Penafsiran Filsafat Mistis Ayat Sajdah (Ismail) 129
PENAFSIRAN FILSAFAT MISTIS AYAT SAJDAH (Kajian Pemikiran Ibnu ‘Arabi) Ismail*
Abstrak: Sujud al-Tilawah pada ayat sajdah memiliki kualifikasi khusus. Ibnu ‘Arabi, dengan metode isyari (kiasan), membuat persilangan makna zhahir dan makna bathin dalam koridor filosofis untuk memperoleh makna terdalam dari sebuah teks ayat-ayat sajdah. Menurutnya, semua ayat dari ayat sajdah berisi dua tema dasar, yaitu atribusi diri kepada Allah swt, bahwa hanya Dia dengan segenap kekuatan, kesempurnaan dan kemuliaan, dan bahwa Dia adalah Yang Wajib dan Layak dijadikan objek sujud dan dipatuhi oleh semua makhluk, dengan masing-masing “dimensi spiritual” dalam interkorelasinya. Sujud tilawah in sajdah verses has a specific qualification. Ibn Arabi used ishari method to get deep meaning of the text of sajdah verses. To him, all sajdah verses contain two basic theme; they are the attribute of Allah that He is the only one who has all strength, perfectness, and magnificence, and the attribute that He is the only one that must be worshipped and obeyed by all creatures. Kata Kunci: Ibnu ‘Arabi, Tafsir, Sufi-Falsafi, Ayat Sajdah
DASAR PEMIKIRAN Pada dasarnya ayat al-Qur’an bisa diklasifikasikan: Makkiyah dan Madaniyah, ayat yang berbasis pada tema, periode, atribut, dan sebagainya. Di antara klasifikasi tersebut, ada beberapa ayat yang dikategorikan sebagai *. Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan, Jl. Kusumabangsa No. 9 Pekalongan
130 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 129-144
ayat sajdah-yaitu Nabi Muhammad saw. melakukan sujud ketika ia selesai membacanya. Sujud ini, kemudian ditetapkan oleh para ulama sebagai sujud al-Tilawah. Hal ini dibuktikan oleh sebuah hadis di bawah:
Ľõ¦Ľï Ŀý¦_ÜĽð÷Ł¥ ĈAČ¼E ċA þE Aã úE ĄBø`óľ Ĉ:ĀĽ´}ľ Ł¥ ĿþE© ÂB ü: A¼ûB Aą ļÂEČĿäAË ĿþE© ĿĂø_÷¥ ÂB ČEAªãB Aą ļ§EÆA» ĿþE© ÆB ČEAăÇľ ĈĿĀĽ³Â: »A ĂB ø_÷¥ Ĉ_øÓ A :ĊªĿ:Ā÷¥ ý: Ľ Ľõ¦Ľï AÆAüãB ĿþE©¥ þE Aã â? Ŀ림ÿ ĊE ĿÿAÆAª¿E Ľ Ľõ¦Ľï ĿĂø_÷¥ ÂB ČEAªãB þE Aã ļÂEČĿäAË ĿþE© ĈAČ¼E ċA ¦ĀĽ³Â: »A ÆB ČEAăÇľ ¦AĀØ ľ äE A© ÂB ¸Ŀ Aċ ¦Aû Ĉ_°A» ĂB AäAû ÂB ¸B ÌE ĽÿAą ÂB ¸B ÌE AČĽë ?«A¸E AË ¦AĄČĿë «>AÅĆBË ľAÆŁðAČë AýĽÆE ðľ ÷Ł¥ ľAÆŁðAċ Aý¦Ľó Aúø_AËAą ĿĂEČĽøAã ĿĂĿ°AĄEªA· Ŀý¦ĽôAüĿ÷ ¦>ä× Ŀ ĆE Aû “Diceritakan kepada kami oleh Zuhair Ibnu Harb dan ‘Ubaidillah Ibn Sa’id dan Muhammad Ibn al-Mutsanna, mereka semua menerima riwayat dari Yahya al-Qatthan. Dia mengatakan bahwa Zuhair menerima riwayat ini dari Yahya Ibn Sa’id, dari ‘Ubaidillah. Dia berkata: Saya menerima riwayat dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar. Dia berkata: Sesungguhnya, Nabi Muhammad saw. membacakan sebuah surat dari al-Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajdah. Kemudian Beliau bersujud. Jadi, kami juga mengikuti beliau bersujud sedemikian rupa sampai tidak ada cukup tempat untuk dahi kami (untuk sujud).” (Muslim, tt: 405)
Hadis di atas, mengindikasikan adanya makna tersendiri dari ayat sajdah. Untuk memahami lebih lanjut, penulis menggunakan penafsiran sufi-falsafi yang khas dimiliki Ibnu ‘Arabi dalam menggali nilai-nilai spiritual yang terdapat pada ayat tersebut. PEMBAHASAN A. Ayat Sajdah Kalimat dari ayat sajdah terdiri dari dua kata, yaitu ayat ( ¬ċ ) dan sajdah ( «Â¸Ë ). Asal kata ¬ċ adalah ¬ċą dan memiliki bentuk jama’
