PROSIDING SEMINAR NASIONAL REKAYASA KIMIA DAN PROSES 2004 ISSN : 1411 - 4216
PEMODELAN MATEMATIS UNTUK ANALISIS RADIASI SURYA DI PERMUKAAN BUMI DAERAH KHATULISTIWA (15°LS – 15°LU) Yusuf Suryo Utomo, Isril Haen Pusat Penelitian Fisika – LIPI Jl. Sangkuriang, Bandung 40135. Telp. 62 022-250 3052 – Fax 62 022-250 3050 e-mail :
[email protected],
[email protected]
Haslizen Hoesin Fakultas Teknik, Universitas ARS International Jl. Sekolah Internasional No. 1-6, Antapani, Bandung ABSTRAK Telah disusun model matematis intensitas radiasi surya global di permukaan bumi berdasarkan data intensitas radiasi surya global Schuepp dengan atmosfir Rayleigh (yang dijadikan atmosfir standar) di daerah katulistiwa. Data intensitas radiasi surya global Schuepp untuk setiap lintang (antara 15° LU dan 15° LS) pada tanggal 15 setiap bulan, berupa deret Fourier (harmonik) sedangkan fluktuasinya pada bulan-bulan yang sama terhadap lintang berbentuk polinom. Model matematis intensitas radiasi surya global pada setiap lintang di atas, ternyata juga berbentuk harmonik (polinom trigonometri) berupa persamaan matematis polinomial derajat 6 dengan R Square ≈ 1. Hasil analisis menggunakan model matematis yang telah disusun dengan data Schuepp terdapat perbedaan yang relatif kecil (kurang dari 4 %). Perbandingan intensitas radiasi surya global hasil analisis menggunakan model matematis dengan hasil pengukuran yang dilakukan pada suatu lokasi, dikenal sebagai bilangan kebeningan atmosfir (clearness number) yang menunjukkan tingkat kekotoran atmosfir daerah tersebut Pemodelan matematis tersebut, dilakukan dengan menggunakan fasilitas trendline pada Microsoft Excell 2000, dan telah diverifikasi serta diuji coba menggunakan data pengukuran intensitas radiasi surya global Bandung tahun 1993 – 2002. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa, bilangan kebeningan atmosfir Bandung berkisar antara 0.3 – 0.7 yang menunjukkan bahwa kondisi atmosfir Bandung berawan-keruh pada kurun waktu tersebut. Kata kunci : bilangan kebeningan , khatulistiwa, model matematis, radiasi surya global, trendline. PENDAHULUAN Dalam peramalan dan pemetaan radiasi surya, pengetahuan mengenai spektrum radiasi surya juga merupakan kunci keberhasilan. Pengetahuan mengenai spektrum radiasi surya yang perlu diperhatikan misalnya mengenai spektrum radiasi surya di luar atmosfir, spektrum radiasi surya di permukaan bumi dan proses yang terjadi selama radiasi surya melintasi atmosfir. Proses yang dialami radiasi surya selama melintasi atmosfir adalah proses hamburan, penyerapan dan pantulan oleh komponen-komponen atmosfir (partikel padat, H2O, O2, debu, awan, dsb). Sedangkan pada peramalan irradiasi surya di permukaaan bumi, besaran-besaran yang perlu diketahui adalah radiasi global dan faktor transmisi total yang banyak dipengaruhi oleh komponen-komponen atmosfir. Komposisi atmosfir umumnya bervariasi dari waktu ke waktu pada setiap tempat. Hal tersebut akan menyulitkan dalam peramalan radiasi surya secara matematis. Oleh karena itu diperlukan suatu model atmosfir standar. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian dan pengamatan menyangkut atmosfir bumi, salah satunya adalah Angstrom yang mengusulkan atmosfir standar dengan kandungan kolom uap air 1.5 – 4 cm, ozon 0.25 cmNTP, partikel debu 300cm-3dan tekanan atmosfer 760 mmHg (Hoesin dan Isril Haen, 1983)3. Apabila terjadi penyimpangan atmosfir terhadap atmosfir standar, maka perubahan tersebut digambarkan oleh bilangan kebeningan atmosfir (clearnes number). Meskipun iklim di Indonesia mempunyai pola yang relatif homogen (musim kemarau dan musim penghujan), namun kondisi lokal sangat berpengaruh terhadap iklim setempat sesuai dengan kondisi geografis, pulau yang dikelilingi laut dan kondisi daratan yang bergunung-gunung. Sukanto(8) membagi iklim Indonesia menjadi 8 macam berdasarkan pada panjang musim kemarau dan musim penghujan. Berdasarkan data curah hujan, Sukanto menemukan bahwa panjang musim penghujan di sebagian besar pulau di Indonesia adalah 4 bulan atau lebih, kecuali bagian tenggara Indonesia, yaitu dari sebelah timur pulau Bali sampai pulau Timor. Di daerah tersebut kondisinya relatif kering dengan musim penghujan yang relatif JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
I-15-1
singkat. Variasi iklim lokal tersebut berpengaruh langsung terhadap distribusi radiasi surya di daerah tersebut. Hoesin(2) membagi iklim Indonesia menjadi 8 musim yang panjangnya masing-masing 1,5 bulan. Studi yang dilakukan Hoesin dengan menggunakan data radiasi global harian di 10 stasiun pengamatan menunjukkan variasi irradiasi surya yang cukup beragam dari kesepuluh stasiun tersebut. Kesepuluh stasiun tersebut adalah Sentani, Menado, Kupang, Denpasar, Banjarmasin, Semarang, Bandung, Lembang, Jakarta dan Palembang. Bandung dan Semarang merupakan lokasi dengan intensitas radiasi surya terendah dan tertinggi di pulau Jawa, yaitu 12 MJ/m²hari dan 24 MJ/m²hari. Lokasi lain (selain Denpasar dan Kupang) memiliki irradiasi surya yang uniform sekitar 15-20 MJ/m²hari sepanjang tahun. Dari kesepuluh stasiun tersebut, terdapat 3 lokasi dengan intensitas radiasi surya tinggi > 20 MJ/m²hari, yaitu Semarang, Kupang dan Denpasar (Hoesin, 1983)(2). Data mengenai ketersediaan jumlah radiasi surya yang jatuh di permukaan bumi di setiap tempat di seluruh Indonesia (biasanya diukur oleh stasiun BMG), baik radiasi global, radiasi langsung maupun radiasi baur kurang memadai dan tidak lengkap, mengingat stasiun BMG yang ada terbatas pada kota-kota besar atau daerah tertentu dan distribusinya tidak merata, kalaupun ada data yang tersedia hanya terbatas pada jumlah radiasi global saja. Usaha memperbanyak stasiun pengamatan radiasi surya di seluruh Indonesia akan memerlukan biaya yang sangat besar, dan memakan waktu yang cukup lama. Cara lain yang lebih efektif yaitu dengan menganalisa dan membuat ekstrapolasi dari data yang ada (data yang diukur beberapa stasiun BMG) di seluruh Indonesia menggunakan beberapa persamaan yang telah banyak dipublikasikan oleh peneliti-peneliti radiasi surya diantaranya, persamaan Liu & Yordan (1960), Orgill & Hollands (1977), Temps & Coulson (1977), Kuchler (1979), Spencer (1971) dan persamaan-persamaan