PEMIKIRAN SUFISTIK IBNU ARABI
Makalah Disampaikan pada Diskusi Bulanan Dosen
Oleh : Muhamad Nur, S.Ag. M.S.I NBM : 1072933
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) MUHAMMADIYAH KENDAL 2014
PEMIKIRAN SUFISTIK IBNU ARABI (1165-1240)
Oleh: Muhamad Nur, S.Ag., M.S.I
Abstrak: Periode awal pemikiran sufistik Ibnu Arabi cenderung paripatetik, Aristotelian, ketika menyatakan eksistensi adalah `patokan' segala sesuatu. Kemudian berubah menjadi Platonis, dengan pendapatnva bahwa wujud yang sebenarnya bukan pada sesuatu yang tampak nyata dan konkret ini tetapi pada yang transenden dan itu hanya situ, yakni Tuhan. Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis dan Aristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang transenden dan yang nyata (wabdat alwujud), meski dengan pemikiran yang khah Arabian. Pemikiran kesatuan realitas (Wahdat al-Wujud) adalah gagasan orisinal Ibnu Arabi. Meski dasar-dasar gagasan ini diambil dari pemikiran Ittihad (penyatuan manusia dengan Tuhan) al-Hallaj, tetapi Ia berbeda dengannya. (1) Dalam teori alHallaj, persoalan yang ditekankan hanya hubungan antara Tuhan (al-Lihfit) dan manusia (at-Ntisfir), bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan sifat ketuhan-an hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain; dalam teori Ibnu Arabi menjadi lebili luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq) dan semesta (al-Halq). (2) Dalam teori al-Hallaj masih ada dualisme manusia dan Tuhan, dalam Ibnu Arabi dualisme tersebut tidak ada, kecuali dualisme semu, nisbi. Kata Kunci: Wahdatul Wujud, Tajalli.
A. Pendahuluan Ibnu Arabi merupakan tokoh tasawuf yang fenomenal yang dijuluki Syeikh al-Akbar (Guru Teragung) dalam sejarah peradaban Islam. Seseorang yang memiliki intelektualitas dan spiritualitas tinggi yang telah mewariskan sekitar lima ratus karya tulis dalam berbagai disiplin keilmuan. 1 Pemikiranpemikiran spiritualis kelahiran Spanyol ini seringkali berbenturan dengan pemikiran-pemikiran yang sudah mapan. Terlebih tema-tema yang diusung menyangkut makna hidup, yang juga menjadi perhatian dan problem manusia dari zaman ke zaman, yang tidak pernah berhenti.
Makalah dipresentasikan pada Acara Diskusi Dosen STIT Muhammadiyah Kendal tanggal 23 April 2014 Dosen Tetap STIT Muhammadiyah Kendal 1 William C. Chittick, Dunia Imajinasi Ibnu Arabi, (Surabaya : Risalah Gusti, 2001), hlm. 1.
