PEMILIHAN JENIS TANAMAN RESTORASI BERDASARKAN BEBERAPA PARAMETER FOTOSINTESIS
TINIA LEYLI SHOFIA AHMAD
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemilihan Jenis Tanaman Restorasi berdasarkan Beberapa Parameter Fotosintesis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2011 Tinia Leyli Shofia Ahmad NRP G353090171
ABSTRACT TINIA LEYLI SHOFIA AHMAD. Selecting Plant Species for Restoration based on Photosynthetic Parameters. Under supervision of DEDE SETIADI and DIDIK WIDYATMOKO. Forest restoration is a process of ecosystem conditioning (soil, vegetation, and wildlife) to achieve the similar patterns and profiles to the previous conditions before they are disturbed, both in terms of species composition and structure, as well as habitat function. Restoration is a crucial process to maximize the value and function of biodiversity and ecosystem. The objectives of the research were to determine the photosynthetic parameters that most influencing within the plant species planted and to select the right plants species for restoration efforts. Eight native tree species were studied in this research. The methods used in this study were the Somogyi Nelson method for analyzing carbohydrate and the spectrophotometer method for analyzing chlorophyll. The research results showed that each type of restoration plant species (age 2 years after planting) had different characteristics in terms of their photosynthetic parameters studied. Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub. and Syzygium lineatum (Bl.) Merr. & Perry, both had the highest carbohydrate content and the best ability to absorb CO2. Sloanea sigun (Blume) K. Schumann, Alstonia scholaris (L) R. Br., Manglietia glauca Bl., and Castanopsis argentea (Bl.) A.DC. had higher total chlorophyll contents than that of others. Altingia excelsa Noronha, M. glauca, A. scholaris, and Schima wallichii (DC.) Korth. had higher water contents. Based on the results of this research we recommended that the most suitable plant species for forest restoration efforts were D. imbricatus and S. lineatum. Keywords: forest restoration, photosynthetic parameters, native species.
RINGKASAN TINIA LEYLI SHOFIA AHMAD. Pemilihan Jenis Tanaman Restorasi Berdasarkan Beberapa Parameter Fotosintesis. Dibimbing oleh DEDE SETIADI dan DIDIK WIDYATMOKO. Luas hutan tropis di Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Luas kawasan hutan berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan (30 provinsi) dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (3 provinsi) meliputi 137.090.468,16 ha. Dalam dasawarsa terakhir, tingkat kehilangan penutupan hutan akibat penebangan di wilayah hutan tropis mengakibatkan kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 10-20% secara global. Secara umum terjadi penurunan angka rata-rata penurunan penutupan vegetasi hutan pada periode 2000-2005. Restorasi hutan merupakan proses pengkondisian ekosistem untuk mencapai pola dan profil yang serupa dengan kondisi ekosistem pada saat sebelum terganggu. Vegetasi hutan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap penurunan emisi GRK, karena hutan merupakan salah satu ekosistem penyerap CO2 yang sangat besar. Pohon-pohon yang terdapat dalam hutan menggunakan CO2 dalam proses fotosintesis. Proses fotosintesis akan terjadi jika ada cahaya dan pigmen perantara yaitu klorofil daun. Pada saat klorofil menyerap cahaya, maka klorofil tersebut akan mengalami eksitasi. Energi hasil eksitasi akan dimanfaatkan untuk membentuk ATP dan NADPH. ATP dan NADPH ini akan digunakan untuk mereduksi CO2 menjadi glukosa. Glukosa dalam jaringan tanaman akan dimanfaatkan untuk pembentukan akar, batang, daun, bunga dan buah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui parameter fotosintesis yang paling berperan pada jenis-jenis tanaman restorasi yang ditanam dan untuk memilih jenis tanaman yang tepat untuk usaha restorasi. Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Juli 2011. Pengambilan sampel dilakukan di kawasan restorasi resort Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Analisis kandungan klorofil total dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB. Analisis karbohidrat (dengan metode Samogyi Nelson) dilakukan di Laboratorium Balai Besar Biologi dan Genetika Pertanian Bogor. Tanaman yang diteliti adalah Beleketebe (Sloanea sigun (Blume) K. Schumann), Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.), Ki sireum (Syzygium lineatum (Bl.) Merr. & Perry), Lame (Alstonia scholaris (L) R. Br.), Manglid (Manglietia glauca Bl.), Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.), Rasamala (Altingia excels Noronha), dan Saninten (Castanopsis argentea (Bl.) A.DC.). Parameter-parameter yang diteliti adalah kandungan karbohidrat, klorofil total, dan kadar air, serta kemampuan tanaman menyerap CO2. Daun D. imbricatus memiliki kandungan karbohidrat tertinggi, yaitu 22.11%. Persentase karbohidrat terbanyak kedua dimiliki S. lineatum (19.33%), tetapi tidak berbeda nyata dengan kandungan karbohidrat D. imbricatus. Kandungan karbohidrat terendah dimiliki oleh A. scholaris (10.35%) dan tidak berbeda nyata dengan C. argentea, A. excelsa, S. wallichii, dan S. sigun. Rata-rata kandungan klorofil total tertinggi dimiliki oleh S. sigun. Nilai ini tidak berbeda
nyata dengan nilai rata-rata pada A. scholaris dan M. glauca, sedangkan kandungan klorofil total A. sholaris dan M. glauca tidak berbeda nyata dengan C. argentea. Kandungan klorofil total terendah dimiliki oleh D. imbricatus. Kemampuan tanaman dalam menyerap CO2 (mg/cm2) tidak berbeda nyata pada semua jenis tanaman. A. excelsa memiliki kadar air tertinggi (69.51%), tetapi tidak berbeda nyata dengan M. glauca. Kadar air terendah dimiliki S. lineatum (53.88%), walaupun tidak berbeda nyata dengan D. imbricatus dan S. sigun. Hasil analisis komponen utama untuk menjelaskan interaksi parameter internal fotosintesis menunjukkan bahwa dari beberapa parameter internal fotosintesis yang dianalisis, CO2 merupakan parameter yang paling menentukan pembentukan karbohidrat karena terdapat korelasi positif antara parameter karbohidrat dengan CO2 dengan koefisien korelasi sebesar 72.3%. Parameterparameter lainnya, yaitu kandungan klorofil total dan kadar air daun, memiliki korelasi negatif dengan karbohidrat. Setiap jenis tanaman restorasi (berusia 2 tahun setelah tanam) memiliki karakteristik berbeda ditinjau dari beberapa parameter fotosintesis yang diteliti. D. imbricatus dan S. lineatum memiliki kandungan karbohidrat dan kemampuan menyerap CO2 tertinggi. S. sigun, A. scholaris, M. glauca, dan C. argentea memiliki kandungan klorofil total yang tinggi. A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, dan S. wallichii memiliki kadar air yang tinggi. Berdasarkan perbedaan karakteristikpada 8 jenis tanaman yang diteliti, jenis tanaman yang paling tepat untuk usaha restorasi adalah D. imbricatus dan S. lineatum.
Kata kunci: restorasi hutan, parameter fotosintesis, spesies asli.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMILIHAN JENIS TANAMAN RESTORASI BERDASARKAN BEBERAPA PARAMETER FOTOSINTESIS
TINIA LEYLI SHOFIA AHMAD
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ibnul Qayim
Judul Tesis Nama NIM
: Pemilihan Jenis Tanaman Restorasi Berdasarkan Beberapa Parameter Fotosintesis : Tinia Leyli Shofia Ahmad : G353090171
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Ketua
Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Miftahudin, M. Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 10 Oktober 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala nikmat, kasih sayang dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 sampai dengan Juni 2011 ini ialah Restorasi dengan judul Pemilihan Jenis Tanaman Restorasi berdasarkan Beberapa Parameter Fotosintesis. Penelitian ini didanai oleh Departemen Agama Republik Indonesia melalui program beasiswa utusan daerah (BUD Depag) dan bantuan dari UPT Balai Konservasi Kebun Raya Cibodas. Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. dan Bapak Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc. yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran dalam penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Miftahudin, M.Si. selaku Ketua Mayor Biologi Tumbuhan FMIPA IPB yang selalu terbuka dengan saransarannya. Terima kasih juga Penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Ibnul Qayim yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian tesis dan memberikan saran untuk kelengkapan informasi pada tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada staf dosen dan tata usaha Departemen Biologi Pascasarjana IPB, teknisi dan laboran, teman-teman di Laboratorium Penelitian Ekologi dan Laboratorium Fisiologi Tumbuhan IPB, staf laboran di Laboratorium Biokimia Balai Besar Biologi dan Genetika Pertanian Bogor, staf laboran di Laboratorium Pasca Panen Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, teman-teman mahasiswa pascasarjana Biologi Tumbuhan angkatan 2009 dan teman-teman BUD Biologi 2009. Terima kasih untuk kesabaran dan pengertian suami tercinta Anang Mochammad Yusuf yang telah memberikan do’a dan motivasi pada penulis, juga kepada Ibunda Hj. Siti Maryam Thohari atas semangatnya, anak-anakku sayang (semoga bisa menjadi motivasi untuk kalian), adik-adik tercinta, serta ibu mertua Hj. Noer Tjahya atas do’anya, serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis hingga dapat menyelesaikan studi. Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi untuk kepentingan dan perkembangan ilmu pengetahuan, guna kemaslahatan dan kesejahteraan manusia.
Bogor,
Oktober 2011
Tinia Leyli Shofia Ahmad
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 28 Januari 1973 dari Bapak H. Achmad MH (alm) dan Ibu Hj. Siti Maryam Thohari. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri 42 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih program studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan lulus pada tahun 1995. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Magister pada mayor Biologi Tumbuhan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2009 melalui Program Beasiswa Peningkatan Mutu Guru Madrasah dari Kementrian Agama Republik Indonesia. Tahun 2003 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil Departemen Agama sebagai guru Biologi dan sampai sekarang mengajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 9 Jakarta.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi PENDAHULUAN Latar Belakang ......................................................................................... Perumusan Masalah ................................................................................. Tujuan Penelitian ..................................................................................... Manfaat Penelitian ...................................................................................
1 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Fotosintesis ............................................................................................... Klorofil dan Karakteristiknya .................................................................. Tumbuhan sebagai Penyerap CO2 ............................................................ Fotosintesis dan Pertumbuhan ................................................................. Deskripsi Tanaman Restorasi ................................................................... Keadaan Umum Lokasi Penelitian ...........................................................
5 10 13 15 16 23
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ................................................................................... Sampel Daun ............................................................................................ Variabel Penelitian ................................................................................... Kandungan Klorofil ............................................................................. Kandungan Karbohidrat ...................................................................... Kemampuan Tanaman Menyerap CO2 ............................................... Kadar Air ............................................................................................. Variabel Penunjang .................................................................................. Analisis Data ............................................................................................ Diagram Alir Rencana Penelitian ............................................................
25 25 26 26 26 27 28 28 28 29
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian ........................................................................................ Kandungan Karbohidrat, Kandungan Klorofil Total, Kemampuan Tanaman Menyerap CO2, dan Kadar Air Daun .................................. Berat, Jumlah, dan Luas Daun ............................................................ Analisis Komponen Utama ................................................................. Kandungan C, N, rasio C/N, dan Mg .................................................. Analisis Sifat Kimia Tanah ................................................................. Pembahasan ..............................................................................................
31 31 33 34 36 37 37
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................
47
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
49
LAMPIRAN ....................................................................................................
53
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Emisi GRK (Mt CO2) dari berbagai sumber emisi dari tujuh negara emitor utama ............................................................................................
14
2 Karakteristik lahan restorasi .....................................................................
24
3 Hasil pengukuran kandungan karbohidrat, kandungan klorofil total, kemampuan tanaman menyerap CO2, dan kadar air daun dari 8 jenis tanaman ....................................................................................................
31
4 Kandungan karbohidrat dan dugaan CO2 yang diserap (per pohon) .......
32
5 Kandungan klorofil a, b, dan nisbah klorofil a/b pada 8 jenis tanaman ...
33
6 Nilai kisaran kandungan klorofil total 8 jenis tanaman ...........................
33
7 Berat, jumlah, dan luas daun 8 jenis tanaman ..........................................
34
8 Matriks nilai ciri korelasi beberapa parameter fotosintesis .....................
34
9 Koefisien korelasi karbohidrat, klorofil total, CO2, dan kadar air daun
35
10 Karakteristik beberapa parameter fotosintesis pada beberapa jenis tanaman ....................................................................................................
35
11 Kandungan C dan N, rasio C/N, serta kandungan Mg daun 8 jenis tanaman ....................................................................................................
36
12 Nilai sifat kimia tanah ..............................................................................
37
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Reaksi terang fotosintesis .........................................................................
6
2 Reaksi gelap fotosintesis (Siklus Calvin) .................................................
6
3 Struktur molekul klorofil .........................................................................
11
4 Lokasi restorasi Resort Bodogol TNGGP ................................................
23
5 Diagram alir penelitian Pemilihan Jenis Tanaman Restorasi Berdasarkan Beberapa Parameter Fotosintesis .........................................
29
6 Biplot interaksi 8 spesies tanaman dengan beberapa parameter fotosintesis ...............................................................................................
35
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Lahan restorasi Resort Bodogol TNGGP..................................................
53
2 Foto 8 jenis tanaman restorasi ..................................................................
54
3 Analisis klorofil .......................................................................................
58
4 Analisis karbohidrat dengan metode Samogyi Nelson ............................
59
5 Alat-alat penelitian ....................................................................................
60
6 Data mentah penelitian .............................................................................
61
PENDAHULUAN Latar Belakang Luas hutan tropis di Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Luas kawasan hutan berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan (30 provinsi) dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (3 provinsi), seluas 137 090 468.16 ha (http://www.dephut.go.id/INFORMASI/BUKU2/Strategis). Luas tersebut kemungkinan sudah berkurang saat ini. Dalam dasawarsa terakhir, tingkat kehilangan penutupan hutan akibat penebangan di wilayah hutan tropis mengakibatkan kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 10-20% secara global (Santilli et al. 2005). Berdasarkan data dan hasil analisis Departemen Kehutanan, pada periode 1985-1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1.8 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 terjadi peningkatan laju deforestasi yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2.8 juta hektar tetapi menurun kembali pada periode 2000-2005 menjadi sebesar 1.08 juta hektar. Pada periode tahun 1985-1987, penurunan penutupan vegetasi hutan yang sangat besar terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Pada periode 1997-2000 selain di Sumatera dan Kalimantan penurunan signifikan juga di terjadi Papua. Selanjutnya secara umum terjadi penurunan angka rata-rata penurunan penutupan vegetasi hutan pada periode 2000-2005 (http://www.dephut.go.id/informasi/unff/ COP%2013/KPH). Restorasi hutan merupakan proses pengkondisian ekosistem (tanah, vegetasi, dan kehidupan liar) untuk mencapai pola dan profil yang serupa dengan kondisi pada saat sebelum terganggu, baik secara komposisi, struktur, maupun fungsi (Alberta University 2003).
Restorasi dilakukan sebagai upaya untuk
memaksimalkan konservasi karagaman hayati dan fungsi ekosistem. Pohon yang sesuai dengan tujuan Clean Development Mechanism (mekanisme pembangunan bersih yang melibatkan negara maju dan negara berkembang) harus memiliki beberapa kriteria yang sesuai, yaitu semai dapat beradaptasi dengan mudah di tempat terbuka, merupakan spesies yang dapat tumbuh dengan cepat, serta spesies yang dapat berkompetisi dengan rumput liar dan jenis-jenis gulma lainnya (Hidayati et al. 2009).
