7
PENDAHULUAN Menurut Boekaerts (2005) ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan seorang siswa untuk mencapai prestasi yang maksimal. Faktor tersebut adalah intelegensi, kepribadian, lingkungan sekolah, dan lingkungan rumah. Namun selain faktor-faktor tersebut ternyata self regulation juga mempunyai andil dalam keberhasilan siswa mencapai prestasi yang maksimal (Boekaerts, 2005). Walaupun seorang siswa memiliki tingkat intelegensi yang baik,
kepribadian,
lingkungan
rumah,
dan
lingkungan
sekolah
yang
mendukungnya, namun tanpa ditunjang oleh kemampuan self regulation maka siswa tersebut tetap tidak akan mampu mencapai prestasi yang optimal. Schunk (2001), mengemukakan bahwa siswa dikatakan melakukan self regulation dalam belajar bila mereka secara sistematis mengatur perilaku dan kognisinya dengan memperhatikan aturan yang dibuat sendiri, mengontrol jalannya proses belajar dan mengintegrasikan pengetahuan, melatih untuk mengingat informasi yang diperoleh, serta mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai positif belajarnya. Permasalahan belajar meliputi masalah pengaturan diri, untuk itu siswa membutuhkan pengaturan diri (self regulated learning) atau (SRL). Zimmerman (1989) menjelaskan bahwa self regulated learning penting bagi semua jenjang akademis. Self regulated learning dapat diajarkan, dipelajari dan dikontrol. Umumnya, siswa yang berhasil adalah siswa yang menggunakan strategi self regulated learning dan sebagian besar sukses di sekolah. Self regulated learning mampu mengatur kinerja dan prestasi akademis. Self regulated learning penting untuk diteliti, mengingat siswa harus mengatur diri supaya prestasi akademisnya sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan salah satu komponen dari self-regulation, yaitu meregulasi usaha yang mempunyai hubungan dengan prestasi dan mengacu pada niat siswa untuk mendapatkan sumber, energi, dan waktu untuk dapat menyelesaikan tugas akademis yang penting (Wolters, Pintrich & Karabenick, 2003). Belakangan ini pemenuhan layanan pada bidang pendidikan untuk setiap warga negara oleh pemerintah semakin dikembangkan secara menyeluruh, tak
v
8
terkecuali kebutuhan akan layanan pendidikan untuk siswa yang notabene mempunyai tingkat intelegensi tinggi (Hawadi, 2006). Hal tersebut disertai dengan munculnya fenomena penyelenggaraan program percepatan belajar (kelas akselerasi) di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Umum (SMU). Kelas akselerasi mulai dikembangkan pada tahun 1998/1999 dengan maksud untuk memfasilitasi layanan pendidikan khusus bagi anak berbakat (Hawadi, 2006). Menurut Tirtonegoro (2001) percepatan (acceleration) adalah cara penanganan anak super normal dengan memperbolehkan naik kelas secara meloncat atau menyelesaikan kelas reguler di dalam jangka waktu yang lebih singkat. Hal senada juga disampaikan oleh Lubis (dalam Hawadi, 2006) yang mendefinisikan istilah akselerasi sebagai program pelayanan yang diberikan kepada siswa dengan tingkat keberbakatan tinggi agar dapat menyelesaikan masa belajarnya lebih cepat dari siswa yang lain (kelas reguler). Peserta didik pada kelas akselerasi mempunyai metode dan cara belajar yang berbeda dengan siswa kelas reguler. Siswa akselerasi mempunyai kemampuan metakognisi dalam menghadapi dan mencerna materi pelajaran kemampuan
untuk
merefleksikan
pada
berpikir
sendiri
mereka
dan
mengembangkan dan menggunakan keterampilan pemecahan masalah yang praktis untuk menyelesaikan materi pelajaran di sekolahnya (Hawadi, 2006). Siswa yang mampu mengarahkan dirinya saat belajar (self regulated learners) dapat
dilihat dari cara mereka merencanakan, mengorganisasikan dan
mengarahkan diri sendiri, serta melakukan evaluasi diri pada berbagai tingkatan selama proses perolehan informasi. Berdasarkan wawancara dengan pihak sekolah yang diwakili oleh salah satu guru matematika menuturkan bahwa SMPN 1 Salatiga merupakan pelopor diadakannya kelas akselerasi di kota Salatiga. Kelas akselerasi
yang
diselenggarakan di SMPN 1 Salatiga dimulai pada kelas sepuluh atau biasa yang disebut kelas satu SMP. Waktu tempuh kelas akselerasi di SMPN 1 Salatiga adalah 2 tahun dengan kata lain bahwa kelas akselerasi lebih cepat 1 tahun daripada kelas reguler pada umumnya. Siswa kelas akselerasi di SMP N 1 Salatiga
v
9
mempunyai tantangan dalam melakukan proses belajarnya. Tantangan yang harus dihadapi adalah siswa kelas akselerasi harus sanggup belajar dengan materi yang berlimpah dalam waktu yang cukup singkat, agar semua materi dapat selesai tepat waktu seturut dengan kurikulum maupun aturan yang berlaku. Dari pemaparan fenomena dan fakta maupun hasil penelitian sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk meneliti perbedaaan self regulated learning antara siswa akselerasi dengan siswa reguler di SMP N 1 Salatiga.
