak 54,8% contoh dan protein sebanyak 54,2% contoh. Hal ini dipengaruhi oleh konsumsi energi dan protein contoh cenderung kurang. Contoh cenderung hanya mengkonsumsi makanan utama 1-2 kali per hari dan lebih banyak mengkonsumsi jajanan. Secara kualitas dan kuantitas akan sulit memenuhi kebutuhan gizi apabila hanya mengkonsumsi makanan utama satu atau dua kali dalam sehari. Namun, terdapat pula contoh yang memiliki tingkat konsumsi energi dalam kategori lebih yaitu sebanyak 3,2%, dan 16,1% contoh yang mengkonsumsi protein dalam kategori lebih. Penilaian tingkat konsumsi vitamin A, vitamin C, besi, kalsium dan fosfor dibagi dalam dua kategori yaitu kurang (<77% AKG) dan cukup (77% AKG) (Gibson 2005). Berikut disajikan grafik sebaran tingkat kecukupan vitamin dan mineral contoh
49
120 96,8
100 % contoh
80
74,2
67,7
54,8 45,2
60 40
93,5
cukup
32,3
kurang
20 2,5
3,2
6,5
0 kalisum
fosfor zat besi Vit A vitamin dan mineral
Vit C
Gambar 3 Sebaran tingkat kecukupan vitamin dan mineral contoh Tingkat kecukupan zat besi, kalsium, fosfor, vitamin A dan vitamin C contoh tergolong kurang (tingkat kecukupan <77% AKG). Sebanyak 67,7% contoh yang memiliki tingkat kecukupan kalsium yang kurang, 74,2% contoh memiliki tingkat kecukupan fosfor yang kurang, dan 54,8% contoh yang memiliki tingkat kecukupan besi yang kurang. Sama halnya dengan tingkat kecukupan mineral, sebanyak 96,8% contoh memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang kurang dan sebanyak 93,5% contoh memiliki tingkat kecukupan vitamin C yang kurang pula. Konsumsi contoh yang cenderung rendah serat, kurang sayur dan buah serta susu menyebabkan tingkat kecukupan vitamin dan mineral contoh rendah. Selain konsumsi pangan secara umum, pada penelitian ini dilihat pula kontribusi konsumsi lele terhadap tingkat kecukupan energi dan protein contoh. Namun pada penelitian ini, dari 31 orang contoh yang ada, hanya 8 orang contoh yang sedang mengkonsumsi lele pada hari penelitian dilakukan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hal ini disebabkan keluarga contoh yang beternak dengan sistem bagi hasil tidak dapat dengan bebas mengambil lele yang mereka ternakkan. Biasanya, mereka hanya mengambil lele 1 sampai 2 kali dalam sebulan ataupun mereka diberikan oleh tetangga mereka yang sedang mengambil lele. Berikut disajikan grafik kontribusi konsumsi lele terhadap TKE dan TKP delapan orang contoh
50
90,0 79,8
Tingkat konsumsi
80,0 70,0 60,0 50,0
40,8
40,0 30,0
TKE
31,4 26,2
25,3
22,3
23,1
20,0 10,0
8,3
TKP 19,0 12,0 12,6
9,7
6,9
7,3
5,9
3,8
0,0 3
6
22
23 24 25 Nomor Responden
28
30
Gambar 4 Kontribusi konsumsi lele terhadap TKE dan TKP contoh Gambar di atas memperlihatkan kontribusi konsumsi lele terhadap TKE dan TKP delapan orang contoh. Contoh mengkonsumsi lele berkisar antar 1 hingga 3 ekor lele dalam dua hari. Kontribusi kecukupan energi dan protein tertinggi terdapat pada responden nomor 22 yaitu energi 25,3% dari kecukupan energi sehari dan protein 79,8% dari kecukupan protein sehari. Hal ini disebabkan contoh tersebut mengkonsumsi 3 ekor lele dalam dua hari pengamatan. Kontribusi kecukupan energi dan protein terendah terdapat pada responden nomor 28 yaitu berturut-turut 3,8% dari kecukupan energi dan 12% dari kecukupan protein. Hal ini karena contoh tersebut hanya mengkonsumsi 1 potong (1/3 bagian lele) dalam dua hari. Rata-rata kontribusi konsumsi lele terhadap kecukupan energi responden adalah 10±6,7% AKE dan rata-rata kontribusi konsumsi lele terhadap kecukupan protein adalah 31,8±21,19% TKP. Karyadi dan Muhilal (1996) menyatakan bahwa kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya, bila kurang maupun lebih dari kecukupan yang diperlukan, terutama apabila dialami dalam jangka waktu yang lama, akan berdampak buruk bagi kesehatan. Konsumsi makanan yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan masalah gizi. Adanya interaksi-interaksi antara berbagai zat gizi memberikan gambaran perlunya suatu keseimbangan zat-zat gizi yang dikonsumsi. Semakin beraneka ragam bahan pangan yang dikonsumsi, maka semakin tercapai keseimbangan dalam interaksi antara zat gizi.