2
Vegetasi hutan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap penurunan emisi GRK, karena hutan merupakan salah satu ekosistem penyerap CO2 yang sangat besar. Pohon-pohon yang terdapat dalam hutan menggunakan CO2 dalam proses fotosintesis (MacDicken 1997). Proses fotosintesis akan terjadi jika ada cahaya dan pigmen perantara yaitu klorofil daun. Klorofil merupakan faktor internal tanaman yang sangat mempengaruhi efisiensi dan laju fotosintesis. Tanaman yang memiliki kandungan klorofil tinggi akan sangat efisien dalam penggunaan radiasi matahari untuk melaksanakan proses fotosintesis. Tanaman tersebut juga akan mampu memanfaatkan energi matahari secara maksimal. Daun merupakan tempat utama fotosintesis. Ada sekitar setengah juta kloroplas per mm2 permukaan daun, yang di dalamnya tersimpan klorofil, pigmen warna hijau yang berfungsi sebagai penyerap cahaya. Karbondioksida memasuki daun dan oksigen keluar melalui stomata. Pada fotosintesis, tumbuhan memanfaatkan energi matahari untuk mengoksidasi air untuk melepaskan O2, dan mereduksi CO2 untuk membentuk senyawa karbon yang lebih besar, terutama gula. Pada saat klorofil menyerap cahaya, maka klorofil tersebut akan mengalami eksitasi. Energi hasil eksitasi akan dimanfaatkan untuk membentuk ATP dan NADPH. ATP dan NADPH ini akan digunakan untuk mereduksi CO2 menjadi glukosa (Lambers et al. 1998; Campbell et al. 2010). Glukosa dalam jaringan tanaman akan dimanfaatkan untuk pembentukan akar, batang, daun, bunga dan buah. Keanekaragaman jenis pohon di hutan Indonesia sangat tinggi. Namun demikian, penelitian mengenai parameter fotosintesis, khususnya parameter internal fotosintesis, pada tanaman hutan masih sangat jarang dilakukan. Dahlan (2007) telah melakukan penelitian mengenai kemampuan beberapa pohon dalam menyerap CO2 melalui pendekatan analisis karbohidrat, sedangkan Hidayati et al. (2011) meneliti kemampuan beberapa pohon dalam menyerap CO2 dikaitkan dengan kandungan klorofil daun. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk melengkapi informasi yang telah tersedia agar dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam usaha restorasi hutan.
3
Perumusan Masalah Tingginya laju deforestasi di Indonesia turut menyumbang kenaikan emisi GRK global. Deforestasi
akibat penebangan di
wilayah hutan
tropis
mengakibatkan kenaikan emisi GRK sebesar 10-20% secara global. Gejala pemanasan global akibat semakin tingginya GRK di atmosfer semakin dapat dirasakan dengan semakin banyaknya fenomena alam yang ekstrim. Fenomena alam yang ekstrim akan membahayakan kesintasan makhluk hidup di bumi jika tidak cepat ditanggulangi. Oleh karena itu perlu usaha adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Salah satu upaya mitigasi adalah dengan memanfaatkan keanekaragaman vegetasi hutan. Pohon-pohon di hutan alami sangat besar manfaatnya dalam menjaga keseimbangan ekosistem, terutama terhadap penurunan emisi GRK, karena hutan merupakan salah satu ekosistem penyerap CO2 terbesar. CO2 dimanfaatkan dalam proses fotosintesis. Usaha pemulihan hutan saat ini masih banyak menggunakan spesies-spesies introduksi sehingga ekosistem hutan yang terganggu tidak dapat pulih seperti semula. Penggunaan spesies tanaman asli dinilai sangat tepat dan masih jarang dilakukan.
Restorasi, melalui penanaman kembali tanaman asli,
sangat
diperlukan untuk mengembalikan hutan ke kondisi sebelum terganggu. Hasilhasil penelitian ilmiah mengenai tanaman asli masih sangat sedikit. Informasi ilmiah dasar mengenai tanaman merupakan faktor yang mendukung keberhasilan program restorasi. Informasi-informasi ilmiah yang perlu dikuasai adalah: 1. Parameter fotosintesis apa yang paling berperan pada setiap jenis tanaman? 2. Jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam di daerah restorasi? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui parameter fotosintesis yang paling berperan pada jenis-jenis tanaman restorasi yang ditanam. 2. Memilih dan menentukan jenis tanaman yang tepat untuk usaha restorasi.
4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kemampuan tanaman restorasi dalam berfotosintesis sehingga dapat memberi rekomendasi mengenai jenis tanaman yang cocok ditanam di lahan restorasi Resort Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
5
TINJAUAN PUSTAKA Fotosintesis Proses utama fotosintesis terjadi di kloroplas. Pada tumbuhan C3 sebagian besar kloroplas terdapat dalam sel mesofil daun. Proses reaksi fotosintesis pada tumbuhan tingkat tinggi berlangsung dua tahap, yaitu: 1) reaksi terang (Gambar1), dan 2) reaksi gelap (Gambar 2). Tahapan reaksi fotosintesis adalah sebagai berikut (Taiz & Zeiger 2003; Lambers et al. 2008; Campbell et al. 2010). 1. Penyerapan foton oleh pigmen, terutama klorofil, bekerja sama dengan dua fotosistem. Pigmen tersimpan dalam membran bagian dalam tilakoid dan menyerap sebagian besar energi dari radiasi aktif fotosintesis (PAR = Photosynthetically Active Radiation) pada panjang gelombang 400-700 nm. Pigmen ini mentransfer energi eksitasi ke pusat reaksi pada fotosistem di mana proses selanjutnya dimulai. 2. Elektron yang dihasilkan dari pemecahan molekul air dengan produksi oksigen berkesinambungan ditranspor melalui rantai transpor elektron yang tertanam dalam membran tilakoid. NADPH dan ATP yang dihasilkan dari proses ini digunakan untuk proses reaksi gelap. Kedua reaksi ini bergantung pada energi cahaya, oleh karena itu disebut reaksi terang fotosintesis. Reaksi terang mengubah energi surya menjadi energi kimia dalam ATP dan NADPH. 3. NADPH dan ATP digunakan dalam siklus reduksi karbon fotosintesis (siklus Calvin). Dalam siklus ini CO2, yang masuk melalui stomata, diasimilasi membentuk senyawa berkarbon tiga (triosa fosfat). Proses ini dapat berlangsung tanpa cahaya, oleh karena itu disebut reaksi gelap. Proses ini berlangsung di dalam stroma.
6
Gambar 1 Reaksi terang fotosintesis (Campbell et al. 2010)
Gambar 2 Reaksi gelap fotosintesis (Siklus Calvin) (Champbell et al. 2010)
7
Pada fotosintesis, tumbuhan memanfaatkan energi matahari untuk mengoksidasi air untuk melepaskan O2, dan mereduksi CO2 untuk membentuk senyawa karbon yang lebih besar, terutama gula (Champbell et al. 2010). Faktor abiotik seperti cahaya, suhu, konsentrasi CO2, uap air, keberadaan nutrisi memiliki pengaruh utama pada fotosintesis bersih, yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas. Kapasitas fotosintesis tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan abiotik tetapi juga dipengaruhi oleh umur dan posisi daun pada kanopi. Jenis atau genus yang berbeda memiliki laju fotosintesis yang berbeda. Daun Populus memiliki laju fotosintesis maksimum sebelum daun berukuran maksimum, sedangkan
daun Quercus mencapai laju fotosintesis
maksimum beberapa minggu setelah daun berukuran maksimum (Ceulemans & Saugier 1991). Laju fotosintesis daun tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a. Perbedaan jenis tumbuhan Tumbuhan berdasarkan metabolisme fotosintesisnya dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu jenis C-3, C-4, dan CAM (Crassulacean Acid Metabolism). Tanaman kehutanan umumnya termasuk C-3. Tumbuhan C-4 secara umum mempunyai laju fotosintesis tertinggi, sementara tumbuhan CAM memiliki laju fotosintesis terendah (Lakitan 2010). Contoh tanaman C-4 seperti jagung, tebu, dan sorgum. Nanas dan kaktus termasuk ke dalam tanaman CAM. Ketiga jenis tumbuhan tersebut juga memiliki anatomi yang berbeda. Tumbuhan C-4 sel seludangnya berkembang baik dan memiliki klorofil (Taiz & Zeiger 2003; Campbell et al. 2010). Perbedaan dalam golongan tumbuhan yang sama juga terjadi. Tanaman kacang tanah dan bunga matahari merupakan tanaman yang yang senang cahaya matahari (sun-adapted), tingkat kejenuhan terhadap cahayanya rendah. Tanaman C-4 dapat beradaptasi pada intensitas cahaya dan suhu tinggi, dan jenis tanaman ini lebih efisien dalam memanfaatkan air dalam kondisi tersebut. Tanaman C-3 cenderung mencapai puncak laju fotosintesis pada intensitas cahaya dan suhu moderat, dan akan terganggu oleh suhu tinggi dan intensitas cahaya penuh (Odum 1996).
8
b. Umur daun Daun muda umumnya mempunyai kemampuan fotosintesis yang masih rendah. Kemampuan fotosintesis akan meningkat dengan bertambahnya umur dan luasan daun. Setelah ukuran daun mencapai maksimum, maka daun akan menjadi tua dan berubah warna menjadi kuning karena klorofil mulai rusak. Rusaknya klorofil akan menurunkan kemampuan fotosintesis daun (Salisbury & Ross 1995; Lakitan 2010). c. Letak daun Daun yang terletak di bagian dalam tajuk kurang mendapat cahaya matahari. Laju fotosintesis daun yang terletak di bagian dalam tajuk akan lebih rendah dibanding dengan daun yang terletak di tepi luar tajuk (Salisbury & Ross 1995; Lakitan 2010). Susunan daun dalam tajuk juga mempengaruhi efektifitas penyerapan cahaya matahari. Jika letak daun mendatar dan sebagian besar cahaya datang dari atas, maka daun bagian atas akan terpajan pada cahaya matahari penuh, sehingga fotosintesis pada daun tersebut akan terlalu jenuh, dan banyak cahaya yang diserap menjadi tidak berguna (Salisbury & Ross 1995). d. Fase pertumbuhan Tumbuhan yang sedang tumbuh, sedang berbunga, dan berbuah, memiliki laju fotosintesis yang tinggi dan laju translokasi fotosintat yang juga tinggi. Tumbuhan yang sedang dalam fase istirahat memiliki laju fotosintesis yang rendah (Lakitan 2010). e. Intensitas cahaya matahari Setiap jenis tumbuhan membutuhkan intensitas cahaya matahari yang berbeda-beda. Ada jenis tumbuhan yang pertumbuhannya baik pada cahaya matahari penuh (sun plant), ada juga tumbuhan yang pertumbuhannya baik pada kondisi ternaungi (shade plant). Bahwa cahaya sering membatasi fotosintesis terlihat dengan menurunnya laju penambatan CO2 ketika tumbuhan terkena bayangan awan sebentar. Daun naungan umumnya mempunyai klorofil lebih banyak, khususnya klorofil b, terutama karena tiap kloroplas mempunyai lebih banyak grana dibandingkan pada daun matahari (Salisbury & Ross 1995; Lambers et al. 2008; Lakitan 2010).
9
f. Konsentrasi gas CO2 Gas CO2 merupakan bahan yang dibutuhkan untuk fotosintesis. Jika konsentrasi gas meningkat, maka hasil fotosintesis akan meningkat pula. Akan tetapi secara umum konsentrasi gas yang melebihi 1000-2000 ppm akan berpengaruh buruk pada fotosintesis (Salisbury & Ross 1995; Lambers et al. 2008; Lakitan 2010). g. Suhu udara Rentang suhu yang memungkinkan tumbuhan berfotosintesis sangat luas. Konifer dapat berfotosintesis sangat lambat pada suhu -6 oC atau lebih rendah. Pengaruh suhu terhadap fotosintesis bergantung pada spesies, keadaan lingkungan tempat tumbuh, dan keadaan lingkungan saat pengukuran. Secara umum, suhu optimum untuk fotosintesis sama dengan suhu siang hari di tempat tumbuhan tersebut biasa hidup. Enzim sensitif terhadap suhu. Proses reduksi karbondioksida pada karbohidrat memiliki banyak reaksi enzim. Salah satu enzim yang terdapat dalam daun dengan konsentrasi tinggi yaitu ribulosa bifosfat karboksilase (Rubisco) (Salisbury & Ross 1995; Lakitan 2010). h. Ketersediaan air Air merupakan bahan baku fotosintesis selain CO2. Kekurangan air dapat menghambat laju fotosintesis karena pengaruhnya terhadap turgiditas sel penjaga stomata. Jika tumbuhan kekurangan air, maka turgiditas sel penjaga akan menurun, sehingga stomata menutup. Menutupnya stomata akan menghambat serapan CO2 (Hopkins & Hüner 2004; Lakitan 2010). i. Unsur hara Unsur hara secara tidak langsung mempengaruhi proses fotosintesis. Jika unsur esensial tidak terpenuhi, laju fotosintesis akan berkurang. Kapasitas fotosintesis umumnya sensitif dengan kandungan nitrogen. Nitrogen sangat berperan dalam proses fotosintesis, yakni sebagai bagian dari molekul klorofil, pembawa redoks pada rantai transpor elektron, dan berperan pada semua reaksi enzimatis
dalam
metabolisme
fotosintesis.
Nitrogen
juga
menentukan
produktivitas primer (Hopkins & Hüner 2004). Tumbuhan menanggapi kurangnya pasokan unsur esensial dengan menunjukkan gejala kekahatan yang khas. Pada tanaman yang kekurangan Mg, karena Mg adalah bagian esensial molekul
10
klorofil, maka klorofil tak terbentuk tanpa Mg atau terbentuk dalam jumlah sedikit bila konsentrasi Mg rendah (Salisbury & Ross 1995). j. Kesehatan daun Daun yang terserang penyakit tidak dapat melakukan fotosintesis dengan baik. Penyakit pada daun akibat patogen dapat menyebabkan klorosis dan nekrosis. Daun yang mengalami klorosis dan nekrosis akan mengalami degradasi klorofil sehingga laju fotosintesisnya terhambat (Hopkins & Hüner 2004) k. Polutan udara Beberapa polutan dapat mempengaruhi fotosintesis, seperti gas SOx, NOx, ozon,logam berat, dan hujan asam. Zat-zat tersebut dapat mengganggu proses pembentukan atau mempengaruhi umur kloroplas, serta mengganggu proses biokimia yang terjadi di daun (Hopkins & Hüner 2004). Lamanya pemaparan polutan pada tumbuhan akan mengakibatkan terakumulasinya polutan tersebut. Hal ini antara lain dapat terjadi pada sistem membran kloroplas, tempat proses awal fotosintesis, terjadi perubahan pada strukturnya (Treshow & Anderson 1991). Klorofil dan Karakteristiknya Klorofil terdapat dalam kloroplas dalam jumlah banyak, yaitu pada membran tilakoid, sering terikat longgar pada protein, tetapi mudah diekstraksi ke dalam pelarut lipid seperti aseton dan eter (Harborne 1987). Tumbuhan tingkat tinggi mengandung klorofil a dan klorofil b. Klorofil a berwarna hijau tua dengan rumus kimia C55H72O5N4Mg, sedang klorofil b berwarna hijau muda dengan rumus kimia C55H70O6N4Mg. Rumus bangunnya berupa cincin yang terdiri atas 4 pirol (tetrapirol) dengan Mg sebagai inti. Struktur klorofil a mempunyai gugus metil (CH3), sedangkan klorofil b mempunyai gugus aldehida (CHO) (Harborne 1987; Champbell et al. 2010), seperti terlihat pada Gambar 3. Molekul klorofil terdiri dari dua bagian yaitu kepala porfirin dan rantai hidrokarbon yang panjang. Porfirin adalah tetrapirol siklik, yang terdiri dari empat nitrogen yang mengikat cincin pirol yang dihubungkan dengan empat rantai metana (Champbell et al. 2010).