TINJAUAN PUSTAKA Self Regulated Learning Self regulation didefinisikan sebagai pengarahan aktivasi pemikiran, perilaku dan perasaan (affect) yang terus menerus dalam usaha untuk mencapai target yang telah ditetapkan (Schunk, 2001). Bentuk self regulation dalam proses pembelajaran lebih dikenal sebagai self regulated learning. Zimmerman (1989) menyatakan bahwa self regulated learning merupakan konsep mengenai bagaimana seorang peserta didik menjadi pengatur bagi belajarnya sendiri. Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004) selanjutnya juga menjelaskan self regulated learning sebagai suatu proses dimana seorang peserta didik mengaktifkan dan mendorong kognisi (cognition), perilaku (behaviours) dan perasaannya (affect) secara sistematis dan berorientasi pada pencapaian tujuan belajar. Purwanto (2000) menjelaskan bahwa self regulated learning secara harfiah disusun dari dua kata yaitu self regulated yang berarti mengelola diri dan learning berarti belajar. Self regulated learning dapat diartikan sebagai belajar secara terkelola diri atau dengan kata lain belajar yang bertumpu pada pengelolaan diri. Sedangkan Zimmerman (1989) berpendapat bahwa siswa yang memiliki self regulated learning adalah siswa yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral merupakan peserta aktif dalam proses belajar bagi mereka. Menurut Zimmerman (dalam Montalvo dan Torres, 2004), self regulated learning mencakup tiga aspek :
v
10
a. Metakognisi Menurut Reed & Giessler (dalam Alsa, 2007), metakognisi adalah berfikir mengenai berfikir, yaitu kemampuan untuk mengetahui apa yang perlu dilakukan dalam suatu peristiwa yang akan terjadi. Zimmerman (dalam Haryu, 2004) mengemukakan bahwa metakognisi adalah kemampuan individu dalam merencanakan,
mengorganisasi
atau
mengatur,
mengintruksikan
diri,
memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar. b. Motivasi Intrinsik Strategi untuk meregulasi motivasi melibatkan aktivitas yang penuh tujuan dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan untuk memulai, mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau sesuai tujuan. Regulasi motivasi adalah semua pemikiran, tindakan atau perilaku dimana siswa berusaha mempengaruhi pilihan, usaha, dan ketekunan tugas akademisnya (Wolters, Pintrich & Karabenick, 2003). c. Perilaku Aktif Strategi untuk meregulasi perilaku merupakan usaha individu untuk mengontrol sendiri perilaku yang nampak. Sesuai penjelasan Bandura (Zimmerman, 1989) bahwa perilaku adalah aspek dari pribadi (person), walaupun bukan “self” internal yang direpresentasikan oleh kognisi, motivasi dan afeksi. Regulasi perilaku meliputi regulasi usaha (effort regulation), waktu dan lingkungan (time/ study environment), dan pencarian bantuan (helpseeking). Zimmerman (1989) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi self regulated learning sebagai berikut: a. Faktor Personal Beberapa faktor personal tersebut adalah pengetahuan peserta didik, proses metakognisi, tujuan yang akan dicapai, dan afeksi. Paris dan Winograd (2002) menggolongkan pengetahuan menjadi tiga yakni pengetahuan kondisional, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan deklaratif. Zimmerman (1989) mengemukakan dari ketiga jenis pengetahuan tersebut yang merupakan pengetahuan bagi peserta didik yang melaksanakan self regulated learning
v
11
adalah pengetahuan prosedural dan pengetahuan kondisional, sedangkan pengetahuan deklaratif dan pengelolaan diri bersifat interaktif. Dapat disimpulkan, dengan semakin baiknya pengetahuan kondisional (yaitu menggunakan strategi yang tepat untuk memfasilitasi penyelesaian tugas) dan pengetahuan prosedural (yaitu mengkomposisikan tugas untuk mencapai tujuan jangka pendek) , maka peserta didik yang menggunakan self regulated learning akan semakin dekat dalam pencapaian targetnya. b. Faktor Perilaku Faktor perilaku meliputi observasi diri (self observation), penilaian diri (self judgement), dan reaksi diri (self reaction). Pentingnya observasi diri dapat ditelaah melalui penelitian yang dilakukan oleh Schunk (2001). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa peserta didik yang menggunakan observasi diri dalam proses pembelajaran lebih memiliki efikasi diri yang tinggi, lebih terampil, dan lebih terkonsentrasi pada tugas daripada peserta didik yang tidak menggunakan observasi diri. Penilaian diri mengarah pada respon peserta didik yang berhubungan dengan komparasi secara sistematis terhadap kinerja mereka dengan standar tujuan. Peserta didik yang melaksanakan penilaian diri memiliki kinerja yang lebih tinggi, efikasi diri yang lebih baik, dan kesadaran yang lebih baik. Peserta didik yang bereaksi positif terhadap kemampuan dirinya maka dapat meningkatkan kinerjanya. c. Faktor Lingkungan Kegiatan belajar seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dimana peserta didik tersebut berada. Lingkungan yang kondusif akan mengarahkan peserta didik menggunakan self regulated learning dalam proses pembelajarannya, dan sebaliknya jika lingkungan yang kurang kondusif akan membuat kesulitan berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Hasil penelitian terhadap peserta didik gifted dan ungifted yang dilakukan Munandar, Herkusumo & Bonang (2009) menunjukkan bahwa lingkungan belajar di rumah sangat mempengaruhi dimilikinya self regulated learning dan dapat berdampak pada meningkatnya prestasi belajar.
v
12
Jenis Kelas Definisi dari jenis kelas dalam penelitian ini adalah macam atau bentuk suatu program pendidikan tempat siswa belajar di sekolah untuk mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai. Jenis kelas dibedakan menjadi: a. Kelas Akselerasi Colangelo (dalam Hawadi, 2004) memaparkan bahwa istilah akselerasi menunjuk pada pelayanan yang diberikan (service delivery) dan kurikulum yang disampaikan (curriculum delivery). Sebagai model pelayanan, akselerasi dapat diartikan sebagai model layanan pembelajaran cara lompat kelas, misalnya bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi (IQ di atas 130) diberi kesempatan untuk mengikuti pelajaran pada kelas yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Sementara itu, sebagai model kurikulum, akselerasi berarti mempercepat bahan pelajaran dari yang seharusnya dikuasai oleh siswa saat itu. Akselerasi akan membuat anak berbakat menguasai banyak isi pelajaran dalam waktu yang singkat. Anak-anak ini dapat menguasai bahan pelajaran secara cepat dan merasa bahagia atas prestasi yang dicapainya. Menurut Zuhdi dan Latifah (2006), program percepatan belajar (akselerasi) adalah salah satu program layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang oleh guru telah diidentifikasi memiliki prestasi sangat memuaskan, dan oleh psikolog telah diidentifikasi memiliki kemampuan intelektual umum pada taraf cerdas, memiliki kreativitas dan keterikatan terhadap tugas di atas rata-rata, untuk dapat menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar mereka. Durasi KBM (kegiatan belajar mengajar) untuk siswa kelas akselerasi lebih lama dari siswa kelas reguler, yaitu antara pukul 07.00 sampai dengan 16.00. b. Kelas Reguler Baker (2000) mendefinisikan reguler yaitu mengikuti pola, terutama dengan jarak dan waktu yang sama. Kelas reguler merupakan kelas dengan menggunakan sistem pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara klasikal massal kepada siswa artinya dengan tidak memberikan pengelompokan/pembedaan khusus atas dasar kemampuan, prestasi, akan
v
13
tetapi pembagian kelas secara merata dari segi kuantitas. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat
dari
Widyastono
(2004)
tentang
kelas
reguler
diselenggarakan berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku. Di dalam kelas reguler semua peserta didik atau siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan mereka. Kelas reguler adalah kelas yang mengacu pada kurikulum nasional yang berlaku. Kelas ini merupakan kelas umum dengan masa belajar selama 3 tahun. Durasi KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) pada siswa kelas reguler lebih singkat dari siswa kelas akselerasi, yaitu antara pukul 07.00 sampai 13.30.
