I
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Daging sapi merupakan salah satu pangan bergizi tinggi yang banyak
diminati masyarakat dan dapat diolah menjadi berbagai macam pangan melalui
pengolahan baik secara tradisional ataupun modern. Pengolahan daging dengan cara pengeringan dilakukan untuk menghasilkan daging sapi yang memiliki daya
simpan lebih lama, karena melalui pengeringan kadar air bahan pangan berkurang sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Pengeringan dapat dilakukan secara tradisional dengan bantuan sinar matahari atau secara modern dengan pemanasan menggunakan oven.
Permintaan konsumen akan pangan fungsional dewasa ini meningkat.
Pangan fungsional merupakan pangan yang tidak hanya memberikan manfaat
nutrisi tetapi juga mempunyai manfaat kesehatan bagi tubuh manusia karena
kandungan bahan aktifnya. Daging sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi pangan fungsional melalui modifikasi proses pengolahan sehingga dapat
menghasilkan produk daging yang memberikan nilai manfaat kesehatan bagi tubuh. Salah satu modifikasi pengolahan daging dengan penambahan bahan aktif teh hijau yang bermanfaat bagi kesehatan manusia dan aman dikonsumsi.
Kebiasaan mengkonsumsi teh hijau baik sebagai minuman, makanan,
ataupun dijadikan sebagai bahan tambahan makanan dari tahun ke tahun terus meningkat, hal ini ditandai dengan bermunculannya produk
produk pangan yang
menggunakan teh hijau sebagai bahan utamanya. Daun teh hijau merupakan salah satu tumbuhan yang mengandung polifenol sebagai komponen aktifnya. Polifenol
1
2 pada daun teh hijau berupa epikatekin, epikatekin galat, epigalokatekin, teaflavin galat, teaflavin monogalat A dan B, dan teaflavin digalat.
Produk daging kering siap konsumsi sangat diminati oleh konsumen di
negara negara Amerika Serikat dan Australia karena praktis dan mengandung gizi
yang tinggi terutama pada kandungan proteinnya. Daging kering sudah dikenal
oleh masyarakat Indonesia dengan sebutan dendeng. Pada proses pembuatan dendeng, dengan merendam daging sapi pada ekstrak teh hijau memungkinkan menghasilkan produk dendeng yang mengandung polifenol.
Kadar polifenol pada produk akhir dendeng dapat dipengaruhi oleh
konsentrasi ekstrak teh hijau pada larutan perendam dan juga lama perendaman
daging pada larutan perendam. Polifenol telah dipelajari dapat mengurangi kadar
kolesterol pada darah manusia dan juga dapat mengurangi kadar kolesterol pada
bahan pangan, sehingga memungkinkan dihasilkan produk dendeng dengan kadar
kolesterol rendah. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang pengaruh konsentrasi dan lama perendaman daging sapi dalam ekstrak teh
hijau (Camellia sinensis) terhadap kadar polifenol, kolesterol dan akseptabilitas dendeng sapi. 1.2
Identifikasi Masalah
1. Bagaimana pengaruh konsentrasi dan lama perendaman daging sapi dalam
ekstrak teh hijau terhadap kadar polifenol, kolesterol dan akseptabilitas dendeng sapi.
2. Pada konsentrasi berapa persen dan lama perendaman berapa jam
penggunaan ekstrak teh hijau yang menghasilkan dendeng sapi dengan
3 kadar polifenol dan kadar kolesterol terbaik dan akseptabilitas paling disukai. 1.3
Maksud dan Tujuan
1. Mengetahui pengaruh konsentrasi dan lama perendaman daging sapi dalam
ekstrak teh hijau terhadap kadar polifenol, kolesterol dan akseptabilitas dendeng sapi.