11
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan klorofil yaitu: 1) Faktor genetik, 2) Cahaya. Pada beberapa kecambah tanaman Angiospermae, klorofil dapat terbentuk tanpa cahaya. Tanaman lain yang ditumbuhkan di tempat gelap tidak berhasil membentuk klorofil, atau mengalami klorosis. Terlalu banyak cahaya berpengaruh buruk kepada klorofil. Larutan klorofil yang dihadapkan kepada sinar kuat tampak berkurang hijaunya. Daun-daun yang terus-menerus terpapar sinar matahari langsung, warnanya menjadi hijau kekuning-kuningan. 3) Oksigen. Kecambah yang ditumbuhkan di tempat gelap tidak dapat membentuk klorofil jika tidak diberikan oksigen kepadanya. 4) Karbohidrat dalam bentuk gula sangat menolong dalam pembentukan klorofil, terutama pada daun yang tumbuh di tempat gelap. 5) Nitrogen dan magnesium merupakan bahan pembentuk klorofil, dan merupakan suatu keharusan. Kekurangan salah satu zat tersebut akan mengakibatkan klorosis. 6) Air merupakan faktor keharusan. Kekurangan air mengakibatkan desintegrasi klorofil, seperti terjadi pada rumput dan pohon-pohon di musim kering. 7) Temperatur yang paling baik untuk pembentukan klorofil adalah antara 26o-30 oC (Dwidjoseputro 1986).
Gambar 3 Struktur molekul klorofil (Chambell et al. 2010)
12
Molekul klorofil berperan sebagai antena untuk menangkap cahaya dan mentransfer energi eksitasinya ke pusat reaksi fotosistem I. Sejumlah besar klorofil terdapat dalam LHC (Light Harvesting Complex). Rasio klorofil a dan klorofil b sekitar 1.12 untuk LHC. Klorofil b bekerja sama penuh dengan LHC dan sedikit dengan kompleks PSI dan PSII. Daun terlihat berwarna hijau dalam cahaya putih karena klorofil lebih efisien berfungsi sebagai penyerap cahaya pada panjang gelombang biru dan merah daripada pada spektrum hijau, yang praktis dipantulkan seluruhnya (Lambers et al. 2008) sehingga daun nampak berwarna hijau. Cahaya (dalam hal ini satuan partikel cahaya terkecil yaitu foton) yang ditangkap oleh klorofil akan mengeksitasi klorofil ke tingkat energi yang lebih tinggi. Klorofil yang menyerap cahaya biru akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi dari pada klorofil yang menyerap cahaya merah. Pada tingkat energi yang lebih tinggi, klorofil dalam kondisi tidak stabil, sehingga akan melepaskan energinya dalam bentuk panas ke lingkungan dan akan kembali ke tingkat eksitasi yang lebih rendah, di mana tingkat eksitasi ini akan stabil selama maksimum beberapa nanodetik (10-9 detik). Oleh karena itu, proses pemanenan energi harus terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Energi inilah yang digunakan untuk proses fotosintesis (Taiz & Zeiger 2003). Pada tingkat tereksitasi terendah ada beberapa kemungkinan penyaluran energi terjadi. Kemungkinan pertama, energi akan dilepas perlahan secara radiatif sebagai foton pada panjang gelombang yang lebih panjang melalui fluorosen. Kemungkinan kedua, energi akan segera dilepaskan kembali dalam bentuk panas. Kemungkinan ini umumnya yang cukup besar terjadi pada tumbuhan di alam. Kemungkinan ketiga, klorofil mungkin akan menyalurkan energinya kepada molekul lain seperti molekul oksigen. Kemungkinan keempat, energi akan dimanfaatkan untuk reaksi fotokimia dari fotosintesis untuk membentuk ATP dan NADPH (Taiz & Zeiger 2003). Keempat bentuk penyaluran energi ini merupakan kemungkinan umum dari mekanisme ebergi dalam sistem cahaya fotosintesis. Pada kondisi lingkungan yang baik bagi tanaman, maka penyaluran dalam bentuk reaksi fotokimia relatif besar, sehingga proses fotosintesis akan berjalan dengan laju yang tinggi, sejalan dengan tingginya laju transpor elektron dalam reaksi terang fotosintesis. Namun
13
dalam keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti cekaman kekeringan, keasaman, dan suhu rendah/tinggi, penyaluran energi ke arah fotokimia akan mengalami hambatan (Taiz & Zeiger 2003). Prinsip dasar penyerapan cahaya, sering disebut Hukum Stark Einstein, adalah bahwa setiap molekul hanya dapat menyerap satu foton setiap kali, dan foton ini menyebabkan eksitasi satu elektron saja. Energi dalam tiap foton berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Cahaya biru dan ungu dengan gelombang yang lebih pendek memiliki lebih banyak foton energetik dibanding cahaya merah atau jingga dengan gelombang yang lebih panjang. Satu mol (6.02 x 1023) foton sering disebut sebagai satu einstein (Salisbury & Ross 1995; Campbell et al. 2010; Lakitan 2010). Tumbuhan sebagai Penyerap CO2 Agus dan van Noordwijk (2007) melaporkan bahwa pembakaran hutan alami pada lahan gambut menyebabkan pelepasan CO2 sebanyak 734 ton ha-1 yang berasal dari C yang tersimpan di vegetasi sebasar 200 ton ha-1. Tetapi jumlah tersebut mungkin masih lebih rendah dari jumlah CO2 yang diemisikan sebenarnya, karena selama pembakaran hutan lapisan atas gambut juga terbakar dan melepaskan CO2. Seandainya gambut yang terbakar setebal 10 cm, maka akan terjadi penambahan emisi CO2 sebesar 220 ton ha-1 karena tanah gambut mengandung C sekitar 6 ton ha-1 cm-1. Pada tahun 2007 (PEACE 2007) Indonesia dianggap sebagai salah satu negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia. Emisi GRK terutama berasal dari kegiatan alih guna lahan hutan dan pengeringan lahan gambut menjadi lahan pertanian (Tabel 1). Negara emitor GRK terbesar sebenarnya adalah USA dan China, jumlah GRK yang diemisikan dua kali lipat lebih besar dari emisi asal Indonesia. Bedanya, emisi GRK dari kedua negara industri tersebut berasal dari penggunaan bahan bakar fosil dan industri (Hairiah 2008).
14
Tabel 1
Emisi GRK (Mt CO2) dari berbagai sumber emisi dari tujuh negara emitor utama (sumber data PEACE 2007)
Emisi
USA
China
Indonesia
Brazil
Rusia
India
Energi
5752
3720
275
303
1527
1051
442
1171
141
598
118
442
-403
-47
2563
1372
54
-40
213
174
35
43
46
124
6005
5017
3014
2316
1745
1177
Pertanian Kehutanan & pengeringan gambut Limbah Total
Catatan: 1. Emisi GRK rata-rata 1.5-4.5 Gt ha-1 th-1; Gt = giga ton = 1015 g = 109 ton Mt=Mega ton =106 ton; Satuan CO2/C = 3.67 2. Data hasil pengukuran emisi GRK dari sumber lainnya masih terus dibutuhkan 3. Nilai negatif pada bagian kehutanan dan pengeringan gambut di USA, China, dan India adalah dikarenakan keberhasilan kedua negara tersebut dalam penghutanan kembali
CO2 masuk ke dalam daun melalui stomata dengan cara difusi. Stomata yang terbuka penuh memiliki ukuran lebar 5-15 µm dan panjang sekitar 20 µm. Jumlah total area stomata sekitar 0.5-2% dari luas total daun. Dari beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa K+ ditemukan dalam level amat tinggi pada sel penjaga stomata yang terbuka, dan amat rendah pada sel penjaga stomata yang tertutup. Oleh karena itu akumulasi K+ pada sel penjaga mengontrol pembukaan stomata. Faktor lain yang mempengaruhi pembukaan stomata adalah cahaya, karbon dioksida, keberadaan air, dan suhu. Stomata akan menutup pada kondisi CO2 yang tinggi, tetapi menutupnya stomata pada kondisi tersebut dapat diinduksi agar membuka jika ditempatkan pada lingkungan bercahaya. Cahaya biru memicu terbukanya stomata (Hopkins & Hüner 2004). Penurunan difusi CO2 karena penutupan stomata akan mengurangi laju fotosintesis (Hidayati 1999). Tumbuhan dapat menyerap gas CO2 melalui proses fotosintesis berdasarkan rumus: Energi (cahaya matahari)
6 CO2 + 12 H2O C6H12O6 + 6 O2 + 6 H2O klorofil
15
Dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa fotosintesis merupakan reaksi antara CO2 dan air untuk memproduksi glukosa, karbohidrat berkarbon 6 atau disebut heksosa (Hopkins & Hüner 2004). Fotosintesis tidak dapat berjalan tanpa energi dari sinar matahari dan molekul klorofil sebagai penangkap energinya. Hutan mempunyai potensi yang besar dalam pengurangan kadar CO2 melalui konservasi dan manajemen hutan. Hutan sekunder muda dalam pertumbuhannya memerlukan CO2 sehingga banyak dihasilkan biomassa tumbuhan melalui proses fotosintesis hutan yang sedang tumbuh (Heriyanto & Siregar 2007). Fotosintesis dan Pertumbuhan Pertumbuhan tanaman bergantung kepada kemampuan tanaman tersebut untuk menyerap karbon di atmosfer dan mengolahnya menjadi senyawa organik dengan memanfaatkan energi cahaya melalui proses fotosintesis.
Kurang
lebih
40% dari berat kering tanaman mengandung karbon, yang dihasilkan dari fotosintesis. Proses ini vital untuk pertumbuhan dan berlangsung pada setiap tanaman serta merupakan bagian utama dari siklus pertumbuhan (Lambers et al. 2008). Pertumbuhan merupakan akumulasi bahan organik. Kandungan karbon, komponen struktural utama tanaman berbeda untuk jenis tanaman yang berbeda. Contohnya, kandungan karbon pada pinus sebesar 50% dari berat kering. Model pertumbuhan tegakan pohon bergantung pada keseimbangan karbon, laju fotosintesis dan respirasi.
Pertumbuhan bersih merupakan selisih antara
pertumbuhan dan senesen. Proporsi respirasi dari produksi fotosintesis total pada hutan Pinus sylvestris sekitar 40-50% dan mencapai 90% pada hutan Pinus radiata (Raghavendra 1991). Pohon dengan laju pertumbuhan cepat memiliki laju asimilasi CO2 relatif lebih tinggi pada wilayah beriklim tropis (Hidayati et al. 2009). Diduga laju asimilasi CO2 dapat dijadikan indikator untuk mengevaluasi karakteristik pertumbuhan. Kajian mengenai fotosintesis pohon jauh lebih sedikit dipelajari dibandingkan dengan fotosintesis tanaman budidaya karena beberapa alasan yaitu: ukuran pohon dewasa mempersulit proses pengambilan sampling, pohon di hutan
16
alami memiliki tingkat keragaman yang tinggi, kesulitan untuk pengukuran laju fotosintesis seluruh jenis tegakan pohon di hutan, minimnya model pertumbuhan pohon ditinjau dari sudut pandang proses fisiologi (Raghavendra 1991). Deskripsi Tanaman Restorasi TNGGP Beleketebe (Sloanea sigun (Blume) K. Schumann) Beleketebe atau ki somang adalah nama daerah S. sigun. Tumbuh di Jawa khususnya Jawa Barat pada ketinggian 600 – 2100 m dpl. Daerah penyebaran selain Indonesia adalah Birma, Kamboja, India, Malaysia, Myanmar, dan Thailand. Jenis ini tumbuh tersebar atau kadang-kadang berkelompok di hutan hujan primer yang lembab, terutama pada tanah subur. Pohon ini berbunga kecil, kuning muda sampai putih. Bunga-bunga tersebut tumbuh berkelompok atau tunggal pada ranting baru. Buahnya berukuran sedang, bulat, dan berbulu panjang seperti rambutan, berwarna hijau muda (Lembaga Biologi Nasional Indonesia – LIPI 1977). Jenis ini termasuk keluarga Elaeocarpaceae. Pohonnya dapat mencapai 30 m dengan diameter 120 cm. Diameter bebas cabang tidak berdaun mencapai 40 cm. Batangnya lurus, tidak berbanir, dengan kulit yang licin dan berwarna abu-abu tua. Tajuknya lebat sekali, bulat, dan daunnya gugur selama ± dua hari yang diikuti oleh pertumbuhan daun muda, kemudian berbunga di ujung-ujung ranting. Daunnya tunggal, tersusun dalam bentuk spiral dan kadang-kadang agak berhadapan, berbentuk bulat telur sampai jorong, ujungnya melancip, tidak berbulu, permukaan atasnya mengkilap bertangkai panjang (Lembaga Biologi Nasional – LIPI 1977). Tangkai daun berukuran 2-2.5 cm, ramping, bengkak di ujung. Helai daun berbentuk elips berukuran 12-14 cm × 5-6 cm, tipis, vena lateral berjumlah 5 atau 6 per sisi, tepi daun bergigi. Bunga soliter,
sepal
berjumlah 4, kelopak 4, berwarna kekuningan. Benang sari berukuran 5-7 mm. Ovarium bulat telur (Backer & van Den Brink 1965). Termasuk pohon lapis pertama atau kanopi (van Steenis 2006).
