Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora (Sriwahyu Istana Trahutami)
Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora Sriwahyu Istana Trahutami Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro Semarang Jl. Prof. H. Soedarto, S.H. Semarang Email:
[email protected] Abstract This study discusses the reality in the society of Klapadhuwur village Blora regency in accordance with the use of Javanese language based on the distribution of speech level variation or undha usuk basa, which is divided into thre, namely ngoko, madya, dan krama. This study aims to describe the choosing of speech level (undha usuk)of Javanese language on the native people of Klapadhuwur village Blora regency. Data were collected using simak and cakap method. The writer also conducted observation which was done based on observer’s paradox, i.e observing how people spoke when they did not realize that they were being observed, so the speeches used were natural and genuine. At data analysis stage, equal method or identity method was used. The method of data analysis result presentation used informal method, namely formulation using ordinary words. The researcher concluded that language is the reflection of the users’ culture since the language itself is part of culture. The existence of the very complex and extensive speech level system in Javanese language can be considered as the sign of the importance of pentingnya courteousness composed in personal relationship system on Javanese people. On Klapadhuwur society, language style of ngoko is chosen to communicate at the informal activities, while at formal situation Javanese language of krama is used concurently with the use of Indonesian language. Keywords: speech level, Javanese language, society, sociolinguistics 1. Pendahuluan
Jawa, Sunda, Bali, Batak, Padang, dan
1.1 Latar Belakang
bahasa daerah lainnya yang tersebar di
Masinambou (dalam Baskoro,
seluruh wilayah Indonesia merupakan
2002) mengemukakan bahwa terdapat
salah
577 bahasa daerah yang masih aktif di
merupakan contoh kecil multilinguistik
gunakan di Indonesia yang terbentang
yang ada di Indonesia.
dari Sabang sampai Merauke. Bahasa
92
satu
bahasa
daerah
yang
CULTURE Vol.3 No.1 Mei 2016
Bahasa
yang
transmigrasi suku Jawa yang berasal
berkedudukan sebagai bahasa daerah,
dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
digunakan sebagai alat komunikasi
DIY (Sudaryono dan Devi, dkk. 1990:
verbal
1).
antar
Jawa
penuturnya.
Dengan
bahasa Jawa, masyarakat penuturnya dapat
mengungkapkan
Bahasa Jawa termasuk anggota
segala
rumpun bahasa Austronesia. Bersama-
perasaan, pikiran, dan kehendaknya
sama
dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa
(Melayu), bahasa Sunda, Bali, Madura,
Jawa mempunyai jumlah penutur yang
Bugis, Ngaju, Iban, dan bahasa-bahasa
cukup besar, yaitu sekitar 50% dari
yang terserak di Sulawesi Utara serta
seluruh penduduk Indonesia. Bahasa
pulau-pulau di Pilipina, bahasa Jawa
ini digunakan sebagai bahasa ibu oleh
membentuk
suku Jawa, yang mendiami wilayah
Austronesia sebelah barat. Bahasa
Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa
Jawa mempunyai tata kalimat yang
Timur,
Istimewa
amat mirip dengan bahasa Indonesia
Yogyakarta (DIY). Nothofer (1975: 8)
dan dalam kosa katanya pun terdapat
dalam “The Reconstuction of Proto-
banyak sekali kosa kata yang seasal
mengemukakan
(cognate) dengan kata-kata dalam
bahwa daerah pemakai Bahasa Jawa
bahasa Indonesia. Seperti bahasa lain,
meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur,
bahasa Jawa juga mempunyai dialek
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
geografi, seperti dialek Yogya Solo,
daerah-daerah
Barat,
dialek Banyumas, dialek Tegal, dialek
kecuali daerah Pamanukan dan Jakarta.
Jawa Timur, dan lainnya. Di samping
Selain itu Bahasa Jawa juga digunakan
dialek
oleh etnik Sunda yang tinggal di
bahasa, seperti ragam formal, ragam
wilayah
Cirebon,
non formal, dan ragam bahasa yang
Indramayu, Serang (Banten Utara),
indah. Antara ragam bahasa yang satu
dan pantai selatan Pangandaran yang
dengan yang lainnya cukup jelas
merupakan wilayah Propinsi Jawa
perbedaannya.
dan
Daerah
Malayo-Javanic”
Barat.
utara
pantai
Serta
Jawa
utara
beberapa
daerah
93
dengan
juga
bahasa
kelompok
dikenal
Indonesia
bahasa
ragam-ragam
Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora (Sriwahyu Istana Trahutami)
Di samping hal yang sudah
kondisi
psikis,
dikatakan di atas, yang menjadi ciri
penutur
dan
khas bahasa Jawa adalah adanya
sebagainya. Adanya perbedaan rasa
perbedaan tingkat tutur (undha usuk /
hormat atau takut yang tertuju kepada
speech levels) yang sangat kompleks
tipe orang yang berbeda-beda sering
(Soepomo, 1975). Tingkat tutur adalah
tercermin pada bahasa yang dipakai
variasi-variasi bahasa yang perbedaan
oleh masyarakat tersebut (Soepomo,
antara satu dengan yang lainnya
1979: 6).
ditentukan
oleh
perbedaan
sikap
tingkat mitra
keakraban tutur,
dan
Sosiolinguistik adalah cabang
santun yang ada pada diri penutur
ilmu
terhadap mitra tuturnya.. Tingkat tutur
interdisipliner dengan ilmu sosiologi.
digunakan untuk menunjukkan sikap
Objek penelitian sosiolinguistik adalah
hubungan
hubungan antara bahasa dengan faktor-
penutur
yang
berbeda
linguistik
faktor
tutur yang berbeda. Ada sekelompok
masyarakat tutur. Atau secara lebih
orang yang harus dihormati yang
operasional
direalisasikan
pemilihan
Fishman (1972, 1976), …”study of
bahasa bentuk halus, tetapi ada pula
who speak, what language to whom
kelompok yang lain yang cukup
and
direalisasikan dengan tuturan bentuk
pemilihan bahasa atau variasi bahasa
biasa dalam berkomunikasi.
harus
Faktor
yang
lagi
when.
di
bersifat
berhubung adanya tingkat sosial mitra
dengan
sosial
yang
dalam
seperti
suatu
dikatakan
Menurut
Fishman,
mempertimbangkan
faktor-
menyebabkan
faktor siapa yang berbicara (who
perbedaan tingkat sosial berbeda-beda
speaks or writes), kepada siapa (to
antara
dengan
whom), topiknya apa (what the topics),
masyarakat lainnya ada yang karena
di mana peristiwa tutur itu berlangsung
keadaan kondisi jasmani, kekuatan
(where the speech act to do) (Fishman:
ekonomi, kekuasaan politis, hubungan
1972; Fasold: 1984). Artinya dalam
kekerabatan, perbedaan usia, jenis
peristiwa tutur (speech act), tidak
kelamin, kekuatan magis, kekhususan
terlepas
masyarakat
satu
94
dari
adanya
komponen
CULTURE Vol.3 No.1 Mei 2016
SPEAKING
dalam
semangat yang dihasilkan, misalnya
Abdul Chaer, 1994: 63). Berikut
antara serius dan santai, hormat dan
adalah
tidak
1)
(Dell
Hymes
komponen-komponennya:
Setting
and
Scene.
hormat,
dan
sebagainya.