2. Mengetahui pada konsentrasi berapa persen dan lama perendaman berapa
jam penggunaan ekstrak teh hijau yang menghasilkan dendeng sapi dengan
kadar polifenol dan kadar kolesterol terbaik serta akseptabilitas paling disukai. 1.4
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi ilmiah
maupun praktis untuk peneliti, akademisi dan industri produk daging untuk menambahkan ekstrak teh hijau pada pengolahan daging sehingga menghasilkan produk daging dengan kandungan polifenol yang dapat berperan sebagai pangan fungsional. 1.5
Kerangka Pemikiran
Produk dari proses pengeringan daging memiliki nama yang beragam
berdasarkan negara yang memproduksinya, beberapa yang dikenal adalah beef
jerky dari Amerika Serikat (United States Department of Agriculture, 2014; Rust dan Knipe, 2014), biltong dari Afrika Selatan (Strydom dan Zondagh, 2014), charqui
-Schnake dan Nova, 2014), dan di Indonesia
4 sendiri dikenal dengan sebutan dendeng (Badan Standarisasi Nasional, 2013; Prabhakar dan Mallika, 2014). Produk daging kering dendeng harus memiliki kadar air maksimal 12% sesuai dengan SNI-2908-2013 (Badan Standarisasi Nasional, 2013).
Pengeringan selama 3 jam pada suhu 60°C dan dilanjutkan dengan
pengeringan selama 5 jam pada suhu 70°C diperlukan untuk mendapatkan dendeng sesuai dengan mutu SNI (Suryati, dkk., 2014). Waktu
perendaman
berperan
dalam
proses
pembuatan
dendeng.
Penyerapan larutan perendam oleh daging akan semakin tinggi apabila waktu
perendaman semakin lama, dan sebaliknya, penyerapan larutan perendam oleh daging akan semakin rendah apabila waktu perendaman semakin singkat (Xiong dan Kupski, 1999).
Daging sapi selain mengandung gizi yang tinggi, juga mengandung
kolesterol. Kandungan kolesterol pada daging sapi berkisar antara 50-60 mg/100g daging (Saidin, 1999), sedangkan menurut United States Department of
Agriculture, pada produk daging kering seperti beef jerky mengandung kolesterol 12-48 mg/100g beef jerky.
Kolesterol merupakan golongan senyawa lipid yang bersifat aterogenik
yang dapat menyebabkan aterosklerosis sehingga dapat mengakibatkan timbulnya
penyakit kardiovaskular (Wijendran dan Hayes, 2004; Dyerberg, dkk., 2004; Calder, 2004). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengurangi kandungan
kolesterol pada makanan seperti, ekstraksi karbondioksida (Froning, dkk., 1990;
Chao, dkk., 1991; Cully, dkk., 1991), ekstraksi dengan saponin (Sundfeld, dkk., 1994), dan menggunakan kolesterol oksidase (Aihara, dkk., 1988). Penelitian diatas sangat rumit, mahal, dan tidak aplikatif pada semua jenis pangan.
5 Penggunaan antioksidan dipercaya dapat memberikan respon terhadap
penurunan kolesterol (Xu, dkk., 2009; Yen, dkk., 2010; Kmiecik, dkk., 2011). Ketertarikan penggunaan antioksidan alami dibandingkan penggunaan antioksidan sintetis pada bidang penelitian dan bidang industri meningkat dikarenakan dapat
memberikan respon yang sama, bahkan lebih baik dalam penurunan kolesterol, dan
diduga menghasilkan produk pangan yang lebih aman dan sehat (Xu, dkk., 2009; Kmiecik, dkk., 2011).
Kolesterol dapat mengalami oksidasi sehingga menghasilkan produk
oksidasi kolesterol (Xu, dkk., 2009). Kandungan produk oksidasi kolesterol dapat menambah 10% dari total kolesterol pada produk pangan (Kumar dan Shingal, 1992). Produk oksidasi kolesterol banyak terkandung pada pangan olahan daging
yang mengalami pemanasan (Lercker dan Rodriguez-Estrada, 2000). Oleh karena itu, diperlukan perlakuan untuk mencegah oksidasi pada kolesterol. Penggunaan polifenol teh hijau dapat menekan aktivitas oksidasi pada kolesterol bahan pangan (Xu, dkk., 2009).
Antioksidan adalah molekul yang dapat menghambat proses oksidasi
molekul lain. Oksidasi adalah reaksi kimia yang menyebabkan hilangnya elektron pada molekul sehingga menghasilkan radikal bebas.
Radikal bebas dapat
menyebabkan kerusakan pada molekul molekul lainnya. Antioksidan sekunder seperti flavanol dapat menghentikan rantai reaksi dengan menangkal radikal bebas dan menghambat reaksi oksidasi lainnya (Sies, 1997).