17
Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) D. imbricatus yang memiliki nama padanan Podocarpus imbricatus Blume, termasuk ke dalam famili Podocarpaceae yang merupakan kelompok tanaman berdaun jarum atau konifer. Jamuju, nama umum, juga dikenal dengan nama lokal: ampinur bunga (Karo), medang cemara (Melayu), ambun (Minangkabau), ki jamuju, ki mades, kiputri, kicemara (Sunda), aru, taji, tekit, camara ukung, cemara rante, cemara waris (Jawa), cemara binek (Madura), kaju (Sumbawa), kaju angin, camba-camba (Banten) (Heyne 1987), embun (Sumatera, Sulawesi), cemba-cemba (Sulawesi), igem (Filipina), sha-mo-pin (Burma), podo churcher atap (Malaysia), thong nang (Vietnam). Sebaran tumbuh meliputi selatan China, Indochina, Burma, Thailand, Malaysia, hingga Vanuatu dan Fiji. Di Indonesia jenis ini tersebar di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, dan Jawa Barat. Merupakan tanaman dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 750 – 2500 dpl. Tinggi pohon jamuju rata-rata 50 m, termasuk pohon mencuat (van Steenis 2006) dengan diameter mencapai 100-200 cm. Termasuk tanaman moderat-lambat, walaupun pertumbuhannya lebih cepat di daerah yang disinari matahari penuh. Jamuju berdaun majemuk berbentuk lancip membentuk apiculus yang halus. Daun dewasa jamuju menyebar, lurus, seperti skala, rebah pada 1 sampai 4 sisi, berukuran 1.0-1.8 mm x 0.4-1.0 mm. Daun involucralnya menyebar dan membuka pada reseptakel pada saat muda. Jamuju termasuk tanaman yang selalu hijau, tidak menggugurkan daunnya pada musim kemarau, memiliki kanopi yang lebat berbentuk piramid hingga oval (Backer & van Den Brink 1963). Jamuju memiliki pepagan keras, permukaan kasar berlentisel disana-sini, pada pohon tua mengelupas dalam bentuk lempengan tebal kecil-kecil memanjang vertikal menggelendong. Hidup di hutan campuran basah atau di hutan cemara. Penyebaran jenis D. imbricatus di Taman Nasional Gede Pangrango mengelompok, karena jenis ini banyak ditemukan pada ketinggian 1400 sampai 2045 m dpl. D. imbricatus di Taman Nasional Gede Pangrango tumbuh pada ketinggian tempat 1400 sampai 2045 m dpl dan kelerengan 3 sampai 40 % dengan suhu 15 sampai 25 oC dengan kelembaban 73 sampai 100%. Jenis tanah yang cocok untuk jenis D. imbricatus adalah jenis tanah regosol dan andosol dengan
18
kemasaman tanah yang termasuk kategori asam sampai sangat asam (Bramasto 2008). Ki Sireum (Syzygium lineatum (Bl.) Merr. & Perry) Pohon ini masuk ke dalam keluarga Myrtacea. S. lineatum memiliki nama lokal kayu udang Sumatera), ki sireum (Sunda, Jawa), nagasari rangkang (Jawa), phung kha, kelat puteh, daeng sok phlueak, khwat (Thailand), lagi-lagi (Philipina), kelat lapis (Malaysia). Nama sinonim jenis ini di antaranya adalah S. longiflorum. Habitusnya pohon. Cabangnya berwarna coklat kehitaman ketika kering, berbentuk silinder tetapi biasanya sedikit runcing di kedua ujungnya, membulat pada bagian melintang, permukaannya halus; cabang tua putih keabu-abuan. Tangkai daun berukuran 1-1.2 cm; daun elips berukuran 6-8 x 2.5-3.5 cm, kasar, abaksial (bagian bawah daun) sedikit berwarna saat kering, adaksial (bagian atas daun) berwarna coklat tua dan mengkilap saat kering. Abaksial memiliki kelenjar banyak, adaksial berkelenjar kecil, tulang daun sekunder padat, terpisah dengan jarak 1 mm, dengan sudut 75o dari tulang daun bagian tengah. Tulang daun intramarginal kurang dari 1 mm dari batas pinggir, bagian dasar lebar dan tumpul. Puncak daun melancip dengan titik puncak 1-1.5 cm. Berbunga banyak dengan ukuran 8-10 cm, bercabang tiga, kuncup bunga berukuran 6-7 mm. Kelopak bunga berbentuk lobus semiorbital pendek. Kelopak bunga terpisah berukuran 3 mm. Benang sari berukuran 5-7 mm (Backer & van Den Brink 1965). Lame (Alstonia scholaris (L) R. Br.) Lame merupakan anggota famili Apocynaceae, memiliki nama daerah kayu gabus, kayu skola, pulai, lame, pule (Indonesia); chattin (Bengal); lettok (Burma); birrba, black board tree, dita bark, milk wood, milkwood pine, milky pine, white cheesewood (Inggris); dalipoen, dita (Filipina); chatian (India); pulai, pule, rite (Indonesia); pule (Jawa); pulai, pulai linlin (Malaysia); chataun, chhatiwan (Nepal); sattaban, teenpet, teenpethasaban (Thailand); chatiyan wood, pulai, shaitan wood, white cheese wood (nama dagang); caay mof cua, caay suwxa (Vietnam). Habitus A. scholaris adalah pohon besar, dengan tinggi sekitar 40 m. Lame memiliki lateks susu yang mengalir cepat ketika dipotong. Batang berwarna
19
abu-abu gabus agak ke abu-abu-putih kulit. Daun berkarang di aksila atas dengan jumlah 4-8 daun. Tangkai daun tangkai berukuran 1-1.5 cm, elips atau lanset, gundul atau berbulu jarang, meruncing ke arah dasar, dengan ukuran daun 11.5-23 x 4-7.5 cm. Permukaan atas hijau tua, bagian bawah hijau-putih dengan 25-40 pasang urat lateral pada setiap sisi pelepah berjarak 2-6 mm terpisah. Ujung daun bulat atau meruncing ke arah dasar. Bunga majemuk, malai terminal, hingga 120 cm; berukuran 7-10 mm berwarna putih, krem atau hijau; tabung berbulu; lobus jarang atau padat puber, 1,5-4 mm, margin kiri tumpang tindih; sangat wangi. Buah terjumbai, dengan dua lobus, folikelnya pecah, coklat atau hijau, kering atau berkayu, berbentuk gelendong lonjong, berukuran 15-32 cm, 4-6 mm,
biji
cokelat, berukuran 4-5 mm x 0.9 -1.2 mm, dengan seberkas rambut 7-13 mm pada setiap akhir. Lame ditemukan pada ketinggian 0-900 m, dengan suhu tahunan rata-rata 12-32 oC dan curah hujan tahunan rata-rata 1200-1400 mm. Jenis ini baik hidup pada jenis tanah bermacam-macam, termasuk aluvial.
Lateksnya bisa dibuat
permen karet berkualitas baik. Kayunya direkomendasikan sebagai spesies kayu bakar untuk daerah Patana, Sri Lanka. Kulit kayu menghasilkan serat, dan kayu dianggap sebagai cocok untuk produksi pulp dan kertas. Bunga A. scholaris menghasilkan minyak esensial. Kedokteran aborigin Australia menggunakan kulit kayu untuk pengobatan sakit perut dan demam, lateks untuk neuralgia dan sakit gigi. Di India, kulit kayu digunakan untuk mengobati keluhan usus (worldagroforestrycentre.org; Backer & van Den Brink 1965). Manglid (Manglietia glauca Bl.) Manglid masuk ke dalam keluarga Magnoliaceae. Nama botaninya adalah Manglietia
glauca,
dengan
nama
sinonim
Magnolia
blumei
(worldagroforestrycentre.org; Backer & van Den Brink 1963). Jenis ini memiliki nama daerah: manglid (Sunda); baros, cempaka bulus (Jawa); antuang, madang limpaung, sitibai (Minangkabau); cempaka. Manglid
berupa
pohon,
dengan
tinggi mencapai 25 – 40 m dengan bebas cabang 25 m dan diameter mencapai 150 cm, tersebar di ketinggian 1000 – 1500 m dpl. Hidupnya berkelompok dan di tempat yang lembab. Tajuk membulat, lebat, percabangannya berbentuk garpu
20
yang dimulai jauh dari atas tanah (Heyne 1987). Daun tunggal bentuk elips memanjang atau elips melebar, kebanyakan bulat telur memanjang, ukuran 13-18 cm, panjang kadang sampai 25 cm. Ujung dan pangkal daun runcing, tangkai daun panjang. Tidak berbulu, abaksial daun berwarna abu-abu kebiruan, bagian adaksial hijau muda agak mengkilap, tersusun spiral. Bunga terminal, soliter, besar, tangkai panjang 2.5 - 4 cm, berwarna kuning muda, harum, kelopak 9-13 tersusun dalam 3 lingkaran, benang sari banyak dan tersusun spiral, tangkai benang sari panjang atau pendek. Ovary ada 4 atau lebih pada masing-masing karpel. Penyerbukan dibantu oleh lebah madu dan berbunga sepanjang tahun. Buah majemuk, berbentuk kerucut (kegelvormig) panjang 6-8 cm, pada permukaan berwarna hijau dengan titik-titik putih, kemudian menjadi coklat hitam. Biji 2-6 banyaknya, kadang sampai 12, berwarna merah (http://www.dephut.go.id). Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) S. wallichii termasuk famili Theaceae, tinggi pohonnya dapat mencapai 40 m, termasuk pohon lapis kedua/kanopi (van Steenis 2006), dengan panjang batang bebas cabang sampai 25 m dan diameter sampai 250 cm. Tidak berbanir, kulit luar berwarna merah muda, merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas. Kulit hidup tebalnya sampai 15 mm berwarna merah dan di dalamnya terdapat miang gatal. Tajuknya bulat sampai lonjong, lebat, hijau tua, mengkilat, dengan daun muda berwarna merah jambu. Daunnya tunggal, tebal, bagian abaksial hijau kebiru-biruan, berbentuk jorong. Bunganya putih, tunggal, terdapat pada ketiak daun dan berkelompok pada ujung ranting. Buahnya agak bulat, berwarna putih perak seperti sutra saat muda, coklat dan pecah bila sudah tua (Sastrapradja et al. 1977). Puspa tumbuh pada tanah kering dan tidak memiliki keadaan tekstur dan kesuburan tanah, sehingga baik untuk reboisasi padang alang-alang, belukar dan tanah kritis. Jenis ini memerlukan iklim basah sampai agak kering, hidup pada dataran rendah sampai di dataran pegunungan dengan ketinggian 1000 m dpl (Martawijaya et al. 1989). Puspa dapat tumbuh pada kisaran iklim, habitat dan tanah yang luas. Kebutuhan akan cahaya tergolong sedang, sering berkelompok
21
dan terdapat pada dataran rendah sampai hutan dataran tinggi, akan tetapi terutama terdapat pada hutan yang terganggu dan hutan sekunder. Adapun persebaran alami Puspa yaitu Brunei, India, China, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Nepal, Papua, Philipina, Thailand dan Vietnam (Agroforestry Data Base 2007). Rasamala (Altingia excelsa Noronha) Rasamala dikelompokkan ke dalam famili Hamamelidaceae, memiliki nama daerah rasamala, mala, tulasan, atau mandung. Jenis ini menyebar mulai dari Himalaya menuju wilayah lembab di Myanmar hingga Semenanjung Malaysia, ke Sumatera dan Jawa. Di Jawa, jenis ini hanya tumbuh di wilayah barat dengan ketinggian 500-1500 m dpl, di hutan bukit dan pegunungan lembab. Di Sumatera, A. excelsa tersebar di Bukit Barisan. Tumbuh alami terutama pada tapak lembab dengan curah hujan lebih 100 mm per bulan dan tanah vulkanik. Jenis ini digunakan untuk penanaman terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ditanam pada jarak rapat, karena pohon muda cenderung bercabang jika mendapat banyak sinar matahari. Pohon selalu hijau, tinggi dapat mencapai 40-60 m dengan tinggi bebas cabang 20-35 m, diameter hingga 80-150 cm. Kulit kayu halus, abu-abu, dan kayunya merah. Pohon yang masih muda bertajuk rapat dan berbentuk piramid, kemudian berangsur menjadi bulat setelah tua. Letak daun bergiliran, bentuknya lonjong, panjangnya 6 - 12 cm, dan lebarnya 2.5-5.5 cm, dengan tepi daun bergerigi halus. Bunga berkelamin satu. Bunga jantan dan betina terpisah pada pohon yang sama. Malai betina terdiri dari 14-18 bunga, berkumpul menyerupai kepala. A. excelsa tumbuh alami terutama di bukit campuran yang lembab dan hutan pegunungan. Jenis ini sering ditemukan hidup berkelompok dengan spesies Podocarpus, Quercus dan Castanopsis. Ditemukan pada ketinggian 500-1500 m, dengan rata-rata curah hujan tahunan lebih 100 mm. Rasamala baik hidup di tanah vulkanik atau kadang-kadang pada tanah di atasnya terdapat batuan sedimen (http://www.worldagroforestry.org).
22
Saninten (Castanopsis argentea (Bl.) A.DC.) Saninten masuk ke dalam famili Fagaceae. Ia memiliki nama daerah kandik kurus, paning-paning, rasak, selasik (Sumatera), berangan, saninten, sarangan, dan wrakas (Jawa). Daerah penyebaran meliputi Sumatera Barat, Jawa, Papua, Myanmar, dan Malaysia (Heyne 1987). Habitus pohon bertajuk lebar dengan ketinggian 15-35 m, diameter 0.5-1 m, dengan panjang batang bebas cabang sampai 25 m, tidak berbanir (http://www.d-forin.com). Daun pohon saninten berbentuk lancip memanjang (lanset) dengan ukuran panjang 7-12 cm, lebar 2-3.5 cm, bagian terlebar di tengah, permukaan daun licin berlilin, dan bagian bawahnya berwarna abu-abu keperakan ditutupi bulu-bulu menyerupai bintang atau sisik yang lebat. Jika dibanding dengan daun jenis lain, C. Argentea lebih terlihat keperakan (Backer & van Den Brink 1965). Tumbuhan ini berdaun tunggal dengan kedudukan berseling dan tersusun seperti spiral dan daun penumpu mudah luruh. Ahli botani van Steenis (1972) menyatakan bahwa daun penumpu (stipula) ditutupi bulu yang lebat, panjang daun berkisar antara 10-15 mm dan lebar 2-3 cm. Salah satu ciri khas organ vegetatifnya, yaitu bila daun dilipat maka akan terlihat garis lilin berwarna putih memanjang pada bagian daun di sebelah atas. Kulit batang pohon berwarna hitam, kasar, dan pecah-pecah dengan permukaan batang tidak rata, terdapat alur-alur memanjang pada batang yang tak lain adalah garis empulur yang menonjol keluar. Hal ini merupakan salah satu ciri khas organ vegetatif famili Fagaceae. Kayu terasnya berwarna coklat kelabu sampai merah muda, kayu gubal/bagian tengah berwarna putih, kuning muda, dan kadang-kadang kemerah-merahan dengan ketebalan 5-6 cm (Prawira 1990). Pohon saninten berbunga pada Agustus-Oktober dan berbuah pada November-Februari. Bunga jantan tersusun dalam untaian berbentuk bulir sepanjang 15-25 cm, bunga betina tumbuh menyendiri dengan panjang 5-15 cm, diameter 2-4 mm, dan bunga berwarna kuning keputihan. Buahnya bertangkai seperti buah rambutan, berkelompok di mana kulit buah ditutupi oleh duri yang tumbuh berkelompok, ramping, tajam, dan berkayu. Buah berbentuk bulat telur dengan duri mencuat pada empat sisi yang berisi tiga biji berbentuk tipis dan
23
cekung. Biji biasanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan dengan cara direbus atau dibakar (van Steenis 1972).
Keadaan Umum Lokasi Penelitian Area restorasi terletak di Resort Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) (06o46’.241” LS; 106o50’.447”BT) pada ketinggian 620709 m dpl, berdekatan dengan Pusat Pendidikan Konservasi Alam (PPKA) Bodogol (Gambar 4).