51
Hubungan antar variabel Hubungan tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi ibu Tingkat pendidikan orang tua terutama ibu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak terutama pemberian makan, pola konsumsi dan status gizi. Tingkat pendidikan yang tinggi berkaitan dengan pengetahuan gizi yang tinggi, khususnya tentang gizi dan kesehatan yang mendorong dalam praktek pengolahan dan pemberian makanan yang benar (Ersiyoma 2012). Berdasarkan uji korelasi spearman yang dilakukan, tingkat pendidikan contoh tidak memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat pengetahuan gizi contoh (p>0,05). Ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah biasanya lebih antusias dalam mencari tahu mengenai informasi-informasi, salah satunya mengenai kesehatan dan gizi. Pengetahuan dapat diperoleh seseorang melalui pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Sukandar (2007) menyatakan pengetahuan mengenai gizi dapat diperoleh melalui berbagai sumber, misalnya melalui televisi, radio, media cetak, maupun melalui orang lain. Hasil uji korelasi spearman antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi dapat dilihat pada Lampiran 2 Hubungan pendapatan keluarga dengan konsumsi pangan Tingkat pendapatan yang tinggi memberi peluang lebih tinggi bagi keluarga dalam memilih bahan pangan baik jumlah maupun jenisnya. Jumlah pendapatan keluarga dapat mempengaruhi ketersediaan pangan disebuah keluarga, karena pendapatan akan memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan daya belinya. Tabel 31 di bawah memperlihatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi pangan dengan pendapatan keluarga (p>0,05) (Lampiran 1). Hal ini mungkin disebabkan oleh persentase pengeluaran pangan keluarga akan cenderung semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan dan cenderung beralih ke pangan yang berenergi lebih mahal seperti tinggi protein dan lemak daripada tinggi karbohidtrat (Arkadi 2003). Berikut disajikan hasil uji korelasi pearson antara konsumsi pangan dengan pendapatan keluarga
52
Tabel 31 Hasil uji korelasi pearson antara konsumsi pangan dengan pendapatan Status gizi
Variabel
r
Konsumsi energi Konsumsi protein Konsumsi vitamin A Konsumsi vitamin C Konsumsi kalsium Konsumsi fosfor Konsumsi zat besi
p -0,084 0,050 -0,152 -0,134 -0,160 0,072 0,115
0,652 0,789 0,413 0,474 0,388 0,700 0,539
Konsumsi pangan anak berhubungan dengan makanan yang tersedia dan kemudahan memperoleh makanan dalam rumah tangga tersebut. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa meskipun seseorang telah memiliki pengetahuan dan kesadaran mengenai konsumsi gizi yang cukup dan sikap yang positif terhadap makanan yang sehat, namun apabila ketersediaan pangan dan kemudahan memperoleh pangan yang rendah ditingkat rumah tangga miskin dapat menjadi faktor yang menghambat seseorang atau anak memperoleh makanan yang sehat dan beragam (Shariff et al 2008) . Penduduk
yang
berpendapatan
rendah,
akan
menggunakan
pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan, sedangkan makin tinggi pendapatan
seseorang
maka persentase pengeluaran
untuk memenuhi
kebutahan pangannya akan semakin kecil (Tambunan 2001). Pengeluaran akan lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakaian, perumahan, rekreasi dan jasa lainnya. Hubungan pengetahuan gizi dengan sikap dan praktek gizi Pengetahuan gizi merupakan ladasan penting untuk terjadinya perubahan sikap dan praktek. Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya dalam memilih makanan, yang akhirnya akan berpengaruh terhadap keadaan gizi orang tersebut (Khomsan 2007). Berdasarkan analisis yang telah dilakukan menggunakan uji korelasi spearman, pengetahuan gizi responden tidak memiliki hubungan yang nyata dengan praktek konsumsi lele contoh (p>0,05). Hal ini menunjukkan peningkatan pengetahuan gizi seseorang bukan berarti praktek konsumsi lelenya ataupun keluarganya akan meningkat. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa pengetahuan gizi responden memiliki hubungan yang nyata dengan sikap responden terhadap konsumsi lele (p<0,05). Nilai korelasi spearman antara keduanya sebesar 0,470 dan signifikansi 0,008 menunjukkan korelasi positif. Hal ini berarti peningkatan pengetahuan gizi seseorang maka sikap orang tersebut juga cenderung akan
53
meningkat pula. Hasil uji korelasi spearman antara pengetahuan gizi dengan sikap dan praktek konsumsi lele dapat dilihat pada Lampiran 6. Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya praktek. Praktek kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh minat orang terhadap objek kesehatan, ada tidaknya dukungan dari masyarakat sekitar, ada tidaknya informasi tentang kesehatan dan kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan. Tidak adanya hubungan antar pengetahuan gizi dengan praktek gizi dalam penelitian ini mungkin disebabkan keluarga peternak mengkonsumsi lele bukan didasarkan pada pengetahuan responden mengenai kandungan gizi yang terdapat pada daging ikan lele. Mereka mengkonsumsi lele karena sumber protein yang banyak tersedia di daerah tempat tinggal mereka adalah ikan lele. Ditambah lagi, untuk mengkonsumsi ikan tersebut mereka tidak harus membeli. Selain melihat hubungan antara pengetahuan gizi dengan sikap dan praktek, dilihat pula apakah ada hubungan antara sikap dengan praktek konsumsi lele dalam keluarga contoh. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa sikap gizi responden tidak memiliki hubungan yang nyata dengan praktek konsumsi lele contoh (p>0,05). Hal ini berarti sikap gizi yang baik belum tentu memiliki praktek gizi yang baik begitu pula sebaliknya. Azwar (2005) menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa sikap dan perilaku berhubungan secara konsisten. Sikap dan perilaku merupakan dua dimensi dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah dan berbeda. Sekalipun diasumsikan bahwa sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata sering kali jauh berbeda. Hal ini disebabkan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata, akan tetapi oleh berbagai faktor eksternal lainnya misalnya pengetahuan, kebiasaan, norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, faktor demografi, faktor pendukung yang meliputi sumberdaya atau potensi masyarakat serta lingkungan fisik dan sarana kesehatan yang tersedia. Selain itu dapat pula disebabkan oleh adanya faktor pendorong yang meliputi sikap dan perilaku orang lain misalnya teman, orang tua dan petugas kesehatan. Disamping itu, ternyata untuk satu macam tindakan saja terdapat banyak pola sikap yang relevan (Azwar 2005). Hasil uji korelasi spearman antara sikap dan praktek konsumsi lele dapat dilihat pada Lampiran 6.
54
Hubungan pengetahuan gizi dengan konsumsi pangan Harper
et
al
(1986)
dalam
Saloso
(2011)
menyatakan
bahwa
pengetahuan gizi mempunyai peran penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang, sebab akan mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Berdasarkan uji korelasi pearson yang dilakukan, tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi pangan dengan pengetahuan gizi (p>0,05), artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu belum tentu mempengaruhi konsumsi pangan dirinya dan keluarganya (Lampiran 7). Berikut disajikan hubungan antara kedua variabel tersebut Tabel 32 Hasil uji korelasi pearson antara konsumsi pangan dengan pengetahuan gizi Pengetahuan gizi
Variabel
r
Konsumsi energi Konsumsi protein Konsumsi vitamin A Konsumsi vitamin C Konsumsi kalsium Konsumsi fosfor Konsumsi zat besi
p -0,042 -0,211 0,192 -0,235 0,210 0,049 -0,125
0,824 0,256 0,295 0,419 0,257 0,792 0,503
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Arkadi (2003) pada keluarga nelayan dan petani Desa Banyu Biru dan Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian yang dilakukan Valerigina (2003) pada keluarga peternak di Desa Muaracikadu, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di Oman. Penelitian yang dilakukan di Oman pada 157 keluarga menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara konsumsi pangan anak dengan pengetahuan dan sikap ibu. Pengetahuan gizi berhubungan dengan konsumsi pengan, selain itu pemberian pendidikan dan informasi lainnya mengenai gizi kepada ibu di Oman dapat meningkatkan konsumsi pangan anaknya (Al-Shookri et al 2011). Sanjur (1982) menyatakan bahwa pengaruh pengetahuan gizi terhadap konsumsi