1
Pemikiran Ibnu Arabi penuh dengan daya pesona sekaligus memiliki daya kritisisme karena kajiannya masuk pada wilayah mendasar, filsafat, dan agama, yakni bidang metafisis-ontologis. Melakukan eksplorasi secara kontemplatif dan rasional mengungkap hakikat keberadaan Tuhan dan alam raya dan bagaimana manusia menjalankan eksistensi kehidupan di antara keduanya. Kesatuan realitas (wahdat al-wujud) adalah salah satu gagasan paling kontroversial dalam metafisika, khususnya metafisika mistik. Pemikiran ini dicetuskan oleh Ibnu Arabi. Akan tetapi, menurut Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi sendiri, sebenarnya, secara formal tidak pernah menggunakan kata-kata wahdat al-wujud dalam tulisan-tulisannya. Orang pertama Yang menggunakan istilah ini, meski tidak sebagai istilah teknis dan independen, adalah Sadr alDin al-Qunawi (w. 673/ 1274 M). Hanya saja, ajaran-ajaran Ibnu Arabi tentang realitas bisa memberi pemaknaan ke arah itu.2
B. Pembahasan 1. Riwayat Hidup Ibn Arabi, nama lengkapnya Muhammad ibn 'Ali ibn Muhammad ibn al-`Arabi al-Thai al-Tamimi,3 lahir di Mursia, Spanyol bagian tenggara, pada tanggal 17 Ramadan 560 H/28 Juli 1165 M, pada masa pemerintahan Muhammad ibn Said ibn Mardanisy.4 Menurut Affifi, Ibnu Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang salih, di mana ayah dan tiga pamannya (dari jalur ibu) adalah tokoh sufi yang masyhur, dan Ibnu Arabi sendiri digelari Muhy al-Din (Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Syeikh yang agung/Doktor Maximus), karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidang mistik. Belum ada seorang tokoh muslim yang mencapai posisi sebagaimana kedudukannya. Ibnu Arabi meninggal dunia di kota Damaskus, 2
Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta : Paramadina, 1995), hlm. 34. 3 Ada dua nama Ibnu Arabi, sehingga harus dibedakan dengan Ibnu Arabi yang lain, bernama lengkap Abu Bakar Muhammad Abdillah Ibnu Arabi al-Ma`afiri (468-543 H/1076-1148 M). Seorang tokoh muslim ahlul Hadits dan Hakim di Sevilla yang lahir di Spanyol. 4 A. Khudhori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 138.
2
dan dimakamkan di sana pada tanggal 22 Rabi al-Tsani tahun 638 H/Nopember 1240 M, pada usia 78 tahun.5 Pendidikan Ibnu Arabi dimulai di Sevilla, ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, al-Quran, Hadits, Fiqh, Teologi, dan Filsafat Skolastik. Keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya serta didukung kedudukan ayahnya, mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur Sevilla dalam usia belasan. Yang perlu dicatat, bahwa kota Saville saat itu, selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan pusat kegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggal di sana. Kondisi keluarga serta lingkungan yang kondusif dan kaya mempercepat pembentukan Ibnu Arabi sebagai tokoh Sufi yang terpelajar, apalagi Ibnu Arabi telah masuk tharikat sejak usia 20 tahun. Selama menetap di Saville, Ibnu Arabi muda sering melakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126-1198 M), di mana saat itu Ibnu Arabi mengalahkan tokoh Filosof Paripatetik ini dalam perdebatan dan tukar pikiran, sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. Juga, menurut Kautsar, menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisisme dan filsafat dalam kesadaran metafisis Ibnu Arabi. Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibnu Arabi adalah seorang Mistikus sekaligus Filosof Paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis sebagaimana dilihat dalam gagasannya tentang Wihdat a1-Wujud. Pengembaraan Ibnu Arabi semakin luas dan mulai keluar dari semenanjung Liberia menuju Tunis (1193 M) untuk berguru pada Ibn Qusi; tokoh sufi yang melakukan pemberontakan pada dinasti Murabbitin. Kemudian pergi ke Fez dan tinggal di sana selama 4 tahun, terus ke Marrakesy, Almaria, Bugia dan kembali ke Tunis (1202 M), setelah pada tahun 1199 M, pulang ke Kordova guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd. Selama pengembaraan ini, Ibnu Arabi sempat 5
Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, terj. Nandi Rahman, (Jakarta : Media Pratama, 1999),
hlm. 1.