Setting
6) Instrumentalities (Alat): mengacu
berkenaan dengan waktu dan tempat
pada saluran bahasa dan bentuk tutur
berlangsungnya
yang
penuturan,
scene
digunakan.
mengacu pada situasi tempat dan
7)
waktu
Interpretation: mengacu pada norma
atau
situasi
psikologis
pembicaraan. 2)
atau
Partisipants:
pihak-pihak
Norm
of
aturan
Interaction
dalam
an
bertindaktutur.
yang
8) Genre: mengacu pada jenis bentuk
terlibat dalam pertuturan yang meliputi
penyampaian Genre mengimplikasikan
penutur
pengirim
kemungkinan pengidentifikasian ciri-
(hearer,
ciri formal yang secara tradisi sudah
penerima
dikenal oleh masyarakat tutur. Sebagai
(speaker),
(addressor), receiver,
pendengar
audience)
dan
(addresse).
contoh anak muda bertanya kepada
3) Ends (Tujuan): tujuan yang merujuk
orangtua, penetapan hubungan penutur
pada maksud-hasil (purpose-outcome)
dengan mitra tutur dapat menentukan
dan
pilihan bentuk bahasa krama.
maksud-tujuan.
4) Act Squence (Urutan Tindak):
Keanekaragaman penggunaan
mengacu pada bentuk ujaran dan isi
bahasa pada umumnya, dan bahasa
ujaran. Urutan tindak yang mengacu
Jawa
pada bentuk ujaran menyangkut cara
memperhatikan tingkat tutur, tidak
bagaimana topik diberitakan. Isi ujaran
hanya ditentukan oleh faktor-faktor
berkaitan dengan persoalan apa yang
linguistik tetapi juga faktor-faktor non
dikatakan,
linguistik,
menyangkut
topik
dan
pada
khususnya
termasuk
yang
faktor
sosial.
perubahannya.
Faktor-faktor sosial ini mencakup:
5) Key (Kunci): mengacu pada nada,
status sosial, tingkat pendidikan, umur,
cara dan semangat di mana suatu pesan
tingkat ekonomi, jenis kelamin dan
disampaikan.
bisa
sebagainya (dalam Pateda, 1992). Hal
dan
ini
berbeda
Tindak
karena
nada,
tutur cara,
95
senada
dengan
pendapat
Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora (Sriwahyu Istana Trahutami)
Greenbaum (dalam Mazzon, 2002: 14)
pemilihan tingkat tutur (undha usuk)
yang
bahasa
mengatakan
bahwa
variasi
Jawa
yang
bahasa dapat dikaitkan dengan daerah,
masyarakat
kelas sosial, kelompok etnis, tingkat
kabupaten
pendidikan, jenis kelamin, umur dan
pengaruh
situasi.
kaum Samin pada pemakaian tingkat Dalam penelitian ini, penulis
tutur
desa
digunakan Klapadhuwur
Blora.
Apakah
bahasa
bahasa
yang
Jawa
akan mencoba memaparkan kenyataan
Klapadhuwur tersebut.
yang
1.3 Tujuan Penelitian
ada
di
masyarakat
desa
Klapadhuwur kabupaten Blora terkait dan
berpijak
penelitian
pembagian
digunakan
penduduk
Berkaitan dengan latar belakang
dengan penggunaan bahasa Jawa yang pada
ada
variasi
perumusan
masalah
di
atas,
ini
bertujuan
untuk
tingkat tutur atau undha usuk basa,
mendeskripsikan
pemilihan
tingkat
yang secara garis besar terbagi menjadi
tutur (undha usuk) bahasa Jawa pada
tiga, yaitu bentuk ngoko, madya, dan
penduduk
krama.
kabupaten Blora.
asli
desa
Klapadhuwur
1.2 Rumusan Masalah Desa
Klapadhuwur,
seperti
2. LandasanTeori
yang kita ketahui bersama, dahulu
2.1 TinjauanPustaka
merupakan pusat penyebaran ajaran
Penelitian
ini
memanfaatkan
Samin (Saminisme) wilayah Blora,
karya ilmiah lainnya yang berkaitan
yang
erat dengan persoalan
diperkenalkan
oleh
Samin
fenomena
Surosentiko. Pada masyarakat Samin
penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa
tidak dikenal tingkatan bahasa, seperti
itu sendiri. Selain itu juga karya ilmiah
lazimnya bahasa Jawa. Mereka hanya
tentang masyarakat Samin, khususnya
mengenal satu tingkat tutur saja, yaitu
masyarakat Samin Blora. Karya ilmiah
ragam
yang dijadikan bahan rujukan antara
bahasa
menjadi penelitian
Jawa
rumusan ini
ngoko.Yang
masalah
adalah
pada
lain :
bagaimana
96
CULTURE Vol.3 No.1 Mei 2016
1. Sudaryanto,
(1991a):
Tata
tutur bahasa Jawa, terutama adalah
Bahasa Baku Bahasa Jawa
bentuk halus (ragam Krama).
Karya ini berisi kaidah-kaidah tata
5. Dwiraharjo (1997): Fungsi dan
bahasa yang ada pada bahasa Jawa
Bentuk
Krama
dalam
baku atau standar.
masyarakat tutur Jawa.
2. Poedjosoedarmo, dkk. (1982):
Penelitian disertasi ini merupakan
Kedudukan dan Fungsi Bahasa
studi kasus di Surakarta. Objek
Jawa
penelitiannya adalah bentuk krama
Penelitian
ini
ketidakbisaan sekarang
memperlihatkan masyarakat
dalam
dan fungsi bentuk krama tersebut.
Jawa
Pembahasan
bentuk
krama
menggunakan
meliputi identifikasi bentuk krama,
Bahasa Jawa akibat kedwibahasaan
faktor yang menentukan pilihan
penuturnya. Penutur Jawa banyak
dan penggunaan bentuk krama.
yang
dalam
Pembahasan fungsi bentuk krama
menerapkan tingkat tutur (speech
difokuskan pada perunutan factor
levels) secara tepat.
kesulitan
3. Poedjosoedarmo, dkk. (1979):
tersebut.
tidak
mampu
Tingkat Tutur Bahasa Jawa
pemakaian
bentuk
Sedangkan hasil penelitian
Penelitian ini membahas tentang
tentang
persoalan tingkat tutur bahasa Jawa
Samin, terutama komunitas Samin
(undha
desa Klapadhuwur yang dijadikan
usuk).