makanan
tidak
selalu
linear,
artinya
semakin
tinggi
tingkat
pengetahuan gizi ibu belum tentu konsumsi makanan menjadi baik. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara sendiri tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Orang yang memiliki pendidikan yang rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibanding dengan orang yang memiliki pendidikan
55
yang tinggi. Hal ini disebabkan orang yang memiliki rasa ingintahu yang tinggi akan rajin dalam mendengarkan informasi tentang gizi sehingga pengetahuan gizinya baik (Madanijah 2004). Hubungan pengetahuan gizi dengan status gizi anak Uji korelasi pearson yang dilakukan pada pengetahuan gizi dengan status gizi anak menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara keduanya (p>0,05). Artinya apabila pengetahuan gizi responden meningkat maka status gizi contoh tidak akan meningkat pula. Hasil uji korelasi pearson antara pengetahuan gizi dan status gizi dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil ini sama dengan hasil penelitian pada 30 orang keluarga peternak sapi perah di Desa Cibereum pada tahun 2011. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak keluarga peternak sapi perah (Sari 2010). Hasil yang sama juga dilihat dari penelitian di Kabupaten Pandeglang pada 60 orang anak keluarga petani dan nelayan yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak (Arkadi 2003). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan (Khomsan 2002). Semakin tinggi pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Sukandar 2007). Namun berdasarkan uji korelasi pearson tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi dengan status gizi. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat pengetahuan gizi yang baik belum tentu diikuti dengan pola makan dan konsumsi pangan yang baik. Begitu pula sebaliknya, tingkat pengetahuan gizi yang kurang baik belum tentu diikuti dengan pola makan dan konsumsi yang tidak baik pula. Hubungan konsumsi pangan dengan status gizi anak Konsumsi pangan adalah faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang (Sediaoetama 1996 dalam Dasuki 2002). Sanjur (1982) menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun keluarga. Hasil korelasi pearson menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata antara konsumsi pangan dengan status gizi (p>0.05) (Lampiran 7). Hal ini diduga karena konsumsi pangan contoh yang kurang dari kebutuhan namun sebagian
56
besar contoh memiliki status gizi normal. Selain itu, contoh terlalu banyak mengkonsumsi makanan jajanan dan kurang konsumsi makanan utama. Konsumsi pangan pada penelitian ini tidak mencerminkan keseluruhan gambaran status gizi saat ini secara langsung. Konsumsi pangan hanya gambaran bukti sementara dari tingkat konsumsi seseorang dan merupakan konsumsi pada saat diteliti (Reodjito 1989 dalam Mustika 2012). Berikut disajikan hasil uji korelasi pearson antara konsumsi pangan contoh dengan status gizi contoh Tabel 33 Hasil uji korelasi pearson variabel konsumsi pangan dengan status gizi Status gizi
Variabel
r
Konsumsi energi Konsumsi protein Konsumsi vitamin A Konsumsi vitamin C Konsumsi kalsium Konsumsi fosfor Konsumsi zat besi
p -0,051 0,111 0,039 -0,045 -0,142 0,058 0,261
0,786 0,551 0,833 0,808 0,445 0,758 0,157
Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2009) meskipun status gizi masyarakat tidak hanya ditentukan oleh faktor konsumsi pangan, tetapi juga oleh faktor lain seperti kualitas pengasuhan dan ada atau tidaknya penyakit infeksi, namun peningkatan konsumsi pangan tersebut tentunya telah berkontribusi dalam perbaikan status gizi masyarakat. Status gizi seseorang berubah dari masa ke masa, hal ini karena status gizi merupakan interaksi dari berbagai faktor. Menurut Riyadi (2001), faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi adalah konsumsi pangan dan status kesehatan. Konsumsi pangan, salah satunya dipengaruhi oleh akses terhadap pangan, dan akses terhadap pangan ditentukan oleh tingkat pendapatan seseorang.
Untuk mencapai
status gizi
baik
diperlukan pangan
yang
mengandung cukup zat gizi, aman untuk dikonsumsi dan dapat memenuhi kebutuhan tubuh yang ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain : umur, jenis kelamin, aktivitas fisik, berat badan dan tinggi badan, keadaan fisiologis dan kedaan kesehatan (Hermina 1993 dalam Yulita 2012). Menurut Muhilal dan Hardinsyah (1993), status gizi yang buruk dapat menimbulkan hal-hal seperti meningkatnya frekuensi terserang penyakit infeksi, pertumbuhan fisik dan mental yang terganggu, kegiatan fisik dan konsentrasi menurun.
57
Hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi anak Uji korelasi pearson yang dilakukan pada pendapatan keluarga dengan status gizi anak menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara keduanya (p>0,05). Hasil uji korelasi pearson pendapatan keluarga dan status gizi dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian pada keluarga nelayan dan petani di Kabupaten Pandeglang yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan positif antara pendapatan keluarga dengan status gizi anak keluarga nelayan dan petani (Arkadi 2003). Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain, seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain yang dapat mempengaruhi status gizi (Taylor 1977 dalam Hardinsyah 1997). Menurut Husaini dan Husaini (1997) faktor yang mempengaruhi status gizi dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu penyebab langsung
yang
disebabkan oleh kurangnya konsumsi pangan dan infeksi, dan penyebab tidak langsung misalnya daya beli yang juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga dan lingkungan sekitar. Penelitian yang dilakukan oleh di Sri Langka tahun 2003 mengenai peranan pendapatan keluarga dalam mengurangi malnutrisi di Sri Langka menunjukkan bahwa pendapatan keluarga, besar keluarga, usia anak, jenis kelamin, urutan kelahiran, dan tingkat pendidikan ibu merupakan faktor yang penting dalam meningkatkan status gizi seseorang (Ekanayake et al 2004). Tidak terdapatnya hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi anak mungkin disebabkan oleh status gizi ditentukan oleh banyak faktor yang saling berkaitan. Peningkatan pendapatan rumah tangga belum tentu diikuti dengan perbaikan gizi anggota rumah tangga (Soekirman 1994). Peningkatan penghasilan yang diperoleh biasanya digunakan untuk memenuhi keperluan rumah tangga, peralatan-peralatan rumah tangga lain, investasi sehingga pemenuhan gizi anggota keluarga menjadi terabaikan. Hubungan jumlah konsumsi lele dengan pendapatan, status gizi dan pengetahuan gizi Contoh dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan jumlah lele yang konsumsi dalam sekali makan yaitu kurang dari 2 ekor, 3-5 ekor, dan lebih dari 5 ekor. Berdasarkan uji korelasi spearman yang dilakukan, tidak terdapat pengaruh nyata antara jumlah konsumsi lele dengan pendapatan keluarga (p>0,05). Hal ini
58
berarti peningkatan pendapatan keluarga belum tentu akan meningkatkan konsumsi lele seseorang. Hasil ini sama dengan hasil penelitian pada 30 orang keluarga peternak sapi perah yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara pendapatan keluarga dengan konsumsi susu anak keluarga peternak sapi perah (Sari 2010). Hal ini didukung oleh
Arkadi (2003) yang