Perbedaan Self Regulated Learning Antara Siswa Akselerasi Dengan Siswa Reguler Teori sosial kognitif menjelaskan bahwa faktor perilaku, faktor kognitif serta faktor sosial, memiliki peran penting dalam suatu proses pembelajaran. Self regulated learning merupakan proses pembelajaran yang melibatkan ketiga faktor tersebut. Self regulated learning didefinisikan oleh Zimmerman (1989) sebagai suatu proses dimana seorang siswa mengaktifkan dan mendorong kognisi (cognition), perilaku (behaviour) dan perasaannya (affect) secara sistematis dan berorientasi pada pencapaian tujuan belajar. Berdasarkan perspektif sosial kognitif, siswa yang dapat dikatakan sebagai self regulated learner adalah siswa yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral aktif dan turut serta dalam proses belajar mereka. Gie (1979) mengatakan bahwa cara belajar yang baik sangat mendukung seseorang untuk berhasil dalam studi. Lembaga pendidikan menghendaki siswanya belajar secara maksimal untuk mencapai prestasi yang seoptimal mungkin. Tuntutan belajar tersebut mengharuskan siswa untuk belajar lebih mandiri, disiplin dalam mengatur waktu, dan melaksanakan kegiatan belajar yang lebih terarah dan intensif sehingga memungkinkan siswa tampil produktif, kreatif, dan inovatif. Nugroho (2006) menjelaskan bahwa jika dalam proses pembelajarannya anak berbakat memiliki dan menggunakan self regulated yang kuat dan bersifat
v
14
positif maka akan mampu mendukung keberhasilan dalam dunia akademik. Self regulated learning tersebut merupakan salah satu determinan faktor untuk keberhasilan studi anak berbakat. Siswa belajar meregulasi diri disaat menghadapi tantangan atau kurikulum baru disampaikan oleh Pintrich (dalam Alsa, 2007). Pada siswa kelas akselerasi, peserta didik memperoleh materi pelajaran yang lebih banyak dengan durasi yang lebih singkat dibandingkan peserta didik kelas reguler. Siswa yang mempunyai bakat istimewa dari segi intelektualnya yang tinggi tidak terlalu memerlukan motivasi atau dorongan dari luar dirinya. Mereka mampu bekerja dan belajar secara mandiri, mempunyai daya imajinasi yang tergolong tinggi, mempunyai konsentrasi yang baik, maka tidak seluruh materi kurikulum pembelajaran harus diberikan dengan bentuk tatap muka di kelas atau mengikuti irama pembelajaran yang sama dengan kelas reguler. Oleh karena itu peserta didik kelas akselerasi diharapkan untuk mampu meregulasi diri dengan melibatkan cara berpikir yang lebih efektif untuk memaksimalkan kapabilitas, melibatkan keputusan motivasional tanpa adanya dorongan dari luar tentang hakikat proses pembelajarannya, dan menggunakan strategi belajar dengan
mengarahkan
situasi
dan
lingkungan
belajarnya
lebih
cermat
dibandingkan dengan peserta didik kelas reguler. Dari pemaparan uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa siswa akselerasi lebih mampu belajar menggunakan regulasi diri dibandingkan siswa kelas reguler.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan self regulated learning antara siswa kelas akselerasi dengan siswa kelas reguler. Siswa kelas akselerasi lebih mempunyai self regulated learning dibandingkan dengan siswa kelas reguler.
v
15
METODE PENELITIAN Partisipan Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Salatiga. Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Salatiga tahun ajaran 2013/2014 pada program kelas akselerasi dan program kelas regular.