Adanya
sistem
masyarakat
komunitas
tingkat tutur ini dianggap pertanda
rujukan, antara lain :
pentingnya sopan santun dalam
1. Bahasa Samin, Suatu Bentuk
menjalin
Perlawanan
sistem
hubungan
Sosial,
oleh
Joko
perorangan pada masyarakat Jawa.
Susilo yang dimuat dalam Agama
4. Ekowardoyo,
Tradisional (2003: 39-54) Dalam
dkk.
(1990):
Kaidah Penggunaan Ragam
penelitiannya
Krama Bahasa Jawa
sistem
Buku ini membahas tentang kaidah
dibahas
bahasa
Jawa
tentang yang
digunakan oleh masyarakat Samin
atau aturan penggunaan tingkat
97
Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora (Sriwahyu Istana Trahutami)
terutama wilayah Klapadhuwur,
memberikan deskripsi dengan istilah
Blora.
societal multilingualism yang mengacu
2. Samin, Ajaran Kebenaran yang
pada kenyataan adanya banyak bahasa
Nyleneh, oleh Sugeng Winarno,
dalam masyarakat. Pemilihan tingkat
dimuat dalam Agama Tradisional
tutur bahasa Jawa memungkinkan
(2003:
adanya penggunaan pilihan dan variasi
55-68)
Dalam
hasil
penelitiannya diungkapkan tentang
bahasa.
gaya komunikasi lisan Jawa ngoko
2.3. Sosiolinguistik dan
yang
dilakukan
masyarakat
Formal Bahasa
komunitas Samin. 2.2. Perspektif
Struktur
Linguistik
merupakan
ilmu
pengetahuan yang melibatkan dirinya
Sosiolinguistik
dengan
tentang Tingkat Tutur Wardhaugh (1984: 4), Holmes
bahasa
sebagai
obyek
penelitian, sedangkan sosiolinguistik
(1993: 1), dan Hudson (1996: 2)
sendiri
mengatakan
sosiolinguistik
interdisipliner, di mana kata sosio
dalam mengkaji hubungan bahasa dan
menjadi aspek utama dalam penelitian.
masyarakat, mengaitkan dua bidang
Struktur formal bahasa terdapat dalam
yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu
beberapa
struktur formal bahasa oleh linguistik
fonologi, morfologi, dan sintaksis,
dan struktur masyarakat oleh sosiologi.
dimana dari tataran tersebut membuat
Pemilihan tingkat tutur dalam
bahasa menjadi fenomena sosial yang
penggunaan
bahwa
bahasa
Jawa
pada
merupakan
tataran
ilmu
yaitu:
yang
semantik,
sangat spesifik dan relatif terisolasi.
masyarakat Jawa yang multibahasa
Unsur-unsur
sangat menarik untuk dikaji dari
spesifik dari bahasa, ciri-ciri dan
perspektif
variasi
sosiolinguistik.
Bahkan
dan
struktural
kategori
tidak
yang
dapat
Fasold (dalam Fathur Rochman, 2001)
dijabarkan dan ditemukan padanan
mengemukakan bahwa sosiolinguistik
formulasinya dalam perwujudan sosial
dapat menjadi bidang studi karena
lainnya.
adanya
dikatakan bahwa sosiolinguistik dalam
pilihan
bahasa.
Fasold
98
Dengan
demikian,
dapat
CULTURE Vol.3 No.1 Mei 2016
perkembangannya tidak terlepas dari
Metode
adanya
menyimak
struktur
formal
linguistik,
simak
dilakukan
penggunaan
dengan bahasa
karena perkembangan sosiolinguistik
informan, baik dengan teknik simak
sebagai
libat cakap maupun
disiplin
ilmu
membentuk
teknik simak
aspek baru dari kehidupan berbahasa
bebas libat cakap. Sedangkan metode
suatu masyarakat yang berbeda yang
cakap
memperhitungkan makna gejala sosial
wawancara direkam dan dicatat untuk
dan pengaruh timbal balik maupun
keperluan pengumpulan data. Penulis
perkembangannya.
juga melakukan pengamatan yang
meliputi
dilakukan
wawancara.
dengan
Hasil
berdasarkan
3. MetodePenelitian
observer’s paradox, yaitu mengamati
3.1. Populasi dan Sampel
bagaimana orang berbicara ketika
Objek
yang
menjadi
data
mereka tidak menyadari jika sedang
penelitian ini adalah tuturan bahasa
diamati, sehingga tuturan-tuturan yang
Jawa yang dipakai oleh penutur dan
digunakan bersifat alami dan wajar.
penduduk asli desa Klapadhuwur,
3.3. Metode Analisis Data
kabupaten Blora. Karena itu populasi
Pada
tahap
analisis
data
penelitian ini adalah semua tuturan
digunakan metode padan (Sudaryanto,
bahasa Jawa dengan semua aspeknya
1993: 22), atau disebut juga metode
di wilayah Klapadhuwur. Sampel yang
identitas. Metode padan adalah metode
dipilih adalah tuturan bahasa Jawa
analisis data yang alat penentunya
yang mempunyai ciri khusus sesuai
berada di luar, terlepas, dan tidak
dengan tujuan penelitian, dan peristiwa
menjadi bagian dari bahasa yang
tutur tersebut terjadi secara alami dan
bersangkutan,
berlangsung
diteliti.
secara
wajar
dalam
atau
Soepomo
bahasa
yang
Pudjosoedarmo
kegiatan berkomunikasi sehari-hari.
(dalam Dwiraharjo, 2001) menyatakan
3.2. Metode Penngumpulan Data
bahwa penelitian sosiolinguistik pada
Data menggunakan
dikumpulkan metode
dengan
simak
dasarnya adalah penelitian kontekstual,
dan
yaitu
cakap. (Sudaryanto, 1993: 133-135).
penelitian
mengenai
wujud
tuturan bahasa dengan memperhatikan
99
Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora (Sriwahyu Istana Trahutami)
konteks sosial yang berupa komponen tutur.
Komponen
tersebut
Desa Klapadhuwur, walaupun
adalah
berjarak relatif lebih dekat ke pusat
penutur, lawan tutur, situasi tutur,
kota Blora, tetapi secara administratif
tujuan tutur, dan hal yang dituturkan.
masuk
3.4. Penyajian Hasil Analisis Data
Banjarejo. Jarak antara Klapadhuwur
Metode penyajian hasil analisis
ke
wilayah
kecamatan
ke Banjarejo lebih jauh daripada
data menggunakan metode informal,
Klapadhuwur
yaitu perumusan dengan kata-kata
bergabungnya desa Klapadhuwur ke
biasa (Sudaryanto, 1993: 145)
Banjarejo ini karena adanya mitos
3.5. Sejarah Desa Klapadhuwur
bahwa daun kelapa kering (blarak)
Sebutan Klapadhuwur berasal
pohon
ke
kelapa
yang
dari tanaman kelapa yang tingginya
Klapadhuwur
mencapai 3000 m. Pohon kelapa ini
Banjarejo.
ditanam oleh orang sakti (beberapa
3.6.Mitos Samin
orang
mengatakan
ditanam
Blora.
tadi
Konon,
ditanam jatuh
di
sampai
Mbah
Nama komunitas Samin diambil
Engkrek, juga ada yang mengatakan
dari nama tokoh yang bernama Samin
ditanam
oleh
Mbah
Surosentiko
Engkrek)
di
kelapa
Sumberagung,
muridnya atas
serabut
dari
desa
Blora.