Penelitian tentang konsumsi daun teh hijau (Camellia sinensis) dan
pengaruhnya terhadap kesehatan manusia sudah banyak dilakukan. Manfaat daun teh hijau yaitu sebagai pencegah penyakit kardiovaskular (Mursu, dkk., 2008),
6 antiatritis (Haqqi, dkk., 1999), dan dapat mengurangi kadar kolesterol (Raederstoff, dkk., 2003).
Manfaat dari teh hijau secara umum dipengaruhi oleh kandungan
antioksidannya yaitu polifenol (Naghma dan Hasan, 2007) khususnya flavanol dan flavonol, yang terkandung pada teh hijau sebesar 30% dari berat kering daun teh
hijau segar (McKay dan Blumberg, 2002). Flavanol utama pada teh hijau yang
memberikan kontribusi terbesar pada manfaat teh hijau terhadap kesehatan manusia yaitu katekin terutama epigalokatekin 3-galat (EGCG) (Mandel, dkk., 2004). Mengkonsumsi ekstrak teh hijau akan memberikan respon pada kesehatan yang
lebih baik dan stabil dibandingkan mengkonsumsi EGCG murni, hal ini
dikarenakan pada ekstrak teh hijau terdapat kandungan antioksidan lainnya (Osada, dkk., 2001).
Polifenol merupakan hasil metabolit sekunder dari tanaman yang
mempunyai berbagai manfaat terhadap kesehatan manusia (Bellion, dkk., 2010), karena sifatnya sebagai antioksidan (Hollman, dkk., 2011). Senyawa polifenol
yang penting yang terkandung pada tanaman yaitu flavanoid, asam fenol, stilbene,
dan lignan. Flavanoid merupakan senyawa polifenol terbesar, dan selanjutnya dapat dikategorikan menjadi antosianidin, flavonol, flavanol, flavanon, flavon, dan isoflavon. EGCG pada daun teh hijau yang merupakan senyawa katekin yaitu senyawa turunan dari flavanol (Crozier, dkk., 2009).
Beberapa senyawa makromolekul seperti lemak, protein, dan karbohidrat
dapat kontak dan berinteraksi dengan polifenol (Jakobek, 2015). Ikatan protein dan
polifenol dapat memberikan efek biologis, seperti memberikan efek astringent pada mulut.
Astringent merupakan sensasi pada mulut yang didefinisikan sebagai
perasaan kering di dalam mulut dengan terasa kesat atau sepat (Oberque-Slier, dkk.,
7 2012), namun beberapa penelitian tentang pengaruh penggunaan tanaman sumber
polifenol terhadap produk pangan seperti perendaman patty daging sapi dengan teh
hijau (Quelhas, dkk., 2010) dan penggunaan ekstrak teh hijau dan ekstrak biji anggur pada patty
, dkk., 2007) tidak memberikan hasil yang
signifikan terhadap perubahan rasa dan total kesukaan bila dibandingkan dengan patty yang tidak menggunakan tanaman sumber polifenol.
Penelitian tentang interaksi polifenol dengan temperatur telah dilakukan,
seperti pengaruh pemanasan pada terong (Chumyam, dkk., 2013), kulit jeruk mandarin (Jeong, dkk., 2004), dan kayu manis (Du dan Li, 2008) terhadap
kandungan polifenol menunjukan hasil bahwa kandungan polifenol akan meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur. Proses pemanasan yang paling baik untuk meningkatkan kandungan polifenol pada bahan pangan adalah dengan cara
perpindahan panas dengan radiasi atau menggunakan microwave atau oven, karena dengan cara perebusan atau pengkukusan secara tidak langsung akan melepaskan
kandungan kandungan polifenol ke dalam air (Chumyam, dkk., 2013). Lamanya pemanasan dapat mempengaruhi kandungan polifenol, dimana semakin lama waktu pemanasan maka kandungan polifenol akan berkurang (Du dan Li, 2008).