Gambar 4 Lokasi restorasi Resort Bodogol TNGGP (tanda panah menunjukkan lokasi) (Balai TNGGP) Bagian dari wilayah ini merupakan lahan pertanian aktif dan sisanya merupakan lahan pertanian yang telah ditinggalkan. Lahan pertanian di wilayah ini merupakan milik TNGGP. Menurut sejarahnya, lahan ini dulunya milik Perum Perhutani Unit III, perusahaan publik yang bertugas mengelola produksi kayu, dari tahun 1978-2003. Tiga spesies kayu utama yang ditanam monokultur di wilayah ini adalah Altingia excelsa, Agathis damara, dan Pinus merkusii. Setelah penebangan pada tahun 2003, wilayah yang terbuka dimanfaatkan oleh petani
24
lokal sampai sekarang, dan wilayah ini menjadi bagian dari TNGGP. Para petani menanam tanaman tahunan seperti jagung, singkong, cabai, kacang panjang, dan lain-lainnya. Sementara, lahan yang ditinggalkan didominasi oleh tanaman liar. Karakteristik lahan dapat dilihat pada Tabel 2. Tahun 2009 UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas menanam sekitar 2400 benih dari 8 jenis tanaman yang secara alami dapat ditemukan di hutan TNGGP. Penanaman dilaksanakan di lahan seluas 4 ha secara acak. Kedelapan spesies pohon tersebut adalah Altingia excelsa, Alstonia scholaris, Castanopsis argentea, Dacrycarpus imbricatus, Manglietia glauca, Syzygium lineatum, Schima wallichii, dan Sloanea sigun. Sampel tanaman sebanyak 240 pohon (30 pohon untuk setiap jenis) diberi label dan dimonitor pertumbuhannya (Rahman et al. 2011). Tabel 2 Karakteristik lahan restorasi
(0-10 cm)
Wilayah Restorasi 5.27
Hutan Alami TNGGP 5.10
(10-20 cm)
4.75
4.76
(0-10 cm)
6.73
9.86
(10-20 cm)
6.48
10.2
(0-10 cm)
0.66
0.56
(10-20 cm)
0.67
0.72
Parameter pH tanah
Bahan organik (%) Bulk density (g/cm3)
Pasir (%)
9.11
Debu (%)
49.69
Liat (%)
41.20 o
Kemiringan lahan ( )
48-60
Suhu udara (oC) Intensitas cahaya rata-rata (lux)
23.3-33.0 Jam 09.00-11.00
32 000
25
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Juli 2011. Pengambilan sampel dilakukan di kawasan restorasi resort Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Lahan restorasi seluas 4 ha merupakan lahan eks-Perum Perhutani yang ditanami dengan pohon-pohon jenis asli (Lampiran 1). Penanaman pohon dilakukan oleh UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas-LIPI. Analisis kandungan klorofil total dengan spektrofotometer dilakukan di Laboratorium Fisiologi Biologi FMIPA IPB. Analisis karbohidrat dan Mg dilakukan di Laboratorium Balai Besar Biologi dan Genetika Pertanian (BB Biogen) Bogor. Analisis C dan N daun dilakukan di Laboratorium Ekologi Tumbuhan LIPI Cibinong. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB.
Sampel Daun Tanaman restorasi berusia 2 tahun (setelah penanaman) pada saat diteliti. Tanaman yang dipilih sebagai sampel adalah tanaman yang sehat, daun telah membuka sempurna, terkena sinar matahari penuh, dan merupakan daun ketiga dari pangkal ranting. Pengambilan sampel daun dilakukan pada saat matahari bersinar cerah, dari jam 09.00-11.00. Sampel daun, yang akan dianalisis di laboratorium, dibungkus dengan alumunium foil atau dengan amplop kertas, dimasukkan ke dalam plastik, dan disimpan dalam cool box yang berisi dry ice kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Delapan jenis tanaman (Lampiran 2) sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Beleketebe (Sloanea sigun), Jamuju (Dacrycarpus imbricatus), Ki sireum (Syzygium lineatum), Lame (Alstonia scholaris), Manglid (Manglietia glauca), Puspa (Schima wallichii), Rasamala (Altingia excelsa), dan Saninten (Castanopsis argentea).
26
Variabel Penelitian Kandungan Klorofil Analisis kandungan klorofil dengan spektrofotometer mengikuti metode yang biasa dilakukan di Laboratorium Biokimia BB-Biogen. Metode ini lebih praktis, aseton yang digunakan juga lebih sedikit, dan tingkat ketelitiannya diduga lebih tinggi (Lampiran 3). Daun segar sebanyak ± 0.1 g dipotong-potong kecil, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian direndam dalam 20 ml aseton 80%. Sampel diinkubasi dalam ruang gelap selama 2 x 24 jam. Klorofil yang sudah larut dalam aseton diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 645 nm (untuk klorofil a), 652 nm (untuk klorofil total), dan 663 nm (untuk klorofil b). Kandungan klorofil diperoleh setelah memasukkan nilai absorbansi ke dalam persamaan (Yoshida et al. 1976): Klorofil a
= (20,2 x 645A x (1/BS) x (20/1000)) mg/g berat segar
Klorofil b
= (8,02 x 663A x (1/BS) x (20/1000)) mg/g berat segar
Klorofil total = ((652 A x 1000)/34.5) x (1/BS) x (20/1000)) mg/g berat segar (A = nilai absorbansi, BS = berat segar) Analisa klorofil dilakukan untuk 10 pohon pada masing-masing jenis. Kandungan Karbohidrat Metode analisis karbohidrat yang digunakan (Lampiran 4) adalah metode Somogyi Nelson. Sampel daun sebanyak 5 lembar dari usia termuda sampai tertua (yang mewakili) diambil dari 3 pohon (3 x 5 daun) untuk masing-masing jenis. Daun dioven selama 2 hari pada suhu 70 oC. Sampel kemudian digiling sampai halus, diayak dan diaduk sampai merata menjadi sampel komposit. Sebanyak 0.2 gram tepung daun komposit dimasukkan dalam wadah gelas, kemudian ditambah dengan 20 ml HCl 0.7 N dan dihidrolisis selama 2.5 jam dalam penangas air. Hasil hidrolisis disaring dengan kertas saring ke dalam labu ukur 100 ml lalu dinetralkan dengan NaOH 1 N setelah diberi fenol merah. Larutan akan berubah menjadi merah muda setelah dititrasi. Selanjutnya ditambahkan 5 ml ZnSO4 5% dan 5 ml Ba(OH)2 0.3 N dengan tujuan untuk mengendapkan protein dari sampel.
27
Sehingga gugus CHO yang terbentuk benar-benar hanya karbohidrat. Setelah itu ditambahkan akuades sampai tanda tera 100 ml. Setelah disaring dengan kertas saring, larutan supernatan yang sudah jernih diambil dengan pipet sebanyak 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kimia. Larutan standar dibuat 0, 5, 10, 15, 20, 25 mg kemudian ditambahkan pereaksi Cu sebanyak 2 ml dan dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit lalu didinginkan. Setelah itu ditambahkan pereaksi Nelson dan 20 ml air pada masing-masing deret standar, dikocok dan dibiarkan selama 20 menit, kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 500 nm. Kandungan karbohidrat didapat berdasarkan rumus (Yoshida et al. 1976):
% Karbohidrat =
A x 100 x 20 x 100% S 0.2 1 1 000 000
Keterangan: S
= Rata nilai absorbansi standar
A
= Rata nilai absorbansi sampel
Kemampuan Tanaman Menyerap CO2 Untuk menghitung nilai daya serap gas CO2, tetapan yang digunakan sebesar 1.467 dikalikan dengan hasil analisis karbohidrat. Tetapan tersebut diperoleh dari pembagian nilai 264/180 (Dahlan 2007). Angka tersebut didapat dari persamaan fotosintesis sebagai berikut:
6 mol CO2 + 12 mol H2O 264 mol
108 mol
1 mol C6H12O6 + 6 mol O2 + 6 mol H2O 180 mol
192 mol
108 mol
Bobot atom C, H, dan O, bertutut-turut adalah 12.01, 1.008, dan 16.00. Jumlah daun dihitung langsung dengan penghitungan tangan (hand counter). Diambil 3 pohon untuk masing-masing jenis, kemudian dirata-rata. Luas daun diukur dengan cara memindai daun dengan menggunakan Leaf Area Meter Portable LI-3000C (Lampiran 5). Daun yang dipindai adalah daun tertua sampai
28
yang termuda (yang mewakili), 3 pohon untuk masing-masing jenis. Luas total daun per pohon didapat dengan mengalikan jumlah daun per pohon dengan luas daun per pohon. Luas daun per pohon digunakan untuk menduga kemampuan masing-masing jenis pohon untuk menyerap CO2. Kadar Air Berat daun segar ditimbang dengan neraca digital. Berat kering diperoleh setelah sampel daun dikeringkan dengan oven selama kurang lebih 2 hari (sampai beratnya stabil). Kadar air diperoleh dari hasil pengurangan berat basah dengan berat kering dibagi berat basah. Variabel Penunjang Selain variabel-variabel di atas, juga dilakukan analisis kandungan C, N, C/N. Daun dikeringovenkan selama 2x24 jam pada suhu 50 oC, kemudian dihaluskan dan disaring sampai menjadi komposit. Bubuk komposit dianalisis dengan alat yang disebut CN analyzer (Lampiran 5). Analisis Mg daun dilakukan dengan metode AAS. Sebanyak 1 mg sampel komposit dimasukkan ke dalam labu kjedhal, ditambahkan ke dalamnya larutan asam campur (HNO3 : HClO4 : H2SO4 = 5 : 2 : 1). Campuran tersebut didestruksi pada penangas listrik hingga larutan jernih, didinginkan, dan disaring ke dalam labu
ukur
100
ml,
kemudian
diukur
dengan
Automatic
Absorption
Spectrophotometer (AAS). Nilai yang dihasilkan dimasukkan ke dalam persamaan: % Mg =
Pembacaan sampel x FP x 100% Rata-rata 1 ppm standar 1 000 000
Keterangan: FP (faktor pengenceran) Analisis Data Analisis data dilakukan dengan analisis sidik ragam (anova), jika antar parameter berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan's Multiple Range Test (DMRT). Analisis Komponen Utama (AKU) atau Principal Component Analysis
29
(PCA) dilakukan untuk melihat parameter yang paling berperan dalam proses fotosintesis pada setiap jenis tanaman. Diagram Alir Rencana Penelitian Untuk menjelaskan secara ringkas metode penelitian yang dilakukan, maka dibuat diagram alir penelitian seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.
Survei lokasi penelitian
Mulai penelitian
Pengambilan data di lapang
Pengambilan sampel daun
Pengukuran tinggi tanaman (parameter pendukung)
Analisis klorofil
Analisis karbohidrat Analisis di lab
Penghitungan jumlah daun (parameter pendukung)
Pengukuran kadar air
Analisis parameter pendukung (C,N, Mg)
Pembahasan
Perhitungan serapan CO2 daun tanaman
Pengukuran luas/ berat daun
Analisis data (PCA)
Gambar 5 Diagram alir penelitian Pemilihan Jenis Tanaman Restorasi berdasarkan Beberapa Parameter Fotosintesis
31
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Kandungan Karbohidrat, Kandungan Klorofil Total, Kemampuan Tanaman Menyerap CO2, dan Kadar Air Daun Kandungan karbohidrat, kandungan klorofil total, kemampuan tanaman menyerap CO2, dan kadar air daun pada setiap jenis tanaman disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil pengukuran kandungan karbohidrat, kandungan klorofil total, kemampuan tanaman menyerap CO2, dan kadar air daun pada 8 jenis tanaman Karbohidrat Klorofil total CO2 Kadar air (%) (mg/g) (mg/cm2) (%) S. sigun 15.27 abc 2.94 d 6.78 58.17 abc D. imbricatus 22.11 d 1.34 a 11.99 54.43 ab S. lineatum 19.33 cd 2.14 bc 6.29 53.88 a A. scholaris 10.35 a 2.56 cd 5.90 65.29 cd M. glauca 17.20 bc 2.39 cd 7.06 69.06 d S. wallichii 13.65 ab 1.65 ab 5.23 64.40 cd A. excelsa 13.55 ab 1.78 ab 7.87 69.51 d C. argentea 12.74 ab 2.35 c 5.27 61.50 bc Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. Spesies
Daun D. imbricatus memiliki kandungan karbohidrat tertinggi, yaitu 22.11%. Persentase karbohidrat terbanyak kedua dimiliki S. lineatum (19.33%), tetapi tidak berbeda nyata dengan kandungan karbohidrat D. imbricatus. Kandungan karbohidrat terendah dimiliki oleh A. scholaris (10.35%) dan tidak berbeda nyata dengan C. argentea, A. excelsa, S. wallichii, dan S. sigun. Rata-rata kandungan klorofil total tertinggi dimiliki oleh S. sigun. Nilai ini tidak berbeda nyata dengan nilai rata-rata pada A. scholaris dan M. glauca, sedangkan kandungan klorofil total A. sholaris dan M. glauca tidak berbeda nyata dengan C. argentea. Kandungan klorofil total terendah dimiliki oleh D. imbricatus. Tanaman M. glauca mampu menyerap CO2 sebesar 0.71 kg pada usia tanam 2 tahun (tertinggi di antara jenis lainnya), namun tidak berbeda nyata dengan A.
32
excelsa, S. lineatum, dan S. sigun. Kemampuan tanaman dalam menyerap CO2 per satuan luas (mg/cm2) tidak berbeda nyata pada semua jenis tanaman. A. excelsa memiliki kadar air tertinggi (69.51%), tetapi tidak berbeda nyata dengan M. glauca. Kadar air terendah dimiliki S. lineatum (53.88%), walaupun tidak berbeda nyata dengan D. imbricatus dan S. sigun. Hasil pengukuran kandungan karbohidrat dan serapan CO2 per pohon disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kandungan karbohidrat dan dugaan CO2 yang diserap (per pohon) Spesies
KH per pohon (kg)
CO2 per pohon (kg)
0.25 abc S. sigun 0.04 a D. imbricatus 0.33 abc S. lineatum 0.08 a A. scholaris 0.48 c M. glauca 0.04 a S. wallichii 0.45 bc A. excelsa 0.18 ab C. argentea Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
0.37 abc 0.06 a 0.49 abc 0.12 a 0.71 c 0.07 a 0.65 bc 0.27 ab kolom yang sama
Dilihat dari kandungan karbohidrat per pohon, M. glauca memiliki nilai terbesar (0.48 kg), tetapi tidak berbeda nyata dengan A. excelsa, S. lineatum, dan S. sigun. Tanaman M. glauca mampu menyerap CO2 sebesar 0.71 kg pada usia tanam 2 tahun (tertinggi di antara jenis lainnya), namun tidak berbeda nyata dengan A. excelsa, S. lineatum, dan S. sigun. Kemampuan tanaman dalam menyerap CO2 per satuan luas (mg/cm2) tidak berbeda nyata pada semua jenis tanaman. Kandungan klorofil a dan b, serta nisbah klorofil a/b pada setiap jenis tanaman dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai klorofil a pada setiap jenis pohon lebih tinggi daripada nilai klorofil b. Nisbah klorofil a/b pada setiap jenis pohon tidak berbeda nyata, hanya saja nisbah klorofil a/b berbeda nyata untuk S. lineatum dan M. glauca.