Samin
untuk
tersebut.
perlawanan pada masa penjajahan
Akhirnya kelapa itu dapat tumbuh di
Belanda. Perlawanan yang dilakukan
atas serabut, bahkan mencapai setinggi
Samin
3000 m. Dalam hal ini ada juga yang
bersifat perlawanan simbol, misalnya
mengatakan bahwa pohon kelapa itu
dengan tidak mau membayar pajak
kembar, ada dua pohon. Tempat
tanah yang ditarik Belanda. Bahkan
tumbuhnya pohon kelapa itu sekarang
untuk melakukan perlawanan tersebut
menjadi desa Klapadhuwur (kelapa
Samin mengembangkan ajaran yang
tinggi).
tidak lazim dilakukan masyarakat pada
pohon
dan
umumnya,
100
karena
Ketokohan
(sepet), karena tidak adanya lahan menanam
dikenal
Ngablak,
para
memimpin
muridnya
termasuk
lebih
dalam
CULTURE Vol.3 No.1 Mei 2016
penggunaan
bahasa
sehari-hari.
kasar,
mudah
marah,
dalam
Sebagai contoh jika pengikut Samin ini
berkomunikasi
ditanya arep menyang endi? Maka
bahasa yang jelas. Menurut Bapak
akan dijawab arep ning ngarep. Begitu
Suyoto, bahasa Jawa yang dipakai
juga ketika ditanya saka ngendi? Maka
komunitas Samin Sangkak ini adalah
akan dijawab saka mburi. Jika ditanya
tidak sopan (saru dalam bahasa Jawa).
jumlah sapi yang dipunyai berapa,
harus
dan
Samin
menggunakan
Surosentiko
mereka akan menjawab dua, walaupun
pemimpin
jumlah sapi mereka banyak atau lebih
ketokohannya
dari dua. Karena menurut mereka
masyarakat.
jumlah dua mewakili jumlah jenis
hidupnya menjadi acuan sehingga
kelamin, yaitu jantan dan betina, dan
banyak warga yang mengikuti perilaku
bukan merujuk pada jumlah hewan
hidup
tersebut.
Surosentiko kemudian membakukan
Kekhasan
pemakaian
komunitas
ini,
sebagai
menjadi Perilaku
tokoh
karena panutan
dan
tersebut.
gaya
Samin
bahasa
perilaku dan gaya hidupnya menjadi
oleh kelompok Samin ini memang
suatu ajaran Saminisme dengan induk
terkadang dipahami sebagai suatu hal
ajaran dihimpun dalam karya berjudul
yang menjengkelkan. Apalagi menurut
Serat Jamus Kalimosodo (Suripan Sadi
keterangan
Hutomo, 1987), dengan lima inti
Bapak
Suyoto,
yang
mempunyai garis keturunan Samin,
ajarannya, yaitu :
kadang-kadang dalam beberapa hal komunitas
ini
membuat
berisi tentang silsilah raja-raja
kejengkelan pihak lain. Sehingga,
Jawa, adipati wilayah Jawa
komunitas Samin dikelompokkan ke
Timur, dan penduduk jawa.
dalam dua kategori, yaitu Samin Sikep
Ajaran ini mengakui bahwa
dan
Sangkak.
orang Jawa adalah keturunan
Komunitas Samin Sikep dikategorikan
Adam dan Pandawa. Semua
sebagai komunitas yang halus dalam
yang ada di bumi adalah hak
tutur katanya, sedangkan komunitas
orang Jawa, sehingga Belanda
Samin Sangkak memiliki sifat relatif
tidak berhak terhadap tanah
komunitas
sering
a. Serat punjer kawitan, yang
Samin
101
Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora (Sriwahyu Istana Trahutami)
Jawa.
Ajaran
ini
secara
mencuri),
angger-angger
simbolik
memberikan
pangucap (hukum berbicara)
semangat
nasionalisme
yang
terhadap tanah Jawa. b. Serat
Pikukuh
mempunyai
pangucap
saka
lima,
bundhelane
ana
pitu.
ajaran tentang tata cara dan
Lanpangucap
saka
sanga,
hokum perkawinan yang dianut
bundhelane ana pitu (ucapan
masyarakat
yang berasal dari sumber yang
utama
Kasejaten,
patokan
Samin.
ajaran
Konsep
ini
adalah
lima
/
pancaindera,
membangun keluarga adalah
pengendaliannya
sarana kelairan budhi, yang
Ucapan yang bersumber dari
akan menghasilkan atmajatama
Sembilan
(anak yang utama). Rumah
hawa sanga: bahasa Jawa)
tangga harus berlandaskan pada
pengendaliannya
ungkapan kukuh demen janji
tujuh.
(kokoh
lakonana (hokum yang harus
memegang
janji).
ada
lubang
tujuh.
(babahan
juga
ada
Angger-angger
Unsur utama dalam rumah
dijalankan)
tangga adalah kesetiaan dan
berbunyi
kejujuran.
trokol,
inti
ajarannya
lakonana sabare
sabar
dieling-eling,
c. Serat uri-uri Pambudi, berisi
trokole dilakoni (kerjakan sikap
tentang ajaran perilaku yang
sabar dan giat, agar selalu ingat
utama, yang terdiri dari ajaran
tentang kesabaran, dan selalu
angger-angger
giat dalam kehidupan).
pratikel
(hukum tingkah laku) yang mempunyai drengki mbadhog
ungkapan
srei,
tukar
colong
d. Serat jati sawit, adalah buku
aja
yang
membahas
tentang
padu,
kemuliaan setelah mati. Ajaran
(jangan
ini mengenal konsep hokum
dengki dan iri, bertengkar,
karma.
makan
ketitik ala ketara, sapa goroh
yang
bukan
hak,
102
Falsafahnya
becik
CULTURE Vol.3 No.1 Mei 2016
bakal gronoh, sapa salah seleh,
terdapat di desa Blimbing kecamatan
(yang baik dan yang buruk
Sambong,
akan kelihatan, siapa yang
kecamatan Ngraho, Bojonegoro yang
berdusta akan nista, siapa yang
termasuk kelompok Samin Sangkak.
bersalah akan kalah).