3
menelorkan beberapa karya tulis, seperti Mawaqi al-Nujum, Insya al-Dawair dan lainnya. Akan tetapi, situasi religio-politis tidak mengizinkan Ibnu Arabi tinggal lama di Spanyol ataupun di Afrika Utara, sehingga Ibnu Arabi melarikan diri ke Makkah, karena dituduh menggerakkan makar terhadap pemerintah. Selama bermukim di Makkah sekitar 3 tahun, Ibnu Arabi mempergunakan waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Di Mekkah, Ibnu Arabi mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya, al-Futuhat al-Makkiyah, di samping menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, Ibnu Arabi kembali mengembara ke berbagai kota; Madinah, Yerusalem, Baghdad, Masul, Konya, Damascus, Hebron, Kairo dan kembali ke Makkah (1207 M) karena tidak aman di Mesir." Di tengah perjalanan ini, untuk ketiga kalinya Ibnu Arabi diangkat sebagai murid Khidir untuk menerima rahasia-rahasia Ilahiyah.6 Setahun di Makkah, Ibnu Arabi berkunjung ke Asia kecil melalui Aleppo dan Konya, kemudian ke Armenia dan Baghdad, bertemu Syihabuddin Suhrawardi al-Zanzani (w. 630 H/1233 M), seorang tokoh sufi. Pada tahun 1224 M, Ibnu Arabi menetap di Damascus, memenuhi permintaan khalifah al-Malik al-Adil (1227 M). Kecuali kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), kunjungan Ibnu Arabi tidak lagi melakukan pengembaraan. Ibnu Arabi mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menulis, mengajar, dan menyelesaikan kitab monumentalnya, al-Futuhat al-Makiyah, dan Fushush alHikam," di samping kitab-kitab yang lain. Kedekatan Syekh Ibnu Arabi dengan pemerintah menyebabkan ajarannya mudah dan cepat diterima di masyarakat. Ibnu Arabi termasuk salah satu tokoh sufistik yang sangat produktif. Menurut Osman Yahia, disitir Kautsar Azhari Noer,7 Ibnu Arabi meninggalkan tidak kurang dari 700 karya tulis dalam bentuk kitab/buku, tetapi hanya 400 buah yang masih ada; meliputi metafisika, kosmologi, psikologi, tafsir dan hampir setiap cabang keilmuan, yang semua didekati dengan tujuan menjelaskan makna esoterisnya. Karyanya yang, terbesar adalah al-Futuhat al-Makiyah, yang terdiri atas 37 jilid, 560 bab, 18.500 halaman dalam edisi Osman Yahio, dan 15.000 6
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu `Arabi, (Yogyakarta : LKiS, 2002), hlm.
56. 7
Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 25
4
halaman dalam edisi terbaru.8 Yang lain adalah Fushush al-Hikam, yang menurutnya diterima dari Rasul Muhammad saw agar disebarkan kepada manusia. Meski karya ini relatif pendek, tapi paling banyak dikaji dan diberi komentar, karya paling sulit, paling berpengaruh dan paling masyhur. Tidak kurang dari 100 buku ditulis untuk mengomentari Fushush al-Hikam tersebut. Ibnu Arabi merupakan penganut Syiah, sehingga ajarannya tidak berkembang pesat sebagaimana dialami Imam Al Ghazali yang Sunni. Namun demikian, ajaran Ibnu Arabi berkembang sampai di India dan Indonesia. Di India, Tasawuf Ibnu Arabi menjadi landasan pembaharuan Syaikh Waliyullah yang dipadukan dengan tasawuf Ahmad Sirhindi.9 Di Indonesia, pemikiran Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin as-Samantrani, Syekh Nuruddin ar-Raniri, Abdurrauf as-Singkeli, dan Syekh Siti Jenar, nampaknya mempunyai korelasi dengan pemikiran Ibnu Arabi.10
2. Corak Mistisisme Ibnu Arabi Ibnu Arabi adalah tokoh mistik yang menuliskan pengalaman ruhaninya lewat cara fikir filsafat. Mistik (sufisme) merupakan suatu pencarian kebenaran lewat jalan experience (penghayatan) dengan atas dasar cinta. Perbedaan sufisme dengan filsafat, menurut Mutahhari,11 pertama, filsafat memijakkan argumennya pada postulat-postulatnya, sementara mistik mendasarkan argumennya pada visi dan intuisi serta kemungkinan mengemukakan berbagai teorinya secara teoritis. Kedua,
dalam
mencapai
tujuannya,
filsafat
menggunakan
rasio
dan
intelektualnya, sementara mistik menggunakan kalbu dan jiwa suci serta upaya spiritual terus menerus. Ini dilakukan karena rasio atau intelek dianggap kurang memadai untuk menggapai kebenaran hakiki. Ketiga, tujuan dalam filsafat adalah memahami alam semesta. Filosof ingin mendapat gambaran tentang alam semesta yang benar, sempurna, dan menyeluruh. Di mata filsafat, capaian tertinggi 8
William C. Chittick, Dunia Imajinasi Ibnu Arabi, (Surabaya : Risalah Gusti, 2001),
9
Khairiyah, Islam dan Logika Modern, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 93. Muhammad Sangidu, Wachdatul Wujud, (Yogyakarta : CV. Gama Media Press, 2003),
hlm. 1 10
hlm. 1 11
Murtadha Mutahhari, Meniti Jalan Spiritual, (Bandung : Pustaka Pelajar, 1997), hlm.