lainnya. Dengan analisa menggunakan persamaan-persamaan tersebut serta melakukan ekstrapolasi, dapat diperoleh beberapa jenis data menyangkut jumlah radiasi surya, baik radiasi global, langsung maupun baur di lokasi dimana tidak terdapat stasiun pengamat BMG, kemudian data hasil olahan tersebut dituangkan dalam suatu peta radiasi surya (solar radiation map). Salah satu kegiatan penelitian di Pusat Penelitian Fisika – LIPI di bidang energi surya untuk tahun 2004, adalah pemetaan energi surya. Dalam rangka kegiatan pemetaan tersebut, data-data radiasi surya akan dikumpulkan dan dianalisa untuk menyusun peta radiasi surya di Indonesia. Tulisan ini membahas mengenai pemodelan matematis radiasi surya di permukaan bumi (radiasi ekstraterestrial) untuk daerah khatulistiwa, pada interval lintang 15° LS – 15° LU. Pemodelan tersebut dilakukan dalam rangka kegiatan pemetaan radiasi surya di Indonesia. PEMODELAN 1. Model Atmosfir Radiasi surya yang mencapai permukaan bumi selama melintasi atmosfir akan mengalami hamburan dan penyerapan, sehingga radiasi yang sampai di permukaan bumi menjadi berkurang bila dibandingkan dengan radiasi di tepi luar atmosfir. Pengaruh hamburan dan penyerapan oleh kandungan atmosfir dinyatakan dengan transmisi atmosfir (Hoesin dan Isril, 1983). Kandungan atmosfir setiap saat berubah, keadaan tersebut menyebabkan transmisi berubah. Perubahan kandungan ini akan mempengaruhi mutu radiasi surya (spektral, langsung dan global) di permukaan bumi Dalam hal pemodelan, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Spektral radiasi surya, yaitu radiasi yang sampai di tepi luar atmosfir bumi pada jarak rata-rata bumimatahari. Hasil pengukuran yang dilakukan Langley (1881), Johnson (1954), Kondratyev (1969) dan Thekaekara (1973) bervariasi ±3%, biasa disebut dengan konstanta radiasi surya (solar constant) (Robinson, 1966 hal. 15 dan Duffie, 1980 hal 4-6). 2. Kandungan atmosfir yang selalu ada dan yang berubah. Dari hasil pengamatan diketahui Ozon (O3) dan Presipitable water (w) selalu ada dimanapun di atmosfir. Kekeruhan (turbidity) (B) seperti CO, CO2, debu dan lain-lain jumlahnya bervariasi di berbagai tempat bahkan ada yang relatif tidak ada atau sangat sedikit dan berada di lapisan bawah atmosfir (dekat permukaan bumi). Berdasarkan keadaan tersebut, disusun model atmosfir bening dengan kandungan sebagai berikut: Ozon (O3) = 0.34 cm, presipitable water (w) = 2.0 cm, turbidity (B) = 0 dan tekanan (p) = 1000 mbar (760 mmHg) pada jarak bumi-matahari yang sebenarnya (Schuepp dalam Robinson, 1966, hal. 158-159). Kandungan atmosfir tersebut diasumsikan konstan, artinya meski terjadi perubahan komposisi kandungan, tidak akan berpengaruh banyak terhadap mutu radiasi surya yang sampai di permukaan bumi. Atmosfir dengan komposisi demikian disebut Model Atmosfir Baku/Standar dan kondisi langitnya dinyatakan bening Bertitik tolak pada Model Atmosfir Baku/Standar dengan kandungan (O3) = 0.34 cm, (w) = 2.0 cm, (B) = 0 dan p = 1000 mbar (760 mmHg) atau langit bening dan data hasil pengukuran di daerah tropis JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