Sedangkan Samin sikep hanya tinggal
e. Serat lampahing urip, berisi
Blora, dan desa Jepang
terdapat di desa Bapangan.
tentang primbon yang berkaitan
3.7. Letak Geografis
dengan kelahiran, perjodohan,
Desa Klapadhuwur berada di
mencari hari baik untuk seluruh
kabupaten
kegiatan aktifitas kehidupan.
tepatnya
Blora, terletak
Jawa di
Tengah, kecamatan
Saminisme mempunyai kaidah dasar
Banjarejo. Desa ini memiliki luas
yang berupa pedoman hidup berbunyi
687,705 ha, dan berada di ketinggian
sami-sami (sama-sama), yaitu sama-
75 m di atas permukaan air laut. Batas-
sama adil, saling menolong, saling
batas wilayahnya adalah :
menjaga, agar tercipta masyarakat
Bagian utara: Desa Gedongsari
yang homogen dan guyub. Oleh karena
Bagian
itu
mereka
sedulur
selatan:
Hutan
Negara
menggunakan
istilah
(Perhutani)
(saudara)
untuk
Bagian barat: Desa Sumberagung
membahasakan diri sendiri kepada
Bagian timur: Kecamatan Blora Kota
orang lain. Jadi siapapun, dan dalam
Desa Klapadhuwur memiliki enam
kondisi apapun ketika sudah masuk
dusun, yaitu dusun Badong Kidul,
dalam
bersedia
dusun Sale, dusun Sumengko, dusun
Samin maka
Klapadhuwur, dusun Karangpace, dan
komunitas
mengamalkan ajaran mereka
akan
dan
menjadi
saudara
dusun Wotrangkul. Desa ini berada di
(sedulur).
pinggiran hutan jati kepunyaan Negara
Sekarang ini Samin di kawasan
(Perhutani).
Area
hutan
Negara
Klapadhuwur dapat dikatakan sudah
mencapai 425 hektar, dan hutan rakyat
tidak ada lagi, setelah meninggalnya
75 hektar. Lahan persawahan yang ada
Mbah Rakidin tahun 1980-an. Dewasa
hanya sawah tadah hujan, mencapai
ini Saminisme yang masih lestari
103
Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora (Sriwahyu Istana Trahutami)
101,037
hektar.
Sedangkan
lahan
1818 orang, 15-64 tahun sejumlah
kering ladang seluas 271,693 hektar.
2475 orang, dan di atas 65 tahun
Luas areal produksi padi ada 101
adalah 683 orang.
hektar dengan jumlah produksi gabah
Mata pencaharian di bidang
240 ton tiap tahunnya. Sedangkan
pertanian, kehutanan, dan perkebunan
areal produksi jagung seluas 75 hektar
mencapai 1984 orang. Sedangkan yang
dengan jumlah produksi sebanyak 240
mempunyai
ton per tahun. Singkong dan umbi-
bangunan sebanyak 116 orang, dan di
umbian jumlah produksinya 400 ton
bidang angkutan, penggudangan, dan
per tahun dengan lahan produksi seluas
komunikasi sebanyak 29 orang.
10 hektar.
pekerjaan
di
bidang
Perekonomian sebagian besar hanya
Di bidang peternakan rata-rata
mengandalkan
„keramahan
kepemilikan sapi adalah satu ekor per
lahan pertanian‟ sehingga di sisi lain
peternak, dengan jumlah populasi 7
untuk menuju kehidupan yang layak
ekor di tahun 2008. Ternak kambing
dan sejahtera kurang didukung oleh
dengan jumlah populasi 608 ekor pada
fasilitas khususnya bagi buruh tani.
tahun 2009, dan ternak domba dengan
Jumlah penduduk miskin sebanyak
jumlah populasi 41 ekor.Dalam bidang
994 orang atau 368 kepala keluarga.
industri kecil yang menjadi andalan
Jumlah pemeluk agama Islam
adalah industri pembuatan tahu dan
per tahun 2009 sejumlah 4976 orang,
tempe, yang dilakukan masih secara
dan pemeluk Kristen sejumlah 2 orang.
tradisional.
Untuk sarana peribadatan terdapat 6
3.8. Demografi
buah
Jumlah
penduduk
desa
masjid,
mushola.Sarana
dan
23
buah
peribadatan
untuk
Klapadhuwur (tahun 2009) adalah
pemeluk agama lain selain Islam nihil.
4976 orang. Jumlah penduduk laki-laki
Penduduk desa juga aktif mengadakan
2483
kegiatan
orang,
sedangkan
jumlah
pengajian,
yasinan,
atau
penduduk perempuan 2493 orang. Usia
tahlilan berkala satu minggu sekali
penduduk antara 0-14 tahun sejumlah
yang diadakan di rumah penduduk atau
104
CULTURE Vol.3 No.1 Mei 2016
masjid
dan
mushola
kampung.
arah selatan. Terletak di area pinggiran
Kegiatan keagamaan ini diikuti baik
perkebunan jati milik pemerintah.
oleh kelompok bapak, ibu, maupun
Pemilihan desa Klapadhuwur sebagai
remaja atau kaum muda.
lokasi penelitian dengan dasar bahwa
Bidang pemerintahan terdiri
desa
Klapadhuwur komunitas
merupakan
dari kepala dusun sejumlah 6 orang,
petilasan
sekretaris lurah (carik), kepala urusan
merupakan
(Kaur), dan lurah. Jumlah aparat desa
penyebaran
(pamong) adalah 21 orang, dengan
wilayah Blora. Bukti bahwa daerah
luas bengkok 37,84 hektar. Jumlah
tersebut
RW / RT yang ada di wilayah ini
komunitas Samin adalah dengan masih
sebanyak 29.
adanya generasi penerus Samin, yang
pusat
Samin,
pergerakan
orang-orang
dahulu
yang dan
Samin
merupakan
pusat
Desa ini mempunyai sekolah
merupakan keturunan langsung Mbah
SD Negeri sebanyak tiga buah, dan
Engkrek yang merupakan tokoh Samin
Taman Kanak-kanak yang dikelola
sikep, (murid Samin Surosentiko) desa
swasta sebanyak dua buah. Selain itu
Klapadhuwur.
diselenggarakan pendidikan jalur non
merupakan
formal
keagamaan
keturunan mbah Engkrek, tetapi dari
untuk anak yang diselenggarakan sore
hasil wawancara dapat disimpulkan
hari di masjid kampong maupun
bahwa beliau masih memegang ajaran-
mushola (madrasah). Jumlah siswa SD
ajaran samin sikep warisan generasi
keseluruhan
sebelumnya.
yaitu
kegiatan
mencapai
667
siswa,
sedangkan jumlah murid madrasah
Walaupun generasi
informan
ke
empat
Rumah penghuni keturunan
sebanyak 266 orang.