ĉ , ĉ¦ċ dan
n ¦ċ (Manzhur, 1994: 62). Secara etimologis, ayat memiliki beberapa arti,
Penafsiran Filsafat Mistis Ayat Sajdah (Ismail) 131
yaitu «È¸ä}¥ (mukjizat), ¬ûĔä÷¥ (tanda), ,«bä÷¥ (contoh/model/sesuatu yang diambil sebagai pelajaran), ¨Č¸ä÷¥ Æûď¥ (hal yang luar biasa), ¬ã¦üz¥ (kelompok), öČ÷Â÷¥ą ý¦ăb÷¥ (bukti dan teorema) (Al-Zarqani, tt: 339). Secara keseluruhan, kata ayat dalam berbagai bentuknya disebutkan sebanyak 377 dengan rincian: dalam bentuk kata tunggal ( ¬ċ ) dinyatakan 86 kali, seperti dalam QS. Al-Baqarah, [2]: 106, dalam bentuk ganda ( j°ċ ) dinyatakan hanya sekali, yaitu di QS. Al-Isra’, [17]: 12, sementara dalam bentuk banyak ( ¦ċ ) dinyatakan 290 kali, seperti dalam QS. Al-Baqarah, [2]: 61 dan QS. Al-An’am, [6]: 4 (al-Ashfahani, tt: 229). Dalam arti terminologi, ayat adalah bagian dari surat dalam al-Qur’an yang memiliki awal dan akhir. Menurut Nasr Hamid Abu Zayd; bukanlah suatu kebetulan bahwa al-Qur’an, teks yang menyebut dirinya sebagai risalah (pesan) dan unit dasar unsur-unsurnya, dan unit terbesarnya, disebut sebagai ayat. Dengan kata lain, ayat ini adalah tanda dan teks adalah pesan, di mana semua yang terdapat di dalamnya merupakan sebuah rangkaian dari tandatanda yang menunjukkan ayat-ayat Allah swt. Itu berarti ada dua teks, yaitu ‘teks bahasa’ yang disampaikan oleh Allah swt. kepada manusia, dan ‘teks non-bahasa’ yang menggambarkan isi dan pesan yang selaras dengan bahasanya (Zaid, 2003: 204-205). Kata Sajdah ( «Â¸Ë ) adalah bentuk masdar dari kata Â¸Ë , yang berarti
âØ¿ (membungkuk ke bawah), ÕÅď¥ Ĉë Ă°Ąª· â׹ (meletakkan keningnya di bumi), ¦äצ¿ ĈĀ¥ (membungkuk atau menundukkan kepala untuk menghormati). Setiap hal yang bersujud untuk penyerahan atau ketaatan adalah sujud ( Â¸Ë Âðë õà ¦û öó ). Anggota tubuh yang digunakan untuk sujud (u·¦Ì}¥ d ( ) berjumlah tujuh, yaitu: dahi, hidung, telapak tangan, lutut dan dua kaki (Manzhur, 1994: 416-417). Istilah lain yang digunakan dalam al-Qur’an untuk mendeskripsikan ‘bersujud’ kepada Allah adalah qanata ( ®Āï ), seperti dalam QS. Al-Baqarah, [2]: 116, sabbaha ( ºªË ) seperti dalam QS. Al-Isra’, [17]: 44, sa’ala ( õË )
132 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 129-144
seperti dalam QS. Al-Rahman, [55]: 29, dan aslama ( úøË ) seperti dalam QS. Ali ‘Imran, [3]: 83. Sujud dalam arti penghormatan terhadap sesuatu selain Allah swt ditempatkan dalam firman Allah ( ĈøÓ), seperti dalam QS. Al-Ahzab, [33]: 56 (Shihab, 2002: 243). Sujud juga berarti menghormati dan memuliakan. Sujud dalam arti ini dapat dilihat dalam al-Qur’an ketika Allah swt. memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam. Menurut Abu Ishaq, sujud malaikat kepada Adam adalah untuk menyembah Allah swt, bukan kepada Nabi Adam, karena Allah swt. menciptakan semua makhluk berakal untuk menyembah-Nya (Manzur, 1994: 204-205). Dalam arti terminologi, ayat sajdah adalah istilah dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang sujud dan perintah untuk melakukannya. Ketika salah satu ayat-ayat tersebut dibaca atau terdengar, maka pembaca atau pendengar didorong untuk melakukan sujud pada posisi mereka masing-masing. Bahkan, tindakan semacam itu juga dilakukan dalam shalat. Teks-teks dari ayat-ayat tersebut di dalam al-Qur’an biasanya ditandai khusus, misalnya dengan memberi garis di bawahnya, dan dilengkapi dengan tulisan al-Sajdah di pinggir halaman (al-Maliki, 2001: 89). Secara keseluruhan, terdapat lima belas ayat sajdah di dalam al-Qur’an, sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits Nabi saw