33
Tabel 5 Kandungan klorofil a, b, dan nisbah klorofil a/b pada 8 jenis tanaman Spesies
Klorofil a (mg/g)
Nisbah klorofil a/b 1.07 ab 1.06 ab 1.09 b 1.06 ab 0.94 a 1.00 ab 1.05 ab 1.05 ab dalam kolom yang sama
Klorofil b (mg/g)
S. sigun 1.47 d 1.36 d D. imbricatus 0.66 a 0.62 a S. lineatum 1.09 bc 0.99 bc A. scholaris 1.27 cd 1.21 cd M. glauca 1.15 bc 1.12 c S. wallichii 0.80 a 0.80 ab A. excelsa 0.87 ab 0.84 ab C. argentea 1.21 cd 1.14 cd Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Nilai kisaran kandungan klorofil total dapat dilihat pada Tabel 6. A. scholaris memiliki nilai kisaran yg berdekatan dengan M. glauca. Rentang kisaran nilai S. sigun paling besar dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya. Tabel 6 Nilai kisaran kandungan klorofil total 8 jenis tanaman Spesies S. sigun D. imbricatus S. lineatum A. scholaris M. glauca S. wallichii A. excelsa C. argentea
Nilai kisaran klorofil total (mg/g) 1.51-4.27 0.73-1.85 1.47-2.98 1.86-3.73 1.84-3.12 1.23-2.17 1.33-2.19 1.83-2.90
Berat, Jumlah, dan Luas Daun Rata-rata berat, jumlah, dan luas daun untuk masing-masing jenis tanaman disajikan dalam Tabel 7. Daun yang bobot per helainya paling perat adalah A. scholaris (1.78 g), tetapi tidak berbeda nyata dengan daun jenis tanaman lainnya, kecuali D. imbricatus. D. imbricatus memiliki ukuran daun teringan, yaitu 0.11 g. Tanaman yang memiliki jumlah daun terbanyak adalah S. lineatum (4057 lembar). M. glauca memiliki daun terluas, yaitu 65.07 cm2, walau tidak berbeda nyata dengan C. argentea dan S. sigun. Ukuran daun D. imbricatus adalah yang paling kecil (3.67 cm2). A. excelsa memiliki kadar air tertinggi (69.51%), tidak berbeda
34
nyata dengan M. glauca. Kadar air terendah dimiliki S. lineatum (53.88%), walau tidak berbeda nyata dengan D. imbricatus dan S. sigun. Tabel 7 Berat, jumlah, dan luas daun 8 jenis tanaman Spesies
Berat daun (g)
Jumlah daun
Luas daun (cm2)
1.62 b 891 ab 53.01 de S. sigun D. imbricatus 0.11 a 1612 c 3.67 a 0.45 ab 4057 e 20.01 b S. lineatum 1.78 b 404 a 42.78 cd A. scholaris M. glauca 1.75 b 1743 c 65.07 e 0.92 ab 376 a 37.83 c S. wallichii 1.23 ab 2671 d 34.02 c A. excelsa C. argentea 1.42 ab 1041 b 54.32 de Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. Analisis Komponen Utama Hasil analisis komponen utama terhadap parameter-parameter fotosintesis yang diteliti menunjukkan bahwa dua komponen utama dapat menerangkan keragaman total data parameter internal fotosintesis sebesar 83.7%. Keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor pada komponen utama I (KU I) sebesar 67.5%, sedangkan keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor pada komponen utama II (KU II) sebesar 16.2% (Tabel 8). Tabel 8 Matriks nilai ciri korelasi beberapa parameter fotosintesis Komponen Utama
Nilai ciri
Keragaman
1 2
4.051 0.971
0.675 0.162
Akumulasi keragaman 0.675 0.837
Hasil analisis komponen utama untuk menjelaskan interaksi parameter internal fotosintesis menggunakan biplot menunjukkan bahwa dari beberapa parameter internal fotosintesis yang dianalisis, CO2 merupakan parameter yang paling menentukan pembentukan karbohidrat karena memiliki sudut terkecil dan merupakan sudut lancip (Gambar 6), atau dengan kata lain terdapat korelasi positif antara parameter karbohidrat dengan CO2. Parameter-parameter lainnya,
35
yaitu kandungan klorofil total, berat dan luas daun, serta kadar air, memiliki korelasi negatif dengan karbohidrat.
1,5
Rs
1,0
Ps
KU II (16.2% )
Kair
0,5
.. Mg
Jm CO2
Lm Lm
Berat per daun
0,0
Rata2 luas per daun
KH
Sn
-0,5
Klo Tot
-1,0
Ks Bl
-1,5 -5
-4
-3
-2 -1 KU I (67.5 % )
0
1
2
Gambar 6 Biplot interaksi 8 spesies tanaman dengan beberapa parameter fotosintesis (Bl=beleketebe, Jm=jamuju, Ks=ki sireum, Lm=lame, Mg=manglid, Ps=puspa, Rs=rasamala, Sn=saninten) Data koefisien korelasi karbohidrat, klorofil total, CO2, dan kadar air daun disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Koefisien korelasi karbohidrat, klorofil total, CO2, dan kadar air daun Parameter Klorofil Total CO2 Kadar Air Karbohidrat -0.432 0.723 -0.629 Klorofil Total -0.548 0.101 CO2 -0.334 Hasil analisis komponen utama dengan biplot juga dapat menjelaskan bahwa setiap parameter yang dianalisis memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap jenis tanaman (Tabel 10). Tabel 10 Karakteristis beberapa parameter fotosintesis pada setiap jenis tanaman Parameter fotosintesis Kandungan karbohidrat Kandungan klorofil total CO2 Kadar air
Spesies D. imbricatus, S. lineatum S. sigun, A. scholaris, M. glauca, C. Argentea D. imbricatus, S. lineatum A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, S. wallichii
36
Kandungan C, N, C/N, dan Mg Kandungan C dan N, C/N rasio, serta kandungan Mg daun dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Kandungan C dan N, C/N rasio, serta kandungan Mg daun 8 jenis tanaman Spesies S. sigun D. imbricatus S. lineatum A. scholaris M. glauca S. wallichii A. excelsa C. argentea
C (%)
N (%)
C/N
Kandungan Mg (%)
43.31 ab 45.06 bc 47.83 d 46.21 cd 44.11 abc 45.99 cd 42.14 a 46.53 cd
2.41 b 1.46 a 1.96 ab 1.92 ab 2.93 c 1.74 a 1.56 a 1.87 a
18.17 a 31.20 c 24.46 b 24.32 b 15.05 a 26.46 bc 27.28 bc 24.91 b
0.26 0.34 0.16 0.77 0.70 0.44 0.53 0.60
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. S. lineatum memiliki kandungan C tertinggi (47.83%), namun tidak berbeda nyata dengan C. argentea, A. scholaris, dan S. wallichii, sedangkan kandungan C terendah dimiliki oleh A. excelsa (42.14%), namun tidak berbeda nyata dengan S. sigun dan M. glauca. Daun yang memiliki kandungan N tertinggi adalah M. glauca, yakni sebesar 2.93%. Tanaman yang memiliki rasio C/N daun tertinggi adalah D. imbricatus, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh M. glauca (15.05%) dan S. sigun (18.17%). Kandungan Mg tertinggi dimiliki oleh A. scholaris (0.77%) disusul oleh M. glauca (0.70%), sedangkan kadar Mg terendah dimiliki oleh S. lineatum (0.16%).
37
Analisis Sifat Kimia Tanah Data nilai sifat kimia tanah dan kualitasnya disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Nilai sifat kimia tanah Unsur yang dinilai
Nilai
Kriteria
C (%) 1.50 Rendah N (%) 0.12 Rendah C/N 13.00 Sedang pH (H2O) 5.10 Rendah pH (KCl) 4.53 Sedang K 0.17 Rendah sekali Na 0.36 Sedang Ca 3.02 Rendah Mg 1.43 Sedang Keterangan: Kriteria mengacu ke Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999) Pembahasan Hasil analisis komponen utama untuk menjelaskan interaksi parameter internal fotosintesis menunjukkan bahwa korelasi positif hanya terdapat antara karbohidrat dan CO2. Parameter lain, yaitu kandungan klorofil total dan kadar air, memiliki korelasi negatif dengan karbohidrat. Korelasi positif mengandung pengertian bahwa apabila CO2 meningkat, maka karbohidrat akan meningkat. Setiap tanaman memiliki karakteristik berbeda. Pemilihan jenis tanaman restorasi dapat mempertimbangkan parameter yang lebih diutamakan. Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa, jika parameter CO2 menjadi pertimbangan utama, maka D. imbricatus dan S. lineatum merupakan jenis yang paling sesuai dibandingkan dengan 6 jenis tanaman lainnya. Tanaman yang lebih besar kemampuan menyerap CO2 akan sangat berguna dalam usaha mitigasi iklim. Tanaman yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi diharapkan akan lebih cepat pertumbuhannya. Karakteristik kandungan klorofil tinggi dimiliki oleh S. sigun. A. scholaris, M. glauca, dan C. argentea. Kandungan klorofil yang tinggi pada daun menandakan tanaman tersebut akan efektif dalam menyerap sinar matahari. Jenis-jenis ini akan baik digunakan untuk usaha restorasi di daerah yang intensitas cahaya mataharinya beragam. A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, dan
38
S. wallichii memiliki karakteristik dalam kadar air, sehingga tanaman ini diduga dapat digunakan dalam usaha konservasi air dan baik jika ditanam di daerah yang curah hujannya tinggi. D. imbricatus memiliki kandungan karbohidrat tertinggi. Diduga karena tanaman ini merupakan kelompok tanaman berdaun jarum (conifer), yang memiliki ukuran daun terkecil dibanding dengan 7 jenis tanaman lainnya (luas 3.67 cm2), sehingga proses evapotranspirasinya kecil dan akumulasi fotosintatnya besar. Dengan kata lain, CO2 yang diserap per pohon paling kecil nilainya, tetapi CO2 yang diserap per satuan luas, paling tinggi. Karakterstik tersebut juga berlaku untuk S. lineatum yang juga memiliki daun yang berukuran kecil (luas rata-rata 20.01 cm2). Besaran nilai produk fotosintesis bersih (NPP) dapat didekati dengan cara mengukur karbohidrat, biomassa, dan serasah (Landsberg & Gower 1997). Setelah CO2 diserap oleh daun, maka akan diubah menjadi karbohidrat yang kemudian akan diikuti oleh beberapa proses, seperti respirasi gelap, pembangunan dan pemeliharaan sel, sebelum akhirnya terakumulasi menjadi biomassa hidup dari tumbuhan (Kramer & Kozlowski 1979). Tinggi rendahnya karbohidrat pada sampel disebabkan oleh distribusi hasil fotosintesis. Nilai karbohidrat yang rendah menandakan bahwa karbohidrat lebih banyak disimpan di dalam organ lain daripada di daun. Jumlah daun per tanaman yang sedikit, memberikan kesempatan pada daun yang ada untuk menjadi source, karena daun berkesempatan menerima cahaya dan menghasilkan fotosintat yang digunakan oleh organ lain. Tanaman dengan jumlah daun banyak, kebanyakan daun ternaungi, sehingga lebih banyak daun yang menjadi sink. Akibatnya, di dalam populasi terlihat korelasi negatif antara hasil dengan jumlah daun. Penelitian Rostini et al. (2003) menunjukkan bahwa hasil asimilasi yang tinggi pada tanaman kedelai akan didistribusikan lebih banyak ke organ reproduksi dibandingkan organ vegetatif. Tingginya karbohidrat yang dihasilkan oleh suatu tumbuhan menentukan kemampuan tumbuhan dalam menyerap CO2 yang digunakan oleh tumbuhan tersebut untuk melakukan proses fotosintesis. Karbohidrat didapat dengan mengubah CO2 menjadi (CH2O)n. Karbohidrat diperoleh dengan cara memfiksasi
39
CO2 bebas yang terdapat di udara. CO2 yang didapat akan dibawa ke dalam siklus Calvin-Benson. Siklus Calvin-Benson atau reaksi gelap, adalah suatu siklus yang tidak memerlukan cahaya matahari, seperti pada reaksi terang, dalam prosesnya. Di dalam siklus Calvin-Benson karbondioksida akan diikat oleh enzim rubisco dan selanjutnya akan membentuk sukrosa. Sukrosa-sukrosa yang terbentuk ini akan diikat menjadi satu sehingga akan diperoleh pati yang nantinya digunakan dalam proses respirasi untuk menghasilkan energi ataupun disimpan sebagai cadangan makanan. Semakin banyak tumbuhan menghasilkan pati, karbondioksida yang difiksasi juga semakin banyak. Dengan banyaknya CO2 yang diserap maka emisi CO2 akan makin berkurang, peningkatan suhu akibat efek gas rumah kaca dapat diatasi sehingga pemanasan global dapat dikurangi. Dengan demikian, kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup dapat terjaga dengan baik. Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat daun dan kemampuan tanaman menyerap CO2 memiliki korelasi negatif dengan kandungan klorofil total. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengenai korelasi negatif ini. Tanaman C-3 cenderung mencapai puncak laju fotosintesis pada intensitas cahaya dan suhu moderat, dan akan terganggu oleh suhu tinggi dan intensitas cahaya penuh. Setiap proses fisiologis tumbuhan akan bekerja pada besaran toleransi tertentu. Untuk suhu, sedikitnya ada batas minimum untuk memulai kegiatan dan kegiatan akan berjalan cepat pada suhu optimum dan akan berhenti pada titik maksimum. Ketiga titik tersebut dikenal sebagai Suhu Kardinal (Odum 1996). Semua jenis tanaman yang diteliti merupakan tanaman C-3. Diduga korelasi negatif berkaitan dengan konsep kejenuhan. Sinar matahari yang ditangkap klorofil sebagai pusat reaksi sudah melebihi titik jenuh, sehingga walaupun kandungan klorofil total daun tinggi, foton yang ditangkap tidak dapat menghasilkan energi NADPH dan ATP yang berguna untuk mereduksi CO2 pada reaksi gelap. Tanaman, dalam proses fotosintesis, tidak dapat memanfaatkan semua pancaran radiasi matahari yang sampai pada permukaan bumi, tetapi hanya radiasi yang terletak pada batas panjang gelombang 400 - 700 nm. Bagian radiasi inilah yang disebut radiasi nampak (visible radiation) atau cahaya yang juga dikenal
40
dengan istilah Radiasi Aktif Fotosintesis (PAR = photosynthetically active radiation). Cahaya yang paling efektif dimanfaatkan oleh tanaman hijau adalah biru dan merah. Diduga pada saat dilakukan pengukuran, tanaman tidak mendapat cahaya yang efektif untuk fotosintesis. Dari segi ekologi, bagi kehidupan organisme yang penting radiasi adalah kualitas sinar (panjang gelombang dan warna) dan intensitas cahaya (lama penyinaran), karena laju fotosintesa akan bervariasi sesuai dengan perbedaan panjang gelombang yang ada. Luas daun berpengaruh terhadap kandungan klorofil total. Menurut Gardner et al. (1985) permukaan daun yang luas dan datar memungkinkan daun menangkap cahaya secara maksimal per satuan volume dan meminimalkan jarak yang harus ditempuh oleh CO2 dari permukaan daun ke kloroplas. Semakin besar luas daun dan semakin tinggi intensitas cahaya matahari, maka cahaya yang mampu diserap oleh daun tinggi dan laju fotosintesis akan terjadi secara maksimum. Peringkat kandungan klorofil total berturut-turut adalah S. sigun, A. scholaris, M. glauca, C. argentea, S. lineatum, A. excelsa, S. wallichii, dan D. imbricatus. Jika dilihat dari hasil analisis statistiknya, nilai kandungan klorofil kedelapan jenis tersebut tidak berbeda nyata antara satu spesies dengan spesies tertentu lainnya. Kandungan klorofil S. sigun tidak berbeda nyata dengan A. scholaris dan M. glauca. Kandungan klorofil A. scholaris dan M. glauca juga tidak berbeda nyata dengan C. argentea, sedangkan kandungan klorofil A. argentea tidak berbeda nyata dengan S. lineatum. S. lineatum memiliki nilai kandungan klorofil yang tidak berbeda nyata dengan A. excelsa dan S. wallichi. A. excelsa dan S. wallichi memiliki total klorofil yang tidak berbeda nyata dengan D. imbricatus. Adanya perbedaan hasil pengukuran dapat disebabkan karena kandungan klorofil total yang dikandung dalam daun mengalami degadrasi. Walaupun penanganan sampel dari lapangan ke laboratorium telah diusahakan sebaik mungkin, terkadang ditemukan perubahan pada warna daun. Jika klorofil terkena asam, maka Mg akan tergeser oleh 2H dan kemudian merupakan suatu per senyawaan yang disebut feofitin, berwarna coklat (Dwidjoseputro 1986). Daun S. lineatum cepat berubah menjadi kecoklatan jika kadar airnya berkurang. Klorofil