23.
5
manusia adalah mampu memahami dunia sedemikian rupa sehingga (dalam eksistensi dirinya) eksistensi dunia ini pun tegak dan dia sendiri menjadi dunia. Karena itu, filsafat sering didefinisikan sebagai, dunia mental manusia yang menjadi sama dengan dunia yang ada. Sementara itu, dalam mistik, persoalan intelek atau rasio tidak begitu menarik. Seorang mistik ingin menjangkau hakikat eksistensi, Allah sendiri. Ia ingin berjumpa dengan hakikat ini dan mengamatinya. Menurut kaum mistik, capaian tertinggi manusia adalah kembali kepada asalusulnya guna menghindari jarak antara dirinya dengan Tuhan serta menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan untuk berusaha hidup abadi dalam Diri Tuhan. Bagi Ibnu Arabi yang lebih sebagai Sufis, tidak ada jalan lain untuk bisa memahami realitas wujud yang hakiki kecuali menyelami langsung lewat penghayatan (experience) dalam mistik. Pengetahuan intuitif yang diperoleh lewat experience inilah pengetahuan yang sebenarnya, pengetahuan yang paling unggul dan pengetahuan yang terpercaya.12 Untuk mampu menangkap, menyelami serta memahami rahasia dan hakikat wujud di atas, sebelumnya, seseorang sufistik harus membersihkan jiwanya (qalb) untuk kemudian menghadap pada Tuhan dengan penuh cinta dan rindu. Ibnu Arabi menetapkan lima tahapan secara gradual untuk pembersihan hati,13 (1) Membersihkan jiwa dengan menjauhkan diri dari segala perilaku dosa dan kemaksiatan di samping semakin rajin dalam melakukan kebajikan; (2) Meninggalkan seluruh –pengaruh- dunia; menghentikan pemandangan terhadap aspek fenomena dunia dan kesadaran terhadap aspek nyata yang menjadi dasar fenomenanya; (3) Menjauhkan diri dari atribut-atribut dan kualitas-kualitas wujud kontingen dengan kesadaran bahwa semua itu adalah kepunyaan Allah semata; (4) Menghilangkan semua hal yang `selain Allah', tetapi tidak `menghilangkan' tindakan itu sendiri. Di sini sang mistis kehilangan (atau menghilangkan) kesadaran dirinya sendiri sebagai orang yang memandang. Tuhan sendirilah yang memandang sekaligus dipandang. (5) Melepaskan atribut-atribut Tuhan serta 'hubungan-hubungan' dari atribut tersebut. Memandang Tuhan lebih sebagai
12
William C. Chittick, Dunia Imajinasi Ibnu Arabi, (Surabaya : Risalah Gusti, 2001),