ĿþE© Ŀ±ĿŦA¼Ł÷¥ þE Aã AÂċĿÈAċ þB ©E âB ëĿ¦Ľÿ ¦ĽÿAÆAª¿E Ľ AúAċÆE Aû ĊĿ©Ľ þB ©E¥ ¦AĀĽ³Â: A» =ĊĿïÆE AªŁ÷¥ ĿþE© ĿúČĿ»:Æ÷¥ ĿÂEªAã þB ©E ÂB ü: A¼ûB ¦AĀĽ³Â: A» Ĉ_øÓ A ĿĂø_÷¥ ĽõĆBËAÅ ý: Ľ ĿѦAäŁ÷¥ ĿþE© ąĿÆEüAã þE Aã ļõ¦Ľøóľ ĿÂEªAã ĊĿĀA© þE ûĿ ļþEČAĀBû ĿþE© ĿĂø_÷¥ ĿÂEªAã þE Aã =ĊĿðĽ°äB Ł÷¥ Âļ ČĿäAË =¶A¼Ł÷¥ Ŀ«AÅĆBË ĊĿëAą öĿ :ÔĽìüB Ł÷¥ ĊĿë ?±¦ĽøĽ³ ¦AĄĀEĿû ĿýEÆðľ Ł÷¥ ĊĿë «>A¸E AË A«AÆÐ E Aã AÊüE A¿ āBĽAÆŁïĽ Aúø_AËAą ĿĂEČĽøAã ĂB ø_÷¥ A«AÆÐ E Aã ćA»E Ŀ Aúø_AËAą ĿĂEČĽøAã ĂB ø_÷¥ Ĉ_øAÓ =ĊªĿĀ:÷¥ þE Aã Ŀ¥AÁÅE Â: ÷¥ ĊĿ©Ľ þE Aã AĉĿąÅB ÁBą¥AÁ ĆB©Ľ Ľõ¦Ľï Ŀý¦Ľ¯AÂE¸AË .ļā¥Aą āBÁB ¦AĀËE ĿAą «>A¸E AË “Diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin ‘Abd al-Rahim ibn al-Barqi, diceritakan kepada kami oleh Ibnu Abi Maryam, diceritakan kepada kami oleh Nafi’ bin Yazid, dari al-Harith Ibnu Sa’id al-’Utaqi, dari Abdullah bin Munain, dari Bani Abd Kilal dari ‘Amr bin al-’Ash: Sesungguhnya, Nabi Muhammad saw. mengajarkan kepadaku lima
Penafsiran Filsafat Mistis Ayat Sajdah (Ismail) 133
belas ayat sajdah dalam al-Qur’an, termasuk tiga (tempat) dalam al-Mufasshal dan dua (tempat) di surat al-Hajj”. Abu Dawud berkata: “Diriwayatkan dari Abi al-Darda’ dari Nabi Muhammad saw. ayat sajdah ada sebelas.” Akan tetapi sanadnya adalah lemah.” (Abu Dawud, tt: 58)
Kelima belas ayat sajdah tersebut secara rinci terdapat pada QS. AlA’raf, [7]: 206, QS. Al-Ra’d, [13]: 15, QS. Al-Nahl, [16]: 49/50, QS. AlIsra’, [17]: 107-109, QS. Maryam, [19]: 58, QS. Al-Hajj, [22]: 18 dan 77 (hanya Syafi’i dan Hambali), QS. Al-Furqan, [25]: 60, QS. Al-Naml, [27]: 25-26, QS. Al-Sajdah, [32]: 15, QS. Shad, [38]: 24 (Mayoritas; kecuali Syafi’i), QS. Fusshilat, [41]: 37 (Maliki)/38 (Mayoritas Ulama), QS. Al-Najm, [53]: 62 (Mayoritas; kecuali Maliki), QS. Al-Insyiqaq, [84]: 20/21 (Mayoritas; kecuali Maliki), QS. Al-’Alaq, [96]: 19 (Mayoritas; kecuali Maliki). Namun demikian aimmat al-Madzahib berselisih tentang jumlah ayat sajdah. Maliki berpendapat 11 ayat, Hanafi dan Syafi’i berpendapat 14 ayat, dan Hambali berpendapat 15 ayat (al-’Asqalani, 2004: 481-488). B. Sujud al-Tilawah Kalimat sujud al-Tilawah terdiri dari dua kata, yaitu ÁĆ¸Ë dan «ąĔ¯. Definisi dari kata sujud telah dibahas sebelumnya. Sementara kata tilawah merupakan mashdar dari kata tala ( Ĉø¯ ), yang berarti membaca atau berpikir tentang makna (al-Ashfihani, tt: 71-72). Sujud al-Tilawah dalam arti terminologisnya, menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah adalah sujud yang dilakukan ketika membaca atau mendengar ayat sajdah, yang dimulai dengan takbirat al-Ihram, sujud sekali, kemudian bangun dari sujud, dan salam tanpa membaca tasyahud (Sabiq, 1990: 193). Mengenai status hukumnya, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun menurut mayoritas ulama, sujud al-Tilawah adalah sunnah (Abd. Rahman al-Jaziri, 1990: 420). Prinsip dasar anjuran sujud al-Tilawah adalah pada Hadits berikut:
þE Aã ļºĿ÷¦AÓ ĊĿ©Ľ þE Aã ĿÎAüãE ĽŁ÷¥ þE Aã Ľ¬AċĿą¦AäûB ĆB©Ľ ¦AĀĽ³Â: A» ¦Ľ÷¦Ľï ļ¨EċAÆóľ ĆB©ĽAą Ľ¬AªČEAÏ ĊĿ©Ľ þB ©E ĿÆŁôA© ĆB©Ľ ¦AĀĽ³Â: A» A ĂĿ ø_÷¥ õľ ĆBËAÅ Ľõ¦Ľï Ľõ¦Ľï A«AÆċEAÆăB ĊĿ©Ľ ĽõAÈĽ°ãE ¥ AÂA¸AÌĽë A«A¸ EÌ : ÷¥ AùAÁ þB ©E¥ ĽAÆĽï ¥ĽÃĿ Aúø_AËAą ĿĂEČĽøAã ĂB ø_÷¥ Ĉ_øÓ
134 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 129-144
¬ľ Ā:A¸Ł÷¥ ĂB ĽøĽë AÂA¸AÌĽë ÁĿ ĆB¸8Ì÷¦©Ŀ AùAÁ þB ©E¥ AÆĿûľ ĊĿøċEąA ¦Aċ ļ¨EċAÆóľ ĊĿ©Ľ Ŀ¬Aċ¥AąĿÅ ĊĿëAą ĂB ĽøċEAą ¦Aċ õľ ĆľðAċ ĊĿôªEAċ ýB ¦ĽÜČEÐ : ÷¥ ¥ĽÄAĄĿ© Î B AüãE ĽŁ÷¥ ¦AĀĽ³Â: A» ?âČĿóAą ¦AĀĽ³Â: A» ļ§EÆA» þB ©E ÆB ČEAăÇľ ĊĿĀĽ³Â: A» ÅB ¦:Ā÷¥ ĊĿøĽë ® B ČEA©ĽĽë ÁĿ ĆB¸8Ì÷¦©Ŀ B ÆE ûĿľAą B ČEAÔAäĽë Ľõ¦Ľï ĂB ÿ_Ľ AÆČEĽç ĂB ĽøŁ´ûĿ ĿÁ¦AĀEËĿ Ł÷¥ .ÅB ¦:Ā÷¥ ĊĿøĽë ® “Diceritakan kepada kami oleh Abu Bakr bin Abi Shaibah dan Abu Kuraib, keduanya berkata: Diceritakan kepada kami oleh Abu Mu’awiyah dari al-A’mash dari Abi Shalih dari Abi Hurairah ra., beliau berkata: Rasulullah saw. berkata: Ketika orang membaca ayat sajdah, dan ia bersujud, setan akan melarikan diri sambil menangis dan berkata: Celakalah aku. Dalam periwayatan Abu Kuraib: Celakalah aku, manusia diperintahkan untuk bersujud, dan mereka melaksanakannya, maka surga bagi mereka dan aku diperintahkan bersujud tapi aku membangkang, maka neraka bagiku. Diceritakan kepada saya oleh Zuhair Ibnu Harb, diriwayatkan kepada kami oleh Waki’, diriwayatkan kepada kami oleh al-Masy’ dengan kalimat serupa (riwayat Abu Kuraib), tetapi “kemudian aku tidak taat, sehingga neraka bagi saya.” (Muslim, tt. : 61).
C. Kerangka Penafsiran Ibnu ‘Arabi 1. Biografi Ibnu ‘Arabi lahir pada 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165 M di daerah Mursiyah (sekarang Murcia) bagian utara Andalusia, dari keluarga keturunan Arab yang termasuk dalam suku Tha’i dengan nama Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdullah al-Tha’i alHatimi al-Andalusi, dan kemudian dikenal sebagai Syaikh al-Akbar Ibn al’Arabi (sebagai catatan; di Indonesia beliau dipanggil dengan sebutan Ibnu ‘Arabi (tanpa prefix “AL”) untuk membedakannya dengan Ibn al-‘Arabi pengarang tafsir Ahkam al-Qur’an) (Noer,1995: 17). Ketika berusia 30 tahun, beliau mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Diantara deretan guru-gurunya adalah Abu Madyan Al-Ghauts Al-Talimsari, Abu al-’Abbas al-’Uryani dan Yasymin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita) (Addas, 2004: 97) Keduanya banyak mempengaruhi ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi. Dikabarkan juga ia pernah berjumpa dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabib istana
Penafsiran Filsafat Mistis Ayat Sajdah (Ismail) 135
dinasti Umayyah dari Alomohad di Kordoba (Addas, 2004: 38). Adapun hasil karya Ibn ‘Arabi antara lain (Histenstein, 2001: 354-360): · Masyahid al-Asrar · Mathali’ al-Anwar al-Ilahiyah · Hilyat al-Abdal · Kimiya al-Sa’adat · Muhadharat al-Abrar · Kitab al-Akhlaq · Majmu’al-Rasa’il al-Ilahiyah · Mawaqi’al-Nujum · Al-Ma’rifah al-Ilahiyah · Al-Isra’Ila Maqam al-Atsna. Selain kitab-kitab tersebut ada karya beliau yang monumental yaitu, alFutuhat al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 620-638 H yang terdiri dari 560 bab dan Fushush al-Hikam yang ditulis pada tahun 628 H yang ditulis saat ia menunaikan ibadah haji dan Tarjuman al-Asywaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia (Chittick, 2001: xi). 2.