Prosedur Sampling Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, dengan metode judgement sampling yaitu berdasarkan pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu disesuaikan dengan tujuan atau masalah penelitian. Alasan menggunakan purposive sampling didasari pertimbangan agar sampel data yang dipilih memenuhi kriteria untuk diuji (Sugiyono, 2012). Peneliti memilih SMP Negeri 1 Salatiga karena memiliki kekhasan yaitu sebagai sekolah yang menyelenggarakan dua program sekaligus meliputi program regular dan akselerasi.
Sekolah
tersebut
merupakan
sekolah
yang
pertama
kali
menyelenggarakan program akselerasi di kota Salatiga. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII pada kelas reguler 14 orang dan kelas akselerasi sebanyak 14 orang.
Pengukuran Skala dalam penelitian disusun oleh peneliti dengan mengacu pada aspekaspek self regulated learning yang dikemukakan oleh Zimmerman (dalam Montalvo dan Torres, 2004) yaitu aspek metakognisi, motivasi intrinsik, dan perilaku aktif. Alternatif pilihan jawaban untuk setiap item self regulated learning yang tersedia, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), serta Sangat Tidak Setuju (STS). Adapun nilai skala self regulated learning untuk favourable adalah: satu (1) untuk Sangat Tidak Setuju (STS), dua (2) Tidak Setuju (TS), tiga (3) untuk Setuju (S), dan empat (4) untuk Sangat Setuju (SS). Sebaliknya untuk unfavourable adalah empat (4) untuk Sangat Tidak Setuju (STS), tiga (3) untuk Tidak Setuju (TS), dua (2) untuk Setuju (S), dan satu (1) untuk Sangat Setuju (SS). Artinya semakin tinggi skor yang diperoleh subjek
v
16
berarti semakin tinggi self regulated learning siswa SMP Negeri 1 Salatiga dan sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah self regulated learning siswa SMP Negeri 1 Salatiga. Pengujian validitas alat ukur menggunakan patokan Azwar (2012) yang menyatakan semua korelasi item yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 daya bedanya dianggap memuaskan. Berdasarkan hasil uji validitas item pada angket self regulated learning, dari 62 item terdapat 44 item valid dan 18 item yang gugur. Item-item yang gugur adalah item nomor 2, 7, 10, 15, 23, 27, 31, 36, 37, 43, 45, 46, 48, 49, 52, 53, 58, 62. Item yang dinyatakan gugur tersebut adalah item yang memiliki koefisien korelasi total kurang dari 0,3. Tabel 1 Item Valid dan Gugur Pada Skala Self Regulated Learning No 1
2
3
Aspek Metakognisi
Indikator Merencanakan
Favourable 1, 2*
Unfavourable 11, 12
Mengorganisasi
3, 4
13, 14
Menginstruksikan Diri Memonitor Aktivitas Belajar Melakukan Evaluasi Menggerakkan
5, 6
15*, 16
7*, 8
17, 18
9, 10*
19, 20
21, 22, 23*
30, 31*, 32
Mengarahkan Menopang Waktu dan Tempat untuk Belajar
24, 25, 26 27*, 28, 29 39, 40, 41
33, 34, 35 36*, 37*, 38 51, 52*, 53*
Mengontrol dan Meregulasi Usaha Kelompok Belajar Perilaku Mencari Bantuan Total Item Valid
42, 43*, 44
54, 55, 56
45*, 46*, 47 48*, 49*, 50
57, 58*, 59 60, 61, 62*
Motivasi Intrinsik Perilaku Aktif
44
Keterangan: Tanda (*) menunjukkan nomor item yang gugur
Pengujian reliabilitas alat ukur menggunakan patokan Azwar (2012) yang menyatakan bahwa minimal koefisien konsistensi internal paling tidak setinggi 0,80. Sesuai dengan standar reliabilitas menurut Azwar (2012), maka dari tabel 2
v
17
dapat diambil kesimpulan bahwa angket self regulated learning adalah reliabel dengan koefisien konsistensi internal sebesar 0,945. Tabel 2 Realibilitas Angket Self Regulated Learning Cronbach's Alpha .945
N of Items 44
Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dengan uji Chi Square. Adapun alasan mempergunakan analisis statistik tersebut karena uji Chi Square bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan dalam hal self regulated learning antara dua kelompok yaitu akselerasi dan non akselerasi (reguler). Penelitian ini dilakukan dengan bantuan program SPSS (Statistical Packages for Special Science) for windows release 17.0.
HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Salatiga yang terletak di jalan Kartini No 24, Salatiga. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 14 siswa akselerasi dan 14 siswa reguler yang berumur 11-13 tahun yang masih aktif menjadi murid kelas VII SMP Negeri 1 Salatiga tahun ajaran 2013/2014. Peneliti melakukan pengambilan data dengan cara menyebar angket self regulated learning pada tanggal 16 April 2014. Kategori untuk menentukan tinggi rendahya hasil pengukuran variabel self regulated learning, yaitu: Sangat Tinggi, Tinggi, Rendah dan Sangat Rendah. Jumlah pilihan pada masing-masing item adalah 4 (empat). Maka skor maksimum diperoleh dengan cara mengkalikan skor tertinggi dengan jumlah soal, yaitu: 4 x 44 item valid= 176 dan skor minimum diperoleh dengan cara mengkalikan skor terendah dengan jumlah soal 1 x 44 item valid = 44, jadi diperoleh interval sebagai berikut:
v
18
Berdasarkan hasil analisis dapat dikemukakan kategori sebagai berikut: Sangat Rendah
: 44≤ x <77
Rendah
: 77 ≤ x <110
Tinggi
: 110 ≤ x <143
Sangat Tinggi
: 143 ≤ x ≤ 176
Hasil kategorisasi skala self regulated learning pada kelas reguler dan kelas akselerasi dapat dilihat pada tabel 3 dan tabel 4. Tabel 3 Kategorisasi Skala Self Regulated Learning Kelas Reguler No Interval Kategori Mean N Prosentase (%) 1. 143 ≤ x ≤ 176 Sangat Tinggi 1 7,14 % 2. 110 ≤ x <143 Tinggi 132,71 13 92,86% 3. 77 ≤ x <110 Rendah 0 0% 4. 44≤ x <77 Sangat Rendah 0 0% Total 14 100 % SD = 9,025 Min = 120 Max = 146 Keterangan : x = Skor self regulated learning; N = Jumlah Subjek.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 1 siswa kelas reguler SMP Negeri 1 Salatiga memiliki skor self regulated learning yang berada pada kategori sangat tinggi dengan prosentase 7,14%, 13 siswa kelas reguler SMP Negeri 1 Salatiga memiliki skor self regulated learning yang berada pada kategori tinggi dengan prosentase 92,86%. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 120 sampai dengan skor maksimum sebesar 146 dengan standar deviasi 9,025.
v
19
Tabel 4 Kategorisasi Skala Self Regulated Learning Kelas Akselerasi No Interval Kategori Mean N Prosentase (%) 1. 143 ≤ x ≤ 176 Sangat Tinggi 155,36 11 78,57% 2. 110 ≤ x < 143 Tinggi 3 21,43 % 3. 77 ≤ x <110 Rendah 0 0% 4. 44≤ x < 77 Sangat Rendah 0 0% Total 14 100 % SD = 12,049 Min = 141 Max = 174 Keterangan : x = Skor self regulated learning; N = Jumlah Subjek
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa 11 siswa kelas akselerasi SMP Negeri 1 Salatiga memiliki skor self regulated learning yang berada pada kategori sangat tinggi dengan prosentase 78,57%, 3 siswa kelas akselerasi SMP Negeri 1 Salatiga memiliki skor self regulated learning yang berada pada kategori tinggi dengan prosentase 21,43%. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 141 sampai dengan skor maksimum sebesar 174 dengan standar deviasi 12,049. Dalam penelitian ini uji perbedaan self regulated learning antara siswa akselerasi dengan siswa reguler di SMP N 1 Salatiga dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS 17.0. Tabel 4.6 Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Pearson Chi-Square
28.000a
12
.006
Likelihood Ratio
38.816
12
.000
N of Valid Cases
28
a. 26 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .50.