13
A. Khudhori Soleh, Op. Cit., hlm. 143.
hlm. 55
6
essensi daripada `Sebab Pertama' dari realitas semesta.14 Jika seseorang telah mencapai derajat Ittihad, kesatuan diri dengan Tuhan, ia akan menerima ilmu langsung secara vertikal, dalam bentuk ilham." Pengetahuannya datang langsung lewat pancaran Tuhan (emanasi) yang tampak dalam batinnya. Begitu pula yang terjadi pada Ibnu Arabi, sehingga rujukanrujukan dari tokoh sebelumnya hanya digunakan semata demi untuk menerangkan dan mengibaratkan pengalaman-pengalaman batinnya, bukan rujukan yang sesungguhnya, yang dalam hal ini Ibnu Arabi sendiri tidak pemah terpaku pada salah satu tokoh filsafat. Menurut Husain Nasr,15 pemaparan Ibn Arab banyak mengikuti Al-Hallaj (858-913 M) dan filsafat Ibn Sina (980-1037 M), Juga mengikuti teori-teori Noe-Epidocles yang dikembangkan oleh Ibn Massarah (w. 923 M), Neo-Pithagoras yang dikembangkan kelompok Ikwan as-Shafa maupun NeoPlatonisme.16
3. Essensi dan Eksistensi Eksistensi adalah `wujud' dari eksistensi, Sesuatu bisa dianggap wujud atau ada jika termanifestasikan dalam apa yang disebut `tahapan wujud' (maratbib al-wujud), yang terdiri atas 4 hal; (1) eksis dalam wujud sesuatu (wujud al-syai` fi ainih), (2) eksis dalam pikiran atau konsepsi (wujud al-syai` fi al-ilm), (3) eksis dalam ucapan (wujud al-syai' fi al-alfazb), (4) eksis dalam tulisan (Wujud al-syai 'fi ruqum). Segala sesuatu dianggap wujud jika ada di dalam salah sate empat `tahapan' tersebut. Sesuatu yang tidak ada di antaranya tidak bisa dianggap sebagai wujud, dan karena itu tidak bisa dibicarakan.17 Selanjutnya, apa yang wujud itu, yang berarti punya eksistensi, dalam perspektif ontologis Ibnu Arabi, terbagi dalam dua bagian; wujud mutlak dan wujud nisbi. Wujud mutlak adalah sesuatu yang eksis dengan dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri, dan itu adalah Tuhan. Wujud nisbi adalah sesuatu yang eksistesinya terjadi oleh dan untuk wujud lain. Wujud nisbi ini terbagi dalam dua 14 15
Ibid., hlm. 144. Muhammad Sangidu, Wachdatul Wujud, (Yogyakarta : CV. Gama Media Press, 2003),
hlm. 17. 16 17
Affifi, Op. Cit., hlm. 27. Henry Corbin, Op. Cit., hlm. 126.
7
bagian; wujud bebas dan wujud `bergantung', yang disebut kedua ini berupa atribut-atribut, kejadian-kejadian dari hubungan-hubungan yang bersifat spesial dan temporal. Sementara itu, wujud nisbi bebas berupa substansi-substansi, dan ia terbagi dalam dua bagian; material dan spiritual. Namun, yang perIu dicatat, apa yang dianggap wujud nisbi di atas tidak sepenuhnya ‘entitas temporal' melainkan juga `entitas permanen' sebagaimana wujud mutlak. Dalam pandangan Ibnu Arabi, semua yang ada dalam semesta ini, dalam semua keadaannya, telah ada dan persis seperti apa yang ada dalam ilmu Tuhan, sedang ilmu Tuhan sendiri adalah al-a'yan al-tsabitah. Setiap urusan dan apa yang ada dalam semesta tidak pernah keluar dari rencana yang telah ditetapkan Tuhan sejak permulaan dalam ilmu-Nya. Entitas-entitas
permanen
di
atas
tidak
pernah
meninggalkan