I-15-2
(Kongo, Afrika Barat), Schuepp menghitung besarnya radiasi global di permukaan bumi pada setiap hari ke 15, setiap bulan pada lintang-lintang tertentu pada rentang 25° LU sampai 25° LS (Schuepp dalam Robinson, 1966, hal. 158-159). Data hasil perhitungan yang diperoleh setelah dikoreksi terhadap jarak bumi-matahari. Dengan demikian data radiasi surya Schuepp merupakan data radiasi surya di permukaan bumi dengan kondisi langit bening (Hc). Model matematis yang disusun dan dirumuskan dalam tulisan ini berlaku untuk daerah khatulistiwa pada lintang 15°LS-15°LU, menggunakan data Schuepp, seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Radiasi Surya Global di permukaan bumi pada hari ke-15 setiap bulan [cal.m-2.hari-1] (Schuepp) Lintang
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
15° U
528
591
652
694
706
699
699
692
665
610
549
507
10° U
575
625
670
690
685
673
676
682
673
639
592
556
5° U
616
659
680
684
661
640
648
667
675
662
630
599
0°
654
684
687
672
631
605
615
648
675
680
664
643
5° S
690
704
688
655
599
564
581
625
665
692
693
681
10° S
722
717
684
631
561
522
540
597
653
697
715
718
15° S
747
725
673
603
516
476
492
563
634
699
734
745
2. Model Matematis Radiasi Surya di Permukaan Bumi 2.1. Dasar Pemikiran Bila diperhatikan data radiasi surya global di permukaan bumi Schuepp (atmosfir Rayleigh) sebagaimana terangkum pada tabel 1, ada beberapa hal menarik sebagai berikut: a. Fluktuasi data radiasi surya untuk setiap lintang (-15°, -10°, -5°, 0°, 5°, 10°, 15°) mengikuti deret harmonis b. Fluktuasi dat apada bulan-bulan yang sama terhadap lintang berbentuk persamaan non linear variabel tunggal. Karena kandungan atmosfir setiap saat berubah, demikian pula jarak bumi-matahari dan posisi matahari (deklinasi), maka ada 2 hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (a) deklinasi matahari nol dan (b) hari ke-n, saat deklinasi matahari nol. Bila kandungan atmosfir menyimpang dari kondisi baku/standar, maka keadaan tersebut diterjemahkan dalam Bilangan Kebeningan atmosfir (Clearness Number – CN). 2.2. Dasar Matematis Perumusan model matematis radiasi surya di permukaan bumi, menggunakan data Schuepp. Pendekatan yang digunakan adalah analisis harmonik dan interpolasi trigonometri, garis lurus dan polinom (Hoesin, 1983)(2). a) Analisis Harmonik dan Interpolasi Trigonometri Data radiasi matahari Schuepp (tabel 1) pada setiap lintang berfluktuasi secara harmonis trigonometri berbentuk deret Fourier. Karena data radiasi surya selama satu tahun, maka “m” deret Fourier adalah 12. Model matematis untuk m = 12, disebut model matematis radiasi surya di permukaan bumi langit bening dan dituliskan sebagai berikut: Hc = C1 + C2 cos (t) + C3 cos (2t) + C4 cos (3t) + C5 sin (t) + C6 sin (2t) + C7 sin (3t) (1) dengan : C1 sampai C7 : konstanta harmonik untuk m = 12 (Korn and Korn, 1968 hal. 766) yang hasilnya dirangkum pada tabel 2. t = 360 (hn – 80) / 365 [°] hn = Julian Day, yaitu hari ke-n dalam setahun [1 s/d 365] Tabel 2. Konstanta Model Matematis Radiasi Langit Bening untuk Lintang 15°LS – 15°LU Lintang (X)
C1
C2
C3
C4
C5
C6
C7
15° N
632.597
0.576