Biji rapa dan olahannya seperti ekstrak biji rapa dan minyak biji rapa atau
lebih dikenal dengan minyak kanola kaya akan polifenol, sekitar 106 mg GAE/g
ekstrak. Pencampuran ekstrak polifenol dari ekstrak biji rapa pada pembuatan patty
daging sapi sebanyak 0,01% dari berat daging atau 100 mg GAE/kg daging, dapat menurunkan oksidasi lemak sebesar 70% pada patty daging sapi yang dimasak dengan penangas air dengan temperatur 76º C selama 40 menit dalam 3 hari penyimpanan (Brettonet, dkk., 2010).
8 Ekstrak biji anggur dan ekstrak rosela mengandung polifenol masing
masing sebesar 260 ± 9,2 mg GAE/g ekstrak dan 10 ± 1,6 mg GAE/g ekstrak. Pembuatan emulsi air dalam minyak (W/O) dengan penambahan ekstrak biji anggur
dan ekstrak rosela masing masing sebesar 0,8 % dan 1,5% dari berat emulsi, yang digunakan untuk pelapis patty daging sapi, dapat mengurangi zat zat karsinogenik masing
masing sebesar 68% dan 57% pada patty daging yang digoreng pada
temperatur 230ºC selama 2 menit 40 detik (Gibis dan Weiss, 2012).
Ekstrak zaitun mengandung polifenol sebesar 26,83 mg GAE/g ekstrak.
Pencampuran ekstrak polifenol dari ekstrak zaitun pada pembuatan patty daging sapi sebanyak 0,01% dari berat daging atau 100 mg GAE/kg daging, dapat
menurunkan oksidasi lemak sebesar 83% pada patty daging sapi yang dimasak dengan penangas air dengan temperatur 76º C selama 40 menit dalam 6 hari penyimpanan (DeJong dan Lanari, dkk., 2009).
Polifenol terdapat di dalam bumbu dapur seperti bawang putih dan
ketumbar. Kandungan polifenol pada bawang putih sebesar 15 ± 23 mg GAE/g
berat segar (Lu, dkk., 2011). Kandungan polifenol pada ketumbar sebesar 12,2 mg GAE/g (Deepa dan Anuradha, 2011). Pembuatan dendeng dengan perendaman ke dalam campuran larutan bumbu dapur 12% (2% ketumbar dan 10% bawang putih)
dari berat daging selama 12 jam, dengan pemanasan menggunakan oven dengan
temperatur 60-70ºC selama 8 jam akan menghasilkan dendeng dengan total
polifenol terbaik sebesar 108,90 ± 9,86 mg GAE/g, bila dibandingkan dengan perendaman ke dalam campuran larutan bumbu dapur sumber polifenol 6% (1%
ketumbar dan 5% bawang putih) dari berat daging selama 12 jam, dengan
pemanasan menggunakan oven dengan temperatur 60-70ºC selama 8 jam yang
9 menghasilkan dendeng dengan total polifenol sebesar 95,52 ± 8,02 mg GAE/g (Suryati, dkk., 2014).
Penelitian terdahulu menunjukan bahwa penggunaan berbagai tumbuhan
sumber polifenol sebagai campuran, pelapis, ataupun perendam daging dapat
menghasilkan produk daging sapi yang mengandung polifenol. Adanya kandungan polifenol pada produk daging sapi dapat ditujukan dengan cara analisis total
polifenol (Suryati, dkk., 2014), analisis kestabilan oksidasi lemak (DeJong dan Lanari, 2009; Brettonet, dkk., 2010), dan analisis zat karsinogenik (Gibis dan Weiss, 2012).
Berdasarkan uraian sebelumnya maka hipotesis yang dapat ditarik adalah
bahwa perendaman daging sapi dengan ekstrak teh hijau dengan kadar 12% selama 12 jam akan menghasilkan dendeng sapi yang mengandung polifenol terbaik dan kolesterol rendah dengan akseptabilitas paling disukai. 1.6
Waktu dan Lokasi Penilitian
Pembuatan dendeng sapi dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan
Produk Peternakan dan Laboratorium Riset dan Pengujian Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran pada tanggal 16 dan 17 November 2015. Uji Organoleptik dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Produk Peternakan Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran pada tanggal 17 November 2015. Analisis kadar polifenol dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pelayanan Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran pada tanggal 18 November 2015. Analisis kadar kolesterol dilakukan di Laboratorium Riset dan Pengujian Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran pada tanggal 16 Desember 2015.