Mbah Engkrek ini juga masih sangat
3.9. Lokasi Penelitian
sederhana,
Lokasi penelitian ini adalah desa
Klapadhuwur,
Banjarejo,
kabupaten
yang
memperlihatkan ciri khas rumah orang
kecamatan Blora,
tradisional,
Samin,
Jawa
yaitu
rumah
berdinding
blobokan atau kulit luar kayu jati, dan
Tengah. Desa ini hanya berjarak
penggunaan tali-tali
sekitar 7 km dari pusat kota Blora ke
tiang di dalam rumah. Serta tidak
105
untuk mengikat
Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora (Sriwahyu Istana Trahutami)
adanya jendela sebagai aliran udara
Pemilihan
masuk. Selain itu anggapan bahwa sapi
digunakan
merupakan
Klapadhuwur :
ternak
yang
sangat
tingkat oleh
tutur
masyarakat
yang desa
berharga (merupakan rajakaya) juga
4.1. Ragam Bahasa Jawa Ngoko dan
masih
Ngoko Alus
ditemui
sampai
sekarang,
dengan tetap menempatkan sapi di
Pada kegiatan berkomunikasi sehari-
depan rumah, dan bukan membuat
hari sebagaimana masyarakat Jawa
kandang sapi di belakang rumah.
lainnya, ragam ngoko ini yang paling sering digunakan. Tingkat tutur ngoko memakai unsur-unsur morfologi dan
4. Hasil dan Pembahasan Pembagian tingkat tutur yang digunakan
dalam
penelitian
kosa kata yang pada dasarnya ialah
ini
kosa kata ngoko (Poedjosoedarmo,
mengikuti pembagian tingkat tutur
1979:
Sudaryanto (1989) dan Ekowardana
memancarkan arti kesopanan rendah.
(1991) yang membagi tingkat tutur
Contoh data:
atas dua kelompok, yaitu bentuk ngoko
Data 1.
dan
Konteks: percakapan suami istri, sang
krama,
yang
masing-masing
9)
Kata-kata
mempersilakan
suami
ngoko
terbagi lagi atas bentuk lugu dan alus.
istri
untuk
Sehingga dapat disimpulkan terbagi
makan.
menjadi empat tingkatan, yaitu :
Istri: Mangana sik, Pak. Wis awan..
a. ngoko
Suami: Jam pira ta, iki? Sik, tak
b. ngoko alus
mbereg sapi…
c. krama
Data 2
d. krama alus
Konteks: percakapan antara anak dan
Faktor
penentu
non
lingual
ayahnya. Anak meminta uang pada
penggunaan bahasa Jawa ragam ngoko
orang tuanya.
dan krama memiliki perbedaan dari
Anak:
segi penutur, mitra tutur, situasi tutur,
nambahi tuku kathok.
tujuan tutur, dan hal yang dituturkan.
106
Pak, aku njaluk duite nggo
CULTURE Vol.3 No.1 Mei 2016
Ayah: Yahene njaluk duit ki duit saka
menggunakan ragam ngoko ini. Orang
ndi ta, le.
yang berstatus sosial tinggi dianggap
Data 3
pantas untuk menunjukkan rasa tidak
Konteks:
percakapan antara seorang
segannya pada mitra tuturnnya yang
bapak dengan bapak lain di warung
berstatus sosial lebih rendah dengan
kopi
pemilihan ragam ngoko. Ini berarti
Bapak 1: Seger tenan kopi kothoke.
seorang guru berhak untuk memakai
Kowe mangan gedhang goreng nganti
ngoko terhadap muridnya, majikan
telu pa mau rung mangan blas.
terhadap pembantunya, orang tua pada
Bapak 2: Ra kober mangan, sedina
anaknya, suami terhadap istrinya, dsb.
ngarit ra bar-bar.
Pada
Untuk memilih suatu bentuk
data
mempersilakan
1,
seorang
makan
istri
suaminya,
tingkat tutur yang sesuai dengan mitra
pilihan tingkat tutur ngoko pada
tuturnya,
penutur
harus
dapat
tuturan mangan sik, Pak diucapkan
corak
hubungan
atau
seorang istri pada suaminya. Pada
tuturnya.
kebanyakan orang Jawa, biasanya istri
Penetapan corak hubungan didasarkan
sebagai bentuk penghormatan terhadap
atas
(social
suaminya, (karena suami dianggap
distance rating) dan tingkat status
memiliki status sosial lebih tinggi),
sosial (social status rating / power
menggunakan
rating) antara penutur dan mitra
Setidaknya
tuturnya.
menjadi Pak, dhahar sik. Leksikon
menetapkan relasi
dengan
tingkat
mitra
jarak
sosial
Tingkat tutur ngoko di atas
ngoko
ragam
tuturan
mangan
ngoko
alus.
tersebut
akan
menjadi
krama
mencerminkan rasa tidak berjarak
dhahar.Demikian juga pada data 3,
antara penutur dengan mitra tuturnya.
tuturan ngoko Pak, aku njaluk duite,
Artinya penutur tidak mempunyai rasa
diucapkan
segan (ewuh pakewuh) dengan mitra
orang tuanya. Sementara kelaziman
tuturnya.Jadi buat seseorang yang
dalam pemakaian bahasa Jawa pada
ingin
keakrabannya
umumnya, karena orang tua berstatus
dengan mitra tutur dia akan memilih
lebih tinggi daripada anak, maka orang
menunjukkan
107
seorang
anak
terhadap
Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora (Sriwahyu Istana Trahutami)
tua berhak menggunakan ragam ngoko
dianggap resmi atau tidak, apakah
kepada
status sosial seseorang dianggap tinggi
anaknya,
seorang
anak
dan
sebaliknya
“diharuskan”
atau
atau
tidak
biasanya
mengikuti
diwajibkan untuk menunjukkan rasa
ketentuan umum yang berlaku di suatu
segan terhadap orang tua dengan
daerah.
pemakaian ragam krama.
4.2. Ragam Bahasa Jawa Krama
Tetapi penduduk
pada
sebagian
asli
besar
Tingkat
tutur
krama
adalah
Klapadhuwur,
tingkat yang memancarkan arti penuh
pemakaian ragam ngoko ini dapat
sopan santun. Bentuk ini menandakan
dilakukan untuk orang atau mitra tutur
adanya
yang
pakewuh)
dianggap
mempunyai
status
perasaan penutur
segan
(ewuh
terhadap
mitra
sosial yang lebih tinggi, seperti tuturan
tuturnya. Murid menggunakan krama
yang ditujukan anak kepada orang tua,
terhadap gurunya, anak menggunakan
istri kepada
ngoko terhadap orang tuanya, pegawai
suami, atau seorang
dewasa dengan sesama dewasa lainnya
menggunakan
seperti
atas.
atasannya, dan seterusnya. Terhadap
Penggunaan ragam ngoko ini adalah
orang yang belum dikenal dan masih
untuk
komunikasi.
muda dipakai juga bentuk krama ini
Pilihan tingkat tutur ngoko ini tidak
jika orang muda tersebut dianggap
dapat dikatakan bahwa penutur tidak
mempunyai status sosial yang lebih
menghormati
yang
tinggi. Berdasarkan corak hubungan,
berstatus sosial lebih tinggi atau
penutur yang cenderung menggunakan
berkedudukan
ragam krama dapat diidentifikasikan
contoh
data
memudahkan
lawan
lebih
di
tutur
tinggi
dalam
keluarga. Tingkat tutur ngoko ini
krama
terhadap
sebagai :
dianggap mewakili suasana santai,
a. Penutur
mencerminkan keakraban penutur dan
sama
mitra tuturnya, dan tetap dianggap
tuturnya.
menghormati lawan tutur. Hubungan
yang belum sekali
dengan
kenal mitra
b. Penutur lebih muda usianya
antara seseorang dengan orang lainnya
daripada mitra tutur.