Terlihat dari hasil uji pearson chi-square didapatkan nilai χ2 hitung sebesar 28,000 dengan df 12 atau nilai χ2 tabel sebesar 21,026 (χ2 hitung > χ2 tabel). Nilai sig sebesar 0,006 < α (0,05) sehingga H1 diterima yang berarti bahwa
v
20
ada perbedaan self regulated learning antara siswa akselerasi dengan siswa reguler di SMP N 1 Salatiga.
PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian mengenai perbedaan self regulated learning antara siswa akselerasi dengan siswa reguler di SMP N 1 Salatiga, maka didapatkan nilai χ2 hitung sebesar 28,000 dengan df 12 atau nilai χ2 tabel sebesar 21,026 (χ2 hitung > χ2 tabel) dan nilai sig sebesar 0,006 < α (0,05). Dengan demikian dinyatakan dalam penelitian ini yaitu H1 diterima dan Ho ditolak. Artinya bahwa ada perbedaan self regulated learning antara siswa akselerasi dengan siswa reguler di SMP N 1 Salatiga. Self regulated learning didefinisikan oleh Zimmerman (1990) sebagai suatu proses dimana seorang siswa mengaktifkan dan mendorong kognisi (cognition), perilaku (behaviours) dan perasaannya (affect) secara sistematis dan berorientasi pada pencapaian tujuan belajar. Siswa belajar meregulasi diri disaat menghadapi tantangan atau kurikulum baru disampaikan oleh Pintrich (dalam Alsa, 2007). Schunk (2001), mengemukakan bahwa siswa dikatakan melakukan pengaturan diri dalam belajar bila mereka secara sistematis mengatur perilaku dan kognisinya dengan memperhatikan aturan yang dibuat sendiri, mengontrol jalannya proses belajar dan mengintegrasikan pengetahuan, melatih untuk mengingat informasi yang diperoleh, serta mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai positif belajarnya. Siswa yang mampu mengarahkan dirinya saat belajar (self regulated learners) dapat dilihat dari cara mereka merencanakan, mengorganisasikan dan mengarahkan diri sendiri, serta melakukan evaluasi diri pada berbagai tingkatan selama proses perolehan informasi. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan adanya perbedaan self regulated learning antara siswa akselerasi dengan siswa reguler di SMP N 1 Salatiga. Pertama, peserta didik yang mendapatkan tantangan adalah peserta didik yang mengikuti program akselerasi. Pada siswa kelas akselerasi, peserta didik memperoleh materi pelajaran yang lebih banyak dengan durasi yang lebih singkat dibandingkan peserta didik kelas reguler, sehingga mereka mampu meregulasi diri
v
21
lebih baik daripada kelas regular. Kedua, peserta didik kelas akselerasi diharapkan untuk mampu meregulasi diri dengan melibatkan cara berpikir yang lebih efektif untuk memaksimalkan kapabilitas, melibatkan keputusan motivasional tanpa adanya dorongan dari luar tentang hakikat proses pembelajarannya, dan menggunakan strategi belajar dengan mengarahkan situasi dan lingkungan belajarnya lebih cermat dibandingkan dengan peserta didik kelas reguler. Hal ini ditunjukkan berdasarkan nilai rata-rata self regulated learning yang diperoleh kelas akselerasi lebih tinggi daripada nilai rata-rata self regulated learning yang diperoleh kelas reguler. Rata-rata skor self regulated learning yang diperoleh kelas akselerasi sebesar 155,36, sedangkan rata-rata skor self regulated learning yang diperoleh kelas reguler sebesar 132,71 SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Ada perbedaan self regulated learning antara siswa akselerasi dengan siswa reguler di SMP N 1 Salatiga. Berdasarkan penelitian mengenai perbedaan self regulated learning antara siswa akselerasi dengan siswa reguler di SMP N 1 Salatiga, maka didapatkan nilai χ2 hitung sebesar 28,000 dengan df 12 atau nilai χ2 tabel sebesar 21,026 (χ2 hitung > χ2 tabel) dan nilai sig sebesar 0,006 < α (0,05). Dengan demikian dinyatakan dalam penelitian ini yaitu H1 diterima dan Ho ditolak. Artinya bahwa ada perbedaan self regulated learning antara siswa akselerasi dengan siswa reguler di SMP N 1 Salatiga. 2. Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata self regulated learning yang diperoleh kelas akselerasi lebih tinggi daripada nilai rata-rata self regulated learning yang diperoleh kelas regular. Rata-rata skor self regulated learning yang diperoleh kelas akselerasi sebesar 155,36, sedangkan rata-rata skor self regulated learning yang diperoleh kelas reguler sebesar 132,71.