27.906
10° N
644.843
3.043
28.672
-0.011
95.067
10.047
-1.051
0.577
56.437
2.196
-2.020
5° N
649.157
4.643
29.318
0.919
23.425
1.909
3.037
0°
654.735
5.731
28.964
1.204
-20.455
1.299
-1.247
5° S
652.977
9.081
27.362
1.882
-59.048
-5.866
-0.304
10° S
646.319
10.050
24.544
1.498
-97.415
15.900
1.212
15° S
633.821
11.296
22.015
1.459
-134.389
-6.631
1.350
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
I-15-3
b) Garis Lurus dan Polinom Hubungan lintang (L) (15° LS – 15° LU) dengan fluktuasi radiasi surya pada bulan-bulan yang sama, mempunyai diagram pencar berbentuk : (1) Garis Lurus, dinyatakan sebagai fungsi lintang yaitu X = f(L). Berdasarkan data setelah diolah, bentuk persamaan linear tersebut adalah sebagai berikut: X = 0.0667L (2) dengan L adalah lintang , R Square = 1 dan (2) Garis Tak Linear (polinom), yaitu hubungan nilai konstanta Fourier Ci persamaan (1) dengan variabel X. Model matematis Ci terhadap X adalah sebagai berikut: Ci = Cij + Cij X + Cij X2 + Cij X3 + …+ Cij Xn (3) dengan X = 0,0667 L n = derajat polinom sampai R Square mendekati atau sama dengan 1. Karena tabel 1 berbentuk matrik 12 x 7, maka i = 1-7 dan j = 1-7 (menyatakan lintang-lintang untuk rentang antara 15° LS sampai 15° LU (lihat tabel 1). Setelah data Schuepp pada tabel 1 diolah, diperoleh polinom derajat 6 (n = 6) dengan R Square ⊄ 1 (lihat tabel 4). X besaran besaran pada persamaan 3 yang merupakan fungsi dari lintang setempat. Untuk daerah khatulistiwa dengan interval lintang antara –15o LS sampai +15o LU, hubungan antara X terhadap lintang merupakan fungsi linear dengan koefisien 0.0667 atau dapat ditulis sebagai X = 0.0667 L. Ci merupakan koefisien dari persamaan polynomial derajat-n yang akan dihitung berdasarkan data pada Tabel 2. c)
Kebeningan Atmosfir Kondisi atmosfir yang menyimpang dari atmosfir standar dinyatakan dengan Bilangan Kebeningan (Clearness Number-CN) atmosfir yang dirumuskan dengan perbandingan radiasi surya yang sampai di permukaan bumi pada kondisi standar dengan hasil pengukuran (Haslizen, 1983). Bentuk perbandingan itu adalah sebagai berikut : CN = Hg / Hc (4) dengan : Hg radiasi surya global hasil pengukuran di lapangan Hc radiasi surya global model matematis (persamaan 1) Harga CN tersebut bervariasi antara 0 – 1.3, menunjukkan tingkat kekotoran atmosfir daerah tersebut seperti dirangkum pada Tabel 3. Tabel 3. Bilangan Kebeningan Atmosfer (Clearness Number – CN) CN 0.0 – 0.5 0.5 – 0.7 0.7– 0.9 0.9 – 1.1 1.1 – 1.3 > 1.3
Keadaan Atmosfer Berawan atau mendung Keruh Biru Buram Biru Biru Sekali Amat Biru Sekali (jarang dijumpai)
Kebeningan atmosfir ditafsirkan sebagai berikut. Bila kebeningan tinggi berarti kekeruhan rendah dan sebaliknya bila kebeningan rendah berarti kekeruhan tinggi. Kekeruhan atmosfir dipengaruhi oleh CO, CO2, debu, H2O dan lain-lain. Tingkat kebeningan atmosfir dapat pula dijadikan sebagai indikasi polusi udara bila langit tidak berawan. Bila ingin mengetahui secara rinci pengaruh masing-masing unsur kandungan atmosfir secara parsial, maka model matematis yang baik adalah transmisi atmosfir (Hoesin dan Isril Haen, 1983).