41
juga sensitif terhadap paparan cahaya. Hasil lebih baik diperoleh bila mengekstraksi jaringan segar dan pengukuran klorofil segera dilakukan, walaupun ekstrak dapat disimpan dalam aseton pada suhu -20 sampai -30 oC tanpa kehilangan nilai yang berarti (Harborne 1987). Perbedaan kandungan klorofil pada jenis tanaman yang berbeda, yang tumbuh pada lingkungan sama, menunjukkan adanya perbedaan respon fisiologi yang berbeda. Hasil penelitian Suharja & Sutarno (2009) pada dua varietas cabai yang diberi kandungan pupuk berbeda adalah tidak sama. Rendahnya kandungan nutrien serperti N dan Mg akan mempengaruhi pembentukan klorofil. Nitrogen berkaitan erat dengan sintesis klorofil, juga protein dan enzim. Enzim Rubisco berperan sebagai katalis dalam fiksasi CO2 (Salisbury & Ross 1995). Daun dengan kandungan klorofil tinggi tidak selalu menghasilkan serapan CO2 tinggi karena masih banyak faktor lain yang menentukan laju serapan CO2. Banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pengukuran laju serapan CO2 tanaman agar dicapai interpretasi nilai laju fotosintesis yang benar. Faktor yang perlu diperhatikan antara lain adalah metode yang digunakan, kondisi lingkungan tumbuh dan mikroklimat pada saat pengukuran, ukuran atau umur tanaman yang diukur, umur daun (daun muda/daun tua), serta akurasi alat yang digunakan. Tanaman yang tumbuh atau diukur pada kondisi alam in situ biasanya memiliki laju serapan CO2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh pada kondisi lingkungan terkontrol seperti rumah kaca. Untuk itu, dalam penelitian harus disertakan spesifikasi kondisi pertumbuhan tanaman dan lingkungan pada saat pengukuran serta metode dan instumen yang digunakan (Hidayati et al. 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa klorofil a memiliki hubungan positif dengan klorofil b dan total klorofil, dan secara positif berhubungan dengan berat segar daun. Hasil ini sama dengan hasil penelitian Suharja & Sutarno (2009). Hal ini dapat dipahami karena klorofil a merupakan prekursor klorofil b, sementara klorofil a dan b merupakan komposisi total klorofil daun dan juga bagian dari berat segar tanaman. Nisbah klorofil a/b pada semua jenis tanaman tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan, seperti cahaya matahari yang diperoleh
42
daun sampel relatif sama. Peningkatan klorofil b dapat terjadi karena daun bagian bawah menerima cahaya yang lebih sedikit dan adanya konversi klorofil a menjadi klorofil b (Folly & Engel 1999). Hasil analisa C-organik daun menunjukkan persentase karbon tertinggi dimiliki oleh S. lineatum, walau tidak berbeda nyata dengan C. argentea, A. scholaris, dan S. wallichii, tetapi cukup menggambarkan adanya kesamaan dengan dengan hasil analisa karbohidrat. S. lineatum memiliki nilai tertinggi kedua setelah D. imbricatus. Nilai ini juga tidak berbeda nyata. Tanaman yang memiliki N-organik tertinggi adalah M. glauca, diikuti S. sigun, kemudian A. scholaris. Nilai ini sejalan dengan kandungan klorofil total ketiga tanaman tersebut. Penelitian kandungan nitrogen pernah dilakukan oleh Suharno et al. (2007) terhadap tanaman A. excelsa. A. excelsa memiliki persentase nitrogen daun sebesar 1.33%. Tipe emergen pada saat daun masih muda memiliki nilai nitrogen yang lebih rendah dibandingkan tipe underlayer (di bawah naungan). Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian, bahwa A. excelsa memiliki kandungan nitrogen yang lebih rendah dibandingkan tanaman S. wallichii atau S. sigun, yang termasuk tipe kanopi. Hasil analisis Mg menunjukkan, bahwa tanaman yang memiliki kandungan klorofil tinggi, pada umumnya memiliki kandungan Mg yang juga tinggi. Magnesium dan nitrogen merupakan unsur pembentuk molekul klorofil, dapat dilihat dari rumus kimianya, yaitu C55H72O5N4Mg untuk klorofil a dan C55H70O6N4Mg untuk klorofil b (Harborne 1987). Kandungan klorofil dan karbohidrat yang berkorelasi negatif, tidak berarti menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya jumlah klorofil, karbohidrat yang terbentuk akan menurun. Hal ini bisa disebabkan karena tumbuhantumbuhan tertentu tidak menyimpan banyak pati di dalam daunnya, tetapi menyimpannya dalam organ lain, seperti buah, batang, atau akar. Klorofil dan karbohidrat memiliki hubungan erat dalam proses fotosintesis, klorofil yang berperan dalam fotolisis air akan menyediakan energi bagi tumbuhan untuk melakukan proses fotosintesis, sehingga tanpa adanya klorofil tidak mungkin bagi tumbuhan dapat membuat makanannya sendiri.
43
Pohon dengan laju pertumbuhan cepat memiliki asimilasi CO2 relatif lebih tinggi pada tanaman beriklim tropis (Hidayati et al. 2009). Hasil monitoring Tim KRC menunjukkan bahwa di antara kedelapan jenis tanaman restorasi, D. imbricatus dan S. lineatum memiliki keragaan terbaik. D. imbricatus memiliki laju pertumbuhan tertinggi dan S. lineatum memiliki tingkat ketahanan hidup yang paling tinggi (Rahman et al. 2011). Hal ini sesuai dengan hasil dalam penelitian ini, bahwa D. imbricatus memiliki kemampuan menyerap CO2 tertinggi diikuti oleh S. lineatum, walaupun tidak berbeda nyata dengan jenis lainnya. Kedua jenis tanaman ini juga memiliki kandungan karbohidrat daun tertinggi. Tumbuhan yang sedang tumbuh memiliki laju fotosintesis dan laju translokasi fotosintat yang tinggi (Lakitan 2010). Proses fotosintesis juga membutuhkan air. Jika tumbuhan kekurangan air, maka translokasi air dari akar ke daun berkurang. Untuk mengurangi kehilangan air, terlebih pada kondisi kelembaban udara sangat rendah, maka bukaan stomata akan mengecil bahkan menutup. Dengan demikian masuknya gas CO2 ke dalam daun lewat stomata akan berkurang. Kemampuan fotosintesis akan meningkat dengan bertambahnya umur dan luasan daun (Salisbury & Ross 1995; Taiz & Zeiger 2003; Lakitan 2010). Karena komponen utama tanaman hijau adalah air, maka berat basah, berat kering dan kandungan air akan mempunyai asosiasi yang kuat. Banyak faktor yang mempengaruhi asosiasi tersebut seperti jenis spesies, umur, dan kondisi pertumbuhan tanaman. Dengan demikian kandungan air dalam kanopi daun merupakan faktor penting dalam deteksi potensi kebakaran hutan (Chuvieco et al. 2002), atau peningkatan kandungan air tanah (Yilmaz et al. 2008). Pengaruh kekurangan air pada tanaman padi akan menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi lebih pendek, jumlah anakan berkurang, luas daun lebih kecil, pengisian bulir padi berkurang, dan akhirnya akan mengurangi produksi padi (Yoshida 1981). Hasil pengukuran kadar air pada penelitian ini menunjukkan bahwa A. excelsa dan M. glauca memiliki kadar air yang paling tinggi. Dapat diasumsikan bahwa kedua jenis tanaman ini memiliki kemampuan lebih tinggi dalam kapasitas menyerap air dan menyimpan air di daun dibandingkan dengan kelima jenis
44
tanaman lainnya. Air masuk ke dalam tumbuhan melalui akar pada pembuluh angkut xilem menuju daun. Elektron dihasilkan dari pemecahan molekul air dengan produksi oksigen berkesinambungan ditranspor melalui rantai transpor elektron yang tertanam dalam membran tilakoid. NADPH dan ATP yang dihasilkan dari proses ini digunakan dalam reaksi gelap fotosintesis untuk menghasilkan karbohidrat (Lambers et al. 2008). Kadar air S. lineatum dan D. imbricatus adalah yang paling rendah. Dapat dijelaskan bahwa dalam kondisi lingkungan yang sama, kapasitas transpor air juga sama, sehingga air yang tersimpan di daun lebih sedikit (Lambers et al. 2008). Kondisi lingkungan tumbuh yang dapat berakibat pada penurunan fotosintesis atau serapan CO2 termasuk intensitas cahaya yang kurang, suhu dan ketersediaan hara yang rendah
(Cleumans & Saugier 1991), sehingga akan
mempengaruhi produktivitas tamanan. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut tergolong sedang sampai sangat rendah. Menurut sejarahnya lahan tersebut merupakan eks-lahan milik Perum Perhutani Unit III yang ditanami tiga spesies kayu utama yang ditanam monokultur di wilayah ini. Ketiga jenis pohon yang ditanam
adalah Altingia excelsa, Agathis damara, dan Pinus
merkusii. Setelah penebangan pada tahun 2003, wilayah yang terbuka dimanfaatkan oleh petani lokal sampai sekarang. Para petani menanam tanaman tahunan seperti jagung, singkong, cabai, kacang panjang, dan lain-lainnya. Sementara, lahan yang ditinggalkan didominasi oleh tanaman liar. Rendahnya nilai hara organik diduga karena unsur hara telah banyak terserap oleh tanaman sebelumnya. Proses perputaran hara juga akan rendah karena tumbuhan di lahan ini masih merupakan tumbuhan muda dan sebagian merupakan tanaman budidaya semusim. Kemiringan dan terbukanya kondisi lahan juga mempengaruhi rendahnya kandungan unsur hara organik. Erosi tanah lebih mudah terjadi pada lahan miring dan terbuka. Pada kondisi lingkungan yang baik bagi tanaman, penyaluran energi dalam bentuk reaksi fotokimia relatif besar, sehingga proses fotosintesis akan berjalan dengan laju yang tinggi, sejalan dengan tingginya laju transpor elektron dalam reaksi terang fotosintesis. Namun dalam keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti cekaman kekeringan, keasaman tinggi, dan suhu
45
rendah/tinggi, penyaluran energi ke arah fotokimia akan mengalami hambatan (Taiz & Zeiger 2003). Area restorasi merupakan daerah yang terbuka. Pohon yang ditanam dalam usaha restorasi harus memiliki beberapa kriteria yang sesuai, yaitu semai dapat beradaptasi dengan mudah di tempat terbuka, merupakan spesies yang dapat tumbuh dengan cepat, serta spesies yang dapat berkompetisi dengan rumput liar dan jenis-jenis gulma lainnya (Hidayati et al. 2009). Merujuk pada kriteria tersebut dan tingginya emisi CO2 saat ini, tanaman yang sesuai ditanam pada lahan restorasi adalah D. imbricatus dan S. lineatum. Terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhi penelitian, diperlukan penelitian lanjutan untuk skala sampel yang besar dan rentang penelitian yang lebih lama, sehingga dapat diperoleh data yang lebih baik.
47
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Setiap jenis tanaman restorasi (berusia 2 tahun setelah tanam) memiliki karakteristik berbeda ditinjau dari beberapa parameter fotosintesis yang diteliti. D. imbricatus dan S. lineatum memiliki kandungan karbohidrat dan kemampuan menyerap CO2 tertinggi. S. sigun, A. scholaris, M. glauca, dan C. argentea memiliki kandungan klorofil total yang tinggi. A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, dan S. wallichii memiliki kadar air yang tinggi. 2. Jenis tanaman yang tepat untuk ditanam di wilayah restorasi Resort Bodogol TNGGP adalah D. imbricatus dan S. lineatum
Saran Penelitian lanjutan diperlukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan rentang waktu yang lebih lama, sehingga dapat diperoleh data yang mewakili untuk setiap fase umur tanaman. Penelitian lanjutan mengenai anatomi daun, terutama stomata daun, baik jumlah maupun ukuran, juga perlu dilakukan.
49
DAFTAR PUSTAKA Agroforestry Data Base. 2007. A tree spesies references and selected guide Schima wallichii Korth.www.agroforestry.com [2 Juli 2011]. Agus F, van Noordwijk M. 15 November 2007. CO2 emissions depend on two letters. The Jakarta Post. Alberta University. 2003. Land Reclamation, Remediation, and Restoration. http://www.rr.ualberta.ca/Reseach [18 Maret 2010]. Backer CA, van Den Brink Jr B. 1963. Flora of Java. Volume ke-1. Netherlands: NVP Noordroff. Backer CA, van Den Brink Jr B. 1965. Flora of Java. Volume ke-2. Netherlands: NVP Noordroff. Bramasto RGA. 2008. Penyebaran, Regenerasi dan karakteristik habitat Jamuju (Dacrycarpus imbricatus Blume) di Taman Nasional Gede Pangrango [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Campbell NA et al. 2010. Biologi. Ed ke-8, Jilid 1. Hardani W, editor. Wulandari DT, penerjemah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Biology. Ceulemans RJ, Saugier B. 1991. Photosynthesis. Di dalam: Raghavendra AS, editor. Physiology of Tree. New York: Wiley & Sons, Inc. hlm 21-50. Chuvieco E, Riaño D, Aguado I, Cocero D. 2002. Estimation of fuel moisture content from multitemporal analysis of Landsat Thematic Mapper reflectance data: applications in fire danger assessment. Inter J Remote Sensing 23:2145–2162. Dahlan EN. 2007. Analisis kebutuhan luasan hutan kota sebagai sink gas CO2 antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas di kota Bogor dengan pendekatan sistem dinamik [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Panduan Kehutanan Indonesia. Jakarta: Koperasi Karyawan departemen Kehutanan dan Perkebunan. Dwidjoseputro D. 1986. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Ed ke-2. Jakarta: PT Gramedia Folly P, Engel N. 1999. Chlorophyll b to chlorophyll a conversion precedes chlorophyll degradation in Hordeum vulgare L. J Biol Chem 274:21811– 21816.