Framework Penafsiran Ibn ‘Arabi termasuk dalam kategori Isyari (kiasan) (alZarqani, tt: 79). Namun, pola yang terbentuk dalam komentarnya ini bersifat filsafat-mistik, yaitu kombinasi gaya antara sufi dan filsafat (al-Qaththan, 1992: 489). Secara tipikal, Ibn ‘Arabi dianggap sebagai seorang sufi, dan asumsi ini relatif benar sesuai dengan referensi istilah tasawuf yang menunjuk untuk pemikiran dan praktek Islam yang menekankan pengalaman langsung dari obyek iman (Chittick, 2001: 4). Al-Dzahabi, dalam bukunya al-Tafsir wa al-Mufassirun, memasukkan Ibn ‘Arabi ke dalam kelompok sufi (alDzahabi, 1976: 205-210). Sedangkan Abu al-Wafa ‘al-Ghanimi al-Taftazani mengikutkan Ibn’Arabi pada kelompok filsuf (al-Taftazani, 1985: 19). Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa proses sebenarnya dalam metode penafsiran harus dilakukan dengan silang (‘ubur) dalam bentuk ta’bir, karena menafsirkan arti mimpi melalui ta’bir dengan tujuan mendapatkan i’tibar. Setelah ‘persilangan’ dilakukan, menurut Ibn ‘Arabi, mufassir harus mencari makna batin (spiritual) melalui makna luar (zhahir) teks (Zaid, 2002: 288).
136 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 129-144
Bagi seorang Sufi, setiap ayat dalam al-Qur’an memiliki 2 arti, yakni; zhahir dan bathin. Ibn ‘Arabi menegaskan dengan menyatakan berulang kali bahwa pengetahuan diperoleh melalui “pencerahan atau penyingkapan” (mukasyafah) dan bertumpu pada makna al-Qur’an (Chittick, 2001: xv). Harus ditekankan, bahwa Ibn ‘Arabi tidak pernah menolak makna literal. Di sini, dia jelas berbeda dari para Sufi yang menolak penafsiran literal dan hanya menerima makna spiritual. Dengan demikian, dapat diketahui, landasan utama yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi dalam menafsirkan al-Qur’an tampaknya sangat sederhana namun sangat luar biasa dan unik, karena ia tidak membatasi dirinya untuk interpretasi apa yang tertulis dan buatan. Bagi Ibn ‘Arabi, Allah mengungkapkan makna apapun yang dapat dipahami oleh penutur bahasa masing-masing dengan makna literal sebuah teks (Chittick, 2001: xvi). Dalam beberapa tulisan, Ibn ‘Arabi secara garis besar menjelaskan dua jenis ilmu pengetahuan. Pertama, ilmu yang dapat diperoleh melalui kekuatan rasional, dan kedua, pengetahuan yang diperoleh melalui praktek-praktek gnosis spiritual dan pengungkapan diri (tajalli) Allah (‘Arabi, 2006: 319). Secara umum, Ibn ‘Arabi mengacu pada jenis pengetahuan kedua sebagai “penyingkapan” (kasyf), “rasa” (dzauq), “pencerahan” (fath), “inspirasi” (bashirah), dan “kesaksian” (syuhud). Meskipun istilah yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi sangat bervariasi dalam jenis pengetahuan kedua, tetapi yang paling sering dan paling umum digunakan adalah “penyingkapan” (kasyf) (Chittick, 2001: 94). Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Ibnu ‘Arabi selalu terikat dengan 3 metafisika dasar yang telah dibangunnya, yaitu; persatuan wujud (wahdat al-Wujud), manusia sempurna (al-Insan al-Kamil), dan dunia imaginal (al-A’lam al-Khayyal) (Chittick, 2003: 627-633). Penafsiran yang dilakukan seseorang bergantung pada citra simbolik (tamtsil) dan metafora (qiyas) muncul sebagai elemen kunci dari sebuah teks. Seseorang harus berusaha untuk mencapai makna terdalam dari teks dengan mengeksplorasi makna denotatif atau referensial, bahkan melalui makna konotatif, yang akhirnya datang ke makna sugestif atau makna intrinsik (Hadi W. M., 2001: 98). Ibn ‘Arabi tanpa ragu menolak penafsiran rasional (ta’wil ‘aqli). Ada aspek dari wahyu yang menyatakan alasan bahwa akal tidak mungkin mencapainya, dan ini membuktikan ketidaksempurnaan rasional manusia.