menyatakan persentase pengeluaran pangan keluarga akan cenderung semakin berkurang dengan meningkatnya pendapatan dan cenderung beralih kepangan yang berenergi lebih mahal seperti tinggi protein dan lemak. Berdasarkan uji korelasi spearman yang dilakukan, tidak terdapat pengaruh antara jumlah konsumsi lele dengan status gizi anak (p>0,05). Hal ini berarti peningkatan konsumsi lele seseorang belum tentu akan meningkatkan status gizi orang tersebut. Hasil yang diperoleh ini sama dengan penelitian yang dilakukan Sari (2010) pada keluarga peternak susu. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara frekuensi konsumsi susu dengan status gizi anak peternak sapi perah di Desa Cibereum, Kecamatan Cisarua. Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2009) status gizi masyarakat tidak hanya ditentukan oleh faktor konsumsi pangan, tetapi juga oleh faktor lain seperti kualitas pengasuhan dan ada atau tidaknya penyakit infeksi. Terdapat hubungan yang nyata dan positif antara pengetahuan gizi ibu dengan jumlah lele yang dikonsumsi responden (p<0,05 r=0,377). Hal ini mungkin disebabkan oleh orang yang memiliki pengetahuan gizi yang baik cenderung akan memilih makanan yang murah namun memiliki kandungan gizi yang tinggi sesuai dengan pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil, sehingga kebutuhan gizinya dapat terpenuhi dengan baik. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian pada keluarga peternak sapi perah di Desa Cibereum. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan konsumsi susu anak keluarga peternak sapi perah (Sari 2010). Hasil uji korelasi antara jumlah konsumsi lele dengan pendapatan keluarga, status gizi dan pengetahuan gizi dapat dilihat pada Lampiran 4.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Responden adalah 31 orang keluarga peternak lele yang sedang melakukan budidaya baik merupakan usaha sendiri maupun dengan sistem bagi hasil dan memiliki anak berusia sekolah dasar. Usia responden dikelompokkan kedalam usia dewasa awal dimana sebagian besar ayah contoh (38,7%) bekerja sebagai buruh non tani, 16,1% bekerja sebagai peternak lele yang memiliki lahan dan modal sendiri. Sebagian besar pekerjaan ibu contoh adalah sebagai ibu rumah tangga. Berdasarkan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat 71% contoh berada di atas garis kemiskinan. Sebanyak 35,5% dari usaha ternak lele responden merupakan milik sendiri, sedangkan 64,5% merupakan usaha bagi hasil. Contoh dalam penelitian ini adalah anak keluarga peternak lele, sebagian besar contoh berusia 9 tahun dengan rata-rata usia contoh adalah 9,16± 1,63 tahun. Sebanyak 54,8% contoh yang berjenis kelamin laki-laki dan 45,2% contoh yang berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar contoh berstatus gizi normal. Sebanyak 58,1% responden memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tergolong rendah (<60%). Rata-rata pengetahuan gizi responden adalah 54,68 ± 16,327. Sebagian besar responden atau 83,9% memiliki sikap yang positif (>80%) dengan rata-rata sikap gizi responden adalah 88,06 ± 14,473. Sebagian besar contoh yaitu sebanyak 51,6% mengkonsumsi lele 1-2 kali per minggu dengan rata-rata frekuensi konsumsi lele keluarga peternak adalah 2,39 ± 0,667 kali per minggu. Tingkat kecukupan energi dan protein sebagian besar contoh berada dalam kategori defisit tingkat berat (<70%). Tingkat kecukupan zat besi, kalsium, fosfor, vitamin A dan vitamin C juga tergolong kurang. Uji korelasi pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi pangan dengan pengetahuan gizi, pendapatan keluarga, dan status gizi (p>0,05). Tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi dengan status gizi (p<0,05). Tidak terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi (p>0,05). Uji korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata antara jumlah konsumsi lele dengan pedapatan perkapita keluarga dan status gizi (p>0,05). Terdapat hubungan yang nyata antara jumlah konsumsi lele dengan pengetahuan gizi (r=0,337 p<0,05).
60
Saran Konsumsi pangan anak perlu ditingkatkan mengingat anak usia sekolah biasanya cenderung lebih aktif dan merupakan tahapan pertumbuhan yang sangat kritis karena rentan terhadap masalah kesehatan salah satunya gizi kurang. Kebiasaan konsumsi jajan pada anak perlu diperhatikan oleh orang tua. Konsumsi jajan yang berlebihan dapat menyebabkan anak menjadi malas mengkonsumsi makanan utama sehingga konsumsi makanan tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitasnya. Bila hal ini dibiarkan akan menyebabkan masalah gizi. Selain itu, perlu adanya penyuluhan kepada orang tua contoh mengenai gizi secara umum dan khususnya manfaat mengkonsumsi lele serta sayur dan buah.
DAFTAR PUSTAKA Aan. 2003. Proses pembuatan sosis ikan lele dumbo (kajian perbedaan pengukusan, perebusan, dan pengasapan [skripsi]. Malang: Universitas Brawijaya. Agustina Z, Muntamah, Lusianti F, Fajri B, Maulana F. 2010. Perbaikan kualitas daging lele dumbo (Clarias gariepinus) melalui manipulasi media pemeliharaan [Laporan PKM]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Al-Shookri A, Al-Shukaily L, Hassan F, Al-Sheraji S, Al-Tobi S. 2011. Effect of mothers nutritional knowledge and attitudes on Omani children’s dietary intake. Oman Medical Journal Vol. 26, No. 4: 253-257 Amelia F. 2008. Konsumsi pangan, pengetahun gizi, aktivitas fisik, dan status gizi pada remaja di Kota Sungai Penuh Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. [Anonim]. 2010. Young children's dietary habits and associations with the mothers nutritional knowledge and attitudes. Pediatric oncall 54(1):44-51. www.pediatriconcall.com/nutrition/journal_watch.aspx [20 oktober 2010]. Arisman. 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC Arkadi TG. 2003. Studi perbandingan pendapatan keluarga, konsumsi pangan, dan status gizi anak sekolah pada keluarga nelayan dan petani [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Astawan IM. 2011. Lele bantu pertumbuhan janin. www.kompas.com [27 Juni 2012]. Azwar S. 2005. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Data dan Informasi Kemiskinan 2009-2011. Buku 2. Jakarta: Badan Pusat Statistik _______________________. 2012. Persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut kelompok barang Indonesia, 1999, 2002-2011. www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=05& notab=7. [6 Desember 2012]. Bemrah N, Sirot V, Leblanc J, Volatier J. 2008. Fish and seafood consumption and omega 3 intake in French coastal population: CALIPSO survey. Public Health Nutrition, Vol 12, issue 05, pp 599-608 doi: 10.1017/ S1368980008002681 Contento IR. 2007. Nutrition Education : Linking Research, Theory, and Practice. Sudbury: Jhon & Bartlett Publishers. Dasuki. 2002. Konsumsi lemak dan status gizi remaja di Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [DEPKES] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1996. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009. Jakarta
62
_____________________________________________. 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan. Jakarta: Dewan Ketahanan Umum Ekanayake S, Weerahewa J, Ariyawardana A. 2004. Role of mothers in alleviating child malnutrition: evidence from Sri Lanka. www.pep net.org/fileadmin/medias/pdf/.../Ishara_Ratnayake.pdf [8 Juni 2012]. Ersiyoma. 2012. Perilaku hidup bersih dan sehat, pola asuh, status gizi, dan status kesehatan balita di wilayah program Warung Anak Sehat (WAS) Kabupaten Sukabumi [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2007. The State of World Fisheries and Aquaculture 2006. Rome:FAO Gibson RS. 2005. Principal of Nutrition Assesment. Oxford: Oxford University Press Granada IP. 2011. Pemanfaatan surimi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dalam pembuatan sosis rasa sapi dengan penambahan isolat protein kedelai [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. _________. 1997. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hurlock EB. 1998. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Husaini MA, Husaini YK. 1997. Tumbuh Kembang dan Gizi Remaja. Buletin Gizi: Jakarta Jelliffe DB, Jelliffe. 1989. Community Nutritional Assessment. London: Oxford University Press Kartasapoetra G, Marsetyo H. 2005. Ilmu Gizi : Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta. Karyadi D, Muhilal. 1996. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: Gramedia. Kaur TJ, Kochar GK, Agarwal T. 2007. Impact of nutrition education on nutrient adequacy of adolesent girl. Study Home Comm Scince 1(1): 51 – 55. Khapipah. 2000. Kebiasaan makan pagi dan jajan serta status gizi anak sekolah dasar di Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. ___________. 2002. Peran Pangan dan Gizi untuk Kuaitas Hidup. Jakarta: PT Grasindo.