50
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1985. Physiology of Crop Plants. Iowa: Iowa State University Press. Hairiah K. 2008. Perubahan Iklim Global: Penyebab dan Dampaknya terhadap Lingkungan dan Kehidupan. Malang: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Terbitan ke-2. Bandung:Penerbit ITB. Heriyanto NM, Siregar CA. 2007. Keragaman jenis dan konservasi karbon pada hutan sekunder muda di Maribaya, Bogor. Info Hutan 4:283-291. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 2. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. Hidayati N. 1999. Leaf area development of Vicia faba L. under different environment conditions assessed by simulated model. J Biol Ind 2:163-174. Hidayati N, Juhaeti T, Mansur M. 2009. Biological diversity contribution to reducing CO2 in the atmosphere. International Seminar on Achieving Resilient-Agriculture to Climate Change through Development of ClimateBased Risk Management Scheme. Bogor, 17 – 19 November 2009. Hidayati N, Juhaeti T, Mansur M. 2011. Serapan karbondioksida (CO2) jenisjenis pohon di Taman Buah Mekar Sari Bogor, kaitannya dengan potensi mitigasi gas rumah kaca. J Biol Ind 7:133-145. Hopkins WG, Hüner HPA. 2004. Introduction to Plant Physiology. Ed ke-3. New York: John Wiley & Sons, Inc. Kramer PJ, Kozlowski TT. 1979. Physiology of Woody Plants. New York: Academic Press. Lakitan B. 2010. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lambers H, Chapin III SC, Pons TL. 2008. Plant Physiological Ecology. Ed ke-2. New York: Springer. Landsberg JJ, Gower ST. 1997. Aplications of Physiological Ecology to Forest Management. London: Academic Press. Lawlor DW. 1987. Photosynthesis: Metabolism, Control, and Physiology. New York: John Wiley and Sons, Inc.
51
Lembaga Biologi Nasional – LIPI. 1977. Kayu Indonesia. Bogor: Lembaga Biologi Nasional - LIPI. MacDicken KG. 1997. A Guide Monitoring Carbon Storage in Forestry and Agroforestry Project. Forest Carbon Monitoring Program Winrock International. Martawijaya A. Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia 2: 109-113. Bogor: Balitbang Kehutanan Dephut. Odum EP. 1996. Ecology: A Bridge Between Science and Society. Sunderland: Sianuer Associates, Inc. [PEACE] Pelangi Energi Abadi Citra Enviro. 2007. Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies. Jakarta: The World Bank. Prawira RSA. 1990. Organografi dan Terminologi Ttumbuhan. Pengenalan Suku dan Marga Penting. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Raghavendra AS. 1991. Physiology of Tree. New York: Wiley & Sons Publ. Rahman W et al. 2011. Penilaian keragaan delapan jenis pohon pada tahap awal restorasi hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Indonesia. Di dalam: Konservasi Tumbuhan Tropika: Kondisi Terkini dan Tantangan Masa Depan. Prosiding Seminar Nasional: Kebun Raya Cibodas, 7 April 2011. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas. Rostini N, Baihaki A, Setiamihardja R, Suryatmana G. 2003. Korelasi kandungan klorofil beberapa daun dengan hasil pada tanaman kedelai. Zuriat 14:47-50. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Plant Physiology. Edisi ke-4. California: Wadsworth Publishing Company. Santilli M et al. 2005. Tropical deforestation and the Kyoto Protocol. Climatic Change 71: 267–276. Sastrapradja S et al. 1977. Jenis-Jenis Kayu Indonesia. Bogor: Lembaga Biologi Nasional – LIPI. Suharja, Sutarno. 2009. Biomassa, klorofil dan nitrogen content of leaves of two chilli pepper varieties (Capsicum annum) in different fertilization treatments. Bioscience 1:9-16. Suharno, Mawardi I, Setiabudi, Lunga N, Tjitrosemito S. 2007. Efisiensi penggunaan nitrogen pada tipe vegetasi yang berbeda di stasiun penelitian Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat. Biodiversitas 8:287-294.
52
Taiz L, Zeiger E. 2003. Plant Physiology. Ed ke-3. Sunderland: Sinauer Associates, Inc. Treshow M, Anderson FK. 1991. Plant Stress from Air Pollution. New York: John Wiley & Sons, Ltd. van Steenis CGGJ. 1972. Flora Malaysiana I(7):311-312. Netherland: Director of the Foundation Published by Voordhaff International Puleleyzen the Netherlands. van Steenis CGGJ. 2006. Flora Pegunungan Jawa. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Yilmaz MT et al. 2008. Vegetation water content during SMEX04 from ground data and Landsat 5 Thematic Mapper imagery. Remote Sensing Envi 112:350–362. Yoshida S. 1981. Fundamental of Rice Crop Science. Philipina: The International Rice Research Institute. Yoshida S, Forno DA, Cock JH, Gomez KA. 1976. Laboratory Manual for Physiological Studies of Rice. Third Ed. Philippines: The International Rice Research Institute.
53
Lampiran 1 Lahan restorasi Resort Bodogol TNGGP
54
Lampiran 2 Foto 8 jenis tanaman restorasi
Daun dan buah pohon dewasa S. sigun
Pohon muda S. sigun
Daun dewasa D. imbrycatus
Daun dewasa dan buah S. sigun
Daun tanaman muda S. sigun Daun muda D. imbrycatus
Pohon D. imbrycatus
55
Lanjutan Lampiran 2.
Pohon muda S. lineatum
Pohon A. scholaris
Daun S. lineatum
Bagian bawah daun A. scholaris (berwarna putih)
56
Lanjutan Lampiran 2.
Buah dan daun dewasa M. glauca
Daun tanaman muda M. glauca
Daun tanaman dewasa S. wallichii
Daun tanaman muda S. wallichii
Daun muda tanaman dewasa A. excelsa
Daun tanaman muda A. excelsa
57
Lanjutan Lampiran 2.
Daun C. argentea bagian atas
Daun C. argentea bagian bawah (berwarna keperakan)
58
Lampiran 3 Analisis klorofil
Sampel daun yang direndam dalam aceton 80%
Spektrofotometer
59
Lampiran 4 Analisis karbohidrat metode Somogyi Nelson
Sampel komposit
Analisis karbohidrat
60
Lampiran 5 Alat-alat penelitian
Ayakan
Neraca digital
Oven
Leaf Area Meter Portable LI-3000
CN analyzer
Lampiran 6 Data mentah penelitian
Spesies
S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus
KH (%)
Rata2
11.41 19.24 15.15
15.27
20.44 25.14 20.75
22.11
Klo Tot (mg/g BS) 3.80 2.64 1.64 1.51 4.27 4.20 2.15 2.22 4.11 2.89 1.50 0.73 1.85 1.76 1.41 1.10 1.09 1.23 1.43 1.33
Rata2
Klo a
Rata2
Klo b
Rata2
2.94
1.90 1.29 0.80 0.75 2.16 2.11 1.05 1.08 2.12 1.45 0.73 0.33 0.95 0.87 0.70 0.51 0.54 0.62 0.72 0.66
1.47
1.75 1.30 0.77 0.72 1.91 1.91 1.04 1.07 1.78 1.33 0.67 0.35 0.88 0.84 0.67 0.52 0.52 0.57 0.62 0.58
1.36
1.34
0.66
0.62
Nisbah klo a/b 1.09 0.99 1.04 1.05 1.13 1.11 1.01 1.01 1.19 1.09 1.09 0.94 1.09 1.03 1.03 0.98 1.03 1.10 1.15 1.14
Rata2
CO2 (mg/cm2)
Rata2
Kair
Rata2
1.07
3.63 13.64 3.08
6.78
61.32 57.94 55.25
58.17
1.06
19.74 9.47 6.77
11.99
57.36 54.86 51.06
54.43
58
2
Lanjutan Lampiran 6
Spesies
S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun S. sigun D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus D. imbricatus
Jumlah daun 814
Rata2
1833
Rata2
KH per pohon (kg)
Rata2
CO2 per pohon (kg)
Rata2
1.06 3.18 0.61
1.62
0.87 3.01 0.56
1.48
0.10 0.58 0.08
0.25
0.14 0.85 0.12
0.37
1612
0.13 0.11 0.10
0.11
0.20 0.16 0.19
0.18
0.04 0.04 0.04
0.04
0.06 0.06 0.06
0.06
912
1429
Rata2
Berat daun per pohon (kg)
891
946
1575
Berat per daun (g)
Rata2 luas per daun (cm2) 48.98 65.82 44.22
1.91 4.44 4.67
Rata2
53.01
3.67
59
3
Lanjutan Lampiran 6
Spesies
S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris
KH (%)
Rata2
14.28 22.08 21.62
19.33
12.46 8.92 9.66
10.35
Klo Tot (mg/g BS) 2.05 2.36 1.99 1.95 1.75 1.47 2.98 2.76 2.11 2.02 2.15 3.73 2.88 2.72 1.86 2.50 2.57 2.41 2.82 1.96
Rata2
Klo a
Rata2
Klo b
Rata2
2.14
1.07 1.26 0.89 0.97 0.98 0.72 1.51 1.38 1.09 1.04 1.01 1.81 1.41 1.32 0.88 1.20 1.24 1.17 1.75 0.95
1.09
0.93 1.05 0.98 0.94 0.86 0.70 1.39 1.25 0.94 0.90 1.09 1.85 1.42 1.33 0.93 1.25 1.27 0.94 1.07 0.97
0.99
2.56
1.27
1.21
Nisbah klo a/b 1.14 1.20 0.91 1.03 1.13 1.03 1.09 1.10 1.16 1.15 0.93 0.98 0.99 1.00 0.96 0.96 0.97 1.25 1.64 0.98
Rata2
CO2 (mg/cm2)
Rata2
Kair
Rata2
1.09
7.61 8.15 3.13
6.29
57.71 53.97 49.95
53.88
1.06
3.32 5.99 8.40
5.90
62.60 66.62 66.65
65.29
60
4
Lanjutan Lampiran 6
Spesies
S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum S. lineatum A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris A. scholaris
Jumlah daun 4320
Rata2
680
Rata2
KH per pohon (kg)
Rata2
CO2 per pohon (kg)
Rata2
0.67 0.46 0.23
0.45
2.88 1.71 0.95
1.85
0.41 0.38 0.21
0.33
0.60 0.56 0.30
0.49
404
0.79 1.65 2.90
1.78
0.27 0.32 1.97
0.85
0.03 0.03 0.19
0.08
0.05 0.04 0.28
0.12
4127
194
Rata2
Berat daun per pohon (kg)
4057
3723
338
Berat per daun (g)
Rata2 luas per daun (cm2) 18.37 18.31 23.34
43.40 35.99 48.94
Rata2
20.01
42.78
61
5
Lanjutan Lampiran 6
Spesies
M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii
KH (%)
Rata2
18.68 16.66 16.27
17.20
15.62 13.05 12.28
13.65
Klo Tot (mg/g BS) 2.62 3.12 1.89 1.84 1.88 2.40 3.08 2.24 2.20 2.90 1.75 1.73 1.27 1.23 1.53 1.81 1.35 1.70 2.17 1.99
Rata2
Klo a
Rata2
Klo b
Rata2
2.39
0.13 1.53 0.93 0.90 0.92 1.17 1.51 1.09 1.08 1.26 0.86 0.85 0.61 0.59 0.74 0.88 0.65 0.83 1.06 0.97
1.05
1.26 1.49 0.89 0.84 0.90 1.14 1.48 1.08 1.05 1.21 0.85 0.84 0.62 0.61 0.74 0.89 0.66 0.83 1.03 0.95
1.13
1.65
0.80
0.80
Nisbah klo a/b 0.10 1.02 1.04 1.07 1.02 1.03 1.02 1.01 1.03 1.04 1.01 1.01 0.99 0.96 1.00 0.99 0.99 1.00 1.03 1.03
Rata2
CO2 (mg/cm2)
Rata2
Kair
Rata2
0.94
10.94 7.07 3.16
7.06
69.57 69.14 68.46
69.06
1.00
5.80 8.02 1.88
5.23
57.65 74.51 61.03
64.40
62
6
Lanjutan Lampiran 6
Spesies
M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca M. glauca S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii S. wallichii
Jumlah daun 1033
Rata2
474
Rata2
KH per pohon (kg)
Rata2
CO2 per pohon (kg)
Rata2
2.62 1.70 0.93
1.75
2.71 4.00 1.73
2.81
0.51 0.67 0.28
0.48
0.74 0.98 0.41
0.71
376
0.98 1.35 0.45
0.92
0.26 0.52 0.21
0.33
0.04 0.07 0.03
0.04
0.06 0.10 0.04
0.07
1849
385
Rata2
Berat daun per pohon (kg)
1743
2347
269
Berat per daun (g)
Rata2 luas per daun (cm2) 65.66 58.91 70.63
38.68 32.17 42.65
Rata2
65.07
37.83
63
7
Lanjutan Lampiran 6
Spesies
A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea
KH (%)
Rata2
13.33 15.27 12.04
13.55
11.27 15.19 11.77
12.74
Klo Tot (mg/g BS) 2.02 1.62 2.03 1.74 1.89 2.19 2.02 1.41 1.50 1.33 1.93 2.33 2.05 2.41 1.83 2.33 2.13 2.90 2.79 2.79
Rata2
Klo a
Rata2
Klo b
Rata2
1.78
1.00 0.79 1.00 0.85 0.94 1.10 1.00 0.69 0.75 0.66 0.92 1.13 0.98 1.16 0.88 1.12 1.04 1.44 1.72 1.68
0.87
0.96 0.76 0.96 0.83 0.89 1.03 0.94 0.68 0.70 0.62 0.95 1.13 1.01 1.19 0.91 1.14 1.03 1.39 1.32 1.34
0.84
2.35
63
1.21
1.14
Nisbah klo a/b 1.05 1.05 1.04 1.02 1.06 1.07 1.06 1.02 1.07 1.08 0.97 1.00 0.96 0.98 0.97 0.98 1.01 1.03 1.31 1.25
Rata2
CO2 (mg/cm2)
Rata2
Kair
Rata2
1.05
11.76 8.25 3.60
7.87
68.98 68.07 71.48
69.51
1.05
2.76 3.34 9.70
5.27
60.58 61.54 62.39
61.50
64
8
Lanjutan Lampiran 6
Spesies
A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa A. excelsa C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea C. argentea
Jumlah daun 2177
Rata2
1.38 1.57 0.74
1.23
1041
1.02 0.90 2.33
1.42
3096
1043 1017
Rata2
2671
2741
1063
Berat per daun (g)
Berat daun per pohon (kg) 3.00 4.31 2.30
1.09 0.94 2.37
Rata2
KH per pohon (kg)
Rata2
CO2 per pohon (kg)
Rata2
3.20
0.40 0.66 0.28
0.45
0.59 0.97 0.41
0.65
1.47
0.12 0.14 0.28
0.18
0.18 0.21 0.41
0.27
Rata2 luas per daun (cm2) 22.93 42.70 36.43
61.39 60.10 41.46
Rata2
34.02
54.32
65