(3) PENGOLAHAN DATA Untuk tujuan simulasi, dilakukan pemodelan matematis untuk memperoleh formula empiris berdasarkan data pada Tabel 2. Pemodelan dilakukan dengan Microsoft Excel yang merupakan salah satu software pengolah dan penganalisa data. Berdasarkan data konstanta model matematis pada Tabel 2 tersebut, maka dilakukan pemodelan dengan memanfaatkan fasilitas TRENDLINE yang terdapat pada Microsoft Excel2000. Pemodelan menggunakan Trendline tersebut dilakukan untuk masing-masing konstanta C1 s/d C7 dengan memplot grafik Lintang (X) pada sumbu X dan Ci pada sumbu Y. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan X = f(L), berbentuk linear seperti tertulis pada persamaan 2, yaitu X = 0.0667L dengan R Square ⊄ 1. Berdasarkan data pada tebel 2 dilakukan pemodelan matematis sebagai fungsi dari X, dan diperoleh model matematis untuk masing-masing konstanta C1 s/d C7 yang dirangkum dalam Tabel 4. JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
I-15-4
Tabel 4. Rangkuman Hasil Pemodelan Matematis Ci C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7
Model matematis radiasi surya langit bening -43.843*X6 - 14.647*X5 + 61.693*X4 + 22.035*X3 - 39.376*X2 - 7.9996*X + 654.73 24.97*X6 - 4.9462*X5 - 38.982*X4 + 6.9613*X3 + 14.218*X2 - 7.375*X + 5.7308 1.5709*X6 - 0.8543*X5 + 0.0844*X4 + 0.9575*X3 - 5.6591*X2 + 2.8421*X + 28.964 7.0545*X6 - 2.637*X5 - 10.37*X4 + 3.7295*X3 + 2.8326*X2 - 1.8274*X + 1.204 82.626*X6 + 26.59*X5 - 117.71*X4 - 39.779*X3 + 35.879*X2 + 127.92*X - 20.455 -193.48*X6 + 111.91*X5 + 248.64*X4 - 128.07*X3 - 54.752*X2 + 24.5*X + 1.2995 72.262*X6 + 27.642*X5 - 105.22*X4 - 37.699*X3 + 34.355*X2 + 8.8572*X - 1.2474
R Square 1 1 1 1 1 1 1
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa model matematis radiasi surya langit bening yang diperoleh berupa persamaan matematis polinomial derajat 6 dengan R Square ≈ 1, yang berarti model tersebut sangat baik. Perhitungan radiasi surya di permukaan bumi dengan mengunakan persamaan 1 sebagai fungsi dari lintang (L), hasilnya disajikan dalam tabel 5. Data tersebut adalah adalah data hari ke-15 setiap bulan. Tabel 5. Hasil Perhitungan Radiasi Surya di permukaan bumi pada hari ke-15 setiap bulan [cal.m-2.hari-1] Lintang
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
15° U
522
583
649
698
710
703
693
686
665
618
553
511
10° U
575
627
671
690
684
675
676
681
673
640
589
559
5° U
610
647
680
687
663
641
648
670
675
652
618
600
0°
655
682
692
670
632
607
615
646
674
679
660
645
5° S
696
709
698
650
594
567
584
627
665
683
683
683
10° S
709
702
688
644
579
527
526
577
649
705
728
723
15° S
750
731
683
599
517
476
498
563
634
688
725
746
Untuk tujuan validasi, maka model matematis pada Tabel 4 diatas disusun sesuai dengan persamaan 1, selanjutnya digunakan untuk menghitung radiasi surya di permukaan bumi untuk keadaan atmosfir bening. Selanjutnya, hasil perhitungan tersebut (Tabel 5) dibandingkan dengan data Schuepp (Tabel 1) untuk melihat seberapa jauh simpangannya. Persentase simpangan/perbedaan Model Matematis terhadap data Schuepp dihitung dengan persamaan 5 dan hasilnya disajikan dalam Tabel 6.