63
___________. 2007. Studi Implementasi Program Gizi: Pemanfaatan, Cakupan, Keefektifan, dan Dampak terhadap Status Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [KKP] Kementrian Perikanan dan Kelautan. 2010. KKP anggarkan Rp 5 miliar untuk wirausaha pemula. www.kkp.go.id [20 Oktober 2012]. Kusharto CM, Sa’diyyah NY. 2006. Penilaian Konsumsi Pangan. Departemen Gizi Masyarakat, Diktat Jurusan Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia: Institut Pertanian Bogor. Larasati B, Ratnaningsih N. 2006. Hubungan antara pengetahuan dan konsumsi makanan dan minuman instan dengan status gizi remaja putri. Berita Kodokteran Masyarakat Vol 22 No 1. Madanijah S. 2004. Model pendidikan “GI-PSI-SEHATI” bagi ibu serta dampaknya terhadap perilaku ibu, lingkungan pembelajaran, konsumsi pangan serta status gizi anak usia dini [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Madilah. 2002. Faktor predisposisi yang berhubungan dengan Keluarga Mandiri Sadar Gizi (KADARZI) di Kecamatan Benoa Lawa, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan tahun 2002 [skripsi]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Mahyar V. 2010. Studi konsumsi serat dan status gizi pada anak sekolah dasar di Kota dan Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Maria A. 2012. Pengetahuan, sikap, dan praktek gizi seimbang serta hubungannya dengan status gizi mahasiswa Institut Pertanian Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Mcleod ER, Campbell KJ, Hesketh KD. 2011. Nutrition knowledge: a mediator between socioeconomic position and diet quality in Australian first-time mothers. J Am Diet Assoc. 111:696-704. Moehji S. 2003. Ilmu Gizi 2. Jakarta: Papar Sinar Mudjiman A. 1984. Budi Daya Ikan Lele. Jakarta: CV. Yasa Guna. Mufrokhah L. 2005. Keragaan balita gizi kurang dan buruk di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu: kajian pengetahuan gizi ibu, pengeluaran pangan keluarga dan konsumsi pangan balita [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Muhilal J, Hardinsyah. 1993. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI (hlm 834-879). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Mustika MA. 2012. Tingkat aktifitas fisik, tingkat konsumsi zat gizi dan status gizi siswa di Pondok Pesantren Al Falak Kota Bogor [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Naja HRD. 2011. Akad Bank Syariah. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yudistira. Notoatmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. ___________. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta
64
Nurmansyah M. 2006. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan rumah tangga dalam mengkonsumsi daging pasca isu flu burung [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Papalia DE, Olds SW. 2008. Human Development. Ed ke-3. New York (US): Mc Graw Hill Primandala A. 2011. Pengetahuan dan sikap gizi, praktek konsumsi susu serta status gizi ibu hamil [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Rahayuningsih. 2008. Psikologi umum. http://www.google.co.id/search? q=sikap+adalah&ie=utf-8 [20 Oktober 2012]. Rahmawati D. 2006. Status gizi dan perkembangan anak usia dini di Taman Pendidikan Karekter Sutera Alam, Desa Sukamantri, Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Riyadi. 2001. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Diktat Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Roswita R. 2005. Alokasi pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan dan kaitannya dengan prestasi belajar anak pada keluarga nelayan di Kabupaten Indramayu [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Saloso I. 2011. Pengaruh media audio (lagu anak-anak) dan media visual (kartu bergambar) terhadap pengetahuan gizi (PUGS dan PHBS) serta tingkat penerimaannya pada anak usia sekolah dasar negeri di Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Sanjur. 1982. Social and Cultrural Perspectives in Nutrition. New Jersey: Prentice Hall Inc. Sari UK. 2010. Pola konsumsi susu serta pengaruhnya terhadap status gizi anak keluarga peternak sapi perah [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Jakarta: Dian Rakyat. Shariff ZM, Bukhari SS, Othman N, Hashim N, Ismail M, Jamil Z, Kasim SM, Paim L, Samah BA, Hussein ZAM. 2008. Nutrition education intervention improves nutrition knowledge, attitude and practices of primary school children: a pilot study. International Electronic Journal of Health Education 11:119-132 Soekirman. 1994. Ilmu Gizi dan Aplikasinya: untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jendaral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC Soetomo MHA. 2000. Teknik Budidaya Ikan Lele Dumbo. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
65
Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi, dan Sanitasi Petani Sawah Beririgasi di Banjar Jawa Barat. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Sumarwan, U. 2002. Perilaku Konsumen, Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Cetakan I. Ghalia Indonesia dengan MMA-IPB. Bogor. Suyanto. 2002. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Tambunan TTH. 2001. Transformasi Ekonomi di Indonesia: Teori & Penemuan Empiris. Jakarta: Salemba empat. Valerigina Y. 2003. Sumbangan ternak terhadap pendapatan dan kecukupan protein keluarga peternak di Desa Muaracikadu, Kecamatan Sindangabarang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Viali A. 2012. Analisis tataniaga lele dumbo di Desa Iwul Kecamatan Parung Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. WHO Antro. 2005. WHO antro software. http://www.who.int/childgrowth/software /en/ [8 Juni 2012]. WHO. 2007. Growt reference 5-19 years. http://www.who.int/growthref/who2007 bmi for age/en/index.html. [8 Juni 2012] Winarno F.G. 2004. Keamanan Pangan. Bogor: Mbrio Press. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI. Worsley A. 2002. Nutrition knowledge and food consumption: can nutrition knowledge change food behaviour?. Asia Pacific journal of clinical nutrition. vol. 11, no.Supp. 3, pp. S 579-S 585. Wulandari. 2000. Konsumsi pangan dan status gizi anak sekolah penerima PMTAS di daerah pantai dan pegunungan di Nusa Tenggara Timur [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Yulita J. 2012. Analisis hubungan pengetahuan gizi dan kemanan pangan serta konsumsi pangan dengan status gizi siswa sekolah dasar [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil korelasi pearson antara pendapatan dengan konsumsi pangan Correlations KE KE