kepermanenannya dan ketidakberubahannya, karena entitas-entitas tersebut selamanya ada dalam ilmu Tuhan, ada secara kekal dalam `kebesaran-Nya'. Namun, segala yang tampak riil dalam semesta ini juga tidak lain adalah aktualisasi 'entitas-entitas permanen'. Karena itu, pada satu sisi, entitas-entitas yang ada dalam ilmu Tuhan tidak berbeda dengan entitas-entitas yang tampak dalam semesta, sebab apa yang terjadi dalam semesta adalah persis seperti apa yang ada dalam ilmu-Nya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, entitas-entitas dalam ilmu Tuhan berbeda dengan entitas semesta, karena yang pertama tidak berwujud konkret, bebas dari ruang dan waktu, sedang yang kedua berwujud konkret, dan terikat dengan ruang dan waktu. Yang pertama bersifat potensial, 'cetak biru', sementara yang kedua bersifat aktual, konkret. Meski demikian, menurut Kautsar,18 dalam struktur ontologis Ibnu Arabi, `entitas-entitas permanen' tidak juga sama dan sederajat dengan Dzat Tuhan, tetapi ada 'di bawahnya'. Tepatnya, ia menempati posisi tengah antara Tuhan dan alam, antara keabsolutan-Nya dan semesta, sehingga ia bersifat 'aktif' sekaligus 'pasif'. Aktif dalam hubungannya dengan apa yang lebih rendah darinya, yakni alam semesta, dan pasif dalam hubungannya dengan yang lebih tinggi, yakni diri Tuhan. Tarik menarik keduanya terjadi dalam apa yang disebut sebagai proses
18
Kautsar Ashari Noer, Op. Cit., hlm. 56
8
penampakan diri (tajalli) Tuhan, yang berarti sama dengan proses penciptaan semesta dalam konsep emanasi. Posisi tengah antara al-Hagq (Tuhan) dan al Khalq (ciptaan), entitasentitas permanen di atas adalah qadim sekaligus hadits. Qadim karena ia adalah objek ilmu Tuhan sejak azali, ada dalam dan bersama ilmu Tuhan tanpa ada permulaan dalam waktu, Tetapi qadim-nya tidak sama dengan qodim Tuhan, karena qodimnya entitas permanen berasal dari dan tergantung pada qodim Tuhan. Sebaliknya, entitas permanen dianggap hadits karena ia muncul 'kemudian', mewujud dan menampakkan diri dalam alam nyata, yang berkaitan ruang dan waktu. Jalan tengah dan `sistem mendua' (ambiguis) tersebut juga berlaku pada soal perbuatan manusia, bahwa perbuatan manusia adalah jabariyah sekaligus qadariyah. Yakni, bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia, tetapi tidak oleh manusia atau perbuatan manusia diciptakan bukan oleh Tuhan tetapi oleh Tuhan. Seperti dikatakan Kautsar, ambiguitas dan paradoksal-sikalitas radikal adalah ciri khas sistem berpikir Ibnu Arabi.19
4. Wahdat al-Wujud Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktualisasi entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu Tuhan, maka bagi Ibnu Arabi, seluruh realitas yang ada ini, meski tampak beragam, adalah hanya satu, yakni Tuhan sebagai satu-satunya realitas dan realitas yang sesungguhnya. Apa pun yang selain Dia tidak bisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya. Jika demikian, bagaimana kedudukan ontologis al-khalq (alam ciptaan)? Apakah is identik dengan Tuhan, atau alam ini tidak mempunyai wujud sama sekali? Kenyataannya alam dan kita ada secara konkret. Menghadapi persoalan tersebut, seperti sistem berpikirnya yang paradoksal, jawaban Ibnu Arabi bersifat ambiguis, bahwa alam adalah Tuhan (al-Haqq) sekaligus bukan Tuhan, atau menurut istilah Ibnu Arabi sendiri, alam adalah 'Dia dan bukan Dia' (Huwa Ma Huwa)." Bagi Ibnu Arabi, alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, dan dengan demikian, segala sesuatu dan segala yang ada di dalamnya adalah entifikasi-Nya. Karena itu, Tuhan dan semesta, keduanya 19
Ibid, hlm. 58.