PersentaseSimpangan =
HasilPerhitungan − DataSchuepp x100% DataSchuepp
(5)
Tabel 6. Persentase Simpangan Model Matematis Terhadap Data Schuepp [%] Lintang
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
15° U
1.16
1.34
0.47
0.51
0.63
0.53
0.83
10° U
0.02
0.35
0.12
0.04
0.10
0.35
0.06
0.91
0.03
1.33
0.74
0.76
0.20
0.02
0.15
0.50
5° U
0.95
1.92
0.06
0.42
0.37
0.20
0.45
0.02
0.48
0.03
1.54
1.87
0.16
0°
0.19
0.31
0.74
0.24
0.16
0.41
0.03
0.30
0.09
0.20
0.53
0.37
5° S
0.84
0.73
1.43
0.74
0.81
0.49
0.46
0.27
0.06
1.37
1.45
0.34
10° S
1.77
2.15
0.60
2.08
3.17
1.00
2.61
3.46
0.56
1.14
1.82
0.63
15° S
0.41
0.76
1.43
0.66
0.21
0.10
1.26
0.02
0.03
1.60
1.18
0.09
Hasil perhitungan dengan model matematis bila dibandingkan dengan Data Schuepp (Tabel 1) terdapat perbedaan. Persentase simpangan maksimum sebesar 3.46% (bulan Agustus untuk 10° LS). Secara statistik, simpangan sebesar 3,46% tersebut dapat diterima sebagai model yang valid, mengingat perbedaannya tergolong kecil (< 10%) dan relatif mendekati data Schuepp. Hal tersebut menunjukkan bahwa, model matematis yang diusulkan memiliki validitas yang memadai terhadap data Schuepp. Dengan demikian, model matematis radiasi surya untuk langit bening tersebut dapat diberlakukan untuk mengestimasi radiasi surya di daerah khatulistiwa pada interval lintang 15°LS – 15°LU. Dalam rangka uji model, maka model matematis tersebut digunakan untuk menghitung intensitas radiasi surya langit bening di atas kota Bandung yang secara geografis terletak pada 6.9oLS. Perhitungan intensitas radiasi surya langit bening untuk Bandung dengan menggunakan model matematis tersebut disajikan pada Tabel 7. JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
I-15-5
Tabel 7. Intensitas radiasi surya langit bening Bandung menggunakan model matematis
[cal.m-².hari-1]
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
704
710
696
646
585
551
566
613
660
686
695
697
Untuk melihat terjadinya penyimpangan kondisi atmosfir di daerah Bandung terhadap atmosfir standar, maka dihitung bilangan kebeningan atmosfir (Clearness Number) yang menggambarkan perubahan kondisi atmosfir tersebut. Bilangan Kebeningan Atmosfir CN (persamaan 4) digunakan untuk menghitung kebeningan atmosfir di atas kota Bandung. Hasil perhitungan Bilangan Kebeningan (Clearness Number) untuk Bandung pada kurun waktu 10 tahun (1993 – 2002) disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8. Bilangan Kebeningan (Clearness Number) untuk Bandung tahun 1993 - 2002 Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
1993
0.457
0.572
0.472
0.556
0.612
0.658
0.723
0.701
0.592
0.578
0.498
0.475
1994
0.525
0.548
0.545
0.527
0.558
0.695
0.706
0.729
0.682
0.616
0.583
0.443
1995
0.306
0.593
0.510
n.a
0.599
0.556
0.640
0.723
0.591
0.529
0.386
0.563
1996
0.468
0.592
0.588
0.416
0.516
0.580
0.543
0.433
0.341
0.268
0.289
0.417
1997
0.458
0.544
0.651
0.492
0.466
0.555
0.566
0.638
0.575
0.642
0.452
0.439
1998
0.456
0.371
0.329
0.355
0.445
0.408
0.390
0.445
0.450
0.307
0.400
0.414
1999
0.433
0.453
0.433
0.392
0.399
0.411
0.436
0.494
0.496
0.394
0.386
0.401
2000
0.419
0.466
0.436
0.382
0.467
0.461
0.479
0.491
0.526
0.424
0.355
0.504
2001
0.398
0.425
0.401
0.418
0.429
0.475
0.439
0.467
0.419
0.336
0.328
0.462
2002
0.386
0.403
0.426
0.419
0.461
0.487
0.484
0.530
0.485
0.518
0.400
0.527