Pearson Correlation
KP 1
Sig. (2-tailed) N KP
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
KF
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
KFe
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
KVA
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.528
**
.685
**
.584
KVC
**
-.084
.125
.341
.000
.002
.000
.001
.652
.502
.061
31
31
31
31
31
31
31
31
**
1
*
.050
-.133
.763
.000 31 .528
**
.510
**
.534
**
.453
.613
**
.003
.002
.010
.789
.477
.000
31
31
31
31
31
31
31
**
1
.262
**
.072
.028
.001
.510
.501
.002
.003
.154
.004
.700
.883
.996
31
31
31
31
31
31
31
31
**
.262
1
.415
*
.115
.129
.221
.000
.002
.154
.020
.539
.491
.232
31
31
31
31
31
31
31
31
**
*
**
*
1
-.152
.015
.151
.413
.935
.419
.685
.584
**
.534
.453
.501
.415
.004
.020
31
31
31
31
31
31
31
31
-.084
.050
.072
.115
-.152
1
-.160
-.134
.652
.789
.700
.539
.413
.388
.474
31
31
31
31
31
31
31
31
Pearson Correlation
.125
-.133
.028
.129
.015
-.160
1
-.142
Sig. (2-tailed)
.502
.477
.883
.491
.935
.388
Pearson Correlation N
N KVC
**
pendapatan perkapita KCa
KVA
.010
Sig. (2-tailed) KCa
.763
KFe
.001
N pendapatan perkapita
KF
.445
31
31
31
31
31
31
31
31
Pearson Correlation
.341
**
.001
.221
.151
-.134
-.142
1
Sig. (2-tailed)
.061
.000
.996
.232
.419
.474
.445
31
31
31
31
31
31
31
N
.613
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
31
67
Lampiran 2 Hasil korelasi spearman antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi ibu Correlations pendidikan ibu Spearman's rho
pendidikan ibu
Correlation Coefficient
1.000
.213
.
.250
31
31
Correlation Coefficient
.213
1.000
Sig. (2-tailed)
.250
.
31
31
Sig. (2-tailed) N pendidikan gizi
pendidikan gizi
N
Lampiran 3 Hasil korelasi spearman antara pendapatan dengan pemilikan lahan Correlations pendapatan perkapita Spearman's rho
pendapatan perkapita
Correlation Coefficient
kepemilikan lahan
1.000
Sig. (2-tailed) N kepemilikan lahan
Correlation Coefficient N
.000
31
31
**
1.000
.000
.
31
31
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Lampiran 4 Hasil korelasi spearman antara jumlah konsumsi lele dengan pendapatan, pendidikan gizi dan status gizi anak Correlations jumlah konsumsi pendapatan pendidikan lele perkapita gizi Spearman's rho
jumlah konsumsi Correlation lele Coefficient Sig. (2-tailed) N pendapatan perkapita
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
pendidikan gizi
imt/u
1.000
-.153
.377
*
-.100
.
.411
.037
.593
31
31
31
31
-.153
1.000
-.287
.230
.411
.
.118
.213
31
31
31
31
Correlation Coefficient
.377
*
-.287
1.000
-.078
Sig. (2-tailed)
.037
.118
.
.675
31
31
31
31
-.100
.230
-.078
1.000
.593
.213
.675
.
31
31
31
31
N imt/u
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2tailed).
**
. -.607
Sig. (2-tailed)
-.607
68
Lampiran 5 Hasil korelasi pearson antara pendapatan, pengetahuan gizi, sikap, praktek dan status gizi Correlations pendapatan perkapita pendapatan perkapita
Pearson Correlation
pendidikan gizi
-.005
-.309
.327
.018
.979
.091
.073
31
31
31
31
31
*
1
.428
*
-.065
-.093
Sig. (2-tailed) pendidikan gizi
Pearson Correlation
-.422
Sig. (2-tailed)
.016
.730
.619
31
31
31
31
31
-.005
.428
*
1
-.231
.127
.979
.016
.212
.496
31
31
31
31
31
-.309
-.065
-.231
1
-.028
.091
.730
.212
31
31
31
31
31
Pearson Correlation
.327
-.093
.127
-.028
1
Sig. (2-tailed)
.073
.619
.496
.883
31
31
31
31
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Praktek
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
imt/u
-.422
.018
N sikap ibu
imt/u
*
1
N
sikap ibu praktek
N
.883
31
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Lampiran 6 Hasil korelasi spearman antara pengetahuan gizi, sikap, dan praktek Correlations pendidikan gizi Spearman's rho
pendidikan gizi
Correlation Coefficient
sikap ibu
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
praktek
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
praktek **
-.077
.
.008
.681
31
31
31
**
1.000
-.027
.008
.
.885
31
31
31
-.077
-.027
1.000
.681
.885
.
31
31
31
1.000
Sig. (2-tailed) N
sikap ibu
.470
.470
69
Lampiran 7 Hasil korelasi pearson antara konsumsi pangan, pengetahun gizi dan status gizi Correlations KE KE
Pearson Correlation
KP 1 .763
Sig. (2-tailed) N KP
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
KF
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
KFe
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
KVA
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
pendidikan Pearson gizi Correlation Sig. (2-tailed) N imt/u
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
KVC
.685
**
.584
KCa
**
-.042
-.051
.341
.125
.000
.001
.824
.786
.061
.502
31
31
31
31
31
31
31
31
*
-.211
**
-.133
**
1 .510
31 **
**
KVC
.002
.000
.528
.528
pendidikan gizi imt/u
KVA
.000 31 .763
**
KFe
**
.534
**
.453
.111 .613
.003
.002
.010
.256
.551
.000
.477
31
31
31
31
31
31
31
31
**
1
**
.049
.058
.001
.028
.154
.004
.792
.758
.996
.883
.510
.262 .501
.002
.003
31
31
31
31
31
31
31
31
31
**
.262
1
.415
*
-.125
.261
.221
.129
.000
.002
.154
.020
.503
.157
.232
.491
31
31
31
31
31
31
31
31
31
**
*
**
*
1
.194
.039
.151
.015
.295
.833
.419
.935
.685
.584
**
.534
.453
.501
.415
.001
.010
.004
.020
31
31
31
31
31
31
31
31
31
-.042
-.211
.049
-.125
.194
1
-.093
-.236
.210
.824
.256
.792
.503
.295
.619
.201
.257
31
31
31
31
31
31
31
31
31
-.051
.111
.058
.261
.039
-.093
1
-.045
.054
.786
.551
.758
.157
.833
.619
.808
.773
31
31
31
31
31
31
31
31
31
**
.001
.221
.151
-.236
-.045
1
-.142
Pearson Correlation
.341 .613
Sig. (2-tailed)
.061
.000
.996
.232
.419
.201
.808
31
31
31
31
31
31
31
31
31
Pearson Correlation
.125
-.133
.028
.129
.015
.210
.054
-.142
1
Sig. (2-tailed)
.502
.477
.883
.491
.935
.257
.773
.445
31
31
31
31
31
31
31
31
N KCa
KF
N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
.445
31
Lampiran 8 Kuesioner penelitian Saya setuju untuk diwawancara
Tanda tangan responden
KUESIONER
PENDAPATAN KELUARGA, PENGETAHUAN, SIKAP, KONSUMSI SERTA STATUS GIZI ANAK KELUARGA PETERNAK IKAN LELE (Clarias gariepinus)
Nama Responden
: ……………………….