108
CULTURE Vol.3 No.1 Mei 2016
c. Penutur sebaya dengan mitra tutur
namun
Bu
hubungannya
Lurah:
Heeh,
turahe
engko
disimpen mawon, kena nggo ngenjang.
belum akrab.
Data 4
d. Berdasarkan status sosialnya
Konteks: Percakapan seorang bapak
penutur berstatus sosial lebih
dengan Pak Modin.
rendah dibandingkan dengan
Bapak: Mbah, nuwun sewu, ngenjang
status sosial mitra tutur.
kula
aturi
mimpin bancaan, bar
Contoh data:
maghrib nggih,
Data 1.
Modin:
Konteks:
percakapan seorang ibu
(pembeli)
dengan
ibu
Mbah.
Insya allah. Moga-moga
diparingi sehat isa tekan nggonmu.
lainnya
Pada
data
1,
penutur
(pedagang).
menggunakan kata sampeyan untuk
Ibu 1:
merujuk
Yu, ngesuk sampeyan pasar,
mitra
Kata
ra?
sampeyan
Ibu 2: Nggih ta, Bu. Lha dagangan
sebagai pronominal kedua berbentuk
kula telas kabeh niki.
hormat (krama) atau pronominal kedua
Data 2:
bertanda hormat rendah (krama). Pada
Konteks: percakapan antara seorang
data 1, tuturan Yu, ngesuk sampeyan
informan dengan peneliti
pasar, ra, yang menunjukkan ragam
Informan: Lha kok mboten? Bumi niku
krama hanya karena kata sampeyan ini
rak ibu sampeyan kabeh. Sedaya rak
saja. Terjadinya pilihan satu kata dari
lair seking
kode
ngriku. Napa
bisa
tuturnya.
tertentu
diinterpretasikan
(krama)
yang
onten sing mboten?
dimasukkan pada kode yang lain
Tamu: Sanes saking toya nggih mbah.
(ngoko) tanpa melalui alih kode, sering
Data 3
terjadi pada komunikasi sehari-hari
Konteks: percakapan antara ibu lurah
pada situasi tutur informal atau tidak
dengan tetangga yang membantunya.
resmi.
Tetangga: Bu, niki brambange kula
Pemakaian satu leksikon krama
onceki sedaya?
pada tuturan ngoko terjadi karena penutur ingin lebih mengakrabkan diri
109
Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora (Sriwahyu Istana Trahutami)
dengan mitra tuturnya. Ragam ngoko
lebih tua (data 3), dan pada data 2
lebih
dan
penutur memilih ragam krama karena
antara
jarak sosial, karena baru saja kenal,
pelanggan dengan pedagang. Apalagi
merasa belum akrab dengan mitra
kemungkinan ibu pembeli ini sudah
tuturnya, walaupun usia mitra tuturnya
mengenal pedagang tersebut sekian
jauh lebih muda. Faktor keakraban
lama. Pemilihan kata sampeyan ini
hubungan ini sangat penting. Terhadap
juga
menunjukkan
mitra tutur yang baru saja dikenal,
lawan
orang
berkesan
mendekatkan
informal,
jarak
sosial
untuk
penghormatan
pada
tutur,
Jawa
biasanya
tidak
akan
walaupun pada tuturan berikutnya
menyapa dengan ngoko kecuali pada
menggunakan tuturan ngoko. Apalagi
anak kecil, atau pada orang yang
dalam hal ini usia mitra tutur lebih tua,
benar-benar dianggap dari keluarga
sehingga dianggap tidak sopan (harus
berstatus sosial rendah.
ada
rasa
ewuh)
penutur
Semua data di atas, walaupun
menggunakan kata kowe. Contoh lain
menggunakan bentuk krama, tetapi
yang sering terjadi pada kehidupan
yang dipakai bukan klasifikasi krama
sehari-hari kita sering menggunakan
inggil (alus), melainkan krama madya
ragam krama, atau menggunakan kode
(Poedosoedarmo, 1979: 16). Pada
kata-kata
kenyataan
krama
jika
sekalipun
pada
sehari-hari
pun
tuturan
pengemis semata-mata karena usia
bentuk krama juga tidak harus dijawab
pengemis tersebut sudah tua.
dengan tuturan krama juga, seperti
Pada data 2, 3, dan 4 percakapan
terlihat pada data 1, 3, dan 4.
dilakukan dengan pemilihan ragam
Pada
penelitian
ini
tidak
ngoko karena faktor perbedaan usia
ditemukan pemakaian ragam krama
penutur dan mitra tuturnya, mitra tutur
inggil (krama alus). Rupanya bentuk
jauh lebih tua usianya (data 4).
krama inggil ini jarang digunakan, atau
Perbedaan
hampir
status
sosial,
penutur
tidak
digunakan
oleh
merasa lebih rendah status sosialnya
masyarakat Klapadhuwur, sekalipun
daripada mitra tutur walaupun berusia
untuk berkomunikasi dengan orang
110
CULTURE Vol.3 No.1 Mei 2016
yang baru saja dikenal. Kebanyakan
rendah (madya maupun ngoko), seperti
dari
contoh-contoh di atas.
mereka
hanya
menggunakan
ragam krama madya. Apakah hal ini
Data dibawah ini menarik untuk
karena penguasaan bahasa Krama yang
dikaji.
kurang memadai, atau karena bahasa
Konteks:
krama
yang
dianggap
sehingga
terlalu
tidak
prestise
lumrah
untuk
percakapan antara seorang
merupakan
keturunan
Samin dengan peneliti.
digunakan pada komunikasi sehari-
Peneliti:
hari,
ngoten, napa mboten mesakke?
ataukah
Saminisme
karena
yang
pengaruh
masih
melekat,
mengke
dikuasai, perlu penelitian lebih lanjut.
tiyang.
pada
sebagian
Mbah, kok sapine ditaleni
Informan:
sehingga hanya ragam ngoko saja yang
Tetapi
besar
ragam bahasa Krama ini. Orang-orang
Informan:
yang berasal dari golongan petani
mawon.
miskin, dan pekerja rendah di desa ngoko
untuk
mangan
krama.
mereka
madhang
ditaleni
tandurane
Nggih mangan suket
Makan, dalam bahasa Jawa
tidak cukup mendapat kesempatan
Umumnya
mboten
Peneliti: Saben dinten disukani napa mbah?