Penafsiran Filsafat Mistis Ayat Sajdah (Ismail) 137
Sebaliknya, daya imajinatif (khayyal) pada manusia, di sisi lain, bekerja melalui persepsi indra, menggunakan bahasa imajinasi (Chittick, 2001: 199-202). Al-Qur ’an menggunakan abstraksi dan imajinasi untuk mengkomunikasikan pesan, tetapi yang terakhir lebih mendominasi karena wahyu banyak menyertakan maknanya ke dalam wilayah imaginal dan persepsi rasa, yang merupakan tindakan penghubungan antara keduanya. Rasio tidak mampu memahami al-Qur’an dan karena itu penafsirannya dibuat sesuai dengan ketetapan dalil, tetapi ini mengarah pada distorsi maknanya. Nabi dan kekasih Allah, di sisi lain, menerima seluruh makna al-Qur’an, karena mereka memahami bahasa imajinasi melalui penyingkapan (kasyf) (Chittick, 2001: 73-76). Sehingga Ibn ‘Arabi lebih memilih istilah kiasan (isyari) dari pada tafsir untuk membela diri dari ketidaktahuan eksoteris. Ibn ‘Arabi memahami hal yang demikian sebagai pendekatan interpretatif dengan kesetiaan ekstrim terhadap kemungkinan teks al-Qur’an (Chodkiewick, 1993: 19-20). Ibn ‘Arabi juga terkadang menggunakan analogi abstrak atas kongkrit (qiyas al-Gha’ib ‘ala qiyas al-Syahid) (‘Arabi, 2006: 6). ANALISIS Secara umum, ayat sajdah dalam al-Qur’an mengandung dua jenis konten. Pertama, berita tentang ahli dan pujian dari sujud mereka. Kedua, perintah untuk sujud dan celaan atau kritik dari siapa pun yang meninggalkan. Pesan yang terkandung dalam ayat sajdah secara umum, disampaikan dengan menggunakan dua jenis formulasi (shighah), yaitu formula berita (shighah khabar) dan formula perintah (shighah amr). Konteks ayat sajdah adalah masyarakat Mekah yang kebanyakan masih menolak ajaran Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, ayat-ayat yang berhubungan dengan sikap tirani dan arogansi orang-orang kafir dan musyrik Mekah yang menolak untuk percaya walaupun banyak bukti dan penjelasan yang ada dalam al-Qur’an tentang kebenaran pesan Nabi Muhammad saw, dan juga sikap mereka yang enggan dan menolak untuk bersujud ketika dibacakan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah swt. mengutuk dan mencela tindakan mereka. Tidak ada riwayat mengenai tempat dan waktu turunnya wahyu (al-Asbab al-Nuzul), yang menjelaskan ayat sajdah kecuali pada QS. Al-’Alaq, [96]: 19, dan dalam masalah tema, kebanyakan ayat sajdah berisi tentang teologi
138 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 129-144
Islam (tauhid), yaitu atribusi diri kepada Allah swt. (ta’rif) yang hanya Dia dengan segenap kekuatan, kesempurnaan dan kemuliaan, dan bahwa Dia adalah seorang wajib, berhak dan layak dijadikan objek sujud dan dipatuhi oleh semua makhluk (tanzih). Buktinya adalah semua yang ada di langit dan di bumi, sujud dan patuh kepada-Nya, dan semua makhluk tidak berhak untuk memegahkan diri di hadapan-Nya. Selain itu, beberapa dari ayat sajdah juga berisi cerita tentang keadaan rohani Nabi dan umat terdahulu (‘Arabi, 2006: 193, 290). Untuk Penafsiran Ibn ‘Arabi, penulis hanya akan memaparkan ayatayat yang mempunyai nilai filsafat mistis paling kental dari keseluruhan ayat sajdah yang ada, yakni pada ayat sajdah ke 14: QS. Al-Inshiqaq, [84]: 20/ 21 dan ke 15: QS. Al-’Alaq, [96]: 19, dan selain dua ayat tersebut akan disampaikan secara umum pada bab kesimpulan. Hal ini dikarenakan, hampir semua penafsiran yang bernuansa mistis (al-Alusi, al-Tutsuri, al-Sulami, alSyirazi, dsb) terhadap ayat sajdah ini, antara ulama satu dan yang lainnya bisa katakan sejalan dan sejurus, dan Ibn ‘Arabi hanya sedikit berbeda, sehingga tidak ada sesuatu yang baru bila selain dua ayat tersebut masih diungkapkan di sini. QS. Al-Inshiqaq, [84]: 21 Ayat ini berisi sujud akumulasi (al-Jam’) dan eksistensi (wujud), yakni firman Allah swt. yang berbunyi;
AýąB¸ BÌ E Aċ ¦Ľ÷ ýB ĽÆE ðľ Ł÷¥ úB ĄĿČEĽøAã A¡ĿÆïľ ¥ĽÃĿAą “Dan ketika Qur’an adalah dibacakan kepada mereka, Mereka enggan bersujud”. (QS. Al-Inshiqaq, 21).
Disebut sujud akumulasi (al-Jam’) karena adanya pluralitas (katsrah). Pluralisme, kadang terdiri dari bagian-bagian yang serupa, dan kadang terdiri dari bagian yang tidak sama, dan kesatuan (ahadiyyah), adalah akumulasi dalam keragaman nama-Nya yang indah. Perlu ditegaskan bahwa ketika mendengar al-Qur’an, yang terdapat sekumpulan atribut Allah di dalamnya, baik atribut pemurnian (tanzih) atau penyucian (taqdis), bagaimana orangorang yang mendengar al-Qur’an tersebut akan bereaksi terhadapnya (‘Arabi, 2006: 202).