Alamat (Rt/Rw)
: ……………………….
Desa/Kelurahan
: ……………………….
Kecamatan
: ……………………….
Kabupaten
: ……………………….
Provinsi
:…………………………
Tanggal Wawancara : ___/____/________ Nama Enumerator
: ……………………….
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
71
A. SOSIAL EKONOMI KELUARGA
No.
Nama
Posisi di Keluarga
Umur Jenis Kelamin
thn
bln
Pend. (thn)
Pekerjaan
BB (kg)
Keterangan : Posisi di Keluarga
1=suami (ayah), 2=istri (ibu) , 3=anak, 4= saudara lainnya, 5= kakek/nenek, 6=lainnya sebutkan
Jenis Kelamin
1=laki-laki, 2=perempuan
Umur
dalam bulan dan tahun, balita diisi bulannya saja
Pendidikan
Jumlah tahun pendidikan yang diselesaikan,
BB
berat badan dalam kg
TB
tinggi badan dalam cm
TB (cm)
72
B. Ekonomi Keluarga Pendapatan Keluarga Sumber Beternak lele Warung Pegawai negeri Pegawai swasta Buruh Lainnya, sebutkan
Ayah
Ibu
Lainnya
Jumlah
Pengeluaran keluarga Jenis
jumlah
Biaya/hari Konsumsi
Beras Sayur Ikan Daging Tempe/tahu Telur Buah Minyak goreng Gas Non Konsumsi Transportasi Bensin Angkutan umum Listrik / air Pulsa Pakaian Pendidikan Kesehatan Ternak Kebutuhan RT Lainnya
Biaya/bulan
Jumlah
73
Konsumsi Pangan Metode Recall 2 x 24 jam: Hari 1 tanggal Waktu makan
Makan pagi
Selingan 1
Malan siang
Selingan 2
Makan malam
Nama makanan
Bahan Pangan
URT
Gr
Cara memperoleh
74
Hari 2 tanggal Waktu makan
Makan pagi
Selingan 1
Malan siang
Selingan 2
Makan malam
Nama makanan
Bahan Pangan
URT
Gr
Cara memperoleh
75
Frekuensi Pangan No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Pangan Serealia dan umbi 1. Beras 2. Jagung 3. Singkong 4. Ubi jalar 5. Talas 6. Mie 7. Daging dan telur 1. Daging ayam 2.Daging sapi/kambing 3. Ikan laut segar 4. Ikan tawar 5. Ikan asin 6. Ikan lele 7. Telur 8. Susu Kacang-kacangan 1. Tahu 2. Tempe 3. Oncom 4. Kc. tanah 5. Kc. buncis 6. ..... Daun-daunan 1. Bayam 2. Kangkung 3. Sawi 4. Wortel 5. Kol 6. Daun singkong 7. Daun pepaya 8. ................. Sayuran Buah 1. Labu siam 2. Tomat 3. Mentimun 4. Nangka muda 5. Pepaya muda 6. Terong 7..... Buah 1. Jambu biji 2. Pepaya 3. Mangga 4. Nenas 5. Pisang 6. Nangka masak 7. rambutan 8. Jeruk
>1 x sehari
1x sehari
Frekuensi 3–6x 1 – 2 kali seminggu seminggu
<1 x seminggu
Tidak pernah
76
No.
7.
Jenis Pangan 9. Apel 10. ............. Jajanan 1. Bakso 2. Siomay 3. Pisang goreng 4. Mie ayam 5. Bakwan 6. Gorengan 7. Chiki 8.Permen 9. Biskuit/cookies
>1 x sehari
1x sehari
Frekuensi 3–6x 1 – 2 kali seminggu seminggu
<1 x seminggu
Tidak pernah
77
PENDAPATAN KELUARGA, PENGETAHUAN, SIKAP, PRAKTEK DAN KONSUMSI IKAN LELE (Clarias gariepinus) SERTA STATUS GIZI ANAK KELUARGA PETERNAK Kami mohon bantuan ibu untuk menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Untuk menjawab pertanyaan ini dilakukan dengan cara menuliskan angka pada kotak yang telah disediakan. Bagian 1 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pertanyaan Makanan dikonsumsi harus bergizi dan Contoh makanan sumber energi Tahu yang mengandung formalin biasanya Yang termasuk zat gizi makro (dibutuhkan dalam jumlah banyak) Mengonsumsi garam beryodium adalah untuk mencegah : Anak sebaiknya diberi ASI saja tanpa tambahan bahan makanan lain sampai usia : Berapa baanyak air yang dikonsumsi perhari Sumber zat besi banyak terdapat dalam :
9.
Fungsi zat besi adalah :
10.
Sumber protein hewani adalah :
11.
Ikan lele kaya akan Karena kaya akan protein maka ikan lele baik untuk Selain protein ikan lele juga kaya akan
12. 13. 14.
Fungsi kalsium bagi tubuh adalah
15.
Lele memiliki kadar lemak yang Konsumsi lemak yang berlebih dapat menyebabkan Ikan lele memiliki asam lemak yang penting bagi otak yaitu
16. 17. 18.
19.
20.