v
22
Saran yang dapat diajukan peneliti berdasarkan hasil penelitian ini adalah : 1. Bagi Pihak Guru Hendaknya guru SMP Negeri 1 Salatiga agar dapat mempertahankan self regulated learning siswa didiknya melalui pengajaran yang dapat memotivasi peserta didiknya. 2. Bagi Pihak Siswa Diharapkan dapat mempertahankan self regulated learning dirinya, melalui pengelolaan strategi belajar yang baik. 3. Untuk penelitian selanjutnya Bagi peneliti lain yang tertarik dan berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang self regulated learning pada siswa, maka disarankan untuk menyertakan variabel-variabel lain yang belum disertakan dalam penelitian ini serta memperluas ruang lingkup penelitian ini.
v
23
DAFTAR PUSTAKA Alsa, A. (2007). Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baker, C. (2000). The Care And Education Of Young Bilinguals: An Introduction For Professionals. Clevedon: Multilingual Matters. Boekaerts, M., & Corno, L. (2005). Self-regulation in the classroom: A perspective on assessment and intervention. Applied Psychology: An International Review, Volume 54, p. 199–231. Gie, The Liang. (1979). Pengantar Logika Modern. Yogyakarta: Peneribat Karya Kencana. Haryu. (2004). Hubungan antara Pengasuhan Islami dengan Self-regulated Learning, Motivasi Berprestasi dan Prestasi Belajar. Thesis. Yogyakarta: UGM. Hawadi, R. A. (2006). Akselerasi, A-Z informasi program percepatan belajar dan anak berbakat intelektual. Jakarta: PT Grasindo. Montalvo, F.T., dan Torres, M.C.G. (2004). Self-regulated Learning: Current and Future Direction. Electronic Journal Research in Educational Psychology. Volume 2.No 1. p145-156. Munandar, U., Herkusumo, A.P., & Bonang, E., (2009). Hubungan antara Pengaturan diri dalam Belajar, Self Efficacy, Lingkungan Belajar di Rumah, dan Inteligensi dengan Prestasi Belajar. Gifted Review Jurnal Keberbakatan dan Kreativitas. 3 (1), p 13-25. Nugroho, (2006). Self-regulated Learning Anak Berbakat. Sumber diambil dari http://www.ditplb.or.id Schunk, D.H. (2001). Self-Regulation Through Goal Setting. Greensboro, NC: ERIC Clearinghouse on Counseling and Student Services. p 462-671. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta. Tirtonegoro, S. (2001). Anak Supernormal dan Program Pendidikannya. Yogyakarta: Bumi Aksara.
v
24
Widyastono, H. (2004). Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkelainan. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan No 46 Tahun Ke-10, Januari 2004. p 54-70. Wolters, C.A., Pintrich, P.R. & Karabenick, S.A. (2003). Assessing Academic Self Regulated Learning. Paper Prepared for the Conference on Indicators of Positive Development: Definitions, Measures, and Prospective Validity. Sponsored by Childs Trends, National Institutes of Health March 2003 (Revised April 2003). Woolfolk, A. (2004). Educational Psychology (9th ed). Boston, MA : Allyn and Bacon. Zimmerman, B.J., (1989). A Social Cognitive View of Self Regulated Academic Learning. Journal of Educational Psychology. http://www.ugm.ac.id/ (4 Agustus 2007). Zuhdi, A., & Latifah, U. (2006). Informasi Mengenai Program Percepatan Belajar Siswa Berbakat Akademik: Program Akselerasi dan Program PercepatanBelajar.Sumberdiambildari www.ditplb.or.id/new/index.php?menu=profile&pro=50
v