Penafsiran Filsafat Mistis Ayat Sajdah (Ismail) 139
Ada dua sisi filosofis-mistis dari Ibn ‘Arabi yang mendasari penafsiran ayat ini; pertama adalah al-jam’ dan yang kedua adalah al-wujud. Disebutkan dalam sumber pemikiran Ibn ‘Arabi, bahwa Nabi Muhammad adalah par excellent (al-Insan al-Kamil) yang mencerminkan sifat-sifat Allah swt. dan sempurna dalam perilakunya. Allah swt., sifat dan nama-Nya terkumpul di dalam al-Qur’an, sementara Nabi Muhammad saw., karakter/akhlaknya adalah al-Qur’an (Chittick, 2001: 73-76). Sebagai kesimpulan, siapa saja yang ingin mencapai tingkat sempurna harus melakukan akumulasi (al-jam’) sifat Allah yang terkandung dalam al-Qur’an. Setelah proses al-Jam’ dapat diselesaikan oleh manusia, maka ia akan mencapai tingkat al-Wujud dalam arti ‘’menemukan’’ (finding). Para pengkaji Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa: kata al-Wujud yang sering digunakan oleh Ibn’ Arabi mempunyai dua macam pemahaman. Pertama, gagasan tentang makna objektif, yaitu bentuk yang berarti ‘’ADA’’ (being) atau ‘’ber-ADA’’ (existence). Kedua, makna yang subyektif, yaitu suatu bentuk yang berarti mencari dan menemukan (finding) (Afifi, 1995: 6). QS. Al-’Alaq, [96]: 19 Ayat ini menjelaskan tentang sujud “intelek pertama” (al-’aql al-awwal), yang merupakan ajaran untuk menyaksikan (syuhud) dan kembali (al-Ruju’), seperti dalam firman-Nya:
§ E ÆĿ Ľ°Łï¥Aą ÂE ¸ BË E ¥Aą ĂB äE ÜĿ ¯ľ ¦Ľ÷ ¦_øĽó “Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah [dirimu kepada Tuhan].” (QS. Al’Alaq: 19)
Ini adalah sujud mencari kedekatan dengan Allah, yang datang setelah kata pencegahan dan larangan “kalla” (jangan pernah) mengikuti ajakan orang-orang yang tidak percaya pada Allah dan hari kiamat (‘Arabi, 2006: 203). Dalam metafisika Ibn ‘Arabi, istilah teknis dari ‘’intelek pertama’’ menunjuk pada Haqiqat al-Muhammadiyyah yang berada pada tahap wahidiyyah. Lebih jelasnya, teori wujud dalam metafisika Ibn ‘Arabi, biasanya disebut sebagai tajalli, dibagi menjadi dua tahap: pertama; tahap ahadiyyah
140 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 129-144
atau yang biasa disebut tajalli dzati, dan kedua; tahap wahidiyyah atau yang biasa disebut tajalli shuhudi. Dalam tahap ahadiyyah, Allah memanifestasikan Diri-Nya melalui sifat-sifat Allah yang masih dalam bentuk “potensial” dalam tabir yang yang disebut ‘’ama’’. Dari ‘’ama’’, kemudian muncul ‘’intelek pertama’’ sebagai perwujudan atau cermin yang bagi Allah swt. ‘’Intelek pertama’’ kadang juga disebut ‘’Manusia Sempurna Universal’’ (al-Insan al-Kamil al-Kulli: makrokosmos). Dari sini, kemudian berpindah ke tahap wahidiyyah (Chittick, 2003: 627-633). Dari ‘’intelek pertama’’, muncul al-Nafs al-Kulli atau dalam beberapa kesempatan, juga disebut lauh al-Mahfuz. Dari al-Nafs al-Kulli (Materi Universal) muncul al-Thabi’ah al-Kulliyyah (Potensi Universal) yang akan menghasilkan ‘Hal’ yang disebut ‘’Haba’’. Dari ‘’Haba’’, muncul entitas-entitas (mikrokosmos) di alam semesta ini. Jika dikaitkan dengan tujuan penciptaan, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di dunia ini untuk dapat mengurusnya dengan benar. Sementara itu, bagaimana menjadi khalifah adalah memiliki karakter Nabi Muhammad saw. Sehingga seakan-akan berkarakter al-Qur’an yang merupakan akumulasi Sifat-sifat Allah (al-Takhalluq bi Akhlaq Allah) (‘Arabi, 2006: 211). Jadi jelas bahwa Ibn ‘Arabi menyiratkan kegiatan sungguh-sungguh untuk menempati posisi tertinggi dalam struktur realitas wujud. Ayat ini membawa kesimpulan akhir bahwa dengan seseorang harus meninggalkan segenap keraguan untuk membersihkan pikiran dan jiwa agar siap untuk menerima “nur” dari Allah swt., dan Dia menegaskannya lewat perintah “Mendekatlah”. KESIMPULAN Pesan yang terkandung dalam ayat sajdah, secara umum dapat dibagi menjadi dua, Pertama; ta’rif, ini merupakan pendekatan bagi manusia untuk mendekatkan sedekat mungkin (taqarrub) kepada Allah swt. Kedua; Tanzih, menghilangkan setiap unsur dan karakteristik (ketundukan, kehinaan, lemah, dsb) yang tidak pantas bagi Allah swt. dengan memakai atribut, serta pada prakteknya diimplementasikan dengan sujud. Setiap ayat dari ayat sajdah memiliki nama yang unik berdasarkan penafsiran Ibn ‘Arabi yang ditempatkan sebagai dimensi spiritual yang dikajinya secara filosofis seperti berikut ini:
Penafsiran Filsafat Mistis Ayat Sajdah (Ismail) 141