Ikan lele tidak baik untuk dikonsumsi oleh Selain di ikan lele, protein juga banyak terdapat dalam bahan pangan Selain di ikan lele, kalsium juga banyak terdapat dalam bahan pangan
1 Mengandung banyak lemak Bayam, tomat Kenyal dan tahan lama
Jawaban 2
3
Nasi, roti
Mahal harganya Ikan, telur
Lembek
Lebih enak
Vitamin, mineral
Karbohidrat, lemak, protein
Air
Rabun (sakit mata)
Gondok
Busung lapar
2 bulan
6 bulan
9 bulan
3 gelas
5 gelas
8 gelas
Telur, ikan, susu Supaya tubuh kuat Ikan, telur, tahu Protein Menghasilkan energi
Buah-buah berwarna Pembentukan darah Tempe, kacang tanah, tahu Lemak
Hati dan sayuran hijau Pembentukan tulang dan gigi
Diet
Pertumbuhan
Kalsium
Lemak
Lendir
Melindungi tubuh Tinggi
Pertumbuhan tulang dan gigi Rendah
anemia
Jantung koroner
Kurang kalori
Omega 3
Omega 6
Tidak tahu
Balita
Orang tua
Tidak ada (semua boleh mengkonsumsi)
Tempe dan tahu
Hati
Tidak tahu
Susu
Hati
Tidak tahu
Beraneka ragam
Susu, telur Vitamin
Otak Tidak tahu
Jawaban Responden
78
Bagian 2 Kami mohon bantuan ibu untuk menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Untuk menjawab pertanyaan ini dilakukan dengan cara melingkari nomor jawaban yang sesuai dengan keadaan sebenarnya ataupun menuliskan jawaban di tempat yang telah disediakan. No.
1
2
3
Pertanyaan Apakah jenis kepemilikan usaha lele anda a. Milik pribadi b. Bagi hasil c. Hanya mengelola Berapa pendapatan yang anda peroleh dari beternak lele/tahun? Jawaban : Berapa pengeluaran yang anda dikeluarkan selama beternak lele/tahun? Jawaban : Pakan: Benih: Obat-obatan: Tenaga kerja: Lainnya (sebutkan):
5
Berapa kali ikan lele yang anda ternakkan dipanen dalam setahun a. 1 – 2 kali/tahun b. 3 – 4 kali/tahun c. >4 kali/tahun Berapa pendapatan yang anda peroleh dalam sekali panen Jawaban:
6
Harga jual rata-rata lele per kg Jawaban :
4
Kapan penjualan lele meningkat Jawaban : 7 Harga/kg : Kapan penjualan menurun Jawaban : 8 Harga/kg :
9
10 11
Untuk apa saja uang yang diperoleh dari panen tersebut a. Untuk keperluan keluarga b. Untuk membeli benih c. Untuk investasi d. Lainnya (sebutkan) Berapa kali dalam seminggu anda mengkonsumsi lele a. < 2 kali/ minggu b. 3 – 4 kali/minggu c. 5 – 7 kali/minggu Darimana anda mendapatkan lele tersebut
Koding (oleh mahasiswa)
79
No.
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Pertanyaan a. Peliharaan sendiri b. Membeli dari pasar c. Pemberian orang Lele yang dipelihara untuk apa saja a. Dijual b. Dikonsumsi sendiri c. Dijual dan dikonsumsi sendiri Untuk yang menjawab a lanjut ke no 17 Untuk yang menjawab b dan c lanjut ke no 12 Jumlah konsumsi lele keluarga perhari a. 1 -2 ekor/hari b. 3 – 5 ekor/hari c. > 5 ekor/hari Apakah semua anggota keluarga mengkonsumsi lele? a. Ya b. Tidak Jika tidak siapa yang tidak mengkonsumsi lele Alasannya Apakah keuntungan mengkonsumsi daging lele dari usaha ternak sendiri a. Tidak usah membeli b. Menghemat pengeluaran c. Menjaga kesehatan keluarga Apa kegunaan memelihara lele bagi keluarga a. Menyediakan daging lele bagi keluarga b. Dijual, kemudian dibelikan makanan sumber protein lainnya c. Jawaban a dan b benar Adakah pangan sumber protein lainnya yang biasa dikonsumsi keluarga anda selain daging lele a. Daging ayam b. Daging sapi/kambing c. Ikan laut ataupun ikan darat lainnya d. Tahu dan tempe e. Telur Kenapa anda tidak mengkonsumsi lele yang diternakkan a. Tidak suka b. Takut rugi c. Lainnya (sebutkan) Bila tidak mengkonsumsi daging lele dari ternak sendiri, apa yang anda konsumsi sebagai penggantinya? a. Daging ayam b. Daging sapi c. Ikan laut ataupun ikan darat lainnya d. Tempe dan tahu e. Telur Apakah anda mengetahui manfaat mengkonsumsi lele? a. Ya b. Tidak Jika Ya apa manfaat mengkonsumsi lele yang anda ketahui
Koding (oleh mahasiswa)
80
Bagian 3 SIKAP IBU TERHADAP PEMBERIAN LELE Kami mohon bantuan ibu untuk menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Untuk menjawab pertanyaan ini dilakukan dengan memberi centang pada kotak yang telah diberikan No
Pernyataan Lele mengandung zat gizi yang baik untuk anak Anak sekolah sebaiknya tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi lele Anak usia sekolah membutuhkan makanan yang memiliki gizi yang tinggi Ikan lele mengandung protein yang baik untuk pertumbuhan anak Ikan lele sebaiknya hanya dikonsumsi oleh orang tua saja Konsumsi lele yang paling baik adalah sebulan sekali Anak hanya diberikan makanan yang disukainya saja Selain ikan lele, saya juga menyediakan lauk hewani lainnya kepada anak saya Omega 3 yang ada dalam daging ikan lele baik untuk perkembangan otak anak Selain dikonsumsi secara langsung, ikan lele juga dapat dioleh menjadi makan lainnya
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Setuju
Tidak Setuju
Bagian 4 PRAKTEK IBU TERHADAP PEMBERIAN LELE Kami mohon bantuan ibu untuk menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Untuk menjawab pertanyaan ini dilakukan dengan melingkari jawaban yang ibu anggap benar No 1.
2.
3.
4. 5.
Pertanyaan Berapa kali ibu dan keluarga ibu makan dalam sehari a. 3 kali sehari b. 2 – 3 kali sehari c. 1 – 2 kali sehari Apakah ibu selalu menyediakan sayur dalam setiap waktu makan? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak pernah Apakah ibu selalu menyediakan lauk hewani dalam setiap waktu makan? a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak pernah Apakah ibu menyukai daging ikan lele? a. Iya b. Tidak Alasan: Apakah ibu selalu memberikan lauk ikan lele dalam setiap
Skor
81
No
6.
7.
8.
9.
10.
Pertanyaan waktu makan? a. Selalu (hampir setiap waktu makan) b. Kadang-kadang c. Tidak pernah Berapa kali dalam seminggu ibu dan keluarga ibu mengkonsumsi ikan lele? a. Hampir setiap hari b. 3 – 4 kali seminggu c. < 2 kali seminggu Siapa saja yang mengkonsumsi lele dalam keluarga ibu? a. Semua anggota keluarga b. Ibu dan ayah saja c. Anak saja Selain ikan lele, jenis sumper protein apa lagi yang biasa ibu sediakan? a. Telur ayam b. Tempe, tahu c. Lainnya, sebutkan Apakah anak ibu biasa mengkonsumsi susu? a. Ya b. Tidak Alasan : Selain digoreng biasanya ibu mengolah daging lele menjadi panganan lain apa?
Skor