9
tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis. Kontradiksi-kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak sebagaimana uraian al-Quran, bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi (al-Bathin) sekaligus Yang Tampak (al-dzahir), Yang Esa (alWahid) sekaligus Yang Banyak (al-Katsir), Yang Terdahulu (aI-Qadhim) sekaligus Yang Baru (al-Hadits), Yang Ada (al-Maujud) sekaligus Yang Tiada (al-Adam)." Dalam pandangan Ibnu Arabi, realitas adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda; sifat ketuhanan sekaligus sifat kemakhlukan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus perniancri, eksisteinsi sekaligus non-eksistensi." Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di ;ikun. Di sini Ibnu Arabi menggunakan prinsip al-]am'u bay, al-Addtid (kesatuan di antara pertentangan), IWLI yang dalam filsafat Barat disebut coincidentia oppositorum, Untuk menjelaskan hubungan ontologis Tuhan dan semesta tersebut, Ibnu Arabi, antara lain, menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. Simbol pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yaitu bahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah 'harta simpanan' yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai dengan hadits Rasul yang menyatakan hal itu. Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang Satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta. Yakni bahwa Tuhan yang bercermin adalah satu, tetapi gambar-Nya amat banyak dan beragam sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut." Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia, sama sekali bukan selainnya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya. Penjelasan lebih konkrit tentang paham wahdatul wujud Ibnu Arabi ini dalam realitas dunia saat ini menurut Abdul Muhayya, diilustrasikan melalui contoh sebuah pemeranan tokoh yang disiarkan melalui siaran televisi. Artis Luna Maya yang tampil di layar televisi adalah Luna Maya yang sama dengan artis Luna Maya yang ada di stasiun televisi (ketika sedang dibuat peran), tetapi Artis Luna Maya yang ada di televisi itu juga bukan artis Luna Maya yang ada di stasiun televisi. Dua pandangan berbeda tersebut dinilai benar. Benar, karena artis 10
yang ditelevisi itu memang Luna Maya. Tidak benar, karena artis yang di televisi itu berbeda esensinya dengan Luna Maya yang sebenarnya. Kesamaan sifat-sifat yang menyertai ciri-ciri tertentu menyebabkan adanya kesatuan nama yang maujud, tetapi sesungguhnya keduanya berbeda esensi dan eksistensinya, inilah yang membedakan antara artis di televisi dan artis di stasiun televisi. Begitu pula penggambaran tentang paham wahdatul wujud Tuhan menurut konsep Ibnu Arabi. Alam semesta merupakan wadah tempat Tuhan merefleksikan eksistensi wujud-Nya, agar ciri-ciri dan sifat Tuhan dapat dikenal makhluknya. Namun, manusia yang paham tentang hakikat Tuhan harus menyadari dengan benar bahwa tuhan yang tampak di alam semesta ini bukanlah Tuhan yang sesungguhnya, La ilaha illa Huwa. Manusia hendaknya memahami bahwa melalui penampakan ini Tuhan hendak berkata : Bahwa Aku ini dekat, dapat melihat dan merasakan kamu, mengamati kamu, agar kamu juga mengenal aku, menggandeng Aku dalam cinta sehingga hari-harimu senantiasa bergairah bekerja dan berkarya, agar melalui mata-Ku kamu tetap dalam garis-garis hukum yang telah Aku tetapkan, bukalah mata hatimu dengan banyak mendekatkan diri kepada-Ku agar kamu beruntung dan memperoleh rahmat-Ku. Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok, karena untuk aturan duniamu itu umurmu semakin bertambah, tetapi untuk aturan-Ku umurmu itu semakin berkurang. Refleksi di tersebut nampaknya merupakan corak pemikiran tasawuf progresif yang ide dasarnya dibangun dari kerangka pemikiran wahdatul wujud Ibnu Arabi. Melalui tasawuf progresif ini, manusia harus meluruskan paham tasawuf yang terbuka, tasawuf yang bergairah, tasawuf yang mengutamakan hubungan sosial, karena manusia hidup di zaman yang post modernisme ini. Refleksi dan penggambaran di atas sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih dan tanzih yang digunakan oleh Ibnu Arabi. Dari segi tasybih, Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualisasi sifatsifat-Nya; dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas, Ibnu Arabi menyatakan 'Huwa la Hua' (Dia bukan Dia yang kita bayangkan). Sedekatdekat manusia menyatu (I'ttihad) dengan-Nya, tetap tidak pemah benar-benar 11
menyatu dengan Tuhan. Ia hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan 'bayangan-Nya', bukan dengan Zat-Nya. Tuhan terlalu tinggi untuk dicapai. Segala uraian tentang-Nya, adalah kebohongan, pengkerdilan dan pembatasan. C. Penutup Dari segi epistemologis, tampaknya ada pergeseran atau perkembangan pada sistem pemikiran Ibnu Arabi. Awalnya cenderung paripatetik, Aristotelian, ketika menyatakan bahwa eksistensi adalah `patokan' segala sesuatu. Kemudian berubah menjadi Platonis, dengan pendapatnva bahwa wujud yang sebenarnya bukan pada sesuatu yang tampak nyata dan konkret ini tetapi pada yang transenden dan itu hanya situ, yakni Tuhan. Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis dan Aristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang transenden dan yang nyata (wabdat alwujud), meski dengan pemikiran yang khah Arabian. Pemikiran kesatuan realitas (Wahdat al-Wujud) adalah gagasan orisinal Ibnu Arabi. Meski dasar-dasar gagasan ini diambil dari pemikiran Ittihad (penyatuan manusia dengan Tuhan) al-Hallaj (858-913 M), tetapi Ia berbeda dengannya. (1) Dalam teori al-Hallaj, persoalan yang ditekankan hanya hubungan antara Tuhan (al-Lihfit) dan manusia (at-Ntisfir), bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan sifat ketuhan-an hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain; dalam teori Ibnu Arabi menjadi lebili luas, yakni hubungan antara Tuhan (alHaqq) dan semesta (al-Halq). (2) Dalam teori al-Hallaj masih ada dualisme manusia dan Tuhan, dalam Ibnu Arabi dualisme tersebut tidak ada, kecuali dualisme semu, nisbi; yang ada hanya
Yakni keesaan dengan dua wajah
scperti satu mata uang. Dari satu aspek, realitas itu adalah Yang Benar, PCIAW clan Pcnclpta; dari aspek lain, Ia adalah cipman, pcilerillm. Konsep ini selalu lebih 'hermil' dibanding gagasan cill"In "Isi al-Farahl ;hall yang Imn, karena dalam emanasi masih ada jarak dan perbedaan antara Tuhan dan makhluk, baik dari kualitas Inat-II)LIll kuantitas, sementara dalam wandat alwujud tidak ada lagi jarak di antara keduanya. Namur, itu bukan berarti semesta (Mahluk dengan Tuhan. Alam tidak lain hanya perwujudan dari asma-asma-Nya 12
sebagaimana dilluarkan dalam sahadah Lailaha illallah. Yakni pengakuan bahwa mahluk-Nya bukanlah Tuhan tetapi keberadaan-Nya juga tidak tersamai oleh selain-Nya, sehingga tidak satu pun wujud yang mandiri dan lepas dari-Nya.'
DAFTAR PUSTAKA Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, terj. Nandi Rahman, Jakarta : Media Pratama, 1999 Azhari Noer, Kautsar, Ibnu Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta : Paramadina, 1995 Chittick, William C., Dunia Imajinasi Ibnu Arabi, Surabaya : Risalah Gusti, 2001 Corbin, Henry, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu `Arabi, Yogyakarta : LKiS, 2002. Khairiyah, Islam dan Logika Modern, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008. Mutahhari, Murtadha, Meniti Jalan Spiritual, Bandung : Pustaka Pelajar, 1997 Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 2003. Sangidu, Muhammad, Wachdatul Wujud, Yogyakarta : Gama Media, 2003. Soleh, Ahmad Khudhori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004
13