ragam
Nek rak
masyarakat Jawa tidak menguasai
memakai
tokoh
dapat
ditunjukkan
ataupun
madhang,
dengan yang
tidak
termasuk bentuk kata ngoko. Mangan
berpendidikan
mengacu pada aktifitas makan secara
mereka
umum (semua makanan), sedangkan
berpendidikan tetapi lingkungan tidak
madhang hanya dipakai untuk merujuk
menuntut
ini,
makan nasi saja. Sehingga dikenal
sehingga penguasaan ragam krama ini
mangan gedhang, mangan roti, tidak
tidak sempurna. Jika mereka harus
hanya mangan sega.
berpendidikan, rendah.
berbicara biasanya
atau
Kalaupun
pemakaian
dalam ragam
ragam
ragam kramanya
krama,
Sedangkan
madhang,
tanpa
akan
menyebutkan kata nasi pun, kata
kemasukan tingkat tutur yang lebih
madhang hanya untuk menunjukkan kegiatan makan nasi, sehingga tidak
111
Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora (Sriwahyu Istana Trahutami)
dikenal madhang roti, atau madhang
memenuhi syarat kesehatan, namun
gedhang.
mereka
Kata
mangan,
berlaku
memiliki
beberapa
sapi,
umum, tidak hanya digunakan untuk
bahkan puluhan ekor sapi pada waktu
manusia
dapat
itu. Karena sapi adalah harta yang
digunakan untuk referen binatang.
sangat berharga, penempatan kandang
Sebagai
sapi pun selalu diletakkan di bagian
wedhuse
saja,
tetapi
contoh,
juga
sapine
mangan
mangan,
suket,
dan
rumah paling depan, tidak pada bagian
sebagainya. Tetapi kata madhang,
samping
karena
untuk
meskipun karena itu pemilik rumah
mengatakan makan nasi, sehingga kata
harus “mengalah” dan menempati
madhang
hanya
digunakan
bagian
merujuk
aktifitas
makan
hanya
digunakan
untuk manusia
atau
belakang
belakang
rumah.
rumah,
Mereka
tinggal serumah dengan sapi-sapinya.
saja.Pada data di atas kata madhang
Karena
bentuk
pengakuan
digunakan untuk menyatakan aktifitas
mereka terhadap binatang ternaknya
makan yang dilakukan sapi, walaupun
khususnya sapi, mengakibatkan jarak
tentu saja sapi tidak makan nasi. Hal
sosial (social distance) antara manusia
ini bisa dikatakan bahwa sapi bagi
dan sapi semakin dekat, bahkan sudah
penutur
dianggap
tersebut
mempunyai
seperti
keluarga
atau
kedudukan yang disetarakan dengan
layaknya orang. Hal ini mengakibatkan
kedudukan manusia. Hal ini dapat
keluar tuturan madhang yang biasanya
dipahami dari bagaimana sikap orang
hanya digunakan untuk makan nasi
Samin terhadap binatang ternaknya,
orang, ternyata digunakan mereka
terutama sapi. Sapi bagi mereka adalah
untuk
rajakaya, yang merupakan kekayaan
rumput sapi. Meskipun demikian kata
yang sangat berharga, simbol status
mangan juga tetap digunakan.
sosial
bagi
kalangan
menunjuk
kegiatan
makan
mereka.
Walaupun rumah kediaman mereka
5. Kesimpulan
hanya terbuat dari kulit kayu jati
Bahasa merupakan pencerminan
(blobokan) dan dapat dikatakan tidak
budaya pemakainya karena bahasa itu
112
CULTURE Vol.3 No.1 Mei 2016
sendiri merupakan bagian dari budaya.
formal,dan ranah tidak formal lainnya.
Adanya sistem tingkat tutur yang
Karena
sangat komplek dan ekstensif di dalam
biasanya hanya pada seputar ranah ini,
bahasa Jawa dapat dianggap sebagai
maka ragam ngoko yang dipakai untuk
suatu pertanda pentingnya adab sopan
memudahkan
santun yang terjalin dalam sistem
mereka,
hubungan perorangan pada masyarakat
beberapa kosakata dari ragam krama
Jawa.
dan bahasa Indonesia kolokuial sudah Perbedaan antara situasi tutur
formal
dianggap
rakyat
komunikasi.
ragam
cukup
resmi dan tidak resmi, formal atau tidak
kehidupan
ngoko
kecil
Bagi
ditambah
memadai
untuk
mengekspresikan perasaan mereka.
penting.
Secara khusus mereka tidak
Demikian juga dengan penghargaan
perlu bersusah payah untuk memakai
terhadap
seseorang,
atau belajar bahasa krama, karena pada
entah karena usia, pangkat, kekayaan,
kenyataan riil sehari-hari mereka tidak
hubungan
dinyatakan
memerlukan hal tersebut, termasuk
dengan bentuk ekspresi bahasa yang
etiket yang menyertai ragam krama.
tepat, dan tentu saja bentuk ekspresi
Hampir tidak ada kesempatan atau
non bahasa yang tepat pula. Seperti
tidak ada sebuah situasi bagi mereka
cara berbicara, sikap badan, dan lain-
untuk memakai ragam krama, kecuali
lain.
jika mereka berbicara kepada orang
tingkat
sosial
kekerabatan,
Pada masyarakat Klapadhuwur,
yang baru dikenal (orang asing).
ragam bahasa ngoko dipilih untuk
Karena
hal-hal
inilah
maka
berkomunikasi pada kegiatan-kegiatan
dalam berkomunikasi masyarakat desa
informal,
Klapadhuwur cenderung menggunakan
sedangkan
pada
situasi
formal bahasa Jawa krama digunakan
ragam
berbarengan
komunikasi sehari-sehari suami istri,
dengan
penggunaan
bahasa Indonesia.
bahasa
ngoko,
termasuk
anak pada orang tua, dsb, walaupun
Ragam ngoko ini digunakan
bagi sebagian masyarakat Jawa lainnya
pada ranah rumah tangga, ranah
hal tersebut dianggap tidak sopan atau
pergaulan,
tidak tahu etiket.
ranah
kerja
tidak
113
Pemilihan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Pada Masyarakat Desa Klapaduwur Blora (Sriwahyu Istana Trahutami)
Sudaryanto, 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
6. Daftar Pustaka Chaer, Abdul, dkk. Revisi 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta. Dwiraharjo, Maryono. 1997. Fungsi dan Bentuk Krama dalam Masyarakat Tutur Jawa. Surakarta: UNS. Ekowardono, B. Karno. 1992. Kaidah Penggunaan Ragam Krama Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kushartanti, dkk. 2009. Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Nurudin, dkk. 2003. Agama Tradisional. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta Pateda, Mansur. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. Poedjosoedarmo, Supomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Purwoko, Herudjati. 2008. Wacana Komunikasi. Etiket dan Norma Wong Cilik Abangan di Jawa. Salatiga: PT. Indeks. Soedjarwo. 1999. Aspek-aspek Bahasa Jawa. Semarang: Adigama Press
114