QS. Al-A’raf, [7]: 209; al-Iqtida’ bi al-Mala’ al-A’la. QS. Al-Ra’d, [13]: 15; al-Tasdiq bi al-Tahqiq. QS. Al-Nahl, [16]: 50; al-Dhillah wa al-Khudu’. QS. Al-Isra’, [17]: 107; al-Tajalli. QS. Maryam, [19]: 58; al-In’am. QS. Al-Hajj, [22]: l8; al-Mushahadah wa al-I’tibar. QS. Al-Hajj, [22]: 77; al-Falah. QS. Al-Furqan, [25]: 60; al-Imtiyaz. QS. Al-Naml, [27]: 26; al-Rajhan. QS. Al-Sajdah, [32]: l5; al-Dzikr. QS. Sad, [38]: 24; al-Taubah wa al-syukr. QS. Fussilat, [41]: 37; al-Ijtihad. QS. Al-Najm, [53]: 62; tanbih al-Ghafilin. QS. Al-Inshiqaq, [84]: 21; al-Jam’ wa al-Wujud. QS. Al-’Alaq, [96]: l9; al-Shuhud wa al-Ruju’.
DAFTAR PUSTAKA ‘Arabi, Ibn, Revolusi Shalat Ibn ‘Arabi, translated by Irwan Kurniawan. Bandung: Pustaka Hidayah, 2010. __________, al-Futuhat al-Makkiyyah fi Ma’rifat al-Asrar al-Malikiyyah wa al-Mulkiyyah. Beirut: Dar el-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006. __________, Fusus al-Hikam. Beirut: Dar el-Kitab al-‘Arabi, 1980. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud. Kairo: Dar el-Fikr, tt. Addas, Claude, Mencari Belerang Merah: Kisah Hidup Ibn ‘Arab, translated by Zaimul Am. Jakarta: Serambi, 2004. Affifi, A.E., Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi, translated by Sjahrir Mawi and Nandi. R. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1995. Al-Asfahani, al-Raghib, Mu’jam Mufradat alfaz al-Qur’an. Beirut: Dar elFikr, tt. Al-Dhahabi, Muhammad Husain, Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1976. Al-Jaziri, ‘Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madhahib al-Arba’ah. Beirut: Dar el-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990. Al-Maliki, Muhammad ‘Alwi, Keistimewaan al-Qur’an, translated by Nur Faizin. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001.
142 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 129-144
Al-Qattan, Manna’, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, translated by Mudzakir AS, Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992. Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi Dari Zaman ke Zaman, translated by Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985. Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Azim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum alQur’an. Beirut: Dar el-Fikr, 1986. Chittick, William C., Imaginal Worlds: Ibn al-‘Arabi and the Problem of Religious Diversity. New York: University New York Press, 1994. __________, The Sufi Path of Knowledge: Ibn ‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. New York: University New York Press, 1989. __________, “Ibn ‘Arabi dan Madzhabnya”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Translated by Mizan Team Translator. Bandung: Mizan, 2003. __________, “Ibn ‘Arabi”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Translated by Mizan Team Translator. Bandung: Mizan, 2003. __________, Dunia Imajinal Ibn ‘Arabi; Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama, translated by Ahmad Shahid. Surabaya: Risalah Gusti, 2001. __________, The Sufi Path of Knowledge: Hermeneutika al-Qur’an Ibn al-‘Arabi, translated by Qalam Team Translator. Solo: Qalam, 2001. Chodkiewicz, Michel, An Ocean Without a Shore: Ibn ‘Arabi, the Book and the Law. New York: University New York Press, 1993. Goldziher, Ignaz, Madhahib al-Tafsir al-Islam, translated by Abd. Halim alNajjar. Mesir: Maktabah al-Khaniji, 1955. Hirtenstein, Stephen, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud: Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi, translated by Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Manzur, Ibn, Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar al-Sadr, 1994. Muslim, Sahih Muslim. Beirut: Dar el-Fikr al-‘Ilmiyyah, tt. Noer, Kautsar Azhari, Ibn ‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina, 1995. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah. Kairo: Dar al-Fath li al-A’lam al-’Arabi, 1990. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002. W. M., Abdul Hadi, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina, 2001.
Penafsiran Filsafat Mistis Ayat Sajdah (Ismail) 143
Zaid, Nasr Hamid Abu, Hakadha Takallama Ibn ‘Arabi. Beirut: al-Dar alBaida’, 2004. __________, Falsafat al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Beirut: al-Dar al-Tanwir, 1983. __________, Teks Otoritas Kebenaran, translated by Sunarwoto Dema. Yogyakarta: LkiS, 2003. __________, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, translated by Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: LkiS, 2002.