Dari Tabel 8 di atas, dapat dilihat bahwa bilangan kebeningan atmosfir Bandung untuk kurun waktu 1992-2002 berkisar antara 0.3 – 0.7. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi atmosfir Bandung cukup keruh karena nilai CN cukup kecil. Berdasarkan tabel 3 kondisi atmosfir Bandung tergolong berawan–keruh–biru buram. Kekeruhan atmosfir (CN) tersebut dipengaruhi oleh CO, CO2, debu, H2O (awan) dan lain-lain. Bila tidak ada awan, maka bilangan kebeningan atmosfir dapat dianalogikan dengan polusi udara. Perhitungan intensitas radiasi surya langit bening menggunakan model matematis yang diperoleh dalam penelitian ini (Model Matematis Radiasi Surya Langit Bening) sangat berguna dan diperlukan sebagai tolok ukur.dalam pemetaan radiasi surya (radiation mapping) terutama pada peramalan irradiasi surya di permukaaan bumi. Untuk keperluan aplikasi, Model Matematis Radiasi Surya Langit Bening sangat penting perannya, terutama pada perancangan alat yang memanfaatkan radiasi surya dan memperkirakan radiasi surya di lokasi-lokasi yang tidak ada pengukuran radiasi surya dan atau hanya ada pengukuran lama matahari bersinar (sun shine duration). KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : a. Model regresi linear yang diperoleh sangat baik karena R Square ⊄ 1, demikian pula model-model matematis polinom karena R Square juga ⊄ 1 pada derajat 6. b. Model matematis trigonometri sangat baik karena penyimpangan terbesar 3.46% terhadap data Schuepp untuk lintang 15°LS – 15°LU. Model ini disebut Model Matematis Radiasi Surya Langit Bening., dapat digunakan untuk mengestimasi radiasi surya berbagai lokasi di daerah khatulistiwa (15° LS – 15° LU) karena merupakan fungsi dari lintang setempat, juga telah dicobakan (validasi) untuk kota Bandung. c. Hasil perhitungan bilangan kebeningan atmosfir (CN) Bandung berkisar antara 0.3 – 0.7 yang menunjukkan bahwa kondisi atmosfir Bandung cukup keruh karena nilai CN cukup kecil. Berdasarkan tabel 3 kondisi atmosfir Bandung tergolong berawan – keruh – biru buram. d. Untuk keperluan pemetaan radiasi surya di permukaan bumi, Model Matematis Radiasi Surya Langit Bening, sangat diperlukan sebagai tolok ukur. e. Untuk keperluan aplikasi, Model Matematis Radiasi Surya Langit Bening sangat penting perannya, terutama pada perancangan alat yang memanfaatkan radiasi surya dan memperkirakan radiasi surya di lokasi-lokasi yang tidak ada pengukuran radiasi surya dan atau hanya ada pengukuran lama matahari bersinar (sun shine duration). DAFTAR PUSTAKA JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
I-15-6
1. Duffie, John A., Beckman, William A., 1980, Solar Engineering of Thermal Processes, John Wiley & Sons, Inc., USA, ISBN 0-471-05066-0. 2. Hoesin, H, 1983, Penelitian Ketersediaan Tenaga Radiasi Matahari di Indonesia, Laporan Teknis Lembaga Fisika Nasional – LIPI, Bandung. 3. Hoesin, H, dan Isril Haen, 1983, Proses Radiasi Matahari di Atmosfir dan Peramalan Irradiasi Matahari Normal, Global di Daerah Tropis, Prosiding Seminar Nasional Penelitian Dirgantara, LAPAN, Bandung. 4. Korn, Granino A. and Theressa M. Korn, 1968, Mathematical Handbook for Scientists and Engineers, McGraw-Hill Book Co, New York. 5. Morrison G.L and Sudjito, 1992, Solar Radiation Data for Indonesia, Solar Energy 49 page 65-67, Pergamon Press, Toronto. 6. Robinson, N., 1966, Solar Radiation, Elsevier Publishing Co, Amsterdam. 7. Sayigh, A.A.M., 1978, Characteristics of Solar Radiation (Chapter 2). Solar Energy Conversion: An Introductory Course. (Proceeding, Editors: A.E. Dixon and J.D. Leslie), Pergamon Press, Toronto. 8. Sukanto, M., 1969, Climate of Indonesia, World Survey of Climatology 8, page 215-219. 9. Yusuf Suryo Utomo, I.I. Tarigan dan E.E.H. Halawa, 1995, Pengujian Korelasi Liu-Jordan dan Korelasi Kuchler Untuk Perhitungan Radiasi Surya pada Bidang Miring, Teknologi Indonesia, Jilid XVIII, No.2.
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
I-15-7